Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

47
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan 1 Laporan Hasil Penelitian 2015 Abstrak Tanaman penghasil gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk dibudidayakan. Budidaya gaharu melalui pembangunan tanaman mulai dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk tanaman campur ataupun sistim monokultur. Produktifitas gaharu yang didapatkan bergantung pada jenis, asal tanaman, kondisi lingkungan, bahan inokulan. Selain itu, perkembangan gaharu sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang selama ini masih terselubung dan rantai yang panjang. Sinergitas pengembangan tanaman gaharu mulai dari hulu sampai hilir diperlukan untuk menghasilkan produksi gaharu dengan kuantitas dan kualitas serta nilai jual yang tinggi. Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malaccensis) alami di Sumatera tumbuh di hutan sekunder yang berasosiasi dengan karet alam. Pertumbuhan tanaman terbaik pada pola hutan campur (agroforestry) daripada pola monokultur.Identifikasi pohon induk berdasarkan kemampuan pohon induk untuk menghasilkan gaharu alami di dapatkan sebanyak 72 pohon induk yang tersebar di Kab. Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, Banyuasin, Lahat dan Kota Palembang. Masalah utama dalam pemasaran gaharu adalah ketidaksetaraan dalam proses transaksi yang disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan informasi yang diterima petani.Kontrak kerjasama merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan, kontrak dapat digunakan untuk mereduksi dan mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris Kata Kunci : Gaharu, produktifitas, pengembangan, pohon induk, riap, pemasaran, kontrak

Transcript of Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Page 1: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

1 Laporan Hasil Penelitian 2015

Abstrak

Tanaman penghasil gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk dibudidayakan. Budidaya gaharu melalui

pembangunan tanaman mulai dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk tanaman

campur ataupun sistim monokultur. Produktifitas gaharu yang didapatkan bergantung

pada jenis, asal tanaman, kondisi lingkungan, bahan inokulan. Selain itu, perkembangan

gaharu sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang selama ini masih terselubung dan

rantai yang panjang. Sinergitas pengembangan tanaman gaharu mulai dari hulu sampai

hilir diperlukan untuk menghasilkan produksi gaharu dengan kuantitas dan kualitas serta

nilai jual yang tinggi. Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malaccensis) alami di

Sumatera tumbuh di hutan sekunder yang berasosiasi dengan karet alam. Pertumbuhan

tanaman terbaik pada pola hutan campur (agroforestry) daripada pola

monokultur.Identifikasi pohon induk berdasarkan kemampuan pohon induk untuk

menghasilkan gaharu alami di dapatkan sebanyak 72 pohon induk yang tersebar di Kab.

Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, Banyuasin, Lahat dan Kota Palembang.

Masalah utama dalam pemasaran gaharu adalah ketidaksetaraan dalam proses transaksi

yang disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan informasi yang

diterima petani.Kontrak kerjasama merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan,

kontrak dapat digunakan untuk mereduksi dan mendisain kompensasi guna mengeliminasi

informasi asimetris

Kata Kunci : Gaharu, produktifitas, pengembangan, pohon induk, riap, pemasaran,

kontrak

Page 2: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

2 Laporan Hasil Penelitian 2015

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai

ekonomi, sosial dan budaya yang sangat tinggi. Dalam Permenhut Nomor P.35/Menhut-

II/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati

yang potensial untuk dikembangkan. Selain itu, gaharu termasuk dalam 5 jenis HHBK

yang mendapat prioritas pengembangan, selain jenis rotan, bambu, madu lebah dan

sutera (Santoso et al, 2012). Pulau Kalimantan, Papua, Sumatera dan Kepulauan Nusa

Tenggara, merupakan wilayah persebaran alami tanaman penghasil gaharu. Beberapa

jenis yang populer sebagai tanaman penghasil gaharu diantaranya adalah Aquilaria spp,

Gyrinops spp dan Gonystilus spp.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa populasi dan keberadaan tanaman

penghasil gaharu sudah mulai langka pada daerah sebaran alaminya. Dalam rangka

melindungi jenis-jenis tanaman penghasil gaharu dari kepunahan, maka sejak tahun

2004, komisi CITES telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan

gaharu alam, yaitu dengan memasukkan Aquilaria spp dan Gyrinops sp ke dalam daftar

tumbuhan Appendix II CITES. Mengingat nilai penting serta tingginya harga dan

permintaan gaharu di pasar perdagangan Internasional, sementara populasi dan

ketersediaannya di hutan alam sudah semakin langka, maka upaya perlindungan jenis-

jenis penghasil gaharu dari kepunahan merupakan hal yang sangat mendesak untuk

dilakukan. Melalui upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya dan

pengembangan, khususnya jenis Aquilaria spp dan Gyrinops sp, produksi gaharu sebagai

komoditas eksport diharapkan dapat terus berkelanjutan.

Berdasarkan hasil pengamatan, dari populasi pohon penghasil gaharu yang ada di

alam, hanya 10% atau kurang yang terinfeksi jamur dan mengandung gaharu. Kalaupun

mengandung gaharu maka jumlah gaharu yang kualitasnya tinggi yang ada di pohon

penghasil gaharu mungkin hanya beberapa gram saja dan selebihnya kualitasnya rendah

dan bahkan tidak ada gaharunya sama sekali. Oleh karena itu untuk bisa mendapatkan 1

kilogram gaharu yang kualitasnya menengah sampai tinggi diperlukan ratusan, bahkan

ribuan pohon yang perlu ditebang.

Tingginya permintaan dan harga jual gaharu di pasar internasional serta semakin

langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, pada sisi lain telah mendorong

masyarakat di berbagai daerah melakukan budidaya tanaman pengahasil gaharu seperti

Page 3: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

3 Laporan Hasil Penelitian 2015

di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan (Squidoo,

2008 dalam Suharti, 2010). Menurut Santosodkk (2012), saat ini penanaman atau

budidaya tanaman penghasil gaharu oleh masyarakat, kelompok tani, swasta serta

instansi pemerintah telah banyak dilakukan di berbagai wilayah/kabupaten di seluruh

Indonesia.

Untuk meningkatkan produksi gaharu, maka pada kegiatan tahun 2016 akan

dilakukaninokulasi secara buatan pada pohon penghasil gaharu dengan menggunakan

inokulan (jamur). Berdasakan pengamatan pada beberapa kegiatan inokulasi yang pernah

dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan produksi gaharu yang dihasilkan antar

individu tanaman.Produk gaharu, baik kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman, asal tanaman (provenans),

umur tanaman yang diinokulasi, respon tanaman terhadap inokulasi (resistensi tanaman),

jenis dan asal inokulan/isolat serta kondisi lingkungan tempat tumbuh (Isnaini, 2004 dan

GIFNFC, 2007). Faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil produk gaharu adalah umur

atau lamanya waktu inokulasi pada saat panen (Santoso dkk., 2010). Sampai dengan saat

ini data dan informasi yang berhubungan dengan produksi gaharu berdasarkan integrasi

komponen jenis-inokulan-kualitas tempat tumbuh-kadar “wangi” gaharu belum tersedia,

sehingga diperlukan penelitian yang komprehensif mengenai hal tersebut.

Selain dari permasalahan produk gaharu yang bervariasi baik jumlah maupun

kualitasnya, kondisi sosial ekonomi gaharu terutama yang berhubungan dengan pasar

gaharu belum banyak diketahui. Pemasaran gaharu selama ini masih mempunyai rantai

yang panjang, kondisi semacam ini secara langsung akan mempengaruhi petani dengan

semakin rendahnya harga jual gaharu di tingkat petani. Selain itu, harga jual gaharu

sangat dipengaruhi oleh “warna” dan kualitas “wangi” gaharu yang tentu saja hal ini

bersifat “subjektif” bagi pembeli gaharu. Sehingga peranan penelitian bidang sosial

ekonomi sangatlah penting khususnya dalam bidang penemuan rantai pemasaran gaharu

yang efektif dan efisien serta kajian bidang produk dan penilaian kualitas gaharu sebagai

pedoman standart harga jual tingkat petani dan pedagang.

Pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau hutan

tanaman mempunyai prospek yang sangat potensial untuk diwujudkan, baik ditinjau dari

sumber daya lahan, ketersediaan materi atau bahan bibit serta keragaman jenis yang kita

miliki. Hal ini juga ditunjang oleh teknik budidaya tanaman gaharu yang dapat dikatakan

relatif mudah. Namun demikian, untuk memperoleh produktivitas gaharu yang maksimal

(kuantitas maupun kualitas), dukungan dari berbagai aspek khususnya teknik budidaya

serta teknik produksi (inokulasi) dalam pembentukan gaharu harus terus dilakukan.Selain

itu juga diperlukan dukungan sistem pemasaran produk gaharu yang efektif dan efisien,

Page 4: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

4 Laporan Hasil Penelitian 2015

menguntungkan masyarakat petani dan pedagang dengan indikator penetapan harga

yang sesuai dan disepakati bersama. Dalam rangka memperoleh hasil yang bersifat

menyeluruh, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat integratif. Melalui penelitian ini

produktivitas dalam budidaya gaharu dapat dicapai secara maksimal dan pemasaran

gaharu dapat diketahui dengan jelas.

B. TUJUAN

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menyediakan iptek

budidaya gaharu yang memiliki produktivitas tinggi sehinggadapat mendorong percepatan

operasionalisasi KPH melalui usaha budidaya gaharu yang prospektif dan

tergambarkannya sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien.

Tujuan yang ingin dicapai untuk kegiatan penelitian dalam tahun 2015 adalah

sebagai berikut:

a. Mengetahui potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera

Bagian Selatan

b. Mengetahui kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera

Bagian Selatan

c. Mengetahui karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu

d. Mengetahui pertumbuhan (riap) pohon penghasil gaharu budidaya di masyarakat

pada berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)

C. HIPOTESA

Hipotesa dalam kegiatan penelitian ini adalah:

a. Di Pulau Sumatera Bagian Selatan terdapat beberapa populasi tanaman gaharu

b. Populasi tanaman gaharu di Sumatera Bagian Selatan mempunyai kualitas tempat

tumbuh yang spesifik sesuai dengan lokasi populasinya.

c. Dengan mengetahui informasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya

gaharu mampu meningkatkan harga dan pendapatan masyarakat

d. Berbagai pola tanam gaharu dengan memperhatikan tempat tumbuhnya

mempunyai riap tanaman gaharu yang berbeda

Page 5: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

5 Laporan Hasil Penelitian 2015

D. KELUARAN

Keluaran yang di harapkan dalam jangka panjang adalah paket teknologi budidaya

dan proyeksi produksi gaharu berbasiskan site-spesies serta pemasaran gaharu di

Sumbagsel. Sedangkan keluaran yang di harapkan tahun 2015adalah sebagai berikut:

a. Peta potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian

Selatan

b. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di

Sumatera Bagian Selatan

c. Data dan informasi identifikasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya

gaharu

d. Diketahuinya riap pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan masyarakat

dengan berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)

Page 6: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

6 Laporan Hasil Penelitian 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA

Gaharu merupakan produk kehutanan yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan

diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Gaharu

yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood,

atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan,

serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan

bahan kimia berupa resin (alpha-betha oleoresin). Sesuai dengan Permenhut Nomor

P.35/Menhut-II/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK) nabati yang potensial untuk dikembangkan.Selain itu, gaharu termasuk dalam 5

jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangannya selain Rotan, Bambu, Madu

Lebah, dan Sutera.

Selain mengandung resin (alpha-betha oleoresin), gaharu juga mengandung

essens yang disebut sebagai minyak essens (essential oil) yang dapat dibuat dengan

ekstraksi atau penyulingan dari gubal gaharu.Essens gaharu ini digunakan sebagai bahan

pengikat (fixative) dari berbagai jenis parfum, kosmetika, dan obat-obatan herbal.Selain

itu, serbuk atau abu dari gaharu dapat digunakan sebagai bahan pembuatan dupa/hio

dan bubuk aroma therapy, dan daun pohon gaharu bisa dibuat menjadi teh yang dapat

membantu kebugaran tubuh.

Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae,

dengan 8 (delapan) genus yang terdiri dari 17 spesies pohon penghasil gaharu, yakni

Aquilaria (6 spesies), Wilkstroamia (3 spesies), Gonystilus (2 spesies), Gyrinops (2

spesies), Dalbergia (1 spesies), Enkleia (1 spesies), Excoccaria (1 spesies), dan Aetoxylon

(1 spesies).Maraknya penebangan gaharu alam menyebabkan kondisi tanaman penghasil

gaharu di alam semakin berkurang. Untuk melindungi jenis-jenis tanaman/penghasil

gaharu terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. dari kepunahan di alamnya

maka komisi CITES sejak tahun 2004 telah menetapkan larangan dan atau pembatasan

pemungutan gaharu alam dengan memasukanya dalam daftar tumbuhan Appendix II

CITES. Upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya di luar hutan alam

terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. menjadi hal yang sangat mendesak.

Sebagai langkah kongkrit untuk mengetahui potensi tanaman gaharu di alam,

maka beberapa kegiatan survey perlu dilakukan untuk mengetahui status dan kondisi

populasi tanaman gaharu di beberapa lokasi. Survey yang dilakukan di Ipuh, Bengkulu

Utara (Rumayanto, 1992), mengemukakan bahwa pada empat plot pengamatan seluas

0,25 hektar dengan ukuran empat persegi, ternyata pada masing-masing plot terdapat 2

pohon (0,31%), 8 tiang (1,06%) dan 11 anakan (1,38%) Aquilaria malaccensis, dari total

Page 7: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

7 Laporan Hasil Penelitian 2015

jumlah pohon sebanyak 642 pohon, 751 tiang dan 793 anakan dari berbagai macam

pohon per hektar. Populasi A. malaccensis di Kalimantan juga menunjukkan kondisi yang

hampir sama, dimana jenis yang biasa tumbuh terpencar dan hidup di dataran rendah

dan di bukit kini sudah mengalami penurunan drastis, misalnya di Kalimantan Timur

(Sumadiwangsa, 1997), di Kalimantan Barat (Soehartono dan Mardiastuti, 1997).

Beberapa hasil survey populasi tanaman gaharu tersebut di atas mengindikasikan

bahwa keberadaan tanaman gaharu di alam sangat sedikit dan tidak merata

penyebarannya. Potensi tanaman gaharu semakin menurun akibat serangan hama dan

eksploitasi anakan alam untuk diperjualbelikan, misalnya pada tanaman A. malaccensis di

Bengkulu (Setyawati, 2010). Selain itu adanya perluasan pembukaan lahan, penebangan

pohon (induk) gaharu dan belum adanya kesadaran dalam pembangunan sumber benih

tanaman gaharu pada lokasi yang permanen, merupakan beberapa komponen yang turut

menyumbang semakin langkanya tanaman gaharu alam.

Potensi jenis dan penyebaran tanaman gaharu di Sumatera khususnya Sumatera

Selatan belum banyak diketahui. Data dan informasi yang berhubungan dengan potensi

gaharu di Sumatera disampaikan oleh Mucharromah (2009), bahwa beberapa wilayah di

Sumatera dijumpai pohon penghasil gaharu seperti di Belitung, Riau, Bengkulu, Jambi,

Lampung, dan Padang. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak dijumpai adalah

Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta dan A. agallocha.Namun

belum pernah di adakan survey yang mendetail mengenai jenis-jenis tersebut, padahal

dengan potensi dan harga jual yang tinggi, gaharu dapat dijadikan sebagai salah satu

komoditas andalan dalam perdagangan di Indonesia umumnya dan lokal Sumatera

khususnya.

Saat ini kelompok tani, masyarakat, swasta dan instansi pemerintah telah

melakukan budidaya pohon penghasil gaharu pada tanah pekarangan, kebun, hutan adat

dan kawasan hutan. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak ditanam oleh

masyarakat adalah: A. malaccensis, A. microcarpha, Gyrinops dan sedikit A. filaria dan A.

crassna. Penanaman secara terbatas oleh petani secara individu atau kelompok

masyarakat telah dimulai sejak 1989 dan sejak 2004, penanaman pohon penghasil

gaharu telah banyak dilaksanakan secara massal di banyak kabupaten di seluruh

Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Siran (2010) di temukan bahwa

jumlah pohon gaharu yang telah ditanam di seluruh Indonesia adalah 2.218.949 yang

tersebar di 45 kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Selama ini penanaman tanaman penghasil gaharu hanya berdasarkan pada

ketersediaan bibit dan ketersediaan lahan. Di Sumatera Selatan misalnya, sebagian besar

masyarakat pada umumnya “popular” untuk menanam jenis A. malaccensis untuk

Page 8: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

8 Laporan Hasil Penelitian 2015

budidaya tanama gaharu, di lain pihak di Sumatera terdapat beberapa jenis tanaman

penghasil gaharu lainnya seperti A. microcarpa, A. beccariana dan A. hirta yang juga

potensial untuk di budidayakan. Penanaman jenis tanaman penghasil gaharu yang tidak

berdasarkan syarat tumbuhnya, secara langsung ataupun tidak langsung akan

berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman itu sendiri.

Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan bahwa performance pohon

penghasil gaharu khususnya Aquilaria crassna dan A.microcarpa yang tumbuh di Hutan

Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) menunjukkan pertumbuhan yang

lebih bagus dibandingkan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita. Dari

segi lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama yaitu curah hujan

tipe A, suhu berkisar 20-300C,kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai

bergelombang. Kondisi yang berbeda diantara ketiga lokasi tersebut adalah

berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah. Tanah di KHDTK Carita merupakan tanah

tua dan telah mengalami pelapukan lanjut bila dibandingkan dengan tanah di Hutan

Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di

KHDTK Carita lebih rendah bila dibandingkan tanah di daerah Hutan Penelitian Dramaga

dan Kampung Tugu (Sukabumi). Sumarna (2008) melakukan penelitian tempat tumbuh

(ekologi) tanaman Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa di hutan alam daerah Jambi

(Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kedua jenis Aquilaria tersebut tumbuh baik pada suhu antara 20-33oC, ketinggian tempat

100-200 mdpl, kelembaban berkisar 77-85% serta intensitas cahaya sekitar 56-75%.

Berdasarkan hasil penelitian di atas nampak bahwa secara umum ekologi tanaman

penghasil gaharu khususnya jenis Aquilaria di Hutan Penelitian Dramaga, Kampung Tugu

(Sukabumi), Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita serta di Merangin

(Jambi) secara umum mempunyai karakteristik ekologi yang hampir sama yaitu berada

pada kisaran suhu 20-33oC dan kelembaban kelembaban 77-85%. Walaupun mempunyai

ekologi yang sama, namun bisa dipastikan mempunyai perbedaan pada jenis tanah dan

kandungan kimiawi tanahnya. Sampai dengan saat ini penelitian yang berhubungan

dengan kualitas tempat tumbuh (sifat-sifat tanahnya, iklim dan keadaan biofisik lainnya)

secara menyeluruh untuk tanaman gaharu yang ada di wilayah Sumatera Selatan masih

belum banyak dilakukan. Pengetahuan mengenai kualitas tempat tumbuh ini sangatlah

penting untuk mengetahui karakteristik tempat tumbuh tanaman gaharu secara spesifik,

sehingga data dan informasi yang didapatkan nantinya akan sangat berguna sebagai

bagian dari strategi pengembangan jenis tanaman gaharu yang sesuai untuk di tanam

(dikembangkan) pada suatu wilayah tertentu.

Page 9: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

9 Laporan Hasil Penelitian 2015

Pengembangan tanaman gaharu dalam bentuk tanaman budidaya merupakan

salah satu wujud nyata dalam upaya untuk melestarikan tanaman gaharu.Beberapa nilai

penting dari pengembangan budidaya gaharu adalah: a. budidaya merupakan wujud dari

pelestarian jenis tanaman penghasil gaharu, mengingat beberapa jenis sudah termasuk

dalam kategori langka, b. permintaan pasar dan harga yang masih tinggi, sementara

pasokan gaharu terbatas, c. berbuah sepanjang tahun, pembiakan generatif relatif mudah

dan regenerasi alami masih tinggi yang di tandai masih banyaknya anakan alam di bawah

pohon induk gaharu d. sudah dikuasainya teknologi rekayasa produksi gaharu yang

menjamin kuantitas dan kualitas produksi.

Salah satu poin penting dari budidaya gaharu adalah bahwasanya tanaman ini

membutuhkan naungan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sumarna (2008)

menjelaskan bahwa pertumbuhan tanaman gaharu akan ideal pada tempat tumbuh

dengan intensitas cahaya 56-75%. Kebutuhan tanaman gaharu akan cahaya yang tidak

dalam kondisi terbuka ini membuka peluang untuk mengembangkan budidaya gaharu

secara pola tanam campuran. Beberapa keuntungan dari budidaya tanaman gaharu

dengan pola tanam campur adalah (Sofyan dan Imam, 2013):

1. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh

pada kondisi alaminya. Tanaman gaharu yang di tanam secara terbuka membutuhkan

“perlakuan khusus” untuk memperoleh pertumbuhan yang normal seperti: pemupukan

yang tepat ataupun sistem penyiapan lahan yang khusus (jalur dan cemplongan).

2. Meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh (spasial).

3. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama

karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai ekonomi

yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya.

4. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur, maka elemen biaya pembuatan

tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman

gaharu hanya sebatas biaya pengadaan bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan

biaya untuk penyiapan lahan dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman

utama.

5. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur

(lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai

variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi

dampak buruk perubahan pasar.

Gaharu pada umumnya terbentuk pada bagian kayu atau akar setelah mengalami

proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Perubahan

tersebut terjadi akibat respon dari tanaman sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang

Page 10: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

10 Laporan Hasil Penelitian 2015

terinfeksi oleh agen tertentu seperti rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman

(Isnaini, 2004). Sistem pertahanan dalam tanaman tersebut karena adanya zat ekstraktif

atau metabolit

sekunder yang terdapat pada pohon. Konsentrasi metabolit sekunder tersebut bervariasi

antar species, antar pohon dalam species yang sama dan pengaruhnya sangat bervariasi

pada kondisi lingkungan yang berbeda (GIFNFC, 2007; Hills, 1987).

Adanya varietas jamur dari berbagai tempat asal, juga merupakan faktor yang

sangat berpengaruh terhadap gaharu yang dihasilkan. Santoso dkk., (2011) melakukan

kegiatan inokulasi pada tanaman A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita dengan

menggunakan isolate Fusarium spp yang berasal dari berbagai daerah yaitu Gorontalo,

Kalimantan Barat, Jambi dan Padang. Hasil inokulasi pada umur 6 bulan, menunjukkan

bahwa isolate dari Gorontalo mempunyai nilai infeksi yang tertinggi yaitu 4,13 cm

sedangkan yang terendah adalah infeksi isolate dari Jambi yaitu sebesar 1,86cm. Hasil ini

mengindikasikan bahwasanya gaharu yang terbentuk pada tanaman merupakan hasil

interaksi dari tiga factor utama yaitu individu tanaman (jenis dan resistensinya terhadap

infeksi isolate), jenis jamur yang menyerang dan kondisi tapak spesifik (edafis dan

klimatis).Kombinasi yang tepat dari ketiga faktor tersebut di atas, diharapkan dapat

menghasilkan gaharu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.Kombinasi yang

dihasilkan pada tegakan alam tentu saja sangat bervariasi karena merupakan interaksi

ketiga faktor di atas, yang sejak semula tidak ada sentuhan atau campur tangan

manusia.Sehingga gaharu pada tegakan alam sangat bervariasi, baik dari aroma maupun

kualitas yang dihasilkan.

Dengan berkembangnya teknologi inokulasi, manusia ingin menghasilkan gaharu

dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Teknologi tersebut dilakukan dengan

tindakan penyuntikan/ inokulasi dengan jenis isolat tertentu pada jenis-jenis tanaman

penghasil gaharu, dengan harapan dapat menghasilkan gaharu yang mempunyai nilai

pasar dan kualitas yang tinggi dalam waktu yang relatif cepat.Namun, tidak semua

pohon yang dilakukan inokulasi menjadi berhasil dan mengandung gaharu, bahkan

beberapa pohon yang di inokulasi mengalami kematian. Hal ini dimungkinkan karena

sampai dengan saat ini belum tersedia data dan informasi yang akurat dan detail yang

berhubungan dengan kesesuaian (kecocokan) antara jenis tanaman penghasil gaharu

dengan kualitas tempat tumbuh dan inokulan yang digunakan.

Produksi gaharu Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dan

diimbangi dengan peningkatan kuota produksi di perdagangan Internasional. Siran

(2010) mengemukakan bahwa untuk jenis A. malaccensis, pada tahun 2007 Indonesia

bisa merealisasikan produksi sebesar 79% dari kuota sebesar 30.000 ton dan realisasinya

Page 11: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

11 Laporan Hasil Penelitian 2015

meningkat menjadi 100% dengan kuota yang sama pada tahun 2008. Sedangkan pada

tahun 2009 terjadi peningkatan kuota sebesar 173.250 ton dan terealisasi sebesar 43%

(Siran, 2010). Nilai ekspor gaharu Indonesia pada tahun 2013 sebesar 758 ton (Sukoco,

2014). Data dan informasi ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi

pengusahaan gaharu untuk dapat memenuhi kuota produksi yang ada.

Upaya pemenuhan kuota perdagangan gaharu relative lebih cepat terpenuhi

melalui produksi gaharu yang dibentuk oleh proses inokulasi. Selama periode 2-3 tahun

setelah inokulasi, gaharu dapat dipanen dengan kuantitas yang lebih banyak bila

dibandingkan dengan kuantitas gaharu alam. Proses pemanenan gaharu tidaklah

mengalami kesulitan yang berarti. Permasalahan mulai muncul berhubungan dengan

perdagangan gaharu.Pasar perdagangan gaharu di tingkat petani masih “tertutup”.Harga

perdagangan gaharu per kg di tingkat internasional mempunyai harga yang sangat tinggi

berkisar antara 1 juta sampai dengan puluhan juta rupiah tergantung dari kualitas mutu

gaharu.Pada tingkatan petani, harga gaharu biasanya relative rendah.Pasar yang

tertutup menyebabkan petani tidak bisa menjual produk gaharunya secara langsung

pada pembeli utama, sehingga harga di tingkat petani sangat tergantung pada harga

yang di tawarkan oleh pengepul yang biasanya mempunyai rantai pemasaran yang

panjang.

Sampai dengan saat ini penentuan harga produk gaharu bersifat subyektif.

Pedagang yang membeli produk gaharu menentukan harga berdasarkan dua komponen

utama yaitu berdasarkan warna dan kandungan “wangi” gaharu yang biasanya di uji

cobakan dengan membakar sedikit gaharu dan mencium harum “wangi” gaharu yang

ada. Pada prinsipnya semakin hitam warna gaharu dan semakin harum baunya, maka

gaharu tersebut semakin.Standart warna dan harum tersebut sangat bersifat subyektif

karena indikator “warna” dan “”wangi” akan berbeda bagi setiap orang dan secara

otomatis hal ini akan bisa dipermainkan oleh pembeli. Identifikasi kandungan “wangi”

gaharu berhubungan erat dengan komponen kimiawi yang terdapat di dalamnya. Adanya

senyawa seskuiterpen dan khromon dengan porsi dan karakteristik tertentu pada

masing-masing ke empat mutu gaharu (kacangan A, Teri B, kemedangan A dan

Kemedangan B) berindikasi dapat menjelaskan pembagian mutu gaharu tersebut mulai

dari terbaik hingga terendah (Waluyo dan Anwar, 2012). Pengetahuan identifikasi

senyawa kimiawi aktif dalam hubungannya dengan produk gaharu yang bisa dihasilkan

pada suatu tempat, pada suatu jenis tanaman dan inokulan tertentu dengan kondisi

kualitas tempat tumbuh yang spesifik sangatlah penting sebagai tolok ukur produksi dan

identifikasi kualitas yang berdampak pada penentuan harga yang “adil” sesuai dengan

kualitas “wangi” yang sesungguhnya.

Page 12: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

12 Laporan Hasil Penelitian 2015

III. METODOLOGI PENELITIAN

Kegiatan penelitian pada tahun 2015 dilakukan dengan metode survey dan

eksperimental dalam bentuk pembuatan petak ukur dan perancangan percobaan.Studi

persyaratan tumbuh jenis tanaman penghasil gaharudilakukan secara langsung di

lapangan dan secara tidak langsung dengan mengumpulkan data sekunder. Parameter

kualitas tapak (tempat tumbuh) yang diukur/diamati terdiri dari 21 karakteristik tapak

yang dikelompokkan dalam 9 kualitas tapak (CSR dan FAO, 1983) seperti disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas dan karakteristik tapak untuk studi persyaratan tempat tumbuh

tanaman penghasil gaharu

Kualitas Tapak Karakteristik Tapak Cara Mendapatkan

Data 1 2 3

1. Drainase (w) - Kondisi Drainase Penilaian

2. Retensi Hara (a) - KTK subsoil (me/100 g) Analisa Laboratorium

- pH permukaan Analisa Laboratorium

- Kejenuhan Al (%) Analisa Laboratorium

- Kedalaman Sulfidik (cm) Pengukuran Lapangan

3. Media Perakaran (s) - Tekstur (pasir, debu, liat) Analisa Laboratorium

- Lereng (%) Pengukuran Lapangan

- Batuan Permukaan (%) Penilaian Lapangan

- Batuan Singkapan (%) Penilaian Lapangan

4. Kedalaman Tanah (sd)

- Kedalaman Efektif (cm) Pengukuran Lapangan

5. Ketersediaan Air - Bulan kering (CH<75 mm) Data Sekunder

- Curah Hujan Tahunan (mm) Data Sekunder

- Temperatur Tahunan rata-rata

Data Sekunder

- Bahaya Banjir Penilaian Lapangan

6. Erosi (e) - Tingkat Bahaya Erosi Penilaian Lapangan

7. Hara Tersedia (n) - N-total (%) Analisa Laboratorium

- P-tersedia (ppm) Analisa Laboratorium

- K-tersedia 9me/100 g) Analisa Laboratorium

8.Kemudahan

Pengolahan (p)

- Tekstur Penilaian Lapangan

- Struktur Penilaian Lapangan

- Konsistensi Penilaian Lapangan

Studi sebaran dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder

yang terkait dengan sebaran alami jenis tersebut atau pada tegakan tanaman penghasil

gaharu yang telah dibudidayakan oleh masyarakat/ perusahaan.Studi sebaran populasi

meliputi pemetaan lokasi sebaran, dan pengukuran serta pengamatan kuantitatif dan

Page 13: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

13 Laporan Hasil Penelitian 2015

kualitatif tegakan. Selain data tersebut di atas, juga dikumpulkan informasi dari

masyarakat lokal yang terkait dengan status pengelolaan dan pemanfaatan jenis tanaman

penghasil gaharu. Pengukuran data kuantitatif tegakan di lapangan disesuaikan dengan

ukuran populasi, jika ukurannya cukup besar disampling dengan intensitas sampling

sebesar 1 – 10 %.

Pengambilan sampel/contoh tanah dilakukan pada lokasi pengambilan data primer

tanaman penghasil gaharu. Contoh tanah diambil dengan melakukan pengeboran yang

terbagi dalam 3 tingkatan kedalaman yaitu 0-20 cm, 20-40 cm. Masing-masing contoh

tanah dimasukkan dalam kantong plastik berlabel untuk selanjutnya dilakukan analisa

kimiawi tanah. Analisis kimia tanah dilakukan berdasarkan masing-masing populasi untuk

mendapatkan data-data kimiawi tanah seperti kandungan pH tanah, C-organik, N-total, P-

Bray, K-dd, Na, Ca, Mg, KTK, Al-dd, H-dd. Bilamana dalam satu populasi terdapat lebih

dari satu lokasi maka sampel tanah yang ada dilakukan pencampuran terlebih dahulu

(komposit).

Data dan informasi letak geografis populasi tanaman penghasil gaharu, data dan

informasi ekologi dan hasil analisis kimiawi tanah dilakukan analisis secara deskriptif

untuk menentukan kualitas tempat tumbuh dari tanaman penghasil gaharu. Persebaran

populasi tanaman penghasil gaharu nantinya di gunakan sebagai dasar dalam pembuatan

peta persebaran dan kualitas tempat tumbuh tanaman penghasil gaharu.

Populasi/ tegakan tanaman penghasil gaharu yang ada di lapangan, sekaligus

dilakukan pemilihan dan penandaan pohon induk. Pohon induk dipilih dengan beberapa

kriteria yaitu : pertumbuhan pohon lebih baik dari rerata populasi (tinggi dan diameter),

bebas dari hama penyakit tanaman, arsitektur pohon bagus (silindritisitas batang,

proporsi tajuk), kemampuan tanaman untuk berbunga, berbuah serta potensi anakan

alam. Pohon induk terpilih diberi label/ tanda dengan kodefikasi tertentu dan dilakukan

pemetaan untuk memudahkan dalam pelacakan lokasi tanaman.

Koleksi materi perbanyakan (benih atau anakan alam) dilakukan pada pohon induk

terpilih secara terpisah dengan masing-masing masih tetap mempunyai identitas dari

pohon induknya. Koleksi bahan perbanyakan (biji ataupun anakan alam) digunakan

sebagai materi pembibitan dan juga di gunakan sebagai materi untuk pembangunan

demplot pada tahun berikutnya.

Penelitian pertumbuhan tanaman gaharu dilakukan membuat petak ukur

permanen (PUP) pada tanaman gaharu budidaya yang dikembangkan oleh masyarakat

baik yang dikembangkan dalam pola monokultur ataupun yang dikembangkan dengan

berbagai pola tanam campuran. Masing-masing petak ukur dilakukan pengukuran dimensi

tanaman penghasil gaharu meliputi diameter setinggi dada (dbh), tinggi total dan lebar

Page 14: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

14 Laporan Hasil Penelitian 2015

tajuk. Masing-masing individu tanaman dalam suatu lokasi dilakukan pemetaan pohon

(peta pohon) dan pola tanamnya.Pengamatan dan pengukuran petak ukur permanen ini

dilakukan secara periodic satu tahun sekali untuk mengetahui riap tahunan (CAI atau

MAI).

Secara umum penelitian analisis sosial ekonomi untuk karakteristik pemasaran dan

sosial budaya gaharu menggunakan metode survei dimana data primer maupun data

sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi lapang dan teknik

wawancara. Teknik observasi lapang dilakukan guna mendapatkan informasi awal pada

lokasi yang akan dijadikan areal penelitian, dan wawancara dilakukan untuk menggali

informasi sedalam mungkin terhadap masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan

pembudidayaan gaharu dan pihak terkait lainnya dengan menggunakan kuesioner

terstruktur dan semi terstruktur.

Identifikasi pelaku pemasaran dilakukan untuk mengetahui tata niaga pemasaran

gaharu yang hingga saat ini terkesan tertutup. Metode yang digunakan adalah metode

bola salju (snowball sampling), yaitu metode dimana tokoh kunci terpilih akan membawa

peneliti pada tokoh-tokoh kunci selanjutnya. Snowball sampling digunakan karena objek

penelitian tergolong langka dan umumnya bersifat berkelompok.

Page 15: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

15 Laporan Hasil Penelitian 2015

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Sebaran dan Potensi Tanaman Penghasil gaharu

Pulau Sumatera dan Bangka Belitung merupakan salah satu pulau sebagai tempat

habitat alami tanaman penghasil gaharu.Identifikasi sebaran dan populasi tanaman

penghasil gaharu dilakukan di beberapa tempat yaitu di Propinsi Sumatera Selatan yaitu

di Kabupaten Lahat, Musi Banyuasin, Banyuasin, Kota Palembang, Musi Rawas dan Musi

Rawas Utara; sedangkan identifikasi sebaran dan populasi tanaman penghasil gaharu

yang ada di Propinsi Bangka Belitung dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah.

Populasi tanaman penghasil gaharu yang terdapat di wilayah Sumatera Selatan

umumnya merupakan tanaman penghasil gaharu alami yang banyak tumbuh di lahan

hutan sekunder ataupun pada lahan-lahan tanaman karet tua.Tanaman penghasil gaharu

tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan daerah dataran tinggi, kemiringan

lahan yang datar sampai topografi yang curam dan bergelombang, serta pada berbagai

tipologi tanah.Hasil ini memberikan gambaran bahwa tanaman penghasil gaharu

mempunyai penyebaran yang luas dalam pengertian dapat tumbuh baik pada berbagai

kondisi lahan/tapak dan lingkungan. Bilamana mempunyai persebaran yang luas, maka

bisa diyakinkan tanaman penghasil gaharu mempunyai variasi genetik yang besar

pula.Persebaran tanaman penghasil gaharu yang luas juga memberikan dampak positif

dan menunjukkan bahwa tanaman penghasil gaharu dapat dapat dikembangkan pada

berbagai walayah yang sangat luas.

Masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya mengenal tanaman gaharu sebagai

jenis tanaman yang mampu untuk menghasilkan “kayu gubal” yang beraroma

wangi.Namun, masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa tanaman gaharu salah

satunya bisa menghasilkan “wangi” gaharu dengan perlakuan inokulasi. Potensi alami

tanaman gaharu yang ada di lahan hutan sekunder ataupun kebun karet tua hanya

sebagai asset yang tidak termanfaatkan, menunggu bilamana ada pemburu gaharu alami

ataupun menunggu dana untuk dilakukan perombakan lahan sebagai lahan perkebunan.

Namun, di beberapa tempat (Kabupaten Musi Banyuasin) juga terdapat beberapa pemilik

tanaman gaharu alami yang mengetahui bahwasanya aroma wangi bisa terbentuk dengan

adanya penyuntikan dan berharap ada “pemodal” yang bisa melakukan inokulasi.

Sebagian besar masyarakat mempunyai pemikiran bahwa untuk melakukan inokulasi

harus mempunyai modal yang tinggi untuk pembelian inokulan dan proses inokulasi di

lapangan.

Page 16: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

16 Laporan Hasil Penelitian 2015

Pengelolaan tanaman penghasil gaharu yang intensif sudah mulai dilakukan oleh

masyarakat di Kabupaten Musi Rawas dan Musi Rawas Utara.Masyarakat sudah mulai

melakukan inokulasi pada pohon-pohon gaharu alam dengan menggunakan inokulan

yang dikerjasamakan/ kemitaraan.Selain itu, masyarakat sudah mulai mengembangkan

tanaman penghasil gaharu dalam bentuk budidaya yang dikembangkan di antara

tanaman perkebunan karet.Pola budidaya seperti ini mempunyai perbedaan waktu tanam

dan terdapat “fase penantian tanam” untuk tanaman penghasil gaharu.Tahap awal

tanaman karet di tanam terlebih dahulu, ketika tanaman karet berumur 3-4 tahun dan

kondisi tajuk sudah mulai menutup, dilakukan penanaman tanaman gaharu di antara

tanaman karet (titik diagonal).Budidaya tanaman gaharu di antara tanaman karet (pola

tanam campur) mempunyai beberapa keuntungan yaitu:

1. Pertumbuhan tanaman gaharu mempunyai sifat “toleran” atau butuh naungan.

Sumarna (2008) dalam Santoso dkk., (2012) mengemukakan bahwa tanaman

penghasil gaharu (A. malaccensis dan A. microcarpa) tumbuh baik pada suhu 20-

27oC, kelembaban nisbi 78-85% dan intensitas cahaya 56-75%. Penanaman

gaharu di sela sela tanaman karet mampu memberikan kecukupan naungan yang

dibutuhkan oleh tanaman gaharu untuk tumbuh dan berkembang optimal.

2. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal, batang pokok tunggal, bebas cabang

tinggi sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh pada kondisi alaminya.

3. Meningkatkan produktifitas lahan melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh

(spasial).

4. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama

karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai

ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya.

5. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur (bukan tanaman pokok), maka

elemen biaya pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan

dalam budidaya tanaman gaharu dengan karet hanya sebatas biaya pengadaan

bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan dan

pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama.

6. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur

(lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai

variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi

antisipasi dampak buruk perubahan pasar.

Page 17: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

17 Laporan Hasil Penelitian 2015

a.

b.

c.

Gambar 1. Tanaman gaharu yang terdapat di Musi Rawas (a), Lahat (b) dan Musi Banyuasin (c) Propinsi Sumatera Selatan

Pola tanam gaharu dengan sistem campur ini juga sudah mulai banyak dilakukan

pada beberapa daerah lain dan dengan jenis tanaman penghasil gaharu yang berbeda.

Pola tanam campur antara tanaman karet dengan A. malaccensis terdapat di Kabupaten

Banyuasin-Sumatera Selatan,Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010), campuran

Aquilaria spp dengan tanaman karet atau kakao terdapat di Propinsi Bengkulu

(Wiriadinata dkk., 2010), sedangkan campuran antara tanaman karet dengan A.

microcarpa terdapat di Sarolangun-Jambi (Wiriadinata, 2004 dalam Wiriadinata dkk.,

2010). Tumpangsari antara Gyrinops versteegii dengan coklat, jagung dan singkong

terdapat di Rarung-Nusa Tenggara Barat (Surata dan Soenarno, 2011). Campuran antara

tanaman sungkai dengan gaharu di Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010).

Penanaman A. malaccensis dengan kelapa sawit terdapat di Kabupaten Rokan Hulu-Riau

(Suhartati dan Wahyudi, 2011). Campuran antara gaharu dengan vanili terdapat di Luwu

Utara-Sulawesi Selatan (Subehan dkk., 2005). Pengelolaan tanaman gaharu pada lahan

hutan yang didominasi oleh tanaman pohon (meranti, mahoni, pulai, khaya) dan tanaman

buah (melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka) terdapat di KHDTK Carita

Banten, Jawa Barat (Suharti, 2010).

Budidaya tanaman penghasil gaharu yang terdapat di beberapa daerah di Pulau

Bangka mempunyai pola yang berbeda dengan budidaya yang dilakukan di pulau

Sumatera.Budidaya tanaman penghasil gaharu mempunyai karakteristik yang spesifik bila

dibandingkan dengan daerah lainnya.Kondisi iklim Pulau Bangka yang panas, jenis tanah

yang mengandung banyak pasir atau bahkan pasir murni pada areal bekas tambang

timah, namun masih mampu untuk membuat budidaya tanaman penghasil gaharu yang

cukup luas.

Page 18: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

18 Laporan Hasil Penelitian 2015

Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malacensis maupun A microcarpa)dapat

ditanam dan tumbuh baik pada areal terbuka, dengan perkataan lain pengembangan

budidaya tanaman gaharu dilakukan dengan tanpa naungan.Pola budidaya pada lahan

terbuka (tanpa naungan) yang diterapkan oleh masyarakat bangka terbentuk dalam pola

tanaman monokultur murni atau berupa tanaman campuran. Pengembangan secara

monokultur mempunyai teknik penanaman yang sama seperti penanaman tanaman keras

lainnya (jati, mahoni, sungkai dsb) dan tidak terdapat suatu pengelolaan yang khusus.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanya sebatas pada kegiatan pengendalian gulma

dan pemupukan rutin.

Pengembangan pola tanam campur yang terbuka merupakan pola budidaya lahan

terbuka yang lebih optimal bila dibandingkan dengan pola monokultur terbuka.Seperti kita

ketahui, bahwasanya sebagian besar masyarakat di pulau Bangka aktif mengembangkan

tanaman lada (Piper nigrum) sebagai komoditi utama perkebunan.Pengembangan

tanaman lada menjadi semakin aktif sejak terjadinya kemorosotan harga tanaman

karet.Tanaman gaharu umumnya di tanam sebagai batas kepemilikan lahan lada atau

ditanam pada jalur tanaman lada dengan jarak tanam yang relatif lebar. Mengingat

tanaman lada bukanlah jenis tanaman yang rimbun, maka tanaman gaharu yang

dikembangkan secara otomatis akan mendapatkan cahaya matahari penuh dan juga

mendapatkan tambahan nutrisi “gratis” dari sekitar tanaman lada yang intensif

mendapatkan pemupukan yang dilakukan oleh petani.

a.

b.

c.

Gambar 2.tanam gaharu campuran ternaungi di Kabupaten Musi Rawas (a), pola tanam campur terbuka (b) dan pola tanam monokultur terbuka (c) di Pulau Bangka

Page 19: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

19 Laporan Hasil Penelitian 2015

Satu hal yang sangat menarik untuk dicermati dalam hubungannya dengan

pertumbuhan tanaman gaharu pada tempat terbuka dan tempat yang ternaungi adalah

pada kondisi batang utama gaharu.Penanaman tanaman penghasil gaharu pada tempat

ternaungi umumnya membentuk batang tunggal (monopodial).Naungan memberikan

pengaruh pengaktifan pertumbuhan meninggi untuk mendapatkan sinar, pertunasan

cabang yang kurang aktif dan mengoptimalkan potensi peluruhan cabang (pruning) alami

yang tinggi, sehingga batang relatif lebih lurus dan bebas cabang tinggi.Penanaman

tanaman penghasil gaharu pada tempat terbuka umumnya akan membentuk batang

ganda (lebih dari satu batang utama) dengan porsi diameter masing-masing batang yang

relatif sama.Batang tanaman penghasil gaharu akan menerima cahaya matahari penuh,

pertunasan batang akan aktif dan membentuk batang utama baru. Batang ganda yang

terbentuk umumnya berkisar antara 3-6 batang utama.

Pertumbuhan tanaman gaharu dengan jumlah batang pokok yang lebih dari satu

sebenarnya mempunyai beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan tanaman gaharu

yang hanya mempunyai satu batang pokok. Tanaman gaharu batang ganda umumnya

mempunyai jumlah batang 3-6 batang dengan rerata pertumbuhan diameter pohon yang

lebih besar bila dibandingkan dengan diameter pohon yang mempunyai batang pokok

tunggal/ individual. Penampilan batang ganda dengan jumlah 3 batang mempunyai

ukuran diameter yang relatif sama, namun bilamana jumlah batang lebih dari 3 umumnya

batang ke 4 dan 5 mempunyai ukuran diameter yang lebih kecil (Sofyan dkk., 2010).

Semakin besar diameter batang pokok, maka luas bidang dasar batang yang bisa di

inokulasi juga semakin besar, sehingga nantinya hasil yang di dapatkan juga semakin

besar.Namun, untuk memperoleh pertumbuhan tanaman gaharu yang optimal sesuai

dengan tujuan penanaman.sebaiknya jumlah batang ganda tetap harus dikontrol (dijaga),

misalnya dengan membatasi jumlah batang pokok agar tidak terlalu banyak dengan

menyeleksi atau menyisakan 2-3 batang pokok saja.

Page 20: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

20 Laporan Hasil Penelitian 2015

a.

b.

c.

Gambar 3. Penampilan batang utama tunggal tanaman penghasil gaharu pada lahan ternaungi (a), batang ganda saat umur 10 bulan dan 8 tahun pada lahan terbuka (b,c)

Keuntungan lain dari adanya batang ganda ini adalah berhubungan dengan

pengaturan proses produksi dan memperkecil tingkat resiko kegagalan inokulasi. Proses

inokulasi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya bilamana terdapat batang pokok

berjumlah 3 maka inokulasi dapat dilakukan dengan 3 tahapan waktu yang berbeda atau

waktu inokulasi yang sama, namun waktu pemanenan yang dapat dilakukan berbeda-

beda. Pemanenan pada waktu yang berbeda-beda menjamin kontinuitas produksi

tanaman gaharu yang di dapatkan dan berdampak pada pendapatan yang berkelanjutan.

Adanya waktu inokulasi dan kegiatan pemanenan yang berbeda-beda ini secara tidak

langsung akan memperkecil resiko tingkat kegagalan. Bilamana proses inokulasi

mengalami kegagalan pada suatu batang, maka masih terdapat batang lain dalam pohon

yang sama yang bisa diinokulasi sebagai pengganti inokulasi pada batang yang gagal

tersebut. Selain itu, waktu pemanenan yang berbeda juga mempengaruhi jaminan

kualitas dari hasil yang didapatkan, pemanenan dalam jangka waktu panjang umumnya

akan mempunyai kualitas hasil yang lebih baik bla dibandingkan dengan pemanenan

dalam jangka waktu pendek. Dengan sistem seperti ini, petani bisa membuat rencana

produksi/ pemanenan berdasarkan jaminan kualitas hasil dan nilai ekonomi (harga jual)

gaharu sesuai kebutuhan.

2. Aspek Silvikultur dan Pemuliaan

Budidaya tanaman merupakan salah satu pembuatan tanaman dengan berbagai

input (perlakuan/treatment) dalam usaha untuk memaksimalkan produksi (produktifitas).

Budidaya tanaman gaharu dalam konteks peningkatan produktifitas bertujuan untuk tidak

hanya sekedar mengembangbiakkan jenis tanaman penghasil gaharu, namun tanaman

Page 21: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

21 Laporan Hasil Penelitian 2015

yang telah dikembangkan tersebut juga harus mampu menghasilkan gaharu dengan

kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Peningkatan produktifitas tanaman dapat dilakukan

dengan melakukan tiga aspek pengelolaan yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik

silvikultur dan perlindungan tanaman.

Penggunaan benih unggul merupakan salah satu aspek penting dalam upaya

peningkatan produktifitas tanaman, karena memang sebagian besar kinerja pertumbuhan

tanaman dibentuk dan dibangun dari bibit yang berasal dari benih.Benih yang bergenetik

unggul dapat mewariskan sifat-sifat keunggulannya kepada keturunannya.Sampai dengan

saat ini, belum terdapat sumber benih yang menghasilkan benih unggul dalam pengertian

unggul secara kuantitas dan kualitas genetik dari jenis-jenis tanaman penghasil gaharu.

Sumber benih dapat diartikan sebagai suatu tegakan hutan baik hutan alam

maupun hutan tanaman yang ditunjuk atau dibangun khusus untuk dikelola untuk

memproduksi benih bermutu (Badan Standardisasi Nasional, 2005). Dalam definisi sumber

benih tersebut terdapat beberapa elemen yang menjadi komponen dalam suatu sumber

benih yaitu:

a. Suatu sumber benih merupakan “tegakan” dalam pengertian mempunyai lebih dari

satu pohon dan tidak sendiri (soliter) serta terdapat interaksi antar pohon. Sumber

benih dipersyaratkan berupa tegakan dengan maksud agar benih yang dihasilkan

merupakan hasil dari penyerbukan silang dan bukan penyerbukan sendiri

(inbreeding).

b. Tegakan dapat berupa hutan alam ataupun hutan tanaman yang ditunjuk atau

dikonversi menjadi sumber benih; ataupun berupa hutan tanaman yang memang dari

awal perencanaan dibangun sebagai sumber benih.

c. Terdapat pengelolaan dalam tegakan tersebut seperti pemeliharaan, perlindungan

hama penyakit, pemupukan dan lain sebagainya.

d. Tegakan tersebut mampu menghasilkan (memproduksi) benih yang bermutu, dimana

mutu benih secara genetik akan berbeda pada setiap masing-masing sumber benih.

Berdasarkan Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas

Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan,

terdapat 7 kelas sumber benih yang ada di Indonesia yang dibagi berdasarkan kualitas

genetik dari benih yang dihasilkannya. Macam kelas sumber benih tersebut adalah: (1)

Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi (TBTs), (3) Area

Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenan (TBP), (5) Kebun Benih Semai (KBS),

(6) Kebun Benih Klon (KBK), dan (7) Kebun Pangkas. Sumber benih pada kelas 1 dan 2

dilakukan melalui penunjukan, kelas 3 dilakukan melalui penunjukan/ konversi dari TBT/

TBTs dan atau pembangunan, sedangkan sumber benih dari kelas 4-7 dilakukan melalui

Page 22: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

22 Laporan Hasil Penelitian 2015

pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemuliaan pohon. Semakin tinggi kelas

sumber benihnya, maka kualitas genetik dari benih yang dihasilkan juga semakin baik,

begitu juga sebaliknya.

Pembangunan tanaman gaharu (budidaya gaharu) yang dikembangkan oleh

masyarakat pada dasarnya menggunakan materi yang berasal dari beberapa sumber

yaitu: (1) masyarakat mengelola tanaman gaharu yang sudah tumbuh secara alami di

kebunnya, (2) masyarakat menggunakan materi berupa cabutan dari anakan alam yang

banyak terdapat di sekitar tanaman penghasil gaharu, umumnya cabutan berukuran kecil

dan mempunyai daun 4-6 daun, (3) masyarakat menggunakan materi berupa benih yang

dikecambahkan terlebih dahulu dan pada saat sudah mempunyai daun 2-4 dipindahkan

ke dalam polybag. Penggunaan materi berupa cabutan anakan alam merupakan yang

paling banyak di gunakan oleh masyarakat karena memang mudah dalam

pelaksanaannya dan mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan

menggunakan biji yang umumnya cenderung tidak tahan disimpan, sehingga harus

segera di kecambahkan.

Sampai dengan saat ini, penggunaan materi benih atau anakan alam yang

digunakan untuk pembuatan tanaman penghasil gaharu masih menggunakan benih/

anakan alam secara asalan. Hal ini dilakukan karena memang sampai dengan saat ini

sumber benih untuk jenis tanaman penghasil gaharu yang mempunyai kualitas genetik

unggul memang belum tersedia. Data dan informasi menyebutkan bahwa sumber benih

untuk jenis tanaman penghasil gaharu di indonesia yang telah disertifikasi oleh Balai

Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) adalah sebanyak 21 sumber benih (SIM-RHL, 2015).

Rekapitulasi sumber benih dari beberapa jenis tanaman penghasil gaharu selengkapnya

disajkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Sumber Benih Tanaman Penghasil Gaharu Di Indonesia

No No.

Sumber Benih Lokasi Jenis

Luas (Ha)

Kelas

1. 12.13.001 BPTH Sumatera

Kel.Pekan Bahorok, Kec. Bahorok, Kab. Langkat, SUMUT

Aquilaria malaccensis

0.80

TBT

2. 12.13.004 BPTH Sumatera

Desa Timbang Jaya, Kec. Bahorok, Kab. Langkat, SUMUT

A. malaccensis

0.75 TBT

3. 13.09.013 BPTH Sumatera

Desa Rumbai, Kec. Mapatunggal, Kab. Pasaman, SUMBAR

A. malaccensis 2.00 TBT

4. 15.02.001

BPTH Sumatera

Desa Pulau Aro, Kec. Tabir Ulu, Kab.

Merangin, JAMBI

A. malaccensis 4.00 TBT

5. 17.04.005 BPTH Sumatera

Desa Jembatan II, Kec. Kaur Selatan, Kab. Kaur, BENGKULU

A. malaccensis 1.50 TBT

6. 18.04.001 BPTH Sumatera

Desa Bumi Jawa, Kec. Batanghari Nuban, Kab. Lampung Timur, LAMPUNG

A. malaccensis 0.25 TBT

7. 61.03.001 BPTH Kalimantan

DESA: Desa Sumsum, Kec Mandor, Kab. Landak, KALBAR

A. malaccensis 3.00 TBT

8. 61.06.016 Desa Nanga Tayap, Kec. Nanga Tayap, A. malaccensis 2.00 TBT

Page 23: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

23 Laporan Hasil Penelitian 2015

Keterangan: TBT= Tegakan Benih Teridentifikasi, Sumber: SIM-RHL (2015)

Sumber benih tanaman penghasil gaharu (Tabel 2.) yang telah disertifikasi oleh

Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) untuk jenis A. malaccensis dan A. filaria

semuanya berada pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT).Sumber benih dalam

kelas TBT merupakan sumber benih yang dibentuk berdasarkan penunjukan dari tegakan

yang sudah ada dengan beberapa kriteria/ indikator sebagai dasar

penunjukan(Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut

P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan), yaitu: 1)

Tegakan yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman yang tidak direncanakan dari

awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, 2) Asal-usul benihnya tidak diketahui, 3)

Terdapat minimal 25 pohon induk, 4) Kualitas tegakan rata-rata, 5) tidak memerlukan

jalur isolasi, 6) Tidak memerlukan penjarangan.Kriteria dan indikator penunjukan dari

sumber benih kelas TBT tersebut mengindikasikan bahwasanya sumber benih kelas TBT

ditunjuk berdasarkan kriteria dasar adanya tegakan yang bisa menghasikan benih dan

belum mempertimbangkan aspek kualitas genetik dari benih yang dihasilkan.

Pembangunan sumber benih jenis tanaman penghasil gaharu memegang peranan

yang sangat penting sebagai daya dukung pembangunan tanaman gaharu. Beberapa nilai

penting dari pembangunan sumber benih gaharu ini adalah sebagai berikut:

BPTH Kalimantan Kab. Ketapang, KALBAR

9. 62.04.054 BPTH Kalimantan

Desa Sarimbuah, Kec. Gunung Bintang Awai, Kab. Pontianak, KALTENG

A. malaccensis 15.00

TBT

10. 63.02.022 BPTH Kalimantan

Desa Gedambaan, Kec. Pulau Laut Utara, Kab. Kota Baru, KALSEL

A. malaccensis 2.00 TBT

11. 63.03.042

BPTH Kalimantan

Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab.

Kapuas, KALSEL

A. malaccensis 1.83 TBT

12. 63.06.050

BPTH Kalimantan

Desa Jambu Hulu, Kec. padang Batung,

Kab. Hulu Sungai Selatan, KALSEL

A. malaccensis 2.00 TBT

13. 63.06.055 BPTH Kalimantan

Desa Gumbil, Kec. Telaga langsat, Kab. Hulu Sungai Selatan, KALSEL

A. malaccensis 1.00 TBT

14. 63.07.001 BPTH Kalimantan

Desa Setiyap, Kec. Pendawan, Kab. Hulu Sungai Tengah, KALSEL

A. malaccensis 0.13 TBT

15. 63.07.002 BPTH Kalimantan

Desa Murung A, Kec. Batu Benawa, Kab. Hulu Sungai Tengah, KALSEL

A. malaccensis 0.10 TBT

16. 63.09.001

BPTH Kalimantan

Desa Mangkupum, Kec. Muara Uya,

Kab. Tabalong, KALSEL

A. malaccensis 4.00 TBT

17. 63.10.042

BPTH Kalimantan

Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab.

Balangan, KALSEL

A. malaccensis 1.83 TBT

18. 64.01.050 BPTH Kalimantan

Desa Tampakan, Kec. Batu Engau, Kab. Pasir, KALTIM

A. malaccensis 1.00 TBT

19. 64.03.062 BPTH Kalimantan

Desa Bukit Merdeka, Kec. Samboja, Kab. Kutai Kertanegara, KALTIM

A. malaccensis 3.00 TBT

20. 81.03.006 BPTH Maluku

Papua

Desa. Laimu, Kec. Teluti, Kab. Maluku Tengah, MALUKU

A. filaria

0.23 TBT

21. 91.06.004 BPTH Maluku Papua

Desa Warsa, Kec. Biak Utara, Kab. Biak Numfor, PAPUA

A. filaria

1.00 TBT

Page 24: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

24 Laporan Hasil Penelitian 2015

a. Keberlanjutan regenerasi tanaman. Gaharu mempunyai nilai jual yang sangat

tinggi dan prospek yang menguntungkan, sehingga setiap

orang/lembaga/perusahaan mempunyai motivasi yang sangat tinggi untuk

memanen gaharu khususnya gaharu yang terdapat di alam. Bilamana hal ini terus

dibiarkan, maka tanaman gaharu akan semakin langka. Keberadaan sumber benih

yang memang dari awal dibangun dan diperuntukkan untuk memproduksi benih

dapat menjamin produksi benih sebagai bahan regenerasi dalam pembangunan

hutan tanaman gaharu.

b. Sebagian besar tanaman gaharu yang ada saat ini sebagian besar berada di

kebun-kebun masyarakat. Keberadaan tanaman gaharu yang terdapat di kebun

masyarakat tersebut sesungguhnya tidak mempunyai kepastian “kehidupan”,

karena bilamana masyarakat membutuhkan produksi gaharu, maka tanaman

tersebut bisa di tebang/ dipanen, sementara pembangunan sumber benih yang

khusus dibangun di lahan pemerintah dapat menjamin keberlanjutan tanaman

gaharu karena “khusus” sebagai produksi sumber benih.

c. Menambah nilai ekonomi tanaman gaharu melalui pengembangan ekonomi bisnis

“perbenihan” dan “pembibitan” dengan jaminan kualitas yang baik.

d. Pembangunan sumber benih dengan kualitas genetik yang lebih baik masih belum

tersedia di Indonesia.

Faktor utama yang sangat penting dalam pembangunan sumber benih adalah

berhubungan dengan teknik pemilihan pohon yang nantinya digunakan sebagai

“indukan”dalam pengambilan benih.Pemilihan pohon induk (mother trees) harus sesuai

dengan tujuan dari pengusahaan tanaman.Sampai dengan saat ini, petunjuk teknis

kriteria untuk pemilihan pohon induk masih banyak yang mengacu pada produksi kayu.

Untuk produksi kayu, pemilihan pohon induk dari suatu populasi harus berdasarkan

kriteria superioritas dari kayu itu sendiri untuk dijadikan sebagai bahan baku kayu

pertukangan seperti mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter yang baik, batang

bebas cabang tinggi, batang lurus dan silindris, tajuk dan percabangan ringan, tidak

terserang hama penyakit, dan sebagainya. Petunjuk teknis pemilihan pohon induk ini

tidak bisa digunakan untuk tanaman yang produk utamanya adalah hasil hutan bukan

kayu (HHBK) seperti pada tanaman penghasil getah, buah, kulit, gubal gaharu, dan

sebagainya; sehingga diperlukan teknik/ metode lain sebagai bahan rujukan untuk

pemilihan pohon induk tanaman HHBK.

Soehartono dan Mardiastuti (1997), telah melakukan ujicoba inokulasi tanaman

gaharu (Aquilaria) di Kalimantan Timur pada beberapa kelas diameter pohon. Hasil

Page 25: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

25 Laporan Hasil Penelitian 2015

pengujian menunjukkan bahwasanya produksi resin gaharu tidak berkorelasi dengan

diameter dan volume pohon. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwasanya ukuran

diameter dan volume pohon tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur (kriteria) produksi

gaharu. Kriteria pemilihan pohon induk untuk jenis tanaman penghasil gaharu bersifat

spesifik dan berbeda dengan kriteria pemilihan pohon induk pada penghasil kayu. Kriteria

pemilihan pohon induk gaharu berhubungan langsung dengan produksi gaharu yang

dihasilkannya, karena memang nantinya pengusahaan tanaman gaharu mempunyai

tujuan utama menghasilkan gaharu sebagai hasil akhir budidaya.Oleh karena itu

pemilihan pohon induk tanaman penghasil gaharu harus memperhatikan “gubal gaharu”

itu sendiri sebagai obyek utama standart pemilihan dengan memperhatikan faktor-faktor

yang menyebabkan/ mempengaruhi produksi gaharu.

Santoso dkk., (2010) dan Oldfield dkk., (1998) mengemukakan bahwa gaharu

merupakan hasil hutan bukan kayu berupa endapan resin yang terakumulasi pada

jaringan kayu sebagai hasil dari reaksi tanaman terhadap proses pelukaan atau adanya

infeksi penyakit yang umumnya disebabkan oleh jamur ataupun jasad renik lainnya.Van

Beekdan Phillips (1999) mengemukakan bahwa gaharu merupakan respon tanaman

terhadap perlukaan, sedangkan infeksi jamurmeningkatkan produksiresinsebagairespon

tanaman terhadappeningkatan kerusakanakibatpertumbuhan jamur.Berdasarkan hal

tersebut, maka terdapat dua hal yang menjadi kunci dalam pembentukan gaharu yaitu

adanya “infeksi” baik oleh jamur atau organisme ataupun teknik lainnya dan adanya

“respon/ reaksi”tanaman dalam bentuk resin gaharu sebagai bentuk pertahanan akibat

adanya infeksi (Oldfield et al. 1998; Van Beek dan Phillips, 1999). Infeksi pada tanaman

dapat dilakukan melalui pelukaan yang dianggap merupakan pengaruh faktor luar

(lingkungan) dan adanya respon/ reaksi dari pelukaan tersebut yang berhubungan dengan

resistensi (ketahanan) dari dalam tanaman itu sendiri terhadap infeksi yang terjadi.

Melihat dari proses terbentuknya gaharu, peningkatan kualitas pada “diri” tanaman

yang dapat dilakukan adalah dengan memilih dan menggunakan jenis-jenis tanaman

gaharu alam yang sebenarnya secara alamiah sudah mampu menghasilkan gaharu

(proses infeksi alamiah) dan diharapkan sifat “reaksi alami” dalam menghasilkan gaharu

ini diturunkan pada keturunannya. Mengingat gaharu merupakan hasil reaksi dari adanya

infeksi dan hal ini berhubungan dengan resistensi dan reaksi tanaman terhadap penyakit,

maka langkah awal yang paling tepat untuk dilakukan adalah mengidentifikasi pohon-

pohon induk yang secara alamiah dapat dan telah menghasilkan gubal gaharu.

Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan resistensinya terhadap hama dan

penyakit sebenarnya telah dilaksanakan dalam pembangunan tanaman pada beberapa

jenis tanaman. Pada tanaman penghasil kayu pertukangan, keberadaan hama penyakit

Page 26: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

26 Laporan Hasil Penelitian 2015

tanaman merupakan ancaman bagi produksi kayu. Tanaman Ash (Fraxinus excelsior)

terserang oleh pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus, dimana hanya 1% tanaman

mempunyai tingkat kerusakan sebesar < dari 10% (Kjaer dkk., 2011). Adanya variasi

genetik dari resistensi terhadap serangan penyakit juga terdapat pada beberapa jenis

tanaman kehutanan lainnya, seperti pada tanaman Eucalyptus globules (Keane dkk.,

2000; Burdon, 2001). Upaya tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah sesegera mungkin

mengupayakan konservasiuntuk jenis-jenis yang sehat sebagai bahan konservasi genetik,

produksi benih, ataupun sebagai bahan utama program breeding resistensi penyakit

(Stener, 2012).

Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan ketahanan terhadap penyakit yang

dilakukan pada sebagian besar tanaman produksi kayu, mempunyai strategi yang

berkebalikan dengan pemilihan pohon induk pada tanaman penghasil gaharu. Pada

tanaman gaharu, pemilihan pohon induk didasarkan pada tanaman yang secara alamiah

sudah terserang oleh penyakit (penyebab jamur) dan bereaksi membentuk resin gaharu.

Menurut Novriyanti (2010), mekanisme “pertahanan” tanaman penghasil gaharu terhadap

penyakit ini dibawa oleh faktor genetik dan hal ini berhubungan dengan adanya variasi

dari phytoanticipin. Berdasarkan sifat tersebut (genetik), maka pemilihan pohon induk

tanaman penghasil gaharu utamanya harus didasarkan pada indikator adanya

pembentukan gaharu secara alami.

Identifikasi tanaman penghasil gaharu di alam yang secara alamiah bisa

menghasilkan “gaharu” telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ng et al., (1997)

mengemukakan bahwa pada tanaman A. malaccensis dan A. sinensis yang terdapat di

alam, hanya sekitar 7-10% dari populasi yang ada yang mempunyai kandungan gaharu

akibat terinfeksi oleh jamur. Sedangkan Gibson (1977) dalam Donovan dan Puri (2004)

mengemukakan bahwa hanya sekitar 10% dari tanaman Aquilaria di Indonesia

(Kalimantan) yang mempunyai kandungan gaharu alami. Gianno (1986) dalamLa Frankie

(1994) mengemukakan bahwa hanya 10% dari pohon dewasa yang bisa menghasilkan

gaharu.Hal ini menjadi sangat menarik bahwa walaupun relatif kecil, potensi 7-10%

tersebut sesungguhnya merupakan potensi yang sangat baik untuk dikembangkan

menjadi pohon induk.Hal ini dimungkinkan karena walaupun pohon tersebut tidak

dilakukan inokulasi buatan, namun secara alamiah bisa menghasilkan gaharu secara

alamiah.

Identifikasi pohon induk yang secara alamiah mempunyai kandungan gaharu bisa

dilakukan melalui kombinasi dua cara yaitu identifikasi morfologi tanaman yang

mengandung gaharu dan identifikasi tahap lanjut dengan analisis kandungan kimiawi

resin gaharu. Identifikasi morfologi tanaman yang mengandung gaharu dapat dilakukan

Page 27: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

27 Laporan Hasil Penelitian 2015

dengan melakukan pengamatan pada batang luar tanaman penghasil gaharu. Akter dkk.,

(2013) mengemukakan bahwa tanaman yang telah membentuk gaharu ditunjukkan oleh

adanya batang yang retak dan kulit batang yang mudah untuk dibuka dan dirobek. Hal

yang sama di kemukakan oleh Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I” di Kabupaten Musi

Rawas (Ribut, komunikasi pribadi). Ketua Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I”

merupakan salah satu pekerja pencari gaharu alam yang sudah banyak melakukan

eksplorasi gaharu alam. Menurut Ketua Kelompok Tani, tanaman penghasil gaharu yang

batangnya terdapat resin gaharu biasanya ditandai dengan batang yang retak dan

terdapat semut yang bergerombol di sekitar batang retak tersebut. Anakan hasil dari

pohon induk tersebut bilamana digunakan sebagai tanaman baru, maka tanaman baru

secara alamiah juga akan membentuk gaharu yang sama seperti yang terjadi pada

tanaman induknya. Bukti nyata dari pendapat Ketua Kelompok Tani tersebut adalah

adanya tanaman gaharu berumur 5 tahun yang di tanam di sela-sela kebun karet, saat ini

secara alamiah telah mengandung gaharu yang ditandai adanya retakan dan aroma wangi

gaharu hasil pembakaran bagian batang yang mengalami retakan.Berdasarkan data dan

informasi ini dapat dipastikan bahwasanya: 1. Proses pembentukan gaharu yang terjadi

secara alamiah pada suatu pohon akan diturunkan dari induk kepada keturunannya, 2.

Morofologi batang gaharu yang mempunyai kandungan gaharu alamiah dapat dideteksi

dari adanya retakan/ pembengkakan kulit/ kayu dan umumnya pada retakan tersebut

dihuni oleh gerombolan semut, 3. Identifikasi dan deteksi tahap lanjut dilakukan dengan

pengecekan bagian batang yang terdeteksi mengandung gaharu secara alamiah, yaitu

mengambil bagian kayu di bawah tanda retakan dan dilakukan pembakaran untuk

mendeteksi aroma wangi yang sesungguhnya. Ketiga indikator tersebut selanjutnya

dijadikan sebagai panduan dalam identifikasi pohon induk gaharu.

Page 28: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

28 Laporan Hasil Penelitian 2015

a. b.

Gambar 4. Batang Gaharu Yang Retak Sebagai Identifikasi Awal Adanya Gaharu (a), Pengecekan Ada Tidaknya Gaharu Pada Batang Retak (b)

Kegiatan identifikasi dan eksplorasi materi genetik pohon induk tanaman penghasil

gaharu dilakukan di beberapa Kabupaten di Pulau Sumatera yaitu di Kabupaten Musi

Rawas, Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Banyuasin, Banyuasin serta Kabupaten Lahat.

Identifikasi pohon induk tanaman penghasil gaharu yang mampu menghasilkan gaharu

secara alami adalah sebanyak 72 pohon induk yang terdiri dari 8 pohon berasal dari

KabupatenMusi Rawas, 8 pohon induk dari Muratara, 14 pohon induk dari Lahat, 11

pohon induk dari Banyuasin, 6 pohon induk dari Kota Palembang dan 25 pohon induk dari

Musi Banyuasin. Masing-masing pohon induk mempunyai diameter batang yang berbeda-

beda dan berkisar antara 20-35cm. Dimungkinkan pohon induk terpilih mempunyai

diameter yang lebih kecil bila dibandingkan dengan populasinya.Hal ini tidaklah menjadi

masalah, karena memang aspek pemilihan pohon induk tidak mempertimbangkan aspek

pertumbuhan diameter, namun lebh penting pada aspek kemampuan individu untuk

menghasilkan gaharu secara alamiah.

Page 29: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

29 Laporan Hasil Penelitian 2015

a.

b.

c.

d.

Gambar 5. Pohon induk tanaman penghasil gaharu di Kab. Musi Banyuasin (a), pengumpulan

materi genetik (anakan) (b), pengepakan bibit (c), penanaman bibit di polybag

Dari masing-masing pohon induk yang telah teridentifikasi, dilakukan pengambilan

materi genetik dalam bentuk benih (generatif) ataupun dalam bentuk anakan alaminya,

tergantung dari ketersediaan materi yang ada. Mengingat kegiatan identifikasi dan

eksplorasi materi genetik berada pada pertengahan tahun 2015 dan periode pembuahan

tanaman penghasil gaharu terjadi pada awal tahun, maka materi genetik yang di

dapatkan hanya berupa materi anakan alam.Pengambilan materi genetik anakan alam

dilakukan tepat berada di bawah pohon induk yang bersangkutan dan tidak terjadi

tumpang tindih tajuk dari pohon lain yang bisa mengakibatkan “kontaminasi” materi.

Anakan alam yang berada tepat di bawah pohon induk dan masih dalam area luasan

tajuk, maka diyakinkan murni berasal dari pohon induk yang bersangkutan.Hal ini

berhubungan dengan sifat dari buah/benih pohon gaharu yang bersifat “barochory” yaitu

benih yang jatuh ke bawah dan benih tidak terbang seperti yang kebanyakan terjadi pada

jenis tanaman Dipterocarpaceae.

Page 30: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

30 Laporan Hasil Penelitian 2015

Materi genetik berupa anakan alam, dikumpulkan dan diberi tanda identitas/

nomer sesuai dengan identitas/ nomer pohon induknya dan mempunyai identitas/ nomer

yang berbeda dengan pohon induk lainnya.Materi genetik berupa anakan alam yang telah

di dapatkan, kemudian segera dilakukan penanaman pada polybag yang telah

dipersiapkan terlebih dahulu. Penanaman juga tetap mempertahankan identitas/ nomer

pohon induk dengan cara memberikan label nomer pohon induk pada setiap bedeng

polybag.

Materi genetik yang telah terkumpul, nantinya digunakan sebagai bahan

pembuatan demplot tanaman pebghasil gaharu tahun 2016 dengan konsep “progeny

test”. Progeny test (uji keturunan) dimaksudkan untuk menguji nilai genetik induk

berdasarkan penampilan keturunan/ anaknya. Nilai genetik yang dimaksud untuk jenis

tanaman penghasil gaharu adalah nilai (kandungan) gaharu yang terjadi pada

“keturunannya” secara alamiah.Bilamana antar keturunan (pohon iduk) mempunyai

variasi (terdapat variasi genetik) dalam potensi kandungan gaharu alamiah, maka peluang

untuk dilakukan seleksi/ pemilihan pohon terbaik yang mempunyai kualitas dan kuantitas

gaharu yang tinggi akansangat mungkin untuk dilakukan.

3. Aspek Sosial Ekonomi

Kegiatan kajian sosial ekonomi gaharu pada tahun 2015 ini lebih difokuskan pada

aspek pemasaran.Survei penelusuran pemasaran gaharu dilakukan dalam rangka

mempersiapkan informasi pasar bagi pengembang gaharu, baik KPH maupun masyarakat

secara peorangan.Untuk menggali informasi pasar tersebut kajian dilakukan di wilayah

Sumatera Selatan (mewakili Sumatera Daratan) dan Bangka (mewakili Kepulauan).

Pemasaran gaharu hasil budidaya (gaharu hasil inokulasi) di wilayah Sumatera

Daratan dan Kepulauan menunjukkan prospek yang berbeda.Oleh karena itu pemaparan

hasil investigasi pada kedua lokasi tersebut disajikan secara terpisah.Pada bagaian awal

dipaparkan hasil kajian di wilayah daratan dan kemudian dlanjutkan di wilayah kepulauan.

3.1. Pemasaran Gaharu di Sumatera Selatan

Saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu oleh masyarakat telah berkembang

relatif pesat. Sebagai contoh, kondisi demikian dapat diamati di Kabupaten Musi Rawas,

Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk

merekayasa pohon penghasil gaharu agar dapat membentuk resin aromatik tersebut. Dari

hasil wawancara dan pengamatan lapangan, terdapat tiga jenis proses perekayasaan

yang dilakukan oleh masyarakat untuk merangsang pembentukan gaharu, yaitu: a).

pelukaan batang, b). pembakaran batang dan c). Penyuntikan (injeksi) larutan pembentuk

Page 31: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

31 Laporan Hasil Penelitian 2015

gaharu ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Untuk proses injeksi, masyarakat

mengenal dua jenis larutan, yakni inokulan (larutan yang mengandung cendawan

Fusarium) dan inducer (bahan kimia). Namun dalam perkembangan terkini, sebagian

masyarakat di Kabupaten Musi Rawas telah melakukan uji coba penyuntikan dengan

menggunakan landucer yang merupakan kombinasi antara inokulan yang mengandung

cendawan Fusarium dan inducer.

Keberhasilan pada proses budidaya (tahap produksi) tersebut tidak serta merta

diikuti dengan respon positif pada level pemasaran. Bahkan, pasar meberikan sinyal yang

cenderung bersifat kontraproduktif yaitu dengan memasang harga gaharu hasil induksi

pada tingkat yang tergolong jauh lebih rendah dibandingkan produk gaharu alami.

Malahan, ada pedagang pengumpul gaharu di Kabupaten Musi Rawas yang tak berminat

sama sekali untuk membeli gaharu hasil induksi.

Hasil wawancara dengan pengepul gaharu di sekitar wilayah Musi Rawas terungkap

bahwa bahwa pada saat ini mereka tidak bersedia menerima gaharu hasil

injeksi/penyuntikkan karena pengepul di atas mereka tidak mau membelinya. Jikapun

mau menerima, umumnya gaharu hasil penyuntikan dihargai sangat rendah, sehingga

keuntungan marjin keuntungan yang mereka dapatkan sangat minim.

Pedagang pengepul gaharu di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya umumnya hanya

menerima gaharu dari alam atau gaharu dari kebun karet masyarakat yang proses

pembentukkan gaharunya terjadi secara alami (tanpa injeksi), baik melalui pelukaan

dengan menggunakan benda tajam (pembacokan) maupun dengan cara pembakaran

batang pohon penghasil gaharu.

Sungguhpun gaharu yang terbentuk secara alami relatif lebih mudah dipasarkan,

namun petani dihadapkan pada sistem perdagangan yang bersifat monopsoni. Petani

yang bertindak sebagai penjual berperan sebagai penerima harga (price taker) dan

pengepul sebagai penentu harga (price maker). Selain itu, penentuan harga gaharu pun

sangat subjektif. Harga gaharu yang ditawarkan penjual akan ditentukan berdasarkan

hasil penelaahan pembeli (pedagang pengepul) terhadap kualitasnya yang ditaksir

berdasarkan warna, aroma dan bentuk penampakan.

Standar klasifikasi kualitas gaharu menurut SNI telah tersedia sebagaimana terdapat

di dalam Setyaningrum & Saparinto (2014), namun karena keragaman gradasi warna

yang relatif banyak serta faktor subjektivitas penilai (pengepul) sangat berpotensi untuk

menimbulkan ketidakadilan dalam proses transaksi, yaitu pengepul cenderung akan

menarik keuntungan di atas beban kerugian petani (penjual).

Sebagai gambaran, Tabel 3 berikut ini menyajikan variasi harga gaharu pada

berbagai jenis kelas gaharu alami yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan

Page 32: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

32 Laporan Hasil Penelitian 2015

pedagang pengepul gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya.

Berdasarkan penuturan pengepul, kualitas gaharu Super King dan Super B saat ini tak

ditemukan lagi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Adapun, jenis gaharu

yang masih dapat diperoleh antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan

dan gaharu teri. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada

Gambar 6.

Tabel 3. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas

No. Kelas Kualitas Harga (Rp)

1. Super King 240.000.000,-

2. Super B 8.000.000,- s/d

12.000.000,-

3. Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai

bentuk ikan sepat) 6.000.000,- s/d 8.000.000,-

4. Triplek (berbentuk pipih) 3.000.000,-

5. Kemedangan 500.000,- s/d 700.000,-

6. Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil) 300.000,-

Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek,

(c) kemedangan dan (d) teri.

Page 33: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

33 Laporan Hasil Penelitian 2015

Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas umumnya

hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya, gaharu yang dia peroleh

dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru atau Jakarta. Jika

disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari Kabupaten Musi

Rawas dapat terbagai menjadi tiga pola sebagai berikut:

Gambar 7. Alur pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya

.

Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan China.

Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa

ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran

gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan

informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan

kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris

sebagai penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012).

Sebagaimana dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut

terjadi karena pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga,

kualitas atau aspek tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan.

Solusi Melalaui Kontrak Kerjasama

Menindaklanjuti kondisi pemasaran gaharu yang timpang seperti diuraikan di muka,

diantaranya dapat diselesaikan melalui kontrak. Kontrak umumnya dibutuhkan untuk

dapat mereduksi eksistensi informasi asimetris. Kontrak juga merupakan instrumen yang

dapat digunakan untuk mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris

(Yustika, 2012).

Singapura

Pengepul di Jambi

Pengepul di Pekanbaru China

Petani/ Pengumpul

Pengepul di Musi Rawas

Arab

Pengepul di Lubuk Linggau

Pengepul di Jakarta

Page 34: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

34 Laporan Hasil Penelitian 2015

Upaya mereduksi informasi asimetris melalui kontrak tersebut telah dilakukan oleh

Kelompok Tani Hutan (KTH) Sinar Tani 1, Desa Trijaya, Kecamatan Bulang Tengah Suku

(BTS) Ulu/ Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Kemitraan yang ada berupa kerja sama antara

KTH Sinar Tani 1 yang bertindak sebagai pemilik tegakan pohon penghasil gaharu dengan

CV. HD Agarwood Project yang bertindak sebagai investor (penyedia inokulan/landucer).

Investor bertangggung jawab untuk menyediakan landucer dan menanggung seluruh

biaya operasional penyuntikkan. Adapun petani berkewajiban untuk memelihara dan

menjaga tegakan yang telah diinjeksi.

Berdasarkan bentuk kontrak kerjasama yang telah dibuat para pihak di Desa

Trijaya, maka pola kontrak yang mereka kembangkan termasuk ke dalam kategori

kontrak relasional. Kontrak jenis ini dikenal sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung

seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa

silam, saat ini dan ekspektasi terhadap hubungan di masa depan diantara para pelaku

yang terlibat kontrak (Furubotn dan Richter, 2005). Hal tersebut juga nampak dalam

butir-butir kesepakatan diantara kedua pihak yang tanpa memperhitungkan risiko

pencurian kayu. Kontrak demikian juga dapat dikategorikan sebagai kontrak informal dan

tanpa ikatan (non-binding).

Jika mengacu kepada bentuk kontrak yang umumnya berlaku dalam sektor

pertanian yang dikemukakan Cheung (1969) sebagaimana dikutip oleh Yustika (2012),

maka kesepakatan antara pihak KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project

merupakan bentuk kontrak bagi hasil (share contract). Bagi hasil penjualan gaharu antara

kedua belah pihak telah disepakati yaitu dengan porsi pembagian 50:50. Dari proporsi

50% bagi hasil yang diperoleh kelompok tani, 40% dibagikan kepada anggota KTH,

sedangkan sisanya, 10% dialokasikan sebagai uang Kas KTH. Kedua belah pihak telah

sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke tempat penjualan yang

menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih rendah maka investor

bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran penjualan melalui CV.

HD Agarwood Project.

3.2. Pemasaran Gaharu di Bangka

Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari Pejabat di Dinas Kehutanan

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diketahui bahwa sentra pengembangan gaharu di

Provinsi ini dipusatkan di Kabupaten Bangka Tengah.Namun demikian, pedagang

pengepul gaharu tersebar di beberapa daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,

termasuk di Kota Pangkal Pinang, ibukota provinsi.

Page 35: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

35 Laporan Hasil Penelitian 2015

Berawal dari informasi awal tersebut, penelusuran selanjutnya diarahkan ke

Kabupaten Bangka Tengah.Untuk menggali informasi lebih mendalam, wawancara

dilakukan terhadap pejabat pemerintahan dan petani di kabupaten tersebut.Hasil

wawancara dengan Sekretaris Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka

Tengah beserta stafnya terungkap bahwa pengembangan dan pengolahan gaharu di

Kabupaten tersebut disukung penuh oleh pemerintah. Dinas Perekbunan dan Kehutanan

mendapat mandate untuk menyokong segi budidaya dan pengembangan gaharu. Adapun

pengolahan gaharu ditangani oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Peran Dinas perkebunan dan kehutanan mengembangakan inokulan khas lokal

berbentuk serbuk, sekarang sedang dijuikan di plot pengembangan gaharu di desa trubus

dan juga pada tanaman gaharu yang dikembangkan oleh kelompok tani di desa Lubuk.

Pada bagian hilir (pengolahan hasil), pemda Kab Bangka Tengah melalui Dinas

Perindustrian dan Perdagangan telah memfasilitasi infrastruktur pengolahan the gaharu

dan pengolahan hasil gaharu lainnya di Desa Lubuk.

Peran Pemda yang patut diapresiasi tersebut kami nilai masih ada kekurangan

karena aspek pihaknya belum mempersiapakan infrastruktur untuk pemasaran

produknya.Walaupun demikian, pemasaran gaharu di Bangka jauh lebih berpihak kepada

petani, karena selain menerima gaharu alami, pedagang pengumpul di Bangka juga

menerima gaharu hasil inokulasi.

Berdasarkan pedagang pengumpul yang berhasil ditemui, di Bangka terdapat tiga

saluran pemasaran gaharu.Ketiga alur pemasaran tersebut dapat dibaca pada Gambar 8.

Gambar 8. Alur pemasaran gaharu di Bangka

Seperti perdagangan gaharu pada umumnya, harga gaharu di Bangka juga sangat

ditentukan oleh pembeli. Harga paling tinggi yang pernah dicapai oleh petani gaharu

untuk gaharu hasil inokulasi adalah Rp. 3 Juta per Kg. Gambar 9 berikut memperlihatkan

Pedagang Pengumpul

Bangka 1

Pembeli di Timur Tengah, Asia Timur, Eropa dan Kanada

Pedagang Pengumpul di Jakarta

Pedagang Pengumpul di Bogor

Pembeli di Timur Tengah, China dan Eropa

Pembeli di Timur Tengah

Pedagang Pengumpul

Bangka 2

Pedagang Pengumpul

Bangka 3

Petani/ Pengumpul

Page 36: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

36 Laporan Hasil Penelitian 2015

bentuk dan penampakkan gaharu hasil inokulasi yang dibeli oleh Pedagang pengumpul

(pengepul) di Bangka pada tingkat harga tersebut.

Gambar 9.Gaharu hasil inokulasi umur yang dihargai Rp. 3 Juta per Kg.

Gaharu yang dibeli dari petani pada tingkat harga tersebut, umumnya dapat dipasarkan

oleh pedagang pengepul pada level harga Rp. 5 – 8 Juta per Kg. Harga tersebut dapat

dicapai setelah gaharu yang diperoleh dari petani dibersihkan (carving) ulang untuk

menghilangkan bagian-bagian kayu yang berwarna terang. Biaya yang dibutuhkan untuk

proses tersebut umumnya sekitar Rp. 1 Juta per Kg. Dengan demikian jumlah keuntungan

yang diperoleh pedagang berkisar antara Rp. 1 – 4 Juta per Kg atau sekitar 33 – 133%.

Untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, pemerintah daerah telah

mengucurkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur pengolahan gaharu.Salah

satunya pabrik pengolahan gaharu yang dibangun di Desa Lubuk Pabrik, Kecamatan

Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Gambar 10). Pabrik tersebut direncanakan akan

memproduksi teh gaharu, sabun dan dupa gaharu.

Page 37: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

37 Laporan Hasil Penelitian 2015

Gambar 10. Pabrik pengolahan gaharu di Kabupaten Bangka Tengah

Pengolahan kayu gaharu yang saat ini telah dilakukan oleh Kelompok Tani adalah

pembuatan minyak gaharu, teh gaharu, gelang dan tasbih kayu gaharu.Gambar 11

berikut memperlihatkan produk-produk kayu gaharu oleh Kelompok Tani di Kabupaten

Bangka Tengah.

(a) (b) (c)

Gambar 11. Produk gaharu yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Gaharu Harapan, Desa

Lubuk Pabrik, Kabupaten Bangka Tengah, yang terdiri dari: (a) minyak gaharu; (b) gelang; dan (c) tasbih.

Jika dibandingkan dengan pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas,

pemasaran gaharu hasil inokulasi di Bangka memiliki prospek lebih bagus.Dukungan

pemerintah dalam rangka pengembangan gaharu juga relatif baik. Sokongan tersebut

tidak hanya dalam bentuk bantuan bibit seperti umumnya ditemukan di beberapa daerah

lain di wilayah Sumatera daratan, tetapi juga didukung dengan riset yang memadai yang

Page 38: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

38 Laporan Hasil Penelitian 2015

dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan untuk mengembangkan inokulan yang

paling baik dan speseifik Bangka.

Keunggulan kedua adalah pada aspek pemasaran yang telah memberikan nilai

yang lumayan tinggi bagi gaharu hasil inokulasi.Walaupun penentuan harga masih

menjadi kekuasaan pembeli, namun terbukanya peluang pasar adalah keunggulan yang

belum dicapai oleh gaharu hasil inokulasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas.

Keunggulan ketiga pemasaran gaharu di Bangka adalah banyaknya varian produk,

sehingga petani (pembudidaya) gaharu tidak tergantung pada satu jenis produk. Jika

petani menemui kejatuhan harga kayu chip gaharu maka dia dapat mengolah chip

tersebut menjadi produk turunan lainnya. Kemampuan seperti ini yang belum dimiliki oleh

petani atau Kelompok Tani Pembudidaya gaharu di Kabupaten Musi Rawas.

Keunggulan keempat, di Bangka sudah ada pengepul yang memiliki akses

langsung ke pembeli gaharu di luar negeri, yaitu di Brunei Darusalam, China, Jepang,

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Abu Dhabi.Bahkan pedagang tersebut juga sudah mampu

menembus pasar Eropa seperti Inggris, Italia, Swedia dan Perancis dan juga tembus

hingga ke Amerika.

Masing-masing Negara tersebut memiliki minat yang tidak sama baik jenis produk

maupun jenis wangi gaharu yang diinginkannya. Misalkan Negara Jepang dan China lebih

menyukai produk aksesoris seperti gelang dan tasbih serta kayu gaharu yang berbentuk

menyerupai binatang atau bentuk lainnya yang unik. Dalam perdagangan gaharu, jenis

kayu gaharu demikian dikenal dengan istilah gaharu dekor. Istilah tersebut muncul karena

fungsinya yang digunakan untuk menghiasi ruangan atau tempat tertentu (dekorasi).

Negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Abu Dhabi, Uni Emirat

Arab dan lain sebagainya lebih menyukai produk kayu chip dan minyak gaharu. Kayu chip

umumnya dibakar untuk mengharumkan ruangan dan tempat tempat tertentu seperti

masjid. Adapun minyak gaharu digunakan sebagai wewangian.Bahkan menurut informasi

dari pedagang gaharu di Bangka tersebut, prosesi pencucian hazar aswad (batu hitam

yang terdapat di Ka’bah), biasanya menggunakan minyak gaharu.

Adapun Negara-negara Eropa dan Amerika umumnya menyukai produk minyak

gaharu.Berdasarkan pengalaman pengepul di Bangka, permintaan minyak gaharu

terbanyak dari negara di Eropa adalah Inggris, sedangkan di benua Amerika adalah

Kanada.

Keberhasilan pedagang pengepul gaharu di Bangka dalam menembus pasar luar

negeri tidak lepas dari kemampuannya menjalin hubungan dan menjaga kepercayaan

dengan pihak pembeli. Terlebih, transaksi yang dilakukanya tanpa bertemu langsung,

sehingga nama baik penjual mesti dijaga dengan baik.

Page 39: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

39 Laporan Hasil Penelitian 2015

3.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Gaharu

Informasi yang diperoleh dari hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi

Rawas dan Bangka Belitung sebagaimana telah diuraikan di muka dapat dijadikan sebagai

dasar pertimbangan untuk melakukan pengembangan gaharu di areal KPHP.Belajar dari

kondisi yang berkembang di Kabupaten Musi Rawas, Sumsel dan Kabupaten Bangka

Tengah, dukungan pemerintah pada pengembangan gaharu selayaknya diberikan secara

meneyeluruh dari aspek budidaya hingga pemasaran produk.

4. Aspek Pertumbuhan Tanaman gaharu

Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu yang dibudidayakan

masyarakat di beberapa lokasi di Propinsi Lampung, menunjukkan adanya keragaman

pertumbuhan tanaman, baik antar lokasi maupun pola penanaman yang berbeda. Hasil

pengukuran pertumbuhan tanaman padaberbagai umur dan lokasidi beberapa lokasi di

Provinsi Lampung (Kab. Lampung Tengah dan Lampung Timur), selengkapnya disajikan

pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu pada plot ukur

No

Plot

Lokasi Umur Pola Tanam Letak Geografis Dbh H

X Y (cm) (m)

1 Notoharjo, Trimurjo Lampung Tengah

LLLampungPrapto

6 Campuran (Kakao)

526505 9436179 11.20 7.70

2 Pekalongan, Lampung Timur

6 Monokultur 540445 9443537 9.49 6.25

3 BatanghariNuban,

Lampung Timur

2 Monokultur 549396 9444234 3.78 4.37

4 Batanghari Nuban, Lampung Timur

12 Monokultur 549395 9444283 17.08 9.96

5 Pekalongan,

Lampung Timur

6 Monokultur 538672 9437588 6.50 5.29

6 Probolinggo, Lampung Timur

3 Campuran 560068 9449348 4.14 4.40

7 Trimurjo, Lampung Tengah

2 Campuran 526693 9432677 2.54 4.35

8 Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah

6 Campuran (Kakao)

526693 9432677 8.44 6.52

9 Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah

6 Campuran (Kakao)

526693 9432677 5.60 5.60

Data hasil pengukuran pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa pertumbuhan antar

tegakan pohon penghasil gaharu (walaupun pada pola tanam dan umur yang sama, 6

tahun) namun dengan perberbedaan lokasi dan kepemilikan, nampak memiliki rerata

pertumbuhan yang relatif berbeda (plot 1, 8 dan plot 9). Rerata pertumbuhan tanaman

Page 40: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

40 Laporan Hasil Penelitian 2015

pada plot 1 nampak sangat tinggi yaitu sebesar 11,20 cm dan 7,70 m masing-masing

untuk diameter dan tinggi, sementara pada plot 8 sebesar 8,44cm dan 6,52m, dan pada

plot 9 masing-masing sebesar 5,60 untuk pertumbuhan diameter dan tinggi.

Perbedaan pertumbuhan tanaman atau tegakan merupakan hasil interaksi antara

faktor lingkungan dan faktor genetik. Namun demikian faktor lingkungan seperti kondisi

dan kesuburan lahan, intensitas pemeliharaan serta pola tanam merupakan faktor yang

sangat berpengaruh terhadap pertmbuhan tanaman (Foth and Turk, 1972). Perbedaan

pertrumbuhan tanaman pada plot 1 dan plot diduga dipengaruhi oleh ada perbedaan

pengeloaan (intensitas pemeliharaan) seperti durasi pemeliharaan, penyiangan lahan dan

pemupukan tanaman. Perbedaan pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh adanya

perbedaan pola tanam (pada umur sama, 6 tahun), sebagaimana ditunjukkan pada plot 1,

2, 5, 8 dan plot 9. Dari data pertumbuhan tanaman yang diperoleh, nampak bahwa,

dengan pola penanaman agroforestry/campuran telah menghasilkan pertumbuhan

tanaman yang lebih tinggi dibanding pola monokultur, baik pertumbuhan diameter

maupun tinggi.

a.

b.

Gambar 12. Penanaman pola Agroforestry (a), Penanaman pola monokultur (b)

Hubungan diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu dapat digunakan sebagai

pedoman dalam pola tanam serta jarak tanam dalam pembudidayaan gaharu.Hasil

analisis hubungan antara diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu seperti pada

Gambar 13 berikut ini.

Page 41: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

41 Laporan Hasil Penelitian 2015

Gambar 13.Grafik hubungan diameter setinggi dada dengan diameter tajuk

Berdasarkan gambar diatas pembudidayaan gaharu dengan pola monokultur

dengan target diameter setinggi dada sebesar 18 cm jarak tanam yang diperlukan

sebesar 3 m x 3 m. Pohon penghasil gaharu memiliki tipe tajuk yang sempit sehingga

pohon gaharu sangat cocok dikembangkan dengan pola campuran maupun pola

agroforestri. Pola gambar diatas dapat menjadi pedoman dalam pengmbangan gaharu.

y = 0.352 + 0.230x - 0.004x2

R² = 0.794

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Dia

met

er T

aju

k (m

)

Dbh (cm)

Page 42: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

42 Laporan Hasil Penelitian 2015

V. Kesimpulan

1. Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh pada lahan hutan sekunder atau

lahan tanaman karet tua. Budidaya tanaman gaharu bisa dilakukan secara campuran

(memanfaatkan naungan) ataupun sistem terbuka (tanpa naungan), namun

pertumbuhan tanaman gaharu optimal bilamana dikembangkan secara campuran

(agroforestri).

2. Pembentukan gaharu secara alamiah yang di alam akan diturunkan ke keturunannya,

sehingga pemilihan pohon induk di dasarkan pada kemampuannya untuk

menghasilkan gaharu secara alamiah melalui identifikasi batang tanaman yang

terdapat retakan dan aroma wangi gaharu pada saat dilakukan pembakaran serpihan

kayu. Di dapatkan sebanyak 72 pohon induk dari Sumsel dan koleksi materi genetik

berupa anakan alam di persemaian.

3. Di Sumatera Selatan budidaya pohon penghasil gaharu telah berkembang relatif pesat

dan masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon

penghasil gaharu, namun tidak disertai dengan respon positif pada level pemasaran.

Gaharu hasil rekayasa memiliki harga yang jauh lebih rendah dibanding dengan

gaharu yang dihasilkan secara alami. Untuk mereduksi kondisi tersebut, kontrak

kerjasama dapat dijadikan salah satu solusi yang dapat diterapkan di masyarakat.

4. Di Bangka Tengah, pengolahan gaharu didukung penuh oleh pemerintah setempat

melalui pembangunan pabrik pengolahan gaharu untuk meningkatkan nilai tambah

bagi petani. Selain bantuan bibit, riset yang memadai juga dilakukan untuk

mengembangkan inokulan paling baik dan spesifik Bangka. Gaharu hasil rekayasa di

Bangka memiliki harga yang lebih baik dibanding dengan gaharu hasil rekayasa di

Sumatera Selatan. Adanya pengepul yang memiliki akses langsung ke pembeli gaharu

di luar negeri, membuat prospek pemasaran gaharu di Bangka menjadi lebih baik.

Page 43: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

43 Laporan Hasil Penelitian 2015

VI. DAFTAR PUSTAKA

Akter, S., Islam, M. T., Khan, S. I. (2013). Agarwood production, a multidiciplinary field to

be explored in Bangladesh.International Journal of Pharmaceutical and Life

Sciences. 2(1), 22-32

Badan Standardisasi Nasional. 2005. Sumber Benih Jati (Tectona grandis Linn F.) SNI 01-

7135-2005.

Burdon, R. D. (2001). Genetic diversity and disease resistance: some considerations for

research, breeding, and deployment. Canadian Journal Forestry Resesearch.

31(4), 596–606.

Donovan, D.R., Puri, P. K. ( 2004). Learning from traditional knowledgeof non-timber

forest products: Penan Benalui and the autecology of aquilara in

Indonesian Borneo. Ecology and Society. 9(3):3.

Foth, H.D and L.M. Turk. 1972. Fundamentals of Soil Science. Fifth Edition. John Wiley

and Sons, Inc. New York.

Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory : The

Contribution of The New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of

Michigan Press. Ann Arbor.

Gibson, I.A.S. (1977). The role of fungi in the origin of oleoresin deposits (Agaru) in the

wood of Aquillaria agallocha (Roxb.).Bano Biggyn Patrika 6(1), 16-26.

GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http://treechemicals. csl.

gov.uk/review/extraction.cfm. diakses tanggal 2 Januari 2015.

Hills WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-Verlag.

Isnaini, Y. 2004. Induksi produksi gubal gaharu melalui inokulasi cendawan dan aplikasi

faktor biotik (Disertation). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Keane, P. J., Kile, G. A., Podger, F.D., Brown, B. N. (2000). Diseases and pathogens of

eucalypts. CSIRO, Melbourne.

Kjaer, E, D., McKinney, L. V., Nielsen, L. R., Hansen, L.N.N., Hansen, J.K. (2011).

Adaptive potential of ash (Fraxinus excelsior) populations against the novel

emerging pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus.Evolutionary Applications.

5(3), 219-228.

La Frankie, J. (1994). Population dynamics of some tropical trees that yield non-timber

forest products. Economic Botany, 48(3), 301-309.

McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics : Principles, Problems, and Policies.

17th Ed. McGraw-Hill. USA

Mucharromah. 2009. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop

Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan

Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1). Bogar, 29 April2009.

Ng L.T., Chang, Y. S, Kadir, A. A. (1997). A Review on agar (gaharu) producing aquilaria

species.Journal of Tropical Forest Products. 2(2): 272-285.

Novriyanti, E., Santosa, E., Syafii, W., Turjaman, M., Sitepu, I. R. (2010).Antifungal

activity of wood extract of Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte against

agarwood-inducing fungi, fusarium solani.Journal of Forestry. 7(2), 155-165.

Page 44: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

44 Laporan Hasil Penelitian 2015

Oldfield, S., Lusty, C., MacKinven, A. (1998).The Word List of Threatened Trees. Heart of

the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria

malaccensis.TRAFFIC International.

Pratiwi. 2010. Karakteristik Lahan Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa hutan

Tanaman di Jawa Barat. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu berbasis

pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

Konservasi alam. Bogor.

Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, A.Y.P.B.C.

Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A.

Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan Pengembangan

Gaharu Tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan.

Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.

Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmullah., A. Yani,

Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu (Induction

Technology of Eaglewood). Info Hutan. Volume VII. Nomor 2, Tahun 2010.ISSN

1410-0657. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Bogor.

Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmulah, A. Yani,

Aryanto. 2011. Gaharu-Producing Tree Induction Technology. Proceeding of

Gaharu Workshop Development of Gaharu Production Technology.ITTO

PD425/06 Rev.1 (I). R&D Center For Forest Conservation and Rehabilitation.

Forestry Research and Development Agency (FORDA) Ministry of Forestry.

Indonesia.

Setyawati, T. 2010. Potensi dan Kondisi Regenerasi Alam Gaharu (Aquilaria malaccensi

Lamk) di Provinsi Lampung dan Bengkulu, Sumatera.Pengembangan Teknologi

Produksi Gaharu berbasis pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor.

SIM-RHL. (2015). Data base Sumber Benih Gaharu. Diakses Tanggal 21 Agustus

2015.http://sim-rhl.com/tes/smbbnh_list.php?qs =aquilaria&criteria=or.

Siran, S. A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan

Masyarakat “Perkembangan Pemanfaatan Gaharu”. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Soehartono, T and A. Mardiastuti. 1997. Review on current trade in gaharu in West

Kalimantan. Biodiversitas Indonesia 1(1):1-10.

Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan Peningkatan

Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai bahan Obat di Sumatera.

Laporan Hasil Penelitian Program insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan

Perekayasa. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.

Tidak dipublikasikan.

Sofyan, A., I. Muslimin. 2013. Peningkatan Produktifitas Budidaya Gaharu Melalui

Pembentukan Batang Ganda dan Teknik Permudaan.Makalah di sampaikan

pada seminar Hasil Hutan Bukan Kayu di Mataram, November 2013.

Stener, L. G. (2012). Clonal differences in susceptibility to the dieback of Fraxinus

excelsior in Southern Sweden.Scandinavian Journal of Forest Research.28(3).

DOI: 10.1080/028827581.2012.735699.

Page 45: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

45 Laporan Hasil Penelitian 2015

Subehan, J.U., F. Hiroharu, A. Faisal, and K. Shigetoshi. 2005. A Field Survey of Agarwood

in Indonesia. Journal of Traditional Medicine 22: 244-251.

Suhartati, A. Wahyudi. 2011. Pola Agroforestry Tanaman Penghasil Gaharu dan Kelapa

Sawit. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:363-371, 2011.

Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis

Masyarakat (PHBM). Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000.

Sukoco.2014. Di Pasar Global, Harga Kayu Gaharu Kalimantan

“Selangit”.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/14/1722029/Di.Pas

ar.Global.Harga.Kayu.Gaharu.Kalimantan.Selangit. diakses tanggal 25 Januari

2015.

Sumadiwangsa, S. 1997. Kayu Gaharu Komodite Elite.Kalimantan Timur.Duta Rimba 20:

205-206.

Sumarna, Y. 2008. Beberapa aspek ekologi, populasi pohon dan permudaan alam

tumbuhan penghasil gaharu kelompok karas ( spp.) diWilayah Provinsi Jambi.

Jurnal PenelitianHutan danKonservasiAlam.V(1): 93-99.

Surata, I. K., Soenarno. 2011. Penanaman gaharu (Gyrinops verstegii (Gilg.) Domke)

Dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:349-361, 2011.

Van Beek, H., Phillips, D. (1999). Agarwood.trade and CITES implementation in Southeast

Asia. Report TRAFFIC Southeast Asia, Malaysia

Waluyo, T. K., F. Anwar. 2012. IIdentifikasi Komponen Kimia Empat Kelas Mutu Gaharu

(Kacangan A, Teri B, Kemedangan A dan Kemedangan B). Jurnal Penelitian

Hasil hutan Vol. 30 No. 4, Desember 2012:291-300.

Wiriadinata, H., G. Semiadi, D. Darnaedi, E. B. Waluyo. 2010. Konsep Budidaya gaharu

(Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi

Alam Vol. VII No. 4:371-380, 2010.

Page 46: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

46 Laporan Hasil Penelitian 2015

VII. LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta persebaran tanaman penghasil gaharu di Sumatera Selatan

Page 47: Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan

47 Laporan Hasil Penelitian 2015

Lampiran 2.Kerangka Kerja Logis Kegiatan Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP

Lakitan Tahun 2015

Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi

Tujuan : menyediakan iptek

budidaya gaharu yang memiliki produktivitas

tinggi sehinggadapat mendorong percepatan

operasionalisasi KPH melalui usaha

budidaya gaharu yang prospektif dan tergambarkannya

sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien.

Diperolehnya

informasi dan Iptek silvikultur pohon

penghasil gaharu yang memiliki produktivitas tinggi

- Publikasi ilmiah

- Demplot - Gelar teknologi

- Infotek

- Tersedianya dana

penelitian yang kontinyu

- Tersedianaya sarana dan prasarana

- Penelitian berjalan secara

berkesinambungan

Luaran:

1. Peta potensi dan penyebaran jenis

tanaman penghasil gaharu di Sumatera

Adanya peta penyebaran

tanaman penghasil gaharu di Sumatera

- Paket data dan informasi

- Makalah seminar

- Dana memadai - Data dan informasi

diperoleh dari lapangan

- Penelitian berjalan

lancar

2. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis

tanaman penghasil gaharu di Sumatera

Data dan informasi kualitas tempat tumbuh tanaman

penghasil gaharu di Sumatera

- Paket data dan informasi

- Makalah

seminar

- Dana memadai - SDM memadai - Hasil analisis kimia

tanah tepat waktu

3. Diketahuinya riap pohon penghasil

gaharu yang dibudidayakan

masyarakat dengan berbagai pola tanam dan tempat

tumbuhnya (site)

data dan informasi pertumbuhan

tanaman gaharu pada berbagai pola

tanam dan tempat tumbuh

- Paket data dan informasi

- Laporan tahunan

- Makalah seminar

- Dana memadai - Data dan informasi

diperoleh dari lapangan

- Penelitian berjalan lancar

4. Data dan informasi identifikasi karakteristik

pemasaran dan sosial budidaya

gaharu

Diperolehnya informasi karakteristik

pemasaran dan sosial budaya gaharu

- Paket data dan informasi

- Laporan

tahunan - Makalah

seminar - Makalah jurnal

- Dana memadai - Data dan informasi

diperoleh dari

lapangan - Penelitian berjalan

lancar