PENGARUH BALI DEMOCRACY FORUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42118...Keluarga...
Transcript of PENGARUH BALI DEMOCRACY FORUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42118...Keluarga...
PENGARUH BALI DEMOCRACY FORUM
TERHADAP TRANSISI DEMOKRASI
MYANMAR PERIODE 2012-2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Vanny El Rahman
(1113113000011)
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017 M
V
ABSTRAK
Vanny El Rahman (1113113000011), Skripsi; Pengaruh Bali Democracy Forum
Terhadap Transisi Demokrasi Myanmar Periode 2012-2014, 2017 Hubungan
Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menganalisis pengaruh Bali Democracy Forum (BDF) terhadap
transisi demokrasi Myanmar periode 2012-2014. Bahsan dalam skripsi ini dimulai
dari inisiasi Indonesia untuk menyelenggarakan BDF sebagai forum antar-negara
yang membahas tentang demokrasi. BDF digagas berdasarkan pengalaman
demokrasi Indonesia. Melalui BDF, Indonesia percaya bahwa proses
pembelajaran akan mendukung penegakan demokrasi. BDF diselenggarakan
setahun pasca Revolusi Saffron di Myanmar. Revolusi tersebut menuntut
Myanmar untuk menegakkan demokrasi. Myanmar berpartisipasi aktif dalam
BDF di tengah transisi pemerintahannya. Sebagai forum yang mengedepankan
dialog, rupanya BDF memberikan pengaruh tersendiri terhadap transisi demokrasi
Myanmar. Maka, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana
proses BDF menyebarkan norma demokrasi ke Myanmar, sehingga membantu
proses transisi demokrasinya.
Metode kualitatif dipilih sebagai instrumen analisis dari data primer dan
sekunder yang didapatkan. Wawancara dilakukan kepada elemen-elemen yang
terkait dengan BDF guna mengumpulkan data primer, seperti Kemlu, Institute for
Peace and Democracy (IPD), dan akademisi. Studi pustaka digunakan untuk
mendapatkan data sekunder. Kerangka teori yang digunakan adalah
Konstruktivisme dan Konsep Demokrasi. Berdasarkan pemparan di atas,
ditemukan bahwa BDF memiliki tiga peran dalam menyebarkan demokrasi, yaitu
sebagai inisiator, motivator, dan fasilitator. Tiga peran tersebut dibangun atas
kepercayaan Myanmar kepada Indonesia yang menjadikannya sebagai kiblat
berdemokrasi. Berbagai faktor mempengaruhi kualitas kepercayaan Myanmar
kepada BDF, seperti sejarah, lingkungan, dan paham demokrasi. Pendekatan unik
yang dimiliki BDF, dengan mengedepankan aktualisasi kearifan lokal, menjadi
faktor utama yang menentukan keberahasilan transformasi norma demokrasi ke
Myanmar.
Kata Kunci: Indonesia, Myanmar, BDF, Institute for Peace and Democracy
(IDP), Demokrasi, Konstruktivisme
VI
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta
alam yang telah mempermudah atas segala kesulitan melalui rahmat dan hidayah-
Nya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring
salam juga penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa hambatan terbesar dalam menyusun skripsi ini
adalah kemalasan dan ketidakkonsistenan. Namun, dukungan, motivasi, dan saran
juga datang seiring hambatan menguji penulis. Oleh sebab itu, sekiranya penulis
perlu mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah mendukung untuk
menyelesaikan skripsi ini, mereka adalah:
1. Keluarga penulis, Ayahanda Abdul Mujib, Ibunda Maria Ulfa, dan adinda
Tuhfatul Millah yang telah mendukung untuk menyelesaikan skripsi.
2. Ahmad Syaifuddin Zuhri, sebagai dosen pembimbing. Terima kasih atas
bimbingan dan kesabaran yang telah didedikasikan.
3. Segenap jajaran Kepala dan Sekretaris Program Studi HI UIN Jakarta,
Bapak Adian Firnas dan Ibu Eva Mushoffa.
4. Segenap jajaran dosen dan staf di FISIP UIN Jakarta yang telah
memberikan ilmu kepada penulis.
5. Seluruh jajaran Staf Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar
Negeri, seperti Pak Al Busyra Basnur, Pak Agus, Mba Orchid, Mas Ibnu,
dan masih banyak lagi, atas segala bantuan dan inspirasi yang diberikan
kepada penulis mulai dari magang, menulis buku “Permata dari Surga”,
hingga menyelesaikan penelitian ini.
6. Kepada Direktur Eksekutif IPD, Tim Kajian ASEAN di LIPI, dan Prof.
Aleksius Jemadu, atas kebesaran hatinya untuk menyempatkan waktunya
kepada penulis untuk melakukan wawancara singkat demi.
7. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atas segala pelajaran berharganya yang tidak
didapatkan di kelas.
8. Teman-teman seperjuangan di HMI yang terkumpul dalam grup CBB,
mulai dari “Abah” Gifar, Arip “Mbot”, Mas Oji, Mas Bim, Cahyo, “Pres”
VII
Aly, Bagus, “Don” Hendri, Riri, Mursyid, Bos Lini, Sakiin, Feniin, Fira,
Indah, hingga “Prof” Sabrina, yang telah menjadi kelompok diskusi
hingga pembuat onar di rumah penulis.
9. Teman-teman seangkatan selama menempuh ilmu di Pondok Pesantren
Darunnajah, seperti Khemas, Iqbal, Setiawan, dan masih banyak lagi, atas
segala dukungan dan selingan ketika penulis jenuh mengerjakan skripsi.
10. Seluruh personil “Kosan Gober”, mulai dari Bang Oon, Bang Isnan, Bang
Along, Bang Amip, Bogel, Ruhul, Ambon, Cile, Mukol, dan khususnya
kepada (Alm) Afif Hasan Naufal –semoga diberi ketenangan di sisi Allah
SWT, Aaamiin-,.
11. Kabinet “Barisan Kita” Dewa Ekselutif Mahasiswa UIN Jakarta, mulai
dari Riyan Hidayat dan seluruh teman-teman pengurus
12. Teman-Teman HI angkatan 2013, mulai dari Etika, Amel, Alika, Sarah,
Iqbal, Tris, dan Opin serta masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu. Terima kasih atas suka-duka yang telah dilewati selama 8
semester.
Tidak ada yang bisa penulis berikan selain doa kepada Allah SWT agar
diberikan balasan yang setimpal, Aamiin. Terakhir, penulis menyadari bahwa
skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat
terbuka bagi penulis sebagai bahan pertimbangan perbaikan skripsi. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang membaca dan mampu memberikan
sumbangsih bagi studi Hubungan Internasional. Alhamdulillahirabbil’alamin
Jakarta, 14 Juli 2017
Vanny El Rahman
VIII
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 7
E. Kerangka Teoritis ............................................................................... 9
1. Konstruktivisme ..................................................................... 9
2. Konsep Demokrasi ................................................................. 14
F. Metode Penelitian ............................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 21
BAB II BALI DEMOCRACY FORUM
A. Bali Democracy Forum: Sebuah Pengantar ........................................ 23
B. Mekanisme BDF dan Perkembangan Setiap Tahunnya ...................... 28
C. Demokrasi dalam Perspektif Indonesia .............................................. 32
D. BDF sebagai Kebijakan Luar Negeri Indonesia ................................. 35
E. BDF sebagai Instrumen Diplomasi Indonesia .................................... 40
BAB III DINAMIKA DEMOKRASI MYANMAR
A. Sejarah Kemerdekaan Myanmar ......................................................... 44
B. Keruntuhan Demokrasi Myanmar ...................................................... 47
C. Kebangkitan Rezim Militer Myanmar era Ne Win ............................. 52
D. Rezim Militer Myanmar era Saw Maung ........................................... 57
E. Rezim Militer Myanmar era Than Shwe ............................................ 61
F. Peran Aung San Suu Kyi Mengawal Kebangkitan Demokrasi
Myanmar ............................................................................................ 67
BAB IV PENGARUH BALI DEMOCRACY FORUM TERHADAP TRANSISI
DEMOKRASI MYANMAR PERIODE 2012-2014
A. Perubahan Identitas Myanmar ............................................................ 73
1. Identitas Lama Myanmar ................................................ 73
2. Identitas Baru Myanmar .................................................. 79
IX
B. BDF sebagai Life Cycle of Norms ....................................................... 85
1. Norma Demokrasi BDF .................................................. 86
2. BDF sebagai Agen Share Ideas of Democracy ............... 89
C. Pengaruh BDF terhadap Transisi Demokrasi Myanmar ..................... 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 103
B. Saran ................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... cvii
Lampiran-lampiran ........................................................................................................ cxix
X
DAFTAR TABEL
Tabel II.B.1 Perkembangan BDF Setiap Tahun ................................................... 29
Tabel III.D.I Pelanggaran HAM oleh SLORC...................................................... 60
Tabel III.E.1 Distribusi Pengungsi ke Negara Penerima oleh Thailand .............. 64
Tabel III.E.2 Jumlah IDPs di Myanmar dari Berbagai Etnis ................................ 65
Tabel IV.C Peran IPD dalam Demokratisasi Myanmar ....................................... 96
XI
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. A.1 Foto Bersama Delegasi BDF ke-5 ............................................ 25
Gambar IV.A.1 Peta Perbatasan Myanmar-China ............................................. 78
Gambar IV.B.1 Skema Pengaruh BDF terhadap Demokrasi Myanmar
Berdasarkan Perspektif Konstruktivisme ................................. 92
XII
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 :Wawancara dengan Aleksius Jemadu ...................................... cxix
Lampiran II :Wawancara dengan Agus Heryana .......................................... cxxi
Lampiran III :Wawancara dengan I Ketut Putra Erawan ................................ cxxiv
Lampiran IV :Wawancara dengan Khanisa Krisman .................................... cxxvii
XIII
DAFTAR SINGKATAN
AFPFL Anti-Facist People Freedom League
AIPR Asean Institute for Peace and Reconciliation
APSC Asean Political-Security Community
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of Southeast Asia Nations
AUD Australian Dollar
BBM Bahan Bakar Minyak
BDF Bali Democracy Forum
BIA Burma Independence Army
BSPP Burma Socialist Program Party
CLMV Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam
CSIS Center for Strategic and International Studies
HAM Hak Asasi Manusia
HI Hubungan Internasional
ICC International Crisis Group
IPD Institute for Peace and Democracy
KAA Konferensu Asia Afrika
Kemlu Kementerian Luar Negeri
KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
KLN Kebijakan Luar Negeri
MDRI Myanmar Development Resource Institute
MNHRC Myanmar National Human Right Commission
MSIS Myanmar Institute for Social and International Studies
NCGUB National Coalition of Government Union of Burma
NLD National League for Democracy
NOK Norwegia Kroner
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
SBY Susilo Bambang Yudhoyono
SLORC State Law and Order Restoration Council
SPDC State Peace Development Council
TAC Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia
TBC The Border Consortium
UE Uni Eropa
USD United States Dollar
USDP Union Solidarity and Development Party
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.1
Sebutan tersebut melekat kepada Indonesia di tengah heterogenitas yang tinggi,
mulai dari 17.000 lebih pulau,2 1.128 suku bangsa, 743 bahasa,
3 6 agama besar di
dunia, hingga yang menarik adalah 85% dari 230 juta lebih penduduknya
beragama Islam.4
Tantangan selalu hadir sepanjang demokrasi menjadi bagian dari Indonesia,
setidaknya sejak Orde Baru. Indonesia berhasil menemukan formulasi
demokrasinya setelah jatuh-bangun penegakannya di setiap rezim pemerintahan.
Pada Orde Lama, Soekarno mengakui bahwa Indonesia menerapkan sistem
demokrasi terpimpin. Walaupun dibungkus dengan cover demokrasi, namun
unsur-unsur demokrasi tidak pernah diterapkan, seperti pemilu. Bahkan konstitusi
demokrasi terpimpin menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dan
menjadi satu-satunya pemimpin yang paling berkuasa5.
Pada Orde Baru, Indonesia mengusung Demokrasi Pancasila yaitu
demokrasi yang bersandarkan kepada nilai-nilai pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945), dan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
1Michael Buehler, “Islam and Democracy in Indonesia,” Insight Turkey 11 No.4 (2009): 51
2Zane Goebel, “The Idea of Ethnicity in Indonesia,” Tilburg Papers in Culture Studies 71
(September 2013): 2 3Heru Nurrohman, Program Bimbingan dan Konseling Berbasis Nilai-Nilai Budaya Untuk
Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian diri Peserta Didik SMAN Kota Palangkaraya, (Bandung:
UPI, 2013) 2 4Buehler, “Islam and Democracy”, 51
5Ikrar Nusa Bhakti, The Asia Pacific: A Region in Transition, (Honolulu:APCSS Studies,
2004): 198
2
(MPRS). Bergantinya rezim demokrasi dinilai karena Soekarno telah melakukan
penyelewengan terhadap UUD 1945, yaitu dengan penetapan dirinya sebagai
presiden seumur hidup, padahal masa jabatan presiden telah diatur selama lima
tahun.6 Demokrasi Pancasila pun tidak memberikan jaminan bagi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Lebih dari itu, demokrasi Orde Baru dianggap
sebagai masa kelam demokrasi Indonesia.
Selama 32 tahun Soeharto menjabat sebagai presiden, Demokrasi Pancasila
digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya.7 Walaupun terselenggara pemilu
sebanyak enam kali, namun dengan politik monoloyolitas-nya Soeharto
mewajibkan seluruh pegawai negeri sipil untuk memilih Partai Golkar, sehingga
meniadakan kebebasan berpolitik.8 Kemudian, Soeharto menerapkan dwifungsi
ABRI yang menjadi legitimiasi militer untuk terlibat politik praktis.9 Abuse of
power menjadi ciri khas Orde Baru dengan meniadakan institusi/lembaga yang
mengawasi presiden, karenanya presiden menjadi penguasa mutlak.10
Krisis ekonomi 1997, sentralisasi kekuasaan, dan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) yang merajalela, menjadi momentum lahirnya Peristiwa
Reformasi 1998. Peristiwa tersebut melahirkan era reformasi yang ditandai
dengan silih bergantinya presiden Indonesia, dari Habibie, Abdurrahman Wahid,
hingga Megawati. Era reformasi diisi dengan proses pemantapan demokrasi
Indonesia, seperti mempersiapkan undang-undang pemilu, penghapusan
6Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), 131 7Bhakti, The Asia Pacific,198
8Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 132
9Edward Aspinall dan Greg Fealy, Soeharto’s New Order and its Legacy, (Canberra: ANU
E Press, 2010), 5 10
Aspinall dan Fealy, Soeharto’s New Order, 109
3
dwifungsi ABRI, desentralisasi kekuasaan, dan pendirian lembaga negara.
Puncaknya adalah saat Indonesia berhasil menyeleggarakan pemilu legislatif dan
presiden secara bersamaan pada tahun 2004.11
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Indonesia
hasil pemilu 2004. Dinamika demokrasi Indonesia, transisi demokrasi yang
singkat dan aman, serta kondisi demografis Indonesia, menjadi modal berharga
yang dirasakan oleh SBY penting untuk dibagikan kepada negara lain. Di samping
itu, SBY juga merasa bahwa proses demokrasi belum usai di Indonesia, sehingga
Indonesia masih harus belajar praktik demokrasi dari negara lain. Oleh sebab itu,
Indonesia menginisiasi Bali Democracy Forum (BDF) sebagai forum yang
membahas tentang praktik demokrasi di berbagai negara.12
Bali Democracy Forum adalah forum tahunan antar negara pertama di Asia
yang membicarakan dan belajar tentang praktik berdemokrasi. Forum ini pertama
kali diselenggarakan pada Desember 2008 oleh SBY. Kegiatan ini dinaungi oleh
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia.13
Sebagai forum tahunan,
penyelenggaraan BDF dibantu oleh Institute for Peace and Democracy (IPD) di
Universitas Udayana. IPD juga hadir sebagai lembaga yang membantu Kemlu
untuk merealisasikan gagasan dari BDF disetiap tahunnya.14
11
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 135 12
Kartika Virgianti, SBY Berdiskusi Soal Demokrasi di Bali Democracy Forum, tersedia di
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/sby-berdiskusi-soal-demokrasi-di-bali-democracy-
forum ; Internet; diunduh pada Jumat, 02 Desember 2016, pukul 01:25 WIB 13
Hassan Wirajuda, “The Bali Democracy Forum: Setting A New Strategic Agenda For
Asia” Southeast Asia Bulletin (CSIS Juni 2009) 1. 14
http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-we-are diunduh pada Selasa, 22 November 2016
pukul 07.02 WIb
4
Forum ini bersifat inklusif, sehingga tidak menutup kemungkinan akan
hadirnya negara-negara yang tidak menganut demokrasi ataupun tengah menjalani
transisi ke arah demokrasi. Tidak hanya negara-negara di Asia, negara-negara di
benua lainnya juga diperbolehkan hadir pada forum ini sebagai pengamat atau
observer. Selain kepala negara, BDF turut mengundang para akademisi dan
negarawan di berbagai negara sebagai upaya untuk menghasilkan gagasan
demokrasi yang lebih variatif.15
Myanmar menjadi negara yang turut menghadiri BDF di setiap tahunnya.
Sebagai negara yang masih berkutat dengan rezim militer, kehadirannya menjadi
fenomena yang menarik. Hampir seluruh jabatan dan posisi strategis diduduki
oleh militer. Sejarah juga mencatat bahwa sipil tidak pernah berkuasa lama di
Myanmar.16
Dengan kata lain, hadirnya Myanmar dalam forum tersebut adalah
bukti inklusifitas BDF dalam menerima negara yang belum menganut demokrasi.
Tahun 2007 adalah kali kedua Myanmar dihadapkan dengan gelombang
protes yang dilakukan oleh penduduknya yang dikenal dengan Revolusi Saffron.
Tidak hanya masyarakat dalam negeri, jauh sebelum revolusi terjadi Amerika
Serikat dan Uni Eropa sudah menekan Myanmar agar menerapkan demokrasi,
namun masih gagal. Kegagalan berbagai aktor untuk menghadirkan demokrasi di
Myanmar ditanggapi melalui ungkapan Zin dan Joseph, “Despite the efforts of a
prodemocratic opposition movement and its-known figure, Burma seemed fated to
15
Michael Halans dan Danitsja Nassy, Indonesia’s Rise and Democracy Promotion in
Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond, (Expert Seminar Report, The Hague 28 Oktober
2013) 7 16
Ita Mutiara Dewi, “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”, Jurnal
Istoria 1 (Januari 2005).
5
remain unfree and poor country in the military’s iron grip”.17
Ungkapan tersebut
menggambarkan sulitnya nilai-nilai demokrasi diterima oleh Myanmar.
Pasca revolusi tersebut, mulai terlihat indikasi bahwa Myanmar ingin
melakukan transisi demokrasi.18
Hal yang menarik adalah Kementerian Luar
Negeri (Kemlu) Republik Indonesia bersama dengan IPD turut aktif dalam
membangun sistem good governance Myanmar.19
Tidak hanya IPD, BDF bahkan
berhasil mengajak Asutralia dan Norwegia untuk membantu transisi demokrasi
Myanmar. Kehadiran IPD dan rekan-rekannya dalam membantu transisi
demokrasi menggambarkan bahwa BDF memberikan kontribusi terhadap
pembangunan demokrasi Myanmar.
Bali Democracy Forum memegang teguh prinsip homegrown democracy
atau berpatokan pada praktik-praktik nyata tentang nilai-nilai demokrasi oleh
negara peserta dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau membenarkan
praktik tersebut.20
BDF berupaya untuk mengaktualisasikan antara demokrasi
dengan kearifan lokal. Hal tersebut menjadikan BDF unik dan menarik untuk
dikaji, bahwa forum dialog tersebut mampu merubah persepsi Myanmar tentang
demokrasi, yang sebelumnya upaya demokratisasi dari berbagai aktor selalu
ditolak.
Kondisi geografis dan kedekatan sosio-kultural menjadi pertimbangan pada
penelitian ini. Myanmar merupakan negara terbesar di perbatasan Asia Selatan,
17
Min Zin dan Brian Joseph.,“The Opening in Burma”, Journal of Democracy 23 (Oktober
2012); 104 18
Wilson Rojeki Sidauruk, “Peran Institute Institute for Peace and Democracy (IDP) dalam
Demokratisasi di Myanmar”, Jurnal JOM Fisip Vol.2, No.1 – Feb 2015 (Universitas Riau); 1 19
Sidauruk, “Peran Institute Peace, 7 20
Fuat Albayumi, Peran Bali Democracy Forum (BDF) dalam Demokrasi Indonesia
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2014) 2
6
Asia Tenggara, dan Asia Timur, sehingga segala dinamika dalam negerinya
mampu memberikan efek negatif bagi stabilitas hubungan internasional -
khususnya di Asia tenggara dan Indonesia.21
Selain itu, Indonesia juga
bertanggung jawab untuk mewujudkan perdamaian dunia dan mempertahankan
atmosfir yang damai di Asia Tenggara. Secara demografis, Indonesia memiliki
kedekatan sejarah dengan Myanmar. Keduanya adalah negara yang dijajah oleh
Jepang dan pernah berkutat dengan rezim militer. Atas pertimbangan dua faktor
tersebut penelitian ini menjadikan Myanmar sebagai objek penelitian.
Periode 2012-2014 menjadi fokus karena intensitas bantuan yang diberikan
IPD dan perubahan statusnya. Sejak 2012, IPD terlibat aktif dalam memberikan
pelatihan kepada elit serta masyarakat Myanmar sebagai bentuk kesadaran
terhadap demokrasi. Kemudian, pada tahun 2015, IPD telah melepaskan diri
sebagai lembaga yang dinaungi oleh Kemlu. IPD menjadi yayasan mandiri.
Perubahan yang signifikan adalah jaringan atau networking yang dimiliki IPD
semakin luas, sehingga perlu diberikan batasan periodisasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa BDF berkontribusi dalam
transisi demokrasi Myanmar. Namun, menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimana
sesungguhnya forum pembelajaran dan dialog mampu memberikan kontribusi
terhadap pemahaman serta perkembangan demokrasi Myanmar. Dengan kata lain,
skripsi ini fokus terhadap sejauh mana gagasan demokrasi yang dipahami
Indonesia mampu untuk mengkonstruksi pemahaman demokrasi Myanmar.
21
Rohana Machmoed dan Hans-Joachim Esderts, Myanmar and the Wider Southeast Asia,
(Kuala Lumpur:ISIS, 1991) 22
7
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dijelaskan, maka pertanyaan
penelitian yang diajukan adalah Bagaimana Pengaruh Bali Democracy Forum
Terhadap Transisi Demokrasi Myanmar Periode 2012-2014?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana BDF,
sebagai kebijakan luar negeri Indonesia, mampu untuk memberikan pengaruh
terhadap perkembangan dan transisi demokrasi di Myanmar pada periode 2012-
2014.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bentuk evaluasi terhadap upaya
Indonesia untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Secara lebih mendetail,
manfaat dari skripsi ini adalah untuk mencari tahu sejauh mana signifikansi BDF
sebagai instrumen Indonesia untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa karya ilmiah -sebagai tinjauan pustaka- yang telah
menjelaskan seputar Bali Democracy Forum, Indonesia, dan demokrasi Myanmar,
seperti penelitian di bawah ini:
Skirpsi karya Asri Mustikawati yang berjudul “Indonesia’s Initiative in
Organising Bali Democracy Forum for Asia”. Penelitian mahasiswa UIN yang
diujikan pada tahun 2013 membahas mengenai latar belakang Indonesia
menyelenggarakan BDF. Mustika mempertimbangkan sejarah demokrasi
Indonesia dan dinamika demokrasi alasan mengapa Indonesia perlu mengadakan
8
BDF, sehingga Indonesia bisa belajar sekaligus berbagi pelajaran tentang praktik
demokrasi.
Fokus penelitian Mustikawati adalah bagaimana BDF memberikan
keuntungan bagi Indonesia. Komponen yang membedakan dengan skripsi ini
adalah bagaimana sesungguhnya proses transformasi norma demokrasi yang
diselenggarakan melalui BDF bisa diterima oleh negara pesertanya, khususnya
adalah Myanmar.
Tinjauan pustaka yang kedua adalah Jurnal Universitas Paramadina karya
Adian Firnas yang berjudul “Prospek Demokrasi Myanmar”. Jurnal yang
dikeluarkan pada Januari 2003 ini membahas tentang relasi antara militer dengan
pemerintahan Myanmar. Secara lebih spesifik, Firnas memaparkan alasan dibalik
kuatnya rezim militer di Myanmar sekaligus faktor-faktor yang mendorong
supaya militer menarik diri sistem pemerintahan.
Kesimpulan pada jurnal tersebut adalah dibutuhkannya peran komunitas
internasional untuk mendorong demokratisasi di Myanmar. Maka, skripsi ini
memposisikan BDF sebagai faktor eksternal yang mampu mengajak berbagai
institusi agar mendorong transisi demokrasi Myanmar.
Tinjauan pustaka berikutnya adalah jurnal karangan Juwono Sudarsono
yang berjudul “Democracy-Building in Southeast Asia”. Jurnal yang
dikompolasikan oleh Inter-Paliamentar Union Geneva ini dirilis pada tahun 1998.
Pada tulisannya, Sudarsono berupaya untuk menengahi perdebatan mengenai
pemahaman demokrasi. Aspek sosial dan budaya menjadi komponen yang
membedakan demokrasi di setiap regional. Ia menggarisbawahi faktor sosial dan
9
budaya mempengaruhi demokrasi di Asia Tenggara, seperti faktor penjajahan,
rendahnya pendidikan, dan sebagainya.
Jurnal karyanya berupaya untuk merekonstruksi makna demokrasi.
Seringkali demokrasi dipaksakan hidup di suatu negara dan menekan nilai sosial-
budaya setempat, namun menghasilkan konflik dan benturan budaya. Skripsi ini
berusaha untuk menjelaskan lebih jauh bagaimana sesungguhnya kearifan lokal
apabila diaktualisasikan dengan demokrasi memiliki potensi besar untuk
perkembangan suatu negara. BDF merupakan insrumen yang mengusung paham
demokrasi dengan mengedepankan local wisdom tersebut.
E. Kerangka Teoritis
1. Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam studi Hubungan
Internasional yang berusaha untuk menjembatani antara dimensi ide dengan
dimensi materi. Pendekatan ini hadir sebagai bentuk protes terhadap teori-teori HI
yang terlalu empiris dan normatif pada Great Debates ke III. Konstruktivisme
lahir dari persepsi yang menganggap bahwa negara bukan hanya aktor rasional,
melainkan aktor sosial. Oleh sebab itu, banyak yang mengatakan kalau
konstruktivisme berakar dari studi sosiologis.22
Karakteristik konstruktivisme berbeda dengan realisme, liberalisme,
ataupun marxisme. Konstruktivisme bukanlah teori politik, melainkan teori sosial
yang fokus terhadap perubahan sosial. Sehingga untuk menganalisis fenomena
hubungan internasional ia tidak bisa berdiri sendiri. Berdasarkan kerangka
22
Alexander Wendt,The Social Theory of International Politics. (Cambridge: Cambridge
University Press ,1994) 52
10
pemikirannya, konstruktivisme serupa dengan rational choice, yaitu menawarkan
kerangka berpikir untuk menjelaskan tentang interaksi sosial namun tidak
membuat klaim tentang konten spesifik. Konstruktivisme berusaha menjelaskan
bagaimana fenomena sosial mampu mempengaruhi fenomena politik.23
Dalam menganalisis proses, konstruktivisme menekankan pada peran ide,
norma, pengetahuan, dan budaya. Perhatian itulah yang menjadi nilai lebih bagi
konstruktivisme, bahwa sebelumnya belum ada teori HI yang menjadikan
ideational power sebagai kajian utama namun tetap memperhatikan pentingnya
komponen materil. Wendt menyatakan bahwa kepentingan dan preferensi
ditentukan oleh identitas aktor, karena pada dasarnya seorang aktor tidak bisa
mengetahui kepentingan aktor lain tanpa mengetahui siapa aktor tersebut. Pada
akhirnya, identitas akan menggambarkan bagaimana kita berpikir tentang diri kita,
bagaimana kita memikirkan orang lain, dan bagaimana orang lain memikirkan
kita.24
Pada dasarnya para konstruktivis tidak memiliki kesepakatan tertentu
tentang definisi dan tahapan penelitian identitas. Finnemore dan Sikkink
memahami identitas sebagai perilaku negara yang merupakan hasil konstruksi
sosial antara lingkungan dalam dan luar negeri.25
Kemudian, Wendt mengartikan
identitas sebagai pemahaman subjektif tentang bagaimana aktor memahami
23
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research
Program in International Relations and Comparative Politics”, Journal Political Sciences, Vol. 4
(2001), 392-393 24
Tisa Lestari, Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam Kerangka European
Neighborhood Policy (2011-2013), (Jakarta: UIN Jakarta, 2014) 18 25
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 399
11
dirinya dan bagaimana aktor lain memahaminya. Ia juga menegaskan kehadiran
identitas akan menjadi motivasi atau alasan bagi suatu aktor untuk bertindak.26
Menanggapi hal tersebut, Kowert dan Legro menyebut pendekatan identitas
dengan catch-all term karena dimensinya yang sangat luas, mulai dari sejarah,
lingkungan, norma domestik dan internasional, serta ideologi,27
Sehingga wajar
jika para konstruktivis memiliki banyak definisi mengenai identitas. Asumsi di
atas menjadi acuan berpikir konstruktivisme bahwa dengan memahami identitas
suatu negara, maka perilaku suatu negara bisa terprediksi.28
Konsekuensi identitas terhadap perilaku aktor dicontohkan dengan
mengamati perbedaan persepsi yang dimiliki Amerika Serikat dalam memandang
kepemilikan nuklir Inggris dan China. Walaupun secara materil nuklir tersebut
sama, namun secara ide Amerika Serikat menganggap nuklir milik Tiongkok
sebagai ancaman tetapi milik Inggris tidak. Hal tersebut terjadi karena persepsi
Amerika Serikat dalam mengenal identitas kedua aktor tersebut berbeda.29
Berbeda dengan positivisme, seperti neo-realis dan neo-liberalis, yang
berasumsi bahwa struktur internasional adalah faktor yang menentukan perilaku
subjek. Tidak juga seperti post-positivisme yang menganggap bahwa struktur
internasional sebagai distribusi diskursus di semua lininya. Kehadiran
konstruktivisme mengakui eksistensi dan peran konstitutif agen dan struktur, baik
26
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, (Australia: Cambridge
University Press, 1999) 224 27
Paul Kowert dan Jeffrey Legro, Norms, Identity, and Their Limits: A Theoritical
Reprise, (New York, Colombia, 1996) 28
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research,
399 29
Anne-Maria Slaughter, International Relations, Principal Theories, dilihat dari
https://www.princeton.edu/~slaughtr/Articles/722_IntlRelPrincipalTheories_Slaughter_20110509z
G.pdf, pada 7 Juni 2017, pukul 03.28 WIB.
12
material maupun ideasional. Dengan kata lain, konstruktivisme mengakui bahwa
wacana diproduksi oleh subjek yang kemudian mengalami proses dialog dan
akhirnya membentuk suatu norma atau struktur. Kemudian, konstruktivisme tidak
menafikan bahwa norma atau struktur hasil dialog antar diskursus tersebut akan
memberikan pengaruh balik terhadap masing-masing subjek.30
Diagram I.E.I Relasi antara Subjek dengan Ide dan Materil Menurut
Konstruktivisme
Sumber: (El Bilad, Jurnal Studi Hubungan Internasional, 2011)
Kehadiran konstruktivisme telah menawarkan cara pandang tersendiri dalam
melihat tatanan sosial, diantaranya adalah penekanan bahwa segala hal yang ada –
kepentingan, anarki, dan demokrasi- bukanlah hal yang given, melainkan hasil
dari komunikasi dan interaksi antara ide serta norma.31
Pendekatan ini juga yang
menghadirkan berbagai isu baru dalam studi Hubungan Internasional.
Istilah share ideas dan intersubjective meaning sering digunakan
konstruktivisme untuk mengnalisis peran ide dan materil dalam membentuk
30
Cecep Zakarias El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan
Damai Perdebatan Antar Paradigma”, Jurnal Studi Hubungan Internasional, Vol. 1 No 2 (2011),
70-71 31
Robert Jackson dan George Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) 307
13
realita sosial. Jauh sebelum identitas saling mempengaruhi, Wendt menjelaskan
jika identitas dan kepentingan dibentuk dari ide-ide yang disebarkan.32
Pada
dasarnya ide yang disebarkan oleh setiap aktor mengandung subjektifitas. Namun,
ketika ide tersebut telah diakui oleh banyak aktor dan menjadi pemahaman umum,
maka dalam keadaan tertentu ide tersebut mengandung objektifitas.33
Stefano Guzzini memberikan contoh yang menarik terkait peran ide dan
materil dalam membentuk realita sosial. Berdasarkan bentuknya uang hanyalah
selembar kertas atau kepingan logam dengan ukuran, bentuk, dan motif tertentu.
Namun, fakta material tersebut benar-benar menjadi “uang” ketika diberi
pemaknaan dan disepakati sebagai alat tukar yang sah. Ketika mayoritas orang
telah berhenti bersepakat tentang makna uang, maka ia tidak lain hanyalah
selembar kertas atau kepingan logam tanpa nilai tukar.34
Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa ada beberapa aktor atau entitas yang tidak menggunakan
uang sebagai alat jual-beli.
Berdasarkan pemahaman di atas, proses share ideas menuntut
intersubjective meaning atau pemahaman yang seragam. Wendt juga
menyebutnya dengan istilah common knowledge, yaitu kesamaan pengetahuan
tentang rasionalitas, preferensi, dan kepercayaan terkait sesuatu yang ada di luar
aktor. Dalam membentuk kesepahaman bersama tidak diperlukan kebenaran,
32
Wendt, Social Theory of International, 1 33
Wendt, Social Theory of International, 24 34
Stefano Guzzini, “A Reconstruction of Constructivism in International Relations”,
European Journal of International Relations, Vol. 6 (2000), 160
14
hanya diperlukan keyakinan. Pengetahuan bersama inilah yang nantinya turut
menentukan kualitas hubungan antar aktor.35
Bagaimana norma suatu aktor (subjektif) diterima oleh aktor lain (obejktif)
juga ditentukan oleh kapabilitas identitas. Aktor dengan identitas power yang kuat
memiliki peluang besar agar ide atau diskursus yang disebarkannya dapat diterima
oleh aktor lain.36
Dengan kata lain, hirarki identitas menentukan tingkat
keberhasilan share ideas.
Dalam penelitian ini, demokrasi menjadi norma yang turut membentuk
perilaku suatu negara. BDF menjadi instrumen untuk menyebarkan norma
demokrasi sebagaimana Indonesia memahami demokrasi. Myanmar, sebagai
negara yang berpartisipasi dalam BDF sekaligus menjalani transisi demokrasi,
berpotensi untuk menganut demokrasi sebagaimana yang disebarkan oleh BDF.
Oleh sebab itu, konstruktivisme menjadi pendekatan yang menganalisis
bagaimana norma demokrasi (ide) disebarkan kepada Myanmar melalui BDF
(materil).
2. Konsep Demokrasi
Menelaah makna demokrasi secara bahasa berasal dari dua kata, yaitu
demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa, sehingga
demokrasi diartikan sebagai rakyat yang berkuasa. Akan tetapi, definisi demokrasi
secara istilah telah diperdebatkan dari masa ke masa. Perdebatan tersebut terjadi
karena ide mengenai demokrasi kerap dipengaruhi oleh kultur dan historis pada
konteks tertentu. Pasca Perang Dunia II demokrasi dinilai sebagai ungkapan
35
Wendt, Social Theory of International, 159 36
El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional, 72
15
positif, sehingga sistem pemerintahan yang dianut oleh banyak negara seketika
dilabelkan demokrasi. Oleh sebab itu, wajar jika demokrasi kerap disandingkan
dengan istilah lain, seperti demokrasi rakyat, demokrasi pancasila, demokrasi
terpimpin, demokrasi konstitusional, dan sebagainya.37
David Collier dan Steven Levitsky menjelaskan fenomena tersebut dengan
ungkapan bahwa tidak ada kesepakatan tertentu dalam memaknai demokrasi.
Mereka berargumen terdapat lebih dari 100 tipe demokrasi yang muncul dari
beragam pendekatan.38
Begitupun dengan hasil penelitian UNESCO pada 1949
yang menganggap demokrasi sebagai sistem yang penuh dengan ketidaktentuan
atau keambiguitasan.39
Setiap tokoh mendefiniskan pemahaman demokrasinya berdasarkan
konteksnya masing-masing. Seperti Abraham Lincoln yang mengartikan
demokrasi sebagai sistem pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari
rakyat.40
Robert. A. Dahl mendefinisikan demokrasi berdasarkan fungsi dan
substansinya. Dahl mengatakan bahwa demokrasi merupakan jaminan kebebasan
kepada setiap masyarakatnya. Ia juga berpendapat, pemerintahan bebas inilah
yang akan menjadi pintu awal bagi terciptanya dialog konstruktif antara
masyarakat dengan para elit untuk membangun negeri.41
37
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 105 38
David Collier dan Steven Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation
in Comparative Reseacrh,” Jstor Journal of World Politics 49, No.3, (April 1997): 431 39
UNESCO, Education for Sustainable Development Toolkit, (France: UNESCO
Workshop, 2006): 18-19 40
John Keane, Democracy: The Rule of Nobody?, [laporan kerja]; tersedia di
http://www.johnkeane.net/wp-content/uploads/2011/01/rule_of_nobody.pdf ; Internet; diunduh
pada Rabu, 30 November 2016, pukul 15.25 WIB. 41
Dahl menjelaskan tiga fungsi yang menjadikan demokrasi memiliki nilai lebih ketimbang
sistem pemerintahan lainnya. Pertama, demokrasi berfungsi sebagai instrumen yang
mempersilahkan masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Kedua, dengan
16
Kesulitan dalam mengkonseptualisasikan demokrasi juga diakui oleh Frank
Cunningham. Dalam bukunya Theories of Democracy ia menjelaskan bahwa
demokrasi akan sangat bergantung terhadap nilai-nilai yang hidup di suatu negara.
Oleh sebab itu, ia kesulitan untuk menemukan sebuah state prototype untuk
menjelaskan hakikat dari demokrasi. Hal tersebut terjadi karena fenomena di
antara negara penganut demokrasi tidaklah sama, bahkan untuk sistem
keterlibatan masyarakat dan bentuk negaranya.42
Begitupun dengan Habbermas yang melihat demokrasi sebagai fenomena
komunikasi. Keterlibatan masyarakat dalam sistem demokrasi juga dihadapkan
dalam posisi dilematis. Demokrasi deliberatif adalah kritik terhadap pemahaman
umum keterlibatan masyarakat yang ditawarkan oleh demokrasi liberal. Sering
kali demokrasi menjadi legitimasi bagi lahirnya kebijakan negara yang
menguntungkan etnis mayoritas, karena suara mayoritas memenangkan
pemilihan. Demokrasi deliberatif menolak gagasan tersebut karena kebijakan yang
lahir belum tentu diterima oleh etnis minoritas lainnya.43
Sehinga demokrasi
deliberatif sering kali dikenal dalam artian sempit dengan musyawarah.
Demokrasi deliberatif adalah demorkasi yang mengkonstruksi kembali
makna keterwakilan. Menurut Hardiman demokrasi deliberatf adalah upaya untuk
merevitalisasi kembali esensi demokrasi yang menekankan terhadap proses
demokrasi, setiap individu hidup di bawah aturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri (melalui
konsep keterwakilan). Ketiga, demokrasi menjadikan setiap masyarakatnya untuk memiliki
pilihan-pilihan normatif dan melibatkannya ke ranah pemerintahan lebih dalam. Larry Diamond,
Developing Democracy, 3 42
Frank Cunningham, Theories of Democracy: A Critical Introduction (London: T J
Internasional Ltd, 2002) 5 43
James Bohman, “Survey Article: The Coming of Age of Deliberative Democracy”, The
Journal of Political Philosophy 6 (1988); 400
17
pengambilan keputusan, bukan hasilnya. Demokrasi tidak sekedar sistem yang
menghasilkan kebijakan melalui keterlibatan masyarakat, demokrasi juga
bertanggung jawab terhadap proses pengambilan keputusannya -apakah melalui
uji publik, dialog, dan debat- sehingga kebijakan tersebut bisa diterima oleh
berbagai kalangan, kalau pun masih dinilai merugikan beberapa pihak.44
Mengamati penjelasan di atas, terlihat bahwa penerapan demokrasi akan
sangat bergantung dengan realitas sosial di suatu tempat. Relasi antara realitas
sosial dengan pemaknaan serta penerapan konsep demokrasi pada suatu dimensi
menandakan bahwa demokrasi bukanlah hal yang given, melainkan hasil dari
konstruksi ide, nilai, atau norma tertentu. Pada tingkatan inilah demokrasi menjadi
pembahasan yang relevan dalam kajian konstruktivisme.
Bagaimana demokrasi menjadi suatu norma yang disebarkan dijelaskan oleh
Jon C. Prevehouse melalui tiga bentuk, yaitu melalui diffusi dan pengaruh praktik
nyata, melalui mekanisme spill-over, dan melalui paksaan.45
Diffusi atau praktik
nyata terjadi ketika demokratisasi di suatu negara akan “menular” ke negara
tetangganya, dengan motif yang sama, yang akan melakukan perubahan ke arah
demokrasi.46
Asumsi ini terjadi manakala demokrasi telah menunjukkan
perubahan suatu negara ke arah yang lebih baik, sehingga negara tetangga
cenderung ingin meniru praktik demokrasi layaknya negara tersebut.
Mekanisme spill-over biasanya sering dikaitkan dengan aktivitas
kelompok kepentingan atau kelompok informal lain yang membawa dan
44
Fahrul Muzaqqi, “Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia”, Jurnal Review Politik 3
(Juni 2013); 124-125 45
Jon C. Prevehouse .Democracy from Above Regional Organization and Democratization.
(Cambridge : Cambridge University Press, 2005) 9 46
Prevehouse .Democracy from Above, 9
18
menyebarkan nilai-nilai demokrasi.47
Dengan kata lain, mekanisme ini menuntut
kehadiran pihak ketiga sebagai aktor yang menyebarkan nilai-nilai demokrasi.
Penggunaan paksaan tidak selalu diartikan dengan pendekatan militeristik.48
Pendekatan paksaan juga terjadi pada kasus bantuan pinjaman dana oleh IMF dan
World Bank, yang mana syarat agar negara mendapat bantuan dari mereka adalah
negara peminjam harus menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.49
Namun,
Pergeseran konstelasi politik internasional, pasca Perang Dingin, berdampak
terhadap tidak relevannya demokratisasi dilakukan dengan pendekatan militer
atau terjadinya intervensi secara langsung antara negara maju terhadap negara
berkembang.
Promosi demokrasi yang paling ideal adalah bagaimana aktor-aktor
internasional membangun sebuah imperium demokrasi untuk mempengaruhi
perkembangan demokrasi itu sendiri dalam konteks regional dan internasional.50
Penjelasan tersebut mengarah kepada asumsi bahwa kerjasama antar-negara
demokratis diperlukan untuk mendukung perkembangan demokrasi di negara-
negara tersebut dengan berdasarkan nilai-nilai demokrasi sendiri yaitu persamaan
derajat, sehingga tidak ada pemaksaan suatu negara atau kelompok negara
terhadap negara atau kelompok negara yang lain.51
Risse menjelaskan demokratisasi dalam konstruktivisme sebagai bentuk
transfer norma dari negara yang sudah menganut demokrasi ke negara yang belum
47
Prevehouse .Democracy from Above, 9 48
Prevehouse .Democracy from Above, 9 49
Jeffry A. Frieden dan David A. Lake, International Political Economy: Perspectives on
Global Power and Wealth (North America: Routledge, 2000) 179 50
Caroline Shaw and SE. Davis. The Democracy and The State Authority. (London and
New York:Vintage Book Publishing, 2009) 29 51
Albayumi, Peran Bali Democracy Forum, 8
19
menganutnya. Promosi diperlukan karena norma tidak dapat berpindah secara
bebas dalam situasi yang kondusif, oleh sebab itu negara demokratis akan terus
mengajak mitranya untuk mematangkan demokrasinya. Tujuan dari transfer
norma adalah agar negara non-demokratis dapat menganut dan
menginstitusionalisasikan norma demokrasi tanpa mendapatkan tekanan dari
eksternal.52
Dengan kata lain, diffusi dan spill-over adalah instrumen
demokratisasi dalam perspektif konstruktivisme.
Jika dikontekstualisasikan dengan penelitian ini, maka demokratisasi yang
dilakukan Indonesia melalui BDF merupakan hasil dari pergeseran nilai pasca
Perang Dingin dan keyakinan terhadap sistem demokrasi. Bagaimana Indonesia
memahami demorkrasi juga dibentuk oleh pengalaman sejarahnya. BDF menjadi
instrumen untuk menyebarkan nilai demokrasi berdasarkan praktik nyata
berdemokrasi di suatu negara, sekaligus menjadi pihak ketiga yang membantu
penyebaran nilai tersebut. Namun, BDF tidak memaksa suatu negara untuk
menerapkan konsep demokrasi yang dimiliki Indonesia atau negara lain.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Denzin
dan Lincoln, kualitatif adalah penelitian yang lebih ditunjukkan untuk mencapai
pemahaman mendalam mengenai suatu peristiwa, ketimbang mendeskripsikan
bagian permukaan dari sampel yang besar dari sebuah populasi.53
Lebih jauh lagi,
Creswell menilai bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk menciptakan
52
Lestari, Promosi Demokrasi Uni Eropa, 24 53
Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Greentea, 2010) 6
20
gambaran yang menyeluruh dan komprehensif serta memberikan analisis dari
paparan informasi yang tersaji.54
Samuel Barkin menegaskan bahwa penelitian kualitatif terhadap ilmu
politik sangat menuntut analisis yang kuat dan mendalam. Pasalnya, hasil dari
penelitian terhadap fenomena politik ini akan menjadi suatu narasi yang akan
menjawab pertanyaan masalah dan menjadi rujukan pada permasalahan sosial
tertentu.55
Secara garis besar, terdapat dua jenis data yang nantinya digunakan yaitu,
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan melalui
wawancara mendalam terhadap elemen-elemen terkati, seperti Direktorat
Diplomasi Publik (Kemlu) dan IPD, dan para peneliti.56
Sedangkan data sekunder
adalah data yang didapat melalui tinjauan pustaka terhadap buku-buku, jurnal, dan
karya ilmiah serta internet dengan pembahasan yang serupa atau membahas
tentang komponen terkait.57
Guna mendapatkan data primer, wawancara dilakukan pada empat tokoh
yang dianggap representasi pada bidangnya masing-masing. Mereka adalah:
1. Akademisi; Aleksius Jemadu sebagai Guru Besar Hubungan Internasional.
Kapabilitasnya pada penelitian ini adalah sebagai ahli pengamat hubungan
internasional.
54
John W, Creswell Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches (USA: Sage Publications, 2003) 16 55
Audie Klotz, Qualitative Methods in International Relations. (New York: Palgrave
MacMillan, 2008) 211-212 56
Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif, 104 57
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009)
137
21
2. Birokrat; Agus Heryana sebagai Kepala Subdit Isu-Isu Aktual dan
Strategis, Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri.
Kapabilitasnya adalah sebagai perwakilan dari direktorat yang
menyelenggarakan BDF.
3. Pelaksana BDF; I Ketut Putra Erawan sebagai Direktur Eksekutif Institute
for Peace and Democracy. Kapabilitasnya adalah sebagai perwakilan dari
institusi yang membantu terselenggaranya serta terealisasinya gagasan-
gagasan dalam BDF.
4. Peneliti dan pengamat; Khanisa Krisman sebagai Koordinator Tim Kajian
ASEAN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kapabilitasnya adalah
sebagai pengamat demokrasi di Asia Tenggara
Hasil wawancara tersebut dianalisis dan dikoneksikan dengan penelitian
atau teori yang berkaitan dengan demokrasi, sehingga didapat satu rumusan
integratif antara yang seharusnya dan senyatanya. Hal ini dilakukan untuk
membuat rumusan baru yang dilandaskan dari teori konstruktivisme dalam
melihat demokrasi.
G. Sistematika Penelitian
Agar penelitian ini dapat dipahami secara komprehensif, maka skripsi ini
disusun dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai pendahuluan penelitian. Secara
lebih mendetail, pendahuluan penelitian terdiri dari pernyataan masalah,
22
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat, kerangka teoritis, dan metode
penelitian, termasuk sistematika penelitian.
BAB II Bali Democracy Forum
Bagian ini akan meninjau BDF dari berbagai aspek. Pembahasan dimulai
dari hakikat BDF, Indonesia dan demokrasi, hingga BDF sebagai kebijakan
demokratisasi Indonesia.
BAB III Dinamika Demokrasi Myanmar
Bagian ini membahas tentang jatuh-bangun demokrasi Myanmar. Berawal
dari situasi domestik Myanmar, demokrasi dan otoriter sebagai sistem
pemerintahan, hingga indikasi kebangkitan demokrasi Myanmar.
BAB IV Pengaruh BDF terhadap Transisi Demokrasi Myanmar
periode 2012-2014
Bagian ini mengkorelasikan antara BAB II dan BAB III. Pada bab ini, akan
dipaparkan mengenai peran BDF sebagai promotor norma demokrasi ke
Myanmar. Bab ini juga membahas relevansi BDF dengan IPD dalam membantu
transisi demorkasi Myanmar melalui pendekatan konstruktivisme.
BAB V Penutup
Bagian ini merupakan kesimpulan dari penelitian. Bagian ini juga memuat
saran sebagai masukan kepada pihak-pihak terkait yang didasarkan dari hasil
penelitian skripsi ini
23
BAB II
BALI DEMOCRACY FORUM
Demokrasi bukan istilah baru bagi Indonesia. Sejak kemerdekannya, para
founding father sepakat untuk menetapkan demokrasi sebagai sistem
pemerintahan, walaupun bentuknya mengalami perubahan dari masa ke masa -
mulai dari Demokrai konstitusional, Demokrasi Terpimpin, hingga Demokrasi
Pancasila-. Dinamika tersebut menandakan Indonesia telah yakin terhadap sistem
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik.58
Bentuk keyakinan tersebut
juga diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri, yakni Indonesia turut
menjadi negara yang menyebarkan nilai-nilai demokrasi, salah satunya melalui
kebijakan Bali Democracy Forum. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai BDF
dari berbagai aspek, mulai dari latar belakangnya berdirinya, BDF sebagai
kebijakan luar negeri Indonesia, dan mekanisme BDF yang menjadikannya
berbeda dengan forum demokrasi lainnya.
A. Bali Democracy Forum: Sebuah Pengantar
Bali Democracy Forum merupakan forum tahunan antar negara setingkat
menteri pertama di Asia yang membicarakan dan belajar tentang praktik
berdemokrasi. Forum ini pertama kali diselenggarakan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada Desember 2008 bertempat di Bali. Kegiatan ini
dinaungi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia.59
Sebagai
forum tahunan, penyelenggaraan BDF dibantu oleh Institute for Peace and
58
Wirajuda, “The Bali Democracy Forum”, 2. 59
I Ketut Putra Erawan, Indonesia, diunggah dari
https://freedomhouse.org/sites/default/files/FH_Demo_Reports_Indonesia_final.pdf, diaskes pada
Sabtu, 11 Maret 2017, pukul 14.37 WIB.
24
Democracy di Universitas Udayana. IPD juga hadir sebagai lembaga yang
membantu Kemlu untuk merealisasikan hasil dari BDF setiap tahunnya.60
A.M Fachir, Wakil Menteri Kemlu RI 2014-2019, menjelaskan alasan
mengapa Bali menjadi tempat terselenggaranya event tahunan ini. Menurutnya,
Bali memiliki nilai jual yang tinggi Indonesia, sehingga memperkenalkan Bali
sebagai lokasi terselenggaranya BDF adalah perkara mudah. Kemudian, Bali
memiliki konsep kearifan lokal yang disebut “Tri Hita Karana”, yaitu konsep
keserasian antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama
manusia, dan manusia dengan alam.61
Dengan kata lain, sikap toleransi dan
demokratis telah menjadi norma sosial di Bali.
Forum ini bersifat inklusif, sehingga tidak menutup kemungkinan hadirnya
negara-negara yang tidak menganut demokrasi ataupun tengah menjalani transisi
demokrasi. Tidak hanya negara di Asia, negara-negara di benua lainnya juga
diperbolehkan hadir pada forum ini sebagai pengamat atau observer, diantaranya
adalah Amerika Serikat, Austria, Belanda, dan Inggris.62
Selain kepala negara,
BDF turut mengundang para akademisi, media, negarawan, dan tokoh bangsa dari
berbagai negara guna menghasilkan gagasan demokrasi yang variatif.63
60
http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-we-are diakses pada Kamis, 09 Maret 2017 pukul
20.31 WIB 61
Wawancara antara A.M. Fachir dengan Aji Surya, wartawan Detik News, di sela-sela
persiapan BDF 2013. Dikutip dari http://news.detik.com/berita/2405453/bali-democracy-forum-
kebutuhan-nasional-dan-internasional, diakses pada Sabtu, 18 Maret 2017 pukul 02.11 WIB. 62
Ibnu Purna, Yuhardi, Johar Arifin. Inisiatif Dan Inspirasi Demokrasi dalam Bali
Democracy Forum, dikutip dari
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3138, diakses pada
Kamis, 09 Maret 2017, pukul 20.40 WIB. 63
Michael Halans dan Danitsja Nassy, “Indonesia‟s Rise and Democracy Promotion in
Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond,” Expert Seminar Report of The Hague (Oktober
2013) 7
25
Gambar I. A.1 Foto Bersama Delegasi BDF ke-5,
Sumber: Republika.co.id64
Penyebaran nilai-nilai demokrasi melalui BDF menerapkan prinsip home-
grown democracy. Maksud dari prinsip tersebut adalah Indonesia, sebagai tuan
rumah sekaligus inisator BDF, berpatokan pada praktik-praktik nyata nilai
demokrasi oleh negara peserta dengan tidak berpretensi untuk menyalahkan atau
membenarkan praktik nyata tersebut.65
Dengan kata lain, Indonesia tidak
memaksakan agar negara peserta membenarkan praktik demokrasi yang telah
diterapkan oleh negara lain sebagai acuan untuk berdemokrasi yang benar dan
sempurna, sehingga mereka harus menerapkan hal yang serupa di negaranya.
Home-grown democracy diilhami oleh Indonesia sebagai prinsip BDF
karena tiga faktor. Pertama, karena Indonesia merupakan bagian dari ASEAN.
Negara di Asia Tenggara sepakat untuk menjadikan norma non-interference
sebagai prinsip fundamental ASEAN yang dimaktub dalam Treaty of Amity and
64
Foto bersama delegasi setiap negara pada BDF kelima.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/11/08/md5sdm-sby-buka-bali-democracy-
forum-2012. Diakses pada Senin, 10 Juli 2017, pukul 17:33 WIB. 65
Albayumi, Peran Bali Democracy, 1
26
Cooperation in Southeast Asia (TAC).66
Prinsip tersebut melarang sesama anggota
ASEAN untuk saling mengintervensi, sehingga memberikan kelonggaran dan
kebebasan bagi negara untuk mengatur penyelenggaraan bernegaranya tanpa
harus khawatir adanya campur tangan negara lain.67
Hal ini juga bentuk terhadap
penghormatan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari ASEAN,
kebijakan luar negeri Indonesia harus selaras dengan norma-norma yang
diterapkan di Asia Tenggara.
Kedua, karena Indonesia yakin bahwa demokrasi adalah proses bukan
tujuan. Hal tersebut disampaikan oleh SBY pada pidato pembukaan BDF tahun
2008. Menurutnya tidak ada demokrasi yang sempurna. Demokrasi adalah suatu
proses yang terus mengalami perbaikan untuk perlindungan HAM.
Pemahamannya juga dipengaruhi oleh dinamika demokrasi Indonesia. Dinamika
yang terjadi tidak menyangkal bahwa Indonesia hari ini adalah negara yang kuat
dan lebih baik.68
Oleh sebab itu, melalui BDF Indonesia tidak ingin setiap negara
mengklaim bahwa terdapat praktik demokrasi yang salah ataupun benar.
Indonesia justru menjadikan BDF sebagai forum agar setiap kepala negara bisa
saling belajar dan berbagi pengalaman mengenai demokrasi.
Ketiga, karena hadirnya tantangan baru di abad 21. Pada abad 20, komunitas
internasional mendapat tantangan besar dari segala aspek yang bersifat hard
power. Namun, di era milenial, setiap negara harus merespon segala isu dengan
66
http://asean.org/asean/about-asean/overview/, diakses pada Sabtu, 11 Maret 2017 pukul
15.26 WIB. 67
Nurul Wakhidah, Prinsip Non-Intervensi ASEAN dalam Upaya Penyelesaian Konflik
Rohingnya di Myanmar (Yogyakarta: Universtas Gajah Mada, 2014) 3-4 68
Kementerian Luar Negeri dan Institute Peace and Democracy, Speeches and Proceedings
Bali Democracy Forum ‘Building and Consolidating Democracy: A Strategic Agenda for Asia’ “
(Jakarta: Kemlu, 2008) 6
27
pendekatan soft power, termasuk dalam menanggapi isu kekerasan, separatisme,
dan pelanggaran HAM.69
Oleh sebab itu, dialog, penguatan institusi, dan kerja
sama antar-negara adalah instrumen yang ditawarkan oleh pendekatan abad 21.
Indonesia juga menyadari bahwa permasalahan yang dihadapi setiap negara
berbeda dan harus dituntaskan dengan formulasi yang unik dan pendekatan yang
lebih variatif. Inilah yang mendasari prinsip home-grown democracy pada BDF
bahwa tantangan yang dihadapi negara bisa dituntaskan dengan bantuan negara
lain namun dengan pendekatan dialog dan berbagi pengalaman, dengan demikian
tidak ada negara yang terkesan diintervensi.
Pada praktik penegakannya, instrumen yang diterapkan BDF tidak seperti
Amerika Serikat (AS) -dengan menginvasi Afghanistan- dan tidak seperti Uni
Eropa (UE) -dengan embargo ekonomi dan politik-,70
karena penggunaan
instrumen tersebut menandakan bahwa aktor-aktor di atas memilki indikator
demokrasi tertentu. Sedangkan Indonesia, ditegaskan oleh SBY pada sambutan
BDF pertama, tidak mempermasalahkan sistem pemerintahan apa yang dianut
oleh negara, melalui BDF Indonesia juga tidak berusaha untuk membuat standar
dan indikator demokrasi tertentu,71
dan Indonesia juga yakin bahwa demokrasi
bukan gagasan milik Barat dengan makna yang sakral.72
69
Kemlu dan IPD, Building and Consolidating Democrac, 8 70
Labib Syarief, Keputusan Uni Eropa Mencabut Sanksi Ekonomi dan Politik Terhadap
Myanmar Tahun 2013, (Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 15. 71
Kemlu dan IPD, Building and Consolidating Democracy, 5-6 72
Wirajuda, “The Bali Democracy Forum”, 1.
28
Oleh sebab itu, Indonesia menegaskan upaya demokratisasi melalui BDF
menggunakan pendekatan konstruktivisme73
. Selain itu, speech dan discussion
menjadi fokus utama dari BDF karena Indonesia ingin mengembalikan khittah
dari demokrasi itu sendiri, yaitu freedom of speech.74
B. Mekanisme BDF dan Perkembangan Setiap Tahunnya
Bali Democracy Forum dilaksanakan selama dua hari pada setiap tahunnya.
Pertama kali dilaksanakan pada 2008 dan terus berlanjut hingga 2016.75
Terkait
pelaksanaannya, BDF selalu mengambil tema yang berbeda tentang demokrasi,
mulai dari penguatan institusi kenegaraan, kebebasan sipil, hingga upaya resolusi
konflik. Pada setiap temanya, BDF memiliki sub-temanya masing-masing agar
pembicaraan forum lebih spesifik dan cenderung dikaitkan dengan situasi global.
Oleh sebab itu, BDF diharapkan mampu menjadi problem solver atas dinamika
global yang sedang terjadi.76
Inti daripada forum ini adalah belajar dan saling bertukar gagasan mengenai
cara menyelesaikan masalah kenegaraan melalui praktik demokrasi.77
Gagasan
yang ditelurkan dari BDF bersifat saran tidak mengikat, sehingga implementasi
gagasan tersebut sangat bergantung terhadap negara pesertanya masing-masing.
73
Ahmad Habir, Aditya Batara, dan Muhammad Tri, “Normative Priorities and
Contradictions in Indonesia‟s Foreign Policy: From Wawasan Nusantara to Democracy” Jurnal
National Security College (Mei 2014): 55 74
Tim Redaktur, “Bali Democracy Forum: Membangun Demokrasi dalam Perspektif
Global,” Tabloid Diplomasi, 15 Januari 2013, 08. 75
BDF selalu diselenggarakan setiap tahunnya dari 2008 hingga 2016. Namun, skripsi ini
membatasinya hingga tahun 2014. 76
Wawancara antara A.M. Fachir dengan Aji Surya,
http://news.detik.com/berita/2405453/bali-democracy-forum-kebutuhan-nasional-dan-
internasional, 77
Ramidi, Bali Democracy Forum: Place to Share about Democracy, dikutip dari
http://gres.news/news/politics/102248-bali-democracy-forum-place-to-share-about-democracy/0/,
diakses pada Kamis, 16 Maret 2017, pukul 01.04 WIB
29
Pada hari pertama pelaksanaannya, forum ini diisi dengan mendengarkan
pidato dari setiap kepala negara yang hadir tentang demokrasi di negaranya.
Sebelum sesi pertama dimulai, biasanya diawali dengan laporan dari Kementerian
Luar Negeri RI dan sambutan pembuka dari Presiden RI. Kemudian pada hari
kedua, dilanjutkan dengan dialog interaktif terkait tema yang telah ditentukan.
Pada sesi dialog interaktif, normalnya dipilih beberapa negara yang memiliki
kompetensi sesuai dengan tema untuk dijadikan sebagai narasumber.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan BDF setiap tahunnya, bisa
dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel II.B.1 Perkembangan BDF Setiap Tahun
Tahun Tema
Jumlah
Peserta
Inti Pembahasan Asia Non-
Asia
200878
Building and
Consolidating
Democracy: a
Strategic
Agenda for Asia 32 8
1. Menolak gagasan bahwa demokrasi
adalah milik Barat
2. Menyepakati Asian Values sebagai
nilai yang mendasari demokrasi
khas Asia
3. Demokrasi bukanlah warisan,
melainkan harus dibangun dari
kesadaran nilai dan norma yang
dianut oleh masing-masing negara
200979
Promoting
Synergy between
Democracy and
Development in
Asia: Prospects
for Regional
Cooperation
35 13
1. Relasi antara demokrasi dengan
pembangunan
2. Demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang menjunjung
tinggi supremasi hukum, kesetaraan
ekonomi, dan partisipasi politik
3. Ekonomi, politik, dan hukum
adalah instrumen integralistik yang
78
Kemlu dan IPD, Building and Consolidating Democracy, 79
Kementerian Luar Negeri dan Institute Peace and Democracy, Promoting Synergy
between Democracy and Development in Asia: Prospects for Regional Cooperation “ (Jakarta:
Kemlu, 2009)
30
penting bagi pembangunan suatu
negara.
201080
Democracy and
The Promotion
of Peace and
Stability
44 27
1. Menjadikan demokrasi sebagai
katalisator perdamaian melalui
dialog antar-elemen masyarakat
2. Stabilitas akan terwujud melalui
kesejahteraan dan kehadiran
pemerintah dalam menjamin
kebutuhan rakyatnya
3. Demokrasi dengan nilai-nilai dan
budaya lokal, home-grown
democracy, adalah upaya
menyelesaikan konflik yang efektif
201181
Enhancing
Democratic
Participation in
a Changing
World:
Responding to
Democratic
Voices 40 42
1. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang harus
mendukung kebebasan, mendorong
kemajuan, dan kesetaran hak,
terlepas dari apapun bentuk
pemerintahannya
2. Demokrasi akan terus mendapat
tantangan, oleh sebab itu demokrasi
harus terus berkembang atau
berevolusi
3. Mendengarkan aspirasi seluruh
elemen masyarakat adalah upaya
awal untuk meningkatkan
partisipasi publik sebagai proses
pembangunan
201282
Advancing
Democratic
Principles at
The Global
Setting: How
Democratic
Global
Governance
Contributes to
International
Peace and
36 47
1. Masyarakat internasional harus
menciptakan atmosfir yang nyaman
bagi perkembangan demokrasi. Hal
tersebut bisa dimulai dari PBB dan
organisasi regional.
2. Peran organisasi regional yang
penting karena institusi tersebutlah
yang paling paham bagaimana
situasi dan kondisi negara
anggotanya
3. Terlepas dari sistem
80
Kementerian Luar Negeri dan Institute Peace and Democracy, Democracy and The
Promotion of Peace and Stability (Jakarta: Kemlu, 2010) 81
http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/bdf/state1112.html diakses pada Sabtu,
18 Maret 2017 pukul 00.39 WIB. 82
http://www.kemlu.go.id/Documents/BDF%20V%20Chair's%20Statement/The%20Fifth
% 20Bali% 20Democracy% 20Forum% 20Chair's% 20Statement% 20(OFFICIAL).pdf Diakses
pada Sabtu, 18 Maret 2017 pukul 01.01 WIB
31
Security,
Economic
Development,
and Effective
Enjoyment of
Human Rights
pemerintahannya, penghormatan
terhadap HAM merupakan
universal values yang harus
diagungkan negara untuk setiap
masyarakatnya
201383
Consolidating
Democracy in a
Pluralistic
Society
54 26
1. Dalam kerangka demokrasi,
keragaman elemen masyarakat
(pluralistik) adalah keistimewaan.
2. Penerapan sistem multi-partai bisa
menjadi salah satu cara untuk
menyerap aspirasi masyarakat yang
plural
3. Penguatan institusi menjadi aspek
fundamental untuk menjaga
keterlibatan seluruh laporan
masyarakat
201484
Evolving
Regional
Democratic
Archiecture:
The Challanges
of Political
Development,
Public
Participation,
and Socio-
Economic
Progress in The
21st Century
42 49
1. Pada dasarnya esensi demokrasi
adalah sama, yaitu untuk
pembangunan bangsa. Namun,
pendekatan untuk menggapai hal
tersebut berbeda setiap negara
2. Politik adalah variabel yang
menentukan arah demokrasi suatu
negara.
3. Ekonomi merupakan aspek yang
menentukan instrumen politik yang
akan diterapkan. Sehingga, ekonomi
tidak kalah penting dengan politik.
4. Demokrasi tanpa partisipasi publik
adalah kehampaan. Konsistensi
partisipasi publik menentukan
tingkat kematangan demokrasi Sumber: Diolah dari berbagai Laporan BDF, Kemlu
Berdasarkan tabel di atas, dapat dikatakan kalau jumlah partisipan BDF
selalu meningkat setiap tahunnya, walaupun sempat mengalami sedikit
kemunduran dan stagnansi. Prinisp BDF yang inklusif dan mengedepankan
83
http://kemlu.go.id/Documents/CS%20BDF%20VI/CHAIRMAN%20STATEMENT%20B
DF%206.pdf. Diakses pada Sabtu, 18 Maret 2017, pukul 01.18 WIB 84
Kementerian Luar Negeri dan Institute Peace and Democracy, Evolving Regional
Democratic Archiecture: The Challanges of Political Development, Public Participation, and
Socio-Economic Progress in The 21st Century (Jakarta: Kemlu, 2014)
32
sharing experiences diduga menjadi faktor yang memikat banyak negara untuk
berpartisipasi di dalamnya.85
Peningkatan jumlah peserta menandakan bahwa BDF tidak hanya diminati
oleh negara Asia, melainkan BDF telah menjadi kebutuhan global. Hal tersebut
menunjukkan tren positif terhadap kesadaran berdemokrasi yang semakin
meningkat setiap tahunnya.86
Dengan demikian, prospek demokrasi di Asia telah
berkembang signifikan dan mendapat dukungan dari berbagai komunitas
internasional.87
C. Demokrasi dalam Perspektif Indonesia
Penting untuk memahami bagaimana sesungguhnya Indonesia memaknai
Demokrasi. Upaya untuk memaknainya bisa dilihat dengan memahami esensi
dari tema BDF secara keseluruhan. Walaupun tidak bisa menjadi klaim bahwa
dengan memahami tema BDF maka akan paham terhadap demokrasi dari
perspektif Indonesia.
Harus diakui jika demokrasi memiliki nilai-nilai universal, namun Indonesia
juga menegaskan bahwa demokrasi adalah sebuah “endless process”, mengingat
tantangan zaman yang berbeda dan keharusan demokrasi untuk berevolusi.88
Dengan demikian, indikator Indonesia dalam memahami demokrasi adalah hal
yang dinamis, sehingga penegakannya harus melalui pendekatan kritik-kontruktif.
85
Hasil wawanara dengan Agus Heryana. 86
Marty Natalegawa, “BDF Alami Banyak Kemajuan,” Tabloid Diplomasi, 15 Januari
2013, 12 87
Susilo Bambang Yudhoyono. “BDF Paltform Kemitraan Strategis,” Tabloid Diplomasi,
15 Januari 2013, 8 88
Kemlu dan IPD, Building and Consolidating Democracy, 5-6
33
Upaya memahami demokrasi dalam perspektif Indonesia, setidaknya, akan
beririsan dengan tiga dimensi. Pertama, demokrasi adalah proses pemberdayaan
(empowerment) dan pembangunan (development). Demokrasi adalah proses untuk
memberdayakan seluruh elemen masyarakat -dari masyarakat yang kecil dan
terpinggirkan hingga jajaran elit pemerintah- agar mereka memiliki harapan dari
setiap aspirasinya. Demokrasi juga harus menjadi instrumen pembangunan
ekonomi dan politik melalui tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).89
Kedua, demokrasi adalah instrumen untuk memunculkan stabilitas
(stability). Stabilitas dapat tercapai apabila negara dijalankan dengan rule of law.
Penegakan hukum menjadi instrumen penting untuk menghindari otoritarianisme
dan menegakkan hak asasi manusia (HAM). Hukum yang ditegakkan juga harus
dibangun melalui mekanisme yang transparansi dan dari jajaran elit yang
akuntabel. Penting untuk menghadapi segala tantangan demokrasi dengan arif dan
bijak.90
Dengan demikian, penerapan mekanisme check and balances menjadi
usaha fundamental yang harus ditegakkan dalam kerangka hukum.
Ketiga, demokrasi harus mendukung kebebasan (freedom) untuk kemajuan
bangsa. Demokrasi harus menjadi instrumen yang mendorong perkembangan
negara melalui kesadaran akan persamaan HAM. Kebebasan harus dilandasi
melalui ruang partisipasi publik yang terbuka dan dilindungi, begitupun dengan
kebebasan pers atau media. Dengan demikian, demokrasi akan menghasilkan
kesadaran saling menghargai, -karena demokrasi adalah sistem pemerintahan yang
89
Kemlu dan IPD, Promoting Synergy between, 9-10 90
Kemlu dan IPD, Democracy and The Promotion, 10-12
34
siap menghadapi pluralitas dengan menjamin hak etnis minoritas- karena semua
masyarakat tanpa pandang bulu memiliki hak asasi yang sama.91
Berdasarkan tiga pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa demokrasi yang
dipahami oleh Indonesia merupakan instrumen untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia.92
Implementasi terhadap penghormatan HAM harus
diselaraskan antara kebijakan nasional dan luar negeri. Dengan demikian, negara-
negara yang sadar terhadap esensi demokrasi akan membentuk iklim yang
nyaman guna mengawal penegakan HAM pada tingkat global.93
Kesulitan mengukur tingkat demokrasi suatu negara juga disadari oleh Larry
Diamond, bahwa ia baru dapat menentukan apakah suatu negara telah menerapkan
demokrasi atau tidak setelah mengamati fenomena pada banyak negara di benua
yang berbeda dan pada periode tertentu. Menurutnya terdapat tiga hal yang
menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik, yaitu demokrasi
menjamin partisipasi publik dalam politik, menjamin HAM setiap individu, dan
menjamin kemerdekaan moral setiap masyarakat.94
Inilah yang menjadi esensi
dari demokrasi bahwa negara mendorong keterlibatan publik pada proses
pembangunan bangsa dan negara.
David Collier memiliki pemahaman yang selaras dengan SBY dalam
menanggapi demokrasi. Ia justru menganggap memahami demokrasi bukanlah
91
Pernyataan SBY pada pembukaan BDF keempat tahun 2011 dengan tema “Enhancing
Democratic Participation in a Changing World: Responding to Democratic Voices”, dikutip dari
http://www.ipd.or.id/bdf/bali-democracy-forum-iv, pada Selasa, 14 Maret 2017, pukul 07.03 WIB. 92
Kemlu dan IPD, Promoting Synergy between, 11 93
Sambutan SBY pada BDF kelima. Bisa dilihat di http://new. indonesia. nl/index .php/ en
/2012- 11-26-04-10-03/speeches/275-opening-statement-by-president-susilo-bambang-yudhoyono
-at- the-bali-democracy-forum-v, diakses pada Selasa, 14 Maret 2017, pukul 14.42 WIB. 94
Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation (Yogyakarta: IRE Press,
2003), 1-4
35
dari prosedurnya, melainkan dari substansinya. Karena memahami demokrasi
secara prosedural hanya akan mempersempit makna demokrasi itu sendiri.
Namun, ironisnya adalah banyak tokoh yang terjebak dalam perdebatan
demokrasi secara definitif.95
Dengan demikian, berbicara demokrasi tidak hanya berbicara mengenai
bentuk pemerintahan dan segala mekanismenya. Berbicara demokrasi lebih
kepada bagaimana negara mampu menciptakan pola pemerintahan yang menjamin
keterlibatan publik, meminjam istilah Collie, sebagai “procedural minimum of
democracy”, seperti kebebasan sipil dan jaminan terhadap HAM.96
D. BDF sebagai Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Salah satu tantangan terbesar dalam studi HI adalah upaya untuk mencapai
kesepakatan tunggal dalam mengkonseptualisasikan suatu definisi, termasuk
perdebatan dalam memaknai kebijakan luar negeri (KLN).97
Hambatan tersebut
berakar dari fokus kajian HI yang semakin luas dan kegagalan teori-teori
mainstream dalam memprediksi fenomena sosial, sehingga menuntut studi HI
agar lebih multi-approach dalam menganalisis objek kajiannya.98
95
David Collier dan Steven Levitsky, “Democracy with Adjectives” Jurnal World Politics,
49 No. 3 (April 1997), 433 96
Collier mengakui bahwa memaknai demokrasi adalah suatu perdebatan. Karena tantangan
zaman maka demokrasi harus selalu diperluas maknanya, atau ia menyebutnya “expanded
procedural minimum of democrac”. Namun, ia pun mengakui bahwa demokrasi adalah suatu
konsep dalam sistem pemerintahan yang menuntut keterlibatan publik lebih, aspek inilah yang ia
katakan sebagai procedural minimum of democracy atau bisa juga dikenal sebagai nilai universal
demokrasi. Collier dan Levitsky, “Democracy with Adjectives” Jurnal World Politics, 433 97
Stefano Guzzini dan Fredrik Bynander, Rethinking Foreign Policy, (USA: Routledge,
2013) 3 98
James D. Fearon, “Domestic Politics, Foreign Policy, And Theories of International
Relations”, Jurnal Annual Review of Political Sciences I (Juni 1998): 296
36
Walter Carlsnaes merupakan teoritisi HI yang mendefinisikan KLN melalui
ragam pendekatan. Menurut Steffano Guzzini, pemikiran Carlsnaes dipengaruhi
oleh analisis Weber, Marx, dan para pengkaji norma.99
Carlsnaes menyatakan
bahwa kebijakan luar negeri merupakan tindakan yang dilakukan oleh negara
beserta institusinya atas nama kedaulatan yang secara eksplisit menyatakan
tujuan, komitmen, dan arah serta dipengaruhi oleh norma-norma sosial.100
Hal
menarik yang disampaikan oleh Carlsnaes adalah bagaimana ia melihat norma dan
nilai sebagai faktor determinan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara.
Kemunculan nilai atau norma yang dianut oleh negara sangat dipengaruhi
oleh dinamika domestik dan internasional. Martha Finnemore menyebut istilah
tersebut dengan “the lifecycles of norms”. Maksudnya adalah norma merupakan
bentuk akhir daripada ide yang telah diyakini oleh masyarakat dan diinstitusikan
oleh negara. Setelah suatu negara telah mengamini norma, barulah ia bisa
berusaha untuk menjadikannya sebagai norma internasional,101
karena telah
diimplementasikan melalui kebijakan luar negerinya.
Aspek yang turut mempengaruhi perkembangan norma atau nilai adalah
lingkungan sosial. Sejarah atau serentetan peristiwa yang menimpa suatu negara
menjadi sub-aspek yang sangat menentukan bagaimana lingkungan sosial
berinteraksi.102
Upaya Indonesia dalam memahami perdamaian dunia adalah
99
Guzzini dan Bynander, Rethinking Foreign Policy, 5-8 100
Nazaruddin Nasution, Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: UIN Press,
2015) 4 101
Martha Finnemore and Kathryn Sikkink, “International Norm Dynamics and Political
Change,” Jurnal International Organization 52, No. 4 (Autumn, 1998): 893 102
Finnemore and Sikkink, “International Norm Dynamics, 911.
37
contoh konkrit bagaimana sejarah dan peristiwa penjajahan mampu
mempengaruhi interaksinya dengan negara lain melalui serangkaian kebijakan
luar negeri, seperti kebijakan demokratisasinya.
Bali Democracy Forum adalah kebijakan demokratisasi Indonesia yang
diterapkan sejak era SBY. Kebijakan ini didasari pada pemahaman Indonesia
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa
kolonialisme adalah tindakan yang menghancurkan nilai kemanusiaan dan
menafikan HAM sebagai hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu, sejak
Orde Lama hingga pasca reformasi, baik kebijakan dalam dan luar negeri
Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.103
Pada Orde Lama, Indonesia menjadi negara yang turut aktif menegakkan
nilai-nilai kemanusiaan melalui penghapusan kolonialisme. Konferensi Asia-
Afrika (KAA), kampanye anti-nekolim, serta gagasan tentang Nefos dan Oldefos
menjadi implementasi daripada cita-cita tersebut.104
Bagi Orde Baru, penegakan
norma keamanan menjadi landasan fundamental untuk mewujudkan perdamaian
di Asia Tenggara dan hal itu dimanifestasikan melalui pembentukan ASEAN.105
Krisis 1998 turut mengakhiri Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga
dekade. Namun, krisis yang melanda Indonesia berdampak terhadap stabilitas
politik domestik yang kemudian mempengaruhi kinerja KLN Indonesia pada era
103
Pemahaman tersebut sesuai dengan konstitusi Indonesia yang tertulis “bahwa
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai denga peri-kemanuasiaan dan peri-keadilan”. Dengan demikian,
menegakkan HAM dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan merupakan cita-cita Indonesia. 104
Tonny D. Effendi, Agenda Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilihan Presiden
2009 [Jurnal On-line] (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2016); tersedia di
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/view/138/164; internet; diakses pada Selasa, 04
April 2017 pukul 02.13 WIB. 105
Zainuddin Djafar dan Robby A. Fadila, Menuju Peran Strategis Indonesia di Lingkungan
Regional dan Global (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 2013) 55-56
38
selanjutnya. Era reformasi, KLN Indonesia mengalami masa yang suram. Presiden
Habibi, Abdurrahman Wahid, dan Megawati tidak bisa memaksimalkan peran
Indonesia di kancah internasional. Diplomasi Indonesia untuk meneriakkan HAM
seolah dibungkam oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi domestik.106
Sehingga
KLN Indonesia pada era tiga presiden tersebut hanya berkisar pada upaya
mempertahankan hubungan diplomatik.
Menanggapi dinamika KLN di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa SBY telah
mengembalikan peran Indonesia di kancah internasional. Selain mengembalikan
stabilitas politik dan ekonomi, citra Indonesia sebagai negara yang mendukung
penegakan HAM juga kembali aktif.107
Sebagai kebijakan demokratisasi, BDF
hanya menghabiskan dana sekitar 5-8 milyar setiap penyeleggaraannya.108
Terkait
struktur internasional yang berubah, SBY menghiasi KLN-nya dengan semboyan
Million Friends Zero Enemy.109
Dengan demikian, KLN yang diterapkan SBY
bersifat konstruktif agar menyentuh berbagai kalangan dan elemen.
Globalisasi adalah salah satu tantangan terbesar SBY. Globalisasi memaksa
setiap negara untuk saling bekerja sama guna mencapai kepentingannya, termasuk
Indonesia. Di samping itu, sesuai dengan konstitusi Indonesia, SBY juga harus
mendukung penegakan peri-kemanusiaan di berbagai negara. Dengan
berlandaskan terhadap kerja sama dan penegakan HAM serta “jatuh-bangun”
106
Djafar dan Fadila, Menuju Peran Strategis, 78 107
Reni Windiani, “Politik Luar Negeri Indonesia dan Globalisasi”, Jurnal Politika 1 (Juni
2010): 9 108
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017 109
Ziyad Falahi, “Memikirkan Kembali Arti Million Friends Zero Enemy dalam Era
Paradox of Plenty,” Jurnal Global & Strategis 7 No.2 (Juli 2013): 228
39
demokrasi Indonesia, SBY menginisiasi BDF sebagai kebijakan luar negerinya
dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.
Kebijakan BDF mencerminkan posisi Indonesia sebagai negara yang
independen. Indonesia tidak ingin terlibat dalam arus demokratisasi yang dinilai
“milik Barat”. Dalam penegakannya, Indonesia memiliki sudut pandang yang
unik terkait demokrasi. Untuk itulah Indonesia menggagas forum demokrasi yang
bersifat “demokratis”, dimana setiap pihak diperkenankan untuk berpendapat
mengenai demokrasi menurut pemahamannya tanpa ada upaya untuk saling
menyalahkan. Posisi Indonesia yang sedemikian rupa merupakan cara SBY
memandang situasi internasional yang ia sebut dengan navigating a turbulent
ocean.110
Posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara
dengan jumlah Muslim terbesar, pengalaman Indonesia mempertahankan
demokrasi dan keberhasilan Indonesia untuk bangkit setelah krisis adalah modal
berharga yang menurut SBY harus dibagikan kepada negara lain.111
Tidak hanya
sampai di situ, SBY juga merasa bahwa demokrasi di Indonesia belum usai dan
masih harus belajar dari negara lain. SBY juga sadar kalau demokrasi harus
ditumbuhkan bukan dipaksakan apalagi diwariskan.112
Dengan mengamati aspek-
aspek di atas, SBY menggagas BDF sebagai upaya demokratisasi yang tidak
110
Falahi, “Memikirkan Kembali Arti Million”, 228 111
Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia and The World, tersedia di
http://www.kemlu.go.id/en/pidato/presiden/ Pages/ Speech- by- H.E.- Dr.- Susilo- Bambang-
Yudhoyono-President- of- the- Republic- of- Indonesia- before- the-Indone.aspx, diakses pada
Jumat, 23 Maret 2017, pukul 22.14 WI.B 112
Kemlu dan IPD, Building and Consolidating Democracy, 7
40
memaksa serta tidak menggunakan instrumen hukuman, namun dengan instrumen
dialog dan komunikasi.
Pada akhirnya, BDF sebagai kebijakan luar negeri Indonesia adalah
upayanya untuk menjadikan rakyat yang tertindas menuju rakyat yang merdeka.
Penegakan nilai kemanusiaan mengalami perubahan di setiap era, jika sebelum
abad 21 tidak berhasilnya penegakan nilai kemanusiaan karena penjajahan, maka
tidak maksimalnya penegakan nilai kemanusiaan pada abad 21 adalah karena
kedaulatan rakyat yang tidak diberikan secara seutuhnya. Menanggapi perubahan
tersebut, Indonesia meyakini bahwa demokrasi, dengan esensisnya yang sangat
memperhitungkan posisi serta peran masyarakat, adalah instrumen yang tepat
untuk menggapai hal tersebut.113
E. BDF sebagai Instrumen Diplomasi Indonesia
Kebijakan luar negeri dengan diplomasi memiliki keterkaitan yang saling
mempengaruhi. Diplomasi sering dianggap sebagai instrumen atau strategi untuk
merealisasikan kebijakan luar negeri yang dirancang sebagai kepentingan
nasional. Sedangkan, kebijakan luar negeri adalah konsep atau kebijakan tentang
bagaimana menanggapi hubungan dengan negara lain, baik kooperatif atau
konfrontatif.114
Oleh sebab itu, implementasi diplomasi suatu negara akan sangat
bergantung terhadap kebijakan luar negerinya.
113
Bambang Harymurti, “BDF Perlu Didukung dengan Pengembangan Peran Civil
Society”, Tabloid Diplomasi, 15 Januari 2013, 11 114
Stella Wasike, “Sussy N. Kimokoti, Violet Wakesa, Connectivity between Diplomacy,
Foreign Policy and Global Politics”, Jurnal of Humanities and Cultural Studies 2 No.2 (September
2015): 521
41
Michael Woolcock menggarisbawahi tentang pentingnya dialog dan
komunikasi dalam diplomasi agar memahami bagaimana suatu negara
menempatkan kepentingan nasionalnya.115
Pada era modern, diplomasi dikenal
sebagai cara untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya dengan win-win
solution atau dengan cara damai.116
Sehingga, bisa dikatakan bahwa diplomasi
lebih kepada bagaimana negara mendapatkan kepentingan nasionalnya melalui
pola komunikasi serta berupaya agar tidak ada yang dirugikan.
Berdasarkan “9 Pokok Perhatian Diplomasi”, yang disampaikan oleh Marty
Natalegawa, BDF merupakan prioritas diplomasi Indonesia dalam rangka
konsolidasi demokrasi dan nilai-nilai HAM di kawasan dan tingkat global.117
Tidak hanya sampai di situ, berdasarkan “Rencana Strategis Kemlu 2015-2019”
BDF masih menjadi instrumen andalan Indonesia untuk menyebarkan demokrasi
dan nilai-nilai kemanusiaan.118
Dengan demikian, tergambar dengan jelas bahwa
Forum Demokrasi Bali merupakan bagian dari diplomasi Indonesia dalam
kerangka kebijakan penyebaran nilai-nilai demokrasi.
Bali Democracy Forum digagas sebagai forum setingkat menteri, sehingga
BDF merupakan bagian dari diplomasi multilateral Indonesia. Diplomasi tersebut
merupakan instrumen yang melibatkan banyak negara untuk mencapai tujuannya
115
SC Van Der Westhuizen, Foreign policy, public diplomacy and the media:The case of
South Africa, [Artikel On-line] (South Africa: University of South Africa, 2014); tersedia di
http://uir.unisa.ac.za/bitstream/handle/10500/14434/dissertation_van_der_westhuizen_sc.pdf?sequ
ence=1, internet; 35 diakses pada Selasa, 04 April 2017, pukul 03.14 WIB. 116
Marija Manojlovic dan Celia H. Thorhei, Crossroads of Diplomacy: New Challanges,
New Solutions (The Hague: Desiree Davidse, 2007) 35 117
Disampaikan oleh Marty Natalegawa, dikutip dari
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/06/140497/Sembilan-Pokok-
Refleksi-dan-Proyeksi-Diplomasi-Menlu, diakses pada Minggu, 19 Maret 2017 pukul 14.39 WIB. 118
Rencana Strategis Kemlu 2015-2019, tersedia di Downloads\Documents\RENSTRA
KEMENLU 2015 2019 FINAL DONE 220415.pdf, internet; diakses pada Selasa, 04 April 2017,
pukul 03.22 WIB.
42
secara bersama-sama demi kepentingan bersama pula.119
Sidang Majelis Umum
PBB adalah fenomena yang menjadikan diplomasi multilateral mulai diminati
oleh berbagai negara. Diplomasi setingkat multilateral biasanya digunakan untuk
menanggapi masalah yang kompleks dan memiliki konsekuensi serius bagi
komunitas internasional.120
Bagi Indonesia, forum ini memilki urgensinya
tersendiri mengingat belum ada satupun forum di Asia-Pasifik yang membahas
tentang demokrasi dan melihat pencapaian demokrasi di Asia yang signifikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan globalisasi memberikan
orientasi baru terhadap BDF sebagai instrumen diplomasi Indonesia. Dampak dari
kemajuan teknologi dan informasi menjadikan aktor non-negara memiliki peran
tersendiri sebagai “diplomat”.121
Sadar akan konsekuensi tersebut, Indonesia
justru menjadikan BDF sebagai diplomasi publiknya dimana aktor non-
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media, organisasi internasional,
bahkan masyarakat turut berperan sebagai diplomat Indonesia. Sadar akan potensi
globalisasi, BDF dijadikan sebagai forum inklusif sejak awal didirikannya agar
tidak mempersempit mekanisme kerjanya itu sendiri. Dengan kata lain, aktor non-
pemerintah juga menjadi agen penyebar nilai-nilai demokrasi dan mereka juga
yang membantu negara dalam merealisasikan gagasan BDF.
Penerapan diplomasi publik sangat ditentukan dari kesiapan Indonesia
terhadap sistem demokrasi. Keterlibatan masyarakat, keterbukaan media, dan
119
Ryo Oshiba, Multilateral Diplomacy and Multilateralism: The United Nations, The G8,
The G20, and The Bretton Woods Institutions [Jurnal Online] (Japan, 2013), tersedia di
https://www2.jiia.or.jp/en/pdf/digital_library/japan_s_diplomacy/160415_Ryo_Oshiba.pdf. ,
internet; 2. Diakses pada Selasa, 04 April 2017, pukul 03.30 WIB 120
Kishan S. Rana, 21st Century diplomacy (London: The Continuum Publishing, 2011) 26 121
Rana, 21st Century diplomacy, 77-78
43
sejauh mana opini publik mampu mempengaruhi dinamika pemerintahan adalah
sebagian indikator yang menentukan kematangan demokrasi Indonesia.122
Sebagai
bagian dari diplomasi publik, BDF telah berhasil menunjukkan betapa demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang cocok dengan Indonesia. Inklusivitas BDF tidak
hanya melibatkan masyarakat dalam negeri, begitupun dengan masyarakat
internasional -seperti akademisi, agamawan, dan tokoh bangsa-. Selain itu,
keterbukaan informasi terkait BDF adalah bukti bahwa BDF telah siap menjadi
bagian dari diplomasi publik Indonesia.
122
Rana, 21st Century diplomacy, 79-80
44
BAB III
DINAMIKA DEMOKRASI MYAMAR
Myanmar dikenal sebagai negara di Asia Tenggara yang masih berkutat
dengan rezim militer. Lebih dari 60 tahun militer berkuasa bukan berarti
Myanmar tidak pernah mencicipi demokrasi. Kudeta militer dianggap sebagai
solusi setelah pemerintahan sipil gagal untuk menciptakan stabilitas domestik.
Namun, junta militer juga gagal membawa perubahan bagi Myanmar. Komunitas
internasional mulai menyoroti pemerintahan Myanmar yang semakin otoriter
dengan berbagai laporan pelanggaran HAM. Sistem otoriter dianggap sebagai
dasar penyebab keterpurukan Myanmar dan demokrasi seolah dianggap sebagai
solusinya. Melalui bab ini akan dijelaskan tentang jatuh-bangun penegakan
demokrasi Myanmar hingga keinginan pemerintah, yang notabennya adalah
militer, untuk kembali menegakkan demokrasi.
A. Sejarah Kemerdekaan Myanmar
Sejarah kemerdekaan Myanmar tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Sebagai negara Asia Tenggara, keduanya merupakan negara yang terjebak tipu
muslihat Jepang dalam upaya merebut kemerdekaan. Jika Jepang datang ke
Indonesia dengan dalih membantu kemerdekaan Indonesia dari Belanda, maka
Jepang datang ke Myanmar untuk berjuang bersama rakyat merebut kemerdekaan
Inggris dengan membentuk Burma Independence Army (BIA).123
Pada masa penjajahan Inggris, sejak 1886, Myanmar merupakan bagian dari
pemerintahan India. Inggris menjadikan Myanmar sebagai tujuan migrasi untuk
123
Kei Nemoto, ed., Reconsidering The Japanese Military Occupation in Burma (1942-
1945) (Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies, 2007), 179
45
mengurangi kepadatan penduduk di India. Dampaknya adalah benturan budaya
antara pribumi Myanmar dengan etnis India, sehingga berujung kepada
memburuknya sistem perekonomian Myanmar. Atas dasar itulah Inggris mulai
memisahkan Myanmar dengan India124
Kesadaran akan nasionalisme masyarakat Myanmar muncul akibat dua
aspek, yaitu pembangunan kemanusiaan yang dilakukan oleh Inggris dan peran
strategis pemerintahan yang mulai diambil alih oleh imigran India. Semangat
nasionalisme pertama kali dipelopori oleh para biksu yang menolak Myanmar
menjadi negara sekuler. Tidak hanya sampai di situ, kalangan akademisi dan
cendikiawan terus bermunculan sehingga memantapkan jiwa nasionalisme
masyakarat Myanmar. Gerakan perlawanan semakin terorganisir dengan
munculnya berbagai tokoh kharismatik, seperti Jenderal Aung San.125
Kebangkitan Jepang di Asia dimanfaatkan oleh para tokoh nasionalis
Myanmar. Pada 1939 Jenderal Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi, pergi ke
Jepang untuk menjalin kesepakatan dengan Kolonel Keiji Suzuki yang pada saat
itu juga memiliki misi untuk mengumpulkan para intelektual Myanmar. BIA yang
didirikan pada 1941 adalah buah kesepakatan antara Aung San dengan Jepang
demi merebut kemerdekaan dari Inggris, sebagai catatan Myanmar harus
mendukung Jepang pada Perang Dunia II.126
BIA inilah yang menjadi cikal-bakal
gerakan kemerdekaan Myanmar
124
http://factsanddetails.com/ southeast- asia/ Myanmar /sub5_5a/ entry -3007. html,
diakses pada Rabu, 29 Maret 2017 pukul 14.40 WIB 125
Myrna Anggraini, Perjuangan Anti-Facist People’ Freedom League dalam Mencapai
Kemerdekaan Burma 1944-1948 (Depok: UI, 2008), 30 126
Anggraini, Perjuangan Anti-Facist People’, 43
46
Jepang memberikan bantuan dan pelatihan kepada BIA hingga akhirnya
mereka berhasil mengusir Inggris pada 1942. Namun, Jepang tidak serta-merta
pergi meninggalkan Myanmar. Sadar akan potensi alam, Jepang perlahan hadir
sebagai penjajah baru demi kepentingan Perang Dunia II. Para nasionalis
menyadari bahwa mereka terjebak dalam “kemerdekaan semu”, dimana setiap
kebijakan adalah hasil intervensi Jepang. Perilaku tentara Jepang yang tidak
menghormati agama Buddha, dengan merusak kuil dan simbol keagamaan,
semakin menyuburkan benih-benih pemberontakan. Alasan-alasan inilah yang
membuat kaum nasionalis mulai membuat organisasi perlawanan terhadap
Jepang, yang dikenal dengan Anti-Facist People Freedom League (AFPFL)127
Upaya Myanmar untuk merebut kemerdekaan dari Jepang mendapat
bantuan dari sekutu dan Inggris. Pada 1944 Aung San bersama AFPFL berjuang
bersama Inggris untuk melawan Jepang.128
Situasi Jepang yang mengamali
kerugian besar pasca Perang Dunia II memaksa Negeri Sakura untuk menyerah
tanpa syarat dengan konsekuensi Myanmar harus diserahkan kepada sekutu,
Inggris. Masyarakat Myanmar yang terus menuntut kemerdekaan menghasilkan
Perundingan Panglong dengan Inggris pada 12 Februari 1947 dan mengangkat
Sao Shwe Thaik sebagai presiden dan U Nu sebagai perdana menteri pertama
pada 4 Januari 1948.129
127
Anggraini, Perjuangan Anti-Facist People’, 106 128
http://www.history.com/this- day-in- history/ british- troops- liberate- mandalay-
burma, diakses pada Rabu, 29 Maret 2017 pukul 14.27 WIB 129
Anggraini, Perjuangan Anti-Facist People’, 108
47
B. Keruntuhan Demokrasi Myanmar
Demokrasi pernah menjadi bagian dari Myanmar. Pada 1948, Myanmar di
bawah pemerintahan U Nu, mencoba untuk menjalankan pemerintahan yang
demokratis. Menurut Alfian, peneliti LIPI, setidaknya terdapat tiga alasan yang
mendasari runtuhnya demokrasi Myanmar, yaitu; pertama, ketidakmampuan
politisi sipil untuk menciptakan tatanan domestik yang stabil; kedua, ancaman
keamanan yang dihadapi Myanmar tidak diatasi dengan baik oleh U Nu, seperti
pemberontakan yang dilakukan oleh etnis Karen, Shan, dan etnis minoritas
lainnya; ketiga, ketidaktegasan U Nu dalam setiap pengambilan kebijakan.130
Runtuhnya demokrasi Myanmar bisa dielaborasi tiga faktor di atas.
Posisi geografis Myanmar sebagai negara perbatasan yang beririsan dengan
wilayah Timur, Selatan, serta Tenggara Asia131
dan sebagai dampak dari
kebijakan migrasi Inggris menyebabkan Myanmar menjadi tempat berkumpulnya
berbagai etnis di Asia.132
Namun, Kemerdekaan Myanmar tidak serta-merta
menyatukan berbagai etnis yang ada. Egosentris dan kepentingan masing-masing
etnis yang saling berbenturan menjadi hambatan pertama bagi pemerintahan U
Nu.
Terbentuknya AFPFL sebagai wadah perjuangan Myanmar untuk mendapat
kemerdekaan rupanya tidak didukung oleh seluruh etnis. Pada konteks ini, AFPFL
lebih merepresentasikan etnis mayoritas, sedangkan etnis kecil lainnya menjadi
130
Ita M. Dewi, “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”, Jurnal
ISTORIA 1 (Januari 2005): 4 131
Rohana Machmoed dan Hans-Joachim Esderts, Myanmar and the Wider Southeast
Asia, (Kuala Lumpur: ISIS, 1991) 22 132
http://factsanddetails.com/ southeast- asia/ Myanmar /sub5_5a/ entry -3007. html,
diakses pada Rabu, 29 Maret 2017 pukul 14.40 WIB
48
sekutu Inggris dan mereka dianggap sebaga musuh AFPFL. Dukungan
masyarakat Myanmar kepada AFPFL tidak lepas dari etnis Burma yang saat itu
menjadi mayoritas. Puncak dari perdebatan antar-etnis terjadi ketika perundingan
Panglong dimana etnis kecil dan etnis Muslim Myanmar tidak dilibatkan.133
Perjanjian Panglong 1947 memuat tentang pendirian Negara Federal Burma
bagi setiap etnis yang terlibat dalam merebut kemerdekaan Burma. Imbalannya
adalah wilayah Myanmar untuk menjadi negara bagian berdasarkan komposisi
tertentu, seperti jumlah populasi etnis. Tetapi, perjanjian ini tidak pernah
terealisasi atau paling tidak etnis non-Buddha menjadi pihak yang dirugikan -
seperti etnis Rohingnya dan etnis Kachin-, terutama pasca tewasnya Aung San.134
Kegagalan Perjanjian Panglong berdampak terhadap munculnya gerakan-
gerakan separatis oleh etnis minoritas. Gerakan pembebasan semakin tidak
terbendung pasca diangkatnya U Nu menjadi pemimpin Myanmar. Walaupun U
Nu dikenal sebagai tokoh intelektual dan kharismatik namun ia kurang tegas
dalam mengambil kebijakan.135
Ironisnya adalah U Nu, yang berasal dari
kalangan sipil, justru menindak gerakan pembebasan dengan pendekatan
militer.136
133
Aris Pramono, Peran UNHCR dalam Menangani Pengungsi Myanmar Etnis
Rohingnya di Bangladesh (periode 1978-2002) (Depok: UI, 2010), 33 134
Anindita K. Haryanto, Relasi Negara dengan Kelompok Minoritas: Konflik Kachin
Tahun 2011 di Myanmar, (Yogyakarta: UGM, 2015), 2 135
Pramono, Peran UNHCR dalam, 37 136
Ketidaktegasan U Nu dalam menyikapi gerakan pemberontakan memaksa Jenderal Ne
Win dengan segenap jajaran militer untuk mengambil sikap. Etnis minoritas yang menuntut hak
sipil dan politik mulai diberangus, seperti etnis Rohingnya dan Kachin. Bentuk kepercayaan U Nu
terhadap cara militer inilah yang memperkuat peran militer pada pemerintahan Myanmar. Ayub T.
Satriyo, “Optimalisasi Peran International Criminal Court dan Aplikasi Aksi Kemanusiaan
sebagai Inisiasi Penyelesaian Etnis Rohingnya”, Jurnal Dinamika Hukum 14 No.3 (September
2014): 529
49
Pendekatan militer menjadi instrumen yang digunakan U Nu pasca
kegagalan pendekatan politik. Sebagai pemimpin rezim demokratis, U Nu pernah
melibatkan etnis minoritas melalui parlemen, seperti menunjuk Sao Shwe Thaike
dari etnis Shan menjadi presiden dan Sultan Mahmood dari etnis Rohingnya
menjadi sekretaris politik pemerintahan.137
Namun, kebijakan U Nu yang lebih
terbuka terhadap etnis minoritas tidak diiringi dengan pengenduran pendekatan
militernya dan masih sangat “Burma-sentris”.138
Sehingga gerakan
pemberontakan masih tetap berlanjut.
Ketidakadilan pemerintah dalam bidang politik berdampak terhadap
kebijakan ekonomi Myanmar. Sumber daya alam yang dikelola secara sentralistik
menuntut pemerintah pusat untuk adil dalam pembagian hasil untuk setiap etnis,
seperti yang diutarakan oleh Aung San pada Perjanjian Panglong,139
namun
keadilan tersebut tidak dirasakan oleh etnis minoritas. Kebijakan ekonomi
Pyaidawtha -kebijakan delapan tahunan- juga gagal untuk mendobrak ekonomi
Myanmar140
karena permintaan beras dunia yang turun drastis pasca berakhirnya
Perang Korea.141
137
Melihat bentuk pemerintahan yang unik, karena dibentuk dari sistem keterlibatan Etnis,
Hugh Thinker menyebut Myanmar sebagai negara kesatuan, walau secara teoritis Myanmar
berbentuk federal. Lian H. Sakhong, “The Dynamics of Sixty Years of Ethnic Armed Conflict in
Burma”, Burma Centre for Ethnic Studies Peace and Reconciliation Analysis Paper 1 (January
2012): 5 138
Pramono, Peran UNHCR dalam, 37 139
Aung San pernah berkata kepada etnis minoritas tentang keadilan dalam alokasi
pendapatan “if a Burman gets one kyat, a Shan will get one Kyat as well”. Pamela T. Stein, The
Role of the Military in Myanmar’s Political Economy, (California: Naval Postgradute School,
2016), 9 140
Adian Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina 2
No. 2 (Januari 2003): 129 141
Stein, The Role of the Military, 10
50
Keruntuhan demokrasi Myanmar, sekaligus menjadi akar dari konflik etnis
berkepanjangan Myanmar adalah ketika U Nu mengeluarkan kebijakan agama
resmi Myanmar. Tidak seperti Aung San yang memilih Myanmar untuk menjadi
negara sekuler, U Nu cenderung ingin membentuk negara yang dibangun melalui
asimilasi suku dengan Buddha, karena Burma sebagai etnis mayoritas.142
Dengan
demikian, U Nu menjadikan Buddha sebagai satu-satunya agama resmi di
Myanmar.
Bagi etnis lain, kebijakan tersebut merupakan bentuk penindasan kepada
kaum minoritas. Adapun respon yang diberikan etnis non-Buddha terbagi menjadi
dua cara, yaitu cara ekstrim (pemberontakan) dan cara moderat (reformasi
konstitusi). Reaksi yang pertama dilakukan dengan instrumen pemberontakan
melalui pasukan bersenjata untuk menuntut otonomi wilayah, seperti
pemberontakan oleh Kachin dan Chin. Reaksi kedua dilakukan dengan semangat
untuk mengembalikan Perjanjian Panglong sebagaimana awalnya, yang terealisasi
atas kehadiran berbagai etnis di Myanmar, bukan hanya etnis Buddha. Sao Shwe
Thaike merupakan tokoh yang turut memperjuangkan reformasi konstitusi143
Stabilitas politik yang tak kunjung tiba berdampak terhadap legitimasi
kepemimpinan U Nu di parlemen. AFPFL, sebagai organisasi masa, mengalami
perpecahan yang disebabkan rivalitas dan perbedaan ideologi antara U Nu dengan
U Kyaw Nyein, Deputi Perdana Menteri Myanmar. Sekutu U Nu dinamakan
“Clean AFPFL” dan kubu Nyein dinamakan “Stable AFPFL”. Kedekatan antara
jajaran elit militer Myanmar yang memiliki kedekatan dengan Stable AFPFL
142
Sakhong, “The Dynamics of Sixty Years, 5 143
Sakhong, “The Dynamics of Sixty Years, 6
51
kerap mencurigai segala langkah U Nu bersama koalisinya. Memburuknya
hubungan U Nu dengan militer Myanmar memuncak pada 1958, dimana Clean
AFPFL menganggap bahwa militer dan Stable AFPFL adalah musuh bersama144
.
Dampak dari kerusuhan publik, memburuknya hubungan elit dengan militer,
dan diberikannya mosi tidak percaya kepada U Nu di parlemen, memaksa dirinya
untuk melepaskan jabatan perdana menteri yang kemudian diambil alih oleh
militer -Jenderal Ne Win- hingga kondisi kembali stabil. Pemerintahan militer,
saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya
pemilu 1960 yang kembali dimenangkan oleh U Nu. Kemenangan tersebut
direspon oleh pihak militer dengan memberikan ultimatum agar pemerintahan
sipil menyelesaikan berbagai permasalahan domestik Myanmar dalam dua
tahun.145
Namun, U Nu seolah kehilangan sentuhannya sebagai pemimpin dan
gagal untuk menata stabilitas domestik dan berdampak terhadap kudeta militer
yang dilakukan oleh Ne Win pada 1962.146
Keruntuhan demokrasi Myanmar didasari atas kesalahannya dalam
mengeluarkan kebijakan agama. Pada dasarnya, bagaimana ia menjadikan Buddha
sebagai agama resmi merupakan bagian dari dinamika demokrasi, bahwa suara
mayoritas menjadi pemenang. Namun, kesalahan mendasar yang dilakukan U Nu
adalah bagaimana ia tidak mengakomodir kepentingan etnis non-Buddha lainnya,
sehingga sentimen agama menjadi pemicu akan isu-isu politik lainnya. Kemudian,
144
Mi Mi Gyi, An Analysis of The Parliamentary Democracy System in Myanmar (1948-
1962) [Artikel on-line] (Myanmar: University of Mandalay, 2011); tersedia di
http://umoar.mu.edu.mm/bitstream/handle/123456789/82/An%20Analysis%20of.pdf?sequence=1;
internet; diunduh pada Sabtu, 01 April 2017 pukul 22.26 WIB. 145
Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar, 130 146
Rani A. Puspita, Peranan Aung San Suu Kyi dalam Memperjuangkan Demokrasi di
Myanmar tahun 1988-2012, (Bandung: UPI, 2013) 1
52
lemahnya legitimasi U Nu di parlemen akibat situasi nasional menjadi momentum
bagi oposisi dan militer untuk melakukan kudeta. Perkara inilah yang menjadi
titik kebangkitan rezim militer Myanmar hingga beberapa dekade mendatang.
C. Kebangkitan Rezim Militer Myanmar era Ne Win
Kebangkitan rezim militer Myanmar adalah buah dari kebijakan U Nu
dalam meredam gerakan pemberontakan. Kebijakan militeristik U Nu justru
memperkuat peran militer di Myanmar. Pada 1949, Jenderal Ne Win hanya
memiliki 2000 tentara di bawah komandonya, pada 1955 menjadi 40.000 orang,
dan pada 1962 menjadi 104.200 orang dari seluruh jajaran angkatan bersenjata.
Ditambah lagi, militer juga mulai memiliki perusahaan dagang, perkapalan, surat
kabar, sekolah, hingga rumah sakit.147
Sehingga, keterlibatan militer dalam
kebijakan U Nu justru menjadi momentum konsolidasi angkatan bersenjata.
Citra Ne Win sebagai tokoh militer Myanmar semakin kuat pasca reformasi
Tatmadaw. Pada 1956, Tatmadaw menjadi organisasi militer yang menaungi
angkatan darat, laut, dan udara. Ne Win menjadi kepala staf dari tiga unit pasukan
tersebut. Sebelum 1956, Tatmadaw merupakan pasukan gabungan antara The
British Burma Army dengan Patriotic Burmese Forces.148
Dengan kemunduran
pemerintahan U Nu dan semakin solidnya militer Myanmar -di bawah komando
Ne Win- menjadi momentum dimana kudeta yang dilakukan Ne Win tidak
mendapatkan hambatan dari unit bersenjata lainnya.
147
Pramono, Peran UNHCR dalam Menangani, 37. 148
Maung Aung Myoe, Building The Tatmadaw (Pasir Panjang: Institute of Southeast
Asian Studies, 2009) 8-11.
53
Pembahasan rezim militer Myanmar, secara garis besar, akan terbagi pada
tiga periode pemimpin, yaitu Ne Win, Saw Maung, dan Than Shwe. Ne Win
memimpin Myanmar sejak 1962 hingga 1988. Pendekatan militer dengan nilai-
nilai sosialisme menjadi instrumen baginya untuk mendapatkan legitimasi
pemerintahan.149
Kemudian, Ne Win mendirikan Burmese Socialist Program
Party (BSPP) sebagai satu-satunya partai yang boleh melakukan aktifitas politik.
Ia juga membatasi kebebasan berpendapat serta melarang pendidikan yang
membentuk pemikiran kritis.150
Ne Win menjadi pemimpin yang diktator dan
bertindak represif terhadap penduduk sipil yang tidak sependapat dengannya.
Semakin lama Ne Win berkuasa, Myanmar semakin terisolasi dengan
kebijakan The Burmese way to Socialism-nya. Menurut Fred Mehden, ideologi
menjadi instrumen bagi rezim yang baru merebut kekuasaan dan mengejar
kepentingan nasionalnya di banyak negara-negara berkembang. Sosialisme
menjadi motif untuk melakukan reformasi domestik. Berawal dari cita-cita
sosialisme yaitu keadilan ekonomi dan politik secara menyeluruh yang
termanifestasi melalui sistem pemerintahan terpusat serta diiringi nasionalisasi
perusahaan asing menjadi ciri khas kebijakan Ne Win.151
Sosialisme seolah menjadi ideologi para pejuang kemerdekaan dan
mayoritas masyarakat Myanmar. Kebijakan ekonomi Inggris -saat menjajah- yang
memberikan hak khusus terhadap bangsa India dan China dalam mengelola
sumber daya alam berdampak terhadap minimnya pribumi dalam urusan tata
149
Sakhong, “The Dynamics of Sixty Years, 5 150
Syarief, “Keputusan Uni Eropa” 27. 151
Fred R. Von Der Mehden, “The Burmese Way to Socialism”, JSTOR 3 No. 3 (Maret,
1963): 130-131
54
kelola perusahaan dagang. Masyarakat Myanmar menganggap sistem kapitalisme
sebagai penghambat kemajuan bangsa. Oleh sebab itu, pasca kemerdekaan,
Myanmar sangat memberikan prioritas terhadap warga pribuminya -terutama yang
beragama Buddha- untuk menempati posisi strategis di berbagai perusahaan
dagang yang telah dinasionalisasi.152
Kebijakan sosialisme Ne Win juga menuntut reformasi hukum. Segala
perundang-undangan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosialisme mulai
diganti. Walaupun Myanmar menerapkan parlementer, namun hampir
keseluruhan anggota dewan diisi oleh militer. Bahkan ia juga mereformasi
lembaga peradilan negara dengan mengganti hakim serta staf yang memiliki
kecakapan hukum dengan militer yang tidak memiliki kapabilitas hukum.
Sehingga pengadilan hanya menjadi tempat pertaruhan bagi siapa yang mampu
membayar lebih dalam menegakkan keadilan.153
Hal tersebut juga berdampak
hilangnya fungsi yudikatif -dalam perspektif Sosialisme- sebagai lembaga yang
mengawasi penegakan HAM bagi kaum proletar.154
Tatmadaw semakin mendapat legitimasi setelah kebijakan pemerintah yang
menjadikan seluruh personilnya sebagai anggota BSPP. Tindak kekerasan yang
dilakukan Tatmadaw dalam merespon aspirasi rakyat seolah menjadi instrumen
yang disahkan oleh pemerintah. Sepanjang tahun 1970, Myanmar menghadapi
pemberontakan dari berbagai etnis kecil di banyak wilayah perbatasan. Untuk itu
Tatmadaw mengeluarkan kebijakan “Four Cuts Strategy” untuk memotong
152
Pamela T. Stein, The Role of the Military, 33 153
Makhdoom Ali Khan, The Burmese way: To Where?, (Genewa: The ICJ Report,
1991),43-45 154
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 355
55
pasokan dana, pangan, informasi, dan perekrutan bagi para pemberontak. Upaya
Tatmadaw menghadapi pemberontakan menuntut kenaikan anggaran militer
hingga 200% dan berdampak pula terhadap turunnya anggaran pendidikan dan
kesehatan.155
Alih-alih mengembalikan stabilitas ekonomi melalui sistem pemerintahan
terpusat justru memperburuk situasi Myanmar. Beras yang menjadi komoditas
ekspor terbesar Myanmar gagal untuk mendongkrang ekonomi dalam negeri.
Berdasarkan data World Bank, tahun 1960 menjadi masa dimana ekspor beras
Myanmar mencapai angka 1,7 juta ton. Namun, angka tersebut terus merosot
setiap tahunnya dan tahun 1975 menjadi titik terendah ekspor Myanmar dengan
angka 0,3 juta ton.156
Ketimpangan ekonomi berdampak terhadap stagnansi kesejahteraan
masyarakat. Pendapatan nasional tidak bisa menentukan tingkat kesejahteraan
masyarakat suatu negara tanpa didasari distribusi pendapatan yang merata.
Kebijakan The Burmese Way to Socialism tidak mengilhami otonomi daerah,
sehingga hasil pendapatan Myanmar seluruhnya merupakan wewenang
pemerintah pusat, bahkan kebanyakan keuntungannya dikantongi oleh militer.
Kesulitan akses pangan ditambah dengan ketidakmampuan untuk mengelola lahan
pertanian -karena kurangnya edukasi dan alat pengelola- berdampak terhadap
merosotnya harapan hidup penduduk Myanmar.157
155
Pamela T. Stein, The Role of the Military, 36-39 156
Khin Maung Kyi, et.al, A Vision and A Strategy: Economic Development of Burma,
(Singapore: Singapore University Press, 2000), 37 157
Kyi, et.al. A Vision and A Strategy, 130
56
Pada 1974, Ne Win meresmikan undang-undang baru dengan memindahkan
kekuasaan dari militer ke lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif melalui
pembentukan Dewan Rakyat. Undang-undang tersebut merubah status Ne Win
dari perdana menteri menjadi Presiden Myanmar. Namun, kehadiran Dewan
Rakyat tidak merubah nasib Myanmar karena institusi tersebut sepenuhnya
dikuasai oleh militer.158
Walaupun pada 1981 Ne Win memundurkan diri dari
presiden, namun ia tetap menjadi ketua partai dan hal itu tidak merubah situasi
Myanmar, bahkan segala kebijakan negara masih ditentukan oleh Ne Win.159
Kebijakan yang autarki, pemberontakan di berbagai wilayah, harapan hidup
yang rendah, ketimpangan ekonomi, serta pelanggaran HAM yang dilegitimasi
pemerintah menjadi faktor terjadinya kudeta Ne Win yang dilakukan oleh sipil
pada 8 Agustus 1988 atau dikenal sebagai ”Gerakan 8888”. Demonstrasi yang
diprakarsai oleh mahasiswa dan kalangan pelajar ini menjadi people movement
terbesar pertama di Myanmar.160
Bentrokan antara mahasiswa yang menuntut reformasi dengan pasukan anti
huru-hara pada Maret 1988 menjadi cikal-bakal Gerakan 8888. Peristiwa yang
terjadi di Institut Teknologi Rangoon tersebut memakan tiga korban jiwa. Tiga
hari pasca insiden, ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi memenuhi seluruh
jalan Rangoon untuk menurunkan rezim militer. Di kemudian harinya, demokrasi
tidak hanya menjadi harapan mahasiswa, masyarakat sipil dan para biksu mulai
158
Amanda Puspita Sari, Jatuh Bangun Myanmar Menuju Pemilu Demokratis, dikuti dari
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151107084937-106-90042/jatuh-bangun-myanmar-
menuju-pemilu-demokratis/, diakses pada Jumat, 14 April 2017, pukul 06.57 WIB. 159
http://www.oxfordburmaalliance.org/1962-coup--ne-win-regime.html diakses pada
Jumat, 14 April 2017, pukul 07.04 WIB. 160
Melati Apriani, Embargo Ekonomi Amerika Serikat terhadap Myanmar pada Tahun
2007 (Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2009), 6
57
terlibat aksi. Puncaknya adalah saat 8 Agustus 1988 dimana protes besar-besaran
antara sipil dengan militer yang memakan lebih dari 3000 korban jiwa.161
Pada
akhirnya, demonstrasi tersebut menjadi akhir dari 26 tahun Ne Win berkuasa di
Myanmar setelah ia mengundurkan diri.
D. Rezim Militer Myanmar era Saw Maung
Demonstrasi yang dilakukan sipil bukan faktor tunggal di balik runtuhnya
rezim Ne Win. Saw Maung, Kepala Staf Umum Tatmadaw, melakukan kudeta
kepada Ne Win pada 18 September 1988. Langkah pertama yang dilakukan
sebagai upaya menemukan kembali stabilitas domestik adalah dengan
menangguhkan konstitusi 1974 dan mendirikan The State Law and Order
Restoration Council (SLORC)162
.
Runtuhnya rezim Ne Win melalui kudeta yang dilakukan Saw Maung
merupakan peristiwa menarik, mengingat kedua belah pihak berasal dari
Tatmadaw. Menanggapi hal tersebut, Yoshihiro Nakanishi berpendapat bahwa
kudeta militer tahun 1988 terjadi karena adanya kesempatan (by chance), tidak
seperti tahun 1962 yang terjadi karena kesengajaan (by design). Demonstrasi sipil
dan Myanmar yang semakin terisolasi menjadi momentum Saw Maung untuk
melakukan kudeta, sehingga SLORC -wajah baru Tatmadaw- menjadi
instrumennya untuk mendapatkan legitimasi rakyat dengan menjanjikan
161
Assistance Association for Political Prisoners of Burma, The Role of Students in The
8888 people’s Uprising in Burma, diunduh dari http://aappb. org/wp/Publications/ The_Role_of_
Students_ in_the_8888_Peoples_Uprising_in_Burma.pdf, diakses pada Jumat, 14 April 2017,
pukul 15.20 WIB. 162
Yoshihiro Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations in Myanmar, (Chiba: Institute
of Developing Economies, 2013), 3-4
58
demokrasi. Ironisnya adalah respon pemerintah terhadap demonstran tidak
menunjukkan tanda-tanda keinginan Maung untuk mengembalikan demokrasi.163
Upaya SLORC dalam mengembalikan tatanan Myanmar dilakukan melalui
empat cara. Pertama, SLORC menekankan bahwa mereka berbeda dengan rezim
sosialisme Ne Win. Kedua, pemerintah mulai menerapkan ekonomi liberal namun
kontrol politik tetap terpusat kepada pemerintah. Ketiga, konsolidasi antara
pemerintah dengan etnis minoritas mulai dijalin. Keempat, modernisasi militer
mulai dilakukan.164
Pada 18 Juni 1989 adalah kali pertama istilah Myanmar digunakan
menggantikan Burma. Pergantian nama Burma menjadi Myanmar adalah bukti
bahwa upaya rekonsiliasi pemerintah dengan sebagian etnis minoritas berhasil.
Selain itu, Burma merupakan nama yang diberikan Inggris terhadap negara ini,
sedangkan Myanmar menjadi simbol bahwa sepenuhnya negara ini telah
merdeka.165
Dengan demikian, Myanmar digunakan sebagai simbol atau identitas
yang menyatukan berbagai etnis yang hidup di negara tersebut.
Keberhasilan Saw Maung dalam mengelola ekonomi Myanmar, dengan
sistem liberal, tidak beriringan keberhasilan mengelola politiknya. SLORC
semakin mengekang kebebasan politik masyarakat Myanmar. Setiap kebijakan
yang dikritisi oleh masyarakat dinilai sebagai ancaman nasional. Bahkan etnis
yang tidak menerima upaya rekonsiliasi pemerintah dianggap sebagai
pemberontak dan direspon dengan tindakan represif. Kemudian, modernisasi
163
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 3-4 164
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 5-7 165
Nurmala Sari, Muslim Rohingnya dan Ham Pasca Kemerdekaan Myanmar 1962-2008:
Analisis Pelanggaran Hak Beragama, (Jakarta: UIN, 2009) 14
59
alutsista Myanmar yang semakin canggih turut memperluas dan mempertajam
ekspansi militer dalam melawan etnis-etnis kecil.166
Kebijakan tersebut menjadi
rangkaian awal dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh SLORC.
Kegagalan demokrasi yang dilakukan oleh SLORC salah satunya adalah
penolakan hasil pemilu 1990. Pemilu tersebut merupakan janji SLORC kepada
publik pasca kudeta yang dideklarasikan pada 31 Mei 1989. Janji demokrasi yang
digaungkan oleh Saw Maung mendapatkan respon positif dari berbagai aktivis
pro-demokrasi dengan mendirikan partai-partai politik, salah satunya adalah
National League for Democracy (NLD) yang didirkan oleh Aung San Suu Kyi.167
Berdasarkan hasil pemilu, NLD berhasil menjadi pemenang dengan
perolehan 60% popular vote dan 80% suara parlemen atau mendapatkan 392 dari
485 kursi.168
Namun SLORC menolak hasil tersebut dengan dalih pemilu yang
terselenggara hanya untuk pembentukan Dewan Konvensi Nasional, bukan
menentukan anggota parlemen. Selain itu, pemerintah juga berdalih bahwa belum
diatur sebelumnya konstitusi tentang penyerahan kekuasaan dari militer ke sipil.
Berdasarkan deklarasi 1/90, Myanmar dianggap dalam situasi darurat dan SLORC
menjadi pihak yang paling berkuasa untuk menanggapi situasi tersebut.169
Tidak
hanya sampai di situ, Saw Maung bahkan menjadikan Aung San Suu Kyi sebagai
tahanan rumah.
166
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 7-9 167
Khin Kyaw Han, 1990 Multi-Party Democracy General Elections, Dokumentasi
Democratic Voices of Burma, diungguh dari http://www.ibiblio.org/obl/docs/1990_elections.htm
pada Selasa, 18 April 2017, pukul 04.34 WIB. 168
HRW, Burma: 20 Years After 1990 Elections, Democracy Still Denied, dilihat dari,
https://www.hrw.org/news/2010/05/26/burma-20-years-after-1990-elections-democracy-still-
denied, diakses pada Kamis, 20 April 2017, pukul 20.32 WIB. 169
Syarief, “Keputusan Uni Eropa”, 28
60
Tidak hanya penolakan hasil pemilu, reaksi represif militer terhadap etnis
kecil yang menolak rekonsiliasi -karena dianggap sebagai pemberontak- juga
mendapat perhatian dari kalangan internasional. Berikut adalah data pelanggaran
HAM yang dilakukan SLORC.
Tabel III.D.I Pelanggaran HAM oleh SLORC170
Etnis Korban Bentuk Pelanggaran Waktu
Kachin
100.000 orang Pemindahan Paksa 1988-1992
U Byit Tu (Ketua Etnis
Kachin)
Ditangkap oleh
Pemerintah
1991
61.000 orang Tidak Memperoleh IDP
dan sebagiannya
mengungsi
1993
Karen
5.000 orang Penangkapan akibat
Pemberontakan
1991
10.000 korban jiwa Pemboman kota Maelata 1992
50.000 orang Pemindahan paksa ke
Thailand
1992
Rohingnya
Seluruh Etnis Rohingnya Tidak memiliki hak
politik
1990
270.000 orang Mengungsi akibat kerja
paksa
1992
Mon
12.000 orang Menjadi pengungsi di
Thailand
1991
360.000 orang Kerja paksa
pembangunan jalan
sejauh 18,44 mil
1992
Naga
100 korban jiwa Bentrok dengan militer 1991
1500 Menjadi pengungsi ke
India menghindari kerja
paksa
1990-1992
Chin
U Zahle Tang dan U
Liam Ok
Pencabutan hak politik
dari seluruh perwakilan
etnis Chin di parlemen
1991
Sumber: Syarief, “Keputusan Uni Eropa”
170
Syarief, “Keputusan Uni Eropa”, 27-32
61
Pelanggaran HAM yang sistematis dan penangkapan Aung San Suu Kyi
menjadi puncak dari rezim Saw Maung. Masyarakat Myanmar terus menyuarakan
perubahan rezim dan negara lain turut mengutuk bagaimana junta militer berkuasa
di Myanmar, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut mengutuk apa yang
dilakukan Saw Maung terkait HAM. Tekanan internal dan eksternal yang
ditujukan kepada Saw Maung menjadi alasan dibalik pengunduran dirinya pada
23 April 1992 dan digantikan oleh Than Shwe.171
E. Rezim Militer era Than Shwe
Terpilihnya Than Shwe sebagai pemimpin Myanmar hampir melalui proses
yang sama dengan Saw Maung dan Ne Win, bahwa keduanya menjadi pemimpin
bukan karena kesepakatan konsesus Myanmar. Sehingga upaya untuk
mewujudkan stabilitas domestik direalisasikan melalui sistem yang otoriter.
Kemenangan NLD pada pemilu 1990 dan terjadinya perubahan rezim belum
mununjukkan indikasi demokrasi akan ditegakkan di Myanmar. Bahkan,
berdasarkan kebijakan Than Shwe tahun 1993, ia merombak parlemennya dengan
orang-orang pilihannya. Dari 700 kursi parlemen hanya 156 yang merupakan hasil
pemilihan masyarakat -diambil dari pemilu 1990-.172
Secara elektabilitas, Than Shwe kurang dikenal oleh kalangan masyarakat
walaupun ia sekretaris SLORC. Karir politiknya ia raih melalui keberhasilan dan
konsistensinya selama tugas lapangan Tatmadaw. Sehingga, jika berbicara
mengenai kapabilitas politik, maka Saw Maung dan Ne Win lebih memiliki
171
http://uca.edu/politicalscience/dadm-project/asiapacific-region/burmamyanmar-1948-
present/ diakses pada Selasa, 18 April 2017, pukul 14.06 WIB 172
Yu Szu-Tu dan Samuel C. Y. Ku, “Myanmar‟s Military Dictatorship Continuance: Old
Wine in New Bottle”, International Relations and Diplomacy 5 (February, 2017): 85
62
kecakapan akan hal tersebut. Namun, menarik kalau melihat realita yang terjadi
bahwa Than Shwe mampu berkuasa lebih lama ketimbang Saw Maung dan tidak
jauh berbeda dengan Ne Win, yaitu sekitar 18 tahun.173
Menanggapi hal tersebut, Nakanishi berargumen tentang keberhasilan Than
Shwe selama 18 tahun dalam memimpin Myanmar. Pertama, ketika menjabat
sebagai pemimpin Myanmar, Than Shwe tidak melepaskan jabatannya sebagai
commander in chief Tatmadaw. Berbanding terbalik dengan pejabat lainnya yang
melepaskan jabatan kemiliterannya setelah menjadi anggota pemerintahan. Kedua,
Than Shwe memperluas dan memperbanyak anggota militernya. Sistem tersebut
membentuk pola senioritas, sehingga kader-kader militer akan tunduk terhadap
Than Shwe sepenuhnya. Selain itu, Than Shwe juga memiliki kebijakan yang
mensejahterakan anggota Tatmadaw.174
Pada 1997, Than Shwe merubah SLORC menjadi State Peace Development
Council (SPDC). Perubahan terjadi karena kegagalan SLORC dalam
mengembalikan stabilitas domestik yang kemudian mendapat kecaman
internasional terhadap rezim militer yang tengah berkuasa. SPDC juga bercita-cita
untuk membangun stabilitas politik, ekonomi, dan reformasi administrasi
pemerintahan. Untuk itu SPDC memiliki tiga prinsip dasar nasional, yaitu non-
disintegration of the Union, non-disintegration of national solidarity, dan
perpatuation of national sovereignty. Tetapi, SPDC hanyalah SLORC dalam
bentuk lain, karena kebijakan dan mekanisme kerjanya tidak jauh berbeda.175
173
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 12 174
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 14 175
UNDP Myanmar, Mappling The State of Local Governance in Myanmar: Background
and Methodology, dikutip dari http://www.themimu. info/sites/themimu.info/files/ documents/
63
Serentetan pelanggaran HAM yang terjadi tidak mencerminkan adanya
keinginan pemerintah untuk mengembalikan demokrasi. Pada 1999, SPDC
melakukan penangkapan terhadap 100 aktivis pro-demokrasi. Kemudian, drama
penangkapan Suu Kyi sebagai tahanan rumah dan perpanjangan masa tahanannya
menjadi dinamika pemerintahan Than Shwe. Berdasarkan laporan National
Coalition of Government Union of Burma (NCGUB), telah ditemukan sekitar 644
korban pembunuhan di negara bagian Shan pada 1997, terdapat lebih dari 120
kasus yang menyebabkan kematian sipil pada 1999, dan lebih dari 80 penyiksaan
pada tahun 2000, serta perlakuan diskriminatif terhadap etnis minoritas yang terus
berlanjut.176
Berkaitan dengan data pelanggaran HAM, The Burma Consortium (TBO)
menjadi lembaga yang memiliki data terbaru terkait pengungsi korban HAM di
Myanmar, karena posisinya yang terletak di perbatasan Myanmar-Thailand.
Sebanyak 139.336 orang harus mengungsi ke perbatasan Thailand pada tahun
2009 akibat kekerasan HAM. Angka tersebut berbeda dengan UNHCR yang
mengatakan sebesar 107.028 orang. Perbedaan yang cukup signifikan dikarenakan
terdapatnya kamp-kamp pengungsi yang tidak terdeteksi letaknya oleh komunitas
internasional.177
Kehidupan yang tidak layak serta tidak adanya jaminan kehidupan, di
bawah rezim militer, memaksa masyarakat Myanmar untuk mengungsi dan
berharap agar “diadopsi” oleh negara ketiga. Sebagai negara yang berbatasan
Background_ Methodology_Local_Governance_Mapping_UNDP.pdf diakses pada Kamis, 20
April 2017, pukul 12.26. 176
Syarief, “Keputusan Uni Eropa”, 32-33 177
The Border Consortium, Programme Report July to December 2009, (Thailand: TBC,
2010) 7
64
langsung, Thailand menjadi negara yang paling aktif dalam melaporkan dan
mendistribusikan pengungsi dari kamp-kamp yang terdaftar ke berbagai negara.
Berikut adalah tabel distribusi pengungsi yang dilakukan oleh Thailand.
Tabel III. E.1 Distribusi Pengungsi ke Negara Penerima oleh Thailand pada
Tahun 2009
Sumber: TBC Report 2009178
Perlu dicatat bahwa tabel di atas adalah pengungsi Myanmar yang berhasil
untuk melarikan diri ke Thailand kemudian didistribusikan ke berbagai negara.
Berkaitan dengan pengungsi, ada istilah yang dikenal dengan Internally Displaced
Persons (IDPs) yaitu orang-orang yang mengungsi namun tidak keluar dari
negara, baik karena tidak ingin atau tidak memiliki kesempatan. IDPs inilah yang
sulit untuk disentuh oleh komunitas internasional. Berikut adalah tabel IDPs di
Myanmar dari berbagai etnis.
178
The Border Consortium, Programme Report July to December 2009, 9
65
Tabel III. E.2 Jumlah IDPs di Myanmar dari Berbagai Etis Pada Tahun 2009
Sumber: TBC Report 2009179
Tabel di atas menggambarkan dampak dari kekerasan antar-etnis yang
terjadi di enam wilayah di Myanmar. Walaupun terdapat tiga opsi kamp
pengungsian, baik yang disediakan pemerintah atau tidak, TBC mengkonfirmasi
bahwa pada akhirnya mereka akan mengungsi ke Thailand.
Perbandingan dua tabel di atas menggambarkan bahwa kekerasan HAM
yang terjadi para era Than Shwe sangat berdampak terhadap berbagai etnis dan
negara.
Pada 2007, Than Shwe mengesahkan kerangka konstitusional baru yang
semakin melegitimasi peran militer dalam pemerintahan. Diantara kerangka
konstitusional tersebut adalah presiden Myanmar di masa yang akan datang
haruslah aktor yang memiliki kecakapan dalam mengatur urusan kemiliteran,
kandidat parlemen di setiap daerah haruslah dipilih oleh militer setempat, kuota
militer di setiap kementerian dan pada situasi tertentu -seperti kerusahan-
komandTabean tertinggi militer memiliki kuasa untuk melakukan intervensi.180
179
The Border Consortium, Programme Report July to December 2009, 13 180
Szu-Tu dan C. Y. Ku, “Myanmar‟s Military Dictatorship”, 85
66
Kebijakan tersebutlah yang semakin melegalkan segala tindakan militer dalam
pemerintahan.
Uni Eropa menjadi salah satu entitas internasional yang memberikan sanksi
terhadap rezim otoriter Myanmar. Sanksi UE dimulai sejak 1991, setelah
pertemuan antara ASEAN dengan UE. Embargo senjata menjadi sanksi awal UE
terhadap Myanmar. Pada dasarnya, UE memiliki kebijakan untuk mendorong
demokrasi Myanmar melalui critical dialogue, namun Myanmar tetap
mengabaikan kebijakan tersebut. sehingga sanksi terus berlanjut hingga embargo
ekonomi, larangan berkunjung, penarikan atase UE di Myanmar, hingga larangan
impor komoditas Myanmar.181
Amerika Serikat turut memberikan sanksi terhadap Myanmar.
Memburuknya hubungan AS dengan Myanmar dimulai sejak kudeta terhadap era
demokrasi Myanmar, masa pemerintahan U Nu. Pada 1997, era Bill Clinton, AS
mengeluarkan larangan untuk investasi di Myanmar. Kemudian, pada era George
W. Bush, AS mengeluarkan larangan untuk berdagang dengan Myanmar. Tidak
hanya sampai di situ, AS juga memblokir semua properti pejabat militer Myanmar
yang berada di Amerika Serikat.182
Kegagalan SPDC untuk mengembalikan stabilitas di Myanmar menjadi
cikal-bakal kebangkitan demonstrasi pada 2007. Kebijakan Than Shwe untuk
mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) berdampak terhadap meningkatnya
181
Syarief, “Keputusan Uni Eropa”, 37-40 182
Mustavidy Anggaara dan Tri Joko Waluyo, Motivasi Amerika Serikat Menjatuhkan
Embargo Ekonomi Terhadap Myanmar Tahun 2007, diunduh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185972&val=6444&title=Motivasi%20Ameri
ka%20Serikat%20Menjatuhkan%20Embargo%20Ekonomi%20Terhadap%20Myanmar%20Tahun
%202007, diakses pada Kamis, 20 April 2017, pukul 22.17 WIB.
67
taraf hidup masyarakat sekaligus penurunan kualitas hidup. Para mahasiswa
angkatan 1988, kembali menginisiasi gerakan aksi yang kemudian diikuti oleh
ribuan biksu yang memadati Yangoon, tentu diiringi dengan tindakan represif
pemerintah. Peristiwa tersebut menjadi gelombang aksi terbesar kedua di
Myanmar yang dikenal sebagai Saffron Revolution. Fenomena tersebut juga
menjadi akhir dari rezim Than Shwe.183
F. Peran Aung San Suu Kyi Mengawal Kebangkitan Demokrasi Myanmar
Aung San Suu Kyi menjadi tokoh pro-demokrasi yang memiliki andil besar
dalam meruntuhkan rezim otoriter Myanmar. Wanita kelahiran 19 Juni 1945 ini
merupakan putri dari pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San.
Sebelum kembali ke Myanmar untuk mengurus ibunya yang sedang sakit, ia
tinggal bersama suaminya di Inggris sekaligus menamatkan studinya di Oxford
dan Universitas London. Ribuan korban jiwa akibat Gerakan 8888 menjadi
inspirasi perjuangan Suu Kyi dalam menegakkan demokrasi di Myanmar.184
Merespon janji SLORC untuk mengadakan pemilu secepatnya, pasca kudeta
yang dilakukan oleh Saw Maung, direspon positif oleh Suu Kyi dengan
mendirikan Partai Liga Nasional Demokrasi bersama Tin Oo, mantan menteri
pertahanan Myanmar, pada September 1988. Bersama NLD, Suu Kyi
mengelilingi kota-kota untuk menyuarakan demokrasi sebagai jalan keluar atas
carut-marut yang melanda Myanmar. Karena tindakannya, ia ditangkap dan
183
Szu-Tu dan C. Y. Ku, “Myanmar‟s Military Dictatorship”, 86 184
http://burmacampaign.org.uk/about-burma/a-biography-of-aung-san-suu-kyi/ diakses
pada Jumat, 21 April 2017, pukul 06.04 WIB.
68
dijadikan tahanan rumah oleh SLORC pada 1990 atas tuduhan menyebarkan
pidato kebencian yang memicu kemarahan publik.185
Selama masa perjuangannya, Suu Kyi kurang lebih ditahan sebanyak tiga
kali. Mulai dari 1990 kemudian dibebaskan pada 1995, ditahan lagi tahun 2000
selama dua tahun, dan kembali dijadikan tahanan rumah pasca insiden
penyerangan terhadap NLD tahun 2003. Pada masa penahanannya, ia pernah
ditawari oleh pemerintah untuk mengunjungi keluarganya di Inggris, namun Suu
Kyi paham kalau itu hanyalah akal-akalan pemerintah untuk mengusirnya dari
Myanmar dan ia pun menolak tawaran tersebut.186
Keberhasilan Suu Kyi dalam menghadirkan demokrasi kepada Myanmar
tidak lepas dari penolakan pemerintah terhadap hasil pemilu tahun 1990. Anggota
NLD yang memenangi kursi parlemen, kemudian ditolak oleh pemerintah,
mendirikan National Coalition Government of The Union of Burma di Karen pada
Oktober 1990. Koalisi nasional tersebutlah yang nantinya akan membongkar
seluruh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah.187
Menggarisbawahi ungkapan Sundhaussen bahwa penyerahan pemerintahan
dari militer kepada sipil adalah mungkin terjadi apabila tiga syarat telah terpenuhi,
yaitu seluruh jajaran militer menyepakati kebijakan penyerahan tersebut, jaminan
terhadap kepentingan-kepentingan esensial militer, dan alternatif politik yang
185
Dikutip dari https://www. amnesty.org/ download/ Documents/ 176000/ asa 16 00
81995 en. pdf. Diakses pada Jumat, 21 April 2017 pukul 06.22 WIB. 186
http://burmacampaign.org.uk/about-burma/a-biography-of-aung-san-suu-kyi/ 187
Aung Aung, Promoting Democracy in Myanmar Political Party Capacity Building,
(Singapura: Institute for Security and Development Policy, 2013) 18
69
mapan.188
Dengan demikian, kata kuncinya adalah adanya keinginan militer untuk
menyerahkan rezimnya kepada sipil.
Keinginan rezim militer untuk menyerahkan pemerintahannya menuntut
faktor-faktor tertentu. Aung Aung tidak dapat menemukan dengan pasti alasan
apa yang menyebabkan junta militer Myanmar, dalam waktu cepat, melakukan
reformasi politik, dari tahun 2003-2011. Ia menggarisbawahi dua faktor penting
menumbuhkan keinginan junta militer untuk menyerahkan rezimnya, yaitu faktor
internal yang hadir dari serangkaian aksi dari berbagai etnis dan faktor eksternal
yang hadir dari embargo ekonomi negara-negara lain terhadap Myanmar.189
Nakanishi mencoba untuk mengelaborasi lebih jauh terkait faktor internal
tersebut. Menurutnya umur Than Shwe yang relatif tua, ia berumur 70 tahun pada
2003, menjadi variabel yang tidak bisa dipungkiri. Pada periode kekuasaannya,
ketika Than Shwe menjabat sebagai Perdana Menteri sekaligus ketua SPDC dan
kemudian posisi perdana menteri digantikan oleh Khin Nyunt, para administratur
negara cenderung mereka yang telah berusia lanjut. Cara mereka untuk merespon
pemberontak tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya dan mereka juga ingin
merealisasikan cita-cita Tatmadaw dan SPDC sebelum mereka pensiun.190
Irisan antara faktor internal dan eksternal adalah peran Aung San Suu Kyi.
Di satu sisi, kehadirannya sebagai tokoh yang menginspirasi masyarakat sipil
untuk menegakkan demokrasi menjadikan dirinya sebagai sorotan entitas
internasional -terutama setelah menjadi tahanan pemerintah-. Di sisi lain, pada
1989, Suu Kyi pernah mengirim surat kepada PBB dan Amnesti Internasional
188
Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar, 134 189
Aung Aung, Promoting Democracy in Myanmar, 21-22 190
Nakanishi, Post-1988 Civil-Military Relations, 16
70
yang berisikan pelanggaran HAM di Myanmar. PBB juga menjadi aktor yang
menuntut pembebasan Suu Kyi sebagai tahanan rumah pada 2002. Apresiasi
entitas internasional kepada Suu Kyi telah diberikan sejak 1991, berupa nobel
perdamaian, atas gagasannya untuk menolak rezim otoriter tanpa kekerasan.191
Suu Kyi-lah yang kemudian menjadi simbol perdamaian Myanmar bagi
masyarakat internasional.
Puncak pencapaian Suu Kyi diawali saat pembebasannya sebagai tahanan
rumah pada 2010 dan ia diizinkan untuk terlibat dalam kegiatan politik Myanmar.
Sebelumnya, ia menolak hasil pemilu 2010 yang memenangkan Union Solidarity
and Development Party (USDP) karena menurutnya terdapat indikasi kecurangan.
Penolakan tersebut berdampak terhadap perpanjangan masa tahanannya.
Kemudian pada 2012, NLD terlibat dalam pemilu anggota parlemen. Suu Kyi
berhasil memenangkan 43 dari 45 kursi parlemen yang tersedia.192
Pelantikannya
sebagai anggota perleman, begitupun anggota NLD lainnya, merupakan pertanda
bahwa Myanmar mulai terbuka dengan sistem demokrasi.
Walaupun Suu Kyi memiliki andil besar dalam demokratisasi di Myanmar,
namun ia belum bisa menghapus diskriminasi HAM di negara tersebut.
Berdasarkan laporan TBC, lembaga kemanusiaan yang dibuat khusus untuk
mengawasi kegiatan HAM di Myanmar, pada tahun 2008 terjadi pemindahan
paksa sebanyak 142 desa dengan jumlah 66.000 orang yang harus tinggal di kamp
pengungsian. Terhitung sejak 1996-2012, lebih dari 3.700 desa di Myanmar harus
dipindah paksa. Pemindahan merupakan dampak dari bentrokan antara
191
Rani A. Puspita, Peranan Aung San Suu Kyi, 111-112 192
Rani A. Puspita, Peranan Aung San Suu Kyi, 112
71
pemerintah dengan etnis setempat. Paling tidak di Negara Bagian Karen, Mon,
Rakhine, dan Kabupaten Pegu sedang terjadi eskalasi konflik.193
Berdasarkan laporan International Crisis Group (ICC), Suu Kyi dinilai gagal
dalam mengatasi masalah gerakan anti-Muslim. Pada tahun 2012, terjadi
bentrokan antara pemerintah dengan Negara Rakhine yang menyebabkan 200
Muslim menjadi korban dan 140.000 harus mengungsi.194
Permusuhan antara
Islam-Buddha merupakan problematika klasik yang tidak lepas dari faktor politik
dan ekonomi. Dalam momentum tertentu, konflik Islam-Buddha sering kali dipicu
oleh dinamika internasional. Seperti perusakan enam masjid dan toko-toko
Muslim di Myanmar Tengah pada 2001 akibat gerakan Taliban di Afganistan.195
Di tengah kekerasan HAM yang mempertanyakan peran Suu Kyi,
kehadirannya berasama NLD menghasilkan kesepakatan gencatan senjata dengan
beberapa etnis minoritas. Kunjungan Obama ke Myanmar adalah implikasi dari
perubahan kebijakan pemerintah yang ingin melakukan rekonsiliasi dengan etnis
minoritas. Pada September 2012, Myanmar mengadakan pertemuan dengan 130
perwakilan kelompok oposisi sekaligus sebagai bukti gencatan senjata. Konflik
berkepanjangan antara pemerintah dengan Etnis Kachin berakhir pada tahun ini.
Kemudian, Myanmar turut diundang dalam pertemuan 26 kepala negara di Jepang
dan menghasilkan kesepakatan berupa dukungan demokrasi kepada Myanmar
193
https://www.burmalink.org/background/burma/human-rights-violations/human-rights-
reports/, diakses pada Sabtu, 15 Juli 2017, Pukul 10:14 WIB 194
https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/myanmar/dark-side-transition-
violence-against-Muslims-myanmar, diakses pada Sabtu, 15 Juli 2017, pukul 09:12 WIB. 195
International Crisis Group Report, The Dark Side of Transition: Violance Against
Muslims in Myanmar, (Brussels: ICG HQ, 2013) 3
72
serta pembatalan hutang Jepang sebesar USD 3,58 Miliar196
. Suu Kyi juga mampu
untuk mengurangi angka kekerasan dengan etnis lainnya, hal tersebut dibuktikan
dengan menurunnya angka pengungsi dari 75.000 angka rata-rata sejak 2003,
menjadi 10.000 di tahun 2012.197
Menarik apabila melihat transisi yang terjadi di Myanmar berdasarkan nilai-
nilai demokrasi deliberatif. Pemerintah mulai mempertimbangkan kepentingan
sipil dalam praktik demokrasinya, seperti dukungan pemerintah untuk menjadikan
Buddha sebagai satu-satunya agama resmi di Myanmar. Walaupun Buddha adalah
agama terbesar di Myanmar -sehingga keputusan tersebut merupakan suara
mayoritas-, namun proses pengambilan kebijakan tersebut tidak melalui uji publik
dan dialog dengan seluruh etnis. Dampaknya adalah diskriminasi HAM yang
dirasakan oleh etnis non-Buddha karena kebijakan tersebut tidak dapat mereka
terima.
196
The Border Consortium, Programme Report July to December 2012, (Thailand: TBC,
2013) 16-17 197
https://www.burmalink.org/background/burma/human-rights-violations/human-rights-
reports/ diakses pada Sabtu, 15 Juli 2017, Pukul 10:14 WIB
73
BAB IV
PENGARUH BALI DEMOCRACY FORUM TERHADAP TRANSISI
DEMOKRASI MYANMAR PERIODE 2012-2014
Bali Democracy Forum menjadi salah satu faktor yang membantu transisi
demokrasi Myanmar. Jika mengkajinya berdasarkan pendekatan konstruktivisme,
maka ada tiga hal yang harus dianalisis, yaitu Proses kemunculan norma
demokrasi di Myanmar; Proses intitusionalisasi norma demokrasi di Myanmar-;
dan seberapa penting norma demokrasi bagi Myanmar itu sendiri198
. Bab ini
berupaya untuk menjawab tiga pernyataan di atas melalui analisis life cycle of
norms guna melihat bagaimana BDF berpengaruh terhadap transofrmasi nilai-nilai
demokrasi ke Myanmar.
A. Perubahan Identitas Myanmar
1. Identitas Lama Myanmar
Alexander Wendt membagi identitas dalam HI menjadi dua bentuk, yaitu
type identites dan role identities. Type identities adalah kategori sosial yang dianut
oleh negara dan menjadi karakter yang dipahami oleh negara lain, seperti negara
demokrasi, negara Islam, dan negara kapitalis. Sedangkan, role identities adalah
produk dari hubungan antar negara, seperti teman, aliansi, atau rival.199
Dua
bagian tersebut harus dipahami untuk memaksimalkan potensi analisis identitas.
Berdasarkan Type identity-nya, Myanmar dikenal sebagai negara otoriter,
atau menurut Philips Vermonte sebagai negara yang menganut demokrasi
198
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 405 199
Wendt, Social Theory of International, 225-226
74
prosedural.200
Di samping itu, Myanmar juga memiliki sejarah sebagai negara
sosialisme. Berdasarkan role identity-nya, Myanmar memiliki hubungan yang
kurang baik dengan Uni Eropa 201
dan Amerika Serikat.202
Produk dari hubungan
tersebut merupakan hasil dari identitas Myanmar yang otoriter dan tertutup.
Berbeda dengan hubungan Myanmar terhadap negara Asia Tenggara yang relatif
stabil karena prinsip non-intervensi yang diterapkan oleh ASEAN. Namun,
mereka terus memberikan saran kepada Myanmar agar sesegara melakukan
reformasi.203
Sistem otoriter dianut oleh Myanmar bukan semata-mata hal yang given.
Berbagai faktor telah mempengaruhi sehingga 60 tahun rezim militer berkuasa di
Myanmar. Faktor pertama yang mempengaruhinya adalah sejarah kemerdekaan.
Peran komunitas militer sangat besar untuk mengusir kaum penjajah.204
Burma
Independence Army (BIA) adalah komunitas militer pertama Myanmar yang
dibentuk Jepang untuk melawan Inggris.205
Pasca terusirnya Inggris, Jepang justru
melakukan penjajahan balik karena motif sumber daya alam. Anti-Facist People
200
Vermonte memberikan pemahaman yang berbeda mengenai Demokrasi Prosedural
dengan Demokrasi Substantif. “Demokrasi Prosedural” diartikannya sebagai demokrasi yang
bersifat sebatas konstitusi atau dalam praktiknya pemilu hanyalah sebatas formalitas politik
semata. Sedangkan, “demokrasi substanftif” dianggapnya sebagai demokrasi yang diterapkan oleh
Indonesia pasca era reformasi, dimana kebebasan akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
berpolitik serta bernegara dijamin oleh pemerintah. Achraya, Indonesia Matters”, 26 201
Clara Portela, “The EU‟s Use of „Targeted‟ Sanctions Evaluating Effectiveness”, CEPS
Working Document No, 391 (2014), 9-11 202
Rislatu Mirajiah, “Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mempengaruhi
Terjadinya Demokratisasi di Myanmar”, Jurnal Hubungan Internasional Universitas
Parahyangan (2013), 183 203
Hasil wawanara dengan Aleksius Jemadu pada tanggal 14 Juni 2017 204
Taylor tidak mengartikan komunitas sebagai sekumpulan aktor yang tergabung dalam
institusi formal dan menamakan diri mereka sebagai komunitas tertentu. Taylor justru memahami
komnitas sebagai sekelompok aktor yang memiliki identitas, kepentingan, pemaknaan, dan nilai
yang sama. Lesly G.C. Hosang, Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan
Konstruktivisme terhadap ASEAN Political Security Community 2015 sebagai Kerjasama
Keamanan di Kawasan Asia Tenggara, (Depok: Universitas Indonesia, 2011) 14-15 205
Anggraini, Perjuangan Anti-Facist People’, 43
75
Freedom League kemudian dibentuk kaum nasionalis Myanmar untuk melawan
Jepang. Anggota AFPFL adalah ex-BIA. AFPFL banyak mendapat bantuan dari
sekutu untuk mengusir Jepang.206
Aung San menjadi tokoh sentral bagi kemerdekaan Myanmar. melalui
Perjanjian Panglong ia berhasil menyatukan seluruh etnis untuk melawan
penjajah. Panglong Treaty menjadi cikal-bakal penegakan demokrasi di
Myanmar, mengingat posisinya sebagai bekas jajahan Inggris yang menganut
sistem demokrasi parlementer. Namun, kematian Aung San dan gagalnya
pemerintahan sipil berdampak terhadap instabilitas domestik. Hal tersebut
dirasakan oleh para militer sebagai tanggung jawab mereka untuk mengembalikan
stabilitas Myanmar melalui kudeta pemerintahan.
Adian Firnas menjelaskan tiga variabel yang mendasari keengganan militer
untuk menyerahkan kekuasaan kepada sipil pasca kudeta, yaitu variabel eksternal
negara, variabel eksternal militer, dan variabel kesiapan pemerintahan sipil.207
Variabel eksternal negara dilihat melalui belum dibutuhkannya kerjasama antar
negara secara global. Pasca Perang Dunia II hingga Perang Dingin, Myanmar
menjadi negara pemasok beras dan sumber daya alam (raw material) kepada
negara aliansi, seperti Korea Utara.208
Sejak 1950, angka ekspor beras Myanmar
206
Robert H. Taylor, General Ne Win: A Political Biography, (Singapore: Markono Print
Media, 2015) 99 207
Firnas, “Prospek Demokrasi Myanmar”, 133. 208
Kebijakan Pyidhawtha yang dicanangkan rezim militer Myanmar sempat mengangkat
ekonomi Myanmar untuk sementara. Kyi, et.al, A Vision and A Strategy, 2
76
sebesar 3 juta ton pertahun. Keuntungan yang dihasilkan Myanmar dirasa cukup
bagi mereka tanpa memperluas jaringan dagangnya.209
Variabel eksternal militer adalah tidak hadirnya komunitas yang menjadikan
militer sebagai common enemy. Sebagai mayoritas, Etnis Burma menjadi yang
paling banyak perwakilannya di lembaga negara, sehingga kebijakan negara
cenderung menggambarkan kepentingan etnisnya, yang notabennya adalah
penganut Buddha dan anggota militer.210
Dengan kata lain, berbagai etnis di
Myanmar belum dapat bersatu melawan rezim militer, ditambah lagi etnis
mayoritas yang mengambil posisi mendukung kebijakan pemerintah.
Aspek berikutnya adalah ketidaksiapan pemerintahan sipil dalam
menjalankan tugas kekuasaan. Pluralitas etnis memunculkan tantangan integrasi
bangsa, dengan terlihatnya gerakan-gerakan pembebasan yang disuarakan oleh
etnis minoritas. Pihak militer merasa tantangan semacam ini akan sulit dihadapi
oleh pemerintahan sipil. Mereka juga khawatir jika reformasi dilakukan, maka
perpecahan seperti negara di Timur Tengah akan terjadi.211
Oleh sebab itu, pihak
militer merasa bahwa transisi pemerintahan kepada sipil harus dilakukan secara
gradual dan bertahap, tidak bisa secara langsung.212
Norma adalah faktor berikutnya yang menjadikan Myanmar sebagai nergara
otoriter. Norma adalah aturan berperilaku.213
Sebagai aturan, norma merupakan
209
The Internastional Human Right Clinic, Crimes in Burma, (Cambridge: University of
Harvard, 2009) 11 210
A. Irewati, “Demokrasi Mati Suri”, Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 4 No.1 (2007),
14-15 211
Irewati, “Demokrasi Mati Suri”, 15 212
Hasil wawanara dengan Aleksius Jemadu pada tanggal 14 Juni 2017 213
Finnemore dan Sikkink, “International Norm Dynamics, 891
77
ide yang survive dari berbagai gagasan kemudian dianut oleh masyarakat.214
Sosialisme berhasil survive menjadi norma yang dianut oleh Myanmar sejak rezim
Ne Win melalui kebijakan The Burmese Way to Socialism. Di tengah instabilitas
politik, Ne Win meyakini kebebasan sipil –sebagaimana cita-cita demokrasi- akan
berdampak terhadap lahirnya gerakan pemberontakan Selain itu, melalui
sosialisme pemerintah memiliki alasan untuk menasionalisasikan berbagai
perusahaan asing215
serta melakukan reformasi pemerintahan.216
Hal itu
menunjukkan junta militer yang ingin mendapatkan peran besar dalam proses
pembangunan Myanmar dalam berbagai sektor.
Pengaruh lingkungan menjadi faktor penting yang memperkokoh norma
sosialisme di Myanmar. Secara geografis, Myanmar berbatasan langsung dengan
China. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran China sebagai great power
memberikan pengaruh kepada Myanmar. Selain itu, di awal kemerdekaannya
Myanmar dihadapkan dengan Perang Dingin, dimana Asia menjadi arena proxy
war antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet.217
China mengklasifikasi
relasinya dengan negara lain dalam dua bentuk, partner atau musuh (komunis-
sosialis atau demokrasi-kapitalis). Bagi China tidak ada istilah non-blok, pada
akhirnya mereka harus memilih blok yang mana.218
214
El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional, 71 215
Stein, The Role of the Military, 33 216
Khan, The Burmese way, 43-45 217
David I. Steinberg dan Hongwei Fan, Modern China-Myanmar Relations,
(Copenhagen: NIAS Press, 2012) 11 218
Steinberg dan Fan, Modern China-Myanmar, 18
78
Gambar IV.A.1 Peta Perbatasan Myanmar-China
Sumber: News.rakyatku.com219
Klasifikasi tersebut berdampak terhadap situasi politik Myanmar ketika
China memutus segala hubungan diplomatik dengan negara yang tidak berhaluan
komunis-sosialis. Bahkan China enggan mengakui kemerdekaan Myanmar karena
mereka tidak mau bergabung dengan China.220
Puncak daripada hubungan China-
Myanmar adalah ketika Ne Win mengeluarkan kebijakan The Burmese Way to
Socialism. Sejak itu Myanmar menjadi partner strategis China, terutama pasca
terisolasi dari Amerika dan Eropa.221
Dengan kata lain, kedekatan Myanmar
dengan China menjadi faktor yang melanggengkan norma sosialisme.
219
Peta perbatasan Myanmar-China. http :// news .rakyatku .com /read /41997/ 2017/ 03
/14 /puluhan -tentara-myanmar-tewas-oleh-pemberontak-di-perbatasan-cina, diakses pada Senin,
10 Juli 2017, pukul 17:39 WIB. 220
Steinberg dan Fan, Modern China-Myanmar, 18 221
Poon Kim Shee, “The Political Economy of China-Myanmar Relations: Strategic and
Economic Dimensions”, Annual Review of International Studies Vol. 1 (2002), 33-34
79
2. Identitas Baru Myanmar
Myanmar dan rezim militernya mendapat sorotan publik karena pelanggaran
HAM, hukum dan politik, serta KKN yang disebabkan tak terbatasnya kekuasaan
pemerintah. Walaupun penegakan demokrasi menjadi urusan domestik Myanmar,
namun pelanggaran HAM seolah telah menjadi isu global. Christine Cheng dan
Dominik Zaum menjelaskan bahwa negara yang tidak stabil cenderung
melakukan KKN dan kekerasan menjadi dalih untuk memunculkan kembali
atmosfir pembangunan yang ideal.222
Sehingga wajar jika junta militer
menjadikan seluruh personilnya sebagai aparatur pemerintahan dan merespon
dengan kekerasan bagi mereka yang tidak sependapat.
Identitas Myanmar sebagai negara otoriter-sosialisme ditantang oleh
demokrasi. Masyarakat Myanmar terus menolak segala kebijakan anti-
demokrasi.223
Demokrasi sebagai ide baru diasumsikan oleh Kuhnian dengan
istilah “accumulation of anomalies”. Kuhnian menjelaskan bahwa akumulasi dari
kegagalan-kegagalan kecil yang tidak sanggup dicapai oleh negara berdasarkan
paradigma tertentu akan menuntut gagsan baru. Pada konteks Myanmar,
sosialisme dinilai gagal oleh masyarakat untuk mengembalikan stabilitas politik
dan ekonomi.224
Negara dengan situasi yang tidak stabil cenderung mudah
menerima hadirnya norma baru.225
Oleh sebab itu, demokrasi dianggap sebagai
222
Christine Cheng dan Dominik Zaum, Selling the Peace? Corruption and Post-Conflict
Peace Building, [Artikel online], tersedia di http://centaur.reading.ac.uk/23482/1/067_01_
Corruption_ 01. pdf, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 04:37 WIB 223
Adrianus Mandey, Revolusi Saffron dan Peran Sentral Biksu di Myanmar, [berita
online] tersedia di http://dunia.news.viva.co.id/news/read/629002-revolusi-saffron-dan-peran-
sentral-biksu-di-myanmar, diakses pada Senin, 19 Juni 2017, pukul 00.10 WIB. 224
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist, 407 225
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist, 397
80
jalan keluar dalam menghadapi masalah domestik yang tidak terselesaikan oleh
norma sosialisme, karena nilai yang dianut demokrasi menjunjung kebebasan dan
penghargaan HAM.226
Menanggapi hal tersebut, sekurangnya ada dua fokus analisis yang
menyebabkan Myanmar harus menerapkan sistem demokrasi. Analisis yang
pertama menitikberatkan kepada lingkungan sosial. Pembahasan tersebut akan
dikaji dalam dua dimensi, yaitu internal -akan menyinggung sejarah- dan
eksternal. Aleksius Jemadu, Guru Besar Hubungan Internasional, mengatakan jika
demokrasi ingin diterapkan oleh suatu rezim, maka harus dimulai dari internal.227
Tahun 2007, Saffron Revolution menjadi momentum bagi Myanmar untuk
melakukan perubahan identitas. Revolusi Saffron sebagai social movement
terbentuk dari cita-cita yang sama, sehingga seluruh elemen sipil berkumpul untuk
menyuarakan reformasi. Social movement hadir karena penderitaan masyarakat
dan tidak menikmati kesejahteraan yang seharusnya diberikan negara.228
Junta militer dinilai gagal mengembalikan stabilitas Myanmar. Sekalipun
pernah menjadi eksportir beras terbesar di dunia pada 1987, Myanmar tetap
menjadi 10 negara termiskin di dunia. Kemiskinan dan hutang terus memburuk
hinga 2007 pemerintah mencabut subsidi bahan bakar dan mengalami kenaikan
sebesar 500%. Selain itu, pemerintah juga tidak menghormati properti agama
Buddha, padahal 89% penduduk di Myanmar beragama Buddha.229
Di tahun yang
226
Trine Flockhart, Socializing Democratic Norms, (New York: Palgrave Macmillan,
2006) 6 227
Hasil wawanara dengan Aleksius Jemadu pada tanggal 14 Juni 2017. 228
Dini E. Wulandari dan Fitri Saputra, Peran Religious Group (Biksu Buddha) dalam
Proses Demokratisasi di Myanmar tahun 2007, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2013) 4-5 229
Wulandari dan Saputra, Peran Religious Group, 10-11
81
sama, Myanmar menjadi negara dengan deforestasi tertinggi di Asia Tenggara.
Penyalahgunaan tanah berdampak terhadap pengelolaan sumber daya alam yang
tidak maksimal, padahal alam adalah pemasukan terbesar Myanmar.230
Penistaan
terhadap agama Buddha, ditambah krisis ekonomi, menjadi alasan bagi terlibatnya
biksu dalam menyuarakan perubahan.
Social movement juga lahir dari pelanggaran HAM. Dalam melawan para
separatis, sejak era Ne Win, pemerintah menerapkan the four cuts policy.
Pemutusan logistik, uang, informasi, dan perekrutan anggota yang dilakukan
kepada etnis minoritas -terduga gerakan separatis- telah memakan ribuan korban
jiwa. Serentetan pelanggaran HAM terjadi, mulai dari tindakan represif
pemerintah terhadap aksi 1988 hingga veto pemerintah kepada pemilu 1990.
Puncaknya adalah saat pemerintah melakukan penutupan berbagai univeritas serta
penyerangan terhadap Aung San pasca pembebasannya sebagai tahanan rumah
saat melakukan kampanye politik.231
Peristiwa tersebut menjadi alasan dibalik
bersatunya seluruh masyarakat sipil untuk menggunglingkan junta militer.
Dimensi lingkungan yang kedua menitikberatkan kepada ranah eksternal.
Sebagai bagian dari ASEAN, perilaku dan identitas Myanmar tidak bisa lepas dari
negara di Asia Tenggara. Amitav Acharya mengatakan demokrasi Asia Tenggara
terbukti sukses dalam memanajemen konflik serta berhasil mengahadapi krisis
ekonomi. Keberhasilan demokrasi tidak lepas dari bagaimana negara di Asia
Tenggara memaknai demokrasi dengan caranya sendiri, melalui Asian Values.232
230
Mirajiah, “Faktor Internal dan Faktor,” 142 231
The Internastional Human Right Clinic, Crimes in Burma 12-17 232
Amitav Achraya, “Democratising Southeast Asia: Economic Crisis and Political
Change”, Working Paper Murdoch University No.87 (1998), 1
82
Membandingkan progress dengan penganut demokrasi sedangkan Myanmar
semakin terisolasi dengan rezim militernya, Myanmar merasa bahwa demokrasi
menjadi satu-satunya cara untuk mengakhiri isolasi internasional.233
Terciptanya atmosfir yang aman dan damai untuk menerapkan demokrasi di
Asia Tenggara menjadi tugas dari ASEAN Political-Security Community (APSC).
Berdasarkan blueprint yang disepakati pada 2009, APSC sepakat untuk
menyebarkan paham-paham damai, transparansi, dan inklusif melalui norma
demokrasi.234
Penyebaran norma tersebut dilakukan dengan menghormati prinsip
non-intervensi ASEAN, sehingga upaya penyebaran demokrasi dilakukan dengan
pendekatan dialog serta kerjasama.235
APSC sebagai institusi236
mampu memberikan pengaruh (feedback) kepada
anggota ASEAN, baik untuk memperkokoh atau menyebarkan norma
demokrasi.237
Cara APSC dalam menyebarkan demokrasi adalah melalui
pembentukan identitas kolektif (masyarakat ASEAN) dan common understanding
terhadap demokrasi dengan Asia values. Berkaitan dengan Myanmar, APSC
memberikan pengaruh secara tidak langsung melalui dukungan ASEAN terhadap
segala bentuk demokratisasi dengan menjaga atmosfir yang kondusif untuk
pembangunan. Inilah bagian dari lingkungan eksternal yang mempengaruhi
masuknya demokrasi ke Myanmar.
233
Achraya, “Democratising Southeast Asia, 11-12 234
The ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025,
(Jakarta: ASEAN Secretariat, 2016), 2 235
The ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security, 5 236
Konstruktivisme memandang APSC sebagai institusi yang menyebarkan norma
demokrasi. Institusi menurut March dan Olsen adalah seperangkat aturan atau norma yang telah
stabil sehingga mampu menentukan perilaku suatu aktor dalam situasi tertentu. Finnemore dan
Sikkink, “International Norm Dynamics, 891 237
El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional, 70-71
83
Analisis kedua yang mendukung masuknya norma demokrasi ke Myanmar
adalah BDF. Pengaruh BDF tidak lepas dari tujuan dibentuknya forum tersebut
untuk menyebarkan demokrasi di Asia. Menurut Hassan Wirajuda Asia adalah
ladang yang “subur” untuk membicarakan demokrasi. Ia juga menegaskan bahwa
akan percuma jika membicarakan demokrasi dengan negara yang sudah memiliki
kepercayaan terhadapnya, karena itu BDF terbuka bagi negara yang bukan
demokrasi sekalipun. Selain itu, Asia menjadi wilayah yang belum
memaksimalkan potensi ekonomi dan politik secara berkesinambungan. Bagi
beberapa negara, ketika ekonomi telah menunjukkan tren positif, maka HAM,
politik, dan pembangunan tidak menajdi hal penting -seperti Indonesia pada Orde
Baru-.238
Oleh sebab itu, terget utama penyebaran demokrasi BDF adalah Asia.
BDF pertama kali diselenggarakan setahun pasca Revolusi Saffron di
Myanmar. Sebagai instrument foreign policy Indonesia, kehadiran BDF tidak
disia-siakan oleh Myanmar guna memajukan demokrasinya.239
Melalui BDF,
Myanmar berharap dapat belajar terkait praktik demokrasi yang terjadi di berbagai
negara.240
Myanmar tidak pernah absen sepanjang pagelaran BDF dari tahun 2008-
2014. BDF dirasakan penting bagi Myanmar karena tema yang diusung menjadi
tahapan penting baginya untuk menyelesaikan permasalahan domestik. Wirajuda
menjelaskan kalau tema yang diusung BDF bersandarkan kepada agenda strategis
238
Asri Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising Bali Democracy Forum for
Asia, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013) 60 239
Badan Kerjasama Antar-Parlemen DPR RI. Diploasmi Parlemen Indonesia di Asia
Tenggara, [Laporan online], tersedia di http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/ diplomasi_
Diplomasi_ Parlemen_Indonesia_di_Asia_Tenggara.pdf, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul
05:22 WIB 240
Kemlu dan IPD, Promoting Synergy between Democracy, 63-64
84
kawasan. Cara BDF yang humble dalam menyebarkan norma demokrasi juga
mudah diterima oleh Myanmar. Sehingga, ketika BDF mendapat kritikan dari
berbagai pihak karena mengundang Myanmar, Indonesia justru mendukung
partisipasi Myanmar di dalamnya karena memang itu tujuan BDF.241
Partisipasi
Myanmar dalam BDF inilah yang menunjukkan proses top-down dalam transisi
demokrasi Myanmar
BDF juga berperan sebagai forum yang mendukung kondusifitas regional
guna menumbuhkan semangat demokrasi di Asia. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh U Maung Myint sebagai ketua delegasi Myanmar pada BDF
kedua, ia menyampaikan “I wish to stress that democracy can only be established
in an environment of peace and stability... It is my belief that this 2nd Forum will
also contribute to further promotion of democracy in the region”.242
Dengan kata
lain, secara tidak langsung BDF berperan sebagai forum yang mendorong
Myanmar untuk menganut demokrasi melalui pendekatan regional.
Berdasarkan pemaparan di atas, peran BDF dalam mempengaruhi
demokrasi Myanmar tidak lepas dari keinginan rezim tersebut untuk melakukan
perubahan. Walaupun junta militer terus berupaya mempertahankan rezimnya,
namun norma yang dianut pemerintah dinilai gagal untuk mengembalikan
stabilitas dalam negeri. Sehingga BDF memiliki celah untuk memberikan
pengaruh terhadap transisi identitas Myanmar.
241
Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising, 60 242
Kemlu dan IPD, Promoting Synergy between Democracy, 63-64
85
B. BDF sebagai Life Cycle of Norms.
Bali Democracy Forum menjadi faktor yang turut merubah identitas
Myanmar. Sebagai upaya konstruksi sosial, identitas baru Myanmar dihasilkan
dari sebuah dialog, perdebatan, dan bujukan.243
Interaksi yang terjadi di BDF,
mempengaruhi Myanmar terhadap pemahaman demokrasinya. Wirajuda
menjelaskan bahwa dialog adalah cara BDF memberikan pengaruh terhadap
negara lain.244
Oleh sebab itu, BDF memberikan kesempatan kepada setiap negara
untuk menceritakan pengalaman demokrasinya, sehingga memberikan wacana
yang variatif terkait demokrasi.
Sebagai kebijakan luar negeri Indonesia, tentunya BDF mengandung makna
demokrasi “khas” Indonesia. Wirajuda juga mengatakan kalau demokrasi yang
disebarkan oleh Indonesia, melalui BDF, adalah demokrasi prosedural dan
substantif.245
BDF menjadi salah satu cara untuk memahami norma demokrasi
berdasarkan perspektif Indonesia.
Bali Democracy Forum adalah instrumen yang menjadikan Indonesia
sebagai agen dalam menyebarkan norma. Wendt menjelaskan bahwa suatu negara
dikatakan sebagai agent ketika dia menyebarkan gagasan atau idenya, jika tidak ia
hanyalah entitas semata.246
Dalam dinamika internasional, norma yang dianut oleh
suatu negara akan selalu berhadapan dengan norma baru atau norma yang dianut
oleh negara lain melalui proses interaksi.247
Proses bagaimana suatu norma
mengalami interaksi hingga terjadi perubahan terhadap norma yang dianut oleh
243
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist, 402 244
Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising, 63 245
Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising, 61 246
Wendt, Social Theory of International, 313 247
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist, 402
86
suatu negara merupakan definisi life cycle of norms248
. Sebelum membahas lebih
jauh tentang proses pergantian norma, penting untuk membahas terlebih dahulu
norma demokrasi seperti apa yang dipahami oleh BDF.
1. Norma Demokrasi BDF
Pemahaman demokrasi yang sangat kontekstual menyebabkan
pemaknaannya berujung kepada perdebatan.249
Juwono Sudarsono, Akademisi
Hubungan Internasional, beranggapan cara yang paling adil untuk memaknai
demokrasi adalah bercermin kepada Universal Declaration on Human Rights
yang dikeluarkan oleh PBB. Paling tidak ada lima aspek kemanusiaan yang
diperhatikan dalam deklarasi tersebut, yaitu aspek hak asasi sipil, politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Poin pentingnya adalah Seluruh aspek tersebut harus
berkesinambungan250
Hak sipil dan politik bisa diukur melalui sejauh mana negara berhasil
mengadakan pemilu dengan adil dan berkala. Berjalannya pemilu juga harus
melibatkan sipil dan media.251
Huntington berargumen bahwa secara praktis
demokrasi akan mengadakan pemilu, sehingga demokrasi dan pemilu tidak bisa
dipisahkan.252
Dengan demikian, pemilu adalah indikator universal dalam
menjamin penegakan demokrasi di setiap negara berdasarkan aspek sipil dan
politiknya.
248
Finnemore dan Sikkink, “International Norm Dynamics, 891 249
Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising, 66 250
The Inter-Parliamentary Union, Democracy: Its Principles and Achievement (Geneva:
ATAR, 1998), 81 251
The Inter-Parliamentary Union, Democracy: Its Principles, 81 252
Eric Hiariej, “(Tidak) Demokratis ala Asia,” Jurnal JSP Vol.1 No.2 (1997), 58
87
Berbeda dari hak sipil dan politik, tidak ada indikator universal bagi
penegakan hak asasi sosial, budaya, dan ekonomi. Hak asasi budaya dan ekonomi
di suatu negara akan bergantung dengan hak sosialnya. Ketidakmampuan berbagai
aktor dan akademisi dalam menetapkan standarisasi tiga hal tersebut menjadi awal
dari lahirnya demokrasi-demokrasi parsial. Seperti kasus yang dimiliki Asia
Tenggara, rendahnya angka pendidikan, sejarahnya sebagai negara terjajah, multi-
kulturalisme, serta politik paternalistik yang kuat menjadikan standar demokrasi
dalam paham Barat tidak bisa diterapkan di Asia Tenggara.253
.
Di samping itu, Asia di abad 21 telah menunjukkan prestasi ekonominya
dengan penerapan demokrasi yang unik. Asia mengakui bahwa budaya memiliki
peran penting dalam proses pembangunan suatu negara. Bagaimana Asia
menempatkan posisi budaya dalam pembangunan tersebut adalah nilai unik yang
dimiliki Asia. Aspek inilah yang menjadikan Asia tidak bisa menerapkan
demokrasi seperti Barat, karena menurut Takashi Inoguchi dan Edward Newman
dengan sepenuhnya menerapkan paham demokrasi Barat, maka kearifan lokal
akan hilang dan cenderung terhadap homogenitas, kemudian peran budaya dan
agama dalam negara akan menghilang.254
Hubungan kearifan lokal dengan
demokrasi itulah yang mendasari terbentuknya Democracy with Asian Values.
Pemahaman terhadap Asian values menjadi penting untuk mengetahui corak
demokrai BDF. Apabila diselaraskan dengan ungkapan Hassan Wirajuda di atas,
maka Demokrasi prosedural akan kembali kepada pemilihan umum yang adil dan
253
The Inter-Parliamentary Union, Democracy: Its Principles, 82-83 254
Takashi Inoguchi dan Edward Newman, “Introduction: „Asian Values‟ and Democracy
in Asia,” proceedings of a conference di Hamamatsu, Jepang (28 Maret 1997)
88
berkelanjutan sebagai metode untuk menentukan pemimpin.255
Sedangkan,
demokrasi substansial akan berbicara tentang keterlibatan masyarakat dalam
proses pembuatan kebijakan dengan memperhatikan kearifan lokal masing-
masing negara.256
Mengingat demokrasi bukanlah konsep tunggal, BDF
mempersilahkan setiap delegasi untuk mengambil nilai-nilai positif dalam praktik
demokrasi dan tidak terpaku terhadap pemahaman demokrasi yang tunggal.
Kearifan lokal (local wisdom) berasal dari pengetahuan masyarakat yang
ditransimisikan melalui tradisi. Pengetahuan tersebut biasanya berasal dari
sejarah, budaya, nilai setempat, dan agama. Kearifan lokal sering kali merujuk
kepada budaya serta nilai unik yang diterapkan di suatu tempat. Karena sifatnya
yang abstrak, konsep ini sering disamaartikan dengan nilai-nilai kebaikan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.257
Dalam mempromosikan norma
demokrasi, BDF tidak ingin nilai-nilai budaya terpinggitkan, sehingga muncul
ungkapan yang tenar di Timur Tengah, bahwa demokrasi tidak selaras dengan
nilai-nilai Islam. BDF justru ingin demokrasi berintegrasi dengan kearifan lokal
supaya penyebaran demokrasi bisa efektif di Myanmar.
Demokrasi yang dipromosikan BDF juga selaras dengan nilai-nilai
demokrasi deliberatif. Ada lima poin penting yang dijelaskan oleh Maeve Cooke
sebagai substansi dari demokrasi deliberatif yaitu; (1) demokrasi deliberatif
adalah sarana pendidikan politik bagi masyarakat; (2) kesepakatan yang dilahirkan
oleh demokrasi deliberatif dinilai lebih rasional, karena prosesnya melibatkan
255
Hiariej, “(Tidak) Demokratis ala Asia”, 58 256
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017 257
Miss Roikhwanphut Mungmachon, “Knowledge and Local Wisdom: Community
Treasure”, International Journal of Humanities and Social Science 2 (Juli 2012); 176
89
seluruh elemen; (3) win-win solution dalam demokrasi sulit ditentukan karena
standar keadialan yang beda, sehingga demokrasi deliberatif menentukan
standarnya sendiri dalam konteks sosial setempat; (4) mengkonstruksi peran
masyarakat dalam keterlibatan pengambilan kebijakan; (5) demokrasi deliberatif
menghindari kesan terhadap pemaknaan demokrasi tunggal, karena proses
keterlibatan masyarakat yang berbeda.258
Berdasarkan penjelasan di atas, musyawarah atau komunikasi menjadi
proses penting dalam berdemokasi. Bukan sebatas musyawarah yang dilakukan
oleh lembaga perwakilan, karena wacana kekuasaan adalah ruang publik yang
harus siap dirasionalisasikan melalui musyawarah. Demokrasi deliberatif
memperhatikan feedback antara pemerintah dengan masyarakat sebagai tahapan
untuk mencapai konsensus.259
BDF tidak memutuskan demokrasi seperti apa yang
harus digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam negeri, karena standar
konsensus akan berbeda di setiap konteksnya. Dengan kata lain, metode yang
diterapkan BDF menunjukkan bahwa pola komunikasi menjadi perhatian penting
dalam demokrasi, karena dari komunikasi tersebut akan membangun
intersubjective meaning antara pemerintah-masyarakat dalam menangani
problematika dalam negeri.
2. BDF sebagai agen Share Ideas of Democracy
Kehadiran sekelompok orang yang menentang suatu norma akan mencari
alternatif untuk meruntuhkan norma tersebut, sehingga memberikan kesempatan
258
Maeve Cooke, “Five Arguments for Deliberative Democracy”, Political Studies 48
(2000); 948. 259
Candra Kusuma, Demokrasi Deliberatif di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus ‘Forum
Konstituen’ di Kabupaten Bandung, (Depok; Universitas Indonesia, 2012), 38
90
bagi norma baru untuk memasuki suatu negara.260
Begitupun yang terjadi di
Myanmar, pemberontakan yang dilakukan masyarakat adalah penolakan terhadap
rezim militer. Kedekatan Indonesia dengan Myanmar secara geografis menjadikan
kebijakan demokratisasi BDF dirasa begitu bermanfaat bagi Myanmar dan Asia
Tenggara,261
sehingga norma demokrasi yang disebarkan oleh BDF menjadi
alternatif bagi masyarakat Myanmar.
Interaksi yang terjadi dalam BDF merupakan bagian dari share ideas of
democracy. Ide dan materil memiliki relasi yang kuat dalam menyampaikan
norma demokrasi BDF. Idenya adalah pemahaman terhadap norma demokrasi dan
materilnya adalah forum antar negara tersebut.
Penjelasan yang telah disampaikan menggambarkan kalau demokrasi
bukanlah sesuatu yang given. Demokrasi adalah norma sosial yang dikonstruk
dari berbagai ide yang disampaikan oleh setiap aktor. BDF menjadi wadah bagi
Indonesia untuk menyebarkan norma demokrasi kepada negara-negara pesertanya,
khususnya Myanmar. Upaya BDF dalam menyebarkan pemahaman demokrasi
diseburt sebagai intersubjective meaning.262
Nina Tannendwald menjelaskan
diantara tujuan dari intersubjective meaning adalah policy prescreptions yaitu
sebagai seperangkat ide yang ditelurkan melalui perdebatan guna memecahkan
permasalahan di suatu negara melalui kebijakan.263
260
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist, 400 261
Kemlu dan IPD, Promoting Synergy between Democracy, 62 262
Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to Internatioanl Relations: Theories
and Approaches, (Oxford: Oxford University, 2006), 164 263
Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to Internatioanl, 165
91
Keberhasilan BDF dalam menyebarkan norma demokrasi ditentukan oleh
discursive power yang dimiliki Indonesia.264
Daya tarik BDF tidak lepas dari hasil
penelitian Freedom House tahun 2011 yang memasukkan Indonesia dalam
kategori “free” atau negara yang telah sepenuhnya menganut dan menerapkan
demokrasi.265
Selain itu, diterimanya norma baru juga bergantung terhadap
kompleksitas, anomali, dan kegagalan yang sedang dialami oleh suatu negara.266
Pada konteks ini, BDF memiliki momentum yang tepat dalam menyebarkan
demokrasi karena terjadi di tengah instabilitas politik Myanmar. Hal itu terjadi
ketika krisis dalam negeri menuntut dasar kebijakan baru guna menyelesaikan
permasalahan.267
Peran BDF sebagai epistemic community menjadi faktor tambah yang
memicu demokrasi Myanmar. Komunitas espitemik adalah istilah yang merujuk
kepada sekelompok entitas atau aktor yang bertujuan untuk menyebarkan norma
baru dengan segala bantuan teknisnya.268
Kemampuan BDF untuk menghadirkan
puluhan negara dengan latar demokrasi yang berbeda adalah pendekatan yang
unik bagi Myanmar untuk belajar demokrasi.
Bali Democracy Forum berfungsi membentuk trust kepada setiap negara
terkait komitmen Indonesia dalam pembangunan demokrasi. Kualitas kepercayaan
264
Discursive power merujuk kepada power of knowledge, power of ideas, power of
culture, ideologies, dan language. Segbers, Dyllick-Brenzinger, Hoffman, et. al, Global Politics:
How to Use and Apply Theories of International Relations, (Berlin: Osteuropa-Institut der Freien
Universität Berlin, 2006), 71 265
Freedom in The World 2011, The Authoritarian Challange to Democracy, [buku
online] tersedia di http://reliefweb.int /sites/reliefweb.int /files/resources /EFA28 E3670B8
30004925781E000EA6EA - Full_Report.pdf , diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 05:52 WIB 266
Power dibentuk dari kapabilitas politik, militer, dan ekonomi di suatu negara. Penting
untuk ditekankan bahwa seluruh kapabilitas tersebut tidak lepas dari sejarah serta lingkungan
Indonesia. Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 405 267
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 406 268
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 402
92
semakin besar dengan metode BDF realistis dan pendekatan learning by doing.
Trust juga menjadi komponen yang merubah konsepsi tentang intervensi
dipahami sebagai bantuan, sehingga Myanmar dengan terbuka menerima segala
bantuan yang diberikan oleh Indonesia 269
Kepercayaan dibutuhkan sebagai modal
utama BDF untuk menyebarkan norma demokrasi. Pada akhirnya Myanmar
menjadikan Indonesia sebagai role model untuk belajar demokrasi.
Kerberhasilan BDF dalam membangun kepercayaan Myanmar tidak lepas
dari kedekatan geografis dan karakter demografi.270
Indonesia dan Myanmar
memiliki banyak kesamaan, seperti sama-sama negara multi-etnis, negara yang
dikuasai junta militer, dan menghadapi tantangan etnis minoritas, sehingga
terdapat indikasi bahwa cara yang diterapkan Indonesia dalam menghadapi
transisi demokrasi berguna juga bagi Myanmar.
Gambar IV. B.1 Skema Pengaruh BDF terhadap Demokrasi Myanmar
Berdasarkan Perspektif Konstruktivisme
Sumber: Ilustrasi Peneliti
269
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan pada tanggal 21 Juni 2017. 270
IPD Report, 43 ASEAN Delegates Observe Bali Poll and Join Indonesia Dialogue,
[berita online] tersedia di http://www.ipd.or.id/43-asean-delegates-observe-bali-poll-and-join-
indonesia-dialogue.htm, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:04 WIB.
93
Bagaimana BDF memberikan pengaruh terhadap demokrasi Myanmar bisa
dilihat melalui skema di atas. intersubjective meaning adalah bagian dari share
ideas yang menuntut political/ideas change. Terjadinya political change karena
gagalnya identitas Myanmar, sebagai negara otoriter atau sosialisme, untuk
mengembalikan stabilitas dalam negeri sesuai dengan cita-cita normanya.
Masyarakat sipil menjadi entitas penting yang menyuarakan demokrasi sebagai
alternatif terhadap permasalahan dalam negeri Myanmar. BDF menjadi instrumen
untuk menghadirkan atmosfir yang damai di Asia Tenggara sekaligus
memberikan inspirasi dan motivasi bagi Myanmar untuk menganut demokrasi.
Perihal penting lainnya adalah norma baru yang diinstitusionalisasikan harus
sesuai dengan konteks historis dan struktur politik di negara setempat.271
Oleh
sebab itu, BDF berkontribusi sebatas menyebarkan norma demokrasi, sedangkan
sistem demokrasi yang dianut oleh Myanmar akan bergantung terhadap konteks
setempat.
C. Pengaruh BDF terhadap Transisi Demokrasi Myanmar
Bali Democracy Forum sebagai forum pertemuan antar-negara tidak
bertujuan untuk membuat suatu kebijakan atau kesepakatan secara institusional.272
BDF diperuntukkan untuk negara karena keputusan untuk menentukan demokrasi
atau tidak adalah pemerintah, bukan berharap untuk menghasilkan suatu
kebijakan.273
Berkaitan dengan transisi demokrasi Myanmar, Erawan menegaskan
agar dibedakan antara mempengaruhi dengan merubah. BDF memberikan
271
Finnemore dan Sikkink, “Taking Stocks: The Constructivist Research, 407 272
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan pada tanggal 21 Juni 2017, 273
Mustikawati, Indonesia’s Initiative in Organising, 60
94
pengaruh positif terhadap demokrasi Myanmar, namun tidak bisa dikatakan
bahwa perubahan demokrasinya terjadi karena BDF.274
Secara lebih spesifik, BDF memberikan dua pengaruh terhadap transisi
demokrasi Myanmar. Pertama, melalui keikutsertaan Myanmar dalam BDF,
Myanmar dicitrakan oleh negara lain sebagai negara demokrasi. Persepsi terhadap
identitas akan sangat mempengaruhi hubungan antar aktor. Pernyataan tersebut
disampaikan oleh Khanisa Krisman, peneliti ASEAN di LIPI, yang berasumsi
dengan hadirnya Myanmar sebagai partisipan BDF, akan terbentuk persepsi
Myanmar sebagai negara demokasi, paling tidak pendukung norma tersebut.275
Dampaknya adalah kualitas hubungan Myanmar terhadap negara lain serta
rekonsiliasi dengan negara yang pernah menjatuhkan sanksi.
Kedua, pengaruh BDF bisa dilihat melalui munculnya kesadaran elit politik
Myanmar terhadap pentingnya nilai-nilai demokrasi.276
Hal ini dibuktikan dengan
diterimanya IPD dalam membantu proses transisi demokrasi Myanmar. Erawan
menjelaskan bahwa relasi, kerja sama, program kerja, dan misi yang dilakukan
oleh IPD merupakan kelanjutan dari BDF. IPD merupakan lembaga yang
merealisasikan ide-ide dan problematika yang muncul dalam BDF melalui
program kerja yang tepat.277
Dalam membantu transisi demokrasi, IPD tidak
sekalipun memaksa atau menuntut Myanmar agar menerapkan corak demokrasi
tertentu. Erawan menjelaskan bahwa proses dan pembelajaran menjadi tahapan
274
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan pada tanggal 21 Juni 2017, 275
Hasil wawancara dengan Khanisa Krisman pada tanggal 22 Juni 2017 276
Transisi Myanmar/Burma. http: // asia –ajar .org /portfolio _item /transisi -myanmar
burma /? la ng=id, diakses pada Selasa, 11 Juli 2017, pukul 02:38 WIB. 277
IPD, Who are We, [data online], tersedia di http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-we-
are, diakses pada Kamis, 09 Maret 2017 pukul 20.31 WIB
95
penting dalam membangun demokrasi,278
metode inilah yang menjadikan BDF
digemari oleh berbagai kalangan sehingga menarik banyak negara untuk hadir di
dalamnya.279
Bali Democracy Forum mendatangkan negara demokratis dan non-
demokratis. Ketika forum berlangsung, seluruh delegasi mendengarkan praktik
demokrasi yang diterapkan di setiap negara. Di sela forum, negara non-demokratis
biasanya mendekati negara-negara yang dirasa memiliki pelajaran demokrasi
berharga. Begitu pun yang dilakukan Myanmar. Mereka menemui negara
demokratis untuk meminta bantuan, kemudian mereka berdua meminta IPD untuk
membantu proses transisi tersebut.280
Walaupun permintaan atau kesepakatan
tersebut tidak dihasilkan oleh BDF, namun kesepakatan tersebut lahir melalui
platform BDF. Dengan kata lain, BDF menjadi promotor IPD kepada negara lain
dalam merealisasikan gagasan di dalam forum tersebut
Dalam kasus Myanmar, IPD berhasil mengajak berbagai negara yang
mendukung demokrasi Myanmar. Misalnya pada 2011, IPD bersama Norwegia
dan Australia mengadakan workshop bersama Myanmar membahas tentang
langkah-langkah strategis transisi demokrasi.281
Bergabungnya Asutralia dan
Norwegia bersama IPD adalah bentuk kepercayaan yang didapatkan melalui
dialog dan komunikasi BDF. Untuk mengetahui lebih rinci bantuan yang
diberikan IPD kepada Myanmar, akan dijabarkan melalui tabel di bawah ini.
278
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan pada tanggal 21 Juni 2017 279
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017 280
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017 281
IPD Report, Workshop on Indonesian and Asian Democratic Transition and Reform
Experiences, [berita online], tersedia di http://www.ipd.or.id/workshop-on-indonesF(ian-and-
asian-democratic-transition-and-reform-experiences.htm, diakses pada Rabu, 28 Juni 2017. Pukul
03.50 WIB.
96
Tabel IV.C Peran IPD dalam Demokratisasi Myanmar
Tanggal Jenis Bantuan
1 November 2012282
FGD antara Myanmar National Human Right
Commission (MNHRC) bersama IPD di Bali.
FGD tersebut membahas tentang penguatan peran
lembaga negara dalam mempromosikan HAM sebagai
bagian demokratisasi Myanmar
7-9 Novembr 2012283
Bali Media Forum ke-4
IPD bersama 17 negara partisipan mendukung
pengembangan pers di Myanmar.
Dibantu oleh Thomson Foundation, yayasan di Inggris
yang fokus pada pengembangan media dan dunia
jurnalistik
26-28 Juni 2013284
Kunjungan dan FGD oleh MNHRC bersama IPD &
Kemlu di Yangoon.
FGD membahas tentang laporan HAM di Myanmar dan
peran Indonesia dalam mendorong penegakan HAM
28 Februari 2014285
Scoping Mission IPD ke Myanmar
Kedatangan IPD ke Myanmar menghasilkan tiga
kesepakatan bersama Myanmar Institute for Social and
International Studies (MSIS) terkait proses transisi
demokrasi, yakni:
1. Kunjungan Myanmar untuk melihat proses pemilu
Indonesia
2. Dukungan dan bantuan terhadap pemilu Myanmar 2015
3. Mendukung interfaith dialogue antara Islam-Buddha.
9 April 2014286
IPD mengundang Myanmar untuk hadir menyaksikan
pemilu DPR dan DPRD yang dilaksanakan di Bali.
Tujuan dari kunjungan ini adalah agar Myanmar belajar
tentang proses pemilu yang terjadi di Indonesia, mulai
282
IPD Report, Visits, [berita online], tersedia di, http://www.ipd.or.id/visits.htm, diakses
pada Rabu, 28 Juni 2017. Pukul 04.50 WIB. 283
IPD Report, Ethical Journalism and Citizen Media: Giving People a Voice in Support
of Democracy, [berita online] http://www.ipd.or.id/4th-bali-media-forum-ethical-journalism-and-
citizen-media.htm, diakses pada Rabu, 28 Juni 2017. Pukul 04.55 WIB 284
http://www.mnhrc.org.mm/en/2013/07/dialogue-between-mnhrc-and-indonesian-
delegation-2/ 285
IPD Report, Scoping Missions to Myanmar, [berita online], http://
www.ipd.or.id/scoping-missions-to-myanmar.htm, diakses pada Rabu, 28 Juni 2017. Pukul 04.55
WIB 286
IPD Report, Electoral Visits Program on The Indonesian Parliamentary Election,
[berita online], http://www.ipd.or.id/ election –visit –program –on –the –indonesian -
parliamentary-election.htm, diakses pada Rabu, 28 Juni 2017. Pukul 05.00 WIB
97
dari peehitungan surat suara, perdebatannya, hingga
bagaimana setiap pemilih mampu menjaga
kerahasiaannya.
10-11 April287
IPD mengadakan dieskusi dengan forum CLMV, yaitu
Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Myanmar diwakili oleh MSIS, bersama 33 perwakilan
lainnya. Setelah melihat bagaimana proses pemilu di Bali,
IPD bersama forum CLMV berdialog tentang efektivitas
lembaga negara, institusi untuk pembangunan, dan
penguatan pembangunan secara hukum.
22-23 April 2014288
IPD bersama Asean Institute for Peace and Reconciliation
(AIPR) mengadakan simposium tentang perdamaian dan
rekonsiliasi. Myanmar menjadi negara peserta pada
simposium tersebut.
8-10 Juli 2014289
30 delegasi yang dibawa oleh Myanmar Development
Resource Institute (MDRI) dan Myanmar Center for
Strategic and International Studies (CSIS) mengadakan
kunjungan ke Indonesia untuk menyaksikan proses
pemilu presiden.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Ada tiga catatan penting mengenai peran IPD dalam demokratisasi di
Myanmar. Pertama, segala bantuan yang diberikan IPD terhadap Myanmar
dilandasai atas kebutuhan Myanmar. Erawan menjelaskan pola yang diterapkan
IPD dalam menentukan bantuan diawali dengan need assessment. Kemudian, IPD
menentukan scope mission-nya, barulah IPD memberikan treatment-nya
berdasarkan hasil diskusi Myanmar dengan IPD.290
287
IPD Report, Indonesia-CLMV Dialogue on State Institusional Reform, [berita online],
tersedia di http://www.ipd.or.id/indonesia-clmv-dialogue-on-state-institutional-reform.htm,
diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:23 WIB. 288
IPD Report, Peace and Recontciliation Symposium Hailed as Outstanding Succes,
[berita online], tersedia di http://www.ipd.or.id/peace-and-reconciliation-symposium-hailed-as-
outstanding-success.htm, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:24 WIB 289
IPD Report, Workshop and Election Visit Program for The Indonesian Presidential
Election, [berita online], http://www.ipd.or.id/workshop-and-election-visit-program-for-the-
indonesian-presidential-election.htm, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:25 WIB 290
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017
98
Catatan kedua adalah IPD tidak hanya menyentuh elit pemerintahan, IPD
juga mengajak masyarakat sipil dalam setiap treatment-nya.291
IPD tidak hanya
membantu pemerintah untuk menjalankan transisi, IPD juga menyebarkan
demokrasi di kalangan grass root.292
Penyebaran demokrasi ke kalangan grass
root diakui oleh U Min Lwin, Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, sebagai cara
yang efektif dalam memajukan demokrasi. Menurutnya, komitmen masyarkat
terhadap demokrasi akan membantu pemerintah dalam menjalani transisi
demokrasi.293
Peran IPD mendukung demokrasi Myanmar melalui pelatihan
kepada seluruh elemen sipil adalah efektif untuk menumbuhkan kesadaran
demokrasi secara bottom-up.
Ketiga, IPD menjadi fasilitator bagi negara yang ingin mendukung transisi
demokrasi Myanmar. IPD banyak menjalin kerjasama dengan berbagai institusi
untuk mendukung demokratisasi di berbagai negara. Secara khusus, terdapat
beberapa institusi yang memiliki komitmen tersendiri untuk memajukan
demokrasi Myanmar, diantaranya adalah Asutralia dan Norwegia. Sejak BDF
2012, Australia memberikan bantuan sebesar USD 1,7500,000 untuk biaya
akomodasi IPD hingga 2015 dan AUD 140,000 untuk mengadakan workshop di
Myanmar. Norwegia memberikan bantuan sebesar NOK 1,800.000 untuk
membangun stabilitas perdamaian dan demokrasi Myanmar.294
Pembahasan ini
menunjukkan bahwa IPD menjadi titik temu antara negara donor dengan
Myanmar.
291
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017 292
Sidauruk, “Peran Institute Peace, 10-11 293
Kemlu dan IPD, Evolving Regional Democratic, 158 294
IPD Report, Friends of IPD, [berita online], http://www.ipd.or.id/friends-of-ipd.htm,
diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:29 WIB
99
Sejak diselenggarakannya BDF pada tahun 2008, Freedom House mencatat
tren positif transisi demokrasi Myanmar. Berdasarkan hasil penelitiannya,
Myanmar mengalami kenaikan indeks demokrasi sebesar 11 poin dari periode
2007-2011.295
Kemudian, indeks demokrasi mengalami kenaikan signifikan pada
periode 2012-2014 yaitu periode dimana IPD mulai memberikan bantuan secara
aktif terhadap transisi demokrasi Myanmar. Indeks demokrasi pada 2012
mengalami kenaikan sebesar 21 poin hingga 24 poin pada 2014.296
Walaupun
tidak bisa dikatakan bahwa BDF merupakan satu-satunya faktor yang
mendongkrak indeks demokrasi, namun partisipasi BDF melalui IPD menjadi
faktor yang turut membantu peningkatan poin tersebut.
Indikator yang digunakan Freedom House dalam mengukur demokrasi suatu
negara adalah kebebasan sipil (civil liberties) dan hak-hak politik (political
rights). Dua komponen tersebut hanya menekankan kepada pelaksanaan
demokrasi berdasarkan pemilu. Berdasarkan indikator kebebasan sipil dan hak
politik Myanmar pada tahun 2010 Myanmar mendapatkan nilai 7.297
Hal tersebut
menjadi catatan Myanmar pada 2010, walaupun telah melaksanakan pemilu,
namun mekanisme yang tidak adil menyebabkan stagnansi demokrasi Myanmar.
Penilaian yang dilakukan Freedom House terhadap demokrasi Myanmar
mengalami peningkatan pada periode 2012-2014. Pada tahun 2012, kebebasan
295
Freedom In The World 2012, The Arab Uprising and Their Global Repercussions,
[buku on-line] tersedia di https://freedomhouse.org/sites/default/files/inline_images/ FIW%
202012%20Booklet--Final.pdf; Internet; diunduh pada Rabu, 07 Desember 2016, pukul 03:57
WIB. 296
Freedom In The World 2013, Democratic Breaktroughs in The Balance, [buku on-line]
tersedia di https://www.freedomhouse.org /sites/ default/ files/FIW %202013 %20Booklet.pdf;
Internet; diunduh pada Rabu, 07 Desember 2016, pukul 03:57 WIB 297
FH memiliki penilaian dari 1-7. 1 adalah penilaian yang terbaik dan 7 adalah yang
terburuk. Freedom in The World 2011, The Authoritarian Challange, 12
100
sipil mendapatkan nilai 6. Pada tahun 2013, kebebasan sipil mendapatkan nilai 5
dan hak politik menjadi 6. Nilai tersebut mengalami stagnansi pada tahun 2014.298
Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa hasil pemilu 2012 yang diterima
oleh militer, paling tidak peristiwa veto 1990 tidak kembali terulang, menjadi
faktor yang menaikkan nilai tersebut. Proses kampanye yang dilakukan oleh
setiap partai politik, walaupun harus melaporkan konten kampanye ke pemerintah,
dinilai sebagai perkembangan kebebasan sipil.
Laporan yang dilansir oleh Freedom House adalah bagaimana melihat
perkembangan demokrasi berdasarkan prosedural, sehingga bisa diukur
berdasarkan indikator tertentu. Tantangan berikutnya adalah merefleksikan
perkembangan demokrasi Myanmar berdasarkan kearifan lokalnya. Hampir 90%
masyarakat Myanmar menganut agama Buddha.299
Agama, pendidikan, dan
sejarah turut menjadi faktor yang membentuk kearifan lokal, sehingga peran
agama Buddha, di tengah situasi sosial masyarakat Asia Tenggara yang cenderung
lemah secara pendidikan karena aspek penjajahan, berdampak terhadap tidak
tumbuhnya nilai-nilai pluralisme.
Berdasarkan data Asian Barometer Survey (ABS) yang dirilis tahun 2015,
95% masyarakat Myanmar meyakini bahwa semakin banyak kepercayaan akan
berdampak terhadap kekacauan.300
Angka tersebut menunjukkan tingginya angka
298
Freedom In The World 2013, The Democratic Leadership Gap, [buku online], tersedia
di https://freedomhouse.org/sites/default/files/FIW2014%20Booklet.pdf, diakses pada Sabtu, 15
Juli 2017, pukul 13:01 WIB. 299
Kyaw Ye Lynn, Census data shows Myanmar Muslim population has fallen, [berita
online], http://aa.com.tr/en/asia-pacific/census-data-shows-myanmar-Muslim-population-has-
fallen/612764, diakses pada Sabtu, 15 Juli 2017 pukul 13:21 300
Bridget Welsh dan Kai-Ping Huang, Myanmar’s Political Aspirations & Perceptions
2015 Asian Barometer Survey Report, (Serangon: SIRD Centre, 2016) 24
101
anti-pluralisme di Myanmar, sehingga wajar apabila etnis Buddha merasa bahwa
kehadiran Islam dan agama lainnya menjadi hambatan bagi mereka.
Buddha sebagai agma mayoritas berakulturasi dengan konteks sosial-budaya
Myanmar. Secara lebih jelas, aliran Theravadanya dalam Buddha membentuk
kearifan lokal di Myanmar. Theravada mengajarkan tentang tata kesopanan,
tingkah laku, dan filsafat hidup untuk mencapai ketenangan.301
Dalam Buddha,
pemimpin dianggap memiliki tugas suci yaitu sebagai penjaga agama.302
Disinilah
relasi Buddha dan demokrasi mengalami dilema, bahwa pemimpin haruslah
seorang yang mampu bersifat adil namun tetap menjaga aspirasi etnis Buddha.
Begitu pun posisi dilematis Aung San Suu Kyi, ketika dia berpihak kepada etnis
non-Buddha maka ia kehilangan pendukung mayoritasnya. Namun, ketika ia tidak
berpihak, kecaman akan datang dan mempertanyakan posisinya sebagai aktivis
pro-demokrasi.
Aliran Buddha menjadi norma lokal yang dimiliki oleh masyarakat
Myanmar. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, sebagai negara multietnis yang
memiliki satu agama mayoritas, tantangan untuk menjadi negara agama akan
selalu ada. Pendidikan sosial, budaya, dan keagamaan menjadi faktor yang harus
ditekankan untuk mengurangi paham anti-pluralisme. Oleh sebab itu, interfaith
dialogue menjadi instrumen yang diterapkan oleh IPD untuk menumbuhkan
pemahaman keagamaan yang moderat, sehingga kearifan lokal setempat mampu
merekonstruksi pemahaman demokrasi.
301
Achmad Muzaki, Konsep Trikaya dalam Agama Buddha Mahayana (Studi Tentang
Ketuhanan), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), 3 302
Matthew J. Walton, Politics in Moral Universe; Burmese Buddhist Political Thought,
(Washington: University of Washington, 2012), 96
102
Berkaitan dengan transisi demokrasinya, Erawan menemukan kesamaan
pola transisi demokrasi antara Myanmar dengan Indonesia. Hal tersebut bisa
dilihat dari pola pelepasan tahanan politik (tapol) Myanmar. Di awal era
reformasi, Presiden Habibi mengklasifikasikan tapol, kemudian memberikan grasi
terhadap mereka yang tidak terlibat dengan Partai Komunisme. Begitu pun
dengan Myanmar, bahwa mereka memberikan grasi terhadap tapol yang
sebelumnya ditahan karena menyuarakan kritik dan demokrasi. Begitupun dengan
kesamaan pola desentralisasinya dan demiliterisasinya.303
Myanmar menyambut setiap bantuan yang diberikan oleh BDF. Perwakilan
Myanmar yang mengikuti pelatihan dari IPD banyak yang telah terlibat dalam
pemerintahan Myanmar. Ketertarikan Myanmar juga dilihat melalui over quota
bagi setiap perwakilan pelatihan yang disediakan oleh IPD.304
Bahkan, tidak
hanya pola penawaran bantuan dari IPD, seringkali Myanmar meminta bantuan
kepada IPD untuk membantu proses transisinya. Inilah yang diungkapkan oleh
Erawan bahwa BDF memberikan pengaruh terhadap transisi demokrasi Myanmar.
303
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan pada tanggal 21 Juni 2017 304
Hasil Wawancara dengan Agus Heryana pada tanggal 19 Juni 2017
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dukungan terhadap norma demokrasi telah menjadi bagian dari kebijakan
luar negeri Indonesia. Bali Democracy Forum adalah kebijakan demokratisasi
Indonesia yang unik. Ungkapan tersebut berdasarkan pernyataan SBY bahwa
demokrasi tidak bisa dipaksakan apalagi diwariskan, sehingga demokrasi hanya
bisa hadir melalui kesadaran akan pentingnya norma tersebut.
Demokrasi bukanlah konsep sakral dimana hanya satu negara saja yang
boleh memaknainya. Demokrasi lahir dari dinamika internal suatu negara yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Begitu pun Indonesia, kompleksitas demokrasi
yang pernah dijalaninya menjadi pelajaran berharga bahwa demokrasi adalah
suatu proses, bukan tujuan. Oleh sebab itu, BDF memberikan kesempatan kepada
setiap peserta untuk memberikan pandangannya mengenai demokrasi, tanpa ada
upaya untuk menentukan demokrasi mana yang terbaik, karena demokrasi
dipercaya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan setiap negara yang berbeda.
Sifat BDF yang inklusif menjadi cara yang efektif agar seluruh negara bisa
duduk berdampingan dan saling memberikan inspirasi tentang manfaat demokrasi.
Myanmar menjadi negara yang merasakan betapa pentingnya peran BDF sebagai
wadah yang mengkonstruksi ulang makna demokrasi (inspirator). Merubah ulang
makna demokrasi menjadi langkah awal yang strategis dalam menumbuhkan
kesadaran bagi Myanmar bahwa norma tersebut penting untuk diteggakan.
Hal tersebut terlihat dengan diterimanya IPD bersama Ausralia dan
Norwegia dalam membantu transisi demokrasi Myanmar (fasilitator). Diskusi dan
104
pelatihan menjadi instrumen yang diterapkan oleh IPD guna meneguhkan
komitmen demokrasi Myanmar (motivator). Hal yang menarik adalah segala
bantuan yang diberikan lebih bersifat saran dan tidak mengikat, sehingga urusan
implementasi kebijakan demokrasi dikembalikan kepada pemerintahan Myanmar.
Pendekatan tersebut merupakan upaya BDF nilai-nilai demokrasi mampu
berintegrasi dengan konteks sosial atau kearifan lokal.
Ketika implementasi BDF dikembalikan kepada konteks sosial (home-
grown democracy), disinilah terlihat bahwa BDF memiliki kelebihan sekaligus
kekurangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa peran BDF sebagai inspirator,
motivator, dan fasilitator telah menumbuhkan kesadaran elit Myanmar, sehingga
militer mulai memberikan porsi terhadap sipil dalam pemerintahan. Begitu pun
laporan berbagai lembaga internasional yang menyatakan adanya kenaikan indeks
demokrasi yang cukup signifikan di saat momentum IPD hadir di Myanmar.
Akan tetapi, di sisi lain, kekurangan yang menjadi bagian dari BDF adalah
rekonstruksi makna demokrasi yang menyebabkan kearifan lokal sebagai
instrumen legitimasi atas kebijakan Myanmar. Ketika kebijakan Myanmar
dihasilkan melalui keputusan mayoritas (menguntungkan etnis Buddha), di situlah
aspek deliberatifnya harus mendapatkan perhatian. Inilah yang menjadi catatan
demokrasi Myanmar bahwa kebijakan yang dihasilkan belum lahir atas
komunikasi konsensus setiap etnis, sehingga masih ada etnis yang merasa
didiskriminasi.
Menanggapi hal tersebut, perlu ditekankan bahwa nilai-nilai demokrasi
perlahan muncul di Myanmar. Apabila dibandingkan dengan demokrasi di
105
Amerika Serikat, kasus demokrasi Myanmar tidak apple to apple, mengingat
Amarika telah menjalani demokrasi sejak sejak 240 tahun silam, sedangkan
Myanmar baru berusia 70 tahun. Apabila dibandingkan dengan negara di Asia
Tenggara, secara sistem pemerintahan Myanmar tidak terlalu bobrok, karena
dinamika perubahan rezim di Asia Tenggara juga cenderung tidak stabil.
Tidak bisa dihindarkan dari kritik bahwa transisi demokrasi Myanmar masih
jauh dari sempurna. Etnis Muslim masih belum mendapatkan hak
kewarganegaraan dan militer masih memiliki peran yang kuat dalam
pemerintahan Walaupun pemilu sempat diselenggarakan, namun kuota 25% bagi
militer di parlemen menjadi hambatan bagi sipil untuk menjadi Presiden
Myanmar.
Akan tetapi, kritik yang diarahkan kepada Myanmar tidak bisa mengabaikan
perkembangan positif yang terjadi di negara tersebut. Terlihat bahwa di Myanmar
terjadi peningkatan partisipasi sipil, mulai terlihatnya keterbukaan pers, dan
Myanmar mulai menjalin kerja sama dengan negara lain. Nilai-nilai demokrasi
mulai diterapkan walau masih terdapat diskriminasi HAM. Penting untuk
diketahui bahwa jumlah konflik terhadap beberapa etnis minoritas telah diakhiri
dengan dialog konstruktif antara pemerintah dengan etnis tersebut.
Terlepas dari indikator demokrasinya, kesimpulan mengenai BDF
berdasarkan perspektif konstruktivisme adalah upayanya untuk mengintegrasikan
demokrasi dengan memberikan ruang bagi aktualisasi kearifan lokal akan menjadi
harmonis ketika nilai-nilai demokrasi diterima oleh masyarakat setempat. Tetapi,
106
konflik tidak akan terjadi apabila norma demokrasi ditolak oleh warga setempat,
karena BDF tidak menuntut perkembangan atau penerapan prinsip tertentu.
B. Saran
Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana BDF berperan sebagai media
yang mempromosikan norma demokrasi. Skripsi ini menjadikan proses share
ideas sebagai kajian utamanya. Sedangkan lokusnya adalah bahasan tentang hasil
dialog yang diimplementasikan oleh Myanmar melalui sebuah kebijakan. Oleh
sebab itu, saran penelitian ini adalah agar penelitian berikutnya fokus terhadap
sejauhmana Myanmar memiliki kebijakan atau sistem demokrasi yang serupa,
sehingga diketahui seberapa jauh pengaruh BDF dalam demokratisasi Myanmar.
Metodologi pada penelitian ini terfokus pada hasil wawancara dengan
elemen-elemen yang terlibat dalam BDF, seperti penyelenggara dan pengamatnya,
tanpa melibatkan pemerintah Myanmar serta masyarakatnya. Penelitian
berikutnya disarankan agar melibatkan pemerintahan Myanmar sekaligus
masyarakatnya, baik yang berada di Indonesia (kedutaan) maupun yang di negara
Myanmar langsung, dengan teknik survey dan wawancara.
CVII
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Achraya, Amitav. “Democratising Southeast Asia: Economic Crisis and Political
Change”, Working Paper Murdoch University No.87 (1998): 1
Bohman, James. “Survey Article: The Coming of Age of Deliberative
Democracy”, The Journal of Political Philosophy 6 (1988); 400
Buehler, Michael. “Islam and Democracy in Indonesia,” Insight Turkey 11 No.4
(2009): 51
Collier, David dan Levitsky, Steven “Democracy with Adjectives: Conceptual
Innovation in Comparative Reseacrh,” Jstor Journal of World Politics 49
(April 1997): 431
Cooke, Maeve .“Five Arguments for Deliberative Democracy”, Political Studies
48 (2000); 948.
Der Mehden, Fred R, Von. “The Burmese Way to Socialism”, JSTOR 3 No. 3
(Maret, 1963): 130-131
Dewi, Ita, M. “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”,
Jurnal ISTORIA 1 (Januari 2005): 4
Effendi, Tonny, D. Agenda Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Pemilihan
Presiden 2009 [Jurnal On-line] (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2016); tersedia di
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/view/138/164
El Bilad, Cecep, Zakarias. “Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas
Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma”, Jurnal Studi Hubungan
Internasional, 1 (Februari 2011): 70-71
Falahi, Ziyad. “Memikirkan Kembali Arti Million Friends Zero Enemy dalam Era
Paradox of Plenty,” Jurnal Global & Strategis 7 No.2 (Juli 2013): 228
Fearon, James, D. “Domestic Politics, Foreign Policy, And Theories of
International Relations,” Jurnal Annual Review of Political Sciences I (Juni
1998): 296
Finnemore, Martha dan Sikkink, Kathryn “Taking Stocks: The Constructivist
Research Program in International Relations and Comparative Politics”,
Journal Political Sciences 4 (2001): 392-393
__________________________. “International Norm Dynamics and Political
Change,” Jurnal International Organization 52, (Autumn, 1998): 893
Firnas, Adian “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina
2 No. 2 (Januari 2003): 129
CVIII
Goebel, Zane. “The Idea of Ethnicity in Indonesia,” Tilburg Papers in Culture
Studies 71 (September 2013): 2
Guzzini, Stefano. “A Reconstruction of Constructivism in International
Relations”, European Journal of International Relations, 6 (2000): 160
Habir, Ahmad, Batara, Aditya, Tri, Muhammad. “Normative Priorities and
Contradictions in Indonesia‟s Foreign Policy: From Wawasan Nusantara to
Democracy” Jurnal National Security College (Mei 2014): 55
Halans, Michael dan Nassy, Danitsja. “Indonesia‟s Rise and Democracy
Promotion in Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond,” Expert
Seminar Report of The Hague (Oktober 2013): 7
Hiariej, Eric. “(Tidak) Demokratis ala Asia,” Jurnal JSP Vol.1 (1997): 58
Irewati, A. “Demokrasi Mati Suri”, Jurnal Penelitian Politik LIPI, 4 No.1 (2007):
14-15
Mirajiah, Rislatu. “Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mempengaruhi
Terjadinya Demokratisasi di Myanmar”, Jurnal Hubungan Internasional
Universitas Parahyangan (2013): 183
Mungmachon, Miss, Roikhwanphut. “Knowledge and Local Wisdom:
Community Treasure”, International Journal of Humanities and Social
Science 2 (Juli 2012); 176
Muzaqqi, Fahrul. “Diskursus Demokrasi Deliberatif di Indonesia”, Jurnal Review
Politik 3 (Juni 2013); 124-125
Oshiba, Ryo. Multilateral Diplomacy and Multilateralism: The United Nations,
The G8, The G20, and The Bretton Woods Institutions [Jurnal Online]
(Japan, 2013), tersedia di https://www2 .jiia .or .jp /en /pdf /digital_library
/japan _s_diplomacy/160415_Ryo_Oshiba.pdf.
Portela, Clara. “The EU‟s Use of „Targeted‟ Sanctions Evaluating Effectiveness”,
CEPS Working Document No, 391 (2014): 9-11
Sakhong, Lian, H. “The Dynamics of Sixty Years of Ethnic Armed Conflict in
Burma”, Burma Centre for Ethnic Studies Peace and Reconciliation
Analysis Paper 1 (January 2012): 5
Satriyo, Ayub, T. “Optimalisasi Peran International Criminal Court dan Aplikasi
Aksi Kemanusiaan sebagai Inisiasi Penyelesaian Etnis Rohingnya”, Jurnal
Dinamika Hukum 14 No.3 (September 2014): 529
Shee, Poon, Kim. “The Political Economy of China-Myanmar Relations:
Strategic and Economic Dimensions”, Annual Review of International
Studies Vol. 1 (2002): 33-34
CIX
Sidauruk, Wilson, Rojeki. “Peran Institute Institute for Peace and Democracy
(IDP) dalam Demokratisasi di Myanmar”, Jurnal JOM Fisip 2, No.1
(Februari 2015)
Szu-Tu, Yu. dan C. Y. Ku, Samuel. “Myanmar‟s Military Dictatorship
Continuance: Old Wine in New Bottle”, International Relations and
Diplomacy 5 (February, 2017): 85
Wasike, Stella. “Sussy N. Kimokoti, Violet Wakesa, Connectivity between
Diplomacy, Foreign Policy and Global Politics”, Jurnal of Humanities and
Cultural Studies 2 No.2 (September 2015): 521
Windiani, Reni. “Politik Luar Negeri Indonesia dan Globalisasi”, Jurnal Politika
1 (Juni 2010): 9
Wirajuda, Hassan “The Bali Democracy Forum: Setting A New Strategic Agenda
For Asia” Southeast Asia Bulletin (Juni 2009): 2
Zin, Min dan Joseph, Brian. “The Opening in Burma”, Journal of Democracy 23
(Oktober 2012); 104
Buku
Achraya, Amitav. Indonesia Matters: Asia‟s Emerging Demoratic Power,
Singapore: World Scientific Publishing, 2015
Aspinall, Edward dan Fealy, Greg. Soeharto‟s New Order and its Legacy,
Canberra: ANU E Press, 2010
Aung, Aung Promoting Democracy in Myanmar Political Party Capacity
Building, Singapura: Institute for Security and Development Policy, 2013
Bhakti, Ikrar, Nusa. The Asia Pacific: A Region in Transition, Honolulu:APCSS
Studies, 2004
Budiardjo, Miriam Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008
Creswell, John, W. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches, USA: Sage Publications, 2003
Cunningham, Frank. Theories of Democracy: A Critical Introduction. London: T
J Internasional Ltd, 2002
Diamond, Larry. Developing Democracy Toward Consolidation, Yogyakarta: IRE
Press, 2003
Dyllick-Brenzinger, Hoffman, et. al, Global Politics: How to Use and Apply
Theories of International Relations, Berlin: Osteuropa-Institut der Freien
Universität Berlin, 2006
CX
Flockhart, Trine. Socializing Democratic Norms, New York: Palgrave Macmillan,
2006
Frieden, Jeffry, A. dan Lake, David, A. International Political Economy:
Perspectives on Global Power and Wealth. North America: Routledge, 2000
Guzzini, Stefano dan Bynander, Fredrik. Rethinking Foreign Policy. USA:
Routledge, 2013
Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Greentea, 2010
Jackson, Robert dan Sorensen, George. Introduction to Internatioanl Relations:
Theories and Approaches. Oxford: Oxford University, 2006
________________________________.Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009
Khan, Makhdoom, Ali. The Burmese way: To Where?, Genewa: The ICJ Report,
1991
Klotz, Audie. Qualitative Methods in International Relations, New York:
Palgrave MacMillan, 2008
Kowert, Paul dan Legro, Jeffrey. Norms, Identity, and Their Limits: A Theoritical
Reprise. New York: Colombia, 1996
Kyi, Khin, Maung, et al. A Vision and A Strategy: Economic Development of
Burma, Singapore: Singapore University Press, 2000
Machmoed, Rohana dan Esderts, Hans-Joachim. Myanmar and the Wider
Southeast Asia, Kuala Lumpur: ISIS, 1991
Manojlovic, Marija, dan Thorhei, Celia, H. Crossroads of Diplomacy: New
Challanges, New Solutions, The Hague: Desiree Davidse, 2007
Myoe, Maung, Aung. Building The Tatmadaw, Pasir Panjang: Institute of
Southeast Asian Studies, 2009
Nakanishi, Yoshihiro. Post-1988 Civil-Military Relations in Myanmar, Chiba:
Institute of Developing Economies, 2013
Nasution, Nazaruddin. Dinamika Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: UIN
Press, 2015
Nemoto, Kei. Reconsidering The Japanese Military Occupation in Burma (1942-
1945), Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies, 2007
Prevehouse, Jon, C .Democracy from Above Regional Organization and
Democratization, Cambridge : Cambridge University Press, 2005
Rana, Kishan, S. 21st Century diplomacy, London: The Continuum Publishing,
2011
CXI
Shaw, Caroline and Davis, SE. The Democracy and The State Authority. London
and New York:Vintage Book Publishing, 2009
Stein, Pamela, T. The Role of the Military in Myanmar‟s Political Economy,
California: Naval Postgradute School, 2016
Steinberg, David, I. dan Fan, Hongwei. Modern China-Myanmar Relations,
Copenhagen: NIAS Press, 2012
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009
Taylor, Robert, H. General Ne Win: A Political Biography, Singapore: Markono
Print Media, 2015
The Inter-Parliamentary Union. Democracy: Its Principles and Achievement.
Geneva: ATAR, 1998
Welsh, Bridget dan Huang, Kai-Ping. Myanmar‟s Political Aspirations &
Perceptions 2015 Asian Barometer Survey Report, Serangon: SIRD Centre,
2016.
Wendt, Alexander Social Theory of International Politics, (Australia: Cambridge
University Press, 1999) 224
Zainuddin, Djafar dan Fadila, Robby, A. Menuju Peran Strategis Indonesia di
Lingkungan Regional dan Global, Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 2013
Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Albayumi, Fuat. Peran Bali Democracy Forum (BDF) dalam Demokrasi
Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2014
Anggraini, Myrna. Perjuangan Anti-Facist People‟ Freedom League dalam
Mencapai Kemerdekaan Burma 1944-1948, Depok: UI, 2008
Apriani, Melati. Embargo Ekonomi Amerika Serikat terhadap Myanmar pada
Tahun 2007, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2009
Haryanto, Anindita, K. Relasi Negara dengan Kelompok Minoritas: Konflik
Kachin Tahun 2011 di Myanmar, Yogyakarta: UGM, 2015
Hosang, Lesly, G.C. Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan
Konstruktivisme terhadap ASEAN Political Security Community 2015
sebagai Kerjasama Keamanan di Kawasan Asia Tenggara, Depok:
Universitas Indonesia, 2011
Kusuma, Candra . Demokrasi Deliberatif di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus
„Forum Konstituen‟ di Kabupaten Bandung, Depok; Universitas Indonesia,
2012.
CXII
Lestari, Tisa. Promosi Demokrasi Uni Eropa di Maroko dalam Kerangka
European Neighborhood Policy (2011-2013), Jakarta: UIN Jakarta, 2014
Matthew J. Walton, Politics in Moral Universe; Burmese Buddhist Political
Thought, Washington: University of Washington, 2012
Mustikawati, Asri. Indonesia‟s Initiative in Organising Bali Democracy Forum
for Asia, Jakarta: UIN Jakarta, 2013
Muzaki, Achmad. Konsep Trikaya dalam Agama Buddha Mahayana (Studi
Tentang Ketuhanan), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013
Nurrohman, Heru. Program Bimbingan dan Konseling Berbasis Nilai-Nilai
Budaya Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian diri Peserta Didik
SMAN Kota Palangkaraya, Bandung: UPI, 2013
Pramono, Aris. Peran UNHCR dalam Menangani Pengungsi Myanmar Etnis
Rohingnya di Bangladesh (periode 1978-2002), Depok: UI, 2010
Puspita, Rani, A. Peranan Aung San Suu Kyi dalam Memperjuangkan Demokrasi
di Myanmar tahun 1988-2012, Bandung: UPI, 2013
Sari, Nurmala. Muslim Rohingnya dan Ham Pasca Kemerdekaan Myanmar 1962-
2008: Analisis Pelanggaran Hak Beragama, Jakarta: UIN, 2009
Syarief, Labib. Keputusan Uni Eropa Mencabut Sanksi Ekonomi dan Politik
Terhadap Myanmar Tahun 2013, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016
Wakhidah, Nurul. Prinsip Non-Intervensi ASEAN dalam Upaya Penyelesaian
Konflik Rohingnya di Myanmar, Yogyakarta: Universtas Gajah Mada, 2014
Wulandari, Dini, E. dan Saputra, Fitri. Peran Religious Group (Biksu Buddha)
dalam Proses Demokratisasi di Myanmar tahun 2007, Jakarta: Universitas
Paramadina, 2013
Laporan Resmi
Anggaara, Mustavidy dan Waluyo, Tri, Joko. Motivasi Amerika Serikat
Menjatuhkan Embargo Ekonomi Terhadap Myanmar Tahun 2007, diunduh
dari http: // download. portalgaruda. org/article. php?article =185972&
val=6444&title=Motivasi%20Amerika%20Serikat%20Menjatuhkan%20Em
bargo%20Ekonomi%20Terhadap%20Myanmar%20Tahun%202007,
Assistance Association for Political Prisoners of Burma, The Role of Students in
The 8888 people‟s Uprising in Burma, diunduh dari http://aappb. org/wp
/Publications/ The_Role_of_ Students_ in _the _8888 _Peoples _Uprising
_in_Burma.pdf,
Badan Kerjasama Antar-Parlemen DPR RI. Diploasmi Parlemen Indonesia di
Asia Tenggara, [Laporan online], tersedia di
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/ diplomasi_ Diplomasi_
Parlemen_Indonesia_di_Asia_Tenggara.pdf,
CXIII
Erawan, I Ketut, Putra. Indonesia, diunggah dari https:// freedomhouse .org /sites /
default /files/FH_Demo_Reports_Indonesia_final.pdf,
Freedom House, Freedom in The World 2011, [Laporan online], tersedia di
http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/EFA28E3670B830004
925781E000EA6EA-Full_Report.pdf ,
_____________2012, The Arab Uprising and Their Global Repercussions, [buku
on-line] tersedia di https://freedomhouse .org/sites /default /files/
inline_images/ FIW% 202012 %20Booklet--Final.pdf;
_____________2013, Democratic Breaktroughs in The Balance, [buku on-line]
tersedia di https://www.freedomhouse.org /sites/ default/ files/FIW
%202013 %20Booklet.pdf; Internet; diunduh pada Rabu, 07 Desember
2016, pukul 03:57 WIB
_____________2014, The Democratic Leadership Gap, [buku online], tersedia di
https://freedomhouse.org/sites/default/files/FIW2014%20Booklet.pdf,
Halans, Michael dan Nassy, Danitsja. Indonesia‟s Rise and Democracy Promotion
in Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond, (Expert Seminar Report,
The Hague 28 Oktober 2013) 7
HRW, Burma: 20 Years After 1990 Elections, Democracy Still Denied, dilihat
dari, https://www.hrw.org/news/2010/05/26/burma-20-years-after-1990-
elections-democracy-still-denied,
http://asean.org/asean/about-asean/overview/, diakses pada Sabtu, 11 Maret 2017
pukul 15.26 WIB.
http://kemlu.go.id/Documents/CS%20BDF%20VI/CHAIRMAN%20STATEMEN
T%20BDF%206.pdf.
http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/bdf/state1112.html.
https://www. amnesty.org/ download/ Documents/ 176000/ asa 16 00 81995 en.
pdf.
Inoguchi, Takashi dan Newman, Edward. “Introduction: „Asian Values‟ and
Democracy in Asia,” proceedings of a conference di Hamamatsu, Jepang
(Maret 1997)
International Crisis Group Report, The Dark Side of Transition: Violance Against
Muslims in Myanmar, Brussels: ICG HQ, 2013.
IPD Report, Electoral Visits Program on The Indonesian Parliamentary Election,
[berita online], http://www.ipd.or.id/ election –visit –program –on –the –
indonesian -parliamentary-election.htm,
________, Ethical Journalism and Citizen Media: Giving People a Voice in
Support of Democracy, [berita online] http://www.ipd.or.id/4th-bali-media-
forum-ethical-journalism-and-citizen-media.htm,
CXIV
________, Friends of IPD, [berita online], http://www.ipd.or.id/friends-of-
ipd.htm, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:29 WIB
________, Indonesia-CLMV Dialogue on State Institusional Reform, [berita
online], tersedia di http://www.ipd.or.id/indonesia-clmv-dialogue-on-state-
institutional-reform.htm, diakses pada Senin, 03 Juli 2017 pukul 06:23 WIB.
________, Peace and Recontciliation Symposium Hailed as Outstanding Succes,
[berita online], tersedia di http://www.ipd.or.id/peace-and-reconciliation-
symposium-hailed-as-outstanding-success.htm, diakses pada Senin, 03 Juli
2017 pukul 06:24 WIB
________, Scoping Missions to Myanmar, [berita online], http://
www.ipd.or.id/scoping-missions-to-myanmar.htm,
________, Visits, [berita online], tersedia di, http://www.ipd.or.id/visits.htm,
________, Workshop and Election Visit Program for The Indonesian Presidential
Election, [berita online], http://www.ipd.or.id/workshop-and-election-visit-
program-for-the-indonesian-presidential-election.htm, diakses pada Senin,
03 Juli 2017 pukul 06:25 WIB
Keane, John Democracy: The Rule of Nobody?, [laporan kerja]; tersedia di
http://www.johnkeane.net/wp-content/uploads/2011/01/rule_of_nobody.pdf
; Internet; diunduh pada Rabu, 30 November 2016, pukul 15.25 WIB.
Kementerian Luar Negeri dan Institute Peace and Democracy, Democracy and
The Promotion of Peace and Stability (Jakarta: Kemlu, 2010)
_______________, Evolving Regional Democratic Archiecture: The Challanges
of Political Development, Public Participation, and Socio-Economic
Progress in The 21st Century (Jakarta: Kemlu, 2014)
_______________, Promoting Synergy between Democracy and Development in
Asia: Prospects for Regional Cooperation “, Jakarta: Kemlu, 2009
________________, Speeches and Proceedings Bali Democracy Forum „Building
and Consolidating Democracy: A Strategic Agenda for Asia‟“, Jakarta:
Kemlu, 2008
Kementerian Luar Negeri. Rencana Strategis Kemlu 2015-2019, tersedia di
Downloads\Documents\RENSTRA KEMENLU 2015 2019 FINAL DONE
220415.pdf, internet; diakses pada Selasa, 04 April 2017, pukul 03.22 WIB.
Purna, Ibnu , dan Yuhardi, dan Johar Arifin. Inisiatif Dan Inspirasi Demokrasi
dalam Bali Democracy Forum, dikutip dari http://www.setneg.go.id/
index.php ?option =com_content&task=view&id=3138,.
The ASEAN Secretariat, ASEAN Political-Security Community Blueprint 2025,
Jakarta: ASEAN Secretariat, 2016
CXV
The Border Consortium, Programme Report July to December 2009, Thailand:
TBC, 2010.
___________________, Programme Report July to December 2012, Thailand:
TBC, 2013.
The Internastional Human Right Clinic, Crimes in Burma, Cambridge: University
of Harvard, 2009
UNDP Myanmar, Mappling The State of Local Governance in Myanmar:
Background and Methodology, dikutip dari http://www.themimu.
info/sites/themimu.info/files/ documents/ Background_
Methodology_Local_Governance_Mapping_UNDP.pdf
UNESCO, Education for Sustainable Development Toolkit, France: UNESCO
Workshop, 2006
Yudhoyono, Susilo, Bambang.“Enhancing Democratic Participation in a
Changing World: Responding to Democratic Voices”, dikutip dari
http://www.ipd.or.id/bdf/bali-democracy-forum-iv,.
Artikel Online
Cheng, Christine dan Zaum, Dominik. Selling the Peace? Corruption and Post-
Conflict Peace Building, [Artikel online], tersedia di
http://centaur.reading.ac.uk/23482/1/067_01_ Corruption_ 01. pdf,
Gyi, Mi, Mi. An Analysis of The Parliamentary Democracy System in Myanmar
(1948-1962) [Artikel on-line] (Myanmar: University of Mandalay, 2011);
tersedia di http: //umoar .mu .edu .mm /bitstream/ handle/
123456789/82/An%20Analysis%20of.pdf?sequence=1; internet
Westhuizen, SC Van, Der. Foreign policy, public diplomacy and the media:The
case of South Africa, [Artikel On-line] (South Africa: University of South
Africa, 2014); tersedia di http: //uir. unisa. ac. Za /bitstream /handle /10500/
14434 /dissertation van _der westhuizen sc.pdf?sequence=1,
Tabloid
Han, Khin Kyaw. 1990 Multi-Party Democracy General Elections, Dokumentasi
Democratic Voices of Burma, diungguh dari
http://www.ibiblio.org/obl/docs/1990_elections.htm pada Selasa, 18 April
2017, pukul 04.34 WIB.
Harymurti, Bambang. “BDF Perlu Didukung dengan Pengembangan Peran Civil
Society”, Tabloid Diplomasi, 15 Januari 2013, 11
Natalegawa, Marty “BDF Alami Banyak Kemajuan,” Tabloid Diplomasi, (2013):
12
Tim Redaksi, “Bali Democracy Forum: Membangun Demokrasi dalam Perspektif
Global,” Tabloid Diplomasi, 15 Januari 2013, 08.
CXVI
Yudhoyono, Susilo, Bambang. “BDF Paltform Kemitraan Strategis,” Tabloid
Diplomasi, (2013): 8
Berita Online
Foto Bersama Delegasi BDF ke-V, http://www .republika .co.id /berita
/nasional/umum/12/11/08/md5sdm-sby-buka-bali-democracy-forum-2012
http://burmacampaign.org.uk/about-burma/a-biography-of-aung-san-suu-kyi/
http://burmacampaign.org.uk/about-burma/a-biography-of-aung-san-suu-kyi/
http://factsanddetails.com/ southeast- asia/ Myanmar /sub5_5a/ entry -3007. html,
http://new.indonesia.nl/index.php/en/2012-11-26-04-10-03/speeches/275-
opening-statement-by-president-susilo-bambang-yudhoyono-at-the-bali-
democracy-forum-v,
http://uca.edu/politicalscience/dadm-project/asiapacific-region/burmamyanmar-
1948-present/
http://www.history.com/this- day-in- history/ british- troops- liberate- mandalay-
burma
http://www.kemlu.go.id/Documents/BDF%20V%20Chair's%20Statement/The%2
0Fifth % 20Bali% 20Democracy% 20Forum% 20Chair's% 20Statement%
20(OFFICIAL).pdf
http://www.oxfordburmaalliance.org/1962-coup--ne-win-regime.html
https://www.burmalink.org/background/burma/human-rights-violations/human-
rights-reports/,
https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/myanmar/dark-side-transition-
violence-against-Muslims-myanmar
IPD Report, 43 ASEAN Delegates Observe Bali Poll and Join Indonesia
Dialogue, [berita online] tersedia di http://www.ipd.or.id/43-asean-
delegates-observe-bali-poll-and-join-indonesia-dialogue.htm,
IPD Report, Workshop on Indonesian and Asian Democratic Transition and
Reform Experiences, [berita online], tersedia di
http://www.ipd.or.id/workshop-on-indonesF(ian-and-asian-democratic-
transition-and-reform-experiences.htm
IPD, Who are We, [data online], tersedia di http://www.ipd.or.id/about-ipd/who-
we-are,
Lynn, Kyaw, Ye. Census data shows Myanmar Muslim population has fallen,
[berita online], http://aa.com.tr/en/asia-pacific/census-data-shows-myanmar-
Muslim-population-has-fallen/612764,
CXVII
Mandey, Adrianus. Revolusi Saffron dan Peran Sentral Biksu di Myanmar,
tersedia di http://dunia.news.viva.co.id/news/read/629002-revolusi-saffron-
dan-peran-sentral-biksu-di-myanmar,
MNHRC Reports, Dialogue between MNHRC and Indonesian Delegation,
http://www.mnhrc.org.mm/en/2013/07/dialogue-between-mnhrc-and-
indonesian-delegation-2/
Natalegawa, Marty, dikutip dari http://www.suaramerdeka. com/v1 /index .php
/read/news/2013/01/06/140497/Sembilan-Pokok-Refleksi-dan-Proyeksi-
Diplomasi- Menlu,
Peta Perbatasan China-Myanmar, http:// news. Rakyatku .com /read /41997 /2017
/03/14/puluhan-tentara-myanmar-tewas-oleh-pemberontak-di-perbatasan-
cina
Ramidi, Bali Democracy Forum: Place to Share about Democracy, dikutip dari
http://gres.news/news/politics/102248-bali-democracy-forum-place-to-
share-about democracy / 0/
Sari, Amanda, Puspita. Jatuh Bangun Myanmar Menuju Pemilu Demokratis,
dikuti dari http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151107084937-
106-90042/jatuh-bangun-myanmar-menuju-pemilu-demokratis/,
Slaughter, Anne-Maria. International Relations, Principal Theories, dilihat dari
https://www.princeton.edu/~slaughtr/Articles/722_IntlRelPrincipalTheories
_Slaughter_20110509zG.pdf,
Virgianti, Kartika. SBY Berdiskusi Soal Demokrasi di Bali Democracy Forum,
tersedia di http: // www. satuharapan. com /read –detail /read /sby –
berdiskusi -soal-demokrasi-di-bali-democracy-forum
Wawancara antara A.M. Fachir dengan Aji Surya, wartawan Detik News, di sela-
sela persiapan BDF 2013. Dikutip dari
http://news.detik.com/berita/2405453/bali-democracy-forum-kebutuhan-
nasional-dan-internasional,
Yudhoyono, Susilo, Bambang. Indonesia and The World, tersedia di
http://www.kemlu.go.id/en/pidato/presiden/ Pages/ Speech- by- H.E.- Dr.-
Susilo- Bambang-Yudhoyono-President- of- the- Republic- of- Indonesia-
before- the-Indone.aspx,
Wawancara
Hasil wawanara dengan Aleksius Jemadu sebagai Guru Besar Ilmu Hubungan
Internasional. Proses wawancara dilakukan via email pada Rabu, 14 Juni
2017, pukul 14:09 WIB. Transkrip hasil wawancara tertera pada lampiran I
Hasil wawanara dengan Agus Heryana sebagai Kepala Subdit Isu-Isu Aktual dan
Strategis, Direktorat Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri RI. Proses
Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juni 2017 Pukul 14.00-15.00 di
CXVIII
Kementerian Luar Negeri. Transkrip hasil wawancara tertera pada lampiran
II
Hasil wawancara dengan I Ketut Putra Erawan sebagai Direktur Eksekutif
Institute for Peace and Democracy. Proses wawancara dilakukan di via
telepon, pada Rabu, 21 Juni 2017 pukul 15:00-15:45 WITA. Transkrip hasil
wawancara tertera pada Lampiran III
Hasil wawancara dengan Khanisa Krisman sebagai Tim Koordinator Kajian
ASEAN LIPI. Proses wawancara dilakukan di Gedung Widya Graha lantai
11 pada Kamis, 22 Juni 2017 pukul 10:00-11.00 WIB. Transkrip hasil
wawancara tertera pada Lampiran IV
CXIX
Lampiran-lampiran
Lampiran I : Wawancara dengan Aleksius Jemadu
Keterangan Email Balasan Wawancara
Hasil Wawancara
Wawancara dengan Prof. Aleksius Jemadu sebagai Guru Besar Hubungan
Internasional. Beliau adalah pengamat hubungan internasional. Proses wawancara
dilakukan via email pada Rabu, 14 Juni 2017, pukul 14:09 WIB.
1. Seberapa efektifkah upaya demokratisasi yang dilakukan BDF ?
Efektivitas upaya demokratisasi harus datang dari dalam negara itu sendiri.
BDF hanya dimaksudkan sebagai forum di mana Indonesia dapat menginspirasi
negara lain untuk meniru apa yang sudah dilakukan di Indonesia seperti pemilu
yang demokratis dan damai, tata kelola keragaman yang menjamin stabilitas dan
meredakan konflik, pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai bersamaan dengan
demokratisasi, militer yang tidak terlibat dalam politik, dsbnya. Jadi, Indonesia
menyediakan forum pertukaran ide dan pengalaman yang menginspirasi negara
lain. Tetapi sifat BDF yang terlalu terbuka dan tidak adanya kriteria yang ketat
untuk peserta bisa mengaburkan makna demokrasi itu sendiri apalagi kalua forum
ini digunakan oleh negara-negara yang justru melanggar demokrasi dan HAM. Itu
tantangannya.
2. Nilai demokrasi seperti apakah yang ingin ditransformasikan oleh
BDF?
Indonesia hanya bisa membagikan pengalaman demokratisasinya dan
setiap negara harus menyesuaikan dengan keadaan di dalam negeri masing-
masing. Point-point penting yang disebutkan di atas bisa menjadi contoh bagi
negara-negara lain.
CXX
3. Bagaimanakah relasi antara negara di Asia Tenggara dengan
Myanmar?
Relasi Myanmar dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dilakukan
dalam platform ASEAN di mana prinsip non-interference diterapkan. Pendekatan
ASEAN yang “soft” terhadap Myanmar ternyata diperhitungkan oleh Myanmar
dengan kenyataan demokratisasi yang dilakukannya. Meskipun demikian,
demokratisasi lebih ditentukan oleh keinginan dari rakyat di dalam negeri itu
sendiri.
Indonesia masih taat pada prinsip non-interference ASEAN karena yang
dilakukan hanyalah memberikan saran atau masukan bagi Myanmar.
4. Apakah yang melandasi rezim militer seolah tidak usai di Myanmar?
Karena militer belum sepenuhnya percaya kemampuan pemerintahan sipil
untuk mengatasi berbagai konflik yang ada. Karena itu mereka memilih jalan
yang gradual bertahap demi stabilitas dan pembangunan ekonomi. Mereka tidak
bisa serentak menyerahkan semuanya kepada sipil.
5. Apakah peningkatan tersebut dikarenakan partisipasnya dalam BDF?
Partisipasi di BDF bukan factor utama karena keingingan dari dalam
negeri itu yang jadi factor utama. Tekanan dari negara-negara Uni Eropa dan AS
juga tentu dipertimbangkan oleh Myanmar.
Ditinggalkannya rezim militer dan peralihan ke sipil ada kemiripannya
dengan proses demokratisasi di Indonesia tetapi itu terjadi bukan karena mereka
ikut BDF. BDF hanya memberikan inspirasi dan dorongan eksternal untuk proses
yang tumbuh dari rakyat dan pemimpin di negara itu.
CXXI
Lampiran II : Wawanara dengan Agus Heryana
Surat Keterangan telah Melakukan Wawancara
Hasil Wawancara
Wawancara dengan Bpk Agus Heryana selaku Kepala Subdit Isu-Isu Aktual
dan Strategis, Direktorat Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri RI. Sub-
direktorat beliau adalah direktorat yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
BDF. Proses Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juni 2017 Pukul 14.00-15.00
WIB di Kementerian Luar Negeri.
1. Gagasan demokrasi seperti apa yang dibawa oleh BDF?
Pada tahun 2008, satu dekade setelah dimulainya reformasi, Indonesia
memprakarsai penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF), sebuah forum
antar pemerintah yang bersifat tahunan, inklusif dan terbuka yang membahas
mengenai perkembangan demokrasi, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
BDF lahir dari sebuah keyakinan bahwa promosi demokrasi merupakan
sebuah bagian tak terpisahkan dari kebijakan luar negeri Indonesia. BDF
diciptakan guna membantu mewujudkan terbentuknya tata bangun demokrasi
(democratic architecture) yang kokoh di kawasan melalui praktik sharing of
experiences and best practices dengan menganut prinsip-prinsip persamaan,
saling pengertian dan menghargai.
Dalam penyelenggaraan BDF, para peserta dapat membicarakan demokrasi
secara konstruktif terlepas dari political taboo dan standardisasi yang restriktif.
Tingginya tingkat akseptabilitas dan animo partisipan merupakan sambutan positif
terhadap prinsip BDF yang inklusif yaitu menempatkan setiap negara dalam posisi
„unik‟ dan mengedepankan sharing experience dan best practices dalam menggali
prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi sesuai dengan kondisi negara masing-
masing.
Hingga saat ini, BDF telah berhasil menjadikan demokrasi sebagai agenda
strategis untuk Asia dalam mewujudkan pembangunan ekonomi dan dan politik
CXXII
yang seimbang, menciptakan perdamaian dan stabilitas, serta dapat memajukan
kualitas penerapan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan di kawasan
yang notabene merupakan tiga pilar penyangga konsep perserikatan bangsa-
bangsa.
2. Bagaimana BDF berpengaruh terhadap Myanmar?
Dengan bantuan Institute for Peace and Democracy (IPD) – implementing
agency BDF, Indonesia banyak memberikan bantuan capacity building bagi
Myanmar di bidang demokrasi, seperti electoral monitoring and visit program
dan berbagai dialog mengenai desentralisasi, demokratisasi, dan peace building.
Kegiatan-kegiatan ini tentu dapat menjadi masukan positif bagi Myanmar dalam
mengembangkan demokrasi di negaranya.
3. Apa yang menjadikan BDF efektif bagi proses transisi demokrasi
Myanmar?
Beberapa kearifan Nusantara turut mewarnai pertukaran tentang demokrasi,
yaitu: (1) Bahwa demokrasi harus tumbuh dan berkembang atas inisiatif internal
(home-grown); (2) Demokrasi menjunjung nilai-nilai pluralisme dan
keberagaman; dan (3) Demokrasi bersifat inklusif.
Tidak ada pemaksaan dan perjanjian yang mengikat dalam BDF sehingga
comfort level negara-negara peserta maupun peninjau cukup tinggi dan dapat
secara efektif memberikan pengaruh yang positif kepada negara-negara yang
berpartisipasi pada BDF.
4. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan BDF?
Setiap tahunnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan anggaran sebesar Rp 5
milyar hingga Rp 8 milyar.
Dukungan Indonesia terhadap Myanmar di bidang demokratisasi tidak hanya
melalui BDF semata, namun sejak awal proses demokratisasi di Myanmar,
Indonesia terus melakukan constructive engagement dengan negara tersebut.
5. Adakah indikator keberhasilan BDF dalam menyebarkan norma
demokrasi?
Sulit untuk menilai keberhasilan kebijakan BDF mengingat output dari BDF
berupa Chair‟s Note yang tidak bersifat mengikat. Namun demikian, keberhasilan
demokrasi suatu negara dapat dilihat dari kestabilan suatu negara dari segi
ekonomi, politik, dan kesejahteraan di negara tersebut.
Jumlah Peserta (participants) dan Peninjau (observers) BDF dari tahun ke
tahun selalu menunjukkan angka peningkatan. Hal ini secara tidak langsung
CXXIII
menggambarkan bahwa negara-negara tersebut memandang penting
penyelenggaraan BDF oleh Pemerintah Indonesia.
Sebagai sebuah forum yang tidak mengikat, BDF memberikan tempat yang
nyaman bagi negara-negara yang hadir untuk melakukan tukar menukar pemikiran
dan pengalaman mengenai pengembangan demokrasi.
6. Adakah corak demokrasi yang serupa antara Indonesia dengan
Myanmar?
Myanmar adalah bagian Asia Tenggara, ia juga berkutat dengan rezim militer
selama 60 tahun. Pada 2007, terjadi gelombang protes besar-besaran yang
dipelopori oleh para biksu. Tuntutan demokrasi disuarakan. Kemudian,
momentum tersebut berbarengan dengan terselenggaranya BDF yang pertama,
pada 2008. Terkait dengan Myanmar, sudah banyak negara yang mencoba agar
Myanmar mengant demorkasi, seperti Uni Eropa dengan embargo ekonominya
dan Amerika Serikat yang memberikan saran kepada ASEAN.
Selepas tahun 2007, Myanmar mulai serius untuk menanggapi demokrasi.
Mulai dari membuat konstitusi baru, penataan sistem pemilu, pembebasan
tahanan, hingga turut partisipasi dalam BDF.
Terdapat kemiripan antara proses demokratisasi di Indonesia dan Myanmar,
dari rezim yang bersifat otoriter menuju ke pemerintahan yang demokratis.
Melihat hal tersebut, Indonesia layak dijadikan contoh bagi Myanmar dalam
mengembangkan demokrasinya dan melalui BDF yang merupakan forum untuk
sharing experiences, dialog mengenai hal ini dapat terakomodir dengan baik.
CXXIV
Lampiran III : Wawancara dengan I Ketut Putra Erawan
Surat keterangan telah melakukan wawancara
Hasil Wawancara
Wawancara dengan Bpk I Ketut Putra Erawan selaku Direktur Eksekutif
Institute for Peace and Democracy (IPD). Beliau menjadi tokoh yang terlibat
langsung dalam setiap bantuan yang diberikan IPD kepada Myanmar. Proses
wawancara dilakukan di via telepon, pada Rabu, 21 Juni 2017 pukul 15:00-15:45
WITA.
1. Bagaimana hubungan IPD dengan Kemlu ?
Awalnya IPD dibuat oleh Kemlu atau IPD merupakan lembaga negara.
Tapi sejak 2015 IPD telah menjadi lembaga independen atau think-tank yang
fokus pada inspiring dan engage democracy. Sejak 2015 kita menjadi yayasan
yang mana gerak dalam membantu demokrasi bisa semakin dinamis.
2. Bagaimana Relasi IPD dengan Myanmar?
Kita pernah berkunjung ke Myanmar dan mengadakan pelatihan bersama
School of Peace, democracy, and development, yang bertempat di CSIS Myanmar
dan Myanmar Development and Research Institute (MDRI). Terkait bantuan
transisi demokrasi, kita tidak hanya hadir menawarkan bantuan, namun mereka
juga meminta kepada kita agar hadir di sesi-sesi pelatihan demokrasi.
3. Apakah relasi dan bantuan yang diberikan IPD adalah kelanjutan
dari BDF?
Iya tentu, itu menjadi kelanjutan dari BDF. Pada salah satu momen BDF,
perwakilan Myanmar mendatangi Kemlu dan meminta agar kita membantu proses
transisi demokrasi Myanmar, melalui pelatihan. Karena BDF forum yang tidak
menghasilkan kesepakatan secara institusional, maka tindak lanjutnya adalah
kebijakan bilateral, namun lahir dalam platform BDF.
CXXV
BDF itukan membicarakan tentang demokrasi. Ide-ide dan persoalan yang
muncul dalam BDF itu merespon ke apa yang tepat, dan itulah yang akan kita
translate menjadi program kerja IPD.
4. Apakah BDF berhasil mengajak negara lain untuk membantu proses
transisi demokrasi Myanmar?
Saya akan mulai dari pola kerja BDF. Selama forum resmi berlangsung,
setiap delegasi mendengarkan bagaimana praktik demokrasi berlangsung di
negaranya masing-masing. Di sela-sela BDF itulah para delegasi saling bertemu
dan kita harus ingat kalau di BDF ada negara yang membutuhkan bantuan
demokrasi dan ada pula yang ingin membantu penegakan demokrasi. Mereka
berdua akan saling berkomunikasi kemudian mendekati IPD untuk realisasi hasil
diskusinya. Bantuanya pun variatif, mulai dari sharing experiences, finansial,
fasilitas, dan sebagainya.
5. Bagaimana pola bantuan yang diberikan IPD?
Sangat banyak cara yang ditawarkan IPD dalam menawarkan bantuan,
karena terkadang bukan hanya Indonesia yang terlibat di dalamnya. Banyak
negara yang menawarkan fasilitas dan banuan, tapi kalau Indonesia sendiri pola
bantuannya adalah learning by doing. Selain itu, pola bantuan IPD berangkat dari
kebutuhan Myanmar. Jadi awalnya kita melakukan pertemuan dan menanyakan
need assessment. Kemudian, kita tanya apa yang kurang, apa yang sudah
diberikan oleh negara lain., apa yang diperlukan, inilah kita masuk pada tahapan
scoping mission. Perlu diingat kalau IPD juga mengajak berbagai elemen di
Indonesia untuk terlibat, seperti kampus, think-tank, KPU, Media, dan masih
banyak lagi. Setelah itu kita melakukan dialog, pada fase inilah bantuan yang kita
tawarkan menyesuaikan dengan kebijakan Myanmar. Setelah itu barulah kita
menentukan treatment-nya.
Bantuan yang diberikan IPD kepada Myanmar kurang-lebih terhitung 5
tahun sebelum 2017. Perlu dicatat bahwa tidak hanya Myanmar yang belajar,
Indonesia juga belajar tentang demokrasi di setiap bantuannya. Kita pernah
mengajak mereka untuk menyimak proses pemilu di Indonesia, mulai dari awal
hingga akhir. Kemudian, kita mengadakan simulasi di gedung IPD, kita berdiskusi
tentang potensi masalah yang akan muncul pasca pemilu dan sebagainya. Kita
mengajak tokoh yang kompetensi pada bidangnya di setiap pelatihannya.
Poin yang perlu diperhatikan adalah harus dibedakan antara memberi
pengaruh dengan merubah. Apa yang dilakukan oleh IPD itu memberikan
pengaruh, melalui pelatihan, workshop, dan lain-lain. Sedangkan, sekembalinya
mereka ke Myanmar, apakah ilmu yang didapat akan diterapkan atau tidak, itu
menjadi urusan mereka. Jadi lebih tepatnya, kita memberikan pengaruh dengan
membantu bukan dengan merubah sistem pemerintahan mereka menjadi
membantu.
6. Bagaimana konstruktivisme melihat peran BDF dalam membantu
transisi demokrasi Myanmar?
Untuk menjawab pertanyaan itu, pertama bisa dikatakan dari metode yang
kita gunakan itu tepat dan realistis. Kita menjelaskan suka-duka demokrasi
CXXVI
Indonesia, kita pun menjelaskan kalau dari sekian percobaan demokrasi, nyatanya
banyak yang gagal. Dari situ tumbuh trust Myanmar kepada Indonesia.
Kedua, metode kita melibatkan mereka dalam aktifitas. Kita selalu
mengajak Myanmar untuk terlibat dalam setiap proses yang berkaitan dengan
demokrasi. Kita pernah mengajak mereka untuk hadir dalam pemilu di Indonesia,
tapi tidak cuma hari H-nya saja. Ketika KPU rapat, berdebat, menghasilkan solusi,
kita pun juga mengajak mereka.
Konstruktivisme melihat sejarah sebagai konteks. Jadi dengan trust dan
bantuan yang diberikan, pada akhirnya harus sesuai dengan konteks Myanmar.
saya kira bagaimana IPD bekerja sangatlah konstruktivis. Tidak seperti
pendekatan konstruksi ide biasanya, kita tidak sekedar melempar ide demokrasi ke
ASEAN, lalu ASEAN mempromosikannya agar diterapkan oleh Myanmar. Ide-
ide yang telah kita lemparkan, juga kita re-judge atau kita telaah kembali sesuai
dengan kebutuhan mereka.
Saya percaya dengan proses dan pembelajaran untuk membuat program
bantuan demokrasi. Kita gak mungkin buat kebijakan tanpa belajar dan gak
mungkin tanpa mengetahui proses dari keseluruhan aspek.
7. Bagaimana respon Myanmar terhadap bantuan yang diberikan oleh
IPD?
Mereka sangat senang dan terbuka. Inilah yang menjadi nilai lebih BDF,
bahwa pendekatan dialog dan sharing experiences membentuk trust. Ketika
kepercayaan telah terbangun, bagi mereka bantuan apapun yang diberikan oleh
kita tidak akan dikira sebagai intervensi.
Suatu waktu, kita pernah berencana mendatangkan 35 orang dari Myanmar
untuk mengikuti pelatihan di Indonesia, dan semuanya kita akomodasi. Tapi
mereka datang dengan 55 orang, yang 20 orangnya datang dengan akomodasi
Myanmar. Banyak juga pelatihan-pelatihan lainnya yang perwakilan mereka
datang dengan biaya sendiri. Selain itu, kita juga merancang sedemikian rupa agar
bantuan yang diberikan melibatkan masyarakat sipil Myanmar.
IPD pernah diskusi militer degan Indonesia. Dan salah satu peserta
delegasinya sekarang menjadi menteri perbatasan. Ketika NLD menang, banyak
yang menjadi pejabat, kebanyakan dari mereka dalah yang pernah ikut pelatihan
bersama IPD, ada yang jadi jubir Aung San, gubernur, parlemen. Kita menemukan
kemiripan iya, tapi tidak bisa kita klaim bahwa itu ide dari kita. Begitu pun
dengan pola desentralisasinya. Mereka menyambut dengan antusias segala
bantuan dari kita
CXXVII
Lampiran IV : Wawancara dengan Khanisa Krisman
Hasil Wawancara
Wawancara dengan Ibu Khanisa Krisman selaku Koordinator Tim Kajian
ASEAN Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kapabilitasnya adalah
sebagai pengamat demokrasi Asia Tenggara Proses wawancara dilakukan di
Gedung Widya Graha lantai 11 pada Kamis, 22 Juni 2017 pukul 10:00-11.00
WIB.
1. Bagaimana anda melihat relasi BDF dengan demokrasi berdasarkan
perspektif Konstruktivisme?
Kalau melihat dari perspektif konstruktivisme, kita harus melihat segala aspek.
Karena asumsi utamanya everything is constructed. BDF memang sebuah forum
dan dalam kajian internasional, setiap pertemuan memiliki tingkatannya masing-
masing. Tidak seperti summit yang menuntut untuk lahirnya kesepakatan pasca
acara tersebut. Karena tingkatannya forum, maka BDF sifatnya casual dan santai.
Poin pentingnya adalah melalui BDF ini semua negara bisa duduk bersama tanpa
membedakan sistem pemerintahan dan gaya demokrasinya.
2. Bagaimana jika BDF dibandingkan dengan forum-forum lainnya?
Kalau kita melihat Asian Regional Forum (AFR), hampir sama dengan BDF.
Tampilannya casual dan cair, namun karena forumnya yang santai biasanya
delegasi yang didatangkan tidak terlalu hi-rank. BDF pun sebenarnya setingkat
menteri. Kalau kepala negara, biasanya pembicaraannya bersifat general, namun
follow up ke negaranya cenderung lebih ketimbang yang hadir bukan kepala
negara.
3. BDF digagas pada 2008 setahun pasca Revolusi Saffron di Myanmar.
bagaimana anda melihat momentum tersebut?
Tahun 2000an Myanmar mengeluarkan kebijakan seven-step road map to
democracy. Perlu ditinjau ulang apakah demokratiasai di Myanmar adalah
menghapuskan peran militer atau justru menginstitusionalisasikan peran
Myanmar.
Kalau saya melihat demokratisasi yang terjadi di Myanmar, tidak seperti Arab
Spring yang terjadinya secara bottom-up. Demokrasi Myanmar cenderung top-
down. Buktinya adalah ketika Myanmar mengadakan pemilu, justru junta militer
sendiri itulah yang melanggar pemilu tersebut. Demokratisasi seperti inilah yang
perlu dipertanyakan.
4. Apakah BDF berperan penting terhadap demokratisasi Myanmar?
Sejauh ini saya belum melihat pengaruh signifikan yang diberikan BDF
kepada Myanmar. Namun, kita bisa lihat pengaruhnya kalau kita sedikit merubah
sudut pandangnya. Jika kita berangkat dari demokrasi Myanmar, maka BDF akan
menjadi pion yang sangat kecil sekali. Tetapi, jika kita melihat dari BDF dan
mekanismenya, maka kita bisa melihat pengaruh yang cukup signifikan. Penting
CXXVIII
atau tidaknya, kita juga bisa lihat dari statement yang disampaikan oleh Myanmar
terkait atau pun ketika BDF. Kalau Myanmar menyampaikan sharing
experiences-nya di BDF, bisa jadi Myanmar merasa bahwa BDF adalah sebuah
stage dimana ia menunjukkan kepada dunia internasional bahwa ia telah
menjalankan demokrasi. Sehingga, seberapa sering Myanmar mengikuti BDF
menjadi indikasi tersendiri seberapa penting forum tersebut baginya.
Komitmen Myanmar terlibat BDF harus dikawal dengan baik prosesnya dan
Indonesia menjadi negara yang vocal untuk membantu proses tersebut. Partisipasi
Indonesia untuk membantu Myanmar tidak lepas dari semangat Indonesia untuk
menuntut perubahan ASEAN melalui norma-norma demokrasi yang diusungnya
melalui APSC.
5. Bagaimana peran Indonesia untuk menegakkan demokrasi di
ASEAN?
Seluruh negara di Asia Tenggara memiliki hubungan yang istimewa. Relasi
tersebut hadir karena norma-norma yang dipahami oleh ASEAN, seperti norma
non-intervensi. ASEAN menjadi payung bagi negara anggotanya agar mereka bisa
menjalankan proses bernegaranya dengan tenang. Indonesia sebagai penggagas
APSC, secara tidak langsung harus menerima konsekuensi bahwa ia menjadi role
model demokrasi di Asia Tenggara, sekaligus negara yang paling kapabel untuk
menegur pelanggaran demokrasi.
Hal yang menarik adalah negara-negara di Asia Tenggara justru tidak
mengindahkan norma tersebut. ASEAN seringkali mengeluarkan saran karena
non-intervensinya, ASEAN tidak bisa mengeluarkan resolusi yang memaksa,
justru cara negara Asia Tenggara memahami norma non-intervensi belum sampai
pada tingkat penghotmatan terhadap saran-saran tersebut.
.