PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM …
Transcript of PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM …
PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM
ISLAM
(Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Imam Ja’far)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
BAROZI
NIM : 204043203073
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGARUH AKAL TERHADAP ISTINBAT (PENETAPAN) HUKUM
ISLAM
(Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Imam Ja’far)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Islam (SHI)
Oleh:
BAROJI NIM : 2040 43203073
Di Bawah Bimbingan
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
Pembimbing I
Prof. Dr. Jaenal Aripin,M.Ag NIP : 197210161998031004
Pembimbing II
Dedy Nursamsi, SH.,M.Hum NIP : 196111011993031002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Pengaruh Akal Terhadap Istinbat (Penetapan) Hukum Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 10 februari 2011 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada jurusan Perbandingan Hukum.
Jakarta 10 februari 2011
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., MA., MM. Nip. 1955051982031012
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (...................................................) Nip 196404121994031004 Sekretaris : Syafi’i, SE.I (...................................................) Nip. Pembimbing I : Dr. Jaenal Arifin M.Ag (...................................................)
Nip. 197210161998031004
Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M.HUM (...................................................) Nip. 196111011993031002
Penguji I : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. (...................................................) Nip. 195703121985031003
Penguji II : Dr. Azizah, MA. (...................................................) Nip. 196701071997032001
KATA PENGANTAR
بسم االله الرحمن الرحيم
Alhamdulillahrabbil’alamin, segala puji hanya bermuara kepadan-Nya sang
Khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap
ikhtiar dalam melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segena keridhoan-
Nya, penulis senantasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, materi, tenaga, waktu
maupun pikiran.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasul yang
merentas jalan cahaya di masa jahiliyah yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah
letih memperjuangkan syari’at Islam.
Selama penyusuan skripsi ini, tidak ada sedikit kesulitan dan hambatan yang
dialami penulis. Penulis menyadari skrpsi ini bukanlah suatu ukuran atau acuan dalam
penyusunan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan lebih lanjut.
Suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi
namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,. MA,. MM. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Djawahir Huzziey,. SH,. MA. Dan Drs,.H. Ahmad Yani, MAg sebagai Ketua
dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas Syariah dan
Hukum
3. Dr. Jaenal Arifin dan Dedy Nursamsi selaku pembimbing dalam penyusunan
skripsi ini, beliau dengan sabar melayani, membantu dan meluangkan waktunya
untuk penulis
4. bapak kepala dan staf perpustakaan fakultas syariah dan hukum yang telah
mengijinkan penulis untuk membaca dan meminjamkan buku dalam
pengumpulan data.
5. rekan – rekan yang telah memotivasi dan membantu dalam menelesaikan skripsi
ini.
6. kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga terselesainnya
skripsi ini.
Kepada para pihak di atas, penulis mendo’akan semoga amal baik dan
keikhlasannya dalam membantu penulis diterima Allah SWT. Sehingga mendapatkan
imbalan yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan-kesalahan yang menuntut
perbaikan serta bimbingan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik guna
untuk mendekati kesempurnaan di masa yang akan datang. Dan semua kekeliruan dan
kesalahan yang terdapat adalah tanggung jawab penulis.
Akhirnya penulis harapkan mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 10 februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ………………………………………………..…1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………………….7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………………...8
D. Metode Penelitian ………………………………………………………...9
E. Preview Penelitian ……………………………………………………....11
F. Sistematika Penulisan …………………………………………………...13
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang It’ipak
(Sepakat)………………….…………………………………………..…15
1. Al-Qur’an………………………………………………..………….17
2. Sunnah (Hadist)……………………………………….…………....22
B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf
(Pertentangan)…………………………………………..….………..….36
1 Ijma ………………………………………………….…………….27
2 Qiyas…………………………………………………..…………....31
3 Istihsan……………………………………………………..……….35
4 Maslahah Mursalah……………………………………………..…..37
5 ‘Urf………………………………………………………………….38
BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG
PERAN AKAL TERHADAP ISTINBAT HUKUM ISLAM
A. Biografi Imam Syafi’i…………………………….………...……….40
B. Biografi Imam Ja’far Ash-Siddiq…………………………………...46
C. Pendapat Imam Syafi’idan Imam Ja’far Dalam Peran Akal Terhadap
Istimbat Hukum Islam………………………………………………51
BAB IV : KOMPARASI PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR
TENTANG PERAN AKAL TERHADAP ISTINBAT HUKUM ISLAM
A. Persamaan dan Perbedaan Dalam penggunaan Dalil ………. …….60
B. Analisa Komfarasi dan Implikasi ………………..………………. 69
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………..76
B. Saran-saran ……………………..…………………………………....78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Arab sebelum Islam adalah komunitas tradisional atau suku-suku yang
dipimpin oleh kepala keluarga atau sesepuh. Mereka saling mengenal, mengetahui asal-
usul dan kebiasaan sosial masing-masing, inilah yang disebut masyarakat tatap muka.
Masyarakat Arab kemudian berubah peradabannya menjadi sistem pemerintahan
kerajaan. Contoh terbaik dari jenis peradaban seperti kerajaan Umayyah dan Abbasiyah.
Selama pemerintahan Abbasiah, masyarakat tengah berusaha mempelajari berbagai
naskah tentang filsafat logika, etimologi, karya sastra dari berbagai penjuru dan bahkan
karya-karya dari luar dunia Islam.1
Dengan masuknya karya-karya dari luar ke dunia Islam maka sedikit demi sedikit
perkembangan dunia Islam mulai terlihat, hal ini tidak bisa dipungkiri. Masyarakat mulai
menggunakan logika sebagai alat untuk mencari suatu hukum yang memang belum ada
dalam nash, dan bentuk argumen yang terpenting dikelompokkan dalam Qiyas tentu
Anologi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum, dalam pikiran sebagian
teolog dan fuqaha, menjadi pola dasar dari semua argumen logis.2
Berpikir atau berfilsafat penting sekali dalam mempelajari agama, oleh karena itu
manusia telah banyak melakukan kekeliruan-kekeliruan dalam berpikir, maka ia telah
1 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukun Allah (Syariah), (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002), Cet, Pertama, h.96.
2 Wael B. Hallq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001), Cet, Kedua, h.122.
dapat pula mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri
mereka dari kekeliruan-kekeliruan dan mereka mulai melakukan penerjemahan.
Kegiatan menerjemahkan itu semarak pada zaman Al-Ma’mun, beliaulah yang
telah berusaha meningkatkan penerjemahan yang sistematis dan menentukan dengan cara
mendirikan Bait Al-Hikmah, yaitu suatu lembaga tempat diadakannya penerjemahan dan
penelitian yang lengkap, dengan perpustakaan yang menyimpan buku-buku karya para
ilmuwan.
Dengan kegiatan penerjemahan itu sebagian besar dari karangan Aristoteles,
Plato, Platinus karangan dalam ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya dibaca
oleh para ulama-ulama yang tersebar, tidak hanya di Baghdad tetapi di seluruh wilayah
kekuasaan Islam. Dalam bidang filsafat muncullah para filosof seperti Ibnu Sina, Al-
Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Rasyid, pemikiran filsafat Yunani, yang
mempengaruhi pemikiran mereka adalah yang berasal dari pemikiran Aristoteles, Plato.3
Terlebih lagi, setelah terjadinya penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab, maka filsafat Yunani, menjadi tidak asing lagi di kalangan para
ulama maupun di kalangan para akademisi muslim. Dengan bahasa lain, tradisi filsafat
Yunani banyak memberikan pengaruh dalam cabang-cabang keilmuan islam dan adanya
unsur-unsur Yunani ini bukan berarti semua hukum Islam itu merupakan hasil adopsi dari
Yunani, melainkan hanya beberapa sisi saja, yaitu unsur-unsur yang tidak didapatkan
secara tegas dalam sumber hukum islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan itupun bila
tidak bertentangan dengan semangat Islam, seperti konsep qiyas yang berada dalam ushul
fiqih.
3 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Dirasah Islamiyah IV), (Jakarta: PT.Raja
Grapindo Persada, 2001), Cet. Kelima, h.53.
Qiyas secara umum diartikan sebagai analogi baik menganalogikan kepada
hukum, alam ataupun kepada benda-benda lainnya, dengan diartikannya qiyas sebagai
analogi sehingga :
1) Keempat aliran hukum (Islam) sepakat bahwa semua masalah yang tidak
ditetapkan oleh Al-Qur’an, Sunnah maupun Ij’ma, hukumnya dapat
disimpulkan dari apa yang telah didasarkan pada tiga otoritas ini dengan
menggunakan qiyas, yang secara umum diterjemahkan dengan analogi.
Seperti ulama Hanafiah mendefinisikannya sebagai perluasan hukum dari
nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu kasus tertentu dengan
memakai illat umum, yang tidak dapat diketahui jika hanya dengan
menafsirkan bahasa yang dipakai oleh nash.4
2) Al-Mazani mengatakan bahwa para ahli fiqh pada zaman Rasulullah SAW,
sampai zaman sekarang dan seterusnya nenpergunakan qiyas dalam berbagai
permasalahan fiqih, mereka sepakat bahwa sesuatu yang setara dengan
kebenaran adalah kebenaran, dan yang setara dengan kebatilan adalah
kebatilan. Maka, tidak diperkenankan bagi siapapun untuk mengingkari qiyas,
dimana Qiyas sebagai perumpamaan dengan beberapa perkara dan mengambil
simpel-simpel (contoh-contoh) yang sesuai dengannya.5
3) Tetapi menurut pandangan Syi’ah adalah bahwa karena Qiyas (analogi)
merupakan dugaan dan terkaan murni, dan karena jumlah keseluruhan apa
yang telah diterima oleh Nabi, dan para Imam memadai untuk tanggung jawab
4 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan
System Hukum Islam, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana), h.107. 5 Ibnu Qayyim Al-jauziyyh, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Azzam, 2000), Cet,
Pertama, h.169.
semua, perujukan pada analogi dilarang keras.6 Jadi di sini aliran Syi’ah tidak
menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum setelah ijma tetapi menggunakan
akal, bahkan mereka melarang dalam penggunaan analogi (Qiyas).
Definisi di atas menunjukan kepada fakta bahwa ada dua golongan yang berbeda
dalam menentukan atau menetapan (isthinbat) sumber hukum Islam setelah ijma, yang
satu menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum Islam dan yang satu lagi melarang
menggunakan Qiyas sebagai sumber hukum.
Kata Isthinbat berasal dari bahasa Arab, fi’il madinya nabatha artinya keluar,
sedangkan fi’il amarnya adalah istimbat mengikuti wajan istap’ala yang mengandung arti
menetapkan atau mengeluarkan.7 Penetapan yang dimaksud disini adalah menetapkan
berdasarkan ijtihad.
Fiqih Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist, namun memahami maksud-
maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis itu berbeda-beda, dan
disamping itu tentunya para Imam Mazhab berbeda-beda juga kemampuan dan
lingkungan yang mempengaruhi mereka berpikir.
Selain itu tolak ukur mempunyai corak dan bentuk yang berbeda-beda sesuai
dengan prinsip-prinsip profesi, ilmu, dan kaidahnya. Misalnya, tolak ukur para ahli fiqih
tidak serupa dengan tolak ukur para dokter, tolak ukur para ahli astronomi berbeda
dengan tolak ukur ahli nahwu dan ahli ilmu kalam, serta tolak ukur ahli filsafat dan
mantiq tidak sama dengan tolak ukur tukang debat, demikian pula tolak ukur mereka
dalam masalah-masalah fisika dan ketuhanan berbeda-beda. sesuai dengan perbedaan
6 Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Zahra, 2003), Cet,
Pertama, h.18. 7 A. Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: PT. Pustaka Progresif,
1997), Edisi II, Cet Keempat Belas h. 1379
orientasi ilmiah masing-masing, walaupun obyek kajian mereka sama, maka akan tetap
terjadi perbedaan diantara mereka karena masing-masing berpikir dengan metode ilmiah
yang berbeda.8
Perbedaan pendapat yang timbul dari fakto-faktor di atas, bukanlah berarti
menunjukan kelemahan, bahkan adalah sebagai pertanda ketinggian dan kematangan
mereka berpikir.
Begitulah para fukaha pada masa yang lampau apabila terdapat perbedaan
pendapat diantara mereka dalam suatu masalah dan tidak mungkin mempertemukan
semua pendapat itu, maka tiap-tiap orang berpegang pada pendapatnya masing-masing
dan selalu menghormati pendapat orang lain, dengan tanggapan kemungkinan pendapat
yang dikiranya benar itu salah dan kemungkinan pendapat yang dikiranya salah itu
benar.9 Seperti perbedaan pendapat tentang metode (cara) yang digunakan dalam
penggalian hukum Islam walau mereka (fuqaha) sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist
sebagai sumber hukum Islam yang paling utama. Akan tetapi, dalam perkembangannya,
terdapat perbedaan pendapat antara aliran Sunni dan Syi’ah dalam menentukan sumber
hukum Islam setelah ijma.
Kategori ulama Madzhab Sunni jauh sekali perbedaannya dengan ulama
Mazdhab Syi’ah. Ulama Mazdhab Sunni mendudukkan Qiyas pada urutan ketiga setelah
Al-Qur’an, dan Al-Hadis, sedangkan Ulama Mazdhab Syi’ah setelah Al-Hadist ditempati
dengan akal. Untuk itu, Dengan adanya ungkapan di atas maka penulis merasa perlu
sekali untuk membahas serta meneliti tentang pengaruh akal dalam menentukan sumber
hukum Islam yang sangat berbeda antara Imam Syafi’i dan Imam Ja’far, keduanya dari
8 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: PT. Logos,
1996), Cet pertama, h.2-3. 9.M. Asywadie Syukur,Lc, Perbandingan Mazhab, (Surabaya: PT. Bima Ilmu, 1994), h.44.
aliran yang berbeda, Imam As-Syafi’i itu dari aliran Sunni sedangkan Imam Ja’far Ash-
Siddiq itu dari aliran Syi’ah, serta bagaimana konsep akal yang digunakan oleh kedua
imam tersebut .
Bagi penulis ini semua adalah sebagai upaya pengetahuan dan perkembangan
dalam bidang ilmu serta hukum yang dipakai oleh kedua imam tersebut yang memang
alirannya berbeda.
B. Pembatasan Perumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah pokok yang hendak diteliti dan dibahas
dalam skripsi ini adalah bagaimana jalan yang ditempuh oleh Imam Syafi’i ketika
masalah tersebut tidak ada dalam nash, sunnah, sedangkan bagaimana pula dengan Imam
Ja’far ?
Dengan melihat dua pandangan yang berbeda antara Imam Syafi’i dengan Imam
Ja’far tentang akal maka akan timbul beberapa pembatasan masalah yang akan diteliti
adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan dan persamaan menentukan Sumber Hukum Islam
b. Akal dalam isthimbat (penetapan) hukum islam menurut Imam Syafi’i dan
Imam Ja’far
2. Perumusan Masalah
Dalam melihat dua pandangan yang berbeda maka penulis membatasi
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas :
a. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far terhadap peran akal dalam
istinbat (penetapan) Hukum Islam?
b. Apa sajakah dalil yang di gunakan Imam Syafi’i dan Imam ja’far dalam
menggunakan akal untuk Istinbat (penetapan) Hukum Islam? dan
c. Bagaimanakah analisis komparasi pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far
tentang peran akal terhadap istinbat (penetapan) Hukum Islam?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum, sedangkan
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui dasar perbedaan pendapat terhadap peran akal dalam isthimbat
(penetapan) Hukum Islam
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i
dan imam Ja’fa dalam pengunaan akal untuk isthimbat (penetapan) Hukm
Islam.
c. menganalisa pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far dalam isthimbat
(penetapan) Hukum Islam
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi :
a. Penulis sendiri dan mahasiswa UIN pada khususnya
b. Dan untuk memperkaya khazanah pengetahuan islam.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisis. Data
yang terkumpul kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang akan dibahas,
serta data-data tersebut dipaparkan secara sistematis dan dilengkapi dengan analisis,
kritik, kesimpulan dan saran.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan deskriptif komperatif.
Terhadap data kualitatif dalam hal ini dilakukan dalam hal data yang berupa informasi,
uraian dalam bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapat
kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga dapat memperoleh suatu
gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan juga sebaliknya.10
Sedangkan analisis dalam deskriptif-komparatif data yang diperoleh kemudian dianalisis
selanjutnya ditarik kesimpulan dan diperbandingkan dengan kedua analisis tersebut.
Sedangkan teknik pengumpulan data, penulis menggunakan cara studi
dokumentasi yakni dengan cara mengumpulkan dokumen yang telah ada serta memiliki
kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
Adapun jenis data yang digunakan dalam peneitian ini adalah :
1. Bahan hukum primer : sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan utama
pada penulisan skripsi ini. Berupa Al-Qur’an, Hadist, dan Kitab-kitab, adapun
buku yang jadi patokan antara lain :
10 P. Joko Subagya, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), h.106.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, Muhammad bin Idris
bin Syafi’i, Al-Umm,Ringkasan kitab Al-Umm karangan Husain Abdul Hamid
Abu Nasir Nail , Hasyiatul Bajuri karangan Syah Ibrahim Al-Bajuri, Latoipul
Isyaroh karangan Imam Syaripudin Yahya Al-Imriti, Khasiatul Addamyati
A’la Syarhil Waroqot karangan Syah Ahmad bin Muhammad Addamyati,
Sedangkan buku yang diambil dari imam Jafar adalah Ja’far Shadiq Sang
Maha Guru karangan The Ahlul Bayt Word Asembly, Pengantar Ilmu-ilmu
Islam karangan Murthadha Muthahhari, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Syiah
Al-Imamiyah karangan Sayyid Muhbbuddin Al-Khatib, Rasionalitas Dalam
Hukum Syi’ah Imamiyah karangan Dr.Jaenal Aripin, MA, Ushul Fiqih
Mazhab Aristoteles karangan Muhammad Roy dan didukung oleh buku-buku
Ushul Fiqih, Filsafat dan sejarah lainnya.
2. Bahan hukum sekunder : sumber-sumber yang digunakan sebagai penjelasan
atau pendukung dari bahan primer dan dapat membantu, menganalisa dan
memahami bahan hukum primer
3. Bahan hukum tersier : sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari
bahan sekunder dan primer untuk memberikan deskripsi yang lebih rinci
terhadap kajian yang menjadi objek penelitian yang meliputi bibliografi,
kamus dan ensiklopedi dan lain sebagainya.
Karena bertitik tolak pada penelitian yang bersifat literatur, maka sumber data
dalam penulisan skripsi ini sepenuhnya didasarkan pada riset kepustakaan (library
research). Yaitu pengumpulan data-data diperoleh dengan merujuk pada karya-karya yang
mendukung (komplementer) yang memiliki relevasi dengan pembahasan skripsi ini.
Setelah diperoleh data dari berbagai sumber (primer dan sekunder) yang berkaitan
dengan objek penelitian, maka selanjutnya adalah dilakukan analisis terhadap data yang
diperoleh tersebut.
` Adapun teknik penulisannya, penulis berpedoman kepada buku pedoman
penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
E. Preview Studi Terdahulu
Penelitian akal sudah menjadi tema umum yang mudah ditemukan, namun untuk
tema yang berkenaan dengan pengaruh akal terhadap istimbat hukum belum penulis
temukan akan tetapi untuk bahan rujukan penulis, ada beberapa skripsi yang membahas
tentang akal :
1. Peranan Qiyas Dalam Menetapkan Hukum Islam Studi Banding Pemikiran
Sunni dan Syi’ah. Oleh : Ismail Marjuki, SJPMH, Tahun 2003
2. Metode Ijtihad Imam Malik dan Imam Daud Ad-Dhahiri, Suatu Perbandingan
Terhadap Konsep Qiyas Imam Malik dan Konsep Dalil Imam Ad-Dhahiri.
Oleh : Ahmad Humaidi, SJPMH, Tahun 2003
Dari judul-judul skripsi di atas dapat disimpulkan bahwa, para ulama syi’ah itu
menolak adanya konsep qiyas walaupun ada sebagian ulama yang menggunakan konsep
qiyas dalam pengambilan istimbat hukum islam, dan disini penulis menyimpulkan bahwa
ulama Syi’ah itu menolak qiyas karena melihat dari suara mayoritas dan mereka tidak
menjadikan qiyas sebagai landasan hukum sebab mereka beranggapan qiyas itu bersifat
zanni (prasangka) maka dari itu qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Qiyas menurut mazhab Sunnni dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum islam dan mempunyai peranan penting dalam mengistimbatkan hukum islam.
Akan tetapi mengambil metode qiyas setelah dida lam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak
ditemukan suatu hukum yang jelas. Dasar hukum yang mereka gunakan berdasarkan
kepada ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat berbagai sahabat Rasulullah SAW.
Pengaruh dari kedua golongan tersebut sangat berbeda akan tetapi pengaruh dari
pemikirannya mempunyai peranan yang sangat besar dan jelas serta dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana diketahui bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para
fuqaha itu berbeda dalam menggunakan metodenya yang berkisar pada permasalahan
atau suatu kejadian yang tidak terdapat dalam nash, salah satunya metode Qiyas yang
digunakan sebagai metode pemecahannya, bukanlah penulis meniadakan metode qiyas
tapi disinilah letak permasalahannya : seperti Imam Malik ketika tidak terdapat dalam
nash dan sunnah beliau menggunakan Qiyas sebagai metode ijtihadnya, sedangkan Imam
Ja’far menggunakan akal.
Dalil akal adalah salah satu metode ijtihad yang digunakan Imam Ja’far dan
dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah ijma, keberadaanya merupakan sebuah
reaksi sebagai suatu penolakan terhadap qiyas.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara sederhana dan memudahkan penulisan,
maka penulis membagi pembahasan skripsi ini menjadi lima Bab, yang setiap babnya
diperinci menjadi beberapa sub Bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I : Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (Review) kajian
terdahulu, kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Bab ini berisi tentang tinjauan sumber hukum islam menurut Imam Syafi’i
dan Imam Ja’far.
Bab III : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai biografi Imam Syafi’ dan
Imam Ja’far, . Pendapat Imam Malik dan Imam Ja’far Dalam Peran Akal
Terhadap Istimbat Hukum Islam.
Bab IV : Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Analisa Terhadap Dalil-dalil
Yang Digunakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Serta Persamaan dan
Perbedaannya, Analisa Komfarasi Pendapat Imam Maliki dan Imam Ja’far
Tentang Peran Akal Terhadap Istimbat Hukum Islam, dan Implikasi
Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Terhadap Penetapan Hukum.
Bab V : Pada bab terakhir ini akan diuraikan kesimpulan dari permasalahan yang
diangkat, dan saran serta kritik bagi penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM DAN AKAL
A. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtifak
Pada uraian ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang kajian usul fiqh yang
mengajarkan, perintah-perintah dan metode penyimpulan hukum syariat yang tepat dan
valid dari sumber-sumber yang sahih. Sekarang penulis akan mempelajari apa sumber-
sumber itu, dan berapa banyak sumber-sumber itu, serta apakah semua mazhab dan aliran
dalam islam mempunyai pandangan yang sama tentang masing-masing detail sumber-
sumber hukum Islam itu atau apakah mereka mempunyai pandangan yang berlainan. Jika
memang ada perbedaan-perbedaan pendapat, para ulama terdahulu itu merasa bahagia
dengan adanya perbedaan pendapat, karena berbeda dalam kesatuan, sesuatu ummat akan
maju, pikirannya akan berkembang dan ajaran agamanya akan tetap up to date serta dapat
menjawab semua tuntutan perkembangan dunia dalam bidang hukum.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu telah mengungkapkan sikap dan pikirannya
terhadap masalah ikhtilaafaatun fiqhiyatun ini. Berikut ini penulis kutipkan diantaranya:
1) Abu Na’iim meriwayatkan bahwa Imam Sofyan Ats-Stauri mengatakan’
apabila kamu melihat seseorang berbuat sesuatu masalah ikhtilafiyah yang
berbeda dengan yang kamu lakukan maka janganlah kamu melarangnya’.
(Abi Na’iim,)
2) Al-Khathiib Al-Bagdaady mengatakan, terhadap masalah ikhtilafiyah, aku
tidak akan melarang murid-murid ku untuk memilih mana yang ia pilih,
(Albughdaady, Alfaqihu Wal Mutafaqqihu, j.2, h. 69)
3) Almawarzy meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad mengatakan, ‘tidak pantas
bagi seorang faqqih untuk menggiring umat, guna memilih suatu mazdhab,
apabila memaksakannya,’ (Ibnu Muflih, Al Aadaabusy Syar’iyyah, j. 1, h.
186)
4) Ibnu Rajab Al-Hambaly meriwayatkan bahwa Abu Ya’laa mengatakn
‘kemungkaran yang wajib dibasmi adalah kemungkaran yang telah di ijma’i
ummat, sedangkan kemungkaraan yang bersifat ikhtilafiyah, maka tidak
wajib disanggah bila dilakukan oleh mujtahid, ataupun oleh orang-orang
yang lain,’ (Abi Ya’laa, Al Ahkaamus Sulthaaniyah, h.297)11
Apakah perbedaan-perbedaan yang ada dalam sumber hukum Islam itu?
Pertama, penulis akan membahas sumber-sumber hukum Islam yang disepakati
seraya menjelaskan masing-masing sumber itu, yang kedua sumber-sumber hukum Islam
yang ikhtilaf. Adapun sumber hukum Islam yang ithifak (disepakati) adalah :
1. Al-qur’an
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam yang primer pertama ataupun dalil
fiqh yang paling agung dan utama, ia adalah kitab Allah atau kumpulan firman Allah
yang tidak datang kepadanya kebatilan. baik dari depan ataupun dari belakang.12
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, bagi muslim Al-Qur’an merupakan
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga
bagi umat Islam hingga saat ini, di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi
umat manusia dan mencapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat.
11 Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta: Erlangga 1989), h.40. 12 Saifudin Nur,, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007). h.39.
Al-Qur’an adalah sumber hukum yang sekaligus sebagai dalil hukum yang utama
dan pertama terdapat dalam wahyu Allah SWT, yaitu kitab suci Al-Qur’an nama dari Al-
Qur’an seperti yang disebutkannya sendiri bermacam-macam, dan masing-masing nama
itu mengandung arti dan makna tertentu, antara lain :
a. Al-Kitab, artinya buku atau tulisan arti itu untuk mengingatkan kaum
muslimin supaya membukukannya menjadi buku, atau kitab suci,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT :
):البقره ( نیقتملي لدھ ھیف بیرلا بتكال كلذ
Artinya : ”Kitab[a] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang berbakti”, (QS, Al-Baqarah : 2) 13
b. Al-Qur’an artinya bacaan, arti ini untuk mengingatkan supaya ia dipelihara
atau dihapal bacaannya diluar kepala. atau bacaan yang mulia, sebagaimana
firman Allah SWT :
)القیامة:(
Artinya : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. (QS. Al-
Qiyamah : 17-18).
Al-Furqan, artinya pemisah atau pembeda, arti ini mengingatkan supaya dalam mencari
garis pemisah antara kebenaran dan kebathilan, yang baik dan buruk
13 [a] Al-Qur’an yang sebagiannya, di masa itu, masih terkandung di Al-lauhil mahfuzh
haruslah dari padanya atau mempunyai rujukan padanya, sebagaimana
disebutkan antara lain dalam
)الفرقان(
Artinya : “Maha banyak kebaikan (Tuhan) yang telah turunkan Al-Fur’qan (b)
atas hambanya supaya ia (c) jadi pengancam bagi alam” (QS,al-
Furqan. 25 : 1)14
c. Huda, artinya petunjuk, arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang
kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikannya atau yang mempunyai
rujukan padanya.
d. Al-Zikr, artinya ingat, arti ini menunjukan bahwa ia berisikan peringatan
dan agar selalu diingat tuntutannya dalam melakukan setiap tindakan.
Sebagaimana Allah berfirman :
)الحجر(:
Artinya : Sesungguhnya kamilah yang turunkan peringatan ini dan sesungguhnya
kamilah penjaga baginya”.(Al-Hidjr, 15:9)
menurut para ulama nama lain terhadap Al-Qur’an antara lain Al-Mubin, Al-
Karim, dan An-Nur
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
dalam bahasa Arab, riwayatnya mutawatir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak
14 (b) Al-Fur’qan : Pembeda, maksud disini adalah Al-Qur’an. (c) kalimah ia, menunjukkan kepada Nabi, atau Al_Fur’qan
disebut Al-Qur’an dan orang yang mengingatkannya baik secara keseluruhan maupun
bagian rinciannya, dipandang kafir.15 Dan para ulama memberi definisi tentang al-Qur’an
yang mengandung mu’jizat di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa
Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya
merupakan ibadah, yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-
Nas.16
Dia (Al-Qur’an) merupakan sendi fundamental dan rujukan pertama bagi semua
dalil dan hukum syari’at, merupakan undang-undang dasar, sumber dari segala sumber
dan dasar dari semua dasar, hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama Islam. Jadi
sudah jelas bahwa para ulama sudah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum
islam yang tertinggi dan tidak ada lagi di atasnya. Dan dalam kandungan atau isi Al-
Qur’an itu sendiri ada yang bersifat qhat’y dan ada yang bersifat zhonny.
Tidak ada keraguan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum dan peraturan islam
yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada
hukum dan peraturan. Dalam Al-Qur’an, ratusan jenis permasalahan telah dimasukkan.
Al-Quran turun dalam dua periode, yaitu pertama periode Makkah sebelum
Rasulah hijrah ke Madinah dan ayat yang diturunkan pada periode ini dikenal dengan
ayat-ayat Makkiyah, dan periode kedua setelah Rasulah hijrah ke Madinah yang dikenal
dengan ayat-ayat Madaniyah, ayat-ayat di Makkah pada umumnya yang menjadi inti
pembicaraannya adalah tentang masalah-masalah keyakinan (akidah), dalam rangka
meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa
15 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), cet, I, h.9-10. 16 Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia), (Jakarta: Gaya Media Pratama). h.38.
ajaran akidah yang harus lebih dahulu ditanamkan, tanpa itu syariat islam belum akan
diterima oleh umat misalnya firman Allah
Artinya : “Dan tidak Kami utus sebelummuseorang Rasul melainkan kami wahyukan
kepadanya : bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan
aku, oleh yang demikian berbaktilah padaku (Qs. Al-Annbiya; 21 : 25)
)الانبیاء(
Untuk sampai kepada akidah yang benar ayat-ayat Makkiyah mendorong umat
manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan alam nyata disekitarnya
sebagai bukti atas wujud dan kekuasaannya misalnya firman Allah :
Artinya : “maka tidaklah mau mereka melihat kepada onta, bagaimana dijadikan ? dan
melihat kepada langit bagaimana ditinggikan ? dan melihat kepada gunung-
gunung bagaimna ditegakkan ? dan melihat kepada bumi bagaimana
dihamparkan ? (Qs. Al-Ghasiyah ; 88 : 17-20)17 )الغا شیة(
2. Sunnah
Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Sebagian para
ulama berpendapat bahwa ada empat istilah di pandang dari segi bahasa :
Sunnah = jalan yang ditempuh
Hadist = baru / pembicaraan
Khabar = berita /pemberitahuan
Atsar = sisa / peninggalan
Keempat istilah diatas adalah sinonim, mempunyai arti yang sama, yaitu, ucapan
perbuatan, dan pernyataan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dan sebagian ulama ada yang membedakan sebagai berikut :
a) Kalau hadist adalah khusus menyangkut ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi
Muhammad SAW, maka sunnah lebih luas, mencakup juga sifat-sifat
lahiriyah maupun batiniyah, kebiasaan dan semua perjalanan hidup Nabi
Muhammad SAW, baik sesudah kenabiannya ataupun sebelumnya.
b) Kalau hadits adalah sesuata yang datang dari Nabi muhammad SAW, maka
khabar adalah yang datang selain dari nabi.
17 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005), Cet, II. h.81-82.
c) Atsar adalah sama dengan khabar dalam pengertian seperti di atas itu, tetapi
ada pula pendapat yang menyatakan atsar sebagai sesuatu yang datang dari
kalangan sahabat.18
Sedangkan pengertian Sunnah menurut Prof. Drs. H. Suparman Usman, SH.
Adalah : Pengertian secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW,
sebagai berikut :
ر بن جریرعن ابیھ قال قال رسول االله صلي االله علیھ وسلم عن المنذومن سن في الاسلام سنة حسنة فلھ اجرھا واجرمن عمل بھا بعده من غیر ان
لاسلام سنة سیئة كان علیھ وزرھا ینقص من اجورھم شیئ ومن سن في اصحح (ووزرمن عمل بھا من بعده من غیر ان ینقص من اوزارھم شیئ
19)مسلم Artinya : Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya. (HR. Muslim)
Secara terminilogis (dalam istilah syari’ah), sunnah dapat dilihat dari tiga bidang
ilmu, yaitu dari ilmu hadits, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh.
Sunnah menurut para ahli hadits identik dengan hadits, yaitu :
را اونحوھا ما اضیف للنبي صلي االله علیھ وسلم قولا او فعلا اوتقری
18 Ardani, Qur’an-hadits, (Jakarta, Depertemen Agama RI, 1986) h. 31 19 Ibnu Abdullah Muhammad bin Yadiz, Sunan Ibn Mazah, (Bairut, Darul Fikr, 1990/1415) h. 80 Lihat juga : Soheh Muslim, Sirkatun Nur Ass’a, Zuz awal, h. 407
Artinya : Seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau
himmah).
Sunnah menurut ahli Ushul Fiqh adalah ”segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum”.
Sedangkan sunnah menurut ahli ushul fiqh, disamping pengertian yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan salah satu hukum taklifi,
yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa (tidak berdosa)”.20
Mengenai definisi sunnah ini, telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa tidak
ada perbedaan pendapat dan tidak ada ulama yang menentangnya dan sunnah itu selain
menjadi sumber hukum islam setelah al-Qur’an sunnahpun mempunyai fungsi terhadap
al-Qur’an.
Di antara fungsi sunnah terhadap al-Qur’an adalah :
- Sunnah menguatkan atau mengukuhkan hukum yang ada dalam al-Qur’an,
seperti hukum mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, haji ke
Baitullah, telah ditunjukkan oleh ayat-ayat al-qur’an lalu dikuatkan lagi oleh
Sunnah Rasul.
20 Suparman Usman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia), (Jakarta: Gaya Media Pratama). h.44-45.
- Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau bayan, memerinci yang mujmal dan
yang mengkhususkan yang umum, seperti tata cara shalat, wasiat dengan
sepertiga harta, beberapa barang yang wajib dizakati disebutkan dalam sunnah.
Seperti disebutkan dalam firman Allah SWT :
)انحل(
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan
kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”. (QS. An-Nahl 16:44)
- Sunnah terkadang memberi hukum sendiri yang tidak terdapat secara eksplisit
dalam Al-Qur’an, seperti keharaman memakan binatang yang bertaring dan
bercakar, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
صلي االله علیھ وسلم قال كل ذي ناب من عن أبي ھریرة عن النبي
) رواه النسائي(السباع فأكلھ حرام
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda semua jenis binatang buruan
yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar, maka hukum
memekannya adalah haram (HR. An-Nasa’i). 21
Semua hukum-hukum yang terdapat dalam sunnah pada dasar dan pokoknya
terdapat dalam Al-Qur’an, oleh karena itu tidak mungkin terjadi pertentangan antara
hukum-hukum dalam sunnah dengan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an,
dikarenakan sunnah sendiri itu untuk menjelaskan Al-Qur’an seperti terdapat dalam
hukum positif bahwa itu semua harus hierarki artinya hukum atau landasan yang kedua
itu tidak boleh keluar dari yang pertama dan disipun sudah menunjukan bahwa sunnah
tidak keluar dari Al-Qur’an. Namun disini ada perbuatan-perbuatan Rasul yang khusus
baginya dalam arti perbuatannya (Rasul) tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti
beristeri lebih dari empat yang tidak bisa dijadikan landasan atau dasar hukum.
B. Tinjauan Sumber Hukum Islam Yang Ikhtilaf
Di atas telah dijelaskan sumber-sumber hukum Islam yang ithifak, sekarang
penulis akan menguraikan sumber-sumber hukum Islam yang ikhtilaf diantaranya adalah:
1. Ijma
Lafad ijma pengertian menurut bahasa ialah azm (cita-cita) seperti dalam firman
Allah SWT :
21 Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007). h.42. Lihat juga, Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana prenada Medi Group, 2005),
Cet, II. h.124-125.
............یونس( الح(
Artinya : Tetapkanlah urusan kamu dan sekutu-sekutu kamu, (QS. Yunus. 10:71)
Sedangkan ijma menurut ulama ushul (ushuliyin) ialah kesepakatan semua
mujtahidin di antara ummat islam pada suatu massa setelah kewafatan Rasulallah SAW,
atas hukum syari mengenai suatu kejadian / kasus.
Maka apabila terjadi suatu kejadian dan diharapkan kepada semua mujtahid
ummat islam pada waktu terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal
itu, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma, dan dianggaplah ijma mereka atas suatu
hukum mengenai suatu kejadian.22
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, dalam buku Satria Efendi yang
berjudul Usul Fiqh, mengatakan bahwa ijma adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum.
Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan
sehingga dapat dianggap sebagai ijma yang mengikat umat islam. Menurut mazhab
Maliki, kesepakatan sudah dianggap ijma meskipun hanya merupakan kesepakatan
penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma ahl al-Madinah. 23
22 Abdul Wahab Khalap, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada), Cetakan Keenam, h.63-64. 23 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Medi Group, 2005), Cet, II.
h.125.
Definisi di atas sudah jelas bahwa ijma adalah kesepakatan dengan suara bulat
dari para ulama muslim (ulama mujtahid). Dengan disepakatinya ijma sebagia sumber
hukum islam yang ketiga setelah sunnah, berarti ijma merupakan suatu hukum yang kuat
dalam sistem hukum islam dan mungkinkah dalam kontek sekarang ijma terjadi?
Pengertian sebagai mana dimaksud tidak mungkin terjadi lagi, kecuali pada masa
ke khalifahan Abu Bakar dan utsman, karena pada masa itu para ulama masih sedikit dan
mereka berkumpul pada suatu tempat, Sebaliknya, pada zaman sekarang para ulama dan
mujtahid telah banyak dan terpencar di seluruh pelosok bumi yang sukar sekali untuk
mengetahui bahwa mereka tahu tentang masalah yang akan di ijmakan tersebut, lagi pula
faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat mereka tidak sama, hal lain yang tidak
memungkinkan terjadinya ijma menurut pengertian di atas adalah kesukaran dalam
menentukan mana yang mujtahid dan mana yang bukan.
Namun, jumhur ulama berpendapat bahwa ijma tersebut mungkin terjadi, dan
kenyataannya, ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar seperti haramnya minyak babi,
nenek mendapat seperenam dalam warisan, dan terhijabnya cucu laki-laki dalam
warisan.24
Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau
suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas beragama Islam
atau minoritas penduduknya beragama Islam, pada negara-negara tersebut walau
penduduknya minoritas, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat
islam. Misalnya : India, mayoritas penduduknya beragama hindu, hanya sebagian kecil
24 Alaiddin Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta: Pt. Raja Grapindo Persada), 2004, h.80.
yang beragama Islam, tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat
Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemetintah dan parlemen India setelah
musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika kesepakatan
para mujtahid India itu dikatakan sebagai ijma, maka ada kemungkinan akan terjadinya
ijma pada masa Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat
dikatakan sebagai ijma lokal.
Dengan demikian ijma akan terjadi kalau para mujtahid yang ada di seluruh dunia
itu dikumpulkan di suatu tempat oleh pemerintah (ulil amri) untuk mewakili negaranya
dan disitu mereka diberi hak untuk membuat undang-undang yang mengatur kepentingan
bersama.
Sedangkan dalam pengumpulan itu para mujtahid harus memenuhi syarat-
syaratnya diantaranya adalah :
a) Memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an
b) Mumiliki pengetahuan tentang Sunnah
c) Menguasai bahasa Arab dan maqasid Al-Syariah.
2. Qiyas
Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang dipakai oleh para mujtahid
dalam upaya mereka berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang
hukumnya tidak disebabkan oleh nash secara tegas, dalam arti para ulama melakukan
qiyas untuk menemukan suatu hukum yang belum ada dalam nash tetapi dihubungkan
kepada peristiwa hukum yang sudah ada dalam nash.
Qiyas secara lugot ialah mengira-ngirakan sesuatu kepada sesuatu masalah yang
lain, sedangkan menurut istilah ialah dua asal (Al-Qur’an dan cabang) menyandarkan
sesuatu kepada sesuatu yang lain di dalam hukum, seperti menyandarkannya perasan
anggur kepada khammer di dalam haramnya dengan kumpulnya sesuatu yang
memabukkan.25
Qiyas menurut ulama usul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada
nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua
kejadian itu dalam dua illat hukumnya.26
Sedangkan qiyas menurut Imam Syarifuddin Yahya adalah membalikkan cabang
kepada asal di dalam hukum sohih yang syar’i karena ada illat yang kumpul di dalam
hukum.27 Dan Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati ialah
mengembalikan cabang kepada asal dengan ill’at yang mengumpulkan antara asal dan
cabang di dalam hukum seperti qiyasnya tanaman kepada gandum.28
Qiyas sebagai salah satu metode penerapan hukum yang disistematisasikan
ternyata mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan, sebelum adanya
pembakuan oleh Asyafi’i dan Al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia
25 Syeh Ibrahim Al-Bajury, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, (Semarang: Sarkatun Nu,r
Asia), h.58. 26 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT.Raja
Grapindo Persada, 1996), Cet Keenam. h.76. 27 Imam Syarifuddin Yahya al-Imriti, Lathoipul Isyarohj 28 Syeh Ahmad bin Muhammad Ad-Damyati, (Syarah Waroqot), (Semarang: Putra Semarang),
h.22.
masih dalam bentuknya yang bebas suatu penalaran liberal, spekulatif dan dinamis dalam
menentukan masalah. Qiyas sebagai penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut
juga dengan istilah penalaran (ra’y), ia berlaku mulai pada masa Rasulallah sebagai
embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah.29
As-syafi’i adalah sebagai pendiri atau pencetus qiyas karena dari beliaulah qiyas
mulai memakai aturan dan tidak liberal lagi.
Adapun unsur atau rukun qiyas adalah :
a) Ashl, yakni sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi sandaran qiyas.
Disebut juga dengan Al-Maqis Alayh atau Al-Musyabbahbih. Ashl ini harus
berupa nash Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma. Disamping itu ia juga harus
mengandung ill’at hukum.
b) Far’u (cabang), sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya, yakni yang
diqiyaskan, disebut juga dengan al-maqis atau dengan al-musabbah. Untuk
cabang ini harus memenuhi syarat :
1. Cabang ini tidak mempunyai hukum yang tersendiri,
2. Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashl.
3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashl,
4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashl.
29 Muhammad Roy, Usul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), h.6.
c) Hukum ashl, yakni hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hukum ashl harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
1. Hukum ashl harus merupakan hukum yang amaliyah,
2. Huku ashl maknanya harus logis atau rasional,
3. Hukum ashl bukan hukum yang khusus,
4. Hukum ashl masih tetap berlaku, apabila sudah tidak berlaku lagi
seperti sudah dimansukh, maka tidak bias dijadikan hukum ashl.
d) Illat hukum, yakni suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan dengan
ada dan tidak adanya hukum. Illat hukum harus memenuhi syarat-syarat
berikut :
1. Illat itu harus merupakan sifat yang nyata seperti memabukan dapat
diinderai adanya pada khamar.
2. Illat harus merupakan sifat tegas dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada
cabang,
3. Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum, dalam arti illat
merupakan penerapan hukum untuk mencapai tujuan syari’at, seperti
memabukkan ada kaitannya dengan keharaman khamar.
4. Illat bukan hanya terdapat pada ashl, sebab jika sifat itu hanya terbatas pada
ashl tidak mungkin dianalogikan, seperti kakhususan Rasulullah tidak bias
diqiyaskan kepada orang lain, dan
5. Illat tidak berlawanan dengan nash, jika berlawanan maka nash yang
didahulukan.30
3. Istihsan
Dalam bahasa Arab istihsan berarti menganggap sesuatu itu baik, adapun term
yang dipakai oleh ulama ushul adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang
bersandar pada dalil syara menuju kepada hukum lain yang bersandar pada dalil syara
pula, karena ada suatu dalil syara yang mengharuskan untuk meninggalkan dalil tersebut.
Dalam istihsan ada dua dalil dalam menetapkan hukum suatu hal atau peristiwa :
1) Dari segi dalil yang di tinggalkan dan dalil yang dipakai
a) Dari qiyas jaliy menuju qiyas khafry
Misalnya : menurut qiyas, hak pengairan dan jalan lintas yang ada dalam tanah
pertanian yang diwakafkan, tidak termasuk yang diwakafkan jika tidak disebutkan
dengan jelas
Menurut qiyas jaliy itu disamakan dengan jual beli, dalam jual beli, hak jalan
lintas dan pengairan tidak termasuk dan begitu pula dalam wakaf.
30 Saifudin Nur, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam), (Bandung:
Tafakur,2007), h.51-52.
Sedangkan dalam qiyas khafiy itu disamakan dengan sewa menyewa, dalam sewa
menyewa tanah pertanian hak jalan lintas dan pengairan itu termasuk karena
tujuannya tidak untuk memiliki, begitu juga dengan wakaf.
b) dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian
Misalnya : orang yang dititipi barang lalu barang tersebut hilang dengan
kelalainnya maka orang tersebut harus menggantinya. Kecuali sang ayah dititipi
oleh sang anak.
2) Dari segi sandaran istihsan, yaitu :
a) Dasar yang berupa qiyas, seperti contoh di atas.
b) Dasar berupa nash, seperti larangan menjual barang yang belum jelas atau tidak
ada, tetepi dalam istihsan itu diperbolehkan untuk salam (memesan) terlebih
dahulu.
c) Dasar yang berupa kebiasaan, seperti pemesanan barang, yang seharusnya tidak
sah, karena barangnya belum ada, akan tetapi menurut istihsan itu diperbolehkan.
Golongan Hanafiah istihsan dijadikan hujjah atau dalil hukum, begitu juga
sebagian besar golongan Malikiyah dan Hanabilah menggunakan istihsan dalam
menetapkan suatu hukum. Adapun Imam Syafi’i mengingkari istihsan sebagai hujjah dan
barang siapa yang beristihsan berarti ia telah mengadakan syariat sendiri, sedangkan yang
berhak mengadakannya hanyalah Allah dan Rasul-nya.
4. Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan) yang tidak disinggung-
singgung syara secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila
dikerjakan akan membawa manfaat. Dalam mashlahah mursalah diharuskan syarat-syarat
sebagai berikut :
a). Hanya berlaku dalam bidang mu’amalah, karena persoalan ibadah tidak berubah.
b). Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya.
c). Mashlahah ada karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
Imam Malik adalah seorang faqih yang paling banyak menggunakan mashlahah
mursalah, beliau beralasan bahwa Tuhan mengutus Rasulnya untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia.
Contoh dari mashlahah mursalah :
- Dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak ada nash yang melarang
mengumpulkan al-Qur’an dari hafalan kedalam tulisan,
meskipun demikian para Sahabat di zaman Abu Bakar untuk
menulis dan mengumpulkannya untuk kemashlahatan ummat
yang saat itu Sahabat yang hafal al-Qur’an banyak yang
meninggal.
- Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat
untuk sahnya gugatan dalam perkawinan, waris dan lain-lain.
5. `Urf
’Urf adalah apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, dengan kata
lain adalah adat kebiasaan. Seperti kebiasaan dalam ucapan walad yang biasanya
diartikan untuk anak laki-laki.
Secara garis besar ’urf di bagi menjadi dua :
1). ’Urf yang benar (shahih), yakni adat kebiasaan yang tidak menyalahi ketentuan syara
seperti membayar mahar (maskawin) di muka.
2). ’Urf yang rusak (fasid), yakni adat kebiasaan yang berlawanan dengan ketentuan
syara, atau membawa kerusakan seperti membiasakan transaksi-transaksi yang
bersifat riba.
Ada beberapa alasan pengambilan ’Urf, yaitu :
a. Syariat Islam dalam menetapkan hukum juga mempertahankan kebiasaan yang berlaku
pada bangsa Arab, seperti syarat kafa’ah dalam perkawinan.
b. Apa yang biasa dilakukan orang, baik ucapan maupun perbuatan, menjadi pedoman
hidup yang dibutuhkan selama mengandung kebaikan dan kemaslahatan.
BAB III
PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG PERAN
AKAL TERHADAP ISTIMBAT HUKUM ISLAM
A. Biografi Imam Syafi’i
Nasab Imam Syafi,i
Ayahnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib
bin Abid bin Abduyazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdul Manaf bin Qusha bin Kilab
bin Murrah, nasabnya dengan Rasulah bertemu pada Abdu Manaf bin Qushai.
Ibunya adalah Fathimah binti Abdullah bin Hasan Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan
keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i, istrinya Hamidah binti
Nafi bin Usman bin Affan.
Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i asal keturunan Quraisy, Ia dilahirkan pada
tahun 150 H, bertepatan dengan tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia
dilahirkan di Ghazzah, wilayah Palestina pada jum’at akhir pada bulan Rajab. Tatkala
umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar
penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanyapun
menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya
memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya. .31
31 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2005). h. 3-9 Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, (Bandug: PT. Al-Ma’arif, 1981), Cet, Kedua,
h.50. Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2000),Cet. Kesatu h.17.
Imam Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau diserahkan ke
bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan mereka hanya terbatas
pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru menajarkan sesuatu kepada murid-
muridnya, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman akal yang dimilikinya sanggup
menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya untuk
meninggalkan tempatnya, Syafi’i mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya
kepada anak-anak yang lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i
mendapatkan upah. Setelah menginjak umur yang ketujuh, Syafi’i telah menghafal
seluruh Al Qur’an dengan baik.
Syafi’i bercerita, “ketika saya mengkhatamkan Al Qur’an dan memasuki masjid,
saya duduk di majelis ulama. Saya menghafal hadits-hadits dan masalah-masalah fikih.
Pada saat itu, rumah kami berada di Makkah. Keadaan saya sangat miskin, dimana saya
tidak memiliki uang untuk membeli kertas, namun saya mengambil tulang-tulang
sehingga dapat saya gunakan untuk menulis.”
Ketika menginjak umur 13 tahun, ia juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an
kepada orang-orang di Masjidil Harram, ia memiliki suara yang sangat merdu.
Hakim mengeluarkan hadits dari riwayat Bahhar bin Nasr, ia berkata, “apabila
kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama kami”, pergilah kepada pemuda
kahfi!” apabila kami telah sampai kepadanya, ia mulai membuka dan membaca Al-
Qur’an sehingga manusia yang ada di sekelilingnya banyak yang berjatuhan
dihadapannya karena kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan kemerduan
Lihat juga : Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul Fikr,
2009M/1429H), Zuz Awal, h. 4 Muhammad bin Idris bin Syafi’i, Al-Umm, (Darul Wafa, 2005/1426), h. 6
suara yang dimilikinya, sedemikian tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga banyak
terkesan bagi para pendengarnya.”
Ia kemudian mulai belajar menghapal banyak hadits, untuk itu, ia turut serta
belajar pada guru-guru tafsir dan guru-guru ahli di bidang ilmu hadist. Pada masa itu
harga kertas sangat mahal, untuk mencatat pelajaran, ia mengumpulkan kepingan-
kepingan tulang yang lebar dan besar, di atas tulang belulang itulah ia menulis catatan-
catatannya. Bila tak ditemukan tulang, ia pergi ke Diwan (tempat masyarakat
mencatatkan berbagai urusannya dalam kehidupan sehari-hari, semacam kantor) untuk
mengumpulkan buangan kertas yang bagian belakangnya masih dapat digunakan untuk
menulis catatan pelajaran.
Sulit baginya untuk dapat memperoleh kertas, karena itu ia lebih menghandalkan
ingatan melalui cara menghapal. Karena kebiasaan itulah As-Syafi’i memiliki daya ingat
yang amat kuat, sehingga dapat menghapal semua pelajaran yang diterima dari guru-
gurunya.32
Guru-Guru Imam Syafi’i
1. Muslim bin Khalidaz-Zanji Mufti Mekkah tahun 180 H yang bertepatan
dengan tahun 760M, ia adalah Maula (budak) Bani Makzum.
2. Sufyan bin Uyai’inah Al-Hillali yang berada di Mekkah, ia adalah salah
seorang yang terkenal ke-Tsiqahannya (jujur dan adil).
3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang Madinah.
32 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999),
h.383.
4. Malik bin Annas. Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muattho’ kepada Imam
Malik setelah ia menghapalnya diluar kepala, kemudian ia menetap di
Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun
795 M.
5. Waki’ bin Jarrah bin Malik Al Kuf’i
6. Hammad bin Utsama al Hasyimi Al Kufi
7. Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bassri33
8. Muhammad bin Syafi’i paman beliau sendiri
9. Abbas kakeknya Imam As-Syafi’i
10. Fudhail bin Iyadl,
11. Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslamy Al-Madany
12. Muhammad bin Hasan
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman diantaranya :
1. Mutharif bin Mazin
2. Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi
Di dalam Ar-Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar tasyri yang
dipeganginya, ialah :
a) Al-qur’an menurut Dhahirnya,
b) As Sunnah walaupun ahad
c) Ijma dan
d) Qiyas
As-Syafi’i telah dapat mengumpulkan antara Tariqhat Ahlul Ra’yi dengan
Thariqhat Ahlul Hadits, lantaran itu menjadilah mazhabnya tidak terlalu cenderung
33 Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm , (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005). h.3-9.
kepada ahlul hadits dan tidak terlalu cenderung kepada ahlul ra’yi. Beliau menerima Al-
Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Qiyas dan Al-Istidlal. Tetapi menolak Istihsan yang dipegang
oleh Abu Hanifah dan maslahah Mursalah yang dipegang oleh Malik. Diantara kitab As-
Syafi’i yang terpenting yang sampai kepada kita adalah : Ar Risalah, dalam bidang Ushul
Fiqh, Al Umm dalam bidang Fiqh, Mukhtaliful Hadits dan Musnad dalam bidang Hadits.
Sahabat-sahabat As-Syafi’i dan pengembang-pengembang madzhabnya.
Pengikut-pengikut As-Syafi’i banyak tersebar di Hijaz, Irak, Mesir dan di daerah-
daerah lain.
Diantara sahabat-sahabatnya yang terkenal di mesir ialah :
- Abu Ya’qub Yusuf ibn Yahya Al Buwaithi
- Abu Ibrahim Isma’il ibn Yahya Al Muzani (wafat 264 H)
- Ar Rabi’ ibn Sulaiman ibn Abdil Jabbar Al Muradi (wafat 270 H)
- Ar Rabi’ ibn Sulaiman Al Jizi (wafat 256 H)
Kemudian madzhab beliau dikembangkan oleh beberapa ulama terkenal,
diantaranya :
- Abu Ishaq Al Fairuzzabidi (476 H)
- Abu Hamid Al Ghazali (505 H)
- Abdul Qasim Ar Rafi’i (623 H)
- Izuddin ibn Abdis Salam 9660 H)
- Muhyiddin An Nawawi (676 H)
- Ibnu Daqiqil Id (702 H)
Pada masa sekarang ini madzhab Syafi’i berkembang di Palestina, Yordania,
Libanon, Syria, Irak, Pakistan, India, Indonesia, dan Jazirah Indo Cina. Juga orang-orang
Persia dan Yaman yang sunni bermadzhab dengan madzhab As-Syafi’i sekitar 100 juta
ummat islam menganut madzhab As-Syafi’i. 34
Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik yang paling disayang, sehingga beliau
tinggal di rumah Imam Malik dan kehidupan beliau pun dibiayai oleh Imam Malik.
Sampai beliau kembali ke Mekkah tahun 181 H, beliau dipandang sebagai penganut
mazdhab Maliki, karena selama beliau berada di Irak, Syiria, Palestina yaitu di kota
Ramlah beliau masih mengajarkan kitab muwaththa’ karangan Imam Malik. Terus beliau
mempelajari fiqh Irak sebagai bahan pengembangan mazdhab Hanafi dan beliau langsung
belajarnya kepada ulama besar yaitu Muhammad bin Hasan, dari kedua mazdhab yang
beliau kuasai ternyata masih terdapat kekurangan-kekurangan, dari kekurangan-
kekurangan itulah beliau langsung mengadakan analisa dan sintesa antara kedua pendapat
itu. Kemudian beliau menetapkan pokok-pokok pikirannya dalam mengistimbatkan
hukum.35
Pokok-pokok pikiran beliau ini terbentuk setelah beliau kembali ke Mekah tahun
181 H , kemudian dikembangkan di Bagdad dan Mesir. Beliau mengarang atau menilis
buku-bukunya itu merupakan kumpulan dari pokok-pokok pikiran beliau sehingga
sangatlah mudah dalam mencari bahan-bahan dalam mempelajari mazhabnya.
34 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra,1999), h.123-125. 35 Muslim Ibrahim, M.A, Pengantar Fiqih Muqaaran, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama,
1991), Cet. II h. 94.
B. Biografi Imam Ja’far As-Siddiq
Nasab Imam Ja’far As-Siddiq
Ja’far Ash Shiddiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Ibunya adalah Ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-
Siddiq, pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi Muhammad SAW, dengan Abu
Bakar Ash-Siddiq RA.
Dilahirkan pada hari senin 17 Rabi’ul Awwal tahun 80 Hijriah di Madinah, pada
tahun yang sama dengan kelahiran pamannya, Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin dan
Imam Abu Hanifah.
Imam Ja’far lahir dengan rumah tangga ilmu, rumah tangga yang menjadi cermin
bagi ilmu pengetahuan di kota Madinah. Semua keluarga Nabi pada masa itu menjauhi
arena politik dan lebih mengutamakan keilmuan.
Kakek beliau adalah Ali Zainal Abidin , ia adalah seorang imam di Madinah
sedangkan ayah beliau adalah Muhammad Al-Baqir adalah pengganti ayahnya dalam
bidang ilmu yang menjadi tumpuhan para ulama disetiap daerah. Beliau dikunjungi oleh
ulama-ulama syi’ah, ahli sunnah, ahli hadits dan ahli fiqh. Diantaranya Sufyan Ats-
Tsauri, Sufyan Ibn Uyainah dari ahli hadist, dan Abu Hanifah dari ahli fiqh. Beliau juga
dikenal sebagai seorang mufassir al-qur’an dan mufassir hadist yang menyelami hikmah-
hikmah awamir dan nawahi serta. Dengan demikian Imam Ja’far memperoleh hikmah-
hikmah ilmu yang ditangkap oleh ayahnya. Al-Baqir yang wafat pada tahun 114 hijriyah
Ibunya juga datang dari keluarga ilmu beliau adalah cucunda Abu Bakar Ash
Shiddiq yang bernama Ummul Farwah binti Al-Qassim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Ayah tertua ja’far adalah Al-Qassim ( W. 180 H). besar dalam keadaan Ummul
mukminin Aisyah Al-Qassim sering meriwayatkan hadits-hadits Aisyah, ia termasuk
dalam golongan fuqh Sab’ah (tujuh ahlu fuqh) yang mengembangkan ilmu-ilmu Madinah
kepada para ulama yang datang sesudahnya, yang kemudian ditampung oleh Imam
Malik, Al-Qasimpun terkenal sebagai seorang ahli naqad, pandai menilai riwayat dan
sannad hadist.36
Imam Ja'far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hirarki dua belas Imam Maksum.
Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah As-Shadiq, Al-
Fadil dan At-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya
adalah putri dari Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.
Imam Ja'far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah
selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam
Muhammad Baqir selama sembilan belas tahun.
Setelah Syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja'far Shadiq menjadi
Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani
dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah SAW, melalui suksesi para Imam
sebelumnya.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya, Muhammad Al-Baqir disekolah
ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam, Ja’far adalah ulama
besar dalam banyak bidang ilmu seperti, ilmu filsafat, ilmu tasawuf, ilmu fiqh, ilmu
kimia, dan ilmu kedokteran. Beliau adalah mazhab yang keenam dari dua belas (12)
imam dalam mazhab syiah imamah.
36 Mahmud Salthut, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh, (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2000), Cet. Kesatu, h.9.
Ahli sunnah berpendapat bahwa Ja’far adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqh
yang mana beliau sudah mencapai ketingkat laduni, beliau dianggap sufi ahli sunnah
dikalangan syekh-syekh mereka yang besar, serta padanyalah tempat puncak pengetahuan
dan darah Nabi Muhammad SAW yang suci.
Imam Abu Hanifah berkata : saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far
bin Muhammad.37
Demikian mashurnya Imam Ja’far dalam masa hidupnya, sehingga Al-Mansyur,
Khalifah Abbasyiah kedua, selalu mengundangnya dengan hormat ke Istana,
memuliakannya, menanyakan pikiran-pikirannya, nasihatnya dan beberapa petunjuk. Abu
Muslim Al-Khurasani, pencipta kerajaan Abbasyiah, pernah menawarkan kedudukan
khalifah kepada Imam Ja’far Ash-Siddiq, tetapi ditampiknya.
Selanjutnya Zaid bin Ali menerangkan, bahwa Imam Ja’far banyak meninggalkan
tulisannya yang dapat membersihkan ibadat syiah, ia orang yang terpilih dalam kebajikan
dan ahli hadits dalam golonganya. Ad-Dawaniqi menerangkan, bahwa ia tiap
mengunjungi imamah Ja’far selalu menemuinya dalam tiga hal, dalam sembahyang,
dalam puasa atau dalam membaca al-qu’an dan bahwa dia seorang yang alim, ahli ibadat
dan ahli wara’, sementara ibn Al-Muqaddam tatkala ia menceritakan keadaan Imam
Ja’far menjelaskan bahwa imam tersebut adalah orang yang sangat ahli dalam ilmu fiqh.
Katanya, bahwa Abu Hanifah pernah pada suatu hari mengemukakan empat puluh
persoalan fiqh, yang dijawabnya dengan lancar, kemudian ia berkata engkau berkata
begini, ahli Madinah berkata begitu dan kami berkata begitu pendirian yang kami
kemukakan ini. Barangkali ada orang yang mengikuti kami, ada orang yang mengikuti
37 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta, PT.Lentera Basri Tama,
1999),Cet. Keempat h. XXiii
mereka atau orang yang menyalahi kita semua. Abu Hanifah menjawab, “bukankah orang
yang dianggap alim ialah yang banyak mengetahui perselisihan (ikhtilaf) diantara
manusia.38
Guru-Guru Imam Ja’far Ash-Siddiq
Walaupun orang-orang imamah menyatakan bahwa Ja’far seorang yang
mendapatkan ilham, segala imunya diperoleh dengan jalan ilham, tak pernah belajar
dengan seorang, namun kenyataan sejarah membuktikan kekeliruan anggapan itu. Guru-
guru yang utama yaitu :
1) Kakeknya, Ali Zainul Abidin. Inilah guru pertamanya. Zainul Abidin wafat
ketika Ja’far berumur 14 tahun. Zainul Abidin menerima ilmu dari tokoh-
tokoh ahlibait dan para tabi’in.
2) Ayahnya Muhammad Al-Baqir. Muhammad Al-Baqir adalah seorang guru
Abu Hanifah dan guru Zaid Ibn Zainul Abidin, yang selalu mengadakan
hubungan ilmiah dengan ulama-ulama Madinah
3) Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (ayah ibunya).
Al-Qasim meriwatkan ilmu Aisyah dan Ibnu Abbas. Al-Qasim seorang mujtahid
yang mempunyai pendapat sendiri. Wafat pada tahun 108 dikala Ja’far berumur 28 tahun,
dan diamping iu Ja’far belajar pula pada ulama-ulama tabi’in.39
Beberapa ulama dan imam dari kalangan ahli sunnah pernah menjadi murid Imam
Ja’far, mereka menimba ilmu dari Imam Ja’far tidak seperti seorang murid belajar kepada
38 Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah (rasionalisme dalam islam), Semarang:
CV.Ramadhani, 1980),Cet. Kedua h.108. 39 Teungku Muhammad Ash-Siddiqy, Pokok-Pokok Perbandingan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. II h.392-393.
gurunya, tetapi dengan jalan mengambilnya langsung dari pemikiran-pemikirannya.
Dengan jujur mereka mengakui ketinggian ilmu dan martabatnya sebagai ulama puncak
pada zamannya dan sebagai ulama dari Ahlul Bait Rasulullah saw, hal itu dinyatakan
terus terang oleh Syekh Sulayman didalam Al-Yanabi dan oleh Imam An-Nawawi di
dalam Ahdzib Al-Asma Wa Al-Lughot. Bahkan soal mengambil ilmu dari Imam Ja’far
oleh mereka dipandang sebagai kehormatan dan fadhilah, yaitu sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i di dalam Muthalib As-Sual.
C. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ja’far Ash-Siddiq Dalam Peran Akal
Terhadap Istinbat (penetapan) Hukum Islam
Mendudukan akal pada posisi yang penting, karena melihat fungsinya sebagai alat
untuk menyikap hikmah, dan dasar-dasar hukum – illat al-hukm-serta maksud dan tujuan
hukum (maqasid al-ahkam), akan mempunyai pengaruh besar dalam proses pengambilan
dan penetapan (al-istinbat) dan penetapan (at-tatboiq) hukum dari sumber-sumber wahyu
(nash) al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang
berdiri sendiri, melainkan, masih punya kaitan yang erat dengan sumber hukum lain.
Kendati demikian sisi urgensitasnya akal tersebut adalah, terletak dalam
kemampuannya dalam melihat serta memahami secara cermat, baik itu hikmah-hikmah,
dasar-dasar hukum, serta maksud hukum itu ditetapkan. Yang menurut syi’ah hal itu
harus selalu berada pada bingkai upaya memelihara dan menciptakan kemaslahatan dan
mencegah kemafsadatan.40
40 Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009),
h.124.
Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengaruh akal terhadap
proses pengambilan dan penetapan hukum islam, maka pengukurannya adalah dari :
a) Pendapat Imam Syafi’i
Penggunaan akal yang liberal telah memberikan lahan subur bagi berkembangnya
beraneka ragam hukum di masyarakat, tidak jarang satu permasalahan hukum
mendapatkan jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda pula. Ibn Muqaffa
menceritakan bahwa perbedaan pendapat tentang hukum telah menimbulkan situasi yang
sangat kacau, sehingga sesuatu yang dianggap halal di Hirah, bisa menjadi sesuatu yang
haram di Kufah, bahkan lebih dari itu, suatu kasus hukum bisa dianggap halal dan haram
disuatu daerah.
Berdasarkan fenomena ini, maka disuatu sisi, penggunaan akal akan memberikan
kedinamisan hukum, namun di sisi lain menimbulkan kekacauan di berbagai daerah
karena tidak adanya kesepakatan dan kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong
beberapa ulama untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi pengunaan akal
(ra’y). salah satu dari beberapa ulama tersebut yang berhasil melakukan pembatasan
penggunaan ra’y (akal) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i dengan menggunakan
metode qiyasnya.
Al-Syafi’i memang sengaja memformulasikan qiyas dengan syarat yang ketat
agar membendung penggunaan ra’y (akal) yang sewenang-wenang sebagaimana mazhab
hukum awal. Dan baginya ijtihad atau penalaran hukum yang sah dan boleh dilakukan
oleh seorang mujtahid, hanylah qiyas. Kemudian As-Syafi’i memberikan syarat-syart
seseorang boleh melakukan qiyas, yaitu menguasai bahasa arab dan unsur-unsurnya,
seperti nahwu, shorof, dan balaghah, mengetahui ajaran-ajaran al-qur’an, seperti etika
qur’ani, nasikh mansukh, dan lafad umum atau khusus, mendalami al-sunnah,
permasalahan-permasalahan yang disepakati dan diikhtilafi, dan menguasai logika yang
benar dan akal sehat. Dengan adanya syarat-syarat ini, maka pengalaman qiyas menjadi
sempit, karena seseorang mujtahid yang akan mengamalkan qiyas harus memenuhi
syarat-syarat yang cukup berat. Lebih dari itu, metode qiyas yang dimaksud oleh As-
Syafi’i, terbatas hanya untuk menyingkapkan hukum yang secara praktis ada di dalam
teks-teks keagamaan, meskipun keberadaannya samar atau tersembunyi.
Berdasarkan inilah As-Syafi’i memulai teori qiyasnya dengan keterangan tentang
nash. Baginya, nash adalah “teks yang hanya mengandung satu arti” atau ‘teks yang
penafsirannya adalah teks itu sendiri”. Disini jelas tidak ada peran ra’y dalam
menafsirkannya. Selanjutnya ia sengaja mempertentangkan ra’y dengan nash, dengan
demikian sesuatu yang tidak ada nashnya tidak beleh mendapatkan penafsiran dari ra’y,
sementara menurut syafi’i tidak satupun peristiwa yang terjadi pada seseorang, kecuali
terdapat dalil petunjuk tentang peristiwa tersebut dalam nash al-qur’an dan sunnah.
Dengan demikian akal tidak mendapat peran independen sama sekali dalam andil
memutuskan suatu hukum. Ini artinya konsep qiyas menurut As-Syafi’i hanyalah upaya
untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah ada dalam nash, sehingga secara tidak
langsung, ia membatasi peran akal mujtahid pengguna qiyas dalam mengetahui dalil-dalil
hukum yang berada diluar al-qur’an dan al-sunnah.
Pada masa itu terdapat permusuhan antara ahli hadist dan ahli ra’y yang saling
menghegemoni dalam memutuskan suatu hukum. Menurut As-Syafi’i, al-hadist hanya
menggunakan al-hadist saja dalam menggali hukum tanpa peran ra’y sama sekali, dan
juga sebaliknya, al-ra’y hanya menggunakan ra’y saja dalam menggali hukum tanpa
peran al-hadist sama sekali.
Dengan adanya pertentangan dari kutub itu, maka timbullah suatu ketidak
harmonisan dalam arti perselisihan antara ahli hadist dan ahli ra’y sehingga terjadilah
permusuhan dan pertentangan dalam penggalian hukum islam.
Berdasarkan kedua kutub ekstrim yang saling bertentangan ini, lantas As-Syafi’i
mencari jalan tengah, yaitu dengan teori qiyasnya, bahwa peran akal masih tetap
difungsikan, namun tidak bebas seperti halnya penggunaan ra’y, tetapi diarahkan sesuai
dengan nash agama, seakan As-Syafi’i telah menjadi aliran moderat, yang mencoba
menggabungkan dua ekstrim yang berbeda.41
Penggabungan yang dilakukan oleh imam Syafi’i telah menimbulkan
kegoncangan, turutama bagi mereka yang tidak setuju atau tidak mengakui dengan
adanya qiyas.
b) Pendapat Imam Ja’far As-Sidiq
Akal disini mempunyai peranan penting dalam proses pengambilan (al-istimbat)
dan penerapan dari sumber-sumber wahyu (nash) al-Qur’an dan la-Hadist, walaupun akal
tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masih punya
kaitan yang erat dengan sumber hukum yang lain.
Syi’ah sepakat menerima al-Qur’an dan Sunnah sebagai pokok-pokok dasar
hukum-hukum agama atau fiqh. Dari zaman Nabi sampai sekarang ini Qur’an itu
diterima sebagai sumber pertama untuk penerapan hukum, karena peraturan-peraturan
41 Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
h.41-45.
yang ada dalam al-qur’an itu dianggap sudah lengkap mengenai ibadat, mua’malah,
perorangan, pidana dan perdata yang tidak kurang dari lima ratus ayat, semuanya, dapat
mengisi hukum fiqh.
Sunnah bagi orang-orang syi’ah adalah penyempurnaan bagi Qur’an, merupakan
satu sumber yang tidak diragu-ragui lagi akan kebenarannya, ia hampir tidak berbeda
dengan al-Qur’an42
Akal mempunyai kedudukan dalam pandangan syi’ah imamiyah mereka
mengatakan bahwa akal mempunyai dua martabat :
a) Akal guna menghadapi qadliyah-qadliyah yang baru diyakini seperti tentang
ma’rifat kepada allah dan tentang nubuwwah.
b) Akal untuk menghadapi hukum terhadap masalah-masalah yang tidak
diperolehnash atau ijma.
Pendapat golongan imamiyah dalam hal ini memberikan kesempatan hukum
taklify dapat diketahui dengan akal saja.
Golongan Imamiyah mempergunkan akal :
1. Untuk menentukan mana yang bagus dan mana yang buruk, yang baik
menurut syara, yang buruk dilarang syara.
Mereka menetapkan akal menjadi hakim dalam menentukan hal-hal yang baik dan
hal-hal yang buruk, mengingat bahwa hal-hal itu ada yang baik zatnya, dan ada yang
buruk zatnya.
Golongan imamiyah berpendapat, bahwa segala yang diperintah akal harus
dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Dalam pada itu, bukan akal
42 Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme Dalam Islam, (Semarang: CV.
Ramadhani, 1980), Cet. Kedua h.197-198.
sendiri yang menyuruh dan melarang. Akal hanya menyikap perintah Allah dan larangan
Allah.
Jalan menetapkan bahwasannya akal dan larangan Allah.
I) Tidak ada suatu urusan, melainkan ada hukum Allah padanya. Maka jika ada
nash, nash itulah yang menyingkap hukum Allah. Jika tidak ada nash,
haruslah kita mempergunakan akal untuk menyikap hukum itu.
II) Allah menyuruh kita berilmu, melarang kita bersikap bodoh. Allah menyuruh
kita berilmu, adalah untuk mengetahui sifat-sifat perbuatan, baik atau buruk.
Kalau ada nash, atau ijma hendaklah dipergunakan akal untuk mengetahui
hukum itu.
III) Allah menyuruh kita berlaku adil dan ihsan, Rasulullah tidak pernah berbuat
sesuatu yang tidak baik menurut akal.43
Di kalangan ulama syiah filosof dan fuqaha akal dipandang sebagai sumber
pengetahuan yang sangat signifikan. Mereka menyadari fakta bahwa akal adalah sebuah
instrument yang mempunyai multimedia, sehingga dapat menghasilkan dan menyajikan
kebenaran. Karenanya, akal dipandang suatu hikmah (kebijakan), sebentuk pengetahuan
yang sangat diagungkan al-Qur’an dan al-Hadist.
Dalam pandangan syi’ah akal adalah ’sesuatu yang dapat melihat apa yang
tersembunyi dan mengungkapkan apa yang tidak diketahui’ karena itu, cahaya tidak
dapat dipisahkan darinya, sebab cahaya sesuatu yang menghapuskan kegelapan. Beliau
mengungkapkan bahwa, sifat-sifat akal itu berkaitan dan selaras dengan sifat para Rasul.
43 Teungku muammad hasbiash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),h.58.
Karena dalam al-Qur’an berulang kali dinyatakan bahwa fungsi para Rasul sebagai
pembawa petunjuk (huda atau hidayah) yang merupakan sifat Ilahi.
Adanya kesesuaian (mulazamah) antara hukum akal dengan hukum syari’at,
karena menurut ulama syi’ah, akal adalah hujjah. Dalam kapasitasnya sebagai hujjjah
Allah, akal dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami hukum-hukum syari’at, dimana
hukum syari’at itu mempunyai hikmah (illat) dan tujuan (maqashid al-hukm) secara
sempurna hanya bisa dipahami perantara akal.
Dalam hubungannya dengan ini, akal mempunyai dua fungsi : sebagai penyikap
“illat al-hukm dan penyikap maqashid al-hukm”.
Fungsi pertama : sebagai penyikap al-hukm. Akal merupakan suatu paktor dan
satu-satunya alat yang bisa menyikap sandaran, hikmah dan sebab-sebab hukum. Dengan
alasan bahwa, terkadang sandaran dan sebab-sebab hukum itu mengalami perubahan.
Fungsi kedua : sebagai penyikap tujuan hukum (maqashid al-hukm). Akal dalam
pandangan Syi’ah bisa menyikap sekaligus mengetahui tujuan dan maksud diturunkan
serta ditetapkannya hukum-hukum islam. Yakni untuk menciptakan kemaslahatan dan
kemafsadatan merupakan prinsip-prinsip hukum islam itu sendiri.
Para fuqaha syi’ah mengatakan “hukum-hukum islam adalah hukum bumi”,
dengan kata lain, hukum-hukum islam itu mempunyai kaitan erat dengan maslahat dan
mafsadat yang konkret (al-nafs al-amriyyah) yang ditunjukan untuk kepentingan umat
islam.
untuk menetahui sejauhmana tingkat pengaruh akal terhadap proses pengambilan
dan penetapan hukum, maka pengukurannya adalah dengan melihat kepada hasil
penetapan hukum itu sendiri, dengan difokuskan kepada dasar-dasar dan maksud atau
tujuan ditetapkannya hukum.
Oleh karena wilayah kajian akal dalam pandangan syi’ah tertuju pada bidang
hukum mua’malah, maka doktrin hukum (hasil penetapan hukum mazhab syi’ah) yang
akan dijadikan sampel untuk mengukur seberapa besar pengaruhnya akal tersebut, adalah
bidang, mua’malah. Salah satu hukum yang masuk dalam kategori ini adalah tentang
perkawinan, yang lazim disebut dengan al-ahwalal-syaksiyyah (hukum yang mengatur
hubungan kekeluargaan) yang secara khusus ditujukan pada persoalan nikah mut’ah.44
44 Jaenal Arifin, Diskursus Akal Dalam Pemikiran Hukum Syi’ah, (Jauhar, Vol, II, 2001), h. 45-48.
BAB IV
KOMFARASI PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM JA’FAR TENTANG
PERAN AKAL TERHADAP ISTIMBAT (PENETAPAN) HUKUM ISLAM
A. Persamaan Dan Perbedaan.Dalam Penggunaan Dalil
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum, mereka berselisih
tentang apa sajakah yang absah untuk dijadika sebagai dalil hukum, kalau diamati dengan
teliti akan tampak sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan definisi
terminologi, dan bukan disebabkan perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi
terminologi bukanlah salah satu penyebab terjadinya perbedaan pendapat ini, karena ada
hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
1. Persamaan
Dalil –dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma.
berbagai dalil selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal, ijtihad,
dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalil-dalil yang tidak diperselisihkan otoritasnya
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama setelah ijma.
Semua ulama, ahlil fiqih, mazhab dan aliran baik aliran Sunni atau Syi’ah itu
telah sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat dalam menentukan sumber hukum islam
yang pertama dan kedua, (Alqur’an dan Sunnah).
Dalam al-Qur’an tidak ada keraguan karena al-qur’an adalah sumber hukum dan
peraturan islam yang pertama. Tentu saja, ayat-ayat atau surah-surah dalam al-Qur’an
tidak terbatas pada hukum dan peraturan, melainkan ratusan jenis permasalahan telah
dimasukkan.
Sedangkan urutan yang kedua setelah al-Qur’an adalah as-Sunnah, dalam sunnah
inipun semua ulama sepakat bahwa sunnah dijadikan sebagai sumber hukum islam
setelah al-Qur’an.
2. Perbedaan
Perbedaan yang ada dalam sunnah yaitu tentang subyek sunnah yang menyangkut
dua hal, pertama adalah tentang apakah hanya sunnah Nabi yang mengikat atau apakah
hanya sunnah yang diriwayatkan oleh para imam yang suci juga mengikat. Kaum Sunni
hanya menganggap sunnah Nabi yang mengikat, sedangkan menurut kaum Syiah
mengacu pada perkataan, perbuatan, dan persetujuan para imam yang suci, sesuai dengan
hadist-hadist nabi yang kaum sunnipun telah mencatatnya .45
Ulama sunni setelah ijma menggunakan qiyas sebagai sumber hukum Islam,
dalam hal ini As-Syafi’i adalah ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas
qiyas, beliau berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Beliau menggunakan
qiyas dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantara dalil-
dalil yang beliau gunakan adalah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
45 Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.13-15.
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya46
Artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama, kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.47
Artinya : Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.48
Sedangkan yang di ambil dalam hadist Nabi :
نورشحت مكبر لىا مث ئش نم بتلكى اا فنطرفام Artinya : tidak ada satupun yang kami lupakan di dalam al-qur’an, dan sungguh kepada
tuhanmulah engkau sekalian akan kembali. اؤلى الابصرفاعتبروای
Artinya : Maka pikirkanlah (secara mendalam) wahai orang-orang yang memiliki 49 ةاذاوجدتھما فان لم تجد فھما اجتھد رایكافض بالكتاب والسن
Artinya: Tentukanlah hukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika ada di dalamnya, dan jika tidak ada pakailah pendapatmu.50
Berbeda dalam pandangan syi’ah, akal adalah sesuatu yang dapat melihat apa yang tersembunyi dan mengungkapkan apa yang tidak diketahui. Karenanya, cahaya
46 Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 130-133 47 Abd.Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), (Jakarta, PT. Raja
Grapindo Persada, 1996 ), Cetakan Keenam h. 80-81 48 Sulaiman Abdullah, sumber hokum islam, (Jakarta, Sinar Grapika, 1995), Cetakan Pertama h.
90-91 49 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta, PT. Raja
Grapindo Persada, 2002) h. 97 50 Harun Nasut ion, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta, UI-Press, 1986), Cetakan Kedua h.74
tidak dapat dipisahkan darinya, sebab cahaya adalah suatu yang menghapuskan kegelapan dan ketidakjelasan. Yang juga dikaitkan dengan akal dalam literatur syi’ah adalah sifat-sifat positif lain yang ada hubungannya dengan nama illahi cahaya, seperti kehidupan pengetahuan, kebenaran dan kejujuran.
)البقره(
Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu Hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (Qs. Al-Baqarah: 164-170).
)المائدة(
Artinya : Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah Karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Qs. Al-Maidah; 58)
)الحج(
Artinya : Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Qs. Al-Hajj ; 46)51
Syi’ah menggunakan hadist hanya yang diriwayatkan oleh imam mereka yakni
imam dua belas, selain yang dua belas itu mereka tiak mempergunakannya. Dari
kumpulan hadits-hadits syi’ah, yang diriwayatkan dari Imamimam syi’ah yang ma’sum
yakni :
51 Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h.
116
“Akal (‘iqal) adalah belenggu (‘iqaal) untuk melawan kebodohan. Jiwa adalah
seperti hewan yang paling buruk. Jika ia tidak mempunyai akal, ia berkeliaran dalam
kebingungan, sebab akal adalah belenggu untuk melawan kebodohan”.
“Tuhan menciptakan akal dan berkata padanya, “berpalinglah dariku”, maka ia
berpaling. Lalu ia berkata, demi kebesaran dan keagungan-ku, aku belum pernah
menciptakan makhluk yang lebih hebat daripadamu atau yang lebih patuh dibandingkan
dirimu. Melalui kamu aku akan memulai dan melalui kami puyla aku akan
mengembalikan. Apa yang mendukungmu akan mendapatkan pahala, dan qpa yang
melaweanmu akan mendapat hukuman”. 52
52 Jaenal Aripin, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h. 116-
118.
Persamaan antara Sunni dan Syi’ah
No Persamaan Perbedaan
1 dalam sumber hukum Islam, acuan
utamanya adalah Al-Qur’an
Jika dalam sunni, otoritas sumber
hukum setelah al-Qur’an dan al-
Hadist, maka otoritas selanjutnya
adalah Qiyas. Sedangkan dalam
Syi’ah, otoritas ketiga setelah Al-
Qur’an dan Hadist, otoritas ketiga
adalah akal
Ayat-ayat yang dijadikan dalil atau
landasan dalam Istimbat (penetapan)
sumber hukum islam
2 Dalam menetapkan hukum islam,
acuan kedua adalah Hadist
Dalam Sunni, hadist merupakan
sumber hukum yang menitikberatkan
pada subjek ketika hadist itu turun.
Ulama hanya berhak
menginterpretasikannya. Sedangkan
dalam Syi’ah, estafet kepemimpinan
islam diteruskan oleh seorang Imam
(teologi imamiyah). Yang dalam kasus
negara Iran, dilembagakan dalam
sebuah badan hukum islam yang
disebut wilayatul faqih. Yang
dimaksud disini adalah imam yang dua
belas.
B. Analisa Komarasi dan Implikasi
1.Analisa komfarasi
Dalam islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia, meski demikian bukan
berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama, islam memiliki aturan
untuk menetapkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun akal yang sehat akan
selalu cocok dengan syariat islam dalam permasalahan apapun.
Akal adalah kunci untuk memahami agama, ajaran dan hukum islam. Kita tidak
dapat memahami islam tanpa mempergunakan akal. oleh karena itu Nabi Muhammad
SAW, menyatakan dengan jelas bahwa agama adalah akal, tidak ada agama bagi orang
yang tidak berakal. Jika ungkapan ini dihubungkan dengan hukum, berarti tidak ada
hukum atau hukuman bagi orang yang tidak berakal atau gila. Akal, karena itu
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem agama islam, karena akal adalah wadah
yang menampung aqidah, syariat dan akhlak.
Bagaimana posisi dan peranan akal dalam ajaran islam, namun perlu ditegaskan
bahwa ia tidak boleh bergerak dan berjalan tanpa bimbingan, tanpa petunjuk. Petunjuk itu
datang dari Allah berupa wahyu yang membetulkan akal dalam geraknya. 53
Mendudukan akal pada posisi yang penting, karena melihat fungsinya sebagai alat
untuk menyikap hikmah, dan dasar-dasar hukum – illat al-hukm-serta maksud dan tujuan
hukum (maqasid al-ahkam), akan punya pengaruh besar terhadap proses pengambilan
(al-istinbat) dan penetapan (al-tatbiq) hukum dari sumber-sumber wahyu (nas) al-qur’an
dan al-hadits. Walaupun, akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri,
melainkan masih punya kaitan yang erat dengan sumber hukum yang lain.
53 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet Pertama,
h. 113.
Kendati demikian, sisi urgensitasnya akal tersebut adalah, terletak pada
kemampuannya dalam melihat serta memahami secara cermat, baik itu hikmah-hikmah,
dasar-dasar hukum, serta maksud hukum itu ditetapkan.54
Akal mempunyai pengaruh yang besar dalam pengambilan hukum islam, seperti
imam Syafi’i yang mempergunakan akal untuk pengambilan hukum yang melalui qiyas.
Penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat
al-hukm wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-
kasyf wa al-izhhar li-al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
terhadap illat dan suatu kasus yang sedang dihadapi.55
Qiyas secara embrio telah ada semenjak zaman nabi dan sahabat, dan semakin
menemukan bentuknya yang dinamis pada masa abu hanifah, ia berbentuk penalaran
bebas, rasional, dinamis dalam menemukan hukum. Namun setelah dikodifikasikan oleh
Imam Syafi’i, konsep qiyas menjadi sesuatu yang tidak independen karena harus
menyesuaikan dengan premis mayornya yang diambil dari teks suci.
Qiyas pasca Syafi’i difahami mirip dengan prinsip-prinsip silogisme Aristoteles,
yang terdiri dari premis-premis yang kongklusinya harus sesuai dengan premis
mayornya.56
Imam Syafi’i dan sebagian ulama memberlakukan qiyas dalam segala bidang
hukum syara sehingga hukum had, kaffarat, hukum-hukum yang ditentukan batasnya dan
54 Jaenal Aripin, Ma, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009),
h.124. 55 Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam System Hukum Islam, (Jakarta, El-SAS, 2008), Cet Pertama, h.106 56 Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),
Cet Pertama h.17.
hukum rakhshah, apabila syarat terpenuhi, karena dalil-dalil yang menunjukan
kehujjahan qiyas tidak membedakan yang demikian.57
Ja’far Al-Sidiq mengungkapkan bahwa, sifat-sifat akal itu berkaitan dan selaras
dengan sifat para rasul. Karena dalam al-Qur’an berulang kali dinyatakan bahwa fungsi
para Rasul sebagai pembawa petunjuk (huda atau hidayah) yang merupakan sifat Illahi.
Dan dalam mikrokosmis, petunjuk itu selalu melekat pada akal, maka, akal adalah analog
mikrokosmis para Rasul.
Jadi, analog antara akal dengan para rasul dalam hubungannya dengan petunjuk
adalah, rasul berkapasitas sebagai pembawa petunjuk, sedangkan akal adalah sebagai alat
untuk mencerna dan memahami petunjuk tersebut. Yakni alat-alat untuk memahami
syari’ah yang diturunkan oleh Allah SWT.
Dalam hubungan ini filosof safaviah-Mulla muhsin faydah kashani-
(w.1090/1679) mengemukakan bahwa : “akal adalah hukum (syari’ah) yang di
wahyukan dalam diri manusia, begitu juga hukum yang di wahyukan (syari’ah) itu pada
hakekatnya adalah akal di luar manusia……….” Pendeknya, sumber dari semua sifat
baik (al-husn) dan asal usul dari semua kesempurnaan adalah akal.58
Kemerdekaan, otoritas, dan keabsahan akal dalam pandangan syi’ah itu lebih
besar ketimbang dalam pandangan mu’tazilah.
Menurut riwayat-riwayat tertentu yang sangat kuat dari para imam, akal
merupakan internalisasi suara kenabian, sedangkan nabi adalah ekternalisasi akal. Dalam
57 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Pertama, h.99. 58 Jaenal Aripin, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, (Jakarta: UIN Press, 2009), h.118.
fiqih syi’ah, akal dianggap sebagai salah satu diantara empat sumber hukum utama yang
sah.59
Imam ja’far shadiq berkata, tinggalkanlah qiyas dan rakyu serta apa yang
dikatakan kaum itu dalam agama allah tanpa landasan.
Abu syaibah khurasani meriwayatkan bahwa imam ja’far shadiq berkata,
“sesungguhnya para pengguna qiyas menuntut ilmu dengan qiyas, sementara qiyas tidak
akan mendekatkan mereka kepada kebenaran kecuali menjauhkannya (dari kebenaran).
Sesungguhnya tidak dibenarkan dalam agama allah menggunakan qias-qiyas.
Imam ja’far shadiq menulis surat kepada pengguna rakyu dan qiyas. Kalian
mengatakan, tiada sesuatupun kecuali dapat dijangkau oleh akal dan pikiran kita,” maka
allah berpaling dari kalian sebagaimana kalian berpaling, mengabaikan dan menghinakan
kalian hingga kalian menjadi budak nafsu kalian, sementara kalian tidak merasakannya.
Seandainnya allah meridhai pandangan dan usaha kalian dalam hal ini, sudah tentu dia
tidak akan mengutus kepada kalian seorang rasul yang menyelesaikan masalah kalian dan
menyangkal pandangan kalian.60
2. Implikasi
Setelah Rasulallah wafat, permasalahan hukum semakin meningkat, dengan
meningkatnya permasalahan maka dibutuhkanlah penalaran dan penafsiran ulang
terhadap teks-teks keagamaan tersebut, yang dikenal dengan istilah ijtihad. Dalam
periode awal, akal (ra’y} merupakan alat pokok ijtihad, yang mendahului pertumbuhan
prinsip qiyas dan istihsan yang lebih sistematis. Ia merupakan cara membuat keputusan
yang bijaksana dan cermat yang disinari semangat kearifan dan keadilan islam.
59 Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.248. 60 Husain Nahrawi, Ja’far Shadiq, (Jakarta, Al-Huda, 2008), h.275-276.
Penggunaan akal (ra’y) untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap
oleh nash yang tidak terelakan pada masa pembentukan islam. Selama masa tersebut,
orang-orang mengambil jalan ra’y untuk mencari jawaban atas masalah-masalah yang
baru timbul dalam masyarakat. Penggunaan ra’y sebagai alat qiyas.
Asyafi’i adalah salah satu ulama yang berhasil melakukan pembatasan
penggunaan akal (ra’y) dengan metode qiasnya. Al-Syafi’i memang sengaja
memformulasikan dengan syarat-syarat yang sangat ketat, tujuannya adalah untuk
membendung penggunaan akal yang sewenang-wenang sebagimana mazhab awal,
baginya penalaran atau ijtihad yang sah dan boleh dilakukan oleh seorng mujtahid adalah
qiyas. Kemudian Al-Syafi’i memberikan syarat-syarat kepada seseorang yang ingin
melakukan qiyas, yaitu : menguasai bahasa arab dan unsure-unsurnya seperti nahwu,
sorof, dan balaghah, mengetahui ajaraj-ajaran Al-Qur’an seperti etika qur’ani, dan lafad
umum atau khusus, mendalami Al-Sunnah, permasalahan yang disepakti dan diihtilafi
dan menguasai logika yang benar atau akal sehat. Dengan adanya syarat-syarat ini, maka
pengamalan qiyas menjadi sempit karena seorang mujtahid yang akan mengamalkan
qiyas harus memenuhi syarat-syarat yang cukup berat. Lebih dari itu metode qiyas yang
dimaksud oleh Al-Syafi’i terbatas hanya untuk menyingkapkan hukum yang secara
praktis ada didalam teks.
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang
terdapat pada kasus yang memiiki nash, cara ini memerlukan kerja keras yang luar biasa
dan tidak cukup pemahaman dari lafad saja. Selanjutnya sang mujtahid mencari dan
meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nashnya, apabila ternyata
ada illat itu faqih menggunakan ketentuan hukum pada dua kasus itu didasarkan keadaan
illat. Kemudian yang diari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash
(hukum pokok). Selanjutnya jika illat tersebut ternyata betul terdapat pada kasus itu
adalah, satu ketentuan hukum yang terdapat pada nash menjalar pada kasus-kasus yang
tidak ada dalam nash.
Dengan demikian pendapat para jumhur ulama ushul mengatakan bahwa qiyas
bisa dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum syara. Bahkan
menurut jumhur mengamalkan qiyas adalah wajib. Aristoteles h. 36
Sedangkan menurut Syi’ah akal adalah salah satu sumber fiqih, kita kadang
menemukan suatu hukum syriat melalui dalil nalar (akal) maksudnya adalah melalui
penyimpulan dan logika nalar, penggunaan akal sebagai alat mencari jawaban atas
masalah yang tidak terdapat dalam nash dan sunnah itu sangat sederhana dan digunakan
dalam bentuk yang paling dasar, ia tidak dibatasi dengan syarat-syarat yang begitu ketat,
sehingga akal bisa mengembangkan suatu masalah yang terjadi, misalnya hukum
mencium istri dalam keadaan puasa diqiyaskan dengan hukum berkumur-kumur bagi
orang yang puasa.
BAB V
A. Kesimpulan
Pada uraian sebelumnya telah di paparkan tentang pandangan sunnah dan syiah
dalam pengaruh akal terhadap istimbat hukum islam maka penulis dapat menyimpulkan
inti dari permasalahannya adalah sebagai berikut
Pengaruh Akal Dalam Istimbat (penetapan) Hukum Islam Menurut Imam Syafi’i.
Penggunaan akal yang liberal telah memberikan lahan subur bagi berkembangnya
beraneka ragam hukum di masyarakat.
Berdasarkan fenomena ini, maka disuatu sisi, penggunaan akal akan memberikan
kedinamisan hukum, namun di sisi lain menimbulkan kekacauan di berbagai daerah
karena tidak adanya kesepakatan dan kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong
Syafi’i untuk menciptakan kesatuan hukum dan membatasi pengunaan akal (ra’y). salah
satu dari beberapa ulama tersebut yang berhasil melakukan pembatasan penggunaan ra’y
(akal) adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i dengan menggunakan metode qiyasnya,
qiyas As-Syafi’i yang telah membatasi penggunaannya sehingga tidak lagi menjadi
independent tetapi qiyas disini mernjadi hirarki dengan al-qur’an ataupun al-hadist.
Adapun Pengaruh Akal Dalam Istimbat (penetapan) Hukum Islam Menurut Imam
Ja’far. Akal disini mempunya peranan penting dalam proses pengambilan (al-istimbat)
dan penerapan dari sumber-sumber wahyu (nash) Al-Qur’an dan Al-Hadist, walaupun
akal tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masih punya
kaitan yang erat dengan sumber hukum yang lain.
Disini Imam Ja’far menggunakan akal sebagai hukum islam. Hukum apapun yang
diterapkan akal sama dengan hukum yang di tetapkan syari’ah, dan sebaliknya hukum
yang ditetapkan oleh syari’ah itu sama dengan yang ditetapkan oleh akal, jadi hukum
syari’at adalah hukum akal dan hukum akal adalah hukum syari’at. Ungkapan itu
menunjukan bahwa tidak ada kontradiksi antara hukum temuan akal dengan hukum
syari’at. Lagi pula, tidak ada hukum syariat yang tidak bisa dipahami dan bertentangan
dengan akal. Oleh karenanya, ada kesesuaian (mulazamah) antara hukum yang diterapkan
oleh akal dengan hukum yang diterapkan oleh syari’at.
1. Persdamaan dan perbedaan
Dalil –dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma.
berbagai dalil selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal, ijtihad,
dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalil-dalil yang tidak diperselisihkan otoritasnya
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama setelah ijma.
Semua ulama ahlil fiqih baik dari Sunni atau Syi’ah itu telah sepakat dan tidak
ada perbedaan pendapat dalam menentukan sumber hukum islam yang pertama dan
kedua, (Alqur’an dan Sunnah).
2. Perbedaan
Perbedaan yang ada dalam sunnah yaitu tentang subyek sunnah yang menyangkut
dua hal, pertama adalah tentang apakah hanya sunnah nabi yang mengikat atau apakah
hanya sunnah yang diriwayatkan oleh para imam yang suci juga mengikat. Kaum Sunni
hanya menganggap sunnah nabi yang mengikat, sedangkan menurut kaum Syiah
mengacu pada perkataan, perbuatan, dan persetujuan para imam yang suci, sesuai dengan
hadist-hadist nabi yang kaum sunnipun telah mencatatnya .61
Adapun pengaruh pemikiran dari kedua mazhab sangat berbeda antara imam
syafi’I dan imam ja’far, akan tetapi pengaruh dari pemikiran dari kedua imam tersebut
mempunyai peranan yang besar dan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, seperti
imam Syafi’i dengan qiyasnya sementara imam ja’far dengan akalnya yang sama-sama
dapat menetapkan suatu ketetapan hukum (istimbat hukum) yang jelas dan pasti serta
dapat digunakan oleh seluruh manusia terutama umat islam, dan sebagai jawaban dari
kebingungan umat islam yang tidak begitu mengerti tentang masalah suatu hukum.
B. Saran-Saran
Dengan demikian akhirnya penulis hanyalah menyarankan bahwasannya akal
adalah sebagai alat dalam penetapan hukum islam saja, karena dengan menggunakan akal
semua permasalahan-permasalahan atau peristiwa-peristiwa yang belum ada dalam nash
itu bisa terbuka dan di qiyaskan dengan dalil-dalil yang sudah ada dalam al-qur’an dan
sunnah. Jumhur ulama berpendirian bahwa qiyas itu adalah menjadi hujjah syari’at
(sumber hukum islam) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia dan berada pada
tingkatan keempat setelah ijma. Dengan demikian penulis mengajak kepada pembaca
khususnya dan kepada seluruh umat islam umumnya untuk mengakui bahwasannya qiyas
itu sumber hokum islam yang keempat, bukan akal. Karena dengan menggunakan qiyas
sebagai sumber hukum maka tidak seenaknya menggunakan akal tanpa ada batasan-
batasan.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfa’at dan positif sebagai suatu kajian
dari metode ushul fiqh yang lain.
61 Murtadha Murthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.13-15.
DAFTAR PUSTAKA
Al_Qur’an Aceh, Abubakar, Perbandingan Mazhab Syi’ah (Rasionalisme Dalam Islam),
Semarang, 1980, CV. Ramadhani, Cet. Kedua
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya), Jakarta, Sinar Grafika, 1995, cet, Pertama
Abu Zahrah,Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, PT. Logos, 1996, Cet pertama
Al-Bajury, Syeh Ibrahim, Khosyiatul Bajury A’la Matan Sulam, Sarkatun Nur Asia
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, Panduan Hukum Islam, Jakarta, Pustaka Azzam,
2000, Cet, Pertama Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam System Hukum Islam, Jakarta, El-SAS, 2008, Cet
Pertama Anshari, Ending Saifudin, Ilmu, Filsafat Dan Agama, Surabaya, , Bina Ilmu,
1990, Ardani, Moh. Qur’an-hadits, Jakarta, Depertemen Agama RI, 1986 Aripin, Jaenal, Jauhar Vol. II, No. 1, (Diskursus Akal Dalam Pemikiran Hukum
Syiah), Ciputat,2001, UIN Press, ------------, Rasionalitas Dalam Hukum Syi’ah Imamiyah, Jakarta, Uin press, 2009 Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, (Pengantar Ilmu Fiqh) Semarang,
1999, PT Pustaka Rizki Putra, Cet. Kedua Ash-Siddiqy, Teungku Muhammad, Pokok-Pokok Perbandingan Imam Mazhab,
Semarang, 1997, PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. Kedua Asy-Syarqawi, Abdurrahman, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Pustaka Hidayah,
1999 Bin Muhammad Ad-Damyati, Syeh Ahmad, (Syarah Waroqot), Semarang, Putra
Semarang
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet Pertama,
Effendi, Satria, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2005, Cet, Kedua Hallq, Wael B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada,
2001, Cet, Kedua Hasan, Ahmad, Al-Furqan (Tafsir Qur’an), Jakarta, PT. Tinta Mas, 1962 Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqih Muqaaran, Jakarta, PT. Gelora Aksara
Pratama, 1991, Cet. Kedua Ibnu Abdullah Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Mazzah, Bairut, Darul Fikr,
1990/1415 Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam(Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta,
PT. Raja Grapindo Persada, Cetakan Keenam Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta, pt. raja grapindo persada,
2004 Mahmassani, Sobhi, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandug 1981, PT. Al-Ma’arif,
Cet, Kedua Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta, 1999, PT.Lentera
Basri Tama, Cet. Keempat Munawir, Warson, A. Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: PT.
Pustaka Progresif, 1997), Edisi II, Cet Keempat Belas
Murthahhari, Murtadha, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta, Pustaka Zahra, 2003, Cet, Pertama
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi
Perbandingan System Hukum Islam, Yogyakarta, PT.Tiara Wacana Nahrawi, Husain, Teladan Abadi Ja’far Shidiq Sang Maha Guru, Jakarta, 2008,
Al-Huda, Cet, Kesatu Nasution, Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta, 1986, UI Press, Cet,
Kedua Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Dirasah Islamiyah IV),
Jakarta, PT.Raja Grapindo Persada, 2001, Cet. Kelima
Nur, Saifudin, M.Ag, Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum
Islam), Bandung, Tafakur,2007. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukun Allah (Syariah), Jakarta, PT.
Raja Grapindo Persada, 2002, Cet, Pertama, Roy, Muhammad, usul fiqh madzhab aristoteles,Yogyakarta, safiria insani press,
2004 Soheh Muslim, Zuz Awal, Sirkhotun Nur Ass’a. Syatibi, Moh. Kedudukan Akal Dalam Hukum Islam, Artikel Diakses Pada Tangal
17 Januari2010 dari http;//jurnal from digilib-uinsuka/ Salthut, Mahmud, Terjemahan Dari Kitab Muqaranatulmazdhab Fil Fiqh,
Bandung, 2000,, CV.Pustaka Setia, Cet. Kesatu Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm ,Jakarta, Pustaka Azzam, 2005. Subagya, P. Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta,
Rineka Cipta, 1990) Syukur, M. Asywadie,Lc, Perbandingan Mazhab, Surabaya, PT. Bima Ilmu, 1994 Usman, Suparman, Hukum Islam (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia), Jakarta, Gaya Media Pratama. Yahya al-Imriti, Imam Syarifuddin, Lathoipul Isyarohj Semarang, PT. Putra
Semarang. Abi Abdullah Muhammad Ibn Idris Assyafi’i, Al-Umm, (Bairut Libanon, Darul
Fikr, 2009M) Muhammad bin Idris bin Syafi’i, Al-Umm, (Darul Wafa, 2005/1426)