PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

199
www.belajarsyariahyuk.com Bagian I Bab 1 Mukadimah Pengertian Fiqh Secara bahasa, fiqh bermakna faham. Menurut istilah, Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif, “  Al „ilmu bi al ahkaam al syariyyah al „amaliyyah al muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah”. Yakni mengetahui hukum-hukum syarayang bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil- dalil yang terperinci. „al ilmpada definisi ini bermakna pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara yakin atau dzanni. Karena hukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan dalil yang bersifat qathI  atau pun dzanni.  Al ahkam bermakna tuntutan Allah sebagai pembuat hukum, atau khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf , baik berupa kewajiban, sunnah, larangan, makruh atau mubah. Menurut ahli fiqh, yang dimaksud dengan khitab Allah adalah seperti kewajiban shalat, haramnya membunuh, mubah-nya makan dan lainnya.  Al syariyyah adalah hukum yang diambil dari syara. Dengan demikian, terdapat pengecualian terhadap hukum-hukum yang bersifat hissiyah, seperti matahari bersinar, atau hukum-hukum eksakta, seperti dua ditambah 2 ada empat, atau hukum-hukum bahasa, seperti  fail hukumnya marfu dan sebagainya.  Al „amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan amaliyah (aktifitas), baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya, seperti membaca al Quran, Tujuan:

Transcript of PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

Page 1: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 1/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bagian IBab 1 Mukadimah 

Pengertian Fiqh

Secara bahasa, fiqh bermakna faham. Menurut istilah, Imam Syafiimemberikan definisi yang komprehensif, “ Al „ilmu bi al ahkaam al syar‟iyyah al

„amaliyyah al muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah”. 

Yakni mengetahui hukum-hukum syara‟ yang bersifat amaliyah  yangdidapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. „al ilm‟ pada definisi ini bermaknapengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara yakin atau dzanni. Karenahukum yang terkait dengan amaliyah ditetapkan dengan dalil yang bersifatqath‟I  atau pun dzanni.

 Al ahkam bermakna tuntutan Allah sebagai pembuat hukum, atau khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf , baik berupa kewajiban,sunnah, larangan, makruh atau mubah. Menurut ahli fiqh, yang dimaksud

dengan khitab  Allah adalah seperti kewajiban shalat, haramnya membunuh,mubah-nya makan dan lainnya.

 Al syar‟iyyah adalah hukum yang diambil dari syara‟. Dengan demikian,terdapat pengecualian terhadap hukum-hukum yang bersifat hissiyah, sepertimatahari bersinar, atau hukum-hukum eksakta, seperti dua ditambah 2 adaempat, atau hukum-hukum bahasa, seperti  fa‟il  hukumnya marfu‟  dansebagainya.

 Al „amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan amaliyah (aktifitas),baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya, seperti membaca al Qur‟an,

Tujuan:

Page 2: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 2/199

www.belajarsyariahyuk.com

shalat, jual beli dan lainnya. Batasan ini menafikan hukum-hukum yang bersifahI‟tiqadi  (aqidah), seperti mengetahui bahwa Tuhan itu esa, dan sejenisnya.  Al

muktasab  artinya yang dihasilkan dari prosesi ijtihad ulama, dengan demikian,dikecualikan ilmu Allah, malaikat Allah, ilmu Rasul yang didapatkan dariwahyu. Al adillah al tafshiliyyah adalah dalil-dalil yang terdapat dalam al Qur‟an,hadits, ijma‟ atau pun qiyas.

Obyek pembahasan fiqh adalah tindakan orang-orang mukallaf , atausegala sesuatu yang terkait dengan aktifitas orang mukallaf . Adakalanya berupatindakan, seperti melakukan shalat, atau meninggalkan sesuatu, seperti mencuri,atau juga memilih, seperti makan atau minum. Yang dimaksud dengan mukallaf  adalah orang-orang baligh yang berakal, dimana segala aktifitas mereka terkaitdengan hukum-hukum syara‟ (Zuhaili, 1989, I, hal. 15-17).

Ruang Lingkup Fiqh

Ruang lingkup pembahasan fiqh sangat luas sekali, ia mencakuppembahasan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusiadengan diri pribadinya, atau manusia dengan masyarakat sekitar. Ilmu fiqhmencakup pembahasan tentang kehidupan dunia hingga akhirat, urusan agamaatau pun negara serta sebagai peta kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Untuk tujuan tersebut, hukum-hukum fiqh sangat terkait dengan segalaaktifitas yang dilakukan oleh seorang mukallaf , baik berupa ucapan, tindakan,akad, atau transaksi lainnya. Secara garis besar dapat dikategorikan menjadi;

  Hukum Ibadah (fiqh ibadah) yang meliputi; tata cara bersuci, shalat,puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah, dan aktifitas sejenis terkait denganhubungan seorang hamba dengan Tuhannya.

 

Hukum Muamalah (fiqh muamalah) yang meliputi, tata cara melakukanakad, transaksi, hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkaitdengan hubungan antar manusia atau dengan masyarakat luas

Untuk fiqh muamalah, pembahasan yang ada sangat luas, mulai dari hukumpernikahan, transaksi jual beli, hukum pidana, hukum perdata, hukumperundang-undangan, hukum kenegaraan, ekonomi dan keuangan, akhlak danetika (Zuhaili, 1989, I, hal. 19-21).

Sekilas Ulama Madzhab

Sebagaimana diketahui, ulama madzhab yang lazim dikenal adalahImam Abu Hanifah sebagai pendiri madzhab Hanafi, Imam Syafii pendirimadzhab Syafii, Imam Malik pendiri madzhab Maliki, dan Ahmad bin Hanbalsebagai pendiri madzhab Hanbali.

Page 3: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 3/199

www.belajarsyariahyuk.com

Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit, 80-150 H, pendiri Madzhab Hanafi)

Beliau bernama Nu‟man bin Tsabit bin Zuwatha al Kuufi, dilahirkan di

Paris al Ahrar tahun 80 H dan meninggal tahun 150 H. Beliau hidup pada duadinasti, yakni dinasti Umawiyyah dan Abbasiyyah. Beliau termasuk tabiit tabi‟in,dikatakan beliau adalah tabi‟in karena pernah bertemu dengan Anas bin Malik.Beliau seorang pedagang kain di Kufah.

Beliau merupakan ahli fiqh Irak, pendiri madzhab Hanafi. Beliau belajarilmu hadits dan fiqh dari banyak ulama ternama. Belajar ilmu fiqh secara khususdengan Hammad bin Sulaiman selama 18 tahun yang beraliran fiqh Ibrahim alNukha‟i. Di antara murid beliau yang terkenal adalah Abu Yusuf (113-182 H),seorang hakim pada pemerintahan Harus al Rasyid. Beliau ini memiliki andilyang cukup besar dalam menyebarkan madzhab Hanafi. Kemudian Muhammad

bin Hasan al Syaibani (132-189 H), bersama dengan Abu Yusuf mengembangkanmadzhab Hanafi, Abu Hudzail dan Hasan bin Ziyad al Lu‟lui (Zuhaili, 1989, I,hal. 29-30)

Malik bin Anas (93-179 H, pendiri Madzhab Maliki)

Beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Abi „Amir, dilahirkan pada masaWalid bin Abdul Malik dan wafat di masa Harun ar Rasyid di kota Madinah.Beliau hidup pada dua dinasti, yakni dinasti Umawiyyah dan Abbasiyyah,sebagaimana Imam Abu Hanifah. Beliau belajar dari ulama Madinah, sepertiAbdurrahman bin Harmuz, Nafi‟ Maula bin Umar bin Syihab al Zuhri, dan

Rabi‟ah bin Abdurrahman.Beliau adalah seorang imam dalam ilmu hadits, dengan karya beliau

yang sangat fenomenal, yakni kitab „al muwattha‟. Di antara murid beliau adalahAbu Abdullah Abdurrahman bin Qasim, Abu Muhammad Abdullah bin Wahabbin Muslim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdullah bin Abdul Hakim, dan lainnya(Zuhaili, 1989, I, hal. 31).

Muhammad bin Idris as Syafii (150-204 H, pendiri Madzhab Syafii)

Beliau adalah Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al Quraisy al

Hasyimi bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟. Nasab beliau bertemu denganRasulullah saw pada kakeknya Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di GhazaPalestina tahun 150 H, dan wafat di Mesir tahun 204 H.

Ketika berusia 2 tahun, ayah beliau meninggal dunia, kemudian sang ibumembawa beliau pindah ke Mekkah, tempat kelahiran ayahnya, dan hidup disana dalam keadaan yatim. Beliau belajar di Mekkah dengan Muslim bin Khalidal Zanji, dan diizinkan untuk memberikan fatwa pada saat berusia 15 tahun.Kemudian, beliau pindah ke Madinah, belajar dengan Imam Malik. Beliaumampu menghafalkan kitab al muwattha‟ dalam waktu 9 malam.

Page 4: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 4/199

www.belajarsyariahyuk.com

Kemudian, beliau pindah ke Yaman, pindah ke Baghdad pada tahun 183H dan belajar fiqh dengan Muhammad bin Hasan tentang kitab fiqh orang Irak.

Beliau bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal di Mekkah tahun 187 H, dan diBaghdad tahun 195 H, dan belajar dengannya tentang ilmu fiqh dan ushul, sertanasikh mansukh.

Karya beliau yang paling poluler adalah kitab „ Al Risalah‟  , kitab yangpertama kali membahas tentang ilmu ushul fiqh, serta kitab „ Al Umm‟ yang berisitentang fiqh madzhab Syafii. Di antara murid beliau adalah Yusuf bin Yahya,Abu Ibrahim Ismail bin Yahya, Rabi‟ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar, dan lainnya(Zuhaili, 1989, I, hal. 35-37)

Ahmad bin Hanbal al Syaibani (164-241 H, pendiri Madzhab Hanbali)

Beliau adalah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al Syaibani, lahir danwafat di Baghdad pada bulan Rabi‟ul Awwal. Beliau memiliki perjalanankeilmuan yang cukup panjang, yakni di Kufah, Bashrah, Makkah, Madinah,Yaman, dan Syam. Beliau juga belajar fiqh dengan Imam Syafii ketika diBaghdad.

Beliau pernah di penjara pada zaman Ma‟mun, Mu‟tashim karena fitnahkemakhlukan al Qur‟an. Di antara murid beliau adalah Shalih bin Ahmad binHanbal yang merupakan anak tertua beliau, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,Abdul Malik bin Abdul Hamid, Ahmad bin Muhammad bin Hijaj, dan lainnya(Zuhaili, 1989, I, hal. 38-40).

Konsep Dasar Fiqh Muamalah

Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiapdimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam iniberusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau punetika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengandialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yangdilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandarantransendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsepdasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadapnilai-nilai humanisme. Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagaiberikut;

Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalahdiperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengandemikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarangsepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih  melarangnya.

Page 5: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 5/199

www.belajarsyariahyuk.com

Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisamelakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang

memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapatsyariat dari-Nya.

Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yangditurunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan(sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturandalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodirtransaksi modern yang berkembang.

Konsen Fiqh Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan

Fiqh muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidakmenurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatanhidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruanggerak kehidupan manusia. Ibnu Taimiyah berkata: “Syariah diturunkan untukmewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, mengeliminasi danmereduksi kerusakan, memberikan alternatif pilihan terbaik di antara beberapapilihan, memberikan nilai maslahat yang maksimal di antara beberapa maslahat,dan menghilangkan nilai kerusakan yang lebih besar dengan menanggung

kerusakan yang lebih kecil”1

.

Menetapkan Harga yang Kompetitif2 

Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli iaseorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barangkebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah(kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biayaproduksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidakbegitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.

Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar ), karena hal ini berpotensi

menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen.Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang men-supply  barang akan diberi rizki,dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat”3 dalam hadits lain Rasulbersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah

1 Mausu’ah Fiqh Ibnu Taimiyah, bahasan (maslahah/ 2)

2lihat dalam kitab “Mabahits fi al Iqtishad al Islami min Ushulihi al Fiqhiyyah” hal. 116

3Ibnu Majah dalam al Tijarat , bab Al Ikhtikar fi al Aqwat 

Page 6: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 6/199

www.belajarsyariahyuk.com

(mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jikamenaikkannya, maka ia akan bahagia”4.

Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktikmakelar (simsar ), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secaralangsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara.Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad5, yakni transaksiyang menggunakan jasa makelar.

Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapatmemicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalamhadits lain Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi

rukban6” yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke

pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembalidi pasaran dengan harga yang lebih tinggi.

Meninggalkan Intervensi yang Dilarang

Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimanikonsepsi qadla‟ dan qadar   Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telahAllah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagianhamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangankepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupunikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai

materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yangsedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadapakad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullahbersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedangdilakukan oleh saudaranya”7.

Menghindari Eksploitasi

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orangyang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslimadalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya…, barang siapa memenuhi

kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang

4 Jami’ al Ushul  1/595 nomor 438

5 Hadir lilbad   adalah transaksi jual beli dimana seorang makelar datang langsung kepada produsen di daerah-daerah,

kemudian barang tersebut di jual di perkotaan dengan harga lebih tinggi, diriwayatkan Imam Bukhari dalam al Buyu’ bab

 Laa Yasytar Hadir lilbad fi al Simsarah, dan Imam Muslim dalam al Buyu’ bab Tahrim Bai’ al Hadir lilbad 6Talaqqi rukban adalah transaksi jual beli dimana pembeli menjemput produsen yang sedang berjalan menuju pasar di

 pinggiran kota, sebelum mereka sampai di pasar, kemudian mereka menjualnya kembali di pasar dengan harga yanglebih mahal. Diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dalam bab Hadir lilbad

7Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam al Buyu’ bab Laa yabi’ ‘ala bai’ akhihi

Page 7: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 7/199

www.belajarsyariahyuk.com

siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akanmenghilangkan bebannya di hari kiamat nanti”8.

Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasisesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan caramenaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak bolehmemanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu,Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangatmembutuhkan (darurat)9, Allah berfirman: “dan janganlah kamu kurangkan bagimanusia barang-barang takaran dan timbangan” (QS. Al A‟raf:85). 

Memberikan Kelenturan dan Toleransi

Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingindirealisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisadipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatanlainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan denganmemper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait.Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalamtransaksi jual beli.

Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debituryang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankansedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling  piutang yang telah jatuhtempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di

samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang inginmembatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annyaterhadap obyek transaksi (inferior product).

 Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun,kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip inidalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstickkebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahandorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan

keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.

Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memilikinilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selaludalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullahmemberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, “Seorang pedagang yang

8Diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi

9Lihat Sunan Abu Dawud dalam al Buyu’ bab Bai’ al Mudlthar 

Page 8: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 8/199

www.belajarsyariahyuk.com

amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi,  siddiqin  (orang jujur) dansyuhada”10.

Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalahpenipuan ( ghisy). Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkandengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengankriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilaiobyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak dihalalkan bagipribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa iamemberikan informasinya”11.

Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harusdiperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya

 gharar   dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu

perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yangtertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yangterkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkankonflik.

Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harusmelakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya.Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untukmenjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirmandalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrakbisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullahbersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional

dalam menjalankan pekerjaannya”12.

Pertanyaan:

10HR Turmudzi dalam bab Al Buyu‟ bab Maa Jaa fi al Tujjar

11 HR Bukhari, hadits hasan12  Pembahasan tentang konsep dasar fiqh muamalah, penyusun ambil dari karya Dr Muhammad Ruwas Qal‟ah Gie,  Al

 Muamalat al Maaliyah al Mu’ashirah fi Dlaui al Fiqh wa al Syari’ah, 1999, Beirut.

Page 9: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 9/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN IITEORI-TEORI FIQH 

Bab 2  Teori HakTujuan:

Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan darikehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akantimbul hak dan kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual belimisalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dankewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjualuntuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan hargabarang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akandibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.

Kata hak berasal dari bahasa Arab „haqq‟ yang memiliki beberapa makna.Di antaranya, hak bermakna „ketetapan‟ atau „kewajiban‟ hal ini bisa dipahamidari firman Allah dalam surat Yasin ayat 7. Begitu juga dalam firman Allah QS.Al-Anfal ayat 8. atau juga dalam QS. Yunus ayat 35.

Secara istilah, hak memiliki beberapa pengertian dari para ahli fiqh.Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemaslahatan yangboleh untuk dimiliki secara syar‟i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, hak adalahsebuah keistimewaan yang dengannya syara‟ menetapkan sebuah kewenangan(otoritas) atau sebuah beban (taklif ). (Zuhaili, 1989, IV,hal. 9).

Page 10: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 10/199

www.belajarsyariahyuk.com

Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atashamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga

masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hak kepemilikan, atau hak yangbersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipatuhiseorang isteri bagi seorang suami. Atau juga masuk dalam ranah publik, sepertihak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak finansial, seperti hakmenerima nafkah, dan lainnya.

Kata kewenangan dalam definisi di atas, ada kalanya berhubungandengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah) atau juga berhubungandengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan. Sedangkan kata „taklif ‟ada kalanya merupakan sebuah kewajiban atas diri manusia yang bersifatfinansial, seperti membayar hutang, atau merealisasikan sebuah tujuan tertentu,seperti seorang pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaannya.

Dalam ajaran Islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan padasumber-sumber yang dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara‟. Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuanhukum syara‟. Tidak akan ditemukan sebuah hak syar‟i tanpa adanya dalil syar‟i yang mendukungnya.

Dengan demikian, sumber hak adalah Allah SWT, karena tiada hakimselain Dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusiamemiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain, tiada kewenanganuntuk merusak atau menginjak-injak hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak

harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkankemadlaratan bagi orang lain.

Hak Allah

Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepadaAllah, menyembah dan mengabdi kepada-Nya, menegakkan syariat agama-Nya.Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, haji, zakat,amar ma‟r uf nahi munkar , dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untukmewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak

dikhususkan pada individu tertentu, seperti penegakan hukum potong tanganbagi para pencuri, penegakan hukuman atau had  bagi para pezina, pemabuk,atau pelaku tindak kriminal lainnya.

Hak Allah ini tidak bisa dilanggar atau pun digugurkan, tidak bisaditolerir atau pun dirubah. Had  potong tangan bagi pencuri, tidak bisadigugurkan hanya karena orang yang kecurian memaafkan kesalahan pencuri.Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwariskan. Ahli waris tidak diwajibkan untukmenanggung ibadah yang ditinggalkan pewaris, kecuali terdapat wasiat, ahliwaris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan dan dosa pewaris.

Page 11: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 11/199

www.belajarsyariahyuk.com

Hak Anak AdamAdalah hak-hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan

seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, hartabenda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkanpermusuhan dan lainnya. Atau bersifat khusus, seperti menjaga kepemilikan,hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugiseseorang atas hartanya yang dirusak, hak seorang isteri atas nafkah suami, danlainnya. Hak anak Adam bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasantertentu, bisa juga diwariskan.

Hak MusytarakPersekutuan hak antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun, ada

kalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya, masa iddahseorang isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupamenjaga percampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya.Dalam konteks ini, hak Allah yang dimenangkan, karena menjaga percampurannasab lebih umum kemanfaatannya bagi masyarakat publik.

Contoh kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dalam hak initerdapat hak Allah, yakni membebaskan masyarakat dari tindak kriminalpembunuhan. Selain itu, terdapat hak wali orang yang terbunuh, yakni

menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya denganmatinya orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anakAdam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas  adalah adanyapersamaan.

Dalam contoh kedua, hak anak Adam yang dimenangkan. Implikasinyaadalah hak tersebut bisa dinegosiasikan, wali orang yang terbunuh, dibolehkanuntuk memaafkan dosa pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengankompensasi yang disepakati, atau jalan lain yang disetujui bersama. (Zuhaili,1989, IV,hal. 13-17).

Hak Anak AdamHak anak Adam bisa dikategorikan dengan hak yang bisa digugurkan dan

hak yang tidak bisa digugurkan. Secara asal, hak anak Adam bisa digugurkan,berbeda dengan dzat (benda). Seperti hak qishas, hak syuf‟ah atau hak khiyar . Adapun hak anak Adam yang tidak bisa digugurkan adalah sebagai berikut;

  Hak-hak yang belum ditetapkan keberadaanya. Seperti keinginan isteriuntuk menggugurkan hak nafkahnya di masa mendatang, seorangpembeli yang menafikan hak khiyar ru‟yah  sebelum melihat obyek

Page 12: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 12/199

www.belajarsyariahyuk.com

transaksi, dan hak lain yang sejenis. Hak ini tidak bisa digugurkan,karena hak tersebut belum ditemukan.

 

Hak-hak yang telah ditetapkan syara‟  yang bersifat mengikat terhadapdiri seseorang, seperti hak perwalian seorang ayah atau kakek terhadapanak dan cucunya, perwalian wakif terhadap barang wakaf, dll

  Hak-hak yang apabila digugurkan akan merubah hukum-hukum syara‟.

Seperti hak orang yang melakukan talak untuk ruju‟ terhadap isterinya,hak orang yang memberikan hibah untuk merujuk barang yangdihibahkan. Pemilik harta menggugurkan hak kepemilikannya atas harta,sehingga harta tersebut menjadi tidak bertuan. Hal ini dilarang oleh syara‟ ketika dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Allah berfirman dalamQS.Al Maidah:103

  Hak-hak yang terkait dengan hak orang lain, seperti hak seorang ibu

untuk menerima perawatan, hak orang yang men-talak atas masa iddahisterinya, hak orang yang kecurian atas had  pencuri. Hak ini tidak bisadigugurkan, karena berhubungan dengan hak orang lain.

Ulama fiqh sepakat, hak-hak yang dimaksudkan sebagai penguat sebuahtransaksi, boleh untuk diwariskan. Seperti hak untuk menahan marhun (barangyang digadaikan, jaminan) sampai hutang bisa dilunasi, hak menahan obyektransaksi hingga pembeli menyerahkan uang, hak atas kafalah biddaian. Hak-hakini bisa diwariskan, karena bersifat lazim.

Ulama Hanafiyah menyatakan, hak dan manfaat tidak bisa diwariskan.Karena, hukum waris hanya terkait dengan harta benda, sedangkan hak dan

manfaat bukanlah harta. Ada pun hutang bisa diwariskan, karena ia merupakanharta secara hukum, dan bisa ditemukan dalam kekayaan orang yang berhutang.Ulama selain madzhab Hanafiyah menyatakan, hak, manfaat dan hutang bisadiwariskan, karena semuanya merupakan harta. Hal ini dilandaskan pada sabdaRasulullah SAW:‟Barang siapa meninggalkan harta atau hak, maka untuk ahliwarisnya, dan barang siapa meninggalkan beban atau keluarga, maka menjaditanggunganku‟ (HR Bukhari Muslim). (Zuhaili, 1989, IV, hal.18). 

Hak Finansial

Adalah hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yangobyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas hargabarang (uang), hak pembeli atas obyek transaksi (rumah, mobil), hak syuf‟ah, hakkhiyar , hak penyewa untuk menempati rumah, dan lainnya.

Ada pun hak non-finansial adalah hak yang terkait dengan sesuatu selainharta, seperti hak qishas, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk talak karenatidak diberi nafkah, hak sosial atau politik, dan lainnya.

Page 13: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 13/199

www.belajarsyariahyuk.com

Hak Syakhsi dan Hak Aini

Hak syakhsi  adalah hak yang ditetapkan oleh syara‟ untuk kepentinganseseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya hargabarang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi(rumah), hak seseorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di-

 ghosob atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorangpenitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yangdititipi.

Hak ‚aini  adalah kewenangan yang ditetapkan oleh syara‟  untukseseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memilikikewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memilikikewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan

memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkannya tanpaseizin pemiliknya.

Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak ‚aini, terdapat beberapa halyang harus diperhatikan;

  Hak ‚aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekali punbenda tersebut berada di tangan orang lain. Misalnya, harta milikseseorang dicuri lalu dijual kepada orang lain, maka pemilik sah hartatersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya.

  Materi hak ‚aini dapat berpindah tangan, sedang hak syakhsi tidak dapat

berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah

tanggungjawab atau kewajiban.  Hak ‚aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedang

hak syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi.Karena, hak syakhsi  melekat pada diri seseorang kecuali pemilik hakmeninggal. Misalnya, hak syakhsi dalam hutang-piutang barang, sekalipun barang yang dihutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagihpelunasan hutang tersebut. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 20).

Hak Diyani dan Hak Qadlai

Dari segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hakkeagamaan) dan hak qadlai  (hak kehakiman). Hak diyani  adalah hak-hak yangpelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan negaraatau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang atau transaksi lainnya yang tidakdapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekali pun demikian, di hadapan Allahtanggungjawab orang berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya,sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.

Sedangkan hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturankekuasaan kehakiman sepanjang pemilik hak tersebut mampu menuntut dandan membuktikan haknya di depan pengadilan.

Page 14: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 14/199

www.belajarsyariahyuk.com

Selain unsur lahiriyah yakni perbuatan, unsur batiniyah seperti niat danesensi (hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam

hak qadlai  semata dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah denganmengabaikan unsur niat dan hakikat suatu perbuatan.

Seorang suami yang menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh(khoto‟) dan tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untukmenceraikannya, seorang hakim wajib menvonis hukum talak berdasarkanungkapan lahiriyah. Yang demikian hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jaditidak jatuh talaknya, karena tidak adanya niat mentalak. Oleh karena itu,seseorang tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini. (Zuhaili,1989, IV, hal. 22).

Antara Hak dan IltizamSubstansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak

lain dari sisi penerima dari sisi penerima dinamakan hak, sedang dari sisi pelakudisebut iltizam. Secara bahasa, iltizam  bermakna keharusan atau kewajiban.Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskanpihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atautidak berbuat sesuatu.

Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedangpemilik hak dinamakan multazam lahu atau shahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitan dalam suatu hubungan timbal balik, sebagaimana

hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisipenerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.

Dalam akad mu‟awadlah  (saling menerima dan melepaskan) hak daniltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli,penjual berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq. Demikian jugadengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad   ijarah. Dengandemikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu‟awadlah, masing-masingmempunyai hak sebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankankepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbangatas hak yang diterimanya. (Mas‟adi, 2002, hal. 34). 

Sumber-Sumber Hak

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariat dan aturan hukum merupakansumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utamailtizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut;

   Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al-‚aqidain) untuk melakukan

suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa menyewa danlainnya

Page 15: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 15/199

www.belajarsyariahyuk.com

  Iradah al-munfaridah  (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang

mengucapkan sebuah janji atas nadzar

 

 Al- fi‟lun nafi‟  (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorangmelihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan ataupertolongan, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya

   Al- fi‟lu al-dlarr   (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang

merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebaniiltizam atau kewajiban tertentu

Iltizam  adakalanya berlaku atas harta benda (al-maal), terhadap hutang (al-dain) dan terhadap perbuatan (al- fi‟il). Iltizam  terhadap harta benda harusdipenuhi dengan menyerahkan harta benda kepada shahibul haq. Sepertikeharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembelimenyerahkan uang kepada penjual.

Iltizam  terhadap hutang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yangberhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islammemberikan alternatif lain, yakni menggunakan akad hawalah atau kafalah. Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahalluliltizam. Seperti kewajiban seorang pekerja dalam akad  ijarah, harus dipenuhidengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 23).

Akibat Hukum Suatu Hak

Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi

setiap orang. Setiap pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabilaterjadi pelanggaran atau pengrusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntutganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.

Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungidengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yangmenjalankan ibadah, atau juga berupa ancaman neraka bagi yangmeninggalkannya. Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untukmenjalankan amar ma‟ruf nahi munkar .

Ada pun hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, sepertikewajiban setiap insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri

atau darahnya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihakpemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak oranglain.

Pada prinsipnya, Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik untukmenggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya, sepanjang tidakbertentangan dengan syariat Islam. Atas dasar prinsip ini, pemilik hak dilarangmempergunakan haknya untuk bermaksiat, seperti menghamburkan uang untukberjudi atau mabuk-mabukan. Dalam pandangan Islam, perbuatan tersebuthukumnya haram, dan pelakunya dipandang berdosa.

Page 16: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 16/199

www.belajarsyariahyuk.com

Kebebasan menggunakan hak, selain dibatasi dengan ‚tidak bertentangandengan syariat Islam‟ juga dibatasi dengan „tidak melanggar hak atau merugikan

kepentingan orang lain‟. Prinsip perlindungan hak dalam Islam berlaku padadan untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan dalam penggunaanhak pribadi harus seimbang dengan perlindungan hak orang lain, terutamaperlindungan hak masyarakat umum. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 25-29).

 Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak oranglain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang.Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dankerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umum, dalamhukum Islam disebut dengan ta‟assuf fi isti‟malil haqq.

Ta‟assuf fi isti‟malil haqq  telah ditegaskan dalam Islam sebagai perbuatan

terlarang dan berdosa. Di antara dalil yang menunjukkan larangan tersebutadalah sebagai berikut; QS. Al-Baqarah:231 dan QS. An-Nisa‟:12 

Berdasarkan ayat ini, seseorang tidak boleh membuat wasiat apabilamenimbulkan madlarat terhadap ahli warisnya, sekali pun wasit tersebutmerupakan hak bagi setiap pemilik harta benda. Dalam sebuah hadits yangdiriwayatkan Sa‟ad bin Abi Waqqash, ia berkata, aku bertanya kepada NabiMuhammad SAW sebagai berikut;

“Wahai Rasulullah, aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahliwaris kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedekah 2/3 dari hartaku?Nabi menjawab, “Tidak!” Aku bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana jika aku

bersedekah ½ dari hartaku? Nabi menjawab, “Tidak” Aku bertanya lagikepadanya, “Bagaimana jika aku bersedekah 1/3 dari hartaku? Nabi menjawab,“Ya boleh, 1/3 adalah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahliwarismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada jika engkaumeninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-mintakepada orang lain” (HR Muttafaq „Alaih).

Hadits ini menafsirkan keumuman QS. An-Nisa‟:12 bahwasanya 1/3harta merupakan batas maksimal hak kebebasan wasiat yang tidakmenimbulkan kemadlaratan terhadap ahli waris. Namun pada prinsipnya,hadits tersebut melarang berwasiat yang menimbulkan kerugian atau risikoterhadap ahli waris. (Mas‟adi, 2002, hal. 39-41).

Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, laranganterhadap ta‟assuf fi isti‟malil haqq  didasarkan pada dua pertimbangan prinsipsebagai berikut;

Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah bersifatmutlak, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab. Yakni kebebasanmenggunakan hak yang disertai sikap tanggungjawab atas terpeliharanya hakdan kepentingan orang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkankonsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain. Hal inihanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar sesama manusia.

Page 17: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 17/199

www.belajarsyariahyuk.com

Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwa Allah adalah pemilik haksesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia merupakan amanat Allah

yang harus digunakan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dalam bahasasosial, kehendak Allah dapat diterjemahkan sebagai ‚kepentingan atasterpeliharanya kemaslahatan publik‟.  Oleh karena itu, penggunaan hak samasekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum. (Zuhaili1989, IV, hal. 31).

Di antara jenis perbuatan yang tergolong dalam ta‟assuf fi isti‟malil haqq  adalahsebagai berikut;

  Apabila seseorang dalam mempergunakan haknya mengakibatkanpelanggaran terhadap hak orang lain atau menimbulkan kerugianterhadap kepentingan orang lain. Seperti kesewenangan dalam

menggunakan hak rujuk dan hak wasiat 

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan dantidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai dalampenggunaan hak tersebut. Misalnya seseorang melakukan nikah tahlil.Dalam hal ini Rasulullah bersabda, Allah melaknat orang yangmelakukan nikah tahlil13 dan yang memanfaatkan nikah tahlil“ (HR Imamempat kecuali al-Tirmidzi).

  Apabila seseorang menggunakan haknya untuk kemaslahatan

pribadinya, tetapi mengakibatkan madlarat  yang lebih besar terhadaporang lain. Atau kemaslahatan yang ditimbulkannya sebanding denganmadlarat yang ditimbulkannya, baik terhadap kepentingan pribadi orang

lain, lebih-lebih terhadap kepentingan publik. Dalam hal ini, Rasulullahbersabda; Jangan (ada di antara kamu) melakukan aniaya dan janganpula yang teraniaya“ (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni). Atau misalnyapraktik ihtikar 14, Rasulullah bersabda; Tidak ada orang yang melakukanihtikar  kecuali ia pendosa besar“. 

 

Apabila seseorang menggunakan haknya tidak sesuai pada tempatnyaatau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku sertamenimbulkan madlarat terhadap pihak lain. Misalnya membunyikan tape-radio dengan keras sekali, sehingga mengganggu ketenteraman paratetangga. Kecuali jika hal tersebut telah menjadi adat kebiasaan suatumasyarakat, seperti orang yang punya kerja memasang pengeras suara

 

Apabila seseorang menggunakan haknya secara ceroboh (tidak hati-hati)sehingga mengakibatkan madlarat terhadap pihak lain (Zuhaili, 1989, IV,hal. 32-37).

13 Nikah tahlil adalah melakukan akad nikah tidak untuk tujuan membina keluarga yang langgeng, melainkanuntuk tujuan diceraikan, dan untuk membolehkan mantan suami menikah lagi dengan mantan isteri yang

ditalak tiga14  Ihtikar adalah penimbunan barang-barang dagangan (komoditas) yang dibutuhkan masyarakat banyaksehingga barang tersebut menjadi langka. Akibatnya harga barang tersebut menjadi naik dan pihak

penimbun mendapat keuntungan yang sangat besar

Page 18: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 18/199

www.belajarsyariahyuk.com

Pelanggaran hak dan kepentingan orang lain atau masyarakat umum,sedapat mungkin harus dihindarkan melalui upaya-upaya preventif, yakni

mencegah segala kemungkinan terjadi pelanggaran terhadap hak. Namun,apabila ta‟assuf fi isti‟malil haqq benar-benar telah terjadi, dapat diambil beberapaalternatif tindakan berikut ini:

 

Menghilangkan atau melenyapkan segala hal yang nyata-nyata telahmenimbulkan madlarat kepada pihak lain. Misalnya, denganmenghentikan pembangunan atau merobohkan bangunan yangmenghalangi pihak tetangga menggunakan haqq al-Irtifaq mereka

  Membayar ganti atau kompensasi (denda) sepadan dengan kerugian ataurisiko yang diakibatkan oleh perbuatan ta‟assuf fi isti‟malil haqq 

  Membatalkan perbuatan tersebut, seperti membatalkan akad nikah tahlil, 

membatalkan wasiat yang menimbulkan madlarat, atau menghentikanperbuatan tersebut, seperti menghentikan perbuatan yang menggangguketenteraman masyarakat

 

Memberlakukan sanksi hukuman (ta‟zir )  Mengambil tindakan paksa terhadap pelaku untuk melakukan sesuatu

agar kerugian atau risiko yang ditimbulkan cepat berakhir. Sepertimemaksa pelaku  ihtikar   menjual barang yang ditimbunnya. (Zuhaili,1989, IV, hal. 38).

Page 19: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 19/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 3 Teori Harta

Tujuan:

Harta (al maal) merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia,unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu saja. Dengan harta,manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi atau pun

immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubunganhorizontal antar manusia (mu‟amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusiayang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi salingmembutuhkan dan terkait dengan manusia lainnya.

Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi, harta bisadijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat darikarakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai obyekkepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.

Definisi Harta

Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal. 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, danbisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya ( fi‟il), baik sesuatu itu berupadzat (materi) seperti; komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, danlainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti; kendaraan, pakaian, atau pun tempattinggal.

Page 20: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 20/199

www.belajarsyariahyuk.com

Berdasarkan definisi ini, sesuatu itu akan dikatakan sebagai al maal, jikamemenuhi 2 kriteria;

 

Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga padaakhirnya bisa mendatangkan kepuasaan dan ketenangan atasterpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau pun immateri

 

Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia.Konsekuensinya, jika tidak bisa/ belum dimiliki, maka tidak bisadikatakan sebagai harta. Misalnya burung yang terbang di angkasa, ikanyang berada di dasar lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi,dan lainnya.

Dilihat dari kacamata istilah fiqh, ulama berbeda pendapat tentangdefinisi al maal, perbedaan itu muncul dari makna atau substansi yang

dihadirkan dalam definisi. Perbedaan pandangan tersebut dapat dikategorikandalam 2 pendapat:

Pendapat Hanafiyah

Menurut Hanafiyah, al maal adalah segala sesuatu yang mungkin untukdimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan 2 unsur yangharus terdapat dalam al maal;

 

Dimungkinkan untuk dimiliki dan disimpan, dengan demikian al maal harus bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat intangible  seperti; ilmu,

kesehatan, kompetensi, prestise, image, dan lainnya tidak bisadikategorikan sebagai al maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus bisa dikuasaidan disimpan, oksigen (berbeda dengan oksigen yang telah dimasukkandalam tabung oksigen), cahaya matahari & rembulan tidak bisa dikatakansebagai al maal.

 

Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatnya. Jikasecara asal, sesuatu itu tidak bisa dimanfaatkan, seperti; daging bangkai,makanan yang sudah expire, pakaian yang telah rusak, maka tidak bisadikatakan sebagai al maal. Dalam kondisi darurat, boleh saja kitamengkonsumsi barang tersebut, dan mungkin bisa mendatangkanmanfaat, namun demikian, hal tersebut tidak bisa secara langsung

mengubah barang tersebut menjadi al maal, karena hal ini merupakanbentuk pengecualian (istitsna‟).

  Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakanmanfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat, sebutir nasi,setetes air tidak bisa dikategorikan sebagai al maal. Sebutir nasi atausetetes air tidak dianggap bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya besar.

Sifat maaliyah (sesuatu yang dianggap sebagai harta) akan tetap melekatpada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih dimanfaatkan atau diberdayakan oleh

Page 21: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 21/199

www.belajarsyariahyuk.com

masyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr   (arak, miras), anjing, babimungkin masih bisa dikatakan sebagai al maal, karena komoditas tersebut

biasanya dimanfaatkan oleh non-muslim.Bagi kaum borjuis, pakaian bekas mungkin sudah tidak memiliki arti,

namun bagi orang yang tinggal di lorong jembatan, pakaian bekas itu masihmemiliki arti dan manfaat bagi kehidupannya. Dengan demikian, dalam konteksini, pakaian bekas tersebut masih bisa dikatakan sebagai al maal. Berbeda jikapakaian bekas tersebut, sudah ditinggalkan oleh seluruh masyarakat, tidakterdapat sedikit pun yang mau/ bisa memanfaatkannya.

Ibnu Abidin (mazhab Hanafi, Raddul Mukhtar , IV, hal. 3) mengatakan, almaal  adalah segala sesuatu yang di-preferensi-kan (gandrungi) oleh tabiatmanusia, dan dimungkinkan untuk disimpan hingga saat dibutuhkan, baik

dapat dipindah ( Manqul) ataupun tidak ( ghair Manqul).Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal. 41), definisi ini bukanlah

pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa dikatakanal maal, walau pun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak. Begitu juga denganhewan buruan, kayu di hutan belantara tetap bisa dikatakan sebagai al maal,walaupun belum dimiliki atau disimpan. Obat-obatan juga bisa dimasukkandalam kategori harta, walaupun tabiat manusia menolak untukmengkonsumsinya.

Pendapat Mayoritas Ulama Fiqh

Menurut mayoritas ulama fiqh, al maal  adalah segala sesuatu yangmemiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untukmenanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al maaldikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjual-belikan dan memilikikonsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al maalharuslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti iabisa diukur dengan satuan moneter (Zuhaili, 1989, IV, hal. 42).

Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal.289) menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandanganorang syariah dengan qanun  (hukum). Menurut beliau, sesuatu itu dikatakan

harta (al maal) jika memenuhi 2 syarat, yaitu;

  Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa diraba, 

Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganyaagar tidak diambil atau dimiliki orang lain. Dengan demikian harta ituharuslah memiliki nilai materi.

Berdasarkan persyaratan ini, maka yang dikatakan sebagai al maal adalahsegala dzat („ain) yang dianggap memiliki nilai materi bagi kalangan masyarakat.Pendapat ini secara otomatis menafikan hak dan manfaat untuk masuk dalamkategori harta. Jika dilihat, pendapat Mustafa A. Zarqa ini cenderung dekat

Page 22: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 22/199

www.belajarsyariahyuk.com

dengan pendapat ulama Hanafiyah. Terus bagaimana pendapat Wahbah Zuhailitentang hak dan manfaat, apakah keduanya termasuk dalam kategori harta?

Hak dan Manfaat

Mazhab Hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu atau dzat yangbersifat materi. Dalam arti memiliki bentuk fisik yang dapat dilihat atau diraba.Dengan demikian, hak dan manfaat tidak termasuk dalam kategori harta, akantetapi merupakan kepemilikan15.

Berbeda dengan ulama fiqh selain Hanafiyah. Menurut mereka, hak danmanfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatuadalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima, bukan karena dzatnya.

Atas dasar adanya manfaat tersebut, manusia berusaha untuk menjaga danmenyimpan kemanfaatan yang inheren dalam dzat sesuatu.

Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah/ fungsi yang terdapatdalam suatu dzat (benda), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, ataumemakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisadirasakan adalah kita bisa mengendarai-nya ke suatu tempat yang kita inginkan.Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutupi aurat,dan seterusnya, ini adalah manfaat.

 Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapatmanfaat yang dapat kita rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya, mobil

yang kita miliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidakakan kita pakai lagi, walaupun secara fisik mungkin masih terlihat bagus.

Sedangkan hak adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara‟terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatubeban hukum tertentu. Artinya, dengan adanya hak, seseorang memilikikekuasaan atau kekebalan hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara‟. Pemilikhak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yang telahdibenarkan oleh syara‟ untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta,seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, danlainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hakuntuk merawat anak.

Manfaat dan hak yang terkait dengan harta, atau pun hak yang tidakterkait dengan harta, menurut pandangan Hanafiyah tidak termasuk dalamkategori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk memiliki dan menyimpandzat-nya („ain). Selain itu, manfaat dan hak bersifat maknawi (intangible), tidakpermanen dan akan berkurang secara bertahap.

Menurut jumhur ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karenabisa dimungkinkan untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asal

15  Pembahasan terkait dengan hak dan manfaat, penyusun ambil dari Zuhaili, 1989, IV, hal. 42-43.

Page 23: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 23/199

www.belajarsyariahyuk.com

dan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaat-lah seseorangbermaksud untuk memiliki suatu benda (dzat). Dan karenanya, orang suka dan

berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hakpada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memilikisuatu benda.

Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorangmemiliki benda (dzat) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itutelah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya.

Adanya perbedaan pandangan ini, akan mempunyai implikasi hukumtertentu, khususnya dalam hal  ghasab  (menggunakan barang orang lain tanpaizin), ijarah (sewa-menyewa) atau pun hukum waris. Menurut Hanafiyah, orangyang meng- ghasab  barang orang lain dalam kurun waktu tertentu, kemudian

barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng- ghasabtersebut, tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai.Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim, barangwaqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan.Berbeda dengan jumhur ulama, si peng- ghasab  berkewajiban untuk menggantinilai manfaat selama ia menggunakan barang  ghasab tersebut.

Menurut Hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti)dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukanharta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan, akad ijarah tetap berlangsung, walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai bataswaktu yang telah disepakati dalam akad.

Pembagian Harta

Dalam melakukan pembagian harta, terdapat perbedaan antara ulamaahli fiqh dengan ahli hukum positif (konvensional). Pandangan yangdikemukakan oleh ahli hukum, mengedepankan nilai materi dalam menentukanboleh tidaknya harta itu dijadikan obyek transaksi. Sebagai contoh, minumankeras, anjing ataupun babi merupakan obyek yang boleh ditransaksikan,sepanjang tidak ada ketetapan hukum yang melarangnya. Dalam konteks ini,ketiga komoditas tersebut merupakan al maal al mutaqawwim, dalam arti obyek

yang boleh ditransaksikan (Muhammad Faruq al Burhani, 1984, hal. 290).Ulama ahli fiqh, membagi harta dalam 4 kategori, dimana setiap kategori

memiliki implikasi hukum tertentu. Dilihat dari boleh tidaknya kitamemanfaatkan harta, ulama membagi harta menjadi mutaqawwim  dan  ghairmutaqawwim. Jika dilihat dari menetap atau tidaknya harta dalam suatu tempat,harta dibagi mejadi „iqar  dan manqul.

 Jika harta itu terdapat padanannya atau tidak di pasaran, maka dapatdikategorikan menjadi harta mitsli  dan qimi, dan jika harta itu habis setelahdikonsumsi, atau tetap dalam wujudnya semula, maka harta ini dikategorikan

Page 24: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 24/199

www.belajarsyariahyuk.com

dalam istihlaki  dan isti‟mali. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas untuk masing-masing kategori.

Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim

Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal. 44), al maal al mutaqowwim adalahharta yang dicapai/ diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dandiperbolehkan oleh syara‟ untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian,kebun apel, dan lainnya. al maal ghair al mutaqawwim  adalah harta yang belumdiraih/ dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belumsepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara didasar lautan, minyak di perut bumi, dan lainnya.

Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara‟ untuk dimanfaatkan,  kecuali dalam kondisi darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim,harta ghair mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan dlarurat.Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisamenyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.

Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqawwim, inimenurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorangmuslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, makaberkewajiban untuk menggantinya.

Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut

termasuk dalam al maal ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untukmenggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islamharus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan muamalah. Apa yangdiperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apayang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.

Implikasi Hukum

Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim  dan  ghairmutaqawwim, terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:

  Sah dan tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi.  Al maal al

mutaqawwim bisa dijadikan sebagai obyek transaksi, dan transaksi yangdilakukan sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah,syirkah, dan lainya. Untuk al maal ghair mutaqawwim, tidak bisadijadikan sebagai obyek transaksi, jika ia dipaksakan menjadi obyektransaksi, maka transaksinya rusak atau batal adanya.  Al maal almutaqawwim sebagai obyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuahtransaksi.

 

Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jikaharta mutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat

Page 25: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 25/199

www.belajarsyariahyuk.com

padanannya, maka harus diganti dengan semisalnya, namun jika tidak,bisa diganti sesuai dengan nilainya.

 

 Jika harta  ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidakada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yanghidup dalam daerah kekuasaan Islam), jika hewan babi-nya dibunuh,atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untukmenggantinya, karena keduanya merupakan al maal al mutaqawwim bagikehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah.

‘Iqar  dan Manqul 

Menurut Hanafiyah (1989, IV, hal. 46), manqul  adalah harta yang

memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya,baik bentuk fisiknya (dzat/ ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahantersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau punkomoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.

Sedangkan „iqar   adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah darisatu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian,tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisadikatakan sebagai „iqar  kecuali ia tetap mengikuti/ bersatu dengan tanahnya.

 Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunantersebut merupakan harta „iqar . Namun, jika bangunan atau tanaman dijual

secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta„iqar . Intinya, menurut Hanafiyah, harta „iqar   hanya terfokus pada tanah,sedangkan manqul adalah harta selain tanah.

Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderungmempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta „iqar .Menurut Malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atauditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa adanya perubahan atasbentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian dan lainnya. Sedangkan„iqar  adalah harta yang secara asal tidak mungkin dapat dipindah atau ditransfer,seperti tanah, atau mungkin dapat ditransfer dan dipindah, akan tetapi terdapatperubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah

menjadi lempengan kayu.

Dalam perkembangannya, harta manqul  dapat berubah menjadi harta„iqar , dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakanharta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubahmenjadi harta „iqar . Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupunbarang tambang lainnya, semula merupakan harta „iqar , akan tetapi setelahterpisah dari tanah, maka akan berubah menjadi harta manqul.

Page 26: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 26/199

www.belajarsyariahyuk.com

Implikasi Hukum

Dengan adanya pembagian harta menjadi „iqar  dan manqul, akan terdapatbeberapa implikasi hukum sebagai berikut:

  Dalam harta „iqar   terdapat hak syuf‟ah, sedangkan harta manqul  tidakterdapat di dalamnya, kecuali harta manqul  tersebut menempel padaharta „iqar .

 

Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di-waqf -kan adalahharta „iqar . Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadapharta „iqar , seperti me-waqf -kan tanah beserta bangunan, perabotan, dansegala sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secaraumum sudah menjadi obyek waqf , seperti mushaf , kitab-kitab, atauperalatan jenazah. Berbeda dengan jumhur ulama, menurut mereka,

kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqf .

 

Seorang wali tidak boleh menjual harta „iqar   atas orang yang beradadalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkansyara‟, seperti untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan dlarurat,atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen. Alangkah baiknya, jika hartamanqul yang lebih diprioritaskan untuk dijual, karena harta „iqar  diyakinimemiliki kemaslahatan yang lebih besar bagi pemiliknya, jadi tidakmudah untuk menjualnya.

 

Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta „iqar  boleh ditransaksikan,walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tdak

bisa ditransaksikan sebelum ada serah terima, karena kemungkinanterjadinya kerusakan sangat besar.

Mitsli dan Qimi

 Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya di pasaran, tanpaadanya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya.Harta mitsli dapat dikategorikan menjadi 4 bagian:

  al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandum, terigu, beras  al mauzunaat  (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi,

tembaga,  al „adadiyaat  (sesuatu yang dapat dihitung dan memilki kemiripan

bentuk fisik) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasilindustri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotanrumah, dan lainnya,

  al dzira‟iyaat  (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atasbagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas

 juz-nya (bagian), maka dikategorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.

 Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran,atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti

Page 27: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 27/199

www.belajarsyariahyuk.com

domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun mungkin sama jika dilihat darifisiknya, akan tetapi setiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu

dan lainya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yangmemiliki kualitas dan bentuk fisik yang berbeda.

Dalam perjalanannya, harta mitsli bisa berubah menjadi harta qimi  atausebaliknya;

 

 Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan/scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,

   Jika terjadi pecampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yangberbeda, seperti hasil modifikasi mobil Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi,

 

 Jika harta qimi  terdapat banyak padanannya di pasaran, maka secaraotomatis berubah menjadi harta mitsli.

Implikasi Hukum

Dengan adanya pembagian harta mitsli  dan qimi, memiliki implikasihukum sebagai berikut;

 

Harta mitsli bisa menjadi tsaman  (harga) dalam jual beli hanya denganmenyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisamenjadi tsaman. Jika harta qimi  dikaitkan dengan hak-hak finansial,maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu akan mempengaruhi

nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya akanberbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenisdan sifatnya sama

 

 Jika harta mitsli  dirusak oleh orang, maka wajib diganti denganpadanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan nilaiekonomis (finansial) harta qimi tersebut, karena memang susah untukmendapatkan padanannya di pasaran.

   Jika terjadi percampuran beberapa harta mitsli, maka pemiliknya

mempunyai kebebasan untuk mengambil harta tersebut sesuai dengan

keinginannya, walaupun tanpa izin dari pihak yang lain. Berbedadengan harta qimi, walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisaberbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orangyang berserikat

  Harta mitsli rentan terhadap riba fadl. Jika terjadi pertukaran diantaraharta mitsli, dan tidak terdapat persamaan dalam kualitas, kuantitas,dan kadarnya, maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan hartaqimi yang relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapat

Page 28: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 28/199

www.belajarsyariahyuk.com

perbedaan, maka tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satudomba dengan dua domba.

Istihlaki dan Isti’mali 

 Al maal al istihlaki  adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkankecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warnamakanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita inginmemanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus memakan danmeminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebuttidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.

Adapun untuk uang, cara mengkonsumsikannya adalah dengan

membelanjakannya. Ketika uang tersebut keluar dari saku dan genggaman sangpemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan hangus, karena sudahmenjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnyamasih tetap sama. Intinya, harta istihlaki  adalah harta yang hanya bisadikonsumsi untuk sekali saja.

 Al maal al isti‟mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkantanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan,kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istihlaki, harta isti‟mali  bisadipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.

Implikasi HukumHarta istihlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan untuk konsumsi, tidak

bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya,harta isti‟mali  bisa digunakan sebagai obyek ijarah  (sewa). Namun demikiankedua harta tersebut bisa dijadikan sebagai obyek jual beli atau titipan16.

Di samping itu, Mustafa A. Zarqa‟ juga membagi harta menjadi maal alashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta bendayang dapat menghasilkan harta lain. Sedangkan maal al tsamarah adalah hartabenda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl  tanpa menimbulkankerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-

buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakanmaal al tsamarah (Zarqa, III, hal. 217-218).

Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagaiberikut:

  Pada prinsipnya, harta wakaf tidak dapat dimiliki atau ditasharrufkanmenjadi milik perorangan, namun hal serupa dapat dilakukanterhadap hasil harta wakaf

16 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pembagian harta dan implikasinya, dapat dilihat dalam Zuhaili,1989, IV, hal. 43-55

Page 29: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 29/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum,seperti jalan dan pasar, pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh

perseorangan. Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapatdimiliki (Mas‟adi, 2002, hal. 27-28)

Pertanyaan dan Latihan:

Page 30: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 30/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 4 Teori KepemilikanTujuan:

Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan hartayang ditetapkan oleh syara‟, dimana manusia memiliki kewenangan khususuntuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukanhal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia,baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat

dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hakmerupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.

Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan manusia atas suatuharta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurutistilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yangmenghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknyauntuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara‟.(Zuhaili, 1989, IV, hal. 56-57).

Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yangdibenarkan syara‟, maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memilikikekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjangtidak ada halangan syara‟ yang mencegahnya, seperti gila, safih, anak kecil danlainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untuk memanfaatkanatau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara‟yang membolehkannya, seperti adanya akad wakalah.

Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisiyang tidak memungkinkan untuk memiliki harta tersebut. Seperti harta yangdikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasilitasumum) seperti jalanan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum,perpustakaan umum dan lainnya. Harta ini tidak bisa diprivatisasi dan

Page 31: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 31/199

www.belajarsyariahyuk.com

dimiliki oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset publik untukdimanfaatkan bersama. Jika harta benda tersebut sudah tidak dikonsumsi

oleh publik, maka harta tersebut kembali kepada asalnya, yakni bisa dimilikioleh individu.

Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki kecuali dibenarkan olehsyara‟. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaftidak boleh diperjualbelikan atau dihibahkan, kecuali telah rusak atau biayaperawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalamkonteks ini, mahkamah (pengadilan, pemerintahan) boleh memberikan izinuntuk men-transaksi-kan harta benda tersebut.

Begitu juga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset initidak boleh diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang

dilatarbelakangi adanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Asetpemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh ditransaksikan kecualiterdapat kebutuhan dan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisadimiliki secara mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta di atas. (Zuhaili,1989, IV, hal. 57-58).

Dilihat dari unsur harta (benda dan manfaat), kepemilikan dapatdibedakan menjadi milk al tamm  dan milk al naqish.  Milk al tamm adalahkepemilikan terhadap harta benda sekaligus manfaatnya, pemilik memiliki hakmutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu,kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkansyara‟, seperti jual beli, mekanisme hukum waris, atau pun wasiat.

Dalam milk al tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas hartayang dimiliki. Ia bebas melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf, wasiat, i‟arah, ijarah  dan lainnya, karena ia memiliki dzatharta benda sekaligus manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, makatidak berkewajiban untuk menggantinya. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisamendapat sanksi, karena merusak harta benda, haram hukumnya.

Sedangkan milk al naqish  (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa pemilikan atasmanfaat tanpa memiliki bendanya, atau pemilikan atas benda tanpa disertaipemilikan atas manfaatnya.  Milk-al naqish  dapat dikategorikan sebagai berikut

(Zuhaili, 1989, IV, hal. 59-61);

Kepemilikan Benda

Dalam kepemilikan ini, bentuk fisik harta dimiliki oleh seseorang, namunmanfaat benda tersebut dimiliki oleh orang lain. Seperti, ada pemilik rumahmemberikan wasiat kepada orang lain untuk menempati rumahnya, ataumenanami kebun yang dimilikinya selama 3 tahun, misalnya. Ketika pemilikrumah yang berwasiat tersebut meninggal pada tahun pertama, maka bentuk

Page 32: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 32/199

www.belajarsyariahyuk.com

fisik rumah tersebut menjadi milik ahli waris, sedangkan manfaat rumahtersebut (sebagai tempat tinggal) tetap menjadi milik orang yang diberi wasiat

sampai batas akhir 3 tahun.Ahli waris tidak memiliki hak untuk menempati rumah tersebut sampai

batas akhir 3 tahun, ia hanya memiliki hak atas bentuk fisik rumah tersebut.Sedangkan hak manfaat untuk menempati rumah, tetap menjadi milik orangyang diberi wasiat. Ketika jangka waktu 3 tahun telah usai, hak manfaat kembalikepada ahli waris, dan ia kembali memiliki hak kepemilikan yang sempurna(milk al tamm).

Kepemilikan Manfaat ( Haq al Intifa’ )

Adalah hak untuk memanfaatkan harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara‟. Terdapat 5 sebab yang dapat menimbulkanhaq al-Intifa‟ yakni I‟arah, ijarah, waqf , wasiat dan ibahah.

Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, I‟arah adalah pemindahankepemilikan manfaat tanpa adanya kompensasi.  Musta‟ir   (orang yangmeminjam) diperbolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain, namun iatidak boleh menyewakannya (ijarah). Dengan alasan, I‟arah  adalah akad ghair  lazim  (dapat dirujuk sewaktu-waktu), sedangkan ijarah  merupakan akad lazim.Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah, I‟arah  adalah membolehkan orang lainuntuk mengambil suatu manfaat tanpa adanya kompensasi, dengan demikian,musta‟ir  tidak diperkenankan meminjamkan kepada orang lain.

Ijarah  adalah akad pemindahan kepemilikan manfaat dengan adanyakompensasi. Penyewa berhak mendapatkan manfaat atas barang yang disewa,namun tidak memiliki hak apa pun atas bentuk fisik barang yang disewa. Hakyang dimilikinya hanyalah hak manfaat. Penyewa boleh mengambil manfaatuntuk dirinya, atau untuk orang lain.

Waqf   adalah menahan harta benda milik seseorang dimana manfaatbenda tersebut diperuntukkan kepada orang yang diwakafi (mauquf „alaih).Dengan adanya waqf , memungkinkan terjadinya perpindahan kepemilikanmanfaat dari waqif  (orang yang mewakafkan) kepada mauquf „alaih. Mauquf „alaih diperkenankan untuk mengambil nilai manfaat tersebut untuk diri pribadinya

atau orang lain. Selain itu, ia juga berhak untuk memproduktifkan aset waqfdengan izin dari waqif .

Wasiat bil manfaat  adalah sebuah kesepakatan dimana seseorangmemberikan wasiat kepada orang lain (mushi bih) untuk mengambil suatu nilaimanfaat. Orang yang diberi wasiat berhak untuk menikmati manfaat, baik untukdiri pribadinya atau orang lain, baik dengan atau tanpa kompensasi.

 Al-Ibahah  adalah sebuah perizinan untuk mengkonsumsi barang ataumenggunakannya, seperti izin untuk memakan makanan atau buah,mengendarai kendaraan seseorang, izin untuk menggunakan fasilitas umum,

Page 33: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 33/199

www.belajarsyariahyuk.com

 jalan raya, jembatan, taman, dan lainnya. Perizinan dalam hal ini hanyalahdiperuntukkan untuk orang yang diberi, ia tidak boleh melimpahkan izin

tersebut kepada orang lain untuk menikmati manfaat yang ada.

Karakteristik Milk al-Naqish (Zuhaili, 1989, IV, hal. 62)

   Milk al-naqish  bisa dibatasi dengan waktu, tempat atau persyaratan

lainnya, berbeda dengan milk al-tamm. Orang yang meminjamkan mobil,boleh mengajukan beberapa syarat bagi orang yang meminjam, misalnya,mobil hanya boleh dikendarai peminjam, bukan orang lain, mobil hanyaboleh dikendarai di jalan perkotaan, bukan pedesaan, mobil hanyadipinjamkan dalam jangka waktu satu bulan, dan lainnya.

  Menurut Hanafiyah, milk al-naqish tidak bisa diwariskan. Dengan alasan,warisan haruslah berupa harta, sedangkan manfaat bukanlah harta.Menurut mayoritas ulama, manfaat masuk dalam kategori harta,sehingga bisa diwariskan. Ahli waris bisa menikmati manfaat yang adasampai batas waktu perjanjian berakhir.

  Orang yang menerima manfaat berhak menerima barang (aset) yang akandiambil manfaatnya. Ketika telah diterima, ia memiliki amanah untukmenjaganya. Jika terjadi kerusakan, ia tidak berkewajiban untukmengganti, kecuali karena keteledoran dan kecerobohannya.

  Biaya perawatan aset menjadi tanggungjawab penerima manfaat, jika

akad yang digunakan adalah akad I‟arah. Namun, jika menggunakanakad ijarah, biaya tersebut ditanggung oleh pemilik aset.

 

 Jika peminjam telah mengambil manfaat, maka aset tersebut harusdikembalikan kepada pemiliknya.

Berakhirnya Haqq al- Intifa’  

Haqq al-Intifa‟  adalah sebuah hak yang dibatasi dengan jangka waktu, danakan berakhir dalam beberapa kondisi berikut ini;

 

Berakhirnya jangka waktu yang disepakati  Rusaknya aset yang akan diambil manfaatnya, atau terdapat aib sehingga

menghalangi lahirnya manfaat, seperti rumahnya roboh, banyak lubang

dan menimbulkan kebocoran, dan lainnya  Meninggalnya orang yang menikmati manfaat, karena manfaat tidak bisa

diwariskan, ini menurut pandangan Hanafiyah. 

Meninggalnya pemilik aset, jika perpindahan kepemilikan manfaattersebut menggunakan akad I‟arah  atau Ijarah. Akad I‟arah  merupakanakad tabarru‟ (charity program), dan akan berakhir dengan meninggalnyaorang yang meminjamkan, atau kepemilikan aset yang disewakan ( ijarah)akan berpindah kepada ahli waris. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 63)

Page 34: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 34/199

www.belajarsyariahyuk.com

Haqq al-IrtifaqHaqq al-Irtifaq adalah hak yang berlaku atas suatu benda tidak bergerak

untuk kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Haqq al-Irtifaq  inimelekat pada benda-benda tidak bergerak yang saling berdampingan dan samasekali tidak bergantung pada perubahan pemilikan atasnya.Ada pun jenis-jenis haq al-Irtifaq adalah sebagai berikut;

  Haqq al-Syurbi, yaitu hak untuk memanfaatkan air untuk kepentinganpengairan tanaman, jika digunakan untuk hewan atau untuk kepentinganminum manusia, dinamakan dengan haqq al-syuffah. Dalam kaitan denganhaq al-Irtifaq, terdapat beberapa kriteria air. Air laut, danau, sungai ataukolam yang berada di tempat terbuka, menjadi milik bersama, haqq al-Irtifaq  di atasnya tidak diperlukan perizinan. Dengan catatan, tidakmenimbulkan madlarat bagi pihak lain. Air kolam atau sungai yang

khusus dimiliki oleh seseorang, setiap manusia memiliki hak al-syuffah,baik untuk pribadi atau hewan ternak yang dimiliki. Akan tetapi, jikauntuk mengairi tanaman, perlu mendapatkan izin dari pemiliknya. Airkolam, sumur atau sungai yang digali atau dibuat secara khusus olehseseorang di atas tanahnya, hanya berlaku haqq al-syuffah, bukan haqq al-syurbi. Sedangkan air yang berada dalam sebuah wadah/tempat, tidakberlaku haqq al-Irtifaq, kecuali seizin pemiliknya.

  Haqq al-Majra, yaitu hak pemilik tanah yang jauh untuk menggunakantanah tetangganya yang lebih dekat untuk mengalirkan air darisumbernya. Pemilik tanah yang lebih dekat dengan sumber mata air tidakboleh menghalangi penggunaan tanahnya untuk pengairan tanah yang jauh dari sumber mata air.

  Haqq al-masil, yaitu hak memanfaatkan tanah orang lain untukmenyalurkan air limbah keluarga ke tempat saluran pembuangan umum.

  Haqq al-Murur , yaitu hak bagi pemilik tanah yang lebih jauh untukmelewati tanah orang lain yang lebih dekat. Pada prinsipnya, pemiliktanah yang di depan, tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi pemiliktanah yang ada di belakangnya, seperti membuat pagar atau dindingyang tidak dilengkapi dengan pintu jalan.

  Haqq al-Jiwar , yaitu hak tetangga yang dindingnya bersebelahan atau

bersatu. Dalam kondisi seperti ini, masing-masing dapat memanfaatkandinding tersebut sepanjang tidak menimbulkan kerugian pada pihaktetangga.

  Haqq al-Ta‟ali, yaitu hak tetangga pada rumah susun dimana atapbangunan yang di bawah menjadi lantai bagi bangunan di atasnya.Sebagaimana pada haq al-Jiwar , masing-masing dapat menggunakanfungsi atap atau lantai tersebut sepanjang tidak menimbulkan kerugianpihak lain (Zuhaili, 1989, IV, hal. 64-66).

Page 35: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 35/199

www.belajarsyariahyuk.com

Perbedaan Haq al-Irtifaq dan Haq al- Intifa’  

  Haqq al-Irtifaq  senantiasa melekat pada harta „Iqar , sedangkan haqq al-

Intifa‟ bisa melekat pada harta „Iqar  (seperti waqf, I‟arah, ijarah), atau harta Manqul (seperti meminjamkan buku, sewa mobil, dll)

  Haqq al-Irtifaq (haqq al-Jiwar ) bisa melekat pada seseorang atau harta „Iqar ,

sedangkan haqq al-Intifa‟  hanya bisa melekat pada seseorang dengannama dan ciri-ciri yang jelas

 

Haqq al-Irtifaq  bersifat melekat secara permanen terhadap harta „Iqar ,sedangkan haqq al-Intifa‟  hanya bersifat temporer dan akan berakhirdengan kondisi tertentu

 

Menurut Hanafiyah, haqq al-Irtifaq  bisa diwariskan, walau pun tidakdikategorikan sebagai harta, karena ia selalu mengikuti harta „Iqar ,

sedangkan haqq al-Intifa‟ diperdebatkan hak pewarisannya.

Sebab-Sebab Kepemilikan

Sebab-sebab kepemilikan yang diakui oleh syariah terdapat 4 hal, yakniIstila‟ al-Mubahat  (penguasaan harta bebas), al-Aqd  (kontrak), al-Khalafiyyah (penggantian), dan al-Tawallud (berkembang biak).

Istila’ al-Mubahat

Adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belumdikuasai atau dimiliki pihak lain.  Al-Mubahat  adalah harta benda yang tidaktermasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak adalarangan hukum (mani‟ al-syar‟iy) untuk memilikinya. Misalnya, air yang masihberada dalam sumbernya, ikan yang berada di lautan, hewan dan pohon kayu dihutan, dan lainnya.

Setiap orang berhak menguasai harta benda ini untuk tujuan dimilikisebatas kemampuan masing-masing. Perbuatan menguasai harta bebas ini untuktujuan pemilikan, dinamakan dengan al-istila‟. Dengan demikian, upayapemilikan suatu harta melalui Istila‟ al-Mubahat harus memenuhi dua syarat; (i)

tidak ada pihak lain yang mendahului melakukan Istila‟ al-Mubahat, dalam hal iniberlaku kaidah, barangsiapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguhia telah memilikinya, (ii) penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuandimiliki. Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidakadanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian, status ikan tersebut tetapsebagai al-mubahat.

Kata kunci dari Istila‟ al-Mubahat  adalah penguasaan atas al-mubahat (harta bebas) dengan tujuan untuk dimiliki. Penguasaan tersebut dapatdilakukan dengan cara-cara yang lazim, misalnya dengan menempatkannya

Page 36: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 36/199

www.belajarsyariahyuk.com

pada tempat yang dikuasainya atau dengan memberi batas atau tandakepemilikan.

Terdapat 4 cara penguasaan harta bebas, yakni (i) ihya‟ al-mawat,membuka tanah (ladang) baru yang tidak dimanfaatkan orang lain, tidakdimiliki dan berada di luar tempat tinggal penduduk, (ii) berburu hewan, (iii)dengan mengumpulkan kayu dan rerumputan di rimba belukar, (iv) melaluipenggalian tambang yang tersimpan di perut bumi.

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang kepemilikan harta tambang.Menurut Malikiyah, segala harta tambang tidak bisa dimiliki secara istila‟,kepemilikannya dikembalikan kepada negara, hanya negara yang berhakmemilikinya dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Sedangkan menurutHanafiyah, Syafiiyyah dan Hanabalah, harta tambang bisa dimiliki layaknya

tanah, harta tambang yang ditemukan atas sebuah tanah, maka akan menjadimilik pemilik tanah tersebut. Jika tanah tersebut miliki negara, maka menjadimilik negara. Jika tambang ditemukan di tanah yang tak bertuan, maka akanmenjadi milik orang yang menemukannya.

Harta karun dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yakni harta karun islami dan jahili. Harta karun islami adalah harta karun yang terdapat tanda-tanda atautulisan yang mencerminkan bahwa harta tersebut terpendam pada zaman Islam,seperti kalimat syahadat, mushaf, ayat al-Qur‟an atau nama sahabat. Sedangkanharta karun jahili adalah harta karun yang dipendam sebelum zaman Islam (pra-Islam), dan terdapat tanda atau tulisan yang mencerminkan zaman jahiliyah,seperti gambar berhala, nama raja dan lainnya.

Harta karun islami  diposisikan sama dengan barang luqothoh  (temuan)dan harus dikembalikan kepada pemiliknya. Orang yang menemukan tidakberhak memilikinya, namun ia harus mengumumkan kepada khalayak publik. Jika telah ditemukan pemiliknya, maka harus diserahkan, jika tidak, harusdisedekahkan kepada kaum fakir miskin, ini menurut pendapat Hanafiyah.Menurut Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabalah, harta karun tersebut bisadimanfaatkan dan dimiliki oleh penemunya, namun jika telah diketahuipemiliknya, ia harus mengganti dan mengembalikannya.

Ada pun harta karun  jahili, ulama fiqh sepakat bahwa seperlima (1/5)harus diserahkan kepada Baitul Maal, sedangkan 4/5 terdapat perbedaan

pendapat. 4/5 tersebut menjadi milik mutlak penemunya, baik harta ituditemukan di atas tanah yang diketahui pemiliknya, atau tanah tak bertuan.Atau, harta itu menjadi milik penemunya jika ditemukan di atas tanah yang takbertuan atau tanah yang dimiliki dengan proses ihya‟ al-mawat. Jika harta tersebutditemukan di tanah yang ada pemiliknya, maka harta tersebut menjadi pemilikawal, atau ahli warisnya, jika tidak ditemukan, maka untuk Baitul Maal. (Zuhaili,1989, IV, hal. 69-75).

Page 37: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 37/199

www.belajarsyariahyuk.com

Al-Uquud

Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuansyara‟ yang menimbulkan pengaruh terhadap obyek akad. Akad jual beli, hibah,wasiat dan sejenisnya merupakan sumber kepemilikan yang paling penting.Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlakudalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.

Akad dilihat sebagai sebab kepemilikan, dapat dibedakan menjadi uqud jabariyah dan tamlik jabari. Uqud jabariyah (akad secara paksa) yang dilaksanakanoleh otoritas pengadilan secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Sepertipaksaan menjual harta untuk melunasi hutang, kekuasaan hakim untukmemaksa menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum.

Tamlik jabari  (pemilikan secara terpaksa) dibedakan menjadi dua.Pertama, adalah pemilikan secara paksa atas maal „Iqar (harta tidak bergerak)yang hendak dijual. Hak pemilikan paksa ini dalam term fiqh dinamakandengan hak syuf‟ah. Hak ini dimiliki oleh sekutu atau tetangga. Kedua, pemilikansecara paksa untuk kepentingan umum. Ketika ada kebutuhan memperluasbangunan masjid misalnya, maka syariat Islam membolehkan pemilikan secarapaksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid, sekali pun pemiliknyatidak berkenan untuk menjualnya. Demikian juga ketika ada kebutuhanperluasan jalan umum, tentunya dengan kompensasi yang sepadan.

Al-Khalafiyyah

 Al-Khalafiyyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang barumenempati posisi pemilikan yang lama. Dengan demikian, ia dapat dibedakanmenjadi dua kategori.

Pertama, adalah penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnyadalam hal hukum waris. Dalam hukum waris, seorang ahli waris menggantikanposisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya(tarikah). Kedua, penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti terjadi padatadlmin  (pertanggungan) ketika seseorang merusak atau menghilangkan hartabenda orang lain, atau pada ta‟widl (pengganti kerugian) ketika seseorangmengenakan atau menyebabkan kerusakan harta benda orang lain.

Al-Tawallud minal Mamluk

Adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya, setiapperanakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalahmilik pemiliknya. Prinsip tawallud  ini hanya berlaku pada harta benda yangbersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang lain/baru), seperti binatangyang bertelur, berkembang biak, menghasilkan air susu, kebun yangmenghasilkan buah-buahan dan lainnya. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 76-77).

Page 38: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 38/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 6 Teori AkadTujua n:

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungandengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan

manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampuuntuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubunganantara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harusterdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkankesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhikebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad ataumelakukan kontrak.

Dalam pembahasan fiqh, akad/ kontrak yang dapat digunakan untukbertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasikebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian/macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang

nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnyasecara khusus. Pembahasan akan diawali dengan definisi, rukun dan syarat yangmelingkupinya, implikasi hukum serta hal lain yang terkait dengan akad.

Definisi

Secara linguistik, akad memiliki makna “ar rabthu” yang berartimenghubungkan atau mengaitkan, mengikat antara beberapa ujung sesuatu.Dalam arti yang luas, akad dapat diartikan sebagai ikatan antara beberapa pihak.

Page 39: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 39/199

Page 40: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 40/199

www.belajarsyariahyuk.com

ucapan yang dikeluarkan seseorang. Seperti dalam jual beli, hibah, waqf, ataupun meliputi tindakan seperti menyimpan barang, melakukan kegiatan

konsumsi, dan lainya.Tasharruf   juga terkait dengan ucapan dan tindakan yang dapat

mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya sendiri, seperti jual beli, berburu atautidak untuk kemaslahatan dirinya, seperti wasiat, waqf, mencuri dll. Intinya,tasharruf meliputi segala apa yang dilakukan oleh manusia berdasarkankehendaknya.

Dengan demikian, tasharruf  memiliki makna yang lebih global daripadailtizam  atau pun akad. Akad dalam arti yang khusus, tidak bisa diwujudkanhanya dengan satu kehendak. Akan tetapi, ia merupakan hubungan, keterkaitanatau pertemuan antara dua kehendak.

Rukun Akad

Rukun bisa diartikan sebagai perkara yang dijadikan sebagai landasanatas wujudnya (eksis) sesuatu dan merupakan bagian inheren atas hakikatsesuatu itu. Dalam konteks ibadah shalat, ruku‟, sujud, membaca  al qur‟anmerupakan rukun atau bagian yang tidak bisa dipisahkan dari shalat. Suatutindakan tidak dapat dikatakan sebagai shalat jika tidak mengandung unsursebagaimana disebutkan.

Rukun akad dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa

digunakan untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak, atau sesuatuyang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan, isyarat atau korespondensi(tulisan, Al Kasani, IV, hal. 132).

Dalam hal ini, ijab  dan qabul  merupakan rukun akad, dan ini adalahpendapat madzhab Hanafi. Rukun yang terdapat dalam akad hanya satu, yaknisighat (ijab qabul). Ada pun rukun-rukun lainnya merupakan derivasi dari sighat.Dalam artian, sighat  tidak akan ada jika tidak terdapat dua pihak yangbertransaksi („akid), jika tidak terdapat obyek yang ditransaksikan (ma‟qud „alaih).Dengan demikian, menurut Hanafiyah sighat  sudah bisa mewakili 2 rukunlainnya.

Berbeda dengan pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Rukun akaddijelaskan secara terperinci, yakni terdiri atas „akid (pihak yang berakad), ma‟qud„alaih  (obyek akad), dan sighat. Dalam jual beli misalnya, yang dinamakan „akid adalah penjual dan pembeli, ma‟qud „alaih adalah harga dan barang, sighat adalahijab qabul.

Ijab Qabul

Ijab qabul  merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak/ akad. Menurut Hanafiyah, ijab 

Page 41: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 41/199

www.belajarsyariahyuk.com

adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yangakan melakukan akad. Dimana ia menunjukkan maksud/ kehendak dengan

penuh kerelaan, baik datangnya dari pihak penjual atau pembeli. Qabul adalahsebaliknya. Untuk menetapkan apakah itu ijab  atau qabul, sangat bergantungpada awal lahirnya ungkapan tersebut, tidak memandang siapa yangmengungkapkannya.

Berbeda dengan Hanafiyah, ijab adalah ungkapan yang dilontarkan olehpemilik barang (penjual, red.), walau pun datangnya kemudian (ownershipoffering). Sedangkan qabul adalah ungkapan yang menunjukkan penerimaan dariorang yang akan memiliki barang (pembeli, red.), walau pun datangnya di awal(accepting).

Ijab qabul dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk (sighat) yang dapat

menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan,tindakan, isyarat, atau pun korespondensi. Ucapan dapat diungkapkan dalamberbagai macam bentuk, yang terpenting dapat merepresentasikan maksud dantujuannya.

Bai’ Mu’athah 

Terkadang, akad juga bisa dikatakan sah walau pun tanpa diungkapkandengan ucapan atau lafadz tertentu. Akan tetapi, dilakukan dengan tindakanoleh kedua pihak yang mencerminkan kerelaan dan kesepakatan diantarakeduanya. Transaksi ini lazim dikenal dengan bai‟ mu‟athah, yakni kontrak

pertukaran yang dilakukan dengan tindakan yang menunjukkan kesepakatan/keridlaan, tanpa diucapkan dengan ijab qabul.

Misalnya, seorang pembeli secara langsung mengambil barang, dankemudian menyerahkan sejumlah uang sesuai harga kepada penjual. Atau,penjual memberikan barang kepada pembeli, dan kemudian pembelimembayarnya, tanpa adanya ucapan atau isyarat.

Realita ini banyak kita temukan dalam transaksi jual beli dewasa ini,terutama di supermarket atau mal. Barang sudah dibubuhi dengan harganya,kemudian jika cocok, seorang pembeli bisa mengambilnya serta membayarnya dikassa (kasir) tanpa adanya ungkapan ijab qabul. Hal ini dibolehkan karena telah

mencerminkan sebuah kesepakatan.Akad mu‟athah  juga bisa kita dapatkan ketika kita naik metro mini, bus

patas dalam kota dan angkutan lainnya. Saat bus itu telah datang, kita langsungmenaikinya tanpa bertransaksi dulu dengan kondektur, setelah duduk kitamembayar ongkosnya tanpa adanya ungkapan ijab qabul.

Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan akad mu‟athah ini. MadzhabHanafiyah dan Hanabalah menyatakan (Al Kasani, IV, hal. 134), akad mu‟athahsah hanya pada diskursus yang bersifat commonsense dalam kehidupan manusia(sudah menjadi „urf , red.). Baik transaksi tersebut dalam jumlah kecil atau besar.

Page 42: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 42/199

www.belajarsyariahyuk.com

Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia menunjukkan adanya kerelaan didalamnya. Namun demikian terdapat satu syarat, yakni harga obyek transaksi

harus diketahui dan sudah dimaklumi kedua pihak.Pendapat madzhab Maliki dan Imam Malik lebih luas dari madzhab

sebelumnya (Ibnu Qudamah, III, hal. 561). Akad mu‟athah  sah jika dilakukandengan tindakan yang mencerminkan kerelaan dan kesepakatan, baik atas hal-hal yang sudah umum dalam masyarakat („urf ) atau pun tidak. Pendapat inilebih luas dan mudah bagi kehidupan manusia. Segala tindakan yangmerefleksikan keridlaan atas suatu transaksi, maka transaksi itu sah adanya.Karena, yang terpenting adalah adanya tindakan yang menunjukkan kehendakkedua pihak untuk melakukan transaksi dengan kesepakatan dan keridlaan.

Madzhab Syafi‟iyyah, Syi‟ah dan Dzahiriyah tidak mengakui keabsahan

akad mu‟athah (As Syaribani, III, hal. 3). Karena tidak terdapat indikasi yang kuatdi dalamnya. Kerelaan dan ridla merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, dantidak bisa dideteksi kecuali dengan ucapan. Sedangkan tindakan tidaksepenuhnya bisa mencerminkan keridlaan tersebut.

Untuk sahnya sebuah akad, diisyaratkan adanya ucapan ataukorespondensi yang jelas, atau pun isyarat yang menunjukkan adanya keridlaan.Namun demikian, terdapat pengikut Syafi‟iyah yang membolehkannya, yakniImam Nawawi, Al Baghawi dan Al Muthawali dalam hal jual beli.

Namun demikian, akad mu‟athah  ini tidak berlaku secara mutlak. Akadnikah tidak bisa dilakukan secara mu‟athah  (dengan tindakan), seperti

memberikan mahar. Akad nikah ini harus dilakukan dengan ucapan yang jelasuntuk menenteramkan hati wanita atas kehendaknya. Selain itu digunakansebagai landasan untuk memberikan persaksian atas akad nikah yang dilakukan.Akan terasa sulit bagi kita untuk memberikan persaksian, kecuali denganmendengarkan lafadz ijab qabul.

Ijab qabul  juga bisa dilakukan dengan korespondensi, baik melalui suratmenyurat, faks, email atau pun via telepon. Majlis akad akan terbentuk ketikasurat, faks, email sampai pada pihak yang dituju. Syafi‟iyyah dan Hanabalahmensyaratkan ketika kedua pihak tidak bisa bertemu secara fisik.

Syarat Ijab QabulSyarat adalah perkara yang dijadikan sebagai landasan atas wujudnya

(eksis) sesuatu dan bukan merupakan bagian inheren atas hakikat sesuatu itu,seperti wudlu ketika akan melakukan shalat. Shalat tidak akan sah tanpa adanyawudlu, tapi ia bukan merupakan unsur inheren yang akan membentukbangunan shalat.

Dalam ijab qabul  terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ulamafiqh menuliskannya sebagai berikut (Al Kasani, V, hal. 136);

Page 43: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 43/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Adanya kejelasan maksud dari kedua pihak. Dalam arti, ijab qabul yangdilakukan harus bisa mengekspresikan tujuan dan maksud keduanya

dalam bertransaksi. Penjual mampu memahami apa yang diinginkan olehpembeli, dan begitu juga sebaliknya.

  Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Terdapat kesesuaian antara ijab

dan qabul dalam hal obyek transaksi atau pun harga. Artinya, terdapatkesamaan di antara keduanya tentang kesepakatan, maksud dan obyektransaksi. Jika tidak terdapat kesesuaian, maka akad dinyatakan batal.Misalnya, pembeli bermaksud membeli mobil tipe X, tapi penjualmemahaminya dengan tipe Y, maka di sini tidak terdapat kesesuaian.

 

Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan dan nyambung). Ijab

qabul dilakukan dalam satu majlis. Satu majlis di sini tidak berarti harusbertemu secara fisik dalam satu tempat. Yang terpenting adalah kedua

pihak mampu mendengarkan maksud masing-masing, apakah akanmenetapkan kesepakatan atau menolaknya.

  Satu majlis akad bisa diartikan sebagai suatu kondisi yang

memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, ataupertemuan pembicaraan dalam satu obyek transaksi. Dalam hal inidisyaratkan adanya kesepakatan antara kedua pihak, tidak menunjukkanadanya penolakan atau pembatalan dari keduanya.

Ijab qabul akan dinyatakan batal, jika (Zuhaili, 1989, IV, hal. 114);

  Penjual menarik kembali ungkapannya sebelum terdapat qabul  dari

pembeli  Adanya penolakan ijab oleh pembeli. Dalam arti, apa yang diungkapkan

penjual tidak disetujui/ ditolak oleh pembeli  Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum mendapatkan

kesepakatan, namun keduanya telah terpisah dari majlis akad, maka ijabqabul dinyatakan batal

 

Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya (syarat kecakapan dalambertransaksi) sebelum terjadi kesepakatan

  Rusaknya obyek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan

‘Akid  (pihak yang bertransaksi)

„Akid adalah pihak-pihak yang akan melakukan transaksi, dalam hal jualbeli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratanatau kriteria yang harus dipenuhi oleh „akid, yakni ia harus memiliki ahliyah danwilayah.

 Ahliyah di sini bermakna, keduanya memiliki kecakapan dan kepatutanuntuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah  jika telahbaligh dan berakal. Wilayah  bisa diartikan sebagai hak atau kewenanganseseorang yang mendapat legalitas syar‟I untuk melakukan transaksi atas suatu

Page 44: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 44/199

www.belajarsyariahyuk.com

obyek tertentu. Artinya, orang tersebut memang merupakan pemilik asli, waliatau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas

untuk men-transaksikan-nya (Zuhaili, 1989, IV, hal. 117, 139).Fudhuli adalah orang yang melakukan transaksi atas perkara atau hak

orang lain, tanpa memiliki wilayah di atasnya. Orang yang melakukan transaksiatas hak orang lain tanpa mendapatkan izin syar‟I. Seperti menikahkan orangtanpa ada izin, menjual atau membeli barang tanpa mendapatkan mandat,menyewa atau menyewakan barang tanpa adanya wilayah atau mandat (taukil).

Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, transaksi  fudhuli  sahadanya. Namun ia mauquf (depend on)  atas izin orang yang memiliki hak atauwilayah atas barang yang ditransaksikan. Jika pemiliknya menyetujuinya, makasah adanya, dan sebaliknya. Pendapat ini dilandasi atas keumuman firman Allah

yang menghalalkan jual beli.Transaksi  fudhuli dilakukan oleh orang yang sempurna ahliyah-nya,

mungkin transaksi yang dilakukan memiliki nilai manfaat bagi pemiliknya dantidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Intinya, kepemilikan dan wilayah merupakan syarat dalam akad. Jika „akid  bukan pemilik dan tidak memilikiwilayah, maka akad dinyatakan mauquf .

Menurut Syafi‟iyah, Hanabalah dan Dzahiriyah, transaksi  fudhuli batiladanya, tidak sah walau pun kemudian mendapatkan izin dan pengesahan daripemilik yang sah. Dengan alasan, transaksi  fudhuli dilakukan atas sesuatu yangtidak dimiliki, transaksi seseorang atas sesuatu yang tidak dimiliki dilarang oleh

syara‟. Sebagaimana hadits Nabi terhadap Hakim bin Hizam; “ Jangan engkau jualatas sesuatu yang tidak engkau miliki”. Dikhawatirkan akan terdapat  gharar , yakniketidakmampuan untuk serah terima barang.

Kedua, setiap transaksi tidak dibenarkan oleh syara‟ kecuali telahterpenuhinya ahliyah dan wilayah bagi „akid. Wilayah tidak akan ada tanpa adanyakepemilikan atau mendapat izin, mandat dari pemilik sah. Fudhuli  merupakantransaksi atas sesuatu yang tidak dimiliki secara sah dan tanpa seizinpemiliknya, maka transaksinya tidak dibenarkan syara‟. Kesimpulannya,kepemilikan dan wilayah merupakan syarat dalam akad. Jika „akid bukan pemilikdan tidak memiliki wilayah, maka akad dinyatakan batal.

 Ma’qud ‘Alaih (obyek transaksi) 

 Ma‟qud „alaih adalah obyek transaksi, sesuatu dimana transaksi dilakukandi atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu.  Ma‟qud „alaih bisaberupa aset-aset finansial (sesuatu yang bernilai ekonomis) atau pun aset non-finansial, seperti wanita dalam akad pernikahan, atau pun bisa berupa manfaatseperti halnya dalam akad ijarah (sewa).

 Ma‟qud „alaih  harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut(Zuhaili, 1989, IV, hal. 173-181);

Page 45: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 45/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Obyek transaksi harus ada ketika akad/ kontrak sedang dilakukan. Tidakdiperbolehkan bertransaksi atas obyek yang belum jelas dan tidak ada

waktu akad. Karena hal ini akan menimbulkan masalah saat serah terima.Banyak hadits Nabi yang melarang untuk menjual sesuatu yang tidakberada dalam kepemilikan atau kekuasannya, menjual sesuatu yangbelum jelas adanya. Menurut Ibnu Taimiyah, boleh saja obyek transaksitidak ada saat kontrak, namun obyek tersebut harus dapat dipastikanadanya di kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan

 

Obyek transaksi harus berupa maal mutaqawwim (harta yang diperbolekansyara‟ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Tidakboleh bertransaksi atas bangkai, darah, babi, anjing dan lainnya. Begitu juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikanyang masih dalam lautan, burung di angkasa.

 

Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, ataudimungkinkan di kemudian hari. Walau pun barang tersebut ada dandimiliki oleh „akid, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad bataladanya.

  Adanya kejelasan tentang obyek transaksi. Dalam arti, barang tersebutdiketahui secara detil oleh kedua pihak, hal ini dimaksudkan untukmenghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari. Obyek transaksitidak bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung unsur gharar .

  Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.Syarat ini diajukan oleh ulama selain madzhab Hanafiyah.

Substansi Akad

Substansi akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad. Substansiakad diartikan sebagai maksud pokok/ tujuan yang ingin dicapai denganadanya akad yang dilakukan. Hal ini merupakan sesuatu yang penting, karenaakan berpengaruh terhadap implikasi tertentu18.

Substansi akad akan berbeda untuk masing-masing akad yang berbeda.Untuk akad jual beli, substansi akadnya adalah pindahnya kepemilikan barangkepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang

dengan adanya upah sewa. Akad pernikahan adalah halalnya untuk bersenang-senang bagi kedua pasangan, dan lainnya.

Motif yang dimiliki oleh seseorang tidak berpengaruh terhadapbangunan akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengansyara‟ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad. Misalnya, seseorangmenyewa sebuah gedung, akad sewa tetap sah dan penyewa berhak untukmemiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah

18 Pembahasan detil terkait dengan substansi akad, dapat dilihat dalam Zuhaili, 1989, IV, hal. 182-184

Page 46: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 46/199

Page 47: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 47/199

www.belajarsyariahyuk.com

Selain itu, kesepakatan ulama tersebut juga berdasarkan hadits Nabi dariSa‟id al Khudlri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu

harus dilakukan suka sama suka…”. Hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi danIbnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum.

Menurut Wahbah Zuhaili, hadits ini terbilang hadits yang panjang,namun demikian hadits ini mendapatkan pengakuan keshahihannya dari IbnuHibban. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli harus dilakukandengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi.Imam Syafii menyatakan, secara asal jual beli diperbolehkan ketika dilaksanakandengan adanya kerelaan/ keridlaan kedua pihak atas transaksi yang dilakukan,dan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang dilarang oleh syariah(Zuhaili, 1989, IV, hal. 188).

Berdasarkan atas kedua dalil di atas, dapat dikatakan bahwa keridlaanmerupakan dasar terbentuknya sebuah akad (kontrak). Pelaku bisnis diberikankebebasan yang luas untuk membangun sebuah akad sepanjang terdapat unsurkeridlaan. Namun demikian, ulama berbeda pendapat terkait dengan kebebasanuntuk melakukan akad (Zuhaili, 1989, IV, hal. 197-201);

Madzhab Ad Dzahiriyah

Menurut madzhab ini, hukum asal dalam membentuk akad adalahdilarang sampai ditemukan dalil yang memperbolehkannya. Dalam arti, setiapakad atau syarat yang ditetapkan dalam akad yang tidak terdapat nash syar‟I

atau ijma‟ ulama, maka akad tersebut batal dan dilarang. Pendapat inisetidaknya didukung oleh dalil-dalil sebagai berikut;

1)  Syariah Islam bersifat komprehensif, dan telah memberikan penjelasansemua aspek kehidupan manusia yang menyangkut kemaslahatan umat,diantaranya adalah akad (kontrak). Kesemuanya itu didasarkan padaaspek keadilan, maka tidak adil jika manusia diberi kebebasan penuhdalam berkontrak, kecuali hal itu akan meruntuhkan ajaran syariah.

2)  Rasulullah SAW bersabda; “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada perintah kami, maka amalan itu ditolak”19. Setiap akad atau syarat yangtidak disyariatkan oleh syara‟ dengan nash atau ijma‟, maka akad

tersebut batal. Karena, jika manusia melakukan akad yang tidak adanashnya, maka dimungkinkan ia akan menghalalkan ataumengharamkan sesuatu yang bertentangan dengan syariah.

19 Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari „Aisyah

Page 48: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 48/199

www.belajarsyariahyuk.com

Madzhab Hanabalah dan Mayoritas Ulama

Menurut ulama ini, hukum asal dalam akad adalah diperbolehkansepanjang tidak ditemukan syara‟ yang melarangnya, atau bertentangandengannya. Pendapat ini didukung oleh dalil berikut ini;

1)  Ayat dan hadits sebagaimana telah disebutkan hanyalah mensyaratkanadanya unsur kerelaan (keridlaan) dalam akad, bukan yang lain.Manusia diberi kebebasan untuk berkontrak demi mewujudkankemaslahatan dirinya. Dengan demikian, mengharamkan sesuatu atassyarat atau akad yang digunakan manusia tanpa menggunakan dalilsyar‟I, sama halnya dengan mengharamkan sesuatu yang tidakdiharamkan Allah. Hukum asal dalam akad dan menentukan syaratyang melekat di dalamnya adalah mubah (diperbolehkan).

2) 

Kegiatan muamalah sangat berbeda dengan ibadah. Dalam konteksibadah, harus terdapat nash yang memerintahkannya, kita tidak bisaberibadah tanpa adanya nash syar‟i. Berbeda dengan muamalah,sepanjang tidak ditemukan nash yang melarangnya, maka hukumnyadiperbolehkan.

Syarat Akad

Menurut madzhab Hanafi, syarat yang ada dalam akad, dapat dikategorikanmenjadi 3 bagian, yakni (Zuhaili, 1989, IV, hal. 203-205); syarat shahih, fasid 

(rusak), dan syarat batil.  Syarat shahih  adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad,

mendukung dan memperkuat substansi akad, dibenarkan oleh syara‟atau sesuai dengan „urf  (kebiasaan) masyarakat.

Contoh syarat yang sesuai dengan substansi akad adalah syarat yangdiajukan oleh penjual untuk membayarkan harga barang, ataumenyerahkan barang bagi pembeli. Ada pun syarat yang mendukungsubstansi akad adalah seorang penjual meminta kafil (penjamin) ataubarang jaminan lainnya (kolateral). Syarat yang dibenarkan syara‟ adalahsyarat adanya hak khiyar  (memilih) bagi salah satu pihak yang

bertransaksi. Sedangkan syarat yang sesuai dengan„urf 

 adalah adanyagaransi atas obyek transaksi semisal mobil, barang elektronik danlainnya.

  Syarat Fasid  adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteriayang ada dalam syarat shahih. Dalam arti, ia tidak sesuai dengansubstansi akad atau mendukungnya, tidak ada nash atau tidak sesuaidengan „urf (kebiasaan) masyarakat, dan syarat itu memberikan manfaatbagi salah satu pihak. Misalnya, menjual rumah dengan syarat penjualharus menempatinya selama satu tahun, dan kasus lainnya yang se-tipe.

Page 49: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 49/199

www.belajarsyariahyuk.com

  Syarat batil adalah syarat yang tidak memenuhi kriteria syarat shahih, dantidak memberikan nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya. Akan

tetapi, malah menimbulkan dampak negatif bagi salah satu pihak.Misalnya, penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjualbarang yang dibelinya kepada seseorang, menjual mobil dengan syarattidak boleh dikendarai oleh seseorang, dll.

Implikasi Akad

Setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan transaksi,memiliki tujuan dasar yang ingin diwujudkannya. Seperti perpindahankepemilikan dalam akad jual beli, kepemilikan manfaat bagi penyewa dalamakad ijarah (sewa), hak untuk menahan barang dalam akad rahn, dan lainnya.

Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban di antarapihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli berkewajiban untukmenyerahkan uang sebagai harga atas obyek transaksi dan berhak mendapatkanbarang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang, danberhak menerima uang sebagai kompensasi barang.

Pertanyaan dan Latihan:

Page 50: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 50/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN IIITEORI JUAL BELI 

Bab 7 Akad Jual BeliTujuan:

 Jual beli merupakan akad yang common  digunakan oleh masyarakat,karena dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpalinguntuk meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minumanmisalnya, terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengansendirinya, tapi akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain,sehingga kemungkinan besar akan terbentuk akad jual beli.

Definisi

Secara linguistik, al bai'  (jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengansesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaranharta (maal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran hartadengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapatkecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksudadalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul (Al Kasani, V, hal. 133).

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu', al bai' adalah pertukaran

Page 51: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 51/199

www.belajarsyariahyuk.com

harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki. Ibnu Qudamahmenyatakan, al bai' adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk

memiliki dan dimiliki ( Mughni al Muhtaj, II, hal. 2 atau III, hal. 559).

Landahbbbbbsaatau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini

berlandasakan an Syariah

 Al bai' tas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupunijma ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktikakad jual beli adalah sebagai berikut:

1)  QS. An Nisaa' (4): 29 :"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kaliansaling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu".Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi-transaksi dalam

muamalah yang dilakukan secara batil. Ayat ini mengindikasikan bahwa AllahSWT melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara batil.Secara batil dalam konteks ini memiliki arti yang sangat luas, diantaranyamelakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara', seperti halnyamelakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif(maisir , judi), ataupun transaksi yang mengandung unsur  gharar (adanyauncertainty/ risiko dalam transaksi) serta hal-hal lain yang bisa dipersamakandengan itu.

Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa upaya untukmendapatkan harta tersebut harus dilakukan dengan adanya kerelaan semuapihak dalam transaksi, seperti kerelaan antara penjual dan pembeli (Tafsir IbnuKatsir, Jilid I, hal. 723). Dalam kaitannya dengan transaksi jual beli, transaksitersebut harus jauh dari unsur bunga, spekulasi ataupun mengandung unsur

 gharar   di dalamnya. Selain itu, ayat ini juga memberikan pemahaman bahwadalam setiap transaksi yang dilaksanakan harus memperhatikan unsur kerelaanbagi semua pihak. Dalam transaksi jual beli harus terdapat kerelaan dari pihakbank sebagai penjual, serta dari pihak nasabah sebagai pembeli atas transaksiyang dilakukan.

2)  QS. Al Baqarah (2): 275 :"...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba...".

Ayat ini merujuk pada kehalalan jual beli dan keharaman riba. Ayat inimenolak argumen kaum musyrikin yang menentang disyariatkannya jual belidalam Al Qur'an. Kaum musyrikin tidak mengakui konsep jual beli yang telahdisyariatkan Allah dalam Al Qur'an, dan menganggapnya identik dan samadengan sistem ribawi.

Untuk itu, dalam ayat ini, Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Allah adalahdzat yang Maha Mengetahui atas hakikat persoalan kehidupan. Jika dalam suatu

Page 52: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 52/199

www.belajarsyariahyuk.com

perkara terdapat kemaslahatan dan manfaat, maka akan Allah perintahkanuntuk melaksanakannya. Dan sebaliknya, jika di dalamnya terdapat kerusakan

dan kemudharatan, maka akan Allah cegah dan larang untuk melakukannya(Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 488). Berdasarkan ketentuan ini, kontrak jual belimendapat pengakuan dan legalitas dari syara', dan sah untuk dioperasionalkandalam praktik pembiayaan bank syariah.

3) 

QS. Al Baqarah (2): 198 :"...Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karuniadari Tuhanmu...".

Ayat ini merujuk pada keabsahan menjalankan usaha guna mendapatkananugerah Allah. Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini diturunkanuntuk menolak anggapan bahwa menjalankan usaha dan perdagangan padamusim haji merupakan perbuatan dosa, karena musim haji adalah saat-saat

untuk mengingat Allah (dzikir). Ayat ini sekaligus memberikan legalisasi atastransaksi ataupun perniagaan yang dilakukan pada saat musim haji (Tafsir IbnuKatsir, Jilid I, hal. 360).

Ayat ini juga mendorong kaum muslimin untuk melakukan upayaperjalanan usaha dalam kerangka mendapatkan anugerah Allah. Dalam konteksakad jual beli, ia merupakan akad antara dua pihak guna menjalankan sebuahusaha dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena padadasarnya manusia saling membutuhkan, dengan demikian legalitasoperasionalnya mendapatkan pengakuan dari syara'.

4) 

Dari Abu Sa'id al Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda,

"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka" (HR. AlBaihaqi dan Ibnu Majah).

Hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakandalil atas keabsahan jual beli secara umum. Menurut Wahbah Zuhaili, hadits initerbilang hadits yang panjang, namun demikian hadits ini mendapatkanpengakuan keshahihannya dari Ibnu Hibban. Hadits ini memberikan prasyaratbahwa akad jual beli harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masingpihak ketika melakukan transaksi.

Imam Syafii menyatakan, secara asal jual beli diperbolehkan ketikadilaksanakan dengan adanya kerelaan/ keridlaan kedua pihak atas transaksi

yang dilakukan, dan sepanjang tidak bertentangan dengan apa yang dilarangoleh syariah (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 346). Segala ketentuan yang terdapatdalam jual beli, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabahdan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.

5)  Ulama muslim sepakat (ijma') atas kebolehan akad jual beli. Ijma' inimemberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengansesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikansesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapatkompensasi yang harus diberikan. Dengan disyariatkannya jual belimerupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan

Page 53: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 53/199

www.belajarsyariahyuk.com

kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bisa hiduptanpa berhubungan dan bantuan orang lain (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal.

346).Berdasarkan atas dalil-dalil yang diungkapkan, jelas sekali bahwa praktik

akad/ kontrak jual beli mendapatkan pengakuan dan legalitas dari syara', dansah untuk dilaksanakan dan bahkan dioperasionalkan dalam kehidupanmanusia.

 Rukun Jual Beli

Menurut madzhab Hanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual belihanyalah sighat, yakni pernyataan ijab dan qabul yang merefleksikan keinginanmasing-masing pihak untuk melakukan transaksi. Berbeda dengan mayoritasulama (jumhur), rukun yang terdapat dalam akad jual beli terdiri dari „akid (penjual dan pembeli), ma‟qud „alaih  (harga dan obyek) serta sighat  (ijab qabul,Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 346). Untuk memahami perbedaan ini, bisa dibacakembali dalam pembahasan teori akad.

Syarat Jual beli

Dalam akad jual beli harus disempurnakan 4 macam syarat (Zuhaili,1989, Jilid IV, hal. 346), yakni syarat in‟iqad, syarat sah, syarat nafadz, dan syaratluzum. Tujuan adanya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya

pertentangan dan perselisihan di antara pihak yang bertransaksi, menjaga hakdan kemaslahatan kedua pihak, serta menghilangkan segala bentukketidakpastian dan risiko.

 Jika salah satu syarat dalam syarat in‟iqad  tidak terpenuhi, maka akadakan menjadi batil. Jika dalam syarat sah tidak lengkap, maka akad menjadi fasid, jika dalam salah satu syarat nafadz  tidak dipenuhi, maka akad menjadi mauquf ,dan jika salah satu syarat luzum  tidak dipenuhi, maka pihak yang bertransaksimemiliki hak khiyar , meneruskan atau membatalkan akad.

  Syarat In’iqad 

Merupakan syarat yang harus diwujudkan dalam akad sehingga akadtersebut diperbolehkan secara syar‟I, jika tidak lengkap, maka akad menjadibatal. Menurut madzhab Hanafiyah, syarat in‟iqad  terdiri 4 macam, yakniterdapat dalam „akid, dalam akad itu sendiri, tempat terjadinya akad, dan ma‟qud„alaih.

1) 

Seorang „akid  harus memenuhi syarat sebagai berikut (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 354-356);

  Orang yang melakukan transaksi („akid) harus berbilang, dalamarti terdapat dua pihak yang melakukan transaksi (penjual &

Page 54: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 54/199

www.belajarsyariahyuk.com

pembeli). Jual beli tidak sah dengan perantara wakil dari keduapihak, karena dalam jual beli terdapat hak yang bersifat

kontradiktif, seperti menerima barang dan membayar uang, danlainnya.

  Seorang „akid  haruslah orang yang berakal dan tamyiz  (dapatmembedakan hal yang baik dan buruk), dengan demikian akadtidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yangbelum berakal.

  Menurut madzhab Hanafiyah tidak dipersyaratkan adanya baligh,anak kecil yang telah tamyiz dan berumur 7 tahun diperbolehkanmelakukan akad dengan kondisi sebagai berikut;

 

Transaksi yang dapat memberikan manfaat murni,

seperti berburu, mencari kayu bakar, mencari rumput,menerima hibah (pemberian), hadiah, sedekah danwasiat. Semua jenis transaksi ini sah dilakukan anakkecil yang berakal tanpa adanya izin atau persetujuandari wali, karena transaksi ini menimbulkan manfaatyang sempurna bagi anak tersebut.

  Transaksi yang dapat menimbulkan kemadlaratan

(bahaya) murni, seperti melakukan talaq, memberikanhadiah, sedekah, meminjamkan uang dan lainnya.Transaksi ini tidak sah dilakukan anak kecil, walaupun

mendapatkan persetujuan dari wali, wali tidak bolehmemberikan izin, karena terdapat bahaya di dalamnya.

  Transaksi yang mengandung unsur manfaat danbahaya, seperti jual beli, ijarah  (sewa),  partnership (musyarakah, muzar a‟ah, mudharabah) dan lainnya.Transaksi ini boleh dilakukan oleh anak kecil yangtamyiz, dengan catatan (mauquf ) mendapakanpersetujuan dari wali.

2) 

Syarat yang harus ada terkait dengan akad itu sendiri adalah adanya

kesesuaian antara ijab dan qabul, sebagaimana telah dijelaskan dalamteori akad.

3)  Syarat yang harus dipenuhi berhubungan dengan tempatdilakukannya akad adalah adanya ittihad majlis al „aqd  (berada dalamsatu majlis). Penjual dan pembeli harus dalam satu majlis akad, namunhal ini tidak berarti keduanya harus bertemu secara fisik, sebagaimanatelah dijelaskan dalam teori akad.

4)  Obyek transaksi (ma‟qud „alaih) harus memenuhi 4 kriteria sebagaiberikut (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 357-358);

Page 55: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 55/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Obyek transaksi harus ada ketika akad dilakukan, tidak sahmelakukan transaksi atas barang yang tidak wujud (ma‟dum),

seperti menjual susu yang masih berada dalam perahan, danlainnya. Berbeda dengan jual beli salam dan atau istishna‟.  

  Obyek transaksi merupakan harta yang diperbolehkan olehsyara‟, yakni harta yang memiliki nilai manfaat bagi manusiadan memungkinkan untuk disimpan serta diperbolehkan olehsyara‟. Tidak boleh melakukan perdagangan atas manusiamerdeka, bangkai, darah, miras, narkoba, babi dan lainnya.

  Obyek transaksi berada dalam kepemilikan penjual, tidakboleh menjual barang yang berada dalam kepemilikan oranglain atau berada dalam alam bebas. Seperti menjual air sungai

yang belum disimpan ( packing), cahaya matahari, oksigenbebas, hewan di hutan, ikan di lautan dan lainnya.

  Obyek transaksi bisa diserahterimakan ketika atau setelah akadberlangsung. Tidak boleh menjual barang yang berada dalamkepemilikan penjual tapi tidak bisa diserahterimakan, sepertihewan yang lepas, burung di udara dan lainnya.

 Syarat Nafadz

Untuk menyatakan apakah sebuah akad bersifat nafadz  atau mauquf ,terdapat 2 kriteria yang harus dipenuhi;

1) 

Kepemilikan dan wilayah (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 371). Obyektransaksi yang akan ditasarrufkan merupakan milik murni penjual, dalamarti penjual haruslah pemilik asli dan memiliki kemampuan penuh untukmentransaksikannya. Sedangkan wilayah bisa diartikan sebagai hak ataukewenangan seseorang yang mendapat legalitas syar‟I untuk melakukantransaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya, orang tersebut memangmerupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi,sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk men-transaksikan-nya. Keduaistilah ini saling memperkuat satu sama lainnya untuk menentukan mauquf( postponed) atau tidaknya sebuah akad, seperti bai‟ al fudhuli.

2) 

Dalam obyek transaksi tidak terdapat hak atau kepemilikan orang lain(Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 372), jika terdapat hak orang lain, maka akadmenjadi mauquf . Seperti menjual barang yang sedang digadaikan, barangyang sedang disewakan. Jual beli ini bersifat mauquf   (bergantung) padapersetujuan orang yang menerima gadai atau penyewa. Menurut MustafaAhmad Zarqa, jual beli ini tidak bersifat mauquf, karena sudah terdapatpersetujuan dari pemilik asli atau orang yang memiliki wilayah, jual belitetap bersifat nafadz  ( going concern), tapi obyek transaksi tidak bisadiserahterimakan kepada pembeli tanpa mendapatkan keridlaan penyewa.Selain itu, pembeli juga diberi hak khiyar untuk membatalkan akad atau

Page 56: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 56/199

www.belajarsyariahyuk.com

menunggu berakhirnya masa sewa.

Bai’ al Fudhuli 

 Al fudhuli (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 373), secara asal bermakna orangyang melakukan transaksi atas sesuatu yang tidak berhubungan dengankepentingannya, atau orang yang melakukan kontrak/ akad tanpa memilikiwilayah atas obyek yang ditransaksikan. Seperti menjual atau membeli baranguntuk atau atas nama orang lain, menyewa atau menyewakan untuk orang laintanpa mendapatkan mandat, wasiat, wilayah  atau izin orang lain. Intinya, al

 fudhuli  adalah melakukan transaksi atas barang yang menjadi milik orang laintanpa mendapatkan izin darinya.

Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal.375), jual beli al fudhuli diperbolehkan, akan tetapi bersifat mauquf  (bergantung)pada persetujuan orang yang memiliki kepentingan (pemilik barang). Hal inidisandarkan pada keumuman kehalalan jual beli yang dijelaskan dalam surat AnNisaa‟: 29 dan Al Baqarah: 275. Selain itu juga mempertimbangkan aspekmaslahat yang mungkin akan diterima oleh pemilik barang, karena pemilikbarang tidak akan memeberikan persetujuan kalau tidak terdapat manfaat didalamnya.

Berbeda dengan madzhab Syafi‟iyah dan Dzahiriyah (Zuhaili, 1989, JilidIV, hal. 376), jual beli al fudhuli batal secara mutlak. Dengan alasan, dalam jualbeli disyaratkan obyek transaksi harus berada dalam kepemilikan penjual. Hal

ini disandarkan pada hadits Nabi yang melarang untuk menjual sesuatu yangbukan miliknya. Larangan ini mengandung makna untuk menghilangkan unsur

 gharar (ketidakpastian) yang melekat di dalamnya, yakni ketidakmampuanuntuk menyerahkan barang di waktu akad, serta akan menimbulkan perselisihandi kemudian waktu.

 Syarat Sah

Syarat Umum 

Merupakan syarat yang harus disempurnakan dalam setiap transaksi jualbeli agar jual beli tersebut menjadi sah dalam pandangan syara‟. Dalam arti, akad jual beli tersebut terbebas dari cacat (aib) yang meliputi;  jahalah (ketidaktahuan),ikrah  (paksaan), tauqit  (timely),  gharar   (uncertainty), dlarar (bahaya), dan syarat-syarat yang merusak ( fasid, Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 379).

1)   Jahalah. Yang dimaksud di sini adalah  jahalah fahisyah, yakniketidakjelasan yang bersifat fatal dan akan menimbulkanperselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi, keduanyadalam posisi yang kuat. Sifat  jahalah  ini terdiri atas; ketidakjelasanobyek transaksi, baik dari segi jenis, macam dan kadarnya (kualitasdan kuantitas), ketidakjelasan harga jual obyek transaksi, serta

Page 57: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 57/199

www.belajarsyariahyuk.com

ketidakjelasan waktu pembayaran dalam konteks jual beli kredit,waktunya harus ditentukan secara jelas sehingga akad akan terbebas

dari sifat fasid.2)  Ikrah (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 380). Salah satu pihak yang

bertransaksi mendapatkan pressure (intimidasi) dari pihak lain untukmelakukan sebuah transaksi. Misalnya, dia akan dibunuh, dianiaya,di sandera kalau tidak melakukan transaksi jual beli. Sehingga,transaksi yang dilakukan atas dasar paksaan. Menurut Hanafiyah, jual beli ini bersifat mauquf , karena jika pihak yang dipaksa telahmerelakan transaksi yang dilakukan setelah tidak adanya intimidasi,maka transaksi jual beli menjadi sah adanya.

3)  Tauqit. Yakni transaksi jual beli yang dibatasi dengan waktu

tertentu, misalnya menjual mobil dengan batasan waktukepemilikan selama satu tahun, setelah satu tahun lewat makakepemilikan mobil kembali kepada penjual. Transaksi jual beli ini

 fasid adanya.

4)  Gharar   (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 381). Adanya ketidakpastiantentang obyek transaksi, baik dari segi kriteria ataupun keberadaanobyek tersebut. Sehingga keberadaan obyek tersebut masihdiragukan oleh pembeli.

5) 

Dlarar . Adanya bahaya/ kerugian yang akan diterima oleh penjualketika terjadi serahterima barang, seperti menjual lengan baju, pintu

mobil dan lainnya. Namun demikian, jika penjual merasa nyamandengan penyerahan obyek transkasi tersebut, maka jual beli akantetap sah.

6) 

Syarat Fasid. Penetapan syarat yang akan memberikan nilai manfaatbagi salah satu pihak, dan syarat tersebut bertentangan dengansyara‟, „urf ataupun substansi akad. Misalnya, penjual mensyaratkanuntuk menggunakan mobilnya kembali selama satu bulan setelahterjadi transaksi jual beli dilakukan, dan lainnya.

Syarat Khusus

Terdapat beberapa syarat khusus yang diperuntukkan untuk akad-akadtertentu sebagai berikut (Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 382);

1.  Adanya serahterima atas obyek transaksi yang berupa hartamanqulat  dari penjual pertama, karena harta ini memiliki potensirusak sangat besar, sehingga akan menimbulkan  gharar   pada jualbeli kedua, jika barang belum berada dalam genggaman penjualkedua

2. 

Mengetahui harga awal (harga pokok pembelian) dalam jual belimurabahah, tauliyah, wadli‟ah atau isyrak 

Page 58: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 58/199

www.belajarsyariahyuk.com

3. 

Serahterima kedua komoditas sebelum berpisah dalam konteks jualbeli valas

4. 

Sempurnanya syarat-syarat dalam akad salam

5.  Adanya persamaan dalam transaksi barang ribawi dan terbebas darisyubhat riba

 Syarat Luzum 

Merupakan syarat yang akan menentukan akad jual beli bersifatsustainable  atau tidak, yakni tidak ada ruang bagi salah satu pihak untukmelakukan pembatalan akad. Syarat luzum mensyaratkan terbebasnya akad darisegala macam bentuk khiyar, baik khiyar syarat, sifat, ta‟yin, ru‟yah,  „aib  dan

lainnya (akan dibahas kemudian). Jika dalam akad jual beli salah satu pihakmemiliki hak khiyar, maka akad jual beli tidak bisa dijamin akan sustainable,suatu saat akad tersebut bisa dibatalkan oleh pihak yang memiliki hak khiyar(Zuhaili, 1989, Jilid IV, hal. 383).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 59: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 59/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 8 Jual Beli Murabahah

Tujuan:

Macam Jual Beli

Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalamfiqh muamalah terbilang sangat beragam, jumlahnya bisa mencapai belasan jikatidak puluhan. Namun demikian, di antara beragam bentuk akad jual belitersebut dapat dikategorikan dengan spesifikasi tertentu. Jika dilihat dari obyektransaksinya, akad jual beli dapat dikategorikan menjadi 4 macam, yakni:

1)  Bai' Al Muqaayadlah, yaitu pertukaran/ jual beli riil aset ('ain, benda,komoditas) dengan riil aset, seperti pertukaran pakaian dengan bahanmakanan.

2)   Al Bai' al Muthlaq, yaitu jual beli/ pertukaran antara riil aset dengan financial aset (uang), yakni jual beli barang dengan harga tertentu, seperti jual beli komputer dengan harga Rp.3.000.000,-.

3)   Al Sharf , yaitu jual beli aset finansial dengan aset finansial, yakni jual beli

uang dengan uang (transaksi valas), seperti jual beli dollar dengan

rupiah, satu dollar dijual dengan harga Rp.10.000 rupiah.4)   As Salam, yaitu pertukaran/ jual beli aset finansial dengan riil aset,

artinya harga/ uang diserahkan pada saat kontrak, sedangkan barangdiserahkan di kemudian hari.

Sedangkan jika dilihat dari penentuan harganya, akad jual beli dapatdikategorikan menjadi 4 macam juga, yakni:

1)  Bai' al Murabahah, yaitu jual beli barang dengan harga pokok pembelianditambah dengan tingkat keuntungan tertentu (margin) yangdiinformasikan kepada pembeli.

Page 60: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 60/199

www.belajarsyariahyuk.com

2)  Bai‟ al Tauliyah, yaitu jual beli barang dengan harga sama dengan harga

pokok pembelian, tanpa ada penambahan atau pengurangan

3) 

Bai‟ al Wadli‟ah, yakni jual beli barang dengan harga kurang dari hargapokok pembelian (terdapat tingkat kerugian tertentu)

4)  Bai‟ al Musawamah, yakni jual beli dengan adanya kesepakatan antarapenjual dan pembeli tentang harga barang

Selain itu, juga terdapat macam-macam jual beli lainnya, diantaranya jualbeli istishna', bai' bitsamanin ajil, bai' 'urbun, dan lainnya (Zuhaili, jilid IV, hal.595-596).

Pengertian Jual Beli Murabahah

Secara linguistik, murabahah berasal dari kata ribh  yang bermaknatumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Perniagaan yang dilakukanmengalami perkembangan dan pertumbuhan. Menjual barang secara murabahahberarti menjual barang dengan adanya tingkat keuntungan tertentu, misalnyamendapatkan keuntungan 1 dirham atas harga pokok pembelian 10 dirham(Lisan al „Arab, jilid 5, hal. 103 bahasan ribh ).

Secara istilah, terdapat definisi yang diberikan ulama. Di antaranya, IbnuRusyd al Maliki mengatakan(Bidayah al Mujtahid, Jilid II, hal. 178), murabahahadalah jual beli komoditas dimana penjual memberikan informasi kepadapembeli tentang harga pokok pembelian barang dan tingkat keuntungan yangdiinginkan.

Al Mawardi al Syafii menyatakan ( Al Hawi al Kabir , jilid 5, hal. 279),murabahah adalah seorang penjual mengatakan, saya menjual pakaian ini secaramurabahah, dimana saya membeli pakaian ini dengan harga 100 dirham, dansaya menginginkan keuntungan sebesar 1 dirham atas setiap 10 dirham hargabeli.

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah jual belidengan dasar adanya informasi dari pihak penjual terkait dengan harga pokokpembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan. Murabahah merupakansalah satu bentuk jual beli amanah (atas dasar kepercayaan), sehingga hargapokok pembelian dan tingkat keuntungan harus diketahui secara jelas.

Murabahah adalah jual beli dengan harga jual sama dengan harga pokokpembelian ditambah dengan tingkat keuntungan tertentu yang disepakati keduapihak (Ifanah, Bai‟ al Murabahah, hal. 21).

 Murabahah  merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjualmemberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkanuntuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profityang diinginkan yang tercermin dalam harga jual.  Murabahah  bukanlahmerupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/ kredit kepada oranglain dengan adanya penambahan interest/ bunga, akan tetapi ia merupakan jualbeli komoditas (Usmani, 2002, hal. 125).

Page 61: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 61/199

www.belajarsyariahyuk.com

 Murabahah  menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkanpermintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan

harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yangdiinginkan. Dengan demikian, pihak bank diwajibkan untuk men-disclose (menerangkan) tentang harga beli dan tambahan keuntungan yang diinginkankepada nasabah.

Dalam konteks ini, bank tidak meminjamkan uang kepada nasabah untukmembeli komoditas tertentu, akan tetapi seharusnya pihak bank-lah yangberkewajiban untuk membelikan komoditas pesanan nasabah dari pihak ketiga,dan baru kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga yangdisepakati kedua pihak.

 Murabahah  berbeda dengan jual beli biasa (musawamah) dimana dalam

 jual beli musawamah terdapat proses tawar-menawar (bargaining) antara penjualdan pembeli untuk menentukan harga jual, dimana penjual juga tidakmenyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan. Berbeda denganmurabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan kepadapembeli.

Menurut pandangan ulama fiqh,  Murabahah merupakan bentuk jual beliyang diperbolehkan (Al Kasani, hal. 226-228).  Murabahah  mencerminkantransaksi jual beli dimana harga jual merupakan akumulasi dari biaya-biayayang telah dikeluarkan untuk mendatangkan obyek transaksi (harga pokokpembelian) dengan tambahan keuntungan tertentu yang diinginkan penjual(margin), dimana harga beli dan jumlah keuntungan yang diinginkan diketahui

oleh pembeli. Dalam arti, pembeli diberitahu berapa harga belinya dan tambahankeuntungan yang diinginkan. Menurut Imam Al Kasani,  Murabahah  merupakanbentuk jual beli dengan diketahuinya harga awal (harga beli) dengan adanyatambahan keuntungan tertentu.

Landasan Syariah Jual Beli Murabahah

Bai‟ murabahah  merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal iniberlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktikakad jual beli murabahah adalah sebagai berikut 

1. 

“Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan (mengambil) hartasesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yangberlaku dengan sukarela di antaramu”

QS. An Nisa (4): 29. Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang bathil. Diantara transaksi yang dikategorikan bathil adalah yang mengandung bunga(riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbedadengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan unsur bunga, namunhanya menggunakan margin. Di samping itu, ayat ini mewajibkan untukkeabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip

Page 62: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 62/199

www.belajarsyariahyuk.com

kesepakatan antar para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yangmenjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiban

masing-masing.2.  “…dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” QS. Al

Baqarah (2): 275 merujuk pada kehalalan jual beli dan keharaman riba.Dalam ayat ini, Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual belisecara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkanketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitasdari syara', dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaanbank syariah karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidakmengandung unsur ribawi.

3.  Dari Abu Said al Khudri bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jual

beli itu harus dilakukan suka sama suka”. Hadits yang diriwayatkan oleh AlBaihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual belisecara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual belimurabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masingpihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yangdiinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapatpersetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisaditentukan secara sepihak.

4. 

Nabi bersabda: “ Ada tiga hal yang mengandung berkah, jual beli tidak secaratunai, muqaradlah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan jewawut

untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”.

Hadits riwayat Ibn Majah merupakan dalil lain dibolehkannya murabahahyang dilakukan secara tempo. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikianbanyak ulama yang menggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabahataupun jual beli tempo. Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam artitumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat pada perniagaan, terlebih pada jualbeli yang dilakukan secara tempo ataupun akad mudharabah sebagaimanadisabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut.

Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikandiperbolehkannya praktik jual beli yang dilakukan secara tempo, begitu juga

dengan pembiayaan murabahah yang dilakukan secara tempo, dalam arti,nasabah diberi tenggang waktu untuk melakukan pelunasan atas hargakomoditas sesuai kesepakatan.

Syarat dan Rukun Jual Beli Murabahah

Al Kasani (hal. 220-222) menyatakan bahwa akad bai‟ murabahah  akandikatakan sah, jika memenuhi beberapa syarat berikut ini:

Page 63: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 63/199

www.belajarsyariahyuk.com

1. 

Mengetahui harga pokok (harga beli), disyaratkan bahwa harga beliharus diketahui oleh pembeli kedua, karena hal itu merupakan syarat

mutlak bagi keabsahan bai‟ murabahah. Penjual kedua harus men-disclose harga beli kepada pihak pembeli kedua, hal ini juga berlaku bagi bentuk jual beli yang berdasarkan kepercayaan, seperti halnya at Tauliyah, al

Isyrak  ataupun al Wadli‟ah, dimana akad jual beli ini berdasarkan ataskejelasan informasi tentang harga beli. Jika harga beli tidak dijelaskankepada pembeli kedua dan ia telah meninggalkan majlis, maka jual belidinyatakan rusak dan akadnya batal.

2.  Adanya kejelasan margin  (keuntungan) yang diinginkan penjual kedua,keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada pembeli kedua ataudengan menyebutkan prosentase dari harga beli.  Margin juga merupakanbagian dari harga, karena harga pokok plus margin merupakan harga jual,dan mengetahui harga jual merupakan syarat sahnya jual beli.

3. 

Modal yang digunakan untuk membeli obyek transaksi harus merupakanbarang mitsli, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkahbaiknya jika menggunakan uang. Jika modal yang dipakai merupakanbarang qimi/ ghair mitsli, misalnya pakaian dan marginnya berupa uang,maka diperbolehkan. Seperti misalnya, saya jual tape recorder   ini denganhand phone  yang kamu miliki ditambah dengan Rp.500.000,- sebagaimargin, maka diperbolehkan.

4. 

Obyek transaksi dan alat pembayaran yang digunakan tidak bolehberupa barang ribawi, seperti halnya menjual 100 dollar dengan harga

110 dollar, margin  yang diinginkan (dalam hal ini 10 dollar) bukanmerupakan keuntungan yang diperbolehkan, akan tetapi merupakanbagian dari riba. Berbeda dengan misalnya, menjual 100 dollar denganharga Rp.900.000,- plus margin sebesar Rp.100.000,- atau ditambah dengansebuah walkman, maka hal ini diperbolehkan, karena berbeda jenis. Jikaobyek transaksi dan alat bayar merupakan barang ribawi dan satu jenis,maka tambahan/ margin  yang ditambahkan merupakan riba (AlSyarkhosi, 1989, hal. 82,89).

5.  Akad jual beli pertama harus sah adanya, artinya transaki yang dilakukanpenjual pertama dan pembeli pertama harus sah, jika tidak, maka

transaksi yang dilakukan penjual kedua (pembeli pertama) denganpembeli kedua hukumnya fasid/  rusak dan akadnya batal. Dengan alasan,Bai‟  Murabahah  berdasarkan atas adanya harga beli (pokok) ditambahdengan margin sebagai keuntungan, jika harga belinya bermasalah, makasecara otomatis harga jual juga bermasalah. (Zuhaili, 1989, hal. 705-706)

6.  Informasi yang wajib dan tidak diberitahukan dalam bai‟ murabahah. Bai‟ murabahah  merupakan jual beli yang disandarkan pada sebuahkepercayaan, karena pembeli percaya atas informasi yang diberikanpenjual tentang harga beli/ pokok dan margin yang diinginkan, dengandemikian penjual tidak boleh berkhiyanat. Banyak sekali ayat maupun

Page 64: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 64/199

www.belajarsyariahyuk.com

hadits yang melarang seorang muslim untuk berkhiyanat terhadapsaudaranya. Berdasarkan atas ketentuan ini, maka jika komoditas yang

berada di tangan penjual terdapat cacat/ aib, maka apa yang harusdilakukan?. Jika aib atau cacat yang menempel pada obyek transaksidikarenakan adanya force majeur  (kekuatan eksternal/ bencana alam) danbukan karena kelalaian penjual, disini ulama fiqh berbeda pendapat.

Menurut Hanafiyah (Al Kasani, hal. 223), aib/ cacat tersebut tidak usahdijelaskan dan diperbolehkan untuk dijual secara murabahah, karena aib itudatang dengan sendirinya, dan harga beli yang telah dibayarkan mencerminkankondisi barang. Berbeda dengan Zafar dan jumhur ulama (Al Khatib, 1934, hal.79), barang yang terkena aib/ cacat tersebut tidak boleh dijual secara murabahah

sampai penjual menjelaskan aib yang ada, hal itu dimaksudkan untuk mencegahterjadinya khiyanat, karena persepsi orang akan berbeda ketika melihat aib, danbagaimanapun juga, aib yang ada bisa mengurangi nilai ekonomis barangtersebut.

 Jika aib/ cacat yang melekat pada barang disebabkan kelalaian penjualatau memang karena ulahnya atau dia tidak bisa menjaganya dari orang lain,maka barang tersebut tidak boleh dijual secara murabahah, kecuali ia mau untukmenjelaskan cacat yang ada dan ditemukan sebuah kesepakatan denganpembeli.

 Jika obyek transaksi merupakan hewan ternak, dan setelah terjaditransaksi jual beli yang pertama ternyata ternak tersebut beranak, atau air susuatau bulunya bertambah, maka hewan tersebut tidak boleh dijual secara

murabahah, kecuali penjual mau untuk menjelaskan kondisi yang ada. Denganalasan, menurut Hanafiyah sesuatu yang bertambah kemudian juga akanmenjadi obyek transaksi.

 Jika pembeli pertama membeli barang secara tempo, misalnya membelimobil seharga Rp.110.000.000,- dengan jangka waktu pembayaran selama 1tahun, maka tidak boleh dijual secara murabahah, karena biasanya dalam jual belikredit/ tempo, faktor waktu bisa mempengaruhi harga yang ditawarkan, dengandemikian harus dijelaskan (Al Khatib, 1934, hal. 79).

Menurut jumhur ulama, rukun dan syarat yang terdapat dalam bai‟murabahah sama dengan rukun dan syarat yang terdapat dalam jual beli, dan hal

itu identik dengan rukun dan syarat yang harus ada dalam akad. MenurutHanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual beli hanya satu, yaitu sighat (ijab danqabul), adapun rukun-rukun lainnya merupakan derivasi dari sighat. Dalamartian, sighat  tidak akan ada jika tidak terdapat dua pihak yang bertransaksi,misalnya penjual dan pembeli, dalam melakukan akad (sighat) tentunya adasesuatu yang harus ditransaksikan, yakni obyek transaksi.

Dengan demikian, menurut Hanafiyah sighat  sudah bisa mewakili 2rukun lainnya. Berbeda dengan jumhur ulama (Al Khatib, 1934, hal. 3), rukunyang terdapat dalan jual beli dijelaskan secara terperinci, yaitu „Aqid (orang yang

Page 65: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 65/199

www.belajarsyariahyuk.com

bertransaksi, dalam hal ini penjual dan pembeli), sighat  (ijab  dan qabul), danma‟qud „alaih (obyek transaksi, yakni harga dan barang).

Ijab dan qabul merupakan representasi dari sighat dimana ia merupakanungkapan yang dikeluarkan oleh kedua pihak yang bertransaksi untukmengungkapkan keinginan masing-masing guna mewujudkan atau membangunsebuah kesepakatan/ kontrak. Hal itu bisa dilakukan secara verbal dengan kata-kata, dengan tindakan-tindakan tertentu, dengan isyarat, lewat surat, e-mail, fax,ataupun via telepon.

Dalam ijab  dan qabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi(Zuhaili, 1989, IV, hal. 105-106):

  adanya kejelasan maksud dari kedua pihak, dalam arti, ijab dan qabulyang dilakukan harus bisa mengekspresikan tujuan dan maksud

keduanya dalam bertransaksi. Penjual mampu memahami apa yangdiinginkan oleh pembeli, dan begitu sebaliknya.

  adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Terdapat kesesuaian antara ijab dan qabul  dalam hal obyek transaksi ataupun harga, artinya terdapatkesamaan diantara keduanya tentang kesepakatan, maksud, dan obyektransaksi. Jika tidak terdapat kesesuaian, maka akad dinyatakan batal.Misalnya, pembeli bermaksud membeli HP tipe 3310, akan tetapi penjualmemahaminya HP tipe 3315, maka disini tidak terdapat kesesuaian.

 

adanya pertemuan antara ijab  dan qabul (berurutan dan nyambung),yakni ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Satu majlis disini tidak

berarti harus bertemu secara fisik dalam satu tempat, yang terpentingadalah kedua pihak mampu mendengarkan maksud dari kedua pihak,apakah akan menetapkan kesepakatan atau menolaknya.  Majlis akad bisadiartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua pihak untukmembuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan dalam satu obyektransaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya: kesepakatan antara keduapihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan darikeduanya.

Ijab dan qabul akan dinyatakan batal jika:

 

penjual menarik kembali ungkapannya sebelum terdapat qabul daripembeli,

  adanya penolakan ijab oleh pembeli, dalam arti, apa yang diungkapkanpenjual tidak disetujui/ ditolak oleh pembeli,

  berakhirnya majlis akad, jika kedua pihak belum mendapat kesepakatandalam majlis akad, dan keduanya telah terpisah, maka ijab qabul dinyatakan batal,

  kedua pihak atau salah satu pihak hilang ahliyah-nya (syarat kecakapandalam melakukan transaksi) sebelum terjadi kesepakatan,

Page 66: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 66/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

rusaknya obyek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan(Zuhaili, 1989, IV, hal. 114).

„Aqid merupakan pihak-pihak yang akan melakukan transaksi, dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikanpersyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh „aqid, yakni ia harus memilikiahliyah dan wilayah.

 Ahliyah  disini bermakna bahwa keduanya memiliki kepatutan ataukecakapan untuk melakukan transaksi dan mendapat otoritas dari syara‟,biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh dan berakal. Wilayah bisadiartikan sebagai hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syari‟ untuk melakukan transaksi atau suatu obyek tertentu, artinya orang tersebutmemang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi

sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk men-transaksikan-nya (Zuhaili,1989, IV, hal. 117,139).

 Ma‟qud „alaih  merupakan obyek transaksi, sesuatu dimana transaksidilakukan di atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu.  Ma‟qud

„alaih bisa berupa aset-aset finansial ataupun non-finansial, seperti wanita dalamakad pernikahan, atau pun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad ijarah(sewa).

 Ma‟qud „alaih  harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: pertama, obyek transaksi tersebut harus ada ketika akad/ kontrak sedangdilakukan, tidak diperbolehkan bertransaksi atas obyek yang belum jelas dan

tidak hadir dalam waktu akad, karena hal itu akan menjadi masalah ketika harusdilakukan serah terima.

Banyak hadits Nabi yang melarang untuk menjual sesuatu yang belumberada dalam kekuasaannya, menjual sesuatu yang belum jelas adanya. MenurutIbnu Taimiyah, boleh saja obyek transaksi tidak ada ketika dilakukan transaksi,akan tetapi obyek tersebut harus bisa dipastikan adanya di kemudian harisehingga bisa diserahterimakan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 173-174).

Kedua, obyek transaksi tersebut harus berupa maal mutaqawwim  (hartayang diperbolehkan syara‟ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh olehpemiliknya. Tidak boleh men-transaksi-kan bangkai, darah, babi, anjing,

minuman keras dan lain-lain. Begitu juga barang yang belum berada dalamgenggaman pemilik, seperti ikan yang masih berada di dasar lautan, burung diangkasa, dan lainnya (Zuhaili, 1989, IV, hal. 177).

Ketiga, obyek transaksi bisa diserah-terimakan waktu terjadinya akadatau dimungkinkan di kemudian hari, obyek harus bisa diserah-terimakan, jikatidak, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki oleh „akid, maka transaksidinyatakan batal.

Keempat, adanya kejelasan tentang obyek transaksi, dalam arti barangtersebut diketahui dengan sejels-jelasnya oleh kedua pihak, hal ini dimaksudkanuntuk menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari. Obyek transaksi

Page 67: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 67/199

www.belajarsyariahyuk.com

tidak boleh bersifat majhul  (tidak diketahui) dan mengandung unsur  gharar .Kelima, obyek tersebut harus suci, tidak najis dan bukan barang najis, syarat ini

diajukan oleh ulama selain Hanafiyah (Zuhaili, 1989, IV, hal. 179-181).

Modal dan Unsur Pendukungnya

Modal di sini diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan penjual untukmendapatkan komoditas yang dijadikan sebagai obyek akad jual belimurabahah, biaya yang digunakan untuk membeli komoditas. Modal dalam jualbeli ini tidak hanya terdiri atas harga pokok pembelian, tapi terdapat unsurpendukung lainnya. Yaitu, biaya lain yang dikeluarkan untuk mendapatkankomoditas tersebut, mulai dari biaya transportasi, administrasi, biayapemeliharaan, biaya distribusi dan biaya lainnya yang terkait dan melekat

dengan komoditas (overhead cost).

Biaya yang dikeluarkan terkait dengan kepentingan pribadi penjual, tidakbisa dimasukkan dalam modal, seperti makan minum, biaya dokter dan lainnya.Total dari harga pokok pembelian plus biaya-biaya pendukung ditambahdengan margin, merupakan harga jual murabahah yang ditawarkan kepadapembeli.

Penjual berkewajiban untuk men-disclose semua informasi terkait dengan jual beli murabahah, baik dari harga pokok pembelian ataupun margin yangdiinginkan. Jika dalam obyek transaksi terdapat cacat, maka penjual harusmenjelaskannnya, sehingga ia tidak dianggap berkhianat, dan kemudian

membangun kesepakatan dengan pembeli.

Penjual juga harus menjelaskan jika ia membeli obyek akad secara tempo,karena hal ini akan berpengaruh terhadap harga jual kepada pembeli. Jikaterdapat indikasi bahwa penjual berkhianat, maka pembeli memiliki hak khiyar,meneruskan atau membatalkan akad. Menurut Abu Yusuf, pembeli tidakmemiliki hak khiyar, tapi pembeli mendapatkan kompensasi ekonomis daritindakan khianat tersebut (Zuhaili, 1989, IV, hal. 706-708).

Murabahah Lil Amir Bis Syira’ 

 Jual beli murabahah lil amir bis syira‟ merupakan istilah yang relatif baru,dan diperkenalkan pertama kali oleh Sami Hamoud dalam disertasinya berjudul„Tathwir al A‟mal al Masrafiyah Bima Yattafiq al Syariah al Islamiyah”. Namundemikian, secara substansi, istilah ini telah dikenal oleh ulama-ulama klasikdengan beragam penamaan.

Menurut Sami Hamoud, murabahah lil amir bis syira‟ adalah transaksi jualbeli dimana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikansebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membelikomoditas tersebut secara murabahah, yakni sesuai dengan harga pokokpembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak,

Page 68: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 68/199

www.belajarsyariahyuk.com

dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala)sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki (hal. 432).

Menurut Ahmad Mulhim, murabahah lil amir bis syira‟ adalah permintaanpembelian sebuah komoditas dengan kriteria tertentu yang diajukan oleh pihaknasabah yang selanjutnya disetujui oleh pihak bank. Kemudian pihak bankberjanji akan membelikan komoditas sebagaimana dimaksud dan pihak nasabahberjanji akan membeli sesuai dengan harga pokok pembelian ditambah dengantingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak (Bai‟ al Murabahah, hal. 79).  

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dalam jual belimurabahah lil amir bis syira‟  terdapat 3 pihak yang terkait, yakni pihak yangmemberikan perintah pembelian komoditas (nasabah), pihak bank, dan penjualkomoditas (supplier ).

Selain itu, murabahah lil amir bis syira‟  akan sempurna dengan tahapan-tahapan sebagai berikut; Nasabah mengajukan permohonan pembiayaanbarang/ komoditas kepada pihak bank dengan spesifikasi tertentu. Kemudiankeduanya membuat kesepakatan bahwa pihak bank berjanji akan menjualkomoditas yang telah dimiliki, dan nasabah berjanji akan membeli komoditasdengan adanya tambahan profit/margin atas harga pokok pembelian, dalamtahapan ini belum terjadi kontrak jual beli, namun hanya kesepakatan atauperjanjian.

Kemudian pihak bank membeli komoditas dari supplier  atas nama banksendiri, dan jual beli ini harus sah dan bebas dari riba. Setelah komoditas

tersebut resmi menjadi milik bank, kemudian bank menawarkan aset tersebutkepada nasabah, dan tentunya aset tersebut harus sesuai dengan spesifikasi yangtelah disepakati. Setelah itu, pihak bank dan nasabah baru bisa melakukankontrak jual beli.

Dalam hal ini, bank harus menyampaikan segala hal yang berkaitandengan pembelian, seperti harga pokok pembelian, besarnya margin, termasuk jika pembelian dilakukan secara hutang. Jika telah terjadi kesepakatan dalam jualbeli tersebut, barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, dan selanjutnyanasabah membayar harga barang yang telah disepakati pada jangka waktu yangtelah ditentukan.

 Jika pihak bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membelibarang dari pihak ketiga (supplier ), maka kedua pihak harus menandatanganikesepakatan agensi (agency contract), dimana pihak bank memberikan otoritaskepada nasabah untuk menjadi agennya guna membeli komoditas dari pihakketiga atas nama bank, dengan kata lain, nasabah menjadi wakil bank untukmembelikan komoditas. Kemudian, nasabah membeli komoditas atas namabank, dan kepemilikannya hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank.

Selanjutnya, nasabah memberikan informasi kepada pihak bank bahwa iatelah membeli komoditas, kemudian pihak bank menawarkan komoditastersebut kepada nasabah, dan terbentuklah kontrak jual beli dan komoditas

Page 69: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 69/199

www.belajarsyariahyuk.com

kemudian pindah menjadi milik nasabah dengan segala risikonya. MenurutAhmad Muhyiddin Ahmad dari Kuwait Islamic Bank, transaksi ini

diperbolehkan dan lazim disebut dengan al murabahah lil amir bissyira' bil wukalah (1996, hal. 219).

Seputar Hukum Jual Beli Murabahah Lil Amir bis Syira’  

Ulama kontemporer berbeda pendapat tentang keabsahan jual belimurabahah lil amir bis syira‟, ada yang memperbolehkan dan ada yangberpendapat bahwa akad tersebut batal dan diharamkan. Di antara ulama yangmengakui keabsahannya adalah Sami Hamoud, Yusuf Qaradhawi, Ali AhmadSalus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadil, dan lainnya („Ifanah, hal. 38).Dalil yang mendukung keabsahan murabahah lil amir bis syira‟  adalah sebagai

berikut;

1) 

Hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan (mubah). Hukumasal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah, kecuali terdapatnash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbedadengan ibadah mahdah, hukum asalnya adalah haram kecuali ada nashyang memerintahkan untuk melakukannya.

Kita tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan dankehalalan sebuah transaksi muamalah, yang perlu diperhatikan adalah dalilyang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yangmelarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal adanya (Qaradhawi,

hal. 13).2)  Keumuman nash Al Qur‟an dan Hadits yang menunjukkan kehalalan

segala bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya.DR Qaradhawi mengatakan, dalam surat Al Baqarah: 275 Allahmenghalalkan segala bentuk jual beli secara umum, baik jual belimuqayadlah (barter barang dengan barang), sharf (jual beli mata uang/valas), jual beli salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual belilainnya. Semua jenis jual beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli yang haramkecuali terdapat nash dari Allah dan Rasul-Nya yang mengharamkannya(Qaradhawi hal. 15).

3) 

Terdapat nash ulama fiqh yang mengakui keabsahan akad ini, diantaranya pernyataan Imam Syafii. Imam Syafii‟ r.a., dalam kitab “AlUmm” beliau menyatakan (Imam Syafii, Al Umm, jilid III, hal 33): “ danketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, danberkata: “ Belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”,kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebutdiperbolehkan. Namun demikian, orang yang meminta untuk dibelikan tersebutmemiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan kriterianya, maka bisa

Page 70: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 70/199

www.belajarsyariahyuk.com

dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah, dan sebaliknya, jika tidaksesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”.

Berdasarakan pernyataan ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafii‟memperbolehkan transaksi  Murabahah lil Amir Bissyira‟, dengan syaratpembeli/ nasabah memiliki hak khiyar , yakni hak untuk meneruskan ataumembatalkan akad. Selain itu, penjual juga memiliki hak khiyar , dengandemikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah pihak.

4) 

Transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Syara‟ tidak akanmelarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kedzaliman didalamnya, seperti riba, penimbunan (ihtikar ), penipuan dan lainnya. Ataudiindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan ataupermusuhan di antara manusia, seperti adanya  gharar   atau bersifat

spekulasi.Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan, jikaterdapat maslahah maka sangat dimungkinkan transaksi tersebutdiperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna‟, padahal iamerupakan jual beli ma‟dum (obyek tidak ada ketika akad), karena adanyakebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkanperselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat (Qaradhawi, hal. 18).

5) 

Pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkanuntuk memudahkan persoalan hidup manusia. Syariah Islam datanguntuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang

ditanggungnya.Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di antaranya terdapat dalamQS. An Nisaa:28, QS. Al Baqarah: 185, QS. Al Hajj:78. Kehidupan manusia dizaman sekarang lebih kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari kemudahan di sini adalah menjagakemaslahatan dan hajat hidup orang banyak sebagaimana ingin diwujudkanoleh syara‟(Qaradhawi, hal. 18). 

Di antara ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik jual beli murabahah lil amir bis syira‟ adalah Muhammad Sulaiman al Asyqar, Bakrbin Abdullah Abu Zaid, Rafiq al Mishri dan lainnya („Ifanah, hal. 56). Dalil yangmendukung diharamkannya murabahah lil amir bis syira‟ adalah sebagai berikut;

1)   Murabahah lil amir bis syira‟ diharamkan syara‟, karena ia identik dengan

menjual sesuatu yang tidak dimiliki (bai‟ maa laisa „indak). Pihak bankmenjual komoditas yang tidak berada dalam kepemilikannya kepadanasabah, sedangkan Nabi telah melarang menjual sesuatu yang tidakberada dalam genggaman kepemilikannya (Al Asyqar, hal. 7-8).

2) 

Akad murabahah ini batil, karena ia merupakan bentuk jual beli mu‟allaq.Hal ini dapat dipahami ketika nasabah mengatakan kepada bank, jikapihak bank telah membeli komoditas sesuai dengan kriteria, maka

Page 71: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 71/199

www.belajarsyariahyuk.com

nasabah akan membelinya dari pihak bank, dan ini merupakan akadyang batil (Al Asyqar, hal. 8).

3) 

 Murabahah lil amir bis syira‟ merupakan bentuk rekayasa (khilah) pinjamandengan basis riba. Hal ini dapat ditemukan ketika nasabah memintakepada pihak bank untuk membeli barang dari supplier, dan nasabah tahubahwa bank tidak memiliki barang dimaksud, kemudian nasabah akanmembelinya secara tempo. Dan nasabah berkata, belilah barang itu darisupplier seharga 10 dirham, dan nanti jual kepada saya seharga 12 dirhamdengan jangka waktu 3 bulan. Ini merupakan riba yang direkayasadengan bentuk jual beli (Al Asyqar, hal. 8).

4)  Bentuk murabahah ini identik dengan jual beli „Inah. Maksud pembelidalam jual beli „Inah  adalah untuk mendapatkan uang, bukan membeli

barang. Nasabah datang kepada bank dengan maksud untukmendapatkan uang, begitu juga dengan bank yang ingin mendapatkanmargin, sehingga ini bukanlah merupakan bentuk jual beli. Nasabahtidak akan datang kepada bank kecuali untuk mendapatkan uang, danbank tidak akan membeli barang ini, kecuali dijual kembali kepadanasabah secara tempo dengan mendapatkan margin, dan ia tidakbermaksud untuk membeli demi kepentingannya (Ahmad Mulhim, hal.128).

5) 

 Jual beli ini masuk dalam kategori bai‟atain fi bai‟ah (dua transaksi dalamsatu akad), dan Rasulullah telah melarang transaksi ini. Ketika perjanjianuntuk menjual dan membeli antara nasabah dan bank bersifat mengikat,

maka jual beli ini masuk dalam kategori bai‟atain fi bai‟ah. Yakni, akadpertama antara bank dan nasabah, dan akad kedua antara bank dansupplier  (Qaradhawi, hal. 32).

Pembahasan Dalil-dalil

Di antara dalil-dalil yang dikemukakan, baik yang memperbolehkan ataumelarang murabahah lil amir bis syira‟, perlu adanya pembahasan untukmendapatkan kesimpulan yang akurat. Pembahasannya adalah sebagai berikut;

1. 

Dalil yang menyatakan hukum asal dalam bermuamalah adalah

diperbolehkan (mubah) dapat diterima. Namun demikian, diperlukankajian yang mendalam terkait dengan transaksi sebelum menentukanhalal atau haram. Pendapat ulama yang menolak tentang konsepsi initidak dibenarkan dan tidak melemahkan (Qaradhawi, hal. 101).

2.  Tidak diragukan bahwa terdapat nash yang menyatakan kehalalan jualbeli secara umum, kehalalan ini mencakup semua jenis jual beli termasukdi dalamnya jual beli murabahah lil amir bis syira‟, kecuali terdapat nashyang secara jelas melarangnya.

Page 72: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 72/199

www.belajarsyariahyuk.com

Pendapat yang mengatakan murabahah identik dengan bai‟ „Inah  bukanlahmerupakan takhshis  atas keumuman halalnya jual beli dalam QS. Al

Baqarah:275. Murabahah merupakan bentuk bai‟ Inah  merupakan ijtihadulama yang bersandar pada konsep sadd al dzari‟ah, ijtihad ini bersifat dzanni,ijtihad dzanni  tidak bisa menjadi takhshis  atas ayat al Qur‟an yang bersifatqath‟I  (Ahmad Mulhim, hal. 154-155).

3. 

Konsep memberi kemudahan untuk memperbolehkan jual belimurabahah bukanlah pendapat yang tepat, karena hal itu akanmereduksi atau bahkan menafikan peran syariah untuk mengaturkehidupan manusia, dan akhirnya syariah hanya tinggal syiar dan namabelaka. Penolakan ini juga tidak diterima, konsepsi memberikankemudahan sesuai dengan syariah, terutama terkait dengan kehidupanmuamalah.

Ulama sudah sepakat bahwa hukum asal dalam muamalah adalahdiperbolehkan, kecuali ada nash sharih  yang melarangnya. Barang siapamemberi kemudahan atas persoalan yang tidak terdapat nash sharih  yangmelarangnya, maka ia tetap dalam naungan syara‟. Hal ini senada denganpetunjuk Nabi untuk memudahkan persoalan, bukan menjadikannya lebihsulit. Dengan adanya kemudahan ini akan mendatangkan maslahah yangsangat dianjurkan (Qaradhawi, hal. 115).

4. 

Pendapat yang menyamakan murabahah dengan bai‟ „Inah  juga tidaktepat. Karena, bai‟ „Inah  adalah misalnya, seseorang menjual barangseharga 120 dinar secara tempo dalam jangka waktu 1 tahun, kemudian

barang tersebut diterima pembeli. Sebelum pembeli membayar apapunkepada penjual, penjual kemudian membelinya kembali secara kontandengan harga 100 dinar dari pembeli. Pembeli menerima 100 dinar,namun ia tetap memiliki kewajiban untuk membayar kepada penjual 120dinar dalam jangka waktu 1 tahun ke depan.

Murabahah tidak bisa dikategorikan sama dengan bai‟ „Inah. Nasabahdatang kepada bank dengan maksud untuk membeli barang, sebagaimanadokter yang ingin membeli peralatan bedah jantung. Begitu juga dengan pihakbank, ia benar-benar membeli peralatan tersebut dengan segala risikonya.

Memang harga pokok pembelian bank lebih kecil daripada harga jual

kepada nasabah, tapi ini merupakan sesuatu yang wajar sebagaimana dilakukanpedagang lainnya. Membeli barang dengan harga murah dengan tujuan untukdijual kembali kepada pembeli dengan harga lebih mahal, bahkan terkadangmereka membeli barang berdasarkan pesanan pembeli (Qaradhawi, hal. 45).

5.  Murabahah dikatakan identik dengan menjual barang yang tidakdimiliki, juga tidak tepat (bai‟ maa laisa „indak). Transaksi awal yangdilakukan antara bank dan nasabah bukanlah transaksi jual beli, akantetapi merupakan proses persetujuan dan perjanjian. Dalam tahapan ini,keduanya melakukan persetujuan kriteria barang, harga ataupun proses

Page 73: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 73/199

www.belajarsyariahyuk.com

pembayaran. Jika sudah disepakati, maka keduanya berjanji akanmelakukan pembelian dan penjualan barang, dan belum terjadi kontrak

 jual beli. Jual beli akan terjadi ketika barang sudah menjadi milik bank(Ahmad Mulhim, hal. 196).

6.  Pendapat yang mengatakan murabahah merupakan khilah  (rekayasa)pinjaman dengan basis riba, bukanlah pendapat yang tepat danmenggambarkan realitas sebenarnya. Bank benar-benar membeli barang,walaupun dengan tujuan untuk dijual kembali kepada nasabah. Inimerupakan hal yang wajar, sebagaimana dilakukan pedagang yangmembeli barang berdasarkan pesanan. Membeli barang tidaklah harusdikonsumsi secara pribadi.

Nasabah yang meminta pihak bank untuk membelikan barang, benar-

benar ia ingin membelinya, sebagaimana seorang dokter yang membutuhkanperalatan bedah, jadi bukanlah merupakan bentuk rekayasa. Pihak bankmembeli barang dengan modal yang dimiliki, kemudian dijual kepada nasabahdengan tingkat keuntungan yang wajar, baik dilakukan secara kontan atautempo. Keuntungan yang diambil bukanlah sesuatu yang haram, begitu jugadengan jual beli tempo.

Keduanya bermaksud melakukan jual beli secara hakiki dan bukanrekayasa, jual beli tidak digunakan sebagai rekayasa untuk mendapatkanmargin. Hal ini berbeda dengan sistem kredit di bank konvensional, nasabahdatang memang untuk mendapatkan kredit (uang) dan bank memberikanpinjaman dengan tingkat bunga tertentu, dan tidak pernah terjadi transaksi jual

beli di antara keduanya (Qaradhawi, hal. 27-28).

Bai' Muajjal (Bai' Bitsaman Ajil)

Bai' muajjal  adalah jual beli komoditas, dimana pembayaran atas harga jual dilakukan dengan tempo/ waktu tertentu di waktu mendatang. Bai' muajjalakan sah jika waktu pembayaran ditentukan secara pasti, seperti denganmenyebut periode waktu secara spesifik, misalnya 2, atau 3 bulan mendatang. Jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara spesifik, maka akad jual belibatal adanya (Surahman, disertasi, hal. 210, lihat juga Ustmani, 1999, hal. 102).Bai' muajjal mendapatkan pengakuan dari syariah seperti halnya akad jual beli,landasan syariah atas keabsahan bai' muajjal  sama dengan akad jual belisebagaimana telah dijelaskan.

Dalam bai' muajjal terdapat beberapa ketentuan. Penentuan harga dalam jual beli yang dilakukan secara tempo (deferred payment) dibolehkan untukberbeda dengan jual beli yang dilakukan secara tunai (cash). Harga dalam jualbeli tempo diperbolehkan lebih besar jumlahnya daripada jual beli secara tunai. Jika harga telah disepakati dalam kontrak jual beli, maka harga tersebut tidakbisa berubah, yakni harga itu mengalami penurunan jika pembayaran dilakukanlebih cepat dari jadwal yang ditentukan (early payment), atau mengalami

Page 74: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 74/199

www.belajarsyariahyuk.com

kenaikan, jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran (default).

 Jika komoditas dijual secara cicilan/ angsuran (installment), penjual harus

senantiasa mengingatkan kepada pembeli untuk membayar angsuran yang telah jatuh tempo, sehingga pembayaran angsuran bisa tetap lancar. Untukmengamankan pembayaran angsuran, penjual diperbolehkan untuk meminta jaminan kepada pembeli, agar pembeli bersungguh-sungguh dalam melakukanpembayaran, selain itu, jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai buffer   jikapembeli gagal dalam membayar angsuran (Usmani, 1999, hal. 102-103). Bai'muajjal ini merupakan refleksi jika jual beli murabahah dilakukan secara cicilan/angsuran dalam proses pembayaran harga yang disepakati dalam kontrak jualbeli.

Pertanyaan dan Latihan:

Page 75: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 75/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 9 Jual Beli Salam

Tujuan:

PendahuluanBagi para petani yang bergerak dalam bidang agribisnis, terkadang

membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Pemilik usaha agribisnistersebut biasanya datang kepada pihak bank untuk meminta pinjaman, dan

pinjaman itu akan dikembalikan setelah usaha yang dilakukan tersebutmendatangkan hasil. Atau juga berlaku sebaliknya, para pedagang grosirbiasanya memesan kepada pemilik usaha agribisnis untuk men-supply  hasilusahanya kepada mereka, dan memberikan modal terlebih dahulu untukmenjalankan usaha. Atau juga transaksi jual beli atas suatu barang denganpemesanan dan pembayaran dilakukan terlebih dahulu. Jika dilihat dari praktikyang ada, transaksi jual beli jenis ini identik dengan jual beli salam.

PengertianBai' salam  adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli

(muslam) dengan penjual (muslam ilaih). Spesifikasi dan harga barang pesananharus sudah disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan di mukasecara penuh.

Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabalah menjelaskan, salam adalah akad atasbarang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannyapada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad.Ulama Malikiyyah menyatakan, salam adalah akad jual beli dimana modal(pembayaran) dilakukan secara tunai (di muka) dan obyek pesanan diserahkankemudian dengan jangka waktu tertentu (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 598-599).

Page 76: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 76/199

www.belajarsyariahyuk.com

Salam biasanya diaplikasikan pada pembiayaan untuk petani (agribisnis)dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 2-6 bulan. Salam juga

dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang manufaktur, seperti garmen,dimana ukuran barang itu sudah ditentukan spesifikasinya. Dalam hal ini, pihakbank bertindak sebagai pembeli, sedangkan petani/ pemilik garmen adalahsebagai penjual.

Produk agrisbisnis dan manufaktur yang dibeli dari nasabah tidakdijadikan inventory  oleh pihak bank, karena hal itu bukan core business  bank.Biasanya bank akan melakukan akad salam yang kedua kalinya dengan pembelikedua, seperti pedagang grosir, bulog dan lainnya. Karena itu, dalam praktikperbankan syariah, dikenal istilah Salam Paralel.

Dalam praktiknya, terdapat nasabah yang mengajukan pembiayaanuntuk pembuatan garmen dengan spesifikasi tertentu kepada pihak bank.

Kemudian, pihak bank akan mereferensikan kepada nasabah untukmenggunakan produk salam. Ini berarti, secara otomatis bank menjadi pihakpemesan atas produk garmen yang akan diproduksi oleh nasabah, dan pihakbank akan membayar dana yang dibutuhkan pada waktu pengikatan/ kontrak.

Kemudian, pihak bank akan mencari pembeli kedua, seperi pedaganggrosir, atau bisa kepada rekanan produsen garmen atas rekomendasi yangdiberikan. Bila produk garmen telah selesai diproduksi, bisa dihantarkan(delivery) secara langsung kepada rekanan tersebut Kemudian, rekanan nasabahtersebut membayar kepada pihak bank, baik secara tunai ataupun cicilan.

Landasan SyariahBai‟ salam  merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini

berlandasakan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupunijma ulama. Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktikakad jual beli salam adalah sebagai berikut: 

1.  “Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampaiwaktu tertentu, buatlah secara tertulis...” QS. Al Baqarah (2): 282 merujukpada keabsahan praktik jual beli salam. Ayat ini merupakan ayatterpanjang dalam Al Qur'an. Ayat ini memberikan petunjuk bahwa ketikakaum muslimin melakukan transaksi muamalah secara tempo, makahendaknya dilakukan pencatatan untuk menghindari terjadinyaperselisihan di kemudian hari, serta guna menjaga akad/ transaksi yangtelah dilakukan.

Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan oleh Allah untukmemberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo, Allah telahmemberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakanayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500). Berdasarkan pernyataan IbnuAbbas ini, jelas sekali bahwa jual beli salam telah mendapatkan pengakuandan legalitas syara', sehingga operasionalnya sah untuk dilakukan.2.  “Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang

 jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits

Page 77: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 77/199

www.belajarsyariahyuk.com

riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secarasharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.

Menurut riwayat Ibnu Abbas, suatu ketika Rasulullah datang ke Madinah,sedangkan penduduk Madinah telah melakukan jual beli salam atas kurmauntuk jangka waktu satu tahun, dua tahun, dan bahkan tiga tahun. Melihatpraktik ini, kemudian Rasulullah bersabda seperti yang terdapat dalammatan hadits ini (Zuhaili, 2002, hal. 296).Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual beli salamharus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas,kuantitas, ataupun waktu penyerahannya (delivery), sehingga nantinya tidakterdapat perselisihan.3.  Kesepakatan ulama (ijma') akan bolehnya jual beli salam dikutip dari

pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu

(ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karenaterdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan (manufaktur)terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hinggasiap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untukmengakomodir kebutuhan mereka (Zuhaili, 1989, hal. 598). Ketentuanijma' ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/ jual belisalam.

Rukun dan SyaratDalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni

pembeli (muslam), penjual (muslam ilaih), modal/ uang (ra'sul maal), barang(muslam fiih), dan sighat (ijab qabul/ ucapan). Disamping itu, ulama jugamemberikan beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli salam.Mayoritas ulama sepakat bahwa akad salam dikatakan sah, jika memenuhi 6syarat, yaitu; jenis barangnya jelas, spesifikasi jelas, kadarnya jelas, waktunyapenyerahan jelas, mengetahui kadar modal yang dibutuhkan, dan menyebutkantempat penyerahan jika dibutuhkan biaya delivery.

Untuk modal (ra'sul maal) harus dijelaskan spesifikasinya, baik dari jenis,kualitas dan jumlahnya. Selain itu, modal tersebut harus diserahkan pada saatterjadinya akad/ kontrak, hal ini mempertimbangkan kebutuhan penjual dandimaksudkan untuk mencegah terjadinya hutang (dari pihak pembeli) dan

menghindari terjadinya riba. Dengan alasan, jika modal diserahkan kemudian(dalam hal ini menjadi hutang), sementara barangnya juga akan diserahkankemudian (berarti merupakan tanggungan/ hutang), maka jual beli yangdilakukan identik dengan jual beli hutang (dain bi dain), sementara terdapatlarangan dari Rasulullah atas transaksi jual beli hutang (Zuhaili, 1989, jilid IV,hal. 600-602).

Untuk barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi (muslam fiih), syaratyang harus dipenuhi adalah harus dapat dispesifikasi dengan jelas dan dapatdiakui sebagai hutang, bisa diidentifikasi untuk menghilangkan kurangnyapengetahuan tentang macamnya (beras, kain) tipenya (katun, sutra), kualitasnya

Page 78: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 78/199

www.belajarsyariahyuk.com

(utama, madya, reguler), atau pun jumlahnya. Untuk masalah delivery muslam fiih, ulama berbeda pendapat.

Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah, mensyaratkanuntuk menghantarkan (delivery) muslam fiih  di waktu kemudian hari, hal inisenada dengan hadits dari Ibnu Abbas (ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka waktuyang diketahui), jadi terdapat tenggang waktu.

Berbeda dengan Imam Syafii, delivery muslam fiih  bisa dilakukan secarakontan ataupun dengan jangka waktu. Jika pengirimannya secara kontan, hal itulebih baik, karena akan terhindar dari  gharar . Berkaitan dengan hadits IbnuAbbas (ilaa ajalin ma'luum/ untuk jangka waktu yang diketahui), adalahdiketahuinya waktu penyerahan secara jelas, bukan hanya jangka waktu semata(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 606).

Selain itu, muslam fiih merupakan komoditas yang lazim ada di pasaran,

baik ketika melakukan akad atau pun di saat delivery. Hal ini untuk memastikanbahwa muslam fiih dapat di-delivery  pada waktu yang diperjanjikan. Ulamamensyaratkan tidak boleh ada khiyar , terutama khiyar ru‟yah terhadap muslam fiih. Jika pemesan memiliki hak khiyar , muslam fiih akan kembali menjadi tanggunganmuslam ilaih, dan begitu seterusnya. Untuk itu, dalam akad salam tidakdiperlukan khiyar , cukup dengan menyebutkan spesifikasi muslam fiih  untukkeabsahan akad salam.

Ada pun khiyar „aib  tetap diperbolehkan, karena khiyar ini tidakmencegah kesempurnaan serah terima barang. Pemesan harus menjelaskantempat pengiriman barang, terutama jika delivery  tersebut memakan biaya, halini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari terkait dengan

biaya transportasi. Seharusnya, muslam fiih  merupakan komoditas yang dapatdiukur atau ditimbang, sehingga akan mengurangi perselisihan (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 607-614).

Menurut Hanafiyah, akad salam tidak bisa diterapkan pada binatangternak. Hal ini disandarkan pada hadits Rasulullah, “Sesungguhnya Nabi SAWmelarang akad salam atas binatang ternak” (HR. Hakim dan Daruquthni , haditsshahih). Dengan alasan, hewan ternak sangat sulit untuk dispesifikasi, masing-masing item (ekor) memiliki nilai ekonomis yang berbeda. Dikhawatirkan akanmenimbulkan perselisihan di kemudian hari.

Berbeda dengan ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabalah. Akadsalam tetap diperbolehkan atas hewan ternak, dianalogkan dengandiperbolehkannya dijadikan sebagai obyek utang-piutang. Diriwayatkan dariImam Muslim, Rasulullah pernah melakukan transaksi hutang piutang atasseekor onta. Namun demikian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni;harus dijelaskan jenis hewan, umur, jenis kelamin, panjang pendeknya, kurusgemuknya dan faktor lain (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 615). Begitu juga dengandaging, ikan atau pun pakaian.

Implikasi Hukum Akad SalamDengan sah-nya akad salam, muslam ilaih  berhak mendapatkan modal

(ra‟sul maal) dan berkewajiban untuk mengirimkan muslam fiih kepada muslam.

Page 79: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 79/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bagi muslam, ia berhak memiliki muslam fiih sesuai dengan spesifikasi yang telahdisepakati, dan berkewajiban membayarkan ra‟sul maal  kepada muslam ilaih.

Sebenarnya, akad salam ini identik dengan bai‟ ma‟dum, akan tetapi iadikecualikan dan mendapatkan rukhshah  untuk dilakukan, karena adanyatuntutan kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, namun harus tetapmemperhatikan syarat-syarat khusus sebagaimana telah disebutkan (Zuhaili,1989, jilid IV, hal. 619).

Perbedaan Salam dan Akad Jual BeliAkad jual beli memiliki perbedaan dengan akad salam dalam beberapa halsebagai berikut (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 619-630):

  Menurut Hanafiyah, ra‟sul maal tidak boleh diganti sebelum serah terimadengan muslam ilaih, serah terima ra‟sul maal merupakan syarat bagi sah-

nya akad salam. Berbeda dengan jual beli, harga bisa diganti jika berupahutang, dan tidak harus diserahterimakan waktu akad. Untuk muslam fiih tidak boleh ada penggantian, begitu juga dengan obyek akad jual beliyang telah disepakati.

   Jika muslam melakukan pembatalan (iqalah) atas sebagian kontrak,dengan mengambil sebagian ra‟sul maal  dan muslam fiih, makadiperbolehkan menurut mayoritas ulama. Begitu juga dalam akad jualbeli.

   Muslam ilaih tidak diperbolehkan meminta muslam untuk lepas dari ra‟sul

maal  tanpa persetujuannya, jika muslam setuju, maka akad salam batal.Dengan adanya ibra‟(bebas) dari muslam, maka tidak akan pernah ada

serah terima ra‟sul maal. Serah terima ra‟sul maal  merupakan syaratsahnya akad salam, berbeda dengan serah terima harga dalam akad jualbeli. Sebaliknya, dalam akad salam muslam  boleh melakukan ibra‟ atasmuslam fiih, tidak dalam jual beli, obyek akad harus diserahkan.

  Muslam boleh melakukan hawalah, kafalah dan rahn atas ra‟sul maal,

begitu juga muslam ilaih atas muslam fiih, dengan catatan, ra‟sul maal harusdiserahkan muhal „alaih, kafil, rahin pada saat melakukan akad.

Pertanyaan dan Latihan:

Page 80: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 80/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 10  Jual Beli Istishna‟

Tujuan:

Pendahuluan

Kebutuhan manusia sangat beragam, terkadang kebutuhan itu sifatnyaunik dan tidak ditemukan di pasaran. Misalnya, seseorang ingin memiliki rumahyang berbeda dengan tipe rumah kebanyakan, maka ia akan datang kepadaseorang arsitek untuk men-design  rumah, dan selanjutnya meminta kepadakontraktor untuk membangunkan rumah tersebut.

Dalam bidang usaha properti, hal ini sering ditemukan. Kebutuhan inisudah dibaca oleh pihak perbankan, mereka menawarkan produk bagi merekayang ingin memiliki rumah, baik rumah seperti tipe yang sudah umum ataupunmembangun rumah dengan spesifikasi tertentu. Jika kita lihat praktik yang ada, jual beli dengan cara pemesanan ini identik dengan jual beli istishna'.

Pengertian

Bai' istishna'  adalah akad jual beli antara pemesan (mustashni') denganpenerima pesanan (shani') atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu(mashnu‟), contohnya untuk barang-barang industri ataupun properti. Spesifikasidan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada awal akad,sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakahpembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampaisuatu waktu pada masa yang akan datang.

Page 81: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 81/199

www.belajarsyariahyuk.com

Secara teknis, istishna' bisa diartikan akad bersama produsen untuk suatupekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan

dibuat oleh produsen yang juga menyediakan bahan bakunya, sedangkan jikabahan bakunya dari pemesan, maka akad itu akan menjadi akad ijarah  (sewa),pemesan hanya menyewa jasa produsen untuk membuat barang (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 631).

Istishna'  menyerupai akad salam, karena ia termasuk bai' ma'dum  (jualbeli barang yang tidak ada), juga karena barang yang dibuat melekat pada waktuakad pada tanggungan pembuat (shani') atau penjual. Tetapi istishna'  berbedadengan salam, dalam hal tidak wajib pada istishna'  untuk mempercepatpembayaran, tidak ada penjelasan jangka waktu pembuatan dan penyerahan,serta tidak adanya barang tersebut di pasaran.

Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untukproduksi berasal dari pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasapembuatan dan bahan bakunya dari produsen (shani'), maka ini dinamakandengan akad istishna'(Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 631).

Kontrak istishna'  biasanya dipraktikkan pada perbankan dalam proyekkonstruksi, dimana nasabah memerlukan biaya untuk membangun suatukonstruksi. Akad ini identik dengan akad salam dalam hal cara memperolehaset, maka kontrak istishna' selesai ketika barang/ bangunan itu selesai dibuat.

Landasan Syariah

 Jika dianalogkan (qiyas) dengan bai‟ ma‟dum, maka jual beli istishna‟ tidakdiperbolehkan. Menurut Hanafiyah, jual beli istishna‟ diperbolehkan denganalasan istihsanan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadikebiasaan („urf ) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya.Akad istishna‟ diperbolehkan karena ada ijma‟ ulama (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal.632).

Menurut ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan Hanabalah, akad istishna‟sah dengan landasan diperbolehkannya akad salam, dan telah menjadi kebiasaanummat manusia dalam bertransaksi („urf ). Dengan catatan, terpenuhinya syarat-

syarat sebagaimana disebutkan dalam akad salam. Diantaranya adalah adanyaserah terima modal (pembayaran) di majlis akad secara tunai. Ulama Syafi‟iyyahmenambahkan, prosesi penyerahan obyek akad (mashnu‟) bisa dibatasi denganwaktu tertentu, atau tidak (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 632).

Rukun dan Syarat

Dalam jual beli istishna', terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaknipemesan (mustashni'), penjual/ pembuat (shani'), barang/ obyek (mashnu') dansighat (ijab qabul). Disamping itu, ulama juga menentukan beberapa syarat untuk

Page 82: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 82/199

www.belajarsyariahyuk.com

menentukan sahnya jual beli istishna'. Syarat yang diajukan ulama untukdiperbolehkannya transaksi jual beli istishna' adalah:

 

adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena iamerupakan obyek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.

  merupakan barang yang biasa ditransaksikan/ berlaku dalam hubunganantar manusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yangtidak dikenal dalam kehidupan manusia, seperti barang properti, barangindustri dan lainnya.

  tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktupenyerahan barang ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadiakad salam, menurut pandangan Abu Hanifah (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal.633).

Istishna' adalah akad yang tidak mengikat, baik sebelum atau punsesudah pembuatan barang pesanan. Setiap pihak memiliki hak pilih (hak khiyar )untuk melangsungkan, membatalkan atau meninggalkan akad tersebut, sebelumpemesan (mustashni') melihat barang yang dipesan. Jika pembuat (shani')menjual barang pesanan (mashnu') sebelum pemesan melihatnya, maka hal inidiperbolehkan. Karena akad ini bersifat tidak mengikat. Di sisi lain, obyek akaddalam kontrak ini bukanlah barang yang telah dibuat, akan tetapi contoh denganspesifikasi (miniatur) yang berada dalam tanggungan.

 Jika pembuat telah membawa barang pesanan tersebut kepada pemesandan telah dilihat olehnya, maka hak khiyar -nya menjadi gugur, karena ia telahmerelakannya kepada pemesan, sehingga ia mengirimkan kepadanya. Bagi

pemesan yang telah melihat barang pesanan yang dibawa oleh pembuat, ia tetapmemiliki hak khiyar. Jika barang itu sesuai dengan keinginannya, maka kontrakakan berlangsung, dan jika tidak, maka kontrak batal adanya, hal ini menurutAbu Hanifah. Berbeda dengan Abu Yusuf, jika pemesan telah melihat barangpesanannya dan telah sesuai dengan spesifikasinya, maka akad ini menjadilazim, pemesan tidak memiliki hak khiyar  ( Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 634).

 Jika pembuat datang kepada pemesan dengan membawa barang pesananyang telah sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan, maka hukum kontraktersebut adalah munculnya kepemilikan yang tidak mengikat ( ghair lazim) padahak pemesan, sehingga ia memiliki pilihan untuk melihat (khiyar ru'yah). Jika ia

telah melihatnya, maka ia bisa menentukan untuk meneruskan ataumeninggalkan kontrak.

Dari sisi pembuat, hukum kontrak tersebut adalah tetapnya kepemilikanyang mengikat jika pemesan telah melihatnya dan ia merelakannya, danpembuat sudah tidak memiliki pilihan (hak khiyar ) lagi. Jual beli istishna' berbedadengan kontrak salam, dalam hal:

 

obyek transaksi dalam salam berupa tanggungan dengan spesifikasikualitas ataupun kuantitas, sedangkan dalam istishna'  berupa dzat/barang.

Page 83: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 83/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

dalam kontrak salam disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untukmenyerahkan barang pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad jual beli

istishna'.  kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna' bersifat tidak

mengikat ( ghair lazim).  dalam kontrak salam dipersyaratkan untuk menyerahkan modal/ uang

saat kontrak dilakukan (dalam majlis akad), sedangkan dalam istishna'bisa dibayar di muka, cicilan, atau waktu mendatang sesuai dengankesepakatan (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 634-635).

Perbedaan Jual Beli Salam dan Istishna’ 

SUBYEK SALAM ISTISHNA‟  ATURAN & KET.

Pokok Kontrak  Muslam Fiih  Mashnu‟  Barang ditangguhkandengan spesifikasi

Harga Dibayar saatkontrak

Bisa saatkontrak, bisadiangsur,bisakemudianhari

Cara penyelesaianpembayaran merupakanperbedaan utama antarasalam dan istishna‟ 

Sifat Kontrak Mengikat secaraasli (thabai‟) 

Mengikatsecara ikutan(thaba‟i)

Salam mengikat semuapihak sejak semula,sedangkan istishna‟menjadi pengikat untukmelindungi produsensehingga tidak ditinggalkanbegitu saja oleh konsumensecara tidakbertanggungjawab

Kontrak Pararel Salam paralel Istishna‟

paralel

Baik salam paralel maupun

istishna‟ paralel sah asalkankedua kontrak secarahukum adalah terpisah

Pertanyaan dan Latihan:

Page 84: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 84/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 11 Jual Beli Valuta Asing(Sharf )Tujuan:

Dalam dunia ekspor-impor, perdagangan valuta asing merupakansebuah keniscayaan. Hal ini bisa dipahami dari fenomena sebagai berikut. Jikasebuah perusahaan Indonesia mengekspor barang, misalnya ke Saudi Arabia,

maka pertukaran valuta asing sangat diperlukan. Perusahaan Indonesiamembutuhkan mata uang rupiah (IDR) untuk menggaji karyawan ataumelakukan proses produksi. Ada pun masyarakat yang mengkonsumsi barangdan jasa di Saudi Arabia, hanya memiliki mata uang lokal, yakni real.

Dalam hal ini, jika eksportir Indonesia mengeluarkan tagihan (invoice)dalam bentuk rupiah, maka importir Saudi Arabia harus menjual real danmembeli rupiah. Jika invoice dalam bentuk dollar, maka importir Saudi Arabiaharus menjual real dan membeli dollar. Kemudian eksportir Indonesia akanmenjual dollar untuk membeli rupiah. Dalam konteks ini, keduanya harus pergike pasar valuta asing (money changer ) untuk melakukan transaksi valuta. Dalam

term ulama fiqh, perdagangan valuta asing ini dapat dianalogkan denganpertukaran emas dan perak, yang lazim disebut dengan akad sharf .

Secara linguistik, al sharf   bermakna ziyadah  (tambahan). Hal iniberdasarkan hadits Rasulullah yang menyebut ibadah nafilah (sunnah, tambahan)dengan istilah sharf . Secara istilah, sharf adalah perdagangan valuta asing, baikdilakukan atas valuta yang sejenis atau pun berbeda jenis, dan dilakukan secaratunai (spot) (Zuhaili, 1989, IV, hal. 636).

Keabsahan praktik perdagangan valuta asing ini, dapat dilihat daribeberapa hadits Rasulullah. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu

Page 85: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 85/199

www.belajarsyariahyuk.com

Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah bersabda: “Menjual emas dengan emas,perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam

dengan garam, (apabila sejenis), maka harus sama (kualitas dan kuantitas) danharus dilakukan secara tunai (cash, spot). Maka apabila berbeda jenis, maka juallah sekehendak kalian dengan syarat dilakukan secara kontan (cash, spot)”.(HR Al Jama‟ah-mayoritas ahli hadits- kecuali Imam Bukhori).

Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa‟id al Khu dri,Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecualisama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain, janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlahmenambahkan sebagian atas sebagian yang lain, dan janganlah menjual emasdan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai” (DSN MUI, 2006, hal.162-163).

Ulama fiqh menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam akadsharf . Aktifitas perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir  (spekulasi, gambling) dan  gharar   (uncertainty). Dalam pelaksanaannya haruslahmemperhatikan beberapa batasan sebagai berikut:

  Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan mata uang masing-masingpada saat bersamaan sebelum keduanya berpisah. Dalam istilah fiqh,serah terima harus dilakukan sebelum berpisah secara fisik disebutdengan al-taqabuth. Hal ini dipersyaratkan untuk menghindarkantransaksi pertukaran dari riba nasiah. Jika keduanya berpisah sebelum

terjadi serah terima mata uang, maka akad sharf   menjadi batal. Denganalasan, akad akan menjadi akad jual beli hutang (al kali bil kali, bai‟ al dain

bid dain) dan menghasilkan riba, karena adanya perbedaan nilai di antarakeduanya yang diikuti dengan perbedaan waktu.  Al taqabuth merupakansyarat mutlak dalam akad sharf , baik untuk mata uang sejenis atauberbeda jenis.

 

 At tamatsul. Jika akad sharf  dilakukan atas mata uang sejenis, maka nilaiyang dipertukarkan harus sama (seimbang). Walau pun di antarakeduanya terdapat perbedaan kualitas dan model cetakannya. Mata uangyang sejenis, harus dijual kongruen dengan nilainya, bukan sifat dan

kualitasnya. Hal ini berdasarkan kaidah syar‟iyyah “baik buruk kualitasdan model cetakannya adalah sama nilainya”. 

 

Khiyar syarat tidak berlaku dalam akad sharf , karena di dalamnyadipersysratkan adanya al taqabuth  (serah terima). Khiyar syaratmengindikasikan jual beli tidak secara tunai, dan bisa mencegah tetapnyakepemilikan obyek bagi pihak yang bertransaksi. Khiyar syarat bisamembatalkan tetapnya al taqabuth yang dipersyaratkan dalam akad sharf ,dan bisa membuat akad menjadi batal. Berbeda dengan khiyar ru‟yah danaib. Kedua khiyar ini bisa melekat dalam setiap transaksi untukmenghindari terjadinya  gharar . Oleh karena itu, masing-masing pihak

Page 86: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 86/199

www.belajarsyariahyuk.com

dibenarkan menggunakan khiyar ini dalam akad sharf . Namun demikian,dalam akad sharf , kemungkinan dipergunakannya sangat kecil, karena

akad sharf   dijalankan berdasarkan nilai yang dipertukarnya, tidakbersandar pada kondisi fisik valuta.

  Waktu penyerahan valuta (value date, tanggal valuta) tidak bolehdiserahkan pada suatu tanggal tertentu di masa mendatang ( futuredelivery), karena hal ini akan mengakhirkan kepemilikan barang danmenafikan syarat al taqabuth. Intinya, pertukaran valuta tidak bolehdilakukan dengan forward transaction, namun harus dilakukan secara spottransaction (Zuhaili, 1989, IV, hal. 636-638).

Dalam melakukan perdagangan valuta asing, terdapat beberapa jenistransaksi yang biasa dipraktikkan. Jenis-jenis transaksi valuta asing dimaksud

adalah sebagai berikut:  Spot transaction, yaitu transaksi jual beli valuta asing (valas) untuk

penyerahan pada saat itu (over the counter ), atau penyelesaiannya palinglambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karenadianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai prosespenyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan standard dalamtransaksi.

 

Forward transaction, yaitu transaksi jual beli valas yang nilainyaditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akandatang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah

haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan(muwa‟adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari. Padahalharga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilaiyang disepakati.

  Swap transaction, yaitu pembelian dan penjualan secara bersamaan

sejumlah tertentu mata uang dengan dua tanggal valuta (penyerahan)yang berbeda. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap

 forward. Seseorang membeli suatu jenis mata uang dengan transaksi spot,dan secara simultan menjual kembali jumlah yang sama kepada pihaklain dengan kontrak  forward. Hukumnya haram, karena mengandungunsur maisir (spekulasi) (DSN MUI, 2006, hal. 165).

 Jika transaksi jual beli valas dilakukan via telepon, tanpa diikuti adanyapenyerahan mata uang, maka akad tersebut hukumnya batal. Dengan alasan,valas merupakan barang ribawi, dan wajib adanya serah terima dalam majlisakad. Serah terima tersebut harus bersifat hakiki, tidak hanya sekedar dengan janji akan diserahkan dikemudian hari. Delay waktu penyerahan valuta akanberpengaruh terhadap nilai yang ada.

Selain itu, pembelian emas perhiasan tidak boleh dilakukan secara kredit.Karena tidak ada prosesi serah terima secara sempurna, nilai yang diterimapenjual tidak akan sama dengan nilai emas yang dijualnya di awal kontrak.

Page 87: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 87/199

www.belajarsyariahyuk.com

Namun demikian, jika pembelian emas perhiasan itu dilakukan denganmenggunakan kartu kredit, maka hal itu diperbolehkan. Karena secara hukmi,

sudah ada serah terima. Harga perhiasan tersebut telah dibayar secara tunai olehpihak perbankan (Zuhaili, 2002, hal. 133).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 88: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 88/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 12 Jual Beli Jizfah

Tujuan:

Di saat musim panen tiba, terkadang kita temukan seorang petani yangmenjual hasil panennya dengan cara borongan. Hasil panen dijual kepadapemborong tanpa terlebih dahulu ditimbang atau ditakar, sehingga diketahui jumlah kuantitasnya secara jelas. Namun, hasil panen tersebut dijual dengan caramenaksir jumlah panen tersebut, kemudian harga disepakati kedua pihak.Biasanya hal ini dipraktikkan pada buah-buahan, seperti buah mangga,rambutan dan lainnya. Atau dilakukan atas hasil palawija, seperti kacang-kacangan, kedelai dan lainnya. Dalam term ulama fiqh, transaksi ini lazimdikenal dengan istilah jual beli jizaf  (dalam istilah jawa disebut dengan tebasan).

 Al jizaf   merupakan kata yang diadopsi dari bahasa Persi yang di-arab-kan. Yang bermakna, jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, ditakar atau pundihitung. Akan tetapi, jual beli dilakukan dengan cara menaksir jumlah obyektransaksi setelah melihat dan menyaksikannya secara cermat. Imam Syaukanimenambahkan, al jizaf   merupakan sesuatu yang tidak diketahui kadarnya

(kuantitas) secara detil. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 648).Keabsahan praktik jual beli  jizaf dapat disandarkan pada hadits

Rasulullah SAW yang diceritakan dari Jabir, dan berkata: “Rasulullah melarang jual beli shubroh (kumpulan makanan tanpa ada timbangan dan takarannya) darikurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui secara jelas takarannya” (HR Muslim dan Nasai). 

Hadits ini mengindikasikan bahwa jual beli  jizaf   atas kurmadiperbolehkan, dengan catatan, harga yang dibayarkan atas kurma tersebut,bukanlah barang yang sejenis (artinya, ditukar dengan kurma). Jika kurma

Page 89: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 89/199

www.belajarsyariahyuk.com

tersebut dibayar dengan kurma yang sejenis, maka hukumnya haram. Denganalasan, terdapat potensi perbedaan kuantitas di antara keduanya, dan hal ini

lebih dekat dengan riba fadhl. Jika kurma tersebut ditukarkan dengan uang, danpertukaran tersebut dilakukan dengan jual beli jizaf , maka diperbolehkan.

Selain itu, terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dalamhadits ini mengindikasikan ketetapan Rasulullah (taqrir ) atas transaksi jual beli

 jizaf   yang dilakukan oleh para sahabat. Rasulullah tidak melarangnya, namunmemberikan catatan bahwa dalam transaksi tersebut harus terdapat prosesiserah terima. Artinya, obyek transaksi sudah dipindah dari tempat semula, danbisa diserah terimakan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 649).

Ulama empat madzhab sepakat atas keabsahan jual beli shubroh  secara jizaf . Ibnu Qudamah menambahkan, akad  jizaf   boleh dilakukan atas shubroh,

dengan catatan, antara penjual dan pembeli tidak mengetahui kadarnya secara jelas dan pasti, tidak ada perdebatan pendapat ulama atas transaksi ini.

Dalam transaksi ini, ulama fiqh menyebutkan kaidah terkait denganharga dan obyek yang boleh untuk diperjualbelikan. Segala sesuatu yang bolehdiperjualbelikan dengan adanya perbedaan nilai, maka diperbolehkan untukditransaksikan secara  jizaf . Sebaliknya, jika sesuatu itu tidak diperbolehkanuntuk diperjualbelikan dengan adanya perbedaan nilai (artinya harus sama)maka tidak boleh ditransaksikan secara jizaf .

Berdasarkan kaidah ini, emas dengan emas, perak dengan perak, ataubarang ribawi lainnya, tidak boleh diperdagangkan secara  jizaf . Karena terdapat

kemungkinan adanya perbedaan nilai di antara keduanya, dan hal ini identikdengan riba. Namun, jika keduanya mampu ditimbang atau ditakar, dandiketahui kadarnya secara jelas, maka boleh diperdagangkan. Karena alasantidak diperbolehkannya adalah kemungkinan adanya tambahan nilai(perbedaan) di antara keduanya yang dekat dengan riba. (Zuhaili, 1989, IV, hal.656).

 Jika emas dipertukarkan dengan perak secara jizaf , maka jual beli ini sahadanya. Karena keduanya bisa ditransaksikan dengan adanya perbedaan nilai.Dengan syarat, harus ada al taqabuth (serah terima) dalam majlis akad.

Ulama fiqh madzhab Malikiyyah menyebutkan 7 syarat bagi keabsahan

 jual beli jizaf 

, sebagaimana hal ini ditemukan dalam pendapat ulama madzhablainnya. Syarat dimaksud adalah sebagai berikut:

  Obyek transaksi harus bisa dilihat dengan mata kepala ketika sedangmelakukan akad atau sebelumnya. Ulama Hanafiyyah, Syafiiyyah danHanabalah sepakat akan syarat ini. Dengan adanya syarat ini, maka

 gharar jahalah (ketidaktahuan obyek) dapat dieliminasi.  Penjual dan pembeli tidak mengetahui secara jelas kadar obyek jual beli,

baik dari segi takaran, timbangan atau pun hitungannya. Imam Ahmadmenyatakan, jika penjual mengetahui kadar obyek transaksi, maka iatidak perlu menjualnya secara  jizaf . Namun, jika ia tetap menjualnya

Page 90: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 90/199

www.belajarsyariahyuk.com

secara  jizaf   dengan kondisi ia mengetahui kadar obyek transaksi, maka jual beli sah dan bersifat lazim, namun makruh tanziih.

 

 Jual beli dilakukan atas sesuatu yang dibeli secara partai, bukan persatuan. Akad  jizaf   diperbolehkan atas sesuatu yang bisa ditakar atauditimbang, seperti biji-bijian dan yang sejenisnya. Jual beli  jizaf  tidak bisadilakukan atas pakaian, kendaraan yang dapat dinilai per satuannya.Berbeda dengan barang yang nilainya sangat kecil per satuannya, ataumemiliki bentuk yang relatif sama. Seperti telor, apel, mangga, semangka,kurma dan sejenisnya. Jika obyek transaksi bisa dihitung tanpa adanyaupaya yang melelahkan dan njlimet, maka tidak boleh ditransaksikansecara jizaf , dan berlaku sebaliknya.

  Obyek transaksi bisa ditaksir oleh orang yang memiliki keahlian dalampenaksiran. Akad  jizaf   tidak bisa dipraktikkan atas obyek yang sulit

untuk ditaksir. Madzhab Syafiiyyah sepakat atas adanya syarat ini,mereka menetapkan bahwa kadar shubroh  harus bisa diketahui,walaupun dengan cara menaksir.

  Obyek akad tidak boleh terlalu banyak, sehingga sangat sulit untukditaksir, namun juga tidak terlalu sedikit, sehingga sangat mudahdiketahui kuantitasnya.

  Tanah yang digunakan sebagai tempat penimbunan obyek transaksi

haruslah rata, sehingga kadar obyek transaksi bisa ditaksir. Jika tanahdalam kondisi menggunung atau landai, maka kemungkinan kadarobyek transaksi bisa berbeda (misalnya, kacang tanah). Jika ternyatatanah dalam kondisi tidak rata, maka keduanya memiliki hak khiyar.

 

Tidak diperbolehkan mengumpulkan jual beli barang yang tidakdiketahui kadarnya secara jelas, dengan barang yang diketahui kadarnyasecara jelas, dalam satu akad. Misalnya, jual beli kurma satu kilo,dikumpulkan dengan apel yang berada dalam satu pohon, dengan satuharga atau dua harga. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 663-667).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 91: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 91/199

Page 92: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 92/199

www.belajarsyariahyuk.com

Landasan Syariah

 Al ijarah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atasdalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits atau pun ijma ulama.Namun demikian terdapat ulama yang tidak membolehkannya, diantaranyaAbu Bakar al Ashamm, Ismail bin „Aliyah, Hasan Basri dan lainnya. Denganalasan, jika kita gunakan qiyas  (analog), akad al ijarah  identik dengan bai‟ alma‟dum yang dilarang, manfaat sebagai obyek tidak bisa dihadirkan ketika akad.

Akan tetapi, pendapat ini disanggah Ibnu Rusyd dengan mengatakanbahwa walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namun akan bisadipenuhi ketika akad telah berjalan. Di antara dalil (landasan syariah) yangmemperbolehkan praktik akad al ijarah adalah sebagai berikut (Zuhaili, 1989, jilidIV, hal. 730): 

1. 

“ Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telahmenentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, danKami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapaderajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Danrahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. QS. Al Zukhruf(43): 32 merujuk pada keabsahan praktik ijarah.

Lafadz "sukhriyyan" yang terdapat dalam ayat ini bermakna "saling

mempergunakan". Menurut Ibnu Katsir, lafadz ini diartikan dengan "supayakalian bisa saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yanglain, karena diantara kalian saling membutuhkan satu sama lain". Artinya,

terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikanorang lain, dengan demikian, orang tersebut bisa mempergunakan sesuatuitu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya dengan akad sewamenyewa/ ijarah (Ibnu Katsir, jilid IV, hal. 192).

Berdasarkan penafsiran ini, maka lafadz "sukhriyyan" yang terdapat dalamayat ini dapat digunakan sebagai istidlal  atas keabsahan praktik ijarah,kontrak ijarah sah dan dibenarkan oleh syariah.

2.  “... dan jika Kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimuapabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada

 Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

QS. Al Baqarah (2): 233 merupakan dalil lain diperbolehkannya akad ijarah. Jika kedua orang tua sepakat untuk menyusukan anaknya kepada orang lain,maka hal itu diperbolehkan, sepanjang mereka mau untuk menunaikanupah/ pembayaran yang baik/ patut kepada orang tersebut. Kitadiperbolehkan menyewa jasa orang lain untuk menyusui anak kita, dengansyarat harus kita tunaikan pembayaran upahnya secara layak (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 425).

Penafsiran ini jelas sekali mengindikasikan diperbolehkannya kita menyewa jasa orang lain yang tidak kita miliki (tidak mampu kita tunaikan), dengan

Page 93: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 93/199

www.belajarsyariahyuk.com

catatan kita harus menunaikan upahnya secara patut. Ungkapan inimenunjukkan adanya jasa yang diberikan, dan adanya kewajiban melakukan

pembayaran yang patut atas jasa yang diterima. Berdasarkan istidlal  ini,kontrak ijarah bisa digunakan dan terdapat landasan syariah yang jelas.

3.  “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Hai Ayahku, ambillah ia sebagaiorang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baikyang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapatdipercaya”.

QS. Al Qashas (28): 26 merujuk pada keabsahan kontrak ijarah. Ayat iniberkisah tentang perjalanan Nabi Musa a.s. bertemu dengan kedua putriNabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa a.s. untuk di-isti'jar  (disewa tenaganya/ jasa) guna menggembalakan domba. Kemudian Nabi

Ishaq a.s. bertanya tentang alasan permintaan putrinya tersebut. Putri NabiIshaq mengatakan bahwa Nabi Musa a.s. mampu mengangkat batu yanghanya bisa diangkat oleh sepuluh orang, dan mengatakan 'karenasesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya '. Ayat berikutnya bercerita tentangbagaimana Nabi Musa a.s. harus bekerja dan sistem remunerasi yang akanditerimanya (Ibnu Katsir, jilid III, hal. 615).

Cerita ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimanapembayaran upah sewa itu dilakukan. Dalam kaidah ushul fiqh, sebuahcerita (qishas) bisa dijadikan sebagai landasan hukum tentang sesuatu.Praktik ijarah ini pernah disyariatkan pada masa Nabi Musa a.s., dan hal itu

merupakan syar'u man qablana, dalam ushul fiqh, syar'u man qablana juga bisamenjadi aturan syariat bagi kita sepanjang syariat tersebut tidak di-mansukh (hapus).

4. 

“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. Hadits riwayat IbnuMajah dari Ibnu Umar merupakan dalil lain diperbolehkannya akadijarah. Menurut Ibnu Hajar, kedudukan hadits ini adalah lemah. Haditsini memerintahkan kepada penyewa untuk memberikan upah orangyang disewa sebelum kering keringatnya (Zuhaili, jilid IV, hal. 730, lihat juga

Subul al Salam, jilid III, hal. 81).

Hadits ini memberikan sebuah etika dalam melakukan akad ijarah, yakni

memberikan pembayaran upah secepat mungkin. Relevansinya denganpraktik kontrak ijarah  pada saat sekarang adalah adanya keharusan untukmelakukan pembayaran uang sewa sesuai dengan kesepakatan/ batas waktuyang telah ditentukan, seyogyanya kita tidak menunda-nunda pemberianupah dari jadwal/ tenggat waktu yang telah disepakati.

5.  “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”. Haditsriwayat 'Abd ar Razzaq dari Abu Hurairah dan Sa'id al Khudrimenerangkan keabsahan akad ijarah. Hadits ini kedudukannya shahih,tapi mauquf pada Abi Sa'id. Hadits ini memerintahkan kita untuk

Page 94: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 94/199

www.belajarsyariahyuk.com

mempertegas upah sewa kepada pihak yang kita sewa (Nailul Authar , jilidV, hal. 292).

Hadits ini memberikan pemahaman tentang tata cara bagaimana kitamelakukan akad ijarah, khususnya terkait dengan jumlah upah sewa yangakan dibayarkan. Penegasan upah sewa dalam kontrak merupakan sesuatuyang harus diketahui, hal ini untuk mencegah terjadinya perselisihan dikemudian hari. Kedua pihak yang bertransaksi harus menjelaskan hak dankewajiban diantara keduanya untuk menghindari adanya perselisihan, danguna memperjelas akad.

6.  “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, makaRasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami

menyewakannya dengan emas atau perak”. Hadits riwayat Abu Daud dari

Sa'ad bin Abi Waqqash merujuk pada praktik akad ijarah yang dilakukansahabat di zaman Rasulullah SAW.

Pada awal mulanya, para sahabat melakukan akad ijarah  denganmenyewakan perkebunan mereka, dengan upah sewa (bayaran) berupa hasilpertanian, kemudian Rasulullah melarangnya, dan disuruh mengganti upahsewa dengan menggunakan emas atau perak/ uang. Dengan demikian, akadijarah  sebenarnya telah dipraktikkan pada zaman sahabat, dan Rasulullahtelah memberikan aturannya, sehingga akad ijarah  sah dilakukan dandibenarkan oleh syariah.

7. 

Ulama pada zaman sahabat telah sepakat akan kebolehan ( jawaz) akad

ijarah, hal ini didasari pada kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentuseperti halnya kebutuhan akan barang. Ketika akad jual belidiperbolehkan, maka terdapat suatu kewajiban untuk membolehkan akadijarah  atas manfaat/ jasa. Karena pada hakikatnya, akad ijarah  jugamerupakan akad jual beli, namun dengan obyek manfaat/ jasa ( Bada'i alShana'i, jilid IV, hal. 173). Dengan adanya ijma' ini, akan memperkuatkeabsahan akad ijarah.

Rukun dan Syarat

Pembiayaan ijarah  memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh

ulama guna menentukan sahnya akad tersebut. Rukun yang dimaksud adalah sighat  (ijab qabul), pihak yang bertransaksi (muajjir / pemberi sewa, musta'jir /penyewa), obyek kontrak yang terdiri upah dan manfaat.

Ulama mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekatdalam pembiayaan ijarah:

  Sighat  akad ijarah harus berupa pernyataan kemauan dan niat dari dua

pihak yang melakukan kontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lainyang equivalen.

Page 95: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 95/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Kedua pihak yang melakukan kontrak harus berakal sehat dan baligh,ada kesepakatan ulama bahwa akad ijarah  tidak sah kecuali dilakukan

orang yang berkompeten, berkualifikasi untuk menggunakan uang,memiliki kewenangan untuk berkontrak, serta harus ada kerelaan darimasing-masing pihak.

  Manfaat, kontrak harus terdiri dari penggunaan manfaat dari sebuah

aset. Syaratnya, yang harus menjadi obyek ijarah  adalah manfaatpenggunaan aset, bukan penggunaan aset itu sendiri. Manfaat harus bisadinilai dan diniatkan untuk dipenuhi dalam kontrak, dan pemenuhanmanfaat atau manfaat itu sendiri harus diperbolehkan secara syar'i, sertakemampuan untuk memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengansyariah. Manfaat harus dikenali sedemikian rupa, sehingga bisamenghilangkan  jahalah  (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan

sengketa. Manfaat dispesifikasi dengan menyatakan obyek atau jangkawaktu, bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar penyewa sebagaikompensasi/ pembayaran manfaat yang dinikmatinya. Setiap sesuatu yanglayak dianggap harga dalam jual beli dianggap layak pula sebagai sewa dalamijarah. Kebanyakan ulama mengatakan, 'syarat yang berlaku untuk harga jugaberlaku pada sewa'. Selain itu, sewa/ upah haruslah sesuatu yang bernilai dandiperbolehkan oleh syara' dan harus diketahui jumlahnya.

Sewa dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Misalnya,

 jika baju ini selesai dijahit hari ini, upahnya Rp.40.000,- sedangkan jika selesaibesok, upahnya Rp.30.000,- atau jika rumah ini dipakai untuk jualan emas, upahsewanya Rp. 2.000.000,- per bulan, jika untuk jualan parfum, upah sewanyaRp.1.000.000,- dan sebagainya. Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwahak atas sewa tidak muncul karena kontrak, melainkan pemenuhan syarat dalamkontrak atau dengan menyediakan obyek kontrak (Zuhaili, jilid IV, hal. 736-752).

Pemberi sewa berkewajiban untuk menyediakan aset dan memungkinkanbagi penyewa untuk menikmati manfaat aset tersebut. Sebaliknya, penyewabertanggungjawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa dan membayarupah sewa. Para ulama sepakat bahwa aset yang disewa adalah amanah ditangan penyewa, tetapi jika aset rusak tanpa pelanggaran dan kelalaian pihakpenyewa, maka ia tidak bertanggungjawab atas kerusakan tersebut.

Pada prinsipnya, dibolehkan mensyaratkan dalam kontrak bahwapemeliharaan aset dilakukan oleh penyewa. Dengan catatan, upah sewa yangdibayar oleh penyewa harus adil, dalam arti, jumlah sewa harus mencerminkannilai manfaat yang didapatkan serta biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaanaset. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 764-765).

Kontrak al ijarah merupakan akad lazim (mengikat). Menurut pendapatmayoritas ulama, akad ini tidak bisa dibatalkan kecuali ada cacat atau hilangnyanilai manfaat bagi kedua pihak. Menurut Hanafiyah, akad ijarah bisa batal karena

Page 96: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 96/199

www.belajarsyariahyuk.com

meninggalnya salah satu pihak, jika akad tetap diteruskan, maka manfaat atauupah tidak akan bisa dinikmati oleh pihak-pihak yang berakad.

Menurut pendapat ini, hak dalam akad al ijarah  tidak bisa diwariskan.Berbeda dengan mayoritas ulama Malikiyah dan Syafiiyah, akad al ijarah  tidakbisa batal karena meninggalnya salah satu pihak, karena merupakan akad lazimseperti halnya jual beli (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal. 758).

Akad al ijarah bisa digunakan dalam penggunaan jasa orang, seperti jasataylor, arsitek dan lainnya. Dalam hal ini, al ajiir   (orang yang disewa jasanya)dibedakan menjadi dua golongan, yakni al ajiir al khos  yaitu orang yangmenyewakan jasanya hanya untuk satu orang saja, dan dalam waktu tertentu,dan ia tidak boleh menyewakan jasanya kepada orang lain. Kedua, al ajiir al

musytarak, yaitu orang yang menyewakan jasanya untuk khalayak ramai, ia

diperbolehkan bekerja untuk masyarakat banyak, orang yang menyewanya tidakboleh melarang untuk tidak bekerja pada orang lain.

Untuk al ajiir al khos  (seperti pembantu, dll) tidak berkewajiban untukmengganti barang yang rusak terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Barangyang digunakan al ajiir al khos merupakan amanah (yad al amanah), dan ia tidakbertanggungjawab jika terjadi kerusakan, kecuali karena unsur kelalaian. Begitu juga dengan al ajiir al musytarak, menurut Abu Hanifah, Zafar, dan Hanabalahposisinya sama dengan al ajiir al khos  (yad al amanah). Berbeda dengan Imam alShahiban dan Ahmad, al ajiir al musytarak  memiliki tanggungjawab ataskerusakan aset, walaupun bukan karena kelalaiannya, kecuali kalau disebabkanadanya  force mejeur   (bencana alam, kebakaran dll). (Zuhaili, 1989, jilid IV, hal.

766-769).

Pembatalan kontrak ijarah  bisa dilakukan secara sepihak, karena adaalasan yang berhubungan dengan pihak yang berkontrak atau aset sewa itusendiri. Kontrak ijarah bisa berhenti, karena ada keinginan dari salah satu pihakuntuk mengakhirinya. Atau juga karena aset yang menjadi obyek sewa rusakdan sudah tidak mampu mendatangkan manfaat bagi penyewa. Kontrak jugabisa selesai karena masa perjanjian telah usai, atau karena alasan lain yangdibenarkan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 781).

Al-Ijarah Al-Muntahiyah bit-Tamlik (Financial Lease)

 Al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik  adalah perpaduan antara kontrak jualbeli dengan akad sewa, atau akad sewa yang diakhiri dengan perpindahankepemilikan barang di tangan penyewa. Berdasarkan definisi ini, akad al-ijarahal-muntahiyah bit-tamlik berbeda dengan akad al-ijarah biasa dalam hal:

  Kontrak al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik terdiri atas dua akad, yakni akad

sewa sampai dengan batas tertentu, serta akad perpindahan kepemilikanobyek sewa di akhir masa perjanjian yang bersifat independen, baikdengan akad jual beli atau pun hibah. Artinya, di akhir masa sewa,

Page 97: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 97/199

www.belajarsyariahyuk.com

pemilik barang berjanji akan menjual barang tersebut kepada penyewa,atau dengan akad hibah

 

Biaya sewa yang dibayarkan penyewa, biasanya lebih besar dari upahsewa biasa. Biaya sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelianbeserta besaran margin yang diinginkan. Ketika biaya sewa telah lunasterbayarkan di akhir masa sewa, kepemilikan barang akan bergeserkepada penyewa dengan akad yang independen, baik dengan akad jualbeli atau hibah

 Al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik merupakan instrumen pembiayaan yangdiperbolehkan oleh syara‟, dengan dalil sebagai berikut (Zuhaili, 2002, hal. 410-412):

 

Kontrak al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik  bukanlah merupakan

penggabungan dua akad, yakni sewa dan jual beli dalam satu akad, yangmana hal ini dilarang oleh syara‟. Namun, ia terdiri atas dua akad yangterpisah dan independen, pertama adalah akad sewa, dan di akhir masasewa dibentuk akad baru yang independen, yakni akad jual beli atauhibah

  Menurut ulama Hanabalah, pihak yang melakukan transaksi memiliki

kebebasan penuh dalam menentukan kesepakatan dan syarat dalamsebuah akad, dan hukum asal hal ini adalah mubah (diperbolehkan).Sepanjang, kesepakatan atau syarat tersebut tidak bertentangan dengannash syara‟ atau merusak kaidah syar‟iyyah. Atau syarat tersebut

menafikan substansi (maksud) diadakannya akad.  Ada pun janji pihak yang menyewakan barang untuk melakukan

transaksi perpindahan kepemilikan barang di akhir masa sewa, bukanlahsuatu hal yang dapat merusak akad dalam pandangan syara‟. Karena, janji bukanlah merupakan bentuk akad, dan tidak dapat merusak segalakonsekwensi yang ada dalam akad. Atau dapat menjerumuskan pihakyang bertransaksi pada hal yang dilarang syara‟ seperti riba atau  gharar .Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan, janji tersebut bersifat mengikat.

  Ulama Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijarah) bisa digabungkandengan akad jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang

menafikan substansi keduanya. Begitu juga dengan Syafiiyah danHanabalah yang mengakui keabsahan penggabungan dua akad ini dalamsatu transaksi, karena tidak ada pertentangan substansi akad di antarakeduanya

  Selain itu, juga terdapat fatwa dari konferensi fiqh internasional pertamadi Bait al-Tamwil al-Kuwaiti (7-11 Maret 1987) yang mengakui keabsahanakad al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik yang di akhiri dengan akad hibah.Atau juga ketetapan ulama fiqh dunia no.44 dalam sebuah konferensi diKuwait (10-15 Desember 1988) yang menghadirkan alternatif solusi, yakniakad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad ijarah, dimana di akhir

Page 98: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 98/199

www.belajarsyariahyuk.com

perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi, yaitu memperpanjang masakontrak sewa, menyelesaikan akad dengan mengembalikan obyek sewa,

atau membeli obyek sewa dengan harga yang berlaku di pasaran.

Pertanyaan dan Latihan:

Page 99: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 99/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 14Akad Ju‟alahTujuan:

Pengertian

 Akad ju‟alah  identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuahpekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu

menyelesaikannya, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secaraharafiah,  ju‟alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untukdikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.Menurut ahli hukum (qanun),  ju‟alah  diartikan dengan hadiah yang dijanjikanketika seseorang berhasil melakukan sebuah pekerjaan.

Secara istilah, menurut madzhab Malikiyyah,  ju‟alah  adalah akad sewa(ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapatprobabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatupekerjaan). Seperti halnya ucapan seseorang, barang siapa mampu menemukanmobil saya yang hilang, atau barang siapa mampu menggali sumur ini hinggamengalir airnya, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang saya perjanjikan.(Zuhaili,1989,IV,hal.783).

Seperti halnya lomba lari marathon, barang siapa mampu paling awalmencapai garis finish, maka ia berhak mendapatkan hadiah. Begitu juga denganFormula 1, Grand Prix atau yang sejenis. Seperti halnya seorang dokter yangmampu menyembuhkan sebuah penyakit, atau seorang ulama yang bisamembuat seseorang hafal al Qur‟an. Ulama fiqh klasik mencontohkan dengan,barang siapa bisa menemukan kuda tunggangan atau budaknya yang hilang,maka ia berhak mendapatkan hadiah.

Page 100: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 100/199

www.belajarsyariahyuk.com

Landasan Syariah

Menurut madzhab Hanafiyyah, akad ju‟alah  tidak diperbolehkan, karenamengandung unsur gharar  di dalamnya. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogkan (qiyas) dengan akadijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangkawaktu. Namun demikian, ada sebagian ulama Hanafiyah yangmemperbolehkannya, dengan dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).

Menurut ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabalah, secara syar‟i,akad ju‟alah  diperbolehkan. Dengan landasan kisah Nabi Yusuf besertasaudaranya. Yakni firman Allah QS. Yusuf

Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yangdiriwayatkan oleh Imam al Jama‟ah kecuali Imam Nasa‟i dari Abu Sa‟id alKhudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah SAW mendatangkan sebuahperkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu.Tiba-tiba pemimpin mereka terkena penyakit, kemudian penduduk desameminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan,dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorangsahabat membaca al fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh.Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi, sahabat tidak mau menerimasebelum lapor kepada Rasulullah. Rasulullah tersenyum melihat laporankejadian ini.

Secara logika, manusia membutuhkan akad ju‟alah. Seperti halnya

menemukan aset atau properti yang hilang, melakukan pekerjaan yang tidakmampu dikerjakaan oleh pemiliknya, maka ia pasti membutuhkan akad ju‟alah.Dengan demikian, diperbolehkan akad ju‟alah. Ketidakjelasan pekerjaan dan jangka waktu penyelesaian dalam  ju‟alah, tidaklah memberi madharat kepadapelaku. Dengan alasan, akad ju‟alah bersifat tidak mengikat ( ghair lazim). Berbedadengan akad ijarah yang bersifat lazim (mengikat keduanya).

 Akad ju‟alah bersifat one side (iradah wahidah), untuk itu al ja‟il (pemiliksayembara) harus mengungkapkan secara jelas keinginannya (pekerjaan).Menjelaskan pekerjaan yang diinginkan, besaran hadiah atau upah yangdiperjanjikan dengan jelas. Jika ada seseorang mengerjakan pekerjaan itu tanpase-izinnya, atau pemilik mengatakan kepada seseorang, kemudian ada orang lainyang mengerjakannya, maka hal ini diperbolehkan. Intinya, akad ju‟alah bersifatumum, dan upah atau hadiah akan tetap diberikan kepada pihak yang berhasilmenyelesaikan pekerjaan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 748-749).

Perbedaan antara Ijarah dan Ju’alah 

 Akad ju‟alah  berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengankesepakatan yang terdapat di dalamnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalampoin berikut:

Page 101: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 101/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Pemilik pekerjaan (ja‟il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaantelah usai dilaksanakan, seperti ditemukannya aset yang hilang, atau

hilangnya penyakit yang diderita. Berbeda dengan ijarah, penyewa(musta‟jir ) bisa menerima manfaat, ketika ajir   telah melakukan sebagianpekerjaannya. Konsekwensinya, pekerja dalam akad ju‟alah  tidak akanmenerima upah, jika pekerjaannya tidak selesai. Sedangkan dalam ijarah,„amil  (pekerja, ajir ) berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telahdikerjakan, walau pun belum tuntas.

   Akad ju‟alah mengandung unsur gharar  di dalamnya, yakni ketidakjelasan jenis pekerjaan atau jangka waktu yang dibutuhkan, dan hal inidiperbolehkan. Berbeda dengan ijarah, jenis pekerjaan, upah dan jangkawaktu yang diperlukan, harus dijelaskan secara detil.  Akad ijarah  harusdibatasi dengan waktu, berbeda dengan  ju‟alah. Yang terpenting adalahselesainya sebuah pekerjaan, tidak bergantung pada pembatasan waktu.

 

Dalam akad ju‟alah  tidak diperbolehkan mensyaratkan adanyapembayaran upah di muka. Berbeda dengan akad ijarah, upah bisadipersyaratkan untuk dibayar di muka.

   Akad ju‟alah bersifat  jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat),sehingga boleh untuk dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah  yangbersifat lazim  (mengikat), dan tidak bisa dibatalkan sepihak. (Zuhaili,1989, IV, hal. 786).

Syarat Akad Ju’alah 

Ulama memberikan beberapa syarat terkait dengan keabsahan akad ju‟alah, yakni sebagai berikut:

  Orang yang terlibat dalam akad ju‟alah, harus memiliki ahliyyah. Al ja‟il (pemilik sayembara) haruslah orang yang memiliki kemutlakan dalamtransaksi (baligh, berakal dan rasyid), tidak boleh dilakukan oleh anakkecil, orang gila atau orang safih. Untuk „amil  (pelaku), haruslah orangyang memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaan, sehingga adamanfaat yang bisa dihadirkan.

 

Hadiah, upah ( ja‟l) yang diperjanjikan harus disebutkan secara jelas

 jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ju‟alah  batal adanya,karena ketidakjelasan kompensasi. Seperti, barang siapa menemukanmobil saya yang hilang, maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu,upah yang diperjanjikan bukanlah barang haram, seperti minuman kerasatau barang ghasab.

 

Manfaat yang akan dikerjakan pelaku („amil) haruslah jelas, dandiperbolehkan secara syar‟i. Tidak diperbolehkan menyewa tenagaparanormal untuk mengeluarkan jin, praktik sihir, atau perkara haramlainnya, seperti menyanyi, dan hal-hal yang diharamkan lainnya.

Page 102: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 102/199

www.belajarsyariahyuk.com

Kaidahnya adalah, setiap aset yang boleh dijadikan sebagai obyektransaksi dalam akad ijarah, maka juga diperbolehkan dalam akad  ju‟alah,

vice versa. Namun demikian, akah ijarah  lebih umum dan kompleksdaripada akad ju‟alah. Mazhab Syafi‟iyyah menambahkan, setiappekerjaan (manfaat) yang dilakukan haruslah mengandung beban(usaha), karena tidak ada kompensasi tanpa adanya usaha (risk versusreturn).

  Mazhab Malikiyyah menambahkan satu syarat, akad ju‟alah  tidak boleh

dibatasi dengan jangka waktu. Namun ulama lain mengatakan,diperbolehkan memperkirakan jangka waktu dengan pekerjaan yang ada.Misalnya, barang siapa mampu menjahitkan baju saya dalam satu hari,maka ia berhak atas hadiah sekian. Jika dalam waktu sehari ia mampumenyelesaikannya, maka ia berhak mendapat hadiah. Jika tidak, maka iatidak mendapatkan apa-apa. Berbeda dengan akad ijarah.

 

Malikiyyah mensyaratkan, jenis pekerjaan ju‟alah haruslah spesifik, walaupun berbilang. Seperti menemukan beberapa onta yang hilang. (Zuhaili,1989, IV, hal. 787-788)

Sifat Hukum Akad Ju’alah 

Ulama fiqh sepakat bahwa akad ju‟alah diperbolehkan, dan bersifat ghairlazim (tidak mengikat), berbeda dengan akad ijarah yang bersifat lazim. Untuk itu,masing-masing pihak yang bertransaksi, memiliki hak untuk membatalkan akad.

Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang waktu diperbolehkannyamembatalkan akad.

Madzhab Malikiyyah menyatakan, akad ju‟alah  boleh dibatalkan ketikapekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja („amil). Menurut Syafiiyyah danHanabalah, akad ju‟alah  boleh dibatalkan kapan pun, sebagaimana akad-akadlain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secarasempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak,maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akaddibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka „amil boleh mendapatkanupah sesuai yang dikerjakannya. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 789).

Pemberian Hadiah

Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah, pemilik pekerjaan (sayembara)diperbolehkan untuk menambah atau mengurangi hadiah/upah yang akandiberikan kepada „amil, karena akad  ju‟alah  adalah akad jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat). Namun demikian, Syafiiyyah memberikancatatan bahwa, hal itu diperbolehkan ketika pekerjaan belum selesai dikerjakan. Jika pekerjaan telah selesai dilaksanakan, maka „amil berhak mendapatkan upahyang sepadan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 790).

Page 103: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 103/199

www.belajarsyariahyuk.com

Pertanyaan dan latihan:

Page 104: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 104/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN 5DEPOSITORY &

RIBA THEORY

Bab 15Teori WadiahTujuan:

DefinisiSecara linguistik, wadi‟ah  bisa diartikan dengan meninggalkan atau

titipan. Secara istilah, wadi‟ah  adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak(pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Menurut Hanafiyyah,wadi‟ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain atas suatu barang yangdimiliki dengan tujuan untuk dijaga, baik secara verbal atau dengan isyarat(dilalah). Misalnya, “Aku titipkan barang ini kepada engkau”, kemudian pihaklain menerimanya dengan jelas. Atau seseorang datang dengan membawa baju,kemudian baju itu diletakkan di atas tangan orang lain, dan ia berkata, “Aku

Page 105: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 105/199

www.belajarsyariahyuk.com

titipkan baju ini kepada engkau”. Si penerima hanya diam dan menerima bajutersebut.

Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, wadi‟ah  adalah pemberian mandatuntuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khususdimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, diperbolehkanmenitipkan kulit bangkai yang telah disucikan, atau juga seekor anjing yangtelah dilatih untuk berburu atau berjaga-jaga. Tidak boleh menitipkan baju yangsedang terbang ditiup angin, karena ini termasuk dalam kategori harta yang sia-sia (tidak ada kekhususan untuk dimiliki), yang bertentangan dengan prinsipwadi‟ah. (Zuhaili, 1989, V, hal. 37-38).

Landasan Syariah

Konsep wadi‟ah  mendapat pengakuan dan legalitas syara‟. Diantaranyafirman Allah dalam QS. Al Baqarah:283 dan QS. An Nisa‟:58. Atau juga haditsyang diriwayatkan Abu Daud dan Turmudzi: “Tunaikanlah amanah itu kepadaorang yang memberi amanah kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orangyang mengkhianatimu”. Dalam setiap kurun waktu, ulama sepakat (ijma‟) ataskeabsahan praktik wadi‟ah, karena masyarakat sangat membutuhkannya, bahkansampai pada tahapan darurat.

Rukun dan Syarat

Menurut Hanafiyah, rukun wadi‟ah  terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilikaset berkata, “Aku titipkan barangku ini kepada engkau, atau jagalah barang ini,atau ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian, pihak lain menerimanya.Orang yang melakukan kontrak, disyaratkan orang yang berakal. Akad wadi‟ah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal, atau orang gila.Begitu juga, mereka tidak boleh menerima akad wadi‟ah.

Menurut mayoritas ulama, rukun akad wadi‟ah terdiri atas „akidan (penitipdan penerima), wadi‟ah (barang yang dititipkan), dan sighat (ijab qabul). Ijab qabul bisa dilakukan secara verbal dengan kata-kata, atau dengan isyarat. Syarat yangharus ada dalam akad wadi‟ah  adalah syarat-syarat yang melekat dalam akadwakalah, yakni baligh, berakal dan rusyd (cerdas). Untuk wadi‟ah (barang titipan),

disyaratkan harus bisa dipegang atau tetap dalam genggaman tangan seseorang.Tidak bisa berupa burung yang sedang terbang atau mutiara yang jatuh di dasarlautan (Zuhaili, 1989, V, hal. 39).

Seputar Hukum Wadi’ah 

Ketika kontrak wadi‟ah  telah disepakati kedua pihak, pemilik asetmemiliki hak untuk dijaga aset yang dititipkan, sedangkan penerima titipanberkewajiban untuk menjaganya. Jikalau ada dua orang menitipkan asetnyakepada seseorang, kemudian datang salah satu dari mereka dan meminta aset

Page 106: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 106/199

www.belajarsyariahyuk.com

mereka kembali, maka aset itu tidak boleh dikembalikan, sehingga pihak keduadatang menemui mereka.

Ulama berbeda pendapat tentang tata cara penjagaan aset yangdititipkan. Menurut Hanafiyah, aset tersebut harus dijaga sebagaimana hartakekayaan pribadi yang dimiliki, bisa dilakukan oleh diri pribadi penerimatitipan, atau kepada keluarga dan kerabat yang berada di bawah control dia(coverage of control). Menurut Malikiyah, aset titipan hanya boleh dijaga olehpenerima titipan dan keluarga terdekatnya, yakni isteri dan anaknya, sertapembantu yang telah lama mengabdi kepadanya. Menurut Syafiiyah, aset titipanharus dijaga oleh diri pribadi penerima titipan, bukan orang lain. Karena penitipmenitipkan barang kepada dirinya, bukan orang lain. Jika ingin dilimpahkankepada keluarga dan kerabat, harus mendapatkan izin dari penitip.

Ulama sepakat bahwa konsep wadi‟ah berdasarkan prinsip kepercayaan(yad al amanah), bukan prinsip penggantian (yad al dlamanah). Artinya, ketika asettitipan mengalami kerusakan yang disebabkan bukan karena kelalaian penerimatitipan, maka ia tidak berkewajiban untuk menggantinya. Berbeda ketika iaceroboh, maka ia bertanggungjawab untuk mengganti. Selain itu, penerimatitipan berkewajiban mengembalikan aset dengan segera, ketika penitipmemintanya. Aset itu harus diserahkan kepada diri pribadi penitip, bukan oranglain. Jika aset diserahkan kepada orang lain, baik keluarga atau kerabat penitip,kemudian terjadi kerusakan, penerima titipan harus menggantinya (Zuhaili,1989, V, hal. 40-41).

Penerima titipan berkewajiban untuk mengganti aset titipan, ketika

dalam kondisi sebagai berikut (yad al amanah):

  Penerima titipan tidak menjaga aset sebagaimana mestinya, jika terjadikerusakan, maka ia berkewajiban menggantinya. Jika penerima melihatorang yang berusaha mencuri aset tersebut, dan ia mampu untukmenghentikannya, maka ia juga berkewajiban menggantinya.

  Ketika penerima titipan menitipkan kembali aset titipan bukan kepadakeluarga atau orang yang diberi mandat untuk menjaganya, maka akadwadi‟ah  berubah menjadi yad al dlamanah. Artinya, penerima titipanberkewajiban mengganti ketika terjadi kerusakan. Ketika asetdilimpahkan kepada pihak kedua, dan terjadi kerusakan, maka yang

bertanggungjawab adalah penerima titipan yang pertama, menurut AbuHanifah dan Hanabalah.

 

Ketika pihak kedua melakukan pengrusakan terhadap aset titipan, makapemilik berhak memilih, meminta ganti dari pihak pertama atau kedua. Jika pihak pertama berkenan untuk mengganti, maka ia memiliki hakuntuk menerima ganti rugi dari pihak kedua. Namun, jika pihak keduatelah menggantinya, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi dari pihakpertama. Dengan alasan, pihak kedua-lah yang melakukan pengrusakan.

Page 107: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 107/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Ketika penerima titipan memanfaatkan aset titipan, seperti mengendaraikendaraan yang dititipkan, memakai baju yang dititipkan, maka akad

wadi‟ah  berubah menjadi yad al dlamanah. Menurut Malikiyah, Syafiiyahdan Hanabalah, ketika aset mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan,walau pun disebabkan oleh  force majeour , ia tetap harus mengganti,karena ia telah berani untuk memanfaatkan aset tersebut.

 

 Jika penerima titipan mencampurkan aset titipan dengan aset pribadi,sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya, maka status wadi‟ah berubah menjadi yad al dlamanah. Jika aset tersebut berupa uang, dan iacampur dengan uang pribadi, maka ia berkewajiban untukmenggantinya, karena ia telah menyalahi makna wadi‟ah. Intinya, jika asettitipan dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dipisah dandibedakan, maka penerima titipan bertanggungjawab untukmenggantinya (Zuhaili, 1989, V, hal. 44-49).

Menurut Malikiyyah, akad wadi‟ah akan berubah dari yad al amanah menjadi yadal dlamanah, ketika;

  Aset titipan diberikan oleh penerima titipan kepada orang lain tanpa

adanya alasan atau udzur sayar‟I yang diperbolehkan   Aset titipan dipindahkan dari satu wilayah ke wilayah lain, bukan dari

satu rumah ke rumah lain yang masih satu wilayah 

Aset titipan dicampur dengan aset lain, sehingga sulit untuk dibedakan 

Aset titipan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi  Aset titipan disia-siakan dan dirusak, tidak dijaga sebagaimana mestinya

 

Menyalahi aturan/ syarat yang ditetapkan oleh pemilik aset

 Jika aset titipan diproduktifkan oleh penerima titipan, dan terdapatkeuntungan, maka ia berhak atas profit tersebut. Menurut Abu Hanifah,keuntungan tersebut harus disedekahkan, menurut ulama lain, keuntungantersebut harus dikembalikan kepada pemilik aset. Penerima titipan berhakmenerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untuk menjaga aset yangdititipkan, karena biaya itu merupakan kewajiban pemilik aset (Zuhaili, 1989, V,hal. 51-52).

Tabungan, Deposito dan Rekening Giro

Titipan merupakan jasa perbankan yang sangat diperlukan masyarakatdalam transaksi keuangan. Ia merupakan harta yang dititipkan pemiliknyakepada pihak perbankan sebagai lembaga keuangan, baik titipan tersebutdibatasi dengan jangka waktu tertentu, atau terdapat sebuah perjanjian bahwapemilik dana berhak untuk menarik sebagian atau seluruh dana yang dimiliki,kapan saja diperlukan.

Dalam praktiknya, dana yang dititipkan oleh nasabah tidak dibiarkanbegitu saja. Namun, dana tersebut dikumpulkan dalam sebuah  pool of fund, dandiinvestasikan untuk mendapatkan return atau keuntungan dari nasabah yang

Page 108: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 108/199

www.belajarsyariahyuk.com

membutuhkan dana untuk menjalankan aktifitas bisnis. Dalam konteks ini, danatitipan nasabah tersebut menjadi tanggungjawab pihak perbankan, dan ia

berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, ketika diperlukan olehnasabah.

Untuk itu, dana yang dititipkan oleh nasabah kepada pihak perbankan,tidak bisa dianalogkan dengan konsep wadi‟ah  dalam term ulama fiqh. Dalamkonsep wadi‟ah, barang yang dititipkan harus dijaga dan tidak diproduktifkan.Dan orang yang dititipi tidak memiliki tanggungjawab untuk mengganti, kecualikarena ia lalai atau ceroboh. Untuk itu, perlu dibahas terkait dengan hukumsyara‟ yang melingkupinya. 

Titipan dana pada perbankan, dapat dikategorikan menjadi giro,tabungan, deposito atau pun safe deposit box. Giro (current account) adalah

simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat denganpenggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau denganpemindahbukuan.

Tabungan (saving account) adalah simpanan dana yang penarikannyahanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati,tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lain yangdipersamakan dengan itu. Deposito ( fixed deposit) adalah simpanan danaberjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentuberdasarkan perjanjian antara nasabah penyimpan dan bank. Safe deposit box merupakan jasa perbankan dimana pihak bank menyediakan tempat untukpenyimpanan barang-barang berharga.

Menurut mayoritas ulama fiqh, titipan dana yang terdapat dalamperbankan konvensional merupakan refleksi dari bentuk pinjaman, baik iaberupa giro, tabungan atau pun deposito. Pihak perbankan memilikitanggungjawab penuh terhadap dana yang diterima, ia berkewajiban untukmengembalikan dana ketika nasabah berkeinginan untuk menariknya. Hal iniberbeda dengan prinsip wadi‟ah, dimana pihak perbankan hanyalah bertindaksebagai penerima amanah, bukan pihak yang bertanggungjawab penuh terhadapdana yang dititipkan.

Menurut ulama kontemporer, tidak semua dana yang dititipkan kepadapihak perbankan dianggap sebagai pinjaman, karena masing-masing memiliki

karakteristik yang berbeda. Untuk tabungan dan deposito, dana yang dititipkannasabah kepada pihak bank bisa dianggap sebagai pinjaman. Dengan alasan,nasabah tidak memiliki hak untuk menarik seluruh dana yang dimiliki dalamrekening secara simultan. Namun harus memperhatikan term dan kondisi yangdipersyaratkan. Hal ini yang menyebabkan dana tersebut lebih tepat dianggapsebagai pinjaman.

Berbeda dengan dana yang dititipkan dalam rekening giro, nasabahmemiliki hak mutlak untuk menarik dananya kapan pun ia membutuhkan.Dalam rekening ini, dana yang dititipkan tidak dimaksudkan untuk disertakan

Page 109: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 109/199

www.belajarsyariahyuk.com

dalam kegiatan investasi yang dilakukan pihak perbankan, dan berbagi dalamkeuntungan. Namun, dana tersebut dititipkan hanya untuk dijaga dan

diamankan hingga waktu dibutuhkan. Jika memang pihak bank mencampurnyadengan dana lain dalam kegiatan investasi, dana tersebut tetap dianggap sebagaititipan (wadi‟ah), karena hal itu dilakukan berdasarkan izin dari nasabah pemilikdana.

Akan tetapi, pendapat ini tidaklah benar (shahih). Perlu dijelaskan bahwa,setiap nasabah yang menitipkan dananya kepada pihak perbankan, tentunyatidak rela menitipkan dananya, jika tidak terdapat jaminan. Jika nasabahberanggapan bahwa dana yang dititipkan berdasarkan prinsip wadi‟ah, danpihak bank tidak akan menjamin pengembalian dana jika terjadi pencurian danperampokan yang tidak disebabkan kelalaian bank, maka nasabah tentunyatidak rela menitipkan kepada pihak perbankan.

Realitanya tidaklah demikian, pihak bank tetap menjamin danberkewajiban mengembalikan dana yang dititipkan oleh nasabah. Hal inimembuktikan bahwa dana yang dititipkan nasabah, menuntut adanya jaminandari pihak perbankan. Sebuah jaminan pengembalian dana jika dibutuhkan,tanpa memandang apakah dana tersebut telah dikorupsi, dirampok ataudigelapkan oknum tertentu. Dengan demikian, tidaklah tepat jika dikatakanbahwa dana tersebut dititipkan berdasarkan prinsip wadi‟ah, akan tetapimenggunakan prinsip pinjaman (qardh).

Setidaknya, pendapat ini didukung dengan dua karakteristik yangmelekat dalam prinsip qardh. Pertama, orang yang menerima pinjaman memiliki

hak untuk melakukan transaksi atas dana tersebut, dengan catatan, ia harusmampu mengembalikan dana tersebut ketika dibutuhkan pemiliknya. Kedua,dana yang dititipkan menjadi tanggungjawab mutlak penerima pinjaman(mustaqridh), ia berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut kepadapemiliknya. Dua karakteristik ini melekat dalam dana yang dititipkan nasabahkepada pihak perbankan.

Fenomena ini bisa dibandingkan dengan kasus yang pernah dialami olehZubair bin „Awwam. Masyarakat Arab pada saat itu mendatangi Zubair untukmenitipkan harta kekayaannya, dengan tujuan untuk menjaga danmemeliharanya. Akan tetapi, Zubair tidak berkenan dan tidak rela menerima

titipan tersebut, jika tidak diberi hak untuk men-transaksikannya. Dengancatatan, Zubair akan menjamin harta tersebut kembali kepada pemiliknya.

Dalam menerima harta tersebut, Zubair tidak mengakuinya sebagaititipan belaka (wadi‟ah). Namun, ia mengatakan “Tidak, ini adalah pinjaman”(Shahih Bukhari). Berdasarkan pernyataan ini, akad yang terjadi antara pemilikdana dengan Zubair adalah akad pinjam meminjam (qardh), bukan wadi‟ah.Walau pun pemilik dana tidak pernah memiliki niat untuk membantu danmeminjamkan dananya kepada Zubair, selain hanya untuk dititipkan dan dijaga,tidak lebih.

Page 110: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 110/199

www.belajarsyariahyuk.com

Penitipan dana pada pihak perbankan merupakan transaksi keuanganyang tidak bisa dihindari, karena masing-masing pihak mendapatkan maslahah

(keuntungan). Bagi pihak bank, ia dapat melakukan investasi atas dana yangditerima, sedangkan nasabah, mendapatkan rasa aman dan jaminan atas danayang dititipkan. Jika tidak ada jaminan ini, maka nasabah tidak akan beraniuntuk menitipkan dananya. Dengan demikian, akad yang tepat adalah akadqardh  (pinjam meminjam), walau pun nasabah tidak pernah berniat untukmemberikan pinjaman kepada pihak perbankan. Tapi, dalam term ulama fiqh,hal ini lebih tepat disebut dengan akad qardh.

Berdasarkan penjelasan ini, dapat dinyatakan bahwa semua jenis titipanyang diterima perbankan konvensional dari nasabah, merupakan dana pinjaman,dan berlaku semua hukum yang terkait dengan akad pinjam meminjam (qardh).Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kaum Muslimin diperbolehkan untukmenitipkan dananya pada bank konvensional?.

Untuk dana yang dititipkan dalam bentuk tabungan dan deposito, pihakbank biasanya memberikan tingkat return tertentu yang dinamakan dengan sukubunga. Sedangkan dana yang dititipkan dianggap sebagai pinjaman. Dimana jikaada penambahan atas nominal pinjaman, maka hal ini dinamakan dengan riba.Artinya, suku bunga yang diberikan pihak bank kepada nasabah atas danatabungan dan deposito yang dititipkan, merupakan nominal riba yangdiharamkan.

Sebagian ulama kontemporer menyatakan, kaum Muslimindiperbolehkan untuk menitipkan dananya pada bank konvensional dalam

bentuk tabungan atau pun deposito. Dengan catatan, bunga yang diterima daripihak bank, tidak digunakan untuk kemaslahatan diri pribadinya. Akan tetapi,bunga (dana non halal) tersebut harus disedekahkan kepada fakir miskin atau jalan kebajikan lainnya.

Akan tetapi pendapat tersebut perlu direvisi. Jika ada orang yang berniatmenitipkan dananya pada bank konvensional untuk mendapatkan bunga, dannantinya bunga tersebut akan disumbangkan untuk jalan kebajikan, maka iatetap terjebak dalam transaksi ribawi yang diharamkan. Hal ini layaknya orangyang bertaubat atas pekerjaan yang tidak dibenarkan syara‟.  Atau seperti orangyang melakukan dosa, dengan niatan nantinya ia akan bertaubat. Sedangkan,

seorang muslim tidak diperkenankan untuk berbuat dosa.Ketentuan ini berlaku untuk perbankan konvensional yang beroperasi

dalam negeri kaum Muslimin. Ada pun perbankan konvensional yang dimilikidan beroperasi di negeri non Muslim, sebagian ulama membolehkan untukmenitipkan dana dan menikmati suku bunga. Hal ini disandarkan padapendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan, diperbolehkan untukmengambil harta non Muslim (harbi) dengan kerelaannya (ridla), dan tidak adariba antara Muslim dan non Muslim harbi.

Page 111: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 111/199

www.belajarsyariahyuk.com

Akan tetapi, pendapat ini tidak diterima oleh mayoritas ulama. Bahkanulama kontemporer pengikut madzhab Hanafiyah, tidak memberikan fatwa

sebagaimana pendapat di atas. Keharaman riba terdapat ketentuan nash yangbersifat qath‟i dan tidak ada keraguan di dalamnya. Maka, sangat tidak etis jikakaum Muslim melakukan transaksi ribawi, walau pun dengan non Muslim harbi.

Namun demikian, jika melihat realita yang ada, bisnis perbankan telahdikuasai oleh negara Barat. Negara Barat banyak menikmati manfaat atas dana-dana kaum Muslimin yang dititipkan dalam perbankan yang mereka miliki,banyak keuntungan yang mereka dapatkan. Keuntungan ini digunakan untukmelancarkan rencana politik atau ekonomi mereka, guna melawan danmenghancurkan kaum Muslimin (hegemoni).

Kondisi ini yang menyebabkan sebagian ulama menyatakan, kaum

Muslimin diperbolehkan untuk menitipkan dana pada bank konvensional danmenikmati bunga yang diberikan. Dengan catatan, bunga tersebut tidakdigunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi, namun disedekahkan untuk jalan kebajikan.

Ada pun dana yang dititipkan pada bank syariah, baik berupa tabunganatau pun deposito, sama halnya dengan bank konvensional, yakni berlakuhukum qardh. Akan tetapi, bank syariah tidak beroperasi berdasarkan bunga,sehingga ia tidak memberikan bunga kepada nasabah yang bersifat  fixed and pre-determined return.

Dana yang dititipkan nasabah akan disertakan dalam keuntungan, jika

pihak bank mendapat keuntungan dari aktifitas bisnis yang dijalankan. Dengandemikian, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa, dana yang diterima bank syariahmerupakan bentuk pinjaman (qardh). Akan tetapi, dana tersebut dianggapsebagai modal (ra‟sul maal). Jadi, hubungan antara nasabah dan bank syariahlayaknya shahibul maal (nasabah) dan mudharib (bank) dalam akad mudharabah.

Nasabah akan mendapatkan bagian keuntungan dari aktifitas bisnis yangdijalankan pihak bank. Begitu juga, ketika bank menderita kerugian, nasabah juga akan berbagi. Bank tidak memberikan jaminan atas modal (dana nasabah)dan tingkat return, kecuali jika terdapat kelalaian dan kecerobohan dari pihakbank, ia harus menjamin dana nasabah.

Dana yang dititipkan pemegang saham dan nasabah memiliki perbedaan.Akad yang terjadi antara pemegang saham dan bank adalah akad musyarakah (syirkah), karena mereka memiliki hak untuk melakukan intervensi atasmanajemen dan kebijakan bisnis yang dijalankan. Sedangkan antara nasabah danpihak bank berlaku akad mudharabah. Karena, mereka tidak memiliki wewenangdan hak untuk berpartisipasi dalam mengatur bisnis perbankan. Mudharib (bank)diperbolehkan untuk mencampur dana nasabah dengan dana yang dimiliki.

Sebagaimana telah diketahui, dana yang dititipkan nasabah pada bankkonvensional merupakan bentuk pinjaman. Dana nasabah ini mendapat jaminandari bank, bahwa pihak bank akan mengembalikan dana tersebut kepada

Page 112: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 112/199

www.belajarsyariahyuk.com

nasabah ketika dibutuhkan. Baik ketika usaha bank merugi, atau mendapatkeuntungan. Pertanyaannya adalah, apakah semua dana nasabah mendapatkan

 jaminan?Nasabah pemilik dana layaknya shahibul maal  dalam akad mudharabah 

dengan pihak perbankan sebagai mudharib. Sedangkan pemegang sahammerupakan partner bagi pihak bank dalam akad syirkah, dimana pemegangsaham memiliki suara dalam mengatur manajemen bisnis perbankan. Modalyang dimiliki oleh bank, akan dicampur dengan dana nasabah dan pemegangsaham guna menjalankan bisnis. Jika terdapat keuntungan, akan dibagi secaraproporsional sesuai kesepakatan, begitu juga ketika merugi. Dengan demikian,dana nasabah yang berupa tabungan dan deposito, atau dana pemegang sahamtidak terdapat jaminan, bergantung pada kinerja perbankan.

Berbeda dengan dana nasabah yang berupa rekening giro. Nasabahmenitipkan dana tersebut untuk mobilitas transaksi yang begitu tinggi, sehinggamutasi dana dalam rekening begitu padat. Jika pihak bank mencampur danberkeinginan menggunakan dana tersebut, maka statusnya sebagai pinjaman(qardh) dan berlaku semua hukum yang melingkupinya. Dalam arti, nasabahtidak berhak mendapatkan return, karena hal itu identik dengan riba. Begitu juga, pihak bank berkewajiban untuk menjamin dana nasabah tersebut20.

Pertanyaan dan Latihan:

20 Bahasan ini penyusun ambil dari kitab  Buhuts fi Qadlaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, karya Muhammad TaqiUstmani, Daar al Qalam, Damaskus, 1998, hal. 349-363.

Page 113: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 113/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 16Teori RibaTujuan:

Bunga atau Riba: Manakah yang Dilarang?21 

Apakah bunga bank benar-benar telah diharamkan dalam Islam? pertanyaanini sering kali terulang dalam masyarakat yang memiliki kultur sosial yangberbeda. Banyak masyarakat berargumen bahwa riba yang telah diharamkanoleh Islam di dalam Al Qur‟an dan Hadits, tidaklah identik dengan bungabank. Dalam arti, bunga bank bukanlah bagian dari riba yang telahdiharamkan oleh Islam.

Tidak diragukan lagi, bahwa yang diharamkan di dalam Al Qur‟an danHadits adalah riba. Al Qur‟an telah mengharamkan riba da lam 4 ayat yangberbeda, dimana ayat yang pertama (30:39) diturunkan di Mekkah dan 3 ayatlainnya diturunkan di Madinah (4:161, 3:130-2, dan 2:275-81). Pada tahappertama, Al Qur‟an menolak anggapan bahwa riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan untukmendekatkan diri atau bertaqarrub kepada Allah. Allah SWT berfirman: “Dan,

sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah harta manusia, makariba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yangkamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulahorang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya)” (Ar Ruum:39).

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allahmengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yangmemakan riba. Allah SWT berfirman: “ Maka, disebabkan kezaliman orang-orang

21  Tulisan ini penyusun ambil dari booklet   karya Umer Chapra,  Prohibition of Interest: Does It Make  Sense, IDM

Publication, South Africa, 2001

Page 114: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 114/199

www.belajarsyariahyuk.com

Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yangdahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)

dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya merekatelah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang

 pedih” (An Nisaa‟:160-161).

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahanyang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bungadengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyakdipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,

 janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada

 Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran:130). 

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belumdipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan(meninggalkan sisa riba) maka ketauhilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akanmemerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokokhartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (Al Baqarah:278-79).22 Ayatini diturunkan menjelang wafatnya Rasulullah saw. dan sekaligus sebagai ayatpamungkas yang diturunkan terkait dengan riba.

Berdasarkan penjelasan ayat ini, jelaslah bahwa Allah dan Rasul-Nyamemberikan kecaman yang keras bagi orang-orang yang mengambil riba. Allah

dan Rasul-Nya mengumandangkan perang bagi para pelaku riba. Selain itu, ayatselanjutnya juga memberikan pemahaman bahwa Al Qur‟an telah memberikanperbedaan antara konsep perniagaan (jual beli) dengan riba, dan melarang bagikaum beriman untuk mengambil sisa-sisa riba, serta memberikan perintahkepada mereka untuk hanya mengambil pokok hartanya yang dipinjamkantanpa adanya tambahan. Di samping itu, jika memungkinkan, memberikankeringanan bagi para peminjam yang sedang dalam kondisi kesulitan(bangkrut).

Secara jelas, Rasulullah saw. telah melarang riba dengan kata-kata yangtidak ambigu (menimbulkan multitafsir). Rasulullah saw. tidak hanyamemberikan larangan bagi orang yang mengambil riba saja, akan tetapi jugamemberikan laknat kepada orang yang memberikan tambahan (riba), orangyang melakukan pencatatan transaksi ribawi, serta orang yang menjadi saksidalam transaksi tersebut.23  Lebih lanjut, Rasulullah saw. menjelaskan bahwaorang yang dengan sengaja mengambil riba itu identik atau sama dengan orang

22 Lihat juga dalam surat Al Baqarah ayat 280-281.

23 Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir, Tirmidzi dan Ahmad. Untuk mendapatkan nash hadits

secara lengkap dengan referensinya, lihat Chapra 1985, hal.236-40.

Page 115: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 115/199

www.belajarsyariahyuk.com

yang melakukan perzinahan sebanyak 36 kali, atau setara dengan melakukanperzinahan dengan ibu kandungnya.24 

Walaupun Al-Qur‟an dan Hadits telah memberikan kecaman yang kerasterhadap praktik ribawi semenjak 14 abad yang lalu, namun konsep riba masihsaja sulit untuk didefinisikan dengan tepat oleh sebagian kalangan. Untuk itu,adalah satu keniscayaan untuk merujuk pada hukum Islam klasik dalammemahami makna sesunguhnya dari kata riba.

Secara literal, riba bermakna naik, bertambah, tumbuh atauberkembang.25  Akan tetapi, tidak semua bentuk tambahan atas modal pokokyang ditransaksikan itu dilarang dalam Islam. Profit yang didapatkan dalam satuusaha juga berpotensi untuk menambah nilai modal pokok yang diinvestasikan,namun profit tersebut tidak dilarang dalam Islam. Lalu, bentuk tambahan yang

bagaimanakah yang sebenarnya dilarang dalam Islam?.Orang yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah diri

Rasulullah saw. sendiri. Rasulullah saw. telah menjelaskan, bahwa semua jenispinjaman yang di dalamnya mengandung unsur manfaat, hadiah kecil, jasa ataukondisi yang bisa memuaskan kepentingan orang yang memberi pinjaman,adalah dilarang adanya.26  Jawaban Rasulullah saw. ini, sekaligus menjelaskanbahwa riba memiliki makna yang identik dengan bunga, sebagaimana yanglazim dipahami oleh masyarakat. Makna riba telah direfleksikan dalam banyaktulisan para ulama muslim sepanjang sejarah.

Dalam kitab tafsir Al Qur‟an klasik atau dalam kamus Arab, banyak kita

temukan beberapa makna dari kata riba. Sebagai contoh, Al Qurthubi (671 H/1070 M), salah satu mufassir Al Qur‟an ternama, secara jelas telah menuliskanbahwa; “Kaum muslim sepakat terhadap hadits Nabi yang telah menjelaskan bahwasetiap kondisi yang memungkinkan terjadinya kenaikan atau penambahan atas jumlahuang yang dipinjamkan adalah riba, tidak memandang walaupun itu hanya segenggammakanan ternak, sebagaimana dijelaskan Ibnu Mas‟ud dengan partikel butiran padi”.27 

Ibnu Manzur (711 H/ 1311 M) dalam karya besarnya kamus  Arab Lisan al„Arab menjelaskan bahwa, apa yang dilarang adalah nilai tambah, manfaat atau

24 Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Daruquthni dari Abdallah bin Hanzalah, sedangkan

hadits kedua diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi (Shu‟ab al Iman) dari Ibnu Abbas.25

 Lihat kata riba dalam Ibnu Manzur dalam kamus Lisan al „Arab, 1968, Al Zabidi dalam T aj al „Arus, danRaghib al Isfahani dalam Al Mufradat. Makna yang sama juga dihadirkan oleh para mufassir  klasik.

26 Rasulullah saw. bersabda: “ Jika seseorang berniat untuk memberikan pinjaman bagi orang lain, maka ia tidak

diperbolehkan untuk menerima hadiah/ pemberian apapun” (Bukhari dalam kitab Tarikh dan Ibnu Taimiyah dalam Al Muntaqa). Dalam hadits lain Nabi saw. bersabda: “ Jika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain, dan peminjam menawarkan kepadanya segenggam makanan atau menaiki hewan yang dimilikinya, maka orang yangmemberikan pinjaman tersebut tidak diperbolehkan untuk menerimanya, kecuali jika diantara keduanya telah bersepakatuntuk melakukan transaksi pertukaran ” (Sunan al Baihaqi, Kitab al Buyu‟, dalam pembahasan hadits Nabi Kulluqardin jarra manfaatan fa huwa riba : “Setiap pinjaman yang mengandung unsur manfaat yang akan diterima orangyang memberi pinjaman, itu adalah riba”). Jika menerima sepiring makanan atau sekedar naik sebuahkendaraan sebagai imbalan atas pinjaman saja dilarang, lalu dengan alasan apakah suku bunga bisa

ditolelir?.27

 

Tafsir Al Qurthubi, 1967, Vol.3, hal.241.

Page 116: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 116/199

www.belajarsyariahyuk.com

keuntungan yang diterima atas pinjaman yang diberikan.28  Semenjak dahulu,kata riba sudah dipahami sebagai suatu bentuk tambahan, yang disyaratkan

untuk dibayar oleh si peminjam kepada orang yang meminjamkan atas nilaipokok pinjaman.29 

Dewasa ini, banyak sekali keputusan ulama dalam konferensiinternasional yang mendiskusikan permasalahan riba. Diantaranya adalahmuktamar fiqh yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 dan di Kairotahun 1965, begitu juga dengan hasil muktamar Organisasi Konferensi Islam(OKI) dan Rabitah Fiqh Committee yang diadakan pada tahun 1985 di Kairo dantahun 1986 di Mekkah.30  Berdasarkan hasil konsensus yang ada, sesunguhnyatidak ada ruang untuk berargumen bahwa bunga (interest) tidak diharamkandalam ajaran Islam. Namun demikian, terdapat juga beberapa opini yangmenunjukkan perbedaan pandangan, sehingga hal ini memberikan warna lainterhadap konsensus yang ada.

Namun demikian, hal ini masih menyisakan pertanyaan, hal apakah yangmasih membuat masyarakat bingung untuk memahami makna riba?. Alasannyamungkin karena syariah menggunakan kata riba dalam dua hal yang berbeda,yakni riba al nasi‟ah  dan riba al fadl, dan masyarakat merasa kesulitan untukmemahami arti dan implikasi dari keduanya.

Riba al Nasi’ah 

Kata Nasi‟ah  berasal dari kata dasar ( fi‟il madli) nasa‟a  yang bermakna

menunda, menangguhkan, menunggu, atau merujuk pada tambahan waktuyang diberikan kepada peminjam untuk membayar kembali pinjamannyadengan memberikan „tambahan‟ atau „nilai lebih‟. Dengan demikian, bisadikatakan bahwa riba al nasiah  itu sama atau identik dengan bunga ataspinjaman. Kata riba dengan makna ini digunakan dalam Al Qur‟an surat AlBaqarah ayat 275, Allah berfirman: “ Allah telah menghalalkan jual beli danmengharamkan riba (bunga)”. Riba jenis ini juga disebut dengan riba al Qur‟an(riba yang disebutkan secara spesifik dalam Al Qur‟an) atau riba al duyun  (ribaatas pinjaman).

Esensi dari pelarangan riba al nasi‟ah memberikan implikasi pemahaman,bahwa setiap penentuan tingkat return positif atas pinjaman di awal transaksisebagai kompensasi atas jangka waktu, adalah tidak diperbolehkan menurutsyara‟. Tidak ada perbedaan, apakah nilai tambah tersebut besar ataupun kecil,ditentukan secara tetap ( fixed) ataupun bersifat variabel dalam besaranprosentase atas pinjaman pokok (10%  fixed per tahun atau mengikuti fluktuasitingkat suku bunga yang berubah-ubah), atau jumlah yang absolut sebagai

28 Ibnu Manzur, 1968, hal.304. lihat juga tafsir surat Al Baqarah ayat 275 dalam kitab Tafsir al Kabir   oleh

Fakhruddin al Razi, Ahkam al Qur‟an karya Abu Bakr al Jassas, dan kitab Ahkam Al Qur‟an karya Ibnu „Arabi.29

 Lihat Al Jaziri, Vol.2, hal.245.30

 Lihat Al Sanhuri, 1953, hal. 241-2 dan Al Qaradhawi, 1994, hal. 129-42. Lihat juga Abdel Hamid al Ghazali,1990, hal. 35-60, atas putusan terhadap riba yang telah diberikan pada tahun 1900-1989.

Page 117: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 117/199

www.belajarsyariahyuk.com

tambahan (Rp.100.000,- atas pinjaman sebesar Rp.1.000.000,- dalam jangka waktu3 bulan, penrj.), baik di bayarkan di muka atau di akhir masa pinjaman, atau

berupa hadiah atau nilai manfaat lainnya atas pinjaman yang diberikan.Hal yang perlu dipertanyakan adalah, mengenai tingkat return positif

yang ditentukan sebelumnya (peminjam diberikan kewajiban untuk memberikanreturn atas pinjaman yang diterima dalam jumlah atau prosentase tertentu, danhal ini ditentukan di depan atau pada saat akad dilakukan, penrj.). Perlu dicatat,bahwa sesuai dengan ketentuan syariah, masa menunggu pembayaran ataspinjaman yang diberikan, tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menjustifikasipengambilan imbalan yang selalu positif.

Tidak ada ruang untuk berargumen bahwa larangan riba tersebut hanyaberlaku bagi pinjaman untuk kegiatan konsumtif, dan bukan untuk kegiatan

produktif atau untuk menjalankan bisnis (yang dilarang hanyalah bunga yangdibebankan atas pinjaman untuk kegiatan konsumsi, sementara pinjamandigunakan untuk modal kerja dalam kegiatan bisnis, tidak dilarang, penrj.). Halini diperkuat dengan fakta sejarah, bahwa transaksi pinjam meminjam padazaman Rasulullah saw. tidaklah dilakukan untuk memenuhi kebutuhankonsumsi, namun digunakan untuk membiayai perniagaan yang dilakukan diberbagai penjuru kota. Abu Zahrah, Seorang ulama terkenal pada abad ini, telahmemberikan penjelasan sebagai berikut:

“Secara absolut, tidak ditemukan bukti sejarah apapun yang mendukungpernyataan bahwa riba al jahiliyah (riba yang telah dipraktekkan sebelumkedatangan Islam) terjadi atas pinjaman untuk kegiatan konsumsi dan

bukan untuk kegiatan produktif dalam perniagaan. Hasil penelitianseorang ulama menyatakan, fakta sejarah menunjukkan bahwa transaksipinjam meminjam pada saat itu digunakan untuk kegiatan produktif(bisnis, perniagaan). Kondisi lingkungan masyarakat Arab, letakgeografis Mekkah dan perdagangan yang dilakukan oleh suku Quraisy,semuanya mendukung pernyataan bahwa pinjaman yang dilakukan saatitu digunakan untuk tujuan produktif, bukan untuk tujuan konsumtif”.31 

Lebih lanjut, mantan Chairman of the Department of Near EasternStudies di Universitas Priceton, Profesor Abraham Udovitch, memberikanklarifikasi bahwa setiap pendapat yang mengatakan bahwa pinjaman pada

waktu itu dilakukan hanya untuk memenuhi kegiatan konsumsi, dan bukanuntuk kegiatan produktif (bisnis), adalah pendapat yang lemah dan tidakmemiliki dasar pijakan yang jelas.32 

Dengan demikian, secara absolut tidak terdapat perbedaan opini diantara ulama muslim, bahwa makna riba al nasi‟ah  berkonotasi dengan makna

31 Abu Zahrah, 1970, hal. 53-54.32

 Udovitch, 1970, hal. 86.

Page 118: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 118/199

www.belajarsyariahyuk.com

bunga (interest), dan dalam Islam hukumnya adalah dilarang (haram).Pelarangan tersebut bersifat tegas, absolut dan tidak ambigu.33 

Perlu dipahami, bahwa return yang akan kita dapatkan atas modal kerjayang diinvestasikan, bisa bersifat positif atau negatif, bergantung pada hasilakhir dari bisnis yang dijalankan, dan hal ini tidak bisa diketahui di muka.Penentuan jumlah atau prosentase tertentu di muka, sangat bertentangan denganprinsip keadilan, karena return seharusnya dibagikan berdasarkan hasil akhirdari bisnis, dan konsep inilah yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan yangdiinginkan oleh syariah.

Riba al Fadl

Walaupun Islam telah melarang riba (bunga) atas pinjaman danmemperbolehkan praktik perniagaan (jual beli), bukan berarti semua praktikperniagaan diperbolehkan. Dengan alasan, bahwa Islam tidak hanya inginmenghilangkan unsur ketidakadilan yang secara instrinsik melekat dalamlembaga keuangan ribawi, namun juga segala bentuk ketidakjujuran atau punketidakadilan yang melekat pada transaksi bisnis. Nilai tambah yang diterimaoleh salah satu pihak dalam perniagaan tanpa adanya nilai pembenar,dinamakan dengan riba al fadl. Ibnu „Arabi memberikan definisi riba al fadl dengan „semua tambahan yang melebihi nilai bagi pihak lain tanpa adanya nilaipembenar atas tambahan tersebut‟.34 

Pelarangan riba al fadl dimaksudkan untuk memastikan prinsip keadilan,

menghilangkan segala bentuk eksploitasi yang timbul melalui pertukaran yangtidak fair, dan menutup segala kemungkinan munculnya riba. Berdasarkan ataskonsepsi maqashid al syariah  (tujuan syariah), segala sesuatu yang berpotensiuntuk menimbulkan keharaman, maka sesuatu itu haram adanya. Manusiamempunyai kecenderungan untuk dieksploitasi dan ditipu melalui berbagaimacam cara, untuk itulah Rasulullah saw. telah memberikan peringatanbahwasanya kaum muslimin bisa terjerumus dalam jurang riba melalui tujuhpuluh (banyak) cara.35 

Hal ini merupakan alasan, mengapa Rasulullah saw. bersabda:“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu untuk beralih kepada sesuatu yang tidakmeragukanmu”.36  Khalifah Umar ra. juga menyatakan; “kita tidak hanya harusmeninggalkan riba, tetapi juga riibah”.37  Riibah  berasal dari kata rayb  yang secaraliteral bermakna ragu-ragu atau curiga. Riibah  merujuk pada ketidakpastianincome yang akan kita dapatkan, dan terdapat persamaan dengan konsep riba.Riibah akan menimbulkan keraguan dalam pikiran kita atas hak-hak yang akan

33 Al Jaziri, Vol.2, hal.245.34

 Ibnu „Arabi, Ahkam al Qur‟an, 1957, hal. 242.35

 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi (Syu‟ab al Iman) dari Abu Hurairah.36

 Dikutip dari penafsiran Ibnu Katsir atas surat Al Baqarah ayat 275.37

 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al Daarimi dari Umar bin Khattab ra.

Page 119: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 119/199

www.belajarsyariahyuk.com

kita dapatkan. Income yang didapatkan dengan adanya unsur ketidakadilan,eksploitasi atau lainnya termasuk juga dalam kategori riibah.

Rasulullah saw. telah mengindikasikan bahwa riba al fadl  bisa terjadisetidaknya melalui empat cara. Pertama, riba al fadl muncul karena adanya unsureksploitasi dalam perniagaan, dimana perniagaan itu sendiri sebenarnyadiperbolehkan. Beliau juga menyamakan riba dengan praktik penipuan yangdilakukan terhadap orang yang memasuki pasar tanpa memiliki informasi yangutuh tentang kondisi pasar ( ghabn al mustarsil), atau proses untuk menaikkanharga dengan menciptakan permintaan palsu ( false demand) atas bantuan agenatau pihak ketiga (al najsy).38  Analoginya, pihak tertentu mungkin akanmendapatkan nilai tambah (extra money) melalui eksploitasi ataupun penipuan,dan nilai tambah ini merupakan riba al fadl.

Cara lain yang akan menggiring kita masuk dalam kategori riba al fadl adalah, menerima reward  (imbalan dalam nominal tertentu) atas rekomendasiyang kita berikan kepada orang yang kita sukai. Hal ini memberikan implikasi,bahwa kegiatan sosial yang dimaksudkan untuk mendapatkan uang sebagaiimbalan, pun dilarang dalam Islam. Alasan dibalik pernyataan ini adalah, bahwauang yang kita berikan kepada seseorang atas rekomendasi yang ia berikan,mungkin dapat mendatangkan manfaat baginya, namun, di sisi lain, hal inidapat menghalangi kesempatan orang yang seharusnya lebih berhak.39 (denganmemberikan uang kepada orang yang tidak berhak, maka akan mencabut hakorang lain yang lebih berhak atas uang tersebut, penrj.)

Riba al fadl juga bisa timbul dari transaksi barter, karena adanya kesulitan

untuk mengukur nilai dari barang yang dipertukarkan (counter-values) secaratepat. Rasulullah saw. tidak menganjurkan pertukaran (barter) dalam kegiatanekonomi, dan mempersyaratkan bahwa komoditas yang dipertukarkan secarabarter, harus dijual terlebih dahulu secara cash, baru kemudian dipergunakanuntuk membeli komoditas yang dibutuhkan.

Penyebab terakhir dari terjadinya riba al fadl adalah yang paling banyakmendapatkan perhatian dari para ulama fiqh. Banyak hadits shahih yangmenyatakan dengan jelas tentang hal ini. Di antaranya, jika komoditas sejenisdipertukarkan satu sama lainnya, maka keduanya harus memiliki persamaankualitas dan kuantitas, dan dilakukan secara cash (saw.aan bi sawain, mitslan bi

mitslin, yadan bi yadin). Jika komoditas yang dipertukarkan berbeda, baik dalamukuran maupun kuantitasnya, maka hal itu boleh saja dilakukan, asalkan secaracash.

Persyaratan ini memberikan implikasi bahwa segala sesuatu yangmemungkinkan adanya riba harus dihindari (dalam ushul fiqh dikenal denganistilah saad al dzari‟ah). Implikasi lain dari hadits ini, sebagaimana yang dipahami

38 Hadits pertama diriwayatkan oleh Baihaqi dan al Suyuthi (al Jami‟ al Saghir ) dari Anas bin Malik, hadits

kedua diriwayatkan dari Abdallah bin Abi Aufa oleh al „Asqalani atas komentarnya terhadap al Bukhari dan juga oleh al Baihaqi dalam Sunan-nya dari Anas bin Malik.

39 Diriwayatkan dari Abu Umamah dalam kitab Bulugh al Maram atas Imam Ahmad dan Abu Dawud.

Page 120: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 120/199

www.belajarsyariahyuk.com

oleh ulama fiqh adalah larangan atas transaksi berjangka ( future transaction)dalam pertukaran valuta asing. Begitu juga dengan hedging  (menentukan nilai

tukar mata uang dengan nilai tertentu, untuk ditransaksikan di waktumendatang) sebagai salah satu cara untuk mengelola risiko yang muncul akibatadanya fluktuasi nilai tukar valuta asing. Adapun kemungkinan dapatdipraktikannya cara ini menurut ketentuan syariah, kiranya perlu mendapatkanperhatian dari ulama fiqih.

Riba al nasi‟ah dan riba al fadl, pada dasarnya merupakan manifestasi dariayat Al Qur‟an yang menyatakan bahwa: “ Allah telah menghalalkan jual beli danmengharamkan riba” (2:275). Riba al nasi‟ah  berhubungan dengan pinjaman,sebagaimana dijelaskan pada bagian kedua dari ayat (mengharamkan riba),sedangkan riba al fadl berhubungan dengan perniagaan, sebagaimana dijelaskanpada bagian pertama dari ayat (menghalalkan jual beli). Secara prinsip, perniagaandiperbolehkan, namun bukan berarti semua praktik perniagaan itudiperbolehkan. Selama terdapat unsur ketidakadilan dan eksploitasi dalamtransaksi komoditas dan mata uang, maka itu adalah riba al fadl.

Larangan riba al fadl  memberikan makna untuk meninggalkan praktikpenipuan, ketidakjelasan, ataupun spekulasi. Selain itu, ia juga mensyaratkanadanya kejelasan dalam harga dan kualitas barang yang akan diperjualbelikan,baik bagi penjual maupun pembeli. Dengan demikian, segala unsur penipuanbaik dalam hal harga atau kualitas, dalam ukuran ataupun kuantitas barang,serta segala bentuk transaksi bisnis yang dapat memicu eksploitasi baik bagipenjual maupun pembeli, secara efektif harus dihilangkan.40 

Sementara riba al nasi‟ah  bisa didefinisikan secara sederhana denganbeberapa kata, sebaliknya riba al fadl  selalu terkait dengan berbagai bentuktransaksi dan praktik bisnis, sehingga sulit untuk melakukan spesifikasi. Halinilah yang menyebabkan khalifah Umar ra. berkata; “Rasulullah saw. telahmenetapkan hukum riba (ataupun riibah) tanpa memberikan penjelasan secara detilkepada kita”.41  Perkataan khalifah Umar ra. ini tidak bisa kita gunakan sebagaidalil untuk menjustifikasi pengambilan bunga atas pinjaman, karena perkataankhalifah Umar ra. ini merupakan bentuk reaksi yang mengandung unsurperingatan, bukan hanya untuk masalah riba, tapi juga konsep riibah.

Memang benar, bahwasanya Rasulullah saw. hanya memberikan sedikit

penjelasan tentang cara terjadinya riba al fadl, dan tidak merinci cara-cara yanglainnya, kecuali sebatas yang telah disebutkan. Bagaimanapun juga, bisa jadikarena hal ini memang tidak perlu, atau bahkan tidak memungkinkan. Bentuk

40 Terdapat beberapa tipe jual beli yang telah diharamkan oleh syariah dengan tujuan untuk menjaga hak

penjual ataupun pembeli. Di antaranya: bai‟ al najsy  (jual beli dengan menciptakan  false demand  oleh agenyang ditunjuk dengan tujuan untuk menaikkan harga),  ghabn al mustarsil  (penipuan terhadap orang yangmasuk pasar tanpa dengan informasi dan pengetahuan yang memadai), bai‟ al hadir li al badi  dan talaqqi alrukban  (kegiatan monopsoni atau monopoli, kegiatan eksploitasi atas harga (naik atau turun) yang tidaksesuai dengan kondisi pasar sebenarnya),  gharar, muhaqalah, munabadzah, mulamasah dan muzabanah  (bentuk jual beli yang mengandung unsur ketidakpastian dan spekulasi atau gambling). Lihat Al Jaziri, Vol.2,

hal.273-8 dan 283-91.41 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Darimi dari Umar bin Khatab.

Page 121: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 121/199

www.belajarsyariahyuk.com

ketidakadilan dan eksploitasi dalam perniagaan dan pertukaran mata uangsenantiasa berkembang sejak beberapa abad, dan tidaklah mungkin bagi

seorang-pun untuk menspesifikasinya secara keseluruhan pada 1400 tahun yanglalu.

Al Qur‟an dan Hadits memberikan prinsip-prinsip dasar yang harusdilakukan oleh ummat. Oleh karenanya, merupakan tantangan yang tiada hentibagi setiap muslim, untuk menyelaraskan aktifitas ekonominya dengan ajaranIslam serta menghilangkan segala bentuk ketidakadilan. Ini merupakanpekerjaan yang sangat sulit, daripada hanya sekedar menghilangkan riba alnasi‟ah. Tentu saja hal ini menuntut adanya komitmen yang menyeluruh danrestrukturisasi seluruh aspek ekonomi yang ada, dalam kerangka ajaran Islam,demi tercapainya keadilan yang dicita-citakan. Ini memang suatu kontribusiyang unik dari Islam. Walaupun praktik riba al nasi‟ah telah dikenal dengan baikpada zaman jahiliyah, konsep riba al fadl  kemudian diperkenalkan oleh Islam,dengan memberikan refleksi adanya penekanan untuk mewujudkan keadilandalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat.

Kesimpulan

Alasan mendasar kenapa Al Qur‟an memberikan putusan hukum yangsangat keras terhadap riba (bunga) adalah, karena Islam ingin menciptakansuatu sistem ekonomi, dimana segala bentuk eksploitasi bisa dihapuskan. Islam juga ingin menghapuskan segala bentuk ketidakadilan dalam ekonomi, yaitu

katidakadilan pihak pemodal ( financier ) yang selalu menginginkan return yangpositif, tanpa melakukan kerja apa pun atau tanpa harus berbagi dalam risiko,sementara disisi lain, pelaku bisnis harus bekerja keras dan mengelola usahatanpa mendapatkan kepastian atas return yang positif. Terwujudnya keadilandiantara pemodal dengan pelaku bisnis inilah yang diinginkan oleh Islam.

Dalam kondisi yang seperti ini, sangatlah sulit untuk mengetahuibagaimana seseorang bisa memberikan justifikasi atas bunga dalam masyarakatIslam. Adanya kesulitan untuk memahami larangan bunga ini, muncul karenakurangnya perhatian ummat terhadap nilai-nilai Islam yang sangat kompleks,khususnya, terhadap keadilan sosio-ekonomi dan pemerataan distribusipendapatan dan kekayaan. Pelarangan riba juga dihadang oleh keputusan agama

yang terisolasi dan tidak bisa dihubungkan secara integral dengan ekonomiIslam, dengan segala etos, tujuan dan nilai-nilainya. Dimana, hal ini justru akanmenimbulkan kerancuan pemahaman tehadap makna riba yang sesunguhnya.

Pertanyaan dan Latihan:

Page 122: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 122/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN VITEORI BAGI HASIL

Bab 17Akad SyirkahTujuan:

Pendahuluan

Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek, dimananasabah dan pihak bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayaiproyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan danatersebut bersama dengan bagi hasil yang telah disepakati dalam kontrak untukpihak bank. Selain itu, musyarakah juga bisa diterapkan dalam skema modalventura, pihak bank diperbolehkan untuk melakukan investasi dalamkepemilikan sebuah perusahaan. Penanaman modal dilakukan oleh pihak bankuntuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu bank melakukan divestasi, baiksecara singkat maupun bertahap.

Page 123: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 123/199

www.belajarsyariahyuk.com

Pengertian

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuksuatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana(atau kompetensi, expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risikoakan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Seperti halnyamudharabah, musyarakah adalah akad kerjasama atau usaha patungan antaradua/ lebih pemilik modal atau keahlian, untuk melaksanakan suatu jenis usahayang halal dan produktif. Bedanya dengan mudharabah adalah dalam halpembagian untung-rugi dan keterlibatan peserta dalam usaha yang sedangdikerjakan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 792-793)

Ahmed Ali Abdalla (dalam Yaacob & Ibrahim, 1999) menguraikanbeberapa aplikasi pembiayaan musyarakah bagi perbankan syariah. Pertama,

musyarakah permanen (continous musyarakah), dimana pihak bank merupakanpartner usaha tetap dalam suatu proyek/ usaha. Model ini jarang dipraktikkan,namun investasi modal permanen ini merupakan alternatif menarik bagiinvestasi surat-surat berharga atau saham, yang dapat dijadikan salah satuportfolio investasi bank.

Dalam musyarakah ini, bank dituntut untuk terlibat langsung dalamusaha yang menguntungkan selama masing-masing partner musyarakahmenginginkannya. Namun demikian, sistem ini memiliki kekurangan, dimanapihak bank bisa kehilangan konsentrasi terhadap bisnis utamanya. Terutama jikaproyek musyarakah permanen tadi sangat berbeda dengan core business  dan

kompetensi pihak bank. Selain itu, bank juga harus mengalokasikan sejumlahsumber daya yang mungkin akan terbatas.

Kedua, musyarakah digunakan untuk skim pembiayaan modal kerja(working capital). Bank merupakan partner pada tahap awal dari sebuah usahaatau proses produksi. Dalam skim ini, pihak bank akan menyediakan danauntuk membeli aset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan partnermusyarakah lainnya. Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit,porsi kepemilikan bank atas aset dan alat produksi akan berkurang karena dibelioleh para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol, modelpembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan ini yangbanyak diaplikasikan dalam perbankan syariah.

Ketiga, musyarakah digunakan untuk pembiayaan jangka pendek.Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan perdagangan,seperti ekspor, impor, penyediaan bahan mentah atau keperluan-keperluankhusus nasabah lainnya.

Landasan Syariah

Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandasakan atasdalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama.

Page 124: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 124/199

www.belajarsyariahyuk.com

Diantara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad syirkahadalah sebagai berikut:: 

1) 

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagiandari mereka berbuat dzalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang berimandan mengerjakan amal shaleh, dan amt sedikitlah mereka ini” QS. Shad (38):24 merujuk pada dibolehkannya praktik akad musyarakah. Lafadz "alkhulatha" dalam ayat ini bisa diartikan saling bersekutu/ partnership,bersekutu dalam konteks ini adalah kerjasama dua/ lebih pihak untukmelakukan sebuah usaha perniagaan. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793)Berdasarkan pemahaman ini, jelas sekali bahwa pembiayaanmusyarakah mendapatkan legalitas dari syariah.

2)  “ Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang

berserikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jikasalah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”. Hadits riwayatAbu Daud dari Abu Hurairah merupakan dalil lain dibolehkannyapraktik musyarakah. Hadits ini merupakan hadits qudsi, dankedudukannya shahih menurut Hakim.

Dalam hadits ini, Allah memberikan pernyataan bahwa Dia akan bersamadua orang yang bersekutu dalam suatu usaha perniagaan, dalam arti, Allahakan menjaga, memberikan pertolongan dan berkah-Nya atas usahaperniagaan yang dilakukan, usaha yang dijalankan akan semakinberkembang sepanjang tidak ada pihak yang berkhianat.

 Jika terdapat pihak yang berkhianat diantara mereka, maka Allah akanmengangkat pertolongan dan berkah-Nya atas usaha perniagaan yangdijalankan (Zuhaili, 2002, hal. 100). Hadits ini secara jelas membenarkanpraktik akad musyarakah, dan menunjukkan urgensi sifat amanah dantidak membenarkan adanya khianat dalam kontrak musyarakah yangdijalankan.

3)  Taqrir Nabi adalah ketetapan Nabi atas sesuatu yang dilakukan olehorang lain, dan merupakan salah satu metodologi yang bisa digunakanuntuk menetapkan sebuah hukum. Relevan dengan akad musyarakah,setelah Rasulullah SAW diutus menjadi Nabi, masyarakat telahmempraktikkan kontrak musyarakah, kemudian Rasulullah

menetapkan akad musyarakah sah untuk digunakan masyarakat,sebagaimana banyak juga hadits Rasulullah yang menjelaskankeabsahan akad musyarakah (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793). Taqrir Nabiini bisa digunakan sebagai landasan hukum atas keabsahanpenggunaan akad musyarakah.

4)  Kesepakatan ulama akan dibolehkannya akad musyarakah dikutip dariDr. Wahbah Zuhaili dalam kitab  Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu. Ulamamuslim sepakat akan keabsahan kontrak musyarakah secara global,walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara mereka atas beberapa

Page 125: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 125/199

www.belajarsyariahyuk.com

 jenis musyarakah. Secara eksplisit, ulama telah sepakat akan praktikkontrak musyarakah, sehingga kontrak ini mendapat pengakuan dan

legalitas syar'i (Zuhaili, 1989, IV, hal. 793).

Macam-Macam Musyarakah

Secara garis besar, musyarakah dikategorikan menjadi dua jenis, yaknimusyarakah kepemilikan (syirkah al amlak) dan musyarakah akad (syirkah al 'aqd).Musyarakah kepemilikan tercipta karena adanya warisan, wasiat atau kondisilainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih.Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuahaset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan, dimana dua orangatau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan kontribusi modalmusyarakah, mereka-pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.Musyarakah akad terbagi menjadi: syirkah al 'Inan, al mufawadlah, al a'maal, dansyirkah al wujuh (Zuhaili, 1989, IV, hal. 796).

1)  Syirkah al ‘Inan 

Syirkah al 'Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, setiap pihakmemberikan suatu porsi dari keseluruhan modal dan berpartisipasi dalam kerja.Semua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati

di antara mereka, namun porsi masing-masing pihak (baik dalam kontribusimodal, kerja ataupun bagi hasil) tidaklah harus sama dan identik, tapi sesuaidengan kesepakatan mereka (Zuhaili, jilid IV, hal. 797).

Madzhab Hanafi dan Hanbali mengizinkan praktik ini dengan memilihsalah satu dari alternatif berikut:

 

keuntungan yang didapatkan dibagi sesuai dengan kontribusi modalyang diberikan oleh masing-masing pihak,

  keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi modal masing-

masing pihak mungkin berbeda,

 

keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi dana yang diberikansama. Madzhab Maliki dan Syafii menerima jenis akad musyarakah inidengan syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsionalsesuai dengan kontribusi dana yang ditanamkan, musyarakah jenis iniyang sering diaplikasikan dalam perbankan syariah.

2)  Syirkah al Mufawadlah

Syirkah al Mufawadlah  adalah kontrak kerjasama antara dua orang ataulebih, setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan

Page 126: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 126/199

www.belajarsyariahyuk.com

berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugiansecara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah

kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban hutang dibagioleh masing-masing pihak secara sama. Madzhab Hanafi dan Malikimembolehkan jenis musyarakah ini, tetapi dengan memberikan banyak batasanterhadapnya (Zuhaili, 1989, IV, hal. 798).

3)  Syirkah al A’maal 

Syirkah al A'maal  adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untukmenerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, ataukerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam

kantor. Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali setuju dan membolehkan praktikmusyarakah ini (Zuhaili, 1989, IV, hal. 803).

4) 

Syirkah al Wujuh

Syirkah al Wujuh  adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebihyang memiliki reputasi dan prestise yang baik serta ahli dalam bisnis. Merekamembeli barang secara kredit dari suatu perusahaan tanpa adanya uang cash,dan kemudian menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalamkeuntungan dan kerugian. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal,karena pembelian barang dilakukan secara kredit dan berdasarkan jaminanorang yang bersekutu (Zuhaili, 1989, IV, hal. 801).

5.  Rukun Syirkah

Pembiayaan musyarakah memiliki beberapa rukun yang telah digariskanoleh ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksudadalah sighat (ijab dan qabul), pihak yang bertransaksi, dan obyek transaksi(modal dan kerja). Ulama juga mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekat dalam pembiayaan musyarakah:

  sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak atau lebih

untuk menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuanmereka dalam melakukan sebuah kontrak.

  syarat bagi mitra yang melakukan kontrak musyarakah adalah haruskompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

 

modal yang diberikan harus berupa uang tunai, atau juga berupa aset-aset perniagaan seperti barang inventori, properti, perlengkapan danlainnya. Madzhab Syafii dan Maliki mensyaratkan modal yangdisediakan oleh masing-masing mitra harus dicampur supaya tidak

Page 127: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 127/199

www.belajarsyariahyuk.com

terdapat keistimewaan, tetapi Madzhab Hanafi tidak mencantumkansyarat ini jika modal dalam bentuk uang tunai.

6. 

Syarat Syirkah

Secara umum, akad syirkah akan dikatakan sah jika memenuhi beberapasyarat sebagai berikut (Zuhaili, jilid IV, hal. 805):

1)  Akad syirkah harus bisa menerima wukalah (perwakilan), setiap partnermerupakan wakil dari yang lain, karena masing-masing mendapatkanizin dari pihak lain untuk menjalankan perannya. Dalam syirkah, setiappartner mendapatkan izin dari pihak lain untuk menjalankan transaksibisnis, masing-masing partner merupakan wakil dari pihak lain.Sehingga, akad syirkah harus bisa diwakilkan (pekerjaan yang adadalam syirkah harus bisa di-spread  sehingga masing-masing pihakmemiliki kontribusi, untuk itu, masing-masing partner harusmewakilkan pada pihak lain untuk menjalankan bagiannya).

2)  Keuntungan bisa dikuantifikasikan, artinya masing-masing partnermendapatkan bagian yang jelas dari hasil keuntungan bisnis, bisadalam bentuk nisbah atau prosentase, misalnya 20% untuk masing-masing partner.

3)  Penentuan pembagian bagi hasil (keuntungan) tidak bisa disebutkandalam jumlah nominal yang pasti (misal, Rp.500.000, untuk masing-masing partner), karena hal ini bertentangan dengan konsep syirkahuntuk berbagi dalam keuntungan dan risiko atas usaha yangdijalankan.

  Syarat Khusus dalam Syirkah al Amwal

Pertama, mayoritas ulama sepakat bahwa ra‟sul maal  (modal) dalamsyirkah harus dihadirkan ketika melakukan kontrak atau akan menjalankanbisnis. Modal tidak bisa berupa hutang, karena maksud dari diadakannyasyirkah adalah untuk mendapatkan keuntungan, dan hal ini tidak bisa dicapaitanpa dengan melakukan bisnis, bisnis tidak akan berjalan tanpa adanya modal.

Adapun pencampuran modal, bukanlah merupakan syarat, karena akadsyirkah bisa terjadi dengan akad, bukan dengan harta, untuk itu tidakdipersyaratkan pencampuran harta sebagaimana dalam mudharabah. Akadsyirkah merupakan kontrak untuk menjalankan usaha, dan didalamnyamengandung makna wukalah, perwakilan dapat dilakukan atas dua hartasebelum dilakukan pencampuran, begitu juga dengan syirkah (Zuhaili, 1989, IV,hal. 806-807).

Kedua, ra‟sul maal dalam syirkah berupa uang, bukan berupa komoditasyang mungkin akan berbeda nilainya, ini merupakan kesepakatan ulama 4madzhab. Jika berupa komoditas, maka akan susah untuk melakukan

Page 128: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 128/199

www.belajarsyariahyuk.com

perhitungan, terutama dalam pembagian keuntungan. Menurut Imam Malik,ra‟sul maal  dalam syirkah tidak disyaratkan berupa uang, namun bisa berupa

dinar dirham ataupun komoditi, baik sesama jenis atau beda jenis, tapi bisaditentukan kadarnya, dengan alasan, syirkah bisa dilakukan atas modal dengankadar yang jelas (Zuhaili, 1989, IV, hal. 808).

  Syarat Khusus dalam Syirkah al Mufawadlah

Madzhab Hanafiyah memberikan syarat khusus dalam syirkah al

mufawadlah sebagai berikut (Zuhaili, 1989, IV, hal. 811):

1)  Bagi mitra yang melakukan kontrak musyarakah harus kompetendalam memberikan atau diberikan perwakilan atau pertanggungan(wakalah  dan kafalah), karena dalam syirkah al mufawadlah, tiap mitramemiliki hak dan kewajiban yang sama.

2) 

Mitra memiliki persamaan kontribusi modal dalam syirkah, baik kadaratau nilainya, dari awal sampai akhir kontrak kerjasama. Syirkah almufawadlah dibangun dengan dasar persamaan

3) 

Ra‟sul maal  (modal) yang diserahkan masing-masing mitra harusmemiliki persamaan, sehingga bisa dimasukkan dalam akad. Jikamodal yang dikontribusikan salah satu mitra tidak bisa masuk dalamakad karena ada perbedaan, maka syirkah ini tidak bisa dinamakandengan al mufawadlah. Intinya, ra‟sul maal  yang dikontribusikan olehmitra memiliki persamaan nilai sehingga bisa dimasukkan secarabersama-sama dalam akad

4) 

Adanya persamaan dalam pembagian keuntungan untuk masing-masing mitra

5)  Bisnis yang dijalankan oleh mitra merupakan hasil kesepakatanbersama, tidak boleh bisnis itu hanya bisa dilakukan oleh mitratertentu. Untuk itu, Abu Hanifah dan Muhammad mensyaratkan agarsyirkah ini dilakukan dengan sesama muslim, tidak bisa dilakukandengan orang kafir. Karena, mungkin orang kafir akan melakukanbisnis yang tidak bisa dijalankan oleh orang muslim, sepertiperdagangan narkotika atau minuman keras. Berbeda dengan Abu

Yusuf, al mufawadlah  bisa dijalankan dengan orang kafir, karenapersamaan keduanya yang memiliki ahliyah untuk menerima wakalah

dan atau kafalah. 

 

Syarat Khusus dalam Syirkah al A’maal 

 Jika syirkah al a‟maal dibangun dengan konsep al mufawadlah, maka harusdipenuhi syarat-syarat khusus yang disebutkan dalam syirkah al mufawadlah. Jikasyirkah al a‟maal  dibangun dengan dasar al „Inan, maka syarat dalam syirkah al

mufawadlah tidak harus dipenuhi, namun mitra dalam syirkah harus orang yang

Page 129: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 129/199

www.belajarsyariahyuk.com

memiliki kompeten dan ahliyah  untuk menjalankan wakalah  (Zuhaili, 1989, IV,hal. 813).

 

Syarat Khusus dalam Syirkah al Wujuh

 Jika syirkah al wujuh dilakukan dengan konsep al mufawadlah, maka mitrayang tergabung harus memiliki kompetensi dan ahliyah  untuk menjalankan alkafalah. Keduanya berkewajiban untuk menanggung separo dari harga obyeksyirkah, begitu juga dengan keuntungan yang didapatkan, harus dibagi secarasama di antara mitra. Jika syirkah dilakukan dengan dasar al „Inan, maka tidakdiperlukan syarat-syarat sebagaimana disebutkan. Kadar kewajiban dan hakberdasarkan kontribusi yang diberikan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 814).

7.  Hukum Syirkah

Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun  fasid. Syirkah fasid  adalahakad syirkah dimana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jikasemua syarat terpenuhi, maka syirkah dinyatakan shahih.

  Syirkah al ‘Inan dalam Harta 

Kerja atau partisipasi para mitra dalam usaha perniagaan musyarakahadalah sebuah hukum dasar, dan tidak boleh ada satu mitra-pun yang abstaindan tidak memberikan kontribusi kerja. Tetapi, kesamaan kerja bukanlahmerupakan syarat, dibolehkan seorang mitra melaksanakan kerja lebih banyakdari mitra lain, dan dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungantambahan bagi dirinya.

Keuntungan yang didapatkan harus dikuantifikasikan, hal ini untukmempermudah pendistribusian dan mencegah terjadinya sengketa. Para ulamaberbeda pendapat dalam masalah alokasi keuntungan di antara para mitra.Menurut Madzhab Maliki dan Syafii, keuntungan harus dibagi diantara paramitra secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal yang disetor, tanpamemandang kinerja yang disumbangkan oleh masing-masing mitra. Denganalasan, keuntungan merupakan manifestasi/ hasil dari modal, karenanya ia

harus proporsional.Pembagian keuntungan dapat berbeda diantara mitra, jika mereka

membuatnya sebagai syarat dalam kontrak. Ini merupakan pendapat MadzhabHanafi dan Hanbali. Argumentasi ini didasarkan pada pandangan bahwakeuntungan adalah buah dari interaksi antara modal dan kerja. Hal inidikarenakan salah satu mitra mungkin lebih berpengalaman, berkompetenataupun expert  dari yang lain. Untuk itu, dibolehkan baginya untukmensyaratkan bagi dirinya suatu bagian tambahan dari keuntungan sebagaiganti dari sumbangan kerja yang lebih banyak.

Page 130: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 130/199

www.belajarsyariahyuk.com

Hal ini senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a. "Keuntunganharus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional

dengan modal mereka". Jika terjadi kerugian, ulama sepakat bahwa kerugian harusdibagi diantara mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalammodal. Jika modal syirkah rusak sebelum dijalankannya akad, maka akaddinyatakan batal.

Mitra diperbolehkan untuk menginvestasikan modal syirkah denganpihak ketiga dengan akad mudharabah, ini menurut Hanafiyah. Dengan alasan,mitra dalam syirkah berhak merekrut karyawan dengan gaji untuk menjalankanbisnis, baik bisnis itu mendatangkan keuntungan atau kerugian. Untuk itu, akadmudharabah lebih diperbolehkan, dengan catatan mudharib (pihak ketiga) tidakakan mendapatkan bagian jika bisnis yang dijalankan dengan akad mudharabahitu tidak mendatangkan keuntungan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 815-820)

 

Syirkah al Mufawadlah dalam Harta

Hukum yang telah disebutkan dalam al „Inan, berlaku juga dalam almufawadlah, begitu juga dengan persyaratan dan implikasinya, karena al

mufawadlah merupakan bentuk khusus dari al „Inan. Namun, dalam al mufawadlah terdapat beberapa hukum yang khusus. Di antaranya, masing-masing mitramemiliki kewajiban yang sama dalam hal menanggung beban hutang yangditimbulkan akad syirkah, serta kewajiban finansial lainnya (Zuhaili, jilid IV, hal.821).

  Syirkah al Wujuh

Syirkah al wujuh bisa dilakukan dengan al „Inan  atau al mufawadlah,sehingga akan berlaku hak, kewajiban atau implikasi hukum yang melekat didalamnya. Berbeda dengan Hanabalah, syirkah al wujuh hanya boleh dilakukandengan konsep al „Inan, bukan al mufawadlah. Dengan alasan, karena ada unsur

 gharar   di dalamnya. Setiap mitra memiliki kewajiban dan tanggungjawabfinansial yang sama, dan mungkin tidak akan mampu ditanggung oleh mitralainnya, dan ini merupakan gharar  (Zuhaili, jilid IV, hal. 824).

  Syirkah al A’maal 

 Jika syirkah al a‟maal dilakukan dengan dasar al mufawadlah, maka setiapmitra memiliki kewajiban yang sama, begitu juga ketika dibangun dengan dasaral „Inan. Setiap mitra memiliki kewajiban untuk menangani bisnis/ pekerjaan,begitu juga dengan tanggungjawab yang melekat di dalamnya. Namundemikian, al mufawadlah dalam konteks ini tidak berlaku secara mutlak, hanyaberlaku dalam hal tanggungjawab dan penyelesaian pekerjaan, selebihnyaberlaku hukum al „Inan.

Page 131: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 131/199

www.belajarsyariahyuk.com

 Jika seorang mitra memiliki kewajiban finansial yang berhubungandengan kebutuhan pribadinya, maka kewajiban ini tidak bisa dilimpahkan

kepada mitra lain. Kewajiban finansial hanya sebatas tanggungjawab pekerjaanyang ditanggungnya dari keseluruhan bisnis yang dijalankan.

Keuntungan yang dihasilkan dibagikan berdasarkan tanggungjawabpekerjaan, bukan berdasarkan kinerja yang dihasilkan. Ketika mitra sakit, makabisa dibicarakan dengan mitra lain terkait dengan pembagian keuntungan.Namun demikian, mitra tetap berhak mendapatkan upah seimbang dengantanggungjawab pekerjaan yang dimilikinya, sehingga ketika ia sakit, ia bisamenyewa tenaga orang lain untuk mengerjakannya, dan ia tetap mendapatkanbagian keuntungan proporsional dengan tanggungjawab kerja yang dimiliki.

Pembagian keuntungan dapat berbeda diantara mitra, jika mereka

membuatnya sebagai syarat dalam kontrak. Mitra diperbolehkan mendapatkanupah yang lebih sebanding dengan tanggungjawab kerja yang diembannya.Begitu juga dengan pembagian risiko, yakni sebanding dengan tanggungjawabkerja (Zuhaili, 1989, IV, hal. 824-827).

Perkara yang Membatalkan Syirkah

Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat ( jaiz ghair lazim), masing-masing mitra memiliki hak untuk menghentikan kontrak.Selain itu, akad syirkah juga bisa batal jika salah satu mitra meninggal dunia,murtad atau mengalami gangguan jiwa (gila). Dalam syirkah al amwal, akad akan

menjadi batal jika modal (ra‟sul maal) mengalami kehancuran. Untuk syirkah almufawadlah, akad akan menjadi batal jika tidak ada persamaan dalam kontribusimodal, pembagian keuntungan, pekerjaan ataupun tanggungjawab dankewajiban finansial lainnya.

Pada prinsipnya, kontrak musyarakah akan berhenti jika salah satu mitramenghentikan kontrak, atau meninggal, atau modal yang ditanamkanmengalami kerugian. Mayoritas ulama kecuali madzhab Maliki berpendapatbahwa tiap mitra berhak untuk menghentikan kontrak kapan saja iamenginginkan.

 Jika misalnya, seorang mitra memiliki mobil sedan, sedangkan mitra

yang lain memiliki mobil truk. Kemudian keduanya sepakat untuk melakukanmusyarakah dalam hal penyewaan jasa mobil (rent car ), maka akad syirkah yangdilakukan hukumnya fasid. Dengan alasan, keduanya tidak bisa bersekutu dalampembagian keuntungan dari jasa penyewaan, karena masing-masing mobilmemiliki financial return yang berbeda, jadi tidak bisa disatukan.

Begitu juga ketika seorang mitra memiliki mobil, kemudian iamenyerahkan kepada pengemudi untuk dijalankan, maka keduanya tidak bisaberbagi dan bersekutu dalam pembagian keuntungan. Return yang didapatkandari mobil sepenuhnya menjadi milik pemilik mobil, pengemudi hanya berhakmendapatkan imbalan jasa (Zuhaili, jilid IV, hal. 828-834).

Page 132: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 132/199

www.belajarsyariahyuk.com

Syirkah al Mutanaqishah

Syirkah al mutanaqishah  merupakan jenis musyarakah yang biasadigunakan untuk skim pembiayaan modal kerja (working capital). Bankmerupakan partner pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi.Dalam skim ini, pihak bank akan menyediakan dana untuk membeli aset ataualat-alat produksi, begitu juga dengan partner musyarakah lainnya.

Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan profit, porsi kepemilikanbank atas aset dan alat produksi akan berkurang karena dibeli oleh para partnerlainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol. Model pembiayaan ini lebihdikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan ini yang banyak diaplikasikandalam perbankan syariah (Zuhaili, 2002, hal. 434).

Dalam menjalankan syirkah al mutanaqishah, disyaratkan beberapaketentuan yang terdapat dalam bentuk musyarakah permanen. Namundemikian, hasil Muktamar Perbankan Islam pertama di Dubai,merekomendasikan syarat tambahan sebagai berikut (Zuhaili, 2002, hal. 436);

 

Semua partner ikut terlibat aktif dalam proyek yang sedang dijalankan,masing-masing memiliki tanggungjawab atas segala konsekuensi bisnis. Jika terjadi kerugian atau mendapatkan keuntungan, dibagi kepadamasing-masing partner sesuai kesepakatan.

  Kepemilikan bank atas asset merupakan kepemilikan sempurna, bukansemata pinjaman. Sehingga, ia memiliki hak untuk terlibat dalammanajemen usaha dan melakukan pengawasan terhadap kinerja bisnisyang dijalankan.

 

Dalam akad ini, tidak boleh dipersyaratkan, partner harusmengembalikan modal usaha bank plus margin, karena hal ini identikdengan pinjaman.

Syirkah al mutanaqishah  diperbolehkan dalam pandangan syara‟, sepertihalnya al ijarah al muntahiyah bit tamlik. Dalam diminishing musyarakah  ini, bankberjanji akan menjual porsi kepemilikan asset kepada partner lainnya, hinggaakhirnya, kepemilikan asset tersebut berpindah kepada partner.

Di awal kontrak, akad berjalan sebagaimana akad musyarakah biasa,pihak bank dan semua partner yang terlibat di dalamnya, memiliki hak dankewajiaban masing-masing. Namun, dalam konteks ini, di akhir kontrak, pihakbank berjanji akan menjual porsi kepemilikan asset kepada partner lain, sehinggamenjadi nol (Zuhaili, 2002, hal. 437).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 133: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 133/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 18 

Akad MudharabahTujuan:

Pengertian

Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan.Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang

menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah merupakanbahasa penduduk Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebutdengan istilah qiradh.

Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara duapihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya sebagaipengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapatkan dari akadmudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, danbiasanya dalam bentuk nisbah (prosentase).

 Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian ituditanggung oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalainmudharib. Sedangkan mudharib  menanggung kerugian atas upaya, jerih payahdan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jikakerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib  harusbertanggungjawab atas kerugian tersebut (Zuhaili, 1989, IV, hal. 836).

Landasan Syariah

Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandasakanatas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur'an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di

Page 134: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 134/199

www.belajarsyariahyuk.com

antara dalil (landasan syariah) yang memperbolehkan praktik akad mudharabahadalah sebagai berikut:

1. 

“…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” QS. Al Muzammil: 20, yang menjadi argumen dan dasardilakukannya akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata „yadhribun‟yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki maknamelakukan suatu perjalanan usaha.

2. 

“ Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, iamensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidakmenuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itudilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang

ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.

Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahanmelakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namundemikian dalam bab mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha (ahlifiqh). Hadits ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnyamudharabah muqayyadah, karena shahibul maal  sebagai penyedia danamemberikan beberapa persyaratan bagi mudharib  dalam mengelola danayang diberikan. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktikpembiayaan mudharabah.

3. 

“Nabi bersabda, ada tida hal yang mengandung berkah; jual beli tidak secaratunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut

untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. Hadits riwayat IbnuMajah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah.Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yangmenggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabah ataupun jual belitempo (Zuhaili, 2002, hal. 313).

Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebihbaik, terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secaratempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullahdalam hadits tersebut.

Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikandiperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini,maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuhmenjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akanbertambah karena akan mendapatkan financial return. 

4.  Kesepakatan ulama akan bolehnya Mudharabah dikutip dari Dr. WahbahZuhaily dari kitab  Alfiqh Al Islamy Wa Adillatuh. Diriwayatkan bahwasejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan hartaanak yatim sebagai modal dan tak seorangpun dari mereka yangmenyanggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam suatu amalantertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorangpun

Page 135: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 135/199

www.belajarsyariahyuk.com

menyanggahnya, maka hal itu merupakan ijma‟. Ketentuan ijma' inisecara sharih  mengakui keabsahan praktik pembiayaan mudharabah

dalam sebuah perniagaan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 838).5.  Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan Mudharabah dengan

mengqiyaskannya (analogi) kepada transaksi  Musaqat, yaitu bagi hasilyang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilikkebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram,memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sangperawat (penyiram) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengankesepakatan di depan dari out put perkebunan (pertanian).

Dalam mudharabah, pemilik dana (shahibul maal) dianalogkan denganpemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan dengan

pengusaha (entrepreneur ). Mengingat dasar hukum musaqot  lebih valid dantegas yang diambil dari sunnah Rasululah SAW, maka metodologi qiyasdapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah (Zuhaili,1989, IV, hal. 839).

Rukun dan Macam Mudharabah

Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan olehulama guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalahshahibul maal (pemilik dana), mudharib (pengelola), sighat (ijab qabul), ra'sul maal (modal), pekerjaan, dan keuntungan. Mudharabah adalah akad kerjasama antara

pemilik dana dengan pengelola yang bertujuan untuk memperoleh keuntungandalam sebuah usaha perniagaan.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib, mudharabahdapat dikategorikan menjadi mudharabah muthlaqah  (unrestricted investment) danmudharabah muqayyadah (restricted investment). Mudharabah muthlaqah adalah akadkerjasama dimana mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modalusaha. Mudharib juga tidak dibatasi dengan tempat usaha, tujuan maupun jenisusaha. Sedangkan mudharabah muqayyadah  adalah akad kerjasama dimanashahibul maal  menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib, baikmengenai tempat usaha, tujuan maupun jenis usaha (Zuhaili, 1989, IV, hal. 840).

Syarat Mudharabah

Ulama mengajukan beberapa syarat terhadap rukun-rukun yang melekatdalam akad mudharabah:

1)  Untuk shahibul maal  dan mudharib, syarat keduanya adalah harusmampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil.

2)  Sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak untukmenunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan merekadalam melakukan sebuah kontrak.

Page 136: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 136/199

www.belajarsyariahyuk.com

3) 

Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maalkepada mudharib  untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah.

Modal disyaratkan harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang),dan modal harus disetor tunai kepada mudharib.

Sebagian ulama membolehkan modal berupa barang inventori ataupunaset perdagangan, bahkan madzhab Hanbali membolehkan penyediaanaset non-moneter (pesawat, kapal, alat transport) sebagai modal. Modaltidak dapat berbentuk hutang (pada pihak ketiga atau mudharib), modalharus tersedia untuk digunakan dalam bentuk tunai atau aset. Selain itu,modal harus diserahkan/ dibayarkan kepada mudharib  danmemungkinkan baginya untuk menggunakannya (Zuhaili, 1989, IV, hal.843-847).

4) 

Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan darimodal, keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak mudharabah.Syarat keuntungan yang harus terpenuhi adalah: kadar keuntunganharus diketahui, berapa jumlah yang dihasilkan. Keuntungan tersebutharus dibagi secara proporsional kepada kedua pihak, dan proporsi(nisbah) keduanya harus sudah dijelaskan pada waktu melakukankontrak. Shahibul maal  berkewajiban untuk menanggung semuakerugian dalam akad mudharabah sepanjang tidak diakibatkankarena kelalaian mudharib.

5) 

Pekerjaan/ usaha perniagaan adalah kontribusi mudharib  dalamkontrak mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk

modal yang disediakan oleh shahibul maal, pekerjaan dalam konteksini berhubungan dengan manajemen kontrak mudharabah. Syaratyang harus dipenuhi adalah: usaha perniagaan adalah hak eksklusifmudharib tanpa adanya intervensi dari pihak shahibul maal, walaupunmadzhab Hanbali membolehkan shahibul maal memberikan kontribusidalam pekerjaan tersebut.

Pemilik dana tidak boleh membatasi tindakan dan usaha mudharibsedemikian rupa, sehingga dapat mencegahnya dari mencapai tujuankontrak mudharabah, yakni keuntungan. Mudharib tidak boleh menyalahiaturan syariah dalam usaha perniagaannya yang berhubungan dengan

kontrak mudharabah, serta ia harus mematuhi syarat-syarat yangditentukan shahibul maal, sepanjang syarat itu tidak kontradiktif denganapa yang ada dalam kontrak mudharabah (Zuhaili, 1989, IV, hal. 848-851).

Hukum Mudharabah

Mudharabah akan dikatakan  fasid  jika terdapat salah satu syarat yangtidak terpenuhi, di antara bentuk mudharabah fasid  adalah misalnya, seseorangyang memiliki alat perburuan (sebagai shahibul maal) menawarkan kepada oranglain (sebagai mudharib) untuk berburu bersama-sama, kemudian keuntungan

Page 137: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 137/199

www.belajarsyariahyuk.com

dibagi bersama sesuai kesepakatan. Akad mudharabah ini  fasid, mudharib  tidakberhak mendapat keuntungan dari perburuan, keuntungan ini semuanya milik

shahibul maal, mudharib  hanya berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yangdilakukan.

Dengan alasan, keuntungan yang didapatkan bersumber dari aset yangdimiliki oleh shahibul maal, begitu juga ia harus menanggung beban kerugianyang ada. Dalam akad ini, mudharib diposisikan sebagai ajir  (orang yang disewatenaganya), dan ia berhak mendapatkan upah, baik ketika mendapatkankeuntungan atau menderita kerugian (Zuhaili, 1989, IV, hal. 851).

 Jika semua syarat terpenuhi, maka akad mudharabah dikatakan shahih.Dalam konteks ini, mudharib  diposisikan sebagai orang yang menerima titipanaset shahibul maal. Ketika mudharib  melakukan pembelian, ia layaknya sebagai

wakil dari shahibul maal, ia melakukan transaksi atas aset orang lain denganmendapatkan izin darinya. Ketika mudharib  mendapatkan keuntungan atastransaksi yang dilakukan, ia berhak mendapat bagian dari keuntungan yangdihasilkan, dan bagian lainnya milik shahibul maal. Jika mudharib  melanggarsyarat yang ditetapkan shahibul maal, maka ia diposisikan sebagai orang yangmeng- ghosob  (menggunakan harta orang tanpa izin) dan memilikitanggungjawab penuh atas harta tersebut.

 Jika terjadi kerugian atas aset, maka ia tidak diharuskan untukmenanggung kerugian, karena ia diposisikan sebagai pengganti shahibul maal dalam menjalankan bisnis, sepanjang tidak disebabkan karena kelalaian. Jikaterjadi kerugian, maka akan dibebankan kepada shahibul maal, atau dikurangkan

dari keuntungan, jika terdapat keuntungan bisnis.

 Jaminan dalam kontrak mudharabah merujuk kepada tanggungjawabmudharib  untuk mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semuakeadaan. Hal ini tidak dibolehkan, karena adanya fakta bahwa peganganmudharib  akan dana itu sifatnya amanah, dan orang yang diamanahkan tidakberkewajiban menjamin dana itu kecuali melanggar batas atau menyalahiketentuan.

 Jika shahibul maal  mensyaratkan kepada mudharib  untuk menjaminpenggantian modal ketika terjadi kerugian, maka syarat itu merupakan syaratbatil dan akad tetap sah adanya, ini menurut pendapat Hanafiyah dan

Hanabalah. Menurut Syafiiyyah dan Malikiyyah, akad mudharabah menjadi fasid (rusak), karena syarat tersebut bersifat kontradiktif dengan karakter dasar akadmudharabah (Zuhaili, 1989, IV, hal. 854).

Batasan Kewenangan Mudharib 

 Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan,dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan

Page 138: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 138/199

www.belajarsyariahyuk.com

keuntungan, dan tidak akan didapatkan tanpa dengan melakukan transaksibisnis.

 Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain(bank, misalnya), karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, sepertihalnya sewa gedung, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasionalbisnis untuk mendapatkan keuntungan.

Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib.Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izindari shahibul maal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul maal. Jikashahibul maal  membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadimudharib yang harus dibayar.

 Mudharib  juga tidak boleh membeli aset dengan cara berhutang,walaupun mendapatkan izin dari shahibul maal. Jika mudharib  tetapmelakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jikaterdapat keuntungan akan menjadi milik penuh mudharib. Shahibul maal  tidakberhak apa-pun, karena ia tidak ikut menanggung risiko.

 Mudharib  tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharabahkepada orang lain dengan akad mudharabah, melakukan akad syirkah,dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkankebebasan penuh dari shahibul maal. Dengan adanya transaksi ini, maka akanterdapat hak orang lain atas aset shahibul maal, sehingga tidak diperbolehkan

kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul maal. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 855-858).

Mudharabah Paralel

Menurut Hanafiyah, mudharib  tidak diperbolehkan menyerahkan asetmudharabah kepada orang lain tanpa mendapatkan kesepakatan shahibul maal,baik hanya sebagai titipan atau diberdayakan oleh pihak ketiga (mudharib kedua). Jika aset yang diterima mudharib  kedua hanya sebagai titipan, makamudharib  pertama tidak berkewajiban menanggung risiko yang ada, karenahanya diposisikan sebagai wadi‟ah.

Namun, jika mudharib  pertama menyerahkan aset mudharabah kepadamudharib  kedua dengan maksud investasi, maka mudharib  pertama memilikitanggungjawab penuh terhadap shahibul maal. Menurut Zafar, mudharib pertamabertanggung jawab penuh atas aset mudharabah, baik hanya sebagai titipan atauinvestasi, seperti halnya ketika kita menitipkan titipan kita kepada orang lain.

Menurut Imam as Shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan untukinvestasi, dan digunakan mudharib  kedua untuk menjalankan bisnis, makamudharib  pertama bertanggungjawab penuh atas aset mudharabah. Denganalasan, mudharib kedua menggunakan aset tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib 

Page 139: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 139/199

www.belajarsyariahyuk.com

kedua menggunakan aset tersebut, shahibul maal  memiliki dua opsi,tanggungjawab risiko aset itu dibebankan kepada mudharib pertama atau kedua.

Menurut pendapat yang shahih dari Hanafiyah, mudharib  pertamabertanggungjawab penuh atas risiko aset yang diberikan mudharib kedua untukmenjalankan bisnis.

 Jika terdapat keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan dibagisesuai kesepakatan mudharabah pertama (antara shahibul maal  dan mudharib pertama). Bagian keuntungan mudharib  pertama, akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai kesepakatan dalam akad mudharabah kedua. Ulama 4 madzhabsepakat bahwa risiko mudharabah paralel ditanggung oleh mudharib  pertama.(Zuhaili, 1989, IV, hal. 858-861)

Hak Mudharib 

 Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah(living cost, biaya hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad. Ulamaberbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhikebutuhan hidupnya, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan.

Menurut Imam Syafii, mudharib  tidak berhak mendapatkan nafkah ataskebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik di rumah atau dalamperjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dania tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah inibisa jadi sama nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib  akan

mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akadmudharabah fasid hukumnya.

Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mudharib  hanya berhakmendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baikbiaya transportasi, makan ataupun pakaian. Madzhab Hanabalah memberikankeleluasaan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik di rumah ataudalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.

Menurut Hanafiyah, mudharib  berhak mendapatkan nafkah dari asetmudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi; makan minum,lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi,

upah cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukandemi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikandengan yang berlaku di khalayak umum.

Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib  (dalam menjalankan bisnis) akandikurangkan dari keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akandikurangkan dari aset shahibul maal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalananbisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisabiaya perjalanan, harus dikembalikan dan dihitung kembali sebagai aset

Page 140: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 140/199

www.belajarsyariahyuk.com

mudharabah. Jika mudharib  menggunakan biaya pribadi, maka akan menjadihutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.

Selain itu, mudharib  juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jikabisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib  tidak berhakmendapatkan apa-pun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul maal  (ra‟sul maal) secara utuh, jikamasih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.

Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib  berhakmendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan(revenue sharing). Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib  harusmengembalikan pokok harta shahibul maal, dan ia tidak berhak mendapatkanbagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul maal. Jika masih terdapat

keuntungan, akan dibagi sesuai dengan kesepakatan ( profit sharing). (Zuhaili,1989, IV, hal. 864-868).

Hal yang Membatalkan Akad Mudharabah

Pada prinsipnya, kontrak mudharabah akan berhenti jika salah satu pihakmenghentikan kontrak, atau meninggal, atau modal yang ditanamkanmengalami kerugian di tangan mudharib. Akad mudharabah juga akan batalketika shahibul maal murtad, begitu juga dengan mudharib (Zuhaili, IV, hal. 872).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 141: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 141/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN VIIFEE BASED SERVICES

THEORY

Bab 19Akad WakalahTujuan:

Terkadang, seseorang tidak mampu melakukan suatu pekerjaan,mungkin karena tidak memiliki kompetensi, atau keterbatasan waktu dan tenagauntuk menyelesaikannya. Biasanya, ia akan memberikan mandat/mewakilkan

kepada orang lain guna menyelesaikan pekerjaan dimaksud. Hal ini lazimdisebut dengan wakalah.

Definisi

Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga, sebagaimana firman Allahdalam QS. Atau juga bermakna mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu,seperti halnya firman Allah dalam QS.

Page 142: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 142/199

www.belajarsyariahyuk.com

Menurut Hanafiyyah, wakalah  adalah memposisikan orang lain sebagaipengganti dirinya untuk menyelesaikan suatu persoalan yang diperbolehkan

secara syar‟i dan jelas jenis pekerjaannya. Atau mendelegasikan suatu persoalankepada orang lain (wakil). Menurut Malikiyyah, Syafiiyyah dan Hanabalah,wakalah adalah prosesi pendelegasian sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan,kepada orang lain sebagai penggantinya, guna menyelesaikan pekerjaan tersebutdalam masa hidupnya. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 150).

Landasan Syariah

Dari dahulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad wakalah untuk menyelesaikan segala persoalan hidup mereka. Hal ini terjadi karenaunsur keterbatasan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Untuk itu,

syariah memberikan legalitas atas keabsahan akad tersebut. Hal ini bisa dilihatdari firman Allah dalam QS.

Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakim binHizam atau „Urwah al Bariqi untuk membeli domba kurban (HR Daud,Turmudzi, Akhmad, Bukhori, Abu Daud). Atau kisah Amr bin Umayyah alDhamiri yang menjadi wakil dalam pernikahan Ummu Habibah binti AbuSufyan di Habsyah. Begitu juga dengan pendelegasian mandat dalammenjalankan pemerintahan, seperti petugas penarik zakat, komando militer, ataugubernur. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 151).

 Wakalah bil Ujrah

 Akad wakalah bisa dilaksanakan dengan atau tanpa upah. Dengan alasan,ketika Rasulullah mengirimkan duta untuk menarik zakat di suatu daerah,Rasulullah memberikan gaji kepada mereka (HR. Abu Daud). Ketika akadwakalah  bil ajr   telah sempurna, maka akad tersebut bersifat mengikat. Dalamartian, wakil dihukumi layaknya ajir   (orang yang disewa tenaganya) yangmemiliki kewajiban untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, kecuali adahalangan yang bersifat syar‟i. 

 Jika dalam akad wakalah  tersebut upah tidak disebutkan secara jelas,maka wakil berhak atas ujroh al mitsl  (upah sepadan), atau sesuai dengan adat

kebiasaan yang berlaku. Jika memang dalam adat tersebut tidak berlakupemberian upah, maka akad kembali menjadi akad aslinya yang bersifat tabarru‟(charity program). Jika demikian halnya, akad tidak bersifat mengikat, dan wakilmemiliki hak untuk membatalkan kapan saja. Ini menurut pendapat Hanafiyyah,Malikiyyah dan Hanabalah. Menurut Syafiiyyah, walau pun akad wakalah dijalankan dengan adanya pemberian upah, akad tersebut tetap bersifat tidakmengikat kedua belah pihak. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 151).

Page 143: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 143/199

www.belajarsyariahyuk.com

Rukun Wakalah

Rukun wakalah  terdiri atas ijab dari muwakkil  (pihak yang mewakilkan),

dan qabul dari wakil. Ijab harus diucapkan secara jelas oleh muwakkil,sedangkan qabul tidak harus diungkapkan (tidak disyaratkan dalam bentuk lafalverbal), namun bisa diwujudkan dengan tindakan. Jika wakil mengetahui jenispekerjaan yang diwakilkan, kemudian ia secara langsung melaksanakannya,maka hal ini dianggap sebuah qabul dari pihak wakil. Selain itu, dalam wakalah tidak dipersyaratkan adanya satu majlis atas ijab dan qabul, cukup mengetahuiadanya wakalah dan diwujudkan dalam tindakan.

Akad wakalah  tanpa upah bersifat  jaiz ghair lazim  (diperbolehkan dantidak mengikat), artinya kedua pihak memiliki hak untuk membatalkan akadkapan pun mereka menghendaki.  Akad wakalah bisa bersifat kontan, artinya bisa

dikerjakan semenjak akad itu disepakati, atau disandarkan pada waktu di masamendatang, artinya akad tersebut berlaku mulai minggu atau bulan depan. Atau,bisa digantungkan dengan sebuah syarat, misalnya, jika Octavia datang, makaengkau menjadi wakilku untuk menjual buku ini. Menurut Syafiiyyah, akad

wakalah  tidak bisa disandarkan pada syarat, baik kondisi atau waktu, namunharus dilakukan dengan segera, untuk menghindari terjadi gharar . (Zuhaili, 1989,IV, hal. 152).

Syarat Wakalah

Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu

pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan, orangyang tidak memiliki otoritas sebuah transaksi, tidak bisa memindahkan otoritastersebut kepada orang lain.  Akad wakalah tidak bisa dijalankan oleh orang yangtidak memiliki ahliyyah, seperti orang gila, anak kecil yang belum tamyiz. Ulamafiqh selain Madzhab Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah  tidak bisadilaksanakan oleh anak kecil secara mutlak.

Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz.Anak kecil, orang gila, anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil, inimenurut pendapat ulama Hanafiyyah. Ulama selain Hanafiyyah jugamenyatakan hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karenamereka belum bisa terbebani dengan hukum-hukum syar‟i. Segala tindakan yangdilakukan, belum bisa diakui.

Obyek yang diwakilkan (mahal al wakalah, muwakkal fiih) harus memenuhibeberapa syarat. Obyek tersebut harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahuisecara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar‟i. Tidakdiperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara‟, seperti mencuri,merampok dll. Obyek tersebut memang bisa diwakilkan dan didelegasikan(diwakilkan) kepada orang lain, seperti akad jual beli, ijarah dll. (Zuhaili, 1989,IV, hal. 153-154).

Page 144: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 144/199

www.belajarsyariahyuk.com

Macam Wakalah

 Akad wakalah  dapat dibedakan menjadi al wakalah al „ammah  dan alkhosshoh.  Al wakalah al khosshoh  adalah akad wakalah dimana prosesipendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan bersifatspesifik. Artinya, perwakilan yang dibutuhkan dijelaskan dengan spesifikasitertentu, seperti halnya membeli mobil honda tipe X, menjadi advokat untukmenyelesaikan kasus tertentu, dll.

Sedangkan al wakalah al „ammah  adalah akad wakalah dimana prosesipendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Prosesipendelegasian tersebut meliputi segala transaksi yang bersangkutan dengan dirimuwakkil. Seperti, Anda adalah wakil saya dalam setiap aktifitas yang menjadi

tanggungjawab saya, belikanlah mobil apa saja yang engkau temui, dll. Wakilmemiliki hak dan wewenang untuk menjalankan tugas yang menjadi wewenangdiri muwakkil.

Selain itu, akad wakalah juga bisa dibagi menjadi al wakalah al muqayyadah dan al wakalah al muthlaqah. Al wakalah al muqayyadah  adalah akad wakalah dimanawewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.Misalnya, juallah mobilku ini seharga Rp. 100 juta jika kontan, dan Rp. 150 juta, jika kredit. Dalam konteks ini, wakil hanya bisa melaksanakan perwakilansebatas persyaratan yang disebutkan muwakkil, tidak lebih.

 Al wakalah al muthlaqah  adalah akad wakalah  dimana wewenang dan

tindakan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu. Misalnya, juallah mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan, atau punmekanisme pembayarannya. Menurut Abu Hanifah, diri wakil memilikikewenangan mutlak untuk menjual mobil, baik harganya lebih besar atau kecil.Wakil tetap dalam kemutlakannya, sepanjang tidak ditemukan bukti, dalil, atauindikasi yang membatasi kewenangannya. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 155-156).

 Wakalah Paralel

Bolehkah seorang wakil, kembali mewakilkan dirinya kepada orang lainuntuk manjadi wakilnya? Jika akad wakalah yang digunakan adalah al wakalah al

khosshoh dan al muqayyadah, dimana diri wakil dibatasi bahwa hanya dirinyayang berhak melaksanakan mandat, maka ia tidak boleh mewakilkan dirinyakepada orang lain.

 Jika akad wakalah  yang digunakan adalah al „ammah  dan al muthlaqah,maka diri wakil bisa mewakilkan dirinya kepada orang lain sebagai wakilnya,dan status wakil pertama dan kedua, menjadi wakil dari pihak muwakkil. Inimenurut pendapat Hanafiyyah. Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah, wakil tidakboleh mewakilkan dirinya kepada orang lain tanpa mendapat izin dari muwakkil,

Page 145: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 145/199

www.belajarsyariahyuk.com

terlebih jika ia mampu menjalankan mandat yang diberikan. Jika ia tidak mampumelaksanakan mandat, maka ia boleh mewakilkan kepada pihak lain.

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum akad yang dilakukan oleh pihak wakil,secara otomatis akan kembali kepada diri muwakkil. Artinya, kesepakatan yangdibentuk, mencerminkan keinginan diri muwakkil, sehingga akad tersebut akankembali kepada muwakkil. Kesepakatan dan akad yang dibangun oleh pihakwakil dengan pihak ketiga, secara otomatis akan menjadi kesepakatan dan akadmuwakkil. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 160).

 Jika transaksi yang dilakukan harus disandarkan kepada muwakkil, makawakil tidak boleh menyandarkan transaksi tersebut kepada pribadinya. Jika halitu dilakukan, maka transaksi akan menjadi milik wakil, tidak kembali kepadamuwakkil. Misalnya dalam akad pernikahan, talak, khulu‟, hibah, „ariyah, wadi‟ah,

qardh dan rahn.Untuk itu, ketika wakil melaksanakan akad, maka harus disandarkan

kepada diri muwakkil, misal, aku terima nikahnya Raihana binti Abdillah untukFaiq Abdurrahman, aku hibahkan harta Ali kepada engkau, dll. Jika dalam akadini disandarkan kepada diri wakil, misal, aku terima nikahnya Raihana bintiAbdillah, maka Raihana akan resmi menjadi isteri wakil, bukan muwakkil.

 Jika transaksi yang dilakukan tidak ada kewajiban untuk disandarkankepada muwakkil, maka transaksi akan kembali kepada pihak yang melakukanakad. Jika dalam akad, transaksi disandarkan kepada diri wakil, maka akad akankembali kepada wakil. Seluruh hak dan kewajiban yang terkait dengan akad,

akan kembali kepada wakil, dan berlaku sebaliknya (vice versa). Seperti halnyadalam transaksi jual beli, ijarah, dan yang sejenis (al mu‟awadlat al maaliyah).

Hal ini dikarenakan, pihak yang terlibat secara langsung dalam akadadalah diri wakil, dan ia yang paling tahu segala konsekuensi yang ada dalamakad. Ini menurut pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafiiyyah, denganalasan, hak dan kewajiban dalam akad, berhubungan langsung dengan diriwakil.

Berbeda dengan Hanafiyyah, walaupun akad disandarkan kepada diriwakil, segala kesepakatan dan konsekuensi yang ada dalam akad, tetap kembalikepada diri muwakkil. Dengan alasan, wakil merupakan representasi dari pihakmuwakkil

  yang bertugas mengungkapkan segala hal yang diinginkannya. Jikatetap kembali kepada wakil, maka hal ini akan menafikan substansi diadakannyaakad wakalah. Dimana, akad ini dibentuk untuk meringankan beban dan tugasyang tidak bisa dikerjakan oleh muwakkil. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 163-164).

Berakhirnya Akad Wakalah

Akad wakalah akan berakhir dalam beberapa kondisi berikut ini:

 

Mandat pekerjaan telah diselesaikan oleh pihak wakil   Muwakkil dan wakil kehilangan ahliyyah (meninggal, gila permanen)

Page 146: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 146/199

www.belajarsyariahyuk.com

 

Wakil menarik diri untuk mundur dari pekerjaan yang telahdimandatkan kepadanya, karena akad wakalah bersifat ghair lazim tanpa

adanya kompensasi yang mengikat. Hanafiyyah mensyaratkan,pengunduran diri pihak wakil, harus diketahui oleh muwakkil. MenurutSyafiiyyah tidak perlu dikomunikasikan dengan muwakkil.

  Rusaknya obyek yang diwakilkan untuk ditransaksikan, misalnya dalam

akad jual beli atau ijarah (sewa)  Pihak muwakkil  menarik mandat perwakilannya yang telah diberikan

kepada pihak wakil, karena akad bersifat  ghair lazim. Hanafiyyahmensyaratkan agar hal tersebut dikomunikasikan dengan diri wakil.(Zuhaili, 1989, IV, hal. 165-166).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 147: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 147/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 20 Akad KafalahTujuan:

Definisi dan Landasan Syariah

 Al-kafalah  merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yangditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah  juga berarti mengalihkantanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggungjawab

orang lain sebagai penjamin (al-„Adzim, 1996, hal. 45). Terkait dengan legalitas akad kafalah, ulama fiqh menggunakan dalil dari

QS. Yusuf ayat 72: “Penyeru-penyeru itu berseru, „Kami kehilangan piala rajadan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makananseberat beban unta dan aku menjamin terhadapnya”. Ibnu Abbas menafsirkan,kata „zaim‟ dalam ayat tersebut bermakna kafil atau penjamin. Dengan demikian,akad kafalah diperbolehkan secara syara‟. 

Sebagian ulama fiqh mengatakan, ayat di atas tidak cukup kuat untukdijadikan sebagai dasar legalitas akad kafalah. Yang lebih tepat, ayat ini sebagaidasar akad  ju‟alah. Dalam konteks ini, Yusuf As mengumumkan sayembara,

barang siapa yang berhasil mengembalikan piala raja yang hilang, maka iaberhak mendapatkan hadiah, dan beliau akan menjaminnya.

Namun demikian, ulama fiqh memiliki landasan lain dalam hal ini. YakniQS. Yusuf ayat 78. Ayat ini menunjukkan praktik kafalah  bi al-nafs, dimanasaudara Yusuf AS menawarkan diri sebagai pengganti saudaranya yang lain dihadapan raja.

Selain itu, terdapat hadits riwayat Bukhari; “Telah dihadapkan kepadaRasulullah saw (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan)..Rasulullah bertanya,“Apakah dia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab, “Tidak” Rasulullah

Page 148: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 148/199

www.belajarsyariahyuk.com

bertanya lagi, “Apakah dia mempunyai hutang?” Sahabat menjawab, “Ya,sebesar tiga dinar”. Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk men-shalat-

kannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah lalu berkata, “Saya menjaminhutangnya, ya Rasulullah”, maka Rasulullah saw pun men-shalat-kan mayattersebut”. 

Di samping itu, ulama fiqh juga berpegang pada ijma‟ sahabat, danpraktik-praktik yang dilakukan khulafaur rasyidin dan sahabat tabi‟in.Diriwayatkan, Abdullah ibn Mas‟ud akan menanggung (menjamin) keluargakaum murtad setelah mereka diminta untuk bertaubat (al-„Adzim, 1996, hal. 45-47).

Rukun dan Syarat

Rukun kafalah  terdiri atas sighat kafalah  (ijab qabul), makful bih  (obyektanggungan), kafil (penjamin), makful „anhu (tertanggung), makful lahu (penerimahak tanggungan).

  Sighat. Sighat kafalah  bisa diekspresikan dengan ungkapan yangmenyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuahkesanggupan untuk menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan „Aku akanmenjadi penjaminmu‟ atau „Saya akan menjadi penjamin ataskewajibanmu terhadap seseorang‟ atau ungkapan lain yang sejenis.Ulama tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diucapkan dalamakad kafalah, semuanya dikembalikan kepada adat kebiasaan. Intinya,

ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk menjamin sebuahkewajiban.

   Makful Bihi. Obyek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri

tertanggung, dan tidak bisa dibatalkan tanpa adanya sebab syar‟i. Selainitu, obyek tersebut harus merupakan tanggungjawab penuh pihaktertanggung. Seperti menjamin harga atas transaksi barang sebelum serahterima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diriseseorang.

Selain itu, nominal obyek pertanggungan harus jelas, tidak diperbolehkanmenanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul). Namun demikian, sebagian

ulama fiqh membolehkan menanggung obyek pertanggungan yang bersifatmajhul. Hal ini disandarkan pada hadits Rasulullah, “Barang siapa dariorang-orang mukmin yang meninggalkan tanggungan hutang, makapembayarannya menjadi kewajibanku”. Berdasarkan hadits ini, nilai obyekpertanggungan yang dijamin oleh Rasulullah bersifat majhul, dengandemikian diperbolehkan.

  Kafil. Ulama fiqh mensyaratkan, seorang kafil  haruslah orang yang

berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatanorang lain. Selain itu, ia juga orang yang telah baligh dan berakal. Akad

Page 149: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 149/199

www.belajarsyariahyuk.com

kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih atau punorang yang terhalang untuk melakukan transaksi (mahjur „alaih).

Karena bersifat charity, akad kafalah  harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya pakasaan. Ia memiliki kebebasanpenuh guna menjalankan pertanggungan. Karena, dalam akad ini, kafil tidakmemiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

   Makful „Anhu. Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung

(makful „anhu) adalah kemampuannya untuk menerima obyekpertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yangmewakilinya. Selain itu, makful „anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.

   Makful Lahu. Ulama mensyaratkan, makful lahu harus dikenali oleh kafil,guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah

untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadirimajlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh oranggila atau anak kecil yang belum berakal (al-„Adzim, 1996, hal.48-50).

 Jenis Kafalah

Secara garis besar, akad kafalah  dapat dibedakan menjadi al-kafalah  bil-maal dan al-kafalah  bin-nafs. Al-kafalah  bil-maal merupakan jaminan pembayaranbarang atau pelunasan hutang. Sedangkan al-kafalah  bin-nafs  merupakan akadpemberian jaminan atas diri ( personal guarantee). Sebagai contoh dalam praktikperbankan, seorang nasabah mendapat pembiayaan dengan jaminan reputasidan nama baik seseorang atau tokoh masyarakat. Walau pun secara fisik pihakbank tidak memegang jaminan, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapatmengusahakan pembayaran ketika nasabah mengalami kesulitan.

Akad kafalah  bil-maal  akan berakhir ketika obyek pertanggungan sudahterbayarkan kepada penerima tanggungan, baik oleh tertanggung atau pun daripihak kafil. Pihak penerima tanggungan melakukan hibah atas obyekpertanggungan, baik kepada pihak tertanggung atau pun kepada kafil. Atau jugaadanya pembebasan tanggungan atau hal lain yang dipersamakan dengan halitu, dari pihak penerima tanggungan (makful lahu).

Akad kafalah  bin-nafs akan berakhir ketika makful bihi telah

menyerahkan diri dan hadir di hadapan makful lahu, dan menyelesaikan akadpertanggungan. Diri kafil mendapatkan pembebasan dari makful lahu, maka akadkafalah  berakhir, atau ketika makful „anhu  meninggal dunia (al-„Adzim, 1996,hal.51-54).

Fee Akad Kafalah

Ulama fiqh menyatakan bahwa, dalam akad kafalah, seorang kafil  tidakdiperkenankan mengambil  fee (upah) atas jasa pertanggungan yang telahdiberikan kepada makful „anhu. Dengan alasan, akad kafalah  merupakan akad

Page 150: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 150/199

www.belajarsyariahyuk.com

tabarru‟  (charity program), bukan akad komersial yang berhak untukmendapatkan kompensasi.

Hal ini berbeda dengan akad wakalah. Dalam wakalah, seorang wakilberhak menerima upah ( fee) atas jasa perwakilan yang telah ditunaikan, dan halini diperbolehkan secara syara‟. Fee atas akad wakalah, bersandar dari haditsNabi yang menyatakan bahwa Rasulullah mengutus beberapa duta gunamenarik harta zakat, dan mereka menerima  fee atas usaha yang telah dilakukan.Untuk lebih jelasnya, baca dalam pembahasan akad wakalah.

Namun demikian, sebagian ulama fiqh menyatakan, barang siapamelakukan usaha yang bermanfaat bagi orang lain, maka ia berhak menerimakompensasi, baik dipersyaratkan atau tidak. Tidak diragukan lagi bahwa akadkafalah  merupakan akad yang bermanfaat, sehingga ia berhak mendapat

kompensasi. Walau pun tidak dipersyaratkan oleh kafil. Hal ini disandarkanpada hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa barang siapa berbuat kebajikankepada orang lain, maka ia berhak mendapat kompensasi, hadits diriwayatkanHakim dari Ibnu Umar ra. (al-„Adzim, 1996, hal. 55-57).

Seputar Hukum Bank Garansi

Bank garansi adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh bank ataspermintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya pada pihak ketiga apabilanasabah yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kewajibannya. Bankgaransi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk

mengikatkan diri kepada penerima jaminan (pihak ketiga) apabila dikemudianhari pihak terjamin (nasabah) tidak mampu memenuhi kewajibannya kepadapenerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telahditentukan.

Oleh karena itu, dalam mekanisme bank garansi terdapat 3 pihak yangterkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai pihak yang terjamin danpihak ketiga sebagai penerima jaminan. Dalam pemberikan bank garansi ini,biasanya pihak bank meminta setoran jaminan yang besarnya misalnya 10-30%dari total nilai obyek yang dijamin. (Siamat, 2001, hal. 141).

Bank garansi berbeda dengan letter of Credit  (L/C), dalam L/C bank

memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah transaksi yang disepakati olehnasabah (eksportir) dengan pihak ketiga (importir). Sedangkan bank garansidibangun dengan konsep kafalah, dimana substansinya bukanlah membayarkansejumlah nominal kepada pihak ketiga. Namun, hanyalah memberikan jaminandemi lancarnya sebuah pekerjaan. Bank garansi memberikan jaminan bahwanasabah mampu menyelesaikan pekerjaan dengan segala kewajiban yang ada.

 Jika dilihat praktik bank garansi dalam perbankan, hal ini mirip dengankonsepsi akad kafalah. Pertanyaannya adalah, bolehkah pihak perbankanmengambil fee atas jasa kafalah yang telah diberikan?.

Page 151: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 151/199

www.belajarsyariahyuk.com

Sebagian ulama fiqh berpendapat, pihak bank tidak diperbolehkanmengambil  fee  atau in-charge  dari nasabah, karena akad kafalah  merupakan

charity program. Jika pihak bank (kafil) mensyaratkan adanya  fee, maka akadkafalah  menjadi batil. Namun demikian, sebagian ulama membolehkan pihakbank untuk menarik  fee  sebatas biaya yang telah dikeluarkan (ujroh al mitsl),bukan fee atas jasa kafalah an sich (al-„Adzim, 1996, hal. 57). 

Pertanyanyaan dan Latihan

Page 152: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 152/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 21Akad QardTujuan:

Pengertian

Dilihat dari maknanya, qardh identik dengan akad jual beli. Karena, akadqardh mengandung makna pemindahan kepemilikan barang kepada pihak lain.

Secara harafiah, qardh berarti bagian, bagian harta yang diberikan kepada oranglain. Secara istilah, qardh merupakan akad peminjaman harta kepada orang laindengan adanya pengembalian semisalnya.

Menurut Hanafiyah, qardh merupakan akad khusus pemberian hartamitsli kepada orang lain dengan adanya kewajiban pengembalian semisalnya. Al-qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan ituberdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yangmemberikan pinjaman yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 720)

Landasan SyariahAkad al qardh  diperbolehkan secara syar‟I dengan landasan hadits atau

ijma‟ ulama. Diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud,sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Seorang muslim yang mau memberikan

 pinjaman dua kali kepada sesama muslim, maka ibaratnya ia telah bersedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Hadits dari sahabat Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Padamalam aku di-isra‟-kan, aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis „sedekahakan dibalas 10 kali lipat dan hutang dibalas 18 kali lipat‟. Lalu aku bertanya,

Page 153: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 153/199

www.belajarsyariahyuk.com

“Wahai Jibril, mengapa menghutangi lebih utama dari sedekah?” Ia menjawab,“karena meski pun pengemis meminta-minta, namun ia masih mempunyai

harta, sedangkan orang yang berhutang pasti karena ia sangat membutuhkan”(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).

Ulama telah sepakat atas keabsahan akad al qardh. Akad al qardh  di-sunnah-kan bagi orang yang memberi pinjaman, dan diperbolehkan bagipeminjam dengan dasar hadits di atas, serta dengan landasan hadits dari AbuHurairah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda; “Orang yang melepaskan seorangmuslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat,dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”(HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi). (Zuhaili, 1989, IV, hal. 720).

Seputar Hukum Al Qardh

Akad al qardh akan sah jika dilakukan orang yang memiliki kompetensi(ahliyah  dan wilayah), karena akad ini identik dengan akad jual beli. Selain itu,harus dilakukan dengan adanya ijab qabul, karena mengandung pemindahankepemilikan kepada orang lain.

Menurut Syafi‟iyah dan Hanabalah, dalam akad al qard  tidak boleh adakhiyar majlis  atau pun khiyar syarat. Maksud dari khiyar   adalah hak untukmeneruskan atau membatalkan akad, sedangkan al qardh merupakan akad  ghairlazim, masing-masing pihak memiliki hak untuk membatalkan akad. Jadi, hakkhiyar menjadi tidak berarti.

Mayoritas ulama berpendapat, dalam akad al qardh  tidak bolehdipersyaratkan dengan batasan waktu untuk mencegah terjerumus dalam riba alnasi‟ah. Namun demikian, Imam Malik membolehkan akad al qardh  denganbatasan waktu, karena kedua pihak memiliki kebebasan penuh untukmenentukan kesepakatan dalam akad.

Syarat sahnya al-qardh  adalah orang yang memberi pinjaman (muqridh)benar-benar memiliki harta yang akan dipinjamkan tersebut. Harta yangdipinjamkan hendaknya berupa harta yang ada padanannya (barang mitsli) baikyang bisa ditimbang, diukur mau pun dihitung. Syarat selanjutnya adalahadanya serah terima barang yang dipinjamkan, dan hendaknya tidak terdapat

manfaat (imbalan) dari akad ini bagi orang yang meminjamkan, karena jika halitu terjadi maka akan menjadi riba.

Ketika akad al qardh  telah dilakukan, muqtaridh (orang yang meminjam)berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman semisal pada saat muqridh menginginkannya. Jumhur ulama membolehkan orang yang meminjam untukmengembalikan barang yang dipinjamnya dengan yang lebih baik, sebagaimanaterdapat dalam Hadist Nabi “Sesungguhnya orang yang paling baik diantara kamuadalah orang yang paling baik dalam membayar hutangnya” (H.R. Ahmad danMuslim dari Abi Raafi‟ r.a). 

Page 154: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 154/199

www.belajarsyariahyuk.com

Menurut Hanafiyah, setiap pinjaman yang memberikan nilai manfaatbagi muqridh, maka hukumnya haram sepanjang dipersyaratkan dalam akad, jika

tidak disyaratkan, maka diperbolehkan. Begitu juga dengan hadiah atau bonusyang dipersyaratkan.  Muqtaridh  diharamkan memberikan hadiah kepadamuqridh, jika maksud pemberian itu untuk menunda pembayaran. Begitu jugapinjaman dengan syarat tertentu, misalnya, muqridh akan memberikan pinjamankepada muqtaridh, jika muqtaridh mau menjual rumahnya kepada muqridh. Hal initidak diperbolehkan, karena ada larangan hadits Nabi untuk menggabungkanakad pinjaman dengan jual beli.

Akad al qard diperbolehkan dengan 2 syarat:

  pinjaman itu tidak memberikan nilai manfaat (bonus atau hadiah yangdipersyaratkan) bagi muqridh, karena ada larangan dalam hadits Nabi

(Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman yang mengandung unsurmanfaat, atau setiap pinjaman yang mengandung manfaat, maka itumerupakan riba),

 

akad al qardh tidak digabungkan dengan akad lain, seperti akad jual beli.Terkait dengan bonus/ hadiah, mayoritas ulama membolehkansepanjang tidak dipersyaratkan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 721-727).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 155: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 155/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 22Akad HawalahTujuan:

Definisi

Secara linguistik, hawalah  bermakna perpindahan. Menurut istilah

Hanafiyah, hawalah adalah akad perpindahan penagihan utang dari orang yangberhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah ulamafiqh, hawalah  merupakan pemindahan beban utang dari muhil  (orang yangberhutang) menjadi tanggungan muhal „alaih  atau orang yang berkewajibanmembayar utang (Zuhaili, 1989, V, hal. 163).

Secara sederhana, hal ini dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberipinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C(muhal „alaih). Begitu pihak B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalumengalihkan beban utang tersebut kepada pihak C. Dengan demikian, pihak Cyang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada

B dianggap selesai.

Landasan Syariah

Akad hawalah  diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma‟ ulama.Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;“Menunda-nunda pembayarn hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalahsuatu kedzaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihanpiutangnya (di-hawalah-kan) kepada pihak yang mampu, maka terimalah”. 

Page 156: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 156/199

www.belajarsyariahyuk.com

Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yangmengutangkan, jika orang yang berutang meng-hawalah-kan kepada orang yang

mampu, hendaklah ia menerima hawalah  tersebut, dan hendaklah ia menagihkepada orang yang di-hawalah-kan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.Ulama sepakat (ijma‟) membolehkan akad hawalah. Dengan catatan, hawalah dilakukan atas utang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hawalah adalahproses pemindahan utang, bukan pemindahan benda (Zuhaili, 1989, V, hal. 163).

Rukun dan Syarat

Menurut Hanafiyah, rukun hawalah  hanya terdiri ijab  dari pihak muhil,yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, dan qabul  dari pihakmuhal  atau muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil. Mereka

menambahkan, akad hawalah  harus didasarkan pada kerelaan dan keridlaanpihak muhal „alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil  dan wajibmembayar utang kepada muhtal, karena ia merupakan pihak yang harusmenanggung beban utang yang ada.

Menurut mayoritas ulama, rukun hawalah terdiri atas muhil, yakni orangyang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal  atau muhtal, yakni orang yangberpiutang kepada muhil, muhal „alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal  bih, yakni hutang muhil kepada muhtal dan sighat (ijab qabul).

Ulama fiqh menetapkan beberapa syarat terkait dengan rukun hawalah 

(Zuhaili, 1989, V, hal. 164-168) :   Muhil, adalah orang yang berakal dan baligh. Akad hawalah  tidak sah

dilakukan oleh anak kecil atau orang gila yang tidak berakal. Selain itu,akad hawalah  harus berjalan dengan persetujuan dan kesepakan muhil,karena di sini berlaku konsep ibra‟  (pembebasan) utang yang bermaknapemindahan kepemilikan.

   Muhal haruslah orang yang berakal dan sudah baligh, dan ada persetujuandan kerelaannnya untuk menerima hawalah dalam majlis akad.

   Muhal „alaih, syarat yang ada atas diri muhal  atau muhtal, juga berlakupada diri muhal 

   Muhal  bih harus berupa utang dan bersifat mengikat. Artinya adanya

utang dari pihak muhil  kepada muhal, dan hutang tersebut bersifatmengikat. Malikiyah menambahkan, utang yang ada sudah jatuh tempo,dan nominal utang harus sama dengan utang muhal „alaih.

Ketika akad hawalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutanhutang (bara‟ah) dari pihak muhal. Penagihan utang akan berpindah dari pihakmuhil  kepada muhal „alaih, artinya ketika muhal  ingin menagih utang, maka iaharus datang kepada muhal „alaih, bukan kepada muhil. Ulama berbeda pendapattentang peralihan hak ini.

Page 157: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 157/199

www.belajarsyariahyuk.com

Abu Hanifah dan Abu Yusuf menyatakan, perpindahan hak itu meliputihak penagihan dan pembayaran utang sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih

kepada pihak muhal „alaih. Akan tetapi, pembayaran utang itu akan kembali lagikepada muhil, ketika muhal „alaih  mengalami kebangkrutan atau meninggaldunia.

Menurut Imam Muhammad, yang berpindah hanyalah hak penagihansaja, bukan hak pembayaran nominal utang yang ada. Beban pembayaran utangtetap melekat pada diri muhil. Menurut Zafar, hak penagihan dan pembayaranutang tidak bisa berpindah kepada muhal „alaih, muhal „alaih  hanyalah sebagaipenanggung (kafil) bagi muhil ketika ia tidak mampu bayar. Menurut pendapatyang rajih, muhal  memiliki hak untuk melakukan penagihan dan pembayarannominal utang dari muhal „alaih.

Akad hawalah  akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. MenurutHanafiyah, ketika muhal „alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakanberakhir dan hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabalah,Syafiiyah dan Malikiyah, ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna,hak penagihan dan beban utang tidak bisa dialihkan kembali kepada muhil.

 Jika muhal „alaih  mengalami kebangkrutan dan muhal  tidak diberitahuoleh muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena,ia diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul  (tidak diketahui) danmengandung unsur gharar (ketidakpastian) (Zuhaili, 1989, V, hal. 173-177).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 158: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 158/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 23Akad RahnTujuan:

Definisi

Secara linguistik, rahn bermakna menetap atau menahan. Secara istilah,rahn  adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan ataspinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai

ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untukdapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana,rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai (Zuhaili, 1989, V, hal. 180).

Landasan Syariah

Akad rahn  diperbolehkan oleh syara‟ dengan berbagai dalil dari AlQur‟an atau pun hadits Nabi saw, begitu juga dengan ijma‟ ulama. Diantaranyafirman Allah dalam QS. Al Baqarah:283. Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukharidan Muslim dari „Aisyah ra. berkata; “Sesungguhnya Rasulullah saw pernahmembeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi, dan Nabi

menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”. Hadits Nabi saw diriwayatkan dari al Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah

dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda; “Tidak terlepas kepemilikan baranggadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat danmenanggung risikonya”. Hadits Nabi saw riwayat Jama‟ah kecuali Muslim danNasa‟i, Nabi saw bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan bolehdinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikandapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yangmenggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biayaperawatan dan pemeliharaan” (Zuhaili, 1989, V, hal. 180). 

Page 159: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 159/199

www.belajarsyariahyuk.com

Rukun dan Syarat

Rukun akad rahn terdiri atas rahin (yang menyerahkan barang), murtahin(penerima barang), marhun/rahn  (barang yang digadaikan), dan marhun bih (hutang), serta ijab qabul. Menurut Hanafiyah, rukun rahn hanya terdiri dari ijab dan qabul, rukun selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.

Syarat utama yang harus terdapat dalam diri rahin dan murtahin adalahadanya ahliyyah. Sebuah karakteristik ahliyyah yang melekat dalam transaksi jualbeli, yakni harus berakal dan sudah tamyiz. Akad rahn tidak boleh dilakukan olehorang gila atau anak kecil yang belum tamyiz dan belum berakal. Di samping itu,ijab qabul  yang terdapat dalam akad rahn  tidak boleh digantungkan (mu‟allaq)dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan substansi akad rahn, dan ia

 juga tidak boleh disandarkan dengan waktu di masa mendatang.

Untuk marhun bih, Syafiiyyah dan Hanabalah menetapkan tiga syaratutama, yakni; ia harus berupa hutang yang tetap dan wajib untuk ditunaikan,seperti utang atau nilai barang yang dirusakkan. Utang itu harus bersifatmengikat, seperti harga atas barang yang dibeli dalam transaksi jual beli, danterakhir, nominal utang itu diketahui secara jelas dan pasti.

 Marhun  adalah barang yang bernilai ekonomis yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada.  Marhun harus bisa ditransaksikan, dalam arti, iaada ketika akad sedang berlangsung, dan bisa diserahterimakan. Selain itu, iaharus berupa harta (maal). Ulama fiqh sepakat, manfaat tidak bisa dijadikan

sebagai marhun, karena ia tidak berupa harta menurut Hanafiyah, atau ia tidakbisa diserahterimakan ketika akad berlangsung.  Marhun  harus berupa maal almuqawwim, artinya, diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara syara‟. Selain itu,kadarnya (nilai) diketahui secara jelas, tidak boleh menggadaikan barang yangnilai ekonomisnya tidak diketahui.  Marhun merupakan milik mutlak rahin dantidak terdapat hak lain dalam marhun tersebut.

Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan syarat utamadalam akad rahn, dan akan dikatakan sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut.Serah terima dilakukan berdasarkan izin dari rahin, jika tidak mendapatkan izin,maka serah terima tidak dikatakan sah. Ketika serah terima dilakukan, rahin danmurtahin haruslah memiliki ahliyah, dalam arti, ia sudah baligh dan berakal, tidakberupa anak kecil atau sedang gila. Serah terima tersebut bersifat permanen,artinya, marhun tetap dalam genggaman murtahin dan tidak dirujuk pada rahin.Menurut Syafiiyah, rahin bisa merujuk marhun untuk dimanfaatkan, dengan izinmurtahin. Hal ini disandarkan pada hadits Daruquthni, dengan catatan, marhun

tidak rusak nilainya ketika dimanfaatkan (Zuhaili, 1989, V, hal. 183-208).

Ketika akad rahn  telah disepakati antara rahin  dan murtahin, dan telahterjadi serah terima marhun, terdapat beberapa konsekwensi hukum yangmelingkupinya.

Page 160: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 160/199

www.belajarsyariahyuk.com

Korelasi hutang dengan marhun (barang jaminan). Ketika suatu barangdijadikan sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukan, maka marhun 

akan senantiasa terkait dengan hutang yang ada. Artinya, marhun akan tetapditahan sepanjang hutang yang ada belum terbayar.  Murtahin  memiliki hakuntuk menahan marhun, hingga rahin  melunasi hutang yang ditanggungnya.Rahin tidak memiliki hak untuk menarik marhun kembali, yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada, sehingga telah terlunasi.

Ketika murtahin  menahan marhun, maka ia berkewajiban untukmenjaganya sebagaimana ia menjaga harta kekayaan pribadinya. Penjagaan itubisa dilakukan oleh diri pribadinya, isteri, anak atau pembantu yang telah lamatinggal bersamanya. Jika marhun  diserahkan kepada orang lain, dan terjadikerusakan, maka ia berkewajiban untuk menggantinya.

Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun, menjaditanggungjawab rahin  sebagai pemilik barang. Akan tetapi, ulama berbedapendapat tentang biaya yang wajib ditanggung oleh rahin. Hanafiyahmengatakan, biaya yang terkait langsung dengan kemaslahatan marhun, menjaditanggungjawab rahin, karena ia adalah pemiliknya. Sedangkan biaya yangdikeluarkan untuk menjaga marhun  dari kerusakan, menjadi tanggungjawabmurtahin, karena ia yang menahan dan menjaganya.

Rahin harus menanggung biaya makan, minum, upah penggembala atashewan ternak yang dijadikan sebagai marhun. Murtahin berkewajiban atas biayapenjagaan marhun, seperti penyewaan kandang, beserta penjaga yang bertugasmenjaganya. Untuk itu, dalam akad rahn, tidak boleh disyaratkan bahwa

murtahin  berhak mendapatkan upah atas aktifitas penjagaan marhun  yangdilakukan, karena itu sudah menjadi kewajibannya.

Menurut Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabalah, segala biaya yang terkaitdengan marhun, menjadi tanggungjawab rahin. Baik biaya yang digunakan untukmerawat atau menjaga marhun. Jika rahin tidak berkenan untuk menanggungnya,maka murtahin boleh mengeluarkan biaya yang diperlukan. Setelah itu, murtahinberhak untuk menagih biaya tersebut kepada rahin.

Menurut Hanafiyah, rahin  tidak memiliki hak untuk memanfaatkanmarhun, kecuali atas izin murtahin. Begitu juga sebaliknya. Dengan alasan,murtahin  memiliki hak untuk menahan marhun, sehingga rahin  tidak boleh

merujuk marhun tanpa seizin murtahin. Jika rahin memanfaatkan rahin tanpa izin,dan terjadi kerusakan, maka ia bertanggungjawab mengganti senilaikerusakannya.

Begitu juga dengan Hanabalah, rahin  tidak memiliki hak untukmemanfaatkan marhun  tanpa seiizin murtahin. Pandangan ini berlandaskanprinsip bahwa segala manfaat dan nilai yang dihasilkan marhun, maka ia akankembali kepada asalnya, yakni sama hukumnya dengan marhun.

Ulama Malikiyah memiliki pandangan yang lebih ekstrim, rahin  tidakmemiliki hak untuk memanfaatkan marhun. Mereka menetapkan bahwa izin

Page 161: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 161/199

www.belajarsyariahyuk.com

yang diberikan murtahin  kepada rahin  untuk memanfaatkan marhun, dapatmembatalkan substansi akad rahn.

Berbeda dengan Syafiiyah, rahin  memiliki hak untuk memanfaatkanmarhun, sepanjang tidak mengurangi nilai ekonomis yang melekat di dalamnya,seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah dan lainnya. Dengan alasan,manfaat dan produktifitas marhun tetap menjadi milik rahin, dan tidak adahubungannya dengan hutang. Jika pemanfaatan tersebut dapat mengurangi nilaimarhun, seperti membangun rumah, maka tidak diperbolehkan, kecuali seizinmurtahin.

Menurut Hanafiyah, murtahin  tidak memiliki hak untuk memanfaatkanmarhun tanpa seizin rahin, karena ia hanya memiliki hak untuk menahan, bukanmemanfaatkan. Jika rahin  memberikan izin, maka diperbolehkan. Akan tetapi,

menurut sebagian ulama Hanafiyah, hal itu tidak diperbolehkan. Karena,murtahin mendapatkan manfaat lebih dari nilai pinjaman (hutang) kepada rahin,hal ini identik dengan riba.

Begitu juga dengan Malikiyah, jika hutang itu berupa pinjaman (qardh),maka memanfaatkan marhun  identik dengan riba. Dimana, jika ada pinjamanyang memberikan nilai manfaat, maka ia adalah riba. Syafiiyah menambahkan,murtahin tidak memiliki hak untuk memanfaatkan marhun, hal ini berdasarkanhadits Nabi saw riwayat al-Syafii, Daruquthni dan Ibnu Majah dari AbuHurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yangmenggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”. 

 Jika rahin  melakukan transaksi (jual beli) atas marhun  tanpa seizinmurtahin, maka jual beli tersebut hukumnya mauquf . Dengan alasan, ada hakmurtahin yang melekat dalam marhun. Jika murtahin memberikan izin, maka jualbeli diperbolehkan. Begitu juga dengan murtahin, ia tidak memiliki hak untukmentransaksikan marhun tanpa seizin rahin. Hal ini sama dengan transaksi atasbarang yang tidak dimiliki, hukumnya mauquf  sama seperti bai‟ al fudhuli.

Menurut mayoritas ulama, posisi murtahin  atas marhun  adalah yad alamanah. Dalam arti, ia tidak bertanggungjawab untuk mengganti kerusakanmarhun, kecuali karena kecerobohan dan kelalaiannya. Nilai kerusakan tersebuttidak bisa mengurangi nominal hutang yang ada. Jika rahin  atau murtahin (sengaja) merusak marhun, maka keduanya berkewajiban untuk mengganti nilai

yang ada.

Akad rahn  akan berakhir ketika murtahin  telah mengembalikan marhun kepada rahin, atau rahin telah membayar hutang yang menjadi tanggungannya. Jika murtahin  berkeinginan untuk membatalkan ( faskh) akad, maka rahn  jugadinyatakan telah berakhir. Rahn  juga akan berakhir ketika aset rahn  (marhun)mengalami kerusakan, atau aset tersebut ditransaksikan oleh rahin atau murtahin tanpa adanya izin (Zuhaili, 1989, V, hal. 244-289).

Page 162: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 162/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 24 Akad „AriyahTujuan:

Definisi

Secara linguistik, „ariyah  merupakan nama atas sesuatu yangdipinjamkan. Al Sarakhsi dan Malikiyah menyatakan, „ariyah  adalahperpindahan kepemilikan manfaat atas suatu barang tanpa adanya kompensasi.Menurut Syafiiyah dan Hanabalah, „ariyah  adalah proses untuk membolehkan(ibahah) mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya kompensasi. „Ariyah berbeda dengan hibah, karena obyeknya berupa manfaat, sedangkan hibah adalahserah terima barang (Zuhaili, 1989, V, hal. 54).

Landasan Syariah

Praktik „ariyah  mendapatkan pengakuan dari syariah, hal ini bisadisandarkan pada firman Allah dalam QS.wata‟awanu „alal birri wattaqwa.Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Syaikhan, dari Anas bin

Malik berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah meminjam kuda dari AbuThalhah, dan kemudian beliau mengendarainya”. 

Rukun dan Syarat

Menurut mayoritas ulama, rukun „ariyah  terdiri atas mu‟ir   (yangmeminjamkan), musta‟ir   (peminjam), musta‟ar   (obyek), dan sighat  (ijab qabul).Untuk keabsahan akad „ariyah, ulama menambahkan beberapa syarat, yaknimu‟ir  haruslah orang yang berakal, „ariyah  tidak sah dilakukan oleh anak kecilatau orang gila yang tidak berakal.

Page 163: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 163/199

www.belajarsyariahyuk.com

Selain itu, harus ada serah terima (qabdh) dari musta‟ir , karena akad „ariyah merupakan akad tabarru‟, maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah

terima, seperti halnya akad hibah. Di samping itu, obyek yang dipinjamkan(musta‟ar ) harus bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisik yang ada.Ulama fiqh menetapkan bahwa akad „ariyah diperbolehkan atas barang yang bisadimanfaatkan tanpa harus merusak dzatnya (barang isti‟mali), seperti rumah,pakaian, kendaraan dan barang lain yang sejenis (Zuhaili, 1989, V, hal. 56).

Seputar Hukum ‘Ariyah 

 Musta‟ir   memiliki hak untuk memanfaatkan „ariyah  sebatas izin yangdiberikan oleh mu‟ir , izin ini ada yang bersifat mutlak dan ada juga yangmuqayyad  (dibatasi). „Ariyah  muthlaqah  adalah akad „ariyah  yang tidak dibatasi

dengan syarat-syarat, musta‟ir  menempati posisi mu‟ir  sebagai pemilik barang, iamemiliki hak untuk memanfaatkan barang sebagaimana seorang pemilik.Sedangkan, „ariyah muqayyadah adalah sebaliknya.

Menurut Hanafiyah, Syafiiyah dan Hanabalah, kepemilikan barang yangada pada diri musta‟ir  bersifat tidak lazim, karena merupakan kepemilikan tanpaadanya kompensasi, seperti halnya akad hibah.  Mu‟ir   memiliki hak untukmerujuk barangnya dalam akad „ariyah, begitu juga, musta‟ir  memiliki hak untukmengembalikan barang sepanjang ia mau.

Menurut Malikiyah, mu‟ir tidak memiliki hak untuk merujuk „ariyah,sebelum musta‟ir  memanfaatkan „ariyah. Jika „ariyah dibatasi dengan waktu, mu‟ir

tidak boleh merujuk sebelum batas waktu berakhir.

Menurut Hanafiyah, posisi musta‟ir   atas barang „ariyah  adalah yad alamanah. Dalam arti, ia tidak bertanggungjawab terhadap penggantian kerusakanbarang, kecuali ketika ia melakukan kecerobohan atau kelalaian. MenurutSyafiiyah, musta‟ir   berkewajiban mengembalikan barang sebagaimana asalnya, jika terjadi kerusakan karena pemakaian yang tidak wajar, maka ia harusmenggantinya. Namun, jika pemakaian masih dalam batas kewajaran, maka iatidak menanggungnya. Menurut Hanabalah, musta‟ir bertanggungjawab atasbarang „ariyah, baik ia lalai atau pun tidak.

 Musta‟ir  berkewajiban mengganti barang „ariyah ketika ia menyia-nyiakan

atau sengaja merusaknya. Begitu juga ketika ia meninggalkannya tanpamenjaganya, barang dipakai tidak sesuai denga ketentuan dan prosedur yangada, dan tidak ditempatkan pada posisi yang telah ditentukan. Biayapengembalian barang „ariyah  menjadi tanggungjawab musta‟ir , karena iaberkewajiban untuk mengembalikannya, sehingga ia harus menanggungbiayanya (Zuhaili, 1989, V, hal. 59-70).

Page 164: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 164/199

www.belajarsyariahyuk.com

BAGIAN VIIITEORI TRANSAKSI

MODERN

Bab 25 Jual Beli Kredit

Tujuan:

 Jual beli kredit merupakan jenis jual beli yang populer bagi kalanganmasyarakat menengah ke bawah. Sebuah mekanisme jual beli yangmemungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan

keterbatasan income yang dimiliki. Dengan mekanisme ini, pembeli dapatmemiliki barang dengan harga yang relatif mahal, tanpa harus membayarkontan/tunai.

 Jual beli kredit merupakan mekanisme jual beli dimana harga barangdibayarkan secara berkala (installment, cicilan) dalam jangka waktu yangdisepakati. Dimana penjual harus menyerahkan barang secara kontan,sedangkan pembeli membayar harga barang secara cicilan dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.

Dalam konteks ini, harga yang disepakati dalam jual beli kredit, bisasama dengan harga pasar (market price), lebih besar atau bahkan lebih rendah.

Page 165: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 165/199

www.belajarsyariahyuk.com

Namun demikian, yang lazim berlaku adalah harga jual lebih tinggi dari hargapasar yang sebenarnya. Jika barang tersebut dibayar kontan, mungkin pembeli

akan membayar lebih murah. Berbeda ketika barang tersebut dibeli secara kredit,maka terdapat interest (kepentingan) pembeli untuk menaikkan harga jual lebihtinggi dari harga pasar (kontan).

Dengan demikian, harga jual yang ditawarkan pembeli dalam jual belikredit lebih tinggi daripada harga tunai, apakah hal ini diperbolehkan? Ulamafiqh telah membahas persoalan ini, terdapat perbedaan pendapat, ada yangmembolehkan dan ada juga yang melarang. Sebagian ulama berpendapat, hal initidak diperbolehkan. Dengan alasan, adanya penambahan harga dari hargapasar, hanyalah semata sebagai kompensasi waktu, dan ini merupakan bentukriba atau identik dengan riba (syubhat al riba). Pendapat ini diriwayatkan dariZain al Abidin Ali bin Husain yang dinukil dari Syaukani (Nailul Author,5/129).

Ada pun empat ulama madzhab dan mayoritas ulama fiqh kontemporermengakui keabsahan praktik jual beli kredit dengan harga jual lebih tinggi dariharga pasar. Dengan catatan, harga yang terbentuk (dealing price) merupakankesepakatan kedua pihak, jumlah installment dan jangka waktu ditentukan secara jelas.

Ada pun ketika seorang penjual berkata, “Aku jual handphone ini, kontanseharga Rp.1000.000, kredit seharga Rp.1.300.000”. Kemudian penjual danpembeli berpisah dari majlis akad tanpa ada penentuan, kontan atau kredit,maka jual beli ini tidak diperbolehkan. Berbeda ketika pembeli menentukan

salah satu dari mekanisme yang ditawarkan (kontan atau kredit), maka jualbeli diperbolehkan.

Diriwayatkan dari Imam Turmudzi dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAWmelarang dua buah akad dalam satu transaksi”. Ulama menafsirkan, yangdimaksud dengan “dua akad dalam satu transaksi” misalnya, seseorang berkata,“Aku jual baju ini, tunai seharga 10 real, kredit seharga 20 real, kemudiankeduanya berpisah dari majlis akad tanpa ada kesepakatan. Ada pun ketikapembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi yang ditawarkan, makadiperbolehkan, dan jual beli berlaku atas harga yang disepakati” (Jami‟ al Imamal Turmudzi, Kitab al Buyu‟ bab 18, 3/533).

Inti dari pernyataan Imam Turmudzi adalah, illat  (reason) pelarangan jenis jual beli ini (bai‟atan fi bai‟ah) adalah adanya harga yang mengambang( floating price), tanpa adanya penentuan pilihan dari dua opsi harga yangditawarkan, sehingga harga jual tidak diketahui ( jahalah al tsaman). Jika pembelimenentukan opsi atas harga jual, maka jual beli akan berlaku secara normal.Dengan demikian, pelarangan jual beli ini tidak semata karena adanyapenambahan nilai harga jual yang diikuti dengan penambahan jangka waktupembayaran.

Page 166: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 166/199

www.belajarsyariahyuk.com

Apa yang dinyatakan Imam Turmudzi relevan dengan pendapat empatulama madzhab dan mayoritas ulama fiqh (Ibnu Qudamah, 4/290). Dan ini

merupakan pendapat yang rajih, dengan alasan, tidak ditemukan dalil dalam al-Qur‟an atau pun hadits yang melarang jenis jual beli kredit. Ada punkarakteristik riba tidak melekat pada tambahan harga yang di-incharge  penjualkepada pembeli. Artinya, tambahan harga jual dari harga normal, bukanlahmerupakan bentuk riba. Dengan alasan, jual beli ini bukanlah transaksi hutangpiutang (qardh) atau pun transaksi atas barang ribawi, namun ia adalah jual belian sich (murni).

Seorang pedagang memiliki kewenangan mutlak dalam penentuan harga jual,ia tidak memiliki kewajiban menjual barang dengan harga normal (hargapasar). Dalam menentukan harga jual, pedagang memiliki dasar tersendiri,disesuaikan dengan kondisi. Biasanya, harga jual meliputi harga pokokpembelian plus tingkat margin yang diinginkan, dan ini berbeda antara satudengan lainnya. Syara‟ tidak memiliki kewenangan melarang seorang penjualuntuk menentukan harga jual secara kontan, begitu juga secara kredit.

Misalnya, jika sebuah barang dijual secara tunai seharga 80 real, dansecara kredit seharga 100 real. Maka, seorang penjual tetap memilikikewenangan menjual barang tersebut secara tunai seharga 100 real, sepanjangtidak ada indikasi penipuan. Jika hal ini diperbolehkan, kenapa penjual tidakdiperbolehkan menjual barang tersebut seharga 100 real secara kredit?.

 Jual beli kredit telah disepakati empat ulama madzhab dan mayoritasulama fiqh, untuk itu tidak perlu dijelaskan secara detil, dalil-dalil yang terkaitdari al-Qur‟an mau pun hadits. Namun demikian, terdapat beberapa catatan. 

Penentuan salah satu harga dari dua opsi yang ditawarkan, merupakansyarat bagi keabsahan jual beli kredit. Jika penjual menawarkan lebih dari duaopsi harga jual, hal ini juga diperbolehkan. Misalnya, tunai seharga 80 real, kreditsatu bulan seharga 100 real, kredit dua bulan seharga 120 real. Jika adanyaperbedaan harga karena dijual secara tunai atau kredit, maka perbedaan harga juga diperbolehkan karena adanya perbedaan jangka waktu pembayaran. Hal initetap diperbolehkan sepanjang terdapat kesepakatan antara penjual dan pembelitentang harga jual, jumlah installment dan jangka waktu pembayaran.

 Jika seorang penjual berkata, “Jika engkau mampu membayar dalam jangka

waktu satu bulan ke depan, maka barang seharga 10 real, jika dua bulanseharga 12 real, dan jika tiga bulan seharga 14 real. Kemudian keduanyaberpisah tanpa adanya penentuan pilihan dari pembeli atas opsi harga yangditawarkan. Maka, hal ini diharamkan secara ijma‟ ulama. Pembeli wajibmenentukan salah satu pilihan dari opsi yang ditawarkan” (Usmani,1998, hal.13-14).

Yang diperbolehkan dalam jual beli kredit adalah adanya penambahannilai harga, bukan suku bunga (interest). Jika penambahan nilai harga jual hanyadisebabkan karena keterlambatan dalam melakukan pembayaran, maka jelas hal

Page 167: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 167/199

www.belajarsyariahyuk.com

ini merupakan riba. Misalnya, seorang penjual berkata, “Aku jual barang  inisecara kontan seharga 10 real, jika dalam jangka waktu sebulan tidak mampu

bayar, maka engkau harus membayar 12 real”. Tidak diragukan lagi, inimerupakan transaksi ribawi, tambahan nilai harga merupakan nilai riba.

Dalam jual beli kredit, ketika pembeli telah menentukan pilihan atas opsiharga yang ditawarkan, maka harga itu berlaku secara mutlak, tidak bisaberubah. Baik pembeli mampu melunasi tepat waktu, atau pun terjadipenundaan. Misalnya, jika pembeli sepakat dengan harga 12 real dalam jangkawaktu dua bulan, namun akhirnya ia mampu melunasi dalam jangka waktu tigabulan, maka ia tetap membayar 12 real.

Berbeda dengan transaksi ribawi, jika kesepakatan pembayaran dalam jangka waktu satu bulan sebesar 10 real, kemudian ditunda menjadi dua bulan,

maka pembayaran menjadi 12 real, tiga bulan menjadi 14 real, dan seterusnya.Maka hal ini merupakan riba, dan diharamkan secara syara‟ (Usmani,1998, hal.14-15).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 168: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 168/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 27 Kartu Kredit SyariahTujuan:

PengertianKartu plastik adalah kartu yang diterbitkan oleh bank atau otoritas

keuangan tertentu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksibarang atau jasa atau menjamin keabsahan cek yang dikeluarkan di sampinguntuk melakukan penarikan tunai. Berdasarkan fungsinya, kartu plastik dapat

digolongkan sebagai berikut; 

Credit CardCredit card/ kartu kredit adalah jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alatpembayaran transaksi jual beli barang atau jasa, dimana pelunasan ataupembayarannya kembali dapat dilakukan sekaligus atau dengan cara mencicilsejumlah minimum tertentu. Jumlah cicilan tersebut dihitung dari nilai saldotagihan ditambah bunga bulanan. Tagihan pada bulan lalu termasuk bunga(retail interest) merupakan pokok pinjaman pada bulan berikutnya.Misalnya, tagihan bulan lalu sebesar Rp.1.000.000, dengan pembayaranminimum 10% dari total tagihan, maka card holder   harus membayar cicilanminimum Rp.100.000,. Apabila card holder melakukan transaksi melampaui

limit kredit, maka pembayaran minimum adalah sejumlah kelebihan dari limitkredit ditambah 10% dari total limit kredit. Jika card holder   melakukanketerlambatan dalam pembayaran, akan dikenai denda keterlambatan atau late

charge. Kartu kredit juga bisa digunakan untuk melakukan penarikan tunaimelalui teller atau ATM yang tertera logo atau nama kartu yang dimiliki, baik didalam atau luar negeri. Kartu kredit yang umum digunakan dalam transaksi iniadalah Visa dan Master Card.

  Charge CardCharge card adalah kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran suatutransaksi jual beli barang atau jasa di mana nasabah harus membayar kembali

Page 169: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 169/199

www.belajarsyariahyuk.com

seluruh tagihan secara penuh pada akhir bulan atau bulan berikutnya denganatau tanpa biaya tambahan.

 

Debit CardDebit card  merupakan kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaransuatu transaksi jual beli barang atau jasa dengan cara men-debit (mengurangi)secara langsung saldo rekening simpanan pemegang kartu yang bersangkutan,dan dalam waktu yang sama meng-kredit rekening penjual (merchant) sebesarnilai transaksi.

Pihak-Pihak yang Terkait dengan Kartu KreditSebelum menjelaskan mekanisme transaksi kartu kredit, akan disebutkan

pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan dan penggunaan kartu kredit. Pihakdimaksud adalah sebagai berikut; (i) penerbit/issuer   merupakan pihak atau

lembaga yang mengeluarkan dan mengelola suatu kartu. Penerbit dapat berupabank, lembaga keuangan dan perusahaan non-lembaga keuangan yangmendapatkan izin dari Departemen Keuangan. (ii) acquirer  adalah lembaga yangmengelola penggunaan kartu plastik terutama dalam hal penagihan danpembayaran antara pihak issuer  dengan pihak merchant.

(iii) card holder /pemegang kartu adalah terdiri atas perseorangan yangtelah memenuhi prosedur atau persyaratan yang ditetapkan oleh penerbit untukdapat diterima sebagai anggota dan berhak menggunakan kartu sesuai dengankegunaannya. Persyaratan pokok adalah jumlah minimum penghasilan pertahunnya. Pemegang kartu bertanggungjawab atas risiko-risiko atau kewajibanyang ditimbulkan dari penggunaan kartu. (iv) merchant  adalah pihak yang

menerima pembayaran dengan kartu atas transaksi jual beli barang atau jasa. Merchant dapat berupa pedagang, toko, hotel, restoran, travel biro dan lainnya.Sebelumnya telah melakukan perjanjian dengan issuer  dan atau acquirer .

Mekanisme Transaksi Kartu KreditPemegang kartu mengajukan permohonan untuk menjadi anggota

dengan memenuhi beberapa persyaratan, terutama terkait dengan penghasilanminimum. Kemudian pemegang kartu diharuskan membayar uang pangkal daniuran tahunan yang besarnya bergantung pada jenis kartu. Platinum cad tentunyalebih mahal dari gold card ataupun regular/classic card, begitu juga dengan fasilitaslayanan dan limit kredit yang diberikan.

Selanjutnya, pemegang kartu dapat menggunakan kartunya setiapmelakukan transaksi kepada semua merchant yang menerima merek kartu yangdimiliki.  Merchant  yang bisa menerima merek-merek tertentu dapat diketahuidengan memperhatikan logo atau gambar yang biasanya ditempel di kasir.

 Merchant biasanya mengenakan charge (antara 2-3% atau lebih) yang dibebankankepada pemegang kartu yang ditambahkan ke jumlah nilai transaksi.

 Merchant kemudian melakukan penagihan seluruh transaksi jual beliyang dibayar dengan menggunakan kartu kredit kepada pihak issuer . Apabilasemua slip penjualan (voucher ) dianggap sah dan telah memenuhi ketentuansesuai dengan yang disepakati dengan merchant, issuer  akan membayar seluruh

Page 170: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 170/199

www.belajarsyariahyuk.com

tagihan yang diajukan merchant setelah dikurangi dengan diskon yang besarnyatelah disepakati (3-5%). Misalnya, pemegang kartu melakukan transaksi dengan

nilai Rp.1.000.000, apabila issuer meminta diskon 5%, maka total tagihan yangdibayarkan kepada merchant Rp.950.000,.

Selanjutnya, apabila kartu yang digunakan adalah charge card, makapemegang kartu harus membayar lunas seluruh tagihan pada saat jatuh tempo. Jika menggunakan kartu kredit, bisa dibayar lunas atau membayar sejumlahminimum tertentu dari total tagihan dan bunga. Penarikan uang tunai biasanyadikenakan bunga. Mekanisme ini tidak melibatkan pihak acquirer,  atau issuersekaligus menjadi acquirer   (gambar A). Jika melibatkan pihak acquirer   untukmelakukan penagihan dan pembayaran, maka acquirer  akan membayar kepadamerchant setelah diskon sebesar Rp.950.000, kemudian acquirer  akan mengklaimkepada issuer   dengan memperoleh interchange fee  (3%), sehingga reimbursement

oleh issuer   adalah Rp.980.000, dan issuer   akan melakukan tagihan kepada cardholder  sebesar Rp.1.000.000,.

Akad-Akad dalam Mekanisme Transaksi Kartu Kredit 

Hubungan Antara Issuer  dengan Card Holder  Issuer   berkewajiban untuk membayar semua nilai transaksi yang

dilakukan card holder  dengan merchant, issuer  merupakan kafil (penanggung) bagicard holder   di hadapan merchant. Hubungan kontrak antara issuer   dengan cardholder   adalah hubungan pertanggungan (kafalah), menanggung sesuatu yangbelum wajib menjadi pertanggungan (dhaman maa lam yajib/ pen-jaminanterhadap hutang yang akan menjadi kewajiban), konsep ini sudah dikenal baik

oleh mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah dan diakuikeabsahannya42.

Dalam kitab  Al Fatawa al Hindiyah  (3/256) dituliskan, “ Jika seseorangberkata kepada orang lain, apa yang kamu jual terhadap fulan, maka akan menjaditanggunganku, dan akad ini diperbolehkan, karena ia menghubungkan pertanggungan(kafalah) dengan sebab adanya kewajiban, yakni jual beli. Kafalah yang disandarkandengan waktu di masa mendatang, diperbolehkan”43. Dalam kitab al Mabsuth dituliskan, “Ketika seseorang berkata kepada orang lain, layanilah si fulan dalam jualbeli, apa yang kamu jual kepadanya menjadi tanggunganku, ini diperbolehkan danshahih, adanya jahalah atas makful bih tidak mencegah keabsahan pertanggungan(kafalah), karena pertanggungan itu akan diketahui setelah transaksi jual beli dilakukan,

dan tidak akan menimbulkan pertentangan (perselisihan) yang bisa membatalkanakad”44.

 

Hubungan Antara Card Holder dengan MerchantKontrak yang terjadi antara card holder  dengan merchant bisa berupa akad

 jual beli atau ijarah (sewa). Jika merchant menjual barang kepada card holder , maka

42 Lihat Al Takyif al Syar’I li Bithaqah al I’timan, Nawaf Batubara, hal. 1143-14643  Hasyiyah al Syalbi ‘ala Tabyin al Haqaiq: 4/152, Mujma’ al Anhar wa al Dur al Muntaqa: 2/130, Syarh

 Muntaha al Iradat : 2/248 lihat juga Hammad, 2001, hal. 14444  Al Mabsuth karya Al Sarakhsi: 20/50 lihat juga Hammad, 2001, hal. 145

Page 171: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 171/199

www.belajarsyariahyuk.com

akadnya adalah al bai‟  (jual beli), namun jika yang ditawarkan merchant  berupa jasa, maka akadnya adalah ijarah. Untuk kedua akad ini merchant  berhak

mendapatkan upah atau pembayaran langsung dari issuer yang menanggungseluruh transaksi yang dilakukan card holder .

  Hubungan Antara Issuer  dan Merchant  Setelah melakukan kontrak penerbitan kartu dengan card holder, issuer  

berkewajiban untuk membayar seluruh transaksi finansial yang menggunakankartu, dan ini merupakan hakikat atas konsepsi al kafalah bi al maal. Ketika cardholder  menggunakan kartu untuk bertransaksi dengan merchant, maka merchantyakin bahwa pihak issuer akan menjadi kafil  dan membayar seluruh nilaitransaksi yang dilakukan card holder .

Mekanisme ini tidak merubah hakikat hubungan pertanggungan dalam

konsepsi al kafalah (card holder  sebagai makful, merchant sebagai makful lahu, issuer  sebagai kafil). Dalam hal ini, card holder   bebas dari tuntutan hutang pihakmerchant hanya dengan menggunakan kartu kredit. Dan selanjutnya, tanggunganhutang tersebut akan berpindah kepada issuer   sebagai kafil, merchant  tidak bisasecara langsung menagih kepada card holder . Ini merupakan konsepsi al kafalah yang dinyatakan oleh al Hasan, Ibnu Sirin dan Ibnu Hazm45. Berdasarkangambaran hubungan dalam melaknisme kartu kredit, menurut Dr NazihHammad, akad yang relevan dengan penggunaan kartu kredit adalah konsepsial kafalah.

 Membership Fee dan Revolving Card Fee 

Dalam penerbitan kartu kredit, issuer  biasanya mengharuskan card holder  untuk membayar membership fee  ataupun revolving card fee  jika inginmemperbaharui keanggotaannya ketika telah selesai masa validitas kartu kredit,atau biaya ganti kartu baru karena kehilangan, rusak atau kecurian. Fee ataubiaya ini merupakan kompensasi layanan pihak bank terkait dengan kartukredit. Fee tersebut merupakan ganti rugi atas biaya administratif, servicekaryawan, persiapan pembuatan kartu, biaya komunikasi dan kerjasama denganpihak-pihak terkait atau layanan lainnya.

Menurut Dr Nazih Hammad46, dari sisi hukum syara‟, fee atau biaya yangdiwajibkan issuer   atas card holder , bukanlah merupakan sesuatu yang dilarang.Fee atau biaya ini merupakan kompensasi atas layanan tertentu yang telah

diberikan issuer   kepada card holder . Fee  ini identik dengan ujrah atas ijarah ala‟maal  (sewa jasa) yang dilakukan oleh issuer . Menurut ketentuan fatwa dariSeminar al Barakah ke-12, issuer   diperbolehkan meminta card holder   untukmembayarkan membership fee, revolving card fee  atau biaya penggantian kartuyang hilang atau rusak, dengan catatan, biaya tersebut sebanding dengan jasa

45 lihat dalam al Muhalla Ibnu Hazm: 8/113, Fath al Qadir Ibnu Humam: 6/284, al Mughni Ibnu Qudamah:

7/84, lihat juga Hammad, 2001, hal. 14646 Hammad, 2001, hal. 151

Page 172: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 172/199

www.belajarsyariahyuk.com

yang diberikan oleh issuer . Biaya ini juga bisa beragam sejalan dengan layanandan keistimewaan yang diberikan.

Masa Berlaku Kartu Kredit dan Credit Line 

Kartu kredit biasanya memiliki validitas, masa berlakunya bisa satu ataudua tahun. Jika expired date-nya telah berlalu, maka kartu tidak bisa digunakan jika tidak diperbaharui. Begitu juga, kartu kredit tidak bisa digunakan dalamtransaksi yang nilainya melebihi limit kredit (credit line) yang diberikan issuer  pada masing-masing jenis kartu. Artinya, issuer   tidak akan membayar nilaitransaksi yang melebihi credit line.

Adanya pembatasan dalam kedua hal tersebut merupakan persoalanyang telah dikenal dalam fiqh Islam. Di antara ulama yang mengakui keabsahanini adalah Al Sarakhsi dalam pernyataannya: “Ketika seseorang berkata kepada

orang lain, layanilah fulan dalam jual beli, apa yang engkau jual kepadanya akanmenjadi tanggunganku, hal ini diperbolehkan, baik hal itu dibatasi dengantenggang waktu atau tidak,…. Dan jika ia berkata: “Layanilah fulan dalamtransaksi jual beli dengan batasan 1000 dirham (credit line), dan apa yang engkau jual dalam batasan itu menjadi tanggunganku,… dan kafil tidak berkewajibanuntuk membayar kelebihan dari credit line”47.

Permintaan Diskon oleh Issuer  kepada MerchantDalam penerbitan kartu kredit, issuer   biasanya membuat kesepakatan

dengan merchant untuk meminta diskon pembayaran atas nilai transaksi dalamvoucher  yang dilakukan oleh card holder . Nilai diskon itu berkisar antara 2-5% dari

total nilai transaksi. Ketika voucher   itu diajukan merchant, issuer/acquirer   harusmembayar nilai tagihan dikurangi dengan diskon yang disepakati, kemudianissuer   menagih kepada card holder   sejumlah nilai transaksi yang tertera dalamvoucher , bukan senilai yang dibayarkan kepada merchant.

Permintaan diskon oleh issuer kepada merchant  merupakan persoalanyang diperbolehkan oleh syara‟, dimana hukum ini bisa disandarkan kepadapendapat Hanafiyah. Seorang kafil  (issuer ) bisa membuat kesepakatan denganmakful lahu  (merchant) terkait dengan pembayaran nilai tanggungan, bisa lebihatau kurang dari total nilai. Akan tetapi, kafil  (issuer ) berhak untuk menagihkepada makful bihi (card holder ) sebesar nilai tanggungan, bukan sebesar nilaitransaksi yang dibayarkan kepada merchant48. Menurut Hanabalah, ketika

merchant memberikan keringanan (diskon) kepada issuer , maka diskon tersebutakan menjadi milik issuer , dan ia berhak untuk menagih card holder  senilai jumlahtransaksi yang dilakukan. Menurut  Al Fatawa al Hindiyah  (3/266), “Ketika kafil

melakukan pembayaran atas tagihan makful lahu, maka ia berhak untuk menagih

47  Al Mabsuth: 20/50-5148 Dasar pemikiran ini berasal dari Al Kasani dalam  Bada’I al Shana’i: 6/13 “ Jika makful lahu memberikan

 sejumlah nilai harta kepada kafil, maka pemberian itu sama dengan pembayaran dan kafil berhak untuk

menagih senilai transaksi yang dilakukan oleh makful bihi”, lihat juga  Radd al Mukhtar : 4/272,  Fath alQadir : 6/305, lihat juga Hammad, 2001, hal. 153

Page 173: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 173/199

www.belajarsyariahyuk.com

kepada makful bihi  sejumlah nilai tanggungan, bukan sejumlah nilai yangdibayarkan kepada makful lahu”. 

Imam Al Sarakhsi menuliskan, “ketika seseorang (card holder ) memintatanggungan kepada orang lain (issuer ) senilai 1000 dirham dan orang itu (issuer )memberikan kesanggupan, kemudian ia membuat kesepakatan dengan makful

lahu  (merchant) untuk memberikan diskon 100 dirham, maka ia tetap berhakuntuk melakukan penagihan kepada makful bihi  (card holder ) senilai 1000dirham… pemberian hibah itu merupakan bentuk kepemilikan”49.

Late ChargeDalam penerbitan charge card, terdapat kesepakatan bahwa card holder  

berkewajiban untuk membayar denda (late charge) jika ia terlambat melakukanpembayaran senilai jumlah transaksi yang tertera dalam voucher . Late charge  ini

identik dengan makna riba al nasi‟ah yang dilarang syara‟. Hukum asalnya adalahharam dan batal karena adanya syarat bunga (late charge) atas keterlambatanpembayaran. Pernyataan ini diperkuat dengan keputusan seminar fiqh yangdiselenggarakan di Bahrain (November 1998): dalam penerbitan charge card, cardholder  tidak dipersyaratkan untuk memiliki rekening di bank bersangkutan, akantetapi ia berkewajiban untuk membayar sejumlah nilai transaksi yang terteradalam voucher   dalam batas waktu yang diberikan. Jika ia melakukanketerlambatan pembayaran, maka validitas kartu tidak diakui, dan masakeanggotaannya akan berakhir. Hukum penerbitan kartu ini diperbolehkan,dengan syarat tidak adanya bunga (late charge) atas keterlambatan pembayaran.Berdasarkan hasil seminar Al Barakah ke-12, ulama kontemporer

memperbolehkan adanya syarat late charge  ketika card holder   terlambat dalammelakukan pembayaran sebagai kompensasi atas kedzaliman yang dilakukan(keterlambatan pembayaran), namun demikian late charge  tidak boleh dimilikioleh issuer , akan tetapi diakui sebagai dana sosial50.

Dalam mekanisme kartu kredit, jika card holder   terlambat dalammelakukan pembayaran dalam batas waktu yang ditentukan, maka ia memilikidua opsi; membayar lunas sejumlah nilai transaksi atau membayar jumlahminimum dengan dikenakan denda berupa bunga keterlambatan. Secara asal inimerupakan syarat ribawi yang batil dan dilarang oleh syara‟, tidak bolehdigunakan karena ia menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Jika seorangnasabah dalam kondisi darurat dan sangat membutuhkan kartu kredit (taraf

internasional, Visa atau Master Card) maka ia diperbolehkan untukmenggunakannya, dengan catatan tetap berhati-hati dan tidak mematuhi syaratyang ditentukan (bunga keterlambatan, sebisa mungkin dibayar lunas sehinggatidak bersinggungan dengan bunga keterlambatan)51.

49  Al Mabsuth: 20/59, 12/146 lihat juga Hammad, 2001, hal. 15450 Hammad, 2001, hal. 155-15651 lihat Al Takyif al Syar’I li Bithaqah al I’timan, Nawaf Batubara, hal. 173, 83, lihat juga Hammad, 2001,hal. 156-157

Page 174: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 174/199

www.belajarsyariahyuk.com

Syarat Pembukaan Rekening pada Issuer Bank 

Issuer biasanya mensyaratkan kepada card holder   untuk membukarekening pada bank bersangkutan dengan menyimpan nominal tertentu, sebagaifaktor penguat dalam penggunaan kartu kredit. Persyaratan ini bukanlahsesuatu yang dilarang, mekanisme ini bisa dianalogkan dengan konsepsi rahn.Segala sesuatu yang bisa digunakan untuk melakukan pembayaran (barang,uang), bisa digadaikan (rahn)52. Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah,diperbolehkan menggadaikan sesuatu (marhun bihi) atas tanggungan (hutang)yang belum direalisasikan (akan datang kemudian) seperti halnya konsepsidhamanah (kafalah) atas sesuatu yang akan terjadi di waktu mendatang53.

Diskon dan Penambahan Harga Beli bagi Card Holder  

Dalam melakukan transaksi dengan menggunakan kartu kredit, cardholder  biasanya mendapatkan diskon dari merchant, ini merupakan inisiatif darimerchant dan tidak ada hubungan dengan issuer. Hal ini bertujuan untuk menarikminat card holder  dan sebagai promosi. Diskon ini merupakan strategi merchantuntuk menurunkan harga dan menarik minat pembeli, dan hal ini tidakbertentangan dengan syara‟.  Merchant berhak untuk menentukan hargaberdasarkan kesepakatan dengan card holder 54. Jika merchant menambahkan hargabeli karena ada fasilitas tertentu, atau adanya perbedaan antara harga tunaidengan harga kredit (tempo), maka tidak bertentangan dengan syara‟. Card holder  memiliki dua opsi (khiyar); membayar cash dengan harga tunai, atau membayardengan kartu kredit dengan harga kredit (tempo). Apa-pun yang menjadi pilihan

card holder  mencerminkan kesepakatan dan kerelaan yang merupakan asas sah-nya transaksi jual beli.

Bonus dan HadiahTerkadang, issuer  memberikan hadiah ataupun bonus kepada card holder  

karena sebab-sebab tertentu, mungkin karena loyalitas yang diberikan, mampumenarik nasabah baru, atau ketaatan pembayaran (credit rating). Pemberianbonus dan hadiah ini bukanlah sesuatu yang dilarang, jika memang diniatkansebagai promosi, ucapan terimakasih, atau mendorong penggunaan kartu kredit,bukan merupakan persyaratan yang mutlak dan mengikat55.

Asuransi dalam Kartu Kredit Jika kita membeli tiket perjalanan dengan menggunakan kartu kredit,

biasanya akan mendapatkan asuransi atas risiko kecelakaan atau kematiansenilai 100.000 dolar. Secara asal, hokum asuransi ini tidak diperbolehkan karenamerupakan ta‟min tijari (commercial insurance) yang pada hakikatnya merupakan

52 Lihat Syarh Muntaha al Iradat : 2/229, lihat juga Hammad, 2001, hal. 15753  Al Mughni Ibnu Qudamah: 6/445, lihat juga Hammad, 2001, hal. 15754 Dr Rafiq al Mishri, Bithaqah al I’timan dalam majalah Mujma’ al Fiqh al Islami, edisi ke-7: 1/410, lihat

 juga Hammad, 2001, hal. 15855 Hammad, 2001, hal. 159

Page 175: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 175/199

www.belajarsyariahyuk.com

pertukaran harta (uang) dengan risiko kecelakaan atau kematian yang belum jelasdi waktu mendatang. Transaksi ini mengandung gharar  yang besar, sehingga

tidak diperbolehkan. Akan tetapi, jaminan asuransi perjalanan ini merupakanfaktor derivasi dari kesepakatan penerbitan kartu kredit (kontrak asuransibukanlah merupakan akad indenpenden, tapi merupakan pelengkap bagipenerbitan kartu kredit). Ketetapan fiqh menyatakan,  gharar yang ada dalampertukaran harta (mu‟awadlah maaliyah) dimaklumi jika gharar itu muncul sebagaiturunan (faktor yang mengikuti) adanya akad56.

Membeli Perhiasan (emas dan perak) dengan Kartu KreditUlama mensyaratkan bahwa jika kita membeli emas dengan uang, maka

harus kita lakukan secara spot (serah terima keduanya dilakukan secara kontan).Dengan demikian, jika kita membeli perhiasan dengan menggunakan kartu

kredit, maka telah memenuhi persyaratan itu. Ketika kita menyerahkan kartukepada merchant, maka di saat itu telah terjadi serah terima secara hukmi(taqabuth hukmi), dengan demikian jual beli dilakukan secara spot dalam majlis,dan akad jual beli menjadi sah57.

Penarikan Tunai dengan Kartu Kredit

Penarikan tunai dengan kartu kredit, ibaratnya issuer memberikanpinjaman kepada card holder . Jika card holder   memiliki simpanan dalamrekeningnya, maka penarikan tunai diperbolehkan. Issuer  juga berhakmendapatkan fee atas layanan dan biaya administrasi yang ditanggungnya. Jikacard holder  tidak memiliki simpanan dalam rekeningnya, maka transaksi ini juga

diperbolehkan. Ketentuan ini senada dengan fatwa seminar Al Barakah ke-12:“Tidak ada larangan dalam syara‟ untuk melakukan penarikan tunai denganmenggunakan kartu kredit, baik card holder  memiliki simpanan atau tidak dalamrekeningnya, dan issuer   tidak diperbolehkan untuk membebankan bunga ataspinjaman/penarikan tunai tersebut. Jika issuer   mensyaratkan bunga ataspenarikan tunai tersebut, maka itu merupakan riba al qard. Akan tetapi, issuer  diperbolehkan menarik  fee sebatas jasa layanan dan biaya administrasi yangdikeluarkan. Selain itu, besarnya  fee ini juga tidak bergantung pada nilaipinjaman ataupun batas waktu pembayaran, akan tetapi merupakan kompensasiatas service yang telah diberikan58.

Konversi Valas dalam Kartu KreditKetika card holder  melakukan transaksi dengan menggunakan kartu kredit

di luar negeri, maka issuer   berkewajiban melakukan pembayaran denganmenggunakan mata uang Negara bersangkutan, sehingga ia harus melakukankonversi. Kemudian, issuer  akan menagih kepada card holder  sesuai dengan nilaivoucher   yang bernilaikan mata uang asing, sehingga nilai itu harus dikonversi

56 ibid, hal. 15957 ibid, hal. 16058 Hammad, 2001, hal. 122-123

Page 176: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 176/199

www.belajarsyariahyuk.com

dan dibayar dengan mata uang lokal. Transaksi ini diperbolehkan, asalkandilakukan secara spot dan terdapat serah terima dalam majlis (hakiki atau

hukmi), dan ketika transaksi telah selesai dilakukan, tidak terdapat beban atautanggungan pada salah satu pihak. Ketentuan ini berdasarkan hadits yangdiriwayatkan Ibnu Umar: “Saya menjual onta dengan dinar, akan tetapi sayamenerima pembayaran dengan dirham, dan terkadang saya menjual barangdengan harga dirham, dan pembayaran saya terima dengan dinar, kemudiansaya bertanya kepada Rasulullah: “Tidak ada masalah, asalkan ketika kaliantelah berpisah, tidak terdapat beban/ tanggungan di antara kalian”59.

Dalam mekanisme kartu kredit, transaksi antara merchant  (luar negeri)dan issuer   dapat dilakukan secara spot. Akan tetapi, transaksi antara issuer  dengan card holder   tidak bisa spot. Voucher   itu baru bisa ditagih dalam jangkawaktu 2 minggu atau lebih, proses pembayaran tidak bisa spot/ langsung setelah

card holder   melakukan transaksi, namun terdapat delay waktu pembayaran.Delay waktu ini tidak diperbolehkan, karena merupakan riba nasi‟ah. (aturansyara‟ dalam konversi valas, harus spot jika terdapat perbedaan nilai dan jenis, jika tidak spot, maka perbedaan nilai itu merupakan riba nasi‟ah karena ada delaywaktu)60.

Delay waktu itu bisa dimaklumi (diperbolehkan) jika memang terdapatmaslahah dan kebutuhan yang dibenarkan syara‟, mengutip pendapat yangdituliskan Ibnu Qayyim al Jauziyah: “Riba dibagi menjadi 2 bagian, yakni riba

 Jali, yaitu riba al nasi‟ah dan atau riba al duyun, kedua adalah riba khafi, yaitu ribayang dilarang untuk mencegah terjerumus dalam riba jali (saddan li al dzari‟ah). …dalam melakukan transaksi valas (sharf) dan transaksi barang ribawi, penjual dan

pembeli tidak boleh berpisah sebelum terjadi serah terima, agar keduanya bisaterhindar dari riba (saddan li al dzari‟ah)… dan riba yang diharamkan karenasaddan li al dzari‟ah  diperbolehkan ketika terdapat kemaslahatan yang diakuisyara‟”61. Ukuran maslahat dan kebutuhan dalam konteks ini adalah jika ia tidakmemenuhi kebutuhan itu, maka ia akan mendapatkan masyaqqah (kesulitan,beban kehidupan yang dibenarkan syara‟) dalam kehidupannya. 

Pertanyaan dan Latihan:

59 diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa‟I, Hakim, Baihaqi, Daaruquthni, Ibnu Majah dan lainnya,lihat juga Badzl al Majhud : 15/12, ‘Aridh al Ahwadzi: 5/251, lihat juga Hammad, 2001, hal. 16160

 Hamamad, 2001, hal. 16161

 lihat I’lam al Muwaqqi’in, 3/154 lihat juga Hammad, 2001, hal. 162

Page 177: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 177/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 29Franchise And IntellectualPropertyTujuan:

Dewasa ini, terdapat beberapa macam hak yang dapat dinilai sebagaiharta (aset), seperti hak cipta, lisensi atau pun trade mark  ( franchise). Hak ini

terbilang baru, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan, serta kehidupansosial budaya masyarakat. Secara maknawi, hak ini memiliki nilai ekonomis dandapat dikategorikan sebagai kepemilikan secara khusus. Karena, hak inimerupakan buah pemikiran atau intelektual manusia, layaknya buah yangtumbuh dari pohonnya atau tanaman yang tumbuh dari tanah pertanian.

Mayoritas ulama (selain Hanafiyah) telah sepakat bahwa nilai manfaatdapat dikategorikan sebagai harta, karena maksud dari kepemilikan harta bendaadalah manfaatnya. Seperti diketahui, ketika seorang penulis menyerahkankaryanya kepada penerbit, tentunya ia memiliki maksud, yakni menyebarkanilmu serta adanya unsur bisnis yang melingkupinya, yaitu penjualan buku.Setiap cetakan buku yang terjual, penulis memiliki hak materi atasnya. Karena iatelah memberikan manfaat kepada pembaca, karya yang dihasilkan merupakanbuah dari pemikiran yang terkadang lebih bernilai daripada tenaga fisik. Untukitu, penulis memiliki hak cipta dan hak untuk menikmati nilai materi dari hasiloplah penjualan buku.

Begitu juga, ketika seseorang menemukan sebuah program atau teknologibaru yang belum pernah ditemukan sebelumnya, yang lebih dikenal dengan haklisensi. Atau juga trade mark  ( franchise) dalam dunia bisnis, dimana ketika kitamenggunakan trade mark tertentu, dapat menarik pelanggan dengan sendirinya.Menurut Utsmani, hak cipta, lisensi atau trade mark dapat dikategorikan sebagai

Page 178: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 178/199

www.belajarsyariahyuk.com

harta yang dapat diperjualbelikan. Dengan catatan, ia telah terdaftar secara resmidalam perundang-undangan pemerintahan, dimana hal ini memerlukan upaya

dan biaya, sehingga layak untuk dijadikan sebagai aset. Kedua, tidak adanyaunsur penipuan, artinya, karya yang ada memang orisinil dan belum pernahditemukan orang lain, sehingga ketika digunakan akan mendatangkan nilaitersendiri (Utsmani, 1998, hal. 120).

Wahbah Zuhaili menambahkan, hukum-hukum fiqh yang terdapatdalam beberapa madzhab menunjukkan bahwa manfaat hak yang dapatdinikmati secara maknawi, layaknya seperti benda dan dapat dianggap sebagaiharta kekayaan (aset). Aset tersebut dapat diakui sebagai sebuah kepemilikan,yang haram untuk melakukan pembajakan, pencurian atau perusakan (Zuhaili,2000, hal. 583).

Untuk sebuah karya, seorang penulis memiliki hak cipta serta hak materiyang melekat di dalamnya. Jika karya tersebut diterbitkan dan mendatangkankeuntungan materi, penulis berhak atasnya. Karena, karya tersebut layaknyasebuah harta bagi penulis. Hak cipta ini mutlak milik penulis, dan tidak bisaditukar, yang bisa diperjualbelikan adalah oplah cetakan buku yang dilakukanoleh penerbit. Penerbit hanya memiliki hak penerbitan dan penjualan karya,sementara hak cipta masih melekat pada penulis. Dalam melakukan penerbitan,penerbit harus melakukan perjanjian dengan penulis, berapa oplah yang akanditerbitkan, serta berapa bagian untuk masing-masing. Jika penulis telahmeninggal, hak ciptanya dapat diwariskan kepada ahli warisnya.

Dalam dunia teknologi, lazim dikenal sebuah istilah lisensi. Lisensi akan

diberikan kepada seseorang ketika berhasil menemukan sebuah teknologi baruyang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai penemu, ia memiliki hak lisensi,dalam arti, penemuan tersebut tidak bisa sembarangan digunakan orang lain,harus dengan izin. Penemu berhak atas nilai materi atas hak tersebut, ketikadigunakan orang lain. Contohnya adalah software Microsoft, kita tidak bisamenggunakan software  tersebut tanpa mendapatkan lisensi dari  Microsoft Corp.dan sejenisnya. Hak ini layaknya harta dan berlaku semua hukum yangmelingkupinya.

Begitu juga dengan trade mark  ( franchise), ketika kita menjalankan bisnisdengan cara  franchise atau menggunakan trade mark produk tertentu, maka kita

tidak akan susah untuk mendapatkan pelanggan. Karena,  franchise  yangdigunakan sudah dikenal baik oleh pelanggan, sehingga kita tidak perlu banyakpromosi untuk mengenalkan produk. Pemilik trade mark  telah melakukanberbagai upaya, sehingga produk mereka dikenal dengan baik oleh masyarakat.Atas usahanya ini, pemilik memiliki hak atas nama produk dan layak dianggapsebagai aset, sehingga berlaku hukum yang melingkupinya.

Intinya, setiap upaya yang dapat mendatangkan manfaat dan maslahah,serta diiringi dengan usaha dan biaya, layak mendapatkan kompensasi materi,dan tidak bisa digunakan secara bebas. Harus dengan seizin pemiliknya, karena

Page 179: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 179/199

www.belajarsyariahyuk.com

ia telah mencurahkan tenaga, pikiran bahkan biaya untuk mendapatkannya(Zuhaili, 2002, hal. 584-588).

Pertanyaan dan Latihan

Page 180: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 180/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 30Letter of Credit

Sudah menjadi suatu keniscayaan, bahwa tidak ada satu negara pun yangdapat memenuhi kebutuhannya hanya dengan mengandalkan barang-barangyang diproduksi dari dalam negeri saja. Oleh karena itu adanya suatumekanisme jual beli barang antar negara adalah kebutuhan yang tidak dapatdihindari.

Permasalahannya adalah bagaimana menyelesaikan kondisi ini, dimanaantara penjual dan pembeli dibatasi oleh jarak yang sangat jauh, sehinggatransaksi dengan cara tunai jelas sangat sulit dilakukan. Pembeli akan merasakhawatir jika ia membayar atau mengirimkan uang terlebih dahulu sebelumbarang tersebut sampai ditangannya. Sebaliknya penjual juga tidak bersediauntuk melepas barangnya sebelum ada kepastian pembayan dari pembeli. Intipersoalannya adalah adanya kekhawatiran dari kedua belah pihak terhadaprisiko kerugian apabila salah satu ada yang tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, bank dapat bertindak sebagai pihakketiga yang memberikan jasa intermediasi dengan menjamin pembayaran pihakimportir kepada pihak eksportir.

Pengertian

Letter of Credit atau yang biasa disebut dengan L/C adalah suatu fasilitasatau jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabah dalam rangkamempermudah dan memperlancar transaksi jual beli barang terutama yangberkaitan dengan ekspor impor. Jika bank menerbitkan L/C kepada nasabah,berarti bank menjamin akan membayar sejumlah tertentu kepada pihak lain ataspermintaan nasabah tersebut.

Contoh mekanisme L/C untuk suatu transaksi perdaganganinternasional dapat diawali dengan penandatanganan kontrak jual beli barangantara importir (Indonesia) dengan eksportir (Arab Saudi). Pihak importirmengajukan permohonan penerbitan L/C kepada bank di Indonesia (issuingbank) disertai dengan setoran jaminan. Kemudian issuing bank memintapembukaan L/C kepada bank di Arab Saudi (advising bank).

Setelah disetujui maka advising bank  memberitahukan kepada pihakeksportir mengenai L/C importir dan adanya jaminan pembayaran. Pihakeksportir mengirim barang sesuai dengan pesanan kepada importir danmengirimkan dokumen-dokumen ekspor tersebut kepada advising bank  untuk

Page 181: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 181/199

www.belajarsyariahyuk.com

diverifikasi dan dilakukan pemerikasaan. Setelah itu advising bank  mengirimdokumen-dokumen tersebut kepada issuing bank  serta meminta pembayaran

L/C. Selanjutnya issuing bank  memberitahukan kedatangan dokumen tersebutkepada importir dan permintaan pelunasan L/C.

Dewan Syariah Nasional menetapkan bahwa letter of credit impor syariahadalah surat pernyataan akan membayar kepada pihak eksportir yangditerbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhanpersyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah. L/C impor syariah, dalampelaksanaannya menggunakan akad-akad; wakalah bil ujrah, qardh, murabahah,salam/istishna‟, mudharabah, dan musyarakah.

Akad untuk L/C impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapabentuk;

 Akad wakalah bil ujrah  dengan ketentuan; importir harus memiliki danapada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor. Importir dan bankmelakukan akad wakalah bil ujrah  untuk pengurusan dokumen-dokumentransaksi impor. Besar ujrah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuknominal, bukan dalam bentuk prosentase.

 Akad wakalah bil ujrah  dan qardh  dengan ketentuan; importir tidakmemiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor.Importir dan bank melakukan akad wakalah bil ujrah  untuk pengurusandokumen-dokumen transaksi impor. Besar ujrah  disepakati di awal dandinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Bank

memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasanpembayaran barang impor.

Akad murabahah dengan ketentuan; bank bertindak selaku pembeli yangmewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir.Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumenditerima (at sight) dan atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (usance). Bankmenjual barang secara murabahah kepada importer, baik dengan pembayarantunai atau cicilan. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkansebagai harga perolehan barang.

Akad salam/istishna‟  dan murabahah dengan ketentuan; bank melakukan

akadsalam

 atauistishna‟

 dengan mewakilkan kepada importer untuk melakukantransaksi tersebut. Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank.Bank menjual barang secara murabahah  kepada importer, baik denganpembayaran cicilan atau tunai. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akandiperhitungkan sebagai harga perolehan barang.

Akad wakalah bil ujrah  dan mudharabah  dengan ketentuan; nasabahmelakukan akad wakalah bil ujrah  kepada bank untuk melakukan pengurusandokumen dan pembayaran. Bank dan importer melakukan akad mudharabah,dimana bank bertindak selaku shahibul maal  menyerahkan modal kepadaimporter selaku mudharib sebesar harga barang yang diimpor. Akad musyarakah 

Page 182: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 182/199

www.belajarsyariahyuk.com

dengan ketentuan; bank dan importer melakukan akad musyarakah, dimanakeduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.

Letter of credit  (L/C) ekspor syariah adalah surat pernyataan akanmembayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk memfasilitasiperdagangan ekspor dengan pemenuhan syarat tertentu yang sesuai denganprinsip syariah. L/C ekspor syariah, dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad; wakalah bil ujrah, qardh, mudharabah, musyarakah dan al bai‟.

Akad untuk L/C ekspor yang sesuai dengan syariah dapat berupa;

Akad wakalah bil ujrah  dengan ketentuan; bank melakukan pengurusandokumen-dokumen ekspor. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bankpenerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelahdikurangi ujrah. Besar ujrah  harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam

bentuk nominal, bukan dalam prosentase.

Akad wakalah bil ujrah  dan qardh  dengan ketentuan; bank melakukanpengurusan dokumen-dokumen ekspor. Bank melakukan penagihan (collection)kepada bank penerbit L/C (issuing bank). Bank memberikan dana talangan(qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor. Besar ujrah harusdisepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentukprosentase. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuaikesepakatan dalam akad. Antara akad wakalah bil ujrah  dan qardh  tidak bolehdikaitkan (ta‟alluq).

Akad wakalah bil ujrah  dan mudharabah  dengan ketentuan; bank

memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam prosesproduksi barang ekspor yang dipesan oleh importer. Bank melakukanpengurusan dokumen-dokumen ekspor, bank melakukan penagihan (collection)kepada bank penerbit L/C (issuing bank). Pembayaran oleh bank penerbit L/Cdapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau saat jatuh tempo.Pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk pembayaran ujrah,pengembalian dana mudharabah  dan pembayaran bagi hasil. Besar ujrah  harusdisepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentukprosentase.

Akad musyarakah dengan ketentuan; bank memberikan kepada eksportir

sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yangdipesan importer. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor,bank melakukan penagihan kepada bank penerbit. Pembayaran oleh bankpenerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau saat jatuhtempo. Pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untukpengembalian dana musyarakah dan bagi hasil.

Akad al bai‟  (jual beli) dan wakalah dengan ketentuan; bank membelibarang dari eksportir. Bank menjual barang kepada importer yang diwakilieksportir. Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada

Page 183: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 183/199

www.belajarsyariahyuk.com

importer. Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saatdokumen diterima atau saat jatuh tempo (DSN-MUI, 2006, hal. 204-226).

Pertanyaan dan Latihan

Page 184: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 184/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 31 Jual Beli Batil dan Fasid

Tujuan:

Akad dilihat dari sifat yang diberikan syara‟ atas kelengkapan rukunnya, terbagimenjadi akad shahih  dan  ghair shahih, menurut pandangan mayoritas ulama.Akad shahih adalah akad yang rukun dan syaratnya terpenuhi dengan sempurna,

sedangkan akad ghair shahih sebaliknya dan biasa disebut dengan akad batil atau fasid (interchangeable).

Menurut Hanafiyah, akad jual beli terbagi menjadi shahih, fasid dan batil.Akad shahih  adalah akad yang disyariatkan secara asalnya (rukun terpenuhisecara sempurna) atau pun sifatnya (syarat yang melekat dalam akad terpenuhi)dan tidak berhubungan dengan hak orang lain serta tidak ada khiyar   didalamnya. Akad ini mempunyai implikasi hukum, yakni pindahnya kepemilikanbarang dan adanya penyerahan harga.

Akad batil  adalah akad yang salah satu rukunnya tidak terpenuhi.Artinya, penjual bukan merupakan orang yang berkompeten (tidak memiliki

ahliyah atau wilayah), atau obyek akad tidak bisa diserahterimakan, seperti akad jual beli yang dilakukan orang gila atau jual beli narkoba.

Akad  fasid  adalah akad yang secara asal disyariatkan, tetapi terdapatmasalah atas sifat akad tersebut. Seperti, jual beli majhul  (barang tidakdispesifikasi secara jelas) yang dapat mendatangkan perselisihan, menjual rumahtanpa menentukan rumah mana yang dijual dari beberapa rumah yang dimiliki.Menurut mayoritas ulama, kedua akad ini tidak diakui adanya pemindahankepemilikan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 423-426).

Page 185: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 185/199

www.belajarsyariahyuk.com

 Jual Beli yang Dilarang (Batil)

 Jual beli yang dilarang sangat beragam, akan disebutkan beberapa jenis

 jual beli ini menurut pandangan ulama fiqh. Di antara jual beli yang dilarangadalah sebagai berikut:

1)  Bai‟ al Ma‟dum 

Merupakan bentuk jual beli atas obyek transaksi yang tidak ada ketikakontrak jual beli dilakukan. Ulama madzhab sepakat atas ketidakabsahan akadini. Seperti menjual mutiara yang masih ada di dasar lautan, wol yang masih dipunggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan lainnya. Pelarangan inibersandar pada sabda Rasul: “Nabi melarang jual beli habl al hablah” (HR Bukhari,

Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi dari Ibnu Umar), yakni anak onta yangmasih berada dalam kandungan.

Mayoritas ulama sepakat tidak diperbolehkannya akad ini, karena obyekakad tidak bisa ditentukan secara sempurna. Kadar dan sifatnya tidakteridentifikasi secara jelas serta kemungkinan obyek tersebut tidak bisadiserahterimakan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 427-429).

Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah memperbolehkan bai‟ al ma‟dum, dengancatatan obyek transaksi dapat dipastikan adanya di waktu mendatang karenaadanya unsur kebiasaan („addah). Larangan bai‟ al ma‟dum tidak ditetapkan dalamal Qur‟an, hadits dan kalam sahabat, yang ada hanyalah larangan dalam haditsterkait dengan bai‟ al gharar . Yakni, obyek tidak mampu diserahterimakan, bukanberarti ada atau tidaknya obyek tersebut. Larangan ini bermuara pada adanyaunsur gharar  (ketidakjelasan, uncertainty).

2)  Bai‟ Ma‟juz al Taslim 

Merupakan akad jual beli dimana obyek transaksi tidak bisadiserahterimakan. Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini walau punobyek tersebut merupakan milik penjual. Seperti menjual burung merpati yangkeluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri, dan lainnya. Ulama 4madzhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena obyek transaksi tidak

bisa diserahterimakan dan mengandung unsur gharar (Zuhaili, 1989, IV, hal. 429-431).

3)  Bai‟ Dain (Jual beli hutang) 

Hutang adalah sesuatu yang menjadi kewajiban untuk diserahkan/dikembalikan kepada orang yang berhak menerimanya, seperti uang sebagaiharga beli dalam kontrak jual beli, uang sewa, upah pekerja, pinjaman dari oranglain, dan lainnya. Bai‟ dain  biasanya dilakukan dengan orang yang memilikibeban hutang atau orang lain, baik secara kontan atau tempo.

Page 186: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 186/199

www.belajarsyariahyuk.com

 Jual beli hutang yang dilakukan secara tempo, lazim dikenal dengan bai‟al kali bi al kali atau bai‟ al dain bi al dain. Kontrak ini dilarang oleh syara‟ karena

terdapat larangan dalam hadits, Nabi saw melarang bai‟ al kali bi al kali   (HRDaruquthni dari Ibnu Umar).

Bai‟ al dain  ini biasanya dilakukan dengan orang yang memiliki bebanhutang, seperti pembeli membeli sebuah kendaraan seharga Rp.100.000.000, danpembayaran dilakukan 3 bulan mendatang. Ketika telah jatuh tempo, pembelitidak mampu melakukan pembayaran. Kemudian penjual yang memilikipiutang (hutang pembeli) tersebut menjualnya kepada pembeli dengan nilaiRp.125.000.000, dengan tambahan waktu 2 bulan mendatang, transaksikemudian dilakukan tanpa adanya serahterima.

Transaksi ini identik dengan riba, yakni meminta tambahan waktu

dengan adanya tambahan pembayaran. Atau piutang tersebut dijual kepadaorang lain, seperti Salwa memiliki piutang yang akan jatuh tempo sebulanmendatang, sebelum jatuh tempo, piutang ini kemudian dijual kepada Najwadengan harga lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai piutang, transaksi ini jugaidentik dengan riba (Zuhaili, 1989, IV, hal. 432-434).

 Jual beli hutang secara kontan. Misalnya, Yusuf menjual rumah sehargaRp.125.000.000, kepada Lukman, namun Lukman tidak memiliki uang sebesaritu. Kemudian Yusuf menjual piutang (hutang Lukman) itu kepada Lukmandengan ganti (pembayaran) sebuah mobil kijang Lukman, hal ini dibenarkanoleh ulama madzhab, karena piutang bisa diserahterimakan. Jika Yusuf menjualpiutang itu kepada orang lain (Umar misalnya), maka tidak diperbolehkan

karena terdapat potensi bahwa piutang tidak mampu diserahterimakan (karenadalam kekuasaan Lukman).

4) 

Bai‟ al Gharar 

Secara harafiah,  gharar   bermakna risiko, sesuatu yang berpotensiterhadap kerusakan. Bai‟ al gharar   berarti jual beli barang yang mengandungunsur risiko. Menurut al Sarakhsi (Hanafiyah)  gharar adalah sesuatu yangakibatnya tidak diketahui. Al Maliki mengatakan, sesuatu yang tidak diketahuiapakah bisa dihasilkan atau tidak, Syafiiyah menyatakan, sesuatu yang belum

bisa dipastikan.Bai‟ al gharar   adalah jual beli yang mengandung unsur risiko dan akan

menjadi beban salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial. Gharar  bermakna sesuatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, diantara ada dan tiada,tidak diketahui kualitas dan kuantitasnya atau sesuatu yang tidak bisadiserahterimakan.

Ulama fiqh sepakat atas ketidakabsahan bai‟ al gharar , seperti menjualanak onta yang masih dalam kandungan, ikan di dasar lautan, dan lainnya. Yangtermasuk dalam jual beli  gharar adalah bai‟ al ma‟dum, bai‟ al mulamasah  danlainnya. Jika nilai  gharar   relatif kecil, seperti membeli pisang, apel, jeruk,

Page 187: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 187/199

www.belajarsyariahyuk.com

semangka dengan hanya melihat kulitnya tanpa melihat isinya, menurutMalikiyah dan Hanabalah diperbolehkan secara mutlak, karena sudah menjadi

kebiasaan masyarakat (Zuhaili, 1989, IV, hal. 435-441).

5)  Asuransi

Dalam kehidupan di dunia, manusia selalu dihadapkan pada sejumlahketidakpastian yang bisa menyebabkan kerugian finansial di masa yang akandatang, ketidakpastian dari kerugian finansial ini sering disebut sebagai risiko.Sebagai ikhtiar untuk mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan oleh risikotersebut, manusia membutuhkan persiapan yang biasanya dikaitkan denganfinansial/dana sejak dini. Dalam dunia modern, mekanisme tersebut dikenaldengan istilah asuransi yang mana status hukum maupun cara aktifitasnya perlu

mendapatkan tinjauan dari sudut pandang syariah, tinjauan dari sudut pandangsyariah ini penting agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum dari bentuktransaksi ini.

Menurut Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian:“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, denganmenerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada pihaktertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yangdiharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkinakan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,

atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atauhidupnya seorang yang dipertanggungkan”. 

Dari definisi umum asuransi tersebut, dapat dikatakan bahwa padadasarnya asuransi adalah mekanisme pengalihan risiko (risk transfer ) dari satupihak (peserta asuransi) kepada pihak lain yang diwakili perusahaan asuransi.Sementara akad yang dilakukan adalah akad pertukaran, yaitu pembayaranpremi (oleh peserta) dengan pertanggungan (oleh perusahaan asuransi) ketikaterjadi klaim. Jenis transaksi ini lazim dikenal dengan akad tabaduli (pertukaran,mu‟awadlah) dan mengikat kedua pihak.

Adapun asuransi ta‟awuni adalah sekelompok orang melakukan

kesepakatan untuk menanggung risiko yang diderita oleh anggotanya, dimanamasing-masing memberikan dana secara periodik. Ketika musibah (risiko)datang, akan di-cover  dengan kumpulan dana tersebut ( pool of fund). Dewasa ini,asuransi ini dikenal dengan asuransi syariah.

Islam membolehkan asuransi dengan dasar ta‟awun  dimana ia masukdalam kategori akad tabarru‟  dan saling membantu dalam kebaikan. Setiapanggota membayarkan sejumlah dana dengan dasar kerelaan untukmeringankan beban anggota lain ketika musibah (risiko) menimpanya, baikrisiko kematian (asuransi jiwa), kebakaran, kecelakaan (asuransi umum, Zuhaili,1989, IV, hal. 442).

Page 188: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 188/199

www.belajarsyariahyuk.com

Asuransi dalam pengertian Undang-Undang No.2 tahun 1992 tidakdiperbolehkan sebagaimana difatwakan Ibnu „Abidin. Peserta tidak dibenarkan

mengambil klaim ketika terjadi musibah (risiko) dari perusahaan asuransi,dengan alasan sebagai berikut (Zuhaili, 1989, IV, hal. 443-444):

  Akad ini melazimkan sesuatu yang bersifat tidak mengikat tanpa adanyasebab syar‟I seperti membunuh, membakar, merobohkan dan lainnya.Perusahaan asuransi bukanlah pihak yang melakukan pembakaran,menyebabkan timbulnya musibah, jadi peserta tidak dibenarkanmelakukan klaim terhadap perusahaan

  Mekanisme asuransi ini tidak bisa diidentikkan dengan konsep wadi‟ah,dimana orang yang dititipi berkewajiban mengganti ketika terjadikerusakan. Barang yang diasuransikan tidak berada dalam kepemilikan

perusahaan, jadi tidak sama. Jika barangnya berada pada perusahaan,maka posisi perusahaan sebagai ajir musytarak, dan ia tidak berkewajibanmengganti barang dari sesuatu di luar kemampuannya, sepertikebakaran, kematian, gempa ( force majeur )

  Asuransi tidaklah identik dengan pertanggungan atas risiko yang

diketahui secara baik oleh perusahaan, perusahaan juga tidakmengetahui datangnya risiko. Berbeda dengan risiko yang diketahui olehpeserta dan perusahaan, seperti kemungkinan perampokan, pencurian,maka perusahaan wajib mengganti jika sebelumnya berkenan untukmenanggung.

Mekanisme asuransi konvensional tidak bisa dianalogkan dengan akadmudharabah yang terdiri pihak pemodal dan pelaku bisnis. Dengan sebab;

  Premi yang dibayarkan peserta menjadi milik perusahaan asuransi, danperusahaan memiliki kebebasan penuh untuk mentransaksikannya, danperusahaan akan lebih diuntungkan jika tidak terjadi klaim dari peserta.

  Syarat sah mudharabah terdapat nisbah keuntungan dengan prosentasetertentu, seperti 20% atau 30% dari keuntungan, tidak begitu adanyadalam asuransi (Zuhaili, 1989, IV, hal. 444).

Mekanisme asuransi konvensional merupakan bentuk akad gharar , akad

yang tidak diketahui secara pasti munculnya risiko, total pembayaran premi ataupun klaim dari peserta, kapan dan dimana. Sedangkan Rasulullah telahmelarang praktik bai‟ al gharar . Akad ini merupakan bentuk akad mu‟awadlah maaliyah  (pertukaran), jika terdapat gharar, maka hukumnya dilarang. Potensi

 gharar dalam risiko besar sekali, seperti munculnya risiko yang merupakankomponen dasar dalam kontrak asuransi (Zuhaili, 1989, IV, hal. 445).

6)   Jual Beli Barang Najis

Page 189: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 189/199

www.belajarsyariahyuk.com

Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi, bangkai dan darahtidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai harta secara asal. Tapi,

perniagaan atas anjing, macan, srigala, kucing diperbolehkan. Karena secarahakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan dan berburu, sehingga dapatdigolongkan sebagai harta.

Menjual barang najis dan memanfaatkannya diperbolehkan, asalkantidak untuk dikonsumsi, seperti kulit hewan, minyak dan lainnya. Intinya, setiapbarang yang memiliki nilai manfaat yang dibenarkan syara‟, maka bolehditransaksikan.

Menurut Malikiyah, tidak diperbolehkan menjual anjing, walau pununtuk penjagaan atau pun berburu. Begitu juga menjual barang yang terkenanajis yang tidak mungkin bisa disucikan. Tapi, diperbolehkan menjual kotoran

sapi, onta, domba sebagai pupuk untuk menyuburkan tanaman.Menurut Syafiiyah dan Hanabalah, tidak diperbolehkan menjual babi,

bangkai, darah, minuman keras dan barang najis lainnya, begitu juga seekoranjing, walaupun ia sudah terlatih. Tidak diperbolehkan menjual barang yangtidak ada manfaatnya, seperti hewan melata, macam atau srigala yang tidakcakap untuk berburu.

Ulama Hanafiyah dan Dzahiriyah membolehkan jual beli barang najis jika memang terdapat manfaat di dalamnya, sepanjang tidak ditemukan nashyang melarangnya. Jual beli dilakukan karena adanya nilai manfaat, setiap yangbermanfaat boleh diperdagangkan. Menurut Malikiyah, Syafiiyah dan

Hanabalah, perniagaan barang najis tidak diperbolehkan, setiap barang yangsuci dan diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara syar‟I, maka bolehdiperdagangkan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 446-448).

7) 

Bai‟ „Arbun 

Dalam transaksi jual beli, biasanya dipersyaratkan adanya uang mukayang harus dibayar oleh calon pembeli. Uang muka ini berfungsi sebagai refleksidari kesungguhan calon pembeli dalam transaksi. Terkadang, penjual merasauntuk meminta uang muka tersebut, agar calon pembeli bersungguh-sungguhatas transaksi yang dilakukan. Selain itu juga digunakan sebagai buffer   atas

transaksi yang dilakukan kedua pihak. Uang tersebut dapat dijadikan sebagaiback-up atas kerugian penjual, jika calon pembeli membatalkan transaksi.

Pembayaran uang muka dalam transaksi jual beli, dikenal oleh ulamafiqh dengan istilah bai' 'arbun. Bai' 'arbun  adalah sejumlah uang muka yangdibayarkan pemesan/ calon pembeli yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Bila kemudian pemesan sepakat atas barangpesanannya, maka terbentuklah transaksi jual beli dan uang muka tersebutmerupakan bagian dari harga barang pesanan (aset) yang disepakati. Bilakemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, maka uang mukatersebut akan hangus dan menjadi milik penjual (Zuhaili, IV, hal. 448).

Page 190: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 190/199

www.belajarsyariahyuk.com

Ulama fiqh berbeda pendapat atas keabsahan transaksi ini. Jumhur ulama(kebanyakan) mengatakan bahwa bai' 'arbun merupakan jual beli yang dilarang

dan tidak shahih. Menurut madzhab Hanafiyah, merupakan jual beli yang  fasid(rusak), dan dinggap batil oleh sebagian ulama lainnya. Hal itu dilandasi atashadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa "Sesungguhnya Nabi SAW

melarang bai' 'arbun", kedudukan hadits ini dha'if  (lemah).

Selain itu juga disebabkan bahwa dalam bai' 'arbun terdapat gharar , risikodan memakan harta orang lain tanpa adanya kompensasi. Menurut ImamAhmad bin Hanbal, bai' 'arbun diperbolehkan dengan dalil hadits dari 'Abd alRazzaq dari hadits Zaid bin Aslam berkata, "Suatu ketika Rasulullah SAW ditanyatentang 'arbun dalam jual beli, maka Rasulullah menghalalkannya" kedudukan haditsini lemah (Zuhaili, IV, hal. 449).

Imam Ahmad menyatakan bahwa hadits yang meriwayatkan tentang bai''urbun  kedudukannya adalah lemah. Namun demikian, bai' 'urbun  sudahmenjadi bagian dari transaksi jual beli dalam perdagangan atau pun perniagaandewasa ini. Pembayaran uang muka tersebut dijadikan sebagai buffer   ataskemungkinan kerugian yang diderita oleh penjual, jika transaksi batal dilakukan.Namun, Wahbah Zuhaili membenarkan praktik pembayaran uang muka inidalam transaksi jual beli dengan dalil adanya 'urf , sebagaimana telah dijelaskandi atas (Zuhaili, IV, hal. 450).

8) 

Bai‟ Ajal 

Merupakan bentuk praktik jual beli dimana seorang penjual menjual hp-nya seharga Rp.1.500.000, dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang.Praktis setelah kontrak jual beli selesai, penjual membeli kembali hp tersebutdengan harga Rp.1.250.000, secara cash/ kontan, dan pembeli mendapatkanuang cash tersebut, namun ia tetap berkewajiban membayar Rp.1.500.000, untukwaktu 3 bulan mendatang. Sebagian ulama mengatakan, bai‟ ajal  merupakanrekayasa transaksi ribawi yang dikemas dengan transaksi jual beli (Zuhaili, IV,hal. 466).

Menurut Malikiyah, akad jual beli ini batil jika ditemukan indikasi niatanyang tidak baik (dosa). Dengan alasan, untuk mencegah terjerumus dalam

kerusakan (saddan li al dzari‟ah

). Syafiiyah dan Dzahiriyah menyatakankeabsahan bai‟ ajal karena rukunnya telah lengkap, ada pun niatan yang kurangbaik, hal itu dikembalikan kepada Allah. Menurut Abu Hanifah, secara dzahirakad jual beli ini sah, dengan catatan terdapat seorang muhallil  (pihak ketigayang melakukan pembelian hp dari pembeli pertama, kemudian ia menjualnyakepada penjual pertama).

Page 191: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 191/199

www.belajarsyariahyuk.com

9) 

Bai‟ Inah 

Adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.

Misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga Rp.125.000.000, kepada Najwa secaratempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktupembayaran tiba, Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan hargaRp.100.000.000, secara kontan.

Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayarRp.125.000.000, kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. SelisihRp.25.000.000, dengan adanya perbedaan waktu merupakan tambahan ribawiyang diharamkan. Adapun hukum bai‟ Inah identik dengan bai‟ ajal (Zuhaili, IV,hal. 467-480).

10) 

Bai‟atan fi Bai‟ah 

Rasulullah SAW telah melarang bentuk jual beli bai‟atan fi bai‟ah  dalamsebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari „Amr bin Syu‟aib sertaimam lainnya. Namun, ulama berbeda pendapat dalam memberikan penafsirankonsepsi bai‟atan fi bai‟ah.

Imam Syafii menjelaskan, bai‟atan fi bai‟ah memiliki 2 penafsiran,

 

Seorang penjual berkata; saya menjual barang ini 2000 real secara tempodan 1000 real secara kontan, terserah mau pilih yang mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti dan jual beli

mengikat salah satu pihak, 

Saya akan menjual rumahku, tapi kamu juga harus menjual mobil kamukepadaku. Alasan dilarangnya bentuk transaksi pertama adalah adanyaunsur gharar  karena ketidakjelasan harga, pembeli tidak tahu secara pastiharga dalam akad yang disepakati penjual. Bentuk kedua dilarang karenamengandung unsur eksploitasi terhadap orang lain. Penjualmemanfaatkan kebutuhan pembeli dengan mendapatkan sesuatu yangdiinginkan, dan kemungkinan akan mengurangi nilai keridlaan pembeli.

Menurut Hanafiyah, jual beli ini hukumnya fasid karena tidak adakejelasan harga, apakah dijual secara kontan atau tempo. Jika penjual dan

pembeli menentukan secara pasti harga yang diinginkan (harga kontan,misalnya), maka akad jual beli sah. Menurut Syafiiyah dan Hanabalah, akad jualbeli ini hukumnya batil, karena ini merupakan bentuk jual beli  gharar yangterdapat jahalah di dalamnya, tidak ada kepastian tentang obyek akad. MenurutImam Malik, akad jual beli ini sah dengan catatan pembeli memiliki hak khiyar,misalkan, ia memilih untuk membeli barang tersebut dengan harga cash atausebaliknya (Zuhaili, IV, hal. 471-472).

11)  Bai‟ Hadir lil Bad 

Page 192: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 192/199

www.belajarsyariahyuk.com

Merupakan bentuk jual beli dimana seorang supplier   dari perkotaandatang ke produsen yang tinggal di pedesaan yang tidak mengetahui

perkembangan dan harga pasar. Supplier   akan membeli barang dari produsendengan harga yang relatif murah, dan mereka memanfaatkan ketidaktahuanprodusen. Sehingga nantinya, supplier bisa menjual komoditi dengan harga yangrelatif mahal di perkotaan. Secara simple bisa dikatakan, supplier memanfaatkanketidaktahuan produsen untuk mendapatkan suatu keuntungan.

Menurut ulama, bentuk jual beli ini dilarang untuk menghindariterjadinya tindak eksploitasi, dan menjaga hak-hak orang pedesaan. Selain itu, juga akan meringankan beban pelaku pasar dengan harga yang relatif rendah.Menurut Hanafiyah, larangan ini dikhususkan ketika terjadi inflasi, dimanademand masyarakat terhadap komoditas tersebut tinggi. Syafiiyah danHanabalah melarang jual beli ini dengan alasan adanya motif mencarikeuntungan dengan menaikkan harga dari harga standar pasar (Zuhaili, IV, hal.509-510).

12)  Talaqqi Rukban

Merupakan transaksi jual beli, dimana supplier menjemput produsenyang sedang dalam perjalanan menuju pasar, transaksi ini tidak diperbolehkandengan alasan sebagaimana disebutkan dalam bai‟ hadir lil bad. Secara asal, jualbeli ini sah, dengan catatan, produsen memiliki hak kiyar dari penipuan harga(khiyar ghibn, Zuhaili, IV, hal. 510-511).

13)  Bai‟ Najys 

Rekayasa jual beli dengan menciptakan permintaan palsu ( false demand).Penjual melakukan kolusi dengan pihak lain untuk melakukan penawaran,dengan harapan, pembeli akan membeli dengan harga yang tinggi. Bai‟ najsy merupakan rekayasa untuk menaikkan harga dengan menciptakan permintaanpalsu.

Menurut Malikiyah dan Hanabalah, jual beli ini sah dengan adanya khiyar ghibn (jika penipuan yang dilakukan melebihi kewajaran, maka jual beli batal).Menurut Hanafiyah dan Syafiiyah, jual beli sah, tapi terdapat dosa di dalamnya

(makruh tahrim), jika memang harga yang disepakati melebihi dari nilai barangyang sebenarnya (Zuhaili, 1989, IV, hal. 513).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 193: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 193/199

www.belajarsyariahyuk.com

Bab 32Teori Khiyar

Tujuan:

Sebagaimana telah kita bahas bahwa akad akan tetap sustainable jika dalam akadtersebut tidak terdapat hak khiyar  bagi salah satu pihak. Khiyar  di sini memilikimakna, hak bagi salah satu pihak yang bertransaksi untuk meneruskan ataumembatalkan sebuah akad.

Hak khiyar  sangat beragam, menurut Hanafiyah hak khiyar berjumlah 17macam yang meliputi khiyar syarat, ru‟yah, „aib, sifat, naqd, ta‟yin, ghibn, kammiyah,istihqaq dan lainnya. Menurut Malikiyah, khiyar   terdiri dua macam yakni khiyartaammuli  dan nadzari, begitu juga dengan Syafi‟iyyah yang meliputi khiyartasyahin dan naqishah. Namun demikian, di antara beragam hak khiyar tersebut,terdapat 3 macam hak khiyar  yang sangat masyhur di kalangan ulama fiqh, yaknikhiyar syarat, khiyar „aib dan khiyar ru‟yah.

1) 

Khiyar Ta’yin 

Khiyar ta‟yin  merupakan hasil kesepakatan antara penjual dan pembeliuntuk mengakhirkan penentuan pilihan obyek transaksi dalam jangka waktutertentu, dan hak tersebut hanya dimiliki salah satu pihak saja. Misalnya,seseorang membeli pakaian dengan 3 macam pilihan, namun pembeli belummenentukan pakaian mana yang akan dipilihnya sampai jangka waktu 3 hari.Dalam jangka waktu ini, pembeli berhak untuk memilih salah satu pakaiandengan harga yang disepakati dengan penjual. Atau, penjual memberikanpilihan dengan harga yang disepakati.

Menurut madzhab Syafi‟iyyah dan Hanabalah, khiyar  ini hukumnya batalkarena mengandung unsur  jahalah. Berbeda dengan Hanafiyah, khiyar ta‟yin 

Page 194: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 194/199

www.belajarsyariahyuk.com

diperbolehkan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan manusia danmerealisasikan kemaslahatan, karena sudah menjadi „urf  (kebiasaan) masyarakat.

Akan tetapi, Hanafiyah menetapkan beberapa syarat sebagai berikut:1)  Hak pilih hanya berlaku untuk 2 atau 3 alternatif, karena adanya

kesulitan untuk menentukan pilihan di antara high, medium  dan low

quality.2)

 

Adanya kesepakatan penjual untuk menanggapi permintaan khiyar ta‟yin dari pembeli, dengan memperjelas barang yang dijadikan sebagaialternatif pilihan. Jika obyeknya tidak ditentukan secara spesifik, makaakad batal, karena mengandung unsur jahalah.

3)  Transaksi jual beli dilakukan atas barang-barang qimi, seperti pakaian,rumah dan lainnya, bukan barang mitsli seperti buku-buku cetakan,karena perbedaannya tidak begitu signifikan.

4) 

 Jangka waktu yang disepakati tidak lebih dari 3 hari

 Jika jangka waktu telah usai, maka jual beli menjadi lazim. Pembeliberkewajiban untuk memilih salah satu pilihan dan menyerahkan harganyakepada penjual. Hak khiyar  ini bisa diwariskan, jika pembeli meninggal sebelummenentukan pilihannya, maka ahli warisnya harus memberikan pilihan danmenyerahkan harganya setelah jangka waktunya berakhir (Zuhaili, 1989, IV, hal.525-526).

2)  Khiyar Syarat

Khiyar syarat adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jualbeli dengan adanya syarat tertentu. Misalnya, Najwa menjual hp-nya kepadaSalwa dengan syarat ia tidak boleh menggunakannya, atau Salwa akan membelihp tersebut dengan syarat nanti kalau turun hujan, atau jika papa-nya datangdari Hongkong, dan lainnya.

Akad jual beli ini tidak sah karena adanya  jahalah fahisyah (ketidaktahuan/ ketidakjelasan yang sangat). Menurut Syafi‟iyah danHanabalah, akad ini batal. Berbeda dengan Hanafiyah, akad jual beli ini fasid, jikasyarat tersebut dihilangkan sebelum jangka waktu 3 hari habis, maka akad jualbeli menjadi sah.

 Jika Salwa dilarang untuk tidak menggunakan hp yang baru dibelinyadengan jangka waktu yang ditentukan secara jelas (dalam waktu 3 hari,misalnya), di sini ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah, Zafar danSyafi‟iyyah, khiyar syarat  ini diperbolehkan dengan menentukan jangka waktusecara pasti dan tidak boleh lebih dari 3 hari. Karena, sebenarnya khiyar  ini tidakdiperbolehkan, dengan alasan, khiyar   ini mencegah pemindahan kepemilikandan kelaziman jual beli.

Madzhab Hanabalah membolehkan khiyar syarat  dengan batas waktuyang disepakati kedua pihak, kurang atau lebih dari 3 hari. Madzhab Malikiyahmemberikan rincian berdasarkan obyek transaksi. Jika berupa buah-buahan,

Page 195: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 195/199

www.belajarsyariahyuk.com

maka batas waktunya tidak lebih dari 1 hari, untuk pakaian atau kendaraan bisadalam jangka waktu 3 hari, dan untuk rumah atau tanah bisa lebih dari 1 bulan.

 Jika jangka waktu telah habis, maka akad jual beli menjadi lazim (Zuhaili, 1989,IV, hal. 535-538).

3)  Khiyar ‘Aib 

Merupakan hak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual belikarena adanya unsur „aib dalam obyek akad. Dasar dipraktikkannya khiyar „aib adalah beberapa hadits Nabi, di antaranya Rasulullah bersabda: “… tidak halalbagi seorang muslim untuk melakukan transaksi jual beli dengan saudaranya atas obyekyang terdapat „aib-nya, kecuali ia mau untuk menjelaskannya” (HR. Ahmad, IbnuMajah, Daruquthni, Hakim dan Thabrani).

„Aib  diartikan sebagai sesuatu yang dapat mengurangi nilai ekonomisobyek transaksi, bisa dalam bentuk fisik (misalnya, kaca spion pecah) atau non-fisik (seperti, starter engine system-nya tidak berfungsi). Dalam transaksi ini,pembeli memiliki kebebasan untuk meneruskan atau membatalkan akad. Khiyar„aib bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:

1)  Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serahterima, jika „aib muncul setelah serah terima, maka tidak ada hak khiyar

2)  „Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli3)  Pembeli tidak mengetahui adanya „aib  atas obyek transaksi, baik ketika

melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui

sebelumnya, maka tidak ada hak khiyar , karena itu berarti ia telahmeridlainya (cacat)

4)  Tidak adanya persyaratan bara‟ah  (cuci tangan) dari „aib  dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar  gugur

5)  „Aib masih tetap ada sebelum terjadinya pembatalan akad

 Jika barang yang terdapat cacat masih berada dalam genggaman penjual,maka akad akan menjadi batal dengan penolakan dari pembeli. Namun jikasudah berpindah kepada pembeli, akad jual beli tidak batal kecuali terdapatputusan dari hakim atau kesepakatan antara penjual dan pembeli (Zuhaili, 1989,

IV, hal. 556-566).

4) 

Khiyar Ru’yah 

Hanafiyah membolehkan khiyar ru‟yah dalam transaksi jual beli, dimanapembeli belum melihat secara langsung obyek akad. Jika pembeli telah melihatobyek barang, maka ia memiliki hak untuk memilih, meneruskan akad denganharga yang disepakati, atau menolak dan mengembalikan kepada penjual.

Di antara hadits yang dijadikan sebagai dasar keabsahan khiyar ru‟yah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Ibnu Abbas: “Barang siapa

Page 196: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 196/199

www.belajarsyariahyuk.com

membeli barang yang belum dilihatnya, maka ia memiliki hak khiyar ketika telahmelihatnya”. Dalam konteks ini, ulama membolehkan menjual barang yang  ghaib 

(tidak ada di tempat akad) tanpa menyebutkan spesifikasinya, dengan catatanpembeli memiliki hak khiyar .

Hanabalah dan Malikiyah membolehkan jual beli barang denganspesifikasi (bai‟ al wasf ) tanpa harus ada ketika kontrak dilakukan, namunpembeli memiliki khiyar wasf   (termasuk di dalamnya khiyar ru‟yah). Jikabarangnya sesuai dengan spesifikasi, maka akad jual beli menjadi lazim.

Khiyar ru‟yah  ditetapkan bagi pembeli ketika ia telah melihat obyektransaksi, bukan sebelumnya. Jika pembeli meluluskan jual beli sebelum melihatobyek, akad jual beli belum menjadi lazim dan hak khiyar  belum gugur, ia tetapmemiliki hak untuk mengembalikan barang. Dengan alasan, Rasul menetapkan

hak khiyar  bagi pembeli setelah ia melihat obyek transaksi. Jika pembeli membatalkan akad jual beli sebelum melihat barang, ulama

berbeda pendapat. Sebagian menyatakan, pembeli tidak memiliki hak untukmembatalkannya, dan sebagian lainnya membolehkan karena akad jual beli atasbarang yang belum dilihatnya bersifat ghair lazim (tidak mengikat).

Akad jual beli atas barang yang belum dilihat oleh pembeli, hukumnyatidak mengikat ( ghair lazim). Pembeli memiliki kebebasan untuk meluluskan ataumembatalkan jual beli ketika ia telah melihat obyek transaksi. MenurutMalikiyah, Hanabalah dan Syi‟ah, akad jual beli mengikat bagi pembeli jikabarangnya sesuai dengan spesifikasi yang disebutkan penjual. Begitu juga

dengan pendapat Dzahiriyah. Ada pun hukum jual beli dengan khiyar ru‟yah sama dengan akad jual beli lainnya yang tanpa khiyar .

Pembeli akan memiliki hak khiyar ru‟yah  dengan syarat-syarat sebagaiberikut:

(i) 

Obyek akad harus berupa real asset  („ain, dzat, barang) dan bisadispesifikasi. Jika tidak, pembeli tidak memiliki hak khiyar , sepertidalam transaksi pertukaran valas

(ii) Pembeli belum pernah melihat obyek transaksi sebelum melakukankontrak jual beli.

Mayoritas ulama sepakat akan keabsahan jual beli barang dengan

menggunakan sample (contoh) atas transaksi barang dalam jumlah partai. Akad jual beli ini bersifat mengikat (lazim), jika sample yang diperlihatkan sesuaidengan (merefleksikan) barang secara keseluruhan (Zuhaili, 1989, IV, hal. 576-594).

Pertanyaan dan Latihan:

Page 197: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 197/199

www.belajarsyariahyuk.com

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, M., Buhuth fi al Riba, 1970, Kuwait: Daar al Buhuts alIslamiyah.

Ahmad, Ahmad Muhyiddin.1996. Fatawa al Murabahah. Daar al Thiba‟ahwa al Nasyr al Islamiyah. Andalusia. Maktab al Qahirah.

Al Adzim,Hamdi Abdul.1996.Khitob al Dloman fi al Bunuk alIslamiyyah.Kairo. Al Ma‟had al Alami li al Fikr al Islami 

Al Bahuti, Syarh Muntaha al Iradat, MesirAl Fatawa al Hindiyah, 1310 H

Al Kasani, „Alauddin Abi Bakar bin Mas‟ud, Badai‟ al Shanai‟ fi Tartib alSyarai‟, jilid VI, Al Maktabah al Ilmiyah, Beirut, tanpa tahun

Al Kasani, 1327 H., Bada‟I al Shana‟I fi Tartib al Syara‟I , Mesir, Al JamaliyahAl Khatib, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad As

Syaribani,1934. Mughni al  Muhtaj , Beirut.Daar al Fikr.Al Qur‟an Karim, terjemahan Depag. Al Sarakhsi, 1324 H., Al Mabsuth, Mesir, Al Sa‟adah Al Sarkhosi, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Abi Sahl.1989. Al

 Mabsuth,Beirut.Daar al Makrifah,Jilid XIIIAntonio, Muhammad Syafii.2001.Bank Syariah: Dari Teori Ke

Praktek. Jakarta:Gema Insani PressChapra, M. Umer, Toward a Just Monetary System, 1985, 1983, 1992 dan1999, Leicester, UK: The Islamic Foundation.

 _________________,2001.Prohibition of Interest Does it Make Sense.SouthAfrica.IDM Publication

Dewan Syariah Nasional-MUI.2006.Himpunan Fatwa DSN-MUI.JakartaGhazali, Abdel Hamid al,  Al Arbah wa al Fawaid al Masrafiyah bayn alTahlil al Iqtishadi wa al Hukm al Shar‟I , 1990, Cairo: Markaz al Iqtishad alIslami.

Hammad, Nazih, 2001, Qadlaya Fiqhiyyah Mu‟ashirah fi al Maal wa alIqtishad, Damaskus, Daar al Qalam, cetakan pertama

Ibn al „Arabi, Abu Bakr Muhammad (543 H/1148 M),  Ahkam al Qur‟an,1957, Cairo: Al Matha‟ah al Bahiyyah al Mishriyyah. 

Ibn Kathir, Abu al Fida‟ Ismail (744 H/1373 M), Tafsir al Qur‟an alKarim, Cairo: „Isa al Babu al Halabi. 

Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram (711 H/1311 M), Lisan al „Arab,1968, Beirut: Dar Sadir li al Taba‟ah wa al Nashr. 

Page 198: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 198/199

www.belajarsyariahyuk.com

Ibnu Hazm, 1350 H., Al Muhalla, Mesir, Al MuniriyahIbnu Humam, 1319 H., Fath al Qadir , Mesir, Al Maimuniyah

Ibnu Qayyim, 1374 H., I‟lam al Muwaqqi‟in „an Rabb al „Alamin, Mesir, AlSa‟adah 

Ibnu Qudamah, Abul Farj Abdurrahman bin Abi Umar bin Muhammadbin Ahmad bin Qudamah al Muqaddasi,  Al Mughni wa al Syarh alKabir , jilid V, Daar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tanpa tahun

Isfahani, Raghib al (502 H/1108 M), al Mufradat fi Gharib al Qur‟an, 1961,Cairo: Mustafa al Babi al Halabi.

 Jassas, Abu Bakr Ahmad ibn Ali al (370 H/ 945 H),  Ahkam al Qur‟an,1957, Cairo: „Isa al Babi al Halabi. 

 Jaziri, „Abd al Rahman al,  Al Fiqh „ala al Madhahib al Arba‟ah, Cairo: AlMaktabah al Tijariyah al Kubra, 5 ed.

Mas‟adi, Ghufron A.2002.Fiqh Muamalah Kontekstual.Jakarta.Rajawali PersMuhammad Ruwas Qal‟ah Gie, 1999,  Al Muamalat al Maaliyah al

 Mu‟ashirah fi Dlaui al Fiqh wa al Syari‟ah, Daar al Nafais, Beirut.Muhammad, Yusuf Kamal.1996.Fiqh al Iqtishad al Naqdi Al Masrafiyyah al

Islamiyyah: Al Azmah wa al Makhraj, Daar al Nasyr li al Jaami‟at alMishriyah Maktabah al Wafa, Mesir, Cetakan

Mustafa A. Zarqa, 1984,  Al Madkhal Ila Nadzriyah al Iltizam al „Ammah Fi alFiqh al Islami, lihat juga jurnal Universitas Imam Muhammad as Saudal Islamiyyah, Muhammad Faruq al Bunhani,  Atsar Tathbiq al Nidzamal Iqtishadi al Islami Fi al Mujtama‟, Saudi Arabia.

Nawaf Abdullah Batubara, 1998, Al Takyif al Syar‟I li bithaqah al I‟timan,dalam majalah Buhuts al Fiqhiyyah al Mu‟ashirah, edisi 37

Qaradawi, Yusuf al, Fawaid al Bunuk Hiya al Riba al Muharram, 1994,Cairo: Dar al Sahwah

Qurtubi, Muhammad ibn Ahmad al (463 H/ 1070 M), Al Jami‟ Li Ahkamal Qur‟an,  lebih dikenal dengan Tafsir al Qurtubi, 1967, Cairo: Dar alKitab al „Arabi li al Taba‟ah wa al Nashr. 

Razi, Fakhruddin al (606 H/ 1209 M), Tafsir al Kabir , Tehran: Dar alKutub al „Ilmiyyah, 2 ed. 

Sanhuri, „Abd al Razzaq al,  Masadir al Haqq fi al fiqh al Islami, 1954,Beirut: Dar Ihya‟ al Turath al „Arabi. 

Syech Zadah, 1327 H., Mujma‟ al Anhar , Istanbul, Daar al Sa‟adaat Udovitch, Abraham, Partnership and Profit in Medievel Islam, 1970,Princeton, NJ: Princeton University Press.

Page 199: PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

8/19/2019 PENGANTAR MUAMALAH (SM 1).pdf

http://slidepdf.com/reader/full/pengantar-muamalah-sm-1pdf 199/199

Usmani,Muhammad Taqi.1998.Buhuts fi Qadlaya Fiqhiyyah Mu‟ashirah.Damaskus.Daar al Qalam

Zabidi, Muhammad Murtuda al (1205 H/ 1791 M), Taj al „Arus, 1306,Cairo: Al Mathba‟ah al Khayriyyah. 

Zuhaili, Wahbah.1989. Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu ,  Damaskus.Daar alFikr,jilid I, IV, V, cetakan III

Zuhaili,Wahbah.2002. Al Muamalah al Maaliyyah al Mu‟ashirah.Damaskus.Daar al Fikr.