Pengalihan Orang Hukum
-
Upload
indo-canova -
Category
Documents
-
view
45 -
download
2
Transcript of Pengalihan Orang Hukum
TUGAS MANDIRI
PERBANDINGAN HUKUM
Disusun Oleh :
Nama : Ricky Hadi PutraNIM : 2010020397Kelas : 434Shift : Executive
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2013
PENGALIHAN ORANG DIHUKUM
A. PENGALIHAN ORANG DIHUKUM
Para negara anggota Dewan Eropa dan Amerika lainnya, Perjanjian
penandatangan, Mengingat bahwa tujuan dari Dewan Eropa adalah untuk
mencapai persatuan antara anggotanya; Berkeinginan mengembangkan lebih
lanjut kerjasama internasional di bidang hukum pidana; Mengingat bahwa seperti
kerjasama harus memajukan ujung keadilan dan rehabilitasi sosial orang dihukum.
Mengingat bahwa tujuan mengharuskan orang asing yang dirampas
kebebasannya sebagai hasil dari komisi mereka dari tindak pidana harus diberikan
kesempatan untuk menjalani masa hukumannya di dalam masyarakat mereka
sendiri, dan Mengingat bahwa tujuan ini terbaik dapat dicapai dengan meminta
mereka dipindahkan ke negara mereka sendiri, Memiliki disepakati sebagai
berikut :
1. Untuk tujuan Konvensi ini:
a. Kalimat" berarti setiap hukuman atau ukuran yang melibatkan perampasan
kemerdekaan diperintahkan oleh pengadilan untuk jangka waktu terbatas
atau tidak terbatas waktu karena tindak pidana.
b. Penghakiman" berarti suatu keputusan atau perintah pengadilan
menjatuhkan hukuman;
c. Hukuman Negara" berarti Negara dimana kalimat itu dikenakan pada
orang yang mungkin, atau telah, ditransfer.
d. Administrasi Negara" berarti Negara dimana terpidana mungkin, atau
telah, ditransfer untuk menjalani hukumannya.
2. Prinsip-prinsip umum
a. Para Pihak diwajibkan untuk membayar saling ukuran terluas dari
kerjasama sehubungan dengan pengalihan terpidana sesuai dengan
ketentuan Konvensi ini.
b. Seorang terpidana di wilayah Pihak dapat dipindahkan ke wilayah Pihak
lain, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Konvensi ini, dalam rangka
untuk melayani hukuman yang dijatuhkan padanya. Untuk itu, ia dapat
mengekspresikan minatnya kepada Negara hukuman atau ke Negara
administrasi dalam ditransfer berdasarkan Konvensi ini.
c. Transfer dapat diminta oleh salah satu Negara hukuman atau pemberian
Negara.
3. Kondisi untuk transfer
a. Seorang terpidana dapat ditransfer berdasarkan Konvensi ini hanya pada
kondisi berikut:
1) Jika orang tersebut adalah warga negara dari negara administrasi.
2) jika penghakiman adalah final
3) jika, pada saat diterimanya permintaan untuk transfer, orang yang
dihukum masih memiliki setidaknya enam bulan kalimat untuk
melayani atau jika kalimat tersebut tak tentu.
4) jika transfer setuju untuk oleh terpidana atau, di mana dalam
pandangan usianya atau satu kondisi fisik atau mentalnya satu Negara
menganggap perlu, oleh perwakilan hukum terpidana itu.
5) jika tindakan atau kelalaian karena hukuman tersebut telah dikenakan
merupakan tindak pidana menurut hukum Negara administrasi atau
akan merupakan tindak pidana jika dilakukan di wilayahnya.
6) jika Amerika hukuman dan pemberian setuju untuk transfer.
b. Dalam kasus luar biasa, Pihak dapat setuju untuk transfer bahkan jika
waktu untuk dilayani oleh orang yang dihukum kurang dari yang
ditentukan dalam ayat 1.c.
a) Setiap Negara dapat, pada saat penandatanganan atau ketika
menyerahkan instrumen ratifikasi persetujuan,, penerimaan atau
aksesi, dengan pernyataan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal
Dewan Eropa, menunjukkan bahwa mereka berniat untuk
mengecualikan penerapan salah satu prosedur diatur dalam Pasal 9.1.a
dan b dalam hubungan dengan Pihak lainnya.
b) Setiap Negara dapat, setiap saat, dengan deklarasi yang ditujukan
kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, mendefinisikan, sejauh yang
bersangkutan, "nasional" istilah untuk tujuan Konvensi ini.
4. Kewajiban untuk memberikan informasi
a. Setiap terpidana kepada siapa Konvensi ini berlaku harus diberitahu oleh
Negara hukuman dari substansi Konvensi ini.
b. Jika terpidana telah menyatakan minat kepada Negara penghukuman
dalam ditransfer berdasarkan Konvensi ini, Negara tersebut wajib
memberitahu Negara administrasi sesegera mungkin setelah penghakiman
tersebut menjadi final.
c. Informasi harus mencakup:
a) Nama, tanggal dan tempat lahir dari terpidana;
b) Nya alamat, jika ada, di negara administrasi;
c) Pernyataan dari fakta-fakta di atas mana kalimat itu didasarkan;
d) Sifat, durasi dan tanggal dimulainya kalimat.
d. Jika terpidana telah menyatakan minatnya untuk mengelola Negara,
Negara hukuman wajib, atas permintaan, mengkomunikasikan kepada
Negara informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 di atas.
e. Para terpidana harus diberitahu, secara tertulis, dari setiap tindakan yang
diambil oleh Negara atau hukuman oleh Negara penyelenggara di bawah
paragraf sebelumnya, serta dari setiap keputusan yang diambil oleh
Negara baik pada permintaan untuk transfer.
5. Permintaan dan balasan.
a. Permintaan untuk transfer dan balasan harus dilakukan secara tertulis.
b. Permintaan akan ditangani oleh Departemen Kehakiman Negara meminta
kepada Departemen Kehakiman Negara yang diminta. Tanggapan harus
disampaikan melalui saluran yang sama.
c. Setiap Pihak dapat, dengan pernyataan yang ditujukan kepada Sekretaris
Jenderal Dewan Eropa, menunjukkan bahwa ia akan menggunakan saluran
komunikasi lainnya.
d. Negara yang diminta harus segera memberitahukan Negara meminta dari
keputusannya apakah atau tidak untuk menyetujui transfer yang diminta.
6. Dokumen pendukung.
a. Negara penyelenggara, jika diminta oleh Negara hukuman, harus
melengkapinya dengan:
a) Dokumen atau pernyataan yang menunjukkan bahwa terpidana adalah
warga negara dari Negara tersebut.
b) salinan hukum yang relevan dari Negara penyelenggara yang
menyediakan bahwa tindakan atau kelalaian karena hukuman tersebut
telah dikenakan di Negara hukuman merupakan tindak pidana
menurut hukum Negara administrasi, atau akan merupakan
pelanggaran pidana jika dilakukan di wilayahnya :
c) pernyataan yang berisi informasi yang disebutkan dalam Pasal 9.2.
b. Jika transfer yang diminta, Negara hukuman wajib menyediakan
dokumen-dokumen berikut untuk Negara administrasi, kecuali Negara
baik telah menunjukkan bahwa hal itu tidak akan setuju untuk transfer.
a) salinan resmi putusan dan hukum yang mendasarinya.
b) pernyataan yang menunjukkan berapa banyak kalimat telah dilayani,
termasuk informasi pada setiap penahanan pra-sidang, remisi, dan
faktor-faktor lain yang relevan dengan penegakan kalimat.
c) sebuah deklarasi yang berisi persetujuan untuk transfer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.1.d, dan
d) jika perlu, setiap laporan medis atau sosial pada orang yang dihukum,
informasi tentang pengobatan di Negara hukuman, dan setiap
rekomendasi untuk perawatan lebih lanjut di Negara administrasi.
c. Negara baik dapat meminta untuk diberikan dengan salah satu dokumen
atau pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 atau 2 di atas
sebelum membuat permintaan untuk transfer atau mengambil keputusan
tentang apakah atau tidak untuk menyetujui transfer.
7. Izin dan verifikasi
a. Negara hukuman harus memastikan bahwa orang yang diperlukan untuk
memberikan persetujuan atas pengalihan tersebut sesuai dengan Pasal
3.1.d melakukannya secara sukarela dan dengan pengetahuan penuh
konsekuensi hukumnya. Prosedur untuk memberikan persetujuan tersebut
akan diatur oleh hukum Negara hukuman.
b. Negara harus memberi hukuman kesempatan untuk Negara pemberian
untuk memverifikasi melalui konsul atau pejabat lain yang disepakati
dengan Negara administrasi, bahwa persetujuan tersebut diberikan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam ayat 1 di atas. Pasal 8 - Pengaruh
transfer untuk Negara hukuman. Pengambilan menjadi muatan dari orang
yang dihukum oleh otoritas dari Negara penyelenggara akan memiliki efek
menunda pelaksanaan hukuman di Negara hukuman.
c. Negara hukuman mungkin tidak lagi menegakkan kalimat jika Negara
administrasi mempertimbangkan pelaksanaan hukuman yang telah selesai.
Pasal 9 - Pengaruh transfer untuk mengelola Negara
a) Para pejabat yang berwenang dari Negara administrasi harus:
a. melanjutkan pelaksanaan hukuman segera atau melalui perintah
pengadilan atau administratif, di bawah kondisi yang telah
ditetapkan dalam Pasal 10, atau
b. mengkonversi kalimat, melalui prosedur hukum atau administratif,
menjadi keputusan dari Negara tersebut, dengan demikian
menggantikan sanksi yang dikenakan di Negara hukuman sanksi
yang ditentukan oleh hukum Negara administrasi untuk
pelanggaran yang sama, di bawah kondisi yang telah ditetapkan
dalam Pasal 11.
b) Negara penyelenggara, jika diminta, harus menginformasikan Negara
hukuman sebelum pengalihan terpidana sebagai mana prosedur ini
akan mengikuti.
c) Penegakan kalimat akan diatur oleh hukum Negara administrasi dan
Negara sendiri harus memiliki kompetensi untuk mengambil semua
keputusan yang tepat.
d) Setiap Negara yang menurut hukum nasionalnya, tidak bisa
memanfaatkan dirinya dari salah satu prosedur sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 untuk menegakkan tindakan yang diberlakukan di
wilayah Pihak lain pada orang-orang yang karena alasan kondisi
mental telah diadakan tidak kriminal bertanggung jawab atas komisi
pelanggaran, dan yang disiapkan untuk menerima orang-orang
tersebut untuk perawatan lebih lanjut mungkin, dengan cara deklarasi
yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa,
menunjukkan prosedur yang akan mengikuti dalam kasus tersebut.
d. Pasal 10 - penegakan Lanjutan
a) Dalam kasus penegakan terus, Negara administrasi terikat oleh sifat
hukum dan durasi kalimat yang ditentukan oleh Negara hukuman.
b) Namun, jika kalimat ini adalah dengan sifat atau durasi sesuai dengan
hukum administrasi Negara, atau hukum sehingga membutuhkan,
Negara mungkin, dengan perintah pengadilan atau administrasi,
beradaptasi sanksi kepada hukuman atau ukuran yang ditetapkan oleh
sendiri hukum untuk pelanggaran yang sama. Seperti sifatnya,
hukuman atau tindakan wajib, sejauh mungkin, sesuai dengan yang
ditentukan oleh kalimat harus ditegakkan. Ini tidak akan
memperburuk, menurut sifat atau durasi, sanksi yang dikenakan di
Negara hukuman, atau melebihi maksimum yang ditentukan oleh
hukum administrasi Negara.
e. Pasal 11 - Konversi kalimat
a) Dalam kasus konversi kalimat, prosedur yang ditentukan oleh hukum
Negara administrasi berlaku. Ketika mengkonversi kalimat, otoritas
yang berwenang:
1) akan terikat dengan temuan mengenai fakta-fakta sejauh mereka
muncul secara eksplisit maupun implisit dari penghakiman yang
dikenakan di Negara hukuman;
2) tidak mungkin mengkonversi sanksi yang melibatkan perampasan
kemerdekaan sanksi berupa uang;
3) akan memotong periode penuh perampasan kemerdekaan dilayani
oleh terpidana, dan
4) tidak akan memperburuk posisi pidana dari orang yang dihukum,
dan tidak akan terikat oleh setiap minimum yang hukum
administrasi Negara dapat menyediakan untuk pelanggaran atau
pelanggaran yang dilakukan.
b) Jika prosedur konversi terjadi setelah pemindahan terpidana, Negara
administrasi harus menjaga orang itu dalam tahanan atau memastikan
kehadirannya di Negara administrasi sambil menunggu hasil dari
prosedur tersebut.
Pasal 12 - Pardon, amnesti, pergantian
Setiap Pihak dapat memberikan grasi, amnesti atau pergantian kalimat
sesuai dengan Konstitusi atau undang-undang lainnya.
Pasal 13 - Ulasan penghakiman
Negara hukuman saja berhak untuk memutuskan setiap permohonan
peninjauan penghakiman.
Pasal 14 - Pemutusan penegakan
Negara penyelenggara akan menghentikan penegakan kalimat secepat
itu diinformasikan oleh Negara hukuman dari setiap keputusan atau
tindakan sebagai akibat dari hukuman tersebut berhenti menjadi
diberlakukan.
Pasal 15 - Informasi tentang penegakan
Negara penyelenggara wajib memberikan informasi kepada Negara
hukuman mengenai penegakan kalimat:
1) ketika mempertimbangkan pelaksanaan hukuman yang telah
selesai;
2) jika terpidana telah melarikan diri dari tahanan sebelum penegakan
kalimat telah selesai, atau
3) jika Negara hukuman meminta laporan khusus.
Pasal 16 – Transit
1. Suatu Pihak wajib, sesuai dengan ketentuan hukumnya dapat
menjamin permintaan untuk transit dari seorang terpidana melalui
wilayahnya jika permintaan tersebut dibuat oleh Pihak lain dan Negara
yang telah setuju dengan Partai lain atau dengan negara ketiga dengan
pengalihan dari orang yang ke atau dari wilayahnya.
2. Suatu Pihak dapat menolak untuk hibah transit:
a. jika terpidana adalah warga negaranya, atau
b. jika pelanggaran yang dikenakan hukuman itu bukan merupakan
tindak pidana menurut hukum sendiri.
3. Permintaan untuk transit dan balasan akan dikomunikasikan melalui
saluran dimaksud dalam ketentuan Pasal 5.2 dan 3.
4. Suatu Pihak dapat memberikan permintaan untuk transit dari
seorang terpidana melalui wilayahnya dilakukan oleh suatu Negara
ketiga jika Negara tersebut telah setuju dengan Pihak lain untuk
transfer ke atau dari wilayahnya.
5. Partai ini diminta untuk memberikan transit yang mungkin
memegang terpidana dalam tahanan hanya untuk waktu seperti transit
melalui wilayahnya membutuhkan.
6. Partai ini diminta untuk memberikan angkutan mungkin diminta
untuk memberikan jaminan bahwa terpidana tidak akan dituntut, atau,
kecuali sebagaimana ditentukan dalam paragraf sebelumnya, ditahan,
atau mengalami adanya pembatasan atas kebebasannya dalam wilayah
Negara transit yang untuk setiap pelanggaran yang dilakukan atau
hukuman yang dijatuhkan sebelum keberangkatannya dari wilayah
Negara hukuman.
7. Tidak ada permintaan transit harus diperlukan jika transportasi
adalah dengan udara di atas wilayah suatu Pihak dan mendarat tidak
ada dijadwalkan. Namun, setiap Negara dapat, dengan pernyataan yang
ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa pada saat
penandatanganan atau penyerahan instrumen ratifikasi, penerimaan,
persetujuan atau aksesi, mensyaratkan harus diberitahu setiap angkutan
tersebut selama nya wilayah.
Pasal 17 - Bahasa dan biaya
1. Informasi berdasarkan Pasal 4, ayat 2 sampai 4, harus dilengkapi
dalam bahasa Pihak yang dituju atau dalam salah satu bahasa resmi
Dewan Eropa.
2. Sesuai dengan ayat 3 di bawah ini, ada terjemahan dari permintaan
untuk transfer atau dokumen pendukung wajib.
3. Setiap Negara dapat, pada saat penandatanganan atau ketika
menyerahkan instrumen ratifikasi persetujuan,, penerimaan atau aksesi,
dengan pernyataan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan
Eropa, mengharuskan permintaan untuk transfer dan dokumen
pendukung harus disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa sendiri
atau ke salah satu bahasa resmi Dewan Eropa atau ke salah satu dari
bahasa-bahasa tersebut karena harus menunjukkan. Mungkin pada
kesempatan itu menyatakan kesiapannya untuk menerima terjemahan
dalam bahasa lain selain bahasa resmi atau bahasa dari Dewan Eropa.
4. Kecuali sebagaimana diatur dalam Pasal 6.2.a, dokumen
ditransmisikan dalam penerapan Konvensi ini tidak perlu disertifikasi.
5. Setiap biaya yang timbul dalam penerapan Konvensi ini harus
ditanggung oleh Negara administrasi, kecuali biaya yang dikeluarkan
secara eksklusif dalam wilayah Negara hukuman.
Pasal 18 - Tanda tangan dan berlakunya
1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara
anggota Dewan Eropa dan non-anggota Negara yang telah
berpartisipasi dalam penjelasan yang diuraikan. Hal ini tunduk pada
ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Instrumen ratifikasi,
penerimaan atau persetujuan wajib disimpan Sekretaris Jenderal
Dewan Eropa.
2. Konvensi ini mulai berlaku pada hari pertama dari bulan setelah
berakhirnya jangka waktu tiga bulan setelah tanggal dimana negara
anggota tiga dari Dewan Eropa telah menyatakan persetujuan mereka
untuk terikat dengan Konvensi sesuai dengan ketentuan ayat 1.
3. Dalam apabila suatu Negara penandatangan yang kemudian
menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh itu, Konvensi mulai
berlaku pada hari pertama bulan berikutnya setelah berakhirnya jangka
waktu tiga bulan setelah tanggal penyerahan instrumen ratifikasi,
penerimaan atau persetujuan.
Pasal 19 - Aksesi oleh non-anggota Negara
1. Setelah berlakunya Konvensi ini, Komite Menteri Dewan Eropa,
setelah berkonsultasi dengan Negara Peserta, dapat mengundang setiap
negara bukan anggota Dewan dan tidak disebutkan dalam Pasal 18.1
untuk mengaksesi Konvensi ini, dengan keputusan diambil oleh
mayoritas yang diatur dalam Pasal 20.d Statuta Dewan Eropa dan oleh
suara bulat dari para wakil Negara-Negara Pihak berhak untuk duduk
di Komite.
2. Dalam hal suatu Negara aksesi, Konvensi akan mulai berlaku pada
hari pertama bulan berikutnya setelah berakhirnya jangka waktu tiga
bulan setelah tanggal penyerahan instrumen aksesi pada Sekretaris
Jenderal Dewan Eropa.
Pasal 20 - aplikasi Teritorial
1. Setiap negara pada saat penandatanganan atau ketika menyerahkan
instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi, menentukan
wilayah atau wilayah dimana Konvensi ini berlaku.
2. Setiap negara pada setiap kemudian hari, dengan pernyataan yang
ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, memperpanjang
penerapan Konvensi ini ke wilayah lain yang ditentukan dalam
deklarasi. Dalam hal wilayah tersebut Konvensi mulai berlaku pada
hari pertama dari bulan setelah berakhirnya jangka waktu tiga bulan
setelah tanggal penerimaan pernyataan tersebut oleh Sekretaris
Jenderal.
3. Setiap pernyataan yang dibuat menurut dua paragraf sebelumnya
mungkin, sehubungan dengan wilayah yang ditentukan dalam
deklarasi tersebut, dapat ditarik dengan pemberitahuan yang ditujukan
kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut akan berlaku efektif
pada hari pertama bulan berikutnya setelah berakhirnya jangka waktu
tiga bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut oleh
Sekretaris Jenderal.
Pasal 21 - aplikasi Temporal
Konvensi ini berlaku terhadap penegakan kalimat dikenakan baik
sebelum atau setelah berlakunya.
Pasal 22 - Hubungan dengan Konvensi lain dan Perjanjian
1. Konvensi ini tidak mempengaruhi hak-hak dan usaha yang berasal
dari perjanjian ekstradisi dan perjanjian lain pada kerjasama
internasional dalam masalah pidana menyediakan untuk transfer orang
yang ditahan untuk keperluan konfrontasi atau kesaksian.
2. Jika dua atau lebih Pihak telah menyimpulkan kesepakatan atau
perjanjian atas pengalihan terpidana atau telah menjalin hubungan
mereka dalam hal ini, atau haruskah mereka di masa depan
melakukannya, mereka berhak untuk menerapkan bahwa kesepakatan
atau perjanjian atau untuk mengatur mereka hubungan sesuai, sebagai
pengganti dari Konvensi ini.
3. Konvensi ini tidak mempengaruhi hak Negara Pihak pada Konvensi
Eropa tentang Keabsahan Hukum Pidana Internasional untuk
menyimpulkan perjanjian bilateral atau multilateral dengan satu sama
lain mengenai hal-hal ditangani dengan Konvensi bahwa untuk
melengkapi ketentuan atau memfasilitasi penerapan prinsip-prinsip
yang terkandung di dalamnya.
4. Jika permintaan untuk transfer termasuk dalam ruang lingkup dari
kedua Konvensi ini dan Konvensi Eropa tentang Keabsahan Hukum
Pidana Internasional atau perjanjian lain atau perjanjian atas
pengalihan terpidana, Negara Peminta wajib, ketika membuat
permintaan, menunjukkan pada dasar yang instrumen itu dibuat.
Pasal 23 - penyelesaian Ramah
Komite Eropa tentang Masalah Kejahatan Dewan Eropa akan disimpan
informasi mengenai penerapan Konvensi ini dan akan melakukan
apapun yang diperlukan untuk memfasilitasi penyelesaian yang ramah
dari setiap kesulitan yang mungkin timbul dari penerapannya.
Pasal 24 - Pengunduran Diri
1. Setiap Pihak dapat setiap saat menarik diri dari Konvensi ini dengan
cara pemberitahuan yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Dewan
Eropa.
2. Penarikan diri tersebut berlaku efektif pada hari pertama bulan
berikutnya setelah berakhirnya jangka waktu tiga bulan setelah tanggal
diterimanya pemberitahuan oleh Sekretaris Jenderal.
3. Konvensi ini akan, bagaimanapun, tetap berlaku dengan penegakan
kalimat dari orang-orang yang telah ditransfer sesuai dengan ketentuan
Konvensi sebelum tanggal tersebut Penarikan diri berlaku.
Pasal 25 – Pemberitahuan
Sekretaris Jenderal Dewan Eropa harus memberitahukan negara yang
menjadi anggota dari Dewan Eropa, non-negara anggota yang telah
berpartisipasi dalam pengembangan Konvensi ini dan setiap Negara
yang telah mengaksesi Konvensi ini:
a. tanda tangan apapun;
b. penyimpanan setiap instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan
atau aksesi;
c. setiap tanggal mulai berlakunya Konvensi ini sesuai dengan Pasal
18.2 dan 3, 19,2 dan 20,2 dan 3;
d. tindakan lain, deklarasi, pemberitahuan atau komunikasi yang
berhubungan dengan Konvensi ini.
Dalam bukti, bawah ini, yang dalamnya berwenang, telah
menandatangani Konvensi ini.
Dibuat di Strasbourg, ini tanggal 21 Maret 1983, dalam bahasa Inggris
dan Perancis, kedua naskah tersebut berkekuatan sama, dalam satu
salinan yang akan disimpan dalam arsip Dewan Eropa. Sekretaris
Jenderal Dewan Eropa wajib mengirimkan salinan resmi kepada setiap
Negara anggota Dewan Eropa, dengan non-negara anggota yang telah
berpartisipasi dalam elaborasi dari Konvensi ini, dan Negara manapun
mengundang
Ekstradisi adalah sebuah proses penelaahan secara formal di mana
seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan
kepada pemerintahan Lain untuk menjalani persidangan atau,
tersangka sudah disidang nihil Dan ditemukan bersalah, menjalani
hukumnya participated in the elaboration of this Convention, and to
any State invite
B. Ekstradisi
Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka
kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain
untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan
ditemukan bersalah, menjalani hukumnya.
1. Persetujuan atau perjanjian ekstradisi
Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak
memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada
negara asing, karena suatu prinsip sovereignty bahwa setiap negara
memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya.
Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk
mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan
persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah
menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya
2. Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition =
Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti
memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini
lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku
kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.
Pada umumnya, ekstradisi adalah kepentingan politik dan
merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini
ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti
agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat
yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan
terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat
dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada
perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi
dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi
diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar
hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk
kepentingan timbal balik maupun sepihak.
Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut
”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).
Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan
pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain
penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam
pengaturannya diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai
ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para
sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak
memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang
memberikan batasan-batasan.
3. Definisi Ekstradisi Menurut Para Sarjana
L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an
accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged
to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on
whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang
artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu
negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia
disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena
perbuatan kejahatan.
J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term
extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of
reciprocity one state surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of
the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah
penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara
menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena
kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon
yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
4. Sejarah Ekstradisi
Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian
yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara
Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan
timbal-balik termasuk juga kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh
dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku
kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya
perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap
permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang
merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279
sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan
diserahkan tidak dijatuhi hukuman.
Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam
bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan
dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks
hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat
manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya.
Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan,
perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan
akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara
tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain.
Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang
berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-
negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya,
dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan
menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk
mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan
sarana yang ampuhuntuk memberantas kejahatan. Memang kita akui
bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk
dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika
terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga
dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat
pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya,
dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia
melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling
menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan
membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari
perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan
demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan
bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian
pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang
yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah
menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat
pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut,
Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek
penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk
kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian
ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan
beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu
sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban. Dengan demikian
perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern
memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan
dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Apalagi masalah hak asasi
manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan
didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah
merupakan wujud dari pengakuan hak asasi manusia untuk menganut
keyakinan politik atau hak politik seseorang.
Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara
dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung
kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara
kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun
mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun
bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat
ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang
mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti
bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam
melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.
Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai
ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-
unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:
a. Unsur Subjek.
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini
ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:
a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukum sipelaku kejahatan.
b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa)
atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau
menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali
orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah
dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk
menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang
yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan
permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau
bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing
state).
Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi
diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu
(tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta
(the resquithing State).
b. Unsur objek
Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka,
tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada
negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut
sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun
sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum
dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh
dilanggar oleh siapapun.
5. Unsur Tata cara dan Prosedur.
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana
tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara
untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal
yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan
apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta
kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada
perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak
atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas
timbal balik yang telah disepakati.
Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara
peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan.
Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya
yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas
kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara
formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang
telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.
a. Unsur Tujuan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk
tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau
diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang
telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau
negara diminta.
Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk
mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman
apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani
hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai
kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun
satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan
kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya
secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin
meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan
ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi
tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.
6. Ruang Lingkup Ekstradisi
Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang
semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan,
maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan
waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif
terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi
lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan
baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan
dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya. Seorang
pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan diri ke
negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan
dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah
kepentingan dua negara bahkan lebih.
Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara
dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka
negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah
menghukum dan menangkapnya dinegara lain, karena hal ini telah
melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan
dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika
dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini
telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang
menurut hukum internasional.
Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku
kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku
kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang
tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah
menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan
sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang
mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur
semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum
dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional
yang lebih dikenal dengan ekstradisi. Hal ini tentunya dapat berjalan
dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan
dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula.
Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan,
namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan.
Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah
harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau
tidak.
Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup
yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam
konteks hukum nasional. Dalam hukum internasional, sampai saat ini
belum mengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral
(International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara
umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional
(International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral
ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja
sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:The Arab Leage Extradition
Agreement Tahun 1952.The Inter America Convention Extradition.
European Extradition Convention, dan lain-lain.
Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka
keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan
sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan
dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam
perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi
penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat
dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.
Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian
internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan
masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang
dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam
keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh
melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan
santun internasional (international courtesty), perlakuan timbal balik
(reciprocity), juga berupa kemurahan hati (exgratia). Ekstradisi tumbuh
dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan
bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai
merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang
bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping
menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para
pihak.
Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar
hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi
sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan
yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970,
konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-
lain.
Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi
juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin
pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi
hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang
tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian
ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri
masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah
perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional
masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara
lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang
yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah
termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang
berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau
ditolak dan lain-lain sebagainya.
Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih
belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan
ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu
memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur
mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-
perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.
Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan
merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara
yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang
ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul
pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi
dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu
sendiri.Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu
negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum
internasionalberdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam
negeri dari negara yang bersangkutan.
7. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi
Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk
mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk
menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal
yang ada hubungannya dengan itu.
Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada
diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada
negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada
perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing
kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan
pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak
ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang
bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan.
Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi
negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan
lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan
untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara
diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian
ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk
menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya
informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil
negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu
dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu
tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam
pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap
penjajakan saja. Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui
saluran dipomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih
dahulu, yaitu:Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman
antara negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh
orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga
negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi
kebanyakan negara yang diminta adanya orang yang harus diserahkan
(extraditiable person) biasanya menolak untuk menyerahkan warga
negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan
perkataan lain warga negara yang telah melakukan kejahatan akan
diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals).
Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan
dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian
yaitu: Kejahatan agama.
Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offenc):
Kejahatan politik, Kajahatan militer.Dalam praktek negara-negara
dewasa ini, dalam menetapkan kejahatan-kejahatan apa yang dapat
diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu:
a. Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang
memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu
persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.
b. Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum
hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan
apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan
atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat
diekstradisi.
c. Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan
sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum
atau maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk
melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi
sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati.
8. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi
Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah
itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun
dalam undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada
pokoknya adalah sama. Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh
negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang
merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan.
Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan
diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas
tersebut ialah: Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa
penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan
yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai
suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh
negara peminta maupun negara diminta.
Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa
permintaan dari negara peminta terhadap orang yang perbuatannya
bukanlah merupakan perbuatan. Berikut beberapa asas yang saya kutip:
a. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).
kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak
dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara
peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang
telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi
yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa
penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila
perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh
kedua negara. Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama
karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan
yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.
Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu
kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan
atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana
jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga
melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain
yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk
penyerahannya kepada negara peminta.
Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara
peminta atas dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk
diserahkan, sekalipun semua jenis kejahatan yang dilakukan dapat
dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut. Oleh karena itu negara
peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan itu harus
menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta
penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan
apakah penyerahan dilakukan atau ditolak.
b. Azas Kekhusussan atau Specially.
Sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus
menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan.
Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Dalam hal
peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara
peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku
tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan
tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting
karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian
hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi
orang yang diminta. Kejahatan politik mempunyai pengaturan
tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan
mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya
dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang
dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah
satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati
perlindungan politik dari negara lain.
Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara
untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang
meminta
1) Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan
semua kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.
2) Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan
beberapa atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan
kepada pelaku tersebut:
c. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition
of Political Criminal).Perlindungan kepadanya.
Dengan demikian negara peminta apabila memandang bahwa
kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut
sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada
negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan
ditolak oleh negara diminta. Kalau persoalan hak azasi manusia
menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena hak azasi manusia
dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk
dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah
benar-benar menghormati hak azasi manusia secara formal dan
material ataupun bagi negara-negara yang kurang menghormati.
Bagi negara yang sudah menghormati hak-hak azasi manusia akan
dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan
intropeksi bagi negaranya.
d. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition
Nationality).
Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak
menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan
dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan
pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga
negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan
mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga
warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama
dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri.
Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan
untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu
peristiwa pidana dapat saja melibatkan lebih satu negara yang berhak
atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan
telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara
peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk
diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti dinegara diminta. Karena
tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama
tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak
dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.
Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu
tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau
pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar
untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari
salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan
ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap
kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku.
Peristiwa tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang
seakan-akan tidak pernah terjadi. Yaitu suatu prinsip yang
menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan
yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian
tidak dapat diterima. Yakni suatu azas yang menyatakan tempat
dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana
terdapat lebih dari satu negara yang menuntutsuatu ekstradisi. Hal ini
berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari
negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.
Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat
dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil
dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan
ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja
sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib,
dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari
negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak
azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.
Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan
dan penyerahan tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-
masing. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat
saja ditolak bila kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian
berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini
tampaknya mempunyai kaitan dengan azas Lex Loci Delictus
mengenai tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Jelasnya disini
faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat tidaknya
permintaan ekstradisi suatu negara dikabulkan. Azas yang
menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka hanya
dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.
C. Mutual Legal Assistance
Jaksa Agung Chambers adalah Otoritas Pusat Singapura untuk
bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana. The International Affairs
Division dari Kejaksaan Agung Chambers menangani dan memproses semua
permohonan resmi untuk bantuan sesuai dengan ketentuan Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana Undang-Undang (UU) dan setiap Perjanjian
Saling Bantuan Hukum yang berlaku (mlat).
1. Jenis bantuan
Jenis-jenis bantuan hukum timbal balik yang dapat memberikan
Singapore sehubungan masalah pidana meliputi:
a. mengambil bukti
b. mendapat suatu perintah produksi
c. permintaan kehadiran seseorang
d. permintaan penahanan dari orang-orang di perjalanan
e. penegakan perintah penyitaan asing
f. pencarian dan penyitaan
g. menemukan atau mengidentifikasi orang
h. layanan proses.
2. Ditetapkan mancanegara
Negara-negara dimana Singapura memiliki mlat yang ada
dikukuhkan sebagai "negara-negara asing yang ditentukan" di bawah
Undang-Undang. Negara tersebut dapat diberikan bantuan sesuai dengan
ketentuan mlat relevan dan Undang-Undang.
Negara-negara lain dapat menerima bantuan jika ada suatu usaha
timbal balik sesuai dengan bagian 16 (2) dari Undang-Undang. Ini usaha
timbal balik harus menyediakan bahwa negara peminta akan memenuhi
permintaan masa depan dengan Singapura untuk bantuan serupa dalam
hitungan kriminal yang melibatkan sebuah pelanggaran yang sesuai
dengan pelanggaran yang asing bantuan dicari.
3. Bentuk permintaan
Permintaan bantuan dapat dibuat dengan menggunakan bentuk
sampel di bawah ini:
a. Permintaan untuk mengambil bukti
b. Permintaan untuk perintah produksi
c. Permintaan kehadiran orang di luar negeri
d. Permintaan penahanan orang-orang dalam perjalanan
e. Permintaan untuk penegakan perintah penyitaan asing
f. Permintaan untuk pencarian dan penyitaan
g. Permintaan untuk mencari atau mengidentifikasi orang
h. Permintaan untuk layanan proses
Negara-negara yang telah menandatangani dan meratifikasi
Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana
antara Seperti yang berpikiran negara Anggota ASEAN harus membuat
permintaan bantuan hukum timbal balik ke Singapura dengan
menggunakan formulir yang disediakan di website Sekretariat Perjanjian
ini.
4. Transmisi permintaan
Selesai permintaan dapat dikirimkan oleh Otoritas Sentral negara
membuat permintaan tersebut ke alamat berikut:
a. Direktur Jenderal
b. International Affairs Division
c. Jaksa Agung Chambers
d. 1 Upper Pickering Jalan
e. Singapore 058.288
Dalam kasus permintaan mendesak, salinan permintaan juga
dapat dikirimkan melalui fax ke +65 6702 0513 atau melalui email ke
[email protected]. Namun, hard copy dari permintaan
masih diperlukan untuk dikirim melalui.
Negara-negara dimana Singapura memiliki mlat juga harus
mematuhi ketentuan yang relevan dari mlat berkaitan dengan transmisi
permintaan.
Pertanyaan terkait dengan bantuan hukum timbal balik
Pertanyaan terkait dengan bantuan hukum timbal balik dapat dikirimkan
ke alamat korespondensi dan nomor fax di atas, atau dikirim melalui
email ke [email protected]..
Pemberitaan di media massa — antara lain Asian Wall Street Journal
dan Washington Post —yang terbit beberapa waku lalu menyebut banyaknya
kasus tindak pidana keuangan di Indonesia,di mana kemudian pe-laku
menyembunyikan hasil kejahatannya di negara tetangga.Ironisnya, Indonesia
menghadapi kesulitan di dalam melakukan penelusuran dan pengembalian
aset hasil tindak pidana tersebut.
Nah, sebenarnya, salah satu jalan keluar untuk memecahkan masalah
tersebut adalah membuat kerja sama Mutual Legal Assistance in Criminal
Matters (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik di bidang pidana dengan
berbagai negara sebelum meratifikasi dan menerapkannya. Apa sebenarnya
peranan MLA bagi penegakan hukum untuk tindak pidana yang bersifat lintas
batas negara ini? Bagaimana pula perkembangan MLA yang sudah
ditandatangani dan diratifikasi oleh Indonesia?
Berbagai Macam Perjanjian
Dalam kerja sama internasional untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana dikenal beberapa perjanjian, antara lain, Memorandum of
Understanding (MoU), MLA, Ekstradisi, dan Perjanjian Pemindahan Orang
yang Sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Person). Dalam MoU yang
dikerjasamakan atau dipertukarkan adalah informasi dalam rangka
penyelidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan dalam MLA ruang
lingkup kerja samanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemerik-
saan, di pengadilan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Perjanjian
ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap seorang tersangka atau
terdakwa yang berada pada yurisdiksi negara lain. Kemudian,perjanjian
Transfer of Sentenced Person meliputi pemindahan orang yang sudah
menjalani sebagian hukuman ke negara asalnya untuk menjalani sisa masa
hukuman yang belum dijalaninya di negaranya.
Mutual Legal Assistance
MLA ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional
dan Konvensi PBB, misalnya, dalam United Nations Convention Against
Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki
kerja sama intem-asional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas
korupsi. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan
payung dari MLA, yaitu UU No 1 tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret
2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance
Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara
yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25
Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A.
MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA
bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan
baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah
memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia,
China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada
MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua
negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia . Objek MLA, antara lain,
pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen,
catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permin-taan
untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan
penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang
bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta
bantuan MLA.
Dalam pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang
berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa peng-
geledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat , dan pengambilan
keterangan.
Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan
kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat
mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau
penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap
politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik
melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority . Ada juga
negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik,
seperti Malaysia.
Kurang Progresif
Kalau dilihat dari jumlah perjanjian MLA yang dimiliki Indonesia ,
yaitu hanya tiga perjanjian, tampak kesan Indonesia kurang progresif. Di
samping itu, Indonesia sering kali lambat di dalam melakukan ratifikasi
terhadap perjanjian MLA yang sudah ditandatangani.
Dari ketiga perjanjian tersebut, ada satu perjanjian MLA yang
walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai hari
ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA dengan Korea . Perjanjian MLA
dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja
diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA ultilateral dengan
hamper seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November
2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi.
Sementara itu, Singapura dan Malaysia sudah mencatatkan dokumen
ratifikasinya masingmasing sejak April dan Juni 2005. Bandingkan dengan
Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar 50 negara,
seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat China
memiliki 39 perjanjian MLA dengan negara lain. Baru-baru ini, Indonesia
sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi yang akan ditandatangani
dalam perjanjian MLA.
Mutlak Perlu Sebagaimana diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat
dan perkembangan teknologi dan pelayanan nasabah bank semakin
meningkat dengan modus operandi lebih rumit dan canggih.
Di samping itu, mengingat tindak pidana tertentu memiliki
karakteristik lintas batas Negara {transnational organized crime), seperti
korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk
memperoieh alat bukti dan aset yang merupakan hasil tindak pidana.
Indonesia harus lebih progresif lagi mengupayakan peningkatan kerja sama
MLA dengan negara lain. Kita jangan selalu terlambat seperti yang selama ini
terjadi. Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama
MLA dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia memiliki UU MLA atau
Perjanjian MLA justru karena dipengaruhi atau ditekan Negara lain atau
lembaga internasional.
Sharing Forfeited Asset
Salah satu aspek dari MLA adalah sharing forfeited asset . Aset yang
disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus
tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. Ini suatu masalah baru.
Indonesia memiliki ketentuan untuk mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No
1 tahun 2006, namun beberapa Negara, seperti Thailand, Tidak. Di Amerika
Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada
tahun itu ada dana sebesar USD 1 88 juta dan dibagikan kepada negara lain
yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari
peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan
yang esensial maka dapal memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas.
Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di
pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan
permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat
bagian sebesar 40-50%.
Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya ''facilitating
assistance"' — misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank
— akan memperoleh bagian sampai 40%. Indonesia perlu mengundangkan
dan membuat per aturan pelaksanaan soal ketentuan Pasal 57 mengenai
masalah sharing forfeited asset ini. Ini menjadi membuka peluang
keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di
luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu
ini dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM sudah tentu dengan
mempertimbangkan peranan negara tersebut. YH Dimuat dalam Harian
Seputar Indonesia. Senin, 8 Mei 2006