Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik...

24
1 PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL INDONESIA DALAM KAJIAN PERSPEKTIF NORMATIF, TEORETIS DAN PRAKTIK PERADILAN OLEH: LILIK MULYADI*) A. NUANSA DAN PARADIGMA TENTANG EKSISTENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Pada hakikatnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mempergunakan terminologi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk menyelesaikan dan mengadili perkara ketenagakerjaan. UU ini disahkan pada tanggal 14 Januari 2004 dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2005 1) eksistensi PHI mulai efektif sejak tanggal 14 Januari 2006. Konsekuensi logis lahirnya UU ini maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU *) Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Hakim Niaga dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) serta Penulis Buku Ilmu Hukum 1) PERPU Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada konsiderans huruf b PERPU tersebut menentukan bahwa pelaksanaan Undang-Undang tersebut memerlukan pemahaman dan berbagai kesiapan sarana, prasarana, sumber daya manusia, baik di lingkungan pemerintah maupun lembaga peradilan. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan umum PERPU tersebut lebih lanjut dikatakan, bahwa “Apabila Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diberlakukan pada waktu yang telah ditentukan, sementara belum ada kesiapan dari institusi yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka akan berdampak terganggunya suasana hubungan industrial yang dapat berdampak negatif bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena di satu pihak lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 belum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya, namun di pihak lain ketentuan hukum yang selama ini dipakai sebagai dasar dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Suasta, dicabut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Sebagai akibatnya Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dimaksud”.

Transcript of Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik...

Page 1: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

1

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL INDONESIA DALAM KAJIAN PERSPEKTIF NORMATIF, TEORETIS

DAN PRAKTIK PERADILAN

OLEH:

LILIK MULYADI*)

A. NUANSA DAN PARADIGMA TENTANG EKSISTENSI

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Pada hakikatnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2004

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mempergunakan terminologi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk menyelesaikan dan mengadili perkara ketenagakerjaan. UU ini disahkan pada tanggal 14 Januari 2004 dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 20051) eksistensi PHI mulai efektif sejak tanggal 14 Januari 2006. Konsekuensi logis lahirnya UU ini maka UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU

*) Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Hakim Niaga dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) serta Penulis Buku Ilmu Hukum

1) PERPU Nomor 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada konsiderans huruf b PERPU tersebut menentukan bahwa pelaksanaan Undang-Undang tersebut memerlukan pemahaman dan berbagai kesiapan sarana, prasarana, sumber daya manusia, baik di lingkungan pemerintah maupun lembaga peradilan. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan umum PERPU tersebut lebih lanjut dikatakan, bahwa “Apabila Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diberlakukan pada waktu yang telah ditentukan, sementara belum ada kesiapan dari institusi yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka akan berdampak terganggunya suasana hubungan industrial yang dapat berdampak negatif bagi upaya pemulihan ekonomi Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena di satu pihak lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 belum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya, namun di pihak lain ketentuan hukum yang selama ini dipakai sebagai dasar dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Suasta, dicabut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Sebagai akibatnya Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dimaksud”.

Page 2: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

2

Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dikaji dari perspektif teoretis, normatif dan praktik peradilan ternyata UU terdahulu (UU Nomor 22 Tahun 1957 dan UU Nomor 12 Tahun 1964) relatif tidak dapat menyelesaikan mengenai perselisihan hubungan industrial yang berdimensi cepat, tepat, adil dan murah seiring dengan era industrialisasi, kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi. Apabila dijabarkan, ada beberapa aspek sebagai latar belakang diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2004.

Pertama, sejak diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang semula bersifat final, oleh pihak yang tidak menerima putusan tersebut dapat diajukan gugatan pada PTUN, yang selanjutnya dapat dimohonkan kasasi pada Mahkamah Agung (MA). Proses ini membutuhkan waktu relatif lama yang tidak sesuai untuk diterapkan dalam kasus ketenagakerjaan (hubungan industrial) yang memerlukan penyelesaian cepat, karena berkaitan dengan proses produksi dan hubungan kerja. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4P selama ini dikenal sebagai quasi-peradilan atau “peradilan semu”, karena institusi ini mempunyai kewenangan memutus perkara-perkara dalam hubungan industrial, namun “semu” karena institusi ini bukan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana kemudian dirubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kelembagaan P4D/P4P ini duduk wakil-wakil dari pemerintah, berdasarkan hal itu maka putusannya kemudian dikatagorikan menjadi PTUN, yang dapat menjadi obyek perkara PTUN.

Kedua, adanya kewenangan Menteri untuk menunda atau membatalkan putusan P4P atau biasa disebut Hak Veto. Hak Veto ini merupakan campur tangan pemerintah, dan tidak sesuai lagi paradigma yang berkembang dalam masyarakat, dimana peran pemerintah seharusnya sudah harus dikurangi.

Ketiga, dalam UU Nomor 22 Tahun 1957 yang dapat menjadi pihak dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanyalah serikat pekerja/serikat buruh. Dengan berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dijiwai oleh Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, yang telah diratifikasi oleh Indonesia, maka terbuka kesempatan untuk setiap pekerja/buruh membentuk/mengikuti organisasi yang disukainya. Namun di pihak lain hak pekerja/ buruh untuk tidak berorganisasi juga harus dihargai. Oleh karena itu UU Nomor 22 Tahun 1957 yang mensyaratkan pihak yang berperkara harus serikat pekerja/serikat buruh, menjadi tidak sesuai lagi dengan paradigma baru di bidang hubungan industrial yaitu demokratisasi

Page 3: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

3

di tempat kerja. Apabila UU Nomor 22 Tahun 1957 tetap dipertahankan maka pekerja/buruh perorangan hanya dapat berperkara dihadapan peradilan umum dengan beracara secara perdata.

Dikaji dari perspektif eksistensinya, UU Nomor 2 Tahun 2004 lahir, tumbuh dan berkembang dengan titik tolak ketentuan Pasal 136 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 20002) tentang Ketenagakerjaan. Kemudian dikaji dari aspek kedudukannya berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU Nomor 2 Tahun 2004 PHI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.3) Pada hakikatnya dengan eksisnya PHI konsekuensi logis dari dimensi tersebut ada unifikasi dan kesatuan dalam menyelesaikan kasus-kasus perselisihan secara terintegral pada PHI sehingga penyelesaian perkara mengenai perselisihan perburuhan secara berjenjang melalui P4D dan P4P, tidak dikenal lagi.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 59 UU Nomor 2 Tahun 2004 PHI dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi bersangkutan. Kini, berdasarkan data terakhir di Indonesia terdapat sebanyak 33 (tiga puluh tiga) buah PHI. Selain itu, di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk PHI pada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004). Kemudian untuk tingkat kasasi berpusat pada Mahkamah Agung RI (MARI).

2) Pasal 136 UU Nomor 13 Tahun 2003 menentukan: “(1) Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat, (2) Dalam hal penyelesaian untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.”

3) Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) menyebutkan 4 (empat) lingkungan badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (judicial power) yaitu Peradilan Umum (UU Nomor 8 Tahun 2004), Peradilan Agama (UU Nomor 3 Tahun 2006), Peradilan Militer (UU Nomor 31 Tahun 1977) dan Peradilan Tata Usaha Negara (UU Nomor 9 Tahun 2004). Pada ketentuan Pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 maka dalam salah satu lingkungan peradilan dapat dibentuk pengadilan khusus atau diferensiasi/spesialisasi. Kini, pengadilan khusus tersebut dikenal dengan Pengadilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Pengadilan Niaga (UU Nomor 4 Tahun 1998 jo UU Nomor 37 Tahun 2006), Pengadilan HAM (UU Nomor 26 Tahun 2000), Pengadilan TIPIKOR (UU Nomor 30 Tahun 2002), Pengadilan Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004) dan Pengadilan Perikanan (UU Nomor 31 Tahun 2004).

Page 4: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

4

Lebih lanjut, dikaji dari perspektif kewenangannya PHI adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.4) Ketentuan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004 menentukan PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditingkat pertama mengenai perselisihan hak,5) ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan,6) ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja,7) dan ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.8) Identik dengan pengadilan khusus lainnya, PHI juga terdiri dari beberapa struktur yang mendukung ruang lingkup kerjanya. Ketentuan Pasal 60 UU Nomor 4 Tahun 2004 menentukan susunan PHI pada Pengadilan Negeri terdiri dari Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti, kemudian pada MARI terdiri dari Hakim, Hakim Ad-Hoc9) pada MA dan Panitera. Hakim PHI pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung sedangkan Hakim Ad-Hoc PHI diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua

4) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004 dan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

5) Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2004).

6) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan, dan atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2004).

7) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 2 Tahun 2004).

8) Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. (Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004).

9) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 01/MEN/XII/2004 Tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Calon Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung.

Page 5: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

5

Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004 untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc PHI pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima) orang dari unsur serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari unsur organisasi pengusaha. Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti PHI pada Pengadilan Negeri dan dapat memberi petunjuk dan teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc, Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda dan Panitera Pengganti PHI pada MA dan dapat memberi petunjuk dan teguran kepada Hakim Kasasi dan teguran Ketua Pengadilan Negeri maupun Ketua Mahkamah Agung tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc PHI dalam memeriksa dan memutus perselisihan (Pasal 71 UU Nomor 2 Tahun 2004). Ketentuan Pasal 64 UU Nomor 2 Tahun 2004 menetapkan syarat untuk dapat diangkat Hakim Ad-Hoc pada PHI baik di Pengadilan Negeri maupun di MA yaitu: warga negara Indonesia; bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter; berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S.1) kecuali bagi

hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana hukum; dan

berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.

Berikutnya ketentuan Pasal 66 menyebutkan bahwa Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota Lembaga Tinggi Negara, kepala daerah/ kepala wilayah, lembaga legislatif tingkat daerah, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pengurus partai politik, pengacara, mediator, konsiliator, arbiter atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organiasi pengusaha. Secara normatif sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc PHI wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:

“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan

Page 6: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

6

setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/ berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Sebagai salah satu pengadilan khusus PHI mempunyai spesifikasi.

Selama ini pemahaman masyarakat luas atas ketentuan hukum acara perdata, utamanya dalam hal mengajukan gugatan, ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg mengatur bahwa pada asasnya gugatan diajukan di Pengadilan (Negeri) di wilayah mana Tergugat bertempat tinggal atau berdomisili. Lain halnya dengan ketentuan Pasal 81 UU Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur bahwa gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Dari ketentuan tersebut nampak jelas bahwa asas actor sequitur forum rei10) yang selama ini dikenal, ditinggalkan. Pembentuk UU tidak memberikan penjelasan tentang diterapkannya asas gugatan diajukan di tempat pekerja/buruh bekerja. Demikian halnya dengan bagaimanakah cara gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan, apakah gugatan tersebut harus diajukan dalam bentuk tertulis, ataukah dapat pula diajukan secara lisan, ternyata ketentuan UU tidak mengaturnya secara tegas. Karena itu maka praktik peradilan yang berjalan selama ini, gugatan dapat diajukan secara tertulis maupun lisan tetap dipertahankan, betapapun ternyata mayoritas gugatan diajukan secara tertulis, lebih-lebih

10) Berdasarkan ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg maka Pengadilan Negeri

berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat, atau tempat tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya). Kemudian dapat pula ditempat tinggal salah satu tergugat, jika terdapat lebih dari satu tergugat yang tempat tinggalnya tidak berada dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri menurut pilihan penggugat, kemudian dapat pula pada tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara penggugat dengan tergugat adalah sebagai yang berhutang dan penjaminnya. Selanjutnya, gugatan dapat pula diajukan ditempat tinggal penggugat atau salah satu dari penggugat dalam hal tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana berada atau tergugat tidak dikenal (dalam praktik harus disebutkan dahulu dalam gugatan tempat tinggalnya yang terakhir, baru keterangan bahwa sekarang tidak diketahui lagi tempat tinggalnya). Kemudian apabila yang menjadi obyek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), maka gugatan diajukan ditempat benda yang tidak bergerak tersebut terletak. Selanjutnya, bila ada pilihan domisili yang tertulis dalam akta, maka jika penggugat menghendaki, gugatan dapat diajukan ditempat domisili yang dipilih itu.

Page 7: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

7

mengingat para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya. Sebagaimana ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pihak diberi kebebasan kapan yang bersangkutan akan mengajukan gugatan di pengadilan, hal yang sama berlaku pula bagi pihak yang akan mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial pada PHI. Namun khusus bagi pekerja/buruh yang akan mengajukan gugatan atas dasar perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ditentukan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004).11)

Berikutnya terhadap jenis perselisihan hubungan industrial yang lain, meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, tidak terdapat batasan waktu untuk mengajukan gugatan ke PHI. Hal yang senantiasa harus diingat oleh Penggugat ialah ketika yang bersangkutan mengajukan gugatan ke PHI wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, jika tidak demikian halnya, ketentuan Pasal 83 ayat (l) UU No. 2 Tahun 2004 mengamanatkan Hakim PHI wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat.

Lebih dari hal itu, ketentuan ayat (2) pasal tersebut mengamanatkan pula bahwa hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta Penggugat untuk menyempurnakan gugatannya. Sebagaimana yang berlaku dalam ketentuan hukum acara perdata, bahwa Penggugat sewaktu-waktu dapat mencabut gugatannya, dengan ketentuan selama Tergugat belum memberikan jawaban. Jika ternyata Tergugat telah memberikan jawaban atas gugatan Penggugat tersebut, sementara itu Penggugat ingin mencabut gugatannya, maka pencabutan gugatan Penggugat akan dikabulkan oleh PHI sepanjang Tergugat menyetujuinya. Prinsip dasar umum yang selama ini dikenal dalam hukum acara perdata ialah “beracara dikenakan biaya”, terkecuali bagi yang tidak mampu, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berkompeten; dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk beracara secara cuma-cuma (prodeo).

Berbeda dengan prinsip tersebut, ketentuan Pasal 58 UU Nomor 2 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa dalam proses beracara di PHI, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya, termasuk biaya

11) Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan

Industrial Dalam Teori Dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hlm. 9. dan: Lilik Mulyadi, Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Serta Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Oleh Pengadilan Khusus Indonesia Dalam Teori Dan Praktik, Proses penerbitan PT Bayu Media Publishing, Malang, 2008, hlm. 7

Page 8: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

8

eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

Ketentuan demikian sangat bermanfaat dan menolong utamanya bagi kalangan pekerja/buruh, terlebih-lebih yang dikatagorisasikan tidak mampu dan ingin mempertahankan haknya di muka pengadilan. Namun demikian perlu kiranya dipikirkan secara mendalam dan bilamana perlu dikaji ulang, tepatkah pembebasan biaya perkara demikian itu diterapkan bagi kalangan pengusaha yang nota bene termasuk dalam golongan yang mampu? Ketentuan tentang pembebasan biaya perkara bagi perkara yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dalam praktik tidak jarang disalahgunakan, dengan cara memecah menjadi beberapa perkara, sehingga masing-masing perkara nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00. karena itu dibebaskan dari biaya perkara. Dilihat dari subyek dan obyek gugatan, ternyata sama, semestinya beberapa perkara tersebut cukup dijadikan satu perkara, yang tentu saja hal demikian membawa konsekuensi Penggugat dibebani membayar biaya perkara. Gugatan yang melibatkan lebih dari satu Penggugat, dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. Itulah sebabnya serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di PHI mewakili anggotanya. Ketentuan Pasal 103 UU Nomor 2 Tahun 2004 mengatur bahwa Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama. UU tidak mengatur tentang apa akibat hukumnya, bila ternyata Majelis Hakim melampaui batasan waktu 50 (lima puluh) hari kerja dalam memeriksa dan memutus perkara perselisihan hubungan industrial.

Selanjutnya dalam PHI Majelis Hakim dipimpin seorang hakim karier, dimana yang bersangkutan selain menjalankan tugasnya sebagai hakim PHI, juga mengemban tugas untuk mengadili perkara perdata dan pidana pada umumnya. Sehingga bagi hakim (karier) yang bersangkutan harus benar-benar mengatur waktu dengan baik, agar batasan waktu 50 (lima puluh) hari kerja dapat dijalankan dengan tepat. Untuk itu, belajar pada pengalaman Pengadilan Niaga yang masa pemeriksaannya juga dibatasi waktu tertentu, baik dalam perkara permohonan pailit/ penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), maupun dalam perkara-perkara di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), senantiasa menyusun court calendar secara baik. Bila majelis hakim PHI juga melakukan hal serupa, dalam arti kata menyusun court calendar untuk setiap perkara perselisihan hubungan industrial yang ditanganinya, waktu 50 (lima puluh) hari kerja yang diatur dalam UU tersebut relatif cukup. Ketentuan mengenai batasan waktu pemeriksaan perkara perselisihan hubungan industrial selama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama, sama sekali tidak disertai jalan keluar, bagaimana sekiranya karena alasan yang eksepsional sifatnya Majelis Hakim tidak dapat menepati batas waktu 50 (lima puluh) hari kerja, apakah dapat mengajukan permohonan perpanjangan kepada

Page 9: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

9

Mahkamah Agung, sebagaimana halnya dalam perkara HaKI pada Pengadilan Niaga.

Dalam praktik peradilan memang masih ada Majelis Hakim yang mengadili perkara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melebihi batas waktu masa pemeriksaan 50 (lima puluh) hari kerja sebagaimana ditentukan secara normatif dalam UU, maka pada umumnya aspek ini dapat dipahami, karena persoalannya menyangkut pemanggilan para pihak yang tidak jarang memerlukan bantuan pengadilan lain atau bahkan para pihak berada di luar negeri, sehingga batasan waktu 50 (lima puluh) hari kerja tidak mencukupi. Harus pula disadari bahwa yurisdiksi PHI saat ini meliputi satu provinsi, yang kondisi antar provinsi berbeda-beda antara satu dengan lainnya.

B. ASPEK NORMATIF DAN PRAKTIK PERADILAN TERHADAP

KOMPETENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Identik dengan mengadili perkara perdata pada umumnya yang

dilakukan oleh Pengadilan Negeri maka PHI mempunyai kompetensi tersendiri untuk mengadili perkara penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dikaji dari perspektif normatif, teoretis dan praktik peradilan berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004, hakikatnya PHI memeriksa dan memutus :

1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan

kerja; 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat

pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.

Khusus terhadap upaya hukum para pihak yang tidak menerima putusan peradilan tingkat pertama mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK adalah kasasi pada MARI. Kemudian terhadap perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan PHI merupakan peradilan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Apabila dibuatkan dalam bentuk bagan maka kompetensi PHI terlihat sebagaimana dalam bagan 1 berikut ini.

Page 10: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

10

Bagan 1. Kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial

1. Perselisihan Hak Tingkat I P.H.I Kasasi ke Mahkamah Agung

2. Perselisihan Kepentingan Tingkat I dan terakhir P.H.I

3. Perselisihan Pemutusan Tingkat I P.H.I Kasasi ke Mahkamah Agung

Hubungan Kerja

4. Perselisihan antar Tingkat I dan terakhir P.H.I

Serikat Pekerja dalam

Satu Perusahaan.

Kompetensi

Perselisihan

Hubungan

Industrial

Page 11: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

11

Selanjutnya berikut penulis deskripsikan lebih lanjut mengenai ruang lingkup kompetensi PHI sebagaimana uraian berikut ini. 1. PERSELISIHAN HAK

Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2004 secara eksplisit menentukan bahwa perselisihan hak merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja12), peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.13) Penjelasan

12) Ketentuan Pasal 1601a KUH Perdata menyebutkan perjanjian kerja adalah

suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, kewajiban para pihak. Imam Soepomo, menyebutkan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah. (Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Penerbit PT Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 57). R. Subekti, menyebutkan perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan”, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda diersverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain. (R. Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1977, hlm. 63). Kemudian dalam perjanjian kerja tersebut ditemukan adanya anasir pekerjaan, adanya pelayanan, adanya waktu tertentu dan adanya upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan, kemudian perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh, jabatan atau jenis pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Kemudian perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasal 1 angka 1 menyebutkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu dan Pasal 1

Page 12: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

12

Pasal 2 huruf a UU Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan perselisihan hak merupakan perselisihan hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja, atau peraturan perundang-undangan. Imam Soepomo menyebutkan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian ataupun menyalahi ketentuan hukum, dan perselisihan kepentingan adalah mengenai usaha mengadakan perubahan dalam syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh dituntutkan kepada pihak majikan.14) Mumuddi Khan menyebutkan perselisihan hak sebagai, “on the other hand, refer to the violation of anexisting right established by individual or collective agreements or by law. These disputes include labour standard violation in the form of money claims, violation of security of tenure through complaints of unjust dismissals and preventive suspensions and violation of an existing collective agreement”.15)

Dikaji dari perspektif sejarahnya perselisihan hak dahulu merupakan yurisdiksi Pengadilan Negeri dan Panitia Penyelesaian Perburuhan. Wijayanto Setiawan menyebutkan aspek ini lebih detail, bahwa :

“Dalam sejarahnya perselisihan hak berdasarkan Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie ini Indonesie (R.O. S 1847 Nomor 23 jo S 1848 Nomor 57) menentukan bahwa perselisihan akibat perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan diselesaikan akibat perjanjian kerja dan perjanjian

angka 2 menyebutkan Pekerjaan Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, kemudian perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, dan hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (Pasal 51 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), (2) UU Nomor 13 Tahun 2003).

13) Ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama menyebutkan perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

14) Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Penerbit PT Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 97.

15) Mumuddi Khan, Labour Administration Profile on the Philippines, ILO Asia & Pasific Regional Center for Labour Administration, Bangkok, 1989, hlm. 24.

Page 13: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

13

perburuhan diselesaikan oleh hakim residensi (residentie rechter), dengan dihapuskannya hakim/pengadilan residensi oleh UU 1/Drt/1951, LN 1951 Nomor 9, maka perselisihan hak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri, namun dalam perjalanannya dengan lahirnya UU 22/1957, tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan juga memberi wewenang kepada P4 untuk menyelesaikannya. Dengan demikian saat itu terdapat 2 (dua) instansi yang mempunyai kewenangan menyelesaikan perselisihan hak tersebut, yaitu Pengadilan Negeri dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, setelah adanya SEMA Nomor 1 Tahun 1980, perselisihan hak tidak lagi ditangani oleh Pengadilan.”16)

Perselisihan hak (conflict of right, rechtsgeshil) melibatkan antara

pekerja/ buruh dengan pengusaha, atau antara serikat kerja/serikat buruh yang mewakili para pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara substansial, dalam setiap hak sedikitnya terdapat 4 (empat) anasir yang harus dipenuhi yaitu berupa subyek hukum, obyek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan suatu kewajiban dan perlindungan hukum.

H.P. Panggabean lebih detail menyebutkan, bahwa :

“Pada saat pihak yang berkewajiban tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan norma peraturan perundang-undangan atau perjanjian (wanprestasi), timbullah hak relatif dari pemilik hak, yaitu kewenangan untuk menuntut haknya kepada pihak yang belum atau tidak memenuhi kewajibannya. Pemilik hak berwenang untuk menuntut haknya apabila pihak yang berkewajiban, tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, baik karena lalainya maupun karena kesengajaannya. Di dalam hubungan Industrial selain yang diatur dalam perjanjian berupa Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau PKB, terdapat sejumlah hak-hak normatif yang dilindungi perundang-undangan, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun yang bukan berupa uang.”17)

Secara normatif dan teoretis apabila dalam pemeriksaan mengenai

perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti dengan perselisihan PHK, maka PHI wajib memutus terlebih dahulu mengenai perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. Kemudian putusan PHI pada pengadilan negeri mengenai perselisihan hak mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) apabila tidak diajukan permohonan kasasi pada MA dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja bagi yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan oleh majelis hakim, sedangkan bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan (Pasal 86, 110 UU Nomor 2 Tahun 2004).

16) Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia, Penerbit Laros, Sidoarjo, 2007, hlm. 166-167.

17) H.P. Panggabean, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Jala Permata, Jakarta, 2007, hlm. 24.

Page 14: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

14

2. PERSELISIHAN KEPENTINGAN Kompetensi kedua PHI adalah mengenai perselisihan kepentingan

(conflict of interest, belangengeschil). Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2004 menentukan perselisihan kepentingan merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 huruf c UU Nomor 22 Tahun 1957 mengklasifikasikan perselisihan mengenai keadaan perburuhan sebagai fundamentum petendi perselisihan kepentingan sehingga dapat bersifat doelmatigheid. Menurut pandangan doktrina, perselisihan kepentingan merupakan, “involve dissagreement over the formulation of standars terms and condition of employment, as exist in a deadlock in collective brgaining negosiations”.18)

Dikaji dari perspektif obyek sengketanya perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschil) disebabkan tidak adanya persesuaian paham atau pendapat terhadap perbuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja, atau terhadap peraturan perusahaan, atau dapat juga terhadap perjanjian kerja bersama. Konkritnya, perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschil) berkorelasi terhadap suatu perbuatan hukum atau dapat pula terhadap perubahan suatu isi peraturan hukum yang sudah ada selaku hukum positif (ius constitutum/ius operatum).

Dikaji dari perspektif subyek yang terlibat dalam perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschil) adalah adalah pekerja/buruh19) dengan pengusaha,20) atau dapat pula antara serikat kerja/serikat buruh21) dengan pengusaha. Ketentuan subyek yang terlibat

18) Mumuddi Khan, Labour Adminstration Profile...., Loc. Cit. 19) Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 1 angka 3 UU

Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.06/MEN/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat Kerja/Serikat Buruh yang dimaksudkan sebagai pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

20) Ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 1 angka 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.06/MEN/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat Kerja/Serikat Buruh yang dimaksudkan sebagai pengusaha adalah, (a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hokum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, (b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya, (c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

21) Ketentuan Pasal 1 angka 8 UU Nomor 2 Tahun 2004, Pasal 1 angka 17 UU Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.16/MEN/2001 Tentang Tata Cara

Page 15: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

15

dalam perselisihan kepentingan sesuai UU Nomor 2 Tahun 2004 ini ternyata lebih luas dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf c UU Nomor 22 Tahun 1957 yang mengatur subyeknya adalah antara serikat buruh atau gabungan serikat buruh dengan majikan atau perkumpulan majikan.

Dalam perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschil) dasarnya para pihak dapat melakukan upaya yang bersifat non litigasi atau di luar pengadilan melalui mediasi hubungan industrial, atau konsiliasi hubungan industrial atau maupun melalui lembaga arbitrase hubungan industrial. Bila telah dilakukan dan para pihak tersebut menolak anjuran dari mediator atau konsiliator maka para pihak yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81 UU Nomor 2 Tahun 2004).

Pada dasarnya, gugatan perselisihan hubungan industrial oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha. Kemudian dalam pemeriksaan perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan ini di PHI apabila diikuti dengan perselisihan PHK, maka PHI wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. Kemudian putusan PHI pada pengadilan negeri mengenai perselisihan PHK mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) apabila tidak diajukan permohonan kasasi pada MA dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja bagi yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim, dan bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan (Pasal 82, 86, 110 UU Nomor 2 Tahun 2004). 3. PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Perselisihan PHK merupakan kompetensi ketiga dari PHI. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 2 Tahun 2004 menentukan perselisihan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang

Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.06/MEN/IV/2005 tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat Kerja/Serikat Buruh yang dimaksudkan sebagai serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Kemudian serikat pekerja/serikat buruh ini berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.16/MEN/2001 Tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh diberitahukan dan kemudian dicatatkan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan domisili. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.16/MEN/2001 Tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Page 16: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

16

dilakukan oleh salah satu pihak. Dahulu, PHK tersebut prosedur penyelesaiannya relatif panjang serta memakan waktu yang lama. Lalu Husni menyebutkan, bahwa:

“Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan perselisihan yang terjadi karena para pihak atau salah satu pihak tidak sepaham mengenai PHK yang dilakukan. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian PHK diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 yang prosedur penyelesaiannya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu mulai dari tingkat pegawai perantara kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/ Kota, P4D, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja. Setelah ditetapkannya putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai obyek sengketa tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari keadilan semakin panjang.”22)

Eksisnya UU Nomor 2 Tahun 2004, jalan tersebut relatif lebih singkat

melalui jalur litigasi yaitu PHI pada Pengadilan Negeri dan kasasi pada MA dan non litigasi melalui mediasi, atau konsiliasi. Ketentuan PHK diatur dalam Bab XII Pasal 150-172 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan catatan ketentuan Pasal 158, 159 tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan ketentuan Pasal 160 anak kalimat, “...bukan atas pengaduan pengusaha...”, Pasal 170 anak kalimat, “...kecuali Pasal 158 ayat (1)...”, dan Pasal 171 akan kalimat, “...Pasal 158 ayat (1) ...”, tidak mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004.

Analisis normatif, teoretis dan praktik subtansi PHK dapat dikaji dari perspektif pekerja sendiri dan pengusaha. Dikaji dari perspektif pekerja sendiri maka PHK mempunyai dimensi bahwa inisiatif untuk tidak bekerja lagi atau mengundurkan diri dilakukan dari diri pekerja (faktor intern). PHK dari perspektif pekerja sendiri lazim dilakukan melalui dua cara.

Pertama, pekerja mengajukan permohonan mengundurkan diri kepada perusahaan dimana pekerja tersebut bekerja. Secara normatif ketentuan Pasal 162 UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur terhadap pengunduran diri pekerja baik terhadap uang penggantian hak23) dan uang

22) Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan &

Di Luar Pengadilan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 84-85. 23) Berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 maka

uang penggantian hak yang diterima pekerja meliputi: (a) cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; (b) biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja, (c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan (d) hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Page 17: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

17

pisah. Secara lengkap ketentuan Pasal 162 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan, bahwa:

(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 166 ayat (4).

(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pungusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri ; b. tidak terikat dalam ikatan dinas ; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Kedua, pekerja melakukan gugatan ke PHI. Aspek ini didasarkan

ketentuan Pasal 16924) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan beberapa alasan yang dapat diajukan pekerja untuk melakukan gugatan kepada

24) Secara lengkap ketentuan normatif Pasal 169 UU 13 Tahun 2003 menentukan, bahwa :

(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selam 3

(tiga) bulan berturut-turut atau lebih ; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang

diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,

dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan industrial dan pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).

Page 18: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

18

pengusaha melalui PHI. Apabila gugatan dikabulkan PHI maka pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)25), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)26) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)27).

25) Ketentuan uang pesongan paling sedikit adalah sebagai berikut : a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b.masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)

bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)

bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4

(empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)

bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)

bulan upah; g.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)

bulan upah; h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8

(delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. 26) Perhitungan uang masa kerja ditetapkan sebagai berikut : a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)

bulan upah; b.masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3

(tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4

(empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (limabelas)

tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (limabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapanbelas)

tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh

satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g.masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24

(duapuluhempat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih 10 (sepuluh) bulan upah. 27) Uang Penggantian hak yang harus diterima meliputi : a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat

dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%

(limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Page 19: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

19

Dikaji dari perspektif pengusaha (faktor ekstern) maka PHK atas inisiatif pengusaha secara teoretis dan praktik dapat dikarenakan pada diri pekerja/buruh itu sendiri maupun alasan yang terletak pada diri pengusaha itu sendiri. Pada alasan karena diri pekerja/buruh itu sendiri telah melakukan kesalahan atau pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pekerja memasuki usia pensiun dan pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara berturut-turut dan sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja (Pasal 161, 167, 168 dan 172 UU Nomor 13 Tahun 2003). Ketentuan yang mengatur pekerja/buruh telah melakukan kesalahan atau pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sebagaimana ketentuan Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003, menentukan bahwa : 1. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

2. Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

3. Pekerja buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Ketentuan PHK karena alasan memasuki usia pensiun diatur dalam

Pasal 167 UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut : (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar pengusaha.

(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.

Page 20: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

20

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PHK karena alasan mangkir diatur dalam Pasal 168 UU

Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut : (1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-

turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.

(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk kerja.

(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/ buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Ketentuan PHK karena alasan sakit berkepanjangan, mengalami cacat

akibat kecelakaan kerja sebagaimana ketentuan Pasal 172 UU Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut :

Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Kemudian PHK pada alasan pengusaha sendiri maka hakikatnya dapat

dikarenakan terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dan pailit sebagaimana ketentuan Pasal 163, 164, 165 UU Nomor 13 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 163 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur PHK oleh pengusaha karena terjadi perubahan

Page 21: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

21

status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2) Pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh diperusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

Ketentuan Pasal 164 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur PHK

oleh pengusaha karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur) selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).

(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Ketentuan Pasal 165 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur PHK

oleh pengusaha karena perusahaan pailit yang selengkapnya berbunyi : Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Page 22: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

22

Secara substansial pengusaha, pekerja/buruh, serikat kerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh tersebut tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam hal perundingan tersebut benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Akan tetapi, walaupun UU memberikan hak kepada pengusaha melakukan PHK akan tetapi secara normatif ada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan bahwa tidak semua aspek dapat dilakukan PHK. Ada beberapa aspek yang melarang pengusaha untuk melakukan PHK. Ketentuan Pasal 153 UU Nomor 13 Tahun 2003 secara normatif memberikan larangan terhadap pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan : pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;

pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; pekerja/buruh menikah; pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya; pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/ serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Page 23: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

23

Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 153 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 PHK yang dilakukan dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan di atas tetap dilakukan maka berakibat batal demi hukum dan pengusaha wajib memperkerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. 4. PERSELISIHAN ANTAR SERIKAT KERJA/SERIKAT BURUH DALAM

SATU PERUSAHAAN Kompetensi absolut yang terakhir atau keempat dari PHI mengenai

perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh. Dikaji dari perspektif normatif maka ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 3 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh merupakan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Kompetensi PHI terhadap perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh merupakan tingkat pertama dan terakhir. Hakikat perselisihan antar serikat kerja/ serikat buruh dapat terjadi karena adanya perselisihan hak (conflict of right, rechtsgeschil) dan adanya perselisihan kepentingan (conflict of interest, conflict of right). Pada dasarnya, karakteristik UU Nomor 2 Tahun 2004 mempunyai empat paradigma terhadap perselisihan perburuhan menimbulkan problematika, oleh karena karakteristik perselihan perburuhan hanyalah 2 (dua) macam yakni perselisihan hak (conflict of right, rechtsgeschil) dan perselisihan kepentingan (conflict of interest, belangengeschillen). Wijayanto Setiawan menyebutkan lebih detail, bahwa :

“Melalui UU 2/2004 karakteristik perselisihan perburuhan diubah menjadi empat macam, yakni perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Karakteristik perselisihan perburuhan hanyalah 2 (dua) macam, yaitu perselisihan hak (rechtsgeschil, conflict of right) dan perselisihan kepentingan (belangengeschillen , conflict of interest) tidak bisa kurang atau lebih, dan tak akan berubah sampai kapanpun, perubahan atau penambahan karakteristik tersebut memberi petunjuk bahwa pembuat undang-undang kurang cukup memahami karakteristik perselisihan perburuhan, terdapat pertentangan maksud dibuatnya undang-undang tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal bersangkutan. Kelahiran undang-undang itu terlalu dipaksakan, sehingga substansi pasal-pasalnya penuh inkonsistensi, banyak yang ditawarkan tapi semakin kacau, tidak appicable.”28)

Apabila dijabarkan lebih lanjut, maka perselisihan antar serikat

kerja/serikat buruh dimungkinkan terjadi karena dalam setiap perusahaan tidak dibatasi adanya jumlah serikat pekerja/serikat buruh. Ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang

28) Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan..., Op. Cit, hlm. 196.

Page 24: Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia Dalam Kajian Perspektif Normatif Teoretis Dan Praktik Peradilan

24

membolehkan adanya lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan dan UU tersebut juga relatif memudahkan bagi pekerja/buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh ditingkat perusahaan dengan minimum 10 (sepuluh) orang anggota. Selain itu, pembentuk UU juga memberi kebebasan dengan bentuk siapapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau tidak membentuk Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Di satu sisi, dengan banyaknya Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan mempunyai dampak positif. Akan tetapi juga mempunyai dampak negatif di sisi lainnya, tidak jarang menimbulkan gesekan, menimbulkan potensi konflik dalam melakukan aktifitasnya sehingga menimbulkan adanya perselisihan antar serikat kerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.***** Malang, 27 September 2008.-