PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

74
1 LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA UNIVERASITAS LAMPUNG TAHUN ANGGARAN 2021 PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, TB PARU, MALARIA DAN PNEUMONIA SEBAGAI INSENTIF REFORESTASI DALAM RANGKA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA: PENGEMBANGAN METODE EVALUASI EKONOMI JASAN LINGKUNGAN BAGI KESEHATAN MASYARAKAT Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. [NIDN:0005056106] Dr. dr. Betta Kurniawan, S. Ked., M.Kes. [NIDN-0009107809] Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si [NIDN:0011085902] PROGRAM STRATA 2 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA MULTIDISIPLIN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

Transcript of PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

Page 1: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

1

LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA

UNIVERASITAS LAMPUNG TAHUN ANGGARAN 2021

PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN

PENYAKIT DBD, TB PARU, MALARIA DAN PNEUMONIA

SEBAGAI INSENTIF REFORESTASI DALAM RANGKA

PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA: PENGEMBANGAN

METODE EVALUASI EKONOMI JASAN LINGKUNGAN BAGI

KESEHATAN MASYARAKAT

Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. [NIDN:0005056106]

Dr. dr. Betta Kurniawan, S. Ked., M.Kes. [NIDN-0009107809]

Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si [NIDN:0011085902]

PROGRAM STRATA 2

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA MULTIDISIPLIN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

Page 2: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

2

LEMBAR PENGESAHAN

Page 3: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

3

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

1. Judul Penelitian :

1. Tim Peneliti :

No. Nama Okupasi Bidang

Keahlian Program Studi

Waktu

(jam/minggu)

1. Dr. Ir. Samsul

Bakri, M.Si. Ketua Pembangunan

Kehutanan &

Lingkungan

Magister Ilmnu

Lingkungan

12 Jam

2. Dr. dr. Betta

Kurniawan, S.Ked.

M.Kes,

Anggota Epidemiologi

dan Kesehatan

Masyarakat

Magister

Kesehatan

Masyarakat

8 Jam

3. Dr. Ir. Agus

Setiawan, Anggota Konservasi

Sumberdaya

Hutan

Magister Ilmu

Kehutanan

8 Jam

2. Objek Penelitian (jenis material yang akan diteliti dan segi penelitian): Perencanaan Penggunaan

Lahan dan Kontribusinya bagi Mitigasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Kejadian Penyakit

Infeksi dan Menular: dbd, tb Paru, Malaria, dan Pneumonia.

3. Masa Pelaksanaan : 6 bulan

Mulai : April 2021

Berakhir : September 2021

4. Usulan Biaya : Rp 40.000.000,-

5. Lokasi Penelitian (lab/studio/lapangan): Lapangan.

6. Instansi lain yang terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontributornya)

[a] Dinas Kehutanan sebagai pemasok data program reforestasi (reboisasi dan penghijauan)

[b] Dinas kesehatan sebagai pemasok data penanggulangan penyakit infeksi

7. Temuan yang ditargetkan lulusan S-2: Model prediksi kejadian penyakit infeksi berbasis data

perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan sebagai piranti analisis kebijakan publik.

8. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata, tekankan pada gagasan

fundamental dan orisinal yang akan mendukung pengembangan ipteks): Metode baru dalam Valuasi

Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi sektor kesehatan masyarakat. Sejauh ini valuasi jasa lingkungan

yang dibangkitkan dari program-program reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan hanya terbatas

pada nilai ekonomi dari penyelamatan aspek biofisik wilayah saja seperti menekan emisi gas-gas

rumah kaca, pemulihan sumber-sumber mataair, menurunkan frekuensi banjir & frekuensi

kekeringan, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dan sejenisnya. Dengan mengambil kasus 4

penyakit infeksi, penelitian ini akan kami kontribusikan suatu temuan metode baru yang pernah

belum pernah ada tentang presedur valuasi ekonomi jasa lingkungan bagi pengendalian 4

penyakit infeksi.

9. Jurnal ilmiah yang menjadi sasaran untuk setiap penerima Hibah Penelitian Pascasarjana

(Nasional/Internasional): (a) Jurnal Internasional Bereputasi Minimal Q3 & Sinta 2, (b) HK, dan

(c) Final Draft Tesis S2 MIL

Page 4: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

4

RINGKASAN

Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)

sesuai dengan Paris Agreement 2016 adalah sebesar 26% bila tanpa bantuan LN atau 41% bila dengan skema bantuan LN

selama periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius oleh banyak kalangan. Apalagi target dari reboisasi dan

rehabilitasi penggunaan lahan sebesar 497 jutan ton CO2ekivalen jika tanpa bantun atau 650 dan ton CO2ekivalen untuk skema

reforestasi tanpa dan dengan bantuan LN tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa difahami karena benefit nilai

ekonominya yang bakal diperoleh belum pernah dikuantifikasikan, apalagi yang menggunakan satuan moneter. Benefit yang

umumnya sudah dikenal dari skema reboisasi adalah nilai ekonomi dari pulihnya sumberdaya air, peningkatan produksi PLTA

dan irigasi, menurunnya frekuensi banjir dan frekuensi kekeringan, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dsb. Namun dampak

pada pulihnya biodiversitas kawasan belum pernah dikuantifikasikan khususnya sebagai pengendalian penyakit infeksi.

Penelitian ini akan dilakukan mulai April sampai Agustus 2021 dengan tujuan untuk: [1] Membangunan model kejadian penyakit

DBD, Malaria, TB Paru, dan Pneumonia sebagai fungsi dari perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim, [2] Merancang

kebijakan fiskal berupa penetapan berbagai rencana alokasi belanja pemerintah untuk menekan kejadian wabah DBD, Malaria,

TB paru, dan Pneumonia secara exante melalui aksi penurunan GRK dalam sektor kehutanan berupa reboisasi dan rehabilitasi

penggunaan lahan di bawah skenario pemanasan global, dan [3] Menerapkan model hubungan tersebut sebagai alat untuk

menetapkan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dibangkitkan dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan dalam rangka

menekan kejadian penyakit DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia di bawah skenario pemanasan global. Postulat model yang

akan diterapkan adalah ordinary least square (OLS) dengan variabel respons [Ya], [Yb], [Yc], dan [Yd] berturut-turut adalah kejadian

penyakit per 1.000 penduduk untuk DBD, Malaria, TB Paru, dan Pneumonia yang datanya akan diakusisi melalui semua dinas

kesehatan di lingkup Provinsi Lampung. Variabel prediktornya meliputi perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan.

Variable iklim yang diterapkan meliputi temperatur udara [TEMP], curah hujan [RAIN], dan kelembaban udara [HUMD] rata-rata

tahunan yang akan diakusisi dari BMKG. Klasifikasi penggunaan lahan merujuk pada SNI (Standar Nasional Indonesia) Nomor

76452010 yaitu meliputi badan air (WBDY), mangrove [MROVE], rawa [SWAMP], tambak [FPOND], sawah [SAWH], hutan rakyat

[POP_FRST], hutan negara [ST_FRST], semak belukar [BUSH], pertanian lahan kering [AGRIC], dan pemukiman [SETL]. Data

seri penggunaan lahan ini akan diakusisi melalui down loading citra satelit Landsat (www.usgs.glovis) untuk tahun perekaman

2010, 2013, 2016 dan 2019, lalu diinterpretasi menggunakan ArchGIS 10.3 dan Envi 5.4 dan selanjutnya dilakukan validasi

melalui survai lapangan. Piranti lunak Minitab 17 akan digunakan untuk optimasi parameter model (α1 sampai α13). Pengujian

hipotesis dipakai taraf nyata 95% dan 99%. Simulasi dampak perubahan iklim akan dilakukan dengan skenario level kenaikan

temperatur global berturut-turut dari (i) 0,50 oC, (ii) 0,75 oC, (iii) 1,00 oC, (iv) 1,50 oC dan (v) 2,00oC sehingga dapat dihitung

kenaikan wabah keempat penyakit tersebut (∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd) per 1.000 penduduk. Dengan memboboti jumlah penduduk

terhadap ∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd dan dikali dengan biaya perwatan rata-rata per pasien, maka akan diperoleh biaya korbanan untuk

masing-masing level pemanasan global tersebut [VALUE]. Total [VALUE] inilah yang sejatinya merupakan nilai ekonomi jasa

lingkungan yang dapat dibangkitkan bila dilakukan reforestasi (reboisasi dan penghijauan penggunaan lahan) dalam rangka aksi

penurunan emisi GRK yang merupakan bagian pemenuhan komitmen Indonesia seperti dalam UU RI Nomor 16 tahun 2016 yang

merupakan ratifikasi dari Paris Agreement. Untuk merancang kebijakan publik berupa reboisasi dan perencanaan penggunaan

lahan tersebut, maka akan dihitung balik untuk mencari berapa luasan masing-masing penggunaan lahan agar kenaikan kejadian

keempat penyakit (∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd) itu tidak terjadi. Penggunaan lahan yang umumnya dapat menurunkan kejadian penyakit

infeksi antara lain [POP_FRST], [ST_FRST], [MROVE], dan [FPOND] seperti dilaporkan oleh Bakri dkk (2018), Seno dkk (2018),

Adhykasa dkk (2017), Mustika dkk (2017), Wigaty (2016), Rosi dkk (2017), Putra dkk (2015), dan Colfer (2006, dalam Bakri dkk

(2019). Simpulan: Beberapa simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

[1] Kenaikan temperature rata-rata tahunan dapat berpengaruh secara sangat nyata terhadap kejadian isidensi penyakit

khususnya pneumonia dimana setiap 1oC akan meningkatkan 6.81 kejadian per 10 ribu penduduk.

[2] Hutan rakyat berperan nyata dalam menekan insidensi penyakit infeksi khususnya pneumonia, dimana setiap ada kenaikan

sebesar 1% maka akan diiringingi dengan penurunan insidensi 20.0 kejadian per 10 ribu penduduk.

[3] Jika terjadi pemanasan global hingga temperatur atmosfer mencapai 2.0oC, maka di Provinsi Lampung akan mengalami

kenaikan insidensi penyakit infeksi khususnya pnuemonia akan mencapai 12 ribu pasien.

[4] Untuk meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke level semula (BAU) maka diperlukan

mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68 % dari luas provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan

rata-rata 2.0oC, yang memerlukan alokasi biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya tambahan

perawatan atas total kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta dan selebihnya dengan biaya untuk

melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329 ha.

[5] Perubuhan iklim global tidak punya dampak nyata terhadap kejadian DBD, Malarian dan TB Paru.

Kata Kunci: perubahan iklim, penggunaan lahan, nilai jasa lingkungan, penyakit infeksi

Page 5: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi

penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan Konvesi Paris Agreement 2016 adalah

sebesar 26% bila tanpa skema bantuan LN atau 41% bila dengan skema bantuan LN selama

periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius oleh banyak kalangan khususnya untuk

skema reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan yang telah ditargetkan untuk menangkap CO2

dari udara melalui fotosisntesis sebesar 479 dan 650 dan ton CO2ekivalen yang masing-masing untuk

kedua skema tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa difahami mengingat harga karbon

di pasar dunia dipandang relatif sangat rendah dibadingkan dengan harga kayu.

Harga stok karbon di pasaran dunia hanya berkisar USD 0.83 sampai USD 2.22 per ton

CO2 sedangkan biaya untuk MRV (monitoring, reporting, and verification) agar tegakan kayu

tetap dipertahankan oleh para petani pemilik lahan/hutan selama masa kontrak 10 tahun begitu

mahal yaitu sekitar USD 7.71 per ton CO2 (Brown dkk, 2013; Chaco dan Lipper, 2007 dalam

Bakri dkk, 2019). Artinya tidak akan ada petani atau pun perusahaan kehutanan yang tertarik

untuk turut berpartisipasi dalam Proyek REDD+ (Reduction Emission from Deforestion and Land

Degradation+) sebagai rencana tindak penurunan GRK pemerintah RI. Di sisi lain pemerintah

tetap harus melaksanakan komitmen itu untuk mempertahankan kredebilitas di mata internasional,

mengingat Paris Agreement telah diratifikasi menjadi Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2016.

Artinya UU ini mengikat setiap orang yang berada di wilayah RI yang mempunyai sanksi pidana

bagi setiap individu yang berada wiliayah yurisdiksi Indonesia.

Realitas yang sangat dilematis ini perlu untuk tetap dicari pemecahannya secara rasional.

Karena itu perlu perencanaan penyediaan kompensasi atas rendahnya harga jual karbon di pasar

internasional agar para petani maupun perusahaan kehutanan tetap tertarik tetap ikut berpartisipasi

secara sukarela dengan cara mempertahankan tegakan pohonnya sebagai stok karbon (bukan

ditebang) selama kurun komitmen 2020-2030 di lahan-lahan mereka. Ini merupakan tantangan

bagi akademisi maupun praktisi. Untuk itu maka perlu untuk melakukan akuntansi terhadap

semua benefit yang mungkin bisa diraih melalui aksi penurunan emisi gas GRK tersebut melalui

sector LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry). Dengan begitu kebijakan

implementasi REDD+ dapat dipastikan sebagai suatu program yang secara nasional memang

benar-benar menguntungkan dan realistis untuk dijalankan, bukan semata-mata suatu kebijakan

yang populis sifatnya di publik internasional.

Page 6: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

6

Dalam konteks itu, boleh jadi dari sisi nilai jasa penambatan karbon (carbon squestration)

melalui fotosintesis memang rugi, tetapi kerugian ini dapat dikompensasi (atau malah surplus)

dari munculnya jasa lingkungan lainnya seperti diungkapkan Bakri dkk (2019) yaitu: (i) dari jasa

resapan air atau jasa hidro-orologis seperti pulihnya sumberdaya air, peningkatan produksi PLTA,

peningkatan kontinuitas air irigasi, menurunkan frekuensi banjir di musim hujan maupun

menurunnya frekuensi kekeringan di musim kemarau, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah

dan sejenisnya, (ii) dari jasa amenitas lingkungan seperti wisata hutan dan wisata alam lainnya;

(iii) dari jasa geothermal (munculnya uap air panas akibat resepan air hujan di kawasan hutan

bertemu dengan panas bumi) yang tergolong renewbale energy yang belum banyak dieksplotasi

sekalipun Indonesia merupakan stok energi geothremal terbesar ke dua di dunia, dan (iv) jasa

biodiversitas termasuk menurunnya serangan hama dan benyakit pada tanaman serta menurunnya

berbagai jenis penyakit infeksi seperti DBD (Mustika dkk, 2017; Seno dkk, 2018; dan Hartuty

dkk, 2019), TB paru (Rosari dkk, 2017), Malaria (Putra dkk 2014; Wigaty dkk, 2016; dan Pelita

dkk, 2019), dan penumonia (Adhyaksa, 2017) bahkan juga pada ternak (Rohayati dkk, 2018) dan

pada veteriner (Nurlela dkk, 2019). Para peneliti ini membuktikan bahwa dengan pertambahan

luasan hutan ternyata secara signifikan menurunkan kejadi berbagai macam penyakit tersebut.

Walaupun begitu para peneliti belum pernah menggunakan temuan-temuan tersebut untuk

mengkuantifikasikan besarnya nilai penghematan (saving) ekonomi sebagai dampak penurunan

korbanan biaya perawatan.

Terhadap semua jenis jasa lingkungan tersebut umumnya relatif mudah melakukan

metode pengkuantifikasi nilai ekonominya. Namun belum ada peneliti atau praktisi yang

mengajukan metode kuantifikasi nilai jasa lingkungan bagi penurunan kejadian penyakit infeksi

utamanya untuk DBD, TB paru, malaria, dan pneumonia. Artinya penentuan metode valuasi nilai

ekonomi ini perlu segera dilakukan. Metode ini akan digunakan untuk merancangan kebijakan

publik dalam rangka aksi partisipasi penurun GRK di level provinsi yang sekaligus dapat menekan

kejadian keempat penyakit tersebut. Untuk itu maka perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan

khusus:

(1) Membangunan model hubungan kejadian penyakit infeksi khususnya DBD, Malaria, TB

Paru, dan Pneumonia sebagai fungsi dari penggunaan lahan dan pemanasan global,

(2) Merancang kebijakan fiskal berupa penetapan berbagai rencana alokasi belanja pemerintah

untuk menekan kejadian wabah DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia secara exante

melalui aksi penurunan GRK dalam sektor kehutanan berupa reboisasi dan rehabilitasi

penggunaan lahan di bawah skenario pemanasan global, dan

Page 7: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

7

(3) Menerapkan model hubungan tersebut sebagai alat untuk menetapkan nilai ekonomi dari jasa

lingkungan dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan dalam rangka menekan kejadian

penyakit DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia di bawah skenario pemanasan global.

1.2 Target Temuan dan Manfaat Hasil penelitian

Dengan demikian temuan yang ditargetkan dari penelitian ini adalah berupa metode valuasi nilai

ekonomi jasa lingkungan untuk sektor kesehatan dilengkapi dengan software yang user friendly

menggunakan basis Mocrosoft Excell agar mudah digunakan oleh para perencana rehabilitasi

penggunaan lahan maupun forest planner. Hasil penelitian dapat diterapkan ke semua provinsi di

Indonesia dalam rangka untuk mengukur kelayakan rencana aksi penurunan GRK di setiap

provinsi sebagai bagian dari rencana aksi penurunan emisi GRK Nasional.

Page 8: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fenomena Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Aktivitas manusia dalam memenuhi aspirasi kehidupannya tidak dapat dibatasi. Pemenuhan

aspirasi dicapai melalui pencarian nafkah yang pada hakikatnya harus melakukan eksploitasi

terhadap sumberdaya alam. Seperti dirujuk dalam Bakri dkk (2019), dampak atau eksternalitas

negatif dari aktivitas tersebut antara lain adalah berupa limbah yang diemisikan ke udara

utamanya berupa cemaran gas-gas CO2, metana (CH4), nitrous oksida (NO2), belerang oksida

(SO2), dan berbagai gas-gas flour. Gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK). Disebut

demikian karena gas-gas ini telah berkumulasi di lapisan atmosfer sejak Revolusi Industri 1.0

pada awal abad ke 18 hingga sekarang. Akumulasi GRK di lapisan stratosfer ini dapat merusak

lapisan ozon (O3) sehingga sinar ultraviolet (yang bergelombang pendek dan berdaya tembus

besar itu) dapat memasuksi atmofer bumi dalam intensitas yang sangat besar. Menurut UEPA

(2019a) ketika lapisan ozon masih utuh, sinar ultraviolet banyak dipantulkan kembali oleh lapisan

ini ke luar angkasa. Namun intensitas sinar ultraviolet ini menjadi sangat meningkat dengan

rusaknya lapisan ozon oleh akumulasi GRK di lapisan stratosfer tersebut. Bersamaan dengan itu

pula pantulan sinar matahari oleh permukaan bumi (sinar inframerah yang punya gelombang

panjang dengan daya tembus yang rendah) menjadi terhalang untuk keluar atmosfer oleh

akumulasi GRK di lapisan stratosfer itu juga. Dengan begitu atmosfer bumi seperti udara di dalam

rumah kaca tempat percobaan para kaum agronomi. Menurut Nicolaj dkk (2015) dan juga UEPA

(2019a) atmosfer bumi mengalami peningkatan pemanasan dari dua sebab yaitu: peningkatan

intensitas sinar ultraviolet dan sinar inframerah yang terjebak oleh GRK.

2.2 Dampak Perubahan Iklim dan Penggunaan Lahan pada Guncangan Ekologis

Dampak dari pemanasan global ini meluas ke segala macam ekosistem yang ada di bumi. Pada

ekosistem kutub utara maupun kutub selatan, terjadi pelelehan lapisan es sehingga telah

menyebabkan kenaikan permukaan air laut, kota-kota pantai di seluruh dunia akan tercancam

tenggelam, padahal merupakan konsentrasi penduduk dunia terbesar (Nikolaj dkk, 2015). Dengan

pelelehan es tersebut juga menyebabkan bertambahnya volume air laut yang berdampak pada

turunnya konstrasi garam di dalam air laut dan berarti penguapan air laut ke atmosfer menjadi

lebih besar sehingga menyebabkan curah hujan meningkat dengan durasi waktu yang relatif lebih

singkat (Liu dkk, 2016). Perubahan pola curah hujan ini dapat menyebabkan pola angin maupun

pola musim ekosistem terestris atau daratan terutama di kawasan tropika basah yaitu musim hujan

Page 9: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

9

lebih singkat dan musim kemarau menjadi lebih panjang, diikuti oleh perubahan unsur iklim

lainnya seperti kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, jumlah dan frekuensi petir (Oulkar

dkk, 2019).

Kecuali itu perubahan pola hujan tadi juga dapat berdampak pada eskalasi banjir di musim

hujan dan kekeringan di musim kemarau. Demikian juga erosi dan kelongsoran tanah, yang di-

trigger oleh meningkatnya intensitas hujan tadi, sehingga kadar sedimen dan kualitas perairan

terestris memburuk, khususnya sungai, menjadi sangat memburuk, telah menyebabkan

pendangkalan pada danau, waduk, dan badan-badan peairan lainnya. Pendangkalan waduk-waduk

telah menyebabkan efisiensi irigasi menjadi merosot, produksi listrik dari PLTAjuga merosot

disertai memendeknya umur waduk (Shu dkk, 2018). Selain itu produksi perikanan akibat dari

merosotnya kesetimbangan bahkan guncangan ekosistem perairan terestris (Arnell dkk, 2015).

Perubahan iklim global pada gilirannya juga membawa peruabahan yang besar bagi

ekosistem daratan atau terestris yang bermula terhadap perubahan iklim makro. Iklim mikro

sendiri juga terdampak oleh pemanasan global pada relung-relung ekologis, tempat hidupan liar

beradaptasi secara in situ atau setempat-setempat. Selain dipengaruhi oleh pemanasan global,

iklim mikro juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan atau pun tutupan lahan. Walaupun dalam

waktu yang relatif lambat, biodiversitas tumbuhan sangat mempengaruhi iklim mikro. Artinya

pada letak geografi atau koordinat yang sama, perubahan suhu, kelambaban dan tekanan udara

secara lokal juga akan mempengaruhi dominasi dan pergeseran kesetimbangan ekosistem di

dalamnya (Arnell dkk, 2015).

Sebenarnya, daratan di muka bumi ini awal sejarahnya berupa hamparan gundul dari

bebatuan, lalu mengalami proses pelapukan oleh kerja hancuran iklim, membentuk lapisan-

lapisan tanah yang melandasi setiap suksesi, dimulai dari munculnya tumbuhan tingkat rendah

seperti jenis-jenis jasad renik seperti bakteri, ganggang, fungi, dan lumut kerak. Karena

eksosistemnya setimbang maka suksesi dapat berlanjut untuk biota berukauran semak-belukar,

caparal, dan berakhir pada pepohona berupa hutan alam. Bersamaan dengan suksesi tersebut juga

diiringi dengan perkembangan fauna dari yang tingkat rendah seperti protozo sampai dengan

mamalia besar seperti rusa, babi hutan, gajah, dan harimau (UNEP, 2019b). Menurut Bakri dkk

(2019) ekosistem hutan merupakan ekosistem yang lengkap dan sempurnya berada dalam

kesetimbangan yang mantap. Namun kini sulit ditemukan ekosistem hutan yang masih alami.

Hampir di setiap negara maju yang ada umumnya sudah berganti hutan tanaman melalui proses

peradaban (civilization) yang telah lama. Sementara itu di negara berkembang pun yang

umumnya wilayah hutan hujan tropika basah kini kesetimbangan ekosistem tersebut juga sangat

terganggu akibat dieksploitasi dan dikonversi mengiri proses pembangunannya menjadi

Page 10: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

10

penggunan lain mulai perkebunan, pertanian intensif, pemukiman, perindustrian, pedagangan, dan

akhirnya banyak klimaksnya menjadi metropolitan. Bersamaan dengan proses perubahan

penggunaan lahan itu juga telah banyak melepaskan emisi GRK yang punya kontribusi yang

sangat besar dalam proses pemasan global dan perubahan.

Dapat disarikan dari dokumen UNEP (2019b) bahwa sekalipun menduduki rangking ke 8

dalam hal emisi total, tetapi dari aktivitas perubahan penggunaan lahan (LULUCF:land use, land

change, and forestry) Indonesia merupakan emitter terbesar dunia disusul Brazilia, Canada, dan

India dengan kontribusi masing-masing 3.2%, 0.6%, 0.2%, dan 0.1% dari total emisi sektor total

sektor LULUCF dunia. Sedangkan China, USA, dan Uni Eropa sekalipun menduduki emitter

total masing-masing 26.8%, 13.1%, dan 9,0% dari total emisi dunia. Tetapi reforestasi netto di

ketiga negara ini sudah positif sehingga dalam hal emisi yang bersumber dari sektor LULUCF

ketiga negara ini berturut-turut merupakan peringkat ke 15, 14, dan 16 dari 16 negara emitter

terbesar, yaitu masing-masing -1.1%, -0.6%,-1.8%. Artinya aktivitas LULUCF di ketiga ini tidak

menjadi emitter lagi, melainkan menyerap GRK. Sedangkan di Indonesia masih banyak

mengandalkan sektor LULUCF, yang berarti juga masih terus akan memperkuat guncangan

ekologis yang memperkuat dampak pemanasan global.

2.3 Dampak Guncang Ekologis pada Berbagai Penyakit Infeksi dan Menular

Guncangan ekologis akibat perubahan iklim dan perubahan penggunanan lahan tersebut akan

lebih dasyat pada ekosistem daratan. Peningkatan amplitudo suhu udara (meningkatnya suhu

maksimum dan menurunnya suhu udara minimum), disertai perubahan amplitudo kelembahan

udara serta pola angin telah mengubah pola adaptasi berbagai kehidupan liar mulai dari virus,

bakteri, jamur, potozoa, serangga, nyamuk, dan satwa liar lainnya (Bakri dkk, 2019). Dari

kelompok virus telah banyak mengalami mutasi yang sangat resisten terhadap vaksin. Bahkan

telah muncul mutan-mutan jenis baru yang tidak dapat ditemukan vaksisnya seperti virus DEN 1

sampai DEN 4, avian influenza, swine flue (Rohayati dkk, 2018; dan Mirsaeidi, 2016), virus zika

(Mirsaeidi dkk, 2016; dan Carlson dkk, 2016) serta akhir-akhir ini sangat mungkin Wuhan novel

corona virus mungkin karena suhu minimu bumi yang makin menurun (Zhu dkk, 2020). Dari

kelompok bakteri juga demikian telah muncul mutan-mutan baru seperti mycobacterium

tubercolusis, mycobacterium leprae, dan streptococcus pneumonia (Waldvogel, 2004).

Dari kelompok serangga, telah terjadi kemusnahan musuh alami sehingga beberapa virus

DEN 1 sampai DEN 4 (penyebab DBD) lebih adaptif untuk hidup dalam vektor pembaya kuman

yaitu nyamuk Aedes agepty, Aedes africanus, and Aedes Albopictus. Ketiga vektor ini juga

merupakan vektor penularan virus zika, yang semakin marak ketika suhu udara semakin panas

Page 11: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

11

(Carlson dkk, 2016). Begitu pula plasmodium vivax (penyebab malaria) lebih adaptif dalam

tumbuh vektornya nyamuk Anopheles sp. (Mironova dkk, 2019; dan Hundessa dkk, 2018)

ataupun plasmodium palciparum (Hundessa dkk, 2018). Menurut (Kassie dkk, 2015) penyakit

yang menular dari manusia dan sebaliknya (bersifat zoonosis), umumnya meningkat

prevalensinya menikuti perubahan iklim (Rohayati dkk, 2019). Perubahan iklim maupun

perubahan penggunan lahan dapat mempengaruhi transmisi penularannya, cara penyebaran

virusnya, jaringan kontak antarspesiesnya.

Pada level lokal di Provinsi Lampung Fahrizal dkk (2018) melaporkan bahwa perubahan

iklim yang di-trigger oleh pemanasan global telah menyebabkan peningkatan kejadian DBD

sekitar 1.63 kejadian per 100 ribu penduduk. Sedangkan peningkatan curah hujan setiap mm per

bulan akan menyebabkan peningkatan kejadian DBD 0,39 per 100 ribu penduduk. Untuk malaria

Wigaty dkk (2016) melaporkan akan menyebabkan 0,06 kejadian per 100 ribu penduduk.

Dalam hal perubahan penggunaan lahan di Provinsi Lampung setiap ada peningkatan

luasan atau reforestasi di hutan rakyat (penghijauan) sebesar 1% maka diikuti oleh penurunan

kejadian penyakit infeksi menular per 100 ribu penduduk sebesar : [a] 7.89 untuk DBD (Seno

dkk, 2018), [b] 1.26 untuk Malaria (Wigaty dkk, 2016), [c] 1,03 untuk TB-paru (Rosari dkk,

2017), [d] 29.7 untuk Pnemonia pada balita (Adhyksa dkk, 2017). Sedangkan tiap 1% reforestasi

di hutan negara (reboisasi) akan diiringi oleh penurunan kejadian per 100 ribu penduduk masing-

masing sebesar: [i] 7.78 untuk DBD (Seno dkk, 2018), [ii] 0.23 untuk Malaria (Wigaty dkk, 2016),

[iii] 0.12 untuk TB-paru (Rosari dkk, 2017), [iv] -29.7 untuk Pnemonia pada balita (Adhyksa dkk,

2017). Secara umum memperlihatkan bahwa hutan rakyat lebih efektif dalam mengendalikan

keempat penyakit tersebut.

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa pemanasan global yang telah menimbulkan

perubahan iklim disertai dengan degradasi penggunana lahan telah banyak menyebakan

guncangan ekologis yang juga bermua pada ledakan dan prevalensi berbagai macam penyakit,

yang menurut Fahrizal dkk (2018) juga telah berimplikasi pada kerugian ekonomi termasuk untuk

biaya perawatan dan kehilangan kesempatan untuk memproleh pendapatan baik bagi penderita

atau pun bagi keluarga yang mendampinginya. Kecuali Fahrizal dkk (2018), Sejauh ini belum

ada peneliti yang mempublikasikan karyanya tentang pengaruh reforestasi (reboisasi di kawasan

hutan negara dan penghijauan di lahah rakyat) terhadap kempat penyakit tersebut. Demikian pula

pengaruh pemanasan global terhadap kejadian penyakit tersebut kecuali yang dilakukan Fahrizal

dkk (2018) pada DBD. Demikian pula belum ada metode untuk valuasi nilai ekonomi jasa

lingkungan sebagai dampak positif dari reforestasi. Padahal sesuai dengan Paris Agreement (yang

telah diratifikasi menjadi UU RI Nomor 16 tahun 2016), Indonsia akan melakukan reforestasi

Page 12: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

12

besar-besaran sebagai bentuk komitment penurunan GRK sebesar 26% bila tanpa bantuan atau

41% bila dengan bantuan dari negara-negara industri maju.

2.4 Risalah Perundingan Adapatasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Kesadaran akan adanya feed back negatif dari lingkungan terhadap seluruh proses eksploitasi

sumberdaya ketika diterbitkan paper oleh Rome Club dari MIT pada tahun 1972 berjudul The

Limit to Growth (Meadow dkk, 1972 dalam Bakri dkk, 2019). Esensi dari paper tersebut

merupakan suatu pesimisme akan nasib keberlanjutan peradaban manusia yang pada saat itu telah

begitu sangat eksploitatif dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam memanfaatkan

sunberdaya alam yang renewable terutama seperti sumberdaya hutan, ground water dll, kecepatan

eksploitasinya secara rata-rata telah melampaui daya pulihnya. Demikian juga dalam

memanfaatkan setiap sumberdaya nonrenweable berbagai sumberdaya tambang, perilaku

manusia umumnya telah melampaui kecepatan inovasi teknologi penggantinya.

Selain itu dan juga merupakan implikasi dari perilaku dalam hal cara pemanfaatan kedua

macam sumberdaya itu tadi, pesimisme tersebut juga disebabkan oleh munculnya berbagai

macam cemaran yang berasal dari buangan sampah industri baik yang bentuk padat, cair maupun

gas yang diemisikan ke udara. Demikian juga yang berasal dari lahan-lahan pertanian akibat dari

pemakian bahan-bahan kimia untuk pupuk dan pestisida. Bahan-bahan cemaran tadi telah banyak

memusnahkan berbagai spesies, melenyapkan musuh alami, membuat resisten berbagai hama dan

penyakit, sehingga memunculkan mutan-mutan baru yang lebih agresif, menimbulkan banyak

penyakit baru pada manusia maupun hewan, yang juga bisa saling menularkan antara manusia ke

hewan atau sebaliknya yang dikenal sebagai zoonosis (Rohayati dkk, 2019) dan Nurlela dkk

(2019).

Istilah pembangunan berkelanjutan dikemukakan pertama kali oleh Serageldi (1992,

dalam Serageldin dkk, 2019) dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro Brazillia. Istilah ini

merujuk pada tanggung jawab moral dari generasi kini untuk kepentingan generasi yang akan

datang. Intinya bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya, perilaku generasi kini harus dikontrol

agar kecepatan pemanfaatan segala sumberdaya yang renewable tidak melampaui daya

pemulihannya (recovery)nya, dan untuk sumberdaya yang nonrenewable tidak boleh melampaui

substitusi dengan inovasi teknologi yang dapat dicapai. Bila perilaku moral tersebut dapat

dipenuhi maka segala public bad seperti polusi, cemaran, guncangan terhadap kesetimbangan

ekologis dll. dapat dihindarkan, agar pembangunan tidak mewariskan banyak masalah kerusakan

lingkungan maupun ketimpangan kesejahteraan dapat dihindarkan pada generasi mendatang.

Page 13: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

13

Dengan begitu sekaligus berbagai inovasi teknologi baru (untuk substitusi suberdaya yang

makin langka) ke depan dapat diharapkan (Serageldin dkk, 2019). Makin banyaknya inovasi

teknologi itulah yang sebenarnya merupakan indikator kuat dari keberlanjutan sistem peradaban

(Bakri dkk, 2019). Kelangkaan energi dari mesin uap kumudiaan dapat diatasi oleh adanya

inovasi teknologi motor bakar dan mesin disel (Hambali, 2012). Kelangkaan pangan teah diatasi

dengan penemuan berbagai varietas baru tanaman yang berproduksi tinggi dengan masa tanam

yang singkat (Kusharto dan Hardinsya, 2012).

Seperti dapat dirujuk dalam Bakri dkk (2019) beberapa konvesi yang dicapai dalam KTT

Bumi di Rio de Janeiro 1992 itu antara lain adalah: [1] konvensi koservasi keanekaragaman hayati

(UNCBC: United Nation Convention on Biological Conservation), [2] konvesi perubahan iklim

(UFCCC: United Nation Framework Convetion on Climate Change),dan [3] konvensi

antipeggurunan (UNCCD: United Nation Convention to Combat Desertification ), dan Masing-

masing telah diadopsi sebagai dasar hukum di Indonesia melalui ratifikasi menjadi [1] UU RI

Nomor 5 tahun 1994, [2] UU RI Nomor, dan [3] Keppes Nomor 135 tahun 1998.

Dalam UNFCCC dsepakati bahwa setiap negara yang menandatangi konvensi ini secara

sukarela akan menurunan tingkat emisi nasionalnya sampai ke level emisi di bawah emisi tahun

1990. Namun dari 172 negara yang telah bersepakat tersebut tidak satupun yang benar-benar

mematuhinya. Bahkan tingkat emisi semakin meningat pesat. Dapat difahami bahwa menurunkn

tingkt emisi berarti sama dengan menurunkan jam operasi pabrik-pabriknya, mengurangi intesitas

transportasinya, menurunkan aktivitas penebangan hutannya dll. Itu semua berarti meningkatkan

angka pengangguran maupun kemiskinan beserta fenomena yang menyertainya. Tapi di sisi lain

gejala ini tidak bisa terus dibirakan. Karena itu pada akhir tahun 1997 diselenggarakan KTT di

Tokyo yang melahirkan Protokol Kyoto untuk mengatur tata cara penurunan emisi (Komas MPB,

2011 dalam Andinsyah, 2011). Semangat yang dipegang dalam Protokol Kyoto adalah: Common

but differentiated responsibilities and respective capabilities. Karena itu lahir 3 skema yang

disepakati sebagai tata cara (protocol) untuk mencapai target penurunan emisi tersebut yaitu: (i)

Clean Developement Mechanism (MPB: Mekanisme Pembanguan Bersih), (ii) Joint

Implementation, (iii) Emision Trading. Skema (i) adalah kerja sama antara negara berkembang

dengan negara maju. Skema (ii) dan skema (iii) hanya antara maju dengaan industri maju.

Seperti dapat disarikan dari IPCC (2007), negara-negara dibagi kedalam 2 kelompok,

Annex 1 Coutries (negara-negara industru maju) dan Non Annex 1 Countries (Negara-negara

berkembang). Kelompok Annex adalah kelompok negara yang wajib menurunkan emisinya.

Sebaliknya Non Annex 1 tidak. Pilihan bagi kelompok Annex 1:(i) subsitusi energi dari sumber

energi fosil sumber lain yang rendah emisi, atau (ii) menurunkan kapasitas industrinya. Kedua

Page 14: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

14

pilihan ini sangat mahal bagi Annex 1 Countries. Di lain fihak, Non Annex 1 Countries umumnya

mengalami deforestasi yang hebat sebagai dampak dalam memanfaatkan SDA-nya untuk

pembangunan disertai degradasi lahan yang juga berujung pada kemiskinan melahirkan

kemiskinan (vicious poverty). Karena itu terjadi kesepakatan bahwa Non Annex 1 akan

mendapatkan kompensasi (dari Annex 1 Countries) berupa sertifikat reduksi GRK (berup

CER=Certificate of Emission Reduction) dari udara jika berhasil mempertahankan tegakan

biomasa (berupa hutan atau di sektor LULUCF ) selama masa konsesi (tenor) 5, 10, 15, 20, 25,

dan 30 tahun tanpa ada penebangan. Dengan begitu setiap pabrik di negara Annex 1 diwajibkan

oleh negaranya masing-masing untuk membayar atau memegang CER selama tenor yang

disepakati dalam kontrak-kontraknya. Dengan begitu maka kesepakatan di bawah Protokol Kyoto

pada Tahun 2012 harus dapat mencapai target penurunan GRK sampai ke level 2,5% di bawah

emisi total tahun 1998. Target ini adalah komitmen Tahap I dari Protokol Kyoto Pramudianto

(2016).

Khususnya dalam sektor LULUCF, Indonesia sebagai bagian Non Annex 1 selalu patuh

terhadap segala hasil kesepakatan tahunan (COP=Conference of party) dan telah mempersiapkan

segala peraturan perundangan sampai dengan penyiapan petunjuk teknis serta pelatihan birokrat

sampai ke tenaga teknis level lapangan. Bahkan telah banyak melakukan demonstrasi plot di

beberapa provinsi. Skema program ini dinamai dengan REDD (Reduction Emission from

Deforestation and Degradation) sampai yang terakhir disebut REDD+. Walaupun begitu dalam

kenyataannya MPB untuk sektor LULUCF belum berlangsung. Memang sejak awal telah ada

keraguan akan nasib Protokol Kyoto Tahap I itu, yang diawali dari adanya perisiwa bahwa USA

tidak bersedia menandatangi Protokol Kyoto. Alasannya bahwa China, India, dan Indonesia

merupakan emitter terbesar dunia saat ini tidak diwajibkan menurunkan emisi. Alasan yang

antagonis karena ketiga negara ini baru memulai pembangunannya. Berbeda dengan negara-

negara industri maju yang telah banyak mengeksploitasi atmosfer sejak Revoulis Industri 1.0,

ketiga negara ini belum banyak menggunakan haknya untuk “mengotori” atmosfer sebagai

dampak dari aktivitas perekonomian dalam pembangunannya (Bakri dkk, 2019).

Benar ternyata kemudian tanpa partisipasi USA nasib Protokol Kyoto I berjalan jauh dari

yang diharapkan. Komitmen para fihak yang menandatangai dan meratifikasi Protokol Kyoto

Tahap I yang disepakati berlaku efektif tahun 2008 sampai 2012 sendiri juga lemah. Ditambah

pula oleh keengganan para beberapa fihak Annex 1 (yaitu Kanada, Jepang, Rusia, Belarus,

Ukraina, Selandia Baru) untuk tetap tergabung dalam Protokol Kyoto Tahap II rentang 2013-

2020 menjadi makin suram prospeknya. Hal ini disebabkan oleh emisi karbon sebesar 16 persen

pada Periode II Protokol Kyoto sementara itu kepada Non Annex 1 seperti RRC (emitor terbesar

Page 15: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

15

di dunia), India dan Brazil juga tidak tunduk pada pengurangan emisi di bawah ketentuan Protokol

Kyoto I Pramudianto (2016).

Membangun komitment dalam tatanan kelembagaan memang tidak mudah, rumit, dan

banyak memakan waktu. Apalagi kelembagaan global seperti Protokol Kyoto ini dengan para

fihak antarnegara ditambah pula dengan berbagi bentuk ikatan punya kosekuensi pada hilangnya

oporunitas perekonomian bagi pemerintah maupun warga negaranya. Walaupun begitu proses

negosiasi terus berlanjut agar para fihak tetap melaksanakan komitmen dari UNFCCC melalui

skema Protokol Kyoto (Bakri dkk, 2019).

Pada akhirnya dalam COP UNFCC ke 21 di Paris telah tercapai amandemen terhadap

Protokol Kyoto Tahap II. Menurut Pramudianto (2016) konferensi COP ke 21 UNFCCC ini

dihadiri oleh sebagian besar pimpinan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat, Cina,

Russia dan Negaranegara Uni Eropa seperti Jerman, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa

lainnya termasuk Perancis yang kini bertindak sebagai tuan rumah dan juga Sekretaris Jenderal

PBB, Ban Kim Moon. Hadir juga delegasi yang mewakili badan-badan PBB dan non PBB,

organisasi non Pemerintah, individu atau tokoh lingkungan, industriawan, masyarakat adat,

ilmuwan yang berpengaruh serta organisasi lainnya seperti organisasi keagamaan, organisasi

wanita, serta masyarakat sipil lainnya.

Dibandingkan dengan Protol Kyoto Tahap I, Paris Agreement 2015 lebih mencerminkan

partisipasi yang lebih luas serta menjamin negara-negara Annex 1 untuk tetap berkomitmen pada

penurunan emisi hingga tahun 2030 yaitu agar suhu atmosfer bumi tidak lebih dari 20C dan

mempertahankan rata-rata 1,5 0C. Melalui Intended Nationally Determined Contribution (NDC),

yang diusulkan oleh para pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca

sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yaitu prinsip kebersamaan tetapi berbeda

tanggung jawab atau principle equity and common but diferentiated responsibilities dan prinsip

menghormati kemampuan dalam perbedaan kondisi nasional yang ada atau respective capabilities

in the light of different national circumstances Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement 2015

menjadi Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2016 (Ditjen Perubahan Iklim, 2017). .

Page 16: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

16

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat, Waktu dan Material Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan mulai Maret sampai Agustus 2020 dengan mengambil lokus di

seluruh Provinsi Lampung. Alat yang digunakan meliputi piranti lunak (ArcGIS Versi 10.3, Envi

Versi 5.4, dan Minitab Versi 17) dan perangkat keras (komputer, printer, GPS, dan Clinometer).

Adapun bahan-bahan yang digunakan meliputi citra landsat (untuk rekaman tahun 2010, 2013,

2016, dan 2019) kertas HVS, tinta, tali tambang, dan tali rafia.

3.2. Prosedur Penelitian

Pada prisipnya penelitian ini meliputi 7 tahapan: (i) Pemilihan postulat model, (ii) Penetapan

variabel model dan penyusunan hipotesis, (iii) Akusisi dan pengolohan data, (iv) Optimasi

parameter model dan uji hipotesis, (v) penetapan nilai ekonomi jasa lingkungan dari tindak

penurunan GRK melalui reboisasi dan rehabilitasi penggunan lahan (vi) Pengembangan pilihan

kebijakan publik di sektor fiskal tentang rancangan anggaran reboisasi dan rehabilitasi penggunan

lahan untuk menekan kejadian penyakit di bawah skenario pemanasan global dan (vii) Analisis

Kelayakan ekonomi (khsusnya analisis B/C, NPV, IRR) untuk berbagai pilihan kebijakan publik

yang terpilih dalam menekan wabah DBD.

3.2.1 Pemilihan Postulat Model

Penelitian ini menggunakan model matematika dengan postulat linear. Pilihan ini didasarkan

pada pemanfaatan hasil penelitian ini sendiri. Dalam hal ini beberapa parameter model yang

didapat haruslah bisa mudahkan dalam melakukan interpretasi dan penerapannya. Selain itu

haruslah juga dapat digunakan sebagai dasar prediksi tentang besarnya perubahan variabel respon

[∆Ya,b,c,d] (yaitu berupa peningkatan kejadian DBD, TB paru, malaria, dan Pneumonia di Provinsi

Lampung) ketika salah satu atau beberapa variabel prediktornya [X1, X2, X3,..., Xn]i akan berubah

atau diubah masing-masing sebesar satu unit. Dengan begitu juga dapat digunakan untuk

mengendalikan perubahan setiap unit variabel prediktor agar kejadian DBD atau [∆Ya,b,c,d] dapat

ditekan berada di bawah tingkat yang diinginkan.

Secara konkret misalkan X1 misalkan adalah besarnya tutupan hutan rakyat (dalam unit

ha) sedangkan X2 adalah temperature udara (dinyatakan dalam unit 0C). Katakanlah untuk salah

satu penyakit katakalnah untuk DBD, ternyata setelah dilakukan optimasi parameter diperoleh

Page 17: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

17

masing-masing nilai parameter α1= -2.3 sedangkan parameter α2= + 4.6 dimana kejadian DBD

atau [Ya] kita nyatakan dalam jiwa per 100 ribu penduduk. Parameter ß1 tersebut memberi makna

bahwa jika ada peningakatan luas (reboisasi) di hutan rakyat rata-rata 1 ha di setiap kabupaten,

maka akan berdampak pada penurunan kejadian penyakit, katkanlah DBD [∆Ya] sebesar 4,6 jiwa

per 100 ribu penduduk (dengan variabel lain tetap atau ceteris paribus). Demikian juga jika terjadi

pemanasan global 10C, maka akan terjadi peningkatan kejadian DBD sebesar 4,6 jiwa per 100

ribu penduduk (ceteris paribus). Jika ada peningkatan tutupan hutan rakyat rata-rata di tiap

kabupaten 1 ha disertai adanya pemanasan global 10C (ceteris paribus) maka kejadian DBD akan

mengalami perubahan [∆Ya] sebesar = 4,6 -2,2 = 2,4 kejadian per 100 ribu penduduk. Jika

penduduk Provinsi Lampung sekitar 8 juta jiwa maka [∆Ya] akan setara dengan 2,4 x 8 juta = 2,4

x 8.000.000/100.000=192 kejadian per 100 ribu penduduk. Artinya untuk menekan untuk

peningkatan kejadian DBD atau [∆Ya] maka haruslah dilakukan reboisasi rata-rata 2 ha di setiap

kabupaten. Dengan begitu maka pemilihan postulat model linear akan sangat bermanfaat dalam

melakukan interpretasi hasil penelitian. Lebih lanjut hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

merancang menghindari atau menekan kejadian penyakit, tanpa harus menunggu kejadian

tersebut benar-benar muncul (exante).

3.2.2 Bentuk Model, Penentuan Variabel dan Hipotesis

Sebagaimana dikemukan di atas, variabel respon dalam penelitian adalah besarnya tingkat

kejadian penyakit DBD, TB Paru, malaria dan pneumonia per tahun di Provinsi Lampung atau

[Ya,b,c,d]it. Sedangkan variabel prediktornya adalah berberapa jenis penggunaan variabel iklim

[X1, X2, X3,..., Xn]it. Adapun jenis-jenis penggunaan lahan di tiap kabupaten/kota ke i tahun ke t,

yang akan diteliti pengaruhnya terhadap kejadian 4 penyakit infeksi tersebut. Katagori klasifikasi

tentang jenis-jenis penggunan lahan yang akan digunakan adalah merujuk pada SNI Nomor

76452010. Pilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa bahan resolusi citra yang digunakan yang

yaitu Citra Satelit Landsat yang hanya valid untuk tingkat pengamatan skala peta rekonaisan yaitu

1 : 250.000. Atas dasar SNI ini, maka variabel perdiktor penelitian [X1, X2, X3,..., Xn]i ini

meliputi: (a) badan air yaitu danau, sungai dan bendungan (b) hutan mangrove, (c) sawah, (d)

tambak, (e) belukar rawa, (f) belukar, (g) hutan negara , (h) hutan rakyat, (i) pertanian lahan

kering dan (j) pemukiman. Namun untuk kemudahan dalam mengingatnya maka beberapa

variabel penggunaan lahan ini tidak disimbolkan dengan huruf [X1, X2, X3,..., Xn]i melainkan

berturut-turut dengan singkatan [WBDY], [MROVE], [SWAH], [FPOND], [SWAMP],

[SHRUB], [ST_FRST], [POP_FRST], [AGRC], dan [SETL].

Page 18: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

18

Adapun untuk variabel iklim yang dipilih adalah temperatur, curah hujan, dan kelembaban

udara yang berturut-turut disimbolkan dengan [TEMP], [RAIN], dan [HUMD]. Variabel

temperatur udara rata-rata tahunan dipilih karena mengingat definisi perubahan iklim itu sendiri.

Para ahli menggunakan definisi perubahan iklim dengan kenaikan temperatur udara global rata-

rata tahunan di atas 20C seperti diungkapkan oleh Nikolaj dkk (2015), IPCC (2007) dll. Sementara

itu, perubahan iklim juga ditandai oleh perubahan intensitas dan pola hujan sebagai implikasi dari

pemanasan gobal tersebut. Perubahan ini juga dapat berdampak terhadap kelembaban udara.

Dengan demikian maka bentuk model yang digunakan dalam penelitian ini dapat

diungkapkan sebagai berikut:

[Ya,b,c,d]it = α0 + α1[WBDY]it + α2[MROVE]it + α3[SWAH]it+ α4[FPOND]it+ α5[SWAMP]it

+ α6[SHURB]it + α7[ST_FRST]it + α8[POP_FRST]it + α9[AGR]it + α10[SETL]it

+ α11[TEMP]it + α12[RAIN]it + α13[HUMID]it + ξit

Sebagai catatan bahwa [Ya,b,c,d]it sebenarnya adalah [Ya]it, atau [Yb]it atau [Yc]it atau [Yd]it yang

masing-masing sebagai penyimbulan kejadian penyakit DBD, TB Paru, Malari, dan Pneumonia

yand dimaksudkan agar lebih ringkas dalam penulisannya. Berkaitan dengan itu maka parameter

model [Ya]it adalah α0 sampai α13 dengan error ξit. Sedangkan parameter untuk model [Yb]it adalah

β0 sampai β13 dengan erorr μit. Untuk model [Yc]it adalah γ0 sampai γ13 dengan error Ӟit.

Sedangan parameter model bagi [Yd]it adalah Ω0 sampai Ω13 dengan errror ώit.

Adapun hipotesis yang akan diuji untuk model [Ya]it dapat diungkapkan sebagai berikut:

H0 : α1=α2=α3=α4=α5=α6=α7=α8=α9=α10=α11=α12= α13=0

Atau dengan kata lain: Tidak satupun variabel prediktor tersebut di atas yang punya pengaruh

nyata terhadap kejadian keempat penyakit di Provinsi Lampung.

H1 : α1≠α2≠α3≠α4≠α5≠α6≠α7≠α8≠α9≠α10≠α11≠α12≠α13≠0

Atau dengan kata lain: Paling sedikit ada satu variabel prediktor tersebut di atas yang punya

pengaruh nyata terhadap kejadian penyakit di Provinsi Lampung.

Adapun bentuk hipotesis yang akan diuji untuk mode [Yb]it, [Yc]it ataupun [Yd]it adalah analog

dengan mengganti pasrameter model masing-masing.

Page 19: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

19

Keterangan:

[Ya]it : Kejadian DBD di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yb]it : Kejadian TB paru di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yc]it : Kejadian Malaria di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yd]it : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

[WBDY]it : Proporsi luasan badan-badan perairan pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

[MROVE]it : Proporsi luasan magrove pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [SWAH]it : Proporsi luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

[FBOND]it : Proporsi luasan tambak pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [SWAMP]it : Proporsi luasan rawa pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

[SHURB]it : Proporsi luasan semak belukan pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [ST_FORT]it : Proporsi luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t

[POP_FORT]it : Proporsi luasan hutan kabupaten/kota ke i tahun ke t [AGR]it : Proporsi luasan pertanian intensif pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [SETL]it : Proporsi luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t

[TEMP]it : Temperatur udara rata-rata tahunan pada kabupaten/kota ke pada tahun ke t [RAIN]it : Curah hujan rata-rata tahunan pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

α0 sampai α13 : Parameter model untuk kejadian DBD atau [Ya]i,t β0 sampai β13 : Parameter model untuk kejadian TB Paru atau [Yb]i,t γ0 sampai γ13 : Parameter model untuk kejadian Malaria atau [Yc]i,t

Ω0 sampai Ω13 : Parameter model untuk kejadian Pneumonia atau [Yd]i,t

ξit, μit, Ӟit, ώit : Sisaan (error) berturut-turut dari ke-4 model.

3.2.3 Akusisi dan Analisia Data

Untuk dapat menguji setiap hipotesis tersebut di atas, maka perlu untuk memerinci pengumpulan

atau akuisi dan pengolahan data. Seperti dapat dicermati pada Gambar 3.1 bahwa secara garis

besar ada 2 bagian proses, yaitu: (i) di sebelah kiri dari garis putus-putus merupakan alur proses

penyediaan data input untuk variabel prediktor, dan (ii) sebelah kanan adalah alur untuk

penyediaan variabel respon. Variabel prediktor dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu lajur paling kiri merupakan variabel yang berkaitan dengan jenis-jenis penggunaan

lahan dan lajur tengah adalah variabel yang berkaitan dangan iklim khususnya temperatur

[TEMP], curah hujan [RAIN] dan kelembaban udara [HUMD].

Akuisisi dan Analisis Data Jenis Penggunaan Lahan

Pekerjaan ini dimulai pada Kotak {B} Gambar 3.1, yaitu mengunduh (down loading) citra satelit

landsat pada situs www.usgs.glovis untuk mencari liputan (coverage) seluruh Provinsi Lampung

perekaman tahun (t): 2010, 2013, 2016, dan 2019. Selang 3 tahunan tersebut dimaksudkan agar

dapat memperoleh perubahan jenis-jenis penggunaan lahan tersebut di Provinsi Lampung punya

variasi yang cukup nyata. Perubahan ini dihipotesiskan dapat menyebabkan keragaman secara

nayata terhadap kejadian DBD, TB Paru, Malaria, dan Penumonia dari tahun ke tahun selain juga

oleh perubahan pemanasan global. Berkaitan dengan itu pula, mengingat dalam satu tahun ada

sekitar 12 rekaman citra landsat pada situs www.usgs.glovis maka down loading dipilih untuk

memilih rekaman citra dengan tutupan awan yang minimum. Data citra digital ini akan

Page 20: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

20

diinterpretasi menggunakan piranti lunak ArcGis Version 10.3 dan Envi Version 5.4 sebagaimana

ditunjukkan dalam Kotak {E} Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Tahapan Penelitian

{D} Akuisisi Data Kejadian DBD,

TB Paru, Malaria, & Penumnia

(Dinas Kesehatan Kab/kota)

{E} Interpretasi Data Digital Citra

Landsat 2010, 2013, 2016, & 2019

2018 {G} Pengolahan Data Kejadian

DBD, TB Paru, Malaria, dan

Pneumonia

{N} Variabel Respons:

[Ya, Yb, Yc, & Yd]

{H} Peta Penggunaan Lahan

Sementara (PPLS)

{M} Tiga Belas Variabel

Prediktor

{I} Ground Check

{J} Peta Penggunaan Lahan Final

(PPLF)

{O} Optimasi Parameter & Uji Hipotesis)

{K} Persentase Luasan 10 Jenis

Penggunaan Lahan per Kab/Kota

2009, 2012, 2015, 2018

{P} Model Prediksi [Ya,b, c, d]it sebagai

fungsi dari 13 Variable Prediktor

{Q} Simulasi Penurunan kejadian 4 Penyakit melalui aksi penurunan emisi GRK di bawah skenario

pemanasan global berupa reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan yang terbukti dapat

menurunkan kejadian 4 penyakit tersebut (parameter bernilai negatif)

{B} Down Load Citra Landsat

www.usgs.glovis

{C} Akuisisi Data Iklim

(BMKG)

{F}Pengolahan Data Iklim

{A} MULAI

{L}Variabel Iklim

([TEMP])

{S} Membuat Software, Laporan, Seminar,

Publikasi, & HKI

[SELESAI]

Page 21: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

21

Hasil interpretasi citra ini diberi nama Peta Penggunaan lahan Sementara (PPLS) untuk

seri tahun 2010, 2013, 2016, 2019 seperti ditunjukkan pada Kotak {H} Gambar 3.1. Disebut

demikian karena baru merupakan hasil penafsiran atau interpretasi yang dikerjakan oleh “mesin”

yaitu kedua software tersebut. Selanjutnya PPLS ini akan divalidasi melalui pengecekan lapang

(ground check) seperti ditunjukkan dalam oleh Kotak {I}. Titik-titik groud check direncana akan

dilakukan untuk semua poligon penampakan kelas-kelas warna yang terdapat di dalam PPLS

dengan masing-masing poligon mengambil di 3 titik yang relatif berjauhan. Setiap titik

pengamatan akan dicatat koordinat geografisnya dengan mengguakan GPS. Pengecekan lapang

terutama dilakukan untuk PPLS tahun 2019 dengan asumsi bahwa dalam satu tahun terakhir

dianggap tidak terjadi perbedaan yang berarti. Dengan kata lain penggunaan lahan 2019 dianggap

tidak berbeda dengan realitas tahun 2020. Semua poligon pewakil yang ada dalam PPLS akan

dikunjungi dan diobservasi batas-batasnya, dicatat koordinatnya disertai dengan foto-fotonya di

lapangan.

Hasil Groud Check ini ditunjukkan dalam Kotak {J} Gambar 3.1, yang disebut sebagai

Peta Penggunaan Lahan Final (PPLF) khususnya untuk tahun 2019. Sedangkan utuk PPLF 2015,

2012, dan 2009 disesuaikan (di-adjust) menggunakan hasil PPLS 2019. Pekerjaan ini umumnya

sangat diringankan jika menggunakan acuan untuk obyek-obyek (jenis-jenis penggunaan lahan)

yang penampakannya tidak gampang berubah seperti Taman Nasional, danau, bendungan, sungai,

tambak, bahkan mungkin mangrove dsb. Atas dasar acuan obyek-obyek ini maka batas-batas

obyek yang relatif cepat berubah akan ditelusur batas-batas pinggirnya. Semakin tua penggunaan

lahan yang ditelusur semakin sulit pula untuk dijejak batas-batas penggunana lahannya.

Oleh karena itu penggunaan jasa informan yang berasal dari masyarakat setempat

umumnya sangat membantu menelusur batas-batas penggunaan lahan di masa lampau yaitu 2010,

2013, dan 2016. Karena itu wawancara dengan beberapa warga setempat juga akan dilakukan

untuk meningkatkan validitas hasilnya. Selanjutnya 4 seri PPLF (2010, 2013, 2016, 2019) ini

akan di-overlay dengan Peta Administrasi Kabupaten/Kota untuk menentukan perkembangan atau

perubahan proporsi luasannya untuk semua jenis penggunan lahan per kabupaten/kota dari tahun

2010, 2013, 2016, dan 2019.

Perlu juga dikemukakan di sini bahwa pengunaan lahan berupa hutan dapat dipilah

menjadi hutan negara versus hutan rakyat dengan cara melakukan penumpang-tindikan

(overlaying) PPLF dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Lampung (Menhutbun,

Page 22: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

22

2000). Hutan rakyat adalah tutupan lahan berupa hutan yang berada dalam lahan milik rakyat.

Hasil dari pekerjaan fase ini adalah tersedianya 10 variabel penggunaan lahan ke-4 titik tahun

pengamatan tersebut untuk semua kabupaten/kota di lingkup Provinsi lampung (Kotak {K})

sebagai variabel prediktor bagi kejadian wabah ke-4 penyakit tersebut selain prediktor berupa 3

jenis data iklim tersebut.

Akuisisi dan Analisis Data Iklim

Dalam penelitian ini selain ingin menguji perubahan penggunaan lahan juga ingin menguji

dampak perubahan iklim (khususnya temperatur, curah hujan, dan kelembaban udara) terhadap

kejadian 4 penyakit infeksi tersebut. Pada Gambar 3.1, tahapan pekerjaan ini meliputi dari Kotak

{C} ke Kotak {F] dan Kotak {L}. Data iklim akan diakuisi melaui kunjungan ke kantor-kantor

BMKG. Variabel prediktor yang diterapkan dalam model adalah nilai rata-rata tahunan temperatur

udara, curah hujan, dan kembaban udara rata-rata tahunan [TEMP], [RAIN], [HUMD].

Akusisi dan Analasis Data Kejadian 4 Penyakit Infeksi dan Biaya Perawatan

Pada Gambar 3.1, tahapan pekerjaan ini meliputi dari Kotak {D} ke Kotak {G} dan Kotak {N}.

Data kejadian DBD merupakan variabel respon [Y]it yang akan diakuisisi dengan mengadakan

kunjungan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lingkup Provinsi Lampung. Variabel respon

ini dinyatakan dalam satuan jumlah kejadian DBD per 100 ribu penduduk dari masing-masing

kabupaten/kota di lingkup Provinsi lampung untuk 4 tahun pengamatan tersebut.

3.2.4 Optimasi Parameter Model dan Uji Hipotesis

Pekerjaan ini didahului penggabungan variabel prediktor berupa penggunaan lahan dengan

variable iklim seperti ditunjukan Kotak {M} Ganbar 3.1. Dari sisi kanan bidang Gambar 3.1

Kotak {N} juga telah disiapkan variabel respon [Y]it. Dengan demikian dapat dilakukan optimasi

parameter model sekaligus uji hipotesisnya dengan menggunakan piranti lunak Minitab 17. Taraf

nyata yang digunaka adalah 1% dan 5%.

3.2.5 Perencanaan Mitigasi Perubahan Iklim untuk Menekan Kejadian 4 Penyakit

Mitigasi secara umum dimaknai sebagai langkah preventif untuk menurunkan atau meniadakan

dampak negatif akibat bencana alam sebelum kejadian benar-benar muncul (ex ante). Dalam

penelitian ini adalah untuk kenaikan wabah DBD, TB Paru, Malaria, dan Pneumonia. Adapun

langkah-langkah adalah sebagai berikut

Langkah [1]: Pilih beberapa variable jenis-jenis penggunan lahan yang mempunyai parameter α1

sampai α10 yang bernilai negatif, yang berarti pengaruhnya dapat menurunkan

kejadian 4 penyakit tsb. jika ditingkatkan proposi luasannya.

Page 23: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

23

Langkah [2]: Diantara yang terpilih pada Langkah [1] tersebut selanjutnya diseleksi lagi jenis

variable yang relatif mudah dilakukan penambahannya dengan biaya murah dan

dapat menghasilkan manfaat ekonomi masyarakat. Contohnya penambahan

proporsi dari: (a) hutan milik rakyat [POE_FRST] atau pun milik negara

[ST_FRST], (b) luasan tambak [POUND], (c) hutan mangrove [MROVE], (d)

pertanian lahan kering [AGRC].

Langkah [3]: Melakukan simulasi dampak perubahan iklim terhadap peningkata kejadian DBD,

TB paru, Malaria, dan Pneumonia dimulai dari kenaikan rata-rata [TEMP] berturut-

turut: 0,500C, 0,750C, 1,000C, 1,250C; 1,500C; dan 2,000C.

Langkah [4]: Melakukan simulasi untuk menekan/meniadakan kenaikan kejadian ke-4 penyakit

berturut-turut untuk menghadapi kenaikan temperatur global seperti skenario pada

Langkah [3].

Langkah [5]: Melakukan analisis kelayakan ekonominya (Benefit/Cost Analysis, IRR, dan NPV)

untuk berbagai rekomendasi kebijakan seperti Pada Kolom (5) Tabel 3.1. Adapun

untuk menghitung kelayakan ekonomi ini akan dipergunakan besaran harga-harga

barang dan tenaga kerja tahun 2019.

3.2.6 Analisis Kelayakan Ekonomi berbagai Rancangan Tindakan Mitigasi

Tahap ini utmanya adalah untuk melakukan analisis kelayakan ekonomi (khususnya B/C, NPV,

IRR) untuk berbagai pilihan tindakan mitigasi dapat terukur secara baik, yaitu seperti dirinci

dalam Kolom (5) Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Identifikasi upaya preventif mitigasi pemanasan global untuk menekan kejadian DBD

melalui perencaan reboisasi dan rehalibitasi penggunaan lahan* Variabel Independen Simbol

Model Ranah Mitigasi/ Bukan

Parameter yang

didapat

Program Tindakan Mitigasi yang direkomendasikan

Sumber Alokasi Dana yang Bisa Diraih

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

a. Badan air (bendungan, danau, dan sungai)

[WBDY] Bukan/Ya Αα1 Membuat bendungan tidak murah. Bisa dikerjakan hanya jika ada bantuan pinjaman LN

Kemen PUPR

b. Hutan Mangrove [MROVE] Ya α2 Reboisasi hutan mangrove

APBN/KemenLHK

c. Sawah [SWAH] Ya α3 Perluasan Sawah baru dengan mengurangi semak

dan rawa-rawa

APBN KemenPUPR dan Kementan

d. Tambak Ikan [FPOND] Ya α4 Perluasan empang, kolam ikan melalui pembuatan drainase rawa-rawa, mina padi dsb.

APBD, KemKelautan & Perikanan

e. Rawa [SWAMP] Ya α5 Perbaikan drainase untuk kolam ikan atau padi sawah

APBN KemenPUPR dan Kementan

f. Hutan Negara [ST_FRST] Ya α7 Reboisasi lahan/ hutan milik rakyat

KemLHK

e. Hutan Rakyat [POE_FRST] Ya Αα8 Reboisasi

lahan/hutan milik rakyat

APBD &

KemLHK

g. Pertanian Lahan Kering

[AGRC] Ya α9 Pengembangan Pertanian intensif dengan cara

APBD, dan APBN Kementan

Page 24: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

24

mengubah lahan semak belukar

h. Pemukiman [SETL] Bukan α10 - -

i. Temperatur [TEMP] Bukan α11 - -

j. Curah Hujan [RAIN] Bukan α12 - -

k. Kelembab Udara [HUMD] Bukan α13

Catatan: *untuk penyakit TB Paru, Malaria, dan Pneumonia maka perlu diganti dengan parameter model masing-masing.

Untuk analisis kelayakan ekonomi ini maka akan digunakan harga-harga biaya satuan yang

berlaku di Provinsi Lampung tahun 2020. Hasil analisis ekonomi ini akan dapat dipergunakan

sebagai pegangan di depan Panitia Anggaran Dewan Legislatif sebagai bentuk jaminan ilmiah

yang handal bagi suatu kebijakan publik yang bersifat ex ante, dalam arti target hasil dapat

dikemukan di awal, sebelum kejadian wabah penyakit mucul sebagai dampak perubahan iklim

global yang akan terjadi. Handal karena didasarkan pada riset setempat yang obyektif, bukan

karena ada vested interest. Jika setiap kebijakan publik dikerjakan berbasiskan hasil riset setempat

seperti penelitian ini, maka dapat diyakini bahwa kebijakan publik tersebut akan bersifat

bertannggung gugat di depan hukum.

3.2.7 Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi Kesehatan Masyarakat

Aksi penurunan GRK dalam bentuk tindakan atau skema reboisasi dan rehabilitasi penggunaan

lahan juga akan membawa dampak positif berupa pemulihan atau peningkatan jasa lingkungan,

termasuk pada penurunan penyakit DBD, TB Paru, Malaria, dan Penumonia seperti dapat dirujuk

dalam Pelita dkk (2019), Hartuty dkk (20190, Bakri dkk (2018), Seno dkk (2018), Adhykasa dkk

(2017), Qohar dkk (2017), Mustika dkk (2017), Sijabat dkk (2017), Wigaty (2016), Putra dkk

(2015), dan Colfer dkk (2006, dalam Bakri dkk, 2019). Namun para peneliti tersebut tidak

melakukan valuasi terhadap nilai Untuk itu maka akan dilakukan pembuatan Software berbasis

Microsoft Excell langkah-langkah berikut:

Untuk Penyakit DBD

(1) Buka Blank Workbook, lalu pada Sheet 1, Klik kanan, lalu tuliskan “DBD”.

(2) Pada Cell A1 tuliskan “Program Metode Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi Pencegahan DBD Melalui

Reboisasi dan Rehabilitasi Penggunaan Lahan”.

(3) Pada Cell A2 biarkan kosong.

(4) Pada Cell A3 tuliskan “Nilai Variabel Penggunaan Lahan dan Variabel Iklim” Lalu isikan pada Cell B3, C3, D3 dan

seterusnya sampai Cell O3.

(5) Pada Cell A4 tuliskan: “ Parameter Model”. Lalu pada Cell B4, C4, D4 sampai Cell O4 tuliskan berturut-turut

parameter model (α0 sampai α13) yang telah diperoleh dari hasil optimasi.

(6) Pada Cell A5 tuliskan :”Hitung Kejadian Penyakit”, lalu pada posisi Cell B5 ketikkan = B3*B4. Pada Cell C5 ketikkan

=C3*C4. Pada Cell D5 ketikkan =D3*D4. Begitu seterusnya sampai pada Cell O5 ketikkan =O3*O4. Cara lain yang

lebih ringkas adalah: Pada Cell C5 ketikkan =C3*C4. Enter, lalu kembalikan kursor pada posisi Cell C5, lalu

arahkan kursor pada sudul Cell, terus drag kursor sampai pada posisi Cell O5. Lalu arahkan kursor pada posisi

Cell P5, lalu tujuk ke ∑, lalu akan muncul garis putus-putus yang meliputi dari Cell B5 sampai O5, lalu tekan enter.

Page 25: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

25

(7) Pada Cell A6, tuliskan: “Nilai Jasa Lingkungan”. Lalu arahkan kursor pada Cell P6, ketik =P5*Jumlah

Penduduk*10.000, tekan enter. Maka akan keluar Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan hasil pemodelan yaitu pada

posisi Cell P6.

(8) Selesai Pemograman dan siap digunakan untuk percobaan simulasi yang dapat berupa:

[a] Perubahan nilai variable iklim: Mengubah suhu global [TEMP] secara sendiri, lalu enter. Maka Nilai Jasa

Lingkungan hasil simulasi akan pada poisisi Cell P6 akan berubah. Dapat juga disertai dengan perubahan

variabel iklim yang lain baik curah hujan [RAIN], atapun kelembaban udara [HUMD].

[b] Perubahan variabel penggunaan lahan baik secara sendiri-sendiri diantara variabel. Termasuk hutan rekyat

[POE_FRST], hutan negara [ST_FRST], hutang mangrove [MROVE], kolam, [FPOND], sawah [SAWH],

pemukiman [SETL], badan-badan perairan [WBODY].

[c] Perubahan variabel iklim dapat dikombinasi dengan perubahan penggunan lahan ataupun reboisasi.

Untuk Penyakit TB Paru

Pada dasarnya pemograman untuk mencari nilai ekonomi jasa lingkungan penyakit TB paru dapat

dilakukan dengan cara:

(1) Copy Worksheet dari Program untuk Penyakit DBD

(2) Buka Sheet 2, klik kanan, dan beri nama “TB Paru”

(3) Gantikan semua parameternya dengan nilai-nilai β0 sampai β13.

(4) Selesai. Siap dilakukan simulasi dalam rangka perencanaan reboisasi dan rehabilitasi penggunan lahan.

Untuk Penyakit Malaria dan Pneumonia

Pembuatan software Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan untuk menekan kedua penyakit ini

adalah analago dengan Penyakit Paru, hanya tinggal mengganti semua parameternya dengan nilai

γ0 sampai γ13 untuk Malaria, dan untuk Pneumonia dengan parameter Ω0 sampai Ω13.

3.2.7 Simulasi Reforestasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan

Banyak sekali simulasi yang dapat dilakukan, bahkan tak terhingga karena perubahan dari 13

variabel dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun dikombinasi dengan satu ataupun sampai

12 variabel lainnya. Demikian pula perubahan nilai setiap variabel yang sangat beragam

besarnya, belum lagi perubahan variabel dapat bernilai positif (jika bertambah) dan dapat pula

negatif (jika bertambah). Sementara itu dapat pula variabel satu bernilai negatif dikombinasi

variabel lain yang bernilai positif. Misalnya dalam kasus deforestasi hutan mangrove, dapat

terajadi luasan hutan mangrove [MROVE] berkurang. Sebagian dikonversi sebagian menjadi

tambak [FPOND] sebagaian menjadi sawah [SAWH] dan sebagian lagi menjadi kanal-kanal

sungai atau drainase [WBODY]. Sebaliknya pada reboisasi di kawasan hutan negara yang gundul

dan rehabilitasi lahan gundul di dalam lahan milik rakyat rehabilitasi. Masih banyak lagi yang

dapat dilakukan kombinasinya maupun besaran nilai-nilainya. Artinya perencanaan reforestasi

sebagai bentuk aksi penurunan GRK dapat diprediksi dengan ketepatan 99% dalam hal benefit

nilai ekonominya dalam penyelamatan biaya korbanan untuk perawatan ke-4 penyakit infeksi dan

meluar tersebut.

Page 26: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

26

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Statistik Deskriptif

4.1.1 Perubahan Tutupan Lahan

Secara deskriptif hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM +7 secara spasial disajikan dalam

Gambar 4.1 sampai Gambar 4.5. untuk berturut-turut tahun 2009, 20012, 2015, 2018. Adapun

secara grafis diasjikan pada Gambar 4.5 sampai …..

Gambar 4.1. Tutupam lahan tahun 2009 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)

Page 27: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

27

Gambar 4.2. Tutupam lahan tahun 2012 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)

Gambar 4.3. Tutupam lahan tahun 2015 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)

Page 28: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

28

Gambar 4.4. Tutupam lahan tahun 2015 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)

Secara diagramatis perubahan penggunaan lahan di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai

2019 disajikan dalam Gambar 4.5. Adapun untuk masing-masing kabupaten/kota di sajikan

dalam Lampiran 1.

Gambar 4.5. Distribusi Penggunaan Lahan Provinsi Lampung 2009-2019

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020Hutan Negara Hutan Rakyat Lahan Terbuka

Perkebunan Permukiman Pertanian

Sawah Tutupan Lahan Lain

Page 29: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

29

4.1.2 Perkembangan Kejajian Penyakit Lahan

Kejadian penyakit pneumonia, DBD, TB Paru, dan malaria per 10 ribu penduduk untuk Provinsi

Lampung kurun waktu 2009 sampai 2020 secara diagramatis secajikan pada Gambar 4.6.

Sedangan untuk masing-masing kabupaten/kota disajikan Pada Lampiran 2.

Gambar 4.6. Kejadian Empat Penyakit per 10 Ribu pendduk di Provinsi Lampung

4.1.3 Dinamika Temperatur Udara di Provinsi Lampung

Pada Gambar 4.7 disajikak dinamika perubahan temperatur rata-rata tahunan di Provinsi lampung.

Seperti dapat diperiksa pada Gambar 4.7 tersebut bahwa rata-rata tertinggi ada di kota bandar

Lampung. Realitas ini dapat difahami karean Bandar Lampung merupakan kota dengan elevasi

yang paling rendah di bandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di provinsi ini. Demikian pula

sebalikknya wilayah dengan temperature rata-rata tahunan yang terendah adalah pada Kabupten

Lampung Barat yang wilyan dengan elevasi rata-rata yang palingf tinggi di Provinsi Lampung.

Kecuali itu yang menarik dari Gambar 4.7 tersebut tampak bahwa dari tahun 2009 sampai 2019

tampak semua wilayah dengan trend yang meningkat. Fenomena kenaikan temperatur ini bisa

jadi ini merupakan bukti adanya kecenderungan adanya pemasan global.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022

Jumlah Penderita Penyakit di Provinsi Lampung

Pnemonia Malaria TB Paru DBD

Page 30: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

30

Gambar 4.7. Perubahan temperatur udara rata-rata tahunan di 14 kabupaten/kota di Provinsi Lampung Periode 2009 sampai 2019

4.2 Uji Hipotesis

Secara rinci hasil luaran model regresi untuk ke empat penyakit disajikan dalam Lampiran 3.

Adapun ringkasan uji hipotesis dirinci masing-masing dalam pembahasan berikut.

4.2.1 Model Kejadian Pneumonia

Beberapa langkah optimasi parameter untuk menguji hipotesis dan uji kebaikan-suai model

penyakit pneumonia pada akhirnya diperoleh ketika menggunkan time lagg dua tahun t-2 atau

[PNEUi]t+2. Pada Lampiran 3 disajikan hasil output Minitab 16 yang diperoleh. Pada Tabel 4.1

disajikan secara ringkas hasil tersebut. Pada Tabel 4.2 disajikan Uji parameter model ini.

Tabel 4.1. Analysis of Variance of the goodness of fit’s test

Source DF SS MS F P

Regression 9 554,691 61,632 9,99 0,000

Residual Error 32 197,341 6,167

Total 41 752,032

S = 2,48332 R-Sq = 73,8% R-Sq(adj) = 66,4%

Sumber: Hasil Penelitian (2021)

Sebagaimana dapat diperiksa dalam Tabel 4.1 tersebut bahwa model ini memberikan kebaikan

suai yang sangat baik (robust). Klaim imni ditunjukan oleh nilai P=0.000. Secara aproksimasi

mataemetik nilai ini setara P=0.0004, yang berarti bahwa pelung melesetnya (miss prediction)

23,50

24,00

24,50

25,00

25,50

26,00

26,50

27,00

27,50

28,00

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung Utara

Page 31: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

31

hanya 4 per 1.000 jika digunakan untuk memprediksi kejadian peneumonia pada 2 tahun

kemudian dengan menggunakan 9 variabel prediktor ini. Perlu ditambahkan catatan disini bahwa

sebanyak 66,4% keragaman kejadian pneumonia pada 2 tahun berikutnya dapat dijelas 10 variable

prediktor tersebut, seperti ditindikasikan oleh R-sq(adj)-nya, yanag berarti sebanyak 33.6% harus

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dipergunakan dalam penodelan ini. Variabel lain tersebut

bisa berupa tindakan pencegahan penyakit, status gizi, sanitasi lingkungan dsb.

Adapun untuk mengetahui secara elementer dari 9 tersebut variabel mana saja yang memberikan

pengaruh secara nyata maka perlu diperiksa hasil optimasi parameter model dengan

menggunakan Uji T sebagai berikut:

Tabel 4.2. Optimasi parameter model (Uji T) prediktor kejadian pneumonia di Provinsi Lampung

Predictor Coef SE Coef T P-value

Constant -158,13 34,33 -4,61 0,000

[TEMP] 6,806 1,292 5,27 0,000

[URBAN]i 4,493 3,452 1,30 0,202

[STWF]i 30,28 10,94 2,77 0,009

[POPF]i -19,965 9,074 -2,20 0,035

[BRLND]i -475,69 98,39 -4,83 0,000

[PLNT]i -33,912 8,369 -4,05 0,000

[SETTL]i -7,773 8,111 -0,96 0,345

[MFARM]i -22,303 5,823 -3,83 0,001

[RICE]i -36,402 7,121 -5,11 0,000

Sumber: Hasil Penelitian (2021)

Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 4.2 tersebut, bahwa hanya variable proporsi luasan

penggunaan lahan berupa pemukiman [SETTL] dan level urbanisme wilayah [URBAN] yang

tidak memberikan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian [PNEU]i, t+2. Artinya

penambahan luasan wilayah di setiap kabupaten belum memberikan dampak nyata terhadap

kejadian penyakit ini pada 2 tahun berikutnya. Begitu juga tidak ada pengaruh nyata atas status

yurikdisi wilayah dimana antara kabupaten ataukah kota tidak berbeda nyata. Implikasi dari

temuan ini bahw atidak perlu ada deskriminasi kebijakan publik dalam penangangan pneumonia.

Temuan yang menarik dari pertama adalah pengaruh temperatur rata-rata tahunan [TEMP] dengan

parameter α1=6.806 yang memberi makna bahwa jika temperature udara rata-rata meningkat 1oC,

maka akan diikuti oleh peningkatan kejadi pneumonia pada 2 tahun mendatang sekitar 6.806

kejadian per 10 ribu penduduk. Peningkatan ini bersifat sangat nyata seperti ditunjukkan oleh

nilai P-value=0.000 atau <1%. Jika merujuk dari definisi perubahan iklim, seperti diungkapkan

oleh Nikolaj (2010) yang menyatakan bahwa maka berarti akan terjadi kenaikan penyakit ini

Page 32: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

32

sebesar 12.172 kejadian. Temuan ini merupakan peringatan dini untuk mitigasi bila terjadi

perubahan iklim. Kenaikan ini jika tidak dilakukan ada tindakankan lain terhadap pengelolaan ke

9 variabel yang lain, artinya variable lain dipandang konstan. Jika dilakukan reboisasi di hutan

rakyat [POPF] misalnya maka dapat kejadi tersebut dapat ditekan.

Seperti dapat diperiksa dalam Tabel 4.2 tersebut bahwa α4=-19.965 (dengan P-value= 0.035) yang

memberi makna jika dilakukan reforestasi di lahan-lahan milik dengan target proporsi luasan

sebesar 1% di setiap kabupaten/kota, maka kejadian pneumonia akan dapat dimitigasi sebesar

maka 19.965 kejadian per 10 ribu penduduk. Penuruan ini bersifat nyata seperti ditunjukkan oleh

nilai P-value tersebut yang <5%. Dengan demikian maka untuk mitigasi kejadian penyakit

pneumonia tersebut menghadapi perubahan iklim maka setiap kabupaten kota perlu melakukan

reforestasi di hutan rakyat [POPF] sebesar (13.612/19.965)%= 0.68%. Namun sayangnya tidakan

mitigasi ini tidak bisa dilaksanakan di kawasan hutan negara karena akan membawa dampak pada

peningkatakan kejadian pneumonia pada 2 tahun berikutnya seperti ditunjukkan oleh nilai

α3=30.28 dangan P-value =0.009.

Dari uraian di atas maka dapat diklaim bahwa H1 bagi model kejadian penyakit pneumonia

sebagai fungsi dari 9 variabel tersebut diterima khususnya dengan time lag 2 tahun [PNE]i,t+2.

Oleh karena itu model ini dapat dipergunakan untuk simulasi penetapan valuasi ekonomi jasa

lingkungan hutan rakyat terutama sekali karean variable ini berpengaruh nyata dala menurunkan

kejadian penyakit ini.

[A] Reduksi Biaya Perawatan Pneumonia dengan Skenario Reforestasi

Untuk melakukan valuasi ekonomi jasa lingkungan dalam menekan biaya perawatan melalui

reforestasi di hutan-hutan rakyat [POPL] maka terlebih dalau diperlukan: Model prediksi kejadian

pneumonia dan informasi tentang tarip perwatan pasien per pasien.

A.1 Model Persamaan Kejadian Pneimonia di Provinsi Lampung

Berdasarkan hasil optimasi parameter seperti dalam Tabel 4… tersebut maka dapat dirumuskan

dalam Persamaan {4.1}.

[PNEi]t+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN]i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF]i,t - 476 [BRLND]i,t

- 33,9 [PLNT]i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3 [MFARM]i,t - 36,4 [RICE]i,t

Persamaaan {4.1}

Page 33: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

33

Keterangan: [PNE]i, t +2 : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t +2 [TEMP]i,t : Temperatur udara rata-rata tahunan di wilayah kab/kota ke i

[URBAN]i,t : Tingkat urbanisme wilayah ke i, diberi skor =1 jika kota, =0 jika kabupaten [STWF]i,t : Proporsi luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [POPL]i,t : Proporsi luasan hutan rakyat kabupaten/kota ke i tahun ke t

[BRLND]i,t : Proporsi luasan lahan terbuka pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [MFARM]i,t : Proporsi luasan pertanian intensif (campuran) kabupaten/kota ke i tahun ke t

[SETTL]i,t : Proporsi luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [RICE]i,t : Proporsi luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

A.2 Simulasi Kejadian Pneumonia dan Kebutuhan Reforestasi untuk Mitigasi Perubahan

Iklim

Pada Tabel 4.3 disajikan hasil simulasi kenaikan kejadian per 10 ribu penduduk pada 2 tahun

berikutnya sebagai dampak dari pemnasan global. Jika digunakan data BPS (2021) yang maka

luas total Provinsi Lampung 3,537,600 ha dengan jumlah penduduk 8.85 juta jiwa, maka pada

Tabel 4.3 disajikan hasil simulasi total kenaikan kejadian pneumonia pada 2 tahun yang akan

datang dan implikasi kebutuhan untuk melakukan reforestasi di hutan rakyat. Reforestasi ini

merupakan tindakan mitigasi untuk masing-masing skenario kenaikan suhu mulai mulai dari 0.25

oC sampai 2.00 oC.

Tabel 4.3. Hasil simulasi total kenaikan kejadian pneumonia pada 2 tahun dan kebutuhan

reforestasi di hutan rakyat di Provinsi Lampung

No

Skenario Kenaikan Suhu

Kenaikan

Pneumonia Total Kejadian

Pneumonia Kebutuhan Reforestasi di Hutan rakyat

oC Orang/per 10

Ribu Pddk (Pasien)

% dari Luas Provinsi

Ha

1 0.25 1.7 1,507 0.09 301,666

2 0.50

3.4 3,013 0.17 603,332

3 0.75

5.1 4,520 0.26 904,998

4 1.00

6.8 6,027 0.34 1,206,664

5 1.25

8.5 7,534 0.43 1,508,331

6 1.50

10.2 9,040 0.51 1,809,997

7 1.75

11.9 10,547 0.60 2,111,663

8 2.00

13.6 12,054 0.68 2,413,329

Sumber: Hasil Penelitian (2021)

Sepertii dapat diperiksa pada Tabel 4.3 dampak perubahan iklim terhadap kejadian pneumonia di

Provinsi Lampung dapat dipandang relatif sangat besar. Bila terjadi perubahan iklim yang

Page 34: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

34

diindikasikan oleh kenaikan temperature udara sampai 2oC maka akan terjadi kenaikan jumlah

kejadian pneumonia hingga 12 ribu jiwa lebih. Untuk mitigasi keniakan ini antara lain pilihannya

dengan melalukan mitigasi berupa tindakan reforesatasi di hutan rakyat seluas 2.42 juta ha.

Luasan ini merupkan suatu angka yang sangat fantastis bila dibandingkan total luas Provinsi

Lampung 3.35 juta ha.

[B] Valuasi Ekonomi Mitigasi terhadap Keniakan Penumonia Menggunakan Reforestasi di

Hutan Rakyat

Seringkali angka-angka kejadian belu bisa untuk memberikan hentakan agar pejabat publik untuk

menyadari dasyatnya dampak tersebut. Keengganan (inertia) seperti ini dapat difahami karena

dampak perubahan iklim tidak langsung dan tidak pula seketika. Namun hampir setiap orang

normal sensitive terhadap nilai manfaat ataupun nilai korbanan dalam nilai ekonomi. Oleh karena

itu valuasi ekonomi perlu disajikan di sini, baik berupa nilai ekonomi untuk melakukan reforestasi

maupun nilai ekonomi dari korbanan biaya perwatan. Untuk itu dalam penelitian ini biaya

reforestasi merujuk Kusimedi dan Jariyah (2010) adalah Rp 58,110,527 per ha. Sedangkan biaya

perawatan untuk penyakit infeksi bakteri seperti Diplococous pneumonia menurujuk pada

Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 rata-rata per pasien sampai pulang dari rumah sakit adalah Rp

4,399,633 (Sd= 733,267) maka korbanan untuk mitigasi dengna menggunakan skema refortasi

hutan rakyat [POPL] tersebut untuk setiap kenaikan temperatur dosdajikan pada Tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4. Prediksi biaya perwaratan kenaikan pneumonia, biaya biaya reforestasi, dan total

biaya korbanan mitigasi perubahan iklim (Rp Juta)

No. Kenaikan

Suhu 0C Jumlah Korban

Pneumonia (orang)

Total Kenaikan Biaya Perawatan

(Rp Jt)

Luasan Reforestari Hutan Rakyat

sebagai tindak mitigasi (Ha)

Total Biaya Reforestasi di Hutan

Rakyat (Rp Jt)

Total Biaya Korbanan (Rp Jt)

1

0.25 1,507 6,629 301,666 17,529,977 17,536,606

2

0.50 3,013 13,258 603,332 35,059,954 35,073,212

3

0.75 4,520 19,887 904,998 52,589,931 52,609,818

4

1.00 6,027 26,516 120,6664 70,119,908 70,146,424

5

1.25 7,534 33,145 150,8331 87,649,885 87,683,030

6

1.50 9,040 39,774 1,809,997 105,179,862 105,219,636

7

1.75 10,547 46,403 2,111,663 122,709,839 122,756,242

8

2.00 12,054 53,032 2,413,329 140,239,816 140,292,848

Sumber: Hasil Penelitian (2021).

Page 35: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

35

Sebagaimana dapat diperiksa dalam Tabel 4.4 khusus untuk memitigasi penyakit pnemunoi

pemasan global sampai 2oC maka di Provinsi Lampung perlu untuk alokasi total biaya korbanan

sebesar Rp149,292,848 juta, yang merupakan biaya tambahan perawatan kenaikan jumlah

masyarakat yang terkena pneumonia ditambah dengan biaya untuk melakukan reforetasi di hutan

rakyat [POPL].

4.2.2 Model Kejadian Penyakit DBD

Hasil output Minitab sescara lengkap disajikan dalam Lampiran 4. Sedangkan ringkasannya dapat

diperiksa pada Tabel 4.5 (untuk Analysis of Variance dan Tabel 4.6 (untuk Uji T) seperti berikut.

Tabel 4.5 Analysis of Variance of DBD

Source DF SS MS F P

Regression 9 297,199 33,022 5,34 0,000

Residual Error 36 222,731 6,187

Total 45 519,929

Tabel 4.6. Uji T untuk Penyakit DBD

Predictor Coef SE Coef T P

Constant -34,97 32,65 -1,07 0,291

[URBAN]i 2,047 4,406 0,46 0,645

[TEMP] 1,213 1,252 0,97 0,339

[STWF]i 11,732 9,806 1,20 0,239

[POPF]i 8,512 7,978 1,07 0,293

[BRLND]i 29,34 87,68 0,33 0,740

[PLNT]i 2,078 7,001 0,30 0,768

[SETTL]i 12,61 10,43 1,21 0,235

[MFARM]i 4,905 4,863 1,01 0,320

[RICE]i 21,05 13,86 1,52 0,138

S = 2,48736 R-Sq = 57,2% R-Sq(adj) = 46,5%

Adapun hasil regresi antara 9 variabel predictor terhadap kejadi DBD dapat diungkapkan dengan

persamaan berikut.

The regression equation is

[DBD]i = - 35,0 + 2,05 [URBAN]i + 1,21 [TEMP] + 11,7 [STWF]i + 8,51 [POPF]i

+ 29,3 [BRLND]i + 2,08 [PLNT]i + 12,6 [SETTL]i + 4,91 [MFARM]i

+ 21,0 [RICE]i

Karena mempunyai dampak pada peningkatan kejadian DBD (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji

T tersebut) maka hutan negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk

mengukur nilai ekonomi bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan

global.

Page 36: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

36

4.2.3 Model Kejadian Penyakit Malaria

Hasil output Minitab secara lengkap disajikan dalam Lampiran 5. Sedangkan ringkasannya dapat

diperiksa pada Tabel 4.7 (untuk Analysis of Variance ) dan Tabel 4.8 (untuk Uji T) seperti berikut.

Tabel 4.7. Analysis of Variance Malaria

Source DF SS MS F P

Regression 9 15017,2 1668,6 4,36 0,000

Residual Error 41 15691,9 382,7

Total 50 30709,2

S = 19,5635 R-Sq = 48,9% R-Sq(adj) = 37,7%

Tabel 4.8. Hasil Uji T untuk Kejadian DBD

Predictor Coef SE Coef T P

Constant 505,2 208,5 2,42 0,020

[URBAN]i -6,07 28,93 -0,21 0,835

[TEMP] -16,994 7,741 -2,20 0,034

[STWF]i -179,58 72,49 -2,48 0,017

[POPF]i 71,40 57,31 1,25 0,220

[BRLND]i 1345,4 590,2 2,28 0,028

[PLNT]i -37,55 53,54 -0,70 0,487

[SETTL]i 22,78 91,55 0,25 0,805

[MFARM]i -61,37 38,27 -1,60 0,116

[RICE]i -80,80 57,45 -1,41 0,167

Karena temperature tidak mempengaruhi dampak yang nyata dan juga hutan rakyat mempunyai

dampak pada peningkatan kejadian malaria (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji T tersebut) maka

hutan negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk mengukur nilai

ekonomi bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan global

Walaupun begitu hubungan kasualitas antara 9 variabel tersebut terhadap kejadian DBD dapat

diungkapkan sebagai berikut.

The regression equation is

[MLR]i = 505 - 6,1 [URBAN]i - 17,0 [TEMP] - 180 [STWF]i + 71,4 [POPF]i

+ 1345 [BRLND]i - 37,6 [PLNT]i + 22,8 [SETTL]i - 61,4 [MFARM]i

- 80,8 [RICE]i

4.2. 4 Model Kejadian Penyakit TB Paru

Hasil output Minitab secara lengkap disajikan dalam Lampiran 6. Sedangkan ringkasannya dapat

diperiksa pada Tabel 4.9 (untuk Analysis of Variance ) dan Tabel 4.10 (untuk Uji T) seperti

berikut.

Page 37: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

37

Tabel 4.9. Analysis of Variance TB Paru

Source DF SS MS F P

Regression 9 207,281 23,031 4,88 0,000

Residual Error 38 179,307 4,719

Total 47 386,588

S = 2,17223 R-Sq = 53,6% R-Sq(adj) = 42,6%

Tabel 4.10. Hasil Uji T untuk kejadian Penyakit Tb Paru

Predictor Coef SE Coef T P

Constant -2,71 23,64 -0,11 0,909

[URBAN]i -3,826 3,933 -0,97 0,337

[TEMP] 0,3935 0,8751 0,45 0,656

[STWF]i -9,800 8,400 -1,17 0,251

[POPF]i 24,967 7,669 3,26 0,002

[BRLND]i 88,83 66,92 1,33 0,192

[PLNT]i -13,462 6,092 -2,21 0,033

[SETTL]i 9,51 12,65 0,75 0,457

[MFARM]i -5,810 4,285 -1,36 0,183

[RICE]i -0,309 6,883 -0,04 0,964

Karena temperatur tidak punya dampak yang nyata dan juga hutan rakyat mempunyai dampak

pada peningkatan kejadian malaria (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji T tersebut) maka hutan

negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk mengukur nilai ekonomi

bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan global

Walaupun begitu hubungan kasualitas antara 9 variabel tersebut terhadap kejadian DBD dapat

diungkapkan sebagai berikut.

The regression equation is

[TB]i = - 2,7 - 3,83 [URBAN]i + 0,393 [TEMP] - 9,80 [STWF]i + 25,0 [POPF]i

+ 88,8 [BRLND]i - 13,5 [PLNT]i + 9,5 [SETTL]i - 5,81 [MFARM]i

- 0,31 [RICE]i

Page 38: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

38

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Beberapa simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

[1] Kenaikan temperature rata-rata tahunan dapat berpengaruh secara sangat nyata terhadap

kejadian isidensi penyakit khususnya pneumonia dimana setiap 1oC akan meningkatkan 6.81

kejadian per 10 ribu penduduk.

[2] Hutan rakyat berperan nyata dalam menekan insidensi penyakit infeksi khususnya pneumonia,

dimana setiap ada kenaikan sebesar 1% maka akan diiringingi dengan penurunan insidensi

20.0 kejadian per 10 ribu penduduk.

[3] Jika terjadi pemanasan global hingga temperatur atmosfer mencapai 2.0oC, maka di Provinsi

Lampung akan mengalami kenaikan insidensi penyakit infeksi khususnya pnuemonia akan

mencapai 12 ribu pasien.

[4] Untuk meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke

level semula (BAU) maka diperlukan mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68

% dari luas provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan rata-rata 2.0oC, yang

memerlukan alokasi biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya

tambahan perawatan atas total kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta

dan selebihnya dengan biaya untuk melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329

ha.

[5] Perubuhan iklim global tidak punya dampak nyata terhadap kejadian DBD, Malarian dan TB

Paru.

5.2 Saran

Setidaknya ada dua saran yang penting untuk dikemukan berkaitan dengan hasil penelitian ini

yaitu untuk:

[1] Melaksanakan penelitian tentang pengaruh penggunaan lahan dan pemanasan global unit

analisis level kabupaten/kota,

Page 39: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

39

[2] Melakukan penelitian untuk validasi model di berbagai provionsi lain, terutama yang

mempunyai wilayah dengan prospek mengembangan jasa sekustrasi karbon seperti di NTT,

NTB, Sulawesi Tengah dll.

Page 40: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

40

DAFTAR PUSTAKA

Adhyaksa, A., S. Bakri, T. Santoso. 2017. Pengaruh tutupan lahan terhadap insidensi pneumonia

pada balita di Provinsi Lampung, Jurnal Sylva Lestari. 5(1): 26-34.

Adiansyah, J.S. 2015. Pipeline program CDM di Indonesia: Sebuah peluang dan Tantangan untuk

Industri Pertambangan. Jurnal TeknoSains. 1(1): 1-15.

Andersen, S.O, M. L. Halberstadt, and N. B. Parnell. 2013. Critical review: Stratospheric ozone,

global warming, and the principle of unintended consequences—An ongoing science and

policy success story. Journal of the Air & Waste Management Association, 63(6):607–647.

DOI: 10.1080/10962247.2013.791349.

Arnell, N.W., S. J. Halliday, R.W. Battabee, R. A.Skeffington, and A.J. Wade. 2015. The

implications of climate change for the water environment. Progress in Physical Geography,

39(1) 93–120. DOI: 10.1177/0309133314560369 ppg.sagepub.com.

Bakri, S., A. Setiawan, dan I. Nurhaida. 2019. Jasa lingkungan hutan sebagai pengendali

kesehatan masyarakat. Jasa Lingkungan Hutan: Kontribusi Produk Ekonomi Ekologis

bagi Pembangunan Berkelanjutan: 68-105.Aura Publishing, Bandar Lampung.

Bakri, S., A. Raya, Y. Idriani, J. F. Suwandi. 2018. Toddler’s mmunity against dengue

haemorraghic fever based on sex and age: The influence of environment and family’s

habitual variables. Proceeding The 3rd Shield International Conferece. Bandar Lampung

on 9-11th November 2018.

Brenna, H., S. Kutterolf, dan K. Krüger. 2019. Global ozone depletion and increase of UV

radiation caused by pre-industrial tropical volcanic eruptions. Scientific Report :1-14.

https://doi.org/10.1038/s41598-019-45630-0

Carlson, C. J., E. R. Dougherty, and W. Getz. 2016. An ecological assessment of the pandemic

threat of zika virus. PLOS Neglected Tropical Disease.

DOI:10.1371/journal.pntd.0004968.

Colfer, C.J.P., D. Sheil, dan M. Kishi 2006. Forests and Human Health. Occasinal Paper #45.

https://www.researchgate.net /publication/42765329 (Diaksess 12 Pebruari, 2020).

Ditjen Perubahan Iklim (2017) yaitu Pedoman Pemgukuran Pelaporan dan Verifikasi REDD+

di Indonesia. Kementerian LHK.

http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen

Fahrizal, D.W. S. R. Wardani, E. Suroso, dan S. Bakri. 2018. Dampak perubahan iklim dan

tingkat urbanisme wilayah terhadap biaya korbanan demam berdarah dengue. Diaspora

Eksakta, 1 (2): 1-12.

Page 41: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

41

Forest Watch Indonesia. 2018. Deforestasi Tanpa Henti. Diambil dari http://fwi.or.id/wp-

content/uploads/2018/03/deforestasi_tanpa_henti_2013- 2016_lowress.pdf.

Hambali. 2012. Revolusi dalam penyedaan energi. Dalam Dalam Purwanto, R., I. Siregar, dan

A. Suryani. 2012. Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press, Bogor.

Hastuty, G., D.W.S.R Wardani, C. Wulandari dan S. Bakri. 2019. the role of the mangrove forest

in water terestric ecosystem as a disease control of dengue hemorrhagic fever (DHF) under

global warming scenario. Prosiding Seminar Nasional Hari Air Dunia 2019 Palembang 21

Maret 2019 66 e-ISSN : 2621-7469.

Hundessa, S., G. Williams, S.Li, D.L. Liu, W. Cao, H.Ren, J. Guo, A. Gasparrini, K. Ebi, W.

Zhang, Y. Guo. 2018. Projecting potential spatial and temporal changes in the

distribution of Plasmodium vivax and Plasmodium falciparum malaria in China with

climate change. Science of the Total Environment journal, 627: 1285-1293;

https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.01.300; www.elsevier.com/locate/scitotenv

IPCC. 2007. Climate Change 2007; Mitigation of Climate Change. Cambridge University Press,

Cambridge.

Kassié, D.,M. Bourgarel, and F. Roger. 2015. Climate change and ebola outbreaks: are they

connected? Poster Presented on Conference: Our Common Future Under Climate

Change, Paris July 215.

Kusharto, C.M. dan Hardinsyah. 2012. Ketahanan kemandirian pangan. Dalam Purwanto, R.,

I. Siregar, dan A. Suryani. 2012. Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press, Bogor.

Kusumedi, P. dan N.A. Jariyah. 2010. Financial analysis of agroforestry management with sengon

cardamom pattern in tirip Village, Wadaslintang District, Wonosobo Regency. Jurnal

Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 (2):93-100.

Liu, X. Q.Tang, N. Voisin, and H.Cui. 2016. Projected impacts of climate change on hydropower

potential in China. Hydrology and Earth System, 20: 3343–3359. www.hydrol-earth-syst-

sci.net/20/3343/2016/ doi:10.5194/hess-20-3343-2016.

Menhutbun.2014. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Lampung - appgis. Surat Keputusan

Menteri Kehutanan RI Nomor SK.866/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 ..

Mirsaeidi, M., H. Motahari , M. T. Khamesi, A. Sharifi, M. Campos, and D. E. Schraufnagel.

2016. Climate change and respiratory infections. Annals.ATS, 13(8):1223-1230.

Mironova, V., N. Shartova, A. Beljaev, M. Varentsov, and M. Grishchenko. 2019. Effects of

climate change and heterogeneity of local climates оn the development of malaria parasite

(Plasmodium vivax) in Moscow Megacity Region. International Journal of Environental

Page 42: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

42

Research and Public Health, 16: 1-18. doi:10.3390/ijerph16050694.

ww.mdpi.com/journal/ijerph.

Mustika, A. A., S. Bakri, dan D.W.S. R. Wardani. 2016. Perubahan penggunaan lahan di Provinsi

Lampung dan pengaruhnya terhadap insidensi demam berdarah dengue (DBD). Jurnal

Sylva Lestari, 4 (3):35—46.

Nicolaj K. L, Kjaer K.H, Lecavalier B, et al. 2015. The response of the southern Greenland ice

sheet to the Holocene thermal maximum. Geology, 43 (4): 291-294.

Nurlela, L., Muhtarudin, d S. Bakri, dan J.F. Suwandi. 2019. Pengaruh deforestasi ekosistem

hutan menjadi perairan terestrial terhadap prevalensi serangan rabies: Studi di Provinsi

Lampung. Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO)4 Pemanfaatan Biodiversitas

dan Bioteknologi untuk Pelestarian Lingkungan, Bandung 25 April 2019. Pusat Penebitan

dan UIN Sunan Gunung Djati Badung.

Oulkar, S., D. Siingh, U. Saha, and A. K. Kamra. 2019. Distribution of lightning in relation to

topography and vegetation cover over the dry and moist regions in the Himalayas. Journal

of Earth Syst. Sci., 128:180. Academy of Scienceshttps://doi.org/10.1007/s12040-019-

1203-9.

Kementerian LHK. 2017. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016.

Kem LHK, Jakarta.

Madani 2018. REDD+ Update Report Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi

Indonesia Juli 2018. file:///D:/BUKU%20JASA%20LINGKUNGAN/ /Madani-Update-

Report-Perhitungan-Deforestasi-IND.pdf

Pelita, A., J. F. Suwandi, S. Bakri dan M. Riniarti, 2019. Peranan ekosistem perairan terestrial

terhadap insidensi penyakit malaria: Studi di Provinsi Lampung. Prosiding Seminar

Nasional Hari Air Dunia 2019, Palembang, ISSN 21 Maret 2019 66 e-ISSN : 2621-7469.

Pramudianto, A. 2016. Dari Kyoto Protocol 1997 hingga Paris Agreement 2015: Dinamika

Diplomasi Perubahan Iklim Global dan Asean menuju 2020. Global. 18(1): 76-94.

Putra, A. K., S. Bakri, dan B. Kurnaiwan. 2015. Peranan ekosistem hutan mangrove pada

imunitas masyarakat terhadap malaria: Studi di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten

Lampung Timur. Juranl Sylva Lestari, 3(2) :67—78.

Rohayati, Muhtarudi, J.F. Suwandi, dan S. Bakri. 2018. The impact of climate change and land

cover on avian influenza (AI) incidence in sector 4 livestock poultry (traditional poultry)

in Lampung Lrovince. Proceeding of the 3rd SHIELD International Conference of 2018

https://3rdshieldproceeding.uprci.org,

Rosari, R.S., S. Bakri, T. Santoso, dan D.W.S.R Wardani. 2017. Pengaruh perubahan

penggunaan lahan terhadap insiden penyakit tuberkulosis paru: Studi di Provinsi Lampung.

Jurnal Sylva Lestari. 5 (1): 71-80.

Page 43: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

43

Seno, Y., D.W.S.R Wardani, S. Bakri, 2018. Pemanfaatan citra landsat untuk valuasi jasa

lingkungan hutan negara dalam pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) :

studi di Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 6(3): 237-248. ISSN 2337-7771 (Cetak)

ISSN 2337-7992 (Daring).

Serageldin, I., and A. Steer. 2019. Making development sustainabel. Environmental Sustainable

Development Occasional Paper#2. ESD.

Shu, J., J. J. Qu1, R. Motha, J. C. Xu, and D. F. Dong. 2018. Impacts of climate change on

hydropower development and sustainability: A review. IOP Conf. Series: Earth and

Environmental Science 163 (2018) 012126 doi :10.1088/1755-1315/163/1/012126 .

UNEP. 2019a. Environmental Effects and Interactions of Stratospheric Ozone Depletion, UV

Radiation, and Climate Change 2018. Assessment Report. Montreal Protocol on

Substances that Deplete the Ozone Layer, Montreal.

UNEP. 2019b. Emissions Gap Report 2019 November 2019.

Waldvogel, F. A. 2004. Review on infectious diseases in the 21st century: Old challenges and

new opportunities. International Journal of Infectious Diseases,8:5—12. DOI:

10.1016/j.ijid.2003.01.001.

Wigaty L., S. Bakri S., T. Santoso, dan D.W.S.R. Wardani. 2016. Pengaruh perubahan

penggunaan lahan terhadap angka kesakitan malaria: Studi di Provinsi Lampung. Jurnal

Sylva Lestari, 4(3): 1–10.

Zhu, Na., D. Zhang, W. Wang, X. Li, B. Yang, J. Song, X. Zhao, B. Huang, W.Shi, R. Lu, P.Niu,

and F. Zan. 2020. A novel coronavirus from patients with pneumonia in China 2019. DOI:

10.1056/NEJMoa2001017

Page 44: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

44

LAMPIRAN 1

PERUBAHASN PENGGUNAN LAHAN

Page 45: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

45

LAMPIRAN 1: Perubahan Tutupan Lahan per Kabupaten/Kota 2009 sampai 2019

Gambar 1. Distribusi tutupan hutan primer Provinsi tahun 2009 sampai 2019

Gambar 2. Distribusi Proposi Pemukiman Provinsi Lampung tahun 2009 sampai 2019

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

40,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Hutan Primer Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang

0,00%

20,00%

40,00%

60,00%

80,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Pemukiman Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat Tanggamus Lampung SelatanLampung Timur Lampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang PesawaranPringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat

Page 46: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

46

Gambar 3. Penggunaan Lahan Hutan Rakyat Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Gambar 4. Penggunaan Lahan Pertanian Campuran Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

40,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Hutan Rakyat Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu

0,00%

50,00%

100,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Pertanian Campuran Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu

Page 47: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

47

Gambar 5. Penggunaan Lahan Terbuka Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Gambar 6. Penggunaan Lahan Persawahan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

0,00%

2,00%

4,00%

6,00%

8,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Terbuka Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang

0,00%

20,00%

40,00%

60,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Persawahan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan

Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara

Way Kanan Tulang Bawang Pesawaran

Pringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat

Bandar Lampung Metro

Page 48: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

48

Gambar 7 . Penggunaan Lahan Perkebunan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

40,00%

45,00%

50,00%

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Penggunaan Lahan Perkebunan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran PringsewuMesuji Tulang Bawang Barat

Page 49: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

49

LAMPIRAN 2

KEJADIAN PENYAKIT PER KABUPATEN/KOTA

Page 50: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

50

LAMPIRAN 2: Penyakit Perkabupaten 2009 sampai 2019

Gambar 1. Jumlah Kejadian Penyakit Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Gambar 2 Jumlah Kejadian Penderita DBD per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 2009-2019

0

20

40

60

80

100

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Persentasi Jumlah Penderita Pneumonia Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur

Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang

Pesawaran Pringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat

Bandar Lampung Metro

Page 51: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

51

Gambar 3. Jumlah Kejadian Penyakit Malaria/10 ribu penduduuk Per Kabupaten di Provinsi

Lampung 2009-2019

Gambar 4. Kejadian Penyakit TB Paru /10 ribu penduduuk Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-

2019

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Persentasi Jumlah Penderita Malaria Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu

0,00

20,00

40,00

60,00

2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020

Persentasi Jumlah Penderita TB Paru Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019

Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang

Page 52: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

52

LAMPIRAN 3

OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI PNEUMONIA

Page 53: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

53

LAMPIRAN 3 : Outputb Minitab untuk Pneumonia

Outpun Regresi Kejadian pneumonia terhadap temperature, urbanisme wilayah dan tutupa lahan ————— 20/10/2021 09:48:04 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.

Regression Analysis: [PNE]i,t+2 versus [TEMP]i,t ; [URBAN]i,t; ... (a) The regression equation is

[PNE]i,t+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF] i,t

- 476 [BRLND]i,t - 33,9 [PLNT] i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3[MFARM]i,t

- 36,4 [RICE] i,t

[b] T Test

Predictor Coef SE Coef T P

Constant -158,130 34,33 -4,61 0,000

[TEMP]i,t 6,806 1,292 5,27 0,000

[URBAN]i,t 4,493 3,452 1,30 0,202

[STWF]i,t 30,280 10,94 2,77 0,009

[POPF] i,t -19,965 9,074 -2,20 0,035

[BRLND] i,t -475,69 98,39 -4,83 0,000

[PLNT]i,t -33,912 8,369 -4,05 0,000

[SETTL]i,t -7,7730 8,111 -0,96 0,345

[MFARM]i,t -22,303 5,823 -3,83 0,001

[RICE]i,t -36,402 7,121 -5,11 0,000

S = 2,48332 R-Sq = 73,8% R-Sq(adj) = 66,4%

[c] Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 9 554,691 61,632 9,99 0,000

Residual Error 32 197,341 6,167

Total 41 752,032

Source DF Seq SS

[TEMP]i,t 1 36,709

[URBAN]i,t 1 201,291

[STWF]i,t 1 52,856

[POPF]i 1 34,495

[BRLND]i,t 1 25,189

[PLNT] i,t 1 12,201

[SETTL] i,t 1 22,000

[MFARM] i,t 1 8,811

[RICE] i,t 1 161,139

Page 54: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

54

LAMPIRAN 4

OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI DBD

Page 55: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

55

Lampiran 4

Regression Analysis: [DBD]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ... The regression equation is

[DBD]i = - 35,0 + 2,05 [URBAN]i + 1,21 [TEMP] + 11,7 [STWF]i + 8,51 [POPF]i

+ 29,3 [BRLND]i + 2,08 [PLNT]i + 12,6 [SETTL]i + 4,91 [MFARM]i

+ 21,0 [RICE]i

Predictor Coef SE Coef T P

Constant -34,97 32,65 -1,07 0,291

[URBAN]i 2,047 4,406 0,46 0,645

[TEMP] 1,213 1,252 0,97 0,339

[STWF]i 11,732 9,806 1,20 0,239

[POPF]i 8,512 7,978 1,07 0,293

[BRLND]i 29,34 87,68 0,33 0,740

[PLNT]i 2,078 7,001 0,30 0,768

[SETTL]i 12,61 10,43 1,21 0,235

[MFARM]i 4,905 4,863 1,01 0,320

[RICE]i 21,05 13,86 1,52 0,138

S = 2,48736 R-Sq = 57,2% R-Sq(adj) = 46,5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 9 297,199 33,022 5,34 0,000

Residual Error 36 222,731 6,187

Total 45 519,929

Source DF Seq SS

[URBAN]i 1 226,886

[TEMP] 1 29,278

[STWF]i 1 11,012

[POPF]i 1 4,909

[BRLND]i 1 7,424

[PLNT]i 1 2,646

[SETTL]i 1 0,193

[MFARM]i 1 0,585

[RICE]i 1 14,266

Page 56: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

56

LAMPIRAN 5

OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI MALARIA

Page 57: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

57

LAMPIRAN 5: Regression Analysis: [MLR]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ...

The regression equation is

[MLR]i = 505 - 6,1 [URBAN]i - 17,0 [TEMP] - 180 [STWF]i + 71,4 [POPF]i

+ 1345 [BRLND]i - 37,6 [PLNT]i + 22,8 [SETTL]i - 61,4 [MFARM]i

- 80,8 [RICE]i

Predictor Coef SE Coef T P

Constant 505,2 208,5 2,42 0,020

[URBAN]i -6,07 28,93 -0,21 0,835

[TEMP] -16,994 7,741 -2,20 0,034

[STWF]i -179,58 72,49 -2,48 0,017

[POPF]i 71,40 57,31 1,25 0,220

[BRLND]i 1345,4 590,2 2,28 0,028

[PLNT]i -37,55 53,54 -0,70 0,487

[SETTL]i 22,78 91,55 0,25 0,805

[MFARM]i -61,37 38,27 -1,60 0,116

[RICE]i -80,80 57,45 -1,41 0,167

S = 19,5635 R-Sq = 48,9% R-Sq(adj) = 37,7%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 9 15017,2 1668,6 4,36 0,000

Residual Error 41 15691,9 382,7

Total 50 30709,2

Source DF Seq SS

[URBAN]i 1 443,0

[TEMP] 1 852,5

[STWF]i 1 6336,5

[POPF]i 1 89,0

[BRLND]i 1 6054,6

[PLNT]i 1 93,9

[SETTL]i 1 40,7

[MFARM]i 1 349,9

[RICE]i 1 757,0

Page 58: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

58

LAMPIRAN 6

OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI TB PARU

Page 59: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

59

LAMPIRAN 6: Regression Analysis: [TB]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ...

The regression equation is

[TB]i = - 2,7 - 3,83 [URBAN]i + 0,393 [TEMP] - 9,80 [STWF]i + 25,0 [POPF]i

+ 88,8 [BRLND]i - 13,5 [PLNT]i + 9,5 [SETTL]i - 5,81 [MFARM]i

- 0,31 [RICE]i

Predictor Coef SE Coef T P

Constant -2,71 23,64 -0,11 0,909

[URBAN]i -3,826 3,933 -0,97 0,337

[TEMP] 0,3935 0,8751 0,45 0,656

[STWF]i -9,800 8,400 -1,17 0,251

[POPF]i 24,967 7,669 3,26 0,002

[BRLND]i 88,83 66,92 1,33 0,192

[PLNT]i -13,462 6,092 -2,21 0,033

[SETTL]i 9,51 12,65 0,75 0,457

[MFARM]i -5,810 4,285 -1,36 0,183

[RICE]i -0,309 6,883 -0,04 0,964

S = 2,17223 R-Sq = 53,6% R-Sq(adj) = 42,6%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 9 207,281 23,031 4,88 0,000

Residual Error 38 179,307 4,719

Total 47 386,588

Source DF Seq SS

[URBAN]i 1 3,734

[TEMP] 1 7,182

[STWF]i 1 81,099

[POPF]i 1 71,466

[BRLND]i 1 8,194

[PLNT]i 1 21,816

[SETTL]i 1 1,897

[MFARM]i 1 11,885

[RICE]i 1 0,010

Page 60: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

60

LAMPIRAN 7

DRAFT PRODUK

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Page 61: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

61

PROSEDUR PENETAPAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN HUTAN RAKYAT SEBAGAI KOMPENSASI DALAM PENURUNAN

KEJADIAN PENYAKIT PNEUMONIA DI BAWAH SKENARIO PEMANASAN GLOBAL

[DRAF HKI]

Oleh:

Dr. Ir. Samsul Bakri, M. Si.

Dr. dr. Betta Kurniawan, S.Ked., M.Kes.

Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si.

Virginia Ramos Br Sitorus, S.Hut.

PROGRAM STRATA 2

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA MULTIDISIPLIN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2021

Page 62: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

62

SANWACANA

Alhamdulillah pertama kami rasakan atas selesai panduan ini di bawah kesibukan layanan

akademik maupun layanan administrasi di lingkup tugas-tugas di lingkungan Pascasarjana

maupun di Fakultas Pertanian Unila. Karya ini merupakan salah satu produk dari Hibah Penelitian

Pascasarjana TA 2021. Karya ini diberi judul: “Prosedur Penetapan Nilai Ekonomi Jasa

Lingkungan Hutan Rakyat sebagai Kompensasi dalam Penurunan Kejadian Penyakit Pneumonia

di Bawah Skenario Pemanasan Global” dalam rangka menunjang komitmen Indonesia untuk

menurunkan emisi gas-gas rumah kaca khususnya dalam sektor Land Use, Land Use Change and

Forestry (LULUCF) sesuai dengan Persetujuan Paris yang telah diratifikasi menjadi UU RI

Nomor 16 tahun 2016. Jasa lingkungan hutan terhadap penurunan penyakit infeksi khususnya

pneumonia belum ditemukan penelitiannya. Apalagi untuk hutan rakyat yang sangat efektif dalam

merawat biodiversitas kawasan dibandingkan dengan hutan negara. Karya ini ditujukan untuk

para praktisi dan akademisi yang tertarik pada bidang kajian valuasi ekonomi jasa lingkungan

maupun bidang lain yang terkait. Berkaitan dengan itu kami ucapkan terima kasih atas dukungan

pendanaan oleh LPPM Unila untuk penelitian ini. Demikian pula kepada semua pihak yang telah

banyak memberikan dukungan baik selama pelaksanaan penelitian ini maupun dalam penyusunan

manual ini. Semoga budi baik yang telah Anda berikan kepada kami semoga memperoleh reward

dari Allah SWT. Selain itu kami senantiasa menerima krtitik yang membangun agar karya ini

menjadi banyak manfaat.

Bandar Lampung 20 Oktober 2021

Atas nama tim penulis,

Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si

Page 63: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

63

I. PENDAHULUAN

Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi penurunan emisi gas

rumah kaca (GRK) sesuai dengan Paris Agreement 2016 adalah sebesar 26% bila tanpa bantuan LN atau

41% bila dengan skema bantuan LN selama periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius

oleh banyak kalangan terutama sekali untuk sektor Land Use, Land Use Change and Forestry

(LULUCF). Apalagi target dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan sebesar 497 jutaan ton

CO2ekivalen jika tanpa bantuan atau 650 ton CO2ekivalen untuk skema reforestasi tanpa dan dengan bantuan LN

tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa dipahami karena benefit nilai ekonominya yang bakal

diperoleh belum pernah dikuantifikasikan, apalagi yang menggunakan satuan moneter. Benefit yang

umumnya sudah dikenal dari skema reforestasi adalah nilai ekonomi dari pulihnya sumberdaya air,

peningkatan produksi PLTA dan irigasi, menurunnya frekuensi banjir dan frekuensi kekeringan,

menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dsb. Namun dampak pada pulihnya biodiversitas kawasan belum

pernah dikuantifikasikan khususnya sebagai pengendalian penyakit infeksi.

Salah satu penyakit infeksi yang dapat dikendalikan melalui jasa lingkungan yang dibangkitkan oleh hutan

rakyat adalah pneumonia. Adhyaksa et al. (2017) melaporkan bahwa di Provinsi Lampung jika tutupan

hutan ditingkatkan 1% maka insidensi pneumonia akan menurun sebesar 2,97 per 10 ribu penduduk.

Namun temuan itu belum dikaitkan dengan kejadian pemanasan global. Dengan mengkaitkan adanya issue

pemanasan global ini kami buktikan lebih besar yaitu 8,61 kejadian per 10 ribu penduduk untuk tindakan

reforestasi di areal hutan rakyat sebesar 1%. Kecuali itu kami juga dapatkan bahwa setiap ada kenaikan

temperatur udara sebesar 1oC maka pneumonia akan meningkat 0.68 kejadian per 10 ribu penduduk.

Karena itu dengan mengambil referensi biaya perawatan per pasien seperti yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Layanan Kesehatan dan Program Jaminan Sosial

maka reforestasi di hutan rakyat dapat dihitung kontribusinya pada penghindaran pengeluaran untuk biaya

perawatan pneumonia akibat pemanasan global. Nilai ekonomi ini tidak lain merupakan ukuran nilai

ekonomi jasa lingkungan hutan khususnya hutan rakyat. Dengan begitu pula maka kontribusi nilai ekonomi

ini dapat merupakan suatu produk benefit lain (by product) dari program REDD++ di bawah skema Paris

Agreement. Valuasi ekonomi ini juga dapat digunakan untuk penyakit infeksi yang lain seperti DBD, TB

paru, dan malaria.

Page 64: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

64

II. PROSEDUR KERJA

[A] Mengembangkan Model

Pengembangan model dimulai dengan pemilihan postulat model, preparasi data, optimasi

parameter model sampai memperoleh yang cocok dan robust. Untuk itu diperlukan MS Office

dan Minitab 16.

A.1 Tahap Memilih Postulat Model

Ordinary Least Squaqre Model (OLS) dipilih untuk dipergunakan sebagai dasar

penetapan kenaikan kejadian penyakit pneumonia adalah hasil riset yang telah

diuji mempunyai validitas yang tinggi.

[PNE]it+2 = β0 + β1 [TEMP]i,t + β2 [URBAN]i,t + β3 [STWF]i,t + β4 [POPF]i,t + β5 [BRLND]i,t

+ β6 [PLNT]i,t + β7 [SETTL]i,t + β8 [MFARM]i,t + β9 [RICE]i,t + ξi,t

Keterangan: [PNE]i, t +2 : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun data

[TEMP]i,t : Temperatur udara rata-rata tahunan di wilayah kab/kota ke i

[URBAN]i,t : Tingkat urbanisme wilayah ke i, diberi skor =1 jika kota, =0 jika

kabupaten

[STWF]i,t : % luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t

[POPL]i,t : % luasan hutan rakyat kabupaten/kota ke i tahun ke t

[BRLND]i,t : % luasan lahan terbuka pada kabupaten/kota ke i tahun ke t

[MFARM]i,t : % luasan pertanian intensif (campuran) kabupaten/kota ke i tahun ke

t

[SETTL]i,t : % luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t

[RICE]i,t : % luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t

ξ : Error

Page 65: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

65

A.2 Tahap Preparasi Data

Dengan berfokus pada Gambar 1 berikut urutan entri data dengan urutan [1] sampai [13].

Gambar 1. Lembar Kerja untuk entri data menggunakan format Excell

Urutannya:

[1] Isikan mulai pada Cell A3 ke bawah nama kabupaten ke 1 sampai ke n.

[2] Isikan tahun pengamatan data tutupan lahan. Disarankan menggunakan

selang tahun data penggunaan lahan 2 sampai 4 tahun agar diperoleh

perbedaan perubahan luasan yang cukup.

[3] Di bawah [PNE]i, t+2 pada Cell C3 terus ke bawah isikan kejadian penyakit pada

dengan selisih 2 tahun lebih muda dari pada tahun data penggunaan lahan.

Catatan: Hal ini berarti ada tenggat waktu (time lagg) untuk proses

berpengaruhnya penggunaan lahan terhadap kejadian penyakit di setiap

kabupaten/kota yang ada dalam provinsi yang diteliti.

[4] Dibawah [TEM]i,t, pada Cell D3 ke bawah masukkan nilai rata-rata temperatur

di masing-masing kabupten/kota ke i tahun yang ke t atau yang simbolkan.

[5] Di bawah [URBN]i,t.pada Cell E3 isikan angka 1 jika status urbanisme sebagai

kota, atau 0 jika statusnya kabupaten.

[6] Di bawah [STWF]i,t pada ada Cell F3 ke bawah isikan data % luasan hutan

negara untuk masing-masing kabupaten/kota.

[7] [7] Di bawah [POPF]i,t pada ada Cell G3 ke bawah isikan data % luasan hutan

rakyat untuk masing-masing kabupaten/kota.

Page 66: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

66

[8] Di bawah [BRLND]i,t pada ada Cell H3 ke bawah isikan data % luasan tanah

gundul untuk masing-masing kabupaten/kota.

[9] Di bawah [PLNT]i,t pada ada Cell I3 ke bawah isikan data % luasan perkebunan

untuk masing-masing kabupaten/kota.

[10] Di bawah [SETTL]i,t pada ada Cell J3 ke bawah isikan data % luasan pemukiman

untuk masing-masing kabupaten/kota.

[12] Di bawah [MFARM]i,t pada ada Cell K3 ke bawah isikan data % luasan

pertanian campuran untuk masing-masing kabupaten/kota.

[13] Di bawah [RICE]i,t pada ada Cell L3 ke bawah isikan data % luasan sawah untuk

masing-masing kabupaten/kota.

A.3 Tahap Optimasi Penetapan Parameter Model

Pada tahap ini memerlukan file data yang telah diisi tersebut dalam format Excell. Untuk itu

maka dipergunakan dari penelitian yang telah dilakukan.

Urutan:

[1] Siapkan data hasil pengukuran seperti pada Tabel 1.

[2] Lakukan drag data Tabel 1, tetapi hanya bagian khusus mulai dari posisi kurson di

[PNE]i,t+2 drag ke kanan sampai ke posisi yaitu seperti pada Gambar 2 berikut di posisi

[RICE]i+t , lalu tahan kursor dan lanjutkan drag ke kawah sampai pada data terakhir yaitu

Cell N56. Lalu kursor arahkan ke Copy.

[3] Bukalah WorkSheet Minitab Versi 16 atau versi yang lebih tinggi.

Tabel 1. Contoh Data Hasil Riset

Page 67: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

67

[4] Pada Worksheet Minitab letakkan kursor pada Cell di bawah C1 akan didapat Gambar 2.

Gambar 2. Worksheet Minitab 16.

[5] Lalu klik kanan dan arahkan kursor pada Menu Paste Cells atau CTRL+V (Gambar 3).

Page 68: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

68

Gambar 3. Pilih Paste Cells untuk mengcopi data dari File Excell ke

Worksheet Minitab 16.

[6] Klik kanan pada Paste Cells. Akan muncul tampilan Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Data yang siap running untuk optimasi parameter model

[7] Pilih Stat→Regression→Regression akan mucul tampilan Gambar

Page 69: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

69

Gambar 5. Melakukan Running OLS (Ordinary Leasat Square)

[8] Pilih Stat, klik kanan →Pilih Regression → Pilih Regression di dalam Dialog Box, klik

kanan, maka akan didapat tampilan seperti Gambar 6.

Gambar 6. Dialog Box untuk regresi Ordinary Least Square (OLS)

[9] Pada menu Response pilih [PNE]i,t+2 dan klik Select. Lalu pada menu Pridictor 9 variabel

lainnya mulai dari [TEMP]i,t sampai [RICE]i,t. Lalu klik Select. Akan diperoleh tampilan

pada Gambar 7.

Page 70: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

70

Gambar 7. Dilaog Box sudah terisi. Siap running

[10] Klik OK maka akan diperoleh hasil berupa: (a) Persamaan Regresi (b) Uji T, dan (c)

Analyisis of Variance.

[PNE]it+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN]i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF]i,t

- 476 [BRLND]i,t - 33,9 [PLNT]i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3 [MFARM]i,t - 36,4 [RICE]i,t

[B] Pengembangan Skenario Mitigasi terhadap Dampak Pemanasan Global:

Kasus di Provinsi Lampung

B.1 Tahap Pemeriksaan parameter yang berpengaruh nyata dan relevan untuk mitigasi

Page 71: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

71

Untuk ini dapat diperiksa hasil Uji T sebagai fasilitas yang memberi petunjuk yang sahih, maka

periksalah Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hasil optimasi parameter model (Uji T)

Prediktor Simbol βn= Coef. SE Coef. T P

Constant - β0= -58.130 34.33 -4,61 0,000

Temperatur Udara [TEMP] β1= 6. 806 1. 292 5. 27 0. 000

Urbanisme [URBAN] β2= 4. 493 3. 452 1. 30 0. 202

Hutan Negara [STWF] β3= 30. 28 10. 94 2. 77 0. 009

Hutan Rakyat [POPF] β4= -9. 97 9. 074 -2. 20 0. 035

Lahan Gundul [BRLND] β5= -75. 69 98. 39 -4. 83 0. 000

Perkebunan [PLTN] β6= -3. 91 8. 369 -4. 05 0. 000

Pemukiman [SETTL] β7= -7. 77 8. 111 -0. 96 0. 345

Pertanian Campuran [MFARM β8= -2. 30 5. 823 -3. 83 0. 001

Sawah [RICE] β9= 36. 40 7. 121 -5. 11 0. 000

Sumber: Hasil Penelitian (2021)

B.2 Tahap Memilih Variabel untuk Simulasi

Pilih variabel temperatur [TEMP] dan hutan rakyat [POPL] masing-masing mempunyai pengaruh

nyata terhadap insidensi pneumonia [PNE] dan relevan untuk menetapkan valuasi ekonomi jasa

lingkungan. Variabel temperatur [TEMP] mempunyai β1=6.806 P-value =0.000. Sedangan

untuk varibel hutan rakyat [POPL] mempunyai β1=-19.97 dengan P-value = 0.035.

B.3 Tahap Simulasi Kenaikan Penderita Pneumonia dan Biaya Perawatan

Urutan:

[1] Perhatikan makna dari β1=6.806 tersebut, berarti bahwa setiap ada kenaikan temperatur rata-

rata tahunan sebesar 1oC maka secara rata-rata pneumonia akan meningkat 6.806 kejadian

per 10 ribu penduduk. Jika Penduduk Provinsi Lampung, sebagai tempat yang dikaji, sekitar

8.85 juta jiwa (BPS, 2021), maka:

[2] Tetapkan besarnya kenaikan intensitas dan jumlah pasien penderita pneumonia per kenaikan

suhu 0.25oC sampai batas mencapai batas atas pemasan global yaitu 2.00oC.

[3] Jika berdasarkan Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 rata-rata biaya perawatan per pasien

selama rata-rata lama perawatan adalah sekitar Rp 4,399,633 maka hitung pula korbanan nilai

ekonomi per kenaikan suhu tersebut.

Tabel 3. Hasil simulasi pengaruh kenaikan suhu terhadap kenaikan intensitas dan jumlah

penederita pneumonia

Page 72: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

72

No

Skenario

Kenaikan

Suhu

Kenaikan

Pneumonia

Total Kejadian

Pneumonia

Total Kenaikan

Biaya Perawatan

oC Orang/per 10 Ribu

Penduduk Orang

Rp Juta

1 0.25 1.7 1,507 6,629

2 0.50 3.4 3,013 13,258

3 0.75 5.1 4,520 19,887

4 1.00 6.8 6,027 26,516

5 1.25 8.5 7,534 33,145

6 1.50 10.2 9,040 39,774

7 1.75 11.9 10,547 46,403

8 2.00 13.6 12,054 53,032

B.4 Tahap Simulasi Kebutuhan Mitigasi via Reforestasi Hutan Rakyat dan Nilai

Ekonominya

Untuk meniadakan kenaikan peneumonia oleh tiap kenaikan suhu diperlukan luasan [POPL]

sebesar dapat dihitung menggunakan jika biaya reforestasi di hutan rakyat memerlukan biaya

sekitar Rp 58 juta maka kebutuhan luasan reforestasi bedasarkan

dengan jumlah penduduk 8,850,000 jiwa; luas provinsi 3,537,600 ha; biaya perawatan Rp4.4

juta/pasien (Permenkes No.52/2016) dan biaya reforestasi Rp 58 juta/ha maka pada Tabel 4 dapat

ditentukan nilai ekonomi jasa lingkungan hutan rakyat dalam meniadakan dampak kenaikan

pneumonia akibat pemanasan global.

Sumber: Hasil penelitian (2021)

B. 5 Tahap Kesimpulan

Dengan mengambil studi kasus di Provinsi Lampung dapat disimpulkan bahwa Untuk

meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke level semula

(BAU) maka diperlukan mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68 % dari luas

provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan rata-rata 2.0oC, yang memerlukan alokasi

biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya tambahan perawatan atas total

kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta dan selebihnya dengan biaya untuk

melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329 ha.

Page 73: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

73

V. PENUTUP

Prosedur valuasi ini diyakini sangat berguna dalam rangka membantu melakukan MRV ketika

Indonesia mulai melaksankan komitmen penurunan emisi gas rumah kca di sektor LULUCF

(Land Use, Land Use Change, and Forestry). Optimisme ini dikuatkan oleh relatif mudahnya

dalam akuisisi data input maupun piranti lunak sehari-hari lazim digunakan. Data input yang

digunakan mudah diakses dengan mengunjungi ke situs NASA (www.usgs.glovis) untuk

mengunduh citra satelit mulai dari rekeman pada dekade 1970-an hingga yang terkini. Demikina

pula dengan data iklim, data insidensi penyakit, dan data biaya perawatan. Lebih dari itu juga

dengan piranti lunak ArchGIS 10.3 dan Envi 5.4 yang gratis untuk interpretasi citra satelit, selain piranti

lunak MS Office dan Minitab. Dengan demikian buku pedomenan ini diharapkan akan banyak

memperoleh sambutan dari para praktisi dan akademisi untuk diterapkan di lapangan.

Page 74: PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …

74

DAFTAR PUSTAKA

Adhyaksa, A., Bakri, S., dan Santoso, T. 2017. Pengaruh Tutupan Lahan Terhadap Insidensi

Pneumonia Pada Balita Di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 5(1): 26-34.

Bakri, S., B. Kurniawan, Dan A. Setiawan. 2021. Penetapan nilai reduksi biaya perawatan

penyakit DBD, TB paru, malaria dan pneumonia sebagai insentif reforestasi dalam rangka

penurunan emisi gas rumah kaca: Pengembangan metode evaluasi ekonomi jasan

lingkungan bagi kesehatan masyarakat. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana, LPPM

Unila. Tidak dipublikasi.

Kusumedi, P. dan N.A. Jariyah. 2010. Financial analysis of agroforestry management with sengon

cardamom pattern in tirip Village, Wadaslintang District, Wonosobo Regency. Jurnal

Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 (2):93-100

Permenkes Nomor 52 Tahun 2016. Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan

Program Jaminan Kesehatan. Kemenkes RI. Jakarta.