PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …
Transcript of PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN PENYAKIT DBD, …
1
LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA
UNIVERASITAS LAMPUNG TAHUN ANGGARAN 2021
PENETAPAN NILAI REDUKSI BIAYA PERAWATAN
PENYAKIT DBD, TB PARU, MALARIA DAN PNEUMONIA
SEBAGAI INSENTIF REFORESTASI DALAM RANGKA
PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA: PENGEMBANGAN
METODE EVALUASI EKONOMI JASAN LINGKUNGAN BAGI
KESEHATAN MASYARAKAT
Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. [NIDN:0005056106]
Dr. dr. Betta Kurniawan, S. Ked., M.Kes. [NIDN-0009107809]
Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si [NIDN:0011085902]
PROGRAM STRATA 2
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA MULTIDISIPLIN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2
LEMBAR PENGESAHAN
3
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM
1. Judul Penelitian :
1. Tim Peneliti :
No. Nama Okupasi Bidang
Keahlian Program Studi
Waktu
(jam/minggu)
1. Dr. Ir. Samsul
Bakri, M.Si. Ketua Pembangunan
Kehutanan &
Lingkungan
Magister Ilmnu
Lingkungan
12 Jam
2. Dr. dr. Betta
Kurniawan, S.Ked.
M.Kes,
Anggota Epidemiologi
dan Kesehatan
Masyarakat
Magister
Kesehatan
Masyarakat
8 Jam
3. Dr. Ir. Agus
Setiawan, Anggota Konservasi
Sumberdaya
Hutan
Magister Ilmu
Kehutanan
8 Jam
2. Objek Penelitian (jenis material yang akan diteliti dan segi penelitian): Perencanaan Penggunaan
Lahan dan Kontribusinya bagi Mitigasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Kejadian Penyakit
Infeksi dan Menular: dbd, tb Paru, Malaria, dan Pneumonia.
3. Masa Pelaksanaan : 6 bulan
Mulai : April 2021
Berakhir : September 2021
4. Usulan Biaya : Rp 40.000.000,-
5. Lokasi Penelitian (lab/studio/lapangan): Lapangan.
6. Instansi lain yang terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontributornya)
[a] Dinas Kehutanan sebagai pemasok data program reforestasi (reboisasi dan penghijauan)
[b] Dinas kesehatan sebagai pemasok data penanggulangan penyakit infeksi
7. Temuan yang ditargetkan lulusan S-2: Model prediksi kejadian penyakit infeksi berbasis data
perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan sebagai piranti analisis kebijakan publik.
8. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata, tekankan pada gagasan
fundamental dan orisinal yang akan mendukung pengembangan ipteks): Metode baru dalam Valuasi
Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi sektor kesehatan masyarakat. Sejauh ini valuasi jasa lingkungan
yang dibangkitkan dari program-program reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan hanya terbatas
pada nilai ekonomi dari penyelamatan aspek biofisik wilayah saja seperti menekan emisi gas-gas
rumah kaca, pemulihan sumber-sumber mataair, menurunkan frekuensi banjir & frekuensi
kekeringan, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dan sejenisnya. Dengan mengambil kasus 4
penyakit infeksi, penelitian ini akan kami kontribusikan suatu temuan metode baru yang pernah
belum pernah ada tentang presedur valuasi ekonomi jasa lingkungan bagi pengendalian 4
penyakit infeksi.
9. Jurnal ilmiah yang menjadi sasaran untuk setiap penerima Hibah Penelitian Pascasarjana
(Nasional/Internasional): (a) Jurnal Internasional Bereputasi Minimal Q3 & Sinta 2, (b) HK, dan
(c) Final Draft Tesis S2 MIL
4
RINGKASAN
Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)
sesuai dengan Paris Agreement 2016 adalah sebesar 26% bila tanpa bantuan LN atau 41% bila dengan skema bantuan LN
selama periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius oleh banyak kalangan. Apalagi target dari reboisasi dan
rehabilitasi penggunaan lahan sebesar 497 jutan ton CO2ekivalen jika tanpa bantun atau 650 dan ton CO2ekivalen untuk skema
reforestasi tanpa dan dengan bantuan LN tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa difahami karena benefit nilai
ekonominya yang bakal diperoleh belum pernah dikuantifikasikan, apalagi yang menggunakan satuan moneter. Benefit yang
umumnya sudah dikenal dari skema reboisasi adalah nilai ekonomi dari pulihnya sumberdaya air, peningkatan produksi PLTA
dan irigasi, menurunnya frekuensi banjir dan frekuensi kekeringan, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dsb. Namun dampak
pada pulihnya biodiversitas kawasan belum pernah dikuantifikasikan khususnya sebagai pengendalian penyakit infeksi.
Penelitian ini akan dilakukan mulai April sampai Agustus 2021 dengan tujuan untuk: [1] Membangunan model kejadian penyakit
DBD, Malaria, TB Paru, dan Pneumonia sebagai fungsi dari perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim, [2] Merancang
kebijakan fiskal berupa penetapan berbagai rencana alokasi belanja pemerintah untuk menekan kejadian wabah DBD, Malaria,
TB paru, dan Pneumonia secara exante melalui aksi penurunan GRK dalam sektor kehutanan berupa reboisasi dan rehabilitasi
penggunaan lahan di bawah skenario pemanasan global, dan [3] Menerapkan model hubungan tersebut sebagai alat untuk
menetapkan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dibangkitkan dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan dalam rangka
menekan kejadian penyakit DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia di bawah skenario pemanasan global. Postulat model yang
akan diterapkan adalah ordinary least square (OLS) dengan variabel respons [Ya], [Yb], [Yc], dan [Yd] berturut-turut adalah kejadian
penyakit per 1.000 penduduk untuk DBD, Malaria, TB Paru, dan Pneumonia yang datanya akan diakusisi melalui semua dinas
kesehatan di lingkup Provinsi Lampung. Variabel prediktornya meliputi perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan.
Variable iklim yang diterapkan meliputi temperatur udara [TEMP], curah hujan [RAIN], dan kelembaban udara [HUMD] rata-rata
tahunan yang akan diakusisi dari BMKG. Klasifikasi penggunaan lahan merujuk pada SNI (Standar Nasional Indonesia) Nomor
76452010 yaitu meliputi badan air (WBDY), mangrove [MROVE], rawa [SWAMP], tambak [FPOND], sawah [SAWH], hutan rakyat
[POP_FRST], hutan negara [ST_FRST], semak belukar [BUSH], pertanian lahan kering [AGRIC], dan pemukiman [SETL]. Data
seri penggunaan lahan ini akan diakusisi melalui down loading citra satelit Landsat (www.usgs.glovis) untuk tahun perekaman
2010, 2013, 2016 dan 2019, lalu diinterpretasi menggunakan ArchGIS 10.3 dan Envi 5.4 dan selanjutnya dilakukan validasi
melalui survai lapangan. Piranti lunak Minitab 17 akan digunakan untuk optimasi parameter model (α1 sampai α13). Pengujian
hipotesis dipakai taraf nyata 95% dan 99%. Simulasi dampak perubahan iklim akan dilakukan dengan skenario level kenaikan
temperatur global berturut-turut dari (i) 0,50 oC, (ii) 0,75 oC, (iii) 1,00 oC, (iv) 1,50 oC dan (v) 2,00oC sehingga dapat dihitung
kenaikan wabah keempat penyakit tersebut (∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd) per 1.000 penduduk. Dengan memboboti jumlah penduduk
terhadap ∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd dan dikali dengan biaya perwatan rata-rata per pasien, maka akan diperoleh biaya korbanan untuk
masing-masing level pemanasan global tersebut [VALUE]. Total [VALUE] inilah yang sejatinya merupakan nilai ekonomi jasa
lingkungan yang dapat dibangkitkan bila dilakukan reforestasi (reboisasi dan penghijauan penggunaan lahan) dalam rangka aksi
penurunan emisi GRK yang merupakan bagian pemenuhan komitmen Indonesia seperti dalam UU RI Nomor 16 tahun 2016 yang
merupakan ratifikasi dari Paris Agreement. Untuk merancang kebijakan publik berupa reboisasi dan perencanaan penggunaan
lahan tersebut, maka akan dihitung balik untuk mencari berapa luasan masing-masing penggunaan lahan agar kenaikan kejadian
keempat penyakit (∆Ya, ∆Yb, ∆Yc, ∆Yd) itu tidak terjadi. Penggunaan lahan yang umumnya dapat menurunkan kejadian penyakit
infeksi antara lain [POP_FRST], [ST_FRST], [MROVE], dan [FPOND] seperti dilaporkan oleh Bakri dkk (2018), Seno dkk (2018),
Adhykasa dkk (2017), Mustika dkk (2017), Wigaty (2016), Rosi dkk (2017), Putra dkk (2015), dan Colfer (2006, dalam Bakri dkk
(2019). Simpulan: Beberapa simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
[1] Kenaikan temperature rata-rata tahunan dapat berpengaruh secara sangat nyata terhadap kejadian isidensi penyakit
khususnya pneumonia dimana setiap 1oC akan meningkatkan 6.81 kejadian per 10 ribu penduduk.
[2] Hutan rakyat berperan nyata dalam menekan insidensi penyakit infeksi khususnya pneumonia, dimana setiap ada kenaikan
sebesar 1% maka akan diiringingi dengan penurunan insidensi 20.0 kejadian per 10 ribu penduduk.
[3] Jika terjadi pemanasan global hingga temperatur atmosfer mencapai 2.0oC, maka di Provinsi Lampung akan mengalami
kenaikan insidensi penyakit infeksi khususnya pnuemonia akan mencapai 12 ribu pasien.
[4] Untuk meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke level semula (BAU) maka diperlukan
mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68 % dari luas provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan
rata-rata 2.0oC, yang memerlukan alokasi biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya tambahan
perawatan atas total kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta dan selebihnya dengan biaya untuk
melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329 ha.
[5] Perubuhan iklim global tidak punya dampak nyata terhadap kejadian DBD, Malarian dan TB Paru.
Kata Kunci: perubahan iklim, penggunaan lahan, nilai jasa lingkungan, penyakit infeksi
5
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi
penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan Konvesi Paris Agreement 2016 adalah
sebesar 26% bila tanpa skema bantuan LN atau 41% bila dengan skema bantuan LN selama
periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius oleh banyak kalangan khususnya untuk
skema reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan yang telah ditargetkan untuk menangkap CO2
dari udara melalui fotosisntesis sebesar 479 dan 650 dan ton CO2ekivalen yang masing-masing untuk
kedua skema tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa difahami mengingat harga karbon
di pasar dunia dipandang relatif sangat rendah dibadingkan dengan harga kayu.
Harga stok karbon di pasaran dunia hanya berkisar USD 0.83 sampai USD 2.22 per ton
CO2 sedangkan biaya untuk MRV (monitoring, reporting, and verification) agar tegakan kayu
tetap dipertahankan oleh para petani pemilik lahan/hutan selama masa kontrak 10 tahun begitu
mahal yaitu sekitar USD 7.71 per ton CO2 (Brown dkk, 2013; Chaco dan Lipper, 2007 dalam
Bakri dkk, 2019). Artinya tidak akan ada petani atau pun perusahaan kehutanan yang tertarik
untuk turut berpartisipasi dalam Proyek REDD+ (Reduction Emission from Deforestion and Land
Degradation+) sebagai rencana tindak penurunan GRK pemerintah RI. Di sisi lain pemerintah
tetap harus melaksanakan komitmen itu untuk mempertahankan kredebilitas di mata internasional,
mengingat Paris Agreement telah diratifikasi menjadi Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2016.
Artinya UU ini mengikat setiap orang yang berada di wilayah RI yang mempunyai sanksi pidana
bagi setiap individu yang berada wiliayah yurisdiksi Indonesia.
Realitas yang sangat dilematis ini perlu untuk tetap dicari pemecahannya secara rasional.
Karena itu perlu perencanaan penyediaan kompensasi atas rendahnya harga jual karbon di pasar
internasional agar para petani maupun perusahaan kehutanan tetap tertarik tetap ikut berpartisipasi
secara sukarela dengan cara mempertahankan tegakan pohonnya sebagai stok karbon (bukan
ditebang) selama kurun komitmen 2020-2030 di lahan-lahan mereka. Ini merupakan tantangan
bagi akademisi maupun praktisi. Untuk itu maka perlu untuk melakukan akuntansi terhadap
semua benefit yang mungkin bisa diraih melalui aksi penurunan emisi gas GRK tersebut melalui
sector LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry). Dengan begitu kebijakan
implementasi REDD+ dapat dipastikan sebagai suatu program yang secara nasional memang
benar-benar menguntungkan dan realistis untuk dijalankan, bukan semata-mata suatu kebijakan
yang populis sifatnya di publik internasional.
6
Dalam konteks itu, boleh jadi dari sisi nilai jasa penambatan karbon (carbon squestration)
melalui fotosintesis memang rugi, tetapi kerugian ini dapat dikompensasi (atau malah surplus)
dari munculnya jasa lingkungan lainnya seperti diungkapkan Bakri dkk (2019) yaitu: (i) dari jasa
resapan air atau jasa hidro-orologis seperti pulihnya sumberdaya air, peningkatan produksi PLTA,
peningkatan kontinuitas air irigasi, menurunkan frekuensi banjir di musim hujan maupun
menurunnya frekuensi kekeringan di musim kemarau, menurunnya erosi dan kelongsoran tanah
dan sejenisnya, (ii) dari jasa amenitas lingkungan seperti wisata hutan dan wisata alam lainnya;
(iii) dari jasa geothermal (munculnya uap air panas akibat resepan air hujan di kawasan hutan
bertemu dengan panas bumi) yang tergolong renewbale energy yang belum banyak dieksplotasi
sekalipun Indonesia merupakan stok energi geothremal terbesar ke dua di dunia, dan (iv) jasa
biodiversitas termasuk menurunnya serangan hama dan benyakit pada tanaman serta menurunnya
berbagai jenis penyakit infeksi seperti DBD (Mustika dkk, 2017; Seno dkk, 2018; dan Hartuty
dkk, 2019), TB paru (Rosari dkk, 2017), Malaria (Putra dkk 2014; Wigaty dkk, 2016; dan Pelita
dkk, 2019), dan penumonia (Adhyaksa, 2017) bahkan juga pada ternak (Rohayati dkk, 2018) dan
pada veteriner (Nurlela dkk, 2019). Para peneliti ini membuktikan bahwa dengan pertambahan
luasan hutan ternyata secara signifikan menurunkan kejadi berbagai macam penyakit tersebut.
Walaupun begitu para peneliti belum pernah menggunakan temuan-temuan tersebut untuk
mengkuantifikasikan besarnya nilai penghematan (saving) ekonomi sebagai dampak penurunan
korbanan biaya perawatan.
Terhadap semua jenis jasa lingkungan tersebut umumnya relatif mudah melakukan
metode pengkuantifikasi nilai ekonominya. Namun belum ada peneliti atau praktisi yang
mengajukan metode kuantifikasi nilai jasa lingkungan bagi penurunan kejadian penyakit infeksi
utamanya untuk DBD, TB paru, malaria, dan pneumonia. Artinya penentuan metode valuasi nilai
ekonomi ini perlu segera dilakukan. Metode ini akan digunakan untuk merancangan kebijakan
publik dalam rangka aksi partisipasi penurun GRK di level provinsi yang sekaligus dapat menekan
kejadian keempat penyakit tersebut. Untuk itu maka perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan
khusus:
(1) Membangunan model hubungan kejadian penyakit infeksi khususnya DBD, Malaria, TB
Paru, dan Pneumonia sebagai fungsi dari penggunaan lahan dan pemanasan global,
(2) Merancang kebijakan fiskal berupa penetapan berbagai rencana alokasi belanja pemerintah
untuk menekan kejadian wabah DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia secara exante
melalui aksi penurunan GRK dalam sektor kehutanan berupa reboisasi dan rehabilitasi
penggunaan lahan di bawah skenario pemanasan global, dan
7
(3) Menerapkan model hubungan tersebut sebagai alat untuk menetapkan nilai ekonomi dari jasa
lingkungan dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan dalam rangka menekan kejadian
penyakit DBD, Malaria, TB paru, dan Pneumonia di bawah skenario pemanasan global.
1.2 Target Temuan dan Manfaat Hasil penelitian
Dengan demikian temuan yang ditargetkan dari penelitian ini adalah berupa metode valuasi nilai
ekonomi jasa lingkungan untuk sektor kesehatan dilengkapi dengan software yang user friendly
menggunakan basis Mocrosoft Excell agar mudah digunakan oleh para perencana rehabilitasi
penggunaan lahan maupun forest planner. Hasil penelitian dapat diterapkan ke semua provinsi di
Indonesia dalam rangka untuk mengukur kelayakan rencana aksi penurunan GRK di setiap
provinsi sebagai bagian dari rencana aksi penurunan emisi GRK Nasional.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fenomena Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Aktivitas manusia dalam memenuhi aspirasi kehidupannya tidak dapat dibatasi. Pemenuhan
aspirasi dicapai melalui pencarian nafkah yang pada hakikatnya harus melakukan eksploitasi
terhadap sumberdaya alam. Seperti dirujuk dalam Bakri dkk (2019), dampak atau eksternalitas
negatif dari aktivitas tersebut antara lain adalah berupa limbah yang diemisikan ke udara
utamanya berupa cemaran gas-gas CO2, metana (CH4), nitrous oksida (NO2), belerang oksida
(SO2), dan berbagai gas-gas flour. Gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK). Disebut
demikian karena gas-gas ini telah berkumulasi di lapisan atmosfer sejak Revolusi Industri 1.0
pada awal abad ke 18 hingga sekarang. Akumulasi GRK di lapisan stratosfer ini dapat merusak
lapisan ozon (O3) sehingga sinar ultraviolet (yang bergelombang pendek dan berdaya tembus
besar itu) dapat memasuksi atmofer bumi dalam intensitas yang sangat besar. Menurut UEPA
(2019a) ketika lapisan ozon masih utuh, sinar ultraviolet banyak dipantulkan kembali oleh lapisan
ini ke luar angkasa. Namun intensitas sinar ultraviolet ini menjadi sangat meningkat dengan
rusaknya lapisan ozon oleh akumulasi GRK di lapisan stratosfer tersebut. Bersamaan dengan itu
pula pantulan sinar matahari oleh permukaan bumi (sinar inframerah yang punya gelombang
panjang dengan daya tembus yang rendah) menjadi terhalang untuk keluar atmosfer oleh
akumulasi GRK di lapisan stratosfer itu juga. Dengan begitu atmosfer bumi seperti udara di dalam
rumah kaca tempat percobaan para kaum agronomi. Menurut Nicolaj dkk (2015) dan juga UEPA
(2019a) atmosfer bumi mengalami peningkatan pemanasan dari dua sebab yaitu: peningkatan
intensitas sinar ultraviolet dan sinar inframerah yang terjebak oleh GRK.
2.2 Dampak Perubahan Iklim dan Penggunaan Lahan pada Guncangan Ekologis
Dampak dari pemanasan global ini meluas ke segala macam ekosistem yang ada di bumi. Pada
ekosistem kutub utara maupun kutub selatan, terjadi pelelehan lapisan es sehingga telah
menyebabkan kenaikan permukaan air laut, kota-kota pantai di seluruh dunia akan tercancam
tenggelam, padahal merupakan konsentrasi penduduk dunia terbesar (Nikolaj dkk, 2015). Dengan
pelelehan es tersebut juga menyebabkan bertambahnya volume air laut yang berdampak pada
turunnya konstrasi garam di dalam air laut dan berarti penguapan air laut ke atmosfer menjadi
lebih besar sehingga menyebabkan curah hujan meningkat dengan durasi waktu yang relatif lebih
singkat (Liu dkk, 2016). Perubahan pola curah hujan ini dapat menyebabkan pola angin maupun
pola musim ekosistem terestris atau daratan terutama di kawasan tropika basah yaitu musim hujan
9
lebih singkat dan musim kemarau menjadi lebih panjang, diikuti oleh perubahan unsur iklim
lainnya seperti kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, jumlah dan frekuensi petir (Oulkar
dkk, 2019).
Kecuali itu perubahan pola hujan tadi juga dapat berdampak pada eskalasi banjir di musim
hujan dan kekeringan di musim kemarau. Demikian juga erosi dan kelongsoran tanah, yang di-
trigger oleh meningkatnya intensitas hujan tadi, sehingga kadar sedimen dan kualitas perairan
terestris memburuk, khususnya sungai, menjadi sangat memburuk, telah menyebabkan
pendangkalan pada danau, waduk, dan badan-badan peairan lainnya. Pendangkalan waduk-waduk
telah menyebabkan efisiensi irigasi menjadi merosot, produksi listrik dari PLTAjuga merosot
disertai memendeknya umur waduk (Shu dkk, 2018). Selain itu produksi perikanan akibat dari
merosotnya kesetimbangan bahkan guncangan ekosistem perairan terestris (Arnell dkk, 2015).
Perubahan iklim global pada gilirannya juga membawa peruabahan yang besar bagi
ekosistem daratan atau terestris yang bermula terhadap perubahan iklim makro. Iklim mikro
sendiri juga terdampak oleh pemanasan global pada relung-relung ekologis, tempat hidupan liar
beradaptasi secara in situ atau setempat-setempat. Selain dipengaruhi oleh pemanasan global,
iklim mikro juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan atau pun tutupan lahan. Walaupun dalam
waktu yang relatif lambat, biodiversitas tumbuhan sangat mempengaruhi iklim mikro. Artinya
pada letak geografi atau koordinat yang sama, perubahan suhu, kelambaban dan tekanan udara
secara lokal juga akan mempengaruhi dominasi dan pergeseran kesetimbangan ekosistem di
dalamnya (Arnell dkk, 2015).
Sebenarnya, daratan di muka bumi ini awal sejarahnya berupa hamparan gundul dari
bebatuan, lalu mengalami proses pelapukan oleh kerja hancuran iklim, membentuk lapisan-
lapisan tanah yang melandasi setiap suksesi, dimulai dari munculnya tumbuhan tingkat rendah
seperti jenis-jenis jasad renik seperti bakteri, ganggang, fungi, dan lumut kerak. Karena
eksosistemnya setimbang maka suksesi dapat berlanjut untuk biota berukauran semak-belukar,
caparal, dan berakhir pada pepohona berupa hutan alam. Bersamaan dengan suksesi tersebut juga
diiringi dengan perkembangan fauna dari yang tingkat rendah seperti protozo sampai dengan
mamalia besar seperti rusa, babi hutan, gajah, dan harimau (UNEP, 2019b). Menurut Bakri dkk
(2019) ekosistem hutan merupakan ekosistem yang lengkap dan sempurnya berada dalam
kesetimbangan yang mantap. Namun kini sulit ditemukan ekosistem hutan yang masih alami.
Hampir di setiap negara maju yang ada umumnya sudah berganti hutan tanaman melalui proses
peradaban (civilization) yang telah lama. Sementara itu di negara berkembang pun yang
umumnya wilayah hutan hujan tropika basah kini kesetimbangan ekosistem tersebut juga sangat
terganggu akibat dieksploitasi dan dikonversi mengiri proses pembangunannya menjadi
10
penggunan lain mulai perkebunan, pertanian intensif, pemukiman, perindustrian, pedagangan, dan
akhirnya banyak klimaksnya menjadi metropolitan. Bersamaan dengan proses perubahan
penggunaan lahan itu juga telah banyak melepaskan emisi GRK yang punya kontribusi yang
sangat besar dalam proses pemasan global dan perubahan.
Dapat disarikan dari dokumen UNEP (2019b) bahwa sekalipun menduduki rangking ke 8
dalam hal emisi total, tetapi dari aktivitas perubahan penggunaan lahan (LULUCF:land use, land
change, and forestry) Indonesia merupakan emitter terbesar dunia disusul Brazilia, Canada, dan
India dengan kontribusi masing-masing 3.2%, 0.6%, 0.2%, dan 0.1% dari total emisi sektor total
sektor LULUCF dunia. Sedangkan China, USA, dan Uni Eropa sekalipun menduduki emitter
total masing-masing 26.8%, 13.1%, dan 9,0% dari total emisi dunia. Tetapi reforestasi netto di
ketiga negara ini sudah positif sehingga dalam hal emisi yang bersumber dari sektor LULUCF
ketiga negara ini berturut-turut merupakan peringkat ke 15, 14, dan 16 dari 16 negara emitter
terbesar, yaitu masing-masing -1.1%, -0.6%,-1.8%. Artinya aktivitas LULUCF di ketiga ini tidak
menjadi emitter lagi, melainkan menyerap GRK. Sedangkan di Indonesia masih banyak
mengandalkan sektor LULUCF, yang berarti juga masih terus akan memperkuat guncangan
ekologis yang memperkuat dampak pemanasan global.
2.3 Dampak Guncang Ekologis pada Berbagai Penyakit Infeksi dan Menular
Guncangan ekologis akibat perubahan iklim dan perubahan penggunanan lahan tersebut akan
lebih dasyat pada ekosistem daratan. Peningkatan amplitudo suhu udara (meningkatnya suhu
maksimum dan menurunnya suhu udara minimum), disertai perubahan amplitudo kelembahan
udara serta pola angin telah mengubah pola adaptasi berbagai kehidupan liar mulai dari virus,
bakteri, jamur, potozoa, serangga, nyamuk, dan satwa liar lainnya (Bakri dkk, 2019). Dari
kelompok virus telah banyak mengalami mutasi yang sangat resisten terhadap vaksin. Bahkan
telah muncul mutan-mutan jenis baru yang tidak dapat ditemukan vaksisnya seperti virus DEN 1
sampai DEN 4, avian influenza, swine flue (Rohayati dkk, 2018; dan Mirsaeidi, 2016), virus zika
(Mirsaeidi dkk, 2016; dan Carlson dkk, 2016) serta akhir-akhir ini sangat mungkin Wuhan novel
corona virus mungkin karena suhu minimu bumi yang makin menurun (Zhu dkk, 2020). Dari
kelompok bakteri juga demikian telah muncul mutan-mutan baru seperti mycobacterium
tubercolusis, mycobacterium leprae, dan streptococcus pneumonia (Waldvogel, 2004).
Dari kelompok serangga, telah terjadi kemusnahan musuh alami sehingga beberapa virus
DEN 1 sampai DEN 4 (penyebab DBD) lebih adaptif untuk hidup dalam vektor pembaya kuman
yaitu nyamuk Aedes agepty, Aedes africanus, and Aedes Albopictus. Ketiga vektor ini juga
merupakan vektor penularan virus zika, yang semakin marak ketika suhu udara semakin panas
11
(Carlson dkk, 2016). Begitu pula plasmodium vivax (penyebab malaria) lebih adaptif dalam
tumbuh vektornya nyamuk Anopheles sp. (Mironova dkk, 2019; dan Hundessa dkk, 2018)
ataupun plasmodium palciparum (Hundessa dkk, 2018). Menurut (Kassie dkk, 2015) penyakit
yang menular dari manusia dan sebaliknya (bersifat zoonosis), umumnya meningkat
prevalensinya menikuti perubahan iklim (Rohayati dkk, 2019). Perubahan iklim maupun
perubahan penggunan lahan dapat mempengaruhi transmisi penularannya, cara penyebaran
virusnya, jaringan kontak antarspesiesnya.
Pada level lokal di Provinsi Lampung Fahrizal dkk (2018) melaporkan bahwa perubahan
iklim yang di-trigger oleh pemanasan global telah menyebabkan peningkatan kejadian DBD
sekitar 1.63 kejadian per 100 ribu penduduk. Sedangkan peningkatan curah hujan setiap mm per
bulan akan menyebabkan peningkatan kejadian DBD 0,39 per 100 ribu penduduk. Untuk malaria
Wigaty dkk (2016) melaporkan akan menyebabkan 0,06 kejadian per 100 ribu penduduk.
Dalam hal perubahan penggunaan lahan di Provinsi Lampung setiap ada peningkatan
luasan atau reforestasi di hutan rakyat (penghijauan) sebesar 1% maka diikuti oleh penurunan
kejadian penyakit infeksi menular per 100 ribu penduduk sebesar : [a] 7.89 untuk DBD (Seno
dkk, 2018), [b] 1.26 untuk Malaria (Wigaty dkk, 2016), [c] 1,03 untuk TB-paru (Rosari dkk,
2017), [d] 29.7 untuk Pnemonia pada balita (Adhyksa dkk, 2017). Sedangkan tiap 1% reforestasi
di hutan negara (reboisasi) akan diiringi oleh penurunan kejadian per 100 ribu penduduk masing-
masing sebesar: [i] 7.78 untuk DBD (Seno dkk, 2018), [ii] 0.23 untuk Malaria (Wigaty dkk, 2016),
[iii] 0.12 untuk TB-paru (Rosari dkk, 2017), [iv] -29.7 untuk Pnemonia pada balita (Adhyksa dkk,
2017). Secara umum memperlihatkan bahwa hutan rakyat lebih efektif dalam mengendalikan
keempat penyakit tersebut.
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa pemanasan global yang telah menimbulkan
perubahan iklim disertai dengan degradasi penggunana lahan telah banyak menyebakan
guncangan ekologis yang juga bermua pada ledakan dan prevalensi berbagai macam penyakit,
yang menurut Fahrizal dkk (2018) juga telah berimplikasi pada kerugian ekonomi termasuk untuk
biaya perawatan dan kehilangan kesempatan untuk memproleh pendapatan baik bagi penderita
atau pun bagi keluarga yang mendampinginya. Kecuali Fahrizal dkk (2018), Sejauh ini belum
ada peneliti yang mempublikasikan karyanya tentang pengaruh reforestasi (reboisasi di kawasan
hutan negara dan penghijauan di lahah rakyat) terhadap kempat penyakit tersebut. Demikian pula
pengaruh pemanasan global terhadap kejadian penyakit tersebut kecuali yang dilakukan Fahrizal
dkk (2018) pada DBD. Demikian pula belum ada metode untuk valuasi nilai ekonomi jasa
lingkungan sebagai dampak positif dari reforestasi. Padahal sesuai dengan Paris Agreement (yang
telah diratifikasi menjadi UU RI Nomor 16 tahun 2016), Indonsia akan melakukan reforestasi
12
besar-besaran sebagai bentuk komitment penurunan GRK sebesar 26% bila tanpa bantuan atau
41% bila dengan bantuan dari negara-negara industri maju.
2.4 Risalah Perundingan Adapatasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Kesadaran akan adanya feed back negatif dari lingkungan terhadap seluruh proses eksploitasi
sumberdaya ketika diterbitkan paper oleh Rome Club dari MIT pada tahun 1972 berjudul The
Limit to Growth (Meadow dkk, 1972 dalam Bakri dkk, 2019). Esensi dari paper tersebut
merupakan suatu pesimisme akan nasib keberlanjutan peradaban manusia yang pada saat itu telah
begitu sangat eksploitatif dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam memanfaatkan
sunberdaya alam yang renewable terutama seperti sumberdaya hutan, ground water dll, kecepatan
eksploitasinya secara rata-rata telah melampaui daya pulihnya. Demikian juga dalam
memanfaatkan setiap sumberdaya nonrenweable berbagai sumberdaya tambang, perilaku
manusia umumnya telah melampaui kecepatan inovasi teknologi penggantinya.
Selain itu dan juga merupakan implikasi dari perilaku dalam hal cara pemanfaatan kedua
macam sumberdaya itu tadi, pesimisme tersebut juga disebabkan oleh munculnya berbagai
macam cemaran yang berasal dari buangan sampah industri baik yang bentuk padat, cair maupun
gas yang diemisikan ke udara. Demikian juga yang berasal dari lahan-lahan pertanian akibat dari
pemakian bahan-bahan kimia untuk pupuk dan pestisida. Bahan-bahan cemaran tadi telah banyak
memusnahkan berbagai spesies, melenyapkan musuh alami, membuat resisten berbagai hama dan
penyakit, sehingga memunculkan mutan-mutan baru yang lebih agresif, menimbulkan banyak
penyakit baru pada manusia maupun hewan, yang juga bisa saling menularkan antara manusia ke
hewan atau sebaliknya yang dikenal sebagai zoonosis (Rohayati dkk, 2019) dan Nurlela dkk
(2019).
Istilah pembangunan berkelanjutan dikemukakan pertama kali oleh Serageldi (1992,
dalam Serageldin dkk, 2019) dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro Brazillia. Istilah ini
merujuk pada tanggung jawab moral dari generasi kini untuk kepentingan generasi yang akan
datang. Intinya bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya, perilaku generasi kini harus dikontrol
agar kecepatan pemanfaatan segala sumberdaya yang renewable tidak melampaui daya
pemulihannya (recovery)nya, dan untuk sumberdaya yang nonrenewable tidak boleh melampaui
substitusi dengan inovasi teknologi yang dapat dicapai. Bila perilaku moral tersebut dapat
dipenuhi maka segala public bad seperti polusi, cemaran, guncangan terhadap kesetimbangan
ekologis dll. dapat dihindarkan, agar pembangunan tidak mewariskan banyak masalah kerusakan
lingkungan maupun ketimpangan kesejahteraan dapat dihindarkan pada generasi mendatang.
13
Dengan begitu sekaligus berbagai inovasi teknologi baru (untuk substitusi suberdaya yang
makin langka) ke depan dapat diharapkan (Serageldin dkk, 2019). Makin banyaknya inovasi
teknologi itulah yang sebenarnya merupakan indikator kuat dari keberlanjutan sistem peradaban
(Bakri dkk, 2019). Kelangkaan energi dari mesin uap kumudiaan dapat diatasi oleh adanya
inovasi teknologi motor bakar dan mesin disel (Hambali, 2012). Kelangkaan pangan teah diatasi
dengan penemuan berbagai varietas baru tanaman yang berproduksi tinggi dengan masa tanam
yang singkat (Kusharto dan Hardinsya, 2012).
Seperti dapat dirujuk dalam Bakri dkk (2019) beberapa konvesi yang dicapai dalam KTT
Bumi di Rio de Janeiro 1992 itu antara lain adalah: [1] konvensi koservasi keanekaragaman hayati
(UNCBC: United Nation Convention on Biological Conservation), [2] konvesi perubahan iklim
(UFCCC: United Nation Framework Convetion on Climate Change),dan [3] konvensi
antipeggurunan (UNCCD: United Nation Convention to Combat Desertification ), dan Masing-
masing telah diadopsi sebagai dasar hukum di Indonesia melalui ratifikasi menjadi [1] UU RI
Nomor 5 tahun 1994, [2] UU RI Nomor, dan [3] Keppes Nomor 135 tahun 1998.
Dalam UNFCCC dsepakati bahwa setiap negara yang menandatangi konvensi ini secara
sukarela akan menurunan tingkat emisi nasionalnya sampai ke level emisi di bawah emisi tahun
1990. Namun dari 172 negara yang telah bersepakat tersebut tidak satupun yang benar-benar
mematuhinya. Bahkan tingkat emisi semakin meningat pesat. Dapat difahami bahwa menurunkn
tingkt emisi berarti sama dengan menurunkan jam operasi pabrik-pabriknya, mengurangi intesitas
transportasinya, menurunkan aktivitas penebangan hutannya dll. Itu semua berarti meningkatkan
angka pengangguran maupun kemiskinan beserta fenomena yang menyertainya. Tapi di sisi lain
gejala ini tidak bisa terus dibirakan. Karena itu pada akhir tahun 1997 diselenggarakan KTT di
Tokyo yang melahirkan Protokol Kyoto untuk mengatur tata cara penurunan emisi (Komas MPB,
2011 dalam Andinsyah, 2011). Semangat yang dipegang dalam Protokol Kyoto adalah: Common
but differentiated responsibilities and respective capabilities. Karena itu lahir 3 skema yang
disepakati sebagai tata cara (protocol) untuk mencapai target penurunan emisi tersebut yaitu: (i)
Clean Developement Mechanism (MPB: Mekanisme Pembanguan Bersih), (ii) Joint
Implementation, (iii) Emision Trading. Skema (i) adalah kerja sama antara negara berkembang
dengan negara maju. Skema (ii) dan skema (iii) hanya antara maju dengaan industri maju.
Seperti dapat disarikan dari IPCC (2007), negara-negara dibagi kedalam 2 kelompok,
Annex 1 Coutries (negara-negara industru maju) dan Non Annex 1 Countries (Negara-negara
berkembang). Kelompok Annex adalah kelompok negara yang wajib menurunkan emisinya.
Sebaliknya Non Annex 1 tidak. Pilihan bagi kelompok Annex 1:(i) subsitusi energi dari sumber
energi fosil sumber lain yang rendah emisi, atau (ii) menurunkan kapasitas industrinya. Kedua
14
pilihan ini sangat mahal bagi Annex 1 Countries. Di lain fihak, Non Annex 1 Countries umumnya
mengalami deforestasi yang hebat sebagai dampak dalam memanfaatkan SDA-nya untuk
pembangunan disertai degradasi lahan yang juga berujung pada kemiskinan melahirkan
kemiskinan (vicious poverty). Karena itu terjadi kesepakatan bahwa Non Annex 1 akan
mendapatkan kompensasi (dari Annex 1 Countries) berupa sertifikat reduksi GRK (berup
CER=Certificate of Emission Reduction) dari udara jika berhasil mempertahankan tegakan
biomasa (berupa hutan atau di sektor LULUCF ) selama masa konsesi (tenor) 5, 10, 15, 20, 25,
dan 30 tahun tanpa ada penebangan. Dengan begitu setiap pabrik di negara Annex 1 diwajibkan
oleh negaranya masing-masing untuk membayar atau memegang CER selama tenor yang
disepakati dalam kontrak-kontraknya. Dengan begitu maka kesepakatan di bawah Protokol Kyoto
pada Tahun 2012 harus dapat mencapai target penurunan GRK sampai ke level 2,5% di bawah
emisi total tahun 1998. Target ini adalah komitmen Tahap I dari Protokol Kyoto Pramudianto
(2016).
Khususnya dalam sektor LULUCF, Indonesia sebagai bagian Non Annex 1 selalu patuh
terhadap segala hasil kesepakatan tahunan (COP=Conference of party) dan telah mempersiapkan
segala peraturan perundangan sampai dengan penyiapan petunjuk teknis serta pelatihan birokrat
sampai ke tenaga teknis level lapangan. Bahkan telah banyak melakukan demonstrasi plot di
beberapa provinsi. Skema program ini dinamai dengan REDD (Reduction Emission from
Deforestation and Degradation) sampai yang terakhir disebut REDD+. Walaupun begitu dalam
kenyataannya MPB untuk sektor LULUCF belum berlangsung. Memang sejak awal telah ada
keraguan akan nasib Protokol Kyoto Tahap I itu, yang diawali dari adanya perisiwa bahwa USA
tidak bersedia menandatangi Protokol Kyoto. Alasannya bahwa China, India, dan Indonesia
merupakan emitter terbesar dunia saat ini tidak diwajibkan menurunkan emisi. Alasan yang
antagonis karena ketiga negara ini baru memulai pembangunannya. Berbeda dengan negara-
negara industri maju yang telah banyak mengeksploitasi atmosfer sejak Revoulis Industri 1.0,
ketiga negara ini belum banyak menggunakan haknya untuk “mengotori” atmosfer sebagai
dampak dari aktivitas perekonomian dalam pembangunannya (Bakri dkk, 2019).
Benar ternyata kemudian tanpa partisipasi USA nasib Protokol Kyoto I berjalan jauh dari
yang diharapkan. Komitmen para fihak yang menandatangai dan meratifikasi Protokol Kyoto
Tahap I yang disepakati berlaku efektif tahun 2008 sampai 2012 sendiri juga lemah. Ditambah
pula oleh keengganan para beberapa fihak Annex 1 (yaitu Kanada, Jepang, Rusia, Belarus,
Ukraina, Selandia Baru) untuk tetap tergabung dalam Protokol Kyoto Tahap II rentang 2013-
2020 menjadi makin suram prospeknya. Hal ini disebabkan oleh emisi karbon sebesar 16 persen
pada Periode II Protokol Kyoto sementara itu kepada Non Annex 1 seperti RRC (emitor terbesar
15
di dunia), India dan Brazil juga tidak tunduk pada pengurangan emisi di bawah ketentuan Protokol
Kyoto I Pramudianto (2016).
Membangun komitment dalam tatanan kelembagaan memang tidak mudah, rumit, dan
banyak memakan waktu. Apalagi kelembagaan global seperti Protokol Kyoto ini dengan para
fihak antarnegara ditambah pula dengan berbagi bentuk ikatan punya kosekuensi pada hilangnya
oporunitas perekonomian bagi pemerintah maupun warga negaranya. Walaupun begitu proses
negosiasi terus berlanjut agar para fihak tetap melaksanakan komitmen dari UNFCCC melalui
skema Protokol Kyoto (Bakri dkk, 2019).
Pada akhirnya dalam COP UNFCC ke 21 di Paris telah tercapai amandemen terhadap
Protokol Kyoto Tahap II. Menurut Pramudianto (2016) konferensi COP ke 21 UNFCCC ini
dihadiri oleh sebagian besar pimpinan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat, Cina,
Russia dan Negaranegara Uni Eropa seperti Jerman, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa
lainnya termasuk Perancis yang kini bertindak sebagai tuan rumah dan juga Sekretaris Jenderal
PBB, Ban Kim Moon. Hadir juga delegasi yang mewakili badan-badan PBB dan non PBB,
organisasi non Pemerintah, individu atau tokoh lingkungan, industriawan, masyarakat adat,
ilmuwan yang berpengaruh serta organisasi lainnya seperti organisasi keagamaan, organisasi
wanita, serta masyarakat sipil lainnya.
Dibandingkan dengan Protol Kyoto Tahap I, Paris Agreement 2015 lebih mencerminkan
partisipasi yang lebih luas serta menjamin negara-negara Annex 1 untuk tetap berkomitmen pada
penurunan emisi hingga tahun 2030 yaitu agar suhu atmosfer bumi tidak lebih dari 20C dan
mempertahankan rata-rata 1,5 0C. Melalui Intended Nationally Determined Contribution (NDC),
yang diusulkan oleh para pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yaitu prinsip kebersamaan tetapi berbeda
tanggung jawab atau principle equity and common but diferentiated responsibilities dan prinsip
menghormati kemampuan dalam perbedaan kondisi nasional yang ada atau respective capabilities
in the light of different national circumstances Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement 2015
menjadi Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2016 (Ditjen Perubahan Iklim, 2017). .
16
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat, Waktu dan Material Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan mulai Maret sampai Agustus 2020 dengan mengambil lokus di
seluruh Provinsi Lampung. Alat yang digunakan meliputi piranti lunak (ArcGIS Versi 10.3, Envi
Versi 5.4, dan Minitab Versi 17) dan perangkat keras (komputer, printer, GPS, dan Clinometer).
Adapun bahan-bahan yang digunakan meliputi citra landsat (untuk rekaman tahun 2010, 2013,
2016, dan 2019) kertas HVS, tinta, tali tambang, dan tali rafia.
3.2. Prosedur Penelitian
Pada prisipnya penelitian ini meliputi 7 tahapan: (i) Pemilihan postulat model, (ii) Penetapan
variabel model dan penyusunan hipotesis, (iii) Akusisi dan pengolohan data, (iv) Optimasi
parameter model dan uji hipotesis, (v) penetapan nilai ekonomi jasa lingkungan dari tindak
penurunan GRK melalui reboisasi dan rehabilitasi penggunan lahan (vi) Pengembangan pilihan
kebijakan publik di sektor fiskal tentang rancangan anggaran reboisasi dan rehabilitasi penggunan
lahan untuk menekan kejadian penyakit di bawah skenario pemanasan global dan (vii) Analisis
Kelayakan ekonomi (khsusnya analisis B/C, NPV, IRR) untuk berbagai pilihan kebijakan publik
yang terpilih dalam menekan wabah DBD.
3.2.1 Pemilihan Postulat Model
Penelitian ini menggunakan model matematika dengan postulat linear. Pilihan ini didasarkan
pada pemanfaatan hasil penelitian ini sendiri. Dalam hal ini beberapa parameter model yang
didapat haruslah bisa mudahkan dalam melakukan interpretasi dan penerapannya. Selain itu
haruslah juga dapat digunakan sebagai dasar prediksi tentang besarnya perubahan variabel respon
[∆Ya,b,c,d] (yaitu berupa peningkatan kejadian DBD, TB paru, malaria, dan Pneumonia di Provinsi
Lampung) ketika salah satu atau beberapa variabel prediktornya [X1, X2, X3,..., Xn]i akan berubah
atau diubah masing-masing sebesar satu unit. Dengan begitu juga dapat digunakan untuk
mengendalikan perubahan setiap unit variabel prediktor agar kejadian DBD atau [∆Ya,b,c,d] dapat
ditekan berada di bawah tingkat yang diinginkan.
Secara konkret misalkan X1 misalkan adalah besarnya tutupan hutan rakyat (dalam unit
ha) sedangkan X2 adalah temperature udara (dinyatakan dalam unit 0C). Katakanlah untuk salah
satu penyakit katakalnah untuk DBD, ternyata setelah dilakukan optimasi parameter diperoleh
17
masing-masing nilai parameter α1= -2.3 sedangkan parameter α2= + 4.6 dimana kejadian DBD
atau [Ya] kita nyatakan dalam jiwa per 100 ribu penduduk. Parameter ß1 tersebut memberi makna
bahwa jika ada peningakatan luas (reboisasi) di hutan rakyat rata-rata 1 ha di setiap kabupaten,
maka akan berdampak pada penurunan kejadian penyakit, katkanlah DBD [∆Ya] sebesar 4,6 jiwa
per 100 ribu penduduk (dengan variabel lain tetap atau ceteris paribus). Demikian juga jika terjadi
pemanasan global 10C, maka akan terjadi peningkatan kejadian DBD sebesar 4,6 jiwa per 100
ribu penduduk (ceteris paribus). Jika ada peningkatan tutupan hutan rakyat rata-rata di tiap
kabupaten 1 ha disertai adanya pemanasan global 10C (ceteris paribus) maka kejadian DBD akan
mengalami perubahan [∆Ya] sebesar = 4,6 -2,2 = 2,4 kejadian per 100 ribu penduduk. Jika
penduduk Provinsi Lampung sekitar 8 juta jiwa maka [∆Ya] akan setara dengan 2,4 x 8 juta = 2,4
x 8.000.000/100.000=192 kejadian per 100 ribu penduduk. Artinya untuk menekan untuk
peningkatan kejadian DBD atau [∆Ya] maka haruslah dilakukan reboisasi rata-rata 2 ha di setiap
kabupaten. Dengan begitu maka pemilihan postulat model linear akan sangat bermanfaat dalam
melakukan interpretasi hasil penelitian. Lebih lanjut hasil penelitian ini dapat digunakan untuk
merancang menghindari atau menekan kejadian penyakit, tanpa harus menunggu kejadian
tersebut benar-benar muncul (exante).
3.2.2 Bentuk Model, Penentuan Variabel dan Hipotesis
Sebagaimana dikemukan di atas, variabel respon dalam penelitian adalah besarnya tingkat
kejadian penyakit DBD, TB Paru, malaria dan pneumonia per tahun di Provinsi Lampung atau
[Ya,b,c,d]it. Sedangkan variabel prediktornya adalah berberapa jenis penggunaan variabel iklim
[X1, X2, X3,..., Xn]it. Adapun jenis-jenis penggunaan lahan di tiap kabupaten/kota ke i tahun ke t,
yang akan diteliti pengaruhnya terhadap kejadian 4 penyakit infeksi tersebut. Katagori klasifikasi
tentang jenis-jenis penggunan lahan yang akan digunakan adalah merujuk pada SNI Nomor
76452010. Pilihan ini didasarkan pertimbangan bahwa bahan resolusi citra yang digunakan yang
yaitu Citra Satelit Landsat yang hanya valid untuk tingkat pengamatan skala peta rekonaisan yaitu
1 : 250.000. Atas dasar SNI ini, maka variabel perdiktor penelitian [X1, X2, X3,..., Xn]i ini
meliputi: (a) badan air yaitu danau, sungai dan bendungan (b) hutan mangrove, (c) sawah, (d)
tambak, (e) belukar rawa, (f) belukar, (g) hutan negara , (h) hutan rakyat, (i) pertanian lahan
kering dan (j) pemukiman. Namun untuk kemudahan dalam mengingatnya maka beberapa
variabel penggunaan lahan ini tidak disimbolkan dengan huruf [X1, X2, X3,..., Xn]i melainkan
berturut-turut dengan singkatan [WBDY], [MROVE], [SWAH], [FPOND], [SWAMP],
[SHRUB], [ST_FRST], [POP_FRST], [AGRC], dan [SETL].
18
Adapun untuk variabel iklim yang dipilih adalah temperatur, curah hujan, dan kelembaban
udara yang berturut-turut disimbolkan dengan [TEMP], [RAIN], dan [HUMD]. Variabel
temperatur udara rata-rata tahunan dipilih karena mengingat definisi perubahan iklim itu sendiri.
Para ahli menggunakan definisi perubahan iklim dengan kenaikan temperatur udara global rata-
rata tahunan di atas 20C seperti diungkapkan oleh Nikolaj dkk (2015), IPCC (2007) dll. Sementara
itu, perubahan iklim juga ditandai oleh perubahan intensitas dan pola hujan sebagai implikasi dari
pemanasan gobal tersebut. Perubahan ini juga dapat berdampak terhadap kelembaban udara.
Dengan demikian maka bentuk model yang digunakan dalam penelitian ini dapat
diungkapkan sebagai berikut:
[Ya,b,c,d]it = α0 + α1[WBDY]it + α2[MROVE]it + α3[SWAH]it+ α4[FPOND]it+ α5[SWAMP]it
+ α6[SHURB]it + α7[ST_FRST]it + α8[POP_FRST]it + α9[AGR]it + α10[SETL]it
+ α11[TEMP]it + α12[RAIN]it + α13[HUMID]it + ξit
Sebagai catatan bahwa [Ya,b,c,d]it sebenarnya adalah [Ya]it, atau [Yb]it atau [Yc]it atau [Yd]it yang
masing-masing sebagai penyimbulan kejadian penyakit DBD, TB Paru, Malari, dan Pneumonia
yand dimaksudkan agar lebih ringkas dalam penulisannya. Berkaitan dengan itu maka parameter
model [Ya]it adalah α0 sampai α13 dengan error ξit. Sedangkan parameter untuk model [Yb]it adalah
β0 sampai β13 dengan erorr μit. Untuk model [Yc]it adalah γ0 sampai γ13 dengan error Ӟit.
Sedangan parameter model bagi [Yd]it adalah Ω0 sampai Ω13 dengan errror ώit.
Adapun hipotesis yang akan diuji untuk model [Ya]it dapat diungkapkan sebagai berikut:
H0 : α1=α2=α3=α4=α5=α6=α7=α8=α9=α10=α11=α12= α13=0
Atau dengan kata lain: Tidak satupun variabel prediktor tersebut di atas yang punya pengaruh
nyata terhadap kejadian keempat penyakit di Provinsi Lampung.
H1 : α1≠α2≠α3≠α4≠α5≠α6≠α7≠α8≠α9≠α10≠α11≠α12≠α13≠0
Atau dengan kata lain: Paling sedikit ada satu variabel prediktor tersebut di atas yang punya
pengaruh nyata terhadap kejadian penyakit di Provinsi Lampung.
Adapun bentuk hipotesis yang akan diuji untuk mode [Yb]it, [Yc]it ataupun [Yd]it adalah analog
dengan mengganti pasrameter model masing-masing.
19
Keterangan:
[Ya]it : Kejadian DBD di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yb]it : Kejadian TB paru di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yc]it : Kejadian Malaria di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [Yd]it : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
[WBDY]it : Proporsi luasan badan-badan perairan pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
[MROVE]it : Proporsi luasan magrove pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [SWAH]it : Proporsi luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
[FBOND]it : Proporsi luasan tambak pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t [SWAMP]it : Proporsi luasan rawa pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
[SHURB]it : Proporsi luasan semak belukan pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [ST_FORT]it : Proporsi luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t
[POP_FORT]it : Proporsi luasan hutan kabupaten/kota ke i tahun ke t [AGR]it : Proporsi luasan pertanian intensif pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [SETL]it : Proporsi luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t
[TEMP]it : Temperatur udara rata-rata tahunan pada kabupaten/kota ke pada tahun ke t [RAIN]it : Curah hujan rata-rata tahunan pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
α0 sampai α13 : Parameter model untuk kejadian DBD atau [Ya]i,t β0 sampai β13 : Parameter model untuk kejadian TB Paru atau [Yb]i,t γ0 sampai γ13 : Parameter model untuk kejadian Malaria atau [Yc]i,t
Ω0 sampai Ω13 : Parameter model untuk kejadian Pneumonia atau [Yd]i,t
ξit, μit, Ӟit, ώit : Sisaan (error) berturut-turut dari ke-4 model.
3.2.3 Akusisi dan Analisia Data
Untuk dapat menguji setiap hipotesis tersebut di atas, maka perlu untuk memerinci pengumpulan
atau akuisi dan pengolahan data. Seperti dapat dicermati pada Gambar 3.1 bahwa secara garis
besar ada 2 bagian proses, yaitu: (i) di sebelah kiri dari garis putus-putus merupakan alur proses
penyediaan data input untuk variabel prediktor, dan (ii) sebelah kanan adalah alur untuk
penyediaan variabel respon. Variabel prediktor dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu lajur paling kiri merupakan variabel yang berkaitan dengan jenis-jenis penggunaan
lahan dan lajur tengah adalah variabel yang berkaitan dangan iklim khususnya temperatur
[TEMP], curah hujan [RAIN] dan kelembaban udara [HUMD].
Akuisisi dan Analisis Data Jenis Penggunaan Lahan
Pekerjaan ini dimulai pada Kotak {B} Gambar 3.1, yaitu mengunduh (down loading) citra satelit
landsat pada situs www.usgs.glovis untuk mencari liputan (coverage) seluruh Provinsi Lampung
perekaman tahun (t): 2010, 2013, 2016, dan 2019. Selang 3 tahunan tersebut dimaksudkan agar
dapat memperoleh perubahan jenis-jenis penggunaan lahan tersebut di Provinsi Lampung punya
variasi yang cukup nyata. Perubahan ini dihipotesiskan dapat menyebabkan keragaman secara
nayata terhadap kejadian DBD, TB Paru, Malaria, dan Penumonia dari tahun ke tahun selain juga
oleh perubahan pemanasan global. Berkaitan dengan itu pula, mengingat dalam satu tahun ada
sekitar 12 rekaman citra landsat pada situs www.usgs.glovis maka down loading dipilih untuk
memilih rekaman citra dengan tutupan awan yang minimum. Data citra digital ini akan
20
diinterpretasi menggunakan piranti lunak ArcGis Version 10.3 dan Envi Version 5.4 sebagaimana
ditunjukkan dalam Kotak {E} Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Tahapan Penelitian
{D} Akuisisi Data Kejadian DBD,
TB Paru, Malaria, & Penumnia
(Dinas Kesehatan Kab/kota)
{E} Interpretasi Data Digital Citra
Landsat 2010, 2013, 2016, & 2019
2018 {G} Pengolahan Data Kejadian
DBD, TB Paru, Malaria, dan
Pneumonia
{N} Variabel Respons:
[Ya, Yb, Yc, & Yd]
{H} Peta Penggunaan Lahan
Sementara (PPLS)
{M} Tiga Belas Variabel
Prediktor
{I} Ground Check
{J} Peta Penggunaan Lahan Final
(PPLF)
{O} Optimasi Parameter & Uji Hipotesis)
{K} Persentase Luasan 10 Jenis
Penggunaan Lahan per Kab/Kota
2009, 2012, 2015, 2018
{P} Model Prediksi [Ya,b, c, d]it sebagai
fungsi dari 13 Variable Prediktor
{Q} Simulasi Penurunan kejadian 4 Penyakit melalui aksi penurunan emisi GRK di bawah skenario
pemanasan global berupa reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan yang terbukti dapat
menurunkan kejadian 4 penyakit tersebut (parameter bernilai negatif)
{B} Down Load Citra Landsat
www.usgs.glovis
{C} Akuisisi Data Iklim
(BMKG)
{F}Pengolahan Data Iklim
{A} MULAI
{L}Variabel Iklim
([TEMP])
{S} Membuat Software, Laporan, Seminar,
Publikasi, & HKI
[SELESAI]
21
Hasil interpretasi citra ini diberi nama Peta Penggunaan lahan Sementara (PPLS) untuk
seri tahun 2010, 2013, 2016, 2019 seperti ditunjukkan pada Kotak {H} Gambar 3.1. Disebut
demikian karena baru merupakan hasil penafsiran atau interpretasi yang dikerjakan oleh “mesin”
yaitu kedua software tersebut. Selanjutnya PPLS ini akan divalidasi melalui pengecekan lapang
(ground check) seperti ditunjukkan dalam oleh Kotak {I}. Titik-titik groud check direncana akan
dilakukan untuk semua poligon penampakan kelas-kelas warna yang terdapat di dalam PPLS
dengan masing-masing poligon mengambil di 3 titik yang relatif berjauhan. Setiap titik
pengamatan akan dicatat koordinat geografisnya dengan mengguakan GPS. Pengecekan lapang
terutama dilakukan untuk PPLS tahun 2019 dengan asumsi bahwa dalam satu tahun terakhir
dianggap tidak terjadi perbedaan yang berarti. Dengan kata lain penggunaan lahan 2019 dianggap
tidak berbeda dengan realitas tahun 2020. Semua poligon pewakil yang ada dalam PPLS akan
dikunjungi dan diobservasi batas-batasnya, dicatat koordinatnya disertai dengan foto-fotonya di
lapangan.
Hasil Groud Check ini ditunjukkan dalam Kotak {J} Gambar 3.1, yang disebut sebagai
Peta Penggunaan Lahan Final (PPLF) khususnya untuk tahun 2019. Sedangkan utuk PPLF 2015,
2012, dan 2009 disesuaikan (di-adjust) menggunakan hasil PPLS 2019. Pekerjaan ini umumnya
sangat diringankan jika menggunakan acuan untuk obyek-obyek (jenis-jenis penggunaan lahan)
yang penampakannya tidak gampang berubah seperti Taman Nasional, danau, bendungan, sungai,
tambak, bahkan mungkin mangrove dsb. Atas dasar acuan obyek-obyek ini maka batas-batas
obyek yang relatif cepat berubah akan ditelusur batas-batas pinggirnya. Semakin tua penggunaan
lahan yang ditelusur semakin sulit pula untuk dijejak batas-batas penggunana lahannya.
Oleh karena itu penggunaan jasa informan yang berasal dari masyarakat setempat
umumnya sangat membantu menelusur batas-batas penggunaan lahan di masa lampau yaitu 2010,
2013, dan 2016. Karena itu wawancara dengan beberapa warga setempat juga akan dilakukan
untuk meningkatkan validitas hasilnya. Selanjutnya 4 seri PPLF (2010, 2013, 2016, 2019) ini
akan di-overlay dengan Peta Administrasi Kabupaten/Kota untuk menentukan perkembangan atau
perubahan proporsi luasannya untuk semua jenis penggunan lahan per kabupaten/kota dari tahun
2010, 2013, 2016, dan 2019.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa pengunaan lahan berupa hutan dapat dipilah
menjadi hutan negara versus hutan rakyat dengan cara melakukan penumpang-tindikan
(overlaying) PPLF dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Lampung (Menhutbun,
22
2000). Hutan rakyat adalah tutupan lahan berupa hutan yang berada dalam lahan milik rakyat.
Hasil dari pekerjaan fase ini adalah tersedianya 10 variabel penggunaan lahan ke-4 titik tahun
pengamatan tersebut untuk semua kabupaten/kota di lingkup Provinsi lampung (Kotak {K})
sebagai variabel prediktor bagi kejadian wabah ke-4 penyakit tersebut selain prediktor berupa 3
jenis data iklim tersebut.
Akuisisi dan Analisis Data Iklim
Dalam penelitian ini selain ingin menguji perubahan penggunaan lahan juga ingin menguji
dampak perubahan iklim (khususnya temperatur, curah hujan, dan kelembaban udara) terhadap
kejadian 4 penyakit infeksi tersebut. Pada Gambar 3.1, tahapan pekerjaan ini meliputi dari Kotak
{C} ke Kotak {F] dan Kotak {L}. Data iklim akan diakuisi melaui kunjungan ke kantor-kantor
BMKG. Variabel prediktor yang diterapkan dalam model adalah nilai rata-rata tahunan temperatur
udara, curah hujan, dan kembaban udara rata-rata tahunan [TEMP], [RAIN], [HUMD].
Akusisi dan Analasis Data Kejadian 4 Penyakit Infeksi dan Biaya Perawatan
Pada Gambar 3.1, tahapan pekerjaan ini meliputi dari Kotak {D} ke Kotak {G} dan Kotak {N}.
Data kejadian DBD merupakan variabel respon [Y]it yang akan diakuisisi dengan mengadakan
kunjungan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di lingkup Provinsi Lampung. Variabel respon
ini dinyatakan dalam satuan jumlah kejadian DBD per 100 ribu penduduk dari masing-masing
kabupaten/kota di lingkup Provinsi lampung untuk 4 tahun pengamatan tersebut.
3.2.4 Optimasi Parameter Model dan Uji Hipotesis
Pekerjaan ini didahului penggabungan variabel prediktor berupa penggunaan lahan dengan
variable iklim seperti ditunjukan Kotak {M} Ganbar 3.1. Dari sisi kanan bidang Gambar 3.1
Kotak {N} juga telah disiapkan variabel respon [Y]it. Dengan demikian dapat dilakukan optimasi
parameter model sekaligus uji hipotesisnya dengan menggunakan piranti lunak Minitab 17. Taraf
nyata yang digunaka adalah 1% dan 5%.
3.2.5 Perencanaan Mitigasi Perubahan Iklim untuk Menekan Kejadian 4 Penyakit
Mitigasi secara umum dimaknai sebagai langkah preventif untuk menurunkan atau meniadakan
dampak negatif akibat bencana alam sebelum kejadian benar-benar muncul (ex ante). Dalam
penelitian ini adalah untuk kenaikan wabah DBD, TB Paru, Malaria, dan Pneumonia. Adapun
langkah-langkah adalah sebagai berikut
Langkah [1]: Pilih beberapa variable jenis-jenis penggunan lahan yang mempunyai parameter α1
sampai α10 yang bernilai negatif, yang berarti pengaruhnya dapat menurunkan
kejadian 4 penyakit tsb. jika ditingkatkan proposi luasannya.
23
Langkah [2]: Diantara yang terpilih pada Langkah [1] tersebut selanjutnya diseleksi lagi jenis
variable yang relatif mudah dilakukan penambahannya dengan biaya murah dan
dapat menghasilkan manfaat ekonomi masyarakat. Contohnya penambahan
proporsi dari: (a) hutan milik rakyat [POE_FRST] atau pun milik negara
[ST_FRST], (b) luasan tambak [POUND], (c) hutan mangrove [MROVE], (d)
pertanian lahan kering [AGRC].
Langkah [3]: Melakukan simulasi dampak perubahan iklim terhadap peningkata kejadian DBD,
TB paru, Malaria, dan Pneumonia dimulai dari kenaikan rata-rata [TEMP] berturut-
turut: 0,500C, 0,750C, 1,000C, 1,250C; 1,500C; dan 2,000C.
Langkah [4]: Melakukan simulasi untuk menekan/meniadakan kenaikan kejadian ke-4 penyakit
berturut-turut untuk menghadapi kenaikan temperatur global seperti skenario pada
Langkah [3].
Langkah [5]: Melakukan analisis kelayakan ekonominya (Benefit/Cost Analysis, IRR, dan NPV)
untuk berbagai rekomendasi kebijakan seperti Pada Kolom (5) Tabel 3.1. Adapun
untuk menghitung kelayakan ekonomi ini akan dipergunakan besaran harga-harga
barang dan tenaga kerja tahun 2019.
3.2.6 Analisis Kelayakan Ekonomi berbagai Rancangan Tindakan Mitigasi
Tahap ini utmanya adalah untuk melakukan analisis kelayakan ekonomi (khususnya B/C, NPV,
IRR) untuk berbagai pilihan tindakan mitigasi dapat terukur secara baik, yaitu seperti dirinci
dalam Kolom (5) Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Identifikasi upaya preventif mitigasi pemanasan global untuk menekan kejadian DBD
melalui perencaan reboisasi dan rehalibitasi penggunaan lahan* Variabel Independen Simbol
Model Ranah Mitigasi/ Bukan
Parameter yang
didapat
Program Tindakan Mitigasi yang direkomendasikan
Sumber Alokasi Dana yang Bisa Diraih
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
a. Badan air (bendungan, danau, dan sungai)
[WBDY] Bukan/Ya Αα1 Membuat bendungan tidak murah. Bisa dikerjakan hanya jika ada bantuan pinjaman LN
Kemen PUPR
b. Hutan Mangrove [MROVE] Ya α2 Reboisasi hutan mangrove
APBN/KemenLHK
c. Sawah [SWAH] Ya α3 Perluasan Sawah baru dengan mengurangi semak
dan rawa-rawa
APBN KemenPUPR dan Kementan
d. Tambak Ikan [FPOND] Ya α4 Perluasan empang, kolam ikan melalui pembuatan drainase rawa-rawa, mina padi dsb.
APBD, KemKelautan & Perikanan
e. Rawa [SWAMP] Ya α5 Perbaikan drainase untuk kolam ikan atau padi sawah
APBN KemenPUPR dan Kementan
f. Hutan Negara [ST_FRST] Ya α7 Reboisasi lahan/ hutan milik rakyat
KemLHK
e. Hutan Rakyat [POE_FRST] Ya Αα8 Reboisasi
lahan/hutan milik rakyat
APBD &
KemLHK
g. Pertanian Lahan Kering
[AGRC] Ya α9 Pengembangan Pertanian intensif dengan cara
APBD, dan APBN Kementan
24
mengubah lahan semak belukar
h. Pemukiman [SETL] Bukan α10 - -
i. Temperatur [TEMP] Bukan α11 - -
j. Curah Hujan [RAIN] Bukan α12 - -
k. Kelembab Udara [HUMD] Bukan α13
Catatan: *untuk penyakit TB Paru, Malaria, dan Pneumonia maka perlu diganti dengan parameter model masing-masing.
Untuk analisis kelayakan ekonomi ini maka akan digunakan harga-harga biaya satuan yang
berlaku di Provinsi Lampung tahun 2020. Hasil analisis ekonomi ini akan dapat dipergunakan
sebagai pegangan di depan Panitia Anggaran Dewan Legislatif sebagai bentuk jaminan ilmiah
yang handal bagi suatu kebijakan publik yang bersifat ex ante, dalam arti target hasil dapat
dikemukan di awal, sebelum kejadian wabah penyakit mucul sebagai dampak perubahan iklim
global yang akan terjadi. Handal karena didasarkan pada riset setempat yang obyektif, bukan
karena ada vested interest. Jika setiap kebijakan publik dikerjakan berbasiskan hasil riset setempat
seperti penelitian ini, maka dapat diyakini bahwa kebijakan publik tersebut akan bersifat
bertannggung gugat di depan hukum.
3.2.7 Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi Kesehatan Masyarakat
Aksi penurunan GRK dalam bentuk tindakan atau skema reboisasi dan rehabilitasi penggunaan
lahan juga akan membawa dampak positif berupa pemulihan atau peningkatan jasa lingkungan,
termasuk pada penurunan penyakit DBD, TB Paru, Malaria, dan Penumonia seperti dapat dirujuk
dalam Pelita dkk (2019), Hartuty dkk (20190, Bakri dkk (2018), Seno dkk (2018), Adhykasa dkk
(2017), Qohar dkk (2017), Mustika dkk (2017), Sijabat dkk (2017), Wigaty (2016), Putra dkk
(2015), dan Colfer dkk (2006, dalam Bakri dkk, 2019). Namun para peneliti tersebut tidak
melakukan valuasi terhadap nilai Untuk itu maka akan dilakukan pembuatan Software berbasis
Microsoft Excell langkah-langkah berikut:
Untuk Penyakit DBD
(1) Buka Blank Workbook, lalu pada Sheet 1, Klik kanan, lalu tuliskan “DBD”.
(2) Pada Cell A1 tuliskan “Program Metode Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan bagi Pencegahan DBD Melalui
Reboisasi dan Rehabilitasi Penggunaan Lahan”.
(3) Pada Cell A2 biarkan kosong.
(4) Pada Cell A3 tuliskan “Nilai Variabel Penggunaan Lahan dan Variabel Iklim” Lalu isikan pada Cell B3, C3, D3 dan
seterusnya sampai Cell O3.
(5) Pada Cell A4 tuliskan: “ Parameter Model”. Lalu pada Cell B4, C4, D4 sampai Cell O4 tuliskan berturut-turut
parameter model (α0 sampai α13) yang telah diperoleh dari hasil optimasi.
(6) Pada Cell A5 tuliskan :”Hitung Kejadian Penyakit”, lalu pada posisi Cell B5 ketikkan = B3*B4. Pada Cell C5 ketikkan
=C3*C4. Pada Cell D5 ketikkan =D3*D4. Begitu seterusnya sampai pada Cell O5 ketikkan =O3*O4. Cara lain yang
lebih ringkas adalah: Pada Cell C5 ketikkan =C3*C4. Enter, lalu kembalikan kursor pada posisi Cell C5, lalu
arahkan kursor pada sudul Cell, terus drag kursor sampai pada posisi Cell O5. Lalu arahkan kursor pada posisi
Cell P5, lalu tujuk ke ∑, lalu akan muncul garis putus-putus yang meliputi dari Cell B5 sampai O5, lalu tekan enter.
25
(7) Pada Cell A6, tuliskan: “Nilai Jasa Lingkungan”. Lalu arahkan kursor pada Cell P6, ketik =P5*Jumlah
Penduduk*10.000, tekan enter. Maka akan keluar Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan hasil pemodelan yaitu pada
posisi Cell P6.
(8) Selesai Pemograman dan siap digunakan untuk percobaan simulasi yang dapat berupa:
[a] Perubahan nilai variable iklim: Mengubah suhu global [TEMP] secara sendiri, lalu enter. Maka Nilai Jasa
Lingkungan hasil simulasi akan pada poisisi Cell P6 akan berubah. Dapat juga disertai dengan perubahan
variabel iklim yang lain baik curah hujan [RAIN], atapun kelembaban udara [HUMD].
[b] Perubahan variabel penggunaan lahan baik secara sendiri-sendiri diantara variabel. Termasuk hutan rekyat
[POE_FRST], hutan negara [ST_FRST], hutang mangrove [MROVE], kolam, [FPOND], sawah [SAWH],
pemukiman [SETL], badan-badan perairan [WBODY].
[c] Perubahan variabel iklim dapat dikombinasi dengan perubahan penggunan lahan ataupun reboisasi.
Untuk Penyakit TB Paru
Pada dasarnya pemograman untuk mencari nilai ekonomi jasa lingkungan penyakit TB paru dapat
dilakukan dengan cara:
(1) Copy Worksheet dari Program untuk Penyakit DBD
(2) Buka Sheet 2, klik kanan, dan beri nama “TB Paru”
(3) Gantikan semua parameternya dengan nilai-nilai β0 sampai β13.
(4) Selesai. Siap dilakukan simulasi dalam rangka perencanaan reboisasi dan rehabilitasi penggunan lahan.
Untuk Penyakit Malaria dan Pneumonia
Pembuatan software Valuasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan untuk menekan kedua penyakit ini
adalah analago dengan Penyakit Paru, hanya tinggal mengganti semua parameternya dengan nilai
γ0 sampai γ13 untuk Malaria, dan untuk Pneumonia dengan parameter Ω0 sampai Ω13.
3.2.7 Simulasi Reforestasi Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan
Banyak sekali simulasi yang dapat dilakukan, bahkan tak terhingga karena perubahan dari 13
variabel dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun dikombinasi dengan satu ataupun sampai
12 variabel lainnya. Demikian pula perubahan nilai setiap variabel yang sangat beragam
besarnya, belum lagi perubahan variabel dapat bernilai positif (jika bertambah) dan dapat pula
negatif (jika bertambah). Sementara itu dapat pula variabel satu bernilai negatif dikombinasi
variabel lain yang bernilai positif. Misalnya dalam kasus deforestasi hutan mangrove, dapat
terajadi luasan hutan mangrove [MROVE] berkurang. Sebagian dikonversi sebagian menjadi
tambak [FPOND] sebagaian menjadi sawah [SAWH] dan sebagian lagi menjadi kanal-kanal
sungai atau drainase [WBODY]. Sebaliknya pada reboisasi di kawasan hutan negara yang gundul
dan rehabilitasi lahan gundul di dalam lahan milik rakyat rehabilitasi. Masih banyak lagi yang
dapat dilakukan kombinasinya maupun besaran nilai-nilainya. Artinya perencanaan reforestasi
sebagai bentuk aksi penurunan GRK dapat diprediksi dengan ketepatan 99% dalam hal benefit
nilai ekonominya dalam penyelamatan biaya korbanan untuk perawatan ke-4 penyakit infeksi dan
meluar tersebut.
26
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Statistik Deskriptif
4.1.1 Perubahan Tutupan Lahan
Secara deskriptif hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM +7 secara spasial disajikan dalam
Gambar 4.1 sampai Gambar 4.5. untuk berturut-turut tahun 2009, 20012, 2015, 2018. Adapun
secara grafis diasjikan pada Gambar 4.5 sampai …..
Gambar 4.1. Tutupam lahan tahun 2009 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)
27
Gambar 4.2. Tutupam lahan tahun 2012 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)
Gambar 4.3. Tutupam lahan tahun 2015 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)
28
Gambar 4.4. Tutupam lahan tahun 2015 hasil interpretasi citra landsat (www.usgs.glovis)
Secara diagramatis perubahan penggunaan lahan di Provinsi Lampung dari tahun 2009 sampai
2019 disajikan dalam Gambar 4.5. Adapun untuk masing-masing kabupaten/kota di sajikan
dalam Lampiran 1.
Gambar 4.5. Distribusi Penggunaan Lahan Provinsi Lampung 2009-2019
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020Hutan Negara Hutan Rakyat Lahan Terbuka
Perkebunan Permukiman Pertanian
Sawah Tutupan Lahan Lain
29
4.1.2 Perkembangan Kejajian Penyakit Lahan
Kejadian penyakit pneumonia, DBD, TB Paru, dan malaria per 10 ribu penduduk untuk Provinsi
Lampung kurun waktu 2009 sampai 2020 secara diagramatis secajikan pada Gambar 4.6.
Sedangan untuk masing-masing kabupaten/kota disajikan Pada Lampiran 2.
Gambar 4.6. Kejadian Empat Penyakit per 10 Ribu pendduk di Provinsi Lampung
4.1.3 Dinamika Temperatur Udara di Provinsi Lampung
Pada Gambar 4.7 disajikak dinamika perubahan temperatur rata-rata tahunan di Provinsi lampung.
Seperti dapat diperiksa pada Gambar 4.7 tersebut bahwa rata-rata tertinggi ada di kota bandar
Lampung. Realitas ini dapat difahami karean Bandar Lampung merupakan kota dengan elevasi
yang paling rendah di bandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di provinsi ini. Demikian pula
sebalikknya wilayah dengan temperature rata-rata tahunan yang terendah adalah pada Kabupten
Lampung Barat yang wilyan dengan elevasi rata-rata yang palingf tinggi di Provinsi Lampung.
Kecuali itu yang menarik dari Gambar 4.7 tersebut tampak bahwa dari tahun 2009 sampai 2019
tampak semua wilayah dengan trend yang meningkat. Fenomena kenaikan temperatur ini bisa
jadi ini merupakan bukti adanya kecenderungan adanya pemasan global.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022
Jumlah Penderita Penyakit di Provinsi Lampung
Pnemonia Malaria TB Paru DBD
30
Gambar 4.7. Perubahan temperatur udara rata-rata tahunan di 14 kabupaten/kota di Provinsi Lampung Periode 2009 sampai 2019
4.2 Uji Hipotesis
Secara rinci hasil luaran model regresi untuk ke empat penyakit disajikan dalam Lampiran 3.
Adapun ringkasan uji hipotesis dirinci masing-masing dalam pembahasan berikut.
4.2.1 Model Kejadian Pneumonia
Beberapa langkah optimasi parameter untuk menguji hipotesis dan uji kebaikan-suai model
penyakit pneumonia pada akhirnya diperoleh ketika menggunkan time lagg dua tahun t-2 atau
[PNEUi]t+2. Pada Lampiran 3 disajikan hasil output Minitab 16 yang diperoleh. Pada Tabel 4.1
disajikan secara ringkas hasil tersebut. Pada Tabel 4.2 disajikan Uji parameter model ini.
Tabel 4.1. Analysis of Variance of the goodness of fit’s test
Source DF SS MS F P
Regression 9 554,691 61,632 9,99 0,000
Residual Error 32 197,341 6,167
Total 41 752,032
S = 2,48332 R-Sq = 73,8% R-Sq(adj) = 66,4%
Sumber: Hasil Penelitian (2021)
Sebagaimana dapat diperiksa dalam Tabel 4.1 tersebut bahwa model ini memberikan kebaikan
suai yang sangat baik (robust). Klaim imni ditunjukan oleh nilai P=0.000. Secara aproksimasi
mataemetik nilai ini setara P=0.0004, yang berarti bahwa pelung melesetnya (miss prediction)
23,50
24,00
24,50
25,00
25,50
26,00
26,50
27,00
27,50
28,00
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung Utara
31
hanya 4 per 1.000 jika digunakan untuk memprediksi kejadian peneumonia pada 2 tahun
kemudian dengan menggunakan 9 variabel prediktor ini. Perlu ditambahkan catatan disini bahwa
sebanyak 66,4% keragaman kejadian pneumonia pada 2 tahun berikutnya dapat dijelas 10 variable
prediktor tersebut, seperti ditindikasikan oleh R-sq(adj)-nya, yanag berarti sebanyak 33.6% harus
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dipergunakan dalam penodelan ini. Variabel lain tersebut
bisa berupa tindakan pencegahan penyakit, status gizi, sanitasi lingkungan dsb.
Adapun untuk mengetahui secara elementer dari 9 tersebut variabel mana saja yang memberikan
pengaruh secara nyata maka perlu diperiksa hasil optimasi parameter model dengan
menggunakan Uji T sebagai berikut:
Tabel 4.2. Optimasi parameter model (Uji T) prediktor kejadian pneumonia di Provinsi Lampung
Predictor Coef SE Coef T P-value
Constant -158,13 34,33 -4,61 0,000
[TEMP] 6,806 1,292 5,27 0,000
[URBAN]i 4,493 3,452 1,30 0,202
[STWF]i 30,28 10,94 2,77 0,009
[POPF]i -19,965 9,074 -2,20 0,035
[BRLND]i -475,69 98,39 -4,83 0,000
[PLNT]i -33,912 8,369 -4,05 0,000
[SETTL]i -7,773 8,111 -0,96 0,345
[MFARM]i -22,303 5,823 -3,83 0,001
[RICE]i -36,402 7,121 -5,11 0,000
Sumber: Hasil Penelitian (2021)
Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 4.2 tersebut, bahwa hanya variable proporsi luasan
penggunaan lahan berupa pemukiman [SETTL] dan level urbanisme wilayah [URBAN] yang
tidak memberikan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian [PNEU]i, t+2. Artinya
penambahan luasan wilayah di setiap kabupaten belum memberikan dampak nyata terhadap
kejadian penyakit ini pada 2 tahun berikutnya. Begitu juga tidak ada pengaruh nyata atas status
yurikdisi wilayah dimana antara kabupaten ataukah kota tidak berbeda nyata. Implikasi dari
temuan ini bahw atidak perlu ada deskriminasi kebijakan publik dalam penangangan pneumonia.
Temuan yang menarik dari pertama adalah pengaruh temperatur rata-rata tahunan [TEMP] dengan
parameter α1=6.806 yang memberi makna bahwa jika temperature udara rata-rata meningkat 1oC,
maka akan diikuti oleh peningkatan kejadi pneumonia pada 2 tahun mendatang sekitar 6.806
kejadian per 10 ribu penduduk. Peningkatan ini bersifat sangat nyata seperti ditunjukkan oleh
nilai P-value=0.000 atau <1%. Jika merujuk dari definisi perubahan iklim, seperti diungkapkan
oleh Nikolaj (2010) yang menyatakan bahwa maka berarti akan terjadi kenaikan penyakit ini
32
sebesar 12.172 kejadian. Temuan ini merupakan peringatan dini untuk mitigasi bila terjadi
perubahan iklim. Kenaikan ini jika tidak dilakukan ada tindakankan lain terhadap pengelolaan ke
9 variabel yang lain, artinya variable lain dipandang konstan. Jika dilakukan reboisasi di hutan
rakyat [POPF] misalnya maka dapat kejadi tersebut dapat ditekan.
Seperti dapat diperiksa dalam Tabel 4.2 tersebut bahwa α4=-19.965 (dengan P-value= 0.035) yang
memberi makna jika dilakukan reforestasi di lahan-lahan milik dengan target proporsi luasan
sebesar 1% di setiap kabupaten/kota, maka kejadian pneumonia akan dapat dimitigasi sebesar
maka 19.965 kejadian per 10 ribu penduduk. Penuruan ini bersifat nyata seperti ditunjukkan oleh
nilai P-value tersebut yang <5%. Dengan demikian maka untuk mitigasi kejadian penyakit
pneumonia tersebut menghadapi perubahan iklim maka setiap kabupaten kota perlu melakukan
reforestasi di hutan rakyat [POPF] sebesar (13.612/19.965)%= 0.68%. Namun sayangnya tidakan
mitigasi ini tidak bisa dilaksanakan di kawasan hutan negara karena akan membawa dampak pada
peningkatakan kejadian pneumonia pada 2 tahun berikutnya seperti ditunjukkan oleh nilai
α3=30.28 dangan P-value =0.009.
Dari uraian di atas maka dapat diklaim bahwa H1 bagi model kejadian penyakit pneumonia
sebagai fungsi dari 9 variabel tersebut diterima khususnya dengan time lag 2 tahun [PNE]i,t+2.
Oleh karena itu model ini dapat dipergunakan untuk simulasi penetapan valuasi ekonomi jasa
lingkungan hutan rakyat terutama sekali karean variable ini berpengaruh nyata dala menurunkan
kejadian penyakit ini.
[A] Reduksi Biaya Perawatan Pneumonia dengan Skenario Reforestasi
Untuk melakukan valuasi ekonomi jasa lingkungan dalam menekan biaya perawatan melalui
reforestasi di hutan-hutan rakyat [POPL] maka terlebih dalau diperlukan: Model prediksi kejadian
pneumonia dan informasi tentang tarip perwatan pasien per pasien.
A.1 Model Persamaan Kejadian Pneimonia di Provinsi Lampung
Berdasarkan hasil optimasi parameter seperti dalam Tabel 4… tersebut maka dapat dirumuskan
dalam Persamaan {4.1}.
[PNEi]t+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN]i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF]i,t - 476 [BRLND]i,t
- 33,9 [PLNT]i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3 [MFARM]i,t - 36,4 [RICE]i,t
Persamaaan {4.1}
33
Keterangan: [PNE]i, t +2 : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun ke t +2 [TEMP]i,t : Temperatur udara rata-rata tahunan di wilayah kab/kota ke i
[URBAN]i,t : Tingkat urbanisme wilayah ke i, diberi skor =1 jika kota, =0 jika kabupaten [STWF]i,t : Proporsi luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [POPL]i,t : Proporsi luasan hutan rakyat kabupaten/kota ke i tahun ke t
[BRLND]i,t : Proporsi luasan lahan terbuka pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [MFARM]i,t : Proporsi luasan pertanian intensif (campuran) kabupaten/kota ke i tahun ke t
[SETTL]i,t : Proporsi luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t [RICE]i,t : Proporsi luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
A.2 Simulasi Kejadian Pneumonia dan Kebutuhan Reforestasi untuk Mitigasi Perubahan
Iklim
Pada Tabel 4.3 disajikan hasil simulasi kenaikan kejadian per 10 ribu penduduk pada 2 tahun
berikutnya sebagai dampak dari pemnasan global. Jika digunakan data BPS (2021) yang maka
luas total Provinsi Lampung 3,537,600 ha dengan jumlah penduduk 8.85 juta jiwa, maka pada
Tabel 4.3 disajikan hasil simulasi total kenaikan kejadian pneumonia pada 2 tahun yang akan
datang dan implikasi kebutuhan untuk melakukan reforestasi di hutan rakyat. Reforestasi ini
merupakan tindakan mitigasi untuk masing-masing skenario kenaikan suhu mulai mulai dari 0.25
oC sampai 2.00 oC.
Tabel 4.3. Hasil simulasi total kenaikan kejadian pneumonia pada 2 tahun dan kebutuhan
reforestasi di hutan rakyat di Provinsi Lampung
No
Skenario Kenaikan Suhu
Kenaikan
Pneumonia Total Kejadian
Pneumonia Kebutuhan Reforestasi di Hutan rakyat
oC Orang/per 10
Ribu Pddk (Pasien)
% dari Luas Provinsi
Ha
1 0.25 1.7 1,507 0.09 301,666
2 0.50
3.4 3,013 0.17 603,332
3 0.75
5.1 4,520 0.26 904,998
4 1.00
6.8 6,027 0.34 1,206,664
5 1.25
8.5 7,534 0.43 1,508,331
6 1.50
10.2 9,040 0.51 1,809,997
7 1.75
11.9 10,547 0.60 2,111,663
8 2.00
13.6 12,054 0.68 2,413,329
Sumber: Hasil Penelitian (2021)
Sepertii dapat diperiksa pada Tabel 4.3 dampak perubahan iklim terhadap kejadian pneumonia di
Provinsi Lampung dapat dipandang relatif sangat besar. Bila terjadi perubahan iklim yang
34
diindikasikan oleh kenaikan temperature udara sampai 2oC maka akan terjadi kenaikan jumlah
kejadian pneumonia hingga 12 ribu jiwa lebih. Untuk mitigasi keniakan ini antara lain pilihannya
dengan melalukan mitigasi berupa tindakan reforesatasi di hutan rakyat seluas 2.42 juta ha.
Luasan ini merupkan suatu angka yang sangat fantastis bila dibandingkan total luas Provinsi
Lampung 3.35 juta ha.
[B] Valuasi Ekonomi Mitigasi terhadap Keniakan Penumonia Menggunakan Reforestasi di
Hutan Rakyat
Seringkali angka-angka kejadian belu bisa untuk memberikan hentakan agar pejabat publik untuk
menyadari dasyatnya dampak tersebut. Keengganan (inertia) seperti ini dapat difahami karena
dampak perubahan iklim tidak langsung dan tidak pula seketika. Namun hampir setiap orang
normal sensitive terhadap nilai manfaat ataupun nilai korbanan dalam nilai ekonomi. Oleh karena
itu valuasi ekonomi perlu disajikan di sini, baik berupa nilai ekonomi untuk melakukan reforestasi
maupun nilai ekonomi dari korbanan biaya perwatan. Untuk itu dalam penelitian ini biaya
reforestasi merujuk Kusimedi dan Jariyah (2010) adalah Rp 58,110,527 per ha. Sedangkan biaya
perawatan untuk penyakit infeksi bakteri seperti Diplococous pneumonia menurujuk pada
Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 rata-rata per pasien sampai pulang dari rumah sakit adalah Rp
4,399,633 (Sd= 733,267) maka korbanan untuk mitigasi dengna menggunakan skema refortasi
hutan rakyat [POPL] tersebut untuk setiap kenaikan temperatur dosdajikan pada Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4. Prediksi biaya perwaratan kenaikan pneumonia, biaya biaya reforestasi, dan total
biaya korbanan mitigasi perubahan iklim (Rp Juta)
No. Kenaikan
Suhu 0C Jumlah Korban
Pneumonia (orang)
Total Kenaikan Biaya Perawatan
(Rp Jt)
Luasan Reforestari Hutan Rakyat
sebagai tindak mitigasi (Ha)
Total Biaya Reforestasi di Hutan
Rakyat (Rp Jt)
Total Biaya Korbanan (Rp Jt)
1
0.25 1,507 6,629 301,666 17,529,977 17,536,606
2
0.50 3,013 13,258 603,332 35,059,954 35,073,212
3
0.75 4,520 19,887 904,998 52,589,931 52,609,818
4
1.00 6,027 26,516 120,6664 70,119,908 70,146,424
5
1.25 7,534 33,145 150,8331 87,649,885 87,683,030
6
1.50 9,040 39,774 1,809,997 105,179,862 105,219,636
7
1.75 10,547 46,403 2,111,663 122,709,839 122,756,242
8
2.00 12,054 53,032 2,413,329 140,239,816 140,292,848
Sumber: Hasil Penelitian (2021).
35
Sebagaimana dapat diperiksa dalam Tabel 4.4 khusus untuk memitigasi penyakit pnemunoi
pemasan global sampai 2oC maka di Provinsi Lampung perlu untuk alokasi total biaya korbanan
sebesar Rp149,292,848 juta, yang merupakan biaya tambahan perawatan kenaikan jumlah
masyarakat yang terkena pneumonia ditambah dengan biaya untuk melakukan reforetasi di hutan
rakyat [POPL].
4.2.2 Model Kejadian Penyakit DBD
Hasil output Minitab sescara lengkap disajikan dalam Lampiran 4. Sedangkan ringkasannya dapat
diperiksa pada Tabel 4.5 (untuk Analysis of Variance dan Tabel 4.6 (untuk Uji T) seperti berikut.
Tabel 4.5 Analysis of Variance of DBD
Source DF SS MS F P
Regression 9 297,199 33,022 5,34 0,000
Residual Error 36 222,731 6,187
Total 45 519,929
Tabel 4.6. Uji T untuk Penyakit DBD
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -34,97 32,65 -1,07 0,291
[URBAN]i 2,047 4,406 0,46 0,645
[TEMP] 1,213 1,252 0,97 0,339
[STWF]i 11,732 9,806 1,20 0,239
[POPF]i 8,512 7,978 1,07 0,293
[BRLND]i 29,34 87,68 0,33 0,740
[PLNT]i 2,078 7,001 0,30 0,768
[SETTL]i 12,61 10,43 1,21 0,235
[MFARM]i 4,905 4,863 1,01 0,320
[RICE]i 21,05 13,86 1,52 0,138
S = 2,48736 R-Sq = 57,2% R-Sq(adj) = 46,5%
Adapun hasil regresi antara 9 variabel predictor terhadap kejadi DBD dapat diungkapkan dengan
persamaan berikut.
The regression equation is
[DBD]i = - 35,0 + 2,05 [URBAN]i + 1,21 [TEMP] + 11,7 [STWF]i + 8,51 [POPF]i
+ 29,3 [BRLND]i + 2,08 [PLNT]i + 12,6 [SETTL]i + 4,91 [MFARM]i
+ 21,0 [RICE]i
Karena mempunyai dampak pada peningkatan kejadian DBD (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji
T tersebut) maka hutan negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk
mengukur nilai ekonomi bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan
global.
36
4.2.3 Model Kejadian Penyakit Malaria
Hasil output Minitab secara lengkap disajikan dalam Lampiran 5. Sedangkan ringkasannya dapat
diperiksa pada Tabel 4.7 (untuk Analysis of Variance ) dan Tabel 4.8 (untuk Uji T) seperti berikut.
Tabel 4.7. Analysis of Variance Malaria
Source DF SS MS F P
Regression 9 15017,2 1668,6 4,36 0,000
Residual Error 41 15691,9 382,7
Total 50 30709,2
S = 19,5635 R-Sq = 48,9% R-Sq(adj) = 37,7%
Tabel 4.8. Hasil Uji T untuk Kejadian DBD
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 505,2 208,5 2,42 0,020
[URBAN]i -6,07 28,93 -0,21 0,835
[TEMP] -16,994 7,741 -2,20 0,034
[STWF]i -179,58 72,49 -2,48 0,017
[POPF]i 71,40 57,31 1,25 0,220
[BRLND]i 1345,4 590,2 2,28 0,028
[PLNT]i -37,55 53,54 -0,70 0,487
[SETTL]i 22,78 91,55 0,25 0,805
[MFARM]i -61,37 38,27 -1,60 0,116
[RICE]i -80,80 57,45 -1,41 0,167
Karena temperature tidak mempengaruhi dampak yang nyata dan juga hutan rakyat mempunyai
dampak pada peningkatan kejadian malaria (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji T tersebut) maka
hutan negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk mengukur nilai
ekonomi bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan global
Walaupun begitu hubungan kasualitas antara 9 variabel tersebut terhadap kejadian DBD dapat
diungkapkan sebagai berikut.
The regression equation is
[MLR]i = 505 - 6,1 [URBAN]i - 17,0 [TEMP] - 180 [STWF]i + 71,4 [POPF]i
+ 1345 [BRLND]i - 37,6 [PLNT]i + 22,8 [SETTL]i - 61,4 [MFARM]i
- 80,8 [RICE]i
4.2. 4 Model Kejadian Penyakit TB Paru
Hasil output Minitab secara lengkap disajikan dalam Lampiran 6. Sedangkan ringkasannya dapat
diperiksa pada Tabel 4.9 (untuk Analysis of Variance ) dan Tabel 4.10 (untuk Uji T) seperti
berikut.
37
Tabel 4.9. Analysis of Variance TB Paru
Source DF SS MS F P
Regression 9 207,281 23,031 4,88 0,000
Residual Error 38 179,307 4,719
Total 47 386,588
S = 2,17223 R-Sq = 53,6% R-Sq(adj) = 42,6%
Tabel 4.10. Hasil Uji T untuk kejadian Penyakit Tb Paru
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -2,71 23,64 -0,11 0,909
[URBAN]i -3,826 3,933 -0,97 0,337
[TEMP] 0,3935 0,8751 0,45 0,656
[STWF]i -9,800 8,400 -1,17 0,251
[POPF]i 24,967 7,669 3,26 0,002
[BRLND]i 88,83 66,92 1,33 0,192
[PLNT]i -13,462 6,092 -2,21 0,033
[SETTL]i 9,51 12,65 0,75 0,457
[MFARM]i -5,810 4,285 -1,36 0,183
[RICE]i -0,309 6,883 -0,04 0,964
Karena temperatur tidak punya dampak yang nyata dan juga hutan rakyat mempunyai dampak
pada peningkatan kejadian malaria (seperti ditunjukkan oleh hasil Uji T tersebut) maka hutan
negara maupun hutan rakyat tidak dapat digunakn sebagai vasilitas untuk mengukur nilai ekonomi
bagi kontribusi penuruan biaya perawatan maupun akibat pemanasan global
Walaupun begitu hubungan kasualitas antara 9 variabel tersebut terhadap kejadian DBD dapat
diungkapkan sebagai berikut.
The regression equation is
[TB]i = - 2,7 - 3,83 [URBAN]i + 0,393 [TEMP] - 9,80 [STWF]i + 25,0 [POPF]i
+ 88,8 [BRLND]i - 13,5 [PLNT]i + 9,5 [SETTL]i - 5,81 [MFARM]i
- 0,31 [RICE]i
38
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
[1] Kenaikan temperature rata-rata tahunan dapat berpengaruh secara sangat nyata terhadap
kejadian isidensi penyakit khususnya pneumonia dimana setiap 1oC akan meningkatkan 6.81
kejadian per 10 ribu penduduk.
[2] Hutan rakyat berperan nyata dalam menekan insidensi penyakit infeksi khususnya pneumonia,
dimana setiap ada kenaikan sebesar 1% maka akan diiringingi dengan penurunan insidensi
20.0 kejadian per 10 ribu penduduk.
[3] Jika terjadi pemanasan global hingga temperatur atmosfer mencapai 2.0oC, maka di Provinsi
Lampung akan mengalami kenaikan insidensi penyakit infeksi khususnya pnuemonia akan
mencapai 12 ribu pasien.
[4] Untuk meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke
level semula (BAU) maka diperlukan mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68
% dari luas provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan rata-rata 2.0oC, yang
memerlukan alokasi biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya
tambahan perawatan atas total kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta
dan selebihnya dengan biaya untuk melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329
ha.
[5] Perubuhan iklim global tidak punya dampak nyata terhadap kejadian DBD, Malarian dan TB
Paru.
5.2 Saran
Setidaknya ada dua saran yang penting untuk dikemukan berkaitan dengan hasil penelitian ini
yaitu untuk:
[1] Melaksanakan penelitian tentang pengaruh penggunaan lahan dan pemanasan global unit
analisis level kabupaten/kota,
39
[2] Melakukan penelitian untuk validasi model di berbagai provionsi lain, terutama yang
mempunyai wilayah dengan prospek mengembangan jasa sekustrasi karbon seperti di NTT,
NTB, Sulawesi Tengah dll.
40
DAFTAR PUSTAKA
Adhyaksa, A., S. Bakri, T. Santoso. 2017. Pengaruh tutupan lahan terhadap insidensi pneumonia
pada balita di Provinsi Lampung, Jurnal Sylva Lestari. 5(1): 26-34.
Adiansyah, J.S. 2015. Pipeline program CDM di Indonesia: Sebuah peluang dan Tantangan untuk
Industri Pertambangan. Jurnal TeknoSains. 1(1): 1-15.
Andersen, S.O, M. L. Halberstadt, and N. B. Parnell. 2013. Critical review: Stratospheric ozone,
global warming, and the principle of unintended consequences—An ongoing science and
policy success story. Journal of the Air & Waste Management Association, 63(6):607–647.
DOI: 10.1080/10962247.2013.791349.
Arnell, N.W., S. J. Halliday, R.W. Battabee, R. A.Skeffington, and A.J. Wade. 2015. The
implications of climate change for the water environment. Progress in Physical Geography,
39(1) 93–120. DOI: 10.1177/0309133314560369 ppg.sagepub.com.
Bakri, S., A. Setiawan, dan I. Nurhaida. 2019. Jasa lingkungan hutan sebagai pengendali
kesehatan masyarakat. Jasa Lingkungan Hutan: Kontribusi Produk Ekonomi Ekologis
bagi Pembangunan Berkelanjutan: 68-105.Aura Publishing, Bandar Lampung.
Bakri, S., A. Raya, Y. Idriani, J. F. Suwandi. 2018. Toddler’s mmunity against dengue
haemorraghic fever based on sex and age: The influence of environment and family’s
habitual variables. Proceeding The 3rd Shield International Conferece. Bandar Lampung
on 9-11th November 2018.
Brenna, H., S. Kutterolf, dan K. Krüger. 2019. Global ozone depletion and increase of UV
radiation caused by pre-industrial tropical volcanic eruptions. Scientific Report :1-14.
https://doi.org/10.1038/s41598-019-45630-0
Carlson, C. J., E. R. Dougherty, and W. Getz. 2016. An ecological assessment of the pandemic
threat of zika virus. PLOS Neglected Tropical Disease.
DOI:10.1371/journal.pntd.0004968.
Colfer, C.J.P., D. Sheil, dan M. Kishi 2006. Forests and Human Health. Occasinal Paper #45.
https://www.researchgate.net /publication/42765329 (Diaksess 12 Pebruari, 2020).
Ditjen Perubahan Iklim (2017) yaitu Pedoman Pemgukuran Pelaporan dan Verifikasi REDD+
di Indonesia. Kementerian LHK.
http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen
Fahrizal, D.W. S. R. Wardani, E. Suroso, dan S. Bakri. 2018. Dampak perubahan iklim dan
tingkat urbanisme wilayah terhadap biaya korbanan demam berdarah dengue. Diaspora
Eksakta, 1 (2): 1-12.
41
Forest Watch Indonesia. 2018. Deforestasi Tanpa Henti. Diambil dari http://fwi.or.id/wp-
content/uploads/2018/03/deforestasi_tanpa_henti_2013- 2016_lowress.pdf.
Hambali. 2012. Revolusi dalam penyedaan energi. Dalam Dalam Purwanto, R., I. Siregar, dan
A. Suryani. 2012. Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press, Bogor.
Hastuty, G., D.W.S.R Wardani, C. Wulandari dan S. Bakri. 2019. the role of the mangrove forest
in water terestric ecosystem as a disease control of dengue hemorrhagic fever (DHF) under
global warming scenario. Prosiding Seminar Nasional Hari Air Dunia 2019 Palembang 21
Maret 2019 66 e-ISSN : 2621-7469.
Hundessa, S., G. Williams, S.Li, D.L. Liu, W. Cao, H.Ren, J. Guo, A. Gasparrini, K. Ebi, W.
Zhang, Y. Guo. 2018. Projecting potential spatial and temporal changes in the
distribution of Plasmodium vivax and Plasmodium falciparum malaria in China with
climate change. Science of the Total Environment journal, 627: 1285-1293;
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.01.300; www.elsevier.com/locate/scitotenv
IPCC. 2007. Climate Change 2007; Mitigation of Climate Change. Cambridge University Press,
Cambridge.
Kassié, D.,M. Bourgarel, and F. Roger. 2015. Climate change and ebola outbreaks: are they
connected? Poster Presented on Conference: Our Common Future Under Climate
Change, Paris July 215.
Kusharto, C.M. dan Hardinsyah. 2012. Ketahanan kemandirian pangan. Dalam Purwanto, R.,
I. Siregar, dan A. Suryani. 2012. Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press, Bogor.
Kusumedi, P. dan N.A. Jariyah. 2010. Financial analysis of agroforestry management with sengon
cardamom pattern in tirip Village, Wadaslintang District, Wonosobo Regency. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 (2):93-100.
Liu, X. Q.Tang, N. Voisin, and H.Cui. 2016. Projected impacts of climate change on hydropower
potential in China. Hydrology and Earth System, 20: 3343–3359. www.hydrol-earth-syst-
sci.net/20/3343/2016/ doi:10.5194/hess-20-3343-2016.
Menhutbun.2014. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Lampung - appgis. Surat Keputusan
Menteri Kehutanan RI Nomor SK.866/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 ..
Mirsaeidi, M., H. Motahari , M. T. Khamesi, A. Sharifi, M. Campos, and D. E. Schraufnagel.
2016. Climate change and respiratory infections. Annals.ATS, 13(8):1223-1230.
Mironova, V., N. Shartova, A. Beljaev, M. Varentsov, and M. Grishchenko. 2019. Effects of
climate change and heterogeneity of local climates оn the development of malaria parasite
(Plasmodium vivax) in Moscow Megacity Region. International Journal of Environental
42
Research and Public Health, 16: 1-18. doi:10.3390/ijerph16050694.
ww.mdpi.com/journal/ijerph.
Mustika, A. A., S. Bakri, dan D.W.S. R. Wardani. 2016. Perubahan penggunaan lahan di Provinsi
Lampung dan pengaruhnya terhadap insidensi demam berdarah dengue (DBD). Jurnal
Sylva Lestari, 4 (3):35—46.
Nicolaj K. L, Kjaer K.H, Lecavalier B, et al. 2015. The response of the southern Greenland ice
sheet to the Holocene thermal maximum. Geology, 43 (4): 291-294.
Nurlela, L., Muhtarudin, d S. Bakri, dan J.F. Suwandi. 2019. Pengaruh deforestasi ekosistem
hutan menjadi perairan terestrial terhadap prevalensi serangan rabies: Studi di Provinsi
Lampung. Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO)4 Pemanfaatan Biodiversitas
dan Bioteknologi untuk Pelestarian Lingkungan, Bandung 25 April 2019. Pusat Penebitan
dan UIN Sunan Gunung Djati Badung.
Oulkar, S., D. Siingh, U. Saha, and A. K. Kamra. 2019. Distribution of lightning in relation to
topography and vegetation cover over the dry and moist regions in the Himalayas. Journal
of Earth Syst. Sci., 128:180. Academy of Scienceshttps://doi.org/10.1007/s12040-019-
1203-9.
Kementerian LHK. 2017. Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016.
Kem LHK, Jakarta.
Madani 2018. REDD+ Update Report Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi
Indonesia Juli 2018. file:///D:/BUKU%20JASA%20LINGKUNGAN/ /Madani-Update-
Report-Perhitungan-Deforestasi-IND.pdf
Pelita, A., J. F. Suwandi, S. Bakri dan M. Riniarti, 2019. Peranan ekosistem perairan terestrial
terhadap insidensi penyakit malaria: Studi di Provinsi Lampung. Prosiding Seminar
Nasional Hari Air Dunia 2019, Palembang, ISSN 21 Maret 2019 66 e-ISSN : 2621-7469.
Pramudianto, A. 2016. Dari Kyoto Protocol 1997 hingga Paris Agreement 2015: Dinamika
Diplomasi Perubahan Iklim Global dan Asean menuju 2020. Global. 18(1): 76-94.
Putra, A. K., S. Bakri, dan B. Kurnaiwan. 2015. Peranan ekosistem hutan mangrove pada
imunitas masyarakat terhadap malaria: Studi di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten
Lampung Timur. Juranl Sylva Lestari, 3(2) :67—78.
Rohayati, Muhtarudi, J.F. Suwandi, dan S. Bakri. 2018. The impact of climate change and land
cover on avian influenza (AI) incidence in sector 4 livestock poultry (traditional poultry)
in Lampung Lrovince. Proceeding of the 3rd SHIELD International Conference of 2018
https://3rdshieldproceeding.uprci.org,
Rosari, R.S., S. Bakri, T. Santoso, dan D.W.S.R Wardani. 2017. Pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap insiden penyakit tuberkulosis paru: Studi di Provinsi Lampung.
Jurnal Sylva Lestari. 5 (1): 71-80.
43
Seno, Y., D.W.S.R Wardani, S. Bakri, 2018. Pemanfaatan citra landsat untuk valuasi jasa
lingkungan hutan negara dalam pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) :
studi di Provinsi Lampung. Jurnal Hutan Tropis, 6(3): 237-248. ISSN 2337-7771 (Cetak)
ISSN 2337-7992 (Daring).
Serageldin, I., and A. Steer. 2019. Making development sustainabel. Environmental Sustainable
Development Occasional Paper#2. ESD.
Shu, J., J. J. Qu1, R. Motha, J. C. Xu, and D. F. Dong. 2018. Impacts of climate change on
hydropower development and sustainability: A review. IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science 163 (2018) 012126 doi :10.1088/1755-1315/163/1/012126 .
UNEP. 2019a. Environmental Effects and Interactions of Stratospheric Ozone Depletion, UV
Radiation, and Climate Change 2018. Assessment Report. Montreal Protocol on
Substances that Deplete the Ozone Layer, Montreal.
UNEP. 2019b. Emissions Gap Report 2019 November 2019.
Waldvogel, F. A. 2004. Review on infectious diseases in the 21st century: Old challenges and
new opportunities. International Journal of Infectious Diseases,8:5—12. DOI:
10.1016/j.ijid.2003.01.001.
Wigaty L., S. Bakri S., T. Santoso, dan D.W.S.R. Wardani. 2016. Pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap angka kesakitan malaria: Studi di Provinsi Lampung. Jurnal
Sylva Lestari, 4(3): 1–10.
Zhu, Na., D. Zhang, W. Wang, X. Li, B. Yang, J. Song, X. Zhao, B. Huang, W.Shi, R. Lu, P.Niu,
and F. Zan. 2020. A novel coronavirus from patients with pneumonia in China 2019. DOI:
10.1056/NEJMoa2001017
44
LAMPIRAN 1
PERUBAHASN PENGGUNAN LAHAN
45
LAMPIRAN 1: Perubahan Tutupan Lahan per Kabupaten/Kota 2009 sampai 2019
Gambar 1. Distribusi tutupan hutan primer Provinsi tahun 2009 sampai 2019
Gambar 2. Distribusi Proposi Pemukiman Provinsi Lampung tahun 2009 sampai 2019
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
40,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Hutan Primer Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Pemukiman Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat Tanggamus Lampung SelatanLampung Timur Lampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang PesawaranPringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat
46
Gambar 3. Penggunaan Lahan Hutan Rakyat Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Gambar 4. Penggunaan Lahan Pertanian Campuran Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
40,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Hutan Rakyat Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu
0,00%
50,00%
100,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Pertanian Campuran Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu
47
Gambar 5. Penggunaan Lahan Terbuka Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Gambar 6. Penggunaan Lahan Persawahan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
0,00%
2,00%
4,00%
6,00%
8,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Terbuka Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Persawahan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan
Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara
Way Kanan Tulang Bawang Pesawaran
Pringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat
Bandar Lampung Metro
48
Gambar 7 . Penggunaan Lahan Perkebunan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
40,00%
45,00%
50,00%
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Penggunaan Lahan Perkebunan Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran PringsewuMesuji Tulang Bawang Barat
49
LAMPIRAN 2
KEJADIAN PENYAKIT PER KABUPATEN/KOTA
50
LAMPIRAN 2: Penyakit Perkabupaten 2009 sampai 2019
Gambar 1. Jumlah Kejadian Penyakit Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Gambar 2 Jumlah Kejadian Penderita DBD per Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung 2009-2019
0
20
40
60
80
100
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Persentasi Jumlah Penderita Pneumonia Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur
Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang
Pesawaran Pringsewu Mesuji Tulang Bawang Barat
Bandar Lampung Metro
51
Gambar 3. Jumlah Kejadian Penyakit Malaria/10 ribu penduduuk Per Kabupaten di Provinsi
Lampung 2009-2019
Gambar 4. Kejadian Penyakit TB Paru /10 ribu penduduuk Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-
2019
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Persentasi Jumlah Penderita Malaria Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang BawangPesawaran Pringsewu
0,00
20,00
40,00
60,00
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Persentasi Jumlah Penderita TB Paru Per Kabupaten di Provinsi Lampung 2009-2019
Lampung Barat TanggamusLampung Selatan Lampung TimurLampung Tengah Lampung UtaraWay Kanan Tulang Bawang
52
LAMPIRAN 3
OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI PNEUMONIA
53
LAMPIRAN 3 : Outputb Minitab untuk Pneumonia
Outpun Regresi Kejadian pneumonia terhadap temperature, urbanisme wilayah dan tutupa lahan ————— 20/10/2021 09:48:04 ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: [PNE]i,t+2 versus [TEMP]i,t ; [URBAN]i,t; ... (a) The regression equation is
[PNE]i,t+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF] i,t
- 476 [BRLND]i,t - 33,9 [PLNT] i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3[MFARM]i,t
- 36,4 [RICE] i,t
[b] T Test
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -158,130 34,33 -4,61 0,000
[TEMP]i,t 6,806 1,292 5,27 0,000
[URBAN]i,t 4,493 3,452 1,30 0,202
[STWF]i,t 30,280 10,94 2,77 0,009
[POPF] i,t -19,965 9,074 -2,20 0,035
[BRLND] i,t -475,69 98,39 -4,83 0,000
[PLNT]i,t -33,912 8,369 -4,05 0,000
[SETTL]i,t -7,7730 8,111 -0,96 0,345
[MFARM]i,t -22,303 5,823 -3,83 0,001
[RICE]i,t -36,402 7,121 -5,11 0,000
S = 2,48332 R-Sq = 73,8% R-Sq(adj) = 66,4%
[c] Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 554,691 61,632 9,99 0,000
Residual Error 32 197,341 6,167
Total 41 752,032
Source DF Seq SS
[TEMP]i,t 1 36,709
[URBAN]i,t 1 201,291
[STWF]i,t 1 52,856
[POPF]i 1 34,495
[BRLND]i,t 1 25,189
[PLNT] i,t 1 12,201
[SETTL] i,t 1 22,000
[MFARM] i,t 1 8,811
[RICE] i,t 1 161,139
54
LAMPIRAN 4
OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI DBD
55
Lampiran 4
Regression Analysis: [DBD]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ... The regression equation is
[DBD]i = - 35,0 + 2,05 [URBAN]i + 1,21 [TEMP] + 11,7 [STWF]i + 8,51 [POPF]i
+ 29,3 [BRLND]i + 2,08 [PLNT]i + 12,6 [SETTL]i + 4,91 [MFARM]i
+ 21,0 [RICE]i
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -34,97 32,65 -1,07 0,291
[URBAN]i 2,047 4,406 0,46 0,645
[TEMP] 1,213 1,252 0,97 0,339
[STWF]i 11,732 9,806 1,20 0,239
[POPF]i 8,512 7,978 1,07 0,293
[BRLND]i 29,34 87,68 0,33 0,740
[PLNT]i 2,078 7,001 0,30 0,768
[SETTL]i 12,61 10,43 1,21 0,235
[MFARM]i 4,905 4,863 1,01 0,320
[RICE]i 21,05 13,86 1,52 0,138
S = 2,48736 R-Sq = 57,2% R-Sq(adj) = 46,5%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 297,199 33,022 5,34 0,000
Residual Error 36 222,731 6,187
Total 45 519,929
Source DF Seq SS
[URBAN]i 1 226,886
[TEMP] 1 29,278
[STWF]i 1 11,012
[POPF]i 1 4,909
[BRLND]i 1 7,424
[PLNT]i 1 2,646
[SETTL]i 1 0,193
[MFARM]i 1 0,585
[RICE]i 1 14,266
56
LAMPIRAN 5
OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI MALARIA
57
LAMPIRAN 5: Regression Analysis: [MLR]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ...
The regression equation is
[MLR]i = 505 - 6,1 [URBAN]i - 17,0 [TEMP] - 180 [STWF]i + 71,4 [POPF]i
+ 1345 [BRLND]i - 37,6 [PLNT]i + 22,8 [SETTL]i - 61,4 [MFARM]i
- 80,8 [RICE]i
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 505,2 208,5 2,42 0,020
[URBAN]i -6,07 28,93 -0,21 0,835
[TEMP] -16,994 7,741 -2,20 0,034
[STWF]i -179,58 72,49 -2,48 0,017
[POPF]i 71,40 57,31 1,25 0,220
[BRLND]i 1345,4 590,2 2,28 0,028
[PLNT]i -37,55 53,54 -0,70 0,487
[SETTL]i 22,78 91,55 0,25 0,805
[MFARM]i -61,37 38,27 -1,60 0,116
[RICE]i -80,80 57,45 -1,41 0,167
S = 19,5635 R-Sq = 48,9% R-Sq(adj) = 37,7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 15017,2 1668,6 4,36 0,000
Residual Error 41 15691,9 382,7
Total 50 30709,2
Source DF Seq SS
[URBAN]i 1 443,0
[TEMP] 1 852,5
[STWF]i 1 6336,5
[POPF]i 1 89,0
[BRLND]i 1 6054,6
[PLNT]i 1 93,9
[SETTL]i 1 40,7
[MFARM]i 1 349,9
[RICE]i 1 757,0
58
LAMPIRAN 6
OUTPUT MINITAB UNTUK REGRESI TB PARU
59
LAMPIRAN 6: Regression Analysis: [TB]i versus [URBAN]i; [TEMP]; ...
The regression equation is
[TB]i = - 2,7 - 3,83 [URBAN]i + 0,393 [TEMP] - 9,80 [STWF]i + 25,0 [POPF]i
+ 88,8 [BRLND]i - 13,5 [PLNT]i + 9,5 [SETTL]i - 5,81 [MFARM]i
- 0,31 [RICE]i
Predictor Coef SE Coef T P
Constant -2,71 23,64 -0,11 0,909
[URBAN]i -3,826 3,933 -0,97 0,337
[TEMP] 0,3935 0,8751 0,45 0,656
[STWF]i -9,800 8,400 -1,17 0,251
[POPF]i 24,967 7,669 3,26 0,002
[BRLND]i 88,83 66,92 1,33 0,192
[PLNT]i -13,462 6,092 -2,21 0,033
[SETTL]i 9,51 12,65 0,75 0,457
[MFARM]i -5,810 4,285 -1,36 0,183
[RICE]i -0,309 6,883 -0,04 0,964
S = 2,17223 R-Sq = 53,6% R-Sq(adj) = 42,6%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 9 207,281 23,031 4,88 0,000
Residual Error 38 179,307 4,719
Total 47 386,588
Source DF Seq SS
[URBAN]i 1 3,734
[TEMP] 1 7,182
[STWF]i 1 81,099
[POPF]i 1 71,466
[BRLND]i 1 8,194
[PLNT]i 1 21,816
[SETTL]i 1 1,897
[MFARM]i 1 11,885
[RICE]i 1 0,010
60
LAMPIRAN 7
DRAFT PRODUK
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
61
PROSEDUR PENETAPAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN HUTAN RAKYAT SEBAGAI KOMPENSASI DALAM PENURUNAN
KEJADIAN PENYAKIT PNEUMONIA DI BAWAH SKENARIO PEMANASAN GLOBAL
[DRAF HKI]
Oleh:
Dr. Ir. Samsul Bakri, M. Si.
Dr. dr. Betta Kurniawan, S.Ked., M.Kes.
Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si.
Virginia Ramos Br Sitorus, S.Hut.
PROGRAM STRATA 2
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA MULTIDISIPLIN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2021
62
SANWACANA
Alhamdulillah pertama kami rasakan atas selesai panduan ini di bawah kesibukan layanan
akademik maupun layanan administrasi di lingkup tugas-tugas di lingkungan Pascasarjana
maupun di Fakultas Pertanian Unila. Karya ini merupakan salah satu produk dari Hibah Penelitian
Pascasarjana TA 2021. Karya ini diberi judul: “Prosedur Penetapan Nilai Ekonomi Jasa
Lingkungan Hutan Rakyat sebagai Kompensasi dalam Penurunan Kejadian Penyakit Pneumonia
di Bawah Skenario Pemanasan Global” dalam rangka menunjang komitmen Indonesia untuk
menurunkan emisi gas-gas rumah kaca khususnya dalam sektor Land Use, Land Use Change and
Forestry (LULUCF) sesuai dengan Persetujuan Paris yang telah diratifikasi menjadi UU RI
Nomor 16 tahun 2016. Jasa lingkungan hutan terhadap penurunan penyakit infeksi khususnya
pneumonia belum ditemukan penelitiannya. Apalagi untuk hutan rakyat yang sangat efektif dalam
merawat biodiversitas kawasan dibandingkan dengan hutan negara. Karya ini ditujukan untuk
para praktisi dan akademisi yang tertarik pada bidang kajian valuasi ekonomi jasa lingkungan
maupun bidang lain yang terkait. Berkaitan dengan itu kami ucapkan terima kasih atas dukungan
pendanaan oleh LPPM Unila untuk penelitian ini. Demikian pula kepada semua pihak yang telah
banyak memberikan dukungan baik selama pelaksanaan penelitian ini maupun dalam penyusunan
manual ini. Semoga budi baik yang telah Anda berikan kepada kami semoga memperoleh reward
dari Allah SWT. Selain itu kami senantiasa menerima krtitik yang membangun agar karya ini
menjadi banyak manfaat.
Bandar Lampung 20 Oktober 2021
Atas nama tim penulis,
Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si
63
I. PENDAHULUAN
Komitmen Indonesia (National Determined Contribution) sebagai bentuk partisipasi penurunan emisi gas
rumah kaca (GRK) sesuai dengan Paris Agreement 2016 adalah sebesar 26% bila tanpa bantuan LN atau
41% bila dengan skema bantuan LN selama periode 2020-2030. Target ini dipandang sangat ambisius
oleh banyak kalangan terutama sekali untuk sektor Land Use, Land Use Change and Forestry
(LULUCF). Apalagi target dari reboisasi dan rehabilitasi penggunaan lahan sebesar 497 jutaan ton
CO2ekivalen jika tanpa bantuan atau 650 ton CO2ekivalen untuk skema reforestasi tanpa dan dengan bantuan LN
tersebut (KLH, 2017). Sikap skeptis tersebut bisa dipahami karena benefit nilai ekonominya yang bakal
diperoleh belum pernah dikuantifikasikan, apalagi yang menggunakan satuan moneter. Benefit yang
umumnya sudah dikenal dari skema reforestasi adalah nilai ekonomi dari pulihnya sumberdaya air,
peningkatan produksi PLTA dan irigasi, menurunnya frekuensi banjir dan frekuensi kekeringan,
menurunnya erosi dan kelongsoran tanah dsb. Namun dampak pada pulihnya biodiversitas kawasan belum
pernah dikuantifikasikan khususnya sebagai pengendalian penyakit infeksi.
Salah satu penyakit infeksi yang dapat dikendalikan melalui jasa lingkungan yang dibangkitkan oleh hutan
rakyat adalah pneumonia. Adhyaksa et al. (2017) melaporkan bahwa di Provinsi Lampung jika tutupan
hutan ditingkatkan 1% maka insidensi pneumonia akan menurun sebesar 2,97 per 10 ribu penduduk.
Namun temuan itu belum dikaitkan dengan kejadian pemanasan global. Dengan mengkaitkan adanya issue
pemanasan global ini kami buktikan lebih besar yaitu 8,61 kejadian per 10 ribu penduduk untuk tindakan
reforestasi di areal hutan rakyat sebesar 1%. Kecuali itu kami juga dapatkan bahwa setiap ada kenaikan
temperatur udara sebesar 1oC maka pneumonia akan meningkat 0.68 kejadian per 10 ribu penduduk.
Karena itu dengan mengambil referensi biaya perawatan per pasien seperti yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Layanan Kesehatan dan Program Jaminan Sosial
maka reforestasi di hutan rakyat dapat dihitung kontribusinya pada penghindaran pengeluaran untuk biaya
perawatan pneumonia akibat pemanasan global. Nilai ekonomi ini tidak lain merupakan ukuran nilai
ekonomi jasa lingkungan hutan khususnya hutan rakyat. Dengan begitu pula maka kontribusi nilai ekonomi
ini dapat merupakan suatu produk benefit lain (by product) dari program REDD++ di bawah skema Paris
Agreement. Valuasi ekonomi ini juga dapat digunakan untuk penyakit infeksi yang lain seperti DBD, TB
paru, dan malaria.
64
II. PROSEDUR KERJA
[A] Mengembangkan Model
Pengembangan model dimulai dengan pemilihan postulat model, preparasi data, optimasi
parameter model sampai memperoleh yang cocok dan robust. Untuk itu diperlukan MS Office
dan Minitab 16.
A.1 Tahap Memilih Postulat Model
Ordinary Least Squaqre Model (OLS) dipilih untuk dipergunakan sebagai dasar
penetapan kenaikan kejadian penyakit pneumonia adalah hasil riset yang telah
diuji mempunyai validitas yang tinggi.
[PNE]it+2 = β0 + β1 [TEMP]i,t + β2 [URBAN]i,t + β3 [STWF]i,t + β4 [POPF]i,t + β5 [BRLND]i,t
+ β6 [PLNT]i,t + β7 [SETTL]i,t + β8 [MFARM]i,t + β9 [RICE]i,t + ξi,t
Keterangan: [PNE]i, t +2 : Kejadian Pneumonia di kabupaten/kota ke i pada tahun data
[TEMP]i,t : Temperatur udara rata-rata tahunan di wilayah kab/kota ke i
[URBAN]i,t : Tingkat urbanisme wilayah ke i, diberi skor =1 jika kota, =0 jika
kabupaten
[STWF]i,t : % luasan hutan negara pada kabupaten/kota ke i tahun ke t
[POPL]i,t : % luasan hutan rakyat kabupaten/kota ke i tahun ke t
[BRLND]i,t : % luasan lahan terbuka pada kabupaten/kota ke i tahun ke t
[MFARM]i,t : % luasan pertanian intensif (campuran) kabupaten/kota ke i tahun ke
t
[SETTL]i,t : % luasan pemukiman pada kabupaten/kota ke i tahun ke t
[RICE]i,t : % luasan sawah pada kabupaten/kota ke i pada tahun ke t
ξ : Error
65
A.2 Tahap Preparasi Data
Dengan berfokus pada Gambar 1 berikut urutan entri data dengan urutan [1] sampai [13].
Gambar 1. Lembar Kerja untuk entri data menggunakan format Excell
Urutannya:
[1] Isikan mulai pada Cell A3 ke bawah nama kabupaten ke 1 sampai ke n.
[2] Isikan tahun pengamatan data tutupan lahan. Disarankan menggunakan
selang tahun data penggunaan lahan 2 sampai 4 tahun agar diperoleh
perbedaan perubahan luasan yang cukup.
[3] Di bawah [PNE]i, t+2 pada Cell C3 terus ke bawah isikan kejadian penyakit pada
dengan selisih 2 tahun lebih muda dari pada tahun data penggunaan lahan.
Catatan: Hal ini berarti ada tenggat waktu (time lagg) untuk proses
berpengaruhnya penggunaan lahan terhadap kejadian penyakit di setiap
kabupaten/kota yang ada dalam provinsi yang diteliti.
[4] Dibawah [TEM]i,t, pada Cell D3 ke bawah masukkan nilai rata-rata temperatur
di masing-masing kabupten/kota ke i tahun yang ke t atau yang simbolkan.
[5] Di bawah [URBN]i,t.pada Cell E3 isikan angka 1 jika status urbanisme sebagai
kota, atau 0 jika statusnya kabupaten.
[6] Di bawah [STWF]i,t pada ada Cell F3 ke bawah isikan data % luasan hutan
negara untuk masing-masing kabupaten/kota.
[7] [7] Di bawah [POPF]i,t pada ada Cell G3 ke bawah isikan data % luasan hutan
rakyat untuk masing-masing kabupaten/kota.
66
[8] Di bawah [BRLND]i,t pada ada Cell H3 ke bawah isikan data % luasan tanah
gundul untuk masing-masing kabupaten/kota.
[9] Di bawah [PLNT]i,t pada ada Cell I3 ke bawah isikan data % luasan perkebunan
untuk masing-masing kabupaten/kota.
[10] Di bawah [SETTL]i,t pada ada Cell J3 ke bawah isikan data % luasan pemukiman
untuk masing-masing kabupaten/kota.
[12] Di bawah [MFARM]i,t pada ada Cell K3 ke bawah isikan data % luasan
pertanian campuran untuk masing-masing kabupaten/kota.
[13] Di bawah [RICE]i,t pada ada Cell L3 ke bawah isikan data % luasan sawah untuk
masing-masing kabupaten/kota.
A.3 Tahap Optimasi Penetapan Parameter Model
Pada tahap ini memerlukan file data yang telah diisi tersebut dalam format Excell. Untuk itu
maka dipergunakan dari penelitian yang telah dilakukan.
Urutan:
[1] Siapkan data hasil pengukuran seperti pada Tabel 1.
[2] Lakukan drag data Tabel 1, tetapi hanya bagian khusus mulai dari posisi kurson di
[PNE]i,t+2 drag ke kanan sampai ke posisi yaitu seperti pada Gambar 2 berikut di posisi
[RICE]i+t , lalu tahan kursor dan lanjutkan drag ke kawah sampai pada data terakhir yaitu
Cell N56. Lalu kursor arahkan ke Copy.
[3] Bukalah WorkSheet Minitab Versi 16 atau versi yang lebih tinggi.
Tabel 1. Contoh Data Hasil Riset
67
[4] Pada Worksheet Minitab letakkan kursor pada Cell di bawah C1 akan didapat Gambar 2.
Gambar 2. Worksheet Minitab 16.
[5] Lalu klik kanan dan arahkan kursor pada Menu Paste Cells atau CTRL+V (Gambar 3).
68
Gambar 3. Pilih Paste Cells untuk mengcopi data dari File Excell ke
Worksheet Minitab 16.
[6] Klik kanan pada Paste Cells. Akan muncul tampilan Gambar 4 berikut.
Gambar 4. Data yang siap running untuk optimasi parameter model
[7] Pilih Stat→Regression→Regression akan mucul tampilan Gambar
69
Gambar 5. Melakukan Running OLS (Ordinary Leasat Square)
[8] Pilih Stat, klik kanan →Pilih Regression → Pilih Regression di dalam Dialog Box, klik
kanan, maka akan didapat tampilan seperti Gambar 6.
Gambar 6. Dialog Box untuk regresi Ordinary Least Square (OLS)
[9] Pada menu Response pilih [PNE]i,t+2 dan klik Select. Lalu pada menu Pridictor 9 variabel
lainnya mulai dari [TEMP]i,t sampai [RICE]i,t. Lalu klik Select. Akan diperoleh tampilan
pada Gambar 7.
70
Gambar 7. Dilaog Box sudah terisi. Siap running
[10] Klik OK maka akan diperoleh hasil berupa: (a) Persamaan Regresi (b) Uji T, dan (c)
Analyisis of Variance.
[PNE]it+2 = - 158 + 6,81 [TEMP]i,t + 4,49 [URBAN]i,t + 30,3 [STWF]i,t - 20,0 [POPF]i,t
- 476 [BRLND]i,t - 33,9 [PLNT]i,t - 7,77 [SETTL]i,t - 22,3 [MFARM]i,t - 36,4 [RICE]i,t
[B] Pengembangan Skenario Mitigasi terhadap Dampak Pemanasan Global:
Kasus di Provinsi Lampung
B.1 Tahap Pemeriksaan parameter yang berpengaruh nyata dan relevan untuk mitigasi
71
Untuk ini dapat diperiksa hasil Uji T sebagai fasilitas yang memberi petunjuk yang sahih, maka
periksalah Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil optimasi parameter model (Uji T)
Prediktor Simbol βn= Coef. SE Coef. T P
Constant - β0= -58.130 34.33 -4,61 0,000
Temperatur Udara [TEMP] β1= 6. 806 1. 292 5. 27 0. 000
Urbanisme [URBAN] β2= 4. 493 3. 452 1. 30 0. 202
Hutan Negara [STWF] β3= 30. 28 10. 94 2. 77 0. 009
Hutan Rakyat [POPF] β4= -9. 97 9. 074 -2. 20 0. 035
Lahan Gundul [BRLND] β5= -75. 69 98. 39 -4. 83 0. 000
Perkebunan [PLTN] β6= -3. 91 8. 369 -4. 05 0. 000
Pemukiman [SETTL] β7= -7. 77 8. 111 -0. 96 0. 345
Pertanian Campuran [MFARM β8= -2. 30 5. 823 -3. 83 0. 001
Sawah [RICE] β9= 36. 40 7. 121 -5. 11 0. 000
Sumber: Hasil Penelitian (2021)
B.2 Tahap Memilih Variabel untuk Simulasi
Pilih variabel temperatur [TEMP] dan hutan rakyat [POPL] masing-masing mempunyai pengaruh
nyata terhadap insidensi pneumonia [PNE] dan relevan untuk menetapkan valuasi ekonomi jasa
lingkungan. Variabel temperatur [TEMP] mempunyai β1=6.806 P-value =0.000. Sedangan
untuk varibel hutan rakyat [POPL] mempunyai β1=-19.97 dengan P-value = 0.035.
B.3 Tahap Simulasi Kenaikan Penderita Pneumonia dan Biaya Perawatan
Urutan:
[1] Perhatikan makna dari β1=6.806 tersebut, berarti bahwa setiap ada kenaikan temperatur rata-
rata tahunan sebesar 1oC maka secara rata-rata pneumonia akan meningkat 6.806 kejadian
per 10 ribu penduduk. Jika Penduduk Provinsi Lampung, sebagai tempat yang dikaji, sekitar
8.85 juta jiwa (BPS, 2021), maka:
[2] Tetapkan besarnya kenaikan intensitas dan jumlah pasien penderita pneumonia per kenaikan
suhu 0.25oC sampai batas mencapai batas atas pemasan global yaitu 2.00oC.
[3] Jika berdasarkan Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 rata-rata biaya perawatan per pasien
selama rata-rata lama perawatan adalah sekitar Rp 4,399,633 maka hitung pula korbanan nilai
ekonomi per kenaikan suhu tersebut.
Tabel 3. Hasil simulasi pengaruh kenaikan suhu terhadap kenaikan intensitas dan jumlah
penederita pneumonia
72
No
Skenario
Kenaikan
Suhu
Kenaikan
Pneumonia
Total Kejadian
Pneumonia
Total Kenaikan
Biaya Perawatan
oC Orang/per 10 Ribu
Penduduk Orang
Rp Juta
1 0.25 1.7 1,507 6,629
2 0.50 3.4 3,013 13,258
3 0.75 5.1 4,520 19,887
4 1.00 6.8 6,027 26,516
5 1.25 8.5 7,534 33,145
6 1.50 10.2 9,040 39,774
7 1.75 11.9 10,547 46,403
8 2.00 13.6 12,054 53,032
B.4 Tahap Simulasi Kebutuhan Mitigasi via Reforestasi Hutan Rakyat dan Nilai
Ekonominya
Untuk meniadakan kenaikan peneumonia oleh tiap kenaikan suhu diperlukan luasan [POPL]
sebesar dapat dihitung menggunakan jika biaya reforestasi di hutan rakyat memerlukan biaya
sekitar Rp 58 juta maka kebutuhan luasan reforestasi bedasarkan
dengan jumlah penduduk 8,850,000 jiwa; luas provinsi 3,537,600 ha; biaya perawatan Rp4.4
juta/pasien (Permenkes No.52/2016) dan biaya reforestasi Rp 58 juta/ha maka pada Tabel 4 dapat
ditentukan nilai ekonomi jasa lingkungan hutan rakyat dalam meniadakan dampak kenaikan
pneumonia akibat pemanasan global.
Sumber: Hasil penelitian (2021)
B. 5 Tahap Kesimpulan
Dengan mengambil studi kasus di Provinsi Lampung dapat disimpulkan bahwa Untuk
meniadakan (negating) kenaikan insidensi penyakit tersebut agar dapat kembali ke level semula
(BAU) maka diperlukan mitigasi melalui reforestasi di hutan rakyat sekitar 0.68 % dari luas
provinsi ini jika terjadi kenaikan suhu atmosfer tahunan rata-rata 2.0oC, yang memerlukan alokasi
biaya publik sekitar Rp140,292,848 juta yang merupakan biaya tambahan perawatan atas total
kenaikan penderita pneumonia yaitu sekitar Rp 53,054 juta dan selebihnya dengan biaya untuk
melakukan reforestasi di hutan rakyat seluas 2,413,329 ha.
73
V. PENUTUP
Prosedur valuasi ini diyakini sangat berguna dalam rangka membantu melakukan MRV ketika
Indonesia mulai melaksankan komitmen penurunan emisi gas rumah kca di sektor LULUCF
(Land Use, Land Use Change, and Forestry). Optimisme ini dikuatkan oleh relatif mudahnya
dalam akuisisi data input maupun piranti lunak sehari-hari lazim digunakan. Data input yang
digunakan mudah diakses dengan mengunjungi ke situs NASA (www.usgs.glovis) untuk
mengunduh citra satelit mulai dari rekeman pada dekade 1970-an hingga yang terkini. Demikina
pula dengan data iklim, data insidensi penyakit, dan data biaya perawatan. Lebih dari itu juga
dengan piranti lunak ArchGIS 10.3 dan Envi 5.4 yang gratis untuk interpretasi citra satelit, selain piranti
lunak MS Office dan Minitab. Dengan demikian buku pedomenan ini diharapkan akan banyak
memperoleh sambutan dari para praktisi dan akademisi untuk diterapkan di lapangan.
74
DAFTAR PUSTAKA
Adhyaksa, A., Bakri, S., dan Santoso, T. 2017. Pengaruh Tutupan Lahan Terhadap Insidensi
Pneumonia Pada Balita Di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 5(1): 26-34.
Bakri, S., B. Kurniawan, Dan A. Setiawan. 2021. Penetapan nilai reduksi biaya perawatan
penyakit DBD, TB paru, malaria dan pneumonia sebagai insentif reforestasi dalam rangka
penurunan emisi gas rumah kaca: Pengembangan metode evaluasi ekonomi jasan
lingkungan bagi kesehatan masyarakat. Laporan Hibah Penelitian Pascasarjana, LPPM
Unila. Tidak dipublikasi.
Kusumedi, P. dan N.A. Jariyah. 2010. Financial analysis of agroforestry management with sengon
cardamom pattern in tirip Village, Wadaslintang District, Wonosobo Regency. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 (2):93-100
Permenkes Nomor 52 Tahun 2016. Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan. Kemenkes RI. Jakarta.