Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT)...

35
157 Bab 7 Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok Rokok termasuk salah satu Barang Kena Cukai (BKC) karena sifat dan karateristiknya. Penentuan barang kena cukai untuk setiap negara berbeda-beda. Rokok memang merupakan barang kena cukai di berbagai negara, tetapi selain rokok yang termasuk barang kena cukai sangat berbeda. Misalnya minyak wangi (parfum); tobacco; recreasional machine; hunting guns; cologne; jewelry; previous metal product; luxury camera; luxury watch; luxury furniture dan lain- lainnya merupakan barang-barang yang termasuk BKC di Korea Selatan. Philipina menetapkan BKC sebagai berikut: Lubricating oil dan greased; processed gas; waxes dan petroleum; aviation turbo jet diesel; diesel fuel oil; leaded dan unleaded premium; liquefied petroleum gas, bunker fuel oil. Kemudian Malaysia menetapkan BKC sebagai berikut: Tobacco product; alcoholic beverage; playing cards, mahyong tiles; diesel dan motor vehicles. Untuk Singapore, barang- barang yang ditentukan BKC antara lain: tobacco; alcoholic beverage; leaded dan unleaded gasoline; vehicle; tobacco product. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 1995 Jo UU Nomor 39 tahun 2007 ditetapkan BKC adalah etil alkohol/etanol (EA), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), hasil tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Pengenaan cukai pada barang kena cukai menurut Undang- Undang Nomor 11 tahun 1995 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 karena:

Transcript of Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT)...

Page 1: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

157

Bab 7

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

Rokok termasuk salah satu Barang Kena Cukai (BKC) karena sifat dan karateristiknya. Penentuan barang kena cukai untuk setiap negara berbeda-beda. Rokok memang merupakan barang kena cukai di berbagai negara, tetapi selain rokok yang termasuk barang kena cukai sangat berbeda. Misalnya minyak wangi (parfum); tobacco; recreasional machine; hunting guns; cologne; jewelry; previous metal product; luxury camera; luxury watch; luxury furniture dan lain-lainnya merupakan barang-barang yang termasuk BKC di Korea Selatan. Philipina menetapkan BKC sebagai berikut: Lubricating oil dan greased; processed gas; waxes dan petroleum; aviation turbo jet diesel; diesel fuel oil; leaded dan unleaded premium; liquefied petroleum gas, bunker fuel oil. Kemudian Malaysia menetapkan BKC sebagai berikut: Tobacco product; alcoholic beverage; playing cards, mahyong tiles; diesel dan motor vehicles. Untuk Singapore, barang-barang yang ditentukan BKC antara lain: tobacco; alcoholic beverage; leaded dan unleaded gasoline; vehicle; tobacco product. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 1995 Jo UU Nomor 39 tahun 2007 ditetapkan BKC adalah etil alkohol/etanol (EA), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), hasil tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Pengenaan cukai pada barang kena cukai menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 karena:

Page 2: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

158

a. Barang tersebut mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan;

b. Peredarannya perlu diawasi; c. Pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau

lingkungan hidup: d. Pemakainannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan

dan keseimbangan.

Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok, diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai diimplementasikan sampai saat ini, terdiri dari perubahan jenis tarif, peningkatan tarif dan pemberlakuan tarif tunggal.

Pada bab ini dipaparkan kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok pada bagian pertama; respon industri pada bagian kedua; kebijakan IHT dan munculnya rokok ”illegal” pada bagian tiga

Kebijakan IHT Rokok Kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok khususnya

dikelompokan menjadi kebijakan cukai dan kebijakan non cukai. Kebijakan cukai mulai dari pendirian pabrik baru, perijinan sebagai pengusaha kena cukai, pengajuan pita cukai, persyaratan harga jual eceran, perubahan layer pajak cukai, kenaikan tarif cukai dan tarif tunggal yang segera akan dilaksanakan pada tahun 2014. Kebijakan non cukai, antara lain adalah persyaratan lokasi usaha, roadmap serta kebijakan pengembalian dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) bagi daerah penghasil cukai.

Kebijakan yang berkaitan dengan cukai

Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai, menyiratkan aturan bagi pengajuan pabrik baru dapat dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan. Persyaratan berlaku bagi pabrik

Page 3: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

159

yang baru pertama kali diajukan ijinnya, pabrik lama yang pernah beroperasi dan mati, atau pabrik lama yang mengalami alih kepemilikan. Bagi pabrik baru, persyaratan meliputi perijinan sebagai pengusaha barang kena cukai (BKC) berbeda dengan usaha pada umumnya, terdiri dari perijinan usaha dan perijinan untuk memperoleh pita cukai. Perijinan usaha harus memenuhi persyaratan seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha atau industri, KTP, Kartu Keluarga (KK), Akte Pendirian, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dan ijin gangguan (HO) terhadap lingkungan karena rokok menimbulkan dampak terhadap lingkungan (bau dan polusi lain). Perijinan diurus di Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (KPPT) Pemerintah Kabupaten atau Kota. Selanjutnya semua persyaratan tersebut digunakan untuk memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pengusaha rokok dianggap sah jika telah memiliki NPPBKC tersebut selanjutnya memiliki hak untuk mengajukan permohonan pita cukai sebagai bagian dari kewajiban pajak yang harus disetor kepada negara oleh konsumen melalui pengusaha.

Pengajuan ijin sebagai pabrik baru yang sebelumnya pernah beroperasi juga banyak dilakukan. Sejak dilakukan intensifikasi pajak cukai rokok terjadi kebangkrutan pabrik skala rumahan dan kecil (golongan III). Sehingga jika suatu saat pengusaha berminat untuk berusaha kembali harus mengikuti prosedur awal dan persyaratan sebagai pengusaha rokok baru. Pada tahun 2010, banyak pabrik rokok yang beralih kepemilikan. Pabrik yang “menyerah” dan hampir mati beralih kepemilikan dengan cara dibeli oleh pabrik besar. Pemilik pabrik baru adalah pabrik besar yang melakukan ekspansi dengan cara pembelian pabrik yang akan mati dan juga mendirikan pabrik baru. Sesuai dengan Undang-Undang Cukai No 11 tahun 1995 yang diubah menjadi Undang Undang Cukai No 39 Tahun 2007, selama memenuhi persyaratan maka pabrik rokok baru yang mengajukan ijin diperbolehkan. Sejak tahun 2008 sampai saat ini (2013), jumlah pabrik rokok yang beralih kepemilikan mencapai lebih dari 25 buah. Pendirian pabrik baru terus terjadi.

Page 4: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

160

Pengajuan pita cukai. Persyaratan bagi pengusaha untuk mendapatkan pita cukai di samping Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), juga data kondisi perusahaan (produksi, tenaga kerja, penggunaan pita cukai) yang harus dilaporkan secara rutin pada tanggal 1 dan 15 setiap bulannya. Kondisi dan kinerja perusahaan selama tiga (3) bulan berturut-turut akan menjadi acuan untuk menerbitkan pita cukai.

Pengajuan pita cukai dengan dua macam prosedur, online dan manual. Persyaratan dokumen harus dipenuhi sebagai suatu proses sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-29/BC/2009 Tentang Perubahan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 16/BC/2008 Tentang Penyediaan dan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau, yang memuat Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C), tata cara penyediaan pita cukai hasil tembakau, dan tata cara pemesanannya.

Pengusaha mengajukan pemesanan pita cukai ke KPPBC sesuai dengan persyaratan dan berdasarkan: a. Eksistensi perusahaan, di dalamnya termasuk perijinan, lokasi dan sebagainya; b. kapasitas produksi, alat produksi yang digunakan dan jumlah karyawan; c. pembukuan atau pencatatan, serta pelaporan produksi hasil tembakau sesuai ketentuan.

Pita cukai yang boleh ditebus setiap pengambilan maksimal sepertiga jumlah pita cukai yang menjadi haknya. Sekalipun jumlah dan jenis pita ditentukan melalui pengajuan dan persetujuan sesuai dengan golongannya. Tetapi ada fasilitas bagi PR yang meningkat jumlah produknya sehingga golongan bisa meningkat. Dalam hal ini dapat mengajukan tambahan jumlah pita cukai yang diajukan dengan formulir P3C, yaitu Permintaan Pengajuan Pita Cukai yang diajukan ke Pusat. Ajuan tambahan maksimal 50 persen dari pesanan awal, tetapi ijin yang diberikan oleh Dirjen Bea dan Cukai tidak dibatasi dalam arti keputusan diserahkan sepenuhnya kepada Dirjen Bea dan Cukai. Ajuan maksimal tanggal 10 pada setiap bulannya. Kemungkinan turun juga bisa terjadi, tetapi perubahan pengajuan jumlah pita cukai bagi PR

Page 5: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

161

yang jumlah produknya turun, misalnya golongan III hanya 200 juta batang, maka harus menunggu sampai 1 tahun.

Pita cukai terdiri dari tiga (3) jenis, yaitu seri 1, seri 2, dan seri 3. Seri 1 bentuknya panjang, dengan jumlah per lembar sebanyak 120 pita. Untuk seri 2, untuk cerutu bentuknya lebih besar, 1 lembar terdiri dari 46 pita. Sedangkan seri 3, 1 lembar terdiri dari 46 pita. Penggunaan pita cukai, pada umumnya seri 1 untuk rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan rokok klobot. Seri 3 untuk Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Penggunaan pita cukai juga disesuaikan dengan golongan PR 1, 2, dan 3, baik yang mengandung PPn maupun Non PPn. Dalam kerangka pencegahan pemakaian pita cukai palsu, maka di dalam pita cukai tercantum nama pabrik, khususnya untuk rokok golongan 3 SKT dan SKM golongan 2 yang disebut personalisasi. Personalisasi baru ditetapkan pada pita cukai tahun 2010.

Kelonggaran Pembayaran Pita Cukai. Surat Edaran Nomor 11/BC/2008, mengatur tentang pemberian penundaan pembayaran cukai atas pemesanan pita cukai hasil tembakau. Dalam surat edaran tersebut tidak dibatasi pada golongan yang mana boleh mendapatkan fasilitasi tersebut. Tetapi dalam praktiknya hanya pabrik rokok (PR) besar yang mendapatkan fasilitas tersebut.

Persyaratan Harga Jual Eceran (HJE).Pemenkeu Nomor 167/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Harga Dasar dan tarif cukai (pasal 5) menegaskan bahwa pengusaha dan importir dilarang menurunkan Harga Jual Eceran (HJE) yang masih berlaku. Harga Jual Eceran (HJE) menjadi patokan pertama untuk menentukan besaran cukai yang harus dibayar.

Kenaikan Tarif Cukai. Kenaikan tarif cukai tidak dapat dilepaskan dengan semakin beratnya beban perusahaan atau industri terkait dengan biaya baik dalam proses produksi maupun biaya non produksi dan menyebabkan HJE semakin tinggi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah penjualan. Pengusaha harus menetapkan terlebih dahulu berapa HJE rokok untuk dapat ditetapkan pajaknya.

Page 6: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

162

HJE menjadi patokan untuk menghitung besarnya cukai yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha. Kemasan rokok juga berbeda sesuai dengan jenis dan merk rokok, yaitu 10, 12, 16, 20, dan 50 batang. Isi batang pada kemasan menentukan maksimal Harga Jual Eceran (HJE). Sekalipun jumlah total produksi sulit diidentifikasi, tetapi besaran cukai yang ditargetkan untuk diterima pemerintah dapat dihitung.

Setiap pabrik rokok atau industri (PR) hanya memiliki satu nama pabrik, yang tercantum dalam Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPBKC). Tetapi dalam satu pabrik dibenarkan memproduksi bermacam-macam merek rokok. Sehingga memerlukan pencatatan yang cermat dan informatif. Sejak tahun 2008, kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus mengubah sistem pencatatan manual menjadi berbasis Informasi dan Teknologi (IT). Untuk mencegah pemalsuan, tahun 2009 pada rokok golongan III dilakukan personalisasi cukai, yaitu mencantumkan nama pabrik pada pita cukai. Fakta ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan teknologi dan informasi, sebagai basis perusahaan modern lebih meningkatkan efektifitas kinerja dan bukan formalitas usaha dan kelembagaannya.

Biaya cukai yang harus dibayarkan pada pabrik golongan III. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1990/PMK.011/2010 menetapkan Sigaret Kretek Mesin (SKM), menggunakan pita cukai Seri 1-3 dengan tarif cukai 12,4 persen Harga Jual Eceran (HJE).Untuk yang memiliki fasilitas PPn mendapat jatah cukai sebanyak 8 rim per tahun dengan tarif 8,4 persen. Sedangkan Non PPn 1600 lembar per 3 rim, 1 rim berisi 500 lembar. Kenaikan cukai pada tahun 2010 sebesar 62,5 persen untuk golongan III, dan 18 persen untuk PR besar yang akan menambah biaya produksi. Sejak 1 Januari 2012, ditetapkan tarif cukai baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.011/2011 dengan penyederhanaan kelompok tarif menjadi 2 golongan untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan 3 golongan untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT). Kenaikan tarif cukai rata-rata mencapai 16,3 persen atau dengan nominal Rp.10,- sampai Rp. 70,- per batang

Page 7: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

163

rokok kali Harga Jual Eceran (HJE). Sesuai dengan golongan pabrik tarif cukai akan bervariasi kenaikannya, untuk harga tertinggi SKT dan Sigaret Putih Tangan (SPT), HJE lebih dari Rp. 590,- per batang dengan kenaikan cukai 51,1 persen dari Rp. 235,- menjadi Rp. 355,- per batang. Sementara harga terendah HJE berkisar Rp. 550,- sampai Rp.590,-per batang cukainya naik 8,5 persen dari Rp.180,- menjadi Rp. 195,- per batang.

Besarnya cukai yang harus dibayarkan pengusaha kepada pemerintah, menyesuaikan dengan klasifikasi pabrik rokok (PR), jumlah produksi maksimal dan HJE. Perubahan klasifikasi PR dialami khususnya untuk golongan III, PPn dengan produksi maksimal 500 juta pada tahun 2008, menjadi 400 juta sebelum diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.011/2011 pada 1 januari 2012 dan sebanyak 300 juta batang mulai 1 Januari 2012. Jika diasumsikan hari produksi selama 350 hari setahun, maka produksi dalam 1 hari adalah 830.000 batang. Atau dalam ukuran bal, 830.000 : 240 = 345 bal; 1 bal = 200 pak; 1 pak = 12 batang rokok. Cukai yang digunakan setiap 1 rim dapat digunakan untuk 300 bal. Maka cukai yang dibayarkan setiap hari, sebagai berikut:

Jadi cukai yang harus dibayarkan oleh pabrik kecil golongan 3

dengan kapasitas produksi maksimal 300 juta batang dalam setahun sebesar Rp. 71.800.000,-

Penentuan HJE seharusnya berdasarkan pertimbangan harga pokok produksi (HPP), tetapi seperti pada umumnya UMKM di Indonesia yang tidak menggunakan dasar perhitungan biaya produksi dengan benar untuk menentukan harga jual produk, karena lebih kepada harga realitas di lapangan sama atau lebih rendah dengan harga pesaing.

Harga Jual Eceran (HJE) sesuai bandrol Rp.3350,- = 1198 x 120 lembar x 500 lembar PPn (8,4 persen) = Rp.71.800.000,-

Page 8: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

164

Perhitungan biaya produksi per batang rokok berdasarkan pengakuan pengusaha (karena tidak memiliki catatan), sebagai berikut:

Tembakau siap giling 1 kg = Rp. 50.000,- (paling mahal, rata-rata Rp. 20.000,-) menjadi rokok sebanyak 500 batang (dengan tangan-SKT).

Sehingga biaya 1 batang rokok : Rp. 100,0 kertas rokok (100 lembar = Rp.3.500,-) untuk 1 batang : Rp 3,5 Bungkus plastik dalam (OPP dalam) : Rp. 15,0 Slop dan Pres per buah : Rp. 170,0 Bungkus plastik luar (OPP luar), : Rp. 15,0 Jumlah : Rp. 303,5 Cukai : Rp. 75,0

-------------------------------------------------------------------+ Jumlah biaya per batang rokok : Rp. 378,5 (belum termasuk pembelian lem, bayar listrik, tenaga kerja, dan sebagainya).

Biaya produksi satu pak rokok berisi 12 batang= 12 x Rp.378,50 = Rp. 4.542,- Harga Jual Eceran (HJE) 1 pak berisi 12 batang (harga bandrol) Rp. 3.350,- Harga jual sampai konsumen Rp. 3000,-. HJE terdiri dari harga pokok produksi, meliputi biaya produksi, keuntungan pabrik dan keuntungan retail (penjual eceran) ditambah pajak yang terdiri dari pajak advalorem, pajak spesifik, dan PPn. Harga konsumen adalah sebesar 68,4 – 99,5 persen dari harga banderol.

Perhitungan biaya produksi tersebut belum menghitung biaya untuk kelengkapan kerja seperti lem, tenaga kerja, listrik, air, bahan bakar bensin, distribusi, dan promosi. Untuk listrik dan air susah dipisahkan karena menjadi satu dengan keperluan rumah tangga. Harga jual rokok di bawah Harga Jual Eceran (HJE) atau bandrol yang tertulis dalam kemasan rokok. Sehingga kalau hitungan Harga Pokok Produksi rokok sedemikian rupa, maka pengusaha rokok golongan III

Page 9: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

165

tidak beroperasi secara efisien, sama seperti UMKM produk lain pada umumnya.

Pabrik Rokok “BM” (golongan III) dalam operasional tenaga kerja yang digunakan pabriknya, sekali produksi setiap hari untuk membungkus sampai menjadi bal sebanyak 6 orang; nyonthong 6 orang; giling 12 orang. “Giling” atau ”linting”, “bathil”, “sortir”, “nyonthong”, “nyelop”, biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja wanita secara berpasangan terdiri dari 4 orang dengan upah borongan. Upah giling/linting lebih tinggi dibanding lainnya. Biaya yang dikeluarkan untuk sekali produksi : Giling, 1 batang ;Rp.9,- ; Packing 1 bal : 200 pak, 1 pak Rp. 40,-“Giling” atau ”linting”, dengan jam kerja dari pukul 06.00 sampai pukul 17.00 WIB dengan upah Rp. 9.000,-/1000 batang. “Ngepak” (nyonthong, nyelop, ngepak, sampai dengan bal): 1 orang untuk 4 bal; 1 bal 200 pak. Dalam satu hari biaya untuk “bathil” dan “giling” (minimal) Rp. 64.000,- atau tergantung produksi. Perincian untuk “bathil” Rp. 25.000,- dan “giling” Rp.39.000,- Karena pekerjaan bathil dan giling dilakukan secara berkelompok yang ditentukan sendiri oleh pekerja. Tenaga laki-laki bagian distribusi dan proses pengolahan tembakau yang siap dilinting. Tenaga kerja laki-laki mengerjakan pekerjaan di luar produksi satu hari rata-rata menerima upah pokok Rp. 30.000,- mulai pukul 06.00-17.00 WIB dan uang makan Rp, 5.000,- Insentif THR, wanita minimal Rp. 150.000,- dan untuk pekerja laki-laki Rp. 200.000,- ditambah baju. Pada akhir tahun 2009 memproduksi 1,5 ton dengan 20 persennya adalah campuran, sehingga keuntungan baru bisa dihitung dengan jumlah produksi tertentu dan harus dihitung dengan benar, memperhitungkan biaya yang riil dikeluarkan.

Pengusaha golongan tiga (3) khususnya, tidak selalu dalam kondisi untung. Keuntungan lainnya dapat diperoleh dari sumber lain yang berasal dari limbah produksinya, semua limbah dapat digunakan atau ada yang memanfaatkan. Jika dalam jumlah banyak dijual, tetapi kalau jumlahnya sedikit hanya diberikan cuma-cuma. Misalnya batang tembakau untuk membakar batu bata; jengkok adalah limbah

Page 10: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

166

tembakau beraroma yang tidak digunakan dapat untuk pupuk. Sak dan bungkus tembakau digunakan untuk membakar genting.

Kebijakan peningkatan tarif cukai dan HJE bagi pabrik rokok kecil dipandang sebagai upaya pemerintah lebih untuk membinasakan daripada untuk membina keberadaannya. Pada tahun 2007 pemerintah mulai memberlakukan cukai spesifik per batang sebagai tambahan dari cukai advalorem masing-masing Rp. 7,- untuk industri besar,Rp.5,- untuk industri sedang, dan Rp.3,- untuk industri kecil. Terhitung mulai 1 Januari 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru menurunkan cukai advalorem dan meningkatkan cukai spesifik menjadi Rp.35,- per batang untuk semua jenis produksi menurut golongan pabrik, kecuali Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan III sebesar Rp.30,- per batang. Industri rokok juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 8,4 persen.

Kebijakan Non Cukai.

Persyaratan lokasi pabrik merupakan kebijakan IHT rokok yang tidak terkait langsung dengan cukai rokok. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 (Bab 3 pasal 25 ayat 1 dan pasal 27) Tentang Persyaratan Lokasi Usaha, menetapkan lokasi bangunan yang akan digunakan sebagai tempat usaha atau pabrik Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok, sebagai berikut:

“dilarang berhubungan langsung dengan pabrik lainnya, tempat penyimpanan pembuatan hasil tembakau di luar pabrik; dilarang berhubungan langsung dengan rumah tinggal, atau tempat penjualan eceran barang kena cukai, harus berbatasan langsung dengan jalan umum, kecuali yang lokasinya dalam kawasan industri. Memiliki luas bangunan paling rendah 200 m2”.

Dilihat dari sejarah usaha, maka awal usaha atau industri rokok merupakan usaha rumah tangga dan tidak secara khusus mendirikan pabrik rokok. Awalnya banyak pengusaha dengan maksud “coba-coba”

Page 11: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

167

merintis usaha rokok menggunakan sumber daya yang ada dan dengan tidak secara khusus menyiapkan tempat khusus sebagai pabrik, atau memisahkan antara tempat usaha dengan fasilitas pabrik lainnya.

Roadmap IHT Rokok. Roadmap IHT rokok disusun sebagai kegiatan yang menekankan pembinaan rokok sesuai dengan kewenangan Departemen Perindustrian. Industri rokok dikembangkan lebih pada pertimbangan ekonomi dengan tidak mengabaikan aspek kesehatan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, pembangunan sektor industri diarahkan untuk:

a. Memperkuat dan memperdalam struktur industri;

b. Meningkatkan iklim persaingan yang kondusif;

c. Meningkatkan revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri;

d. Meningkatkan peran industri kecil dan menengah;

e. Penyebaran pembangunan industri;

f. Meningkatkan penguasaan teknologi industri.

Kriteria industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah menggunakan dan/atau mengolah SDA dalam negeri, menyerap tenaga kerja, dan memiliki potensi ekspor. IHT termasuk industri yang dikembangkan karena memiliki kriteria tersebut. Secara khusus IHT dikembangkan dengan menggunakan pendekatan klaster, dengan tujuan meningkatkan hubungan dan jaringan kerja sama yang saling menguntungkan antar stakeholder yang pada akhirnya diharapkan agar daya saing meningkat. Tetapi karena sifat pelaku usaha yang masih menggunakan paradigma usaha konvensional, maka kelompok pengusaha yang ada belum berfungsi secara efektif dan berusaha secara efisien.

Direktorat Jendral Industri Agro dan Kimia, Kementrian Perindustrian menyusun Roadmap IHT pada tahun 2005 untuk mencapai sasaran jangka pendek sampai tahun 2010, jangka menengah (2010-2015), dan sasaran jangka panjang (2015-2020). Sasaran jangka

Page 12: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

168

pendek ditujukan untuk membina IHT dengan mempertimbangkan tenaga kerja.

Jangka menengah ditujukan untuk tujuan kepastian pendapatan negara dengan cara:

a. Meningkatkan produksi rokok menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010;

b. Meningkatkan nilai ekspor tembakau sebesar 15 persen per tahun dari US$ 397,08 juta pada tahun 2008 menjadi US$ 1.056,24 juta pada tahun 2015;

c. Meningkatkan nilai ekspor rokok dan cerutu sebesar 15 persen per tahun dari US$ 401,44 juta pada tahun 2008 menjadi US$ 1.067,84 juta pada tahun 2015.

Sasaran jangka panjang (2010-2020) adalah lebih kepada tujuan masyarakat sehat, dengan perincian target sebagai berikut:

a. Tercapainya produksi rokok menjadi 260 miliar batang pada tahun 2015 sampai tahun 2020;

b. Meningkatnya ekspor tembakau dan produk hasil tembakau khususnya ke negara-negara sedang berkembang, Eropa (cerutu dan tembakau), Eks Uni Soviet, Afrika, Amerika, dan Asia.

c. Terciptanya jenis atau varietas tanaman tembakau dan produk IHT yang memiliki tingkat risiko rendah terhadap kesehatan; berkurangnya produksi dan peredaran rokok “ilegal”.

Secara khusus formulasi kebijakan dalam berbagai bentuk peraturan yang ada baik pada level nasional maupun regional serta daerah diarahkan untuk mencapai visi pengembangan Industri Hasil Tembakau (IHT), yaitu terwujudnya IHT yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan (Roadmap IHT), tidak pada usaha untuk mematikan perusahaan rokok. Arah kebijakan yang dibuat dalam rangka

Page 13: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

169

tercapainya sasaran pengembangan industri nasional melalui triple track yaitu: Pro-Growth, Pro-Job, dan Pro-Poor. Kebijakannya diarahkan untuk:

a. Pencapaian kepastian berusaha dan iklim usaha yang kondusif;

b. Pertumbuhan dalam jangka pendek (sampai dengan 2009);

c. Diutamakan untuk IHT menggunakan tangan atau Sigaret Kretek Tangan (SKT);

d. Peningkatan ekspor;

e. Penanganan rokok ilegal;

f. Perbaikan struktur industri rokok;

g. Pengenaan cukai yang terencana, kondusif, dan moderat.

Kebijakan IHT dalam roadmap tersebut dibedakan dan dikaitkan dengan kondisi mikro, meso, maupun makro. Pada tingkat mikro ditujukan untuk mengembangkan pengusaha rokok dan klasternya agar memiliki daya saing. Pada tingkat meso, ditujukan untuk mengembangkan kondisi persaingan yang sehat antara PR besar, menengah, dan kecil. Pembedaan skala usaha biasanya digunakan golongan pabrik berdasarkan jumlah produksi rokok dalam 1 tahun. Sedangkan tingkat makro, terkait dengan kebijakan pengembangan industri secara nasional dengan tetap memperhatikan roadmap IHT, tuntutan internasional dalam hal pembatasan produksi rokok, untuk kepentingan kesehatan, khususnya dengan adanya Framework Convention on Tobacco Control (WHO, 2005).

Kebijakan IHT juga diarahkan untuk mencapai sasaran jangka menengah dan jangka panjang yang semuanya bertujuan untuk membina industri hasil tembakau, termasuk rokok.

Page 14: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

170

R O A D M A P I N D U S T R I T E M B A K A U 2 0 0 7 - 2 0 2 0

I N S T R U M E N

2 0 0 7

2 0 2 0

M A S YA R A K A T S E H A T

K E B U T U H A N P E N E R I M A A N N E G A R A Y A N G P A S T I

M E N A M P U N G L A P A N G A N K E R JA

T U J U A N

M e m b a ta s i k a d a r n i k o ti n

M e m b a t a s i i j i n p e r u s a h a a n b a r u

M e n g a r ah k e b i ja k a n c u k a i s e d e rh a n a

M e m p e r k u a t s tr u k t u r i n d u st r i d a n k o m p e t i s i se h a t

M e n g h il a n g k a n r o k o k Il e g a l d a n p i ta p a ls u

Sumber : Departemen Perindustrian RI; KPPBC Tipe Madya Kudus, 2008

Gambar 31 Roadmap IHT rokok Tahun 2005-2020

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Rokok.

Selama 10 tahun perjuangan, akhirnya keinginan masyarakat dan pimpinan daerah penghasil rokok dikabulkan untuk mendapatkan kompensasi pengembalian sebagian dari cukai yang disetor kepada pemerintah pusat sebagai pendapatan negara. Hal itu dipelopori oleh Pemda Surabaya, Malang, dan Kudus. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Pasal 66a Tentang Cukai, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 (ayat 1), bahwa penerimaan negara dari cukai tambahan yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai sebesar 2 persen. Ayat 4, bahwa pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau untuk daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dengan persetujuan Menteri Keuangan. Permenkeu Nomor 84/PMK.07 tahun 2008 Tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT), sebagaimana kemudian diubah dengan Permenkeu Nomor 20/PMK.07 tahun 2009 yang prinsipnya penggunaan DBHCT bagi daerah harus mengacu pada rambu-rambu yang ditentukan untuk: peningkatan kualitas bahan baku; pembinaan industri; pembinaan lingkungan sosial; sosialisasi ketentuan perundang-undangan tentang cukai; dan pemberantasan

Page 15: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

171

rokok ilegal. Alokasi dan pemanfaatan DBHCHT rokok harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi, dengan tetap memenuhi rambu-rambu dalam PMK Nomor 84 tahun 2008 yang diubah menjadi PMK Nomor 20 tahun 2008. Berbagai daerah terkesan sangat bervariasi dan fleksibel menterjemahkan peraturan menteri menjadi program yang dibiayai oleh DBHCHT rokok.

Di Provinsi Jawa Tengah, produksi rokok terdapat di Kabupaten Kudus tetapi banyak daerah sebagai penyangga produksi rokok. Oleh karena itu kemudian diterbitkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah pada tahun 2007 sebagai acuan pelaksanaan peraturan DBHCT Rokok yaitu dengan Nomor 78 tahun 2007 dan Nomor 9 tahun 2009, selanjutnya diperbaharui setiap tahun dengan nomor yang berbeda Tentang Pedoman Pengelolaan DBHCT di Jawa Tengah dan Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2009 Tentang DBHCHT. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten atau Kota Tahun Anggaran 2009, pasal 2 menyebutkan bahwa: a.sebanyak 30 persen untuk Pemerintah Provinsi Jawa Tengah; b.sebanyak 70 persen untuk Pemerintah Kabupaten atau Kota di Jawa Tengah.

Pasal 3, alokasi DBHCT sebagaimana dimaksud dalam pasal 2b, 40 persen dari dana yang diperoleh di tingkat provinsi untuk kabupaten penghasil dengan indikator : Jumlah produksi rokok dengan bobot 75 persen; Jumlah tenaga kerja dengan bobot 5 persen; Produksi bahan baku tembakau dengan bobot 20 persen; Selebihnya 30 persen dibagi untuk seluruh kabupaten atau kota.

Sebagai contoh alokasi untuk kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Tengah, dengan perincian dalam Tabel 7.2 (Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2009). Kabupaten Kudus memperoleh alokasi dana paling besar di antara kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kabupaten Kudus sebagai produsen rokok dan kontribusi cukai terbesar. Walaupun alokasi semakin kecil, karena semakin banyak daerah yang diakomodasi sebagai rantai produksi rokok, tetapi Kabupaten Kudus masih yang paling besar. Sejak tahun 2008 sampai tahun 2012, Kabupaten Kudus menerima alokasi DBHCT Rokok sebesar (lihat Tabel 7.1):

Page 16: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

172

Tabel 7.1 Perolehan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) Rokok

Kabupaten Kudus, Tahun 2008-2012

No. Tahun Jumlah (Rp) 1. 2008 17.207.191.978 2. 2009 85.700.003.847 3. 2010 53.262.539.633 4. 2011 57.533.803.290 5. 2012 43.120.461.241 6. 2013 90.000.000.000

Sumber: Bagian Perekonomian, Kabupaten Kudus, 2012

Tabel 7.1 menunjukkan bahwa Kabupaten Kudus mendapatkan DBHCHT terbesar pada tahun 2009. Pada tahun 2010 dan tahun 2011 menurun karena jumlah daerah penerima semakin banyak. Pada tahun 2013 mencapai Rp.90 miliar.

Pada tabel 7.2 Kabupaten Kudus, memperoleh DBHCHT untuk tahun kedua (tahun 2009) sebesar Rp. 70.825.701.253,- karena Kabupaten Kudus merupakan daerah produsen rokok dan memperoleh 40 persen dari 70 persen DBHCHT yang dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Realisasinya bahkan lebih besar, yaitu mencapai Rp. 85.700.003.847,- .

Pada akhirnya, seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Tengah mendapatkan bagian DBHCHT rokok, karena semua daerah dianggap berkontribusi terhadap industri rokok, termasuk sebagai daerah pemasaran. Sekalipun secara nasional jumlah daerah penerima DBHCHT rokok semakin banyak, dan kemungkinan jumlah penerimaan menurun tetapi realitanya untuk Kabupaten Kudus penurunannya tidak signifikan bahkan kembali naik pada tahun 2013, mencapai Rp. 90 miliar. Artinya jumlah setoran cukai dari Jawa Tengah semakin meningkat. Jika 2 % dari setoran, dan sebagai daerah produsen menerima sebanyak 40% (sebagai produsen) dari 70% (setelah diambil Propinsi), sebanyak Rp. 90 miliar, berarti jumlah penjualan rokok juga semakin meningkat.

Page 17: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

173

Tabel 7.2 Alokasi DBHCHT Rokok Kab/Kota Provinsi Jawa Tengah

No. Kabupaten/Kota Jumlah (Rp) 1. Kota Semarang 8.204.835.400 2. Kabupaten Demak 6.026.330.489 3. Kabupaten Grobogan 5.035.985.688 4. Kota Salatiga 3.354.690.119 5. Kabupaten Semarang 2.909.634.764 6. Kabupaten Kendal 9.142.532.869 7. Kabupaten Kudus 70.825.701.253 8. Kabupaten Pati 4.574.257.602 9. Kabupaten Jepara 2.693.632.118 10. Kabupaten Rembang 2.491.600.180 11. Kabupaten Blora 3.467.162.799 12. Kota Surakarta 2.764.989.068 13. Kabupaten Karanganyar 5.662.862.425 14. Kabupaten Klaten 5.208.380.680 15. Kabupaten Sukoharjo 2.772.201.919 16. Kabupaten Wonogiri 2.483.494.026 17. Kabupaten Boyolali 3.425.770.857 18. Kabupaten Sragen 2.640.937.713 19. Kabupaten Cilacap 2.639.202.510 20. Kabupaten Kebumen 2.576.797.667 21. Kabupaten Pekalongan 3,294.158.494 22. Kabupaten Batang 3.223.109.285 23. Kabupaten Pekalongan 2.551.070.668 24. Kabupaten Banyumas 2.511.354.331 25. Kabupaten Purbalingga 3.376.486.400 26. Kabupaten Banjarnegara 2.457.318.751 27. Kabupaten Brebes 2.498.146.883 28. Kabupaten Pemalang 2.538.495.875 29. Kabupaten Tegal 3.084.378.575 30. Kota Tegal 2.551.471.674 31. Kota Magelang 2.468.701.775 32. Kabupaten Magelang 3.343.769.279 33. Kabupaten Wonosobo 3.776.362.073 34. Kabupaten Purworejo 2.555.339.464 35. Kabupaten Temanggung 8.589.695.352 Jumlah 282.458.370.000

Sumber: Lampiran Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2009

Page 18: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

174

Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 109/Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan, merupakan pukulan berat bagi industri rokok. Di dalam peraturan pemerintah tersebut hal yang mendasar adalah ditetapkannya tembakau sebagai satu-satunya yang mengandung zat adiktif. Di dalamnya mengatur standarisasi komponen rokok yang terkait dengan aroma, rasa, nikotin dan tar. Pelarangan iklan yang menggunakan papan reklame di jalan protokol, secara melintang. Posisi papan reklame harus sejajar dengan jalan raya. Tarif tunggal cukai rokok yang hanya membedakan alat produksi yang digunakan, menggunakan manual (tangan) atau mesin.

Respon Industri Terhadap Kebijakan IHT Rokok. Ketentuan tentang ajuan pabrik baru dan persyaratan perijinan

tersebut pada awalnya sulit dipenuhi oleh pengusaha. Sehingga banyak usaha atau industri yang tidak memiliki ijin usaha lengkap, khususnya untuk skala mikro dan menengah (golongan III dan sebagian kecil II). Pabrik rokok adalah usaha yang harus formal dan pengusahanya harus memenuhi persyaratan serta kewajiban kepada negara terkait dengan pajak dengan cara melilitkan pita cukai sebagai tanda pelunasan pajak rokok, berupa cukai.

Selama kurun waktu tahun 2001-2008 terjadi pembekuan, pemblokiran pabrik yang tidak memenuhi persyaratan sehingga banyak pabrik harus menghentikan operasinya. Pabrik yang bangkrut atau setengah mati, diambil alih oleh pabrik besar (golongan I) dengan cara dibeli. Kejadian ini banyak menimbulkan pertanyaan dari para pengusaha lain, tergambar dari berbagai pernyataan yang dirangkum sebagai hasil wawancara sebagai berikut:

“Pengusaha besar membeli PR kecil yang mati? Bukannya NPPBKC tidak bisa dipindah tangankan? PR (pabrik rokok) besar seharusnya tidak membuat pabrik kecil yang menggunakan fasilitas cukai golongan 3! Kalau seperti itu terus gimana, kan kami tambah saingan bu….. kami pabrik

Page 19: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

175

kecil selalu diawasi, harus selalu patuh….terus banyak yang mati, tapi pabrik besar malah membuat pabrik yang buat rokok murah rasanya kok tidak adil…… semua orang tahu bu pabrik-pabrik itu milik siapa?” (Wawancara, 2010).

Proses pengajuan pita cukai juga menjadi permasalahan tersendiri bagi pelaku usaha yang tidak memiliki kapasitas sumber daya manusia yang memadai untuk mengurus sendiri hak pita cukai. Dampaknya banyak di antara pengusaha yang menggunakan jasa untuk menguruskan pita cukai, atau menggunakan pita cukai yang ada( palsu, bukan peruntukannya, bekas) tidak memenuhi peraturan. Bagi pelaku usaha tersebut seringkali berada pada posisi pabrik yang dianggap tidak patuh pada peraturan. Sehingga aparat memetakannya berdasarkan profil perusahaan yang berpotensi melakukan pelanggaran pita cukai. Profil perusahaan dibagi menjadi pabrik yang berada pada kondisi tidak bermasalah (zona hijau) langsung mendapatkan pelayanan pita cukai. Pabrik rokok yang perlu diperiksa sampai ke lokasi ditempatkan pada zona kuning, dan pabrik pada zona merah sudah masuk dalam daftar hitam yang patut untuk dicurigai karena potensial melakukan “pelanggaran”.

Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) tidak secara khusus mengadakan pembinaan untuk mencegah agar perusahaan tidak “melanggar” atau mendorong perusahaan agar memiliki profil baik. Pembinaan yang dilakukan hanya berkisar pada kepatuhan dan sosialisasi perubahan peraturan cukai. Bagi perusahaan, implementasi kebijakan ini dapat menjadi peluang untuk bekerja sama, baik antar perusahaan dan perusahaan dengan aparat, demi mendapatkan hak yang sama.

Penundaan pembayaran pita cukai yang diberikan kepada pabrik besar sesuai aturan hanya selama dua bulan, tetapi realitasnya dapat melewati tahun bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan catatan Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK) yang beranggotakan hanya pabrik rokok besar di Kudus. Jumlah cukai yang dibayar dan jumlah produksi rokok tidak sesuai karena pembayarannya mendapat kelonggaran untuk ditunda. Padahal untuk pabrik golongan III

Page 20: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

176

khususnya, pemesanan pita cukai dan pelunasannya harus dilakukan sesuai dengan aturan dan secara tunai di depan. Bagi pabrik besar, fasilitas ini semakin menguntungkan karena kapasitas yang dimiliki untuk memproduksi rokok tanpa pembatasan jumlah, dan operasional bisnisnya dengan kapasitas lebih besar dibanding PR golongan III. Padahal cukai adalah faktor utama yang memberikan stigma rokok “illegal” sehingga pabrik rokok yang menunda pembayaran potensial melakukan pelanggaran. Ketidakadilan juga menyangkut batasan jumlah maksimal pita cukai yang boleh ditebus. Pabrik rokok kecil hanya diperbolehkan menebus pita cukai maksimal sepertiga dari jumlah pesanan dalam satu tahun. Pabrik rokok besar tidak ada batasan.

Kenaikan tarif cukai membuat sebagian besar pabrik rokok lumpuh dan tidak mampu bersaing karena biaya pajak semakin mahal, tetapi tidak boleh menaikan harga jual eceran (HJE) pada golongannya. Jika naik HJE berarti naik golongan. Perusahaan rokok besar membuat strategi untuk mengisi kekosongan rokok murah di mana pabriknya banyak yang bangkrut. Terdapat peluang pasar rokok murah bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli. Pabrik baru didirikan oleh pabrik besar untuk mengisi kekosongan tersebut.

Diversifikasi varian produk baru dikembangkan sedemikian rupa. Diversifikasi usaha, dan ekspansi vertikal lainnya. Sementara bagi pabrik rokok golongan II sebagian dan golongan III menggunakan strategi menghemat biaya produksi yang berasal dari bahan baku. Bahan baku diganti dengan tembakau siap giling yang disebut tembakau ”setelan”. Tembakau setelan diolah dari ”jengkok” atau ”aval”, yaitu limbah/ debu tembakau pabrik besar dan ”tornette” yaitu rokok retur yang tidak laku di pasar. Dengan demikian yang terjadi adalah semakin menjauhnya upaya pembuatan rokok yang “sehat”, persaingan semakin ketat dengan semakin banyaknya varian rokok di pasaran.

Pemberlakuan tarif tunggal pada tahun 2014 sangat memberatkan pabrik kecil. Tarif tunggal hanya akan membedakan alat yang digunakan, menggunakan tangan (manual) atau mesin.

Page 21: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

177

Pemberlakuan akan berdampak matinya industri kecil yang hanya memproduksi sigaret kretek menggunakan tangan dan pajaknya disamakan dengan produksi pabrik besar. Di samping itu pabrik besar tidak hanya memproduksi sigaret kretek tangan tetapi juga mesin. Pabrik rokok besar menganggap bahwa rencana pemberlakuan tarif tunggal sebagai upaya penyederhanaan tarif yang memudahkan pabrik menghitung biaya pajak yang harus disetorkan oleh pabrik terlebih dahulu. Walaupun demikian harus diingat bahwa penyederhanaan tersebut dilakukan dengan mengingat aspek historis. Industri rokok yang dibagi 3 golongan, faktanya lebih banyak disupport oleh rokok putih (60 persen). Suwarno M Serad (2012), menyatakan bahwa:

“sejarah dan dinamika industri rokok dapat digambarkan sebagai berikut: tahun 1991 pabrik rokok berada di kuartal perubahan sedang dan lingkungan sedang; kompleksitas global rendah; tahun 1991 ada BPPC di mana perubahan lingkungan lebih cepat, kompleksitas sederhana; kuartal menengah atau moderat ketidakpastian sedang. Tahun 1997 terjadi krisis moneter, industri rokok berada di kuartal cepat lingkungan kompleks ketidakpastian tinggi. Oleh karenanya, kalangan pelaku usaha rokok khususnya UMKM rokok dibutuhkan inovasi produk, inovasi proses, dan inovasi mindsetting, untuk menjadi bagian dari masyarakat yang demokratis dan mandiri dari yang tradisional menjadi berorientasi bisnis. Hal ini sudah dilakukan oleh PT. Djarum Kudus, sebagai pabrik rokok terbesar di Jawa Tengah dengan program bersama petani dengan menggunakan konsep 3P, yaitu produk, penelitian, penyuluhan, yang bertujuan untuk mengembangkan petani secara luas termasuk petani tembakau yang mendukung pabrik rokok” (Wawancara, 2012).

Persyaratan lokasi pabrik yang ditetapkan pada tahun 2008, dengan Permenkeu No 200/ 0.4/2008 ditanggapi pabrik kecil, skala rumahan dan mikro sebagai kebijakan yang sangat tidak masuk akal karena luas pabrik dan lokasi tidak terkait langsung dengan kapasitas dan golongan pabrik, serta kepatuhan membayar pajak (cukai). Kebijakan tersebut tidak sesuai dengan realitas kebutuhan usaha yang biasanya hanya mempekerjakan 5 sampai 20 pekerja tetap. Tenaga

Page 22: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

178

kerja paling banyak adalah pekerja produksi,”giling”-“linting”; “bathil” dan “sortir”. Hanya pada saat permintaan rokok meningkat akan terjadi penambahan jumlah pekerja. Pada umumnya pekerja (bagian produksi) di pabrik besar atau kecil, berstatus tenaga lepas dengan sistem upah borongan. Mekanisme bekerja secara berkelompok, masing-masing terdiri dari 4 pekerja yang mengerjakan “giling” atau ”linting”, dan “bathil” dan “sortir”. Pada umumnya dalam sehari dapat menyelesaikan proses produksi rokok sebanyak 7000 batang, dengan jam kerja jam 06.00-16.00 WIB.

Waktu yang diberikan untuk melakukan penyesuaian persyaratan lokasi adalah tiga tahun, yaitu 10 Desember 2011. Keharusan bagi pengusaha golongan III untuk menyesuaikan dengan peraturan menjadi suatu hal yang sulit, bukan hanya karena sebagian besar pengusaha tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan atau perluasan lokasi usaha tetapi mereka tidak memerlukan luas pabrik yang sebesar itu. Para pengusaha dapat mengoperasikan pabriknya sedemikian rupa tanpa harus memenuhi persyaratan tersebut.

Persyaratan akses terhadap jalan umum, atau persyaratan pabrik tidak boleh menjadi menyatu dengan rumah tinggal, tidak ada kaitannya dengan kepatuhan membayar pajak. Peraturan tersebut dibuat berdasarkan kejadian penindakan, di mana pemilik biasanya berusaha meloloskan diri dari pintu belakang pada saat dilakukan pengawasan atau “sweeping” oleh aparat. Biasanya itu terjadi pada pabrik yang berada di kampung atau desa yang sulit dilalui mobil aparat untuk melakukan pengawasan.

Memiliki lokasi seluas 200 m² seperti yang dipersyaratkan pemerintah dipahami bahwa pabrik rokok harus menjadi besar semua. Parik rokok kecil (golongan III) memiliki karakteristik seperti UMKM pada umumnya sekalipun sebagai produsen barang kena cukai (BKC) yang harus formal dan legal. Mengubahnya menjadi industri besar, formal dan legal berarti membongkar akar kebiasaan, sifat, dan karakteristik usaha berbasis masyarakat yang sejak semula memiliki

Page 23: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

179

sejarah sebagai usaha keluarga. Sehingga menimbulkan pertanyaan, “apakah semua usaha harus menjadi usaha besar?”

Pada masa krisis moneter, justru usaha kecil yang mampu bertahan. Bukan hanya dilihat dari skala usahanya tetapi sistem nilai, budaya, dan keyakinan yang banyak menentukan fleksbilitas usaha dan menjadi kunci ketahanan dan keberlanjutan (perkembangan) industri rokok. Sejarah perkembangannya yang dicatat oleh Castels (1982),bahwa Industri rokok, sejak awal kelembagaannya terdiri dari informal dan formal. Di masa lalu, industri rokok telah menggunakan model kerja sama subkontrak dengan industri yang lebih kecil atau rumahan. Pada awalnya rokok “tingwe” ( linting dewe : bhs jawa , artinya melinting/membuat sendiri) dan diberikan kepada para tetangga yang membutuhkan.

Rokok kretek menggunakan cengkih sebagai bumbu rokok dan ramuan herbal lainnya, menggunakan pendukung rasa dan aroma tembakau dari bahan kimia yang menghasilkan variasi rasa yang beraneka ragam, dan disukai pasar. Ramuan herbal yang digunakan pada mulanya pala, kayu manis, atau kemenyan sesuai keinginan dan permintaan pembeli, sehingga memerlukan bantuan orang lain untuk menyiapkan ramuan tersebut. Sejak itulah kerja sama itu berlanjut dan berkembang melahirkan sistem baru dalam skala pabrik (sub-kontrak, putting put), dan saat itu pengusaha mulai membuat rokok putih atau strootje (Castles, 1982: 63). Fisik pabrik ada, tetapi produksi telah tersebar di luar pabrik.

Selanjutnya Castles juga menyebutkan kebiasaan dan teknis pembagian kerja dalam industri atau usaha rokok, pengusaha rokok berperan memperoleh tembakau dan menyiapkannya (sekarang proses primary atau tembakau “setelan”). Kemudian proses melinting diborongkan kepada “abon” di lingkungannya dan menyerahkan kembali seminggu kemudian kepada pengusaha, dibayar secara borongan. Para “abon”, dalam mengerjakan rokok tersebut menggunakan buruh yang disebut “kernet”.

Page 24: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

180

Abon adalah pabrik kecil yang bertanggung jawab terhadap proses produksi “giling” atau ”linting” rokok, dan buruh yang mengerjakan disebut “kernet”. Setiap “abon” memiliki delapan sampai sepuluh “kernet”. Pengusaha rokok besar memiliki sampai 100 “abon”. Istilah ini berakhir sebelum pendudukan Jepang di Indonesia digantikan dengan sistem pabrik yang dilokalisir, karena alasan pengawasan terhadap kualitas rokok disebabkan adanya kecurangan yang dilakukan para “abon”. Para abon mengganti komponen dan komposisi bahan yang digunakan sehingga diprotes konsumen. Setelah itu dikenal dengan istilah sub-kontrak atau juga putting out.1 Kedua istilah tersebut mengandung tanggung jawab yang berbeda dalam hubungan kerja antara pengusaha dan para pekerja. Demikian juga tujuannya, lebih kepada pertimbangan efisiensi biaya dan efektivitas pekerjaan agar dapat bersaing, karena persaingan dalam industri rokok semakin ketat. Model produksi tersebut masih berlangsung sampai hari ini, dengan pengembangan pada spesialisasi produk atau pasar.

Kebijakan pengembangan industri berdasarkan pada pengembangan industri besar atau yang dikenal dengan filosofi “the big is better” untuk Indonesia tidak tepat, karena struktur dan motif usaha berbeda. Menjadikan usaha golongan kecil menjadi usaha skala besar, dari sisi fleksibilitas usaha menjadi sulit. Negara lain yang bertumpu pada usaha berbasis rakyat dan berskala kecil, justru menunjukkan keberhasilan dan menghasilkan multi efek yang riil bagi masyarakat. Tetapi di Indonesia, dengan roadmap IHT pabrik rokok hanya akan terdiri dari 3-5 pabrik besar saja. Sehingga bagi masyarakat, pemerintah justru berpihak pada kapitalisme karena kepentingannya sendiri, dan jauh dari kepentingan mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini bertentangan dengan kebijakan industri berbasis masyarakat sebelumnya yang telah dibuktikan oleh Schumacher (1974), dengan pengalamannya di Thailand yang menggunakan konsep pengembangan usaha skala kecil dan mikro sebagai daya ungkit perekonomian masyarakat dan terkenal dengan semangat “small is beautiful”.

1 Sub Kontrak atau putting out : adalah produksi berbasis rumah (Ina Hunga, 2013:135).

Page 25: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

181

Dalam persaingan industri global, bentuk perusahaan harus fleksibel, tidak kaku, dan formal. Fleksibilitas diperlukan untuk merespon ketidakpastian usaha yang tinggi. Bentuk perusahaan adalah jaringan atau network enterprise (Castells, 2000). Kekuatan perusahaan yang berbasis jaringan ada pada penguasaan informasi dan teknologi, dengan demikian perusahaan atau industri akan dengan mudah melakukan inovasi baik produk maupun pasarnya, serta menyesuaikan kondisi pasar dan persaingan. Industri rokok sudah berubah menjadi perusahaan berbasis sejak lama dan selalu menyesuaikan dengan kondisi persaingan (Castles,1982). Bukan lagi seperti konsep pemerintah terhadap perusahaan rokok, harus besar agar mampu bersaing, bersifat formal dan kaku, serta tersentral.

Kebijakan tidak mengakomodasi kondisi industri rokok dan sejarahnya, khususnya pada skala kecil atau golongan III. Pada umumnya ketika usaha berkembang (tidak hanya pabrik rokok) usaha rumahan dan kecil lainnya, pengusaha sangat jarang melakukan investasi maupun penyesuaian alat produksi seperti lokasi, luasan usaha, maupun fasilitas pendukung lainnya (listrik, air, jalan, dan sebagainya). Sampai saat ini pabrik rokok golongan III kebanyakan menggunakan pekerja keluarga atau tetangga yang direkrut sesuai kebutuhan, misalnya pada saat permintaan naik, pekerja produksi ditambah atau sebaliknya. Pekerja tetap untuk produksi rokok masih berkisar antara 4 sampai dengan 10 orang. Selebihnya adalah pekerja borongan tidak tetap yang juga menjadi pekerja di tempat lain. Sehingga kalau luasan pabrik harus 200 m2 akan sangat tidak efisien, di samping bagi pengusaha golongan 3 yang masih rumahan sangat tidak mungkin menambah luas pabrik hanya untuk memenuhi ketentuan tersebut.

Industri rokok sesuai dengan roadmap akan menjadi hanya industri besar saja. Atau industri besar yang menjadi payung industri rokok yang lebih kecil. Pembinaan menggunakan konsep aglomerasi seperti pada pembinaan industri di masa lalu. Pengalaman untuk indusri lain, kebijakan aglomerasi di Indonesia tidak berhasil karena yang terjadi justru konglomerasi. Industri besar yang diharapkan

Page 26: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

182

tumbuh dan diharapkan menjadi pengungkit tidak berdaya, karena tumbuhnya didukung fasilitas negara dan bukan karena daya saing. Pada rokok, banyak hal yang menyebabkan sulit dan tidak memungkinkan dilakukan dengan pembinaan yang bersifat aglomerasi. Misalnya keragaman selera konsumen (aroma dan rasa) masing-masing pabrik yang tergabung pada pabrik besar tertentu, cara kerja, formula saos dan bahan yang digunakan. Keberagaman skala pabrik dengan kekhasan dan karakteristik (produk dan konsumen) yang dimiliki.

Apa yang ditetapkan dalam roadmap tidak dipahami sama oleh para stakeholder, ada informasi yang tidak sampai sesuai dengan apa yang dimaksud. Informasi cenderung bersifat asimetris (North,1993). Konsekuensinya akan terjadi upaya bekerja sama mengamankan keberadaannya masing-masing. Pelaku industri dibiarkan untuk berada dalam ketidakpastian dan dibiarkan untuk menebak dengan caranya sendiri bagaimana akhir dari kebijakan tersebut, di satu sisi pelaku industri hanya sekedar memenuhi kewajiban formal tanpa tahu apa maknanya. Hal tersebut menimbulkan peluang munculnya para pemburu “rente” sebagai mediator untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha yang terkait dengan formalitas dan legalitas usaha mereka. Munculnya jasa mengurus perijinan, mengurus pita cukai, pengusaha yang memproduksi pita cukai (asli tapi palsu), penggunaan pita cukai bukan peruntukannya, membuktikan hal tersebut.

Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan, Rencana Pemungutan Pajak Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 yang memuat peraturan tentang persyaratan iklan, peringatan bahaya merokok dengan gambar, standarisasi rasa dan aroma, termasuk tidak diperbolehkan menggunakan cengkih, standar tembakau bagi sebagian besar pengusaha rokok menjadi puncak kondisi yang menekan. Larangan menggunakan aroma termasuk cengkih berarti larangan terhadap rokok kretek, artinya mematikan industri rokok kretek khas Indonesia yang masih diminati oleh pasar domestik.

Page 27: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

183

Permintaan rokok tetap potensial untuk terus ada dan berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga akan ada dampak sebagai akibat pengabaian terhadap peraturan; kreativitas dan inovasi sebagai respon dan upaya coping terhadap kondisi yang semakin menekan industri rokok. Dari sisi yang lain (negara) apa yang dilakukan oleh pabrik untuk bertahan dan memenangkan persaingan potensial dikategorikan sebagai aktivitas (proses dan produksi) serta produk yang “illegal”.

Pengenaan tarif cukai diberlakukan berdasarkan pada Harga Jual Eceran (HJE) rokok pada jenis rokok dan golongan pabrik secara berbeda masih menyisakan permasalahan. HJE rokok menentukan bahan yang digunakan dalam arti kualitas dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha sehingga pangusaha menetapkan harga jual eceran tersebut. Harga bahan baku tembakau dan cengkih sangat bervariasi dan tidak stabil, sangat ditentukan oleh kualitas hasil tanam, musim dan permintaan.

Masing-masing golongan pabrik, memiliki sifat permintaan yang berbeda. Pabrik besar untuk jangka panjang dan dalam jumlah besar, dengan kualitas yang distandarisasi. Sedangkan untuk pabrik rokok kecil, kebutuhan dalam jangka pendek, jumlah sedikit sesuai kemampuan keuangan, dan kualitas yang tidak distandarisasi. Oleh karena itu, bagi perusahaan rokok besar dapat mengkondisikan situasi pasar bahan baku, karena memiliki kepastian yang tinggi. Bagi perusahaan kecil, karena ketidakpastiannya lebih dalam posisi yang menyesuaikan dengan kondisi pasar, sehingga ketidakpastian yang dihadapi semakin tinggi.

Pemerintah dengan fungsinya, dalam mekanisme pasar bebas hanya melakukan intervensi pada saat terjadi gangguan atau kegagalan pasar yang akan mengganggu keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan dan harga yang terbentuk. Sebelumnya pemerintah telah melakukan upaya dengan berbagai regulasi untuk mengatur mekanisme pasar tembakau dan cengkih tetapi tidak membawa hasil, dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, bukan petani. Sehingga yang memegang kendali pada mekanisme pasar bebas dalam

Page 28: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

184

tata niaga tembakau dan cengkih adalah pabrik rokok, bukan yang kecil tetapi yang besar. Pabrik kecil akan semakin terdesak dan menanggung beban keadaan, baik dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah tidak secara khusus mempertimbangkan dan melindungi pabrik rokok (kecil) dalam semua hal, kecuali pada kewajiban pembelian pita cukai, tetap harus sesuai aturan dan prosedur yang ditetapkan jika ingin terus berproduksi.

Persyaratan free market, antara lain adalah harus fair play, adil, dan barangnya harus memiliki ciri khas atau product differentiantion atau unique. Fair play dan adil, bertujuan memenangkan persaingan dengan cara memuaskan konsumen. Tetapi intervensi pemerintah berdampak pada pabrik secara berbeda.Banyak sikap tidak fair play, dan ketidakadilan, apalagi jika menyangkut kepentingan pengusaha rokok golongan III yang memiliki keterbatasan dan kapasitas dibanding kemudahan yang diberikan oleh pemerintah kepada pabrik golongan I dan II.

Keadilan juga diharapkan terwujud secara seimbang antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan konsumen serta pelaku usaha dan bisnis rokok. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjaga kondisi kondusif agar terwujud persaingan sehat, dengan berasaskan keadilan dan fair play. Perubahan demi perubahan tarif cukai lebih ditujukan pada meningkatkan pendapatan negara. Kondisi yang kondusif bukan ditentukan oleh tidak adanya rokok “illegal”.

Negara semakin kuat menjadi penyebab utama maraknya rokok “illegal”. Kebijakan yang menekan, kebijakan yang dibuat untuk mengakomodasi keinginan kelompok masyarakat anti rokok, dan intervensi terhadap industri yang berlebihan, tidak relevan dengan sasaran akhir kebijakan justru mengurangi daya saing pabrik dan industri baik di pasar lokal/domestik maupun global.

Pengusaha terus memproduksi rokok “illegal” bukan hanya semata-mata keinginan melanggar aturan tanpa alasan, melainkan karena pasar rokok masih potensial dan tidak mempermasalahkan apakah menggunakan pita cukai atau tidak. Dalam hal ini

Page 29: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

185

environmental institution (North,1990) tidak bekerja sebagai mana mestinya dan bahkan tidak berjalan seiring dengan kelembagaan yang berkembang pada industri rokok yang beroperasi dalam persaingan global. Terlalu banyak batasan yang mengendalikan gerak industri, sehingga daya saing semakin lemah bukan karena tidak memiliki upaya kearah sana, tetapi justru dilemahkan oleh negara. Kompleksitas pada industri rokok semakin lengkap dalam persaingan global.

Di kalangan masyarakat, secara umum juga sangat tidak setuju dengan langkah yang diambil pemerintah (negara) dalam mengatur industri rokok karena sebagai barang kena cukai (BKC).

“Sudarsono (Bupati Kudus,1990-1994): Saya kira, PR kecil itu biar tumbuh dulu, jangan baru muncul sudah dipangkas. Apa tidak mikir akibatnya bagi masyarakat luas terurtama bagi pengusaha rokok kecil” (Wawancara, 2010).

Secara umum pembatasan dan standarisasi tembakau dan rokok sebagai sumber petaka dan kematian industri yang diberlakukan secara internasional akan sangat merugikan negara produsen seperti Indonesia. Di sisi lain, potensi pasar rokok kretek lokal sangat tinggi, rokok putih sangat menarik investor asing sehingga kontribusi kepentingan asing dalam persaingan bisnis tembakau dan bisnis global yang terkait (farmasi) sangat besar dalam kebijakan IHT rokok di Indonesia. Jika masyarakat tidak mendapat pembelaan dan IHT tidak diproteksi dari tekanan masyarakat internasional (global) dengan berbagai kepentingannya maka tidak mustahil jika masyarakat pengusaha melakukan banyak upaya untuk sekedar bertahan hidup atau memenangkan persaingan walaupun harus melanggar berbagai peraturan yang ada.

Sesuai aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai, perpindahan bahan baku dan distribusi rokok harus dilengkapi dengan dokumen. Dokumentasi dan kelengkapan rokok dan produksinya harus diurus oleh pengusaha yang

Page 30: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

186

bersangkutan. Aktivitas tersebut sering kali diabaikan karena dirasakan menyulitkan dan sebenarnya pasar tidak memerlukannya. Sehingga dianggap melanggar batasan yang ditetapkan pemerintah, dan akhirnya ditetapkan sebagai pelanggaran yang menyebabkan proses dan produk rokok disebut “illegal”.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) rokok yang diberikan kepada daerah sebagai penghargaan terhadap setoran cukai kepada pusat kontra produktif terhadap kebijakan pengendalian rokok di Indonesia. Daerah (Kab/Kota), menggunakan DBHCHT sesuai dengan rambu-rambu walaupun bentuknya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena permasalahan yang dihadapi berbeda. Megingat peran daerah terkait dengan industri rokok juga berbeda, sebagai daerah produsen, distribusi atau sebagai pendukung industri (pertanian tembakau, cengkih dll). Daerah berkepentingan terhadap pengembalian DBHCHT rokok yang semakin tinggi, sebagai dasar pengembalian yang ditetapkan dua persen (2%) dari jumlah setoran. Sehingga daerah tidak mungkin akan secara tegas mengendalikan produksi dan konsumsi rokok, karena berdampak alokasi DBHCHT akan semakin kecil. Secara tidak langsung DBHCHT rokok yang diberikan kepada seluruh kabupaten dan kota (di Jawa Tengah) yang tidak hanya mempertimbangkan sebagai daerah produsen, tetapi juga daerah distribusi dan penyangga industri, seperti daerah pertanian tembakau dan cengkih, akan semakin menambah persebaran pabrik rokok, daerah distribusi dan konsumsi rokok.

Munculnya pabrik baru di daerah baru yang didorong oleh daerah dan tidak melanggar UU Nomor 11 tahun 1995 dan Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Di satu sisi industri berkembang, namun juga merupakan saingan baru bagi pabrik lama untuk mempertahankan pasar. Daerah akan berada pada area “abu-abu” karena berhadapan dengan kepentingan untuk mendorong peningkatan DBHCHT rokok, yang berbeda tujuan dengan pemerintah pusat. Pemerintah Pusat membatasi rokok walaupun masih berharap pendapatan cukai semakin meningkat. Demikian juga daerah dengan DBHCHT rokok yang diterimanya.

Page 31: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

187

Artinya pemerintah berada pada posisi yang dilematis. Dampaknya pelaku usaha yang tertekan akan mendapatkan celah dari sikap mendua pemerintah untuk melakukan pelanggaran. Sekalipun bagi pengusaha hal tersebut merupakan bagian dari strategi merespon kebijakan yang menekannya.

Lahirnya kebijakan baru Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.011 tahun 2013 tanggal 12 April 2013 Tentang Tarif Cukai Pengusaha Hasil Tembakau yang memiliki keterkaitan yang akan diberlakukan 60 hari setelah diundangkan menambah bukti bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki perspektif yang benar tentang keberadaan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok di Indonesia. Kebijakan akan semakin memperparah benturan kepentingan dan potensi konflik yang semakin besar antara industri rokok dengan pemerintah. Semua pabrik rokok menggunakan jaringan, atau industri berbasis jaringan. Baik dengan industri sejenis (bounding) maupun industri lain yang mendukung (bridging), hal ini lazim sebagai industri modern yang bertindak rasional. Industri rokok harus rasional jika ingin bertahan dan menang dalam persaingan. Jika menuruti semua kebijakan pemerintah tidak akan memiliki daya saing dan akan berakhir dengan kebangkrutan atau jatuh dalam penguasaan kapitalis. Negara cenderung lebih melindungi kapitalis karena kepentingannya terhadap pendapatan dari cukai rokok. Pabrik rokok golongan I di Indonesia, sudah banyak yang menjadi milik asing.

Kebijakan IHT dan Munculnya Rokok “Illegal” Kenaikan tarif cukai akan berdampak langsung kepada harga

jual rokok, walaupun kenaikan harga jual rokok tidak secara signifikan mengurangi konsumsi rokok (Adioetomo, 2001). Tetapi munculnya rokok “illegal” dimulai dengan kebijakan kenaikan cukai. Cukai yang berada pada tahapan di bagian paling ujung (hilir) proses produksi rokok justru akan menjadi pertimbangan produsen melakukan banyak “rekayasa” dalam sistem sepanjang rantai agar harga jual eceran rokok dapat bertahan seperti sediakala, walaupun beban cukainya meningkat.

Page 32: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

188

Keputusan harga jual eceran (HJE) rokok menjadi dasar penetapan cukai. Sehingga pengusaha yang tidak dapat mengadaptasi perubahan tarif cukai memilih tidak menggunakannya karena pasar tidak mempermasalahkannya.

Banyak industri multinasional yang bangkrut karena masih mempertahankan pola operasi pabrik secara individu, formal dan tersentral dalam satu pabrik. Pengalaman banyak pabrik yang tidak menggunakan jaringan sangat tidak fleksibel untuk merespon permintaan pasarnya. Sehingga akan menyulitkan pabrik secara teknis. Banyak idle baik produk maupun bahan mentah. Pabrik menghadapi ketidakpastian tinggi. Pabrik, melibatkan rantai produksi dan pemasaran. Walaupun sangat tergantung pada jenis barang atau jasanya, tetapi yang tidak menggunakan jaringan sebagai mitra, membagi beban dan resiko ketidakpastian tidak akan memiliki keberlangsungan. Contoh, Jhonson and Jhonson Indonesia yang bangkrut karena pola memproduksi dan memasarkan sendiri seluruh produknya. Fokus perhatian terlalu banyak, mengingat banyak produk pengganti di pasar, tidak memahami karakteristik pasar di Indonesia yang mudah beralih, sehingga menyebabkan perubahan pasar yang cepat. Sebagai perusahaan transnasional tidak mengakomodasi teknologi untuk mengakses informasi pasar dan melakukan inovasi produknya, sehingga pada akhirnya bangkrut.

Di dalam dunia bisnis dikenal istilah industri “maklon” yaitu kerja sama 2 atau 3 pabrik untuk menghasilkan suatu produk. Industri beroperasi menggunakan pola contract manufacturing, toll manufacturing, atau private label. Perusahaan hanya fokus kepada produksi dan menyerahkan urusan pemasaran kepada pihak lain. Industri dalam posisi sebagai mitra bisnis perusahaan atau industri lainnya yang sama-sama diuntungkan dalam kondisi persaingan global yang memiliki ketidakpastian tinggi. Hal ini dipraktekkan banyak industri yang berjaya dalam persaingan global, sebut saja PT. T M yang telah membuktikan model industri atau bisnis menggunakan pola tersebut. Industri sebagai mitra hanya dituntut untuk memberikan

Page 33: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

189

kualitas produk yang terbaik, produk tidak berlabel, dan merahasiakan produk yang dipesan oleh industri mitra.

Rokok sebagai produk global yang dihasilkan oleh industri modern telah berubah, baik model produksi dan kelembagaannya dalam rantai produksi dan rantai pemasarannya. Bukan lagi sebagai industri yang terdiri dari pabrik formal, secara fisik tampak, memenuhi legalitas yang dipersyaratkan. Perlakuan dan persyaratan perijinan yang ditetapkan sangat berpotensi untuk diabaikan karena tidak sesuai dengan kondisi riil dilapangan. Pelanggaran pada lembaga, proses dan produk potensial memunculkan rokok “illegal”.

Dalam persaingan industri global, bentuk perusahaan harus fleksibel, tidak kaku, dan formal. Fleksibilitas diperlukan untuk merespon ketidakpastian usaha yang tinggi. Bentuk perusahaan adalah jaringan atau network enterprise (Castells, 2000). Sehingga produksi dapat bersifat mobile, yang didukung oleh penguasaan informasi dan teknologi. Sebagai bagian dari coping terhadap kebijakan dan tekanan persaingan. Industri rokok sudah berubah menjadi perusahaan berbasis jaringan yang mengandalkan teknologi dan informasi sejak lama (Castles,1982). Pabrik rokok melakukan spesilaisasi pada produk, dan pemasaran diserahkan pada perusahaan lain. Pada pabrik golongan III, fungsi perusahaan pemasar diganti oleh agen atau intelejen pasar yang bertanggungjawab untuk mengkomunikasikan permintaan pasar kepada produsen sekaligus memasarkan rokok. Kebijakan pengendalian rokok, khususnya untuk promosi direspon oleh pengusaha dengan spesialisasi. Spesialisasi pemasar oleh perusahaan tersendiri menimbulkan peluang untuk mendistribusikan rokok “illegal” karena produsen tidak mengintegrasikan produk dengan organisasi pemasarnya. Sedangkan perusahaan pemasar berkompetensi hanya pada pemasaran rokok. Kebijakan mendorong munculnya modus pelanggaran baru, yang berdampak pada munculnya rokok “illegal”.

Keputusan rasional ekonomis untuk efisiensi dan keberlanjutan usaha menjadi ciri perusahaan modern. Keputusan rasional ekonomis seringkali harus mengubah dari struktur dan sistem. Melakukan produksi bersama, industri tanpa fisik pabrik, moving industry

Page 34: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

190

merupakan konsekuensi dari network enterprise (Castels, 2000). Industri rokok adalah industri berbasis jaringan, sehingga tidak lagi dapat beroperasi seperti ketentuan pemerintah, sebagai produsen barang kena cukai (BKC). Realitas yang terjadi pada industri rokok dan tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah, mendorong lahirnya stigma rokok “illegal”.

Persyaratan pita cukai sekalipun dengan personalisasi akan berpotensi diabaikan oleh pelaku usaha karena pasar tidak mempermasalahkan apakah rokok pakai pita cukai atau tidak. Kemajuan teknologi dan terbuka bagi semua orang juga sangat memungkinkan seseorang dapat menciptakan pita cukai asli yang palsu, sekalipun ada pengaman berupa “hologram” yang berbasis teknologi canggih. Demikian juga mesin produksi rokok yang terbaru telah dapat melakukan proses produksi sampai pada pelilitan pita cukai. Tetapi pita cukai dengan berbagai cara, misalnya hasil impor dari berbagai negara dan digunakan oleh pengusaha rokok golongan III. Artinya penggunaan pita cukai palsu masih marak digunakan. Pita cukai bukan peruntukannya tidak mustahil digunakan oleh pabrik golongan II dan I, berdasarkan temuan KPPBC tentang SKM yang menggunakan pita cukai Tembakau iris (TIS).

Kesimpulan Di Indonesia, sekalipun tata niaga rokok berdasarkan pasar

bebas tetapi tidak benar-benar bebas, terdapat intervensi negara karena rokok sebagai barang kena cukai, yang jumlah produksi, pemasaran dan konsumsinya harus dibatasi. Kebijakan pemerintah masih ditujukan untuk kepentingan pendapatan yang bersumber dari cukai rokok. Kebijakan tersebut justru melemahkan daya saing industri rokok dan berdampak banyaknya jumlah dan modus pelanggaran, sebagai bagian dari upaya pengusaha untuk coping terhadap kebijakan yang menekan atau bertahan hidup.

Page 35: Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokokrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3344/8/D_902007011_BAB VII.pdf · seperti tanda daftar perusahaan, tanda daftar usaha

Penerapan Kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) Rokok

191

Kebijakan pembatasan atau pengendalian rokok di Indonesia dikelompokkan menjadi kebijakan tarif, kebijakan non tarif, kebijakan pengembalian pajak berupa cukai yang disetor kepada negara dalam bentuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) rokok, roadmap Industri hasil tembakau (IHT) rokok, Peraturan Pemerintah No 109/Tahun 2012 tentang Penanganan Dampak Tembakau Bagi Kesehatan dan lahirnya peraturan baru Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.011 tahun 2013 tanggal 12 April 2013 Tentang Tarif Cukai Pengusaha Hasil Tembakau yang memiliki keterkaitan yang segera akan diundangkan. Kebijakan dan imlpementasinya berpotensi munculnya rokok “illegal” baik secara langsung maupun tidak langsung.

Roadmap IHT Rokok seharusnya digunakan sebagai acuan dalam pembinaan induastri hasil tembakau (IHT) rokok, tetapi faktanya kebijakan yang satu dengan lainnya saling bertentangan, dan dalam pelaksanaannya cenderung tumpang tindih, serta diskriminatif. Sehingga justru menimbulkan konflik pada skala pabrik golongan yang berbeda.

Industri rokok di Indonesia telah berubah dari industri konvensional menjadi industri yang modern dengan segala konsekuensinya seperti menjadi industri berbasis jaringan. Realitas lapangan yang berbeda dengan konsep pemerintah berpotensi munculnya stigma rokok “illegal”.