PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres...
Transcript of PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres...
1
PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
OlehBayu Indra Wiguno, SIK., MIK.
Pembimbing I : Prof. Dr. Tb. Ronny R. NitibaskaraPembimbing II : Dr. Zulkarnaen Koto, S.H., M.Hum.
ABSTRAKDiskresi bukan hanya sekedar pilihan bagi polisi namun merupakan bagian penting
dan tidak dapat dihindari dalam pekerjaannya. Namun demikian dalam kenyataannyadiskresi kepolisian, khususnya dalam penyidikan tindak pidana, belum diatur secara tegasdalam undang-undang sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda baik di kalanganpenyidik maupun dari fungsi pengawasan. Hal ini kemudian menimbulkan keragamansekaligus keragu-raguan dalam menerapkannya karena dianggap tidak memiliki payunghukum yang jelas. Di sisi lain, pembuat kebijakan berupaya untuk membuat payung hukumdiskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana, khususnya dalam keputusan memprosesatau tidak memproses perkara demi kepentingan umum, yang tidak hanya melindungipetugas (penyidik), meringankan beban pekerjaan, namun juga untuk memelihara keamanandan ketertiban umum
Kata Kunci : Diskresi, Penegakan Hukum, Penyidikan, Tindak Pidana
ABSTRACTDiscretion not merely an option for the police but it is an essential part and could not
be avoided in their job. However, in reality the discretion of the police, particularly in thecriminal investigation, has not been set explicitly in the legislation giving rise to differentinterpretations of both the investigator and of the supervisory function. This then led todiversity as well doubts in implementing as it is considered does not have a clear legalframework. On the other hand, policy makers sought to create legal framework discretion ofthe police in criminal investigations, particularly in the decision to process or not to processcases in the public interest, which not only protects officers (investigators), ease the burden ofwork, but also to maintain security and general order
Keywords : Discretion, Law Enforcement, Investigation, Crime
Latar Belakang Permasalahan
Howard Cohen (1985:27) mengemukakan bahwa diskresi bukan pilihan bagi polisi,
melainkan bagian penting dan tidak dapat dihindari dari pekerjaannya. Ia menegaskan bahwa
siapapun (petugas) yang melaksanakan tugas tanpa diskresi maka akan gagal atau berhenti
bekerja. Kata-kata Cohen ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan diskresi dalam
pelaksanaan tugas kepolisian. Walaupun diskresi dianggap sebagai bentuk penyimpangan
dari asas legalitas, namun Prayudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa sebenarnya diskresi
justru merupakan pelengkap dari asas legalitas yang menyatakan bahwa setiap tindak atau
2
perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang.1 Satjipto
Rahardjo juga mengingatkan apabila hukum mengatur kehidupan bersama secara rinci
dengan langkah-langkah secara lengkap maka seketika itu pula kehidupan akan macet, oleh
karenanya sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh
hukum itu sendiri.2
Dengan demikian artinya bahwa antara asas legalitas dan diskresi tidak bisa dipandang
sebagai dua hal yang saling berlawanan dan berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu
kesatuan yang saling melengkapi. Hal ini didasari oleh keterbatasan hukum itu sendiri,
sebagaimana dikemukakan La Fave (1964), bahwa (1) tidak ada perundang-undangan yang
sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia; (2) adanya
kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-
perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian; (3) kurangnya
biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang; dan (4) adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara
khusus
Penegakan hukum yang dilakukan tanpa diskresi atau tanpa pandang bulu,
sebagaimana kata-kata Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang cukup terkenal yaitu
Fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh),
ternyata justru menyisakan banyak persoalan.3 Tindakan penegakan hukum yang mengusik
rasa keadilan masyarakat di Indonesia dapat tergambar dari peristiwa seperti pencurian
sandal jepit yang dilakukan oleh AAL, siswa SMK 3 Palu, Sulawesi Selatan, serta pencurian tiga
biji kakao yang dilakukan oleh nenek Minah dari dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, yang diproses melalui jalur pengadilan
Walaupun hasil akhir dalam sidang pengadilan telah memberikan keputusan yang
terbaik kepada para pelaku, namun penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian
kemudian mendapatkan sorotan tajam dari para ahli, masyarakat bahkan hingga dari luar
negeri. Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasojo mengemukakan bahwa hukuman
yang diberikan kepada nenek Minah dan AAL itu menggambarkan proses hukum yang mati
1 Dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Ed. 1. Cet. 5, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2004, hal. 222 Dalam M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991,hal. 173 Mahrus Ali, Membumikan hukum progresif, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013, hal. 13-14
3
dari tujuan hukum itu sendiri, karena hanya mengikuti aturan formal dan tidak
memperhitungkan substansi dan hati nurani.4 Demikian pula yang dikatakan Soetandyo
Wignyosoebroto bahwa undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati), dan hukum
menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Bila putusannya aneh itu bukan
salah undang-undang, melainkan hakim yang seharusnya pandai memberikan putusan yang
bisa diterima.5
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di
Indonesia yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara tiga
tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan,
akibat hanya berpedoman kepada sisi legalitas formal semata.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana?
2. Bagaimana penerapan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana?
3. Bagaimana strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak
pidana dalam hal pengaturan, penataan dan kelembagaan di lingkungan Polri?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah tersebut maka yang
menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak
pidana
2. Untuk menggambarkan dan menganalisis penerapan diskresi kepolisian dalam
penyidikan tindak pidana di lingkungan Polri
3. Untuk menemukan upaya atau strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam
penyidikan tindak pidana dalam hal pengaturan, penataan dan kelembagaan di
lingkungan Polri
4 Kejamnya keadilan sandal jepit, dalam www.nasional.kompas.com, diakses 15 Desember 20145 Ibid.
4
Tinjauan Pustaka
Kewenangan
Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan
dengan kekuasaan.6 Menurut Indroharto, terdapat tiga macam kewenangan yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan, meliputi (1) Atribusi (pemberian kewenangan yang baru
atau sebelumnya tidak ada, oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ
pemerintah); (2) Delegasi (penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintah
kepada organ yang lain); (3) Mandat (pengalihan tugas dimana tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang).7
Penegakan Hukum
Menurut Soejono Soekanto (1979) inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang merupakan perwujudan pandangan baik
dan buruk dalam kehidupan manusia, dimana selalu dalam posisi yang berpasangan, yang
diwujudkan secara konkret dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang berisi suruhan, larangan,
atau kebolehan, yang kemudian menjadi pedoman atau patokan dalam perilaku atau sikap
tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun
di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian
Law enforcement begitu populer. Pandangan yang sempit terhadap penegakan hukum
mempunyai kelemahan-kelemahan, bila pelaksanaan perundang-undangan tersebut justru
mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup
Sedangkan menurut Joseph Goldstein (1960) terdapat tiga bidang di dalam penegakan
hukum yaitu (1) Total Enforcement dimana kepolisian tidak hanya diberikan kewenangan
untuk menegakkan hukum, namun juga terdapat aturan yang melarang kepolisian melakukan
penegakan hukum dalam rangka melindungi hak asasi manusia; (2) Full Enforcement dimana
kepolisian diberikan kewenangan dan diharapkan menegakkan hukum sepenuhnya, namun
karena berbagai keterbatasan dan tekanan yang ada kemudian mendorong kepolisian
melakukan diskresi untuk tidak menerapkan proses pidana; serta (3) Actual Enforcement yang
6 Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, Yuridika, No.5&6 Tahun XII, September – Desember , 1997 , hal.17 Ridwan HR, Hukum administrasi negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006, hal. 104
5
merupakan wujud penegakan hukum sebenarnya yang dilakukan kepolisian. Ketiga bidang
penegakan hukum ini digambarkan oleh Goldstein sebagai berikut :
Tujuan Hukum
Gustav Radbruch (1945) mengemukakan bahwa hukum sebenarnya merupakan
keinginan atas keadilan. Yang dimaksud keadilan adalah untuk menilai tanpa memandang
siapa, dan menganggap setiap orang dengan ukuran yang sama. Ia juga mengemukakan
bahwa terdapat tiga nilai atas hukum yaitu kemanfaatan umum, kepastian hukum, dan
keadilan. Walaupun kepastian hukum merupakan nilai yang hadir di setiap undang-undang
hukum positif, namun ia bukanlah nilai yang paling utama. Kepastian hukum ditempatkan di
tengah-tengah kedua nilai yang lain karena ia dibutuhkan tidak hanya bagi kemanfaatan
umum, namun juga keadilan. Hukum memang harus pasti dan yakin, agar tidak
diinterpretasikan dan dipergunakan dengan cara, serta pada waktu dan tempat yang berbeda.
Menurut Radbruch apabila terdapat konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka yang
harus diutamakan adalah keadilan
Penalaran Hukum
Visser’t Hooft (2002) mengutip ungkapan yang diambilnya dari penulis Inggris A.G.
Guest; “The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is decision,”
yang artinya bahwa yang menjadi objek dari penelitian ilmiah adalah penemuan, sedangkan
Gambar 1. Hubungan Kepolisian dengan keseluruhan administrasi peradilan pidana
6
yang menjadi objek dari penelitian hukum adalah keputusan. Ungkapan ini menurut Sidharta
sesungguhnya menegaskan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir
problematis. Penalaran hukum, menurut Neil MacCormick (1994), merupakan satu cabang
dari penalaran praktis, dimana digunakan oleh manusia terhadap alasan untuk memutuskan
bagaimana yang benar untuk bertindak di dalam situasi-situasi memilih
Walaupun penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum
(manusia) sebagai makhluk hidup dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya, namun
penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang terbuka tanpa batas, melainkan
dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem
hukum positif
Diskresi
Ronny Nitibaskara (2006:32) sebagaimana mengutip kata-kata Hartjen (1989)
mengemukakan bahwa “law enforcement is a matter of decision making”. Dengan demikian
menurutnya yang harus mendapatkan tempat adalah kekuasaan diskresi, yaitu the freedom
to make decisions on individual basis. Di dalam kekuasaan diskresi inilah polisi diberi
kebebasan menurut pertimbangannya, apakah ia akan memeriksa seseorang, menahan atau
membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah
diinterpretasikannya. SF. Marbun (2001) mengatakan bahwa Istilah “Diskresi” dikenal juga
sebagai Freies Ermessen, yang secara bahasa berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas,
tidak terikat dan merdeka, sedangkan Ermessen berarti menilai, menduga, dan
mempertimbangkan sesuatu. Dengan demikian Freies Ermessen dapat diartikan sebagai
“orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas
mengambil keputusan”.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, diskresi didefinisikan sebagai suatu
kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan
keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada
pertimbangan hukum (Thomas J. Aaron).8 Menurut Lawrence M. Friedman, seorang pembuat
keputusan memiliki diskresi untuk memilih di antara dua alternatif.9 Sedangkan menurut
8 M. Faal, Op. Cit., hal. 169 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M. Khozim (Bandung: Nusa Media,Cet. 5, 2013, hal. 48)
7
Wayne La Fave,10 diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh
hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Hal ini selaras dengan pengertian
Discretion dalam Black’s Law Dictionary, yang didefinisikan sebagai “kebebasan atau hak
istimewa yang diperbolehkan untuk menilai, dalam batasan hak dan keadilan, namun terlepas
dari aturan hukum positif yang kaku dan sempit, untuk memutuskan dan bertindak sesuai
dengan apa yang adil, patut, dan bermanfaat, sebagaimana ditentukan pada keadaan kasus
tertentu, dan sebagaimana dipahami oleh pengalaman dan kebijaksanaan pribadi, yang
dibimbing oleh semangat, prinsip-prinsip, dan analogi hukum”.11 Dengan demikian yang
menjadi unsur diskresi adalah meliputi adanya suatu keputusan terhadap pilihan tindakan,
berdasarkan penilaian pribadi dengan pertimbangan moral, dilakukan dalam keadaan kasus
tertentu, serta demi kepentingan umum maupun kepentingan sosial
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif
analitis yaitu memberikan gambaran dan menganalisa bagaimana pengaturan dan penerapan
diskresi kepolisian dalam proses penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini, serta
memberikan gambaran dan menganalisa strategi pengembangan diskresi kepolisian di masa
yang akan datang. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumen,
dan Focus Group Discussion. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta
Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal dari para
penyidik, atasan penyidik, serta pejabat tinggi di lingkungan pengembangan strategis (Divkum
dan Lemdikpol)
Temuan Penelitian dan Pembahasan
1. Pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa pemahaman para penyidik secara
umum memandang penghentian perkara demi kepentingan umum tidak memiliki dasar
hukum formil yang jelas sehingga penerapan penghentian perkara demi kepentingan
umum dianggap berlawanan dengan asal legalitas formal. Kondisi ini terjadi sebab
10 Dalam Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 1511 Black’s Law Dictionary, What is Discretion?, www.thelawdictionary.org, diakses 20 Oktober 2014
8
kepolisian telah terjebak dalam aturan manajemen penyidikan tindak pidana yang telah
membatasi syarat penghentian penyidikan demi hukum menjadi : (1) tersangka meninggal
dunia; (2) perkara telah kadaluwarsa; (3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan (4)
tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (nebis in idem). Limitasi ini kerap membayangi para penyidik Polri karena
fungsi pengawasan (Propam) pun menerjemahkan syarat penghentian penyidikan secara
tekstual dan menolak tindakan yang tidak diatur dalam ketentuan manajemen penyidikan
tindak pidana. Hal ini yang kemudian dianggap dapat menjadi bumerang bagi penyidik
karena ketentuan belum mengatur perihal perlindungan terhadap petugas yang
melakukan penghentian perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian praktek penghentian perkara demi kepentingan umum ini justru
menjadi hal yang umum terjadi, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya hukum di
fungsi penyidikan tindak pidana baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak hanya berlaku bagi perkara yang bersifat delik
aduan saja melainkan juga terhadap delik murni baik di fungsi Reskrim maupun Lalu
Lintas. Menyikapi hal ini pimpinan kepolisian kerap mencari dasar hukum yang tepat
untuk melegalisasi penghentian perkara demi kepentingan umum yang termasuk delik
murni. Sebagai contohnya adalah Surat Telegram Rahasia No. STR/583/VIII/2012 tentang
penerapan Restorative Justice dari Kabareskrim kepada para Dir Reskrimum, Dir
Reskrimsus, dan Dir Resnarkoba di seluruh Polda dengan mendasari Pasal 18 Undang-
Undang Kepolisian yaitu “melakukan tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada
pertimbangan manfaat serta resiko dari tindakan tersebut dan betul-betul untuk
kepentingan umum”. Upaya mencari dasar hukum yang tepat ini kemudian ditafsirkan
secara berbeda oleh masing-masing penyidik. Ada yang menganggap bahwa dasar hukum
penghentian penyidikan demi kepentingan umum adalah tidak adanya cukup bukti karena
korban, pelapor dan saksi-saksi mencabut laporan dan seluruh keterangan yang telah
diberikan kepada penyidik, ada juga yang mendasari kepada konsep keadilan restoratif
(Restorative Justice) dan alternatif penyelesaian perselisihan di luar peradilan (Alternative
Dispute Resolution)
9
A. Pemaknaan Diskresi Kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
Penafsiran yang berbeda-beda ini kemudian mengarah kepada pertanyaan apakah
diskresi itu dilakukan dengan “menerobos” atau bahkan seolah-olah bertentangan
dengan hukum, ataukah diskresi yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Sebagaimana dikemukakan oleh Prayudi Atmosudirdjo (M. Faal:1991) bahwa terdapat
dua jenis diskresi, yaitu (1) diskresi bebas, dimana setiap tindakan tidak perlu didasarkan
atas ketentuan perundang-undangan; dan (2) diskresi terikat, dimana setiap tindakan
adalah hasil pilihan dari beberapa alternatif yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan, sehingga pemilihan salah satu alternatif adalah bebas. Dengan demikian dapat
disimpulkan pemikiran dari Prayudi Atmosudirdjo bahwa diskresi menurutnya dapat
dilakukan dengan menerobos undang-undang dan dapat juga dilakukan di dalam undang-
undang. Berkaitan dengan hal ini, apabila digambarkan hubungan antara pembagian
kewenangan Polri di dalam undang-undang maka dapat dilihat skema sebagai berikut :
Dari skema tersebut di atas dapat dilihat bahwa ketika terjadi diskresi yang menerobos
aturan di dalam Perkap dan KUHAP berupa menangkap dan menahan seseorang yang
dianggap meresahkan kelompok masyarakat tertentu dengan pertimbangan keamanan
dan keselamatan, maka walaupun tindakan tersebut mengabaikan peraturan teknis yang
ada namun pada dasarnya tidak bertentangan dengan undang-undang yang memberikan
kewenangan yang lebih tinggi, yaitu kewenangan untuk memelihara keamanan dan
ketertiban sebagaimana yang menjadi tugas pokok Polri dan diamanatkan oleh konstitusi.
Gambar 2. Pembagian kewenangan Polri dalam undang-undang
10
Dengan demikian tidak dapat dihindari adanya pertentangan dan pengabaian diantara
peraturan-peraturan yang bersifat teknis, namun masih tetap dalam koridor kewenangan
Polri yang lebih luas. Demikian juga tidak dapat dihindari adanya kewajiban untuk tidak
bertentangan dengan koridor kewenangan Polri yang lebih luas itu sendiri. Artinya diskresi
yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan tujuan untuk memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat
Apabila menghubungkan antara pasal 18, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat 2 UU
Kepolisian, serta Pasal 5 dan 7 KUHAP, maka pemaknaan diskresi kepolisian dapat
digambarkan sebagai berikut :
Berdasarkan gambaran di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya diskresi adalah
suatu keputusan terhadap pilihan tindakan yang didasarkan penilaian pribadi dengan
pertimbangan moral, yang dilakukan dalam situasi tertentu serta demi kepentingan
umum maupun kepentingan sosial.
Dengan demikian yang dimaksud diskresi kepolisian adalah diskresi yang dilakukan
dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas kepolisian. Diskresi kepolisian terjadi ketika
seorang petugas kepolisian dihadapkan pada pengambilan keputusan saat terdapat
berbagai pilihan tindakan. Sedangkan yang dimaksud diskresi kepolisian dalam penyidikan
tindak pidana adalah diskresi yang dilakukan oleh penyidik dalam tataran teknis
penyidikan maupun mengabaikan tataran teknis penyidikan dengan tetap
Gambar 3. Diskresi dilihat dari hubungan Pasal 18 dan 16 UU Polri serta Pasal 5 dan 7 KUHAP
11
memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan untuk
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
B. Dasar hukum penghentian perkara demi kepentingan umum
Walaupun syarat penghentian penyidikan “demi hukum” telah dipersempit dalam
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
pada Pasal 76 menjadi karena : (1) tersangka meninggal dunia; (2) perkara telah
kadaluwarsa; (3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan (4) tindak pidana tersebut
telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in
idem), namun berdasarkan hasil studi dokumen terdapat penggunaan kata DEMI HUKUM
dalam KUHAP yang menyiratkan perkara dikesampingkan demi kepentingan umum yaitu
pada pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP dalam frase “terhadap benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang, atau kepada mereka dari siapa benda itu disita,
atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila perkara tersebut
dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup DEMI HUKUM,
kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan
untuk melakukan suatu tindak pidana”. Kenyataannya bahwa kewenangan untuk
menutup perkara DEMI HUKUM dimiliki oleh penyidik (pasal 109 ayat 2) maupun
penuntut umum (pasal 140 ayat 2)
C. Perlindungan bagi petugas
Karena penghentian perkara demi kepentingan umum ini tidak dinyatakan secara
tegas di dalam undang-undang dan hanya dapat dimaknai secara tersirat berdasarkan
penggunaan kata DEMI HUKUM, maka dapat digunakan ketentuan mengenai alasan-
alasan yang menghapuskan pidana sebagai dasar hukum perlindungan bagi petugas yang
melaksanakannya. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno
(2008:148) yaitu : (1) Pasal 50 KUHP tentang melaksanakan ketentuan undang-undang;
(2) Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan yang sah
(alasan pembenar); serta (3) Pasal 51 ayat 2 KUHP tentang alasan penghapus penuntutan
pidana mengenai dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tanpa
wewenang (alasan pemaaf)
12
D. Pedoman diskresi kepolisian
Djoko Prakoso (1987:191) mengemukakan bahwa terdapat kemungkinan penerapan
diskresi yang dilakukan oleh seorang anggota polisi, yaitu : (1) polisi bertindak tapi
tindakannya itu salah; (2) karena takut salah polisi kemudian menjadi apatis dan tidak
bertindak; (3) sengaja menyalahgunakan wewenangnya. Oleh karena itu diperlukan suatu
pedoman-pedoman tertentu yang dapat menjadi tolak ukur terhadap pelaksanaan
diskresi yang harus dipahami oleh setiap anggota polisi. Pedoman-pedoman ini tercermin
dari asas-asas yang berkaitan dengan diskresi yaitu : (1) asas legalitas; (2) empat sub asas
kewajiban; (3) asas umum pemerintahan yang baik; (4) asas hak asasi manusia
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
pedoman dalam diskresi kepolisian meliputi :
1. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat
2. Tindakan yang diambil memang diperlukan dan mengharuskan anggota Polri
melakukan suatu tindakan
3. Tindakan yang diambil harus seimbang dengan berat ringannya suatu masalah yang
dihadapi, dan tidak boleh kurang atau berlebihan
4. Tindakan dilakukan dengan memperhatikan prosedur dan hukum yang berlaku
5. Tindakan yang diambil memang dikaitkan dengan masalah yang dihadapi dengan
pertimbangan obyektif, tidak boleh mempunyai motif pribadi, karena rasa simpati
atau antipati
6. Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kepentingan
lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan itu
7. Tindakan yang dilakukan harus mempertimbangkan kemanfaatan umum dan
keseimbangan antara kepentingan sesama individu; sesama kelompok; kepentingan
antara individu dan kelompok; kepentingan antara pemerintah dan masyarakat;
kepentingan antar suku, ras dan agama; kepentingan antar gender; kepentingan
generasi sekarang dan generasi mendatang; kepentingan antara manusia dan
ekosistem
8. Tindakan dilakukan dengan kecermatan, yang didasarkan pada informasi dan
dokumen yang lengkap
13
9. Tindakan harus dilakukan dengan jujur dan terbuka, serta dapat
dipertanggungjawabkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara
10. Tindakan dilakukan dengan pelayanan yang baik, tepat waktu, prosedur dan biaya
yang jelas, serta sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan
2. Penerapan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah perkara yang mampu diselesaikan tidak
sebanding dengan jumlah perkara yang masuk sehingga mengakibatkan tingginya beban
pekerjaan. Jumlah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh Sat Reskrim Polres Jakarta
Selatan selama tahun 2014 hanya sebesar 26%, sedangkan jumlah penyelesaian perkara
selama lima tahun terakhir hanya sebesar 39%.
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa penyelesaian perkara yang
dihentikan demi kepentingan umum akan sangat membantu penyidik meringankan beban
pekerjaan mereka dan menghindari adanya surat-surat keluhan dari masyarakat. Selain
itu ditemukan juga bahwa selain perkara delik aduan yang dihentikan demi kepentingan
umum, juga terdapat perkara delik murni yang dihentikan demi kepentingan umum,
sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut ;
Tabel 1. Data penanganan kasus Sat Reskrim Polres Jakarta Selatantahun 2014 Tabel 2. Data jumlah tunggakan kasus 5 tahun terakhir
14
A. Inisiatif melakukan diskresi
Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua pemahaman dari para penyidik terhadap
kondisi ini, yaitu penyidik yang bersikap pasif dan menunggu inisiatif dari kedua belah
pihak yang berperkara untuk berdamai karena penyidik tersebut takut dianggap tidak
netral, dan penyidik yang bersikap proaktif mendorong para pihak yang berperkara untuk
berdamai demi kepentingan terbaik para pihak dan mengurangi beban penanganan kasus
serta keluhan masyarakat.
Sikap berbeda yang ditunjukkan oleh penyidik menggambarkan bahwa masih terjadi
keragu-raguan dan rasa takut melakukan diskresi yang dapat memicu terjadinya
kesalahan. Salah satu ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk
melakukan inisiatif diskresi adalah adanya alasan penghapus pidana, yaitu adanya itikad
baik dari diri pelakunya yang bertujuan menciptakan dan memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat. Namun demikian hal ini bukanlah satu-satunya tolak ukur karena
juga harus disertai dengan asas-asas yang menjadi pedoman diskresi kepolisian antara lain
tindakan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan para
pihak dan berat ringannya masalah, serta dilakukan dengan kecermatan yang didasarkan
pada informasi dan dokumen yang lengkap. Inisiatif diskresi ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Tabel 3. Data jumlah pasal dalam penghentian perkara (SP3) selama tahun 2014
15
B. Kasus-kasus yang diselesaikan demi kepentingan umum
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan pola-pola tindakan diskresi menghentikan
kasus demi kepentingan umum dan pertimbangannya sebagaimana digambarkan sebagai
berikut :
Berdasarkan gambaran kasus yang diselesaikan di atas dapat dilihat bahwa adanya
kesepakatan damai merupakan unsur yang sangat berperan bagi pertimbangan penyidik.
Namun demikian ditemukan pula bahwa meskipun kesepakatan damai telah tercapai,
terdapat beberapa alasan yang mendorong penyidik untuk tetap memproses perkaranya
sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut :
Gambar 4. Inisiatif melakukan diskresi.
Tabel 4. Perkara delik murni yang diselesaikan dan pertimbangannya
Tabel 5. Pertimbangan penyidik untuk tidak menghentikan perkara damai
16
Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat hal-hal
meringankan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tidak memproses perkaranya
dan terdapat hal-hal memberatkan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tetap
memproses perkaranya meskipun telah terjadi perdamaian.
C. Menggantikan peranan hakim
Keputusan polisi untuk tidak memproses perkara pada akhirnya akan menghilangkan
peranan jaksa dan hakim untuk memberikan putusan hukuman yang tepat (Joseph
Goldstein, 1960:562). Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Howard Cohen
(1985:38) bahwa kepolisian memiliki kewenangan pengganti (stand-in authority), yaitu
kewenangan untuk mengadopsi peran sebagai otoritas pengganti ketika pihak yang
berwenang tidak bisa atau tidak melakukannya. Kewenangan pengganti ini dapat
digambarkan sebagai berikut :
Ketika polisi menggantikan peranan hakim dalam memberikan keadilan, maka polisi
tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan vonis atau menjatuhkan hukuman yang
berkekuatan tetap kepada salah satu pihak, melainkan bertujuan menciptakan
keseimbangan kepada kedua belah pihak yang berperkara. Hal ini juga dikuatkan oleh
Satjipto Rahardjo (2007) dengan mengemukakan bahwa polisi sudah menjalankan
pekerjaan yang multifungsi, yaitu tidak sebagai polisi saja, tetapi sebagai jaksa dan hakim
sekaligus. Oleh karena itu ketika polisi menggantikan kewenangan hakim dalam
memberikan keadilan secara terbatas, maka polisi juga harus mengadopsi pertimbangan
Gambar 5. Kewenangan pengganti
17
hakim dalam memutuskan tindakan kepolisian dengan melihat tujuan dan pedoman
pemidanaan
Tujuan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam RUU KUHP Pasal 54 adalah : (1)
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat; (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat; (4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Sedangkan yang menjadi pedoman pemidanaan bagi hakim sebagaimana disebutkan
dalam RUU KUHP Pasal 55 adalah dengan mempertimbangkan : (1) kesalahan pembuat
tindak pidana; (2) motif dan tujuan melakukan tindak pidana; (3) motif dan tujuan
melakukan tindak pidana; (4) tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau
tidak; (4) cara melakukan tindak pidana; (5) sikap dan tindakan pembuat sesudah
melakukan tindak pidana; (6) riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi
pembuat tindak pidana; (7) pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak
pidana; (8) pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; (9) pemaafan
dari korban dan/atau keluarganya; (10) pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
yang dilakukan. Bahkan karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau
keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
D. Hal yang meringankan dan yang memberatkan menurut penyidik
Pedoman pemidanaan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang
meringankan dan hal-hal yang memberatkan bagi hakim sebagai pertimbangan dalam
menjatuhkan hukuman. Bahkan dalam kondisi tertentu, hakim dapat memberi maaf atau
tidak menjatuhkan hukuman dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan hal-hal yang meringankan dan yang
memberatkan menurut penyidik sebagai berikut :
18
Hal-hal yang meringankan dan memberatkan ini merupakan dasar penilaian awal bagi
petugas untuk mengambil keputusan terhadap tindakan kepolisian yang akan dilakukan
selanjutnya. Namun demikian diskresi atau keputusan apapun yang diambil nantinya
tetap harus memperhatikan tujuan pemidanaan dan pedoman diskresi kepolisian
E. Diskresi dan kemampuan menilai
Hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan tersebut merupakan dasar
penilaian awal bagi petugas untuk mengambil keputusan terhadap tindakan kepolisian
yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian apabila penilaian ini diselaraskan
dengan tujuan pemidanaan dan pedoman diskresi maka akan terdapat beberapa pilihan
tindakan yaitu : (1) ketika petugas menimbang bahwa bobot hal yang memberatkan lebih
besar atau lebih berat daripada hal yang meringankan maka penegakan hukum adalah
pilihan yang sesuai untuk menghadapi permasalahan yang ada; (2) sedangkan bila petugas
merasa bahwa bobot hal yang meringankan lebih besar daripada hal yang memberatkan
maka tindakan kepolisian dilakukan untuk menyelesaikan konflik, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai di masyarakat; (3) Selain itu pada saat
petugas dihadapkan pada situasi yang mengharuskan melakukan penegakan hukum
meskipun terdapat hal meringankan yang lebih besar, maka proses penegakan hukum
tetap dilakukan dengan melampirkan hal-hal yang dapat meringankan hukuman bagi
pelaku di sidang pengadilan. Dengan demikian ketika kepolisian sampai pada batasan
keadilan yang tidak sanggup lagi ia seimbangkan, maka kepolisian akan menyerahkan
Tabel 6. Pola pertimbangan penyidik berdasarkan faktor pelaku, korban, dan lingkungan sosial
19
prosesnya ke sidang pengadilan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan yang
lebih tinggi bagi para pihak. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai berikut :
F. Pilihan tindakan dalam teknis penyidikan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat keragaman pilihan tindakan
dalam proses penyidikan, yang dapat diuraikan dan dianalisa dengan memperhatikan
pedoman diskresi kepolisian sebagai berikut :
Gambar 6. Penerapan diskresi kepolisian dalam memproses atau tidak memproses perkara
Tabel 7. Peluang penerapan diskresi kepolisian dalam teknis penyidikan
20
G. Pilihan tindakan dalam pengawasan dan pengendalian pada proses penyidikan
Selain diskresi yang dilakukan dalam tataran fungsional kepolisian, terdapat pula
diskresi yang dilakukan untuk membantu kelancaran dan mengatasi hambatan dalam
proses penyidikan. Hal ini tercermin dalam diskresi yang dilakukan pejabat pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan. Diskresi menurut undang-undang ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Berdasarkan gambaran tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perluasan tujuan
diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana, yaitu tidak hanya untuk menciptakan
dan memelihara keamanan dan ketertiban, melainkan juga untuk melancarkan dan
mengatasi hambatan dalam proses penyidikan
H. Intervensi dalam penyidikan
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dalam proses penyidikan terdapat dua
pandangan yang berbeda mengenai makna intervensi. Pemaknaan yang pertama
memandang bahwa intervensi adalah hal yang negatif, yaitu adanya campur tangan dari
pihak lain dalam proses penyidikan yang lebih bersifat kepentingan pribadi atau
kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan tujuan penyidikan sehingga perkaranya
dihentikan atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan pemaknaan yang kedua
memandang bahwa intervensi adalah hal yang positif, yaitu adanya campur tangan dari
pihak lain dalam proses penyidikan untuk mengatasi stagnasi dan membantu kelancaran
proses penyidikan, menentukan prioritas penyidikan, serta meningkatkan efektivitas
penanganan perkara. Terhadap intervensi negatif terdapat dua pilihan tindakan yang
dapat dilakukan oleh anggota penyidik sebagaimana digambarkan sebagai berikut :
Gambar 7. Diskresi menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
21
Sedangkan terhadap intervensi positif terdapat pola tindakan sebagai berikut :
3. Strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa strategi pengembangan diskresi
kepolisian dalam penyidikan tindak pidana saat ini hanya berupa penambahan pasal di
dalam RUU Polri tentang penambahan kewenangan untuk menyelesaikan perkara
berdasarkan keadilan restoratif yang dijadikan sebagai dasar diskresi dalam penyidikan
tindak pidana. Demikian pula ditemukan bahwa dalam bidang pendidikan belum terdapat
pengembangan diskresi kepolisian sebelumnya dan baru akan dibuatkan kurikulum
tentang diskresi kepolisian namun dimasukkan ke dalam pelajaran fungsi teknis berupa
contoh-contoh penerapan diskresi untuk tingkatan pelaksana (Bintara)
Gambar 9. Pilihan tindakan terhadap intervensi negatif
Gambar 8. Pola intervensi positif
22
A. Konsep strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada
tataran penerapan
Diskresi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum. Oleh
karenanya untuk menentukan konsep strategi pengembangan diskresi pada tataran
penerapan, terlebih dahulu dikemukakan suatu konsep untuk mewujudkan
keseimbangan penegakan hukum dalam konteks keindonesiaan sebagai berikut :
Diskresi merupakan pelengkap dari asas legalitas yang merupakan jantung atau syarat
utama dari penegakan hukum. Berdasarkan gambaran di atas dapat dilihat bahwa
penegakan hukum dilakukan berdasarkan lingkaran kebudayaan tertentu yang sangat
bervariasi di setiap daerah. Dengan demikian seyogyanya penegakan hukum senantiasa
menyesuaikan dengan lingkaran kebudayaan yang bertujuan untuk mencapai keadilan
dan kemanfaatan dalam proses pencariannya (context of discovery) serta mencapai
kepastian dalam proses penerapannya (context of justification)
Apabila dicermati lebih dalam, diskresi yang dilakukan dalam penegakan hukum
membutuhkan adanya suatu pola pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan dan
hal-hal yang memberatkan sebagai dasar penilaian awal untuk mengambil keputusan
terhadap tindakan kepolisian yang akan dilakukan selanjutnya. Keputusan yang diambil
kemudian diwujudkan dalam suatu tindakan; apakah untuk menyelesaikan konflik,
memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai di masyarakat; atau tindakan
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau pelaku yang sama di
kemudian hari dalam suatu bentuk penegakan hukum. Ketika sampai kepada tindakan
Gambar 10. Keseimbangan penegakan hukum dalam konteks keindonesiaan
23
nyata, maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan secara terbuka dan tanpa batas,
melainkan dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu
kepada sistem hukum positif. Artinya diperlukan suatu pedoman diskresi yang dinyatakan
secara tegas di dalam peraturan, yang menjadi rambu-rambu untuk menghindari
terjadinya kesalahan dalam penerapan diskresi. Untuk dapat menjamin akuntabilitas
maka setiap tindakan harus diwujudkan ke dalam suatu produk hukum (khalayak umum)
atau laporan (internal kepolisian). Hal ini merupakan konsep strategi pengembangan
diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada tataran penerapan yang dapat
digambarkan sebagai berikut :
Untuk melakukan evaluasi penerapan diskresi ini dapat dikemukakan suatu konsep
jangka panjang dan jangka pendek sebagai berikut :
1. Rencana jangka panjang
Konsep jangka panjang difokuskan kepada pembaharuan peraturan perundang-
undangan dengan melakukan penilaian kembali terhadap apa yang menjadi tujuan dasar
dari hukum pidana serta menemukan aturan-aturan yang dinilai sudah tidak sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu Satuan Tugas
yang terdiri dari seluruh komponen sistem peradilan pidana di tingkat nasional di bawah
koordinasi Kementrian Hukum dan HAM serta Komisi 3 DPR yang membidangi hukum,
HAM dan keamanan. Satuan Tugas ini bertugas melakukan penilaian dan peninjauan
terhadap praktek penegakan hukum dan pola-pola diskresi kepolisian, serta menemukan
aturan-aturan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Hasil
rekomendasi yang telah dirumuskan oleh Satuan Tugas ini selanjutnya akan diberikan
Gambar 11. Strategi Pengembangan Diskresi Kepolisian Dalam Tataran Penerapan
24
kepada Komisi 3 DPR untuk kemudian dirumuskan dalam rancangan perundang-
undangan yang baru
2. Rencana jangka pendek
Disadari bahwa pembaharuan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dikemukakan dalam rencana jangka panjang di atas membutuhkan masa kerja yang tidak
dapat ditentukan batasnya, maka diperlukan pula suatu konsep jangka pendek yang lebih
efisien dan dapat serta merta diterapkan. Konsep jangka pendek ini difokuskan untuk
menciptakan kesepahaman di lingkungan sistem peradilan pidana untuk mengatasi
kendala dalam praktek penegakan hukum dan diskresi kepolisian khususnya terhadap
aturan-aturan yang tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, maupun yang dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Bentuk kesepahaman ini diwujudkan
melalui MoU (Memorandum of Understanding) di dalam sistem peradilan pidana sehingga
tercipta keselarasan dalam penegakan hukum, khususnya tindakan diskresi kepolisian
yang dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada
sistem hukum positif. MoU ini hendaknya senantiasa dikembangkan secara berkelanjutan
sehingga dapat mengikuti perubahan dinamika masyarakat serta dapat diterima oleh
berbagai pihak dalam sistem peradilan pidana
B. Konsep strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada
tataran kebijakan
Konsep yang ditawarkan pada tataran kebijakan ini didasari oleh teori sistem hukum
dari Lawrence M. Friedman (2013, terjemahan) yang memandang hukum sebagai suatu
sistem yang merupakan kumpulan dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi dan
beroperasi dalam batas-batas tertentu. Menurutnya, yang memberi nyawa dan realitas
pada sistem hukum adalah dunia sosial eksternal, yang bergantung secara mutlak pada
input-input dari luar. Apabila digambarkan maka konsep strategi pengembangan diskresi
pada tataran kebijakan adalah sebagai berikut :
25
Berdasarkan gambaran di atas maka strategi pengembangan dalam tataran kebijakan
seyogyanya diarahkan kepada penegakan hukum dan penerapan diskresi yang mampu
memberikan kepastian dalam konteks penerapannya (context of justification), serta
mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat dalam proses pencariannya
(context of discovery). Untuk mencapai hal ini maka harus dilakukan pembangunan pada;
(1) substansi hukum; (2) struktur hukum; dan (3) kultur hukum
Pembangunan pada substansi hukum dilakukan melalui pembentukan norma yang
disesuaikan dengan adat istiadat, keragaman budaya yang menjadi pola kebiasaan,
norma-norma yang menjadi pedoman dalam masyarakat, serta tuntutan-tuntutan
masyarakat. Norma-norma hasil pembentukan dari interaksi environmental ini bersifat
terbuka sehingga senantiasa menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi terhadap
penerapan norma yang disesuaikan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat
Pembangunan pada struktur hukum dilakukan dengan mengoptimalkan mekanisme
pengawasan dan pengendalian di lingkungan penyidikan tindak pidana baik melalui
atasan penyidik maupun pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan. Apabila
terdapat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang, Propam dapat melakukan
pemeriksaan dengan menggunakan instrumen penerapan diskresi berupa kemampuan
menilai (hal-hal yang memberatkan maupun meringankan), serta pedoman diskresi
kepolisian dalam penyidikan tindak pidana
Gambar 12. Strategi pengembangan pada tataran kebijakan
26
Pembangunan pada struktur hukum juga dilakukan dengan dalam konsep jangka
panjang dengan membentuk Satuan Tugas yang terdiri dari seluruh komponen sistem
peradilan pidana, di bawah koordinasi Kementrian Hukum dan HAM serta Komisi 3 DPR
yang membidangi hukum, HAM dan keamanan; serta dilakukan dalam konsep jangka
pendek dengan membuat kesepahaman (MoU) di lingkungan sistem peradilan pidana
untuk menciptakan keselarasan dalam penegakan hukum
Pembangunan pada kultur hukum dilakukan dengan memasukkan diskresi kepolisian
dalam kurikulum pendidikan Polri sehingga mendukung terciptanya norma positif di
kalangan pelaksana baik dalam tataran pembentukan maupun pengembangan, serta
melakukan sosialisasi terhadap pemaknaan dan pengaturan diskresi kepolisian dalam
penyidikan tindak pidana sehingga dapat dipahami di lingkungan internal Polri khususnya
pengawasan internal (Propam), serta di lingkungan eksternal Polri agar diskresi kepolisian,
khususnya dalam penyidikan tindak pidana, mulai diakui dan mampu mendorong
legitimasi atau pengakuan masyarakat terhadap penerapan diskresi kepolisian khususnya
dalam penyidikan tindak pidana
Kesimpulan
Sebagai penutup dari uraian pada pembahasan bab terdahulu, berdasarkan analisis
dan interpretasi terhadap temuan penelitian mengenai diskresi kepolisian dalam penyidikan
tindak pidana dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Diskresi adalah suatu keputusan terhadap pilihan tindakan yang didasarkan penilaian
pribadi dengan pertimbangan moral, yang dilakukan dalam keadaan kasus tertentu serta
demi kepentingan umum maupun kepentingan sosial
2. Diskresi yang dilakukan dengan menerobos atau mengabaikan aturan adalah diskresi yang
dilakukan dengan mengabaikan tataran teknis namun tetap dalam koridor kewenangan
Polri yang lebih luas, sedangkan diskresi yang tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum adalah diskresi yang tetap memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-
undangan serta tidak bertentangan dengan koridor kewenangan Polri yang lebih luas
yaitu bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
3. Diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana adalah diskresi yang dilakukan oleh
penyidik dalam tataran teknis penyidikan maupun mengabaikan tataran teknis penyidikan
27
dengan tetap memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-undangan, yang
bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
4. Dasar hukum penghentian perkara demi kepentingan umum adalah penghentian
penyidikan DEMI HUKUM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, dan
Pasal 109 ayat 2 KUHAP
5. Yang menjadi dasar hukum perlindungan bagi petugas yang melakukan diskresi adalah
alasan penghapus pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 KUHP tentang
melaksanakan ketentuan undang-undang; Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang melaksanakan
perintah dari pihak atasan yang sah (alasan pembenar); serta Pasal 51 ayat 2 KUHP
tentang alasan penghapus penuntutan pidana mengenai dengan itikad baik melaksanakan
perintah jabatan yang tanpa wewenang (alasan pemaaf)
6. Untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penerapan diskresi diperlukan suatu
pedoman dalam diskresi yang meliputi :
a. Bertujuan untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Diperlukan dan mengharuskan anggota Polri melakukan suatu tindakan
c. Seimbang dengan berat ringannya suatu masalah yang dihadapi, tidak boleh kurang
atau berlebihan
d. Memperhatikan prosedur dan hukum yang berlaku
e. Pertimbangan yang obyektif, tidak boleh mempunyai motif pribadi, karena rasa
simpati atau antipati
f. Tidak menyalahgunakan wewenang
g. Mempertimbangkan kemanfaatan umum dan keseimbangan kepentingan
h. Dengan kecermatan berdasarkan informasi dan dokumen yang lengkap
i. Jujur, terbuka, dapat dipertanggungjawabkan, dengan memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara
j. Pelayanan yang baik
7. Inisiatif diskresi dapat dilakukan dengan didasari itikad baik yang bertujuan menciptakan
dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (alasan penghapus pidana),
dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan para pihak dan berat
ringannya masalah, serta dengan kecermatan berdasarkan informasi dan dokumen yang
lengkap (pedoman diskresi)
28
8. Kepolisian senantiasa menggantikan peranan hakim dalam memberikan keadilan secara
terbatas, yaitu menciptakan keseimbangan kepada kedua belah pihak yang berperkara
9. Terdapat hal-hal meringankan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tidak
memproses perkaranya dan terdapat hal-hal memberatkan yang menjadi pertimbangan
penyidik untuk tetap memproses perkaranya meskipun telah terjadi perdamaian. Ketika
bobot hal yang memberatkan lebih besar daripada hal yang meringankan maka
penegakan hukum adalah pilihan yang sesuai untuk menghadapi permasalahan yang ada,
sedangkan bila petugas merasa bahwa bobot hal yang meringankan lebih besar daripada
hal yang memberatkan maka tindakan kepolisian dilakukan untuk menyelesaikan konflik,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai di masyarakat
10. Dalam interaksi yang terjadi antara pimpinan dan anggota penyidik ditemukan adanya
anomali berupa intervensi negatif yang dapat mengganggu jalannya proses penyidikan
dan intervensi positif ketika adanya gangguan dalam proses penyidikan. Intervensi negatif
terjadi ketika seseorang yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan tertentu mampu
mengarahkan proses penyidikan kepada kepentingan pribadi atau kepentingan lain yang
tidak sesuai dengan tujuan penyidikan sehingga perkaranya dihentikan atau tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Sedangkan Intervensi positif terjadi ketika seseorang yang
mempunyai kekuasaan atau kekuatan tertentu mampu mengarahkan proses penyidikan
untuk mengatasi terjadinya stagnasi dan membantu kelancaran proses penyidikan,
menentukan prioritas penyidikan, serta meningkatkan efektivitas penanganan perkara
11. Strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana saat ini hanya
berupa penambahan pasal di dalam RUU Polri tentang penambahan kewenangan untuk
menyelesaikan perkara berdasarkan keadilan restoratif yang dijadikan sebagai dasar
diskresi dalam penyidikan tindak pidana, serta rencana pembuatan kurikulum diskresi
kepolisian pada pendidikan di tingkat pelaksana (Bintara) berupa contoh-contoh
penerapan diskresi yang dimasukkan ke dalam pelajaran fungsi teknis kepolisian
12. Strategi pengembangan pada tataran penerapan adalah adanya tahapan penilaian
terhadap hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagai dasar pengambilan
keputusan, tahapan pengambilan tindakan yang dilakukan dengan memperhatikan
pedoman diskresi, tahapan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang diwujudkan dalam
suatu produk hukum, serta tahapan evaluasi dalam rangka pengembangan diskresi
29
kepolisian selanjutnya, yang dijabarkan dalam rencana jangka panjang dan rencana jangka
pendek
13. Strategi pengembangan pada tataran kebijakan diarahkan kepada penegakan hukum dan
penerapan diskresi yang mampu memberikan kepastian dalam konteks penerapannya
(context of justification), serta mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat
dalam proses pencariannya (context of discovery) dengan melakukan pembangunan pada;
(1) substansi hukum; (2) struktur hukum; dan (3) kultur hukum
Saran
1. Diperlukan suatu aturan khusus mengenai diskresi kepolisian khususnya dalam bidang
penyidikan tindak pidana sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan atau perdebatan
dalam pelaksanaannya baik secara internal maupun dari eksternal Polri
2. Perlunya dilakukan perubahan dalam Perkap Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
terkait kewenangan penyidik untuk menghentikan perkara demi kepentingan umum.
Rumusan “demi hukum” dapat diartikan demi mencapai tujuan hukum, yaitu demi
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
3. Perlunya diatur mengenai perlindungan terhadap penyidik yang melakukan diskresi
kepolisian dalam penyidikan tindak pidana dengan dasar melaksanakan ketentuan
undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah, serta dengan itikad baik
melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang
4. Perlu diatur mengenai tolak ukur penilaian berupa hal-hal yang memberatkan maupun
yang meringankan bagi penyidik, yang menjadi dasar penilaian awal pengambilan
keputusan untuk menentukan tindakan kepolisian yang akan dilakukan selanjutnya; serta
hal-hal yang menjadi pedoman dalam diskresi untuk menghindari terjadinya kesalahan
dalam diskresi dan menjadi tolak ukur penerapan diskresi serta pertanggungjawabannya
5. Perlu dilakukan perluasan makna diskresi tidak hanya bertujuan untuk menciptakan dan
memelihara keamanan dan ketertiban, melainkan juga untuk melancarkan dan mengatasi
hambatan dalam proses penyidikan
6. Perlunya diatur mengenai hubungan antara penyidik dan atasan penyidik serta hal-hal
yang dapat melindungi masing-masing pihak dari kemungkinan penyimpangan secara
timbal balik
30
7. Perlunya dibuat suatu rencana jangka panjang untuk mengevaluasi diskresi kepolisian
dengan membentuk Satuan Tugas yang terdiri dari CJS, Kemenkumham, dan Komisi 3 DPR,
untuk selanjutnya dirumuskan dalam rancangan perundang-undangan yang baru
8. Perlunya dibuat suatu rencana jangka pendek untuk mengevaluasi diskresi kepolisian
dengan membuat MoU di lingkungan CJS sehingga terciptanya keselarasan dalam
penegakan hukum, khususnya tindakan diskresi kepolisian yang dilakukan untuk
menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem hukum positif
9. Diskresi kepolisian perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Polri sehingga
terciptanya norma positif di kalangan pelaksana, serta melakukan sosialisasi terhadap
pemaknaan dan pengaturan diskresi kepolisian sehingga dapat dipahami di lingkungan
internal dan mendapatkan dukungan dari kalangan eksternal Polri
Daftar Pustaka
Djoko Prakoso. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1987
Frederick A. Elliston and Michael Feldberg. Moral Issues in Police Work, United States ofAmerica: Rowman & Littlefield Publishers, 1985
Gustav Radbruch. Five Minutes of Legal Philosophy (1945), Translated by: Bonnie LitschewskiPaulson & Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (2006),pp. 13 doi:10.1093/ojls/gqi042
H. Ph. Visser’t Hooft. Filsafat Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitantidak berkala No. 4 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2002)
Joseph Goldstein. Police Discretion Not To Invoke the Criminal Process: Low-visibility Decisionin the Administration Of Justice, The Yale Journal, Vol. 69:555-557 (1960)
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M. Khozim(Bandung: Nusa Media, Cet. 5, 2013)
M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: PradnyaParamita, 1991
Mahrus Ali. Membumikan Hukum Progresif, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 8, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Philipus M. Hadjon. “Tentang Wewenang”, Yuridika, No.5&6 Tahun XII, September –Desember, 1997
31
Ronny R. Nitibaskara. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: PT Kompas MediaNusantara, 2006
Sidharta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013
Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. 1. Cet. 5,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
Black’s Law Dictionary. “What is Discretion?”, www.thelawdictionary.org, diakses 20 Oktober2014
“Kejamnya Keadilan Sandal Jepit”, dalam www.nasional.kompas.com, diakses 15 Desember2014