PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres...

31
1 PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA Oleh Bayu Indra Wiguno, SIK., MIK. Pembimbing I : Prof. Dr. Tb. Ronny R. Nitibaskara Pembimbing II : Dr. Zulkarnaen Koto, S.H., M.Hum. ABSTRAK Diskresi bukan hanya sekedar pilihan bagi polisi namun merupakan bagian penting dan tidak dapat dihindari dalam pekerjaannya. Namun demikian dalam kenyataannya diskresi kepolisian, khususnya dalam penyidikan tindak pidana, belum diatur secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda baik di kalangan penyidik maupun dari fungsi pengawasan. Hal ini kemudian menimbulkan keragaman sekaligus keragu-raguan dalam menerapkannya karena dianggap tidak memiliki payung hukum yang jelas. Di sisi lain, pembuat kebijakan berupaya untuk membuat payung hukum diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana, khususnya dalam keputusan memproses atau tidak memproses perkara demi kepentingan umum, yang tidak hanya melindungi petugas (penyidik), meringankan beban pekerjaan, namun juga untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum Kata Kunci : Diskresi, Penegakan Hukum, Penyidikan, Tindak Pidana ABSTRACT Discretion not merely an option for the police but it is an essential part and could not be avoided in their job. However, in reality the discretion of the police, particularly in the criminal investigation, has not been set explicitly in the legislation giving rise to different interpretations of both the investigator and of the supervisory function. This then led to diversity as well doubts in implementing as it is considered does not have a clear legal framework. On the other hand, policy makers sought to create legal framework discretion of the police in criminal investigations, particularly in the decision to process or not to process cases in the public interest, which not only protects officers (investigators), ease the burden of work, but also to maintain security and general order Keywords : Discretion, Law Enforcement, Investigation, Crime Latar Belakang Permasalahan Howard Cohen (1985:27) mengemukakan bahwa diskresi bukan pilihan bagi polisi, melainkan bagian penting dan tidak dapat dihindari dari pekerjaannya. Ia menegaskan bahwa siapapun (petugas) yang melaksanakan tugas tanpa diskresi maka akan gagal atau berhenti bekerja. Kata-kata Cohen ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Walaupun diskresi dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari asas legalitas, namun Prayudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa sebenarnya diskresi justru merupakan pelengkap dari asas legalitas yang menyatakan bahwa setiap tindak atau

Transcript of PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres...

Page 1: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

1

PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

OlehBayu Indra Wiguno, SIK., MIK.

Pembimbing I : Prof. Dr. Tb. Ronny R. NitibaskaraPembimbing II : Dr. Zulkarnaen Koto, S.H., M.Hum.

ABSTRAKDiskresi bukan hanya sekedar pilihan bagi polisi namun merupakan bagian penting

dan tidak dapat dihindari dalam pekerjaannya. Namun demikian dalam kenyataannyadiskresi kepolisian, khususnya dalam penyidikan tindak pidana, belum diatur secara tegasdalam undang-undang sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda baik di kalanganpenyidik maupun dari fungsi pengawasan. Hal ini kemudian menimbulkan keragamansekaligus keragu-raguan dalam menerapkannya karena dianggap tidak memiliki payunghukum yang jelas. Di sisi lain, pembuat kebijakan berupaya untuk membuat payung hukumdiskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana, khususnya dalam keputusan memprosesatau tidak memproses perkara demi kepentingan umum, yang tidak hanya melindungipetugas (penyidik), meringankan beban pekerjaan, namun juga untuk memelihara keamanandan ketertiban umum

Kata Kunci : Diskresi, Penegakan Hukum, Penyidikan, Tindak Pidana

ABSTRACTDiscretion not merely an option for the police but it is an essential part and could not

be avoided in their job. However, in reality the discretion of the police, particularly in thecriminal investigation, has not been set explicitly in the legislation giving rise to differentinterpretations of both the investigator and of the supervisory function. This then led todiversity as well doubts in implementing as it is considered does not have a clear legalframework. On the other hand, policy makers sought to create legal framework discretion ofthe police in criminal investigations, particularly in the decision to process or not to processcases in the public interest, which not only protects officers (investigators), ease the burden ofwork, but also to maintain security and general order

Keywords : Discretion, Law Enforcement, Investigation, Crime

Latar Belakang Permasalahan

Howard Cohen (1985:27) mengemukakan bahwa diskresi bukan pilihan bagi polisi,

melainkan bagian penting dan tidak dapat dihindari dari pekerjaannya. Ia menegaskan bahwa

siapapun (petugas) yang melaksanakan tugas tanpa diskresi maka akan gagal atau berhenti

bekerja. Kata-kata Cohen ini menunjukkan betapa pentingnya penggunaan diskresi dalam

pelaksanaan tugas kepolisian. Walaupun diskresi dianggap sebagai bentuk penyimpangan

dari asas legalitas, namun Prayudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa sebenarnya diskresi

justru merupakan pelengkap dari asas legalitas yang menyatakan bahwa setiap tindak atau

Page 2: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

2

perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang.1 Satjipto

Rahardjo juga mengingatkan apabila hukum mengatur kehidupan bersama secara rinci

dengan langkah-langkah secara lengkap maka seketika itu pula kehidupan akan macet, oleh

karenanya sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh

hukum itu sendiri.2

Dengan demikian artinya bahwa antara asas legalitas dan diskresi tidak bisa dipandang

sebagai dua hal yang saling berlawanan dan berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu

kesatuan yang saling melengkapi. Hal ini didasari oleh keterbatasan hukum itu sendiri,

sebagaimana dikemukakan La Fave (1964), bahwa (1) tidak ada perundang-undangan yang

sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia; (2) adanya

kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-

perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian; (3) kurangnya

biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk

undang-undang; dan (4) adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara

khusus

Penegakan hukum yang dilakukan tanpa diskresi atau tanpa pandang bulu,

sebagaimana kata-kata Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang cukup terkenal yaitu

Fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh),

ternyata justru menyisakan banyak persoalan.3 Tindakan penegakan hukum yang mengusik

rasa keadilan masyarakat di Indonesia dapat tergambar dari peristiwa seperti pencurian

sandal jepit yang dilakukan oleh AAL, siswa SMK 3 Palu, Sulawesi Selatan, serta pencurian tiga

biji kakao yang dilakukan oleh nenek Minah dari dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan,

Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, yang diproses melalui jalur pengadilan

Walaupun hasil akhir dalam sidang pengadilan telah memberikan keputusan yang

terbaik kepada para pelaku, namun penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian

kemudian mendapatkan sorotan tajam dari para ahli, masyarakat bahkan hingga dari luar

negeri. Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasojo mengemukakan bahwa hukuman

yang diberikan kepada nenek Minah dan AAL itu menggambarkan proses hukum yang mati

1 Dalam Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Ed. 1. Cet. 5, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2004, hal. 222 Dalam M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: Pradnya Paramita, 1991,hal. 173 Mahrus Ali, Membumikan hukum progresif, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013, hal. 13-14

Page 3: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

3

dari tujuan hukum itu sendiri, karena hanya mengikuti aturan formal dan tidak

memperhitungkan substansi dan hati nurani.4 Demikian pula yang dikatakan Soetandyo

Wignyosoebroto bahwa undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati), dan hukum

menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Bila putusannya aneh itu bukan

salah undang-undang, melainkan hakim yang seharusnya pandai memberikan putusan yang

bisa diterima.5

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana kondisi penegakan hukum di

Indonesia yang seakan kehilangan kemampuannya untuk mencapai keseimbangan antara tiga

tujuan hukum yang saling tarik menarik yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan,

akibat hanya berpedoman kepada sisi legalitas formal semata.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana?

2. Bagaimana penerapan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana?

3. Bagaimana strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak

pidana dalam hal pengaturan, penataan dan kelembagaan di lingkungan Polri?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah tersebut maka yang

menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak

pidana

2. Untuk menggambarkan dan menganalisis penerapan diskresi kepolisian dalam

penyidikan tindak pidana di lingkungan Polri

3. Untuk menemukan upaya atau strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam

penyidikan tindak pidana dalam hal pengaturan, penataan dan kelembagaan di

lingkungan Polri

4 Kejamnya keadilan sandal jepit, dalam www.nasional.kompas.com, diakses 15 Desember 20145 Ibid.

Page 4: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

4

Tinjauan Pustaka

Kewenangan

Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai

kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan

dengan kekuasaan.6 Menurut Indroharto, terdapat tiga macam kewenangan yang bersumber

dari peraturan perundang-undangan, meliputi (1) Atribusi (pemberian kewenangan yang baru

atau sebelumnya tidak ada, oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ

pemerintah); (2) Delegasi (penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintah

kepada organ yang lain); (3) Mandat (pengalihan tugas dimana tidak terjadi suatu pemberian

wewenang baru maupun pelimpahan wewenang).7

Penegakan Hukum

Menurut Soejono Soekanto (1979) inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang merupakan perwujudan pandangan baik

dan buruk dalam kehidupan manusia, dimana selalu dalam posisi yang berpasangan, yang

diwujudkan secara konkret dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang berisi suruhan, larangan,

atau kebolehan, yang kemudian menjadi pedoman atau patokan dalam perilaku atau sikap

tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa

penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun

di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian

Law enforcement begitu populer. Pandangan yang sempit terhadap penegakan hukum

mempunyai kelemahan-kelemahan, bila pelaksanaan perundang-undangan tersebut justru

mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup

Sedangkan menurut Joseph Goldstein (1960) terdapat tiga bidang di dalam penegakan

hukum yaitu (1) Total Enforcement dimana kepolisian tidak hanya diberikan kewenangan

untuk menegakkan hukum, namun juga terdapat aturan yang melarang kepolisian melakukan

penegakan hukum dalam rangka melindungi hak asasi manusia; (2) Full Enforcement dimana

kepolisian diberikan kewenangan dan diharapkan menegakkan hukum sepenuhnya, namun

karena berbagai keterbatasan dan tekanan yang ada kemudian mendorong kepolisian

melakukan diskresi untuk tidak menerapkan proses pidana; serta (3) Actual Enforcement yang

6 Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, Yuridika, No.5&6 Tahun XII, September – Desember , 1997 , hal.17 Ridwan HR, Hukum administrasi negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006, hal. 104

Page 5: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

5

merupakan wujud penegakan hukum sebenarnya yang dilakukan kepolisian. Ketiga bidang

penegakan hukum ini digambarkan oleh Goldstein sebagai berikut :

Tujuan Hukum

Gustav Radbruch (1945) mengemukakan bahwa hukum sebenarnya merupakan

keinginan atas keadilan. Yang dimaksud keadilan adalah untuk menilai tanpa memandang

siapa, dan menganggap setiap orang dengan ukuran yang sama. Ia juga mengemukakan

bahwa terdapat tiga nilai atas hukum yaitu kemanfaatan umum, kepastian hukum, dan

keadilan. Walaupun kepastian hukum merupakan nilai yang hadir di setiap undang-undang

hukum positif, namun ia bukanlah nilai yang paling utama. Kepastian hukum ditempatkan di

tengah-tengah kedua nilai yang lain karena ia dibutuhkan tidak hanya bagi kemanfaatan

umum, namun juga keadilan. Hukum memang harus pasti dan yakin, agar tidak

diinterpretasikan dan dipergunakan dengan cara, serta pada waktu dan tempat yang berbeda.

Menurut Radbruch apabila terdapat konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka yang

harus diutamakan adalah keadilan

Penalaran Hukum

Visser’t Hooft (2002) mengutip ungkapan yang diambilnya dari penulis Inggris A.G.

Guest; “The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is decision,”

yang artinya bahwa yang menjadi objek dari penelitian ilmiah adalah penemuan, sedangkan

Gambar 1. Hubungan Kepolisian dengan keseluruhan administrasi peradilan pidana

Page 6: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

6

yang menjadi objek dari penelitian hukum adalah keputusan. Ungkapan ini menurut Sidharta

sesungguhnya menegaskan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir

problematis. Penalaran hukum, menurut Neil MacCormick (1994), merupakan satu cabang

dari penalaran praktis, dimana digunakan oleh manusia terhadap alasan untuk memutuskan

bagaimana yang benar untuk bertindak di dalam situasi-situasi memilih

Walaupun penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum

(manusia) sebagai makhluk hidup dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya, namun

penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang terbuka tanpa batas, melainkan

dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem

hukum positif

Diskresi

Ronny Nitibaskara (2006:32) sebagaimana mengutip kata-kata Hartjen (1989)

mengemukakan bahwa “law enforcement is a matter of decision making”. Dengan demikian

menurutnya yang harus mendapatkan tempat adalah kekuasaan diskresi, yaitu the freedom

to make decisions on individual basis. Di dalam kekuasaan diskresi inilah polisi diberi

kebebasan menurut pertimbangannya, apakah ia akan memeriksa seseorang, menahan atau

membebaskannya berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah

diinterpretasikannya. SF. Marbun (2001) mengatakan bahwa Istilah “Diskresi” dikenal juga

sebagai Freies Ermessen, yang secara bahasa berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas,

tidak terikat dan merdeka, sedangkan Ermessen berarti menilai, menduga, dan

mempertimbangkan sesuatu. Dengan demikian Freies Ermessen dapat diartikan sebagai

“orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas

mengambil keputusan”.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, diskresi didefinisikan sebagai suatu

kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan

keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral daripada

pertimbangan hukum (Thomas J. Aaron).8 Menurut Lawrence M. Friedman, seorang pembuat

keputusan memiliki diskresi untuk memilih di antara dua alternatif.9 Sedangkan menurut

8 M. Faal, Op. Cit., hal. 169 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M. Khozim (Bandung: Nusa Media,Cet. 5, 2013, hal. 48)

Page 7: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

7

Wayne La Fave,10 diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh

hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Hal ini selaras dengan pengertian

Discretion dalam Black’s Law Dictionary, yang didefinisikan sebagai “kebebasan atau hak

istimewa yang diperbolehkan untuk menilai, dalam batasan hak dan keadilan, namun terlepas

dari aturan hukum positif yang kaku dan sempit, untuk memutuskan dan bertindak sesuai

dengan apa yang adil, patut, dan bermanfaat, sebagaimana ditentukan pada keadaan kasus

tertentu, dan sebagaimana dipahami oleh pengalaman dan kebijaksanaan pribadi, yang

dibimbing oleh semangat, prinsip-prinsip, dan analogi hukum”.11 Dengan demikian yang

menjadi unsur diskresi adalah meliputi adanya suatu keputusan terhadap pilihan tindakan,

berdasarkan penilaian pribadi dengan pertimbangan moral, dilakukan dalam keadaan kasus

tertentu, serta demi kepentingan umum maupun kepentingan sosial

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif

analitis yaitu memberikan gambaran dan menganalisa bagaimana pengaturan dan penerapan

diskresi kepolisian dalam proses penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini, serta

memberikan gambaran dan menganalisa strategi pengembangan diskresi kepolisian di masa

yang akan datang. Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumen,

dan Focus Group Discussion. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta

Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal dari para

penyidik, atasan penyidik, serta pejabat tinggi di lingkungan pengembangan strategis (Divkum

dan Lemdikpol)

Temuan Penelitian dan Pembahasan

1. Pengaturan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa pemahaman para penyidik secara

umum memandang penghentian perkara demi kepentingan umum tidak memiliki dasar

hukum formil yang jelas sehingga penerapan penghentian perkara demi kepentingan

umum dianggap berlawanan dengan asal legalitas formal. Kondisi ini terjadi sebab

10 Dalam Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 1511 Black’s Law Dictionary, What is Discretion?, www.thelawdictionary.org, diakses 20 Oktober 2014

Page 8: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

8

kepolisian telah terjebak dalam aturan manajemen penyidikan tindak pidana yang telah

membatasi syarat penghentian penyidikan demi hukum menjadi : (1) tersangka meninggal

dunia; (2) perkara telah kadaluwarsa; (3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan (4)

tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap (nebis in idem). Limitasi ini kerap membayangi para penyidik Polri karena

fungsi pengawasan (Propam) pun menerjemahkan syarat penghentian penyidikan secara

tekstual dan menolak tindakan yang tidak diatur dalam ketentuan manajemen penyidikan

tindak pidana. Hal ini yang kemudian dianggap dapat menjadi bumerang bagi penyidik

karena ketentuan belum mengatur perihal perlindungan terhadap petugas yang

melakukan penghentian perkara demi kepentingan umum.

Namun demikian praktek penghentian perkara demi kepentingan umum ini justru

menjadi hal yang umum terjadi, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya hukum di

fungsi penyidikan tindak pidana baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang

dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak hanya berlaku bagi perkara yang bersifat delik

aduan saja melainkan juga terhadap delik murni baik di fungsi Reskrim maupun Lalu

Lintas. Menyikapi hal ini pimpinan kepolisian kerap mencari dasar hukum yang tepat

untuk melegalisasi penghentian perkara demi kepentingan umum yang termasuk delik

murni. Sebagai contohnya adalah Surat Telegram Rahasia No. STR/583/VIII/2012 tentang

penerapan Restorative Justice dari Kabareskrim kepada para Dir Reskrimum, Dir

Reskrimsus, dan Dir Resnarkoba di seluruh Polda dengan mendasari Pasal 18 Undang-

Undang Kepolisian yaitu “melakukan tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada

pertimbangan manfaat serta resiko dari tindakan tersebut dan betul-betul untuk

kepentingan umum”. Upaya mencari dasar hukum yang tepat ini kemudian ditafsirkan

secara berbeda oleh masing-masing penyidik. Ada yang menganggap bahwa dasar hukum

penghentian penyidikan demi kepentingan umum adalah tidak adanya cukup bukti karena

korban, pelapor dan saksi-saksi mencabut laporan dan seluruh keterangan yang telah

diberikan kepada penyidik, ada juga yang mendasari kepada konsep keadilan restoratif

(Restorative Justice) dan alternatif penyelesaian perselisihan di luar peradilan (Alternative

Dispute Resolution)

Page 9: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

9

A. Pemaknaan Diskresi Kepolisian dalam penyidikan tindak pidana

Penafsiran yang berbeda-beda ini kemudian mengarah kepada pertanyaan apakah

diskresi itu dilakukan dengan “menerobos” atau bahkan seolah-olah bertentangan

dengan hukum, ataukah diskresi yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Sebagaimana dikemukakan oleh Prayudi Atmosudirdjo (M. Faal:1991) bahwa terdapat

dua jenis diskresi, yaitu (1) diskresi bebas, dimana setiap tindakan tidak perlu didasarkan

atas ketentuan perundang-undangan; dan (2) diskresi terikat, dimana setiap tindakan

adalah hasil pilihan dari beberapa alternatif yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan, sehingga pemilihan salah satu alternatif adalah bebas. Dengan demikian dapat

disimpulkan pemikiran dari Prayudi Atmosudirdjo bahwa diskresi menurutnya dapat

dilakukan dengan menerobos undang-undang dan dapat juga dilakukan di dalam undang-

undang. Berkaitan dengan hal ini, apabila digambarkan hubungan antara pembagian

kewenangan Polri di dalam undang-undang maka dapat dilihat skema sebagai berikut :

Dari skema tersebut di atas dapat dilihat bahwa ketika terjadi diskresi yang menerobos

aturan di dalam Perkap dan KUHAP berupa menangkap dan menahan seseorang yang

dianggap meresahkan kelompok masyarakat tertentu dengan pertimbangan keamanan

dan keselamatan, maka walaupun tindakan tersebut mengabaikan peraturan teknis yang

ada namun pada dasarnya tidak bertentangan dengan undang-undang yang memberikan

kewenangan yang lebih tinggi, yaitu kewenangan untuk memelihara keamanan dan

ketertiban sebagaimana yang menjadi tugas pokok Polri dan diamanatkan oleh konstitusi.

Gambar 2. Pembagian kewenangan Polri dalam undang-undang

Page 10: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

10

Dengan demikian tidak dapat dihindari adanya pertentangan dan pengabaian diantara

peraturan-peraturan yang bersifat teknis, namun masih tetap dalam koridor kewenangan

Polri yang lebih luas. Demikian juga tidak dapat dihindari adanya kewajiban untuk tidak

bertentangan dengan koridor kewenangan Polri yang lebih luas itu sendiri. Artinya diskresi

yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan tujuan untuk memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat

Apabila menghubungkan antara pasal 18, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat 2 UU

Kepolisian, serta Pasal 5 dan 7 KUHAP, maka pemaknaan diskresi kepolisian dapat

digambarkan sebagai berikut :

Berdasarkan gambaran di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya diskresi adalah

suatu keputusan terhadap pilihan tindakan yang didasarkan penilaian pribadi dengan

pertimbangan moral, yang dilakukan dalam situasi tertentu serta demi kepentingan

umum maupun kepentingan sosial.

Dengan demikian yang dimaksud diskresi kepolisian adalah diskresi yang dilakukan

dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas kepolisian. Diskresi kepolisian terjadi ketika

seorang petugas kepolisian dihadapkan pada pengambilan keputusan saat terdapat

berbagai pilihan tindakan. Sedangkan yang dimaksud diskresi kepolisian dalam penyidikan

tindak pidana adalah diskresi yang dilakukan oleh penyidik dalam tataran teknis

penyidikan maupun mengabaikan tataran teknis penyidikan dengan tetap

Gambar 3. Diskresi dilihat dari hubungan Pasal 18 dan 16 UU Polri serta Pasal 5 dan 7 KUHAP

Page 11: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

11

memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan untuk

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

B. Dasar hukum penghentian perkara demi kepentingan umum

Walaupun syarat penghentian penyidikan “demi hukum” telah dipersempit dalam

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

pada Pasal 76 menjadi karena : (1) tersangka meninggal dunia; (2) perkara telah

kadaluwarsa; (3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan (4) tindak pidana tersebut

telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in

idem), namun berdasarkan hasil studi dokumen terdapat penggunaan kata DEMI HUKUM

dalam KUHAP yang menyiratkan perkara dikesampingkan demi kepentingan umum yaitu

pada pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP dalam frase “terhadap benda yang dikenakan

penyitaan dikembalikan kepada orang, atau kepada mereka dari siapa benda itu disita,

atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila perkara tersebut

dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup DEMI HUKUM,

kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan

untuk melakukan suatu tindak pidana”. Kenyataannya bahwa kewenangan untuk

menutup perkara DEMI HUKUM dimiliki oleh penyidik (pasal 109 ayat 2) maupun

penuntut umum (pasal 140 ayat 2)

C. Perlindungan bagi petugas

Karena penghentian perkara demi kepentingan umum ini tidak dinyatakan secara

tegas di dalam undang-undang dan hanya dapat dimaknai secara tersirat berdasarkan

penggunaan kata DEMI HUKUM, maka dapat digunakan ketentuan mengenai alasan-

alasan yang menghapuskan pidana sebagai dasar hukum perlindungan bagi petugas yang

melaksanakannya. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno

(2008:148) yaitu : (1) Pasal 50 KUHP tentang melaksanakan ketentuan undang-undang;

(2) Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan yang sah

(alasan pembenar); serta (3) Pasal 51 ayat 2 KUHP tentang alasan penghapus penuntutan

pidana mengenai dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tanpa

wewenang (alasan pemaaf)

Page 12: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

12

D. Pedoman diskresi kepolisian

Djoko Prakoso (1987:191) mengemukakan bahwa terdapat kemungkinan penerapan

diskresi yang dilakukan oleh seorang anggota polisi, yaitu : (1) polisi bertindak tapi

tindakannya itu salah; (2) karena takut salah polisi kemudian menjadi apatis dan tidak

bertindak; (3) sengaja menyalahgunakan wewenangnya. Oleh karena itu diperlukan suatu

pedoman-pedoman tertentu yang dapat menjadi tolak ukur terhadap pelaksanaan

diskresi yang harus dipahami oleh setiap anggota polisi. Pedoman-pedoman ini tercermin

dari asas-asas yang berkaitan dengan diskresi yaitu : (1) asas legalitas; (2) empat sub asas

kewajiban; (3) asas umum pemerintahan yang baik; (4) asas hak asasi manusia

Berdasarkan asas-asas tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

pedoman dalam diskresi kepolisian meliputi :

1. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat

2. Tindakan yang diambil memang diperlukan dan mengharuskan anggota Polri

melakukan suatu tindakan

3. Tindakan yang diambil harus seimbang dengan berat ringannya suatu masalah yang

dihadapi, dan tidak boleh kurang atau berlebihan

4. Tindakan dilakukan dengan memperhatikan prosedur dan hukum yang berlaku

5. Tindakan yang diambil memang dikaitkan dengan masalah yang dihadapi dengan

pertimbangan obyektif, tidak boleh mempunyai motif pribadi, karena rasa simpati

atau antipati

6. Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kepentingan

lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan itu

7. Tindakan yang dilakukan harus mempertimbangkan kemanfaatan umum dan

keseimbangan antara kepentingan sesama individu; sesama kelompok; kepentingan

antara individu dan kelompok; kepentingan antara pemerintah dan masyarakat;

kepentingan antar suku, ras dan agama; kepentingan antar gender; kepentingan

generasi sekarang dan generasi mendatang; kepentingan antara manusia dan

ekosistem

8. Tindakan dilakukan dengan kecermatan, yang didasarkan pada informasi dan

dokumen yang lengkap

Page 13: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

13

9. Tindakan harus dilakukan dengan jujur dan terbuka, serta dapat

dipertanggungjawabkan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi

pribadi, golongan, dan rahasia negara

10. Tindakan dilakukan dengan pelayanan yang baik, tepat waktu, prosedur dan biaya

yang jelas, serta sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan

2. Penerapan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah perkara yang mampu diselesaikan tidak

sebanding dengan jumlah perkara yang masuk sehingga mengakibatkan tingginya beban

pekerjaan. Jumlah penyelesaian perkara yang dilakukan oleh Sat Reskrim Polres Jakarta

Selatan selama tahun 2014 hanya sebesar 26%, sedangkan jumlah penyelesaian perkara

selama lima tahun terakhir hanya sebesar 39%.

Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa penyelesaian perkara yang

dihentikan demi kepentingan umum akan sangat membantu penyidik meringankan beban

pekerjaan mereka dan menghindari adanya surat-surat keluhan dari masyarakat. Selain

itu ditemukan juga bahwa selain perkara delik aduan yang dihentikan demi kepentingan

umum, juga terdapat perkara delik murni yang dihentikan demi kepentingan umum,

sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut ;

Tabel 1. Data penanganan kasus Sat Reskrim Polres Jakarta Selatantahun 2014 Tabel 2. Data jumlah tunggakan kasus 5 tahun terakhir

Page 14: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

14

A. Inisiatif melakukan diskresi

Berdasarkan hasil penelitian terdapat dua pemahaman dari para penyidik terhadap

kondisi ini, yaitu penyidik yang bersikap pasif dan menunggu inisiatif dari kedua belah

pihak yang berperkara untuk berdamai karena penyidik tersebut takut dianggap tidak

netral, dan penyidik yang bersikap proaktif mendorong para pihak yang berperkara untuk

berdamai demi kepentingan terbaik para pihak dan mengurangi beban penanganan kasus

serta keluhan masyarakat.

Sikap berbeda yang ditunjukkan oleh penyidik menggambarkan bahwa masih terjadi

keragu-raguan dan rasa takut melakukan diskresi yang dapat memicu terjadinya

kesalahan. Salah satu ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi penyidik untuk

melakukan inisiatif diskresi adalah adanya alasan penghapus pidana, yaitu adanya itikad

baik dari diri pelakunya yang bertujuan menciptakan dan memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat. Namun demikian hal ini bukanlah satu-satunya tolak ukur karena

juga harus disertai dengan asas-asas yang menjadi pedoman diskresi kepolisian antara lain

tindakan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan para

pihak dan berat ringannya masalah, serta dilakukan dengan kecermatan yang didasarkan

pada informasi dan dokumen yang lengkap. Inisiatif diskresi ini dapat digambarkan

sebagai berikut :

Tabel 3. Data jumlah pasal dalam penghentian perkara (SP3) selama tahun 2014

Page 15: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

15

B. Kasus-kasus yang diselesaikan demi kepentingan umum

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan pola-pola tindakan diskresi menghentikan

kasus demi kepentingan umum dan pertimbangannya sebagaimana digambarkan sebagai

berikut :

Berdasarkan gambaran kasus yang diselesaikan di atas dapat dilihat bahwa adanya

kesepakatan damai merupakan unsur yang sangat berperan bagi pertimbangan penyidik.

Namun demikian ditemukan pula bahwa meskipun kesepakatan damai telah tercapai,

terdapat beberapa alasan yang mendorong penyidik untuk tetap memproses perkaranya

sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut :

Gambar 4. Inisiatif melakukan diskresi.

Tabel 4. Perkara delik murni yang diselesaikan dan pertimbangannya

Tabel 5. Pertimbangan penyidik untuk tidak menghentikan perkara damai

Page 16: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

16

Berdasarkan kedua pertimbangan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat hal-hal

meringankan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tidak memproses perkaranya

dan terdapat hal-hal memberatkan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tetap

memproses perkaranya meskipun telah terjadi perdamaian.

C. Menggantikan peranan hakim

Keputusan polisi untuk tidak memproses perkara pada akhirnya akan menghilangkan

peranan jaksa dan hakim untuk memberikan putusan hukuman yang tepat (Joseph

Goldstein, 1960:562). Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Howard Cohen

(1985:38) bahwa kepolisian memiliki kewenangan pengganti (stand-in authority), yaitu

kewenangan untuk mengadopsi peran sebagai otoritas pengganti ketika pihak yang

berwenang tidak bisa atau tidak melakukannya. Kewenangan pengganti ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

Ketika polisi menggantikan peranan hakim dalam memberikan keadilan, maka polisi

tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan vonis atau menjatuhkan hukuman yang

berkekuatan tetap kepada salah satu pihak, melainkan bertujuan menciptakan

keseimbangan kepada kedua belah pihak yang berperkara. Hal ini juga dikuatkan oleh

Satjipto Rahardjo (2007) dengan mengemukakan bahwa polisi sudah menjalankan

pekerjaan yang multifungsi, yaitu tidak sebagai polisi saja, tetapi sebagai jaksa dan hakim

sekaligus. Oleh karena itu ketika polisi menggantikan kewenangan hakim dalam

memberikan keadilan secara terbatas, maka polisi juga harus mengadopsi pertimbangan

Gambar 5. Kewenangan pengganti

Page 17: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

17

hakim dalam memutuskan tindakan kepolisian dengan melihat tujuan dan pedoman

pemidanaan

Tujuan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam RUU KUHP Pasal 54 adalah : (1)

mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat; (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik

yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat; (4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Sedangkan yang menjadi pedoman pemidanaan bagi hakim sebagaimana disebutkan

dalam RUU KUHP Pasal 55 adalah dengan mempertimbangkan : (1) kesalahan pembuat

tindak pidana; (2) motif dan tujuan melakukan tindak pidana; (3) motif dan tujuan

melakukan tindak pidana; (4) tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau

tidak; (4) cara melakukan tindak pidana; (5) sikap dan tindakan pembuat sesudah

melakukan tindak pidana; (6) riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi

pembuat tindak pidana; (7) pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak

pidana; (8) pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; (9) pemaafan

dari korban dan/atau keluarganya; (10) pandangan masyarakat terhadap tindak pidana

yang dilakukan. Bahkan karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau

keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan

dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan

D. Hal yang meringankan dan yang memberatkan menurut penyidik

Pedoman pemidanaan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang

meringankan dan hal-hal yang memberatkan bagi hakim sebagai pertimbangan dalam

menjatuhkan hukuman. Bahkan dalam kondisi tertentu, hakim dapat memberi maaf atau

tidak menjatuhkan hukuman dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan hal-hal yang meringankan dan yang

memberatkan menurut penyidik sebagai berikut :

Page 18: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

18

Hal-hal yang meringankan dan memberatkan ini merupakan dasar penilaian awal bagi

petugas untuk mengambil keputusan terhadap tindakan kepolisian yang akan dilakukan

selanjutnya. Namun demikian diskresi atau keputusan apapun yang diambil nantinya

tetap harus memperhatikan tujuan pemidanaan dan pedoman diskresi kepolisian

E. Diskresi dan kemampuan menilai

Hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan tersebut merupakan dasar

penilaian awal bagi petugas untuk mengambil keputusan terhadap tindakan kepolisian

yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan demikian apabila penilaian ini diselaraskan

dengan tujuan pemidanaan dan pedoman diskresi maka akan terdapat beberapa pilihan

tindakan yaitu : (1) ketika petugas menimbang bahwa bobot hal yang memberatkan lebih

besar atau lebih berat daripada hal yang meringankan maka penegakan hukum adalah

pilihan yang sesuai untuk menghadapi permasalahan yang ada; (2) sedangkan bila petugas

merasa bahwa bobot hal yang meringankan lebih besar daripada hal yang memberatkan

maka tindakan kepolisian dilakukan untuk menyelesaikan konflik, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai di masyarakat; (3) Selain itu pada saat

petugas dihadapkan pada situasi yang mengharuskan melakukan penegakan hukum

meskipun terdapat hal meringankan yang lebih besar, maka proses penegakan hukum

tetap dilakukan dengan melampirkan hal-hal yang dapat meringankan hukuman bagi

pelaku di sidang pengadilan. Dengan demikian ketika kepolisian sampai pada batasan

keadilan yang tidak sanggup lagi ia seimbangkan, maka kepolisian akan menyerahkan

Tabel 6. Pola pertimbangan penyidik berdasarkan faktor pelaku, korban, dan lingkungan sosial

Page 19: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

19

prosesnya ke sidang pengadilan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan yang

lebih tinggi bagi para pihak. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai berikut :

F. Pilihan tindakan dalam teknis penyidikan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat keragaman pilihan tindakan

dalam proses penyidikan, yang dapat diuraikan dan dianalisa dengan memperhatikan

pedoman diskresi kepolisian sebagai berikut :

Gambar 6. Penerapan diskresi kepolisian dalam memproses atau tidak memproses perkara

Tabel 7. Peluang penerapan diskresi kepolisian dalam teknis penyidikan

Page 20: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

20

G. Pilihan tindakan dalam pengawasan dan pengendalian pada proses penyidikan

Selain diskresi yang dilakukan dalam tataran fungsional kepolisian, terdapat pula

diskresi yang dilakukan untuk membantu kelancaran dan mengatasi hambatan dalam

proses penyidikan. Hal ini tercermin dalam diskresi yang dilakukan pejabat pemerintahan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan. Diskresi menurut undang-undang ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Berdasarkan gambaran tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perluasan tujuan

diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana, yaitu tidak hanya untuk menciptakan

dan memelihara keamanan dan ketertiban, melainkan juga untuk melancarkan dan

mengatasi hambatan dalam proses penyidikan

H. Intervensi dalam penyidikan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dalam proses penyidikan terdapat dua

pandangan yang berbeda mengenai makna intervensi. Pemaknaan yang pertama

memandang bahwa intervensi adalah hal yang negatif, yaitu adanya campur tangan dari

pihak lain dalam proses penyidikan yang lebih bersifat kepentingan pribadi atau

kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan tujuan penyidikan sehingga perkaranya

dihentikan atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan pemaknaan yang kedua

memandang bahwa intervensi adalah hal yang positif, yaitu adanya campur tangan dari

pihak lain dalam proses penyidikan untuk mengatasi stagnasi dan membantu kelancaran

proses penyidikan, menentukan prioritas penyidikan, serta meningkatkan efektivitas

penanganan perkara. Terhadap intervensi negatif terdapat dua pilihan tindakan yang

dapat dilakukan oleh anggota penyidik sebagaimana digambarkan sebagai berikut :

Gambar 7. Diskresi menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

Page 21: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

21

Sedangkan terhadap intervensi positif terdapat pola tindakan sebagai berikut :

3. Strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa strategi pengembangan diskresi

kepolisian dalam penyidikan tindak pidana saat ini hanya berupa penambahan pasal di

dalam RUU Polri tentang penambahan kewenangan untuk menyelesaikan perkara

berdasarkan keadilan restoratif yang dijadikan sebagai dasar diskresi dalam penyidikan

tindak pidana. Demikian pula ditemukan bahwa dalam bidang pendidikan belum terdapat

pengembangan diskresi kepolisian sebelumnya dan baru akan dibuatkan kurikulum

tentang diskresi kepolisian namun dimasukkan ke dalam pelajaran fungsi teknis berupa

contoh-contoh penerapan diskresi untuk tingkatan pelaksana (Bintara)

Gambar 9. Pilihan tindakan terhadap intervensi negatif

Gambar 8. Pola intervensi positif

Page 22: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

22

A. Konsep strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada

tataran penerapan

Diskresi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum. Oleh

karenanya untuk menentukan konsep strategi pengembangan diskresi pada tataran

penerapan, terlebih dahulu dikemukakan suatu konsep untuk mewujudkan

keseimbangan penegakan hukum dalam konteks keindonesiaan sebagai berikut :

Diskresi merupakan pelengkap dari asas legalitas yang merupakan jantung atau syarat

utama dari penegakan hukum. Berdasarkan gambaran di atas dapat dilihat bahwa

penegakan hukum dilakukan berdasarkan lingkaran kebudayaan tertentu yang sangat

bervariasi di setiap daerah. Dengan demikian seyogyanya penegakan hukum senantiasa

menyesuaikan dengan lingkaran kebudayaan yang bertujuan untuk mencapai keadilan

dan kemanfaatan dalam proses pencariannya (context of discovery) serta mencapai

kepastian dalam proses penerapannya (context of justification)

Apabila dicermati lebih dalam, diskresi yang dilakukan dalam penegakan hukum

membutuhkan adanya suatu pola pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan dan

hal-hal yang memberatkan sebagai dasar penilaian awal untuk mengambil keputusan

terhadap tindakan kepolisian yang akan dilakukan selanjutnya. Keputusan yang diambil

kemudian diwujudkan dalam suatu tindakan; apakah untuk menyelesaikan konflik,

memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai di masyarakat; atau tindakan

tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau pelaku yang sama di

kemudian hari dalam suatu bentuk penegakan hukum. Ketika sampai kepada tindakan

Gambar 10. Keseimbangan penegakan hukum dalam konteks keindonesiaan

Page 23: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

23

nyata, maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan secara terbuka dan tanpa batas,

melainkan dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu

kepada sistem hukum positif. Artinya diperlukan suatu pedoman diskresi yang dinyatakan

secara tegas di dalam peraturan, yang menjadi rambu-rambu untuk menghindari

terjadinya kesalahan dalam penerapan diskresi. Untuk dapat menjamin akuntabilitas

maka setiap tindakan harus diwujudkan ke dalam suatu produk hukum (khalayak umum)

atau laporan (internal kepolisian). Hal ini merupakan konsep strategi pengembangan

diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada tataran penerapan yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

Untuk melakukan evaluasi penerapan diskresi ini dapat dikemukakan suatu konsep

jangka panjang dan jangka pendek sebagai berikut :

1. Rencana jangka panjang

Konsep jangka panjang difokuskan kepada pembaharuan peraturan perundang-

undangan dengan melakukan penilaian kembali terhadap apa yang menjadi tujuan dasar

dari hukum pidana serta menemukan aturan-aturan yang dinilai sudah tidak sesuai

dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu Satuan Tugas

yang terdiri dari seluruh komponen sistem peradilan pidana di tingkat nasional di bawah

koordinasi Kementrian Hukum dan HAM serta Komisi 3 DPR yang membidangi hukum,

HAM dan keamanan. Satuan Tugas ini bertugas melakukan penilaian dan peninjauan

terhadap praktek penegakan hukum dan pola-pola diskresi kepolisian, serta menemukan

aturan-aturan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Hasil

rekomendasi yang telah dirumuskan oleh Satuan Tugas ini selanjutnya akan diberikan

Gambar 11. Strategi Pengembangan Diskresi Kepolisian Dalam Tataran Penerapan

Page 24: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

24

kepada Komisi 3 DPR untuk kemudian dirumuskan dalam rancangan perundang-

undangan yang baru

2. Rencana jangka pendek

Disadari bahwa pembaharuan peraturan perundang-undangan sebagaimana

dikemukakan dalam rencana jangka panjang di atas membutuhkan masa kerja yang tidak

dapat ditentukan batasnya, maka diperlukan pula suatu konsep jangka pendek yang lebih

efisien dan dapat serta merta diterapkan. Konsep jangka pendek ini difokuskan untuk

menciptakan kesepahaman di lingkungan sistem peradilan pidana untuk mengatasi

kendala dalam praktek penegakan hukum dan diskresi kepolisian khususnya terhadap

aturan-aturan yang tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, maupun yang dianggap

tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Bentuk kesepahaman ini diwujudkan

melalui MoU (Memorandum of Understanding) di dalam sistem peradilan pidana sehingga

tercipta keselarasan dalam penegakan hukum, khususnya tindakan diskresi kepolisian

yang dilakukan untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada

sistem hukum positif. MoU ini hendaknya senantiasa dikembangkan secara berkelanjutan

sehingga dapat mengikuti perubahan dinamika masyarakat serta dapat diterima oleh

berbagai pihak dalam sistem peradilan pidana

B. Konsep strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana pada

tataran kebijakan

Konsep yang ditawarkan pada tataran kebijakan ini didasari oleh teori sistem hukum

dari Lawrence M. Friedman (2013, terjemahan) yang memandang hukum sebagai suatu

sistem yang merupakan kumpulan dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi dan

beroperasi dalam batas-batas tertentu. Menurutnya, yang memberi nyawa dan realitas

pada sistem hukum adalah dunia sosial eksternal, yang bergantung secara mutlak pada

input-input dari luar. Apabila digambarkan maka konsep strategi pengembangan diskresi

pada tataran kebijakan adalah sebagai berikut :

Page 25: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

25

Berdasarkan gambaran di atas maka strategi pengembangan dalam tataran kebijakan

seyogyanya diarahkan kepada penegakan hukum dan penerapan diskresi yang mampu

memberikan kepastian dalam konteks penerapannya (context of justification), serta

mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat dalam proses pencariannya

(context of discovery). Untuk mencapai hal ini maka harus dilakukan pembangunan pada;

(1) substansi hukum; (2) struktur hukum; dan (3) kultur hukum

Pembangunan pada substansi hukum dilakukan melalui pembentukan norma yang

disesuaikan dengan adat istiadat, keragaman budaya yang menjadi pola kebiasaan,

norma-norma yang menjadi pedoman dalam masyarakat, serta tuntutan-tuntutan

masyarakat. Norma-norma hasil pembentukan dari interaksi environmental ini bersifat

terbuka sehingga senantiasa menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi terhadap

penerapan norma yang disesuaikan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat

Pembangunan pada struktur hukum dilakukan dengan mengoptimalkan mekanisme

pengawasan dan pengendalian di lingkungan penyidikan tindak pidana baik melalui

atasan penyidik maupun pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan. Apabila

terdapat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang, Propam dapat melakukan

pemeriksaan dengan menggunakan instrumen penerapan diskresi berupa kemampuan

menilai (hal-hal yang memberatkan maupun meringankan), serta pedoman diskresi

kepolisian dalam penyidikan tindak pidana

Gambar 12. Strategi pengembangan pada tataran kebijakan

Page 26: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

26

Pembangunan pada struktur hukum juga dilakukan dengan dalam konsep jangka

panjang dengan membentuk Satuan Tugas yang terdiri dari seluruh komponen sistem

peradilan pidana, di bawah koordinasi Kementrian Hukum dan HAM serta Komisi 3 DPR

yang membidangi hukum, HAM dan keamanan; serta dilakukan dalam konsep jangka

pendek dengan membuat kesepahaman (MoU) di lingkungan sistem peradilan pidana

untuk menciptakan keselarasan dalam penegakan hukum

Pembangunan pada kultur hukum dilakukan dengan memasukkan diskresi kepolisian

dalam kurikulum pendidikan Polri sehingga mendukung terciptanya norma positif di

kalangan pelaksana baik dalam tataran pembentukan maupun pengembangan, serta

melakukan sosialisasi terhadap pemaknaan dan pengaturan diskresi kepolisian dalam

penyidikan tindak pidana sehingga dapat dipahami di lingkungan internal Polri khususnya

pengawasan internal (Propam), serta di lingkungan eksternal Polri agar diskresi kepolisian,

khususnya dalam penyidikan tindak pidana, mulai diakui dan mampu mendorong

legitimasi atau pengakuan masyarakat terhadap penerapan diskresi kepolisian khususnya

dalam penyidikan tindak pidana

Kesimpulan

Sebagai penutup dari uraian pada pembahasan bab terdahulu, berdasarkan analisis

dan interpretasi terhadap temuan penelitian mengenai diskresi kepolisian dalam penyidikan

tindak pidana dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Diskresi adalah suatu keputusan terhadap pilihan tindakan yang didasarkan penilaian

pribadi dengan pertimbangan moral, yang dilakukan dalam keadaan kasus tertentu serta

demi kepentingan umum maupun kepentingan sosial

2. Diskresi yang dilakukan dengan menerobos atau mengabaikan aturan adalah diskresi yang

dilakukan dengan mengabaikan tataran teknis namun tetap dalam koridor kewenangan

Polri yang lebih luas, sedangkan diskresi yang tidak boleh bertentangan dengan aturan

hukum adalah diskresi yang tetap memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-

undangan serta tidak bertentangan dengan koridor kewenangan Polri yang lebih luas

yaitu bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

3. Diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana adalah diskresi yang dilakukan oleh

penyidik dalam tataran teknis penyidikan maupun mengabaikan tataran teknis penyidikan

Page 27: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

27

dengan tetap memperhatikan prosedur dan peraturan perundang-undangan, yang

bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

4. Dasar hukum penghentian perkara demi kepentingan umum adalah penghentian

penyidikan DEMI HUKUM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c, dan

Pasal 109 ayat 2 KUHAP

5. Yang menjadi dasar hukum perlindungan bagi petugas yang melakukan diskresi adalah

alasan penghapus pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 KUHP tentang

melaksanakan ketentuan undang-undang; Pasal 51 ayat 1 KUHP tentang melaksanakan

perintah dari pihak atasan yang sah (alasan pembenar); serta Pasal 51 ayat 2 KUHP

tentang alasan penghapus penuntutan pidana mengenai dengan itikad baik melaksanakan

perintah jabatan yang tanpa wewenang (alasan pemaaf)

6. Untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam penerapan diskresi diperlukan suatu

pedoman dalam diskresi yang meliputi :

a. Bertujuan untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Diperlukan dan mengharuskan anggota Polri melakukan suatu tindakan

c. Seimbang dengan berat ringannya suatu masalah yang dihadapi, tidak boleh kurang

atau berlebihan

d. Memperhatikan prosedur dan hukum yang berlaku

e. Pertimbangan yang obyektif, tidak boleh mempunyai motif pribadi, karena rasa

simpati atau antipati

f. Tidak menyalahgunakan wewenang

g. Mempertimbangkan kemanfaatan umum dan keseimbangan kepentingan

h. Dengan kecermatan berdasarkan informasi dan dokumen yang lengkap

i. Jujur, terbuka, dapat dipertanggungjawabkan, dengan memperhatikan perlindungan

atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara

j. Pelayanan yang baik

7. Inisiatif diskresi dapat dilakukan dengan didasari itikad baik yang bertujuan menciptakan

dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (alasan penghapus pidana),

dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan para pihak dan berat

ringannya masalah, serta dengan kecermatan berdasarkan informasi dan dokumen yang

lengkap (pedoman diskresi)

Page 28: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

28

8. Kepolisian senantiasa menggantikan peranan hakim dalam memberikan keadilan secara

terbatas, yaitu menciptakan keseimbangan kepada kedua belah pihak yang berperkara

9. Terdapat hal-hal meringankan yang menjadi pertimbangan penyidik untuk tidak

memproses perkaranya dan terdapat hal-hal memberatkan yang menjadi pertimbangan

penyidik untuk tetap memproses perkaranya meskipun telah terjadi perdamaian. Ketika

bobot hal yang memberatkan lebih besar daripada hal yang meringankan maka

penegakan hukum adalah pilihan yang sesuai untuk menghadapi permasalahan yang ada,

sedangkan bila petugas merasa bahwa bobot hal yang meringankan lebih besar daripada

hal yang memberatkan maka tindakan kepolisian dilakukan untuk menyelesaikan konflik,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai di masyarakat

10. Dalam interaksi yang terjadi antara pimpinan dan anggota penyidik ditemukan adanya

anomali berupa intervensi negatif yang dapat mengganggu jalannya proses penyidikan

dan intervensi positif ketika adanya gangguan dalam proses penyidikan. Intervensi negatif

terjadi ketika seseorang yang mempunyai kekuasaan atau kekuatan tertentu mampu

mengarahkan proses penyidikan kepada kepentingan pribadi atau kepentingan lain yang

tidak sesuai dengan tujuan penyidikan sehingga perkaranya dihentikan atau tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Sedangkan Intervensi positif terjadi ketika seseorang yang

mempunyai kekuasaan atau kekuatan tertentu mampu mengarahkan proses penyidikan

untuk mengatasi terjadinya stagnasi dan membantu kelancaran proses penyidikan,

menentukan prioritas penyidikan, serta meningkatkan efektivitas penanganan perkara

11. Strategi pengembangan diskresi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana saat ini hanya

berupa penambahan pasal di dalam RUU Polri tentang penambahan kewenangan untuk

menyelesaikan perkara berdasarkan keadilan restoratif yang dijadikan sebagai dasar

diskresi dalam penyidikan tindak pidana, serta rencana pembuatan kurikulum diskresi

kepolisian pada pendidikan di tingkat pelaksana (Bintara) berupa contoh-contoh

penerapan diskresi yang dimasukkan ke dalam pelajaran fungsi teknis kepolisian

12. Strategi pengembangan pada tataran penerapan adalah adanya tahapan penilaian

terhadap hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagai dasar pengambilan

keputusan, tahapan pengambilan tindakan yang dilakukan dengan memperhatikan

pedoman diskresi, tahapan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang diwujudkan dalam

suatu produk hukum, serta tahapan evaluasi dalam rangka pengembangan diskresi

Page 29: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

29

kepolisian selanjutnya, yang dijabarkan dalam rencana jangka panjang dan rencana jangka

pendek

13. Strategi pengembangan pada tataran kebijakan diarahkan kepada penegakan hukum dan

penerapan diskresi yang mampu memberikan kepastian dalam konteks penerapannya

(context of justification), serta mencapai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat

dalam proses pencariannya (context of discovery) dengan melakukan pembangunan pada;

(1) substansi hukum; (2) struktur hukum; dan (3) kultur hukum

Saran

1. Diperlukan suatu aturan khusus mengenai diskresi kepolisian khususnya dalam bidang

penyidikan tindak pidana sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan atau perdebatan

dalam pelaksanaannya baik secara internal maupun dari eksternal Polri

2. Perlunya dilakukan perubahan dalam Perkap Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

terkait kewenangan penyidik untuk menghentikan perkara demi kepentingan umum.

Rumusan “demi hukum” dapat diartikan demi mencapai tujuan hukum, yaitu demi

keadilan, kemanfaatan, dan kepastian

3. Perlunya diatur mengenai perlindungan terhadap penyidik yang melakukan diskresi

kepolisian dalam penyidikan tindak pidana dengan dasar melaksanakan ketentuan

undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah, serta dengan itikad baik

melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang

4. Perlu diatur mengenai tolak ukur penilaian berupa hal-hal yang memberatkan maupun

yang meringankan bagi penyidik, yang menjadi dasar penilaian awal pengambilan

keputusan untuk menentukan tindakan kepolisian yang akan dilakukan selanjutnya; serta

hal-hal yang menjadi pedoman dalam diskresi untuk menghindari terjadinya kesalahan

dalam diskresi dan menjadi tolak ukur penerapan diskresi serta pertanggungjawabannya

5. Perlu dilakukan perluasan makna diskresi tidak hanya bertujuan untuk menciptakan dan

memelihara keamanan dan ketertiban, melainkan juga untuk melancarkan dan mengatasi

hambatan dalam proses penyidikan

6. Perlunya diatur mengenai hubungan antara penyidik dan atasan penyidik serta hal-hal

yang dapat melindungi masing-masing pihak dari kemungkinan penyimpangan secara

timbal balik

Page 30: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

30

7. Perlunya dibuat suatu rencana jangka panjang untuk mengevaluasi diskresi kepolisian

dengan membentuk Satuan Tugas yang terdiri dari CJS, Kemenkumham, dan Komisi 3 DPR,

untuk selanjutnya dirumuskan dalam rancangan perundang-undangan yang baru

8. Perlunya dibuat suatu rencana jangka pendek untuk mengevaluasi diskresi kepolisian

dengan membuat MoU di lingkungan CJS sehingga terciptanya keselarasan dalam

penegakan hukum, khususnya tindakan diskresi kepolisian yang dilakukan untuk

menjamin stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem hukum positif

9. Diskresi kepolisian perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Polri sehingga

terciptanya norma positif di kalangan pelaksana, serta melakukan sosialisasi terhadap

pemaknaan dan pengaturan diskresi kepolisian sehingga dapat dipahami di lingkungan

internal dan mendapatkan dukungan dari kalangan eksternal Polri

Daftar Pustaka

Djoko Prakoso. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1987

Frederick A. Elliston and Michael Feldberg. Moral Issues in Police Work, United States ofAmerica: Rowman & Littlefield Publishers, 1985

Gustav Radbruch. Five Minutes of Legal Philosophy (1945), Translated by: Bonnie LitschewskiPaulson & Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (2006),pp. 13 doi:10.1093/ojls/gqi042

H. Ph. Visser’t Hooft. Filsafat Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitantidak berkala No. 4 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2002)

Joseph Goldstein. Police Discretion Not To Invoke the Criminal Process: Low-visibility Decisionin the Administration Of Justice, The Yale Journal, Vol. 69:555-557 (1960)

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M. Khozim(Bandung: Nusa Media, Cet. 5, 2013)

M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Jakarta: PradnyaParamita, 1991

Mahrus Ali. Membumikan Hukum Progresif, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 8, Jakarta: Rineka Cipta, 2008

Philipus M. Hadjon. “Tentang Wewenang”, Yuridika, No.5&6 Tahun XII, September –Desember, 1997

Page 31: PENERAPAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM · PDF fileSedangkan lokasi penelitian dilakukan di Polres Metro Jakarta Selatan pada Unit Reskrim dan Lalu Lintas, dengan sumber informasi berasal

31

Ronny R. Nitibaskara. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Jakarta: PT Kompas MediaNusantara, 2006

Sidharta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. 1. Cet. 5,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004

Black’s Law Dictionary. “What is Discretion?”, www.thelawdictionary.org, diakses 20 Oktober2014

“Kejamnya Keadilan Sandal Jepit”, dalam www.nasional.kompas.com, diakses 15 Desember2014