PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
Transcript of PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
1/140
ABSTRAK
Penelitian Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam MelindungiWarga Negara Indonesia yang Dideportasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola
penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam
melindungi WNI yang dideportasi; mengetahui bentuk-bentuk perlindungan yangdiberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi; danmenginventarisir serta menganalisis kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam
proses penanganan WNI yang dideportasi.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana pengumpulan data
dilakukan dengan studi literatur, dokumentasi, observasi, dan wawancara dengan parainforman yang berasal dari Pemerintah Daerah, Kepolisian, Dinas Kesehatan, DinasSosial, Rumah Sakit, BP3TKI, Tenaga Kerja Indonesia, serta lembaga swadayamasyarakat yang memberikan perhatian terhadap masalah Tenaga Kerja Indonesia.Lokus Penelitian ini dilaksanakan di empat wilayah penelitian, yaitu ProvinsiKalimantan Barat, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi
Kalimantan Timur.Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang telah dilakukan, dapat
diketahui beberapa hal, pertama: Pola penanganan WNI yang dideportasi olehpemerintah daerah di wilayah perbatasan adalah bersifat koordinatif yakni melibatkanbeberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan membentuk Satuan Tugas(Satgas) untuk menangani para deportan. Namun dalam pelaksanaannya belummemperlihatkan kinerja yang maksimal karena kurangnya koordinasi di antara SKPDdan keterbatasan peranan SKPD dalam menangani para deportan. Kedua: Semua
pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) di empat wilayah penelitian, sudahmembentuk ketentuan (keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota) yang menjadi dasarhukum bagi tim Satgas dalam berkoordinasi menangani WNI yang dideportasi. Bentuk
perlindungan terhadap hak-hak para deportan dalam proses deportasi, t idak ditegaskandalam ketentuan tersebut namun hak-hak deportan terlindungi dari kewajiban-kewajibanatau Tugas Pokok dan Fungsi setiap SKPD di dalam tim Satgas yang menangani WNIyang dideportasi. Ketiga: kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam proses
penanganan WNI yang dideportasi adalah sebagian besar WNI atau TKI yangdideportasi adalah bukan merupakan warga di pemerintah daerah masing-masing. Halini menyebabkan kesulitan dalam alokasi anggaran melalui APBD yang seharusnyadiperuntukkan bagi warga daerah masing-masing. Beberapa SKPD mengungkapkan
bahwa biaya operasional penanganan para deportan belum dapat didukung olehanggaran setiap SKPD yang melekat pada Tupoksinya. Selain itu pemerintah daerah
asal deportan tidak semua memiliki kepedulian terhadap warga daerahnya untukmemberi bantuan. Dalam hal pemberian fasilitas, sampai saat ini pemerintah daerahbelum menyediakan tempat penampungan khusus bagi para deportan. Sedangkan darisisi deportan, banyak yang ingin kembali bekerja di Malaysia, namun tidak memilikidokumen keimigrasian karena sebagian besar paspor diambil oleh aparat Malaysia.Kondisi tersebut sering dimanfaatkan pihak pihak tertentu untuk mengirim merekakembali ke Malaysia dengan cara ilegal.
Kata Kunci: Peran Pemerintah Daerah, Wilayah Perbatasan, Deportasi
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
2/140
KATA SAMBUTAN
Ketidaksiapan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi pemulangan Warga
Negara Indonesia yang dideportasi menimbulkan dampak terhadap HAM para deportan.
Adanya akumulasi deportan yang masif di beberapa titik transit, berpotensi terjadi
penelantaran dan kerawanan sosial serta pelanggaran HAM, apabila tidak dikelola
dengan manajemen penanganan antisipasi deportasi yang komprehensif. Menghadapi
rencana pemulangan WNI oleh negara tetangga, maka beberapa program jangka pendek
harus dilakukan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah debarkasi (daerah kedatangan
atau daerah penerima) maupun pemerintah daerah asal harus berkoordinasi, membiayai,
dan tidak saling melempar tanggung jawab dalam pemulangan WNI yang dideportasi.
Antisipasi yang baik dari pemerintah pusat maupun daerah dalam memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang dideportasi, diharapkan dapat benar-
benar melindungi hak-hak warga negara dan juga sebagai upaya pencegahan agar warga
negara yang menjadi TKI tidak terjerumus kembali pada masalah yang sama.
Mengingat pentingnya perlindungan HAM terhadap WNI yang dideportasi,
maka Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM telah
melakukan Penelitian Peran Pemerintah Daerah di Wilayah Perbatasan dalam
Melindungi Warga Negara Indonesia yang Dideportasi. Penelitian ini dilakukan untuk
melihat bagaimana pola penanganan dan bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan
pemerintah daerah khususnya di wilayah perbatasan dalam melindungi warga negara
Indonesia yang dideportasi serta untuk menginventarisir kendala-kendala yang dihadapi
oleh pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan.
Akhirnya kami mengucapkan selamat kepada tim peneliti yang sudah
menyelesaikan penelitian ini dan kepada pihak-pihak yang telah bersedia menjadi
narasumber maupun yang telah membantu tim peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya kepada
pemerintah daerah di perbatasan yang hendak merumuskan kebijakan dalam
memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap WNI yang dideportasi.
Kepala BadanPenelitian dan Pengembangan HAM,
Prof. DR. Ramly Hutabarat, SH, M.HumNIP 19530315 198503 1 001
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
3/140
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya
laporan penelitian ini, dimana pada tahun 2010 Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hak-hak Sipil dan Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementerian
Hukum dan HAM telah melakukan penelitian tentang Peran Pemerintah Daerah di
Wilayah Perbatasan dalam Melindungi Warga Negara Indonesia yang Dideportasi.
Laporan akhir penelitian ini memuat pendahuluan, studi pustaka, hasil penelitian
yang dilakukan di empat provinsi dengan melakukan wawancara mendalam dengan
berbagai pihak terkait. Hasil wawancara selanjutnya dianalisis untuk menjawab
perumusan masalah yang dituangkan dalam bab pendahuluan serta pada akhir laporan
ini. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan maka dibuat kesimpulan dan saran-saran
yang diharapkan akan menjadi salah satu bahan pertimbangan pimpinan dalam
mengambil kebijakan terkait masalah perlindungan warga negara Indonesia yang
dideportasi.
Penelitian ini dapat terselesaikan berkat kerjasama yang baik antara tim peneliti
dengan berbagai pihak lainnya. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, yaitu Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di empat wilayah penelitian (Provinsi
Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur), para
informan, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kami
menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki kekurangan, untuk itu kami berharap
adanya penelitian lanjutan oleh pihak lain yang dapat memperluas ruang lingkup dari
topik penelitian ini.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI yang telah memberikan
kepercayaan kepada tim untuk melaksanakan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini
memberikan manfaat bagi semua pihak
Jakarta, Desember 2010Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hak-Hak Sipil dan Politik,
Dr. Asep KurniaNIP 19661119 198603 1 001
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
4/140
DAFTAR ISI
Abstrak
Kata SambutanKata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Pelaksana Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Perumusan Masalah
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Ruang Lingkup
F. Metode Penelitian
G. Kerangka Pemikiran
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka HakAsasi Manusia dan Permasalahan Deportasi
B. Teori yang Berkaitan dengan Migrasi Penduduk
C. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Penanganan WNIyang Dideportasi Khususnya bagi Tenaga Kerja IndonesiaBermasalah (dari Malaysia)
D. Tanggung Jawab Negara dalam Bidang Hak Asasi Manusia
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian: Praktek-Praktek yang Dilakukanoleh Pemerintah Daerah dalam Melindungi WNI yangDideportasi
1.
Provinsi Kalimantan Barat
2. Provinsi Kepulauan Riau
3. Provinsi Sumatera Utara
4. Provinsi Kalimantan Timur
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
5/140
5.
KJRI Johor Bahru dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia
B. Hasil Analisis
1. Mandat yang Diberikan kepada Pemerintah Daerah
dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi2. Praktek-praktek yang Dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dalam Melindungi WNI yang Dideportasi
3. Hak WNI yang Dideportasi dalam Perspektif HAM
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
Lampiran
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
6/140
DAFTAR TABEL
No. Tabel Perihal
1.1 : Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia,tahun 2004-2007
1.2 : Pemulangan TKI dari Malaysia Tahun 2008-2009
1.3 : Data Warga Negara Indonesia Yang Dideportasi Melalui TempatPemeriksaan Imigrasi (TPI) di Kepulauan Riau, KalimantanBarat, Kalimantan Timur dan Sumatera Utara
3.1 : Kondisi Penempatan dan Pemulangan TKI
3.2 : Pemulangan Para Deportan oleh Dinas Sosial Pemprov. Kalbar
3.3 : Data Penempatan TKI Tahun 2004-2009
3.4 : Data Deportasi TKI-B/WNI-B Tahun 2004-2009
3.5 : Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2008
3.6 : Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2009
3.7 : Statistik Kantor Imigrasi Entikong Tahun 2010
3.8 : Rekapitulasi Pemulangan TKI dari Malaysia melalui Border PPLBEntikong Tahun 2010
3.9 : Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak,Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu Entikong KabupatenSanggau dari Bulan Januari s/d Desember 2009
3.10 : Daftar Pemulangan WNI/TKI yang Dideportasi dari Serawak,
Malaysia Melalui Embarkasi Tebedu Entikong KabupatenSanggau dari Bulan Januari s/d Mei 2010
3.11 : Daftar WNI Bermasalah dalam Penampungan Sementara LSMAnak Bangsa untuk Proses pemulangan ke daerah asal
3.12 : Rekapitulasi Data Jumlah TKIB dan Keluarganya KotaTanjungpinang Tahun 2004 s/d 2010
3.13 : Jumlah WNI yang Dideportasi oleh Pemerintah Malaysia MelaluiPelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang Periode: 1 Januari 2003s/d 21 Mei 2010
3.14 : Kegiatan Pelayanan Kesehatan TKIB Tahun 2008 s/d 2010 olehDinas Kesehatan Kota Tanjungpinang
3.15 : Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara PoloniaMedan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung BalaiPeriode Januari s/d Desember 2009
3.16 : Rekapitulasi Keberangkatan dan Kepulangan dari Bandara PoloniaMedan, Pelabuhan Belawan, dan Teluk Nibung Tanjung BalaiPeriode Januari s/d Agustus 2010
3.17 Pemulangan WNI dari Malaysia melalui Tempat PemeriksaanImigrasi Nunukan (Tahun 2005 2010)
3.18 Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia dan Pemulangan keDaerah Asal
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
7/140
3.19 Jumlah Pemulangan TKI dari Malaysia
3.20 Kriteria WNI/TKI yang Dideportasi
3.21 Keterlibatan Instansi di Provinsi Kalimantan Barat dalamPerlindungan WNI yang Dideportasi
3.22 Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Baratdalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.23 Keterlibatan Instansi di Provinsi Kepulauan Riau dalamPerlindungan WNI yang Dideportasi
3.24 Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Barat
dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.25 Keterlibatan Instansi di Provinsi Sumatera Utara dalamPerlindungan WNI yang Dideportasi
3.26 Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Sumatera Utara
dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi3.27 Keterlibatan Instansi di Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten
Nunukan) dalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.28 Kendala yang dihadapi oleh Instansi di Provinsi Kalimantan Baratdalam Perlindungan WNI yang Dideportasi
3.29 Peranan KJRI-JB dan KBRI-KL dalam Perlindungan WNI yangDideportasi
3.30 Kendala yang dihadapi oleh KJRI-JB dan KBRI-KL dalamPerlindungan WNI yang dideportasi
3.31 Peran yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah di WilayahPerbatasan dalam Melindungi WNI yang Dideportasi
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
8/140
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Perihal
1.1 : Alur Pemikiran Penelitian
2.1 : Alur Pemulangan dan Penanganan TKIB/PMBS
3.1 : Alur Penanganan WNI/TKI-B yang akan Dideportasi dari
Johor ke Tanjungpinang
3.2 : Jenis Pengaduan yang masuk ke KBRI-KL
3.3 Daerah entry point dan asal TKIB
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
9/140
PELAKSANA PENELITIAN
PERAN PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH
PERBATASAN DALAM MELINDUNGI WARGANEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI
Koordinator : Ir. Ismardi Danardono Jati Pamungkas(Plh. Kapuslitbang Hak-hak Sipil dan Politik)
Sekretariat : Citra Krisnawaty, SH
Peneliti : 1. Margaretha Hanita, SH, M.Si.2. Ir. Ismardi Danardono Jati
Pamungkas3. Fitriyani, SH, M.Si.4. Dra. Betny H. Purba, M.Si.
5.
Hidayat, S.IP.6.Norma Doryana, SH
Pengolah Data : Kuswardini
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
10/140
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berhak meninggalkan dan
masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak ini merupakan salah satu hak atas
kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12 Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pada tataran hubungan dua negara seperti Indonesia
dan Malaysia maupun dengan negara tetangga yang lain akan menimbulkan fenomena
migrasi tenaga kerja. Adanya fenomena ini mengarahkan negara-negara untuk membuat
peraturan khusus yang dirancang untuk menyediakan penyelesaian bagi permasalahan
yang berkaitan dengan gerak perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain.1
Dengan demikian maka negara seharusnya siap untuk menerima kedatangan WNI yang
dideportasi dari negara tetangga.
Negara kepulauan Republik Indonesia yang wilayahnya sebagian besar lautan
dan hanya 36,6% daratan berupa rangkaian dari 17.508 pulau-pulau, membuat batas-
batas antar wilayah kabupaten/kota dan provinsi di dalam negeri, maupun dengan
negara tetangga menjadi sangat porous, mudah ditembus dengan berbagai cara.2
Perbatasan antara provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dengan Singapura dan dengan
Semenanjung Malaysia yang melalui laut, sangat mudah ditembus. Demikian pula
perbatasan antara provinsi di Kalimantan dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah)
mudah dilewati melalui jalan-jalan tikus dari Kalimantan Barat menuju Kuching,
Serawak atau dari Kalimantan Timur menuju Tawau, Sabah. Demikian pula yang terjadi
di perbatasan antara Papua dengan Papua New Guinea, yang memang secara tradisional
kedua penduduk negara tersebut sering kali saling berkunjung sebagai saudara. Kota-
1Hak Kebebasan Bergerak dan Berdiam dalam Peter Baerh, et. all., Instrumen Internasional Pokok Hak-
Hak Asasi Manusia, 2001, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hlm. 216.2Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia
(TK-PTKIB) Tahun 2007, yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
tentang kinerja Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari
Malaysia (TK-PTKIB) Tahun 2007, sebagaimana dikutip dari
http://74.125.153.132/search?q=cache:OP4z8 01IMJ:www.dostoc.com/docs/2021296/Kinerja- Tim -Koordinas Pemulangan Tenaga Kerja - Indonesia -Bermasalah, hlm. 24.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
11/140
kota di daerah perbatasan seperti: Medan (Sumatera Utara); Dumai (Riau), Tanjung
Balai Karimun, Batam, Tanjungpinang (Kepulauan Riau); Pontianak, Entikong, Sambas
(Kalimantan Barat), Nunukan dan Tarakan (Kalimantan Timur), dan Bitung (Sulawesi
Utara) dikenal sebagai daerah transit dan tempat pemberangkatan tenaga kerja Indonesia
dan wisatawan pekerja Indonesia ke luar negeri.
Tingkat keporousan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga terungkap
ketika pada tahun 2004 dan 2005 Pemerintah Malaysia memulangkan Pendatang Asing
Tanpa Izin (PATI) ke Indonesia secara besar-besaran, ternyata pada tahun-tahun
berikutnya masalah PATI di Malaysia ini tidak berkurang, dan masih banyak PATI asal
Indonesia yang akhirnya dideportasi ke daerah entry point terdekat. seperti Jakarta (DKI
Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Pare-pare (Sulawesi
Selatan), Mataram (Nusa Tenggara Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).3
Kenyataan yang pahit memang menimpa para Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) di
Malaysia yang jumlahnya sekitar 600.000 pekerja asing dengan 70% di antaranya
adalah TKI4. Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak
positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah terpenuhinya kebutuhan
kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatif dapat dilihat dari
dua sudut pandang. Pertama dari sudut pandang Pemerintah Malaysia, beberapa hal
yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang
Asing Tanpa Ijin (PATI). Sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI
yang bekerja di Malaysia mengalami berbagai macam permasalahan yang berdampak
pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara.
Pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah harus selalu siap apabila negara
tetangga setiap saat melakukan deportasi terhadap WNI. Kesiapan ini selalu dituntut
karena upaya pemerintah negara tetangga untuk mendeportasi WNI tidak akan berhenti
sepanjang masih terdapat WNI ilegal di negara tetangga tersebut. Hal ini didasarkan
pada sejarah hubungan antara negara Indonesia dengan negara-negara tetangga di
wilayah perbatasan, dimana terjadi migrasi penduduk Indonesia ke negara-negara
tetangga baik secara legal maupun ilegal untuk berbagai tujuan. Salah satu peristiwa
yang menjadi catatan khusus dalam hubungan bilateral antara Indonesia dengan
Malaysia misalnya adalah peristiwa Nunukan pada tahun 2002 yang dapat disebut
sebagai tragedi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia.
3Ibid.
4Ibid., hlm. 34
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
12/140
Tragedi Nunukan dipicu dari ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi
pemberlakuan Akta Imigresen 1154/2002 yang memaksa sekitar 400.000 buruh migran
Indonesia tak berdokumen dideportasi.5 Nunukan sebagai wilayah di ujung utara
Indonesia dan berbatasan langsung dengan Tawau, Sabah, Malaysia Timur secara tiba-
tiba harus menerima eksodus massal sekitar 350.000 buruh migran deportan dari Sabah.
Dengan kapasitas pemerintahan setingkat kabupaten (bahkan sebelumnya hanya sebuah
kota kecamatan) tentu saja Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan kewalahan untuk
mengantisipasinya. Pada sisi lain, pemerintah pusat menganggap bahwa masalah
tersebut adalah tanggung jawab sepenuhnya Pemerintah Daerah Nunukan. Kondisi
inilah yang menyebabkan penelantaran yang berakibat fatal: paling tidak 85 deportan
meninggal dan ribuan lainnya mengalami kelaparan dan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA).
Tiga tahun setelah peristiwa Nunukan, yaitu tepatnya pada tahun 2005
Pemerintah Malaysia kembali meminta para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal segera
meninggalkan negaranya. Hal tersebut terkait dengan berakhirnya masa amnesti
(pengampunan) yang diberikan Pemerintah Malaysia kepada para imigran gelap
tersebut pada 31 Januari 2005.6 Mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan
meninggalkan Malaysia bisa dihukum lima tahun penjara atau dikenai denda sebelum
dideportasikan. Awalnya, amnesti bagi tenaga kerja ilegal dijadwalkan akan berakhir 31
Desember 2004, namun diperpanjang selama sebulan karena khawatir dapat
memperburuk krisis kemanusiaan di Indonesia dan negara-negara lain yang pada saat
itu dilanda gempa dan gelombang tsunami (26 Desember 2006). Meskipun tenggat
waktu telah berakhir, namun belum ada tanda-tanda persiapan yang serius dari
Pemerintah Indonesia. Menurut informasi dari beberapa pejabat pada waktu itu
mengatakan bahwa amnesti bagi WNI yang bermasalah diperpanjang sampai waktu
yang tidak ditentukan. Selama ini Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia
menganggap bahwa deportasi merupakan satu-satunya jalan bagi penyelesaian masalah
buruh migran tak berdokumen di Malaysia.7 Dalam pelaksanaannya, deportasi ini
meninggalkan persoalan yang tidak terselesaikan. Setiap kali rencana deportasi
5 Wahyu Susilo, Deportasi Buruh Migran Indonesia 2005 = Tragedi Nunukan Jilid II, dikutip dari
http://buruh migranberdaulat.blogspot.com/2005/02/deportasi-buruh-migran-indonesia-2005.html, 11
Februari 2005.6Ibid.
7
Wahyu Susilo, Opsi Atasi Buruh Migran Tak Berdokumen di Malaysia, Pemutihan Paspor dan KontrakKerja, dikutip dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0502/12/opini/1552100.htm , 12 Februari
2005.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
13/140
dikemukakan, selalu muncul ketegangan hubungan diplomasi antara Indonesia dan
Malaysia. Deportasi juga berpotensi atas terjadinya tindak kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia.
Rencana pendeportasian WNI dari Malaysia kembali muncul di penghujung
tahun 2009 tepatnya setelah Hari Raya Idul Fitri. Kabar ini dapat dilihat melalui
berbagai media, diantaranya adalah pernyataan yang mengutip pejabat KBRI di Kuala
Lumpur, Amiruddin Pandjaitan, bahwa Pemerintah Malaysia segera mendeportasi 60
WNI setelah hari Idul Fitri sebab petugas imigrasi Malaysia baru mulai bekerja
seminggu setelah lebaran karena sebagian besar petugas mengambil cuti lebaran.
Mereka (WNI) kini ditahan sementara di kantor imigrasi. Pemerintah Malaysia akan
membantu mendeportasi dengan segera setelah lebaran nanti.8 Ke-60 WNI itu
ditangkap petugas Imigrasi Malaysia setelah secara ilegal meninggalkan Malaysia
menuju Indonesia dengan menggunakan kapal. Jadi Pemerintah Malaysia, atau
Imigrasi Malaysia tidak akan menggunakan prosedur normal dengan mengadili
kemudian menahan mereka karena meninggalkan Malaysia secara ilegal. Jadi ini
bantuan Pemerintah Malaysia. Setelah Idul Fitri, mereka akan segera dideportasi,
ungkap Amirudin. Selain itu, pejabat sementara pasukan gerakan marine (PGM)
pelabuhan Klang, Nordin Osman mengatakan, 60 penumpang itu tidak mempunyai
dokumen perjalanan (paspor) yang sah. Mereka terdiri dari 36 laki-laki, 17 perempuan
berumur di bawah 45 tahun dan delapan kanak-kanak berusia antara satu bulan hingga
empat tahun.9
Memasuki tahun 2010, tepatnya di pertengahan bulan Februari, kembali tersiar
kabar bahwa Pemerintah Malaysia akan menggelar operasi besar-besaran merazia
pekerja asing ilegal. 10Rencana ini patut dikhawatirkan, karena sedikitnya terdapat 2,2
juta TKI bekerja di Malaysia, dimana 1 juta diantaranya berstatus ilegal. Anggota DPR
dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, menghimbau pemerintah tidak hanya
mengantisipasi deportasi besar-besaran, tetapi juga mencegah pelanggaran HAM dan
penyelesaian hak-hak korban.11 Menurut Rieke, rencana Pemerintah Malaysia dalam
8 WNI Ilegal Dideportasi Malaysia, dikutip dari http://matanews.com/2009/09/19/wni-ilegal-
dideportasi-malasia/, 19 September 2009. Lihat juga Puluhan WNI Dideportasi Setelah Lebaran,
dikutip dari http://mediaindonesia.com/read/2009/09/09/96448/39/6/Puluhan-WNI-Dideportasi-
Setelah-Lebaran, tanggal 19 September 2009.9Ibid.
10
Kompas, 17 Februari 2010, Antisipasi Nasib TKI, Malaysia Akan Gelar Razia Pekerja Asing Ilegal, hlm.18.11
Kompas, 18 Februari 2010, Penuhi Hak TKI Ilegal, Malaysia Mengabaikan Deklarasi ASEAN, hlm. 18.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
14/140
merazia TKI ilegal akan menimbulkan masalah besar karena sedikitnya terdapat 70.000
anak TKI di Malaysia Timur. Mereka hidup dengan akses pendidikan minim dan rentan
terhadap pelanggaran HAM di areal terpencil. Rieke meminta pemerintah
mengantisipasi anak-anak tersebut menjadi korban pelanggaran HAM karena harus
kabur ke hutan mengikuti orangtua mereka bersembunyi dari razia.
Himbauan untuk memperhatikan hak-hak TKI ilegal yang akan dideportasi dari
Malaysia juga disampaikan oleh Direktur EksekutifMigrant Care, Anis Hidayah, yang
meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan langkah antisipasi razia agar
tidak melanggar hak asasi manusia para TKI (ilegal).12Berdasarkan pengalaman tahun
2003-2004, ribuan TKI merana saat proses deportasi massal pekerja ilegal.
Ketidaksiapan pemerintah menyebabkan ribuan TKI menumpuk di Nunukan,
Kalimantan Timur. Lebih lanjut Anis mengatakan bahwa pemerintah harus lebih serius
menghadapi razia terhadap pekerja asing ilegal di Malaysia pada saat ini. Beliau
menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan kembali gugus tugas khusus
penanganan deportasi tahun 2004 yang beranggotakan berbagai kementerian untuk
menyiapkan penerimaan TKI ilegal yang dideportasi.
Gugus Tugas yang dimaksud oleh Anis tidak lain adalah Tim Koordinasi
Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia (TK-
PTKIB) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden RI No. 106 Tahun 2004 Tanggal 18
Oktober 2004. Gugus Tugas ini dibentuk untuk memberikan bantuan pemulangan
kepada Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TKIB), dan
mempersiapkannya kembali menjadi TKI yang berkualitas dan memenuhi persyaratan.
Sejak tahun 2004, TK-PTKIB dengan Satgas dan Poskonya di daerah entry pointtelah
memberikan layanan dengan sebaik-baiknya walaupun dengan dana operasional yang
terbatas.13 Untuk meningkatkan pengawasan lalu lintas penduduk atau tenaga kerja
yang akan melintas batas, Pemerintah Malaysia dan Indonesia pada tahun 2005 telah
membentuk Lembaga Pelayanan Satu Atap yang ditempatkan di 11 titik di daerah
perbatasan Malaysia-Indonesia yaitu di Medan (Sumatera Utara), Tanjung Uban
(Kepulauan Riau), Dumai (Riau), Entikong (Kalimantan Barat), dan Nunukan
(Kalimantan Timur), juga di daerah lainnya seperti Jakarta (DKI Jakarta), Semarang
(Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Pare-pare (Sulawesi Selatan), Mataram (Nusa
12
Kompas, 17 Februari 2010, loc.cit.13
Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia
(TK-PTKIB) Tahun 2007, loc. cit., hlm. iii.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
15/140
Tenggara Barat) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).14Namun layanan Satu Atap ini
tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Pemulangan pendatang asing tanpa izin (PATI)
di Malaysia baik melalui program amnesti maupun deportasi telah berlangsung sejak
tahun 2004, namun sampai sekarang masih tetap berlangsung karena lemahnya
Pemerintah Malaysia menindak para majikan yang mempekerjakan TKI ilegal dan
adanya aparat korup yang dengan bayaran tertentu telah membiarkan masuknya para
pekerja ke Malaysia dengan status pelancong (visa kunjungan).
Berdasarkan data Kementerian Sosial, sepanjang tahun 2007 jumlah TKIB yang
dipulangkan oleh Satgas PTKIB Daerah di seluruh Indonesia dan dilaporkan ke
Kementerian Sosial sebanyak 36.315 orang. Jumlah TKI yang dipulangkan dari
Malaysia selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2007 dapat dilihat pada tabel
berikut.15
Tabel 1.1
Pemulangan TKI Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia Tahun 2004-2007
No. Tahun TKIB (Orang) Keterangan
1. 2004 356.256 TKIB amnesti dan deportasi
2. 2005 176.585 TKIB amnesti dan deportasi
3. 2006 30.604 TKIB deportasi
4. 2007 36.315 TKIB deportasi
Sumber: Media Center KMK, 2004-2006, Depsos, 2008.
Jumlah tersebut belum termasuk TKIB yang pulang di luar yang dideportasi atau
yang tidak tercatat karena pulang ke Indonesia melalui pelabuhan tradisional atau
melalui jalur-jalur tikus yang banyak terdapat di daerah perbatasan. Sementara itu,
Litbang Kompas mencatat jumlah TKI yang dipulangkan dari Malaysia selama kurun
waktu 2008-2009, seperti pada tabel di bawah ini.Tabel 1.2.
Pemulangan TKI dari Malaysia Tahun 2008-2009
No. Waktu Pemulangan Jumlah Keterangan
1. 18 Juni 2008 90 TKI ilegal asal Jawa Timur dipulangkan dari Malaysia
2. 16 Januari 2009 111 TKI dideportasi dari Malaysia terkait masalah perizinan.
3. 23 Februari 2009 29 TKI asal Lampung dideportasi dari Johor, Malaysia denganstatus sebagai pendatang ilegal dan pelanggar ketentuanimigrasi.
14Ibid.
15Ibid.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
16/140
Jumlah 230
Sumber: Litbang Kompas16
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengatakan
bahwa setiap hari ada deportasi TKI yang sudah selesai menjalani proses keimigrasian
di Malaysia. Sebagian besar dari mereka pulang ke Indonesia lewat Pelabuhan
Tanjungpinang, Kepulauan Riau, dan Nunukan, Kalimantan Timur.17
Persoalan deportasi muncul sebagai akibat dari ketidakcakapan Pemerintah
Indonesia dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran.18 Besarnya
biaya penempatan yang harus ditanggung calon buruh migran Indonesia membuat
mereka memilih cara ilegal untuk masuk ke negara tujuan seperti Malaysia misalnya.
Selama pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan krisis kesejahteraan dan
penyediaan lapangan kerja di dalam negeri, nampaknya mencegah upaya migrasi tenaga
produktif ke Malaysia merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Ada beberapa
alasan19, pertama, Hak untuk tinggal dan bekerja dimanapun di muka bumi adalah hak
asasi manusia yang harus dihormati dan dihargai. Kedua, secara geografis letak
Indonesia dan Malaysia sangat berdekatan, akses untuk dapat keluar masuk masing-
masing negara terhitung sangat mudah dilakukan. Ketiga, permintaan tenaga kerja
murah untuk bekerja di Malaysia masih sangat tinggi.
Faktor lain terjadinya deportasi terhadap WNI oleh negara tetangga sepertiMalaysia menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Kalimantan Barat, Maksum Jauhari adalah akibat masalah keimigrasian. "Ada yang
sudah bekerja dengan izin resmi namun tidak pulang ke Indonesia sewaktu masa
kontraknya habis".20 Maksum Jauhari menyebutkan bahwa Disnakertrans Kalimantan
Barat mencatat hingga September 2008 sebanyak 1.796 Warga Negara Indonesia (WNI)
yang bermasalah terutama dari Malaysia telah dideportasi. WNI pria lebih mendominasi
yakni 1.413 orang dan wanita 383 orang. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingtahun 2007 yakni 2.068 orang yang terdiri dari 1.659 pria dan 409 wanita. Selanjutnya
ia juga mengatakan bahwa menjelang Idul Fitri terjadi peningkatan WNI yang
dideportasi melalui Kalimantan Barat dibanding bulan sebelumnya. Sumber data lain
yaitu yang berasal dari Kantor Imigrasi Entikong menyebutkan, pada bulan Maret 2008
16Kompas, 17 Februari 2010, op. cit.
17Ibid.
18 Lagi-(lagi) Soal Deportasi Buruh Migran Indonesia di Malaysia, dikutip dari
http://thepurple.notes.multiply.com/journal/item/9/19
Ibid.20
1.796 WNI Dideportasi dari Malaysia, dikutip dari http://www.kapanlagi.com/h/0000252108-html
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
17/140
tercatat 130 WNI bermasalah dideportasi dari Malaysia melalui Pos Pemeriksaan Lintas
Batas (PPLB) Entikong.21 Akumulasi WNI yang dideportasi dari Malaysia melalui
PPLB Entikong pada tahun 2008 mencapai 535 orang. WNI yang dideportasi dari
Malaysia melalui PPLB Entikong tahun sebelumnya 1.482 orang. Selain itu, tahun 2007
terdapat 21 WNI dideportasi dari Brunei Darussalam melalui PPLB Entikong. Kepala
Kantor Imigrasi Entikong Sugeng Harjanto mengatakan bahwa Imigrasi hanya meneliti
apakah mereka warga Indonesia atau tidak. Pemulangan ke daerah asal bukan
kewenangan imigrasi,22. Pertanyaan yang dapat dikemukakan kemudian adalah
bagaimana penanganan selanjutnya terhadap WNI yang dideportasi tersebut setelah
selesai menjalani pemeriksaan di kantor Imigrasi. Anggota DPRD Kalimantan Barat
Daerah Pemilihan Kabupaten Sanggau, Katharina Lies, mengatakan, WNI yang
dideportasi dan terlantar itu berpotensi dimanfaatkan penyalur tenaga kerja ilegal di
Entikong.23 Mereka akan mencoba merekrut dan memasukkan deportan kembali ke
Malaysia melalui jalur tidak resmi atau yang sering disebut jalan tikus.
Penyebab terjadinya deportasi terhadap WNI di wilayah perbatasan tidak hanya
disebabkan adanya WNI yang ingin bekerja di negara tetangga dengan tujuan
memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Faktor politik dapat juga
menyebabkan deportasi terhadap WNI. Contohnya adalah adanya sejumlah WNI yang
dideportasi Pemerintah Timor Leste di wilayah perbatasan Atambua, Kabupaten Belu,
Nusa Tenggara Timur. Mereka adalah 61 Warga Negara Indonesia yang terdiri dari 15
kepala keluarga. Warga Indonesia yang sebagian besar beragama Islam ini dideportasi
karena menolak menjadi warga negara Timor Leste. Sebagian lainnya, tidak memiliki
dokumen keimigrasian yang sah.24
Menghadapi rencana pemulangan WNI oleh negara tetangga maka beberapa
program jangka pendek harus dilakukan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah
debarkasi (daerah kedatangan atau daerah penerima) maupun pemerintah daerah asal
harus berkoordinasi, membiayai, dan tidak saling melempar tanggung jawab dalam
pemulangan WNI yang dideportasi. Adanya akumulasi deportan yang masif di beberapa
titik transit juga akan terjadi penelantaran dan potensi kerawanan sosial dan pelanggaran
21 WNI yang Bermasalah Terlantar di Entikong, dikutip dari
http://www.cetak.kompas.com/read/xml/2008/ 03/ 22/01444227/, 22 Maret 2008.22
Ibid.23
Ibid.24
61 WNI yang Dideportasi Dari Timor Leste Sampai di Perbatasan, dikutip dari http://tempointeraktif
.com/hg/nusa/2004/11/30/brk , 20041130-24,id,html, 30 November 2004.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
18/140
HAM (seperti yang terjadi di Nunukan) apabila tidak dikelola dengan manajemen
penanganan antisipasi deportasi yang komprehensif.
B.
Identifikasi MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan perlindungan WNI yang dideportasi
melalui wilayah perbatasan yaitu:
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah saling melempar tanggung jawab
dalam penanganan WNI yang dideportasi.
2.
Belum adanya koordinasi yang dilakukan oleh instansi-instansi terkait di
wilayah perbatasan dalam menangani WNI yang dideportasi.
3.
Belum adanya kejelasan kewenangan antara pemerintah daerah penerima
deportan dengan pemerintah daerah dimana deportan berasal dalam pemulangan
WNI yang dideportasi.
4.
WNI yang dideportasi dan terlantar berpotensi dimanfaatkan penyalur tenaga
kerja ilegal untuk mengirimkan kembali secara ilegal ke negara tujuan.
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah
perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi?
2. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah daerah
dalam menangani WNI yang dideportasi?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang
dideportasi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya kegiatan penelitian ini adalah untuk menjawab
permasalahan penelitian yaitu:
1. Untuk mendapatkan gambaran dan menganalisis pola penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI
yang dideportasi.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
19/140
2.
Untuk mendapatkan gambaran dan menganalisis bentuk-bentuk perlindungan
yang diberikan oleh pemerintah daerah dalam menangani WNI yang dideportasi.
3. Untuk menginventarisir dan menganalisis kendala-kendala apa saja yang
dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi.
Sedangkan manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi manfaat akademis dan
praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur dalam
memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu-ilmu sosial. Secara praktis, manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tersusunnya rekomendasi dalam membuat kebijakan tentang upaya yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI
yang dideportasi.
2.
Tersusunnya laporan penelitian yang berisi tentang pola penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI
yang dideportasi, bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah
daerah dalam menangani WNI yang dideportasi dan inventarisasi kendala-
kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi.
Dari laporan penelitian ini kemudian akan disusun mekanisme perlindungan hak
asasi manusia bagi WNI yang dideportasi.
E.
Ruang Lingkup
Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Substansi penelitian adalah pembahasan tentang pola penanganan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan dalam melindungi WNI
yang dideportasi, bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah
daerah dalam menangani WNI yang dideportasi dan inventarisasi kendala-
kendala apa saja yang dihadapi dalam proses penanganan WNI yang dideportasi.
2. Wilayah penelitian meliputi Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjungpinang),
Kalimantan Barat (Entikong-Kabupaten Sanggau), Kalimantan Timur
(Kabupaten Nunukan), dan Sumatera Utara (Kota Medan). Pemilihan lokasi
penelitian didasarkan pada daerah-daerah perbatasan yang menjadi wilayah
penerima para WNI yang dideportasi. Wilayah-wilayah ini merupakan daerah
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
20/140
entry point, transit dan daerah asal Tenaga Kerja Indonesia bermasalah di
Indonesia. Berdasarkan Laporan Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, di empat wilayah ini pernah dibentuk Satuan Tugas
(Satgas) Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PTKIB) pada tahun
2004 dengan keterangan sebagai berikut:25
a.
Kepulauan Riau
Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau merupakan entry point
terdekat untuk menerima TKIB deportan dari Johor Bahru Malaysia. Satgas
PTKIB Tanjungpinang melaporkan bahwa sebagai dampak kebijakan
Pemerintah Malaysia yang memusatkan pendeportasian PATI asal Indonesia
di Semenanjung Malaysia dilakukan via Johor Bahru ke Tanjungpinang,
selama tahun 2007 telah menerima TKIB dari Johor Bahru, menampung dan
memberangkatkan TKIB tersebut ke daerah asal yang jumlahnya mencapai
34.845 orang.
b. Kalimantan Barat
Entikong adalah Pos Lintas Batas RI-Malaysia yang ada di Kab. Sanggau,
Provinsi Kalimantan Barat, yang secara geografis berbatasan langsung
dengan Malaysia (Serawak) dengan panjang perbatasan 800 km. Di
sepanjang perbatasan tersebut terdapat tiga pintu gerbang resmi Pos Lintas
Batas, dan 64 jalan tikus yang memungkinkan untuk masuk keluarnya TKI
ilegal dan juga untuk jalur perdagangan orang (trafficking in persons). PATI
asal Indonesia yang ada di Serawak dideportasi oleh Pemerintah Malaysia ke
wilayah Indonesia melalui Entikong yang dapat ditempuh dengan jalan darat
sejauh 330 km dari Pontianak. Mengingat bahwa Kalimantan Barat juga
merupakan daerah transit masuknya Tenaga Kerja Indonesia dari luar
Kalimantan Barat ke Serawak Malaysia, maka Satgas PTKIB dibentuk di
Pontianak dan membentuk Posko di Entikong untuk menangani pemulangan
TKI bermasalah. Selama tahun 2007, Satgas PTKIB Kalimantan Barat telah
membantu pemulangan TKIB sebanyak 2.000 orang (per 6 Desember 2007),
yang berasal dari Kalimantan Barat 1.227 orang dan yang berasal dari luar
Kalimantan Barat sebanyak 773 orang.
c. Kalimantan Timur
25 Laporan Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarga dari Malaysia
(TK-PTKIB) Tahun 2007, loc. cit., hlm. 37-54.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
21/140
Nunukan adalah Pos Lintas Batas RI-Malaysia yang ada di Kab. Nunukan,
Provinsi Kalimantan Timur, yang secara geografis berbatasan langsung
dengan Malaysia (Sabah). Selama tahun 2007 (November), Satgas PTKIB
telah membantu memproses paspor dan dokumen yang diperlukan untuk TKI
sebanyak 68.638 orang, dan telah membantu menangani TKIB deportan
sebanyak 5.589 orang. Dari jumlah tersebut hanya 88 orang yang mau pulang
ke daerah asalnya, selebihnya memilih tinggal di Nunukan dan berupaya
untuk dapat kembali masuk dan bekerja di Malaysia mengadu nasib mencari
peruntungannya. Sebagaimana karakter orang Sulawesi, jika telah
menyatakan ingin keluar dari daerahnya dan telah dilepas secara adat, mereka
enggan kembali ke daerah asal jika dinilai belum berhasil.
d. Sumatera Utara
Medan adalah exit dan entry point bagi pengiriman TKI dan penerimaan
TKIB dari Malaysia, yang berasal dari Sumatera Utara dan dari daerah lain.
Maraknya pengiriman TKI melalui Medan dapat diindikasikan dari adanya 12
Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS) dan 65 Cabang PPTKIS di
Medan. Untuk menangani pemulangan TKIB, dibentuk Satgas PTKIB Medan
dan Posko PTKIB di Pelabuhan Belawan, yang untuk tahun 2007 telah
mendapat dukungan dana operasional dari APBD. TKIB deportan asal
Sumatera Utara, dipulangkan dari Malaysia ke Medan melalui
Tanjungpinang. Selain sebagai tempat pemberangkatan TKI legal dan
prosedural, Medan juga dikenal sebagai tempat pemberangkatan TKI non-
prosedural karena banyak WNI yang bermaksud bekerja ke luar negeri
menggunakan visa kunjungan sementara, dan bahkan TKI ilegal tanpa
dokumen, baik yang berasal dari Sumatera Utara maupun dari daerah lain.
Sering terjadi pengiriman TKI yang masih di bawah umur (kurang dari 21
tahun).
Banyaknya pergerakan WNI ke luar negeri terutama Malaysia dan proses
deportasi WNI melalui perbatasan juga dapat dilihat melalui data yang dikeluarkan oleh
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di empat provinsi tersebut,
sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.3
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
22/140
Data Warga Negara Indonesia Yang Dideportasi Melalui Tempat Pemeriksaan
Imigrasi (TPI) di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Timur dan
Sumatera Utara
NO. PROVINSI TPITAHUN
JUMLAH
2007 2008 2009
1 Kepulauan Riau(Data pertanggal 25Januari 2010 dari KanwilKementerian Hukum danHAM Provinsi Kepri)
Sri Bintan PuraTanjungpinang
34.652 35.143 32.710 102.505
2 Kalimantan Barat(Data pertanggal 19Januari 2010 dari KanwilKementerian Hukum dan
HAM Provinsi Kalbar)
Entikong 3.029 2.543 2.469 8.041
3 Kalimantan Timur(Data pertanggal 27Januari 2010 dari KanwilKementerian Hukum danHAM Provinsi KalimantanTimur)
Samarinda 6 2 1 9
Balikpapan - 1 - 1
Tarakan 5 - 8 13
Nunukan 40 6 39 85
4 Sumatera Utara(Data pertanggal 3
Februari 2010 dari KanwilKementerian Hukum danHAM Provinsi Sumut)
Kanim Polonia 907 1.183 1.179 3.269
Kanim Belawan 29 94 100 223
Kanim Tj.Balai - - - -
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.
3.
Pelaksanaan penelitian pada setiap provinsi akan dilakukan oleh tiga orang
selama 10 hari. Penelitian ini akan dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hak-Hak Sipil dan Politik, Badan Penelitian dan Pengembangan
HAM. Tim Pelaksana Penelitian terdiri dari satu orang koordinator, satu orang
sekretaris, enam orang peneliti, dan satu orang pengolah data.
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
23/140
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif-analitis. Metode deskriptif adalah metode
penelitian untuk meneliti status sekelompok manusia, objek, kondisi, sistem
pemikiran atau peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini
adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki, dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh untuk
kemudian dianalisis.26
Menurut Whitney27 metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-
situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dalam metode deskriptif peneliti bisa
membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi
komparatif. Adakalanya peneliti membuat klasifikasi, serta penelitian terhadap
fenomena-fenomena tertentu dengan menetapkan standar atau norma tertentu
sehingga metode deskriptif ini juga dinamakan survei normatif.
Metode deskriptif juga meneliti kedudukan (status) fenomena atau
faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Hal ini
menyebabkan, studi deskriptif juga disebut studi kasus.
2. Metode Analisa Data
Penelitian memilih studi kasus dalam metode analisa datanya. Metode
Analisis Studi Kasus adalah metode analisis tentang status subyek penelitian
yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas (Maxfield, 1930).28 Subjek penelitian bisa berupa individu,
kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara
intensif latar belakang dan interaksi lingkungan unit-unit sosial yang menjadi
subyek.
26Jenis-Jenis Penelitian, Bahan Kuliah Kelima Metodologi Penelitian, Dr. R.I. Wahono, Program Pasca
Sarjana UI, Pengkajian Ketahanan Nasional, 2000.
27F.L. Whitney, The Elements of Research, Prentice Hall Inc., New York, 1960, h. 204.
28
F.N. Maxfield, The Case Study, hal. 117-123, dalam Moh. Nazir PhD, Metode Penelitian, GhaliaIndonesia, Jakarta, 2003, h. 66. Baca juga J. Nisbet dan J. Watt, Studi Kasus, Sebuah Panduan Praktis,
disadur oleh L. Wilardjo, 1994.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
24/140
Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara
mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus,
atau status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas tadi akan dijadikan
suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus lebih menekankan mengkaji
variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil.29
3.
Data Penelitian
Data dalam penelitian ini bersumber pada data primer30 dan data
sekunder31. Data primer berupa hasil pengamatan yang diperoleh melalui
observasi langsung32 dan informasi yang diperoleh melalui wawancara33yang
mendalam dengan beberapa tokoh dan pakar. Sumber informan dalam
penelitian ini berasal dari pemerintah daerah, kantor imigrasi, dinas sosial,
BNP3TKI, dinas tenaga kerja, dinas perhubungan, dinas kesehatan, kepolisian,
para deportan serta lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian
terhadap permasalahan deportasi WNI. Sedangkan data sekunder berupa
literatur baik dari buku, naskah ilmiah, laporan penelitian, artikel dari website
dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Wawancara
b.
Observasi
c. Penelitian literatur
d. Penelitian dokumentasi
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian
(terlampir).
29Hal ini berbeda dengan metode survei di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih
sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar.30
Data primer merupakan sumber-sumber utama, berupa bukti atau saksi mata utama. Misalnya: risalah
rapat, keterangan saksi mata atau pelaku, foto-foto dan sebagainya.31
Data sekunder adalah dokumentasi berupa catatan tentang adanya suatu peristiwa, atau catatan yang
bukan merupakan dokumen asli. Misalnya peristiwa yang diketahui dari surat kabar atau buku.32
Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara
pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain. Nazir, Loc.cit.h.
212. Baca juga Cl. Selltiz et.al., Research Methods in Social Relations, 1964, h. 200.33
Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan narasumber atau responden dengan
menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Walaupun wawancara adalah proses percakapanyang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data
untuk suatu penelitian. Nazir, Loc.cit h. 234.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
25/140
G.
Kerangka Pemikiran
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk meninggalkan dan masuk kembali
ke wilayah negara Republik Indonesia. Pada saat WNI berada di negara lain, merekaterkadang menghadapi permasalahan yang berakibat dideportasi oleh: Malaysia dan
Singapura. Proses deportasi ini biasanya dilakukan melalui wilayah-wilayah Indonesia
yang berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Kepulauan Riau dan Sumatera Utara.
Proses pemulangan WNI yang bermasalah terkadang menimbulkan
permasalahan yang mengakibatkan terabaikannya hak-hak WNI. Untuk mengantisipasi
deportasi yang akan dilakukan negara tetangga di masa yang akan datang, maka
pemerintah daerah khususnya di wilayah perbatasan harus menyiapkan pola penanganan
terhadap WNI yang dideportasi. Penelitian yang akan dilakukan ini berupaya untuk
menggambarkan pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di wilayah
perbatasan dalam melindungi WNI yang dideportasi sebagaimana dapat dilihat pada
diagram berikut ini.
Gambar 1.1.
Alur Pemikiran Penelitian
Berdasarkan diagram di atas penelitian ini akan menggali berbagai informasi
tentang tanggung jawab pemerintah yang dimulai dengan peraturan yang telah dibentuk,
implementasi di lapangan, serta dukungan masyarakat di wilayah perbatasan dalam
melindungi para WNI yang dideportasi. Untuk memperjelas arah penelitian, maka di
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
26/140
dalam kerangka pemikiran ini dilengkapi dengan beberapa definisi operasional yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, yaitu:
1. Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.34
2.
Wilayah Perbatasan
Di dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
istilah yang digunakan untuk wilayah perbatasan adalah kawasan perbatasan
yang didefinisikan sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi
dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas
wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di kecamatan.35
3. Perlindungan HAM
Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis
HAM (rights-based approach) dapat dilihat dalam tiga bentuk, salah satunya
adalah melindungi (to protect) yang berarti kewajiban negara agar bertindak
aktif bagi warga negaranya.36 Negara agar bertindak aktif untuk memberi
jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya dan negara berkewajiban
untuk mengambil tindakan-tindakan mencegah pelanggaran semua hak asasi
manusia oleh pihak ketiga.
4. Warga Negara Indonesia
Warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.37Sedangkan yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.38
5. Deportasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, deportasi berarti pembuangan,
pengasingan, atau pengusiran seseorang ke luar suatu negeri sebagai hukuman,
atau karena orang itu tidak berhak tinggal di situ.39
34Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
35Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
36 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.DL.08.01
Tahun 2009, tentang Panduan Penelitian di Bidang Hak Asasi Manusia, hlm. 8.37
Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.38
Ibid., Pasal 2.39
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, ed. 3, cet. 2, Jakarta, Balai
Pustaka, hlm. 254.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
27/140
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka Hak Asasi
Manusia dan Permasalahan Deportasi
Berdasarkan ketentuan yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
khususnya tentang hak kebebasan pribadi, disebutkan bahwa setiap Warga Negara
Indonesia (WNI) berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak ini
merupakan salah satu hak atas kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan dalam
Pasal 27 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan:
1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah,
dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia;
2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke
wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Kebebasan bergerak (secara fisik) dapat dibatasi menurut keadaan-keadaan
tertentu. Seorang tersangka dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun misalnya
dapat ditahan untuk suatu jangka waktu tertentu. Seseorang dapat juga dikenakan wajib
lapor kepada kepolisian sehubungan dengan posisinya terhadap suatu kasus pidana
sehingga orang dimaksud tidak mudah untuk berpindah. Selain itu, hak untuk berdiam
dan meninggalkan Indonesia ini tergolong hak yang derogable, hak yang dapat
dikesampingkan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dilakukan atas dasar perundang-
undangan yang adil. Oleh karena itu pencegahan orang ke luar negeri dan penangkalan
orang untuk masuk ke Indonesia jika dilakukan tanpa dasar hukum yang adil adalah
pelanggaran hak asasi manusia. Ketentuan yang berkaitan dengan implementasi hak ini
sebagian dimuat dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian.
Kondisi masyarakat Indonesia yang mendorong terjadinya pergerakan dari dan
ke wilayah Indonesia biasanya disebut dengan proses migrasi, dimana trend motivasi
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
28/140
migrasi dewasa ini lebih banyak didorong oleh faktor ekonomi.40 Migrasi diartikan
perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lain, sedangkan untuk orang-orang
yang melakukannya disebut dengan migran.41Migrasi dapat dilakukan baik secara legal
maupun ilegal dan motifnya pun dapat berbeda-beda. Pada masa lalu migrasi dilakukan
karena perang atau pertikaian etnis sehingga harus mengungsi hingga meninggalkan
negaranya. Namun akhir-akhir ini yang paling besar untuk melakukan migrasi
bermotifkan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup atau motif ekonomi. Hal tersebut
diperkuat oleh negara asal kaum migran tersebut yang umumnya negara-negara dunia
ketiga. Mereka melakukan migrasi karena negara asalnya bukan lagi negara yang dapat
memberikan kehidupan yang layak bagi masa depannya. Dikuatkan oleh berita-berita
keberhasilan dan kesuksesan dari beberapa kaum migran di negara-negara baru yang
sampai ke sanak famili di negaranya. Akibatnya keinginan untuk melakukan migrasi
menjadi daya penarik yang kuat.
Hampir bisa dipastikan bahwa para migran yang tertangkap selalu mengklaim
bahwa dirinya adalah pengungsi. Pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti
disebutkan di atas sudah bisa dipastikan bahwa mereka benar-benar pengungsi. Untuk
sampai mendapatkan status pengungsi harus dilakukan skrining terlebih dahulu dan
memerlukan waktu. Namun untuk kasus-kasus migrasi yang bermotifkan ekonomi bisa
dipastikan akan gagal untuk mendapatkan status sebagai pengungsi. Karena jika
demikian halnya maka negara transit atau negara tempatan dapat melakukan deportasi.
Sebaiknya jangan mudah juga mengklaim bahwa terhadap mereka sampah, karena jika
bisa dibuktikan bahwa dari sebagian mereka adalah pengungsi, maka terdapat
perlindungan (proteksi) secara internasional, dan setiap negara dituntut untuk
menghormatinya. Untuk menjawab hal itu harus dilakukan serangkaian proses oleh
institusi yang berwenang secara internasional, dalam hal ini UNHCR dengan tetap
berkordinasi dengan negara transit dan negara tempatan.
Seseorang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain mendapat sebutan
yang paling umum dengan istilah alien (orang asing). Orang asing diartikan sebagai
seseorang yang belum dinaturalisasi dan tinggal di suatu negara yang dirinya itu bukan
penduduk warga negara itu. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa tidak semua
orang asing (foreigner) yang berada di suatu negara termasuk dalam pengertian alien.
40
Wagiman, Batam dan Imigran Gelap, dikutip darihttp://www.yphindonesia.org/index.php/publikasi/artikel /54-batam-dan-imigran-gelap.41
Ibid.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
29/140
Berdasarkan hukum internasional yang termasuk ke dalam alien meliputi empat kategori
yaitu pencari suaka (asylum seekers), orang terlantar (displaced person), orang tanpa
kewarganegaraan (stateless), dan pengungsi (refugee). Pengungsi adalah orang yang
mencari tempat yang aman ketika di negaranya ada bahaya yang mengancam.
Pengungsi selalu berada di luar negara kebangsaannya. Hal itu terjadi karena suatu
alasan rasa takut dan terjadinya tekanan atau penyiksaan. Alasannya dapat berupa
perbedaan etnis, agama atau karena keikutsertaannya pada suatu kelompok sosial
tertentu. Dapat juga karena pendapat politiknya sehingga harus berada di luar negaranya
karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negara asalnya. Negara tidak dapat
memulangkan seorang pengungsi dengan alasan apapun, terkait dengan posisi mereka
yang terancam jiwanya atau kebebasannya dengan alasan-alasan yang disebutkan di
atas. Status yang dikeluarkan oleh UNHCR diterima oleh Majelis Umum PBB tahun
1950. Pada resolusi tersebut terdapat seruan agar semua negara anggota PBB
memberikan kerjasamanya pada UNHCR dalam melaksanakan perlindungan
internasional kepada pengungsi dan mencari solusi yang permanen.
Indonesia sebagai negara bukan peserta konvensi tentang pengungsi
sesungguhnya tidak terikat pada kewajiban-kewajiban terkait dengan perlindungan yang
diberikan oleh hukum internasional, sebagaimana yang diamanatkan konvensi
pengungsi. Namun dengan pertimbangan kemanusiaan, Indonesia sebagai anggota PBB
secara moral terpanggil untuk memenuhi dan mematuhi resolusi dalam memberikan
perlindungan internasional kepada pengungsi. Kilas balik sejarah Indonesia, pada saat
penjajahan penetapan izin pada orang asing yang masuk Indonesia secara ilegal dapat
menjadi legal dengan cara membayar sejumlah denda. Pasca kemerdekaan izin masuk
bagi orang asing didasarkan pada kepentingan nasional yang sifatnya selektif. Kriteria
penerimaan dipertimbangkan dengan dasar terhadap mereka tidak akan menjadi beban
ekonomi. Orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia tunduk pada hukum Indonesia.
Indonesia memiliki kekuasaan untuk menolak memberi izin masuknya orang asing.
Alasan penolakan salah satunya disebabkan karena tidak memiliki surat perjalanan yang
sah. Namun demikian terdapat pengecualian jika para migran itu statusnya sebagai
pengungsi. Polisi dan petugas imigrasi harus memberi perlakuan terhadap mereka
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip umum atau hak pengungsi.
Hukum positif keimigrasian Indonesia tidak memuat ketentuan yang berlaku
secara khusus (lex specialis) bagi pencari suaka dan pengungsi. Dengan demikian setiap
orang asing, yang masuk ke Indonesia tanpa memenuhi persyaratan akan dianggap
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
30/140
sebagai orang asing yang memasuki wilayah Indonesia secara tidak sah. Petugas
imigrasi dapat mengeluarkan perintah deportasi kepada orang asing yang tiba di tempat
pemeriksaan imigrasi. Alat angkut berkewajiban untuk membawa kembali setiap orang
asing sebagai penumpang yang dibawanya. Adapun penentuan apakah
seseorang/sekelompok orang itu pengungsi atau bukan dilakukan oleh perwakilan
UNHCR yang berada di Indonesia, dan untuk hal yang demikian dinamakan pengungsi
mandat karena penetapannya ditentukan oleh UNHCR. Kedua, pengungsi konvensi
yang prosedur penetapan statusnya untuk menentukan pengungsi atau bukan diserahkan
kepada negara yang sudah menjadi peserta konvensi, namun tetap bekerjasama dengan
UNHCR setempat. Sampai saat ini Indonesia bukan negara peserta Konvensi
Pengungsi. Biasanya untuk negara peserta Konvensi Pengungsi dibentuk suatu panitia
khusus yang terdiri dari instansi-instansi yang ada hubungannya dengan masalah
pengungsi. Namun hingga saat ini Indonesia belum melakukan aksesi terhadap
instrumen hukum internasional Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status
Pengungsi.
Setidaknya terdapat enam istilah yang sering digunakan media untuk menyebut
mereka (pengungsi), yaitu imigran gelap (ilegal immigrant), pencari suaka (asylum
seekers), pengungsi (refugee), manusia perahu (boat people), serta pengungsi sejati dan
pendatang biasa. Dua istilah terakhir merupakan standar penyebutan/istilah yang
digunakan selama ini oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa
Bangsa (UNHCR). Adapun Organisasi Internasional yang mengurusi Migrasi
Internasional (IOM) menggunakan istilah-istilah seperti migran (migrant), pengungsi
(refugee), dan orang-orang yang terlantar (displaced persons). Untuk kaum migran
lembaga IOM mengkategorikannya dengan tiga sebutan yaitu migran ekonomi
(economic migrants), vurnerable people, dan vurnerable groups. Istilah terakhir yang
masih berkaitan dengan migrasi yaitu trafficking in person yang mengandung arti
pergerakan manusia yang meninggalkan negara asalnya karena adanya penipuan
melalui iming-iming pekerjaan. Korban trafficking sering mengalami penderitaan yang
luar biasa dan tak jarang hidupnya berakhir tragis (bunuh diri). Sementara para sindikat
penipunya sering meraup keuntungan yang besar dari usaha ini.
Istilah-istilah di atas penting mengingat dalam hukum setiap istilah yang
digunakan akan membawa pada implikasi dan akibat hukum tertentu, baik menurut
hukum positif Indonesia maupun hukum internasional. Pengungsi menurut ketentuan
hukum internasional ialah setiap orang atau sekelompok orang yang berada di luar
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
31/140
negara kebangsaannya dengan alasan rasa takut akan terjadinya tekanan atau penyiksaan
(Pasal 6B Statuta UNHCR). Pasal 1A Ayat (2): Konvensi tentang Pengungsi tahun
1951 memberi batasan, yaitu siapa saja yang merasa takut akan mendapat tekanan atau
penganiayaan yang disebabkan karena alasan etnis, agama atau karena keikutsertaannya
pada suatu kelompok sosial tertentu atau karena pendapat politiknya sehingga harus
berada di luar negaranya karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negaranya.
Dengan demikian jika unsur-unsur pada pasal tersebut tidak terpenuhi, khususnya
adanya ancaman dan bahaya yang mengancam terhadap jiwanya sehingga harus pergi
meninggalkan negaranya maka sulit untuk mendapatkan status pengungsinya. Hukum
Indonesia mengatur apabila ada warga asing yang memasuki wilayah Indonesia tanpa
izin terhadap mereka akan dipulangkan (dideportasi) ke negara asalnya. Dasar
pemulangan merupakan ketentuan hukum positif terkait keimigrasian Indonesia. Harap
diingat pengungsi tidak dikategorikan sebagai migran ilegal berdasarkan hukum
internasional. Memang pada saat masuk mereka tidak dilengkapi dengan dokumen
resmi dari negara asalnya. Ketidaklengkapan dokumen bagi kaum migran tersebut tidak
dapat menjadi alasan bagi pemulangan/pengusiran terhadap mereka. Hal tersebut
merujuk pada salah satu prinsip dalam hukum pengungsi, yaitu larangan dilakukannya
pengusiran. Pengusiran hanya mungkin dilakukan apabila ada pertimbangan
berdasarkan alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum atas keberadaan
mereka tersebut. Kalaupun hal demikian dilakukan pada pelaksanaannya tetap akan
sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Atas alasan-alasan keamanan nasional
yang bersifat memaksa tetap pada pengungsi tersebut diberikan kesempatan untuk
melakukan pembelaan diri serta dapat menyampaikan bukti untuk membersihkan
dirinya.
Dari sejumlah isu-isu keamanan kontemporer yang berkembang pada masa
pasca Perang Dingin, masalah tenaga kerja ilegal dinilai telah menjadi salah satu isu
utama.42 Salah satu contoh kasus adalah kasus tenaga kerja ilegal asal Indonesia di
Malaysia. Isu ini telah diangkat oleh Pemerintah Malaysia sebagai ancaman terhadap
keamanan internal Malaysia. Sebagai dampak dari tersekuritisasinya suatu isu maka
pemerintah setempat akan mengeluarkan sejumlah kebijakan publik yang
mempengaruhi penyelesaian masalah serta pemberlakuan mekanisme penyelesaian
yang berada di luar mekanisme penyelesaian formal. Kondisi ini mendorong munculnya
42 Senia Febrica, Kebijakan Penanganan Tenaga Kerja Ilegal Indonesia di Malaysia, http://gp-
ansor.org/1479-04122006.html.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
32/140
sebuah pertanyaan yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian ini,
Bagaimanakah kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan baik oleh Pemerintah
Malaysia dan Indonesia dalam penanganan masalah tenaga kerja ilegal asal Indonesia?
Gelombang kedatangan tenaga kerja ilegal dari Indonesia ke Malaysia telah
menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak pertengahan 1970-an.43 Kedatangan
imigran ini dipengaruhi oleh kebijakan New Economic Policy yang diberlakukan di
Malaysia. Kebijakan industri ini mendorong tenaga kerja Malaysia yang berada di
wilayah rural untuk berurbanisasi sehingga Malaysia mengalami kekurangan tenaga
kerja untuk sektor-sektor pertanian, maupun perkebunan. Kekurangan tenaga kerja ini
mendatangkan kerugian material yang cukup besar. United Planters Association
mengklaim kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian telah menyebabkan kerugian
sebesar $23 juta. Adanya kebutuhan yang sangat besar dari Malaysia atas tenaga kerja
asing di sektor-sektor yang kurang diminati oleh para pekerja Malaysia ini menjadikan
isu tenaga kerja ilegal asal Indonesia pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman.
Disamping faktor permintaan tenaga kerja yang besar, jumlah tenaga kerja ilegal
asal Indonesia pada masa ini masih tergolong kecil yaitu hanya mencapai enam sampai
tujuh orang di setiap wilayah tertentu sehingga tidak dinilai sebagai potensi ancaman.
Para tenaga kerja ilegal inipun hanya menempati wilayah rural, terutama daerah
perkebunan kelapa sawit dan karet. Pemikiran ini diperkuat oleh adanya pandangan
politik dari publik Malaysia yang didominasi oleh Etnis Melayu bahwa tenaga kerja
ilegal asal Indonesia merupakan bangsa serumpun yang pada akhirnya akan berasimilasi
dengan penduduk lokal bumiputera.
Tenaga kerja ilegal asal Indonesia diharapkan di masa depan dapat memperkuat
power electoral dari etnik Melayu dalam menghadapi etnik lainnya yang non-Melayu
(etnik China dan etnik India yang menjadi komponen komposisi penduduk Malaysia
secara keseluruhan) dan memperkuat posisi etnik Melayu dalam keseimbangan komunal
yang ada. Kuatnya asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat etnik Melayu
terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia ini direfleksikan dalam pidato dari pemimpin
United Malays National Organization yang menjabat sebagai wakil Perdana Menteri
bahwa setelah tenaga kerja ilegal ini menetap selama 10 tahun di Malaysia dan pada
akhirnya akan mendaftar sebagai warga negara, dan mereka akan menjadi pemilih-
pemilih dalam pemilihan umum.
43 Ibid.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
33/140
Akan tetapi sikap dari Pemerintah Malaysia terhadap tenaga kerja ilegal asal
Indonesia menunjukkan perubahan mulai pertengahan tahun 1980an.44 Terutama
dengan semakin intensifnya migrasi ilegal tenaga kerja Indonesia, baik karena faktor
reproduksi maupun kedatangan teman ataupun keluarga. Berdasarkan laporan yang
dituliskan dalam Fellowship Paper terdapat sebuah kasus dimana kedatangan seorang
imigran diikuti oleh 25 anggota keluarganya setelah ia bekerja di Malaysia selama 10
tahun. Jumlah tenaga kerja ilegal yang bekerja sebagai pembuka tanah di wilyah-
wilayah tertentu telah meningkat menjadi 4000 orang.
Peningkatan jumlah tenaga kerja ilegal asal Indonesia ke Malaysia pada
pertengahan 1980an ini tidak dapat dilepaskan oleh push maupun pull factor. Dalam
terminologi push factors, kondisi internal Indonesia memiliki pengaruh yang besar.
Transformasi Indonesia dari negara agraris ke negara industri menyebabkan semakin
rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja unskilled, standar gaji yang rendah, dan
kondisi situasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakseimbangan besarnya jumlah
usia kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia telah menjadi pendorong
migrasi. Para imigran ini cenderung memilih untuk masuk ke Malaysia sebagai tenaga
kerja ilegal dengan pertimbangan utama menghindari biaya pemberangkatan yang
cukup mahal untuk mendapatkan kelengkapan dokumen (seperti paspor dan visa kerja),
serta urusan birokratis yang berbelit-belit, seringkali seorang tenaga kerja Indonesia
perlu menunggu sampai enam bulan agar seluruh proses birokratis yang ada selesai.
Persyaratan lainnya dirasa menyulitkan seperti kepemilikan rekening tabungan
maupun waktu pelatihan kerja di Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja legal yang relatif
lebih lama. Sementara dari segi pull factors, Malaysia dinilai memiliki sejumlah
kelebihan yang dapat menarik tenaga kerja ilegal asal Indonesia. Pull factors ini
diantaranya meliputi kesempatan kerja yang lebih besar dengan perolehan gaji yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah di Indonesia.
Pada tahap awal kedatangan tenaga kerja ilegal asal Indonesia tidak dipandang
sebagai ancaman, tetapi dengan semakin besarnya jumlah tenaga kerja ilegal maupun
penyebaran tenaga kerja ilegal ini ke wilayah kota yang semula hanya menempati
wilayah pedesaan tenaga kerja ilegal telah mendatangkan keresahan publik di Malaysia.
Tenaga kerja ilegal dipandang telah membawa ancaman multidimensi dari segi
ekonomi, kriminalitas, sosial budaya maupun kesehatan. Permasalahan yang
44Ibid.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
34/140
ditimbulkan oleh para TKI ilegal asal Indonesia ini mendorong Pemerintah Malaysia
untuk mengeluarkan kebijakan pendeportasian mereka.
Setelah peristiwa deportasi tahun 2002 (peristiwa Nunukan), rencana Pemerintah
Malaysia untuk mendeportasi para pendatang asing ilegal (PATI) sudah mulai
dilaksanakan. Deportasi besar-besaran PATI di Malaysia, yang secara legal berbentuk
kebijakan Operasi Nyah III, kali ini di prioritaskan di Negeri Bagian Sabah. Disana
jumlah PATI memang sangat besar, dan yang terbesar berasal dari Indonesia. Pihak
imigrasi Malaysia mencatat, antara tahun 2003-2008, 1,6 juta warga negara Indonesia
masuk ke negeri bagian Sabah. Menurut catatan resmi mereka sekitar 861.000 orang
dari WNI ilegal kembali ke tanah air secara suka rela dan dengan cara di deportasi
paksa oleh Pemerintah Malaysia. Sekitar 799.000 orang masih berada disana, dan
sekitar 600.000 orang diantaranya berstatus ilegal. Sejak berubahnya peraturan Imigrasi
di Malaysia tahun 2002 lalu, pemerintah Malaysia gencar merazia para pendatang
haram. Razia tidak cuma dilakukan oleh pihak kepolisian dan imigrasi, bahkan satuan
khusus dari masyarakat sipil dibentuk untuk melancarkan pelaksanaan kebijakan ini,
ikatan Relawan rakyat Malaysia (RELA), adalah pasukan sipil yang dibentuk dan mulai
naik daun karena sepak terjangnya dalam menjalankan operasi razia para pendatang
haram.
Pasca booming deportasi pada tahun 2002 lalu, Pemerintah Malaysia secara
reguler terus melakukan upaya deportasi. Dua kali dalam seminggu, tepatnya setiap hari
Selasa dan Jumat kita bisa dapatkan rombongan deportan merapat di pelabuhan
Tanjung Priok. Setiap minggunya antara 100 500 orang dipulangkan, tentunya setelah
menjalani hukuman, penjara dan cambuk. Pemulangan biasanya melalui jalur
Tanjungpinang Tanjung Priok dan daerah perbatasan Entikong Kalimantan Barat.
Setelah pencanangan operasi Nyah III, gelombang deportasi mulai meningkat, 500
1000 orang perminggu mulai di pulangkan.
Persoalan buruh migran adalah salah satu persoalan sensitif dalam hubungan
Indonesia-Malaysia. Kebijakan deportasi bagi PATI adalah bentuk dari ketegasan
Pemerintah Malaysia dalam membenahi dan menanggulangi persoalan sosial dan politik
yang diakibatkan oleh para pendatang haram disana. Pemerintah lokal Negeri Sabah
bahkan mencanangkan program tahun 2012 sebagai tahun bersih dari PATI. Menurut
mereka, angka kriminalitas terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan
meningkatnya para PATI. Tidak hanya menimbulkan masalah sosial tapi juga meluas
sampai masalah politik. Sudah bukan rahasia bahwa ada beberapa partai politik disana
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
35/140
menggunakan suara para pendatang haram untuk meraup kemenangan dalam Pemilu.
Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pembangunan di Malaysia tergantung dengan
keberadaan buruh migran. Lebih dari 70 % sektor informal diisi oleh buruh migran,
sebagai pekerja konstruksi, perkebunan dan jasa. Di rumah-rumah para pegawai
pemerintahan dan masyarakat menengah Malaysia, para pekerja rumah tangga diisi oleh
tenaga-tenaga migran. Di sektor formal, tak sedikit juga tenaga-tenaga migran mengisi
kilang-kilang. Merekalah salah satu penentu meningkatnya pertumbuhan ekonomi di
Malaysia. Kontribusi buruh migran untuk peningkatan pendapatan mereka juga tidak
sedikit. Di beberapa negeri bagian seperti Selangor, pemerintah lokalnya menarik
retribusi dengan pemotongan upah sebesar RM 10 setiap bulannya dari para buruh
migran yang bekerja disana. Dari keringat para buruh migran legal, setiap tahun rata-
rata RM 1,4 Milyar masuk ke pundi-pundi pendapatan negara Malaysia, melalui
program penarikan pajak dan retribusi Employees Provident Fund (EPF). Sebuah data
yang bersumber dari sebuah organisasi masyarakat di Sabah mengungkapkan, terdapat
sekitar 900.000 buruh migran bekerja di perkebunan-perkebunan milik perusahaan besar
antara lain FELDA, FELCRA, Lembaga Tabung Haji, Golden Hope, IOI dan
sebagainya. Sejumlah 300.000 orang diantaranya sengaja dibiarkan bekerja secara
ilegal, sekitar 600.000 dapat bekerja legal tapi dengan dokumen-dokumen aspal (asli
tapi palsu).
Memang tak bisa dipungkiri, dibalik kesuksesan Malaysia sebagai salah satu
negara terbesar penghasil CPO di dunia adalah buruh migran berupah murah sebagai
penopang utamanya. Fenomena pembiaran dalam mempekerjakan buruh migran ilegal
dengan sengaja di berbagai sektor adalah kenyataan bahwa Malaysia masih bergantung
pada tenaga murah buruh migran sebagai penopang pertumbuhan ekonomi mereka.
Pada saat yang sama, razia besar-besaran terhadap buruh migran ilegal juga dilakukan
dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Besarnya biaya yang
harus di keluarkan dalam pengurusan izin kerja, selain memberatkan para buruh migran
juga membuat para pengguna tenaga buruh migran, baik itu majikan atau perusahaan
dan perkebunan memilih mempekerjakan mereka yang ilegal. Perlu di catat bahwa
setiap buruh migran yang ingin bekerja dengan legal harus membayar RM 1800 untuk
izin kerja. Tidak ada sanksi tegas dari Pemerintah Malaysia bagi para pengguna tenaga
buruh migran (employer) yang mempekerjakan buruh migran ilegal, kesalahan
sepenuhnya di limpahkan kepada buruh migran. Sehingga mereka yang ilegal harus siap
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
36/140
dideportasi sewaktu-waktu, baik karena terjaring razia atau kesengajaan para tekong
(employer) yang melaporkan keberadaan mereka kepada pihak aparat untuk dirazia.
B.
Teori yang berkaitan dengan Migrasi PendudukPatrick Manning dalam bukunyaMigration in World History(2005) menyatakan
bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia homo sapiens telah terjadi sejak 40 ribu
tahun sebelum Masehi. Dorongan utama dilakukannya migrasi pada masa itu secara
umum berasal dari naluri umat manusia untuk mencari tempat tinggal atau daerah
bermukim yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat,
bangsa Kanaan (yang sekarang disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari
Asia menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa
kejayaannya dan bangsa-bangsa lainnya45.
Para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk dari sudut proses untuk
mempertahankan hidup (Wilkinson: 1973; Broek, Julien Van den: 1966). Proses
mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu dalam konteks
ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Banyak studi memperlihatkan bahwa bentuk-
bentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh individu akan sangat berlainan,
antara alasan karena ekonomi dengan politik (Peterson, W: 1995; Kunz, F: 1973).
Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang
direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migration).46
Helen Huges dalam bukunya Immigrant, refugees, and Asylum Seekers(Helen
Huges: 2002) menjelaskan bahwa sejarah perpindahan manusia (migrasi) dan faktor-
faktor penyebabnya. Menurut Helen Huges, migrasi sama tuanya dengan sejarah
manusia. Awalnya mungkin karena perubahan lingkungan dan cuaca yang sulit,
kemudian migrasi manusia berkembang ke arah politik dan ekonomi, misalnya konflik
di Irlandia Utara, penghapusan etnik di Balkan, pembantaian etnis Tutsi di Afrika dan
konflik Palestina Israel.
45______, Buku Petunjuk Bagi Petugas dalam rangka Penanganan Kegiatan Penyelundupan Manusia dan
Tindak Pidana yang berkaitan dengan Penyelundupan Manusia, IOM, Jakarta, 2009, dikutip dari Asep
Kurnia, Implementasi Sismenas pada Penanganan dan Pencegahan Imigran Gelap Guna Memanfaatkan
Kemajuan Iptek dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional, Kertas Karya Perorangan (Taskap)
Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA)XLIV, Lembaga Ketahanan Nasional RI, Tahun 2010, hlm.
25.46
Bambang Irawan, 2009, Taskap: Implementasi Sistem Informasi Nasional terhadap Lalu Lintas Manusiaguna Mengoptimalkan Pembangunan Perekonomian Nasional dalam rangka meningkatkan Ketahanan
Nasional, Lemhannas, dikutip dari Asep Kurnia, ibid., hlm, 26.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
37/140
Helen Huges47 membagi faktor migrasi manusia ke dalam dua hal. Pertama,
faktor pendorong (push factor), yaitu suatu keadaan atau kondisi yang sulit di suatu
negara misalnya terjadi penindasan agama, etnik atau politik. Dalam kondisi demikian
individu-individu yang ditindas berusaha keluar dari kesulitan-kesulitan dan keluar dari
negaranya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Kedua, faktor penarik (pull
factor) merupakan suatu keadaan yang lebih baik di negara tujuan, baik dari segi
ekonomi (kesejahteraan) maupun politik (keamanan).
C.
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Penanganan WNI yang
Dideportasi Khususnya bagi Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah
(dari Malaysia)48
Keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, dan adanya kemajuan di
bidang teknologi informasi dan transportasi serta berbagai alasan lainnya, telah
mendorong meningkatnya migrasi penduduk Indonesia ke Malaysia. Proses migrasi ini
didorong oleh keinginan mencari pekerjaan di berbagai jenis pekerjaan yang tidak
memerlukan teknologi tinggi, dimana banyak tersedia di Malaysia karena telah
ditinggalkan oleh warga tempatan. Jenis pekerjaan yang kasar, kotor, dan bahkan
berbahaya, banyak diisi oleh tenaga kerja Indonesia yang umumnya berpendidikanrendah, yang walaupun dibayar dengan gaji murah tetap diterima karena bagaimanapun
masih memperoleh penghasilan.
Banyaknya minat TKI yang ingin bekerja di Malaysia telah banyak
disalahgunakan oleh berbagai pihak yang justru mencari untung dari kondisi yang ada,
dengan mengirimkan TKI tidak melalui prosedur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. TKI dikirimkan menggunakan visa kunjungan, bahkan
mengirimkan secara ilegal melalui pelabuhan tradisional dan jalan-jalan tikus yang
banyak terdapat di daerah sepanjang perbatasan RI-Malaysia di Sumatera Utara,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Malaysia, mereka sudah
ditunggu oleh makelar tenaga kerja yang kemudian membawa mereka ke tempat
kerjanya, dengan status ilegal dengan segala konsekuensinya.
47 Helen Huges, Immigrant, Refugess, and Asylum Seekers, a Global View, NCW, The Centre for
Independent Studies Limited, hlm. 21, dikutip dari Asep Kurnia, ibid.48
Dikutip dari Petunjuk Pelaksanaan dan Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan
Keluarganya (TKIB) dari Malaysia, Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah danKeluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB), Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta,
2009.
-
5/19/2018 PENELITIAN-TENTANG-DEPORTASI-TKI(full permission).pdf
38/140
Para pendatang di Malaysia yang tidak berdokumen, atau dokumennya tidak
lengkap disebut Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI), yang tidak hanya berasal dari
Indonesia, tetapi juga datang dari Bangladesh, India, Vietnam, Thailand, Cina, dan lain-
lain. Walaupun PATI banyak jasanya pada proses pembangunan di Malaysia, namun
mereka juga menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyakit, obat-obatan
terlarang, pencurian, perampokan, penipuan, perkelahian, pembunuhan, dan sebagainya.
Pemerintah Malaysia seolah menutup mata terhadap keterlibatan bahkan mungkin
adanya sindikasi orang Malaysia dalam penyaluran dan penempatan PATI di negara
tersebut, yang menyebabkan jumlah PATI seolah tidak pernah mengalami penurunan
walaupun telah dilakukan razia dan dideportasi besar-besaran sejak tahun 2002.
Pemerintah Malaysia sejak tahun 2002 telah menggelar Operasi Nyah (operasi
pengusiran) yang memenjarakan, mengenakan denda, dan menghukum sebat (cambuk)
bagi PATI yang tertangkap, dan operasi ini terus berlangsung, bahkan pada tahun 2008
muncul rencana tentang Operasi Bersepadu yang akan dilaksanakan di Negeri Sabah
Malaysia. Namun atas desakan para pengusaha, Pemerintah Malaysia kemudian
mengeluarkan kebijakan pemutihan dengan memberikan kesempatan selama tiga
bulan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2008, kepada perusahaan dan majikan untuk
mendaftarkan tenaga kerjanya yang dijamin tetap dipekerjakan di perusahaannya.
Tenaga kerja yang mendapat jaminan perusahaan dan atau majikan, mendapat
keringanan yaitu dap