PENELITIAN PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE ......1 PENELITIAN PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE...
Transcript of PENELITIAN PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE ......1 PENELITIAN PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE...
1
PENELITIAN
PERBEDAAN EFEKTIVITAS PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DENGAN SLOW DEEP BREATHING
EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA HIPERTENSI DERAJAT I DI KOTA DENPASAR
dr. NilaWahyuni, M.Fis
Ari Wibawa, SST.Ft, M.Fis
Ni LuhNopiAndayani, SST.Ft, M.Fis
I Made NikoWinaya, SST.Ft, SKM, M.Fis
dr. Indira VidiariJuhanna
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kehidupan masyarakat saat ini mengikuti perkembangan jaman, terutama
dalam hal gaya hidup yang lebih modern. Kemajuan teknologi mempengaruhi
kehidupan masyarakat dalam mempermudah seseorang untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal tersebut mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat
yang cenderung kurang sehat, seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan cepet
saji, merokok, minum-minuman beralkohol dan kurang berolahraga.
Gaya hidup masyarakat saat ini bertolak belakang dengan pernyataan dari
Departemen Kesehatan. Depatemen kesehatan, (2009) menyatakan bahwa
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Hal tersebut merupakan investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis
yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang kesehatan tahun
2009.
Terjadinya perubahan gaya hidup yang tidak sehat berakibat pada
pergeseran pola penyakit yang tidak hanya didominasi oleh penyakit menular,
namun juga penyakit tidak menular seperti hipertensi (Hamarno, 2010). Hipertensi
adalah terjadinya peningkatan tekanan darah yang bersifat menetap pada sistolik
yaitu 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih, berdasarkan
pemeriksaan minimal 2 kali atau lebih dalam waktu yang berbeda (LeMone &
Burke, 2008).
Organisasi kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dari seluruh populasi
dunia, angka kejadian hipertensi cukup tinggi dan diperkirakan mampu
menyebabkan 7,5 juta kematian dan sekitar 12,8% dari seluruh angka kematian.
Data WHO 2013 menunjukkan prevalensi penderita hipertansi usia 25 tahun dan
lebih mencapai 40% (Cahyani, 2014). Departemen Kesehatan RI menyatakan,
prevalensi pasien hipertensi adalah sekitar 31,7%, dimana hanya 2% dari 31,7%
penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan 0,4% kasus yang
minum obat hipertensi (Departemen Kesehatan, 2012). Kebanyakan penderita
hipertensi baru menyadarinya setelah mengalami komplikasi seperti kerusakan
organ-organ tubuh yang bersifat vital, sehingga hipertensi sering disebut “silent
killer” (Hamarno, 2010).
Hipertensi yang tidak terkontrol dan tanpa perawatan yang tepat dapat
menimbulkan komplikasi seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Kedua
penyakit ini merupakan penyakit dengan angka mortalitas yang tinggi bagi
penduduk dunia (Cahyani, 2014). Komplikasi pada penderita hipertensi mengarah
pada komplikasi kronis yang mengindikasikan pasien untuk menerima perawatan.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kecemasan dan stres pada pasien
(Smeltzer, et al ., 2008).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah. Stres merupakan keadaan internal yang
tertekan baik secara fisik maupun psikologis terhadap tuntutan fisik dari tubuh
atau kondisi lingkungan yang membahayakan. Jika dibandingkan, pada usia
produktif kejadian stres lebih banyak dijumpai dari pada usia anak-anak, remaja
maupun lansia. Banyaknya tuntutan hidup dan konflik mempunyai pengaruh besar
terhadap timbulnya stres (Dewi, 2014). Stres, secara fisiologis akan
mengendalikan sistem neuroendrokrin yaitu sistem simpatis dan sistem korteks
adrenal melalui aktifasi hipotalamus. Sistem saraf simpatis memberikan respon
terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ
dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya
meningkatkan kecepatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi
sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran
darah (Sherwood, 2010). Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan mempengaruhi
perubahan tekanan darah menjadi meningkat secara tidak menentu (Dewi, 2014).
Sejak 9 tahun terakhir ini terapi nonfarmakologis yaitu perubahan gaya
hidup yang lebih sehat termasuk didalamnya adalah latihan fisik, memegang
peranan penting dalam menurunkan tekanan darah (Hamarno, 2010). Hal tersebut
juga disampaikan oleh Black & Hawk (2005) bahwa modifikasi gaya hidup dan
teknik relaksasi dapat menormalkan tekanan darah pada klien dengan hipertensi.
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total peripheral resistance
dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis. Teknik relaksasi membuat
otot-otot pembuluh darah arteri dan vena bersamaan dengan otot-otot lain dalam
tubuh menjadi rileks. Terjadinya relaksasi otot-otot dalam tubuh ini berpengaruh
terhadap penurunan kadar norepinefrin dalam tubuh (Shinde, et al ., 2013). Dalam
keadaan otot-otot yang rileks juga menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga
jiwa dan organ dalam tubuh manusia benar-benar merasakan ketenangan dan
kenyamanan yang kemudian akan menekan sistem saraf simpatis sehingga terjadi
penurunan produksi hormon epinefrin dan norepinefrin (Cahyani, 2014).
Teknik relaksasi pada tekanan darah tinggi telah dikatakan memiliki efek
positif yang telah di buktikan oleh Dickinson, et al (2008) menyampaikan 60-90
% klien yang konsultasi ke dokter keluarga yang terkait dengan stres sebagian
besar memiliki tekanan darah tinggi. Manajemen stres dengan teknik relaksasi
dianggap penting sebagai pengobatan hipertensi, salah satunya adalah relaksasi
otot progresif. Relaksasi otot progresif atau Progressive Muscle Relaxation
(PMR) merupakan salah satu metode relaksasi sederhana yang melalui dua proses
yaitu menegangkan dan merelaksasikan otot tubuh. PMR merupakan latihan yang
dapat dilakukan secara mandiri sehingga mempermudah seseorang untuk
melakukan latihan tanpa perlu bantuan dari orang lain. Selain itu teknik latihan
dari PMR juga dapat dilakukan dalam posisi duduk maupun tidur sehingga dapat
dilakukan dimana saja (Kumutha, 2014). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Kumutha (2014) di India, PMR dikatakan efektif untuk
menurunkan stres dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Selain
PMR intervensi relaksasi lainya yaitu Slow Deep Breathing exercise.
Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur
pernapasan secara dalam dan lambat. Pengendalian pengaturan pernapasan secara
sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernapasan yang spontan atau
automatik dilakukan oleh medulla oblongata (Martini, 2006). Napas dalam lambat
dapat menstimulasi respons saraf otonom, yaitu dengan menurunkan respons saraf
simpatis dan meningkatkan respon parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis
meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak
menurunkan aktivitas tubuh sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolik
(Velkumary dan Madanmohan, 2004).
Hal ini yang mendasari penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang
Perbedaan Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep
Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat
I.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang
disampaikan sebagai berikut:
1. Apakah Progressive Muscle Relaxation efektif menurunkan tekanan darah
pada hipertensi derajat I?
2. Apakah Slow Deep Breathing Exerciseefektif menurun kan tekanan darah
pada hipertensi derajat I?
3. Apakah ada perbedaan Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan
Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada
Hipertensi Derajat I?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran umum mengenai Efektivitas Progressive
Muscle Relaxation , Slow Deep Breathing Exercise terhadap penurunan
tekanan darah.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk membuktikan apakah Progressive Muscle Relaxation
efektifmenurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I.
2. Untuk membuktikan apakah Slow Deep Breathing Exercise efektif
menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I.
3. Untuk membuktikan Apakah ada perbedaan efektivitas Progressive
Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Keilmuan
1. Mengetahui dan memahami tentang proses terjadinya hipertensi dan
peranan tindakan fisioterapi dalam penatalaksanaan non-
farmakologis hipertensi derajat I.
2. Membuktikan adakah perbedaan efektivitas Progressive Muscle
Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I.
1.4.2 Institusi Pendidikan
1. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian
selanjutnya yang akan membahas hal yang sama.
2. Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya
dan fisioterapi pada khususnya.
1.4.3 Praktisi
Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam
menurunkan tekanan darah pada hipertensiderajat I, secara non-
farmakologis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah
2.1.1 Definisi
Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk menekan dinding pembuluh
darah(American Heart Association, 2012). Tekanan darah juga didefinisikan
sebagai kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah yang didorong dengan
tekanan dari jantung (Potter dan Perry, 2005).Saat jantung berdetak terjadi
kontraksi pada otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh. Tekanan
tertinggi saat ventrikel berkontraksi disebut dengan tekanan darah sistolik dan
tekanan darah saat jantung beristirahat disebut dengan tekanan darah diastolik
(Ariyani, 2011). Tekanan sistolik dan diastolik inilah yang diukur ketika
memeriksa tekanan darah.Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi untuk tiap
individu, namun menurut Divine (2012) tekanan darah orang dewasa
diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:
Tabel 2. 1 Klasifikasi tekanan darah(Divine, 2012)
Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik (mmHg)
Tekanan darah sistolik (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Prahipertensi 130-139 85-89
Hipertensi tahap I 140-159 90-99
Hipertensi tahap II 160-179 100-109
Hipertensi tahap III >180 >110
2.1.2 Fisiologi Tekanan Darah
Aliran darah mengalir pada sistem sirkulasi karena perubahan tekanan dari
daerah yang tekanannya tinggi ke daerah yang tekanannya rendah. Tekanan darah
dinyatakan dalam millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa
merupakan rujukan baku untuk pengukuran tekanan darah (Guyton & Hall, 2008).
Tekanan darah menggambarkan interelasi dari curah jantung, tahanan vaskuler
perifer, volume darah dan elastisitas arteri (Hamarno, 2010).
Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa oleh tiap ventrikel
per menit dan dipengaruhi oleh volume sekuncup (volume darah yang di pompa
ventrikel per detik) dan frekuensi jantung. Tekanan darah tergantung pada curah
jantung dan tahanan vaskuler perifer. Jika curah jantung meningkat, darah yang
dipompakan terhadap dinding arteri lebih banyak dan menyebabkan tekanan darah
naik. Curah jantung dapat meningkat sebagai akibat dari peningkatan frekuensi
jantung, kontraktilitas yang lebih besar dari otot jantung atau peningkatan volume
darah (Hamarno, 2010).
Resistensi merupakan ukuran hambatan terhadap aliran darah melalui
suatu pembuluh yang ditimbulkan oleh suatu friksi antara cairan yang mengalir
dan dinding pembuluh darah yang stasioner. Sirkulasi darah melalui jalur arteri,
arteriol, kapiler, venula dan vena. Ukuran arteri dan arteriol dapat berubah untuk
mengatur aliran darah bagi kebutuhan jaringan lokal. Tonus otot vaskuler dan
diameter pembuluh darah dapat mempengaruhi tahanan pembuluh darah perifer.
Semakin kecil lumen pembuluh darah maka semakin besar tahanan vaskuler
terhadap aliran darah.Resistensi tergantung pada tiga faktor yaitu viskositas
(kekentalan) darah, panjang pembuluh dan diameter pembuluh darah (Guyton &
Hall, 2008).
2.1.3 Mekanisme Reflex Untuk Mempertahankan Tekanan Arteri Normal
Sistem saraf mengontrol tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan
pembuluh darah. Kontrol ini bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah
sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan
mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat dengan mempengaruhi
diameter pembuluh darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah
melibatkan baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan
serebrum) (Mayuni, 2013). Sistem pengaturan tekanan arteri oleh baroreseptor
dimulai oleh reseptor regang yang disebut baroreseptor (presoreseptor) yang
terletak secara spesifik pada dinding beberapa arteri sistemik besar. Hampir semua
arteri besar di daerah toraks dan leher terdapat sejumlah kecil baroreseptor.
Baroreseptor sangat banyak terdapat di dalam dinding arkus aorta dan dinding
setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit diatas bifurkasio karotis, daerah
yang dikenal sebagai sinus karotis. Sinyal dari baroreseptor karotis dijalarkan
melalui saraf hering menuju saraf glosovaringeus dan kemudian ke traktus
solitarius di daerah batang otak. Sinyal dari baroreseptor aorta, di arkus aorta
dijalarkan melalui saraf vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula.
Baroreseptor lebih banyak merespon terhadap tekanan yang berubah cepat
daripada tekanan yang menetap (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 1 Sistem baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arteri (Sumber: Guyton & Hall, 2008)
Setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal
sekunder menghambat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat
parasimpatis vagus dengan efek vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem
sirkulasi perifer serta berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan
kontraksi jantung. Jadi perangsangan baroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam
arteri secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat penurunan
tahanan perifer dan penurunan curah jantung (Guyton & Hall, 2008).
Sistem pengaturan tekanan arteri oleh vasomotor, bagian lateral dari pusat
vasomotor mengirimkan impuls eksitasi melalui serabut saraf simpatis ke jantung
bila tubuh perlu untuk menaikkan frekuensi serta kontraktilitas jantung.
Sedangkan bila tubuh perlu untuk menurunkan pompa jantung, maka medial pusat
vasomotor mengirimkan sinyal ke nucleus motoric dorsalis nervus vagus yang
kemudian mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke jantung
untuk menurunkan frekuensi dan kontraktiltas jantung. Oleh karena itu pusat
vasomotor dapat meningkatkan atau menurunkan aktivitas jantung. Frekuensi dan
kekuatan kontraksi jantung biasanya meningkat saat terjadi vasikontriksi dan
biasanya menurun pada saat vasokontriksi dihambat (Guyton & Hall, 2008).
Gambar 2. 2 Area di otak yang berperan penting dalam pengaturan sirkulasi oleh saraf.
(Sumber: Guyton& Hall, 2008)
2.1.4 Pengukuran Tekanan Darah
Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah adalah
sphygmomanometer. Sphygmomanometer ada tiga jenis, ada yang jenis air raksa,
aneroid dan jenis digital. Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter air raksa
(mmHg) (Palmer, 2007). Tekanan darah diukur dan dicatat dengan menggunakan
tekanan sistolik dan diastolik dari pasien. Mengukur tekanan darah sangat penting
dilakukan sebelum, pada saat latihan dan sesudah memberikan latihan kepada
pasien untuk melihat adanya respon dari latihan yang diberikan (Lippincott &
Wilkins, 2009). Posisi saat melakukan pengukuran tekanan darah adalah
punggung dan kaki pasien harus didukung, kaki tidak menyilang, dan kaki
bertumpu pada permukaan yang keras. Lengan yang akan diukur harus
dibebaskan dari pakaian atau dilonggarkan agar tidak mengganggu aliran darah
dan posisi manset sejajar dengan jantung. Manometer ditaruh sejajar di tingkat
mata praktisi kesehatan yang melakukan pengukuran. Penempatan manset harus
ditempatkan pada lengan yang bebas dari pakaian dan kira-kira 2 cm diatas lipatan
siku, dengan garis tengah kantong diatas arteri brakialis. Pemasangan harus pas
tetapi tetap memungkinkan 2 jari untuk masuk di bawah manset (Adhitya, 2014).
Untuk menghindari suara asing selama deflasi manset, pastikan bahwa
stetoskop tidak bersentuhan dengan pakaian pasien atau dengan manset tekanan
darah dan tempatkan bel stetoskop di atas arteri brakialis, menggunakan tekanan
yang cukup untuk menyediakan transmisi suara yang bagus tanpa terlalu
mengompresi arteri. Setelah tekanan nadi-obliterasi ditentukan, memulai
auskultasi pengukuran tekanan darah dengan cepat menggembungkan manset ke
tingkat 20 sampai 30 mmHg di atas tekanan nadi-obliterasi. Kemudian
menurunkan manset pada tingkat 2 mmHg per detik dibarengi mendengarkan
suara korotkoff. Saat manset mengempis, aliran darah bergejolak melalui arteri
brakialis menghasilkan serangkaian suara(Lippincott & Wilkins, 2009).
Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama
ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan
kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama
dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam
sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat
ketukan suara sedang berlangsung (biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan
diastolik yang sebenarnya) sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan
diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan
hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan
diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10
mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran
tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai
tekanan darah (Lippincott & Wilkins, 2009).
Ada 5 fase untuk menentukan dan mencatat tekanan darah, tahap pertama
ditandai dengan jelas, suara ketukan yang berulang, bertepatan dengan
kemunculan denyut nadi yang diraba. Kemunculan awal suara fase pertama sama
dengan tekanan darah sistolik. Selama fase kedua, murmur terdengar dalam
sadapan yang telah terdengar. Fase ketiga dan keempat, perubahan diredam saat
ketukan suara sedang berlangsung (biasanya dalam 10 mmHg dari tekanan
diastolik yang sebenarnya) sebagai pengukuran tekanan mendekati tekanan
diastolik. Fase kelima benar-benar tidak ada sebuah suara, ini menunjukkan
hilangnya suara dan sama dengan tekanan darah diastolik. Untuk memastikan
diastole yang telah tercapai, kempiskan tekanan manset dengan tambahan 10
mmHg melampaui korotkoff suara kelima. Lakukan minimal dua pengukuran
tekanan darah pada interval minimal 1 menit. Catat rata-rata pengukuran sebagai
tekanan darah (Lippincott & Wilkins, 2009).
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik pada tingkat 140 mmHg
atau lebih tinggi dan tekanan darah diastolik pada tingkat 90 mmHg atau lebih
tinggi yang didasarkan dari rata-rata 2 atau lebih pengukuran dalam waktu yang
berkala(LeMone & Burke, 2008). Tekanan darah orang dewasa di klasifikasikan
kedalam beberapa tingkatan, yaitu : (1) optimal dengan tekanan darah sistolik <
120 dan diastolik < 80, (2) normal dengan tekanan darah sistolik < 130 dan
diastolik < 85, (3) prahipertensi dengan tekanan darah sistolik 130-139 dan
diastolik 85-89, (4) hipertensi tahap I dengan tekanan darah sistolik 140-159 dan
diastolik 90-99, (5) hipertensi tahap II dengan tekanan darah sistolik 160-179 dan
diastolik 100-109, (6) hipertensi tahap III dengan tekanan darah sistolik > 180 dan
diastolik > 110 (Divine, 2012).
2.2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua jenis yaitu
(Cahyani, 2014):
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer, merupakan hipertensi yang
penyebabnya tidak jelas. Sekitar 90% penderita hipertensi termasuk
kedalam hipertensi esensial. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi
esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebabnya bersifat multi
faktor, yang terdiri dari genetik dan lingkungan. Faktor genetik sangat
mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres,
reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan yaitu diet, kebiasaan
merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain.
2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebab yang diketahui.
Sekitar 5-10% penderita hipertensi mengalami hipertensi sekunder yang
penyebabnya adalah penyakit ginjal dan sekitar 1-2% penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu. Penyebab hipertensi
sekunder lainnya adalah feokromositoma yaitu tumor pada kelenjar
adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin dan noreprinefrin, namun
kasus ini jarang ditemukan.
2.2.3 Patofisiologi
Curah jantung dan resisten perifer total merupakan penentu utama tekanan
darah arteri rata-rata. Curah jantung adalah volume darah yang dipompa tiap-tiap
ventrikel per menit. Curah jantung dipengaruhi oleh dua faktor penentu yaitu
kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah
yang dipompa per denyut)(Haryati, 2011).
Mekanisme yang mengontrol kontraksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula batang otak. Bermula dari jaras saraf
simpatis di pusat vasomotor ini, kemudian berlanjut ke bawah ke medula spinalis
dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Serat saraf
simpatis mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak.
Noradrenalin yang dikeluarkan dari ujung-ujung saraf simpatis berikatan dengan
reseptor adrenergik α di otot polos vaskuler sehingga menimbulkan
vasokonstriksi. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan juga dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Saat
bersamaan sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon
rangsang emosi dan kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi beberapa hormon seperti
adrenalin dan noradrenalin yg secara ekstrinsik juga turut mempengaruhi
diameter arteriol dengan memperkuat sistem saraf simpatis di sebagian besar
jaringan(Cahyani, 2014).
Gambar 2. 3 Persarafan simpatis pada sirkulasi sistemik (Sumber: Guyton& Hall, 2008)
Secara khusus, adrenalin selain berikatan dengan reseptor α, juga berikatan
dengan reseptor β2 yang terdapat di arteriol jantung dan otot rangka. Pengaktifan
reseptor β2 menimbulkan vasodilatasi. Selama aktivitas simpatis, adrenalin yang
dikeluarkan berikatan dengan reseptor β2 di jantung dan otot rangka untuk
memperkuat mekanisme vasodilator lokal di jaringan-jaringan ini, sementara
arteriol di tempat lain seperti saluran pencernaan dan ginjal yang hanya dilengkapi
oleh reseptor α, tidak berespons terhadap adrenalin. Dengan demikian, arteriol di
organ-organ ini, yang hanya dipengaruhi oleh noradrenalin dari sistem saraf
simpatis, mengalami vasokonstriksi yang lebih kuat daripada pembuluh di jantung
dan otot rangka(Haryati, 2011).Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensis I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II, suatu
vasokonstriktor kuat yang pada akhirnya akan merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini yang menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan volume intavaskular. Semua faktor tersebut
cenderung nyebabkan keadaan hipertensi (Cahyani, 2014).
2.2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008)
a. Riwayat Keluarga
Hipertensi dihasilkan dari banyak gen dan faktor dalam seseorang
dalam suatu keluarga yang menderita hipertensi. Faktor genetik
membuat keluarga menderita hipertensi berkaitan dengan peningkatan
jumlah sodium di intraseluler dan penurunan rasio potasium dan
sodium. Pasien dengan kedua orangtuanya menderita hipertensi lebih
besar risikonya terjadi pada usia muda.
b. Usia
Hipertensi pada umumnya muncul antara usia 30-50 tahun. Angka
kejadian meningkat pada usia 50-60 tahun. Studi epidemiologi
menyatakan prognosis lebih buruk apabila pasien menderita hipertensi
pada usia muda.
c. Jenis Kelamin
Secara umum, angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dari
pada wanita sampai usia 55 tahun, namun perubahan hormonal yang
sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung
memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita
untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller, 2010).
Risiko kejadian hipertensi antara usia 55-74 tahun hampir sama,
setelah usia 74 tahun wanita lebih besar resikonya.
d. Etnik
Angka kematian pada hipertensi orang dewasa, berturut-turut terjadi
paling rendah pada wanita kulit putih yaitu 4,7%, pria kulit putih 6,3%,
pria kulit hitam 22,5%, dan yang paling tinggi adalah wanita kulit
hitam yaitu 29,3%. Alasan peningkatan pada wanita berkulit hitam itu
tidak jelas, tetapi peningkatan ini didukung oleh tanda jumlah rennin
yang lebih rendah, sensitivitas vasopresin lebih tinggi, pemasukan
garam lebih tinggi dan stres lingkungan yang lebih tinggi.
2. Faktor yang dapat dimodifikasi (LeMone & Burke, 2008):
a. Stres
Faktor lingkungan, tipe personal dan fenomena fisik dapat
menyebabkan stres. Stres meningkatkan tahanan vaskuler perifer,
cardiac output dan merangsang aktivitas sistem saraf simpatis,
selanjutnya hipertensi dapat terjadi. Bila stres sering terjadi dan
berkelanjutan dapat menyebabkan hipertropi otot polos vaskuler dan
mempengaruhi koordinasi pusat di otak.
b. Kegemukan
Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50% individu
dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada kasus obesitas belum sepenuhnya dipahami,
tetapi telah diketahui bahwa pada orang yang mengalami obesitas
terdapat peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan
meningkatkan tekanan darah (Angraini, 2014).Indeks masa tubuh
(IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2. Penurunan berat badan 10
kg dapat menurunkan tekanan darah sistolik 5-20 mmHg.
c. Zat Makanan
Mengkonsumsi asupan tinggi sodium dapat menjadi fakrot penting
terjadinya hipertensi. Diet tinggi garam mungkin merangsang
pengeluaran hormon natriuretik yang secara tidak langsung
meningkatkan tekanan darah. Muatan sodium juga merangsang
mekanisme vasopresor dalam sistem saraf pusat.
d. Penyalahgunaan Zat
Merokok, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, penggunaan obat
terlarang merupakan faktor terjadinya hipertensi. Nikotin dan obat-
obatan seperti kokain dapat menyebabkan tekanan darah meningkat
segera dan menjadi ketergantungan sehingga dapat menyebabkan
hipertensi dilain waktu. Angka kejadian hipertensi lebih tinggi pada
pasien yang minum lebih dari 30 cc etanol setiap hari.
2.2.5 Manifestasi Klinik
Tidak ada manifestasi klinik yang dirasakan oleh pasien pada tahap awal
perkembangan hipertensi. Kadang-kadang tekanan darah akan naik dan jika tidak
dilakukan pemeriksaan dengan rutin, maka pasien tidak sadar tekanan darahnya
meningkat. Jika hal tersebut tidak terdiagnosa maka tekanan darah akan
meningkat terus menerus dan muncul manifestasi klinik. Pasien akan melaporkan
keluhan seperti nyeri kepala yang menetap, kelelahan, pusing, berdebar-debar dan
penglihatan kabrur (Black & Hawk, 2005). Dapat pula terjadi perubahan retina
akibat perdarahan dan eksudat, penyempitan arteri dan infark kecil sampai terjadi
edema pupil pada hipertensi yang berat. Penyakit arteri koronaria seperti angina
pectorisdan infark myokard juga dapat terjadi sebagai konsekuensi adanya
hipertensi. Hopertropi ventrikel kiri juga dapat terjadi sebagai akibat peningkatan
kerja ventrikel melawan tekanan sistemik yang meningkat, gagal jantung,
kerusakan ginjal dan gangguan vaskuler di otak juga dapat terjadi (Hamarno,
2010).
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk mengembalikan tekanan darah
agar mendekati normal dan meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi.
Penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis.
1. Terapi farmakologis
Terapi farmakologi yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII
yaitu diuretik, beta blocker, calcium channel blocker, Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor
Blocker(ARB) (Aziza, 2008).
a. Diuretik
Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi Natrium Chlorida
(NaCl) di tubulus ginjal. Penurunan awal curah jantung karena
penurunan volume plasma dan volume cairan ekstra seluler.
b. Penghambat Adrenergic
Penghambat adrenergic merupakan sekelompok obat yang terdiri dari
alfa-blocker, beta blocker, dan alfa-beta-blocker. Beta-blocker bekerja
dengan menurunkan denyut jantungdengan menurunkan curah jantung
dan kontraktilitas otot jantung, menghambat pelepasan renin ginjal dan
meningkatkan sensitifitas barorefleks. Sedangkan alfa-blocker bekerja
menurunkan aliran balik vena tetapi tidak menyebabkan takikardi.
Curah jantung tetap atau meningkat dan volume plasma biasanya tidak
berubah. Karena efek antihipertensi alfa-blocker didasarkan pada
vasodilatasi arteriol perifer maka lebih efektif pada pasien dengan
aktivitas simpatis kuat.
c. ACE Inhibitor
Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
sehingga mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron
menurun, volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi.
d. Calcium Channel Blocker(CCB)
CCB menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel melalui
channel-L. CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu non-
dihidropiridin dan dihidropiridin. Golongan non-dihidropiridin
mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan
denyut jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan
penurunan resistensi perifer sedangkan golongan dihidropiridin
terutama bekerja pada arteri.
e. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB bekerja seperti ACE-I, yaitu mengganggu sistem RAA.
Golongan ini menghambat ikatan angiotensin II pada salah satu
reseptornya. ARB lebih aman dan tolerable dibandingkan ACE-I.
2. Terapi nonfarmakologis
Dengan pola hidup yang sehat penting untuk mencegah dan
mengembalikan tekanan darah agar tetap normal yang merupakan bagian
dari tatalaksana hipertensi. Beberapa modifikasi pola hidup yang
disarankan untuk dijadikan terapi secara definitif digaris pertama
sekurang-kurangnya 6-12 bulan setelah diagnosis awal adalah(LeMone &
Burke, 2008):
a. Penurunan berat badan
Hipertensi dan obesitas memiliki hubungan yang erat. 50%
individu dengan obesitas mengalami peningkatan tekanan darah.
Indeks masa tubuh (IMT) yang normal adalah 18,5-24,9 kg/m2.
Penurunan berat badan 10 kg daapt menurunkan tekanan darah
sistolik 5-20 mmHg. Maka dari itu manajemen berat badan sangat
penting dalam mengontrol tekanan darah.
b. Modifikasi diet lemak dan sodium
Diet lemak dapat menurunkan lemak jenuh dan meningkatkan
lemak tak jenuh sehingga memberikan dampak penurunan tekanan
darah tetapi juga menurunkan tingkat kolesterol. Rekomendari
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertentsion) bahwa diet
yang dianjurkan adalah kaya buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-
kacangan dan makanan rendah lemak. Hampir 40% orang dengan
hipertensi peka terhadap sodium. Diet garam 2,4gram atau 6 gram
bisa menurunkan tekanan darah sistolik 2-8 mmHg. Pembatasan
sedang pemasukan sodium (6 gram) dapat menurunkan tekanan
darah pada beberapa kasus hipertensi tingkat 1.
c. Aktivitas fisik
Seseorang dengan aktivitas fisik yang rendah beresiko terkena
hipertensi 30-50%. Rutin olahraga minimal 30 menit per hari bisa
menurunkan tekanan darah sistolok 4-9 mmHg. Tekanan darah
dapat diturunkan dengan aktifitas sedang seperti aerobik dan jalan
cepat.
d. Pembatasan alkohol dan kafein
Konsumsi lebih dari 30 cc perhari meningkatkan risiko hipertensi.
Menghindari konsumsi alkohol dapat menurunkan teknan darah
sistolik 2-4 mmHg. Kafein dapat memacu jantung untuk bekerja
lebih cepat sehingga lebih banyak mengalirkan cairan pada setiap
detiknya.
e. Berhenti merokok
Nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan jumlah
nadi dan menghasilkan vasokontriksi perifer yang mana tekanan
darah dapat meningkat dalam waktu pendek atau setelah merokok.
Dengan tidak merokok maka hal tersebut dapat di cegah.
f. Teknik relaksasi
Berbagai terapi relaksasi seperti relaksasi otot progresif, meditasi
transcendental, yoga, biofeedback dan psikoterapi dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.
2.3 Stres dan Hipertensi
Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
baik secara fisik maupun psikologis. Stres merupakan sutu reaksi adaptif yang
bersifat sangat individual sehingga bagi seseorang suatu stres belum tentu sama
tanggapannya dengan orang lain. Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana
kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidak
seimbangan. Stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan
reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Mashudi, 2011).
Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis.
Secara simultan hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom
untuk merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem saraf otonom terbagi
dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis bertanggung
jawab terhadap adanya stimulus stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung,
nafas yang cepat dan penurunan aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf
parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan
denyut jantung, perlambatan nafas dan peningkatan aktivitas gastrointestinal
(Smeltzer, et al ., 2008).
Secara fisiologi, keadaan stres akan mengaktivasi hipotalamus yang
selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan
sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls
saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos
yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya meningkatkan kecepatan
denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal
untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah(Sherwood, 2010).
Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan berdampak pada perubahan tekanan
darah yaitu peningkatan tekanan darah secara intermiten atau tidak
menentu(Nasution, 2011). Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “The Miracle of
Endorphin”,menyatakan, ketika kita teramat stres munculah hormon noradrenalin.
Jika hormon noradrenalin diproduksi dalam jumlah tepat, maka akan menjalankan
fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun, saat hormon noradrenalin dirpoduksi
secara berlebihan akan mempersempit aliran darah ke jantung dan meningkatkan
tekanan darah. Hal ini akan dengan mudah membuat pembuluh darah menjadi
tersumbat. Hormon beta-endorfin membantu mengembalikan kondisi pembuluh
darah menjadi normal seperti semula dan menjaga agar darah dapat mengalir
dengan mudah dan bebas hambatan. Beta-endorfin penangkal stres akan terbentuk
jika seseorang merasa nyaman atau rileks (Haruyama, 2011).
2.4 Progressive Muscle Relaxation (PMR)
2.4.1 Definisi
PMR merupakan salah satu metode relaksasi sederhana yang melalui dua
proses yaitu menegangkan dan merelaksasikan otot tubuh pada satu bagian tubuh
pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot secara progresif ini dilakukan secara
berturut-turut. Latihan PMR ini dapat dilakukan secara mandiri sehingga
mempermudah seseorang untuk melakukan latihan tanpa perlu bantuan dari orang
lain. Selain itu teknik latihan dari PMR juga dapat dilakukan dalam posisi duduk
maupun tidur sehingga dapat dilakukan dimana saja. PMR merupakan teknik
relaksasi yang sederhana dan efektif untuk mengurangi keteganagn otot,
menurunkan stres dan menurunkan tekanan darah (Kumutha, 2014).
Hal-hal yang diperhatikan saat latihan relaksasi otot progresif adalah
(Hamarno, 2010):
a. Latihan ditempat yang tenang untuk membantu konsentrasi pada
kelompok otot,
b. Melepaskan sepatu dan pakaian tebal yang dapat menggangu proses
latihan,
c. Hindari makan, merokok dan minum-minuman keras sesaat sebelum
latihan,
d. Latihan dilakukan dengan posisi duduk atau tidur dalam keadaan yang
paling nyaman,
e. Jangan menegangkan otot secara berlebihan karena dapat melukai otot
tersebut.
2.4.2 Indikasi
PMR dapat diberikan kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi dan
kemampuan pengelolaan diri. Latihan ini dapat membantu mengurangi
ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah, menurunkun kadar gula darah,
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, sehingga fungsional dan
kualitas hidup meningkat (Smeltzer, et al ., 2008). Teknik relaksasi pada tekanan
darah tinggi telah dikatakan memiliki efek positif yang telah di buktikan oleh
Dickinson, et al (2008) menyampaikan 60-90 % klien yang konsultasi ke dokter
keluarga yang terkait dengan stres sebagian besar memiliki tekanan darah tinggi
sehingga manajemen stres dianggap penting sebagai pengobatan anti-hipertensi,
dengan teknik relaksasi yang tepat salah satunya adalah relaksasi otot progresif.
Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan otot seperti cidera akut, peningkatan tekanan
intrakranial, dan penyakit arteri koronaria yang berat seharusnya tidak melakukan
relaksasi otot progresif(Hamarno, 2010).
Prosedur
Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut, yaitu (Mashudi,
2011):
Tabel 2. 2 Aplikasi Progressive Muscle Relaxaion (PMR)
No. Progressive Muscle
Relaxatin
Gambaran Pelaksanaan
1. Melatih otot tangan
Peserta duduk rileks kemudian
mengepalkan tangan. Peserta diminta
membuat kepalan semakin kuat sambil
merasakan sensasi ketegangan yang terjadi,
tahan selama 5 detik kemudian lepaskan
kepalan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
2. Melatih otot lengan bawah
Peserta duduk rileks dengan menekuk
pergelangan tangan (dorso fleksi wrist)
hingga dapat dirasakan ketegangan, tahan
selama 5 detik kemudian lepaskan
perlahan-lahan disertai menarik nafas
dalam dan merasakan rileks selama 10
detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
3. Melatih otot lengan atas
Peserta duduk rileks kemudian
mengepalkan kedua tangan dan menekuk
siku (fleksi elbow) hingga dapat dirasakan
ketegangan, tahan selama 5 detik kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
4. Melatih otot-otot bahu Peserta duduk rileks kemudian mengangkat
kedua bahu (elevasi shoulder) setinggi-
tingginya hingga dapat dirasakan
ketegangan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
5. Melatih otot-otot dahi
Peserta duduk rileks kemudian
mengerutkan dahi dan alis hingga dapat
dirasakan ketegangan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
6. Melatih otot-otot mata
Peserta duduk rileks kemudian menutup
mata hingga dirasakan ketegangan, tahan
selama 5 detik kemudian lepaskan
perlahan-lahan disertai menarik nafas
dalam dan merasakan rileks selama 10
detik. Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
7. Melatih otot-otot rahang Peserta duduk rileks kemudian
mengatupkan rahang dengan menggigit
gigi hingga dirasakan ketegangan disekitar
rahang, tahan selama 5 detik kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
8. Melatih otot-otot bibir
Peserta duduk rileks kemudian bibir
dimoncongkan hingga dirasakan
ketegangan disekitar mulut, tahan selama 5
detik kemudian lepaskan perlahan-lahan
disertai menarik nafas dalam dan
merasakan rileks selama 10 detik.
Lakukan gerakan yang sama 2 kali.
9. Melatih otot-otot leher
bagian belakang
Peserta duduk rileks kemudian
menekankan kepala pada permukaan
bantalan kursi hingga dirasakan
ketegangan pada bagian belakang reher dan
punggung atas, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
10. Melatih otot-otot leher Peserta duduk rileks kemudian
bagian depan
mendekatkan dagu ke dada (fleksi leher)
hingga dirasakan ketegangan pada leher
bagian depan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
11 Melatih otot-otot punggung
Peserta duduk tanpa bersandar kemudian
busungkan dada (seperti postur lordosis)
hingga dirasakan ketegangan pada
punggung, tahan selama 5 detik kemudian
lepaskan perlahan-lahan disertai menarik
nafas dalam dan merasakan rileks selama
10 detik. Lakukan gerakan yang sama 2
kali.
12 Melatih otot-otot dada
Peserta duduk rileks kemudian tarik nafas
dalam hingga dada terlihat mengembang
tahan selama sesaat, kemudian lepaskan
keteganagn secara perlahan dan peserta
dapat bernafas seperti semula. Lakukan
gerakan yang sama 2 kali.
13 Melatih otot-otot perut Peserta duduk rileks kemudian tarik perut
kedalam hingga dirasakan ketegangan pada
sekitar perut, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
14 Melatih otot-otot tungkai
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki
diluruskan kemudian tekuk pergelangan
kaki (dorso fleksi ankle) hingga dirasakan
ketegangan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
15 Melatih otot-otot betis
Peserta duduk rileks dengan kedua kaki
diluruskan kemudian tekuk pergelangan
kaki (plantar fleksi ankle) hingga dirasakan
ketegangan, tahan selama 5 detik
kemudian lepaskan perlahan-lahan disertai
menarik nafas dalam dan merasakan rileks
selama 10 detik. Lakukan gerakan yang
sama 2 kali.
2.4.5 Mekanisme Progressive Muscle Relaxation dalam Menurunkan Tekanan Darah
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah sehingga manajemen stres dianggap
penting sebagai pengobatan hipertensi. Relaksasi mampu menghambat stres atau
ketegangan jiwa yang dialami seseorang. Relaksasi merupakan suatu teknik
pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan
parasimpatis.Sistem saraf simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus
stres yaitu berupa peningkatan denyut jantung, nafas yang cepat dan penurunan
aktivitas gastrointestinal. Sedangkan saraf parasimpatis membuat tubuh kembali
ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan nafas dan
peningkatan aktivitas gastrointestinal (Smeltzer, et al ., 2008). Pengaruh saraf
parasimpatis pada sirkulasi yang paling penting adalah pengaturan frekuensi
jantung melalui serabut-serabut saraf parasimpatis yang menuju jantung melalui
nervus vagus. Perangsangan saraf-saraf parasimpatis yang menuju ke jantung
(vagus) menyebabkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung saraf vagus.
Asetilkolin yang dilepaskan pada ujung saraf vagus sangat meningkatkan
permeabilitas membran serabut terhadap ion kalium. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan kenegatifan di dalam serabut (hiperpolarisasi). Keadaan
hiperpolarisasi akan menurunkan potensial membran, sehingga akan menurunkan
frekuensi irama nodus sinus dan akan menurunkan eksitabilitas serabut-serabut
penghubun A-V yang terletak diantara otot-otot atrium dan nodus A-V, sehingga
akan memperlambat perjalanan impuls jantung yang menuju ke ventrikel (Guyton
& Hall, 2008).
Gambar 2. 4 Anatomi pengaturan sirkulasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis ke jantung
(Sumber: Guyton & Hall, 2008)
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total
peripheral resistance dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis.
Teknik relaksasi membuat otot-otot pembuluh darah arteri dan vena
bersamaan dengan otot-otot lain dalam tubuh menjadi rileks. Terjadinya
relaksasi otot-otot dalam tubuh ini berpengaruh terhadap penurunan kadar
norepinefrin dalam tubuh (Shinde, et al ., 2013). Dalam keadaan otot-otot
yang rileks juga menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga jiwa dan
organ dalam tubuh manusia benar-benar merasakan ketenangan dan
kenyamanan yang kemudian akan menekan sistem saraf simpatis sehingga
terjadi penurunan produksi hormon epinefrin dan norepinefrin. Menurut
Black & Hawk (2005), relaksasi juga mengakibatkan regangan pada arteri
akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri & vena difasilitasi oleh pusat
vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yang salah satunya adalah
reflek baroreseptor. Reflek baroreseptor saat relaksasi akan menurunkan
aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf parasimpatis
sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup menurun,
serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung,
resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.
2.1 Slow Deep Breathing
Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk
mengatur pernapasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan
efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-
hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stres, ketegangan
otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi
secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan
perilaku (Potter and Perry, 2006). Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan
serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya
aktivitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari respon
relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi, jumlah pernapasan,
penurunan tekanan darah, dan peningkatan konsumsi oksigen (Potter and
Perry, 2006).
Penelitian oleh Astin, dalam buku Potter (2006), menunjukkan
bahwa relaksasi dapat menurunkan nyeri dan mengontrol tekanan darah.
Napas dalam lambat dapat mensimulasi respon saraf otonom melalui
pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan
respon saraf simpatis dan peningkatan respon parasimpatis. Stimulasi saraf
simpastis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respon saraf
parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh atau relaksasi
sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolik (Velkumary &
Madanmohan, 2004).
2.1.1 Mekanisme Fisiologi Slow Deep Breathing
Pernapasan dengan metode latihan slow deep breathing
akan menyebabkan rileksasi sehingga menstimulasi pengeluaran
hormon endorphine yang berefek langsung terhadap sistem saraf
otonom dan menyebabkan penurunan kerja sistem saraf simpatis
dan peningkatan kerja sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi
penurunan tekanan darah (Lovastatin, 2005). Selain itu, dengan
ekshalasi yang panjang daripada metode latihan slow deep
breathing akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intratoraks di paru selama inspirasi yang akan menyebabkan
peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh. Oksigen yang
meningkat akan mengaktivasi refleks kemoreseptor yang banyak
terdapat di badan karotis, badan aorta dan sedikit pada rongga
toraks dan paru. Aktivasi kemoreseptor ini akan mentransmisikan
sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya dimedula oblongata yang
juga menjadi tempat medullary cardiovascular centre. Sinyal yang
di kirim ke otak akan menyebabkan aktivitas kerja saraf
parasimpatis meningkat dan menurunkan aktivitas kerja saraf
simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan
peningkatan oksigen jaringan, namun juga menyebabkan
penurunan tekanan di vena sentral yang mengakibatkan aliran balik
vena dan peningkatan volume vena sentral sehingga curah jantung
dan stroke volume akan meningkat di jantung kiri. Hal ini
mengaktivasi refleks baroreseptor melalui peningkatan tekanan
arteri di pembuluh akibat terjadinya peningkatan stroke volume
dan curah jantung di jantung kiri sehingga terjadi penurunan
tekanan darah dari aktivasi refleks baroreseptor yang mengirimkan
sinyal ke medullary cardiovascular centre di medula oblongata
yang menyebabkan peningkatan kerja saraf parasimpatis dan
penurunan kerja saraf simpatis (Joohan,2000).
2.1.2 Metode Latihan Slow Deep Breathing
Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi
bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang
panjang (Breathesy, 2006). Slow deep breathing adalah gabungan dari
metode napas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga
dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan napas dalam frekuensi
kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit.
Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut
University of Pittsburgh Medical Center, (2003).
1. Atur pasien dengan posisi duduk
2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas abdomen
3. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui
hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen
mengembang saat menarik napas
4. Tahan napas selama 3 detik
5. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas
secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke
bawah
6. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit
7. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 2 kali
sehari.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Hipertensi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah yang
bersifat menetap pada sistolik yaitu 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90
mmHg atau lebih, berdasarkan pemeriksaan minimal 2 kali atau lebih
dalam waktu yang berbeda. Tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu usia, IMT, jenis kelamin, kurangnya aktivitas fisik dan stres.
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia
hingga dewasa, obesitas baik pada masa anak-anak maupun dewasa
merupakan faktor predisposisi hipertensi dan stres juga dapat
meningkatkan tekanan darah. Stres, secara fisiologis akan mengendalikan
sistem neuroendrokrin yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal
melalui aktifasi hipotalamus. Sistem saraf simpatis memberikan respon
terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi
berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya,
salah satunya meningkatkan kecepatan denyut jantung. Sistem saraf
simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan
epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Stimulasi aktivitas saraf
simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung sehingga akan mempengaruhi perubahan tekanan darah menjadi
meningkat secara tidak menentu.
Penatalaksanaan hipertensi derajat I bertujuan untuk
mengembalikan tekanan darah agar mendekati kadar normal dan
meningkatkan kualitas hidup penderita hipertensi derajat I. Latihan
fisikmerupakansalah satu pilardalam penatalaksanaanhipertensi derajat I
denganobat-obatan. Namun, orang dengan hipertensi derajat I yang tidak
mendapatkan penanganan dalam penatalaksanaan penyakitnya masih
cukup banyak.Terdapat dua jenis latihan pernapasan yang telah terbukti
mampu menurunkan tekanan darah yaitu Progressive Muscle Relaxation
dan slow deep breathing exercise.
Progressive Muscle Relaxation (PMR) merupakan salah satu
bentuk latihanyang dapat menjadi pilihan dan sangat mungkin untuk
dilakukan. PMR merupakan salah satu metode relaksasi sederhana yang
melalui dua proses yaitu menegangkan dan merelaksasikan otot tubuh.
Teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total peripheral
resistance dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis. Teknik
relaksasi membuat otot-otot pembuluh darah arteri dan vena bersamaan
dengan otot-otot lain dalam tubuh. Dalam keadaan otot-otot yang rileks
menyebarkan stimulus ke hipotalamus yang kemudian akan menekan
sistem saraf simpatis sehingga terjadi penurunan produksi hormon
epinefrin dan norepinefrin. Relaksasi juga mengakibatkan regangan pada
arteri akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri & vena difasilitasi oleh
pusat vasomotor, yang salah satunya adalah reflek baroreseptor. Reflek
baroreseptor saat relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan
epinefrin serta peningkatan saraf parasimpatis sehingga kecepatan denyut
jantung menurun, volume sekuncup menurun, serta terjadi vasodilatasi
arteriol dan venula. Selain itu curah jantung, resistensi perifer total juga
menurun sehingga tekanan darah turun.
Slow deep breathing exercise adalah gabungan dari metode napas
dalam (deep breathing) dan napas lambat (slow breathing) yang dilakukan
dengan frekuensi kurang dari 10 kali permenit dengan ekshalasi yang
panjang. Hal ini menyebabkan perubahan tekanan di atmosfir dan di
dalam paru sehingga tekanan dalam paru meningkat, dan pada saat inpirasi
berikutnya akan lebih banyak jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru.
Berdasarkan penelitian terdahulu didapatkan bahwa pada pasien
hipertensi, latihan slow deep breathingdengan frekuensi 6 kali per menit
selama 15 menit mampu meningkatkan sensitivitas refleks baroreseptor
dengan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis, meningkatkan
aktivitas sistem saraf parasimpatis, dan mengaktivasi kemorefleks.
Penelitian yang dilakukan tahun 2010 menunjukkan latihan slow deep
breathing dapat menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik 18,178
mmHg, tekanan darah diastolik 8,892 mmHg.
3.2 Kerangka Konsep
Faktor Internal:
Usia, Jenis Kelamin, Genetik
Faktor Eksternal:
Asupan garam, Merokok, Kafein, Pola Makan
Simpatis ↓ Parasimpatis ↑
Hypertension derajat I
Progressive Muscle
Relaxationreathi
stimulasi refleks Baroreseptor
dan aktivasi Kemoreseptor
Slow deep breathing exercise
Keterangan:
1. Cetak tebal = variabel yang diteliti
2. ↓= menurunkan 3. ↑ = meningkatkan
Pusat Pengendalian Kardiovaskular di Medula
Oblongata
Tahanan Perifer ↓ Curah Jantung ↓
Tekanan Darah ↓
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.3 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konsep di atas, maka hipotesis
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Progressive Muscle Relaxation efektif menurunkan tekanan darah
pada hipertensi derajat I
2. Slow Deep Breathing Exercise efektif menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I
3. Ada perbedaan Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan
Slow Deep Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tekanan Darah
Pada Hipertensi Derajat I
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik kontrol dengan
rancangan randomized pre test and post test group design yang bertujuan
untuk membandingkan Progressive Muscle Relaxation dengan slow deep
breathing exercise terhadap penurunan tekanan darah hipertensi derajat
satu.
Adapun, rancangan pre test and post test group design adalah
seperti bagan berikut:
Gambar 4.1 Desain Penelitian
Keterangan :
P = Populasi pasien pre-hipertensi primer
S = Sampel pasien pre-hipertensi primer
RA = Random Alokasi
P1 = Kelompok I 1 dengan Progressive Muscle Relaxation
P2 = Kelompok I 2 dengan slow deep breathing exercise
P S
O1
O3 O4
O2 P1
P2
RA
59
O1 = nilai tekanan darah awal dengan Progressive Muscle Relaxation
O2 = nilai tekanan darah akhir dengan Progressive Muscle Relaxation
O3 = niai tekanan darah awal dengan Slowdeep breathing exercise
O4 = nilai tekanan darah akhir dengan Slowdeep breathing exercise
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa Praktek Fisioterapi Denpasar
Bali. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, mulai bulan Agustus
sampai dengan Nopember 2015 .
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh wanita
maupun pria di Provinsi Bali yang terindikasi pada kategori
hipertensi derajat 1.
4.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah wanita dan pria
dengan rentang usia < 60 tahun yang terindikasi hipertensi derajat 1
yang berkunjung ke praktek Fisioterapi di Denpasar.
4.3.3 Sampel
Sampel penelitian ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi
60
a. Sampel laki-laki atau wanita yang berusia < 60 tahun.
b. Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dan mengerti
instruksi
c. Sampel telah terdiagnosis oleh dokter dan dinyatakan menderita
hipertensi derajat I tanpa adanya komplikasi (kelainan jantung,
stroke, gangguan pembuluh darah dan gangguan ginjal) dan
mendapatkan terapi farmakologis yaitu golongan ACE Inhibitor
dan Calcium Channel Blocker (CCB).
d. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai akhir,
dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai
sampel.
2. Kriteria Eksklusi
a. Sampel menderita patah tulang, strain, sprain, dan
edema.
b. Sampel dengan difable.
3. Kriteria Drop Out
a. Jika selama penelitian sampel tersebut mengundurkan
diri sebagai sampel dengan alasan-alasan tertentu yang
bisa diterima oleh peneliti.
b. Kondisi sampel memburuk setelah diberikan perlakuan.
c. Jika selama pengambilan data pasien tiba-tiba jatuh
sakit atau cedera karena suatu hal.
61
d. Jika selama penelitian sampel tersebut pindah tempat
tinggal.
4.3.4 Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus Pocock (2008):
� = 2�挠纵幌挠− 幌囊邹挠× ∫ 纵荒,慌邹 Keterangan:
n = jumlah sampel � = simpang baku 荒 = tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)
Interval kepercayaan (1-慌) = 0,95 慌 = tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,05) 幌囊 = rerata nilai tekanan darah sebelum intervensi pada
penelitian terdahulu 幌挠 = rerata penurunan nilai tekanan darah yang diharapkan
∫(α, β) = interval kepercayaan berdasarkan tabel Pocock ialah 13,0
Berdasarkan nilai penelitian terdahulu (Berek, et al, 2010),
didapatkan: 幌囊 = 157,65 mmHg; 幌挠 = 129,05 mmHg
standar deviasi � = 16,76
62
� = 2纵16,76邹挠纵− 28,57邹挠× 13,0
� = 8,84 = 9
Dari hasil penelitian sampel di atas, maka jumlah sampel dalam
penelitian ini ditetapkan 9 ditambah 20% karena jumlah sampel
yang dianggap berjumlah sedikit dan sebagai bentuk antisipasi akan
terjadinya dropout. Dengan demikian didapatkan jumlah sampel
adalah 11 pada setiap kelompok sehingga jumlah keseluruhan
sampel pada ke dua kelompok sebesar 22 responden.
4.3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
consecutive sampling yang di mana sampel dipilih berdasarkan
kriteria penelitian kemudian dimasukkan dalam penelitian sampai
kurun waktu tertentu sampai jumlah responden terpenuhi yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Melakukan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi
yang terindikasi pre-hipertensi berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi.
2. Mengadakan pemilihan besar sampel sebanyak 22 responden
secara consecutive sampling dari subjek yang terpilih tersebut.
3. Melakukan pembagian kelompok menjadi dua kelompok
masing-masing sejumlah 11 responden. Pembagian kelompok
dilakukan secara acak pada kelompok yang berjenis kelamin
pria maupun pada kelompok yang berjenis kelamin wanita agar
63
jumlah antara pria dan wanita dalam masing-masing kelompok
sama. Selanjutnya Kelompok I menerima intervensi
Progressive Muscle Relaxationdan Kelompok II menerima
intervensi Slow deep breathing exercise.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel bebas : Progressive Muscle Relaxationdan Slow
deep breahting exercise.
4.4.2 Variabel tergantung : Hipertensi Derajat 1
4.4.3 Variabel kontrol : umur, jenis kelamin (berjumlah sama
antara pria dan wanita)
4.5 Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk
mengatur pernapasan secara dalam dan lambat dengan frekuensi
pernapasan kurang dari 10 kali permenit diikuti dengan ekshalasi
yang panjang. Latihan dilakukan 15 menit menggunakan metode
latihan yaitu inspirasi 3 detik melalui hidung, tahan 3 detik, lalu
diikuti dengan ekspirasi panjang melalui mulut selama 6 detik.
Latihan dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari selama kurun
waktu 2 minggu.
4.5.2 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk menekan dinding
pembuluh darah. Tekanan darah diukur dan dicatat dengan
menggunakan tekanan sistolik dan diastolik dari pasien dengan
64
menggunakan alat sphygmomanometer dan stethoscope. Hipertensi
derajat I adalah terjadinya peningkatan tekanan darah yang bersifat
menetap pada sistolik yaitu 140-159 mmHg dan diastolik 90-99
mmHg, berdasarkan pemeriksaan minimal 2 kali atau lebih dalam
waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini, tekanan darah sampel
akan diukur sebelum dan setelah diberikan perlakuan.
4.5.3 Progressive Muscle Relaxation
Progressive Muscle Relaxation adalah latihan yang dilakukan
secara aktif oleh sampel dengan hipertensi derajat I. Peneliti akan
memberikan contoh latihan terlebih dahulu kemudian sampel
diminta untuk mengikuti gerakannya.PMR terdiri dari 15 gerakan
yang dilakukan secara berturut-turut seperti yang sudah dijelaskan
pada bab sebelumnya. Pada setiap kali perlakuan PMRdilakukan
selama 15-20 menit. Latihan dilakukan sebanyak 3 kali dalam satu
minggu selama 1 minggu.
4.5.4 Terapi farmakologis
Jenis terapi farmakologi yang diterima oleh sampel didapatkan
melalui data rekam medis pasien di klinik Wijaya Kusuma Abadi,
kemudian peneliti menggolokan jenis oban tersebut ke dalam
golongan ACE Inhibitor dan Calcium Channel Blocker (CCB).
4.6 Instrumen Penelitian
1. Alat Sphygmomanometer
2. Stethoscope
65
3. Kamera untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian
4. Buku dan alat tulis untuk mencatat hasil sebelum dan sesudah
intervensi
5. Komputer untuk menyimpan dan mengolah hasil penelitian
4.7 Prosedur Penelitian
Prosedur pendahuluan :
1. Melakukan proses perijinan pada institusi tempat penelitian.
2. Peneliti membuat informed consent yang harus ditandatangani
subjek, dan disetujui oleh pengawas fisioterapi, yang isinya
bahwa subjek bersedia menjadi sampel penelitian ini sampai
dengan selesai.
3. Peneliti memberikan edukasi kepada subjek yang diteliti
mengenai manfaat, tujuan, bagaimana penelitian ini dilakukan
dan pentingnya dilakukan penelitian ini.
4. Subjek atau sampel dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu
Kelompok 1 dan Kelompok 2. Sebelum dan sesudah dilakukan
intevensi, ke dua kelompok tersebut sama-sama dilakukan
pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter.
5. Melakukan proses asuhan fisioterapi
a. Peneliti melakukan proses assesment, di mana
dilakukan pengumpulan data melalui proses yang
diuraikan pada Tabel 4.1 berikut:
66
Tabel 4.1 Proses Assesment Fisioterapi
No Assesment Fokus Assesment Hasil Temuan
1. Anamnesis Identitas pasien Nama, usia, jenis kelamin
Riwayat penyakit
terdahulu
Tidak menkonsumsi obat-obatan anti
hipertensi, DM, penyakit jantung, gagal
ginjal.
Riwayat penyakit
keluarga
Tidak ditemukannya penyakit bawaan
seperti DM, penyakit Jantung, Gagal
ginjal
Riwayat Merokok Tidak ditemukannya kebiasaan merokok
2. Pemeriksaan Vital sign
(Tekanan darah,
Denyut nadi,
Pernapasan, Suhu)
Tekanan darah pre-hipertensi (120-
139mmhg / 80-89 mmHg
Prosedur pelaksanaan :
1. Responden yang berkunjung ke klinik fisioterapi, di ukur
tekanan darahnya dengan menggunakan tensimeter dan di
temukan hasil tekanan darah pada kategori pre-hipertensi.
67
Pengukuran tekanan darah selanjutnya diikuti dengan
pengukuran vital sign lain seperti nadi, pernapasan dan suhu.
Gambar 4.2 Tensimeter dan Stetoskop (dok.pribadi)
a. Persiapan alat berupa tensimeter, stetoskop, dan tempat
duduk
b. Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah, responden
harus dalam keadaan compos mentis dan diminta untuk
dalam keadaan rileks.
c. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan setelah
perlakuan dan harus dalam suasana yang tenang.
d. Melakukan pencatatan hasil pengukuran tekanan darah
68
2. Slow deep breathing Exercise
Gambar 4.3 Slow deep breathing exercise (Anonim, 2015)
a. Posisi duduk dengan ke dua tangan responden diletakkan di
atas abdomen
b. Memberikan instruksi napas secara lambat dan dalam
melalui hidung dan tarik napas selama 3 detik sambil
merasakan abdomen mengembang ketika menarik napas
c. Tahan napas selama 3 detik
d. Menghembuskan napas melalui mulut dengan bibir yang
dikerutkan selama 6 detik sambil merasakan abdomen
mengempis.
e. Melakukan latihan selama 15 menit dengan frekuensi 2 kali
sehari.
f. Dilakukan setiap hari secara individual sebanyak 28 kali
selama kurun waktu 2 minggu.
69
4.8 Alur Penelitian
Gambar 4.4 Alur Penelitian
Populasi
Sampel
Pre-Test
Post Test
Eksklusi Inklusi
Hasil
Analisis Data
Slow Deep Breathing Exercise
Deep Breathing Exercise
70
4.9. Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan Data
a. Editing
Data yang didapatkan dari responden dalam bentuk lembar
pengukuran tekanan darah.
b. Coding
Lembar pengukuran tekanan darah yang telah dikumpulkan
diberi kode angka sesuai dengan kode buku yang disiapkan
peneliti.
c. Entry
Data yang telah diberikan kode dimasukkan dan disimpan
dalam data komputer untuk memudahkan pengambilan kembali
apabila diperlukan.
d. Cleaning
Data yang telah di-entry dicocokkan dan diperiksa kembali
dengan data yang didapatkan pada lembar pengukuran tekanan
darah. Apabila ada perubahan dan perbedaan hasil segera
dilakukan pengecekan ulang.
Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data yang didapatkan dari lembar
pengukuran tekanan darah akan terlihat perubahan penurunan
71
tekanan darah sebelum dan sesudah latihan dengan menggunakan
program SPSS.
Data dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Statistik deskriptif untuk menganalisis jenis kelamin, obat
antihipertensi, usia dan tekanan darah sebelum diberikan
perlakuan.
2. Uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk Test. p< 0,05 data
tidak berdistribusi normal.
3. Uji homogenitas data dengan Levene’s Test,. Hasilnya p > 0,05
dikatakan data bersifat homogen
4. Uji komparasi data
Pada kelompok I, untuk data tekanan darah sistolik dan
diastolik dilakukan Wilcoxon Signed Rank Test. Pada kelompok II
untuk data tekanan darah sistolik dilakukan uji hipotesis
menggunakan Paired Samples T-test dan untuk data tekanan darah
diastolik dilakukan uji hipotesis menggunakan Wilcoxon Signed
Rank Test. Untuk menguji perbandingan rerata selisih penurunan
tekanan darah pada kelompok I dan kelompok II, dilakukan
pengujian menggunakan Mann-Whitney U Test
72
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dari Perbedaan Efektivitas
Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing Exercise Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I Di Kota Denpasar. Penelitian
ini telah dilaksanakan di beberapa Praktik Fisioterapi daerah Denpasar, Bali
selama 4 bulan. Tiap sampel diberikan intervensi sebanyak duapuluh empat kali
dengan menggunakan rancangan eksperimental terhadap dua Kelompok .
Kelompok I dengan Progressive Muscle Relaxation dan Kelompok II dengan
Slow Deep Breathing Exercise. Subyek penelitian berjumlah 22 orang, yang
dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 11 orang.
5.1 Deskripsi Karakteristik Sampel
Untuk memaparkan hasil penelitian yang lebih lengkap dan memperkuat
interpretasi pengujian hipotesis, dipaparkan deskripsi data berupa karakteristik
sampel penelitian. Berikut ini deskripsi data sampel yang terdiri atas karakteristik
sampel berdasarkan jenis kelamin, obat antihipertensi, usia dan tekanan darah
sebelum diberikan perlakuan.
73
Tabel 5.1 Distribusi Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin, Obat Antihipertensi, Usia dan tekanan darah sebelum
Karakteristik Kelompok I
(n=11)
Kelompok II
(n=11) p
Jenis Kelamin (%)
Laki-laki 54,5 63,6 0,683
Perempuan 45,5 36,4
Obat Antihipertensi (%)
Calcium Channel Blocker 45,5 54,5 1,000 ACE inhibitor 54,5 45,5
Usia
Mean ± SD 49,73 ± 1,765 49,83 ± 1,267 0,814
Tekanan Darah Sebelum
(Mean ± SD)
Sistolik 143,14 ±1,37 142,82 ± 1,65 0,523
Diastolik 92,47 ± 0,79 91,58 ± 0,96 0,353
Tabel 5.1 menunjukkan karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin.
Pada kelompok I, sampel yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah enam orang
(54,5%) dan sampel yang berjenis kelamin perempuan berjumlah lima orang
(45,5%), dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang (100%). Pada kelompok
II, terdapat tujuh orang yang berjenis kelamin laki-laki (63,6%) dan empat orang
berjenis kelamin perempuan (36,4%) dengan jumlah sampel 11 orang (100%),
sehingga keseluruhan sampel berjumlah 22 orang. Uji Chi Square digunakan
untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang bermakna pada karakteristik jenis
74
kelamin atara kelompok I dan kelompok II, didapatkan nilai p = 0,863 (p > 0,05)
berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada karakteristik jenis kelamin antara
kelompok I dan kelompok II.
Karakteristik sampel berdasarkan obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh
sampel. Pada kelompok I, sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi
golongan Calcium Channel Blocker berjumlah enam orang (54,5%) dan sampel
yang mengkonsumsi obat antihipertensi golongan ACE inhibitor berjumlah lima
orang (45,5%), dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang (100%). Pada
kelompok II, sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi golongan Calcium
Channel Blocker berjumlah lima orang (45,5%) dan sampel yang mengkonsumsi
obat antihipertensi golongan ACE inhibitor berjumlah enam orang (54,5%),
dengan total jumlah sampel sebanyak 11 orang (100%), sehingga jumlah
keseluruhan sampel pada kelompok I dan kelompok II berjumlah 22 orang. Uji
Chi Square juga digunakan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang
bermakna pada karakteristik obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh pasien atara
kelompok I dan kelompok II, didapatkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) berarti tidak
ada perbedaan yang bermakna pada karakteristik obat antihipertensi yang
dikonsumsi oleh pasien atara kelompok II dan kelompok I.
Subjek penelitian pada kelompok I memiliki rerata usia 49,73 dengan
standar deviasi 1,765. Pada kelompok II memiliki rerata usia 49,83 dengan
standar deviasi 1,267. Uji Mann-Whitney U Test digunakan untuk melihat apakah
terdapat perbedaan yang bermakna pada karakteristik usia atara kelompok I dan
75
kelompok II, didapatkan nilai p = 0,814 (p > 0,05) berarti tidak ada perbedaan
yang bermakna pada karakteristik usia atara kelompok II dan kelompok I.
Nilai rerata dan simpangan baku tekanan darah sistolik sebelum (pre test)
pada kelompok I adalah 143,14 ±1,37, sedangkan nilai rerata dan simpangan baku
tekanan darah sistolik sebelum (pre test) pada kelompok II adalah 142,82 ± 1,65.
Uji Mann-Whitney U Test digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan tekanan darah sistolik sebelum (pre test) pada kelompok I dan
kelompok II dan didapatkan nilai p = 0,523 (p > 0,05), hal ini berarti bahwa rerata
tekanan darah sistolik sebelum (pre test) pada ke dua kelompok tidak berbeda
secara bermakna.
Nilai rerata dan simpangan baku tekanan darah diastolik sebelum (pre test)
pada kelompok I adalah 92,47 ± 0,79, sedangkan nilai rerata dan simpangan baku
tekanan darah diastolik sebelum (pre test) pada kelompok II adalah 91,58 ± 0,96.
Uji Mann-Whitney U Test digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan tekanan darah diastolik sebelum (pre test) pada kelompok I dan
kelompok II dan didapatkan nilai p = 0,353 (p > 0,05), hal ini berarti bahwa rerata
tekanan darah diastolik sebelum (pre test) pada ke dua kelompok juga tidak
berbeda secara bermakna.
5.2 Data Hasil Pengukuran
5.2.1 Pengukuran Tekanan Darah Kelompok I
Hasil pengukuran tekanan darah kelompok I sebagai berikut:
76
Tabel 5. 2 Hasil Pengukuran Tekanan Darah Kelompok I
Rerata Sebelum Rerata Sesudah
Selisih Mean SD Mean SD
Sistolik 143,14 1,37 132,36 1,14 10,78
Diastolik 92,47 0,79 85,25 0,81 7,22
Hasil pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan perlakuan
progressive muscle relaxation pada kelompok I dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Berdasarkan Tabel 5.2, diketahui mean sebelum perlakuan pada tekanan darah
sistolik adalah 143,14 (SD = 1,37) dan mean sesuda h perlakuan adalah 132,36
(SD = 1,14), nilai selisihnya adalah 10,78. Sedangkan, mean sebelum perlakuan
pada tekanan darah diastolik adalah 92,47 (SD = 0,79) dan mean sesudah
perlakuan adalah 85,25 (SD = 0,81) nilai selisihnya adalah 7,22.
5.2.2 Pengukuran Tekanan Darah Kelompok II
Hasil pengukuran tekanan darah kelompok II adalah sebagai berikut:
Tabel 5. 3 Hasil Pengukuran Tekanan Darah Kelompok II
Rerata Sebelum Rerata Sesudah
Selisih Mean SD Mean SD
Sistolik 142,82 1,65 137,19 1,60 5,63
Diastolik 91,58 0,96 86,70 0,87 4,88
Data tekanan darah pada kelompok II (yang tidak diberi perlakuan
progressive muscle relaxation) dapat dilihat pada Tabel 5.3. Mean pengukuran
77
awal (sebelum) pada tekanan darah sistolik adalah 142,82 (SD = 1,65) dan mean
pengukuran akhir (sesudah) adalah 137,19 (SD = 1,60), nilai selisihnya adalah
5,63. Mean awal pada tekanan darah diastolik adalah 91,58 (SD = 0,96) dan mean
akhir adalah 86,70 (SD = 0,87), nilai selisihnya adalah 4,88.
5.3 Uji Persyaratan Analisis
5.3.1 Uji Normalitas dan Homogenitas pada Kelompok I dan Kelompok II
Pada penelitian ini, pilihan penggunaan statistika dalam pengujian
hipotesis dilakukan dengan uji persyaratan analisis yaitu uji normalitas dan uji
homogenitas. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 22 orang (< 30) secara
keseluruhan, sehingga uji normalitas yang digunakan adalah Shapiro-Wilk Test,
sedangkan untuk uji homogenitas digunakan Levene’s Test. Hasil dari analisis
tersebut tertera pada Tabel 5.4
Tabel 5. 4 Hasil Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Tekanan Darah
Uji Normalitas
Saphiro-Wilk Test
Uji Homogenitas
Levene’s Test
Kelompok I Kelompok Kontrol
Sistolik Diastolik Sistolik
(p) Diastolik
(p) Sistolik
(p) Diastolik
(p)
Rerata
Sebelum 0,253 0,011 0,181 0,000 0,680 0,420
Rerata
Sesudah 0,040 0,055 0,108 0,000 0,310 0,656
78
Selisih 0,589 0,023 0,554 0,000 0,747 0,001
Tabel 5.4 menunjukkan hasil uji normalitas data dengan menggunakan
Saphiro-Wilk Test, dimana didapatkan nilai probabilitas dari tekanan darah
sistolik dan diastolik untuk kelompok I dan kelompok II. Untuk kelompok I, pada
data tekanan darah sistolik sebelum perlakuan didapatkan nilai p = 0,253 (p >
0,05), sesudah perlakuan didapatkan nilai p = 0,040 (p < 0,05) dan selisih
didapatkan nilai p = 0,589 (p > 0,05), yang berarti data tekanan darah sistolik pada
kelompok I tidak berdistribusi normal. Pada data tekanan darah diastolik sebelum
perlakuan didapatkan nilai p = 0,011 (p < 0,05), sesudah perlakuan didapatkan
nilai p = 0,055 (p > 0,05), dan selisih didapatkan nilai p = 0,023 (p < 0,05) yang
berarti data tekanan darah diastolik pada kelompok I juga tidak berdistribusi
normal.
Pada kelompok II, data tekanan darah sistolik awal (sebelum) didapatkan
nilai p = 0,181 (p > 0,05), pada pengukuran akhir (sesudah) didapatkan nilai p =
0,108 (p > 0,05) dan selisih didapatkan nilai p = 0,944 (p > 0,05), yang berarti
data tekanan darah sistolik pada kelompok II berdistribusi normal. Pada data
tekanan darah diastolik awal (sebelum) perlakuan didapatkan nilai p = 0,000 (p <
0,05), akhir (sesudah) perlakuan didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), dan selisih
didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti data tekanan darah diastolik
pada kelompok II tidak berdistribusi normal.
Hasil uji homogenitas dengan menggunakan Levene’s Test pada Tabel 5.4
diatas menunjukkan bahwa data sebelum, sesudah dan selisih pada tekanan darah
79
sistolik bersifat homogen karena didapatkan nilai p > 0,05. Pada tekanan darah
diastolik sebelum dan sesudah memiliki nilai p > 0,05, namun data selisih pada
tekanan darah diastolik memiliki nilai p < 0,05 yang berarti data bersifat tidak
homogen.
Melihat hasil uji persyaratan analisis, untuk pengujian hipotesis
selanjutnya perlu dilakukan uji statistik non-parametrik untuk data tekanan darah
sistolik dan diastolik pada kelompok I karena data tidak berdistribusi normal. Uji
statistik parametrik digunakan untuk data tekanan darah sistolik pada kelompok II
karena data berdistribusi normal, sedangkan untuk data tekanan darah diastolik
pada kelompok II dilakukan uji non-parametrik karena data tidak berdistribusi
normal.
5.4 Pengujian Hipotesis
5.4.1 Uji Beda Rerata Penurunan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah
pada Masing-Masing Kelompok
Uji hipotesis yang digunakan adalah Wilcoxon Signed Rank Test dan
Paired Sample T-Test. Kedua uji tersebut digunakan untuk mengetahui apakah
terjadi penurunan tekanan darah sebelum dan sesudah diberikan perlakuan
progressive muscle relaxation pada kelompok I, dan untuk mengetahui apakah
terjadi penurunan tekanan darah pada kelompok II tanpa adanya pemberian
perlakuan progressive muscle relaxation. Pada kelompok I, untuk data tekanan
darah sistolik dan diastolik dilakukan Wilcoxon Signed Rank Test. Pada kelompok
II untuk data tekanan darah sistolik dilakukan uji hipotesis menggunakan Paired
80
Samples T-test dan untuk data tekanan darah diastolik dilakukan uji hipotesis
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test.
Tabel 5. 5 Uji Rerata Penurunan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah pada Kelompok I dan Kelompok II
Kelompok I Kelompok II
Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik
Rerata Sebelum 143,14 92,47 142,82 91,58
Rerata Sesudah 132,36 85,25 137,19 86,70
p 0,002 0,002 0,867 0,083
Tabel 5.5 menunjukkan hasil uji rerata penurunan tekanan darah sistolik
dan diastolik pada kelompok I dan kelompok II. Pada kelompok I, data tekanan
darah sistolik dilakukan uji hipotesis Wilcoxon Signed Rank Test, didapatkan nilai
p = 0,002 (p < 0,05), yang berarti ada penurunan tekanan darah sistolik yang
bermakna sebelum dan sesudah pada kelompok I. Data tekanan darah diastolik
dilakukan uji hipotesis Wilcoxon Signed Rank Test, didapatkan nilai p = 0,002 (p
< 0,05), yang berarti ada penurunan tekanan darah diastolik yang bermakna juga
sebelum dan sesudah pada kelompok I.
Pada kelompok II, untuk data tekanan darah sistolik, dilakukan uji
hipotesis Paired Sample T-test dan didapatkan nilai p = 0,867 (p > 0,05), yang
berarti tidak ada penurunan tekanan darah sistolik yang bermakna pada kelompok
II. Data tekanan darah diastolik dilakukan uji hipotesis Wilcoxon Signed Rank
81
Test dan didapatkan nilai p = 0,083 (p > 0,05) yang berarti tidak ada penurunan
tekanan darah diastolik yang bermakna juga pada kelompok II.
5.4.2 Uji Komparasi Selisih Penurunan Tekanan Darah pada Kelompok I
dan Kelompok II
Untuk menguji perbandingan rerata selisih penurunan tekanan darah pada
kelompok I dan kelompok II, dilakukan pengujian menggunakan Mann-Whitney
U Test yang tertera pada Tabel 5.6:
Tabel 5. 6 Uji Komparasi Selisih Penurunan Tekanan Darah pada Kelompok I dan Kelompok II
Rerata±SD Kelompok I Kelompok II P
Sistolik Selisih 10,78±0,59 5,63±0,52 0,000
Diastolik Selisih 7,22±0,39 4,88±0,14 0,000
Berdasarkan Tabel 5.6 yang menampilkan hasil perhitungan beda rerata
selisih pada tekanan darah sistolik diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05). Data
tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan penurunan tekanan darah sistolik
yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II. Hal yang sama juga terlihat
pada tekanan darah diastolik diperoleh nilai p = 0,000 (p<0,05), data tersebut
menunjukan bahwa terdapat perbedaan penurunan tekanan darah diastolik yang
bermakna antara kelompok I dan kelompok II.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Sampel
Karakteristik sampel penelitian ini pada kelompok I sampel yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah enam orang (54,5%) dan sampel yang berjenis
kelamin perempuan berjumlah lima orang (45,5%), dengan total jumlah sampel
sebanyak 11 orang (100%). Pada kelompok II terdapat 7 sampel yang berjenis
kelamin laki-laki (63,6%) dan empat sampel yang berjenis kelamin perempuan
(36,4%) dengan jumlah keseluruhan sampel 11 orang (100%), dengan
keseluruhan sampel berjumlah 22 orang. Jumlah sampel yang berjenis kelamin
laki-laki lebih sedikit pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
perlakuan, namun sebaliknya jumlah sampel yang bejenis kelamin perempuan
lebih banyak pada kelompok kontrol dibandingan dengan kelompok perlakuan.
Perbedaan tersebut tidaklah bermakna karena setelah dilakukan uji Chi Square
didapatkan nilai p = 0,863 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang
bermakna pada karakteristik jenis kelamin laki-laki dan perempuan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dewi (2014) menyatakan bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki resiko untuk menderita hipertensi. Pada usia 45-55
tahun resiko menderita hipertensi pada pria dan wanita relatif sama.
Karakteristik usia sampel pada penelitian ini, pada kelompok I) memiliki
rerata umur 49,75 dengan standar deviasi 1,765. Usia termuda pada kelompok I
adalah 47 tahun dan usia tertua adalah 53 tahun. Pada kelompok II memiliki rerata
usia 49,83 dengan standar deviasi 1,267. Usia termuda pada kelompok II adalah
48 tahun dan usia tertua adalah 52 tahun. Usia sampel pada penelitian ini sudah
sesuai dengan kriteria inklusi yaitu sampel berusia kurang dari 60 tahun. Hasil uji
Mann-Whitney U Test didapatkan nilai p = 0,814 (p > 0,05) yang berarti tidak ada
perbedaan yang bermakna pada karakteristik usia antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Black & Hawk
(2005) bahwa hipertensi primer muncul antara usia 30-50 tahun.
Karakteristik sampel berdasarkan obat antihipertensi yang dikonsumsi oleh
sampel dibagi ke dalam dua golongan. Pada kelompok I, sampel yang
mengkonsumsi obat antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker berjumlah
enam orang (54,5%) dan sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi
golongan ACE inhibitor berjumlah enam orang (45,5%), dengan total jumlah
sampel sebanyak 11 orang (100%). Pada kelompok II, sampel yang
mengkonsumsi obat antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker berjumlah
enam orang (45,5%) dan sampel yang mengkonsumsi obat antihipertensi
golongan ACE inhibitor berjumlah enam orang (54,5%), dengan total jumlah
sampel sebanyak 11 orang (100%), sehingga jumlah keseluruhan sampel pada
kelompok I dan kelompok II berjumlah 22 orang. Hasil uji Chi Square didapatkan
nilai p = 1,000 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada
karakteristik obat antihipertensi yang dikonsumsi sampel antara kelompok I dan
kelompok II. Berdasarkan pernyataan yang dicantumkan oleh Hamarno tahun
2010 dalam penelitiannya yaitu sebagian besar sampel hipertensi derajat I dan
tidak disertai dengan penyakit penyerta seperti diabetes militus, gagal jantung dan
gagal ginjal mendapatkan terapi obat-obatan antihipertensi tunggal. Obat
hipertensi golongan ACE Inhibitor menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Aktivitas renin plasma meningkat, kadar angiotensin II dan aldosteron menurun,
volume cairan menurun dan terjadi vasodilatasi. Obat hipertensi golongan
Calcium Channel Blocker (CCB) menghambat masuknya ion kalsium ke dalam
sel melalui channel-L. CCN dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu non-
dihidropiridin dan dihidropiridin. Golongan non-dihidropiridin mempengaruhi
sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut jantung, efek
hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan resistensi perifer
sedangkan golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri (Aziza, 2008).
Karakteristik tekanan darah sebelum (pre test), diperoleh rata-rata tekanan
darah sistolik pada kelompok I adalah 143,14 dengan standar deviasi 1,37 dan
diastolik 92,47 dengan standar deviasi 0,79, sedangkan rata-rata tekanan darah
sistolik pada kelompok II adalah 142,82 dengan standar deviasi 1,65 dan diastolik
91,58 dengan standar deviasi 0,96. Hal ini sesuai dengan kriteria inklusi penelitian
dan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tekanan darah tinggi memiliki
tekanan darah sistolik mulai dari 140 mmHg keatas dan tekanan darah diastolik
mulai dari 90 mmHg keatas (American Heart Association, 2012). Devine (2012)
menyatakan bahwa seseorang yang termasuk dalam hipertensi derajat I jika nilai
tekanan darah sistilok 140-159 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-99mmHg.
6.2 Progressive Muscle Relaxation efektif menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah
diberikan perlakuan progressive muscle relaxation pada kelompok I, diketahui
mean sebelum perlakuan pada tekanan darah sistolik adalah 143,14 dengan
standar deviasi adalah 1,37 dan mean sesudah perlakuan adalah 132,36 dengan
standar deviasi adalah 1,14. Mean sebelum perlakuan pada tekanan darah diastolik
adalah 92,47 dengan standar deviasi adalah 0,79 dan mean sesudah perlakuan
adalah 85,25 dengan standar deviasi adalah 0,81.
Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk data
tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok I yang diberikan progressive
muscle relaxation, didapatkan nilai p = 0,002 (p < 0,05) untuk tekanan darah
sistolik dan nilai p = 0,002 (p < 0,05) untuk tekanan darah diastolik. Hal tersebut
menunjukkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang
bermakna antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan progressive muscle
relaxation.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara
stres dengan peningkatan tekanan darah. Seperti yang dikatakan oleh British
Heart Foundation (2013),” Tekanan darah juga bisa menjadi tinggi sementara jika
cemas atau di bawah tekanan”. Stres merupakan keadaan internal yang tertekan
baik secara fisik maupun psikologis terhadap tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi
lingkungan yang membahayakan. Stres, secara fisiologis akan mengendalikan
sistem neuroendrokrin yaitu sistem simpatis dan sistem kosteks adrenal melalui
aktifasi hipotalamus. Sistem saraf simpatis memberikan respon terhadap impuls
saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos
yang berada di bawah pengendaliannya, salah satunya adalah meningkatkan
kecepatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula
adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah (Sherwood,
2010). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Dewi (2014) yang menyatakan
bahwa stimulasi aktivitas saraf simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer dan curah jantung sehingga akan mempengaruhi perubahan tekanan
darah menjadi meningkat secara tidak menentu.
Shinde, et al., (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Immediate
Effect of Jacobson’s Progressive Muscle Relaxation in Hypertension”
menyatakan bahwa teknik relaksasi dapat mengurangi denyut jantung dan total
peripheral resistance dengan cara menghambat respon stres saraf simpatis.
Terjadinya relaksasi berpengaruh terhadap penurunan kadar norepinefrin dalam
tubuh. Menurut Black & Hawk (2005) juga berpendapat bahwa relaksasi juga
akan mengakibatkan regangan pada arteri akibatnya terjadi vasodilatasi pada arteri
& vena difasilitasi oleh pusat vasomotor, ada beberapa macam vasomotor yang
salah satunya adalah reflek baroreseptor. Reflek baroreseptor saat relaksasi akan
menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan saraf
parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup
menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung,
resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.
6.3 Slow Deep Breathing Exercise efektif menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada awal (pre-test) dan
akhir (post-test) penelitian pada kelompok II yang diberikan perlakuan slow deep
breathing. Pertama-tama dilakukan pengukuran tekanan darah awal (pre-test),
yang diikuti oleh pengukuran tekanan darah akhir (post-test) dua puluh menit
kemudian. Diketahui mean awal pada tekanan darah sistolik adalah 142,82 dengan
standar deviasi 1,65 dan mean pengukuran akhir adalah 137,19 dengan standar
deviasi 1,60. Mean awal pada tekanan darah diastolik adalah 91,58 dengan standar
deviasi 0,96 dan mean akhir adalah 86,70 dengan standar deviasi 0,87.
Berdasarkan hasil uji statistik Paired Sample T-test untuk data tekanan darah
sistolik dan uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test untuk data tekanan darah
diastolik, diperoleh nilai p = 0,005 untuk tekanan darah sistolik dan nilai p =
0,002 untuk tekanan darah diastolik, yang berarti ada penurunan tekanan darah
yang bermakna pada kelompok II yang diberikan perlakuan slow deep breathing.
Pada penelitian ini terjadi penurunan tekanan darah yang bermakna pada
kelompok II. Pengaruh ini karena pemberian slow deep breathing exercise mampu
meningkatkan sensitivitas refleks baroreseptor dengan menurunkan aktivitas
sistem saraf simpatis, meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatis, dan
mengaktivasi kemoreseptor sebagai reseptor saraf kimia khusus yang sangat peka
terhadap perubahan kadar oksigen, berperan mendeteksi perubahan oksigen dalam
darah dengan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan di medula
oblongata. Reseptor ini juga berfungsi menyampaikan impuls eksitatorik ke pusat
kardiovaskuler yang memberikan sinyal menurunkan kerja saraf simpatis dan
meningkatkan kerja saraf parasimpatis sehingga berdampak pada penurunan curah
jantung dan penurunan tahanan perifer dan mengakibatkan terjadinya penurunan
tekanan darah. Slow deep breathing exercise juga memberikan efek rileksasi bagi
tubuh sehingga mengaktivasi kerja sistem saraf otonom untuk mengeluarkan
neurotransmitter berupa endorphin yang berdampak terhadap penurunan tekanan
darah melalui penurunan kerja saraf simpatis dan peningkatan kerja saraf
parasimpatis.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sepdianto (2008),
didapatkan bahwa slow deep breathing exercise dapat menurunkan tekanan darah
sistolik sebesar 18,18 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 8,89 mmHg.
Penelitian ini serupa dengan penelitian Manzoni, et al. (2008) yang
menunjukkan rata-rata penurunan tekanan darah sistolik (18,178±7,32) mmHg
dan penurunan tekanan darah diastolik (8,892±2,80) mmHg.
6.4 Efektivitas Progressive Muscle Relaxation Dengan Slow Deep Breathing
Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Hipertensi Derajat I
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Mann-Whitney U Test
untuk menguji perbandingan rerata penurunan tekanan darah sebelum dan sesudah
diberikan progressive muscle relaxation pada kelompok I dan pada kelompok II
yang diberikan perlakuan slow deep breathing.
Pada analisis data tekanan darah sistolik, didapatkan nilai rerata selisih
adalah 10,78 dengan standar deviasi 0,59. Pada kelompok II didapatkan nilai
rerata selisih adalah 5,63 dengan standar deviasi 0,52. Nilai p pada perbandingan
selisih kedua kelompok adalah p = 0,000 (p < 0,05).
Pada analisis data tekanan darah diastolik, untuk kelompok I didapatkan
nilai rerata selisih adalah 7,22 dengan standar deviasi 0,39. Pada kelompok II
didapatkan nilai rerata selisih adalah 4,88 dengan standar deviasi 0,14. Nilai p
pada perbandingan selisih kedua kelompok adalah p = 0,000 (p < 0,05).
Nilai p yang didapatkan pada tekanan darah sistolik dan diastolik pada
perbandingan selisih kedua kelompok tersebut menunjukkan adanya perbedaan
penurunan tekanan darah yang signifikan antara kelompok I dan kelompok II,
dimana pemberian perlakuan progressive muscle relaxation pada kelompok I
lebih menurunkan tekanan darah dibandingkan kelompok II dengan slow deep
breathing.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumutha (2014)
menyatakan hasil yang sama dalam jurnal yang berjudul “Effectiveness of
Progressive Muscle Relaxation technique on Stress and Blood Pressure among
Elderly with Hypertension” menyimpulkan bahwa progressive muscle relaxation
yang dilakukan pada penderita hipertensi efektif untuk mengurangi keteganagn
otot, menurunkan stres dan menurunkan tekanan darah. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan pada kelompok I setelah
diberikan progressive muscle relaxation jika dibandingkan dengan kelompok II.
Mekanisme Progressive Muscle Relaxation dalam menurunkan tekanan
darah erat kaitannya dengan menejemen stes (Hamarno, 2010). Smeltzer, et al.,
(2008) menyatakan bahwa reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya
sekresi sistem saraf simpatis. Stimulasi aktivitas saraf simpatis akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan
berdampak pada perubahan tekanan darah yaitu peningkatan tekanan darah secara
intermiten atau tidak menentu. Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “The
Miracle of Endorphin”, menyatakan ketika kita teramat stres munculah hormon
noradrenalin. Jika hormon noradrenalin diproduksi dalam jumlah tepat, maka
akan menjalankan fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun, saat hormon
noradrenalin dirpoduksi secara berlebihan akan mempersempit aliran darah ke
jantung dan meningkatkan tekanan darah. Hal ini akan dengan mudah membuat
pembuluh darah menjadi tersumbat. Hormon beta-endorfin membantu
mengembalikan kondisi pembuluh darah menjadi normal seperti semula dan
menjaga agar darah dapat mengalir dengan mudah dan bebas hambatan. Beta-
endorfin penangkal stres akan terbentuk jika seseorang merasa nyaman atau rileks
(Haruyama, 2011).
Relaksasi merupakan suatu teknik pengelolan diri yang didasarkan pada
kerja sistem saraf para simpatis. Pengaruh saraf parasimpatis pada sirkulasi yang
paling penting adalah pengaturan frekuensi jantung melalui serabut-serabut saraf
parasimpatis yang menuju jantung melalui nervus vagus, sehingga menyebabkan
pelepasan hormon asetilkolin pada ujung saraf vagus. Asetilkolin yang dilepaskan
pada ujung saraf vagus sangat meningkatkan permeabilitas membran serabut
terhadap ion kalium, sehingga menyebabkan peningkatan kenegatifan di dalam
serabut (hiperpolarisasi). Keadaan hiperpolarisasi akan menurunkan potensial
membran, sehingga akan menurunkan frekuensi irama nodus sinus dan akan
menurunkan eksitabilitas serabut-serabut penghubun A-V yang terletak diantara
otot-otot atrium dan nodus A-V, sehingga akan memperlambat perjalanan impuls
jantung yang menuju ke ventrikel (Guyton & Hall, 2008).
Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Black & Hawk (2005) bahwa
penderita hipertensi sebaiknya melakukan latihan relaksasi untuk mengurangi
denyut jantung dan total peripheral resistance dengan cara menghambat respon
stres saraf simpatis. Relaksasi juga mengakibatkan regangan pada arteri akibatnya
terjadi vasodilatasi pada arteri & vena difasilitasi oleh pusat vasomotor, ada
beberapa macam vasomotor yang salah satunya adalah reflek baroreseptor. Reflek
baroreseptor saat relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin
serta peningkatan saraf parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun,
volume sekuncup menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu
curah jantung, resistensi perifer total juga menurun sehingga tekanan darah turun.
Hal ini didukung oleh teori dari Guyton & Hall (2008) yang menyatakan
bahwa setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal
sekunder menghambat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat
parasimpatis vagus dengan efek vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem
sirkulasi perifer serta berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan
kontraksi jantung.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dickinson, et al (2008) dalam jurnal
yang berjudul “Relaxation Therapies for the Management of Primary
Hypertention in Adults” menyatakan 60-90 % klien yang konsultasi ke dokter
keluarga yang terkait dengan stres sebagian besar memiliki tekanan darah tinggi
sehingga manajemen stres dianggap penting sebagai pengobatan hipertensi, yaitu
dengan teknik relaksasi otot progresif, karena dalam keadaan otot-otot yang rileks
menyebarkan stimulus ke hipotalamus sehingga akan menekan sistem saraf
simpatis sehingga terjadi penurunan produksi hormon epinefrin dan norepinefrin.
Harmono (2010) juga mengatakan bahwa sejak 9 tahun terakhir ini terapi
nonfarmakologis yaitu perubahan gaya hidup yang lebih sehat termasuk
didalamnya adalah latihan fisik, memegang peranan penting dalam menurunkan
tekanan darah. Hal tersebut juga disampaikan oleh Black & Hawk (2005) bahwa
modifikasi gaya hidup dan teknik relaksasi dapat menormalkan tekanan darah
pada klien dengan hipertensi. Hal ini menunjukkan bahwa penderita hipertensi
derajat I sebaiknya melakukan aktivitas fisik berupa teknik relaksasi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, progressive muscle relaxation mampu
menurunkan tekanan darah pada hipertensi derajat I. Hal ini memberikan
konsekuensi bahwa penderita hipertensi derajat I dapat melakukan latihan
relaksasi yang dilakukan secara kontinyu untuk memperbaiki kontrol tekanan
darah agar dapat mendekati normal.
6.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah intervensi tidak dapat dilakukan sekaligus di hari dan waktu yang sama
untuk semua sampel karena kesibukan sampel masing-masing, sehingga
penelitian harus dilakukan secara terjadwal pada masing-masing sampel.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan analisis penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Progressive muscle relaxation efektif menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I.
2. Slow deep breathing exercise efektif menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I.
3. Ada perbedaan efektivitas Progressive muscle relaxation dengan Slow
deep breathing exercise dalam menurunkan tekanan darah pada
hipertensi derajat I
7.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan kajian dalam
penelitian ini adalah:
1. Progressive muscle relaxation dan slow deep breathing exercise dapat
dijadikan sebagai pilihan tindakan fisioterapi dalam menurunkan
tekanan darah pada pasien hipertensi derajat I secara non-farmakologis.
2. Diharapkan kepada rekan-rekan fisioterapis maupun mahasiswa
fisioterapi dapat mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai
latihan fisik dan exercise dalam dosis dan waktu yang berbeda dalam
penatalaksanaan hipertensi untuk menurunkan tekanan darah.