Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan ......Penelitian Pengembangan Pariwisata...

87
Bidang Unggulan : Ekonomi Pembangunan Pariwisata LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan Pendapatan TIM PENELITI Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi NIDN : 0022115407 Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME NIDN : 0018066801 Drs I Ketut Sutrisna, MSi NIDN : 0011125708 Jurusan Studi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2014 ABSTRAK

Transcript of Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan ......Penelitian Pengembangan Pariwisata...

  • Bidang Unggulan : Ekonomi

    Pembangunan

    Pariwisata

    LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN

    Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis

    Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka

    Pemerataan Pendapatan

    TIM PENELITI

    Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi

    NIDN : 0022115407

    Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME

    NIDN : 0018066801

    Drs I Ketut Sutrisna, MSi

    NIDN : 0011125708

    Jurusan Studi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

    UNIVERSITAS UDAYANA

    TAHUN 2014

    ABSTRAK

  • Arah perkembangan perekonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental

    perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat

    dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis

    dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya

    saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di daerah Bali.

    World Travel Tourism Council (2011) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar

    penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat

    sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah

    mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2010.

    Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi

    terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan

    masyarakat, sehingga dengan sendirinya berpotensi menciptakan permintaan pasar pariwisata

    (Loandse dan Debbage, 2004). Pemerataan pembangunan pariwisata di Bali dengan

    membangun bandara internasional di wilayah Bali utara, adalah upaya mendekatkan destinasi

    pariwisata Bali utara melalui pengadaan sarana transportasi udara.

    Penelitian ini melakukan penelitian persepsi dengan mengembangkan community-based

    tourism (CBT) sebagai strategi pembengan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat

    di Bali utara. Penelitian melakukan konstruksi model berdasarkan referensi teoritik yang

    membentuk CBT dimaksud. Sejumlah variabel antara lain Infras (X1), Commitment (X2),

    Modal social Network (X3), kebijakan pemerintah (X4), Kolaborasi (Y1) serta destinasi

    wisata CBT (Y2).

    Berdasarkan penggunaan analisis SEM dan path variance-based PLS, diperoleh hasil

    analisis bahwa modal social ternyata merupakan asset strategis masyarakat yang mampu

    diangkat sebagai kekuatan baru dalam mengembangkan destinasi wisata berbasis

    kepemilikan rakyat. Kebijakan pemerintah (X4), Commitment (X2) dan Modal social (X3)

    adalah signifikan terhadap pembentukan kolaborasi (Y1), sedangkan kolaborasi (Y1)

    berpengaruh secara langsung membentuk destinasi wisata berbasis masyarakat.

    Melalui penggunaan second order procedure pada SmartPls, diperoleh dukungan bahwa

    komponen modal social linkage (Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) memiliki kontribusi yang

    seimbang dalam membentuk laten variabel Network (X3). Hasil penelitian dengan

    menelusuri peran intermediasi antar variabel amatan, ternyata modal social memiliki

    pengaruh secara tidak langsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui commitment (X2) dan

    kebijakan pemerintah (X4). Destinasi wisata CBT (Y2) tidak terbukti dipengaruhi secara

    intermediasi oleh sejumlah variabel yang membentuk destinasi wisata CBT tersebut,

    melainkan hanya terbukti dapat diwujudkan melalui hubungan langsung kolaborasi (X2) dan

    kebijakan pemerintah (X4).

    Rekomendasi yang dapat dirumuskan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah

    untuk memperhatikan dengan cermat partsipasi pengusaha lokal non pariwisata sebagai

    komponen commitment (X2) yang memiliki tanda parameter negative, dalam hal mana

    prilaku dalam membentuk kolaborasi berlawanan arah, sehingga pemberdayaan melalui

    capacity building serta sosialisasi tentang manfaat pentingnya kebersamaan adalah salah satu

    cara yang dapat dilakukan untuk mengajak pengusaha non pariwisata menjadi satu kesatuan

    gerak langkah dalam mewujudkan destinasi wisata di kabupaten Buleleng. ***

    BAB I

  • PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Penelitian

    Pariwisata sebagai salah satu sektor kegiatan perekonomian telah mengalami

    pertumbuhan sangat pesat di berbagai negara, tidak saja berperan sebagai penyedia lapangan

    kerja, tetapi juga berdampak nyata sebagai sumber pendapatan devisa, serta membantu

    mengurangi tekanan defisit pada neraca pembayaran ( Dapatdoran, 2001).

    World Travel Tourism Council (2002) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar

    penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat

    sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah

    mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2002 tersebut.

    Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi

    terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan

    masyarakat, sehingga berpotensi dengan sendiriya menciptakan permintaan pasar pariwisata (

    Loandse dan Debbage, 2004).

    Arah perkembangan pereonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental

    perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat

    dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis

    dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya

    saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di Indonesia.

    Berkaitan dengan potensi sektor pariwisata dengan arah perkembangan pasar dunia

    yang sangat menjanjikan bagi upaya perluasan lapangan kerja dan pembentukan pendapatan

    masyarakat, maka destinasi pariwisata perlu diperluas wilayahnya untuk tidak saja terpusat

    pada Bali selatan, tetapi juga dapat diperlebar ke wilayah Bali utara yang relatif memiliki

    obyek wisata pantai, pegunungan dan atraksi maupun obyek kawasan suci, tetapi potensi

  • yang sedemikian besar tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pariwisata, terbatasnya

    akses pariwisata, serta kendala sumber daya terlatih dalam menyediakan akomodasi,

    restaurant dan hotel yang memadai sebagai komponen strategis penunjang pariwisata.

    Meskipun banyak pihak telah menyadari bahwa pemusatan kegiatan pariwisata di Bali

    selatan telah berdampak nyata pada kemacetan lalu-lintas dan aktivitas wisatawan yang padat

    telah menghasilkan persoalan sampah yang mengurangi kenyamanan wiisatawan dimasa

    depan.

    Perencanaan pemerintah pusat dalam rangka pengembangan bandara Bali Baru yang

    ditempatkan di Bali utara dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan melalui

    pengembangan sektor pariwisata, namun keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia

    untuk mampu mewujudkan kualitas pelayanan pariwisata yang bermutu, tentu masih menjadi

    permasalahan yang perlu ditelusuri peran serta masyarakat untuk dapat berfungsi

    menggerakkan industri pariwisata yang berkelanjutan.

    Collaboration network yang saat ini banyak muncul ke permukaan sebagai salah satu

    bentuk solidaritas komunitas dapat difungsikan sebagai lokomotif dalam pengembangan

    industri pariwisata pada kawasan Bali utara. Palmer dan Bejau (2005) merumuskan

    colloaboration network sebagai keterpaduan langkah bersama dalam produk pelayanan

    pariwisata, sehingga dapat menyajikan produk berdaya saing. Potensi sumber daya manusia

    yang dapat memuat kolaborasi dalam menghasilkan produk barang dan jasa pada industri

    pariwisata adalah issue strategis saat ini sebagai upaya menyajikan produk wisata bernilai

    tambah tinggi dimasa depan.

    ( Sriram, et al, 1999).

    Faktor penentu yang dapat membentuk networ collaboration adalah sejumlah

    komponen yang lazim ditemukan pada pembahasan modal sosial sebagai bagian dari human

    capital development, adalah yang dikenal dengan konsep trust. Mengikuti Cook, (2005), dan

  • juga Dwyer, (1999), menyatakan bahwa konsep trust merupakan proses pembentukan

    komunikasi antar kelompok yang saling percaya satu sama lainnya, tentunya sebagai proses

    awal terbentuknya collabration network,

    Kerangka hubungan trust yang dapat dipetakan pada kondisi industri pariwisata

    tertentu, akan dicermikan oleh pola hubungan transaksi antara hotel sebagai sarana

    kepariwisataan dengan travel agent dan komponen pendukung industri pariwisata lainnya (

    Diego dan Juan, 2000).

    Collaboration network juga dapat dibentuk oleh komponen modal sosial commitment,

    sebagai variabel yang akan membentuk collaboration network. Anderson dan White (1992)

    menyatakan bahwa commitment adalah kehendak untuk mewujudkan relasi bisnis dalam

    jangka panjang.

    Komponen pembentuk collaboration network berkutnya adalah komponen modal

    sosial norma atau tradisi yang dapat menjadi pedoman dan garis kebijakan orang perorangan

    pada anggota masyarakat, tetapi terikat kuat dengan tradisi norma kemasyarakatan pada

    komunitas masyarakat bersangkutan. Keterikatan pada aturan organisasi dalam bentuk lisan

    atau tertulis, adalah merupakan potensi yang akan membentuk collaboratian network.

    Infrastruktur pariwisata dilain fihak, adalah accomodation services, food and

    beverages services, attractions, events and activities ( Ontario TourismCompetitiveStudy,

    2009), serta akses yang dapat mempermudah tercapainya lokasi destinasi ( Shara, et al

    (2009).

  • Pemetaan potensi ekonomi kerakyatan yang tersedia saat ini di wilayah kabupaten

    Buleleng dilakukan melalui penelitian persepsi, untuk melihat keberadaan ekonomi rakyat

    dan kemungkinannya dapat ditingkatkan menjadi potensi modal sosial untuk mendukung

    kegiatan industri pariwisata berbasis komunitas. Potensi modal sosial pada sebuah struktur

    sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga pilar utama modal sosial ( Putnam, 1998),

    mencakup antara lain networking, trust dan norma. Apabila ketiga komponen modal sosial

    tersebut hidup berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan pada masyaraat lokal,

    maka sangat mungkin dapat ditingkatkan menjadi fondasi dalam rangka pengembangan

    community-based tourism (CBT) di kabupaten Buleleng.

    1.2 Rumusan Pokok Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, dapat dirumuskan menjadi pokok

  • permasalahan sebagai berikut.

    a. Bagaimana pengaruh kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital

    berpengaruh terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupate

    Buleleng.

    b. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

    berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

    komunitas (Y1).

    c. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2)

    berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

    komunitas (Y1).

    d. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) berpengaruh terhadap

    pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).

    e. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4)

    berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

    komunitas (Y1).

    1.3 Tujuan penelitian

    Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah potensi modal sosial

    masyarakat lokal serta pengkaitannya dimasa depan dengan kemungkinan

    terwujudnya industri pariwisata berbasis komunitas lokal CBT.

    a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung variabel kolaborasi yang

    terbentuk dari potensi social capital terhadap terwujudnya komunitas industri

    pariwisata CBT di kabupaten Buleleng.

    b. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

    terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).

  • c. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi

    commitment (X2) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui

    kolaborasi (Y1).

    d. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) terhadap

    pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).

    e. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah

    (X4) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi(Y1).

    1.4 Manfaat Penelitian

    Manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.

    a. Sebagai masukan bagi kegiatan pembelajaran bagi perguruan tinggi, terutama pada

    bidang ilmu ekonomi pembangunan pariwisata, yang semakin berkembang dewasa ini

    sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya

    peningkatan permintaan pasar pariwisata.

    b. Sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan

    kebijakan rencana induk pariwisata daerah (RIPDA) serta arah perumusan kebijakan

    jangka pendek untuk mengantsipasi pembangunan bandara Bali Baru yang telah

    mencapai rintisan lokasi di kecamata Kubutambahan Buleleng.

    c. Sebagai sarana pelatihan bagi mahasiswa yang ikut serta menjadi peneliti lapangan,

    sehingga dapat memberikan wadah kegiatan diluar kampus yag bermanfaat bagi

    mahasiswa dimasa depan.

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Fondasi Ekonomi Kerakyatan Social Capital

    Community-based tourism adalah sebuah tatanan industri pariwisata masyarakat

    berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai owner ( Cavaye, 2000).

    Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada

    masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan,

    2009).

    S.C. Narayan (2005) menggambarkan social capital sebagai komponen yang

    terbentuk dari sejumlah prilaku yang terdapat pada struktur kemasyarakatan, seperti

    kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan

    aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat,

    pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan

    kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi

    dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan,

    prilaku dan cara pandang untuk mendahuukan kepentingan orang lain, sehingga dapat

    menjadi balas jasa atas perbuatan baik kepada sesama dimasa depan, serta adanya kebutuhan

    untuk membangun fondasi kepercayaan (trust) dengan keberadaan pimpinan kelompok

    sebagai panutan. Lihat Gambar 1.1.

    Bentuk sosial capital dalam kebersamaan (better together) tercermin dari prilaku

    kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pada fondasi dimana social

    capital memegang peranan penting, maka partisipasi dalam kegiatan pengambilan komunitas

    dilaksanakan atas upaya mewujudkan kepentingan bersama.

  • Trust adalah komponen social capital berikutnya yang akan menjadi bagi terwujudnya

    industri paruwusata berbasis masyarakat, termasuk terkondisikannya trust dalam membangun

    komunikasi antar tetangga, antar anggota masyarakat dengan pimpinan kelompok, pimpinan

    pemerintahan serta komunitas lainnya.

    Kesediaan untuk berbuat dan menolong anggota kelompok lain yang sedang

    memerlukan bantuan, adalah bentuk kebersamaan (togethesness) yang berpotensi menjadi

    kekuatan baru dalam suatu aktivitas bisnis, karena akan membentuk kekuatan kolaborasi.

    Gambar 1.2

    Komponen Pembentuk Social Capital

    UNEP (2002) merekomendasikan peranan pemerintah dan komponen aliansi non

    pemerintah untuk membangun capacity building masyarakat lokal dalam mewujudkan

    kondisi yang memungkinkan terbentuknya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan

  • keputusan yang lebih luas. S.C. Nayaran (2005) melihat pemberdayaan masyarakat dalam

    mewujudkan kebersamaan dapat ditelusuri melalui dua penentu pembentukan social capital

    yang kuat pada masyarakat lokal, yaitu melalui bentuk penyeragaman komunikasi,

    penyamaan cara pandang dan tujuan organisasi bersama, serta upaya pemberdayaan

    9empowerment) melalui peranan dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan dan

    membangkitkan social capital sebagai cara dalam mencapai tujuan akhir bersama.

    Gambar 1.3 Peranan Pemerintah Dalam pembentukan Modal Sosial

    2.2 Komunitas Industri Berbasis Masyarakat CBT.

    Proses pembangunan masyarakat berbasis CBT tidak terwujud begitu saja, melainkan

    dilaksanaan melalui pendekatan konsep dan strategi yang terarah, konsisten dan

    berkesinambungan. Aref dan Redzuan (2009), memberikan tahapan capacity building melalui

    tahapan pengembangan dan pemberdayaan the ability to act, dari peranan individual ke

    tingkat kelompok, kemudian memasuki proses yang lebh luas yaitu komunitas masyarakat.

  • Peningkatan keterampilan dan pengetahuan anggota komunitas yang memiliki kecakapan

    khusus, dapat ditingkatkan peranan mereka untuk memasuki komunitas bisnis, dimana

    mereka memiliki kecakapan yang memadai dalam ikut serta melaksanaan proses perencanaan

    dan pengendalian bersama. Kecakapan anggota komunitas dalam proses pengambikan

    keputusan ini kemudian ditingkatkan perananya sebagai pemilik atas kegiatan bisnis, maka

    pada industri pariwisata, maka peranan anggota dalam komunitas adalah sebagai pemilik atas

    kegiatan industri. Kepemilikan ini yang selanjutnya dikenal sebagai industri pariwisata

    berbasis masyaarakat CBT (Akama dan Kieti, 2007).

    Gambar 1.4

    Proses Pembentukan Masyarakat Industri Wisata

    Berbasis Masyarakat Lokal

    Berdasarkan Gambar 1.4 maka tampak bahwa untuk mencapai sasaran akhir

    pelayanan industri wisata yang berdaya saing (municipal services), diperlukan dukungan

    perencanaan yang terarah dan konsisten didukung oleh infrastruktur dan kapasitas sumber

    daya, serta pada sisi lain adalah pengelolaan jasa pelayanan yang tepat sasaran, sehingga

    menjadi destinasi wisata yang akan dikunjungi secara berulang.

    Gambar 1.5

    Tahapan Community Capacity Building Mencapai Sasaran

    Sustainable Community based Development

  • Sustainable community based tourism akan dapat dicapai jika pemberdayaan

    masyarakat menuju tahapan ownership dapat diwujudkan, sehingga proses partisipasi dalam

    pengambilan keputusan bisnis manageent destinasi wisata tentu menjadi lebih stabil dan

    berkesinambungan, karena kolaborasi berbasis modal sosial memiliki fondasi komunitas

    sharing profit together, dibandingkan usaha swasta nasional yang tidak memiliki basis

    masyarakat sebagai pengawal konservasi destinasi wisata.

  • BAB III

    KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Model Kerangka Pikir

    Penyusunan kerangka piker penelitian dirumuskan berdasarkan konsep teori yang

    telah disajikan pada BAB 2, serta berdasarkan rumusan tujuan penelitian yang telah

    ditetapkan, maka model teoritik disusun untuk menjawab tujuan penelitian yang telah

    dirumuskan pada BAB 1.

    Model kerangka penelitian yang akan disusun merupakan pendekatan pemecahan

    masalah yang disusun berdasarkan teori, berdasarkan kerangka teoritik tersebut diharapkan

    menjadi panduan dalam rangka memilih variabel penelitian yang relevan dengan tujuan

    penelitian ini.

    Penelitian ini melakukan kajian tentang peluang dan kemungkinan pengembangan

    community-based tourism di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu suatu tatanan industri

    pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai

    pemilik atas inustri pariwisata tersebut ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk

    CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki

    fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009). Basis industri pariwisata

    setdaknya diharapkan dapat mewujudkan kolaborasi tiga pilar industry, yaitu masyarakat

    lokal dimana destinasi wisata itu diselenggarakan, pengusaha lokal dan pemerintah kabupaten

    sebagai fasilitator dan legasi atas keberadaan destinasi wisata yang terbangun. Kerangka

    konsep hubungan CBT dengan basis komunitas disajikan pada Gambar 3.1

  • Masterplan

    Pengembangan Destinasi Wisata

    Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal

    ( Community-based Tourism)

    Destinasi

    Wisata Berbasis

    Masyarakat Lokal

    (CBT)

    PARTISIPASI

    PENGUSAHA

    LOKAL DALAM

    RANGKA

    PELAYANAN

    PRODUK

    WISATA

    PARTISIPASI

    MASYARAKAT

    DALAM RANGKA

    MENCIPTAKAN

    KONDISI

    KENYAMANAN

    PARIWISATA

    FASILITAS HOTEL

    AKOMODASI WISATA

    RESTAURANT

    ATRAKSI WISATA

    PRAMUWISATA

    INFORMATION CENTER

    PELAYANAN KESEHATAN

    SOUVERNIR DAN

    CENDRAMATA

    Gambar 3.1 Model Kerangka Pikir

    Partisipasi Masyarajat Umum dan Pengusaha terhadap Pembangunan

    Destinasi Wisata Berkelanjutan

    S.C. Narayan (2005) menggambarkan potensi social capital yang telah tersedia pada

    masyarakat dapat dimanfaatkan dalam rangka memantapkan dan penguatan struktur

    kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang

    masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan

    yang mengikat masyarakat (norms), pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan

    kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup

    bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan

    komunikasi dalam pelbagai kepentingan yang berbasis kepada kebersamaan. Kerangka

  • konsep CBT sebagaimana dipetakan berbasis kepada modal social disajikan pada Gambar

    3.1.

    Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, maka secara operasional kebijakan pemerintah

    Kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan strategi pembangunan yang berbasis ekonomi

    kerakyatan pada industri pariwisata dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat

    (capacity building), untuk menggerakkan potensi modal sosial sebagai basis kebersamaan

    (better together) mencakup potensi norma dan budaya masyarakat, potensi network

    masyarakat Buleleng, serta membangkitkan rasa percaya diri, kebersamaan dalam organisasi

    kemasyarakatan, serta menempatkan aparat pemerintah sebagai motivator dan fasilitator

    untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam merumuskan kepentingan mereka

    melalui pola kekerabatan dan kebersamaan.

    Pemerintah diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pembentukan trust pada

    masyarakat sebagai modal dasar bagi pembangunan kawasan, (Hilde & Benny (2005),

    Pepfar (2000), UNEP (2005). Pengembangan potensi social capital trust akan berdampak

    positif bagi etos kerja kebersamaan sebagai modal kerja masyarakat diluar modal dalam

    bentuk uang dan fasilitas financial lainnya.

    Kajian peneliti Noya & Clarence (2009), dan Kimmo (2010), menyatakan pembentukan

    social capital merupakan proses yang berkaitan dengan dukungan tradisi, norma masyarakat

    serta semangat tradisi kebersamaan yang berjalan searah dengan dinamika masyarakat

    menuju terwujudnya kesejahtraan yang dikelola bersama.

    2.3 Kerangka Pikir Penelitian

    Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, serta mengacu kepada pokok

  • permasalahan dan tujuan penelitian, maka keterkaitan ketiga hal tersebut diatas, dipetakan

    menjadi kerangka pikir penelitian, yang juga dapat dirumuskan sebagai hipotesis penelitian

    yang dissusun secara parsial dengan kerangka hubungan model penelitian sebagaimana

    disajikan pada Gambar 3.2 .

    Model CBT yang dibangun dan tersajikan pada Ganbar 3.2 mencakup basis modal

    social yang diharapkan dapat diwujudkan melalui dua sumber utama, yaitu partisipasi

    masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata, dan kompoen pengusaha lokal yang

    dipersiapkan senagai enterprenenurs dalam membangun sarana destinasi termasuk

    penginapan, restaurant, ketersediaan pramuwisata, pengadaan atraksi budaya, kesenian dan

    atraksi seni lainnya. Partisipasi masyarakat secara garis besar dinyatakan sebagai

    infrastruktur pariwisata (INFRAS). Dukungan komponen partisipasi dalam rangka

    mewujudkan ekonomi kerakyatan pada industry pariwisata juga akan ditentukan oleh tokoh

    masyarakat dalam lingkungan detinasi wisata yang dikonstruksi sebagai commitment

    (COMTT), yaitu persepsi yang diharapkan dapat memberikan ruang yang konsisten dalam

    mengawal dan mendorong terwujudnya masyarakat industry wisatya berbasis kepemilikan

    masyaraat lokal.

    Persepsi tentang ruang entrepreneurs untuk masyarakat lokal dipetakan pada potensi

    network, yaitu adanya kebersamaan para pengusaha dalam mewujudkan kawasan industri

    berbasis masyarakat lokal. Potensi network dipetakan dengan linkage, norma dan trust.

    Linkage adalah potensi modal social dalam melihat tingkatan network para pengusaha dalam

    menjangkau transaksi bisnis, mencakup wilayah lokal desa, antar desa, network kecamatan

    atau bahkan kabupaten/propinsi. Potensi network akan menjadi acuan bagi kesiapan

    pengusaha lokal dalam membangun jaringan dan menetapkan target dalam melaksanakan

    pelayanan pada industry kepariwisataan. Keterbatasan kemampun membangun jaringan, tentu

    akan memperkecil peluang masyarajat lokal dapat mewujudkan bisnis pariwisata berbasis

  • masyarakat.

    Trust adalah salah satu komponen modal sosial yang memiliki peranan strategis

    dalam mewujudkan kebersamaan dalam komunitas. Apabila komponen trust adalah rendah

    pada komunitas masyaraat, maka peluang pengembangan industri wisata berbasis masyarakat

    relative sulit untuk diwujudkan.

    Variabel Infras (X1) mencakup dukungan prasarana termasuk didalamnya kondisi dan

    karakter kependudukan dan kualitas lingkungan alam dengan managemen pelestariannya (

    Gooroochurn dan Sugiyarto, 2005). Aspek yang lain dari Infrastruktur pariwisata adalah

    destination infrastructure yang sangat menentukan permintaan atas layanan destinasi (

    Murphy et al, 2000). Crouch dan Riche (1999) serta Kadaroo dan Seetanah (2007)

    menyatakan bahwa kualitas destinasi tidak mungkin mengabaikan peranan transortasi udara,

    laut, jalan darat yang memadai, serta dukungan fasilitas listrik dan ketersediaan air untuk

    berbagai kepentingan.

    Infrastructure tourism tidak sebatas dalam pengertian transportasi jalan raya, tetapi

    juga termasuk ketersediaan jaringan telekomunikasi dan sistem informasi, serta dukungan

    atas fasilitas pelayanan wisata termasuk sarana hotel, restaurant dan dukungan yang layak

    dan memadai bagi pelayanan wisatawan ( Crouch dan Richie, 1999).

    Commtt (X2) adalah bentuk hubungan yang memiliki dimensi jangka panjang.

    Dweyer et al (1997) menyatakan bahwa commitment adalah bentuk pertanggung-jawaban

    seorang individu atau organisasi yang konsisten yang akan berdampak pada keberlangsungan

    organisasi yang bersangkutan. Anderson dan Weitz (1992) menjelaskan bahwa commitment

    adalah upaya dari organisasi untuk mewujudkan langkah kebijakan secara konsisten dalam

    rangka mempertahankan hubungan yang bersifat jangka panjang. Ganesan (1994) bahkan

    menyatakan keberhasilan organisasi dalam memelihara dan mewujudkan tindakan

    pengorbanan dalam rangka memenuhi kewajiban tertentu adalah basis organanisasi dalam

  • mencapai sustainable competitive advantages bagi sebuah organisasi. Dengan demikian,

    commitment adalah intangible asset dan merupakan komponen yang sangat strategis dalam

    mewujudkan perluasan usaha dan memantapkan nilai tambah atas perusahaan dalam suatu

    rangkaian proses bisnis pariwisata ( Anderson dan Weitz, 1992).

    Schulz (1994) menyatakan bahwa commitment hotels dapat memberikan jaminan

    akan keberlangsungan dalam meraih lebih banyak pelanggan dengan dukungan travel agent

    dalam suatu tatanan komunikasi dan kepatuhan terhadap commitment yang telah disepakati

    dalam kerangka kerja sama bisnis. Jika terbentuk commitment yang kuat dari pengusaha,

    maka potensi commitment bisa diwujudkan dalam kerangka collaboration untuk

    menghasilkan destinasi wisata yang berdaya saing.

    Collab (Y1) adalah bentuk komunikasi saling keterkaitan satu sama lainnya dengan

    persepsi yang sama dalam menghasilkan tujuan akhir organisasi yang diinginkan. Studi

    tentang peranan kolaborasi pada bisnis parwisata telah dilakukan oleh Bramwell dan

    Sharman (1999), dimana proses kolaborasi dilihat dalam kerangka perumusan bersama atas

    kebijakan bisnis pariwisata. Penguatan atas peran kolaborasi akan menjadi penentu bagi

    keberhasilan suatu wilayah dalam menyajikan destinasi wisata berdaya saing.

    Mohr et al (1996) merumuskan collaboration sebagai bentuk komunikasi dalam

    tahapan kerja sama tertentu, membangun komunikasi, sehingga tingkatan kolaborasi yang

    dapat diwujudkan akan sangat tergantung kepada kedalaman atas peran komunikasi dan

    proses pengambilan kebijakan. Keberhasilan atas kolaborasi akan sangat ditentukan oleh

    kepatuhan para pihak dama menjaga commitment yang telah mereka sepakati.

    Keberlangsungan atas peran kolaborasi sebagai penggerak strategis untuk mendorong

    terwujudnya basis destinasi CBT akan sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang

    menentukan terbentuknya kolaborasi dari Inftas (X2), Commtt (X2) dan Network (X3).

    Network (X3) merupakan basis kemampuan berkomunikasi dan pengembangan lebih

  • jauh dari kebutuhan berkomunikasi dalam suatu jaringan yang saling mempengaruhi.

    Logsdon (1991) menyatakan bahwa dalam membangun komunikasi terdapat benefit tertentu

    yang diperoleh, sehingga basis kemampuan setiap individu dalam membangun kolaborasi

    adalah potensi modal sosial yang akan membentuk lebih jauh peluang pengembangan

    destinasi wisata berbasis komunitas (CBT). Dalam rangka mengembangkan kemampuan

    personal dalam membangun komunikasi dalam kebersamaan, maka potensi network akan

    dibentuk oleh tiga variabel yaitu pertama, adalah linkage (potensi keterkaitan antar individu)

    baik dalam lingkungan terbatas pada satuan keluarga maupun pada jalur komunikasi diluar

    keluarga dapat mencakup wilayah tempat tinggal, satuan wilayah desa, kabupaten atau

    propinsi. Kedua, adalah trust, yang mendorong semakin berkembangnya komunikasi dalam

    bentuknya yang lebih permanent melalui hubungan personal dalam sebuiah kolaborasi

    organisasi uapun sebaliknya, pola hubungan organisasi dengan individu sebagai bagian dari

    organisasi tersebut. Trust seringkali dikaitkan dengan network ( Cook, 2005). Trust sebagai

    salah satu komponen modal social dapat dipandang sebagai aspek fundamental dalam

    membangun perikatan transaksi antar kelompok masyarakat yang dapat memberikan jaminan

    suasana kenyamanan. Ketika trust adalah variabel yang dapat ditempatkan dalam kerangka

    hubungan saling ketergantungan dalam masyarakat, maka trust menjadi komponen penggerak

    transaksi yang didukung oleh fondasi commitment yang sangat kuat ( Emmer et al ( 1993).

    Moorman et al (1993) mengemukakan definisi trust sebagai tindakan setiap orang

    yang dapat memberikan jaminan bahwa kepentingan antar pihak akan berjalan dengan baik

    sesuai dengan yang diharapkan. Trust berkaitan dengan kepercayaan (belief), sikap prilaku,

    yang terkondisikan menjadi percaya bahwa partner bisnis dapat memberikan sesuatu yang

    dapat diwujudkan sesuai dengan harapan semestinya.

    Trust merupakan komponen modal social yang akan menciptakan penguatan dalam

    kebersamaan, terbukti telah berhasil membangun keterkaitan hubungan jangka panjang antara

  • pembeli dan penjual dalam suatu proses dimana konsumen berkeyakinan selalu mendapatkan

    nilai tambah atas transaksi dengan penjual ( Ramayah et al, 2003).

    Diego dan Juan, (2000) bahkan menyatakan modal social trust merupakan komonen

    strategis yang sangat mementukan pembentukan hubungan jangka panjang antara

    management hotel dengan travel agent. Sangat tidak mungkin dapat dikembangkan business

    partner hotel dan travel agent, apabila tidak dilandasi oleh kondisi trust dalam saling

    keterkaitan kepentingan antara management hotel dengan travel agent, sehingga terbentuknya

    proses network akan terhenti dan tidak berkelanjutan.

    Morgan dan Hunt (2004) merumuskan bahwa trust adalah causal antecedent terhadap

    commitment, sedangkan commitment adalah factor yang mendorong terbentuknya jalinan

    hubungan yang berkualitas. Ndubisi (2007) telah mengembangkan studi tentang peranan

    network dalam mendorong terbangunnya kualitas detinasi wisata yang dapat diwujudkan

    melalui inter-organization learning. Deniscolai et al (2010), menyajikan aspek yang sama,

    yaitu peranan positif dari komponen trust dalam mendorong stabilitas pelayanan destinasi

    wisata berkelanjutan.

    Sigala (2004) melihat komponen trust sebagai aspek strategis dalam mengurangi

    transaction coast melalui pengendalian dan berbagi informasi bersama. Barney dan Hansen,

    (2004) menyajikan peta analisis tentang peranan trust sebagai pendorong terbentuknya

    kepercayaan antar pihak yang berkepentingan, telah menciptakan sustainable long-term

    relationship.

    Studi tentang potensi network sebagai penggerak modal social dalam rangka

    mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT) telah banyak digagas selama 5 tahun

    terakhir ini. Saxena (2005), Cravens dan Piercy (2004), menyatakan bahwa network dapat

    berfungsi secara fleksibel dalam menggerakkan marketing information sharing, innovation,

    peluang untuk menjalin transaksi baru dengan network yang lain, pengelolaan resources

  • management serta pemberdayaan organisasi untuk meingkatkan kecakapan dan pengetahuan

    serta keterampilan.

    Novelli et al (2006), menyajikan peta studi tentang network dan clustering sebagai

    kerangka strategi dalam upaya menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi local

    community. Aspek lain dari social capital adalah norms yang membentuk prilaku pada

    social structures dan social networks. Pada kondisi dimana social capital memiliki struktur

    jaringan yang sangat kuat, maka interaksi masyarakat telah mencapai norms of trust and

    reciprocity. (Putnam, 2000). Sebaliknya, apabila norma masyarakat yang berlaku tidak

    memiliki keterikatan yang kuat serta kurang memiliki prilaku yang memandang kebersamaan

    adalah penting, maka keberadaan struktur network dan struktur social dalam menyatukan

    kebersamaan juga otomatis akan menjadi rendah. Stone ( 2001) menyatakan pengukuran

    social capital dapat dilihat dari structure of network dan normative attribute.

    Coleman (1990) dan Krisna and Shrader (1999) menyatakan bahwa struktur potensi

    network masyarakat dapat dipetakan dari sejumlah komponen mencakup ukuran (size),

    kapasitas dan derajat keterbukaan masyarakat. Pelebaran jaringan (size) berkaitan dengan

    kemampuan individu pada masyarakat dalam membangun jaringan secara geografik, mulai

    dari dusun, desa, kota dengan dengan wilayah propinsi. Capacity, berkaitan dengan kualitas

    dari jaringan yang mereka miliki dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan

    tertentu. Sedangkan keterbukaan adalah gaya masyrakat dalam berkomunikasi. Pada

    masyarakat tertutup, yaitu norma yang banyak ditemukan pada budaya tertetu, peluang untuk

    m=membangun jaringan yang berkualitas relative kecil untuk berhasil. (Coleman, 1990).

    Potensi social capital tidak dapat dipisahkan dari nroma atau cara pandang masyarakat

    terhadap kebutuan kebersamaan, yang ternyata keduanya bisa saling meniadakan, karena

    kompleksitas struktur masyarakat atas berbagai perbedaan, mencakup dominasi ras tertentu,

    gender, usia, status ekonomi dan social serta banyak kendala lain termasuk norma yang tidak

  • sejaklan dengan potensi network sebagai salah satu kpomponen modal social yang paling

    strategis (Uslaner 1999), sehingga apabila norma tentang kebersamaan adalah cara pandang,

    gaya hidup dan kebutuhan yang telah diterima sebagai kebutuhan bersama, maka peluang

    perluasan struktur network menjadi lebih terbuka (Cox and Caldwell,2000)

    DEST CBT (Y2) sebagai tujuan akhir yang ingin diwujudkan dalam rangka

    pengembangan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat lokal telah dikembangkan

    di banyak negara. Studi tentang CBT memiliki orientasi yang berbeda dengan pendekatan

    pembangunan destinasi wisata secara trandisional yang umumnya memiliki pola top-down

    tourism planning.

    CBT mengupayakan keterlibatan seluruh lokal input proses pengendalian

    management pariwisata, sehingga komunitas memiliki peluang untuk mendapatkan nilai

    tambah atas kegiatan bisnis pariwisata (Mowfort dan Munt, 2003).

    Berbeda dengan pendekatan tradisional pembangunan sektor pariwisata, pada CBT

    menekankan kepada bootom-up community dalam rangka pengembangan destinasi wisata,

    pengembangan jasa pelayanan wisata termasuk komponen penunjang penginapan, restaurant,

    jasa pramuwisata, akomodasi dan atraksi budaya serta produk terkait lainnya ( Hall, 2000).

    Blackstock (2005) menyatakan bahwa bisnis pariwisata berbasis CBT merupakan

    konsep pengembangan destinasi wisata yang melibatkan sepenuhnya local community,

    memberdayakan sepenuhnya masyarakat lokal sebagai pemegang kendali bisnis pariwisata,

    membagikan laba atas bisnis pariwisata dalam kebersamaan pada komunitas tersebut.

    Berdasarkan orientasi bottom-up policy, maka sudah barang tentu dengan tidak

    disertakannya modal besar pada investasi pada sebuah destinasi wisata tertentu, maka

    business setting pada model CBT memiliki karakter small-scale production ( Amin et al

    (2002). CBT juga disebut sebagai social economy enterprises yang tetap ber-orientasi kepada

    laba tetapi memiliki basis pengembangan sumber daya bersama dan pusat training.

  • Sehubungan dengan itu, maka penguatan modal social dan kebersamaan adalah basis

    kekuatan bisnis yang dikelola oleh komunitas lokal. Amin et al (2002) bahkan menyatakan

    bahwa konsep CBT dapat menjadi alternative dalam rangka memperhatikan komunitas lokal

    yang juga berhak untuk mendapatkan kesejahtraan dan peranan yang lebh besar sebagai the

    new stages of capitalism.

    Blackstock (2005), Koster dan Rendall (2005) menyatakan CBT adalah sejalan

    dengan social economy dimana tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan community

    benefits melalui pembangunan yang berorientasi dari proses bottom-up dimana komunitas

    lokal mendapat ruang dalam pengambilan keputusan management, sehingga diperlukan

    upaya pemberdayaan (capacity bilding), yang akhrinya juha diperlukan dalam rangka

    menyediakan alternative pendekatan yang berbeda dengan neoliberal economic.

    Pendekatan konsep CBT yang berbeda dari kebijakan pemerintah selama ini yang

    secara tradisional lebih memberikan ruang kepada investor dalam pembangunan destinasi

    wisata, maka perubahan pendekatan ini menghendaki lebih banyak penyiapan sumber daya

    pemerintahan untuk menjadi fasilitator dan memahami dengan benar gagasan tentang

    keberadaan CBT sebagai kerangka pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang berbasis

    kepada kesejahtraan masyarakat lokal (Harvey, 1989).

  • COLLAB

    (Y1)

    DEST

    CBT

    (Y2)

    INFRAS

    (X1)

    COMMTT

    (X2)

    NETWORK

    (X3)

    H4

    H3

    I1 I2 I3

    C1

    C2

    C3

    L1

    L2

    L3

    D1

    D2

    D3

    H1

    GOVERM

    (X4)

    H5

    G1 G2 G3Linkage

    Trust

    Norma

    T1 T3 T3

    N1 N2 N3

    C3

    H2

    Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4

    Gambar 3.1

    Kerangka Operasional Penelitian CBT

    Sudjana Budhi - 2014

    Y2 = α1 + β1Y1 (1)

    Y1 = α2 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 (2)

    Persamaan (1) dan (2) adalah model persamaan struktural (simultaneous equation

    model) dengan pengembangan hierarchy latent model ( Loehlin, 2004), juga Hair (2010),

    serta Lin, et al (2008). Variabel Y1 dan Y2 dinyatakan sebagai endogen variable, juga

    disebut sebagai dependent variable, sehingga perubahan variasi nilainya ditentukan oleh

    variabel pemberi tanda panah. Sedangkan variabel yang bebas tidak mendapat tanda panah

  • dari variabel lainnya, disebut variabel eksogen atau variable dimana nilainya ditentukan

    diluar model. Semua variabel X1, X2, X3 dan X4 adalah variabel eksogen, karena

    pembentukannya tidak terikat pada variabel lain, kecuali pada X3, dimana pembentukan nilai

    X3, sepenuhnya secara formative ditentukan oleh latent variable linkage, trust dan norma.

    Seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

    Y2 = Destinasi Wisata CBT ( komponen pramuwisata lokal mewakili wisatawan )

    Y1 = Kolaborasi adalah tokoh masyarakat dan desa adat sekitar destinasi wisata

    X1 = Infras adalah partisipasi masyarakat sekitar destinasi wisata

    X2 = Commitment adalah pengusaha non pariwisata lokal

    X3 = Modal sosial Network adalah pengusaha pariwisata lokal

    X4 = Persepsi kebijakan pemerintah versi penerima layanan publik

  • BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Rancangan Penelitian

    Penelitian mempergunakan data primer dengan melakukan perekaman data melalui

    penyusunan daftar pertanyaan kepada responden terpilih. Pertanyaan disusun berdasarkan

    kebutuhan model hipotesis yang dirancang penelitian ini, karena itu daftar pertanyaan disusun

    atas item-item indikator yang mendukung pembentukan variabel latent penelitian ini.

    Pengambilan responden terpilih dilaksanakan pada 4 lokasi penelitian terpilih, yang

    dilaksanakan berdasarkan karakteristik lokasi destinasi wisata, yaitu wisata pegunungan dan

    wisata pantai. Pada destinasi wisata pegunungan dipilih lokasi air terjun Gitgit kecamata

    Sukasada kabupaten Buleleng dan desa wisata Munduk kecamatan Banjar kabupaten

    Buleleng.

    Destinasi wisata pantai dipilih destinasi wisata air sanih kecamatan Kubutambahan

    kabupaten Buleleng dan destinasi wisata Lovisa desa lovina kecamatan Banjar kabupaten

    Buleleng. Berdasarkan 4 pemilihan lokasi destinasi wisata dapat dipandang telah mewakili

    seluruh potensi destinasi wisata berdasarkan pola karakteristik daerah wisata, yang umumnya

    terpolakan menjadi dua kelompok besar, yaitu wisata wilayah pegunungan dan wisata

    wilayah pantai, sesuai dengan potensi destinasi yang memiliki tofografis pantai dan

    pegunungan.

    Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian

    No. Nama Obyek Wisata Lokasi Penelitian Type Wisata

    1 Air Terjun Gitgit Desa Gitgit Kec. Sukasada Wisata Pegunungan

    2 Desa Wisata Munduk Desa Munduk Kec. Banjar Wisata Pegunungan

    3 Desa Wisata Lovina Desa Lovinsa Kec. Banjar Wisata Pantai

    4 Air Sanih Desa Sanih Kec. Kubutambahan Wisata Pantai

  • 4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

    Obyek penelitian penelitian yang akan ditelusuri untuk mendapatkan jawaban atas

    tujuan penelitian yaitu mencakup dua kelompok pembentuk destinasi wisata yaitu, pertama,

    adalah masyarakat lokal yang bertempat tinggal disekitar destinasi wisata. Kedua, adalah

    pengusaha lokal yang berada disekitar destinasi wisata yang bertindak sebagai penjual jasa

    pariwisata termasuk usaha parkir, pedagang dan jasa lainnya. Sampel penelitian ditentukan

    dengan metode pengambilan sampel (sampling method) sebagai berikut:

    1. Sampel untuk masyarakat lokal dipilih secara purposive dengan memperhatikan

    ketokohan dari masing-masing individu sampel. Pada setiap lokasi dipilih sebanyak 10

    (sepuluh) anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili masyarakat desa yang

    berada disekitar destinasi wisata yang bersangkutan. Individu-individu masyarakat yang

    terpilih diharapkan dapat mewakili persepsi tentang potensi network sosial

    kemasyarakatan (X3), commitment (X2), kondisi infrastruktur wisata (X1) serta persepsi

    masyarakat tentang peran kebijakan dan layanan pemerintah terhadap pembentukan

    kenyamanan destinasi wisata di masing-masing lokasi wisata (X4). Jumah seluruh sampel

    yang diambil pada komponen masyarakat warga sekitar destinasi usaha pada 4 lokasi

    terpilih adalah 40 responden.

    2. Sampel untuk pengusaha lokal dipilih sebanyak 10 (sepuluh) pengusaha lokal pada

    masing-masing destinasi wisata, untuk mewakili persepsi pengusaha dalam membangun

    network dan pengembangan modal sosial sebagai basis kegiatan enterpreneur ang

    bergerak bersama masyarakat dalam menetapkan pelayanan wisata yang berdaya saing.

    Keterkaitan antara kolaborasi masyarakat (Y1) yang terbentuk dari partisipasi masyarakat

    disekitar destinasi wisata dengan pelaku usaha (Y1) akan membentuk sebuah destinasi

    wisata berbasis komunitas lokal CBT, dimana masyarakat umum dan pengusaha akan

    menerima manfaat yang sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing fihak yaitu

  • masyarakat warga desa disekitar lokasi usaha dan pengusaha sebagai penggerak dan

    penyaji pelayanan wisata. Total responden yang terpilih untuk ditetapkan sebagai

    responden adalah 10 x 4 lokasi = 40 responden pengusaha lokal yang berada disekitar

    lokasi destinasi wisata.

    4.3 Definis Operasional Variabel

    Penelitian mempergunakan 6 variabel latent yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas

    tujuan penelitian yang diracang penelitian ini. Ke 6 variabel penelitian dijelaskan sebagai

    berikut.

    a. Destinasi wisata berbasis CBT, adalah pengukuran variabel latent tentang persepsi

    pengguna destinasi wisata, yaitu wisatawan. Sehubungan dengan terbatasnya

    frekuensi kunjungan wisatawan dan pola kunjungan tidak teratur, maka untuk

    mendapatkan data tentang kualitas layanan wisata yang diinginkan oleh pengguna,

    maka penelitian mempergunakan data proksi dengan memilih pramuwisata (guide)

    sebagai wakil pengguna jasa pariwisata. Besarnya jumlah responden pramuwisata

    disesuaikan dengan pasangan sample lainnya, yaitu sebesar 40 sample. Notasi yang

    dipergunakan untuk variabvel destinasi wisata CBT adalah Y2.

    b. Kolaborasi (Y1) adalah didefinisikan sebagai komponen yang memiliki kekuatan

    untuk mengatur, mengendalikan dan memiliki leadership yang memadai dalam rangka

    mengkombinasikan seluruh potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kebersamaan

    dalam gerak dan langkah dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT.

    Komponen kolaborasi dinyatakan dengan Y1, adalah tokoh masyarakat dan adat, yang

    digali karakter dan prilakunya berdasarkan penelitian persepsi yang dipandu dengan

    rekeman wawancara berdasarkan daftar pertanyaan.

  • c. Infrastruktur Infras (X1) didefiniskan sebagai sarana penunjang yang memberikan

    ruang bagi kenyamanan wisatawan, termasuk pelayanan keamanan, kenyamanan

    wisatawan, penataan lingkugan kebersihan, komunikasi dan dukungan masyarakat

    terhadap atraksi wisata dan pelestarian alam ( Warnken, 2002), Philips dan Jones

    (2006). Notasi variabel untuk konstruk latent infrastruktur adaah X1. Penelitian

    dipersepsikan sebagai prilaku dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta

    mnewujudkan destinasi wisata yang memungkinkan wisatawan mendapatkan

    kenyamanan, dan keramahan masyarakat sebagai obyek wisata, dengan didalamnya

    adalah budaya dan kehidupan keseharian masyarakat.

    d. Commitment adalah sikap budaya masyarakat lokal yang akan menjadi penentu

    terbentuknya kolaborasi masyarakat dalam menetapkan acuan pelayanan wisatawan.

    Pola prilaku yang dapat memberi jaminan bagi komunikasi yang terarah dan produktif

    akan menjamin dukungan bagi kepentingan organisasi kemasyarakatan dalam

    menetapkan pelayanan wisatawan secara nyaman, konsisten dan berkesinambungan.

    Notasi yang diberikan untuk pengukuran persepsi latent dari commitment adalah X2.

    Pemetaan terhadap persepsi commitment ditetapkan dari pengusaha lokal non

    pariwisata.

    e. Network adalah potensi modal sosial yang terpendam dalam struktur budaya

    kemasyarakatan. Network merupakan variabel latent yang dibentuk oleh variabel

    pendukung lainnya, mencakup linkage, trust dan norma ( Putnam, 1994), yang

    membentuk social capital. Melalui pengembangan hierarchy latent variabel ( Lohlien,

    2004), dapat diketahui peranan pembentuk latent variabel network dari pembentuk

    latent dibawahnya.Network (X3) dipetakan dari pengusaha lokal pariwisata

    f. Peranan pemerintah melalui kebijakan pelayanan terhadap masyarakat juga menjadi

    penentu terbentuknya kolaborasi yang memungkinkan terciptanya kondisi awal bagi

  • terselenggaranya pelayanan pariwisata yang berdaya saing. Peran kebijakan

    pemerintah juga dapat berdampak secara langsung kepada destinasi wisata melalui

    pembinaan pengusaha lokal, sehingga peluang bagi terbentuknya destinasi wisata yag

    berbasis komunitas CBT tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan pemerintah

    dalam ikut serta membentuk dan mempengaruhi keberadaan destinasi wisata berbasis

    masyarakat CBT. Notasi peran pemerintah dinayatakan sebagai latent variabel X4.

    Kebijakan pemerintah dipersepsikan dari pengguna layanan pemerintah terkait dengan

    wilayah destinasi, sehingga yang menjadi obyek peneliotian adalah masyarakat

    pengguna layanan publik, termasuk masyarakat umum dan pengusaha.

    4.4 Instrumen Penelitian

    Instrumen yang dibangun untuk mendapatkan data penelitian ini direkam melalui

    kuesioner yang dibuat secara terpisah untuk masing-masing jenis responden. Item-item

    pernyataan atau pertanyaan pada kuesioner disusun berdasaran kerangka teori yang melandasi

    dari masing-masing variabel amatan, dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pendapat

    responden yang diukur berdasaran penggunaan skala Likert berderajat 5.

    Berdasarkan penelitian dengan penggunaan kuesioner sebagai instrumen yang

    digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, maka menjadi sangat penting untuk

    mengukur reliabilitas dan validitas dari masing-masing item (pernyataan atau pertanyaan)

    diperiksa. Validitas suatu variabel laten akan ditentukan dengan meneliti setiap item sebagai

    unsur pembangun latencontruct yang bersesuaian, sedangkan reliabilitas merupakan ukuran

    yang menggambarkan tingkat keandalan (degree of reliability) sekumpulan item yang

    merepresentasikan variabel laten (Hair et al., 2010). Sekumpulan indikator/item dapat

    dianggap tingkat keandalan dipercaya apabila memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach (α) –

    sebagai ukuran reliabilitas menunjukkan sebaran lebih besar atau sama dengan 0,7 (Nunnaly,

  • 1975).

    Koefisien Alpha Cronbach yang diintroduksi oleh Lee J. Cronbach pada tahun 1951

    (Cronbach, 2004) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:

    Persamaan matematika diatas, k menyatakan jumlah item-item pengukur suatu laten,

    si2 menyatakan ragam (variance) dari item ke-i dan st

    2 menyatakan ragam dari total item

    untuk seluruh responden. Nilai dari koefisien Alpha Cronbach (α) berkisar antara 0 sampai

    dengan 1. Konsistensi internal dianggap memenuhi syarat apabila nilai α lebih besar atau

    sama dengan 0,7.

    Jika ukuran keandalan sekumpulan item/indikator dalam merepresentasikan sebuah

    variabel laten diukur melalui koefisien Alpha Cronbach, maka validitas yang merujuk kepada

    kemampuan sebuah indikator dalam menjelaskan suatu konsep dapat diukur dengan

    mengamati koefisien korelasi Pearson untuk data yang telah diskalakan ulang. Sebuah item

    dinyatakan valid sebagai indikator laten jika memiliki nilai koefisien korelasi sekurang-

    kurangnya 0,3 dan memiliki tanda (sign) yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya.

    Jika sebuah item memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0,3 tetapi memiliki tanda

    yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya dan nilai tersebut tidak menyimpang terlalu

    jauh dari nilai-nilai lainnya, maka masih dianggap cukup memadai untuk dilanjutkan ke

    proses analisis berikutnya.

    4.5 Metode Analisis Data

    Kerangka teori yang dijadikan acuan dalam pemetaan pemodelan menunjukkan

    bahwa tidak semua latent variable memiliki karakter reflective, seperti network (X3) dan

    peran pemerintah (X4) yang dipandang memiliki karakter formative ( Diamantopolous,

    2002), Jarvis, et al (2004), sehingga pendekatan yang paling mungkin dipergunakan untuk

  • analisis statistik adalah pendekatan Varian-bases PLS ( Hair, 2010), Christian C. Ringer

    (2011).

    Pertimbangan dalam memilih PLS-PM sebagai metode analisis kuantitatif adalah

    model konseptual dari penelitian ini sebagaimana telah dinyataja diatas, adalah melibatkan

    indikator-indikator formatif pada model persamaan struktural yang dibangun. Apabila

    seluruh konstrak penyusun model tergolong ke dalam konstrak reflektif, maka model

    struktural yang terbentuk disebut model reflektif, sebaliknya, jika sekurang-kurangnya ter-

    dapat sebuah konstrak formatif, maka model struktural yang terbentuk disebut model formatif

    (Petter et al., 2007). Memperhatikan model yang dikembangkan adalah model formatif,

    maka model persamaan struktural berbasis peragam (variance-based SEM) seperti LISREL

    dan SmartPLS. Dalam hal ini, PLS-PM merupakan solusi untuk menyelesaikan sebuah

    model formatif (Henseler et al., 2009). Pada model PLS-PM, terdapat dua sub-model yang

    dipisahkan secara konsep pendekatan, yaitu:

    1. Measurement Model: atau juga disebut sebagai outer model yang menjelaskan hubungan

    antara variabel-variabel pengukurnya (manifest variables) dengan variabel laten yang

    yang bersesuaian dengan itu.

    2. Structural Model: atau disebut juga sebagai inner model, menjelaskan hubungan antar

    variabel laten yang menjadi perhatian dari periset. Pada penelitian ini, variabel-variabel

    destinasi wisata CBT Y1 dan kolaborasi Y2, beserta latent variabel X1, X2, X3 dan X4

    merupakan variabel-variabel termasuk dalam lingkaran inner model.

    4.5.1 Variabel Laten Reflective

    Pengukuran model latent reflective adalah metode pengukuran latent yang

    merefleksikan kondisi terbentuknya variabel latent atau konstruk berdasarkan item-item

    pengukuran dimana indikator sebagai pemetaan pengukuran skala merupakan reflektif dari

  • latent variable, sehingga tanda panah bergerak dari variabel laten menuju kepada indikator.

    Penggambaran tanda panah tersebut dimaksudkan sebagai metode yang diartikan sebagai

    hubungan fungsi, yaitu dimana variable laten berpengaruh terhadap pembentukan indikator

    tersebut ( Hair et al, 2013).

    Sejumlah penulis lain seperti Henseller (2010) dan Straub et al, (2004) menyatakan

    bahwa karakter laten reflektif adalah karakter yang memiliki sifat uni-dimensional, yaitu

    adanya kesamaan covary dari loading factor, sehingga menghilangkan salah satu dari

    indikator tidak akan menyababkan terjadinya perubahan nilai terhadap model structural

    (Jarvis, et al (2003).

    Berdasarkan karakter yang memiliki kondisi uni-dimensional tersebut, kemudian

    dapat ditentukan metode analisis dan prosedur pengujian dengan melakukan pengujian

    internal consistency reability, indikator reability, pengujian corvergent reability serta

    discriminan reability. Pengujian atas kelayakan model reflective yang bersifat uni-

    dimensional dapat dilakukan dengan mempergunakan software SPSS ver 17, untuk

    melengkapi sejumlah pengujian yang tidak tersedia pada SmartPLS ver 2. Sejumlah peneliti (

    Afthanorhan, 2013 ) bahkan menyarankan untuk melakukan drop-out terhadap sebaran item

    indikator yang memiliki factor loading dibawah 0.50, sehingga dapat ditemukan sebaran item

    indikator menjadi lebih memiliki kesetaraan (covary) sebagai syarat sebagaimana

    direkomendasi oleh Hanseler, 2013. Prosedur pengujian kelayakan model model disajikan

    selengkapnya pada Tabel 4.1.

    Tabel 4.1 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment reflective

    Jenis Uji

    Validitas

    Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti

    Uni-dimensional Explanatory Factor

    Analysis (EFA)

    Melakukan seleksi

    variable dengan

    menetapkan nilai

    Eigen value >1

    Garbing and

    Anderson, 1988.

  • Internal

    consistency

    Reability

    Cronbach Alpha Reabilitas item

    Indikator harus

    lebih besar dari 0.70

    Nunanlly and

    Bernstein (1994)

    Internal

    consistency

    Reability

    Composite

    Reability

    Perbandingan dari

    factor loading

    terhadap penjumlahan

    factor loading

    ditambah variance.

    Chin (1978)

    Indicator Reability Indicator

    Loading

    Memberikan informasi

    seberoa banyak variasi

    dari item indikator dapat

    dijelaskan oleh latent

    variable

    Chin (1978)

    Convergent

    Validity

    Average Variance

    Extracted (AVE)

    Sebaran nilai AVE

    diharapkan lebih besar

    dari 0.50

    Fornell dan Larcker

    (1981)

    Discriminant

    Validity

    Fornell and Larcker

    criterion

    Sebaran nilai AVE dari

    latent variable lebih

    besar dari korelasi antar

    laten variable

    Fornell dan Larcker

    (1981)

    4.5.2 Variabel Laten Formative

    Diamantopolous Dan Winkhover (2004), serta Jarvis et al (2003) menyatakan

    perlunya penelitian memperhatikan dengan seksama akan adanya fenomena formative dalam

    menetapkan status variabel laten tertentu. Syarat bahwa sebuah latent variable memiliki

    kecenderungan formative adalah apabila antara lain, bahwa variabel latent yang dijadikan

    variabel penelitian memiliki nuansa kuantitatif, sehingga berpeluang untuk memposisikan

    indikator sebagai penentui atau pembentuk variabel latent.

    Berbeda dengan pendekatan covariance-based SEM yang menganut persyaratan ketat

    dalam menerapkan asumsi SEM, tetapi sekaligus hanya mampu menyajikan latent reflective,

  • yaitu pembentukan indikator yang dipengaruhi kepada latent variable itu, sendiri, maka pada

    konsep pendekatan SEM PLS dapat dikembangkan konsep pengukuran model latent yang

    memiliki karakter formative.

    Berdasarkan pendekatan metodologi yang berbeda dengan variabel latent yang

    reflective, maka sebagai konsekusnsinya, penerapan model uji kelayakan model sebagaimana

    disajikan pada Tabel 4.1 tidak dapat diterapkan pada latent yang memiliki karakter formative

    ( Bollen, 1989). Sejumlah peneliti lain, Hair (2013), Henseller (2010), Ringer et al (2013)

    menyatakan bahwa karakter latent formative dapat diuji kelayakannya dengan

    mempergunakan uji korelasi antar VIF yang diharapkan berkisar antara 0.20 sampai dengan

    0.50, sehingga diluar nilai tersebut maka model formative memiliki persoalan multi-

    collinearity, sehingga model menjadi tidak layak untuk diteruskan atau diperlukan cara re-

    sampling untuk memperbaiki kualitas prediksi latent variable. Prosedur re-sampling ayau

    teknik bootstrapping diperkenalkan oleh Efron dan Tashabrani (1991) yang dapat menjadi

    pertimbangan dalam upaya melakukan pembenahan data yang diperoleh dari hasil penelitian

    lapangan. Berikut disajikan kriteria model pengujian kelayakan model latent formative.

    Tabel 4.2 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment yang Formative

    Jenis Uji

    Validitas

    Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti

    Indicator

    Validity

    Indicator Weight Loading factor tidak

    memiliki sebaran covary

    Jarvis, et al (2003)

    Indicator

    Validity

    Variance Inflation

    Factor (VIF)

    VIF memiliki sebaran

    antara 0.20 sampai 0.50,

    maka diperlukan metode

    lain seperti second order

    apabila syarat tersebut

    tidak terpenuhi.

    Ringer et al (2013),

    Diamantopolous and

    Siguaw (2006).

  • Construct

    Validity

    Interconstruct

    Correlations

    Jika korelasi antar

    variable laten dibawah

    0.85, meng-indikasikan

    terdapat perbedaan nyata

    antar latent, yang

    menunjukkan model

    cukup layak untuk

    diteruskan.

    Mackenzie et al

    (2005), Bruhn et al

    (2008).

    4.5.3 Pengujian Model Struktural ( Inner-model)

    Langkah pengujian structural model dilakukan untuk mengkaitkan hubungan variable

    laten yag satu terhadap latent lainnya berdasarkan kerangka hubungan model yang telah

    ditetapkan berdasarkan theoretical building yang telah disusun. Dalam rangka melakukan

    prosedur pengujian model structural tersebut, maka langkah pertama yang harus dipetakan

    adalah signifikansi model dan nilai R2 dari model penelitian secara keseluruhan. Pengujian

    model hubungan dipolakan terlebih dahulu secara parsial, dengan menetapkan hubugan

    pengaruh signifikansi antar vaiabel bebas dengan variable terikat. Masing-masing dari

    variable terikat memiliki nilai R2 yang menjelaskan informasi sejauh mana variasi nilai

    variable terikat dapat dijelaskan oleh factor factor yang mempengaruhinya. Semakin tinggi

    nilai R2, akan menunjukkan semakin besar variasi nilai variable latent terikat dapat dijelaskan

    oleh factor factor yang mempengaruhinya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2 yang

    didapatkan, maka semakin terbatas informasi yang didapatkan dari pengaruh variabel bebas,

    sehingga menjadi penting dipertimbangkan penelitian lanjutan untuk menyertakan variable

    tambahan dalam rangka meningkatkan nilai R2.

    Evaluasi menyeruh terhadap model penelitian untuk menentukan seberapa besar

    model structural dapat dijelaskan oleh seluruh interaksi model, maka perlu didapatkan

    koefisien determinasi R2 secara multivariate ( Hair et al, 2010).

    Jika tujuan penelitian telah dapat ditelusuri melalui pemanfaatkan analisis jalur dan

  • model structural melalui pengujian statistic t secara parsial dengan tingkat keyakinan sebesar

    5%, maka tahap berikutnya adalah melakukan pengembangan analisis intermediasi antar

    variable laten yang tidak secara langsung tertuju kepada sasaran akhir dari penelitiana ini

    yaitu destinasi wisata berbasis ekonomi rakyat.

    Sobel (1991) dan Baron dan Kenny (1990) melakukan terobosan untuk mendapatkan

    signifikansi dari uji intermediasi. Berdasarkan metode Sobel (1990) dapat diketahui

    signifikansi koefisien beta secara gabungan dari jalur mediasi yang ditetapkan pada model,

    sehingga dapat diketahui seberapa besar parameter intermediasi itu berperan dibandingkan

    dengan apabila varabel laten bersangkutan berhubungan secara langsung (direct effect)

    terhadap sasaran akhir penelitian ini.

  • BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1 Profil Destinasi Wisata Bali Utara

    Destinasi wisata kabupaten Buleleng tersebar secara merata di 9 wilayah kecamatan,

    dengan tipologi pantai dan pegunungan. Sembilan wilayah kecamatan memiliki pola tanaman

    tadah hujan dan sawah beririgasi teknis, sehingga semua kecamatan memiliki pola karakter

    dataran rendah dan pegunungan sebagai sumber air irigasi. Dengan demikian, potensi

    kawasan pantai yang memanjang dari batas timur kecamatan Tejakula sampai dengan

    wilayah barat kecamatan Grokgak menggembarkan kawasan potensi wisata pantai yang dapat

    menjadi sumber kegiatan destinasi pariwisata dimasa depan.

    Meskipun demikian, potensi kawasan pantai pada setiap kecamatan memiliki basis

    nilai jual wisata yang spesifik. Bulelelng barat dengan dukungan situs pura Pulaki, taman

    satwa serta kawasan pulau Menjangan adalah potensi wisata unik yang memiliki nilai jual

    dimasa depan. Sedangkan di wilayah kecamatan Tejakula terdapat pura Dang kayangan

    Ponjok Batu, desa wisata Julah sebagai prototype desa pra Bali dengan budaya adat yang

    relative unik, sedangan di kawasan Buleleng tengah terdapat desa wisata Munduk yaitu tipe

    wisata alam pegunungan yang telah berjalan dewasa ini dan mendapat kunjungan wisata

    cukup padat. Kawasan wisata danau Buyan di wilayah kecamatan Sukasada adalah potensi

    wisata yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka pengembangan destinasi wisata.

    Desa wisata Julah merypakan salah satu obyek wisata yag sudah banyak dikunjungi

    wisatawan, tetapi tampak belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari para pengusaha

    dan pemerintah kabupaten Buleleng untuk memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut

    sebagai media dalam menciptakan nilai tambah produksi dan pelayanan wisata. Hal ini

  • memberikan indikasi bahwa industri pariwisata belum dipetakan secara optimal dalam rangka

    mewujudkan nilai tambah tersebut, seperti kesiapan komponen pengusaha dalam meata bisnis

    pelayanan wisata termasuk pengadaan penginapan, restaurant, akomodasi bidang transportasi,

    bahkan pramusata dan atraksi seni budaya yag seharusnya dapat ditampilkan sebagai

    pelengkap dan keragaman pelayanan pada destinasi wisata yang bersangkutan. (Lihat

    Gambar 5.1).

    Gambar 5.1

    Desa Wisata Bali Mule Julah Kecamatan Tejakula

    Potensi wisata air dan sumber air alami pegunungan tidak saja telah terbangun sejak

    lama kolam renang air sanih Kubutambahan yang sudah banyak dikenal sejak lama, tetapi

    juga terdapat air terjun Gitgit, desa Gitgit kecamatan Sukasada yang merupakan sumber air

    terjun dari mata air pegunungan yang sejuk dan dingin, banyak wisatawan telah

    memanfaatkan sebagai sarana untuk mandi, tetpi tidak terlihat terdapat dukungan industri

    pariwisata yang kuat sebagai pendamping destinasi wisata tersebut, sehingga tidak

    menghasilkan nilai tambah bagi komunitas lokal di wilayah desa Gitgit tersebut. Hal ini tentu

    merupakan bagian terpenting dari inisiatif dan kebijakan pemerintah kabupaten Buleleng

  • tidak saja sebagai fasilitator, tetapi juga dapat melakukan pendampingan dan upaya

    pemberdayaan masyarakat dan komponen pengusaha lokal untuk bangkit memanfaatkan

    peluang destinasi wisata tersebut sebagai proses untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat

    disekitar lokasi destinasi wisata. ( lihat Gambat 5.2)

    Gambar 5.2

    Air Terjun Gitgit Kecamatan Sukasada Buleleng Tengah

    Potensi lain yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan

    destinasi wisata bernilai tambah adalah potensi alam pegunungan desa Pancasari dengan latar

    belakang danau Buyan, serta desa wisata Bali Handara dan sekitarnya (lihat Gambar 5.3).

    Alam pegunungan dengan panorama yang indah dapat menjadi kawasan wisata yang

    menjanjikan dimasa depan. Desa wisata Munduk yang dikemas melalui kombinasi alam

    pegunungan yang indah dengan budaya masyarakat setempat, ternyata mampu mewujudkan

    nilai jual yang sangat baik, dimana penduduk desa menerima manfaat atas kehadiran

    pariwisata sebagai sumber mata pencaharian diluar mata pencaharian sebagai petani.

  • Gambar 5.3

    Kawasan Wisata Desa Pancasari Sukasada Buleleng

    Kawasan destinasi wisata sawah terrace terdapat di desa Ambengan kecamatan

    Sukasada, serta desa Busungbiu kecamatan Banjar (lihat Gambar 5.4). Sebagaimana juga

    terdapat pada destinasi wisata yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya,

    destinasi wisata sawah terrace hanyak tampil sendirian sebagai obyek wisata, sehingga tidak

    menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat sekitar destinasi wisata bersangkutan. Komponen

    industri pariwisata yang lebih dan terabaikan, menyebabkan peluang nilai tambah yang

    seharusnya terbentuk dikawasan tersebut menjadi hilang tidak termanfaatkan.

    Penelitian ini dari awal mengajukan konsep pegembangan destinasi wisata berbasis

    komunitas lokal, dimana masayakat lokal bertindak menjadi pemilik atas industri wisata.

    Meskipun tidak mudah untuk diwujudkan, namun pengalaman dibanyak negara bahwa peran

    dan dukungan kebijakan pemerintah dapat bertindak melalui anggaran belanja melakukan

    pemberdayaan dalam rangka mewujudkan pariwisata berbasis kepemilikan masyarakat. Salah

    satu dari pendekatan strategi menuju pembangunan destinasi eisata berbasisi CBT tersebut

    adalah dengan mengkonstruksi industri komponen pendukung destinasi wisata yangselama

  • ini tidak tamak kehadirannya di pelbagai destinasi wisata di kabupaten Buleleng.

    Gambar 5.4

    Kawasan Sawah Teraserinf Busungbiu

    Kecamatan Banjar Buleleng Barat

    Kebeadaan pantai Loviba di barat kota Singaraja adalah atraksi wisata laut dengan

    dukungan atraksi ikan Dolpin merupakan potensi alam wisata yang unik dan bernilai jual

    tinggi. Gambar 5.5 menyajikan pentas ikan Dolpin yang menari-nari dipermukaan laut

    adalah atraksi wisata yang telah mampu ditampilkan sebagai obyek wisata yang sangat

    diminati wisatawan manca negara. Para wisatawan diajak ketengah laut sekitar 300 meter

    dari permukaan laut melalui sarana transportasi sampan nelayan yang sangat sederhana.

    Sebagimana juga ditemukan pada destinasi wisata pantai Lovina ini, bahwa kehadiran

    industri pendukung pariwisata tidak tampak seperti kehadiran handicraft produk kerajinan

    masyarakat Buleleng, serta tidak tersedianya pentas atraksi budaya lokal sebagai sajian

    alternative yang dapat dinikmati wisatawan.

  • Gambar 5.5

    Pentas Ikan Dolpin Kawasan Laut Pantai Lovina

    Kecamatan Banjar Buleleng Barat

    Potensi destinasi wisata di Buleleng barat menawarkan yang lebih spesfik dan bernilai

    jual tinggi, yaitu taman margasatwa Bali barat, situs terkemuka pura Pulaki, serta kawasan

    pulau Menjangan dengan pasir putih yang memukai serta habitat binatang menjangan

    sebagai penghuni utama pulau Menjangan.

    Gambar 5.6 menyajikan areal transportasi lokal dari kawasan Buleleng barat menuju

    pulau menjangan dengan angkutan sampan penduduk tradisional untuk mencapai sekitar 2

    km dari pantai daratan di desa Sumberkima menuju kawasan pulau Menjangan yang tidak

    berpenduduk tersebut.

  • Gambar 5.6 Kawasan Wisata Pulau Menjangan

    Buleleng Barat

    Berdasarkan uraian tentang profile potensi destinasi wisata yang tersebar di sembilan

    kecamatan di kabupaten Buleleng tersebut, diperoleh kesimpulan sementara bahwa destinasi

    wisata belum ditata secara maksimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah kesejahtraan

    bagi penduduk lokal. Kajian yang akan dikonstruksi adalah strategi pengembangan destinasi

    wisata community-based tourism (CBT) sebagaimana pendekatan konsep dan arah

    pengembangannya telah tersajikan pada BAB 3 kerangka piker penelitian ini.

  • 5.2 Uji Outer-model Persepsi Destinasi Wisata Berbasis CBT

    Model destinasi wisata berbasis CBT dikembangkan dengan sangat bergantung

    kepada daftar pertanyaan yang dirancang khusus menurut kebutuhan model teori yang

    melatar-belakanginya, sehingga terbentuk variabel laten sebagai alat ukur untuk menetapkan

    derajat kepekaan masing-masing variabel penunjang dalam membentuk destinasi wisata

    berbasis CBT (lihat Gambar 3.2 pada hipotesis penelitian BAB 3). Lampiran 1.1 sampai

    dengan Lampiran 1.2 menyajikan hasil penelitian lapangan tentang persepsi masyarakat

    disekitar destinasi wisata yang terpilih mewakili responden, para pengusaha lokal, yang

    mewakili konstruk modal social network, serta kolaborasi yang didukung oleh satuan pemuka

    tokoh masyarakat sebagai pengikat konstruksi kolaborasi yang menghubungkan antara

    variabel Infras (X1) yang mewakili dinamika partisipasi masyarakat yang berada disekitar

    destinasi wisata, variabel X3 (network) adalah responden pengusaha lokal yang bergelut di

    sektor industri wisata yang dilihat dalam dimensi potensi modal sosial mencakup linkage,

    trust dan norma.

    Sedangkan X2 adalah variabel commitment mencerminkan prilaku pengusaha non

    pariwisata dalam dimensi persepsi untuk mendukung kolaborasi dalam rangka penguatan

    basis industri pariwisata. Responden X2 dirumuskan sebagai komponen usaha lokal non

    pariwisata yang memiliki potensi memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan potensi

    kebersamaan dalam gerak dan langkah untuk mewujudkan community-based tourism yaitu

    tipe industry wisata berbasis kepemilikan dan partisipasi rakyat.

    Variabel Y1 adalah kolaborasi yaitu keberadaan tokoh masyarakat dan peran desa

    adat sebagai kekuatan informal sebagai persepsi dinamis yang menjadi penentu keberhasilan

    dalam memadukan potensi partisipasi pengusaha lokal dan masyarakat yang bermukim

    disekitar destinasi wisata yang akan menjadi penentu kebersilan pengembangan destinasi

    wisata berbasis komunitas. Terakhir, variabel Y2 adalah destinasi wisata berbasis CBT yang

  • mencerminkan dinamika pasar pengguna jasa destinasi wisata dengan memanfaatkan

    pramuwisata sebagai proksi atas permintaan jasa pariwisata. Pramuwisata adalah komponen

    penggerak pelayanan yang menjadi partner wisatawan yang berkunjung ke wilayah

    Buleleleng. Dengan demikian, diharapkan terdapat tali sambungan antara peran partipasi

    masyarakat, tokoh masyarakat dan pengusaha lokal dalam membangun kolaborasi pelayanan

    wisata disatu pihak, dengan dinamika pasar wisata yang dipersepsikan oleh para pramusisata

    sebagai wakil dari dinamika pasar pariwisata di wilayah kabupaten Buleleng.

    Hasil wawancara disampaikan dengan pengukuran skala Likert sebagaimana disajikan

    pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2, sedangkan pola distribusi sebaran data skala

    Likert disajikan pada Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran 1.5 dalam bentuk sajian grafik.

    Meskipun syarat distribusi normal tidak menjadi pertimbangan utama pada penelitian ini,

    namun pola sebaran data setidaknya dapat memberikan indikasi awal tentang arah dinamika

    persepsi responden yang diwawancarai. Ternyata sebagian besar data terpolakan pada sisi

    kiri dan sisi kanan, dengan sedikit terkonsentrasi ditengah. Hal ini menujukkan pola sikap

    responden dengan pandangan yang lebih banyak bersifat memilih ketimbang berpandangan

    netral (Skala 3).

    Penelitian ini membangun pemodelan persepsi dengan pengembangan outer-model

    sebagai focus konstruksi yang memuat didalamnya latent variable reflective dan latent

    variable formative, sehingga analisis yang memadai untuk dipetakan adalah pendekatan

    variance-based PLS. ( Ringers et al (2012), Hair et al (2013) serta Henseler (2010). Langkah

    pertama untuk menguji outer-model yang memenuhi syarat kecukupan untuk dapat diangkat

    ke tingkat lanjutan ke proses penyelesaian inner-model, adalah bahwa model reflective

    memiliki outer-loading yang memiliki syarat penyebaran nilai secara covary, sedangkan pada

    latent formative akan ditentukan sebaliknya ( Jarvis et al (2003).

    Penelitian juga melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kualitas data Likert

  • yang telah ditabulasi untuk kemudian diuji dengan mempergunakan pendekatan explanatory

    factor analysisi sebagaimana direkomendasikan oleh Cohen (1987) serta Tenenhous et al

    (2005). Dengan demikian, evaluasi data mempergunakan software SPSS versi 17 untuk

    menetapkan tahaoan pengujian KMO dan Barlet test, serta sebaran nilai correlation image,

    yang bermanfaat untuk melihat kualitas masing-masing indikator yang membentuk masing-

    masing variabel latent.

    5.2.1 Uji Latent Variabel Infras (X1) – Laten Reflective

    Uji analisis factor menunukkan nilai KMO relative rendah kurang dari 70% yang

    direkomendasikan, sehingga masih harus ditelusuri kualitas questionnaire, dengan

    kemungkinan terjadinya sampling error sebagai akibat dari daftar pertanyaan yang kurang

    dimengerti oleh responden. Jalan keluar untuk mendapatkan informasi sekitar kualitas

    indikator dalam membentuk latent variable X1, diperoleh melalui anti-image matrices,

    ternyata indikator X1.4 memiliki nilai jauh dibawah 0.50, sehingga harus dikeluarkan dari

    pembentuk indikator laten X1.

    KMO and Bartlett's Test

    Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .510

    Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 164.284

    Df 6

    Sig. .000

    Anti-image Matrices

    X1.1 X1.2 X1.3 X1.4

    Anti-image Covariance X1.1 .052 .051 .029 .085

    X1.2 .051 .075 -.033 .070

    X1.3 .029 -.033 .208 .082

    X1.4 .085 .070 .082 .174

    Anti-image Correlation X1.1 .494a .816 .276 .887

    X1.2 .816 .572a -.263 .612

    X1.3 .276 -.263 .783a .429

    X1.4 .887 .612 .429 .200a

    Hasil reduksi atas indkator pada variabel X1 menghasilkan kemajuan pada nilai KMO

  • menjadi 0.622 paling tidak medekati nilai 0.70 tetapi dengan perbaikan pada anti-image

    correlation dengan sebaran diatas 0.50. Dilihat dari criteria KMO, maka indkator X1.4 adalah

    titik lemah yang mengurangi kinerja prediksi atas variabel laten X1.

    Kriteria lain yang dapat dijadikan pedoma untuk menguji kualitas indikator X1.1

    sampai dengan X1.4 dalam membentuk latent X1 adalah uji reability, uji composite dan uji

    discriminant validity yang disajikan pada Lampiran 1. 12. Rekomendasi pengujian yang

    dianggap dapat mewakili ketiga uji indikator diatas adalah dengan melihat sebaran loading

    factor dari masing-masing indikator sebagaimana direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003),

    yaitu bahwa model latent reflective wajib memiliki sebaran loading factor yang covary (

    Jarvis et al (2003), Petter et al (2006).

    X1

    X1.1 X1.2 X1.3

    0.9640.613 0.967

    Gambar 5.7

    Loading Factor Latent Variable X1

    Ternyata outer-model yang membentuk latent variable X1 tidak memiliki sebaran

    yang covary terbukti dengan indikator X1.1 yang tidak memiliki kesejajaran loading factor

    dengan indikator X1.2 dan X1.3, sehingga pembentukan variabel laten X1 masih memiliki

    kendala karena tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan seagai variabel laten yang

    memiliki karakter reflective. Mengeluarkan X1.4 dari model ternyata belum maksimal

    sebagai upaya mengkoreksi model. Menghilangkan lebih banyak indikator tentu menjadi

  • beresiko karena akan menjauhkan model latent dari konstruksi teori yang dibangun sejak

    awal, karena metode SEM dan path dibangun berdasarkan confirmatory factor model ( Hair,

    2010). Dengan demikian, hasil analisis ini akan menjadi catatan bagi perbaikan teknik

    wawancara dan upaya menemukan responden yang lebh tepat fungsi, sehingga dapat direkam

    data persepsi yang lebh berkualitas.

    5.2.2 Uji Latent Variabel Commitment (X2) – Laten Reflective

    Uji analisis factor menunjukkan nilai KMO untuk variabel X2 adalah 0.773 yaitu

    syarat terpenuhinya bahwa variasi nilai X2 telah mendapat dukungan variasi informasi yang

    memadai dan layak untuk diteruskan ke analisis factor berikutnya. Analisis anti-image

    correlation menujukkan nilai korelasi seluruh indikator berada diatas 0.50 sehingga cukup

    memberikan dukungan atas kualitas data persepsi untuk diteruskan ke tingkat penyelesaian

    model SEM dan Path berbasis variance-based PLS.

    KMO and Bartlett's Test

    Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .773

    Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 198.651

    df 10

    Sig. .000

    Anti-image Matrices

    X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5

    Anti-image Covariance X2.1 .477 .034 .082 -.103 -.006

    X2.2 .034 .062 .051 -.035 .075

    X2.3 .082 .051 .090 .038 .014

    X2.4 -.103 -.035 .038 .302 -.071

    X2.5 -.006 .075 .014 -.071 .183

    Anti-image Correlation X2.1 .825a .197 .397 -.271 -.019

    X2.2 .197 .698a .679 -.258 .706

    X2.3 .397 .679 .786a .233 .113

    X2.4 -.271 -.258 .233 .868a -.302

    X2.5 -.019 .706 .113 -.302 .746a

    Hasil analisis dengan mempergunakan SmartPLS ver 2 diperoleh sebaran loading

  • factor sebagaimana disajikan pada Gambar 5.8. Ternyata untuk variabel X2 memenuhi syarat

    dimana loading factor dari semua indikator yang ada menyebar secara covary, sehingga

    memenuhi syarat uni-dimensional ( Petter, 2006), dimana menghilangkan sala satu dari

    indikator tidak akan berpengaruh kepada variabel latent lainnya dalam suatu hungan

    struktural.

    X2

    X2.1 X2.2 X2.3

    0.879 0.815

    X2.4 X2.5

    0.820 0.899 0.828

    Gambar 5.8

    Loading Factor Latent Variable X2

    5.2.3 Uji Latent Variabel Commitment (X3) – Laten Formative

    Berbeda dengan variabel laten reflective yang memiliki karaktek uni-dimensional

    dengan syarat indikator loading factor yang covary, maka untuk laten formative dimana

    indikator bertindak mempengruhi variabel laten X3, maka pada laten formative berlaku

    karakter multi-dimensional, dimana menggantikan salah satu dari indikator akan berdampak

    pada variabel laten lainnya dalam suatu hubugan model struktural. Pada model laten

    formative, pengukuran uji reability dan uji discriminate validity tidak berlaku, karena antar

    indikator tidak memerlukan syarat covary. Jika pada latent reflective berlaku syarat covary

    dengan sifat data hight multi-collinearity, maka pada laten formative, justru sebaliknya yaitu

    hubungan antar indikator tidak mengandung multi-collinearity. Dengan demkian, maka

  • indikator yang harus ditampilkan dari loading factor setiap indikator bersifat tidak covary.

    Uji KMO dan anti-image correlation menunjukkan informasi yang mendukung

    karakter laten formative yang multi-dimensional dimana KMO sebesar 0.149 dan anti-image

    correlation seluruhnya lebih rendah dari 0.50, menunjukkan bahwa antar indikator tidak

    menunjukkan gejala saling berhubungan satu indikator dengan indikator lainnya.

    KMO and Bartlett's Test

    Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .149

    Bartlett's Test of Sphericity

    Approx. Chi-Square

    265.072

    df 36

    Sig. .000

    Anti-image Matrices

    X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9

    Anti-image Covariance X3.1 .050 .045 .065 .037 .073 .034 .049 .057 .065

    X3.2 .045 .048 .070 .042 .072 .034 .049 .056 .062

    X3.3 .065 .070 .145 .068 .117 .052 .084 .099 .092

    X3.4 .037 .042 .068 .042 .066 .031 .045 .053 .058

    X3.5 .073 .072 .117 .066 .151 .055 .091 .099 .111

    X3.6 .034 .034 .052 .031 .055 .028 .032 .043 .048

    X3.7 .049 .049 .084 .045 .091 .032 .080 .067 .079

    X3.8 .057 .056 .099 .053 .099 .043 .067 .084 .081

    X3.9 .065 .062 .092 .058 .111 .048 .079 .081 .116

    Anti-image Correlation X3.1 .199a .915 .763 .813 .847 .913 .780 .875 .857

    X3.2 .915 .127a .839 .932 .848 .926 .798 .881 .828

    X3.3 .763 .839 .070a .875 .792 .811 .779 .893 .711

    X3.4 .813 .932 .875 .189a .827 .917 .778 .892 .827

    X3.5 .847 .848 .792 .827 .064a .846 .829 .875 .836

    X3.6 .913 .926 .811 .917 .846 .217a .680 .886 .854

    X3.7 .780 .798 .779 .778 .829 .680 .233a .822 .823

    X3.8 .875 .881 .893 .892 .875 .886 .822 .074a .819

    X3.9 .857 .828 .711 .827 .836 .854 .823 .819 .128a

    Bukti analisis KMO dan anti-image correlation yang diolah dengan software SPSS versi 17,

    ternyata searah dengan hasil analisis SmartPls melalui proses outer-model, dimana variabel

    X4 dinyatakan sebagai laten formative.

  • Hasil analisis latent formative sebagaimana disajikan pada Gambar 5.9 tidak

    mendukung analisis factor sebelumnya, bahwa ternyata loading factor yang dihasilkan

    memiliki karakter covary, dimana loading factor antar yang dihasilkan memiliki dimensi

    yang covary, padahal latent formative seyogyanya memiliki sebaran loading factor yang tidak

    covary. Lohlin (2005) menyarankan perlunya dilakukan prosedur second order yaitu dengan

    mengelompokkan indikator sedemikian rupa, tentunya dengan membagi kelompok indikator

    berdasarkan konstruksi teori yang membentuknya yaitu Z1 adalah linkage, Z2 adalah trust

    serta Z3 adalah norma, sehingga diperoleh tiga latent yang membentuk latent variable X3.

    X3

    X3.1 Y3.2 Y3.3

    0.863 0.920

    Y3.4

    0.940 0.813

    Y3.5

    0.825

    Y3.6 Y3.7 Y3.8 Y3.8

    0.8250.920 0.920

    0.920

    Gambar 5.9

    Loading Factor Latent Variable X2

    Prosedur second order formative ternyata menghasilkan pola penyebaran indikator

    yang memiliki karakter tidak covary, sehingga menjadi lebih layak untuk ditetapkan sebagai

    unit analisis untuk variabel network (X3). Gambar 5.10 adalah bentuk second order laten

    formative, dimana latent formative X3 dibentuk oleh kelompok latent Z1, Z2 dan Z3.

  • Z1

    X3.1 X3.2 X3.3

    0.2820.496 0.296

    Z2

    X3.4 X3.5 X3.6

    0.283 0.347 0.544

    Z3

    X3.7 X3.8 X3.9

    0.224 0.5160.354

    X3

    0.353 0.317 0.370

    Gambar 5.10

    Loading Factor Latent Variable X3

    Pengembangan model laten