Pendidikan Waldorf

8
Pendidikan Waldorf Rudolf Steiner (1861-1925) TUJUAN Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka. Ini artinya sangat dalam. Coba tanya pada diri sendiri apakah sepanjang usia kita ini kita sudah mengetahui apa makna kehidupan kita? Dalam menjalankan peran kita sebagai orang tua, guru, ataupun peran yang berkaitan dengan profesi kita, nilai dan manfaat apa yang sudah kita berikan bagi diri kita sendiri dan orang lain? Ketika kita kuliah, apakah tujuan kita hanya sekedar mendapatkan nilai baik untuk bisa diterima bekerja di suatu perusahaan? Ketika sudah bekerja apakah tujuan kita hanya uang dan karir? Atau bekerja dengan label demi kepentingan anak ataupun keluarga tetapi kemudian ternyata kita hanya menyuplai kebutuhan material mereka dan lupa bahwa anak dan keluargapun butuh waktu, perhatian, kasih sayang, dan pengasuhan serta pendidikan yang tepat? Coba tanya pada diri sendiri berapa jam dalam sehari kita punya waktu yang benar- benar didedikasikan pada anak kita? Benar-benar fokus mengobrol santai, bermain bersama anak, memasak untuk keluarga, dan kegiatan lainnya yang berfokus pada keluarga. Seringkali terjadi, karena orang tua kurang punya waktu untuk menambah ilmu (baca buku, ikut kegiatan parenting, ikut komunitas yang mendiskusikan masalah keluarga dan anak), maka “doktrin” yang kita berikan kepada anak adalah : “Sekolah yang rajin ya, supaya nilainya bagus.” Karena tujuannya adalah supaya nilainya bagus, segala cara akan ditempuh anak asalkan nilainya bagus. Termasuk misalnya copy paste tugas dari temen, browsing bahan tugas tanpa memperhatikan sumbernya bisa dipercaya atau tidak. Yang penting adalah nilai bagus, ilmunya dikuasai atau tidak, itu masalah nanti....

description

Materi ini merupakan materi yang dibahas dan didiskusikan pada acara rutin study group di Playgroup dan Taman Kanak-Kanak Jagad Alit-Waldorf tanggal 22 Agustus [email protected]

Transcript of Pendidikan Waldorf

Page 1: Pendidikan Waldorf

Pendidikan Waldorf Rudolf Steiner (1861-1925)

TUJUAN

Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri

mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka.

Ini artinya sangat dalam. Coba tanya pada diri sendiri apakah sepanjang

usia kita ini kita sudah mengetahui apa makna kehidupan kita? Dalam menjalankan

peran kita sebagai orang tua, guru, ataupun peran yang berkaitan dengan profesi

kita, nilai dan manfaat apa yang sudah kita berikan bagi diri kita sendiri dan orang

lain? Ketika kita kuliah, apakah tujuan kita hanya sekedar mendapatkan nilai baik

untuk bisa diterima bekerja di suatu perusahaan? Ketika sudah bekerja apakah

tujuan kita hanya uang dan karir? Atau bekerja dengan label demi kepentingan anak

ataupun keluarga tetapi kemudian ternyata kita hanya menyuplai kebutuhan material

mereka dan lupa bahwa anak dan keluargapun butuh waktu, perhatian, kasih sayang,

dan pengasuhan serta pendidikan yang tepat?

Coba tanya pada diri sendiri berapa jam dalam sehari kita punya waktu yang benar-

benar didedikasikan pada anak kita? Benar-benar fokus mengobrol santai, bermain

bersama anak, memasak untuk keluarga, dan kegiatan lainnya yang berfokus pada

keluarga.

Seringkali terjadi, karena orang tua kurang punya waktu untuk menambah ilmu (baca

buku, ikut kegiatan parenting, ikut komunitas yang mendiskusikan masalah keluarga

dan anak), maka “doktrin” yang kita berikan kepada anak adalah : “Sekolah yang

rajin ya, supaya nilainya bagus.”

Karena tujuannya adalah supaya nilainya bagus, segala cara akan ditempuh anak

asalkan nilainya bagus. Termasuk misalnya copy paste tugas dari temen, browsing

bahan tugas tanpa memperhatikan sumbernya bisa dipercaya atau tidak. Yang

penting adalah nilai bagus, ilmunya dikuasai atau tidak, itu masalah nanti....

Page 2: Pendidikan Waldorf

Tujuan dari pendidikan Waldorf,

Menghasilkan individu yang mampu, dalam diri dan dari diri

mereka sendiri, memberi makna bagi kehidupan mereka

dapat dicapai dengan memberikan pendidikan secara

menyeluruh, bukan hanya fokus pada intelegensia ataupun

kognitif anak saja tetapi melalui TANGAN, HATI, dan

KEPALA.

Apa yang dikerjakan oleh tangan, akan membangun

keinginan yang kuat yang berasal dari dalam dirinya

sendiri, (bukan karena orang lain) untuk mengerjakan

sesuatu (WILLING).

Apa yang meresap masuk ke dalam hati, akan dirasakan

oleh anak sebagai sesuatu hal yang menyenangkan

(FEELING).

Apa yang masuk ke dalam kepala, akan menstimulasi

proses berpikir anak (THINKING).

Integrasi (bukan hal yang terpisah-pisah) dari willing, feeling,

thinking melalui tangan, hati, dan kepala merupakan ciri khas

dari pendidikan Waldorf dalam memberikan pendidikan yang

utuh bagi anak sehingga nantinya mereka akan mampu

menemukan makna dalam kehidupan mereka.

Coba tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang dengan profesi/perkerjaan

tertentu yang “terpaksa” menjalankan profesinya karena tuntutan kebutuhan?

Bagaimana hasil pekerjaan mereka?

Page 3: Pendidikan Waldorf

Melalui pendidikan yang terintegrasi ini, anak akan mampu

menghasilkan sendiri sebuah solusi, bukan meniru solusi yang

sudah ada; mampu berpikir, bukan menghafal; melakukan

inisiatif (self motivation) bukan menunggu perintah.

Pendidikan yang menyeluruh ataupun terintegrasi ini diberikan

dengan memperhatikan perkembangan alamiah anak.

Berdasarkan perkembangan fisik dan psikologis anak, secara

umum, Rudolf Steiner membagi tahapan perkembangan anak

menjadi 3 kelompok usia, yaitu 0-7th, 7-14th, dan 14-21th.

Hal ini dikaitkan dengan tahapan perkembangan indera anak.

Steiner mengemukakan 12 indera yang fokus

pengembangannya berdasarkan ketiga kelompok usia tersebut.

Pada kelompok usia 0-7th, fokus pengembangan pada indera

tingkatan pertama (LOWER SENSES), yaitu indera peraba

(SENSE OF TOUCH), indera yang berkaitan dengan kesehatan

baik secara fisik ataupun psiklogis (SENSE OF LIFE), indera

gerak (SENSE OF MOVEMENT), indera keseimbangan

(SENSE OF BALANCE).

Pada kelompok usia 7-14th, fokus pengembangan indera

tingkatan kedua (MIDDLE SENSES), yaitu indera penglihatan

(SENSE OF SIGHT), indera penciuman (SENSE OF SMELL),

indera perasa (SENSE OF TASTE), indera yang berkaitan

dengan temperatur baik secara fisik maupun psikologis

(SENSE OF WARMTH).

Page 4: Pendidikan Waldorf

Pada kelompok usia 14-21th, fokus pengembangan pada indera

tingkatan ketiga (HIGHER SENSES), yaitu (SENSE OF

HEARING), indera bicara (SENSE WORD/SPEECH), indera

pemikiran (SENSE OF THOUGHT), indera individualitas

(SENSE OF EGO).

Perkembangan lower senses akan mempengaruhi perkembangan

higher senses, dimana higher senses ini bukan hanya berfokus

pada diri sendiri tetapi juga pada kehadiran orang lain.

Kemampuan mendengarkan orang lain, memahami perkataan

orang lain, empati terhadap orang lain.

Pada pendidikan Waldorf, proses pembelajaran sangat

memperhatikan kemampuan anak berdasarkan usianya.

Anak usia 0-7th belajar melalui proses imitasi dari apa yang ia

lihat (IMITATION). Anak usia ini akan melihat dan menyerap

segala sesuatunya sebagai suatu hal yang baik yang ada di

dunia ini. Mereka akan meniru apa yang mereka lihat karena

mereka menganggap semua yang dilihat adalah hal yang baik

untuk ditiru (ketika kita melakukan hal yang buruk, maka anak

tetap akan menirunya).

Anak usia 7-14th belajar melalui proses imajinasi

(IMAGINATION).

Usia 14-21th belajar melalui proses pemberian nilai

(JUDMENT) .

Page 5: Pendidikan Waldorf

Agar tujuan pendidikan tercapai melalu proses pembelajaran

yang berpihak kepada anak, maka semua yang telah diuraikan di

atas tadi dilaksanakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang

mengikuti/selaras dengan ritme kehidupan (RHYTHM),

kegiatan-kegiatan yang diulang-ulang selama rentang waktu

tertentu sehingga menjadi sesuatu yang melekat

(REPETITION), dan dilaksanakan dengan cara yang sangat

menghormati/menghargai anak sebagai makhluk spiritual

(REVERENCE).

Gambaran keseharian anak di Playgroup/TK Waldorf yang

mencerminkan hal-hal yang diuraikan di atas tadi :

Ritme harian disusun selaras dengan ritme kehidupan siang dan

malam, ritme tubuh menghirup udara (BREATHING IN) dan

menghembuskan udara (BREATHING OUT)

Anak datang dan disambut oleh guru. Guru menatap anak

dengan hangat, tersenyum dan menyalami anak satu persatu

(reverence). Pada saat menyalami anak, guru dapat merasakan

mood anak melalui genggaman tangan dan ekspresi muka anak.

Setelah anak menyimpan perlengkapannya, anak bermain bebas

(FREE PLAY) di luar atau di dalam ruangan. Free play adalah

bermain bebas tanpa arahan atau instruksi dari guru. Hal ini

dilakukan untuk menumbuhkan WILLING. Sementara anak

bermain bebas, guru tidak “ikut campur,” guru mengerjakan

pekerjaan lain yang “bermakna,” misal menyirami

tanaman,menyapu, merapikan sesuatu, dll. Ingat, anak akan

Page 6: Pendidikan Waldorf

meniru. Dan tentunya kita mengharapkan anak meniru hal-hal

baik. Free play merupakan kegiatan BREATHING OUT,

menyalurkan energi anak. Free play ini sangat penting untuk

menstimulasi SENSE OF TOUCH, SENSE OF LIFE, SENSE

OF MOVEMENT, SENSE OF BALANCE. Tanpa kita sadari,

anak belajar banyak ketika melakukan free play.

Setelah itu biasanya, kita melakukan circle time. Anak

berkumpul dalam lingkaran untuk melakukan gerakan olah

tubuh ataupun finger play yang disertai dengan nyanyian

ataupun kata berima atau bahkan disertai dengan bercerita

sambil melakukan beberapa gerakan yang sesuai dengan jalan

ceritanya. Circle time merupakan kegiatan BREATHING IN,

dimana kegiatan ini membutuhkan fokus dan konsentrasi anak.

Demikian seterusnya semua kegiatan disusun berdasarkan ritme breathing in dan

out atau sebaliknya secara berselang seling, sehingga anak tidak akan merasa

kehabisan energi ataupun merasa bosan dan letih.

Kegiatan selanjutnya adalah snack time. Snack disiapkan oleh

guru dan anak. Anak ikut memotong buah atau sayuran,

membuat adonan roti, menyiapkan piring, dll. Di sekolah

Waldorf, aktivitas “rumah tangga” adalah hal yang penting

diperkenalkan kepada anak.

Setelah anak selesai menikmati snack sehat, aktivitas

selanjutnya adalah free play. Sekali lagi, free play menjadi

bagian yang sangat penting. Mainan yang digunakan adalah

mainan sederhana dari bahan-bahan natural, misal mainan kayu,

Page 7: Pendidikan Waldorf

boneka dengan bahan natural, ranting, kerang, potongan kayu,

kain-kain dari bahan natural, dll. Open ended toys seperti ini

akan dapat mengembangkan imajinasi anak, karena potongan

kayu misalnya dapat menjadi sebuah perahu, jembatan, kursi,

dan yang lainnya tergantung imajinasi.

Kali ini, guru biasanya mengerjakan hal baik berupa kegiatan

seni dan kerajinan. Misal melukis (di TK Waldorf, melukis

dengan teknik wet on wet dan bukan menggambar bentuk),

merajut dengan jari, atau beeswax modelling (seperti membuat

bentuk dengan playdough). Biasanya anak akan menghampiri

guru dan kemudian mereka ingin melakukannya. Sekali lagi, ini

akan membangun WILL anak. Melakukan sesuatu dari dalam

diri mereka sendiri, tanpa disuruh.

Sebelum pulang, anak mendengarkan cerita (storytelling bukan

storyreading). Cara bercerita di Waldorf berbeda dengan yang

biasanya kita lihat. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf

adalah terutama untuk mengembangkan IMAJINASI dan

menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa, sehingga nantinya

anak akan merasakan keindahan bahasa dalam sebuah cerita

yang akan menjadikan mereka sebagai anak yang cinta

membaca. Tujuan bercerita di sekolah Waldorf bukan untuk

entertaining, sehingga cerita disampaikan dengan suara dan

intonasi yang tenang dan ekspresi wajah guru adalah ekspresi

yang natural. Bercerita biasanya juga dilakukan dengan

menggunakan boneka ataupun properti sederhana lainnya

seperti batu-batuan, ranting, daun, dll. Boneka yang digunakan

juga sederhana, tanpa mata, hidung, telinga, mulut. Ini

dilakukan agar anak bisa berimajinasi sendiri. Boneka bisa

Page 8: Pendidikan Waldorf

menggambarkan karakter yang sedang senang ataupun sedih

sesuai dengan jalan ceritanya.

Perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dilakukan

secara “lembut,” biasanya menggunakan nyanyian yang

mengajak anak dan juga melalui contoh tindakan, bukan dengan

seruan atau perintah. Misal ketika selesai bermain, guru

membereskan mainan sambil bernyanyi dan biasanya anak-anak

sudah tahu bahwa itu tandanya waktu bermain sudah selesai.

Karena hal yang seperti ini dilakukan berulang-ulang setiap

harinya REPETITION, maka tanpa disuruh, anak akan

mengikuti guru membereskan mainan. Anakpun akan menangkap

kesan bahwa aktivitas membereskan mainan adalah sesuatu hal

yang menyenangkan karena guru melakukannya dengan

bernyanyi, ekspresi wajah yang menyenangkan dan

membereskan mainan tidak dilakukan dengan terburu-buru.

Kira-kira demikian gambarannya....

Salam!

Kenny Sidkar

www.jagadalitschool.blogspot.com

www.tokecangtoys.com