PENDIDIKAN KONTEKSTUAL EKONOMI ISLAM : UPAYA … file · Web viewA. PENDAHULUAN. Sejak masa...
Transcript of PENDIDIKAN KONTEKSTUAL EKONOMI ISLAM : UPAYA … file · Web viewA. PENDAHULUAN. Sejak masa...
BAB I
A. PENDAHULUAN
Sejak masa kenabian pendidikan di bidang ekonomi merupakan kebutuhan
yang utama. Perhatikan bagaimana Nabi Muhammad ketika muda mendapat
didikan oleh pamannya, Abu Thalib, sehingga memiliki kecerdasan dan
keterampilan profesional dalam urusan ini. Tak heran jika tahapan kesuksesan
beliau begitu menjulang.
Berdasarkan ekonografi Rasulullah SAW, pada umur 12 tahun beliau
sudah mulai aktif sebagai eksportir ke Syam. Di usia 17-19 tahun beliau sudah
menjadi Pengusaha yang mandiri. Beranjak ke usia 22 tahun, beliau telah sangat
terkenal di Jazirah Arab sebagai seorang profesional. Kemudian di usianya yang
ke-25 tahun, beliau menikahi Siti Khadijah dengan mahar 20 Ekor Onta.
Mahar tersebut menunjukkan kemapanan beliau sebagai eksekutif muda
yang sukses dalam perjalanan bisnisnya memimpin kafilah dagang ke
Mancanegara. Menjelang usia kenabian, beliau mendapat gelar Pengusaha
Terpercaya (“Al Amin”), Tokoh Arbirtrer & Konsultan Dagang Internasional.
Suatu “sertifikasi” paling prestisius di masanya. Bahkan beliau telah berbisnis
hingga ke 17 Negara.
Motivasi yang sedemikian tentu bukan lantaran pengejaran status dan
keuntungan semata. Dalam sejarah para Nabi, Utusan-utusan Allah SWT
senantiasa melakukan dakwah ekonomi mengiringi dakwah ketauhidannya. Hal
ini karena Islam adalah agama yang syamil mutakammil1, ajarannya meliputi
seluruh aspek kehidupan. Permasalahan akidah tidak hanya urusan ibadah ritual,
melainkan sebaliknya setiap aktivitas manusia masuk dalam kategori bentuk
ibadahnya kepada Allah.
1 Syamil mutakammil menjelaskan bahwa Syariah bukan hanya bersifat menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Komprehensif sendiri berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). (lihat: Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori ke Praktik (Gema Insani Press, 2001), hlm.4)
1
Simak saja kisah mengenai kaum Nabi Syu’aib dalam Al-Qur’an, Surah
Hud ayat 84 dan 85.
84. Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi
takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan
Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."
85. Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat
kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Pada ayat tersebut terlihat bahwa ajakan Nabi Syu’aib kepada kaumnya
untuk menyembah Allah hanya dalam satu kalimat. Sedangkan kalimat
selanjutnya hingga akhir adalah permasalahan ekonomi. Hal ini menunjukkan
betapa besar perhatian Islam terhadap urusan muamalah maaliyah umatnya.
Demikian pula dalam konteks kekinian, krisis global yang baru terjadi
merupakan pertanda lemahnya perekonomian umat sehingga perlu penataan
sebagaimana mestinya. Kerapuhan sistem kapitalis, telah berkali-kali
menunjukkan kenyataan yang pahit. Bahwa sistem bunga yang selama ini dianut,
tidak memberikan apa-apa kecuali lingkaran krisis yang tak berujung.
Bagaimana tidak, dalam konsepnya jika perekonomian membaik maka
bunga akan turun, dampaknya tabungan dan mata uang lokal juga akan menurun.
Namun di sisi lain investasi akan meningkat, seiring dengan itu, permintaan dan
konsumsi juga naik sehingga menaikkan laba perusahaan dan indeks di bursa.
2
Pada konteks makro, hal tersebut menurunkan tingkat pengangguran sehingga
daya beli pun meningkat. Namun lagi-lagi terjadi dilema, karena hal ini akan
mendorong kenaikan harga dan inflasi serta menyebabkan kontraksi.
Jika terjadi kontraksi, bunga akan naik, kemudian tabungan dan rupiah
akan naik mengikuti. Sebaliknya dari kasus ekspansi yang disebutkan di awal, di
sini investasi, permintaan dan konsumsi akan turun dan seterusnya hingga
menurunkan daya beli dan tingkat harga. Hal ini akan memacu penurunan inflasi.
Inflasi turun, bunga pun diturunkan dan seterusnya siklus ini akan terus berulang
antara boom dan resesi, tanpa ada satu kondisi di mana terjadi keseimbangan
perekonomian2.
Hal inilah yang menjadi perhatian utama ekonomi Syariah. Yakni untuk
membangun keseimbangan antara sektor riil dan moneternya. Inti kajiannya
bukan sekedar pengharaman bunga atau riba, tetapi meliputi segenap sistem
secara keseluruhan, baik itu fiskal, keuangan, voluntary ataupun commercial.
Bagaimanapun, ekonomi Islam merupakan ekonomi yang dinamis dan
berkembang. Saat ini estafeta konsep, teori, dan aplikasinya masih dalam proses
dan belum baku. Oleh karena itu, pendidikan ekonomi Islam harus memiliki
metode khusus, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan itu sendiri.
BAB II
B. TELAAH PUSTAKA
2 Konsep demikian menimbulkan apa yang disebut sebagai bubble economy. Perekonomian yang menggelembung seolah-olah memberikan gambaran pertumbuhan tingkat kesejahteraan tetapi justru kondisi ini sangat berbahaya karena peningkatan ukuran ekonomi tidak lahir dari transaksi riil barang dan jasa, melainkan hanya dari instrumen-instrumen efek dan penggelembungan utang.
3
Tujuan Pendidikan
Dosen
Pendekatan – Metode – Teknik
Mahasiswa
Alat Bantu Pengajaran(alat Bantu pelajaran, media, alat peraga)
2.1 Definisi Pendidikan
Secara teori, pendidikan berbeda dengan pengajaran yang dalam bahasa arab
disebut taalim, sementara pendidikan disebut tarbiyah3. Pengajaran meliputi
proses belajar mengajar atau proses menuntut ilmu yang melibatkan pengajar,
murid, sarana dan metode pembelajarannya sehingga peserta didik menjadi ‘alim
– berilmu pengetahuan.
Pendidikan sendiri merupakan proses mendidik yang melibatkan
penerapan nilai-nilai. Di dalamnya terdapat proses pemahaman, penghayatan,
penjiwaan dan pengamalan. Sehingga hasil dari pendidikan ini adalah
menyangkut gaya hidup peserta didik (meliputi akhlak dan cara menyikapi
keadaan).
Namun kita tidak bisa mendidik tanpa memberi ilmu, dan begitu pula
sebaliknya, kita tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran tanpa
pendidikan akan menghasilkan masyarakat yang cerdas tetapi rusak akhlaknya.
Masyarakat yang maju di berbagai bidang tetapi tidak peduli terhadap sekitarnya.
Sebaliknya mendidik saja tanpa memberi ilmu akan menghasilkan individu yang
baik tetapi tidak berguna di tengah masyarakat. Sehingga dalam proses
membangun dan membina, pengajaran dan pendidikan sama-sama penting.
Demikian pula sinergi setiap elemen pendidikan dalam proses pencapaian tujuan
pendidikan itu sendiri, dibutuhkan paduan pendekatan, metode dan teknik yang
secara bersama-sama dijalankan dalam proses pendidkan tersebut.
Diagram 1. Proses Pencapaian Tujuan Pendidikan
3 Dalam pembahasan tarbiyah sebagai suatu makna dari pendidikan, dapat mencakup pengertian umum dan secara khusus sesuai konteksnya. Namun, secara umum kalangan akademis telah bersepakat bahwa tarbiyah (pendidikan) pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang membahas tentang tujuan pengembangan individu dengan metode dan media yang sesuai. (lihat: DR. Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani (Gema Insani Press, 2000), hlm 19-21)
4
Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya, Yogyakarta: Kanisius, 1992,
hlm. 21.
2.2 Tujuan Pendidikan Ekonomi Islam
Dalam konteks ekonomi Islam kajiannya akan lebih spesifik. Bagaimana
suatu pendidikan yang baik akan menghasilkan seorang Umar bin Abdul Azis
yang cerdas mengatasi krisis seperti pendahulunya sang Khalifah Umar ibnu
Khattab. Pendidikan dan pembelajaran yang Umar lakukan telah banyak dan
sepatutnya menginspirasi metode pendidikan saat ini agar dapat melahirkan
generasi-generasi yang serupa.
Bahkan dalam suatu riwayat terkait tentang pentingnya pendidikan
ekonomi Syariah menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra. berkeliling
pasar, dan berkata :
الدين في تفقه قد من اال سوقنا في يبع ال “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang telah mengerti fiqh
(muamalah) dalam agama Islam”. (H.R.Tarmizi)
5
Penekanannya sangat jelas bahwa dalam mengembangkan harta, berinvestasi dan
berbisnis, serta kegiatan ekonomi lainnya tidak boleh sekehendak hati, tetapi
harus sesuai petunjuk agama (ad-din).
Demikian arahan pendidikan ekonomi Islam adalah untuk mempelajari,
mendalami dan mengeksplorasi serta mengembangkan kaidah-kaidah Islam dalam
bermuamalah. Sehingga dapat menemukan pemecahan atas persoalan ekonomi
yang terjadi di masyarakat, bukan sekadar menghidarkan diri dari hal-hal yang
syariat larang. Maka, jika dalam metode pengajaran secara luas, outputnya adalah
seorang ’alim (dibaca: berilmu), maka pada kasus pendidikan ekonomi Islam,
tujuannya adalah melahirkan ekonom-ekonom mujtahid.
Disebut ekonom, sebab ia mendalami dan mengembangkan ilmu ekonomi
baik secara tekstual maupun kontekstual. Dinamakan mujtahid, karena ia turut
mengeksplorasi khazanah ilmu syariah seperti ushul fiqh, tarikh tasyri’, fiqh
muamalah, dan lain-lain, dalam mendukung perekonomian yang searah dengan
maqasid syariahnya.
Nampaknya hal tersebut mungkin sulit pencapaiannya saat ini, tetapi
dengan metode pendidikan yang komprehensif dan terintegrasi, ke depan
pendidikan bervisi sedemikian dengan izin Allah SWT bukanlah impian. Upaya
tersebut diantaranya dengan mewujudkan pendidikan ekonomi syariah yang mulai
dirintis sejak tingkat dasar hingga menengah. Bahkan di awal Januari 2009 juga
telah mulai diangkat inisiasi pemberian pelajaran ekonomi Islam di seluruh
madrasah di Indonesia.
Meskipun tertinggal jauh dengan Malaysia yang telah mengajarkan
ekonomi Islam pada tingkatan SMU sejak lebih dari 20 tahun lalu. Inisiatif seperti
yang dilakukan Pemerintah Kota Tasikmalaya, Yayasan Perguruan Al-Azhar, dan
baru-baru ini akan mulai dirancang untuk seluruh sekolah Yayasan
Muhammadiyah, sangat layak diapresiasi dan diteladani oleh semua pihak, baik
pemerintah maupun swasta. Agar menjadikan pendidikan ekonomi Islam sebagai
pelajaran wajib dan memberikan dukungan terhadap pengajaran subjek tersebut.
Bentuk dukungannya bisa beragam mulai dari penyediaan pelatihan, sarana dan
prasarana hingga penerbitan buku-buku penunjang. Sebagaimana telah dipelopori
6
oleh beberapa lembaga pendidikan seperti STEI SEBI dengan penerbitan buku
penunjang hingga tingkat sekolah menengah (SMP dan SMA). Hal demikian
menunjukkan pentingnya pendidikan sejak usia dini, karena sejatinya mempelajari
ekonomi Syariah merupakan tahapan pendidikan yang bersinergi sesuai dengan
tahapan tingkat pendidikan (lihat diagram 2).
Pembelajaran ushul fiqh misalnya, atau fiqh muamalah, memerlukan
waktu dan pengetahuan dasar lainnya yang cukup untuk dapat memahami dan
mengeksplorasinya. Sehingga metodenya pun membutuhkan model yang khusus
untuk menjaga kualitas mutu pendidikan.
Diagram 2. Peran Pendidik dan Peserta Didik dalam Setiap Tahapan
Tingkatan Pendidikan
Sumber : Drs. A. Samana, M.Pd., Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya, Yogyakarta: Kanisius, 1992,
hlm. 20.
BAB III
METODE PENULISAN
Peran Pendidik
Peran Peserta Didik
SD SMP SMU PT
7
3.1 Metode Penulisan
Penulisan dilakukan mengikuti metode deskripsi-eksplorasi yang benar
dengan menguraikan secara cermat cara/prosedur pengumpulan data dan atau
informasi, analisis-sisematis, mengambil simpulan, serta merumuskan saran atau
rekomendasi penulis juga menggunakan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving) serta pendekatan studi kepustakaan. Pendekatan studi
kepustakaan dilakukan dengan mengamati, mencermati termasuk mengevaluasi
tulisan – tulisan mengenai topik tersebut.
3.2 Prosedur Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data sekunder.
Data sekunder, data yang diperoleh dan bersumber dari literatur, karya ilmiah
yang dipublikasikan serta informasi dari instansi yang ada kaitannya dengan
penelitian ini.
Pengumpulan data melalui sekunder ini dimaksudkan untuk mendapatkan
informasi yang relevan dengan tujuan penelitian .
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
(MENUJU PENDIDIKAN KONTEKSTUAL)
8
4.1 Inspirasi Metode Pembelajaran Aktif
Ketika membicarakan model pendidikan yang sesuai untuk ekonomi Islam,
seringkali sebagian kita beranggapan bahwa pengajarannya akan terbatasi pada
kajian fikih muamalah. Padahal sesungguhnya kajian kesyariahan bukanlah
batasan, melainkan arahan menuju pasar yang adil dan kehidupan yang seimbang.
Sebagaimana definisi bahasanya, bahwa syariah merupakan jalan menuju sumber
mata air. Sehingga pada praktik pengajarannya juga sangat dinamis, dalam hal ini
struktur pembelajaran aktif (active learning) dapat pula menjadi inspirasi bagi
pendidikan ekonomi Islam.
Gambar 1. Struktur Active Learning
Elements
talking and listening
writing
reading
reflecting
Learning Strategies
small groups cooperative work case studies simulations
discussion teaching problem solving journal writing
Teaching Resources
Readings homework assignments outside speakers
Teaching technology prepared educational materials commercial and educational television
Sumber : Meyers, Chet, date, Promoting active learning : strategies for college classroom, New York: Jossey-Bass Inc., Publishers, hlm. 20.
Perhatikan, misalnya konsep urf dalam metodologi ushul fiqh4.
Keberadaan konsep ini sebagai dalil, memperlihatkan kedinamisan dan problem-
solving oriented yang menjadi ciri pendidikan ekonomi Islam. Bagaimana dengan
urf, diperbolehkan misalnya muzara’ah, mudharabah, dan adanya penggunaan
4 Ushul fiqh merupakan metode pengambilan (istinbath) hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadis, serta metode ijtihad lainnya. Urf sebagai salah satu metodenya berlandaskan pada kebiasaan baik yang telah terjadi di masyarakat. Pengambilan urf sebagai dalil memberikan suatu keabsahan diterimanya adat atau kebiasaan (baik) tersebut dalam Syariah.
9
uang di berbagai negara yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. Seperti
halnya pembolehan penggunaan dinar dan dirham yang sebenarnya berasal dari
Romawi dan Persia.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam mempelajari Syariah, seorang Muslim
harus juga memahami kontekstual dari tujuan Syariah itu sendiri. Karena Syariah
bukanlah sekadar suatu kaidah ansich yang tidak bisa diperluas sesuai dengan
kebutuhan dan maslahahnya. Melainkan suatu metodologi pemecahan masalah5
yang dalam implementasinya dapat berkembang sesuai dengan kondisi zaman.
Kecuali terkait masalah ibadah.
Patut kita contoh keteladanan Umar bin Khattab misalnya dalam
melakukan reformasi moneter di zamannya6. Beliau tidak semata berpaku pada
apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW dalam menjalankan perekonomian,
tetapi juga secara kebutuhan melakukan pengembangan. Bahkan Umar sempat
mengusulkan penciptaan mata uang dari kulit onta, di samping pengharaman
memperdagangkan uang dan penimbunan. Sebab, beliau sangat mengerti bahaya
kenaikan harga dan turunnya daya beli (inflasi).
Dengan demikian, pendidikan ekonomi Islam haruslah berlandaskan
secara kuat pada Al-Qur’an dan Hadits, serta dalil-dalil syar’i lainnya. Namun
juga diiringi dengan kajian kontekstual yang berorientasi pada pemecahan
masalah kekinian. Sehingga tujuan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin dan tujuan
penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dapat tercapai.
Akan tetapi, kajian kontekstual ini sepatutnya mendorong kita untuk terus
berinisiatif, kreatif dan solutif melihat kondisi masyarakat dengan terus menggali
khazanah keilmuan Islam. Bukan malah terjerumus meninggalkannya dan
mengikuti logika semata. Batasan-batasan Syariah harus tetap dipegang. Sebab
5 Lihat Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan (Serambi, 2005), hlm. 98-117). Salah satu paparan beliau, adalah penekanan bahwa syariah bukanlah teologi, melainkan perpaduan antara hukum, etika dan metodologi. Menurut beliau, kita dapat menarik pelajaran dari cara para imam madzhab menerapkan ketiganya dalam situasi tertentu pada masa mereka. Tetapi tidak ada cara yang lebih baik bagi kita selain mencari jawaban terhadap persoalan kita sendiri. Karena setiap zaman memiliki persoalan baru yang unik dan tak dapat dijawab (dengan hanya) bentuk-bentuk pemecahan tradisional. Bukan berarti syariah perlu “dimodernkan”, melainkan harus dipahami berdasarkan terminologinya sendiri. 6 Reformasi Moneter yang dilakukan Umar bin Al-Khatab lebih lanjut dapat meninjau DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khatab,(Khalifa, 2006), hlm. 325-340.
10
tidak boleh berijtihad tanpa ilmu, tanpa ada dalil qath’i yang mendasari.
Penggabungan metode tekstual dan kontekstual ini adalah untuk menghindari
kejumudan pemikiran, untuk terus mengembangkan ekonomi Islam yang masih
senantiasa berproses. Padahal kebutuhan terhadapnya terus meningkat. Sedangkan
kejumudan merupakan kemunduran yang besar.7
Perkembangan pendidikan ekonomi Islam sendiri telah menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan, baik nasional maupun internasional. Telah
banyak perguruan tinggi di Negara-negara Eropa, membuka program formal di
bidang ekonomi islam seperti islamic economics, banking, dan finance. Mereka
juga memiliki forum pertemuan ilmiah baik seminar atau lokakarya rutin
membahas ekonomi islam. Seperti University of Loughborough dan University of
Durham di Inggris yang membuka program S2 dan S3. Bahkan Harvard
University di Amerika Serikat selalu menyelenggarakan annual international
forum on Islamic economics and finance.
Di tanah air, juga tak kalah berkembang, beberapa lembaga pendidikan telah
fokus menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) seperti STEI SEBI, STEI
Tazkia dan STIS Yogyakarta. Demikian pula beberapa universitas besar yang
menawarkan konsentrasi ekonomi syariah, Magister atau Pasca sarjana bahkan
hingga program Doktoral seperti Universitas Indonesia, Universitas Airlangga,
Trisakti, IPB, UIN Jakarta, UIKA Bogor dan sebagainya. Belum lagi potensi
peningkatan jumlah sumber daya manusia untuk pengembangan ekonomi Islam
yang akan semakin bertambah. Menurut Prof. DR. Suroso (2009), untuk program
Doktoral saja terdapat potensi sebanyak 2596 orang, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Potensi Peminat Program Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi
Islam di Indonesia Tahun 2005 – 2015
No. PotensiDEPDIKNAS DEPAG
JUMLAHPTN PTS PTAIN PTAIS
7 Meskipun sangat kita sadari bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi yang telah menyelenggarakan program ekonomi Islam saat ini menemukan banyak kendala seperti belum adanya kurikulum, metode pembelajaran, dan bahan ajar yang terstandar. Namun, poin usulan yang disampaikan pada paper ini, adalah pendekatan dalam melakukan pengajarannya. Sehingga walaupun secara teknis kurikulumnya mungkin berbeda, tetapi pendekatan yang dilakukannya relatif sama. Yaitu pendekatan yang berbasis penelitian solutif aplikatif dengan menggunakan metode kontekstual tersebut.
11
1 Jumlah Perguruan Tinggi 87 2391 18 520 3016
2 PT yang berminat 75 956 18 520 1569
3 Mahasiswa 375 956 54 520 1905
4 Mhs. Non PT (10%) 38 96 5 52 191
5 Jml. Mhs (3+4) 413 1052 59 572 2096
6 Pondok Pesantren - - - 500* 500*
7 Total 413 1052 59 1072 2596 Catatan : *Jumlah pondok pesantren besar di Indonesia sekitar 5.000 unit, yang mampu
mengirimkan mahasiswa ke Program Doktor Studi Ilmu Ekonomi Islam dalam
jangka pendek baru sekitar 10% saja atau sebanyak 500 orang.
- BPS Statistik Indonesia 2005/2006
- DEPDIKNAS dan DEPAG, Ditjen Pendidikan Tinggi, disusun dan diolah kembali.
Sumber : Makalah Prof. DR. H. Suroso Imam Zadjuli, SE, Sistim Pendidikan dan
Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam
Rangka Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam Festival
Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari 2009.
Dengan semakin banyaknya sumber daya manusia yang terdidik dengan
ekonomi Islam, disertai metode pengajaran yang mengarahkan para peserta didik
kepada pemenuhan kebutuhan bagi pengembangan ekonomi Indonesia melalui
ekonomi Syariah, diharapkan kondisi perekonomian Indonesia semakin membaik.
Tabel 1. Kebutuhan Sumber Daya Insan di Indonesia dalam Jangka
Menengah dan Jangka Panjang sampai dengan tahun 2035
No. LulusanJumlah (orang)
Jangka Menengah
Jangka Panjang
1 Doktor Ilmu Ekonomi Islam 2.596 8.400
2 Magister Sain/Magister Manajemen 5.192 16.770
12
dalam Ilmu Ekonomi Islam
3 Sarjana Ilmu Ekonomi Islam 10.384 33.540
4 Diploma 3 Syariah 20.768 67.080
Jumlah 38.940 125.790
Sumber : Makalah Prof. DR. H. Suroso Imam Zadjuli, SE, Sistim Pendidikan dan
Ekonomi Islam Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam
Rangka Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam Festival
Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari 2009.
4.2 Urgensi Kajian Kontekstual Ekonomi Islam bagi Masa Depan Indonesia
Langkah mendasar dalam meningkatkan perekonomian Indonesia adalah dengan
membenahi pendidikan generasi bangsa. Krisis dan kerapuhan sistem ekonomi
yang kita hadapi saat ini sedikit banyak merupakan pengaruh dari sistem
pengajaran ilmu ekonomi yang keliru yang berasal dari warisan barat berideologi
kapitalisme yang memiliki cacat bawaan (epistemological rupture) sehingga tidak
dapat menjadi langdasan dalam membangun ilmu sosial yang kokoh .
Pengaruh Eropa terhadap ekonomi Indonesia sangatlah besar sejak
sebelum kemerdekaan Negara ini terbentuk. Termasuk pada filosofi kebolehan
pengenaan bunga yang mereka bedakan menjadi interest dan usury8. Menurut
mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga
yang berlebihan (riba). Hal ini dibawa oleh kolonial belanda ke Indonesia yang
menjajah selama 350 tahun dan sistem riba itulah yang diterapkan di bumi
Indonesia sampai sekarang. Akibatnya banyak rakyat Indonesia yang memiliki
paradigma pemikiran seperti orang-orang Eropa (Belanda) yang membolehkan
bunga bank karena kurangnya pemahaman tentang ilmu moneter.
8 Sebagian ulama yang mendukung kebolehan interest karena dianggap tidak berlebihan, mendasari juga pendapatnya pada surat Ali Imran ayat 130 tentang pelarangan pengambilan riba yang berlipat ganda. Namun, dalam memahami ayat ini haruslah cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba. Sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.
13
Sehingga wajar apabila keberadaan perbankan syariah di awalnya belum
mendapat perhatian besar dari masyarakat. Sebab perubahan paradigma memang
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, metode pendidikan
yang khusus dan sosialisasi yang gencar serta komprehensif harus terus menerus
dilakukan. Bangsa Indonesia sudah waktunya memiliki konsep perekonomian
yang sesuai dengan budaya masyarakatnya, yang memiliki sistem yang
berkeadilan, mendorong sektor riil khususnya UMKM, dan menciptakan
keseimbangan ril dan moneter.
Indonesia dapat menggunakan beragam instrumen ekonomi Syariah untuk
melakukan pengembangan perekonomian tanpa beban utang yang melilit. Mulai
dari penggunaan perbankan berbasis bagi hasil untuk menggiatkan sektor riil,
pemberdayaan zakat sebagai instrumen kebijakan fiskal, penerbitan sukuk sebagai
sumber dana pembiayaan infrastruktur, dan sebagainya.
Bahkan pemerintah juga dapat memanfaatkan voluntary sector untuk
mengembangkan perekonomian. Sebut saja dengan pemberdayaan wakaf
produktif. Gunawan (2007) menggambarkan jika asumsi jumlah penduduk
Muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10 juta orang, dengan penghasilan
antara Rp.1.000.000 sampai Rp.10.000.000 tiap bulan. Kemudian setiap Muslim
tersebut memberikan wakaf uang sebesar 1% dari penghasilannya tiap bulan
(berkisar antara Rp.10.000 – Rp.100.000). Maka akumulasi dana wakaf uang per
bulan akan bergerak antara 100 miliar hingga 1 triliun rupiah.
Artinya, dalam setahun, ada potensi wakaf uang sebesar Rp.1,2 triliun
sampai dengan Rp.12 triliun yang dapat berfungsi sebagai potensi dana pengganti
utang negara. Di mana dana tersebut dapat dipergunakan oleh Pemerintah untuk
menggerakkan perekonomian. Bahkan dalam lingkup kedaerahan, pemberdayaan
dana volunter seperti wakaf ataupun zakat misalnya, juga dapat diberdayakan
untuk mengembangkan sebuah desa tertinggal.
Sesungguhnya masih banyak lapisan alternatif solusi ekonomi Islam yang
belum tergali. Sehingga, dalam lingkup kebijakan pemerintah, dukungan terhadap
pendidikan ekonomi syariah merupakan investasi berharga bagi pertumbuhan
perekonomian Indonesai ke depan. Baik dalam bentuk penyelenggaraan
14
pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi hingga dukungan
pengembangan kurikulum yang berbasis kontekstual dan kompetensi. Sebab
dengan pendekatan demikian, ekonomi Syariah dapat berinovasi secara solutif
sesuai dengan perkembangan permasalahan perekonomian.
4.3 Langkah Penerapan Metode Kontekstual dan Kendalanya.
Jika untuk mencapai target pangsa pasar perbankan syariah 5,2% dari total aset
perbankan nasional saja, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fajriah,
menyatakan kebutuhan SDM sebanyak 40 ribu orang yang memiliki basis skill
ekonomi keuangan syariah. Apalagi untuk membangun suatu perekonomian
Indonesia yang lebih terintegrasi. Sebab saat ini, selain perbankan syariah, tercatat
sudah berdiri belasan perusahaan asuransi, reksadana, lembaga bisnis, pegadaian
dan entitas syariah lainnya. Baik dalam bentuk suatu institusi syariah secara
menyeluruh maupun parsial sebagai unit usaha atau hanya diferensiasi
produk/layanan.
Kebutuhan SDM tersebut tentu bukan hanya tuntutan secara kuantitias
tetapi sekaligus kualitasnya. Oleh karena itu, perlu dirumuskan bersama langkah
strategis dan sistematis agar kurikulum berbasis kontekstual dan kompetensi ini
dapat diterapkan, sejalan dengan visi dan misi arah pengembangan ekonomi
syariah, khususnya dalam lingkup perguruan tinggi. Di antaranya yakni:
Pertama, menjadikan kampus sebagai pusat penelitian dengan metode
pendidikan yang bersifat problem posing, bukan hanya bersifat banking
education.9 Dengan membangun budaya ilmiah dengan menginternalisasi metode
penelitian (laboratorium) untuk setiap mata kuliah yang diberikan.
Kedua, memperbanyak pengadaan sumber-sumber penelitian dan kajian
ilmiah di setiap perguruan tinggi yang memiliki konsentrasi ekonomi Islam.
Sarananya dapat dimulai dengan mendorong setiap dosen untuk mengadakan
9 Disadur dari makalah Prof. Dr. Mubyarto yang disampaikan pada seminar bulanan III Pustep-UGM, Yogyakarta 1 April 2003 dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, yang mengambil dari Freire dalam Ekins & Max-Neef 1992:15-16
15
penelitan, dan menggunakan hasil-hasil penelitiannya untuk memperkaya bahan-
bahan kuliah.
Bagan 1. Memasukkan model kontekstual dalam komponen-komponen
utama pendidikan
Sumber : Prof. DR. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan
Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 3.
Ketiga, melakukan pengelompokan mata kuliah dan memberikan
penekanan pada mata kuliah khusus yang terkait erat dengan pengembangan
ekonomi syariah, seperti mata kuliah fikih muamalah, ushul fiqh, dan ekonomi
mikro-makro. Keempat, setiap dosen diarahkan untuk memberi pengajaran tidak
semata deduktfi dari buku-buku teks, tetapi harus bersama-sama mahasiswanya
mengadakan penelitian induktif-empirik dengan sekaligus mempelajari kajian
klasik sejarah pemikiran ekonomi dan perekonomian. Hal ini dapat dibangun
dengan lingkungan yang mendukung seperti penyediaan laboratorium bahasa dan
statistik, dan peningkatan kompetensi dan layanan konsultasi dosen pembimbing.
Gambar 1. Metodologi yang diarahkan dalam pendidikan Perguruan Tinggi
Peserta Didik
Pendidik
InteraksiKurikulum Kontekstual
Isi
Proses
Evaluasi
Pendidikan
Tujuan Pendidikan
Kebijakan Pemerintah – Politik – Ekonomi – Religi - dll
Lingkungan
16
Sumber : Dr. Taliziduhu Ndraha, Manajemen Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Bina
Aksara, 1988, hlm. 57.
Langkah-langkah tersebut dalam rangka membangun budaya ilmiah yang
lahir dari rasa ingin tahun untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dan
bermanfaat melalui suatu metode riset atau penelitian. Jika kita mencoba
memahami kembali bagaimana sistem Perguruan Tinggi dibentuk sebagai
produsen produk-produk pengetahuan sebagaimana tergambar pada Gambar 1,
maka setidaknya secara formal, setiap kampus harus mendorong terjadinya proses
tersebut untuk juga menjalankan fungsinya sebagai bentuk pengabdian
masyarakat. Sehingga dari kampus-kampus ekonomi Islam nanti akan lahir
alternatif-alternatif solusi bagi persoalanan perekonomian Indonesia.
Selain sejumlah upaya untuk menerapkan metode kontekstual
sebagaimana disebutkan di atas. Dalam implementasinya, model pendidikan
dengan penggabungan metode tekstual dan kontekstual dapat menghadapi
sejumlah kendala, antara lain: (1) keterbatasan ahli ekonomi keuangan syariah,
yang menguasai secara komprehensif tentang ilmu ekonomi keuangan secara
spesifik sekaligus ilmu syariahnya, (2) keterbatasan dari segi standar kurikulum,
belum ada standar baku kurikulum mana yang akan diikuti, (3) belum ada sinergi
INGIN TAHU
RASATAKUT
PENELITI
METODERISET
SUATUHAL
PENGETAHUAN YANG BENAR
ILMUPENGETAHUAN
METODE ILMU TINDAKAN
MASALAH
NILAI TAMBAH
17
yang kokoh antara lembaga pendidikan dan lembaga keuangan syariah untuk
mendorong lahirnya penelitian yang aplikatif, dan (4) keterbatasan dana dan SDM
sehingga laboratorium penelitian di bidang ilmu ekonomi dan keuangan syariah
masih terbatas.
Selain itu, keberpihakan kebijakan anggaran pemerintah pusat dan daerah
perlu mendukung pengembangan studi ekonomi syariah. Kita perlu mencontoh
Malaysia yang setiap tahun pemerintahnya meneyediakan 200 juta ringgit (sekitar
Rp.500 milyar) khusus untuk pengembangan ekonomi Islam. Saat ini pemerintah
telah mengganggarkan 20% dari dana APBN untuk pendidikan, namun porsi
untuk pendidikan ekonomi Islam belum secara spesifik mendapat anggaran
tersendiri. Karenanya, sinergi seluruh pihak haruslah ditingkatkan guna
mendorong pendidikan dan pengembangan ekonomi syariah menuju cita-cita
perbaikan ekonomi Indonesia ke depan.
BAB V
PENUTUP
Demikian dapat kita simpulkan bahwa pendidikan ekonomi Islam harus mengarah
pada tujuan pembentukan dan internalisasi nilai-nilai Islam pada ekonomi itu
18
sendiri. Sebagaimana juga diungkapkan oleh Muhammad Baqir Ash Shadr (2008)
bahwa yang kita maksud dengan ’ekonomi Islam’ adalah doktrin ekonomi yang
ditinjau dari keutuhan kerangkanya serta keterkaitannya dengan keseimbangan
intelektual di mana ia bergantung dan yang menjelaskan sudut pandang ekonomi
dalam hubungannya dengan isu-isu yang terkait dengannya.
Sehingga metode pengajaran untuk membentuk kualitas mutu pendidikan
ekonomi Islam yang sesuai adalah dengan kurikulum berbasis kompetensi yang
menggabungkan pendekatan tekstual dan kontekstual. Dengan metode ini, suatu
institusi pendidikan berdedikasi pada penelitian dan pengabdian masyarakat
berbasis problem solving.
Metode semacam ini sebenarnya harus mendasari setiap pendidikan
ekonomi baik syariah ataupun konvensional. Prof. Mubyarto (2003) bahkan
menegaskan kembali urgensi hal ini, dengan memaparkan 4 kalimat awal pada
bab III buku Alfred Marshall, Principles of Economics (1890) sebagai berikut:
It is the business of economics as almost every other science to collect facts, to arrange and interprete them, and to draw inferences from them. Observation and discription are preparatory activities. But what we desire to reach thereby is a knowledge of the interdependence of economic phenomena …. Induction and deduction are both needed for scientific thought as the right and left foot are both needed for walking (Marshall 1890: 29).
Meskipun pada implementasinya akan menemukan berbagai kendala,
upaya untuk melakukan pendidikan ekonomi Islam secara kontekstual ini sangat
penting bagi pengembangan dan perbaikan perekonomian Indonesia ke depan.
Menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Terjemahan
H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. 2006. Jakarta: Khalifa.
Agustianto. Menyiapkan SDM Ekonomi Syariah Profesional melalui Perguruan
Tinggi Ekonomi Islam. http://agustianto.niriah.com/2008/04/01/menyiapkan-
19
sdm-ekonomi-syariah-profesional-melalui-perguruan-tinggi-ekonomi-islam/.
1 April 2008.
Ahmadi. Madrasah berperan menyelenggarakan Pendidikan Dini Ekonomi
Syariah. http://www.pkesinteraktif.com/content/view/4030/32/lang,id/. 19
Januari 2009.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press.
Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna.
Jakarta: Zahra.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Terjemahan Tim
IIIT Indonesia. 2002. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Pendidikan Ruhani. Terjemahan Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.
Meyers, Chet, date, 1993. Promoting active learning : strategies for college
classroom, New York: Jossey-Bass Inc., Publishers.
Mubyarto. 2002. Kekeliruan Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Rakyat, Artikel – Th.I – No.2 – April 2002.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_2.htm, diakses 21 Januari
2009
Mubyarto. 2003. Teori Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dalam Ekonomi
Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel – Th.II – No.4 – Juli 2003.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_1.htm, diakses 21 Januari
2009
Ndraha, Taliziduhu. 1988. Manajemen Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Bina
Aksara.
Perwataatmadja, Karnaen A. Dan Muhammad Syafi’i Antonio. 1992. Apa dan
Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Samana. 1992. Sistem Pengajaran: Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI) dan Pertimbangan Metodologisnya. Yogyakarta: Kanisius.
20
Sardar, Ziauddin. Kembali Ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi
Pemecahan Massalah. Terjemahan R. Cecep Lukman Yasin & Helmi
Mustofa, 2005. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Setiawan, Azis budi. Kurikulum Ekonomi Syariah untuk Pendidikan Dasar dan
Menengah. Majalah Hidayatullah edisi Agustus 2006. Dapat juga diakses di
http://www.sebi.ac.id/index.php?
Itemid=33&id=19&option=com_content&task=view.
Sukmadinata, Prof. DR. Nana Syaodih. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori
dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Suroso, Prof. DR. H. Imam Zadjuli, SE,. Sistim Pendidikan dan Ekonomi Islam
Sebagai Solusi Meniadakan Kemiskinan dan Ketidakadilan dalam Rangka
Membangun Masyarakat Madhani secara Kaffah, disampaikan dalam
Festival Ekonomi Syariah di Jakarta Convention Center Jakarta, 6 Februari
2009.
Yasni, Muhammad Gunawan. 2007. Ekonomi Sufistik: Adil dan Membahagiakan.
Jakarta: PT Mizan Pustaka.
21