Pendekatan Mulktikultural Dalam Pendidikan Agama Islam
-
Upload
irawan-ajja -
Category
Documents
-
view
37 -
download
4
description
Transcript of Pendekatan Mulktikultural Dalam Pendidikan Agama Islam
1
MAKALAH
PENDEKATAN MULKTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Tugas ini disususn untuk memenuhi pasopati
PENDAMPING:
NURUL AINI
PENYUSUN:
Siti Qoyimah
Bidang Study Pendidikan agama islam
Fakultas agama islam
Universitas Yudharta pasuruan
2
TAHUN: 2013-2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MULTIKULTURALISME
2.2 SEJARAH MULTIKULTURALISME
2.3 PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
2.4 PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DALAM
KONTEKS KEINDONESIAAN
2.5 POTRET PENDIDIKAN AGAM ISLAM DI TENGAH
MULTIKULTURALISME
2.6 KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BERWAWASAN MULTIKULTURAL
2.7 FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT WAWASAN
MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM(PAI)
DAFTAR PUSTAKA
1
3
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di
dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari sosiokultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas
Sebagai pemeluk agama yang mayoritas penduduknya muslim,
maka lembaga pendidikan Islam cukup mendapat tempat di negeri ini. Namun
permasalahan yang mendasar dalam hal ini adalah sejauh mana orientasi
pendidikan Islam dalam mengakomodir permasalahan-permasalahan yang
muncul di tengah-tenagah masyarakat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang ingin dijawab dalam tulisan ini, yakni:
1. Apa yang dimaksud dengan multikultural?
2. Bagaimana pendidikan multikultural?
3. Bagaimana Pendidikan Islam Multikultural Dalam Konteks
Keindonesiaan?
4. Bagaimana Potret pendidikan agama islam di tengah multikulturalisme?
5. Bagaiman Kurikulum pendidikan agama islam berwawasan
multikultural?
6. Apa Faktor pendukung dan penghambat wawasan multikultural dalam
PAI
4
PEMBAHASAN
2.1 MULTIKULTURALISME
1. Pengertian Multikulturalisme
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman
budaya”. Istilah multikultural ini sering digunakan untuk
menggambarkan tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari
keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda.
Selanjutnya dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini
dibedakan ke dalam beberapa ekspresi yang lebih sederhana, seperti :
1. pluralitas (plurality),
2. keragaman (diversity),dan
3. multikultural (multicultural)
Konsep pluralis mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari
satu (many)”, sedangkan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang
“lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat
disamakan. Sedangkan multikulturalisme, sebenarnya masih tergolong
relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara
pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Sebagai terminologi baru, multikultiralisme, menurut HAR.
Tilaar, masih belum banyak dipahami orang. Karena memang istilah
multikulturalisme itu sendiri ternyata bukanlah hal yang mudah. Di
5
dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks, yaitu
“multi” yang berati jamak atau plural, dan “kulural” yang berarti kultur
atau budaya.
Pada tahap pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal
yang esensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the
other). Dan pada tahap perkembangan berikutnya yang disebut gelombang
kedua (second wave), dari paham multikulturalisme telah menampung
berbagai jenis pemikiran baru sebagai berikut;
1. pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural studies) antara lain
melihat secara kritis masalah-masalah esensial di dalam kebudayaan
kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan di dalam
masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok
masyarakat yang termarjinalisasi, feminisme, dan masalah-masalah
kontemporer seperti toleransi antarkelompok dan agama.
2. postkolonialisme. Pemikiran postkolonialisme melihat kembali
hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang telah
meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum
terjajah. Pandangan-pandangan postkolonialisme antara lain ingin
mengungkit kembali nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan
berupaya untuk melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya
asing.
3. globalisasi. Globalisasi ternyata telah melahirkan budaya global yang
memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk itu timbul suatu
6
upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali peranan
budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi
budaya local merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah
kepada monokultural budaya duni
4. feminisme dan post peminisme. Gerakan feminisme yang semula
berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan laki-laki
kini meningkat kea rah kemitraan antara laki-laki dan perempuan.
Kaum perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama
dengan fungsi yang sama dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra
yang sejajar dalam melaksanakan semua tugas dan pekerjaan di dalam
masyarkat.
5. Post-strukturalisme. Pandangan ini mengemukakan mengenai perlunya
dekonstruksi dam rekonstruksi masyarakat yang telah mempunyai
struktur-struktur yang telah mapan yang bisanya hanya untuk
melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.
Dari gambaran pemahaman tentang multikultural yang
dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa inti dari konsep
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender,
bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan
adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka
7
adalah sama di dalam ruang public. Multikulturalisme menjadi semacam
respons kebijakan baru terhadap keragaman.
Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda
saja tidak cukup sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-
komunitas itu diperlakukan oleh Negara. Oleh karena itu,
multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat
yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya.
Diversitas dalam masyarakat modern bias berupa banyak hal, termasuk
perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok
dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common
sense.
Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bias dikategorikan
dalam tiga hal, yaitu:
1. perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau
sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan
kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai
atau budaya pada umumnya yang berlaku.
2. perbedaan dalam perspektif (perspective diversity), yaitu individu atau
kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau
budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
8
3. perbedaan komunitas (communal diversity), yakni individu atau
kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan
identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).
2.2 SEJARAH MULTIKULTURALISME
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh,
multikulturalisme baru sekitar tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali
di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
dan lainnya. Setelah itu, diskursus meultikulturalisme berkembang dengan
sangat cepat. Setelah tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah
mengalami dua gelombang penting, yaitu:
1. multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang
berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition)
adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.
2. Yaitu yang disebut gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang
melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan,
diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin
akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme,
gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/
masyarakat adapt (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi,
post-nasionalisme, post-modernisme, dan
3. post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam
masyarakat.
9
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller
pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan
sekaligus harus diwaspadai, yaitu:
1. adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang
perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-
bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam
mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat.
2. Esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya
mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang
xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan
tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu
sendiri di dalam era globalisasi.
3. proses globalisasi, bahwa globalisasi bias memberangus identitas dan
kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus
tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi
yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu:
1. pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem
budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini
tidak berarti bahwa manusia tidak biasa bersikap kritis terhadap
system budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya
10
dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya
tersebut.
2. perbedaan budaya merupakan representasi dari system cara pandang
tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya
merupakan suatu entitas yang relative sekaligus partial dan
memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu
budaya pun yang berhak memaksakan budayanya kepada system
budaya lain.
3. pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural
yang merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara
pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas
budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang
majemuk, terus berproses dan terbuka.
2.3 PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural menurut Prudence Crandall (1803-
1890) adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh
latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku, etnis, ras,
agama, aliran kepercayaan dan budaya (kultur). Salah satu yang hendak
dituju dari pendidikan multikultural adalah terpenuhinya kebebasan
masing-masing peserta didik untuk mendapatkan haknya tanpa ada yang
menghalangi. Melaksanakan hak tidak berarti sama dengan berbuat bebas
11
(liberal) sebebas-bebasnya karena di sana terdapat orang lain yang juga
berhak melakukan sesuatu .
Pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima,
dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai, dan agama berbeda
sehingga tumbuh sikap saling menghargai perbedaan (agree in
disagreement), dan dapat hidup saling berdampingan satu dengan yang
lain (to live together). Dengan kata lain, siswa diajak untuk menghargai
bahkan menjunjung tinggi pluralitas dan heterogenitas.
Menurut Syafiq A. Mughni paradigma pendidikan multikultural
mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu
lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling
memahami, untuk mengembangkan:
1. transformasi diri;
2. transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan;
3. transformasi masyarakat.
Dalam pandangan Abdullah Aly, tujuan pendidikan
multikultural mencakup:
1. Tujuan attitudinal (sikap), yaitu membudayakan sikap sadar, sensitif,
toleran, respek terhadap identitas budaya, responsif terhadap berbagai
permasalahan yang timbul di masyarakat.
2. Tujuan kognitif, yaitu terkait dengan pencapaian akademik,
pembelajaran berbagai bahasa, memperluas pengetahuan terhadap
12
kebudayaan yang spesifik, mampu menganalisa dan menginterpretasi
tingkah laku budaya dan menyadari adanya perspektif budaya tertentu.
3. Tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi
mengenai berbagai kelompok etnis secara benar di berbagai buku teks
maupun dalam pengajaran, membuat strategi tertentu dalam
menghadapi masyarakat yang plural, menyiapkan alat yang konseptual
untuk komunikasi antarbudaya dan untuk pengembangan ketrampilan,
mempersiapkan teknik evaluasi dan membuka diri untuk
mengklarifikasi dan penerangan mengenai nilai-nilai dan dinamika
budaya
Secara konseptual, menurut Gorsky (dikutip dari Hamid Hasan:
2000: 102), pendidikan multikultural mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. setiap siswa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan prestasi
mereka;
2. Siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis;
3. mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan,
dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam
konteks belajar;
4. mengakomodasi semua gaya belajar siswa;
5. mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda;
6. mengembangkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang
mempunyai latar belakang berbeda;
13
7. untuk menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun di
masyarakat;
8. belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang berbeda,
dan;
9. untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global, dan;
2.4 PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DALAM KONTEKS
KEINDONESIAAN
Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutif oleh Sangkot,
bahwa setidaknya ada empat isu pokok yang dipandang sebagai landasan
normative pendidikan Islam multikultural, khususnya di bidang
keagamaan, yaitu:
1. kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pean-Nya (wahyu),
2. kesatuan kenabian,
3. tidak ada paksaan dalam beragama, dan
4. pengakuan terhadap eksistensi agama lain.
Sedangkan masalah-maslah yang muncul dari pendidikan
multicultural di Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu;
1. pendidikan multicultural merupakan suatu proses. Artinya, konsep
pendidikan multikultural yang baru dimulai dalam dunia pendidikan
khususnya di Indonesia memerlukan proses perumusan, refleksi dan
14
tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan konsep-konsep
yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.
2. pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh
sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing)
dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus
dan mempertajam konsep pendidikan multicultural yang dibutuhkan
oleh masyarakat yang dalam hal ini masyarakat Indonesia.
Konsep dasar dari pendidikan multicultural itu memiliki empat
nilai ini (core values), yaitu:
1. Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat.
2. Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia.
3. Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia.
4. Pengembangan tanggung jawab manusia dan terhadap planet bumi.
Berdasarkan nilai-nilai inti di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu:
1. Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-
kelompok masyarakat
2. Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3. Memperkuat kompetensi intelektual dan budaya-budaya yang hidup di
masyarakat
4. Membasmi rarisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka
(prejudice).
15
5. Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi, dan
6. Mengembangkan ketrampilan aksi social (social action).
Dari uraian di atas kiranya ada beberapa hal yang perlu dikaji
dalam penerapan pendidikan Islam multicultural di Indoneisa, yaitu;
1. pendidikan multicultural secara inheren sudah ada sejak bangsa
Indonesa ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal
ika, suku gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu
dengan yang lainnya, betapa dapat dilihat dalam potret kronologis
bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing
dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
2. Pendidikan multikulural adalah pendidikan ysenantiasa menjunjung
tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas, dan keragaman,
apapun aspeknya dalam masyarakat.
3. pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi
bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan
tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai
sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar.
4. pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah
pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran
kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat
dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak
diselesaikan secara tuntas dan saling menerima.
16
2.5 POTRET PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI TENGAH
MULTIKULTURALISME
Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga
pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki
beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Paling tidak
keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di
Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial
ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau
pedesaan).
Apabila dikaji secara mendalam, Islam sangat ramah dan
menghargai keanekaragaman sebagai realitas (hukum alam- sunnat
Allah). Dalam hal ini, konsep rahmatan lil ‘alamin merupakan landasan
kultural ajaran Islam. Untuk menjalankan misi kemanusiaanya tersebut,
Islam memiliki instrumen yaitu meletakkan pendidikan pada barisan
terdepan, karena pendidikanlah yang secara langsung berhadapan dengan
umat manusia (Abudin Nata: 2001: 100).
Memperbincangkan pendidikan (agama) Islam pada saat ini
biasanya memunculkan gambaran pilu dalam pikiran kita tentang
ketertinggalan, kemunduran, dan kondisi yang serba tidak jelas sehingga
memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Kautsar Azhari Noer
(dalam Connh Semiawan, tt) menyebutkan empat faktor penyebab
kegagalan pendidikan Agama Islam tersebut, yaitu:
17
1. penekanannya lebih pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada
proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak
didik;
2. sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai
“hiasan kurikulum” belaka atau sebagai “pelengkap” yang dipandang
sebelah mata;
3. kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang mendukung
kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka
menolong, suka damai dan toleransi, dan;
4. kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.
Sedangkan Muhaimin mengidentifikasi bahwa kegagalan
pendidikan agama Islam setidaknya disebabkan karena :
1. pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik,
ritualistik, serta bersifat legal formalistik (halal-haram) dan kehilangan
ruh moralnya;
2. kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan
ranah kognitif dan paling banter hingga ranah emosional. Selain itu,
ada juga beberapa kelemahan lainnya, yaitu:
1. dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham
fatalistik;
2. bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun
dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia
beragama;
18
3. bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang
ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian;
4. dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata
aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang
memahami dinamika dan jiwa hukum Islam;
5. agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang
mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu
pengetahuan;
6. orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada
kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman
arti dan penggalian makna.
2.6 KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERWAWASAN
MULTIKULTURAL
pendidikan multikultural dipahami sebagai suatu pengetahuan
yang menanamkan kesadaran diri seseorang akan arti perbedaan
antarsesama manusia, berbagai budaya dan nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya. Dalam pandangan Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi ciri-
ciri dari pendidikan multikultural adalah:
1. tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan
“masyarakat berperadaban” (berbudaya);
19
2. materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai
bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural);
3. metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keragaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis), dan;
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak
didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya.
Kurikulum dan materi pendidikan Agama Islam bagaimana pun
tidak dapat terlepas dari dimensi perkembangan dan nilai-nilai pendidikan
multikultural. Adapun komponen yang termasuk dalam kurikulum
pendidikan multikultural antara lain tentang studi etnis, kelompok
minoritas, gender, kesadaran kultur, hubungan antarsesama manusia, dan
pengklarifikasian nilai-nilai dalam suatu kebudayaan..
Pendidikan Agama Islam yang terintegrasi dengan spirit
pendidikan multikultural perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam
yang toleran dengan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk
bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara
individual maupun secara kelompok.
Oleh karenanya, dalam upaya pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam harus diperhatikan dimensi-dimensi berikut ini:
1. pembelajaran fiqih dan tafsir al-Qur’an tidak harus bersifat linier,
namun menggunakan pendekatan muqāran (perbandingan). Ini
menjadi sangat penting, karena siswa tidak hanya dibekali
20
pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih
atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang
berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun
juga diberikan pengetahuan (argumen-dalil) tentang mengapa bisa
berbeda;
2. untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan
pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan
dialog antar agama;
3. untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-
lembaga pendidikan Islam menyelenggarakan program road show
lintas agama dengan tujuan untuk menanamkan kepedulian dan
solidaritas terhadap komunitas agama lain;
4. untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu
menyelenggarakan program seperti spiritual work camp, yaitu dengan
cara mengirimkan siswa untuk tinggal dalam sebuah keluarga selama
beberapa hari, termasuk kemungkinan tinggal pada keluarga yang
berbeda agama. Dalam program ini, siswa harus melebur serta
melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dalam keluarga
tersebut. Tujuannya adalah, agar siswa akan mempunyai kesadaran
dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
Pendidikan agama Islam harus memandang iman yang dimiliki
oleh setiap pemeluk agama adalah bersifat dialogis, artinya iman itu bisa
didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Melalui
21
suasana pendidikan seperti itu, akan terbangun suasana pergaulan dalam
kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti, tidak
dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana
dialog yang memiliki peluang untuk membuka wawasan spritualitas baru
tentang keagamaan dan keimanan masing-masing. Hal ini bisa diajarkan
lewat pendidikan akidah yang inklusif. Pengajaran agama seperti itu,
menuntut untuk bersikap objektif sekaligus subjektif.
2.7 FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT WAWASAN
MULTIKULTURAL DALAM PAI.
pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural tentunya
memiliki faktor pendukung dan penghambatnya. Diantara faktor pendukung
dikembangkannya pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural
adalah:
1. adanya landasan kultural dan theologis dari al-Qur’an maupun al-Hadits
terhadap nilai-nilai multikultural, yaitu:
1. nilai kejujuran dan tanggung jawab (al-amanah),
2. keadilan (al-adalah),
3. persamaan (al-musâwah),
4. permusyawaratan dan demokrasi (al-syurâ atau al-musyawarah),
5. nilai solidaritas dan kebersamaan (al-ukhuwwah),
6. kasih sayang (al-tarâkhim atau al-talathuf),
7. memaafkan (al-’afw),
22
8. perdamaian (al-shulh atau al-silm),
9. toleransi (al-tasamûh) dan
10. kontrol sosial (amr al-ma’rûf nahy ‘an al-munkar);
2. nilai-nilai multikultural tersebut telah lama dikenal dan diajarkan di
lembaga pendidikan Islam, terutama penjelasannya dalam teks-teks klasik
(al-kutub al-mu’tabarâh) yang lazim digunakan di pondok pesantren;
3. rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang panjang mengenai
pluralisme dan multikulturalisme karena bangsa Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang religius dan multikultur, dan;
4. terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai tempat
untuk memecahkan kebekuan komunikasi dan kerjasama antar umat
beragama di beberapa daerah menjadi angin segar terhadap pemahaman
agama yang inklusif, toleran dan sejalan dengan semangat pendidikan
multikultural.
Sementara yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan
pendidikan Agama Islam berbasis multikultural adalah:
1. masih terbangunnya mindset (kerangka berpikir) yang keliru dalam
memahami aliran-aliran kontemporer terkait dengan ajaran agama;
2. masih merebaknya konflik, baik antarumat agama maupun interumat
agama itu sendiri serta fundamantalisme pemikiran yang masih bertahan
pada pemikiran lama yang ekslusif – fundamentalis dan berpandangan
bahwa kelompok (agama) lain adalah sesat sehingga harus disatukan;
23
3. lebih menonjolnya semangat ke-ika-an dari pada ke-bhineka-an dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara serta kurangnya pengakuan terhadap
keberadaan dan hak agama, suku dan golongan lain;
4. belum tertanamnya kesadaran bahwa menganggap agama, kelompok/suku
yang satu “lebih baik” dari yang lain adalah pandangan sempit yang
offensive, dan karenanya harus ditinggalkan;
5. pengajaran PAI berwawasan multikultural belum terkonsep dengan jelas
terkait dengan kurikulum dan metodenya;
6. guru-guru agama Islam di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak
pendidikan agama nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan
pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme,
multikulturalisme dan dialog antarumat beragama, dan;
7. kurangnya pemahaman terhadap multikulturalisme dan pluralisme sebagai
desain Tuhan (design of God) yang harus diamalkan berupa sikap dan
tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Lepas dari faktor pendukung ataupun penghambatnya, pendidikan
Agama Islam berwawasan multikultural merupakan sebuah keniscayaan yang
mendesak untuk segera diimplementasikan untuk mewujudkan –istilah Gus
Dur- “republik surga di bumi”, yaitu tatanan kehidupan yang penuh dengan
harmonisasi, keramahan, kesantunan, kerukunan dan kedamaian. Sebuah
idealisme dalam kehidupan.
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Pendidikan multikultural:membangun kembali indonesia
bhineka tunggal ikadalm tsaqafah membangun budaya cerdas menjawab
tantangan zaman, Vol.1, No.2,2003.
Akhyar Yusuf Lubis, Demokrasi epistemologi modern,(Jakarta: Pustaka
indonesia satu, 2006.
M.Ainul yakin ,Pendidikan multikultural cross-kultural untuk demokrasi
dan keadilan (2005,Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: tantangan-tantangan global masadepan
dalam Transformasi pendidikan nasional, (Jakarta:Grasindo,2004),
shvoong.com/social.
www. Asefamani.wordpress.com 16 September 2008.
www. Prudence cranadal ii(1803-1890) pakar pendidikan amerika serikat