PENDAHULUAN -...
Transcript of PENDAHULUAN -...
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran media baru (new media) menjadi isu penting dalam berbagai
bidang termasuk public relations. Penggunaan media baru untuk organisasi
bukan tanpa alasan. Menurut Internet World Stats pada Juni 2012, tercatat
2.405.518.376 pengguna internet didunia dan sejumlah 1.076.681.059 berada di
Asia dan 55.000.000 diantaranya berada di Indonesia. Media baru memiliki
kelebihan dibandingkan dengan media lama, yaitu menyediakan fasilitas interaksi
antar pengguna yang bersifat tekstual, audio, dan audio visual, serta menembus
batas ruang dan waktu. Kelebihan dan nilai tambah yang dimiliki media baru
tersebut kemudian digunakan organisasi-organisasi untuk menyelenggarakan
program dan kegiatannya. Organisasi-organisasi pemerintah maupun swasta
secara umum telah banyak yang memiliki website organisasi. Bahkan beberapa
organisasi sudah menggunakan media sosial seperti facebook, twitter, blog, dan
sejenisnya.
Tantangan bagi organisasi di dalam era media baru adalah beradaptasi
dengan lingkungan. Beradaptasi pengertiannya tidak sekedar menyesuaikan
dengan lingkungan sosial yang dapat dijangkau secara fisik, namun juga dengan
lingkungan yang bersifat virtual. Lingkungan yang bersifat virtual memiliki arti
penting karena ini menjadi penghubung pada realitas fisik. Pengaduan
permasalahan melalui media baru merupakan contoh bahwa realitas virtual
menjadi instrumen penghubung realitas nyata.
Organisasi dihadapkan pada pilihan untuk memilih sistem terbuka atau
tertutup dengan segala konsekuensi. Sistem tertutup membuat organisasi tidak
dapat beradaptasi dengan dinamika lingkungan. Dalam lingkungan virtual,
penyebaran pesan menjadi tidak terkendali sehingga mustahil bagi organisasi
mengendalikan pergerakan pesan. Organisasi dapat memilih sitem terbuka dengan
konsekuensi harus mampu menyiapkan diri untuk berkomunikasi dua arah dengan
publik.
2
Konsekuensi mengikuti sistem terbuka adalah tidak mudah. Organisasi
harus mampu menyiapkan sumber daya manusia dan infrastruktur yang
menopangnya. Hal tersebut perlu dilakukan karenakarakteristik media baru
berbeda dengan media massa. Karakteristik media baru sebagaimana dijelaskan
Rogers (1986) memiliki 3 ciri, yaitu interactivity, demassification, dan
asynchronous. Interactivity memiliki makna terjadi komunikasi dua arah dimana
masing-masing pengguna dapat berperan sebagai pengirim dan penerima pesan
dan menembus batas ruang dan waktu. Demassification memiliki makna kontrol
pesan berada pada individu pengguna. Asynchronous memiliki makna pesan dapat
dipertukarkan dengan cepat.
Media baru memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lama, yaitu
menyediakan fasilitas komunikasi dua arah, baik secara tekstual, maupun audio
visual dengan jangkauan seluruh dunia yang terhubung dengan internet, dengan
waktu yang relatif cepat sesuai kapasitas kecepatan jaringan. Bentuk media baru
sebagaimana dikemukakan Flew (2005) memiliki tiga bentuk, yaitu teknologi
informasi dan komputer, jaringan komunikasi, dan digitalisasi media dan konten
informasi. Fasilitas yang canggih tersebut dapat diadopsi organsisasi terutama
untuk pengembangan dan optimalisasi fungsi-fungsi tertentu, misalnya pelayanan
publik, pemasaran, mengembangkan hubungan dengan publik, dan transaparansi
organisasi.
Media baru (new media) dapat dikategorikan berdasarkan kesamaan
saluran dan kedekatan tipe penggunaan, konten, dan konteks sebagai
interpersonal communication media, interactive play media, information search
media, dan collective participatory media (McQuail, 2005). Sebagai media
komunikasi interpersonal, media baru memberikan akses kepada individu untuk
berkomunikasi dengan individu yang lain melalui ponsel (mobile phone), dan
berkirim surat via email.
Dalam konteks sebagai interactive play media, media baru memiliki basis
pada komputer, video games, dan perangkat-perangkat virtual (virtual reality
device). Media baru menyediakan fasilitas interaktif terutama melalui permainan-
permainan online. Dalam konteks sebagai information search media, media baru
3
memberikan akses seluas-luasnya kepada individu untuk mengakses informasi
dalam format teks, audio, audio visual, bahkan animasi. Dalam konteks sebagai
collective participatory media, media baru memberikan ruang untuk individu
berbagi dan bertukar informasi, ide-ide, pengalaman, dan menjalin hubungan
(relationship) secara personal.
Perbedaan mendasar media baru dan media lama menurut Mcquail (2005)
dilihat dari perspektif pengguna sebagai berikut:
a. Media baru memiliki interactivity, yaitu komunikasi dua arah antar
pengguna.
b. Media baru memberikan fasilitas social presence meskipun bersifat
virtual.
c. Media baru dalam konteks media richness dapat menjembatani perbedaan
kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, menyediakan lebih banyak
tanda (cues) melibatkan kepekaan dan lebih personal.
d. Media baru memberikan autonomy, yaitu pengguna dapat mengendalikan
isi dan penggunaan, dan independen terhadap sumber.
e. Media baru menawarkan aspek playfulness yaitu unsur hiburan dan
kesenangan, tidak sekedar penggunaan instrumen (alat).
f. Media baru memberikan privacy kepada pengguna untuk menggunakan
jenis konten tertentu.
g. Media baru menawarkan personalization yaitu konten dan penggunaan
media yang bersifat personal.
Organisasi profit maupun non profit baik swasta maupun pemerintah
secara umum telah menggunakan media baru sesuai dengan kepentingan masing-
masing. Hal ini ditandai dengan pemanfaatan web site dan media sosial yang
semakin meningkat di seluruh dunia. Hal yang menimbulkan pertanyaan adalah
apakah penggunaan media baru dalam aktivitas public relations telah
menggunakan cara yang baru (new ways) atau masih menggunakan cara lama
(oldways) seperti saat menggunakan media lama?
4
Media baru memiliki potensi untuk digunakan secara searah (one way) dan
dua arah (two way). Jika penggunaan media baru masih menggunakan pola searah
maka tidak berbeda dengan penggunaan media lama. Hal ini dapat dilihat dari
karakter media lama seperti radio, televisi, suratkabar, majalah yang cenderung
berpola searah dalam proses komunikasi. Karakter ideal media baru lebih dekat
dengan karakter ideal public relations model dua arah (two way) terutama dua
arah yang simetris (two way symmetric).
Teknologi media baru mengalami perkembangan, dari yang menopang
komunikasi searah menjadi dua arah. Namun hal tersebut tidak serta merta dapat
diaplikasikan oleh organisasi. Media baru dapat menampung segala keluhan atau
permasalahan dari publik, namun jika tidak diimbangi kemampuan untuk
menjawab persoalan dengan cepat maka komunikasi dua arah tidak dapat
berlangsung dengan optimal. Penggunaan media baru dalam aktivitas public
relations dengan pola dua arah juga memerlukan intensitas waktu yang
terjadwal/rutin. Hal ini karena interaktivitas antara organisasi dan publik
memerlukan intensitas waktu yang cukup. Penggunaan media baru secara tidak
terjadwal menunjukan ketidakseriusan dalam menggunakan media baru. Hal
tersebut juga dimungkinkan karena ketidaksiapan sumber daya manusia, dan
ketiaksiapan manajemen mengelola media baru dengan model komunikasi dua
arah. Komunikasi searah dalam media baru menjadi lebih mudah karena dapat
diaplikasikan tanpa ada situasi “deadline” seperti media massa.
Media baru memiliki beberapa variasi jenis, namun yang lebih dikenal
penggunaannya untuk organisasi yaitu media sosial dan web site organisasi, dan
email. Media sosial sendiri memiliki variasi yaitu yang sering dipakai organisasi
dan atau personal. Situs jejaring sosial (social networking site) seperti facebook
dan twitter merupakan media sosial yang biasa dipakai untuk kepetingan individu
maupun organisasi. Dalam facebook dan twitter memungkinkan penggunanya
menggunakan akun organisasi maupun akun individu. Sedangkan media sosial
yang berbasis ponsel pintar (smartphone) seperti Blackberry Messenger dan
Whatsapp menggunakan akun atau PIN individu.
5
Setiap perusahaan/organisasi pada umumnya telah banyak yang memiliki
web site organisasi dengan berbagai variasi penggunaannya. Web site pada
mulanya bersifat statis yang diperbaharui secara berkala sehingga hanya untuk
menyebarkan informasi berupa profil perusahaan. Dalam perkembangannya,
teknologi web memungkinkan untuk komunikasi dua arah secara interaktif sesuai
kapasitas yang dimiliki. Namun demikian tidak setiap organisasi/perusahaan
menggunakan web site secara interaktif. Pandangan bahwa web site sebagai
pelengkap menjadikan web site organisasi tetap bersifat statis. Selain itu, budaya
birokrasi organisasi yang tidak siap menghadapi interaktivitas media baru yang
cepat, menyebabkan keluhan-keluhan publik yang disampaikan melalui web site
organisasi menjadi tidak terjawab dan tertangani dengan cepat.
B. Rumusan Masalah
Sejauhmana praktisi-praktisi public relations di organisasi profit dan non profit di
Yogyakarta menggunakan media baru di lingkungan organisasinya?
C. Tujuan penelitian
1. Untuk menemukan apakah ada perbedaan penggunaan media baru yaitu
website, facebook, twitter, dan email, google, dan yahoo yang bersifat terjadwal
dan tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non
profit di Yogyakarta.
2. Untuk menemukan sejauhmana penggunaan media website, facebook, twitter,
dan email yang memiliki pola searah dan dua arah.
D. Manfaat penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk masukan bagi praktek penggunaan
media baru dalam aktivitas public relations pada organisasi-organisasi.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah penelitian-
penelitian mengenai penggunaan media baru dalam organisasi yang sudah ada.
6
E. Kerangka Pemikiran
Penggunaan media baru dalam kegiatan public relations organisasi
dimungkinkan berbeda satu dengan lainya. Hal ini tidak semata-mata persoalan
teknis, tetapi memiliki relevansi dengan pendekatan public relations yang
dijalankan oleh masing-masing organisasi.
1. Pendekatan dalam Memahami Praktik Public Relations Organisasi
Untuk memahami praktek public relations dalam organisasi, terdapat dua
pendekatan yang dapat digunakan (Grunig, 2009), yaitu pendekatan tradisional
yang berbasis pada simbolik-interpretatif dan pendekatan perilaku yang berbasis
pada manajemen stratejik. Pendekatan tradisional memandang bahwa public
relations adalah pengiriman pesan, publisitas, penyediaan informasi, dan media
relations. Paradigma ini menjalakan fungsi komunikasi yang cenderung searah
(one way) dan asimetris.
Praktisi public relations yang menjalankan pendekatan tradisional
(simbolik-interpretatif) menekankan pada kegiatan publikasi, berita, komunikasi
kampanye, dan kontak dengan media. Public relations dalam pandangan
simbolik-interpretatif dianggap sebagai fungsi yang mendukung komunikasi
pemasaran melalui publisitas atau program yang terintegrasi dengan periklanan
yang lebih dikenal dengan integrated marketing communication.
Dalam pandangan paradigma tradisional, praktisi dipandang mampu
mengontrol informasi yang ditujukan pada audience. Pesan disampaikan melalui
komunikasi persuasif yang bersifat asimetris. Melalui pesan persuasif tersebut
praktisi berharap dapat mengubah kognisi, afeksi, dan perilaku audience. Namun
paradigma simbolik-interpretatif memiliki bias berkaitan dengan kedudukan
publik dan audience. Publik berbeda dengan audience, publik memiliki
konsekuensi dengan organisasi dan sebaliknya. Namun audience lebih relevan
dengan konsep marketing yang menempatkan audience sebagai target konsumen.
7
Dalam konteks paradigma simbolik-interpretatif public relations memiliki
fungsi untuk mempublikasikan informasi-informasi yang ditujukan untuk
masyarakat melalui media baru seperti web site organisasi. Publisitas organisasi
dalam media baru digunakan untuk mendukung fungsi marketing. Sedangkan
penyediaan informasi bagi masyarakat merupakan bagian dari pelayanan publik.
Penggunaan media baru dalam paradigma simbolik-interpretatif mengutamakan
fungsi komunikasi (fungsi teknis) dibandingkan fungsi manajemen.
Berbeda dengan paradigma tradisional yang bersifat simbolik-interpretatif,
paradigma perilaku yang berbasis pada manajemen stratejik lebih sesuai untuk
menjalankan fungsi manajemen. Paradigma ini memandang public relations
sebagai pihak yang memiliki partisipasi dalam pembuatan keputusan/kebijakan
organisasi. Paradigma manajemen stratejik menekankankan komunikasi dua arah
yang bersifat simetris antara organisasi dan publik. Public relations dipandang
mampu melakukan riset sebagai mekanisme mendengar dan belajar. Tujuan
public relations dalam paradigma ini adalah untuk membantu semua fungsi
manajemen (tidak hanya marketing) dalam mengembangkan hubungan dengan
publik melalui program-program komunikasi yang sesuai dengan fungsi
manajemen masing-masing. Publik dalam pandangan paradigma manajemen
stratejik memiliki konsekuensi terhadap organisasi dan sebaliknya. Paradigma ini
memandang publik sebagai pihak yang lebih penting dibandingkan dengan
audience. Audience dipandang tidak memiliki konsekuensi terhadap organisasi
sepanjang tidak berkembang menjadi publik yang aktif. Oleh karena itu, audience
dalam pandangan manajemen stratejik dipandang sebagai konsumen dan tidak
menjadi perhatian utama.
Penggunaan media baru dalam pandangan paradigma manajemen stratejik
tidak sekedar untuk menjalankan aktivitas teknis misalnya publikasi. Aktivitas
public relations dikembangkan untuk menangani persoalan stratejik melalui media
baru.
8
2. Peran Public Relations dalam Organisasi
Peran adalah abstraksi pola perilaku individu-individu dalam organisasi
(Dozier, 1992). Peran merupakan kunci untuk memahami fungsi public relations
dan komunikasi organisasi. Peran praktisi public relations menurut Broom dan
Dozier (2006) dibedakan atas dua dikotomi, yaitu peran manajerial dan peran
teknisi. Peran manajerial meliputi expert prescriber, problem-solving process
facilitator, dan communication fasilitator. Peran teknisi yaitu communication
technician. Peran expert prescriber memposisikan praktisi public relations untuk
mendefinisikan masalah, mengembangkan program, dan bertanggungjawab atas
penerapannya. Dalam peran ini, praktisi public relations bertugas seperti
konsultan untuk masalah yang dihadapi organisasi sementara manajemen bersifat
pasif dan menyerahkan penyelesaian masalah kepada praktisi public relations.
Peran problem-solving process facilitator menurut Broom (Dozier, 1992)
memposisikan praktisi public relations membantu manajemen untuk berpikir
secara sistematis melalui komunikasi organisasi dan menghubungkan masalah
pada solusi. Manajemen dan praktisi public relations bersama-sama mencari
pemecahan masalah tahap demi tahap. Peran manajerial ketiga yaitu
communication fasilitator yang memposisikan public relations menjadi fasilitator
bertemunya manajemen dan publik. Peran ini memiliki perhatian pada proses
dimana kualitas dan kuantitas informasi mengalir diantara manajemen dan publik.
Peran teknisi komunikasi menempatkan praktisi public relations sebagai
pihak yang memproduksi informasi dan mengkomunikasikan ke pihak luar sesuai
arahan manajemen. Peran ini dalam pandangan Broom dipandang sebagai
journalist in resident karena menggunakan praktisi yang memiliki keahlian dan
pengalaman bekerja di media. Peran public relations dalam organisasi secara
struktural ditentukan oleh pemegang kekuasaan.
Menurut Grunig (Putra, 1999), faktor yang mempengaruhi praktek public
relations dalam organisasi yaitu pengendalian kekuasaan (power control).
Pemegang kekuasan dalam organisasi adalah pihak yang menentukan praktek
public relations melalui keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Sedangkan
9
keputusan-keputusan tersebut dipengaruhi budaya perusahaan, potensi yang
dimiliki bagian public relations, dan pemahaman para pemegang kekuasaan
organisasi terhadap public relations.
Dalam konteks kompleksitas organisasi, peran public relations memiliki
kaitan dengan tipe organisasi. Menurut Schneider (1985) terdapat kaitan antara
peran public relations dan tipe organisasi. Tipe organisasi yang bersifat tradisional
tidak memiliki kebutuhan yang penting terhadap public relations. Tipe organisasi
yang berskala besar tapi bersifat mekanis tidak memiliki kompleksitas strukur
yang rumit sehingga tidak memerlukan peran dan fungsi public relations yang
kompleks. Sedangkan organisasi yang bersifat organik, meskipun memiliki skala
yang kecil tetapi memiliki kompleksitas struktur yang tinggi sehingga
memerlukan peran dan fungsi public relations yang memadai.
Tipe organisasi yang bersifat campuran antara mekanik dan organik
memerlukan kebutuhan peran dan fungsi public relations yang profesional. Hal
ini mengingat organisasi yang bersifat campuran organik dan mekanik memiliki
skala yang besar, mempekerjakan banyak pekerja, dan memiliki struktur
organisasi yang kompleks. Sehingga peran dan fungsi public relations yang
profesional diharapkan muncul dalam organisasi tersebut.
Kontribusi public relations dalam organisasi dapat diukur berdasarkan
peran yang dijalankan. Menurut Broom dan Dozier (2006) terdapat 4 tipe peran
public relations, yaitu penasehat ahli (expert prescriber), fasilitator proses
pemecahan masalah (problem solving process facilitator), fasilitator komunikasi
(communication facilitator) dan teknisi komunikasi (communication technician).
Tiga peran pertama dikenal sebagai peran manajer, sedangkan peran keempat
disebut peran teknisi.
Konsep peran public relations versi Broom memiliki persoalan ketika
berhadapan dengan media baru. Sejauhmana peran public relations tersebut dapat
relevan dalam era media baru. Apakah peran penasehat ahli (expert prescriber)
yang dimiliki praktisi akan terbantu dengan penggunaan media baru. Misalnya
mengidentifikasi permasalahan berdasarkan yang disampaikan publik melalui web
site organisasi, email dan media sosial. Pencarian isu-isu yang terkait organisasi
10
dan scanning lingkungan dapat terbantu dengan mesin pencari informasi seperti
Google dan Yahoo.
Peran yang stratejik memungkinkan penggunaan media baru secara
stratejik. Oleh karena itu praktisi public relations yang memiliki peran stratejik
memiliki potensi untuk menggunakan media baru secara stratejik. Peran
penasehat ahli (expert prescriber) yang dimiliki praktisi akan terbantu dengan
penggunaan media baru. Misalnya mengidentifikasi permasalahan berdasarkan
yang disampaikan publik melalui web site organisasi, email dan media sosial.
Pencarian isu-isu yang terkait organisasi dan scanning lingkungan dapat terbantu
dengan mesin pencari informasi seperti Google dan Yahoo.
2. Peran Public Relations dalam Media Baru
Penggunaan media baru merupakan tema penting dalam penelitian public
relatons. Hal ini mengingat terdapat kompleksitas fenomena penggunaan media
baru pada praktisi public relations. Penggunaan analisis peran praktisi public
relations menjadi perhatian dari peneliti. Sha dan dozier pada tahun 2012 (Lee,
2013) mengadakan penelitian mengenai penggunaan media sosial yang dikaitkan
dengan peran praktisi public relations dengan instrumen peran public relations
versi Broom. Mendasarkan pada peran public relations versi Broom, Sha dan
Dozier mengkaitkan penggunaan media baru untuk scanning lingkungan pada
responden manajer. Untuk praktisi, diteliti penggunaan media sosial untuk
penyebaran pesan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa item-item
dalam sosial media disebabkan faktor ketiga diluar ukuran-ukuran peran manajer
dan teknisi. Sha dan Dozier (Lee, 2013) menyimpulkan bahwa peran public
relations dalam menggunakan media sosial menurut Dozier tidak dapat dipandang
sebagai role enacetment, tetapi merupakan konsekuensi dari role enactment.
Dalam konteks ini penggunaan media tidak terkait langsung dengan peran
yang melekat pada status praktisi, tetapi lebih pada konsekuensi dari peran
tersebut. Konsekuensi tidak bisa dikatakan mutlak, karena tergantung dari
implementasi dan sesuai konteksnya. Para manajer memiliki peluang
11
menggunakan konsekuensi perannya maupun tidak. Demikian pula para staf dapat
menggunakan kosekuensinya atau tidak, tergantung pada situasi dan kondisi yang
sesuai pada masing-masing organisasi.
Lee (2013) dalam penelitiannya, mencoba menggunakan 4 tipologi peran
praktisi dalam media sosial. Menurut Lee (2013) terdapat 4 kategori peran dalam
media sosial yaitu yaitu: social media for one-way message dissemination, social
media for non-Aligned Purposes, dialogic social media, dan utilization social
media for organizational change.
Peran social media for one-way message dissemination memiliki makna
yaitu praktisi yang berperan menyebarkan pesan secara searah. Peran ini
meskipun dalam konteks media baru masih memiliki relevansi dengan model
searah (one way) Grunig yaitu press agentry atau model publisitas. Peran kedua
yaitu social media for non-Aligned Purposes. Peran dalam hal ini memiliki
makna yaitu ketika praktik media sosial dan tujuan tidak terhubung maka
organisasi akan hadir dalam media sosial. Peran ketiga yaitu dialogic social
media yaitu penggunaan media sosial untuk memfasilitasi percakapan yang
terbuka antara organisasi dan publik sebagaimana antar publik. Peran keempat
yaitu peran praktisi media sosial untuk perubahan organisasi dalam upaya untuk
menginformasikan pembuatan keputusan yang stratejik.
4. Fungsi Public Relations
Fungsi public relations menurut Cutlip, Center, dan Broom (Putra, 1999)
dibedakan atas 2 jenis, yaitu fungsi manajemen dan fungsi komunikasi. Praktisi
yang menjalankan fungsi manajemen bertugas menyusun kebijakan, dan
bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang muncul. Dalam konteks fungsi
manajemen menurut Putra (1999), praktisi public relations berperan menjadi
penasehat manajemen dalam mengambil kebijakan yang tepat dan diterima
publik. Dalam konteks fungsi komunikasi, public relations menurut Putra
(1999) adalah staf khusus yang melayani para pemimpin organisasi, khususnya
membantu dalam berkomunikasi dengan publik.
12
Penggunaan media baru sebagai pelaksanaan fungsi public relations dapat
dilihat pada dua perspektif. Pertama, melihat penggunaan media baru sebagai
pelaksanaan fungsi public relations (tidak menjadi subordinasi fungsi manajemen
yang lain). Kedua, melihat penggunaan media baru sebagai pelaksanaan fungsi
public relations yang mendukung fungsi manajemen yang lain misalnya
marketing. Integrasi marketing dan public relations dapat dilihat pada beberapa
bagian dari pola-pola relasi marketing dan public relations yang dikemukakan
oleh Kotler and Mindak (Grunig dkk: 2002) sebagai berikut:
1) Public relations dan marketing dipisahkan tetapi memiliki fungsi yang
setara. Public relations dan Marketing memiliki fungsi, perspektif, dan
kapabilitas yang berbeda.
2) Public relations dan marketing setara namun memiliki fungsi yang
tumpang tindih. Pada satu sisi keduanya berbagi area kerja misalnya
untuk publisitas produk dan hubungan dengan pelanggan. Pada sisi yang
lain public relations berperan sebagai watchdog pada konteks tanggung
jawab sosial dari marketing.
3) Marketing sebagai fungsi yang dominan. Fungsi public relations menjadi
bagian dari marketing. Marketing mengelola hubungan dengan semua
publik sebagaimana mengembangkan hubungan dengan pelanggan.
4) Public relations sebagai fungsi yang dominan. Public relations
mengembangkan hubungan dengan semua publik dan mengembangkan
hubungan dengan pelanggan. Marketing menjadi subordinasi public
relations.
5) Marketing dan public relations memiliki fungsi yang sama. Marketing dan
public relations menyatu dalam konsep dan metodologi dan berada pada
satu departemen untuk mengatur urusan eksternal organisasi.
13
5. Model Public Relations
Model public relations dikemukakan oleh Grunig dan Hunt (1984), yaitu
model press agentry, public information, two way asymmetrics, dan two way
symmetrics. Model press agentry sebagaimana dijelaskan oleh Putra (1999)
menekankan pada tujuan-tujuan memperoleh publisitas media massa yang
menguntungkan organisasi. Pada era media baru, publisitas dapat menggunakan
media on-line. Organisasi dapat mempublikasikan melalui laman-laman web
berkonten berita, blog, media sosial, maupun web site organisasi.
Model public information menurut Grunig dan Hunt (Putra, 1999)
menekankan penyebaran informasi kepada publik. Model ini sering dijuluki
jurnalist in residence. Grunig dan Hunt (1992) menyatakan bahwa model
informasi publik lebih menekankan pada penulisan hal-hal yang bagus tentang
organisasi, namun kurang memperhatikan sisi kebenaran dan akurasi. Model press
agentry dan public informations cenderung bersifat searah, yaitu penyampaian
informasi dari organisasi ke publik.
Model public relations berikutnya bersifat dua arah, yaitu two way
asymmetrics, dan two way symmetric. Model dua arah asimetris Menurut Putra
(1999) menekankan penggunaan riset untuk pengembangan pesan-pesan persuasi
dalam mempengaruhi publik agar berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai harapan
organisasi. Model dua arah asimetris dikenal juga sebagai persuasi ilmiah.
Model two way symmetric menurut Putra (1999) menggunakan penelitian
dan komunikasi untuk mengelola konflik dan meningkatkan pemahaman terhadap
publik stratejik. Model ini menekankan perubahan perilaku organisasi untuk
merespon tuntutan publik. Model dua arah simetris menekankan prinsip obyektif
daripada persuasi.
Menurut Grunig (2009), media baru memiliki perangkat-perangkat yang
bersifat dialogic, interaktif, dan global yang mendukung paradigma manajemen
stratejik public relations. Namun penggunaan media baru yang masih
menggunakan cara lama menjadikan penggunaan media baru menjadi belum
14
optimal. Misalnya penggunaan media baru seperti web site, dan email untuk
menampung dan menyebarkan informasi (Grunig, 2009).
Penggunaan media baru dapat dijelaskan dalam model public relations
(Grunig, 2009), misalnya web site organisasi yang menggunakan model statis
cenderung pada model propaganda (press agentry). Web site yang diperbaharui
kontennya secara berkala cenderung pada model informasi publik. Blog yang
difasilitasi perangkat untuk berkomentar cenderung pada model two-way
asymmetric. Situs media sosial yang terbuka dan komunitas online interaktif lebih
cenderung pada model two way symmetric.
6. Penggunaan Media Baru dalam Public relations
Personal praktisi public relations dalam organisasi dimungkinkan memiliki
posisi struktural yang berbeda. Secara umum praktisi dibedakan menjadi dua,
yaitu manajer dan staf. Penggunaan media baru baik pada manajer dan staf
(teknisi) dimungkinkan memiliki perbedaan mengingat posisi strukturalnya yang
berbeda. Namun dalam beberapa penelitian berikut, manajer dan staf memiliki
frekuensi dan intensitas yang tidak berbeda secara signifikan dalam penggunaan
media baru.
Kelleher (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa penggunaan
email pada manajer dan teknisi yang diteliti tidak menunjukan perbedaan yang
signifikan. Diga dan Kelleher (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa
praktisi public relations baik manajer maupun teknisi tidak memiliki perbedaan
yang signifikan mengenai frekuensi penggunaan situs jejaring sosial dan media
sosial. Melalui penggunaan situs jejaring sosial praktisi yang diteliti merasa
mendapatkan structural power, expert power, dan prestige power.
Penggunaan media baru di kalangan praktisi manajer dan staf tidak
terbatas pada penggunaan yang bersifat teknis saja. Penggunaan media baru
memungkinkan manajer public relations menggunakan perannya. Salah satu cara
yang bisa digunakan yaitu menggunakan cyberbridging. Kornegay dan Grunig
(1998) mengemukakan dengan menggunakan website organisasi, manajer public
15
relations dapat melakukan scanning lingkungan, memperoleh kekuasaan,
berhubungan dengan pemegang kekusaan yang diistilahkan koalisi dominan, dan
memiliki andil dalam proses pengambilan keputusan.
Penggunaan media baru yang bersifat stratejik yang pernah diteliti yaitu
penggunaan web site organisasi untuk menjembatani komunikasi organisasi dan
publik dan penyediaan informasi bagi publik (Galih, 2013; Yazid, 2012). Melalui
web site organisasi, publik dapat menyampaikan keluhan atau permasalahan
kemudian public relations meneruskannya kepada pihak yang bertanggungjawab
terhadap masalah tersebut. Setelah ada pemecahan masalah, praktisi public
relations menyampaikan jawaban permasalahan melalui web site organisasi.
Penggunaan media baru seperti web site dalam aktivitas public relations tersebut
masih didominasi untuk kepentingan teknis terutama untuk menjalankan peran
teknisi komunikasi.
Penggunaan media baru dalam aktivitas public relations memiliki orientasi
berdasarkan model public relations yang dikembangkan dalam organisasi. Setiap
implementasi model public relations pada media baru memiliki konsekuensi yang
berbeda. Penggunaan media baru dapat dijelaskan dalam model public relations
(Grunig, 2009), misalnya web site organisasi yang menggunakan model statis
cenderung pada model propaganda (press agentry). Web site yang diperbaharui
kontennya secara berkala cenderung pada model informasi publik. Blog yang
difasilitasi perangkat untuk berkomentar cenderung pada model two-way
asymmetric. Situs media sosial yang terbuka dan komunitas online interaktif lebih
cenderung pada model two way symmetric.
Setiap praktisi public relations organisasi secara umum dapat
mengaplikasikan 4 model public relations ketika menggunakan media baru.
Namun aplikasi model public relations melalui penggunaan media baru memiliki
konsekuensi bagi kepentingan organisasi dan publik. Dalam konteks untuk
mendapatkan publisitas dan penyediaan informasi yang optimal, media baru dapat
digunakan untuk menyebarkan dan menyediakan informasi. Dalam konteks
mencapai kualitas hubungan organisasi dan publik, maka model public relations
16
yang sesuai untuk diaplikasikan melalui media baru yaitu model komunikasi dua
arah, terutama yang bersifat simetris.
Strategi pengembangan hubungan melalui media baru dapat dilakukan
dengan model dua arah dan dialogis. Hal ini menyangkut strategi pengembangan
organisasi dan publik yang dapat dilakukan melaui media baru atau internet (Men,
2012) yaitu: pertama, strategi keterbukaan (disclosure/openness); Kedua,
diseminasi informasi; Ketiga, yaitu interaktivitas dan keterlibatan. Keterbukaan
memiliki substansi yaitu kemauan organisasi untuk berhubungan secara langsung
dan membuka dialog dengan publik. Keterbukaan dalam media baru dapat
ditampilkan dengan memberikan deskripsi mengenai profil organisasi.
Diseminasi informasi dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan minat
publik mengenai informasi organisasi. Sedangkan interaktivitas dan keterlibatan
menyangkut bagaimana publik dapat mudah berinteraksi secara online dan terlibat
dalam mengomentari sebuah isu dan berdialog melalui media baru dengan
organisasi.
Seo, Kim, dan Yang (2009) dalam penelitianya tentang penggunaan media
baru pada organisasi-organisasi non pemerintah (NGO) transnasional menemukan
bahwa fungsi media baru (new media) yang siginifikan bagi NGO adalah
mempromosikan image organisasi dan penggalangan dana. Dalam penelitian
tersebut tujuan organisasi dan kapasitas organisasi dalam menggunakan media
baru dapat diprediksi secara signifikan. Organisasi menggunakan web site untuk
mempromosikan image organisasi dan penggalangan dana, serta menggunakan
blog untuk melakukan advokasi terhadap organisasi. Penggunaan web site tersebut
lebih sesuai dengan model dua arah asimetris.
Dalam penelitiannya Jo dan Jung (2005) menyatakan bahwa hasil
penelitian mengenai web site perusahaan di Amerika Serikat dan Korea Selatan
menunjukkan hal yang sama yaitu cenderung mendekati model press agentry.
Selain itu Perusahaan Amerika serikat menggunakan model public information
dibandingkan perusahaan Korea Selatan. Untuk model dua arah perusahaan
Amerika serikat dan Korea sama-sama tidak ditemukan hal yang signifikan.
17
Menurut Grunig (2009), media baru memiliki perangkat-perangkat yang
bersifat dialogic, interaktif, dan global yang mendukung pendekatan manajemen
stratejik public relations. Namun penggunaan media baru yang masih
menggunakan cara lama menjadikan penggunaan media baru menjadi belum
optimal. Misalnya penggunaan media baru seperti web site, dan email untuk
menampung dan menyebarkan informasi (Grunig, 2009).
Kehadiran media baru memiliki relevansi dengan munculnya konsep
public relations 2.0. Media baru yang pada awal kehadirannya hanya cenderung
menggunakan pola komunikasi searah, saat ini telah menyediakan fasilitas
komunikasi dua arah. Kegiatan public relations yang bersifat dua arah dapat
dilakukan dengan berbagai macam pilihan media, yaitu melalui website
organisasi, situs jejaring sosial, blog, dan email.
Web site dapat digunakan sebagai media bagi organisasi untuk
membangun hubungan dengan publik (Vorvoreanu, 2008:54). Website juga dapat
digunakan organisasi untuk membangun dialog dengan publik. Kent dan Taylor
(1998) berpendapat bahwa web site dapat digunakan untuk menciptakan dan
memperbaiki hubungan organisasi dan publik melalui dialog. Melalui website,
organisasi dan publik dapat berdiskusi mengenai isu sosial yang terkait. Menurut
Heath (1998) isu sosial yang terjadi dapat menimbulkan hubungan yang tidak
menguntungkan antara organisasi dan aktivis. Oleh karena itu web site organisasi
dapat menjadi media bagi perusahaan/organisasi untuk berdialog dengan publik.
Dalam penelitian Jo dan Kim (2003) menunjukkan bahwa web site organisasi
dapat mempengaruhi persepsi mengenai hubungan organisasi dan publik.
18
F. Hipotesis
Hipotesis penggunaan media baru sebagai berikut:
1. Ha : Ada perbedaan penggunaan website organisasi yang bersifat
terjadwal dan tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi
profit dan non profit Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan penggunaan website organisasi yang bersifat
terjadwal dan tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi
profit dan non profit Yogyakarta
2. Ha : Ada perbedaan penggunaan facebook yang bersifat terjadwal dan
tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non
profit Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan penggunaan facebook yang bersifat terjadwal
dan tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan
non profit Yogyakarta
3. Ha : Ada perbedaan penggunaan Twitter yang bersifat terjadwal dan tidak
terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non profit
Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan penggunaan Twitter yang bersifat terjadwal dan
tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non
profit Yogyakarta
4. Ha : Ada perbedaan penggunaan email yang bersifat terjadwal dan tidak
terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non profit
Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan penggunaan email yang bersifat terjadwal dan
tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non
profit Yogyakarta
19
5. Ha : Ada perbedaan penggunaan Google yang bersifat terjadwal pada
praktisi public relations di organisasi profit dan non profit Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan Google yang bersifat terjadwal dan tidak
terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non profit
Yogyakarta
6. Ha : Ada perbedaan penggunaan Yahoo yang bersifat terjadwal dan tidak
terjadwal pada praktisi public relations di organisasi profit dan non profit
Yogyakarta
H0: Tidak ada perbedaaan perbedaan penggunaan Yahoo yang bersifat
terjadwal dan tidak terjadwal pada praktisi public relations di organisasi
profit dan non profit Yogyakarta
G. Operasionalisasi Konsep
Operasionalisasi dalam penelitian ini menyangkut bagaimana konsep
penggunaan media baru dalam public relations diuraikan secara empiris. Konsep
penggunaan media baru yang digunakan yaitu konsep pola penggunaan media
baru dan dimensi stratejik yang digunakan. Operasionalisasi juga mencakup tipe
media baru yang digunakan, dan penentuan organisasi yang menjadi unit kerja
praktisi public relations.
1. Pola Penggunaan media
Dalam penelitian ini pola penggunaan media baru menggunakan
pendekatan searah dan dua arah. Pendekatan searah dan dua arah memiliki akar
pada model public relations (grunig dan Hunt, 1984). Dalam penggunaan media
baru, Kelleher (2007) menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan
penggunaan media baru yang bersifat searah dan dua arah. Penggunaan searah
dalam media baru memiliki pengertian yaitu penggunaan media untuk
kepentingan komunikasi searah. Dalam konteks public relations, model public
20
relations yang menggunakan pola komunikasi searah yaitu model press agentry
dan model public informations. Model press agentry menyangkut penggunaan
media untuk publikasi dan propaganda. Sedangkan model public informations
menyangkut penyediaan dan penyampaian informasi untuk kepentingan publik.
Penggunaan media baru yang bersifat searah memiliki pengertian yaitu
penggunaan yang mengikuti pola komunikasi searah. Dalam pola komunikasi
searah, komunikasi berawal dari sumber (komunikator) yang menyampaikan
pesan kepada komunikan. Dalam komunikasi searah, komunikasi ditujukan untuk
menyampaikan pesan kepada penerima pesan.
Penggunaan media baru yang bersifat dua arah mengikuti model public
relations dua arah (Kelleher, 2006). Model dua arah memiliki dua tipe yaitu two
way asymmetrics, dan two way symmetrics (Grunig dan Hunt, 184). Dalam model
dua arah (two way), komunikasi berlangsung secara dua arah. Individu dalam
komunikasi dua arah dapat berperan sebagai komunikator maupun sebagai
komunikan.
a. operasionaliasi penggunaan media baru yang bersifat searah
Pola penggunaan media yang bersifat searah dikategorikan dalam
aktivitas-aktivitas berikut:
1). Menyampaikan informasi mengenai kegiatan organisasi
Aktivitas menyampaikan informasi memiliki batasan yaitu kegiatan
menggunakan media baru yang bertujuan menyampaikan informasi yang
berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas organisasi kepada publik.
2). Menyampaikan informasi produk dan layanan sebagai promosi
Aktivitas ini memiliki batasan yaitu kegiatan menggunakan baru untuk
menginformasikan atau menyampaikan informasi mengenai produk dan layanan
sebagai bentuk promosi.
3). Menyampaikan isu-isu yang menguntungkan organisasi
Aktivitas ini memiliki batasan yaitu sebagai kegiatan menggunakan media
baru menyampaikan isu-isu penting yang dapat memberikan benefit bagi
21
organisasi. Benefit disini dibatasi pengertiannya sebagai publisitas yang memiliki
nilai positif bagi organisasi.
4). Memantau isu-isu publik yang berkaitan dengan organisasi
Memantau isu-isu publik memiliki batasan sebagai aktivitas menggunakan
media baru untuk mengikuti isu-isu yang sedang berkembang menjadi tema-tema
utama dalam isu-isu publik.
5).Mengikuti (following) publik stratejik yang memiliki posisi penting bagi
organisasi
Aktivitas mengikuti publik stratejik dibatasi sebagai aktivitas penggunaan
media baru untuk mengikuti perkembangan opini orang-orang yang punya
pengaruh penting terhadap organisasi.
6). Menyampaikan kuesioner penelitian
Aktivitas ini dibatasi sebagai aktivitas yang menggunakan media baru
untuk menyampaikan kueisoner penelitian.
7) . Menyampaikan press release kepada wartawan
Aktivitas ini daibatasi sebagai penggunaan media baru untuk
menyamapaikan materi press release kepada wartawan.
b. operasionaliasasi penggunaan media baru yang bersifat dua arah
1). Mengidentifikasi persoalan yang disampaikan publik
Aktivitas ini dibatasi sebagai kegiatan mengidentifikasi persoalan yang
disampaikan oleh publik melalui media baru. Identifikasi disini memiliki batasan
pengertian sebagai mengenali persoalan dan mampu mengkategorikan jenis
permasalahan untuk disampaikan kepada bidang yang sesuai.
2) Menyampaikan jawaban terhadap persoalan yang disampaikan publik
22
Menyampaikan jawaban memiliki batasan sebagai kegiatan
menyampaikan jawaban melalui media baru yang berkaitan persoalan yang
ditanyakan publik.
3) Mengembangkan dialog dengan publik
Mengembangkan dialog memiliki pengertian sebagai aktivitas
menggunakan media baru untuk mengembangkan dialog dengan publik dengan
berbagai tema yang dianggap penting bagi organisasi dan publik. Dialog disini
memiliki pengertian bertukar pikiran dan pendapat.
4) Menerima reservasi layanan
Menerima reservasi layanan memiliki batasan sebagai kegiatan yang
menggunakan media baru untuk memberikan pelayanan kepada publik.
2. Penggunaan Media baru berdasarkan variabel terjadwal dan tidak
terjadwal
Penggunaan media baru yang terjadwal memiliki pengertian penggunaan
media baru yang direncanakan dan diimplementasikan secara terjadwal/rutin dan
teratur. Sedangkan penggunaan yang tidak terjadwal memiliki pengertian yaitu
penggunaan yang tidak direncanakan dan tidak teratur secara sistematis.
3. Operasionalisasi penggunaan Yahoo dan Google
1). Mencari informasi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan organisasi
Kegiatan ini dibatasi sebagai kegiatan penggunaan mesin pencari untuk
mencari informasi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan organisasi.
2. Mencari permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan organisasi yang
disampaikan publik melalui internet.
Kegiatan ini dibatasi sebagai kegiatan penggunaan mesin pencari untuk
mencari informasi mengenai permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
organisasi.
23
3). Mengggunakan search engine optimization (SEO) untuk mengecek efektifitas
publikasi produk dan layanan organisasi.
Kegiatan ini dibatasi sebagai kegiatan penggunaan untuk menemukan
tingkat optimalisasi pencarian informasi (SEO) yang berkaitan dengan publikasi
produk dan layanan organisasi dalam mesin pencari.
4). Untuk menemukan pemberitaan media mengenai organisasi
Kegiatan ini dibatasi sebagai kegiatan yang menggunakan mesin pencari
untuk menemukan pemberitaan media mengenai organisasi.
5).Untuk menemukan komplain publik/konsumen terhadap layanan atau produk
Kegiatan ini dibatasi pada penggunaan mesin pencari untuk menemukan
komplain publik/konsumen terhadap layanan dan produk
4. Implementasi penggunaan media baru yang bersifat searah dan dua arah
diturunkan dalam indikator-indikator sebagai berikut:
a) Penggunaan web site organisasi
Penggunaan web site organisasi dikategorikan sebagai berikut:
1) Mengunggah (upload) informasi mengenai aktivitas/kegiatan organisasi
2) Mengunggah (upload) informasi mengenai produk dan layanan sebagai
bentuk promosi
3) Mengidentifikasi permasalahan yang disampaikan publik melalui web site
untuk disampaikan pada bagian/divisi yang menangani.
4) Menyampaikan jawaban terhadap masalah-masalah yang disampaikan
publik melalui web site organisasi.
5) Untuk mempublikasikan isu-isu yang menguntungkan organisasi.
6) Menerima reservasi layanan
7) Mengembangkan dialog dengan publik
24
b) . Penggunaan Facebook dikategorikan sebagai berikut
1) Memperbaharui status mengenai aktivitas/kegiatan organisasi
2) Mempromosikan produk dan layanan kepada pengguna facebook yang
lain
3) Menemukan masalah yang disampaikan publik melalui facebook untuk
disampaikan pada bagian/divisi yang menangani
4) Menyampaikan jawaban terhadap masalah-masalah yang disampaikan
publik melalui facebook.
5) Memantau isu-isu publik yang berkaitan dengan organisasi
6) Untuk menyampaikan isu-isu yang menguntungkan organisiasi.
7) Mengembangkan dialog dengan publik
c. Penggunaan Twitter dikategorikan sebagai berikut:
1) Memperbaharui status mengenai aktivitas organisasi
2) Mempromosikan produk dan layanan kepada anggota twitter yang
menjadi pengikut.
3) Untuk mengikuti (follow) publik stratejik yang memiliki posisi
penting bagi organisasi.
4) Mengidentifikasi masalah yang disampaikan publik melalui twitter
untuk disampaikan pada bagian/divisi yang menangani
5) Memantau isu-isu publik yang berkaitan dengan organisasi
6) Untuk menyampaikan isu-isu yang menguntungkan organsiasi.
7) Mengembangkan dialog dengan publik
d. Penggunaan email dikategorikan sebagai berikut:
1) Mempromosikan produk dan layanan kepada konsumen
2) Mengidentifikasi masalah yang disampaikan publik melalui e-mail untuk
disampaikan pada bagian/divisi yang menangani
3) Menyampaikan jawaban terhadap masalah-masalah yang disampaikan
publik melalui e-mail
4) Menyampaikan kuesioner penelitian kepada responden melalui e-mail
25
5) Menyampaikan materi press release kepada media/wartawan
6) Untuk menyampaikan isu-isu yang menguntungkan organsiasi.
7) Menerima reservasi layanan
e. Penggunaan Mesin Pencari Yahoo dan Google
1) Mencari informasi mengenai isu-isu yang berkaitan dengan organisasi
2) Mencari permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan organisasi
yang disampaikan publik melalui internet.
3) Mengggunakan search engine optimization (SEO) untuk mengecek
efektifitas publikasi produk dan layanan organisasi.
4) Untuk menemukan pemberitaan media mengenai organisasi
5) Untuk menemukan komplain publik/konsumen terhadap layanan atau
produk
2. Praktisi Public Relations
Praktisi public relations artinya orang yang bekerja di bidang public
relations dalam organisasi. Praktisi terdiri dari 2 tipe yaitu manajer dan staf.
Manajer dalam organisasi pengertiannya dibatasi sebagai person yang
menjalankan kegiatan manajerial dan secara umum membawahi staf-staf.
Sedangkan staf adalah person yang bekerja dibawah koordinasi manajer.
3. Organisasi Non Profit dan Profit
Organisasi profit secara umum dapat dibatasi sebagai organisasi yang
memiliki kegiatan usaha untuk mendapatkan profit bagi kepentingan pemilik dan
pemimpin perusahaan. Konsep organisasi non profit dibatasi dalam klasifikasi
yang disampaikan oleh Nurcin Coskun (2007 ) memiliki dua tipe yaitu organisasi
non profit yang bersifat publik (Public non-profit organisations) dan organisasi
non profit yang bersifat privat ( private non-profit organisations). Dalam
penelitian ini praktisi public relations yang menjadi obyek penelitian
menggunakan kategori pertama yaitu organisasi non profit yang bersifat publik.
26
Organisasi non profit yang bersifat publik memiliki ciri yaitu memiliki peran
dalam mendukung pelayanan publik atau organisasi yang dibentuk untuk menarik
dana dari masyarakat untuk kepentingan publik seperti sekolah, perguruan
tinggi, rumah sakit, dan unit pemerintah.
H. Skema Berpikir
Bagan 1. Skema berpikir
TerjadwalTidak Terjadwal
Praktisi PR organisasiProfit dan non profit
Penggunaan
1. website
2. Facebook
3. Twitter
4. Email
5. Google
6. Yahoo
27
I. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan
menggambarkan sejauhmana penggunaan media baru di kalangan praktisi public
relations pada organisasi profit dan non profit. Penelitian dilakukan Bulan
Nopember 2013 sampai dengan tanggal 15 Januari 2014.
1. Metode Penelitian
Menurut De vaus (Rahayu, 2008), metode survei dipandang sesuai untuk
menggambarkan karakteristik atau deskripsi atas fenomena. Survei dapat
menjelaskan jumlah responden yang terlibat dan karakteristiknya. Metode survei
dipandang mampu menjelaskan sejauhmana penggunaan media dalam aktivitas
public relations pada organisasi profit dan non profit.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah praktisi-praktisi public
relations pada organisasi/perusahaan di Yogyakarta. Praktisi yang dimaksud
terdiri dari dua kategori, yaitu manajer/kepala public relations dan staf public
relations. Manajer/kepala public relations secara umum memiliki dapat
digambarkan sebagai personal yang memimpin bidang/divisi public relations
dalam organisasi dan memiliki bawahan yaitu staf public relations. Sedangkan
Staf public relations secara umum digambarkan sebagai personal yang memegang
bidang/divisi public relations dan dibawah kendali manajer/kepala.
3. Teknik Pengambilan sampel
Sampel penelitian diambil berdasarkan teknik non-probabilitas yaitu
teknik purposif. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan; pertama, bahwa tidak ada
kerangka sampel yang tersedia yaitu nama-nama praktisi public relations di
Yogyakarta. Kedua, tidak setiap organisasi/perusahaan/instansi memiliki praktisi
public relations atau setidaknya peran dan fungsi public relations yang dirangkap
bidang tertentu
28
4. Metode pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif sehingga
pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut:
a. Pemberian kusioner kepada praktisi public relations.
Kuesioner merupakan instrumen utama dalam penelitian ini. Kuesioner
menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup untuk mengetahui
sejauhmana penggunaan media baru di kalangan praktisi public relations pada
organisasi profit dan non profit. Pada setiap organisasi/perusahaan/instansi,
kuesioner diberikan kepada dua orang, yaitu manajer dan staf public relations.
Namun mengingat tidak setiap organisasi memiliki manajer public relations, maka
kuesioner diberikan disesuaikan dengan kondisi organisasi. Misalnya public
relations dalam organisasi hanya memiliki staf maka staf ini menjadi sampel.
Oleh karena itu setiap organisasi tidak memiliki jumlah sampel yang sama. Jika
peran dan fungsi public relations dijalankan oleh pihak tertentu dalam organisasi
dan bukan bernama divisi/bagian public relations (humas) maka pihak tersebut
dianggap layak menjadi sampel penelitian. Meskipun yang bersangkutan tidak
memiliki jabatan secara formal sebagai manajer atau staf public relations.
b. Wawancara dengan praktisi public relations.
Wawancara merupakan instrumen tambahan atau pelengkap. Wawancara
dilakukan dengan praktisi-praktisi public relations untuk mengklarifikasi unsur-
unsur yang diteliti dan melengkapi data yang diperoleh lewat kuesioner.
5. Validitas Instrumen
a. Validitas Konstruk
Dalam konteks ini validitas konstruk diperoleh dengan mencari dan
menggunakan konsep yang berkaitan dengan tema penelitian. Validitas
penggunaan media baru diperoleh dengan mencari konsep penggunaan media baru
melalui literatur yang relevan.
b. Validitas isi
Validitas isi merupakan gambaran sejauh mana alat ukur mewakili semua
aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep (Singarimbun dan Effendi,
29
2008). Studi literatur digunakan untuk melihat apakah konsep-konsep yang
digunakan telah diperasionalkan dengan tepat pada instrumen kuesioner sehingga
variabel yang digunakan dapat sesuai dengan data yang diharapkan. Validitas juga
dilakukan dengan menanyakan kepada praktisi-praktis mengenai sejauhmana
penggunaan media baru dalam organisasi yang bersangkutan.
Berdasarkan uji validitas dengan prosesdur statistik, diperoleh nilai r >
nilai r tabel untuk semua item. Hal ini menunjukkan angka yang valid untuk item-
item variabel penggunaan website, facebook, twitter, emal, google dan yahoo.
6. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas menyangkut hasil pengukuran relatif konsisten jika diulang
dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi, 2008). Berdasarkan uji validitas
dengan prosesdur statistik, diperoleh koefisien alfa (crobranch) > nilai r tabel
untuk semua penggunaan media baru yang diteliti. Hal ini menunjukkan angka
yang reliabel untuk penggunaan website, facebook, twitter, emal, google dan
yahoo.
7. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dua tahap. Tahap pertama, data dikelompokkan
berdasarkan kelompok organisasi dan media baru yang digunakan. Statistik
deskriptif dapat digunakan untuk menyusun distribusi frekuensi penggunaan
media baru. Melalui penyusunan distribusi frekuensi akan diperoleh data nominal
penggunaan media baru dalam aktivitas public relations. Pada tahap kedua, data
tersebut kemudian diuji dengan chi square untuk menguji hipotesis. Melalui uji
chi square dapat diketahui ada tidaknya perbedaan penggunaan media baru yang
bersifat terjadwal dan tidak terjadwal di kalangan praktisi public relations pada
organisasi profit dan non profit. Pemilihan teknik chi square karena data yang
diperoleh berbentuk nominal. Sehingga penggunakan statistik non parametrik
lebih sesuai.
30
11. Limitasi Penelitian
Cakupan dalam penelitian ini yaitu aktivitas penggunaan media baru yang
bersifat terjadwal dan tidak terjadwal memiliki keterbatasan pada data yang
bersifat temporal. Setiap organisasi dapat berubah kondisi dengan cepat sehingga
penggunaan yang sebelumnya tidak terjadwal dapat berubah menjadi terjadwal
dan sebaliknya. Selain itu, penelitian ini tidak membahas konten media baru,
sehingga tidak menilai kualitas atau kuantitas konten.