PENDAHULUAN Antifosfolipid
-
Upload
vino-g-albert -
Category
Documents
-
view
49 -
download
5
Transcript of PENDAHULUAN Antifosfolipid
BAB I
PENDAHULUAN
Antifosfolipid ( antiphospholipid – aPL) merupakan antibodi yang langsung
terhadap antigen yang terdiri dari fosfolipid bermuatan negatif. Antibodi
antifosfolipid (Antiphospholipid Antibodi / APA) ini dalam klinis yang
terpenting adalah Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant / LA) dan
antibodi antikardiolipin (Anticardiolipin antibodi / ACLA).1,2
Sindroma antifosfolipid (SAF) pada awalnya merupakan kelainan pada
sistem pembekuan darah dimana terbentuk bekuan darah pada vena dan
arteri yang dihubungkan dengan peningkatan APA. Trombosis adalah
terjadinya bekuan darah di dalam pembuluh darah atau ruang jantung
yang dapat menyumbat aliran darah arteri maupun vena sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan / organ tersebut. 2,3
Trombosis yang terjadi pada vena (trombus merah) dapat mengakibatkan
aliran darah menjadi lambat atau terjadinya statis aliran darah yang terdiri
dari fibrin dan eritrosit dan sedikit trombosit. Pada trombosis arteri
(trombosis putih) dapat mengakibatkan terjadinya turbulensi sehingga
terjadi perubahan ateromatosa dan kerusakan endotel yang terdiri dari
agregat trombosis berikatan dengan fibrin tipis. Dampak lokal trombosis
bergantung lokalisasi dan derajat sumbatan. Sedangkan dampak jauh
merupakan gejala-gejala akibat fenomena tromboemboli.3
Berdasarkan konsensus Internasional Sapporo, definisi dari SAF adalah
kelainan dimana ditemukan adanya gejala trombosis vaskuler dan/atau
1
dimana morbiditas obstetri yang disertai adanya ACLA dan/atau LA
(Wilson 1999). 4
Derne (1985) pertama sekali melaporkan adanya hubungan ACLA dan
abortus spontan yang berulang. Mekanisme terjadinya abortus diduga
karena trombosis pada daerah plasenta yang sudah dimulai sejak
permulaan kehamilan. Sejak itu beberapa senter telah menganjurkan agar
dilakukan pemeriksaan antikardiolipin ( anticardiolipin – aCL) pada wanita
yang mengalami abortus dua kali atau lebih.5
Secara umum SAF dapat mempengaruhi organ-organ tubuh dengan
manifestasi ke kulit, neurologi, penyakit jantung, penyakit obstetri. Adapun
manifestasi ke kulit berupa purpura, nekrosis ulkus statis pada mata-kaki
dan dapat juga disertai dengan trombosis vena dalam.6,7,8,9
Manifestasi aCL pada gangguan neurologi dapat berupa iskemia serebri
yang dapat tampak pada pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) yang bervariasi mulai dari satu lesi sampai infark yang luas dan
banyak.10 Pada beberapa pasien yang tidak diobati, trombosis serebri
yang berulang mengakibatkan infark dengan gejala dementasi.11 Migrain
merupakan suatu gejala yang umum ditemukan dan sering berlangsung
bertahun-tahun tanpa terdiagnosis sebelumnya.7 Gejala lain dapat berupa
serangan iskemia serebri, small stroke syndroma, oklusi arteri dan vena
retina, sakit kepala, penyakit Dego, sindroma Sneddon, sindroma Guillan
Barre, chorea, kejang dan Neuritis Optikus.12,13,14,15,16
2
Manifestasi aCL pada penyakit jantung adalah infark miokard dan kelainan
katup jantung.17,18,19 Pengaruh SAF pada kehamilan dan persalinan dapat
berupa abortus spontan yang berulang yang diduga karena trombosis
pada daerah plasenta, sindroma post partum (berupa demam, timbulnya
infiltrat paru dan efusi pleura bahkan dapat terjadi kegagalan multi organ
(multi organ failure) yang dikenal sebagai katastrofik SAF berupa
perburukan gejala akibat akselerasi koagulasi vaskulopati, kematian janin
dalam kandungan, Preeklampsia (PE) dan Eklampsia (E), Pertumbuhan
Janin Terhambat (PJT), gawat janin dan persalinan kurang bulan.20,21,22
Penatalaksanaan kehamilan dengan SAF pada dasarnya meliputi
penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan
dan masa nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada resiko
terjadinya trombosis, gangguan sirkulasi uteroplasenter dan penentuan
saat persalinan yang adekuat.22
Secara profesional dan adekuat penatalaksanaan SAF dalam kehamilan
memerlukan penanganan tim multidisplin yang meliputi bidang spesialisasi
penyakit dalam, obstetri (konsultan feto maternal dan spesialis pediatri
(konsultan perinatologi).
Penulisan sari pustaka ini bermaksud untuk mengingatkan dan
menambah wawasan kita kembali mengenai SAF khususnya dalam
kehamilan sehingga kasus-kasus yang akan ditemui dapat ditangani
3
dalam penatalaksanaan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kasus obstetri yang berhubungan dengan SAF dalam kehamilan.
BAB II
EPIDEMIOLOGI
4
Epidemiologi SAF dalam kehamilan masih belum banyak diketahui.
Tabel 1. Insidensi APA pada populasi obstetri normal (dikutip dari Coulam)
Penulis Jumlah subjek
APA (Jumlah subjek)
APA (%)
Harmon et al,1986Scott,1987Branch et al, 1987Laskin dan Soloninka, 1988Pattison et al, 1988Lockwood et al, 1988McHugh et al, 1988
8725562341000737121
13208291612
1,2123,6222,92,29,9
* Dideteksi dengan solid-phase assay. Pada sebagian besar serial kardiolipin digunakan sebagai antigen
Dari tabel 1 diatas, dapat dilihat insiden APA pada populasi obstetri
normal dimana Pattison dkk pada 1988 mendapatkan 29 kasus APA dari
1000 subjek penelitian (2,9%).
Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan Harmon dkk pada tahun
1986 dimana dari 87 subjek penelitian hanya 1 kasus APA (1,2%).
McHugh dkk pada tahun 1988 mendapatkan dari 121 subjek penelitian
ditemukan 12 kasus APA (9,9%)
Tabel 2. Insidensi Antikoagulan Lupus (LA) dalam keguguran yang berulang. (dikutip dari Coulam)
Penulis Jumlah subjek
LA (Jumlah subjek)
LA (%)
Carreras et al, 1981 24 2 8,3
5
Edelman et al, 1986 99 10 10,1Howard et al, 1987 29 14 48,2Petri et al, 1987 44 9 20,5Barbui et al, 1987 63 11 17,5Tchobroutsky et al, 1988 57 3 5,2
Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa untuk insiden LA dalam keguguran
berulang dimana Howard dkk pada tahun 1987 mendapatkan 14 kasus
LA dari 29 subjek yang diteliti (48,2%).
Barbui dkk pada tahun 1987 menemukan hal yang berbeda dimana dari
63 subjek penelitian hanya ditemukan 11 kasus LA (17,5%).
Tchobroutsky dkk pada tahun 1988 mendapatkan 3 kasus LA (5,2%)
dari 57 subjek yang diteliti.
Tabel 3. Insidensi Antikoagulan Lupus (LA) pada wanita normal dan wanita hamil (dikutip dari Coulam)
PenulisReferensi
Jumlah subjek
LA (Jumlah subjek
LA (%)
Populasi yang
dipelajariDuran-Suarez et al, 1982
119 2875 20 0,7 Wanita tidak hamil
Hougie dan Bird, 1985 120 -- -- 5 Hamil normal
Pattison et al, 1988 105 1000 14 1,4 Hamil normal
Lockwood et al, 1988 106 737 2 0,27 Hamil normal
Dari tabel diatas, Duran-Suarez dkk, pada tahun 1982 mendapatkan
angka kejadian LA sebanyak 20 kasus (0,7%) dari 2875 subjek penelitian
pada wanita yang tidak hamil. Sedang untuk wanita yang hamil normal,
6
Pattison dkk pada tahun 1988 mendapatkan bahwa dari 1000 subjek
yang diteliti ditemukan 14 kasus LA (1,4%).
Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang ditemukan Lockwood dkk, 1988,
dimana dari 737 subjek yang diteliti, ditemukan 2 kasus LA (0,27%).
Lockshi, 1999 : 0 - 4,6% ditemukan aPL pada wanita hamil normal.
1,8 – 13,17 % ditemukan LA pada hamil normal.23
Walsh dan Branch, 1997 : 2,5 – 21% ditemukan aPL (+) dan 0 – 9% LA
pada wanita yang pernah abortus berulang.21
Branch 1989 melaporkan dari 43 wanita dengan PE berat pada
kehamilan 34 minggu dijumpai 16% (7 dari 43) mempunyai ACLA.24
Rao 1992 melaporkan 20% (4 dari 20) pasien Eklampsia adalah positif
ACLA.25
Bird Sall 1992 melaporkan 20 dari 105 (19%) wanita dengan riwayat
persalinan yang jelek seperti PE, PJT atau perdarahan antepartum
mempunyai APA.26
Buchanan dkk (1992) melaporkan satu seri penelitian terhadap 100
pasien dengan aPL dan mengalami trombosis sebelumnya, ditemukan
abortus pada 81% kasus.27
Penelitian pada antiautoimun yang menyebabkan keguguran berulang
diketahui berhubungan dengan APA. Sekitar 10% dari seluruh pasien
yang kehamilannya terhenti oleh karena LA dimana 10-13% ditemukan
ACLA.23,24. Pada satu kepustakaan dikatakan 65 pasien dengan LA positif
7
yang tidak diterapi ternyata wanita dengan abortus atau kematian janin
dalam kandungan 95% dari 242 kehamilan.24 LA juga dikaitkan dengan
problem obstetri lain seperti gangguan pertumbuhan janin, PE berat,
korea gravidarum dan sindroma post partum seperti demam, gangguan
jantung dan efusi pleura.28
Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3
Abortus spontan Kematian janin
Preeklampsia berat
Choreagravidarum
Persalinan prematur
Pertumbuhan janin terhambat
Trombosis arteri atau vena
Gambar 1. Komplikasi obstetri dan antibodi antifosfolipid. (dikutip dari Coulam)
BAB III
PATOGENESE
Kelainan fungsi plasenta merupakan penyebab utama komplikasi obstetri
seperti kematian janin dalam kandungan, gangguan pertumbuhan,
8
preeklamsia (PE) dan denyut jantung abnormal yang berhubungan
dengan SAF.
Pengamatan-pengamatan terhadap hal di atas, sebagaimana halnya
dengan trombosis yang berhubungan dengan aPL telah mengarahkan
asumsi bahwa trombosis pada sirkulasi uteroplasenta merupakan dasar
dari terhentinya kehamilan dan komplikasi-komplikasi lain pada wanita
dengan SAF.
Infark yang luas, nekrosis dan trombosis dapat ditemukan pada plasenta
yang mengalami terhentinya kehamilan pada wanita dengan SAF.
Vaskulopati arteri spiralis pada pembuluh-pembuluh darah desidua juga
dihubungkan dengan kematian janin pada aPL.29 Vaskulopati desidua ini
ditandai dengan aterosis akut, penebalan tunika intima, nekrosis fibrinoid
dan tidak adanya perubahan fisiologis pada arteri spiralis yang juga
dihubungkan dengan PE dan PJT. 30
Trombosis plasenta, vaskulopati desidua dan trombosis vaskular yang
berhubungan dengan aPL merupakan akibat dari kemampuan aPL untuk
memulai kaskade mediator trombogenik setelah berikatan dengan endotel
yang rusak, platelet, atau jaringan gestasi.31
Antibodi antifospolipid dapat merangsang produksi E-selectin oleh sel
endotel, adhesi molekul-1 sel vaskular dan adhesi molekul-1 intrasel yang
mengakibatkan adhesi monosit dan trombositogeni. Peningkatan sintesa
faktor aktifasi platelet, faktor jaringan, generasi trombin, peningkatan
aktifasi dan agregasi platelet, sebagaimana halnya dengan fungsi aktifasi
9
inhibisi protein-C dan antikoagulan protein I plasenta (anexin V), juga
dikaitkan dengan aPL.32
Metabolisme eukosanoid juga mungkin terlibat karena ditemukan
peningkatan relatif kadar tromboksan terhadap prostasiklin pada jaringan
gestasi, suatu kondisi yang juga terkait dengan aPL.
Peacemen dan Rehnberg 33,34 menunjukkan bahwa aPL dapat
meningkatkan produksi tromboksan oleh plasenta atau mempengaruhi
pembentukan prostasiklin. Kelompok yang sama menunjukkan bahwa
aspirin menurunkan produksi tromboksan akibat respon terhadap aPL.
LA dipercaya mempengaruhi formasi protrombin aktivator kompleks
dengan menghambat fosfolipid mengaktivasi faktor X (Xa), faktor V, Ca
dan Protrombin Faktor II. LA juga dihubungkan dengan menghambat
produksi prostasiklin pada sel endotel.35,36
Intrinsik Ekstrinsik
XII KONTAK XIIa VII HMKW
XI XIa ca++
IX IXa ca++
10
IXa PL VIIIa VIIa PL Apo
ca++ ca++
X Xa X
LA LA
Xa PL Va ca++
Protrombin Trombin
Fibrinogen Fibrin
Gambar 2. Komplikasi obstetri dan APA (dikutip dari Coulam)
Teori lain mengatakan adanya hambatan dari fibrinolisis dan
berinterferensi dengan sistem anti koagulan.35,36,37 ACLA diyakini bekerja
menyerupai LA. Efek antibodinya bermanifestasi pada plasenta seperti di
pembuluh darah lainnya.38 Pemeriksaan ACLA diperlukan protein 2-
glykoprotein I yaitu apolipoprotein yang sangat mudah terikat pada
posfolipid bermuatan negatif.1 Antibodi antikardiolipin dapat dibedakan
dengan LA dengan cara memisahkannya dengan kromatografi. ACLA
menyebabkan memanjangnya test hemostatis yang bergantung pada
fosfolipid yaitu : test aktivated partial tromboplastin time (aPTT),
Protrombin Time (PT), koagulasi kaolin dan diluted Russel’s viper venom
time (dRVVT). Memanjangnya hasil pemeriksaan tersebut disebabkan LA
menghambat uji koagulasi yang bergantung pada fosfolipid. Antikoagulan
ini menyebabkan beberapa uji hemostatis seperti di atas, memanjangnya
invitro namun aspek klinisnya lebih banyak menyebabkan trombosis.
11
Berbeda dengan LA yang dapat menyebabkan perdarahan dan
trombosis.39
Table 4. Prosedur skrining untuk Antikoagulan Lupus ( LA ) (dikutip dari Coulam)
TesSistem Tes Variabel yang
dipengaruhi oleh
kehamilan
Keuntungan KerugianTkt sensitivitas
Fosfolipid Gambaran lain
APTT
Sumber hewan dan tumbuhan yang bervariasi dengan komposisi
Aktivator yang beragam: Ellagic acid (larut), kaolin, silika
Peningkatan faktor VIII dapat menutupi antikoagulan lupus (LA)
Tersedia, mudah dikerjakan, dapat digunakan dalam langkah
Reagen yang sensitif terhadap LA sangat bervariasi
4
12
dan konsentrasi fosfolipid yang bervariasi
(partikel) konfirmasi fosfolipid
Kaolin Clotting Time (KCT)
Tidak ada penambahan fosfolipid, sedikit platelet residual
Penambahan kaolin; gunakan campuran plasma normal dan plasma pasien
Tidak dipengaruhi oleh kehamilan secara signifikan
Dapat digunakan jika pasien mendapat antikoagulan oral
Sangat sensitif terhadap platelet residual. Tidak langsung dapat dikerjakan
1
Dilute Russel Viper Venom Time (dRVVT)
Melarutkan fosfolipid
Sumber RVV yang beragam
Tidak dipengaruhi oleh kehamilan secara signifikan
Mudah dikerjakan dan tersedia
Tehnik manual; dipengaruhi oleh heparin atau antikoagulan oral
3
Plasma Clotting Time (PCT)
Tidak ada penambahan fosfolipid, digunakan PRP
Penambahplatelet pada pasien PRP dapat memperpendek nilai akibat LA
Peningkatan faktor VIII dapat menumpulkan efek LA
Tidak memerlukan reagensia maupun peralatan
Tehnik manual ; harus dilakukan pada darah segar yang baru diambil
Mekanisme terjadinya trombosis karena ACLA dikemukakan sebagai
berikut : 40,41
1. Penghambat koagulasi tidak efektif
- ACLA menghambat konversi protein – C menjadi protein aktif.
Akibatnya protein – C aktif berkurang dan penghancuran F Va dan
F VIIIa juga berkurang.
- Menghambat aktifitas trombin sehingga trombomodulin bersama
trombin kurang mengaktifkan protein C.
2. Meningkatnya aktifasi trombosit
- Interaksi ACLA dengan fosfolipid membran trombosit menyebabkan
aktifasi trombosit
13
- ACLA menurunkan sintesis prostasiklin di endotel sehingga
prostasiklin sebagai antiagregasi menurun.42,43
3. Gangguan fibrinolisis
ACLA meningkatkan penghambat aktifator plasminogen (PAI-1) di
dalam darah sehingga plasminogen yang dikonversi menjadi plasmin
berkurang.44
4. Mengaktifkan koagulasi
ACLA meningkatkan sistesis faktor jaringan (tissue faktor) oleh endotel
sehingga aktifasi koagulasi melalui sistem ekstrinsik meningkat.45
Bukti langsung peran patogen aPL dalam kehamilan pertama kali
ditemukan oleh eksperimen Branch dkk,46 yang mendemonstrasikan
transfer pasif fraksi IgG dari wanita dengan aPL yang mengalami
kematian janin dalam kandungan kepada tikus Ba1b/c yang hamil normal
(15 mg / tikus, secara intraperitoneal) yang pada akhirnya menyebabkan
kematian janin tikus dalam kandungan. Tikus-tikus tersebut mengalami
keguguran setelah 48 jam penyuntikan dan tidak ditemukan janin hidup
setelah hewan-hewan percobaan tersebut dibunuh pada hari 9 – 15 paska
penyuntikan.
Penelitian histopatologi dan imunofluoresens menunjukkan nekrosis
desidua, peningkatan IgG aPL intravascular dan deposisi fibrin.
Sedangkan tikus-tikus hamil normal yang disuntik IgG dengan jumlah
14
yang sama yang berasal dari wanita hamil normal tidak mengalami
kematian janin, nekrosis plasenta ataupun deposisi IgG.
Imunisasi aktif dengan murine model juga telah diteliti. Imunisasi tikus-
tikus normal dengan β2-glycoprotein 1 (β2GP1) manusia yang telah
dimurnikan menginduksi peningkatan kadar aPL yang pada akhirnya
menyebabkan penghentian kehamilan pada beberapa strain tikus. (Dikutip dari
Coulum)
Lebih jauh, imunisasi dengan aPL patogen manusia juga dapat
menginduksi produksi aPL , dan beberapa dari aPL ini bersifat patogen
dan dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan.47
Eksperimen-ekspiremen di atas secara meyakinkan menunjukkan bahwa
antibodi aPL bertanggung - jawab terhadap kematian janin dalam
kandungan pada wanita dengan SAF.
Patogenesis Sindroma Antifosfolipid dalam Kehamilan
1. Imuno Patogenesis Sindroma antifosfolipid
Hingga saat ini terdapat hipotesis yang menjelaskan peran langsung
autoantibodi dalam patogenese SAF yaitu :
a. Antibodi pada SAF merupakan target protein plasma atau
komponen membran permukaan sel yang terpapar langsung
dengan anti bodi dalam sirkulasi darah.
15
b. Antigen tersebut terlibat reaksi hemostatik dan trombotik pada
permukaan sel endotel vaskuler, trombosit dan komponen sel
darah lain.
c. Transfer imunoglobulin secara pasif pada binatang percobaan
dapat menyebabkan terjadinya SAF.
d. Adanya antibodi antifosfolipid berhubungan dengan serangan
pertama trombosis.
e. Manifestasi klinik yang terjadi pada SAF berhubungan dengan
kadar APA.dikutip dari 48
APA dapat menimbulkan hambatan reaksi antikoagulan dan fibrinolisis,
sehingga dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas dan trombosis,
namun mekanisme kejadian tersebut hingga saat ini belum jelas dan
diduga berlangsung melalui :
a. Penghambatan produksi prostasiklin melalui peningkatan
pembentukan antifosfolipase-A2
b. Penghambatan jalur protein – C melalui peningkatan resistensi
protein – C sehingga terjadi defisiensi protein – C. Penghambatan
ini dapat pula disebabkan oleh peningkatan auto antibodi
antitrombodulin, antiprotein C, antitrombin (atau penghambat
degradasi faktor koagulasi Va).49,50,51
c. Penghambat aktivasi antitrombin III yang disebabkan oleh
peningkatan aktifasi anti HSPG dari anti k2 – GP1.52
16
d. Perangsangan aktifitas antikoagulan 2 – GPI akan menyebabkan
hambatan produksi serotonin oleh aktivasi trombosit ADP –
induced, menghambat aktivitas protrombinase, serta
menghambat pembentukan faktor Xa oleh sel trombosit.53,54
e. Mempengaruhi membran fosfolipid sel trombosit yang
menyebabkan aktivasi trombosit.52
f. Mempengaruhi aktivasi prakalikrein dalam pembentukan
kalikrein.52
g. Mempengaruhi pengeluaran aktivator plasminogen sel
endothelial.52
h. Peningkatan homosistein pada kadar ACLA dan LA tinggi dapat
merusak sel endothelial dan memacu proses trombosis.55
Berbeda dengan terjadinya proses agregasi trombosit lainnya, ACLA
dapat secara langsung menimbulkan reaksi agregasi trombosit tanpa
adanya kerusakan permukaan sel endotel yang diduga terjadi melalui
peningkatan sensitifitas sel trombosit sehingga APA dapat melekat
pada membran permukaan fosfolipid atau melalui peningkatan
produksi tromboksan dan faktor perangsangan (activating factor) dari
sel trombosit.55,56
2. Perubahan Plasenta pada Sindroma Antifosfolipid
Salah satu target utama APA adalah plasenta. Kematian janin pada
trimester kedua dan ketiga telah secara luas diterima sebagai hal yang
17
spesifik pada penderita SAF. Abortus spontan tidak jarang terjadi,
tetapi bila kelainan anatomi dan kromosom dapat disingkirkan, abortus
berulang merupakan kriteria klinis untuk SAF pada wanita dengan titer
sirkulasi dari aCL atau LA yang tinggi.
Kematian janin dengan SAF biasanya didahului pertumbuhan janin
terhambat, oligohidramnion dan kelainan denyut jantung janin yang
disebabkan oleh hipoksia janin, yang mana keseluruhannya
disebabkan oleh insufisiensi uteroplasenta. Insufisiensi uteroplasenta
sering disebabkan oleh vaskulopati yang melibatkan cabang-cabang
akhir pembuluh darah uterus (arteri spiralis) yang menyalurkan
makanan ke ruang intervilli plasenta.
Tanpa memandang usia kehamilan saat terjadinya kematian janin
dalam kandungan yang berkaitan dengan SAF, penelitian histopatologi
plasenta menunjukkan imaturitas.
Vaskulopati ini ditandai dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada
segmen miometrium arteri spiralis yang mendasari plasenta dan
akumulasi makrofag lipid-laden pada tunika intima, nekrosis fibrinoid
pada tunika media dan proliferasi fibroblastik intima. Infiltrat
mononuklear juga sering ditemukan. Karena adanya makrofag lipid-
laden, mengingatkan lesi aterosklerotik pembuluh darah dimana istilah
“aterosis akut” digunakan untuk menjelaskan vaskulopati ini.
Vaskulopati arteri spiralis akan mengurangi laju aliran darah ibu ke
ruang intervilli dan dengan demikian mengurangi pertukaran gas dan
suplai makanan ke janin.
18
Derajat insufisiensi uteroplasenta yang lebih rendah dapat
mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin. Luaran kehamilan yang
paling buruk berkaitan dengan trombosis uteroplasenta multifokal dan
infark plasenta yang merupakan gambaran vaskulopati ekstrim.
Perubahan plasenta pada penderita SAF tersebut akan mengakibatkan
insufisiensi plasenta dan akan diikuti dengan keadaan hipoksia yang
akan menyebabkan kematian janin.21
Sangat disayangkan, tidak ada gambaran histopatologi spesifik untuk
SAF. Pemeriksaan histopatologi plasenta pada wanita dengan SAF
dan kematian janin pada pertengahan trimester kedua menunjukkan
infark yang luas meliputi lebih dari 50% permukaan plasenta.
Temuan yang lebih bermakna menunjukkan bahwa tidak adanya
perubahan fisiologis arteri spiralis pada desidua. Pembuluh-pembuluh
darah ini mempunyai diameter kecil dengan penebalan tunika intima,
nekrosis fibrinoid dan trombosis intraluminal. (dikutip dari APA)
Pemeriksaaan postmortem setelah kematian janin pada usia
kehamilan 30 minggu menunjukkan infark yang luas. Daerah infark
memperlihatkan kongesti dan perdarahan villi, aglutinasi villi dan
nekrosis tropoblasik koagulasi dini. Tidak ditemukan bukti adanya
trombosis intravaskular pada janin. Pada beberapa kasus dimana
dilakukan biopsi placental bed juga ditemukan aterosis pembuluh
darah desidua yang mengindikasikan vaskulopati arteri spiralis. (APA)
Kesamaan gambaran histopatologi SAF dan PE terlihat pada
komplikasi insufisiensi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin
19
terhambat, gawat janin dan kematian janin dalam kandungan yang
menunjukkan bahwa vaskulopati merupakan jalur yang sama untuk
luaran kehamilan yang buruk pada kedua penyakit di atas.
Dasar patogenesis perubahan pada plasenta dapat berupa :
a. Secara imunohistokimia, antifosfolipid IgG akan menyebabkan
berkurangnya jumlah annexin V pada permukaan apikal villi
khorialis dari plasenta dengan pertumbuhan janin terhambat
sehingga terjadi penurunan antikoagulan yang akan merangsang
terjadinya trombosis sehingga terjadi gangguan fungsi
uteroplasenter.57
b. Terbentuknya trombosis dapat menutup lumen pembuluh
uteroplasenter sebagian atau seluruhnya. Ditemukan pula
peningkatan deposit fibrin atau fibrinoid pada permukaan trofoblas
villi membentuk kalsifikasi plasenta.
Kejadian oklusi total / partial dan kalsifikasi ini dapat menghambat
aliran darah uteroplasenter, gangguan fungsi nutrisi dan respirasi
dengan akibat pertumbuhan janin terhambat, gawat janin hingga
kematian janin.58
c. Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi
dapat berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpul
sinsitial, nekrosis sel trofoblas, edema dan perdarahan stroma villi,
proliferasi trofoblas, serta hipervaskularisasi villi, merupakan
gambaran kelainan pada SAF dengan penyakit PE.59
20
d. Pada plasenta dengan kematian janin intrauterina dengan APA
ditemukan penurunan membran vaskulosinsitial, fibrosis pada
daerah infark disertai gambaran hipovaskuler villi dan trombosis
serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan
dengan proses hipoksia kronik.60
e. Pada daerah avaskuler atau hipovaskuler villi plasenta dapat
dijumpai penebalan stroma yang disertai dengan endovaskulitis
hemorogik. APA intraplasenta menyebabkan peningkatan
konsentrasi laminin dan kolagen tipe – IV yang membentuk
membran stroma villi, meskipun tanpa disertai perubahan
konsentrasi molekul pelekat sel (Cell adhesion molecule / CAM,
baik platelet endothelial CAM/PECAM, intercelular CAM-I/CAM-I,
maupun vascular CAM-I/VCAM-I.61
f. Kerusakan jaringan plasenta yang luas akibat peningkatan APA
akan menyebabkan perubahan rasio tromboksan–prostasiklin dan
memacu aktifitas siklooksigenase-2 (COX-2) pada sel endotel
sehingga menimbulkan peningkatan proses agregasi trombosit,
penampilan gejala PE dan memicu persalinan kurang bulan.55
21
BAB IV
KOMPLIKASI PADA SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
Hubungan antara APA dan terhentinya kehamilan sudah dikenal sejak
hampir 20 tahun yang lalu. Sekarang sudah luas diterima bahwa aPL
adalah penyebab kematian preembrionik dan embrionik yang dapat
diobati. (dikutip dari APA)
Hubungan antara aPL dan terhentinya kehamilan pertama kali dilaporkan
oleh Nilson dkk pada tahun 1975 dan oleh Soulier dan Boffa pada 1980.
Pada pertengahan tahun 1980, kriteria klinis untuk SAF ditetapkan, dan
terhentinya kehamilan merupakan salah satu gambaran dari kelainan ini.
Pada Simposium aPL di Sapporo, Jepang, kriteria tersebut mencakup tiga
jenis terhentinya kehamilan sebagai kriteria klinis SAF :
22
1. Kematian janin normal yang tidak terjelaskan sebanyak satu kali atau
lebih setelah usia kehamilan 10 minggu, yang normal secara morfologi
yang didokumentasi secara USG.
2. Persalinan prematur satu kali atau lebih dengan usia kehamilan
dibawah 34 minggu akibat PE atau insufisiensi plasenta, atau ;
3. Abortus spontan tiga kali atau lebih secara berturut-turut sebelum usia
kehamilan 10 minggu, dimana tidak ditemukan kelainan anatomik dan
hormonal pada ibu dan kelainan kromosom ayah, dan tidak ditemukan
penyebab-penyebab keguguran yang lain. (dikutip dari APA)
TERHENTINYA KEHAMILAN DAN ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
Terhentinya Kehamilan yang Berkaitan dengan APA
Walaupun banyak yang menyetujui bahwa aPL dapat menyebabkan
terhentinya kehamilan, tetapi tetap ada kontroversi. Salah satu kontroversi
tersebut adalah kehamilan yang bagaimana yang paling berhubungan
dengan aPL. Suatu seri kasus yang telah dipublikasikan menunjukkan
bahwa 41% dari 131 kehamilan pada wanita yang menderita SAF
mengalami kematian janin dalam kandungan (KJDK).
Pada tahun Oshiro dkk melakukan suatu penelitian retrospektif pada 366
wanita yang mengalami kematian janin sebanyak dua kali atau lebih
secara berturut-turut, 79 menderita LA atau ACLA sebesar > 20 unit GPL,
sedang sisanya 290 orang tidak mengalaminya. Mereka yang menderita
SAF mengalami 50% kematian janin dibanding dengan < 15% kematian
23
janin pada mereka yang tidak menderita SAF. Kira-kira 80% dari mereka
yang menderita SAF pernah mengalami paling sedikit satu kali kematian
janin dibanding dengan 25% yang tidak mengalami SAF.
Harus diperhatikan bahwa jenis kematian janin masih belum jelas
diketahui. Informasi yang lebih meyakinkan disampaikan oleh Rai dkk
yang melakukan suatu penelitian prospektif. Mereka menemukan bahwa
LA atau ACLA menunjukkan respon terhadap pengobatan dengan heparin
atau aspirin dosis rendah pada wanita yang mengalami keguguran
berulang.(dikutip dari APA)
Jenis APA yang Relevan secara Klinik
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 13% wanita dengan keguguran
preembrionik atau embrionik yang tidak menderita SAF menunjukkan
kadar ACLA yang rendah pada pemeriksaan ulang. Penelitian lain
menunjukkan hasil yang sama dimana wanita yang mengalami kematian
janin (terutama preembrionik dan embrionik) memiliki kadar IgG aCL yang
rendah (>95 persentil).(dikutip dari APA)
Sejumlah ahli percaya bahwa sangat sedikit kasus yang menunjukkan
dimana IgA atau IgM APA yang memiliki makna klinis.
Komplikasi Lain selain Terhentinya Kehamilan (dikutip dari APA)
Selain terhentinya kehamilan, SAF juga berhubungan dengan sejumlah
komplikasi obstetri serius termasuk trombosis, PE berat, insufisiensi
uteroplasenta, gawat janin dan persalinan prematur. Komplikasi-
24
komplikasi ini memiliki konsekuensi maternal yang signifikan dan
komplikasi ini secara sendiri atau bersama-sama dapat menyebabkan
kematian janin.
Banyak penelitian menunjukkan angka PE yang tinggi pada pasien yang
menderita SAF. Demikian juga, beberapa penelitian pada penderita PE
menunjukkan kadar aPL yang meningkat bermakna.
Insufisiensi plasenta yang ditandai dengan PJT atau gawat janin timbul
kira-kira 30% pada wanita dengan SAF.
PE dan gawat janin dapat berakhir dengan persalinan prematur.
Persalinan prematur sering terjadi pada penderita SAF.
Suatu seri kasus menunjukkan bahwa kira-kira sepertiga kehamilan
dengan SAF yang diterapi berakhir dengan persalinan prematur. Pada
suatu penelitian prospektif terhadap wanita dengan antibodi IgG atau IgM
aCL tanpa LA, terjadi persalinan prematur pada 13% pasien.
25
BAB V
DIAGNOSIS
Dalam konsensus Internasional Sapporo 1998 disepakati bahwa
diagnosis SAF ditegakkan atas penemuan satu kriteria klinik dan satu
kriteria laboratorium. (dikutip dari APA)
Kriteria Klinik
1. Trombosis Vaskuler
Ditemukan satu atau lebih serangan trombosis arterial, vena, atau
pembuluh kecil pada jaringan atau organ. Kecuali untuk trombosis
vena, diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan doppler atau
pencitraan. Sedangkan pemeriksaan histopatologik memastikan
ditemukan adanya tanda peradangan pada dinding pembuluh darah.
26
2. Morbiditas Kehamilan
(a). Satu atau lebih kematian janin tanpa sebab pada usia gestasi 10
minggu dimana tidak ditemukan kelainan morfologik janin dengan
pemeriksaan ultrasonografi atau visualisasi langsung, atau
(b). Satu atau lebih persalinan kurang bulan pada usia 34 minggu
yang disebabkan oleh PE berat atau eklampsia, atau insufisiensi
plasenta berat, atau
(c). Tiga atau lebih abortus spontan berturut-turut pada usia gestasi
<10 minggu, tanpa dijumpai kelainan anatomik dan hormonal
maternal serta tidak ditemukan kelainan kromosom paternal dan
maternal.
Kriteria Laboratorium
1. Pemeriksaan Antibodi Antikardiolipin
Ditemukan ACLA isotip IgG dan / atau IgM di dalam darah
dengan kadar sedang atau kadar tinggi pada 2
pemeriksaan dengan interval waktu 6 minggu menggunakan
pemeriksaan standar ELISA untuk 2–glikoprotein I-dependent anticar-
diolipin antibodies.
2. Pemeriksaan Antikoagulan Lupus
Ditemukan LA di dalam plasma pada 2 pemeriksaan dengan interval
waktu 6 minggu, yang berdasarkan panduan The International
27
Society on Thrombosis and Hemostatis ditetapkan melalui tahapan
pemeriksaan :
a. Uji penyaring koagulasi bergantung fosfolipid yang memanjang,
seperti : APTT, kaolin clotting time, diluted Russel’s Viper Venom
Time (dRVVT), diluted prothrombin time, textarin time.
b. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring tidak dapat
diperbaiki dengan pemberian plasma normal rendah trombosit
c. Pemanjangan waktu koagulasi pada uji penyaring dapat dikoreksi
atau dipersingkat dengan pemberian fosfolipid berlebihan.
d. Mengeluarkan penyebab koagulopatia lainnya seperti inhibitor
faktor VIII, heparin.dikutip dari Wilson dkk, 1999 4
Manifestasi klinik pengaruh aPL pada kehamilan dengan SAF adalah
antibodi aPL dapat meningkatkan terjadinya keadaan tersebut di
bawah ini :
1. Trombosis dan stroke pada ibu
Resiko trombosis dan stroke meningkat 5% -12%,
2. Kematian janin
SAF banyak dihubungkan dengan kematian janin yang terjadi pada
kehamilan > 10 minggu, khususnya abortus berulang. Penyebab
abortus berulang pada kehamilan < 10 minggu pada umumnya
bukan disebabkan oleh aPL.54
3. Preeklampsia dan eklampsia
28
Antibodi aPL pada keadaan pre eklampsia ditemukan pada 40 –
48%. Sedangkan SAF dalam kehamilan ditemukan sekitar 36%.
(bervariasi 0 – 60%). 22
4. Pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin
Kehamilan dengan SAF memiliki resiko tinggi pada insufisiensi
plasenta dengan manifestasi pertumbuhan janin terhambat dan
gawat janin. Pertumbuhan janin terhambat ditemukan 7 – 31%.22
5. Persalinan kurang bulan
Persalinan kurang bulan ditemukan sekitar sepertiga kasus SAF
disebabkan APA.22,63
6. Sindroma postpartum
SAF pada masa postpartum dapat menunjukkan eksaserbasi
otoimmun berupa demam, timbulnya infiltrat dan efusi pleura.
Pengamatan 15 kasus dengan SAF ditemukan 4 kasus dengan
sindroma post partum, bahkan 2 diantaranya menunjukkan gejala
kegagalan multiorgan (multiorgan failure) yang dikenal dengan
kastatrofik aPL berupa perburukan gejala akibat akselerasi
koagulasi vaskulopati.20
Diagnosis Laboratorium
Antibodi antifosfolipid adalah antibodi yang langsung terhadap antigen
yang terdiri dari fosfolipid yang bermuatan negatif. Dikenal bermacam-
macam jenis fosfolipid didalam darah seperti fosfatidil serin, fosfatidil-
29
inositol, fosfatidil-etanolamin, dan lipid lain yang dapat melakukan
substitusi pada pemeriksaan ACLA dengan teknik ELISA.
Sesuai dengan Konsensus Internasional Sapporo 1998, diagnosis SAF
ditegakkan atas dasar pemeriksaan ACLA atau LA. Pemeriksaan ACLA
memerlukan cawan ELISA yang menggunakan kofaktor komplemen
kontrol protein 2 – gliko protein – I, oleh karena kofaktor ini secara
spesifik berikatan dengan kardiolipin.23
Sedangkan untuk diagnosis LA digunakan uji pembekuan yang tergantung
fosfolipid (phospholipid–dependent clothing test, yaitu aPTT (activated
partial thromboplastin time test) yang umumnya > 50 detik.
Pemeriksaan Antikardiolipin dan Antikoagulan Lupus
Test aCL dan test LA adalah penting untuk mendiagnosa SAF pada
pasien dengan vena atau arteri trombosis yang tidak dapat dijelaskan atau
kegagalan kehamilan yang berulang (abortus) sehingga mungkin dapat
mencegah komplikasi yang akan datang.
1. Uji Antikoagulan Lupus
Merupakan test spesifik imunologi LA terhadap suatu antibodi dari IgG
atau IgM isotipe dimana pertama sekali dikenal pada akhir tahun 1960.
Beberapa ahli menyatakan bahwa efek antikoagulan yang paling nyata
pada saat fosfolipid dalam uji sistem rendah dan efeknya, dapat
dinetralkan bila fosfolipid, platelet (platelet membran juga sumber
30
fosfolipid) ditambah kedalam sistem sering dijumpai positif palsu pada
penderita sypilis, yang merupakan alasan tambahan mengapa LA
menjadi spesifik untuk fosfolipid.
Thiagaraja 1980 menyatakan LA mungkin suatu antibodi aPL yang
merupakan suatu human IgMX antibody monoclonal dengan aktifitas
LA, bereaksi silang dengan suatu variasi dari muatan negatif
fosfolipid.64
Pada penelitian berikutnya ditemukan bahwa antibodi LA bereaksi
silang dengan muatan negatif fosfolipid.
Percobaan lainnya menunjukkan bahwa afinitas antibodi aPL
memperpanjang clotting time plasma dalam suatu kebiasaan yang
mirip LA.
Perpanjangan cloting time invitro LA diyakini terjadi dengan
menghambat protrombin – trombin konversi dalam cloting cascade
suatu reaksi katalis dengan fosfolipid.65
Penggunaan pencucian protrombin dan bekuan protein-protein (faktor
Xa dan V), Ca dan gelembung fosfolipid (fosfatidyl – serine, fosfatidyl
choline), gerakan-gerakan protrombin trombin konversi dapat
dipelajari.
Penelitian berikutnya dapat menunjukkan bahwa antibodi dengan
aktifitas LA dapat menghambat konversi protombin – trombin dan
belakangan ini diketahui bahwa afinitas purifed ACLA menghambat
31
reaksi ini 25 – 50 kali lebih kuat dari seluruh IgG dari pasien yang
sama.66
Semua bukti-bukti diatas membenarkan bahwa anti bodi dengan
aktifitas LA adalah spesifik fosfolipid-fosfatidyl serine, terutama muatan
negatif fosfolipid, diyakini menjadi target antigen.
Namun ditemui juga ada LA dimana kardiolipin negatif begitu pula
sebaliknya.
Beberapa peneliti mengusulkan bahwa antibodi – antibodi itu mungkin
suatu protein spesifik seperti protrombin, protrombin-fosfolipid
kompleks atau suatu 2 glykoprotein 1 – fosfolipid kompleks.67
Ukuran Antikoagulan Lupus
Identifikasi dari LA belum ada standarisasinya, meskipun telah banyak
yang mencoba melakukannya. Secara umum tiga langkah dilakukan
untuk mengidentifikasi LA. Pertama, plasma pasien harus sudah
memanjang masa bekuannya. Suatu variasi dari uji bekuan digunakan
tapi secara umum jumlah yang lebih rendah dari fosfolipid dalam
sistem pengujian lebih memperpanjang waktu bekuan.
Sebagai contoh kaolin clotting time (KCT) adalah sangat sensitif sebab
sedikit saja fosfolipid tampak langsung dalam sistem.
Russel Viper Venom Time (RVVT) menggunakan Russel Viper Venom
untuk mengaktifkan faktor X. RVVT ini diperpanjang sebab antibodi
32
menghambat satu langkah berikutnya pada faktor aktivasi X, sehingga
RVVT menjadi salah satu uji yang lebih sensitif untuk LA.68
Langkah kedua untuk mengidentifikasi LA adalah peragaan yang
memperpanjang masa bekuan tidak mesti dilaksanakan pada
defisiensi faktor bekuan pada plasma pasien. Ini dilakukan dengan
mencampur plasma pasien dengan volume yang sama plasma normal
(test mixing). Plasma normal memberikan faktor bekuan yang keliru,
bila perpanjangan masa bekuan oleh karena defisiensi faktor bekuan
pada plasma pasien, ini akan dikoreksi dengan campuran plasma
normal (plasma normal akan menggantikan faktor bekuan pada
plasma pasien). Pada keadaan lain bila LA atau penghambat faktor
bekuan lain (antibodi faktor bekuan lain seperti protrombin) ada, test
mixing diperpanjang.
Langkah ketiga adalah diferensiasi dari LA dari penghambat faktor-
faktor bekuan. Ini diselesaikan dengan penambahan fosfolipid-
fosfolipid atau prefarat membran platelet (seperti bahan-bahan
fosfolipid) ke plasma.
Bila LA ada, kemudian perpanjangan masa bekuan dicatat pada kedua
langkah sebelumnya normal, atau dikoreksi dengan penambahan.
Perbaikan tidak terjadi kalau penghambat lain ada.68
Secara rinci langkah-langkah identifikasi LA adalah :
33
1. Tentukan bahwa masa bekuan plasma pasien diperpanjang
dengan Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT), Russel
Viper Venom Time (RVVT) atau Kaolin Cloting Time (KCT).
2. Plasma pasien dicampur dengan plasma normal dengan volume
yang sama, tidak ada pembekuan abnormal.
3. Tambahkan fosfolipid atau platelet membrane ke daftar sistem
yang normal.
Indikasi Uji Antikoagulan Lupus
Uji LA diindikasikan pada seluruh pasien yang dicurigai mempunyai
SAF termasuk pasien-pasien dengan trombosis arteri dan vena yang
tidak dapat dijelaskan, wanita dengan kegagalan kehamilan, pasien
yang menunjukkan trombositopenia yang tidak dapat dijelaskan. Ada
sejumlah keadaan-keadaan yang mempengaruhi hasil uji LA yaitu
pasien yang sedang dalam pengobatan oral antikoagulan atau terapi
heparin, pasien dengan penyakit hati dan masa protrombin memanjang
seperti defisiensi faktor pembekuan herediter.
Bila uji LA meragukan, diagnosa SAF harus didasarkan pada aCL atau
ekuivalen aPL enzym-linked immuno assay test (ELISA).
2. Uji Antikardiolipin
Test aCL berguna untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk kardiolipin
(muatan negatif fosfolipid).
34
Uji ini telah dilakukan pada tahun 1983 dengan maksud untuk
menemukan suatu yang lebih sensitif dalam mendeteksi respon APA
terhadap uji LA. Meskipun proporsi substansial pasien-pasien dengan
LA positif, uji aCL tidak semua dilakukan.
Seperti lazimnya pasien dengan hasil uji aCL yang tinggi dapat
mempunyai uji LA yang negatif. Ketidaksesuaian ini mungkin tidak
penting untuk membedakan antibodi-antibodi, tapi dapat menampilkan
milik yang berbeda dari antibodi tersebut.
Polystyrene plates merupakan sediaan khusus uji ELISA mengandung
kardiolipin (biasanya 30 L, 50 /ml kardiolipin dalam etanol). Setelah
etanol menguap dan kering, piringan diblok dengan 10% (vol/vol)
above bovine serum (ABS) dalam phosphate buffer saline (PBS).
Serum pasien dan standar kalibrasi dilarutkan (biasanya 1/50) dalam
10% ABS/PBS. Setelah bloking sempurna, larutan bloking dibuang dan
piringan dicuci dengan PBS, kemudian sampel pasien dan standar di
tambah. Setelah diinkubasi selama 1-3 jam, piringan dicuci dan enzym
linked, isotipe spesifik, anti human antibodi dilarutkan dalam 10%
ABS/PBS. Pengalaman yang terbaik adalah dengan alkalin
phosphatase-anti human anti bodies. Setelah inkubasi dengan enzym
linked anti human antibody, piringan dicuci dan substrat ditambahkan.
Pada tahap ini, piringan diinkubasi pada 37oC dan bila suatu seleksi
positif tinggi + standar (contohnya 90 GPL unit untuk IgG) pada
35
piringan yang sama, mencapai optikal densiti pembacaan dari 1,0,
reaksi dihentikan dengan 3N natrium hidroksida.69
Perhitungan Hasil
Di laboratorium aPL Standar-Dizasion Laboratory Louisville, Kentucky
sudah dilakukan dengan campuran seleksi sera untuk menghasilkan
isotipe spesifik (IgG, IgM, IgA) aCL standar. Standar ini digunakan
pada setiap uji ELISA untuk menyusun suatu kurva kalibrasi. Tingkat
aCL pada piringan sera pasien yang sama dapat diperoleh dari kurva
kalibrasi. Setiap isotipe dilaporkan dalam unit spesifik positivitas.
IgG adalah diekspresikan dalam unit GPL, IgM dalam MPL dan IgA
dalam unit APL. Oleh karena batasan-batasan dari cara pengujian
dapat menjadi agak bervariasi, disarankan hasil tersebut dikatakan
rendah (5-20 GPL, MPL atau unit APL), dikatakan sedang bila (20-80
GPL, MPL atau unit APL), dan tinggi bila (> 80 GPL, MPL atau unit
APL).
Kebanyakan pasien dengan SAF mempunyai kadar IgG aCL diatas 20-
40 GPL unit. Uji IgM aCL cenderung menjadi lebih sering false positif,
tapi kadang kadang sekali pasien-pasien dengan kelainan ini yang
36
mungkin hanya mempunyai test IgM atau IgA positif. Secara umum
pasien-pasien mempunyai tingkat IgM atau IgA sedang atau IgM atau
IgA aCL tinggi.
Salah satu permasalahan dengan uji aCL yang lama adalah pada
pasien dengan penyakit sipilis dan infeksi yang lain, juga dengan
kelainan karena pengaruh obat-obatan, dapat memberikan hasil uji
positif palsu.70
BAB V
DIAGNOSA BANDING
1. Pemakaian obat-obatan seperti Chlorpromazine (CPZ), hidralazin,
propanolol, quinine, dilantin, amoxicillin dan streptomisin.
2. Infeksi yang dapat merangsang pembentukan ACLA dan antikoagulan
lupus yaitu campak (measles), mumps, varicella, parvo virus,
adenovirus, virus Epstein Barr Pneumokokus pneumonia, mikoplasma
dan malaria
3. Karsinoma, poliarthritis nodosa, rheumatoid arthritis, vaskulitis
pulmonal.
37
BAB VI
PENATALAKSANAAN
Diagnosa klinis SAF yang tepat merupakan hal yang krusial untuk
menentukan konseling dan penatalaksanaan yang tepat pada wanita
hamil. Sebagai contoh, wanita dengan riwayat sindroma lupus
eritematosus (SLE), trombosis, kematian janin atau neonatus, atau PE
berat yang juga mempunyai kadar aPL yang sedang atau tinggi
mempunyai resiko yang meningkat secara signifikan untuk mengalami
komplikasi dibanding pasien dengan kadar aPL yang rendah.71
Suatu sistem klasifkasi SAF dapat membantu dalam menentukan
penatalaksanaan yang sesuai.
Sistem klasifikasi ini mencakup : 71
1. Definitif atau klasik.
SAF didefinisikan sebagai pasien LA dengan kadar IgG atau IgM
aCL yang sedang atau rendah dan kematian janin, terhentinya
38
kehamilan pada masa preembrionik atau embrionik yang berulang,
trombosis, atau kematian neonatal pada preeklampsia atau gawat
janin.
2. Sindrom dengan kadar IgG atau IgM aCL yang rendah yang
berhubungan dengan kematian janin atau terhentinya kehamilan
pada masa embrionik atau preembrionik berulang, dan
3. Sindroma antifosfolipid selain LA dan aCL yang berhubungan
dengan kematian janin atau terhentinya kehamilan pada masa
preembrionik atau embrionik yang berulang.
KONSELING PRAKONSEPSI 71
Secara ideal setiap wanita dengan SAF memperoleh konseling pra
konsepsi terhadap risiko yang akan diperoleh selama kehamilan dan
persalinan seperti resiko trombosis dan stroke, kematian janin dan abortus
berulang, PJT, PE/E, dan persalinan kurang bulan. Juga diingatkan resiko
kongenital janin akibat pemberian obat-obatan selama kehamilan seperti
pemberian non steroid antiinflamatory drug (NSAID), glukokortikoid dan
antikoagulan yang dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi selama
kehamilan bagi ibu dan janin maupun bagi bayi masa perinatal. Konseling
ini penting dilakukan mengingat biaya antenatal yang tinggi dan
mengantisipasi adanya delik medikolegal dikemudian hari.48
Penatalaksanaan medikamentosa SAF pada kehamilan adalah dengan
pemberian dosis rendah heparin dan aspirin pada antenatal. Kehamilan
39
dengan SAF walaupun diobati, kematian janin / abortus masih dapat
terjadi dan masih sering juga ditemui PE, gawat janin, gangguan
pertumbuhan janin dan partus prematurus.55
PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
1. Antikoagulan dan Antiagregasi Trombosit
Pengobatan yang rasional pada SAF adalah pemberian antikoagulan
dan antiagregasi trombosit.
Pemberian antikoagulan bisa diberikan prefarat yang tidak melewati
sawar plasenta seperti heparin yang berfungsi untuk pencegahan
proses pembentukan tromboemboli vaskuler. Dosis heparin yang
diberikan disesuaikan hingga tercapai keadaan dimana tidak terjadi
kekambuhan proses trombosis, yaitu ditemukan nilai INR (The
International Normalized Ratio) : 2,6 (2,0 – 3,0) 55
Dosis Heparin VFH adalah 10.000 – 26.600 U/Hari.
Penggunaan aspirin dosis 60 – 100mg/hari efektif untuk SAF melalui
penurunan rasio tromboksan-prostasiklin dan penurunan resistensi
protein C.
Kombinasi heparin VFH 10.000 – 26.600 U/hari dan aspirin 60 – 100
mg/hari dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan 70 – 80%,
bahkan mencapai lebih dari 90% pada pemakaian LMWH dan
aspirin.69
40
2. Glukokortikoid
Pemberian kortikosteroid prednison dengan / tanpa heparin dalam
jangka panjang dapat meningkatkan morbiditas perinatal dan maternal,
dimana terjadi peningkatan kejadian PE, ketuban pecah dini.
Oleh karena itu pemakaian kortikosteroid sebaiknya dibatasi pada
pemakaian jangka pendek misalnya : untuk perangsangan
pematangan alveoli dan vaskuler paru apabila ditemukan komplikasi
yang mengharuskan terminasi kehamilan pada usia kurang bulan.
Dosis glukokortikoid betametason intra muskuler dosis sekali 12
mg/hari atau deksametason dosis 6 mg/hari, 2x /hari peroral selama 4
hari.4
3. Pengobatan lain
Penggunaan Immuno globulin Intravena (IVIG) digunakan pada SAF
dengan tujuan pencegahan perburukan janin melalui penekanan kadar
ACLA dan LA.
Dosis 400 mg/kg BB selama 5 hari setiap bulan, yang mana
menunjukkan keberhasilan kehamilan 62 – 79%.70
Pemberian antibiotika ciprofloxacin pada SAF selain berkhasiat
antikoagulan melalui penurunan konsentrasi antibodi 2 – glikoprotein,
penurunan APTT, dan meningkatkan jumlah trombosit, juga
meningkatkan IL-3 (Interleukin-3) dan GM-CSF (Granulocyte –
41
Macrophage Colony Stimulating Factor) yang diperlukan untuk
pertumbuhan plasenta (Blank dkk 1998) 72
Suplemen kalsium (Kalsium karbonat dosis 2000 mg/hari) serta vitamin
D disertai senam ringan, sebaiknya diberikan selama pengobatan
dengan heparin, sekalipun digunakan LMWH, karena sekalipun kecil
masih dapat dijumpai risiko osteoporesis (Welch & Brawd 1997).
Pemberian asam folat dosis 1 mg/hari dianjurkan untuk pencegahan
defek tubulus neural.21
PERSALINAN PADA SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
Segera setelah memasuki masa inpartu, pemberian heparin harus
dihentikan. Apabila ditemukan indikasi untuk terminasi perabdominal,
pemberian LMWH diganti 2 hari sebelumnya dengan VFH dosis 5-
10.000 U, yang dihentikan 6-8 jam sebelum tindakan dilakukan
pembedahan. Bila hanya digunakan LMWH, maka tindakan
pembedahan dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis terakhir.
Pada masa postpartum, pemberian antikoagulan dihentikan secara
bertahap (tappering off) untuk mencegah resiko tromboemboli dalam 3
bulan pertama postpartum.73
42
BAB VII
RINGKASAN
Sindroma Antifosfolipid dalam kehamilan menunjukkan gejala
meningkatnya resiko abortus dan kematian janin yang diakibatkan oleh
berbagai proses immunopatogenik pada plasenta yang dihubungkan
dengan terbentuknya trombosis. Pemberian antikoagulan dan antiagregasi
trombosit secara efektif dapat meningkatkan keberhasilan kehamilan.
Sindroma Antifosfolipid dalam kehamilan merupakan kelainan yang
disebabkan oleh APA yang ditemukan dalam bidang Obstetri dan
Ginekologi dan dapat menyebabkan kematian janin berulang, morbiditas
maternal dan infertilitas akibat terbentuknya trombosis akan terhambatnya
proses fibrinolitik, yang saat ini dapat diobati dengan hasil yang
memuaskan.
Diagnosa SAF dalam kehamilan dapat ditegakkan dengan menemukan
kriteria klinik dan kriteria laboratorium sedangkan pemeriksaan
histopatologik dilakukan untuk memastikan adanya tanda peradangan /
trombosis pada dinding pembuluh darah plasenta dan villi plasenta.
43
KEPUSTAKAAN
1. Hathaway WE and Good Night SH. Antiphospholipid antibodies in
Disorders of Hemostatis and Thrombosis. A Clinical Guide McGraw
Hill. 362-9.1993.
2. Arnout J and Carera SL. The antiphospholipid syndrome in
Cardiovascular Thrombosis Edr. Verstraete et al Lippincott-Raven 759-
79.1998.
3. Tambunan KL : Miscarriage or recurrent miscarrage Syndromes and
infertility caused by procoagulant defect.
4. Wilson WA, Gharavi AE,Koike T. International concensus statement of
preliminary classification criteria for definite antiphospholipid syndrome.
Report of an International Workshop. Arthritis Rheum 1999; 7 :1309-
11.
5. Derue GJm Englert JH, Harris EN. Et al. Fetal loss in systemic lupus:
association with anticardiolipin antibodies. J Obstet Gynecol 1985 ;
5:207-9.
6. Hughes GRV.1993. The antiphospholipid syndrome ; ten years on.
Lancet 342. 341 – 5.
44
7. Hughes GRV. 1984. Connective tissue disease and the skin. Clin Exp
Dermatol 9. 535 – 44.
8. Weinstein C. Miller M. Axten S IR. Livido retikuloris associated with
increased titers of anticardiolipin antibodies in systemic lupus
erytematosus. Arsh Dermatol 1987. 123 : 596.
9. Eng, Ann, Cutaneous expression of antiphospholipid syndrome. Sem –
Tromb-Hemost. 1994.20.71.
10.Montalgan J. Condina A. Ordi J, Vilardel M. Khasuska. MA Hughes
GRV. Antiphospholipid antibodies in cerebral ischemia stroke.
1991.22.751-753.
11.Asherson RA. Mercy D, Philips G et al. Recurrent stroke and multi
infarct dementia in SLE associated with antiphospholipid antibodies.
Ann Rheum Dis. 1987. 46.605-11.
12.Englert H, Hawkes C. Bocy M. Dago’s disease : Association with
cardiolipin antibodies and the lupus anticoagulant. Brit Med J.
1984.289.576.
13.Levine SR. Langer SL. Albers JW. Sneddon’s syndrome an
antiphosphilipid antibodi syndrome. Neurology, 1988. 38. 798.
14.Frampton G.Winner JB, Cameron JS. Severe Guillane Barre
syndrome. An association with IgA anticardiolipin antibody in a series
of 92 patient. J Neuro immunol 1988. 19.133.
15.Levin S, Welch K. The spectrum of neurologic disease associated with
cardiolipin antibodies. Arch Neurol 1987;44.876.
45
16.Oppenheimer S, Hoffbrand B. Optic Neuritis and myelopathy in
systemic lupus erythematosus. Can J Neurol Sci 1986.13.128.
17.Hamstein A, Norberg R, Bjorkholm M. de Faire U, Holm G.Antibodies
to cardiolipin in young survivor of myocardial infarction : an association
with recurrent cardiovascular events. Lancet 1986 :1 : 113 – 16.
18.Khamastha MA. Cervera R. Asherson RA. et al. Association of
antibodies against phospholipids with heart valve disease in systemic
lupus erythematosus. Lancet. 1990 ; 335 : 1541-44.
19.Cervera R, Khamashta MA. Font J. et al. High prevalence of significant
heart valve lesions in patienst with the primary antiphospholipid
syndrome. Lupus 1991 : 1:43-8.
20.Asherson RA. The catastrophic antiphospholipid syndrome. J
Rheumatol 1992; 19: 508-12.
21.Welsch S, Branch DW. Antiphospholipid syndrome in pregnancy.
Rheum Dis Clin N Am 1997; 23 : 71-84.
22.Branch DW, Silver RM, Pirangeli S, et al. Outcome of treated
pregnancies in women with antiphospholipid syndrome : An update of
the Utah experience. Obstet Gynecol 1992; 80 : 614-20.
23.Locksin MD. Pregnancy loss in the antiphospholipid syndrome. Tromb
Haemos 1999; 82 : 641-8.
24.Branch DW, Andres R, Digre KB, Rote NS, Scott JR. The Association
of Antiphospholipid Antibodies with Severe Pre eclampsia. Obstet
Gynecol 1989; 73 : 541-5.
46
25.Rao AA, Ananthakrishna NC. Anticardiolipin antibodies in eclampsia.
Int J. Gynecol Obstet 1992; 38 : 37-40.
26.Birdsall M, Pattison N, Chamley L. Antiphospholipid Antibodies in
Pregnancy. Aust NZ J Obstet Gynaecol 1992; 32 : 328-30.
27.Buchanan NMM. Khamastha MA. Morton KE. Kerslake S. Baguley E,
Hughes GRV. A study of 100 high risk lupus pregnancies. Am J
Reprod Immunol 1992; 28 : 192-94.
28.Kochenour NK. Branch DW. Rote NS, Scott JR. A new postpartum
syndrome associated with antiphospholipid antibodies. Obstet Gynecol
1987 : 69 :460-8.
29.Nayar R, Lage JM. Placental changes in a first trimester abortion in
maternal systemic lupus erythematosus with antiphospholipid
syndrome: A case report and review of the literature. Hum Pathol.
1996;27:201-6.
30.Khong TY, De Wolf F, Robertson WB, et al. Inadequate maternal
vascular response to placentation in pregnancies complicated by
preeclampsia and by small-for-gestational age infants. Br J Obstet
Gynaecol. 1986;93:1049-59.
31.Lockshin MD. Pathogenesis of the antophospholipid antibody
syndrome. Lupus. 1996;5:404-8.
32.Campbell AL, Pierangeli SS, Welhausen S, et al. Comparison of the
effects of the anticardiolipin antibodies from patiens with the
antiphospholipid syndrome and with syphilis on platelet activation and
aggregation. Thromb Haemost. 1995;73:529-34.
33.Peaceman AM, Rehnberg KA. The Immunoglobulin G fraction from
plasma containing antiphospholipid antibodies caused increased
47
placental thromboxan production. Am J Obstet Gynrcol,
1993;167:1543-7.
34.Peacemen AM, Rehnberg KA. The effect of Immunoglobulin G
fractions from patients with lupus anticoagulant on placental
prostacyclin and thromboxan production. Am J Obstet Gynecol.
1993;169:1403-6.
35.Lubbe WF, Liggins GC. Lupus anticoagulant and pregnancy. Am J
Obstet Gynecol 1985; 153 : 322-7.
36.Branch DW. Antiphospholipid Antibodies and Pregnancy : Maternal
Implications, Semin Perinatal 1990; 14 : 139-46.
37.Ayres MA, Sulak PJ. Pregnancy Complicated by Antiphospholipid
Antibodies. South Med J 1991; 84: 266-9.
38.David N. Munday and Warren RJ : Pregnancy Complicated by the
Antiphospholipid syndrome. Aust NZ. J Obstet Gynecol 33.3 : 255-8.
39.Bowie EJW. Thompson JH Jr. Pascuzzi CA. Owen CA Jr. Thrombosis
in systemic lupus erythematosus despite circulating anticoagulants. J.
Lab Clin Med 1963;62:416-30.
40.Dariou P.Tabelem G, Belucci S. Effect of lupus anticoagulant on
antithrombogenic properties of endothelial cells : Inhibition of
thrombomodulin-dependent protein C activation. Thromb Haemost
1988:60:54.
41.Cosgriff TM. Martin BA. Low functional and high antigenic
antithrombin III level in a patient with the lupus anticoagulant.
Arthritis Rheum 1981 ; 24 : 94.
42.Khamashta MA. Harris EN, Gharavi AE. Immune mediated
mechanism for thrombosis : antiphospholipid antibody binding to
platelet membranes. Ann Rheum Dis 1988; 47 : 849.
48
43.Carreras L, Defreyn G, Manchin S. Arterial thrombosis. Intrauterin
death and lupus anticoagulant : Detection of immunoglobulin interfering
with prostacyclin formation Lancet 1981 : 1 : 244.
44.Angeles-Cano E, Sultan Y; Clauvel JP. Predisposing factors to
thrombosis in systemic lupus erythematosus. Possible relationship to
endothelial cell damage. J Lab Clin Med 1979 : 94 : 312.
45.Sanfellipo MJ. Drayna CJ, Prekallikrein inhibition association with the
lupus anticoagulant. Am J Clin Pathol 1982 : 77 : 275.
46.Branch DW, Dudley DJ, Mitchell MD, et al. Immunoglobulin G fractions
from patients with antiphospholipid antibodies cause fetal death in
Ba1b/c mice: a model for autoimmune fetal loss. Am J Obstet Gynecol.
1990;163:210-6.
47.Pierangelli SS, Davis SA, Haris EN. Induction of phosppholipid binding
antibodies in mice and rabbits by immunization with human β2
glycoprotein 1 or anticardiolipin antibodies alone. Clin Exp Immunol.
1993;78:233-8.
48.Witjaksono J : Sindroma Antifosfolipid dalam kehamilan. Simposium
antifosfolipid KOGI XI Denpasar Bali, 4 Juli 2000.
49.Pierro E, Cirino G, Bucci MR, et al. Antiphospholipid antibodies inhibit
prostaglandin release by decidual cells of early pregnancy : possible
involvement of extracellular secretory phospholipase A2. FertilSteril
1999;71 : 342-346.
49
50.Oosting SD, Derksen RHWM, Bobbink IWG, et al. In vitro studies of
antiphospholipid antibodies and its cofactor, beta 2-glycoprotein I,
show negligible effects on endothelial cell mediated protein CC
activation. Thromb Haemost 1991; 66 : 666-71.
51.Oosting JD, Derksen RHWM, Bobbink IWG,et al. Antiphospholipid
antibodies directed against a combination of phospholipid with
prothrombin, protein C or protein S. an explanation for their pathogenic
mechanism ? Blood 1993 ; 81 : 2818-25.
52.Bick RL. The antiphospholipid thrombosis syndromes : A common
multidisciplinary medical problem. Clin Appl Thromb Haemos 1997; 3 :
270 - 83.
53.Nimpf J, Wurm H, Kostner GM. Beta 2-glycoprotein I (apo-H) inhibits
the release reaction of human platelets during ADP-induced
aggregation. Atherosclerosis 1987; 63 : 109-14.
54.Shi W, Chong BH, Hogg PJ, et al. Anticardiolipin antibodies block the
inhibition by beta 2- glycoprotein I of the factor Xa generating activity of
platelets. Thromb Haemost 1993; 70 : 342-5.
55.Petri MP, Roubenoff R, Nadeau M, et al. HHHomocycteine (HC) : An
independent risk factor for stroke in systemic lupus erymathosus (SLE)
(abstr). Arthritis Rheum 1994 ; 37 : S281.
56.Bick RL, Kaplan H. Syndromes of thrombosis and hypercoagulability :
Congenital and acquired causes of thrombosis. Med Clin N Am 1988;
82 : 409 – 58.
57.Rand JH, Wu XX, Guller S, et al. Antiphospholipid immunoglobulin-G
antibodies reduce annexin V level on syncytiotrophoblast apical
membranes and in culture media of placental villi. Am J Obstet
Gynecol 1997 ; 177 : 918-23.
50
58.Salafia CM, Parke AL. Placental pathology in systemic lupus
erythematosus and phospholipid antibody syndrome. Rheum Dis Clin
N Am 1997 ; 23 : 86-97.
59.Dommisse J, Tiltman AJ. Placental bed biopsy in placental abrupsio.
Br J Obstet Gynaecol 1992 ; 99 : 651 – 7.
60.Out HJ, Kooijman CD, Bruinse HW, et al. Histopathological findings in
placentae from patients with intra-uterine fetal death and anti-
phospholipid antibodies. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1991 ; 41 :
179 – 86.
61.Lacasing L, Campa JS, Parmar K, et al. Normal expression of cell
adhesion molecules in placentae from women with systemic lupus
erythematosus and the antiphospholipid syndrome. Placenta 2000; 21 :
142-9.
62.Oshiro BT. Silver RM, Scott JR, et al. Antiphospholipid antibodies and
fetal death. Obstet Gynecol 1996; 87 : 489-93.
63.Wilson WA, Gharavi AE, Koike T, et al. International Consensus
statement on preliminary classification criteria for definite
antiphospholipid syndrome: report of an international workshop.
Arthritis Rheum, 1999;160:439-43.
64.Lima F, Khamashta MA, Buchanan NMM, et al. A study of sicty
prgnancies in patients with the antiphospholipid syndrome. Clin Exp
Rheumatol 1996 ; 14 : 131-6.
65.Harris EN : Syndrome of the Black Swan. Br J Rheumatol 1987;
26:324-6.
66.Harris EN, Gharavi AE, Tincani A, et al : Affinity purified anti-cardiolipin
and anti-DNA antibodies. J Clin Lab Immunol 1985; 17:155-62.
67.Goldsmith GH, Pierangeli SS, Branch DW, et al: Inhibition of
prothrombin activation by antiphospholipid antibodies and 2
glycoprotein 1. Br J Haematol 1994 (in press).
51
68.Oosting JD, Deksen RHWM, Entjes TI, et al : Lupus anticoagulant is
frequently dependent on the presence of 2 glycoprotein 1. Thromb
Haemost 1992 ; 67 : 499 – 502.
69.Triplett DA : Annotation. Laboratory Identification of the lupus
anticoagulant. Br J Haematol 1989 ; 73 : 139-42.
70.Boda Z, Laszlo P, Pfliegler G, et al. Thrombophilia, antigoagulant
therapy and pregnancy. Orvosi Hetilap 1998 ; 139 : 3113 – 6.
71.Hill JA. Recurrent pregnancy loss – Part II. In : Ryan L. Kistner’s
Gynecology & women’s health, 7th ed. Philadelphia : Mosby, 1999:409-
22.
72.Blank M, George P, Fishman P, et al. Ciprofloxacin immunomodulation
of experimental antiphospholipid syndrome associated with elevation of
interleukin-3 and granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
expression. Arthritis Rheum 1998 ; 41 : 224 – 32.
73.Wijaksono J, Atmakusuma D, Surjans EJ, dkk. Disampaikan pada
simposium “Thrombosis In Pregnancy”, PIT – XII POGI, Palembang
2001.
52