Sindroma Antifosfolipid Dalam Kehamilan Adr
-
Upload
kurnia-sari-syaiful -
Category
Documents
-
view
108 -
download
4
description
Transcript of Sindroma Antifosfolipid Dalam Kehamilan Adr
I- 1
BAB I PENDAHULUAN
Banyak hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu kehamilan sehingga
terjadi suatu keguguran atau gagal mencapai suatu maturitas atau janin dilahirkan
sementara belum dapat bertahan hidup diluar kandungan.Di Amerika dicatat kejadian
keguguran berulang mengenai 500.000 wanita pertahun6 atau dari wanita hamil.28
Pada umumnya sebanyak 25% dari seluruh kehamilan pertama akan berakhir
dengan keguguran.6 Jika seorang wanita mengalami keguguran untuk yang pertama
kalinya maka 90 % disebabkan oleh kelainan kromoson, dan jika mengalami
keguguran berulang kali maka penyebabnya 7 % kelainan kromoson, 10-15 % karena
kelainan anatomi, 15 % karena kelainan hormonal (Progestoren,estrogen,diabetes
atau penyakit tiroid), 6 % tak dapat dijelaskan dan sebagian besar yaitu 55- 65 %
disebabkan karena kelainan pembekuan darah atau defek trombosit yang
menyebabkan trombosis dan infark pembuluh darah plasenta.1,6 Dri penyebab
terbesar ini yaitu masalah prokoagulan didapat kelainan oleh sindroma antifosfolifid
(SAF) sebesar 67 % sticky platelet syndrome sebesar 21 %, defesiensi activator
plasminogen sebesar 9 % dan penyebab yang lainnya masing-masing dibawah 7 %.1
Data ini menunjukan bahwa sindroma antifosfolipid memegang peranan yang paling
besar sebagai penyebab kegegalan suatu kehamilan.6 Sumber lain mencatat bahwa
15-40 % wanita yang mengalami keguguran berulang mempunyai antibody
antikardiolipin atau lupus antikoagulan.28
Perhatian pada SAF ini bermula pada penemuan antikoagulan lupus pada kira-
kira 10 % penderita lupus sistemik pada tahun 1952 dan segera setelah itu diketahui
adanya antikoagulan lupus tidak seperti namanya malah berhubungan dengan
kejadian trombosis bukannya pendarahan.19,21,33,39,40 Dari penelitian berikutnya
didapatkan suatu hal yang sangat penting yaitu baghwa antibody antikardiolipin dan
I- 2
antikoagulan lupus berhubungan dengan trombosis dan tromboemboli system vena
dan arteri,keguguran berulang dan trombositopenia.21,33,37
Sesuai dengan criteria Sapporo mengenaiSAF maka pengobatan yang
dianggap rasional adalah melakukan terapi prevensi dan kuratif dengan pemberian
antiagregasi trombosit dan antikoagulan.4 Meskipun masih controversial, warfarin
tidak dianjurakn untuk digunakan pada kehamilan dengan sindroma antifosfolipid
karena dapat melewati sawar plasenta dan menyebabkan kelainan pada janin. Heparin
tidak melewati sawar plasenta sehingga tidak dianggap aman digunakan pada
kehamilan untuk mencegah proses pembentukan tromboemboli vaskuler.4 Beberapa
regimen lain seperti aspirin dosis rendah, kortikostreoid, immunoglobulin intravena
atau antibiotika siprofloksasin juga pernah di copba sebagai terapi.4
Karena pemakainnya yang aman dalam kehamilan dan effektivitasnya yang
tinggi untuk menghantar suatu kehamilan dengan SAF untuk melahirkan bayi yang
variable maka heparin klehamilan dapat meningkatkan keberhasilannya sampai
tercapainya kehamilan aterm yaitu sebesar 73 % pada pemakaian UFH dan 88 % pada
pemakaian LMWH.4 Dalam maklah ini akan dibahs penanganan sindroma
antifosfolipid yang menggunakan heparin dengan segala permasalahnnya.Diharapkan
dengan diskusi yang timbul dari makalah ini dan dari kesimpulan yang disepakati
dapatlah dibuat suatu algoritma penatalaksanaan SAF dalam kehamilan yang
menggunakan heparin yang dapat diterima RSCM.
I- 3
BAB II SINDROMA ANTIFOFOLIPID DALAM BIDANG OBSTETRI
Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang esbagian besar bersifat
didapat bukan bawaan yang terdiri dari 2 sindroma klinik yang berhubungan erat tapi
jelas berbeda yaitu sindroma trombosis antikoagulan lupus dan sindroma trombosis
antibodi antikardiolipin.21,33 Sekalipun keduanya berbeda tetapi terdapat perbedaan
yang jelas dalam hal klinis, laboraturium, perbedaan biokimia terutama mengenai
prevalensi, penyebab, kemungkianan mekanisme, presentasi klinis dan
penanganannya.21,33 Antibodi antifosfolipid dalam sidroma ini dapat dideteksi dengan
reaktivitasnya terhadap fosfolipid anion (atau kompleks protein – fosfolipid) dalam
pemeriksaan dengan immunoassays atau dengan inhibisinya terhadap reaksi koagulasi
yang bergantung pada fosfolipid yang di kenal sebagi efek lupus antikoagulan.37
Sindroma antibodi antikardiolipin 5 kali lebih sering terjadi dibandingkan
dengan sindroma antikoagulan lupus.21,33 Sindroma antikoagulan lupus sekalipun
kadang-kadang berhubungan juga dengan penyakit arteri, lebih sering dihubungkan
dengan trombosis vena.21,33 Antibodi antifofolipid ini mengenai pembuluh darah dari
semua ukuran.37
Sindroma antifosfolipid sebenarnya bermanifestasi dalam berbagai macam
gejala klinis seperti keadaan hiperkoagulasi, trombositopenia, keguguran berulang,
dementia yang muncul lebih dini, stroke, perubahan optik, penyakit addison dan ruam
kulit.3,32,39
Sindroma antifosfolipid terdiri dari dua golongan yaitu primwer dan
sekunder.33,35 Yang primer sifatnya genetik dan tidak mempunyai dasar kelainan
medis. Yang sekunder di dapati pada pasien yang mempunyai dasar kelainan medis
seperti pada penderita keganasan,immunethrombocytopenia,leukimia, infeksi, seperti
sifilis, tuberkulosa, dan AIDS dan pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan
I- 4
seperti; klorpomazin, dilantin, Fansider, hidralazin, kinidin, kinin fenotiazin, kokain,
prokaininamid, fenitoin, dan alfa interferon.21,33,35
Epidemiologi Pada suatu penilitian pada darah dari donor ditemukan bahwa sebanyak 8 %
orang sehat tapa kelainan apapun mengandung antifosfolipid dalam titer rendah dan
paling umum terjadi pada wanita muda , yang disebut bentuk primer.21,32,33 Bentuk
lain terjadi bila ada kelainan lain yang mendasari, seperti sebanyak 30-50 % pasien
dengan SLE mempunyai antibodi antifofolipid dan sampai 30 % pasien dengan HIV
juga akan berkembang mempunyai antibodi tersebut meskipun biasanya tidak
menyebabkan trombosis.32 Penelitian pada paien yang mengalami abortus spontan
berulang, ditemukan antibodi antifosfolipid ini sebanyak 15 % 33 sedangkan
penelitian lain mendapatkan angka 21 %. Orreli et al menemukan bahwa 60 % pasien
dengan keguguran habitualis yang tak dapat dijelaskan menderita sindroma antibodi
antifosfolipid.6 Lockwood dkk (1989) mempelajari 737 wanita hamil yang normal
tanpa riwayat keguguran berulang dan mendapati bahwa 0,27 % diantaranya
mempunyai antikoagulan lupus dan 2,2 % mempunyai antibodi antikardiopilin IgG
atau IgM yang meningkat.40 Haris dan Spinato mempelajari 1449 wanita yang dapat
hamil berturut-turut dan mendapati 1,8%nya yang menpunyai antibodi antikardiolipin
IgG dan 3,4 % nya untuk antikardioluipin IgM.40 Pada wanita-wanita yang
mempunyai antibodi antifosfolipid, 80 % diantaranya pernah mengalami paling
sedikit 1 kali keguguran.6 Jika dihubungkan dengan penyebab fertilitas saja maka
sindroma antifosfolipid ini mempunyai andil sebesar 30 %.1,6
Wesch dan Branch menemukan bahwa bila ditemukan antibodi antikardiolipin
IgM tanpa IgG atau antikoagulan lupus mak signifikasinya secara klinis diragukan,
sebaliknya IgG merupakan penentu hasil akhir suatu kehamilan.3 Bila pada seorang
wanita ditemukan antibodi antikardiolipin sebesar 40 unit GPL atau kurang maka
kejadian kematian janin sebesar dibawah 20 % sedangkan bila ditemukan > 80 unti
GPL maka kematian janin mendekati 40 % .3 Lebih 80 % wanita dengan riwayat
I- 5
kematian janin sebelumnya dan dengan kadar antibodi kardiolipin IgG > 80 unti GPL
akan mengalami kematian janin pada kehamilan berikutnya jika tidak diterapi .3
Wanita yang mempunyai antibodi kardiolipin mempunyai kemungkinan untuk
mengalami kegagalan kehamilan sebesar 50-70 % dan jika diberi terapi antikoagulan
dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan sampai hamil aterm sampai 80 %.21
Tabel 1. Frekuensi antibodi antifosfolipd pada pasien dengan kegagalan kehamilan
berulang dan pada kontrol16
Antikoagulan lupus Antikardiolipin IgG Total
Peneliti RPL (%) Kontrol(%) RPL(%) Kontrol(%) RPL(%) Kontrol(%)
Petri 4/44(9) 0.40(0) 5/44(11) 1/40(2) 7/44(16) 1/40(2)
Berbui ** 7/40(14) 0/141(0) 4/49(8) 0/141(0) 7/49(14) 0/141(0)
Parazzini** 16/220(7) 0/193(0) 11/99(11) 4/157(3) 10/99(10) 4/157(3)
Parke 4/81(5) 4/88(5) 6/81(7) 0/88(0) 8/81(10) 4/88(5)
Out*** 5/102(50 - 8/102(8) 2/102(2) 11/102(11) -
Median(%) (7) (0) (8) (2) (11) (2,5)
RPL= Recurrent Pregnancy Loss
** = Dengan 2 kegagalan kehamilan berturut-turut, penyebab lain di singkirkan
*** = Dengan 3 kegagalan kehamilan berturut-turut pada trimester I atau paling
sedikit kematian janin yang tak dapat dijelakan setelah usia gestasi >12 minggu
Dasar diagnosa Pada suatu pertemuan internasional di Sapporo Jepang pada tahun 1998 telah
diputuskan berdasrkan konsesus bahwa definisi sindroma antifosfolipin adalah suatu
kelainan dimana ditemukannya gejalan trombosis vaskuler dan atau mordibitas
obstetri yang disertai adanya antikardioluipin dan atau antikoagulan lupus.31 Hasil
konsesus menyatakn sindroma antifosfolipid dianggap terjadi bila terdapat paling
sedikit 1 kriteria klinik dan 1 kriteria laboraturium.31
I- 6
Komplikasi dalam bidang Obstetri Dalam bidang obstetri sindroma entifosfolipid dapat menimbulkan banyak
komplikasi seperti:
1. Keguguran berulang.19
Dua penelitian pada wanita hamil dengan antibodi antifossolipid positif mendapati
bahwa angka kejadian keguguran berulang lebih tingi dari yang negatif.
Dibandingkan dengan wanita dengan antikardiolipin negatif maka pada yang positif
angka kejadian abortus meeningkat 2,6 kali.3,35,41
2. Preeklamasia
Kejadian preeklamasia menigkat 6 kali dan juga menyebabkan preeklamsi dibawah
usia gestasi 20 minggu.1 Welsch melaporkan kejadian preeklamsi sebesar 48 % dan
pregnancy induced hypertension (PIH) sebesar 40 %.3,29
3. Vaskulopati desidua.39
4. Kejadian Trombosis berulang.43 Infark yang menyebabkan insufisiensi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, fetal distress dan kematian janin dalam
kandungan .3,29,41 Angka pertumbuhan janin terhambat meningkat 6 kali dibanding
pasien normalatau sebesar 30 %.3,38,41
5. Kelahiran Prematur
Kelahiran prematur umum terjadi pada pasien dengan sindroma antifosfolipid,
mendekati 1/3 pasien yang di terapi.3
6.Ganguan hematologi seperti anemia hemolitik dan trombositopenia.40
Trombositopenia terjadi 30 % dari semua kasus sindroma antifosfolipid.19,29
7. Hipertensi pulmonun.40
8. Pad masa nifas dapat timbul demem , infiltrat pulmonun, efusi pleura dan sindroma
HELLP.41,38
9. Oligohidramnion.35
Karena masalah yag paling utama dalam sindroma antifosfolipid ini adalah
masalah keadaan hiperkoagulasi yang menyebabkan mudah terjadinya trombosis
sesuai dengan kriteria internasional Sapporo maka pengobatan yang rasional adalah
I- 7
melakukan terapi prevensi dan kuratif dengan pemberian antikoagulan dan
antitrombotik.4 pasien dengan sindroma antifosfolipid yang mempunyai riwayat
trombosis dan ingin hamil harus dievalusi dengan cermat. Pasien-pasien ini
memerlukan terapi dan bukan pencegahan.19 Supaya dapat memberikan terapi yang
tepat sehingga dapat mengantisipasi semua gangguan yang timbul akibat sindroma
antifosfolipid maka harus dimengerti dahulu apa yang sebenarnya terjadi dalam
proses trombosis ini sehingga tindakan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
I- 8
BAB III PATOGENESIS
SINDROMA ANTIFOSFOLIPID DALAM KEHAMILAN
!. Imunopatogenesis SAF Hingga saat ini terdapat hipotesis yang menjelaskan secara langsung otoantibodi
dalam potogenseis sindroma antifosfolipid,yaitu ;
a) Antibodi pada sindroma AFL merupakan target protein plasma atau
komponen menbran permukaan sel yang terpapar langsung dengan antibodi
dalam sirkulasi darah
b) Antigen tersebut terlibat dalam reaksi hemostatik dan trombotik pada
permukaan sel endotel veskuler, trombosit dan komponen sel darah lain
c) Tranfer imunoglobulin secara pasif pada binatang percobaan dapat
menyebabkan terjadinya sindroma AFL
d) Adanya antibodi antifosfolipid berhubungan dengan serangan pertama
trombosis
e) Manifestasi klinik yang terjadi pada sindroma antifosfolipid berhubungan
dengan kadar antibodi antifosfolipid.
Antibodi antifosfolipid dapat menimbulkan hambatan reaksi antikoagulan
dan fibrinolisis, sehingga dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas dan trombosis.
Mekanisme kejadian tersebut hingga saat ini masih belum jelas, dan diduga melalui:
a) Penghambatan produksi protasiklin melalui peningkatan pembentukan
antifosfolipase-A2 (piero dkk,1992)
b) Penghambatan jalur protein C melalui peningkatan resistansi protein-C
sehingga terjadi defesiensi protein C (Coumand dkk, 1999); penghambatan ini
dapat pula terjadi disebabkan oleh peningkatan atoantibodi antitrombodulin,
I- 9
Antiprotein C antitrombin( Oosting dkk, 1991) atau penghambatan degradasi
faktor koagulasi Va (Oosting dkk,1993)
c) Penghambatan aktivasi antitrombin III yang disebabkan oleh peningkatan
aktifitas anti-HSPG dan anti ß2 –GPI (Bick,1997)
d) Perangsangan aktifitas antikoagulan ß2 –GPI akan menyebabkan hambatan
produksi serotonin oleh aktifasi trombosit ADP – induced ( Nimf dkk,1986),
menghambat aktifitas protombinase (Nimf dkk, 1987), serta menghambt
pembentukan faktor X oleh sel trombosit( Shi dkk, 1993)
e) Mempengaruhi membran fosfolipid sel trombosit yang menyebabkan aktivasi
trombosit (Bick, 1997)
f) Mempengaruhi aktivasi prekalikrein dalam pembentukan kalikrein
( Bick,1997)
g) Mempengaruhi pengeluaran aktivator plasminogen sel endothelial
( Bick,1997)
h) Peningkatan homosestein pada kadar ACA dan CLA tinggi dapat merusak sel
andothelial dan memacu proses trombosis( Petri dkk,1994)
Berbeda dengan terjadinya prosese agregasi trombosit lainnya, antibodi
anticardiolipin dapat secara langsung menimbulkan reaksi agregasi trombosit tanpa
adanya kerusakan permukaan sel endhotel yang diduga terjadi melalui peningkatan
sensitifitas sel trombosit sehingga antibodi AFL dapat melekat pada membran
permukaan fosfolipid (Bick & Kaplan,1998) atau melalui peningkatan produksi
tromboksan dan faktor perangsangan ( activating factor) dari sel trombosit
( Petri,1997)
2. Perubahan plasenta pada SAF Dalam klasifikasi sindroma antifosfolipid, morbidilitas obstetric disebabkan secar
langsung dan tidak langsung oleh aktifitas antibodi AFL dan pembentukan trombosis
pada pembuluh plasenta. Walaupun pada saat ini belum ditemukan gambaran
histipatologik specifik pada embrio atau janin yang mengalami kematian akibat
I- 10
antibodi AFL, pengamatan perubahan plasena pada kematian janin akibat antibodi
SAF menunjukan adanya vaskulopati arteri spirales ( De Wolf dkk,1982), infark
plasenta (Erlendsson dkk, 1993), atau kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada
penderita sindroma AFS tersebut akan mengakibatkan isufisiensi plasenta yang akan
diikuti dengan keadaan hipoksia yang akan menyebabkan kematian janin( Welsh &
Branch, 1999)
Dasar patogenesis perubahan pada plasenta dapat berupa:
a) Secara imunohistokimia, antifosfolipid IgG akan menyebabkan berkurangnya
jumlah annexin V pada permukaan apikal villi khoriales dari plasenta dengan
pertumbuhan janin terhambat sehingga terjadi penurunan antikoagulan yang
akan merangsang terjadinya trombosis sehingga terjadi gangguan fungsi
uteroplasenter ( Rand dkk, 1997)
b) Terbentuknya trombosis dapat menutup lumen pembuluh uteroplasenter
sebagian atau seluruhnya; ditemukan pula peningkatan deposit fibrin atau
fibrinoid pada permukaan trofoblas villi membentuk klasifikasi plasenta
( Salafia & Parke, 1997). Kejadian okulasi total/partial dan klasifikasi ini
dapat menghambat aliran darh uteroplasenter gangguan fungsi nutrisi dan
respirasi dengan akibat pertumbuhasn janin terhambat, gawat janin hingga
kematian janin.
c) Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi dapat berupa
hematoma retroplasenter, peningkatn jumlah simpul sisnsitial, nekrosis sel
trofoblas, edema dan pendarah stroma villi, proliferasi trofoblas, serta
hipovaskularisasi villi merupakan gambaran kelainan pad sindroma
antifosfolipid dengan penyulit preeklampsia ( Brosens & Renar, 1972;
Robertsondkk,1986; Dommisse & Tiltman , 1992)
d) Pada plasenta dengan kematian janin intrauterin dengan antibodi
antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulo-sinsitial, fibrosis pada
daerah infark disertai gambaran hipovaskuler villi dan trombosis srta
I- 11
pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan dengan proses
hipoksia kronik (Out dkk,1991)
e) Pad daerah avaskuler atau hipovaskuler villi plasenta dapat dijumpai
penebalan stroma yang disertai dengan endovaskulitas hemoragik ( Salafia &
Parke, 1991);Antibodi antifosfolipid intraplasenta menyebabkan peningkatan
konsentrasi laminin dan kolagen tipe – IV yang membentuk membran stroma
villi ( Amigo & Khamastha,2000), meskipun tanpa disertai perubahan
konsentrasi molekul pelekat sel( sell adhesion molecule/ CAM, baik platelet
endhotelial CAM/PECAM, intercellular CAM-1/ICAM-1, maupun vascular
CAM-1/VCAM – 1) (Lecasing skk, 2000)
f) Kerusakan jaringan plasenta yang luas akibat peningkatan antibodi
antifosfolipid akan menyebabkan perubahan rasio tromboksan-protasklin dan
memacu aktifitas siklooksigenase-2 ( cox-2) pada sel endotel ( Walsh &
Wang,1995; Petri,1997 ) Sehingga menimbulkan meningkatkan proses
agregasi trombosit, penampilan gejala preeklamsia dan memicu proses
persalinan preterm
I- 12
BAB IV DIAGNOSIS SINDROM ANTIBODI ANTIFOSFOLIPID
Diagnosis sindrom antibodi antifosfolipid ditegakan berdasrkan gejala klinis
dan laboratorium yang menunjukan adanya antifosfolipid .
Gambaran klinis mencakup:
a.Gambaran utama : Trombosis, kehilangan janin berulang dan trombositopenia
b.Gambaran lain : stroke,dementia multi infark, penyakit katup, anemia
hemolitik dan lain-lain.
Vlacholyiannopoulos 9 memperlihatkan gambaran klinis terbanyak pada 30
pasien yang di telitinya berturut-turut: tromboflebitis, arteritis, trombosis arterial,
livedo retikularis, hipertensi, abortus spontan dan anemia hemolitik.
Sindrom antibodi antifosfolipid yang dijumapi pad penderita LES, penyakit
autoimun lainnya, keganasan, infeksi, pemakian obat-obatn dikenal sebagi sindrom
antibodi antifosfolipid sekunder. Bila tanpa penyakit yang mendasarinya disebut
sindrom antibodi antifosfolipid
Primer 4,7,9,11,13,16,17.
IV.1 PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan laboratorium pada APS di tunjukan untuk mendeteksi adanya
antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Prevalensi kedua antibodi ini
berkisar antara 6- 73 % pada penderita APS sekunder dengan SLE 1,6,23,24,25,
tergantung test yang dipakai.
Antikoagulan lupus Antikoagulan lupus pertama kali didapatkan pad pendwerita lupus arimatosus
sistemik. Antibodi ini merupakn suatu iminoglobulin ( IgG atau IgM ) yang
I- 13
mempengaruhi beberapa langkah pembekuan tergantung fosfolipid 5,13. Nama ini
betulnya kurang tepat , karena antikoagulan lupus tidak hanya ditemukan
padapenderita lupus erimatosus sistemik saja. Antikkoagulan lupus merupakan
anggota keluarga antibodi antifosfolipid (APA ), yang mencakup juga antikardiolipin
dan antibodi terhadapo fosfolifid bermuatan negatif atau netral lainnya(tabel).
Usaha- usaha untuk mendapatkan standar diagnosis antikoagulan lupus telah
banyak dilakukan, namun sampai saat ini belum ada satu metode pun yang mampu
mendetesi seluruh antikoagulan lupus 5,6,13. Oleh karenanya dianjurkan pemakaian
satu seri pemeriksaan penyaring dan konfirmasi.
Triplett 5 Mekomendasikan kriteria minimal untuk menentukan adanya
antikoagulan lupus, sebagai berikut:
1. Memastkan adanya pemanjangan test - test pembekuan yang tergantung
fosfolipid ( test penyaring )
2. Buktikan bahwa kelainan disebabkan oleh inhibator, bukan oleh defesienasi
( test pencampuran )
3. Memastikan inhibator tergantung dengan fosfolipid ( test konfirmasi )
Test penyaring Suatu asfek penting pad diagnosis antikoagulan lupus adalah mempersiapkan
plasma rendah trombosit melalui; sentrifugasi, filtrasi atau dengan menambahkan
klorofom. Sensitifitas beberapa test penyaring berbanding terbalik dengan jumlah
trombosit dalam plasma 5,13
Prosedur penyaring yang paling banyak digunakan untuk deteksi antikoagulan
lupus adalah APTT, KCT, dRVTT dan PCT ( tabel). Berbeda dengan test-test lainnya,
PCT menggunakan plasma segar, dimana jumlah trombosit tidak mempengaruhi
sensitifitas terhadap antikoagulan lupus . Jika test pertama mendapatkan nilai normal,
kita harus memeriksa setidaknya satu test penyaring lainnya 5.
I- 14
Activated partial thromboplastin time Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur
intrinsik dan jalur bersama, merupakan prosedur penyaring yang paling banyak di
gunakan.
Prinsip pemeriksaan adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke
dalam plasma ditambahkan reagen APTT pad suhu 370 C 18,26. Nilai normal berkisar
antara 20-40 detik, hasil dikatakan memanjang bila didapatkan perbandingan APTT
plasma penderita dan plasma kontrol melebihi 1,3 27.
Kaolin Clotting time Merupakn modifikasi dari APTT. Cara ini sangat sensitif terhadap sisa
trombosit 5, 13.
Mc Hugh menyatakan bahwa KCT merupakan cara yang paling sensitif untuk
mendeteksi adanya antikoagulan lupus pada penderita dengan trombosis dan
trombositopenia. Sampai saat ini hasil test belum dapat dibaca secar otomatis karena
opasitasnya tidak sesuai dengan pembaca fotooptik dan anlizer koagulasi. Keterbatan
lainnya adalah ketidakmampuan test ini sebagai prosedur konfirmasi.
Dilute Russel viver venom time Pemeriksaan ditujukan untuk melihat kalainan pada faktor V dan faktor X.
Test dilakukan dengan menambahkan sejumlah reagen pada plasma rendah trombosit.
Lamanya terbentuk bekuan diukur setelah penambahan larutan ion kalsium satu menit
setelahnya 26.Hasilnya dikaì
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan adanya antikoagulan lupus bila
dijumpai:
1. Pemanjangan test-test pembekuan yang tergantung fosfolifid, seperti APTT,
KCT, dAPTT, atau dRVTT.
2. Waktu pembekuan tetap memanjang meskipun dicampur dengan plasma
normal.
I- 15
3. Aksentuasi efek inhibator jika fosfolipid dikurangi atau netralisasi efek
inhibator jika fosfolipid ditingkatkan.
ANTIBODI ANTIKARDIOLIPIN Antibodi antikardiolipin dapat dideteksi dalam srum maupun plasma, mulanya
antibodi ini dianggap sama dengan dengan antikoagulan lupus. Keberhasilan
pemisahan ACA dan LA pada plasma yang sama menunjukan bahwa kedua antibodi
tersebut berbeda satu sengan lainnya 1,13,15.
Penderita dengan antibodi antikardiolipin yang positif sering menunjukan
hasil positif pada test VDRL 13. Hasil positif dimungkinkan karena reagen VDRL
mengandung kardiolipin disamping kolestrol dan lesitin 1.
Untuk memudahkan penentuan adanya antibodi antifosfolipid, dianjurkan
melakukan pemeriksaaan antibodi antikardiolipin dan anti- antikoagulan lupus secara
bersamaan ( gambar ).
Pada pemeriksaan antibodi antikardiolipin, perlu ditentukan isotipenya ( IgG,
IgM, IgA ). Alasan penentuan isotipe pada antibodi antikardiolipin adalah penemuan
beberapa studi bahwa isotope IgG adalah prediktor utama terjadinya trombosis dan
kehilangan kehamilan 3,13.
Aktifitas antibodi antikardiolipin dinyatakan dalam satuan GPL unti/ml dan
MPL unit/ml. Hasil dikatakn positif bila kadar ACA . 2 SD diatas nilai rata-rata IgG
atau IgM orang sehat 12,28, positif ringan bila kadar GPL 5-15 unit dan MPL 3-6 unit,
sedangkan bila kadar GPL 15-80 unit atau MPL 6-50 unit, positif kuat bila kadar
GPL > 80 unit dan MPL > 50 unit 11.
Keuntungan metode ini antar lain: dapat digunakannya serum yang beku,
pemakaian volume serum yang kecil, kemampuan untuk menentukan titer antibodi,
mampu menentukan isotupe serta hasilnya tidak dipengaruhi oleh pengobatan
antikoagulan 13 Perbedaan hasil mungkin disebabkan oleh pemakian sera
antikardiolipin
I- 16
Yang berbeda, perbedaan bahan serum ( segar atau beku ) perbedaan temperatur,
lamnya waktu inkubasi, perbedaan isotipe atau terdapatnya bahan-bahan nonanion 5.
MANIFESTASI KLINIK Trombosis Banyak penelitian yang menunjukan adanya hubungan nyata antara antibodi
antifosfolipid dengan trombosis 3,6,11,12,14,23,25. Vianna dkk 30 mendapatkan spesitasnya
sebesar 92 %, penelitian lain memperlihatkan resiko untukterjadinya trombosis pada
individu dengan APA 2,7 sampai 11,9 kali lebih besar dibanding orang normal 16.
Penelitian tentang peranan antibodi antifosfolipid pada trombosis sebagian
besar masih dilakukan secara in vitro dan retrispektif, sehingga tidak mampu
menjawab secara tuntas bagaimana peranan APA sesungguhnya.
Trombosis yang dihubungkan dengan antibodi antifosfolipid dapat terjadi
pada arteri, vena, atau keduanya. Awalnya diduga hanya melibatkan pembuluh darah
besar, terutama mbuluh vena tungai bawah dan pembuluh darah otak. Namun pada
kenyataanya dapat melibatkan pembuluh darh dalam segala ukuran 4, 7,9,14.
Manifestasinya dapat berupa stroke, infark miokard atau trombosis vena dalam,
tergantung bagian tubuh yang dipengaruhi ( tabel ).
Pada kenyataannya, walaupun antibodi Antifosfolipid dapat di jumpai pad
sirkulasi secar menetap dan dengan titer tingi selam bertahun-tahun, tetapi proses
trombosis tidak selalu terjadi 21,29. Ini menunjukan adanya suatu faktor lain yang
mengaktifkan APA sehingga terjadi trombosis 4,14.
Pierangeli dan Harris 19 memperkirakan antibodi ini akan meningkatkan
proses trombosis setelah prosesenya dimualai. Mereka memperlihatkan tikus yang
diberikan rangsangan mekanik pada vena femoralis ( sehingga terbentuk bekuan)
yang diikuti penyuntikan IgG dari penderita sindrom antibodi antifosfolipid, akan
mempunyai:
a. Ukuran trombus yang lebih besar.
I- 17
b. Trombus menetap lebih lama dibandingkan tikus yang disuntik dengan IgG
orang sehat dan yang disuntik dengan larutan garam fisiologis.
Gambaran neurologis sangat beragm, mulai dari iskemia serebral, ifark luas,
demensia multiinfark sampai gejala yang nyata 14.
Hugh 24 memperlihatkan hubungan yang nyata antara kelainan serebrovaskuler
dengan antibodi antifosfolipid . Pada 98 penderita lupus erimatosus sistemik yang
ditelitinya, didapatkan 4 penderita dengan kelainan serebrovaskuler yang terjadi pada
penderita muda dengan peningkatan isotipe IgG antibodi antikardiolipin.
Seringnya kelainan sersebrovaskuler pada usia muda, diperlihatkan jua oleh
Bre17. Paa telaah kepustakaannya, ia mendapatkan prevalensi antibodi antifosfolipid
sebesar 18-46 % pad penderita stroke berusia muda dibandingkan 10-18 % pada
penderita stroke berusia lebih tua.
Penderita lupus erimatosus sistemik dengan APA mempunyai resiko
terjadinya stroke 2,33 sampai 10,66 kali dibanding kontrol normal16. Bila sudah
sudah stroke, penderita muda dengan antibodi antifosfolipid akan mempunyai resiko
untuk kambuh 8 kali lebih besar dibanding yang tidak mempunyai antibodi ini 7.
Adanya antibodi ini merupakan salah satu faktor terjadinya stroke selain darh
tinggi, diabetes militus dan emboliyang berasal dari jantung. Kita perlu
mempertimbangkan antibodi antifosfolipid sebagai penyebab stroke, bila usia
penderita dibawah 40 tahun, etiologi yang tidak jelas, serta pasien stroke dengan satu
atau lebih gejala sindrom antibodi antifosfolipid lainnya.
Asherson 31 mendapatkan 7 kasus (8%) penyubatan pada pad pembuluh darah
retina ataukoroid pada pasien sindrom antibodi antifosfolipid dengan peningkatan
ACA. 4 penderita mempunyai kelaianan serebrovaskuler, ini memperlihatkan adanya
hubungan antara sumbatan pembuluh darh mata dan kelainan SSP.
Hubungan antibodi antifosfolipid dengan penderita infark miokard berusia
muda telah diungkapkan oleh beberapa peneliti. Antibodi antifosfolipid lebih sering
didapatkan pada pasien”post infark” dibanding kontrol, tetapi peranan prognostik
mereka tetap belum jelas.Hamsten dkk menunjukan adanya korelasi antara antibodi
I- 18
antikardiolipin dan serangan infark berulang ( di kutip dari 14,16 ). Hasil ini bertolak
belakng dengan yang didapatkan oleh Sletnes 32 yang meneliti 597 pasien post infark
dan 158 kelompok kontrol, ia tak mendapatkan perbedaab angka kematian, infark
berulang serta stroke yang bermakna pada dua kelompok.
Abortus berulang Prevalensi antibodi antifosfolipid pada wanita hamil dengan riwayat hidup
abortus berulang/kematian janin intar uterin yang secara klinis tidak menunjukan
adanya gambaran lupus erimatosus sistemik bervariasi antara 8 sampai 50 % untuk
antibodi Antikardiolipin dan 3 sampai 48 % untuk antikoagulan lupus 6,26-28. Pada
wanita hamil tanpa riwayat abortus spontan, prevalensinya lebih rendah, 1 sampai
10 % untuk antibodi antikardiolipin dan 0,27 sampai 17, 9 % untuk antikoagulan
lupus13,16,26. Perbedaan ini dimungkinkan karena perbedaan teknik pemeriksaan ,
perbedaan karakteristik kasus dan perbedaan dalam penentuan nilai abnormal yang
berkisar antar 2 sampai 5 SD diatas rata-rata normal.
Out8 memperlihatkan antibodi antifosfolipid lebih sering didapatkan pada
wanita hamil dengan riwayat kematian janin intra uterin, trombosis, trombositopenia
atau gejala penyakit mirip lupus. Isotipe antibodi antikardiolipin yang paling berperan
adalah IgG. Branch33emperlihatkan abortus spontan pada wanita hamil tanpantibodi
antifosfolipid umumnya terjadi pada masa pre-embrionik atau embrionik, kelainan ini
dihubungkan dengan kelainan kromoson dan faktor non- imunologik. Sebaliknya
kehilngan kehamilan yang berkaitan erat dengan adanya antibodi antifosfolipid,
umumnya terjadi pada trimester kedua dan awal trimester ketiga (masa fetal).
Lynch dkk 26 meneliti 451 “nulipara” usia muda tanpa riwayat: trombosis,LES,
abortus spontan lebih dua kali. Ia memperlihatkan kadar antibodi antifosfolipid
berfluktuasi selama kehamilan dan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan
kehilangan janin, tetapi tidak meningkatkan komplikasi kehamilan pada ibu. Ia juga
memperlihatkan bayi-bayi dari ibu dengan APA mempunyai berat badan yang lebih
besar dibanding bayi dari ibi-ibu tanpa APA dan menyimpulkan bahwa antibodi
I- 19
antikardiolipin isotipe IgG merupakan prediktor terbaik untuk kehilangan janin
dibanding antibodi antifosfolipid lainnya.
Perbedaan prevalensi dan titer antibodi antifosfolipid yang bermakna antara
kelompok abortus spontan dengan kelompok kontrol, menunjukan hubungan nyata
antara antibodi ini dengan abortus berulang dan hasil kehamilan.
Gambaran klinis ginekologis abortus berulang dengan ACA positif dan negatif tidak
berbeda, sehingga sukar dibedakan apakah abortus itu karena APA atau bukan. Ini
berabri pemeriksaan APA perlu dilakukan pada semua abortus berulang yang tidak
diketahui penyebabnya tanpa mempertimbangkan gambaran klinis ginekologisnya27.
Sebaliknya pada wanita sehat pemeriksaan ini tidak dianjurkan karena sebagian besar
penderita dengan APA mempunyai kehailan yag normal16,26.
Trombositopenia Prevalensi trombositopenia pada pasien dengan APA diperkirakan 30-50%
untuk yang moderate (50-100x109 / 1) dan 5-10% untuk yang berat(<50x 109 /1). 3
kali lebih besar dibanding penderita tanpa APA 6.
Manifestasi klinis dan respon pengobatannya seupa dengan kronik autoimun
trombositopenia (ATP), hanya saja trombositopenia pada APA dapat dijumpai
bersama dengan trombosis pembuluh darah besar, suatu hal yang jarng didapatkan
pada ATP.
Jones dkk 34 menunjukan perbandingan terbalik antar jumlah trombosit
dengan filter antibodi antikardiolipin, terutam isotipe IgG.
Trombositopenia biasanya ringan,tak progresif dan tak memerlukan intervensi
tertentu. Kadang-kadang pasien dengan antibodi antifosfolipid dapat mempunyai
anemia hemolitik, sindrom Evan ataupun neutropenia.
I- 20
BAB V PENATALAKSANAAN SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
DALAM KEHAMILAN
Mengingat begitu banyaknya komplikasai yang dapat ditimbulkan oleh
sindroma antifosfolipid sebelum, selama kehamilan bahkan sesudah melahirkan baik
masalah morbiditas bahkan mortalitas maka pasien dengan sindroma antifosfolipid
ini perlu untuk mendapat penanganan khusus. Pasien dengan masalah infertilitas pasti
sangat mengharapkan kehamilan yang sudah terjadi kali ini dapat berlangsung sampai
dilahirkannya bayi yang sehat.
Idealnya seorang wanita dengan sindroma antifosfolipid harus mendapat
bimbingan dan pemeriksaan sebelum kehamilannya.2,3 Riwayat obstetri harus didata
secara jelas. Pemeriksaan antibodi antifosfolipid dianggap perlu diperiksa jika sudah
terjadi keguguran berulang 2 atau 3 kali berturut-turut pada trimester pertama
kehamilan atau terjadi kematian janin dalam kandungan pada trimester ke –II atau ke-
III, karena keguguran spontan pada trimester pertama kehamilan dianggap umum
pada populasi normal.35 Dokter harus dapat menjelaskan kemungkinan apa saja yang
dapat terjadi pada ibu dan janin seperti resiko terjadinya trombosis atau stroke,
keguguran preeklamsia, pertumbuhan janin terhambat dan kelahiran prematur.35 Di
saat ini juga dokter akan menjelaskan rencana pengobatan terhadap ibu.3 Sehubungan
bahwa kehamilan dengan sindroma antifosfolipid merupakan kehamilan resiko tinggi
maka perlu juga pengawasan dari berbagai disiplin ilmu seperti
perinatologi/neonatologi, obstetri, rematologi dan internis.2
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untukl penatalaksanaan penderita
sindrome antibod antifosfolipid selama dan sesudah kehamilan adalah sebagai
berikut:
I- 21
Pemeriksaan laboratorium Pad kehamilan awal, semua pasien harus diperiksa untuk menemukan jika ada
kelainan seperti anemia, trombositopenia dan penyakit lainnya yang menyertai seperti
urinalisa, kreatinin serum, klirens kratinin urine 24 jam dan kadar prorein total.3 Jika
diagnosa sindroma antifosfolipid sudah ditegakan maka tidak diperlukan lagi
pemeriksaan serial kadar antibodi antifosfolipid karena tidak bermakna.3,36
Pada pasien yang mendapat terapi heparin perlu dimonitor efek antitrombotik
yang diharapkan yaitu mempertahankan PTT 1,2-1,5 kali nilai standar.3
Kunjungan antenatal dan pemeriksaan kesejahteraan janin Pada trimester pertama dan kedua pasien harus memeriksakan kehamilannya
(ANC) stiap dua minggu dan kemudian tiap minggu pad trimester ke tiga.3 Tujuan
kunjungan antenatal yang lebih sering ini adalah untuk sgera menemukan tanda
pertumbuhan janin terhambat yaitu bila didapati tinggi fandus uteri lebih kecil dari
yang diharapkan.
Pemeriksaan ultrasonografi dianjurkan dilakukan setiap 4-6 minggu mulai
dari usia kehamilan 18-20 minggu.3 Jika penderita tidak mempunyai komplikasi lain
maka pemeriksaan ultrasonografi boleh dimulai pada usia genesti 30-32 minggu.3
Teknik ultrasonografi yang maju menggunakan velosimetri Doppler yang
dapat melihat ratio sistolik diastolik arus umbillikalis (SDAU). Jika didapati SDAU
meninggi berarti sudah terjadi resesitansi vaskuler plasenta, terlebih jika didapati arus
diatolikrendaha atau tidak ada bahkan berbalik maka kemungkinan terjadinya
kematian janin intra uteri menjadi sangat tinggi dan sebelum ini terjadi mak
kehamilan etrsebut indikasi kuat untuk diterminasi.2,37
Pasien juga dipesan untuk segera melapor jika terjadi gejala
trombosis,tromboeboli, Transient ischemic attack atau amaurosis fugax. Karena itu
pasien perlu diajarkan gejala setaiap keadaan tersebut.3
I- 22
Pengobatan medikamentosa Menurut Michelle petri pada pasien hamil dengan antibodi antikardiolipin dan
antikoagulan lupus yang tidak mempunyai riwayat kegagalan kehamilan , tidak
memerlukan terapi 35. Jika kadar antibodi antifosfolipidnya tinggi dapat diberikan
aspirin dosis rendah setiap hari .16,25
Pada umumnya terapi yang diberikan adalah pada saat prekonsepsi terapi
sudah diberikan yaitu aspirin dosis rendah tetap sebesar 81 mg/hari.25 Terapi aspirin
ini dimulai segera setelah terjadinya keguguran berulang, trombosis atau jika pasien
mengharapkan untuk hamil berikutnya.25,27 Segera setelah terjadinya konsepsi atau
jiak denyut jantung sudah terdeteksi dengan USG 27 mulai diberikan heparin pocine
(UFH) subkutan dengan dosisi rendah tetap sebesar 5000 unit setiap 12 jam sampai
mendapat nilai PTT 1,2-1,5 nilai standar atau INR diatas 2,6. 25,27,35,36 Semua
pengobatan dihentikan kalau terjadi keguguran atau kehamilan mencapai usia 34
minggu.27 Pernah dilaporkan efek antikoagulan yang persisten pada saat persalinan
yang berakhr sampai 28 jam.35
Pada pemberian heparin jangka panjang (> 1 bulan), pasien diberikan
suplementasi 1500-2000 gram kalsium karbonat untuk mengurangi efek osteoporotik,
vitamin D ( dalam vitamin prenatal), olahrag ringan 1 jam perhari seperti berjalan,
jogging atau aerobic ringan.25,35
Masa nifas dan setelahnya Setelah melahirkan, pemberian antikoagulan oral dianjurkan dimulai lagi 1-2
minggu post partum 13 sementara suatu penelitian lain menganggap pemberian
heparin perlu diberikan terus sampai 1 bulan post partum saja.13 Heparin aman
diberikan pada ibu menyusui karena tidak disekresikan pada ASI sementara warfarin
juga tidak menginduksi efek antikoagulan pada bayi yang menyusui.30 Untuk
kontrasepsi tidak dianjurkan menggunakan pil.35 Pasien juga diajarkan gaya hidup
sehat dengan mempertahankan berat badan ideal, kadar kolestrol rendah, aktivitas
fisik, tekanan darah terkontrol dan tidak merokok.35
I- 23
Menurut penelitian Roseve dan Brewer, pasien yang diterapi warfarin
menberikan hasil yang lebih baik dari terapi aspirin atau tidak diterapi dan trombosisi
tidak akan berulang jika Interbational Normalized Ratio (INR) mempertahankan
diatas 2,6.35 Derksen dkk melakukan studi retrospektif dan mendapatkan data bahwa
pasien yang mendapat terapi antikoagulan 8 yahun memiliki kemungkinan 100%
untuk rekuren sementara jika terapi dihentikan maka 50% akan terjadi lagi pada 2
tahun dan 78 % akan terjadi lagi pada 8 tahun. 35 Dari studi retrospektif oleh
khamastha dkk dari group Hughes dicatat dari 147 pasien SAF, sebanyak 69%nya
mengalami trombosis ulang baik arteri maupun vena dan waktu rata-rata terjadinya
adalah 12 bulan.35 Jika diterapi warfarin secara intensif (INR>3) dengan atau tanpa
aspirin dosis rendah untuk prevensi adalah lebih efektif dibandingkan dengan
warfarin dosis rendah.35
Suatu penelitian mengganggap pemebrian heparin perlu tetap diberikan
sampai 1 bulan postpartum.13
Dallas/ Fort Worth Metroflex 1,6 Mengaujukan suatu protokol untuk
recurrent miscarriage syndrome yang berhubungan dengan efek trombosit atau
protein darah. Dari 149 pasien yang mengikuti protokol ini 98 % berhasil mencapai
persalinan aterm normal. Protokol tersebut adalah sebagi berikut:
Pengobatan selama kehamilan
x Aspirin: 81 mg perhari, dimulai pada saat kelainan dimulai
x Porcine heparin: 5000 unit subkutan setaip 12 jam segera setelah kehamilan
( diberikan bersama aspirin setelah kehamilan aterm)
x Kalsium : 500 mg per oral per hari
x Vitamin Prenatal
x Tablet besi : 1 tablet per hari
x Asam folat : 1 mg per oral per hari
I- 24
Pemeriksaan laboratorium
x Pemeriksaan drah lengkap/ jumlah trombosit dan kadar heparin setiap minggu
untuk 4 minggu berturut-turut dilanjtkan 1 kali perbulan sampai kehamilan
aterm
x Pemeriksaan ultrasonografo teratur sampai aterm
x Catatan gerak janin setiap hari setalah kelahiran 28 minggu
x Pemeriksaan biofisik janin dan pemerikasaan arus darah umbikus dengan
Doppler saat kehamilan 32,34,36, dan 38 minggu
x Terminasi kehamilan sesuai indikasi obstetri dan plasenta dikirim untuk
pemeriksaan patologi
I- 25
BAB VI PROGNOSIS
Pada kehamilan dengan riwayat abortus berulang yang ditatalaksanai dengan
pemberian aspirin dosis rendah dan heparin, perlu pemerikasaan darah khusus untuk
melihat implikasi pengobatan terhadap keadan fisiologi darah. Disdamping untuk
pemeriksaan USG rutin untuk memantau perkembangan janin. Pada masa terapi perlu
diwaspadai terjadinya preeklampsi, persalianan preterm, intra uterin growth
retardation. Pada kehamilan aterm, seksio besar banyak dipilih untuk mengakhiri
kehamilannya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.9
Bagaimana permasalah wanita dengan riwayat abortus berulang yang
disebabkan antiphospholipid antibodi yang akan dilakukan fertilisasi in vitro?
Kowalik dkk dari penelitiannya menyimpulkan bahwa anticardiopilin antibodi dan
antiphospholipid antibodi ternyata hanya sedikit berpengaruh pada luaran kehamilan
wanita yang menjalani fertilisasi in vitro. Pada penelitian lain Hornstein dkk
menyimpulkan bahwa antiphospholipid antibodi tidak merupakan suatu jaminan
pada wanita yang akan menjalani fertilisasi antiphospholipid.20,21
I- 26