Penataan Ruang dan Era Otonomi Daerah Yang Diperluas.pdf

5
www.bktrn.org 1 PENATAAN RUANG DALAM ERA OTONOMI DAERAH YANG DIPERLUAS 1 Herman Haeruman Js 2 Pendahuluan Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat dicapai pada akhir periode rencana. Selain bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka (tanpa menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus dipatuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana. Namun tata ruang dapat pula terdiri atas gabungan kedua bentuk di atas, yaitu terdapat alokasi ruang dan juga terdapat prosedur. Penggunaan ruang oleh masyarakat sering tidak efisisen, karena tiap pelaku berusaha mengoptimasi kepentingannya masing-masing atau kelompoknya. Rencana tata ruang diharapkan dapat mencegah gejala tersebut, sehingga ruang yang digunakan oleh masyarakat dapat menjadi lebih efisien dan sesuai dengan kepentingan bersama secara menyeluruh. Contoh konflik kepentingan misalnya keberadaan fasilitas umum dan kawasan lindung yang harus ada dalam lingkungan kehidupan seringkali diabaikan oleh pelaku tertentu demi untuk kepentingannya. Peran perencana tata ruang adalah menyeimbangkan kepentingan segenap pelaku secara harmonis. Rencana tata ruang dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat, swasta dan pemerintah perlu mengacunya. UU No. 24 Tahun 1992 telah memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi pemerintah pada berbagai tingkatan untuk melakukan penataan ruang. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan membawa arah baru pada sistem dan mekanisme pemerintahan daerah. Kewenangan pada daerah kabupaten atau kota (dahulu disebut sebagai Kabupaten/Kotamadya Dati II) akan semakin membesar. Sudah barang tentu perubahan paradigma ini akan berpengaruh pada pelaksanaan penataan ruang. Mengingat filosofi dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan partisipasi masyarakat maka keberpihakan pada masyarakat dalam berbagai segi pembangunan termasuk dalam hal pengambilan keputusan akan sangat berkembang dalam era otonomi luas. Dengan otonomi yang semakin luas maka kedalaman dan kerincian dari berbagai tingkatan rencana tata ruang yang juga diamanatkan oleh UU No. 24 Tahun 1992 akan semakin jelas. RTRWN hanya akan mernuat secara garis besar peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya serta jaringan prasarana nasional. Sementara RTRWP 1 Makalah disampaikan pada Studium General Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung. 2 Prof. Dr. Herman Haeruman Js. adalah Deputi Kepala Bappenas Bidang Regional dan SDA, Sekretaris Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).

Transcript of Penataan Ruang dan Era Otonomi Daerah Yang Diperluas.pdf

  • www.bktrn.org 1

    PENATAAN RUANG DALAM ERA OTONOMI DAERAH YANG DIPERLUAS1

    Herman Haeruman Js2

    Pendahuluan

    Tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Bentuk tata ruang pada dasarnya dapat berupa alokasi letak, luas, dan atribut lain (misalnya jenis dan intensitas kegiatan) yang direncanakan dapat dicapai pada akhir periode rencana. Selain bentuk tersebut, tata ruang juga dapat berupa suatu prosedur belaka (tanpa menunjuk alokasi letak, luas, dan atribut lain) yang harus dipatuhi oleh para pelaku pengguna ruang di wilayah rencana. Namun tata ruang dapat pula terdiri atas gabungan kedua bentuk di atas, yaitu terdapat alokasi ruang dan juga terdapat prosedur.

    Penggunaan ruang oleh masyarakat sering tidak efisisen, karena tiap pelaku berusaha mengoptimasi kepentingannya masing-masing atau kelompoknya. Rencana tata ruang diharapkan dapat mencegah gejala tersebut, sehingga ruang yang digunakan oleh masyarakat dapat menjadi lebih efisien dan sesuai dengan kepentingan bersama secara menyeluruh. Contoh konflik kepentingan misalnya keberadaan fasilitas umum dan kawasan lindung yang harus ada dalam lingkungan kehidupan seringkali diabaikan oleh pelaku tertentu demi untuk kepentingannya.

    Peran perencana tata ruang adalah menyeimbangkan kepentingan segenap pelaku secara harmonis. Rencana tata ruang dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat, swasta dan pemerintah perlu mengacunya. UU No. 24 Tahun 1992 telah memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi pemerintah pada berbagai tingkatan untuk melakukan penataan ruang.

    Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan membawa arah baru pada sistem dan mekanisme pemerintahan daerah. Kewenangan pada daerah kabupaten atau kota (dahulu disebut sebagai Kabupaten/Kotamadya Dati II) akan semakin membesar. Sudah barang tentu perubahan paradigma ini akan berpengaruh pada pelaksanaan penataan ruang. Mengingat filosofi dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan partisipasi masyarakat maka keberpihakan pada masyarakat dalam berbagai segi pembangunan termasuk dalam hal pengambilan keputusan akan sangat berkembang dalam era otonomi luas.

    Dengan otonomi yang semakin luas maka kedalaman dan kerincian dari berbagai tingkatan rencana tata ruang yang juga diamanatkan oleh UU No. 24 Tahun 1992 akan semakin jelas. RTRWN hanya akan mernuat secara garis besar peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya serta jaringan prasarana nasional. Sementara RTRWP

    1 Makalah disampaikan pada Studium General Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas

    Islam Bandung.

    2 Prof. Dr. Herman Haeruman Js. adalah Deputi Kepala Bappenas Bidang Regional dan SDA, Sekretaris Badan Koordinasi Tata

    Ruang Nasional, dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).

  • www.bktrn.org 2

    akan memuat rencana yang lebih rinci dari kawasan lindung dan budidaya ditingkat propinsi. Sedangkan RTRWK akan mernuat rencana yang sangat rinci atas tata guna tanah di wilayah kabupaten atau kota.

    Paradigma Baru Tata Ruang Era Otonomi Luas

    Pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut selama ini cenderung memandang masyarakat sebagai objek pembangunan/perencanaan dibanding sebagai subjek pembangunan/perencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Sehingga di dalam penerapannya pemerintah bersama dengan masyarakat dapat berperan serta menjalankan fungsi kontrol.

    Dalam era otonomi luas sekarang ini, diperlukan perubahan pola pikir pendekatan penataan ruang. Pola pikir pendekatan penataan ruang yang memandang masyarakat sebagai objek peraturan yang homogen, perlu diubah dengan memandang masyarakat sebagai subjek peraturan dengan keanekaragaman perilaku. Kondisi ini identik dengan pengaturan pemerintah daerah yang selama ini dianggap homogen, dimana dalam era otonomi luas ini diberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Pendekatan baru dalam penataan ruang ini menuntut pemerintah berperan dalam menggali dan mengembangkan visi secara bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat di daerah di dalam merumuskan wajah ruang di masa depan, standar kualitas ruang, dan aktivitas yang diinginkan dan yang dilarang pada suatu kawasan yang direncanakan.

    Menempatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan memutuskan alternatif rencana merupakan suatu langkah untuk menjadikan rencana, khususnya dalam hal ini tata ruang, sebagai rencana kepunyaan masyarakat. Sehingga pelanggaran terhadap rencana adalah menentang kesepakatan rnasyarakat, bukan terbatas menentang keputusan pemerintah daerah.

    Pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebenarnya telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996. Apabila dijalankan dengan baik sebenarnya PP ini akan sangat membantu masyarakat dan pemerintah terutama pemerintah daerah dalam melaksanakan proses penataan ruang yang mengikutsertakan masyarakat. Dengan demikian berbekalkan berbagai perangkat hukum tersebut pemerintah daerah dapat mulai berpacu melakukan proses penataan ruang yang berbasiskan peran serta masyarakat.

    Kaitan antara UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

    Pada prinsipnya UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sudah berjiwa desentralisasi. Ini terlihat dari pasal-pasal mengenai kewajiban penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Disebutkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 bahwa Pemerintah Daerah Propinsi berkewajiban menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah propinsi, demikian juga Pemerintah Daerah

  • www.bktrn.org 3

    Kabupaten/ Kota berkewajiban menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

    Rencana tata ruang untuk kawasan-kawasan dengan fungsi tersendiri seperti kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan serta kawasan tertentu merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah Kabupaten/ Kota, sehingga juga merupakan kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk membuatnya, termasuk penerapannya dan pengendaliannya.

    Pemerintah Pusat dalam urusan penataan ruang hanya berfungsi memberikan arahan dan kebijakan penataan ruang secara nasional. Demikian juga Pemerintah Propinsi memberikan arahan dan kebijakan penataan ruang dalam lingkup propinsi. Dalam merumuskan kebijakan penataan ruang wilayah propinsi ini, Pemerintah Derah Propinsi menjabarkan kebijakan penataan ruang wilayah nasional dan menyesuaikannya dengan keadaan wilayah propinsi.

    Walaupun tidak ada perbedaan prinsip antara kedua undang-undang tersebut, narnun ada beberapa klausul dalam UU No. 24 Tahun 1992 yang perlu disesuaikan dengan semangat UU No. 22 Tahun 1999. Di antaranya adalah mengenai ruang lingkup rencana tata ruang wilayah nasional dan propinsi yang perlu disesuaikan dengan kewenangan sebagaimana diatur dalarn UU No. 22 Tahun 1999, penetapan kawasan tertentu berikut perencanaan dan pengelolaannya, dan penetapan hirarki permukiman dan kawasan-kawasan andalan.

    Penyesuaian UU No. 24 Tahun 1992 perlu dilakukan, namun dengan tetap menempatkan kegiatan penataan ruang sebagai alat untuk mempersatukan wilayah negara, mengamankan kawasan-kawasan konservasi, mengendalikan perkembangan kawasan budidaya agar tetap dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, dan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumberdaya alarn untuk kesejahteraan masyarakat.

    Adanya bentuk rencana tata ruang wilayah skala nasional, daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota, tidak perlu dilihat sebagai suatu hirarki yang mengikat secara kewenangan politis. Skala rencana tata ruang wilayah disusun sebagai suatu keterikatan fungsional dan struktural dalam menata ruang yang lebih optimal dan efisien.

    Dalam beberapa segi UU No. 24 Tahun 1992 memerlukan penyesuaian, antara lain peristilahan. Penyebutan "Propinsi Daerah Tingkat I" dan "Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II" tidak dipergunakan lagi, menjadi "Daerah Propinsi" dan "Daerah Kabupaten/Kota". Penyesuaian lainnya adalah dalam hal pensahan peraturan daerah tentang RTRW Daerah Propinsi dan RTRW Daerah Kabupaten/Kota yang saat ini tidak perlu dilakukan oleh Mendagri.

    UU No. 22 Tahun 1999 juga menekankan perlunya diadakan kerjasama antar Daerah dalam menyelesaikan kegiatan/permasalahan yang meliputi lebih dari satu Daerah, sehingga penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu daerah propinsi tidak lagi dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri yang bertugas mengkoordinasi penataan ruang dan yang meliputi satu daerah kabupaten/kota tidak lagi dikoordinasikan oleh Gubernur, sepanjang kawasan tersebut bukan merupakan kawasan tertentu yang kewenangan pengelolaannya berada pada pemerintah pusat.

  • www.bktrn.org 4

    Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Kegiatan Penataan Ruang

    Menurut UU No. 22 Tahun 1999 pemerintah pusat dalam kegiatan penataan ruang berwenang dalam: (1) menyusun kebijakan penataan ruang, seperti kebijakan kawasan tertentu, KAPET, penataan ruang wilayah, perkotaan-perdesaan; (2) kebijakan umum, antara lain penyusunan RTRWN, PP, Keppres; dan (3) kebijakan teknis operasional, antara lain pembinaan, standardisasi, fasilitasi, kriteria umum, dan kontrol.

    Pemerintah Daerah Propinsi yang memiliki kewenangan otonomi terbatas sebagaimana disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, berwenang dalam menetapkan kebijakan penataan ruang daerah propinsi yang meliputi pengelolaan dan perencanaan pembangunan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota, seperti wilayah aliran sungai, hutan lindung, sempadan pantai, dll. Pada tingkat propinsi, penataan ruang mencakup hal-hal sebagai berikut: ketentuan (regulation) dan peraturan (legislation) yang berlaku untuk wilayah propinsi, kebijakan dan progra m pokok, standar dan panduan (guidelines) yang sesuai dengan karakter fisik, sosial dan budaya propinsi, mekanisme pengaduan dan inventarisasi sumber daya alam.

    Secara lebih rinci, fungsi penataan ruang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah menyusun arahan, tujuan dan kebijakan penataan ruang; merumuskan struktur dan proses-proses penataan ruang; menentukan peraturan hukum mengenai produk dan proses penataan ruang; mengkaji dan mengesahkan rencana tata ruang kawasan-kawasan; membuat sistem implementasi rencana tata ruang; dan membentuk dukungan informasi untuk penataan ruang yang dilakukan oleh masyarakat maupun institusi pemerintah.

    Materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi antara lain: kerangka sistem perencanaan; prinsip, tujuan, kebijakan strategis; panduan penataan ruang kabupaten/kota; institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); dan indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang.

    Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota juga perlu melakukan koordinasi untuk memadukan rencana-rencana tata ruang dan kebijakan pengelolaan sektor-sektor SDA, berhubungan dengan institusi lain (internasional, pusat, propinsi, lokal, penduduk asli), mengkoordinasikan hasil-hasil penataan ruang dengan program-program sosial-ekonomi. Hubungan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain dan dengan propinsi juga mungkin perlu dibentuk untuk menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang yang terjadi.

    Hal lain yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan penataan ruang di masa depan adalah menyangkut pemantauan pemanfaatan dan perkembangan ruang. Hal-hal yang perlu dikaji dalam hal ini adalah antara lain: keefektifan sistem penataan ruang secara meriyeluruh, kemajuan dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan, hubungan antara proses-proses perencanaan dan initiatif-inisiatif pemanfaatan ruang, kesesuaian dari berbagai rencana tata ruang kawasan-kawasan

  • www.bktrn.org 5

    Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang juga penting adalah menyebarluaskan informasi penataan ruang, yang antara lain meliputi kegiatan menyusun standar dan kaidah pengumpulan informasi, mengkompilasi dan memelihara serta mengupdate informasi tentang ruang, membentuk metoda evaluasi teknis untuk permohonan persetujuan rencana, melakukan kajian berkaitan dengan penatan ruang, dan menyuguhkan informasi tersebut secara mudah kepada masyarakat.

    Penutup

    Dalam era otonomi daerah yang semakin luas, peran pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan sangat penting. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang sangat besar dalam penataan ruang wilayah. Berbagai fungsi-fungsi penatan ruang yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Propinsi akan harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota perlu mendapat dukungan dari semua pihak untuk dapat menjalankan fungsi yang sangat penting ini dalam mewujudkan tata ruang Indonesia yang efisien, indah, tertib dan lestari.

    Lebih jauh lagi perluasan otonomi daerah adalah suatu kesempatan yang baik bagi penyelengara pemerintahan di daerah dalam menunjukan kinerjanya melayani masyarakat dan sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah untuk meningkatkan diri didalam menghadapi pelaksanaannya. Perluasan otonomi daerah juga merupakan amanat rakyat yang diharapkan akan menjadi prasyarat bagi terciptanya upaya pembangunan yang lebih adil, demokratis dan mengikut sertakan peranserta aktif masyarakat disegala tingkatan dalam segala aspek. Dengan demikian melalui perluasan otonomi daerah akan dihasilkan suatu penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang bersifat melayani masyarakat, efisien, demokratis, aspiratif, responsif, terbuka dan bertanggung jawab.

    --- ? ? ? ---