Penanda Biokimia Pd Sindrom Koroner
Transcript of Penanda Biokimia Pd Sindrom Koroner
PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMA KORONER AKUT (BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES)
Ringkasan
Sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian iskemia miokardial dari angina, trauma jaringan yang reversible yaitu unstable angina, seringkali berhubungan dengan kerusakan minor dari miokard yaitu infark miokard dan nekrosis jaringan yang luas. Menurut sejarah, kecurigaan adanya penyakit pembuluh darah koroner menggunakan kriteria gejala dari WHO, EIektrokardiografi, dan penanda biokimia. Isoenzym Creatine kinase MB (CKMB) tetah menjadi penanda yang penting, tetapi tidak spesifik untuk miokard. Isoform cardiac spesifik Troponin T dan I merupakan indikator miokard infark (Ml) yang spesifik dan kepentingannya untuk stratifikasi resiko pada pasien sindroma koroner akut. Sebagai tambahan pada penanda adanya nekrosis pada sel miokard, penanda adanya plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), "angry" platelets (P-selectin), iskemia (isoenzym glycogen phosphorilase-BB) dan bagian prokoagulan dan trombosis (fibrin soluble/larut air) memiliki potensial untuk digunakan. Juga, CK-MB dan mioglobin telah memiliki kombinasi dengan indikator klinis untuk monitoring reperfusi setetah terapi trombolitik. Penanda biokimia akan menjadi tambahan klinis penting untuk mendiagnosis MI, menilai resiko dan monitoring reperfusi kedepannya. Summary The acute coronary syndromes represent a continuum of myocardial ischemia ranging from angina, reversible tissue injury → unstable angina, frequently associated with minor myocardial damage → myocardial infarction and extensive tissue necrosis. Historically, coronary artery disease assessment has been mainly binary, using WHO criteria of symptoms, electrocardiography, and biochemical markers. The creatinine kinase-MB iso-enzyme (CK-MB) has been a benchmark for markers, but it is not specific for myocardial. Cardiac-specific isoforms of troponin T and I have emerged as sensitive myocardial infarction (MI) Indicators and, importantly, for risk stratification of acute coronary syndrome patients. In addition to markers of myocardial cell necrosis, markers of plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), “angry” platelets (P-selectin), ischemia (glycogen phosphorylase-BB isoenzyme), and the procoagulant state and thrombosis (soluble fibrin) have potential use. Also, CK-MB and myogIobin have been combined with clinical indicators for monitoring reperfusion after thrombolytic therapy. Biochemical markers will continue to be an important clinical adjunct for MI diagnosis, risk assessment, and reperfusion monitoring in the future.
1
I. Pendahuluan
Penanda biokimia pada trauma miokard berperan penting dalam penilaian
secara global dan terapi pada pasien dengan spektrum sindroma koroner akut,
suatu masa yang mencakup suatu rangkaian iskemia miokard akut sejak angina
melalui rniokard infark (MI) gelombang Q (Q-wave). Sebagai indikasi pada
gambar 1, suatu rangkaian sindroma koroner akut menggambarkan suatu proses
fisiologis pada iskemia miokard akut dan mungkin menjadi sangat penting dari
"clinical standpoint”, suatu rangkaian resiko. Pada tiga dekade yang lalu, iskemia
miokard telah dianggap sebagai suatu fenomena berpasangan, sebagai contoh,
MI dan non MI, menggunakan rekomendasi WHO yang meliputi pemenuhan
setidaknya 2 dari 3 kriteria berikut ini : gejala klinis iskemia miokard, perubahan
etektrokardiografi (ECG), dan suatu peningkatan serum penanda biokimia. Untuk
kriteria pertama, penilaian yang seksama pada gejala klinis sangatlah penting;
walau bagaimanapun juga, gejala dapat menjadi tidak spesifik pada sepertiga
pasien, khususnya penderita diabetes dan lanjut usia, yang banyak mengalami
suatu gejala iskemia atipikal. Kriteria kedua, perubahan pada ECG, adalah alat
yang sangat penting yang seharusnya dapat berperan lebih cepat setelah
presentasi pasien yang dicurigai MI karena memiliki elevasi ST segmen > 1mV
pada lead yang berdekatan utau gejala atau left bundle branch block baru
sebagai kandidat untuk terapi reperfusi segera. Walau bagaimanapun juga, ECG
bukan suatu alat yang sempurna karena sensitivitas diagnostiknya mungkin
sekitar 50%. Yang terakhir, kriteria WHO yang meliputi monitoring perubahan
sementara pada penanda biokimia suatu nekrosis miokard. Di masa lalu, aktivitas
enzim digunakan sebagai marker; walau bagaimanapun kedepannya, ukuran
protein, beberapa diantaranya merupakan enzim yang akan menjadi standar.
Pengamatan terhadap peningkatan dan penurunan penanda biokimia isoenzim
creatine kinase MB (CK-MB) telah menjdi "gold standart" untuk diagnosis MI.
Pada pasien yang menunjukkan gejala dengan perubahan ECG secara
diagnostik, penanda biokimia memiliki peranan yang terbatas dalam
2
mendiagnosis suatu MI akut, kecuali untuk konfirmasi. Di sisi lain, penanda
biokimia adalah penting untuk menilai sebagian besar pasien yang memiliki
gejala non spesifik atau ragu-ragu dan tanpa diagnosis dari ECG karena
penanda-penanda ini memiliki 1 dari 2 kriteria diagnosis MI. Banyak institusi yang
menginisiasi Chest Pain Evaluation Centers (CPECs), yang merupakan terapi
protokol spesifik yang bermaksud untuk suatu sistematik dan perawatan dengan
biaya yang efektif pada prevalensi pasien yang tinggi. CPECs sering dengan atau
berdekatan dengan Departemen Emergency dan memiliki protokol institusi untuk
monitoring group besar ini pada pasien ”rule out MI”. Diagnosis dan perawatan
pasien dengan kecurigaan suatu sindroma koroner akut, terutama sekali yang
menggunakan ECG sebagai diagnostik, telah difasilitasi oleh pendirian CPECs.
Gambar 1. Berlangsungnya akut koroner sindrom (AKS), iskemik miokard dan resiko (Cristenson. RC, Clinical Chemistry 44; 8(B), 1998.
Meskipun masih tampak keduanya pro dan kontra berkenaan dengan
peranan kecepatan, atau waktu sesungguhnya terhadap tersedianya CK-MB dan
penanda jantung lainnya. Data menunjukkan suatu hubungan dengan
pengurangan keduanya pada lamanya opname dan keseluruhan biaya
3
laboratorium pada institusi menghasilkan waktu yang relative singkat. Sebagai
catatan bahwa pada 4-8% pasien gagal didiagnosis suatu MI dan terdapat
mortalitas yang tinggi pada grup ini. Sebagai tambahan, adanya kesalahan
diagnosa MI menggambarkan tingginya pembiayaan dalam jumlah dollar karena
malpraktek oleh dokter medis emergency.
Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menampilkan peranan penanda
biokimia yang akan berperan di masa depan untuk menilai rangkaian iskemia
miokard yang berkorelasi untuk suatu spektrum resiko. Juga, akan menampilkan
strategi terkini untuk mendiagnosis kecurigaan suatu MI. Bagaimana penanda
biokimia dapat menjadi pertanda hasil yang merugikan dan strategi masa depan
untuk identifikasi pasien pada rangkaian sindroma koroner akut. Akhirnya,
peranan penanda biokimia, yang dikombinasi dengan variable klinis, untuk
penilaian non invasive pada pasien untuk mereka dengan terapi trombolitik yang
telah diberikan.
II. CK-MB : Strategi Terkini
CK-MB menjadi suatu alat alat yang penting dalam mengevaluasi suatu
sindroma koroner akut. CK-MB adalah 1 dari 3 isoenzim dimerik yang terdiri dari
aktivitas total CK. Seluruh sitoplasmik CK disusun oleh sub unit M dan/atau B
yang saling berhubungan membentuk isoenzim CK-MM, CK-MB, dan CK-BB.
CK-MM sebagian besar berada di otot lurik, keduanya yaitu pada otot skelet dan
miokard.
Pada pasien yang memiiiki penyakit jantung, sebagai contoh: sterosis
aorta, penyakit pembuluh darah koroner (CAD), atau keduanya, isoenzim CK-MB
sekitar 20% lebih dari total CK di dalam jaringan, dimana kandungan CK-MB
hanya 0-3% dari total CK di otot skeletal. Hal ini patut diperhatikan bahwa pada
individu normal memiliki presentase CK-MB yang lebih rendah sekitar 1,1 %.
"Total CK" mengenai aktivitas kumulatif pada isoenzim MM, MD, dan BB pada
sampel pasien.
4
Saat ini, CK-MB harus dianggap penanda biokimia yang unggul pada
trauma miokard, sebagai contoh telah menjadi dasar perbandingan penanda
lainnya. Meskipun CK-MB memiliki nilai diagnostik yang spesifik untuk trauma
miokard, otot skeletal memiliki keduanya yaitu aktivitas total CK yang tinggi per
gramnya dan mungkin memiliki lebih dari 3 % CK-MB. Potensial yang non spesifik
ini, terjadi pada sebagian pasien dengan trauma otot skeletal dan otot miokard
secara bersamaan. Untuk memberikan spesifitas jantung yang terbaik pada
pengukuran CK-MB, Indeks relative CK-MB sering dihitung berdasarkan
persamaan di bawah ini :
CK-MB Index = 100% (CK-MB/Total CK)
Beberapa memberi kesan bahwa Nilai Index CK-MB melebihi 2,5% yang
dihubungkan dengan sumber di miokard pada isoenzim MB. Walau
bagaimanapun juga, pemaparan saat ini menunjukkan bahwa hubungan CK-MB
dan miokad ditetapkan dengan nilai terendahnya 2% dan tingginya 5%
bergantung pada variabilitas keduanya, dalam terminologi sebagai numerator
dan denominator pada index relative.
Karakteristik peningkatan dan penurunan CK-MB pada pengukuran secara
serial merupakan patognomonis untuk mendiagnosis Ml. Peningkatan pertama
CK-MB setelah MI membutuhkan 4-6 jam setelah onset gejala. Untuk diagnosis
dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, sampel serial dibutuhkan selama
periode 8-12 jam. Pada lingkungan CPEC, Gibler dkk., penggunaan pemeriksaan
CK-MB dalam strategi ini, meliputi sampel pada presentasi dan kemudian pada 3,
6, dan 9 jam kemudian pada > 1000 pasien resiko rendah dengan nondiagnostik
ECG. Meskipun harus dicatat bahwa pasien-pasien ini memiliki reslko rendah MI,
penelitian ini didokumentasikan 100% sensitivitas dan spesifitasnya sebesar
98,3% untuk diagnosis MI pada populasi pasien dengan nyeri dada ini. CK-MB
juga merupakan komponen yang penting pada penilaian infark ulangan atau
5
infark luas pada pasien. Meskipun memiliki hasil yang terbaik, CK-tytB bukan
penanda yang ideal karena peningkatannya membutuhkan 8 - 12 jam setelah
onset gejala untuk penggunaan sebagai diagnosis.
III. Pertanda Infark Miokard
Presentasi klinis infark miokard dan iskemi cardiac dapat memiliki variasi
gejala yang cukup besar, secara umum termasuk nyeri dada atau tekanan atau
rasa tidak nyaman seperti rasa terbakar di daerah epigastrik, sering juga pasien
dengan radiasi di leher, lengan, bahu, atau rahang: sedikit presentasi tipikal
meliputi dyspneu, diaphoresis, nausea, dan muntah-muntah mungkin menyertai
gejala umum ini atau mungkin manifestasi tunggal pada iskemia. Sedikitnya,
nyeri iskemia mungkin digambarkan sebagai nyeri yang menusuk atau nyeri
seperti pleuritis (radang pleura) beberapa waktu sebelum presentasi. Faktanya,
sekitar 50 % infark miokard digembor-gemborkan oleh gejala klinis yang hilang
timbul atau "stoccato" sebagai presentasi di rumah sakit. Presentasi ini disebut
gejala "prodromal" dan telah didokumentasi pada literatur sekitar 50 tahun.
Pasien dengan presentasi gejala prodromal memiliki permulaan klinis yang lebih
baik. Empat Mekanisme mungkin dapat menjelaskan mengapa sebelum
terjadinya angina menjadi petunjuk perbedaan hasil yang baik. Pertama, angina
sebelumnya mungkin menyebabkan pembukaan pembuluh darah kolateral, jadi
adanya penyumbatan pada pembuluh darah utama, daerah distal dari
pengeblokan ini sebagian menyatu. Kedua, angina mungkin menghasilkan
prasyarat iskemia selama penyumbatan koroner. Ketiga, terapi pasien angina
rnenggunakan aspirin dan heparin mungkin dapat menggagalkan atau
meminimalkan terjadinya infark. Yang terakhir, terdapat spekulasi bahwa
thrombus pada pasien fase prodromal mungkin memiliki komposisi yang berbeda,
memiliki clot dengan proporsi kecil pada agregasi platelet dan banyak benang
fibrin yang sedikit resisten untuk hancur. Pada beberapa kasus, presentasi
prodiomal merupakan klinis yang penting karena pasien yang memiliki gejala ini
6
melepaskan sedikit penanda biokimia dan oleh karena itu sedikit trauma jaringan,
menjadi petunjuk hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dengan
oklusi yang kasar. Penyuluhan umum untuk mengenal gejala prodromal dan
mencari terapi sebelum periode yang panjang oklusi dapat menjadi sangat
penting untuk menurunkan mortalitas sindrom koroner akut.
IV. Rangkaian Sindroma Koroner Akut
Banyak peramu laboratorium secara tradisional berhubungan dengan tes
penanda biokimia untuk mendiagnosa MI akut, penilaian infark ulangan atau
infark luas, dan perkiraaan kuantitas jaringan yang mengalami infark (ukuran
infark). Secara logis, peranan-peranan ini memiliki korelasi yang jelas dengan
kriteria WHO untuk diagnosis MI. Peranan ke depan laboratorium akan menjadi
hubungan yang dekat pada rangkaian sindroma koroner akut melalui stratifikasi
resiko dan monitoring terapi pada terapi trombolitik, strategi platelet inhibisi, dan
mungkin intervensi lainnya seperti angioplasty keroner.
Gambaran iskemia cardiac sebagai pasangan dari kriteria WHO untuk MI
mungkin digambarkan sebagai sebuah anakhronisme, karena sebagai ilustrasi
pada gambar sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian fenomena.
Pada banyak level dasar, rangkaian iskemia miokard juga menggambarkan
spektrum trauma sel iskemik, yang bermula dari trauma yang masih reversible
hingga nekrosis yang luas. Peristiwa ini digambarkan pada Gambar 1 juga
menggambarkan suatu spektrum resiko untuk sebuah hasil yang merugikan.
Pasien dengan angina stabil, sebagai contoh : iskemia reversible persiapan
miokardial sangat jelas resiko rendah untuk peristiwa merugikan pada keduanya
masa pendek dan masa panjang lalu pasien infark dengan Q-wave yang memiliki
area infark yang luas pada jantung mereka. Identifikasi dimana individu pasien
dalam rangkaian sindroma koroner akut memiliki implikasi-implikasi biologis
berkenaan dengan reversibilitas pada trauma dan kuantitas trauma sel iskemik,
sama baiknya resiko relative pasien untuk hasil yang merugikan.
7
Banyak fokus penanda kimia yang meliputi penanda nekrosis, sebagai
contoh : CK-MB. Walau bagaimanapun juga, penanda dan substansi lainnya
yang ditunjukkan pada tabel 1 dilepaskan atau diaktifasi sebelum nekrosis dan
mungkin memiliki peranan penting dalam identifikasi resiko pada pasien
sindroma koroner akut. Peningkatan konsentrasi pada Acute Phase Proteins
C-reactive Protein (CRP) dan serum amyloid A bersifat non spesifik, tetapi
mungkin memiliki suatu peranan dalam identifikasi pasien memiliki plak
pembuluh darah jantung yang tidak stabil (”unstable plaque”).
Penelitian-penelitian juga menyelidiki penggunaan CRP untuk prediksi hasil yang
tidak baik dan kerusakan fungsi ventrikel kiri sebagai hasil dari nekrosis cardiac
akut atau infark miokard sebelumnya. Peningkatan pada fase protein akut
mungkin mengindikasi adanya ”plaque disruption” yang menyebabkan pelepasan
sitokin dari aktivasi monosit dan makrofag pada tempat terjadinya disrupsi.
Diantara efek sistemik lainnya, sitokin, meliputi interleukin-6, memicu sintesis
acute phase proteins hepar. Pada jalur ini, pasien dengan penyakit pembuluh
darah koroner tidak stabil yang mana mereka pada peningkatan resiko memiliki
sirkulasi konsentrasi yang awal pada acute phase proteins. Komponen yang
memungkinkan pada hubungan yang diamati antara acute phase proteins dan
peningkatan resiko yang mana protein-protein ini mungkin mencerminkan
penyakit infeksi pada pembuluh darah koroner. Pada beberapa kasus, aspirin
atau agen anti inflamasi non steroid mungkin mengurangi resiko pada pasien
penyakit pembuluh darah koroner, kiranya dengan menghambat proses
inflamasi.
Aktifasi platelet penting dalam mekanisme formasi thrombus dan
mekanisme sindroma koroner akut. Indikator aktifasi platelet seperti uji fungsi
platelet atau ”P-selectin” mungkin membantu menilai tendensi pasien untuk
trombosis intrakoroner. Aktifasi platelet dapat dihasilkan dari kontak dengan
pemaparan kolagen, thrombin, dan/atau agonis lainnya yang disebabkan oleh
plaque disruption. P-selectin merupakan suatu molekul adhesi yang nampak
8
pada permukaan platelet yang aktif. Ekspresi protein ini ditingkatkan pada
permukaan platelet pada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner
simptomatik. P-selectin tersebut mungkin menjadi penanda pada ”angry”
platelets yang mengindikasi tendensinya untuk melekat pada leukosit,
menyebabkan akumulasi dan sebagai akibatnya komplikasi trombotik pada
iskemia myocardium.
Formasi thrombus merupakan dasar untuk penghalang pada pembuluh
darah yang berhubungan dengan infark; Oleh karena itu, penanda trombosis,
meliputi fibrin solubel dan produk degradasi fibrin, mungkin juga menampakkan
proses trombosis baru atau resiko pada peristiwa yang akan datang.
Penanda-penanda ini merupakan karakteristik aktivitas fibrinolitik pro koagulan.
Meskipun tidak cukup sensitif untuk mendiagnosis MI, fibrin yang tidak solubel
dan ”crosslinked” degradasi fibrin meningkat pada pasien yang memiliki resiko
tinggi terjadi komplikasi. Secara fisiologis, penanda-penanda ini menggagas
untuk indikasi meningkatkan fibrinolisis sebelum perkembangan MI.
9
Penanda yang mengindikasi
adanya iskemia miokard terjadi
sebelum nekrosis yang jelas akan
dapat membantu untuk
menentukan lokasi pada pasien
dengan rangkaian sindroma
koroner akut. Meskipun tidak ada
informasi sebenarnya, glycogen
phosphorylase-BB isoenzyme
meningkat selama iskemia tanpa
nekrosis dan mungkin cukup
menggambarkan penanda iskemia
dari nekrosis. Glycogen
phosphorylase-BE dilepas
berkaitan dengan ledakan tiba-tiba
glycogenolisis yang terjadi pada
miokardium yang terluka setelah Ml
akut. Keseluruhannya, penanda
plak yang ruptur (CRP dan serum
amyloid A), indikator pada
trombosis intrakoroner (P-selectin
dan fibrin solubel), iskemia
miokardial (glycogen
phosphorilase-BB), dan penanda
nekrosis dapat dikombinasi dengan
indikator klinik, ECG,
echocardiogram dan pencitraan
untuk membentuk suatu model
kombinasi yang terintegrasi untuk
Pathophysiolog
y
Biochemical
marker
Molecular
mass
Cardiospesi
fic
Type of assay
Duration of increase
Comments
Plaque rupture
CRP 120.000
Na* Latex photometric
48 – 72 h
CRP and serum amyloid A are acute phase proteins; may indicate plaque disruption and be prognostic in unstable angina patients.
Serum amyloid A
12.500
NA Sandwich type enzyme immunoassay
48-72 h
Intracoronary thrombosis
Platelet activation
NA
No Functional assays using platelet agonists
Must be performed soon after blood collection
P-selectin
140.000
NA Flow cytrometric assay
Marker of angry platelets; may indicate risk
10
penilaian secara optimum pada pasien dengan resiko.
Tabel 1. Penanda Biokimia Pada Rangkaian Akut Koroner Sindrom (Cristenson RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998.
V. Stratifikasi Resiko pada Pasien Sindroma Koroner Akut
Banyak perhatian yang dihasilkan oleh penelitian dasar yang mengindikasi
bahwa penanda biokimia berguna untuk membuat stratifikasi resiko pada pasien
sindroma koroner akut. Fokus utama pada perhatian ini pada CK-MB, cardiac
troponin T (cTnT) dan cardiac troponin I (cTnI).
CTnT dan cTnI merupakan generasi baru penanda biokimia yang mungkin
melengkapi tambahan klinis untuk penilaian sindroma koroner akut.
Bersama-sama dengan Troponin C, Troponin T dan Troponin I, merupakan
komponen penting pada kompleks kontraktilitas keduanya, yaitu otot skelet dan
otot lurik jantung. Fungsi troponin T untuk mengikat kompleks troponin ke strand
tropomyosin; fungsi Troponin I untuk menghambat aktivitas actomyosin ATPase,
dan troponin C mengikat 4 ion kalsium, lalu meregulasi kontraksi. Perhatian klinis
pada protein dari kompleks troponin dikendalikan oleh isoform spesifik cardiac
pada troponin T dan Troponin I yang telah di purifikasi, yang diikuti produksi
antibodi dan perkembangan immunoassay yang merupakan cardiac spesifik.
Sekuen asam amino untuk Troponin C identik pada jantung dan jaringan otot
skeletal, penggunaan protein ini sebagai penanda spesifik jantung.
Mekanisme pelepasan dan pembersihan troponin T dan troponin I masih
belum dapat dipahami. Meskipun troponin T dan troponin I merupakan struktur
protein, laporan awal menyatakan bahwa kolam ”cystolik” protein ini dilepaskan
ke dalam shkulasi setclah tetjadi trauma sel. Kolam cystolic ini untuk cTnT telah
dilaporkan sekitar 6-8%, dimana kolam cTnI solubel telah dilaporkan 2,8%. Saat
ini, laporan-Iaporan mengindikasi bahwa cTnI dilepaskan sebagai troponin T /
Troponin II Troponin C atau kompleks Troponin I / Troponin C: cTnT mungkin
11
memiliki sequence pelepasan yang berbeda. Kemungkinan perbedaan ini
melepaskan bentuk cTnT dan cTnI dibawah skor kebutuhannya, untuk
standarisasi dan karakteristik yang menyeluruh untuk penilaian terhadap
protein-protein ini. Sebagai tambahan, isu-isu menekankan kebutuhan pelepasan
dan menganggap cTnT dan cTnI sebagai protein yang berbeda karena
perbedaannya dalam fungsi biologi, berat molekul, mekanisme pelepasan, dan
karakteristik penting lainnya yang mungkin berdampak pada penggunaan kllinis.
Hingga saat ini terdapat penilaian satu kuantitatif dan satu kualitatif untuk
penjelasan cTnT oleh US Food and Drug Administration; kedua penilaian ini
menggunakan pasangan antibodi yang sama dan hasilnya berkorelasi baik.
Peningkatan cTnT didokumentasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium
akhir (end-stage renal disease); walau bagaimanapun juga, arti klinis dari
peningkatan ini masih belum jelas.
Saat ini terdapat sejumlah immunoassay secara kualitas dan kuantitas
yang potensial, baik dalam penggunaan klinis dalam mendiagnosis MI dan telah
dijelaskan oleh US Food and Drug Administration. CTnI mungkin memiliki
peranan penting dalam strategi waktu sesungguhnya untuk mengevaluasi pasien
dengan sindroma koroner akut, suatu area yang menjadi perhatian yang serius,
diskusi, dan penelitian tahunan. Data yang menunjang masih terbatas, tapi
indikasi bahwa cTnI merupakan penanda yang spesifik pada kasus yang
melibatkan luka otot skeletal dan gagal ginjal.
Beberapa waktu terakhir, sejumlah hasil penelitian dasar menunjukkan
pasien dengan iskemi cardiac akut yang mana CK-MB, cTnI, dan/atau cTnTnya
meningkat merupakan resiko yang meningkat untuk infark miokard atau henti
jantung. Data-data ini memunculkan pertanyaan penting saat ini mengenai
peningkatan biaya; uji mana atau uji yang seharusnya dijadikan alat untuk
stratifikasi resiko? Tinjauan dan meta analysis dari pertanyaan ini dikacaukan
oleh banyak metode pengukuran berbeda terhadap CK-MB dan cTnl. Kenyataan
bahwa perbedaan metode untuk penanda-penanda ini memiliki sensitivitas,
12
analisa, kelemahan untuk campur tangan, dan karakteristik penampilan mungkin
memiliki implikasi penting dimana uji menyediakan informasi yang berguna.
Sebuah model penelitian untuk membandingkan kegunaan pengukuran
CK-MB oleh ”a state of the art mass assay”, cTnT dan ECG untuk menilai resiko
dilakukan sebagai sub penelitian dari percobaan GUSTO Iia. Subpenelitian
GUSTO Iia ini melibatkan 854 pasien, seluruhnya memiliki gejala iskemia jantung
tidak lebih dari 12 jam dan ECG yang abnormal. GUSTO Iia menunjukkan bahwa
tingginya konsentrasi cTnT, hebatnya resiko mortalitas dalam 30 hari. Juga,
pasien yang positif cTnT memiliki peningkatan 3 kali lipat morbiditas
dibandingkan pasien dengan tes negatif. Selanjutnya, di tabel 2 menunjukkan
bahwa cTnT merupakan prediktor kematian yang sangat kuat dalam 30 hari
setelah penampakan klinis dalam sebuah model logistik regresi yang
dikembangkan data GUSTO lia. Kombinasi analisa dalam tabel 2 menunjukkan
bahwa diantara ECG, cTnT, dan CK-MB, cTnT menambah banyak informasi
memiliki resiko mortalitas dalam 30 hari, dan CK-MB tidak menyediakan
tambahan nilai yang lebih dari yang disediakan oleh ECG dan cTnT.
Tabel 2. Nilai relatif dari CNT, CK-MB dan EKG untuk prediksi kematian dalam 30 hari (Cristensen RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998)
Model Variable X2 P C index*
Unvariate cTnT 21.0 Unvariate ECG 14.2 Unvariate CK-MB 10.9 Unvariate Additional
variable Additional X2 P C index*
Multi variable model
cTnT 9.2 0.027 0.73
ECG + CK-MB
CK-MB 0.7 0.717
ECG + cTnT The C index is equivalent to the area of ROC curve.
Penelitian terpisah oleh FRISC, pemeriksaan puncak cTnT lebih dari periode 24
13
jam setelah awal penampakan pada 976 pasien, keseluruhan memiliki penyakit
pembuluh darah koroner tidak stabil, dan berkorelasi dengan konsentrasi cTnT,
dengan hasil pengukuran yang melibatkan henti jantung dan MI lebih dari 150
hari selanjutnya. Penelitian FRISC menemukan sebuah kunci bahwa resiko
peningkatan hasil yang merugikan jantung sebagai peningkatan nilai cTnT,
sesuai dengan tabel 3. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengukuran cTnT
pada 24 jam pertama menyediakan informasi, prognosa yang berharga lebih dari
5 bulan kemudian, yang mana bebas dari usia, hipertensi, sejumlah obat
antiangina, dan perubahan ECG.
Suatu perkembangan dari penelitian FRISC memeriksa konsentrasi cTnT
dapat berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit pembuluh darah
koroner yang mungkin memiliki manfaat dari intervensi terapi. Issue ini diteliti
dengan pengukuran konsentrasi cTnT dari serum 971 pasien yang menerima
masing-masing suatu plasebo dan regimen low molecular weight heparin dalam
waktu singkat (6 hari) atau waktu lama (5 minggu). Diantara pasien dengan cTnT
< 0,1 µg / L, terapi jangka pendek menunjukkan suatu trend yang signifikan pada
insiden kematian dan/atau MI telah berkurang dari 2,4 % menjadi O% (P=0,12).
Pada pasien dengan cTnT ≥ 0,1 µg/L, berturut-turut insiden kematian dan/atau MI
adalah 60% dan 25% dengan plasebo dan grup terapi jangka pendek (P<0,05).
Pada pasien yang menerima terapi jangka panjang dengan low molecular weight
heparin, pasien dengan cTnT ≥ 0,1µg /L meninggal dan/atau mengalami MI dua
kaii lipat dari grup plasebo (14,2% vs 7,4%, P < 0,01). Di sisi lain, konsentrasi
cTnT < 0,1µg /L mengidentifikasi grup resiko rendah yang mana meninggal dan
MI menunjukkan tidak ada perbedaan antara terapi dan grup plasebo.
Peningkatan konsentrasi cTnT jelas mengidentifikasi pasien yang akan
bermanfaat untuk terapi jangka panjang dengan low molecular weight heparin.
Tabel 3. Hasil dari studi FRISC (Cristenson RC, Clinical Chemitry, 44; 8 (B), 1998).
14
cTnT concentration, µg/L Cardiac death Cardiac death or MI <0.06 0% 4.3%
0.0-0.18 2% 10.5% 0.18-0.62 2% 16.0% 0.62-2.12 7% 20.0% ≥2.12 9% 17.0%
CTnI deteksi dalam sub penelitian pada TIMI IIIb untuk stratifikasi resiko pada
pasien sindroma koroner akut, menggunakan mortalitas point akhir 42 hari. Pada
penelitian ini cTnI dibandingkan dengan massa CK-MB pada pasien angina
unstable atau non Q-wave infark. Konsentrasi cTnT ≥ 0,1 µg /L berhubungan
dengan tingginya mortalitas yang signifikan yaitu 42 hari, diantara konsentrasi
rendah pasien angina unstable atau infark non Q-wave dan merupakan prediktor
yang independen pada mortalitas jangka pendek setelah penyesuaian usia ≥ 65
tahun dan adanya depresi segmen-ST. cTnT ≥ 0,4 µg /L merupakan indikasi jelas
peningkatan resiko mortalitas (risk ratio 3,1) pada pasien yang pengukuran
CK-MB peningkatannya tidak abnormal. Penelitian menyimpulkan bahwa cTnI
untuk identifikasi awal pasien dengan peningkatan resiko kematian dengan
pengukuran cTnI retrospektif.
Pertanyaan logis dalam konteks stratifikasi resiko adalah : Apakah kita
memerlukan untuk mengukur cTnT dan cTnI ? Untuk membandingkan secara
langsung cTnT dan cTnI, GUSTO Iia melakukan penelitian pada 755 pasien.
Meskipun 90% hasil disamakan menggunakan cut off positif/negatif dari paket
masing-masing uji respektif, suatu jumlah yang besar signifikan pada pasien
dengan cTnT positif tapi cTnI negatif lalu mereka yang cTnT negatif tapi cTnI
positif (P<0,001). Pengukuran cTnT pada spesimen lebih berguna daripada cTnI
untuk prediksi mortalitas 30 hari.
Karena cut off cTnT dan cTnI digunakan dalam pemeriksaan data ini,
membatasi perbedaan hasil untuk prediksi mortalitas 30 hari. Untuk alasan ini,
kurva ROC ditempatkan cTnT dan cTnI karena strategI ini mengevaluasi
performans/pelaksanaan relatif pada cut off uji independen. Penggunaan
15
mortalitas 30 hari sebagai hasil, area kurva ROC untuk cTnT besarnya signifikan
sekitar 0,68 dibandingkan untuk cTnI 0,64 (P=0,002). Data-data ini mengindikasi
bahwa cTnT merupakan tes yang lebih berguna untuk memprediksikan mortalitas
30 hari pada populasi GUSTO Iia.
Tabel 4. Nilai relatif dari cTnT, cTnI dan EKG untuk prediksi kematian 30 hari (Cristensen RC, Clinical Chemitry, 44; 8 (B), 1998).
Model Variable X2 P
Unvariate cTnT 21.0 <0.001 Unvariate ECG 14.2 0.003 Unvariate cTnI 12.3 0.002
Multivariable model Added variable Additional X2 P cTnI + ECG cTnT 8.03 0.045 cTnT + cTnI ECG 9.96 0.019 cTnT + ECG cTnI 0.84 0.675
Selanjutnya, tabel 4 menunjukkan hasil dari model regresi logistik
menggunakan cTnT, cTnI dan ECG sebagai variabel prediktif, baik tunggal atau
dikombinasi. Berdasarkan masing-masing variabel secara individu, cTnT paling
berguna untuk prediksi mortalitas 30 hari (tabeI 4). Ketika cTnI dan ECG
ditempatkan dalam model regresi logistik pertama, cTnT menambah signifikan
informasi (P=0,045). Walau bagaimanapun juga, ketika cTnI ditambahkan
variabel ke model cTnT dan ECG, ternyata tidak ada peningkatan yang signifikan
dalam kemampuan prediksi mortalitas 30 hari (tabeI 4). Meskipun cTnT
menyediakan banyak informasi berkenaan dengan prediksi mortalitas 30 hari,
karakteristik masing-masing hasil cTnT atau cTnI mungkin metode dependen,
sepertii CK-MB. Lalu, peerbedaan penggunaan atau sensitif uji cTnT atau CTnI
mungkin mengindikasi perbedaan hasil. Meskipun populasi GUSTO lia
melibatkan jumlah besar, hanya + 10% (n=74) pasien menunjukkan hasil cTnT
dan cTnI bertentangan.
Penjelasan secara alami tentang pelepasan dan metabolisme cTnI
merupakan area yang aktif diteliti. Immunoassay lain untuk masing-masing cTnT
16
atau cTnI mungkin menunjukkan perbedaan, tergantung pada konsentrasi
minimum terdeteksi dari uji cTnI yang digunakan dan apakah uji mendeteksi
pelepasan cTnI atau cTnI dalam bentuk bebas atau kompleks, oksidasi atau
reduksi. Phosphorilasi atau tidak, dan faktor lain yang mungkin mempengaruhi
target epitope, milik antibodi, dan/atau kondisi uji lainnya.
Hamm et al. meneliti penggunaan cTnI dan cTnT pada pasien nyeri dada
yang memiliki nondiagnostik ECG, menggunakan uji kualitatif untuk penanda ini.
Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa uji kualitatif ini digunakan untuk
memprediksikan resiko pada non diagnostik ECG, populasi seperti CPEC.
Ketika interpretasi hasil penelitian menggunakan alat berkualitas, satu hal
yang harus diketahui pada konsentrasi cut off pada alat, contoh, konsentrasi
terendah marker yang menghasilkan hasil positif. Ketepatan yang terbaik untuk
mengevaluasi cut off alat-alat ini adalah dengan memberikan konsentrasi
kuantitatif yang sesuai pada penanda untuk diagnosis MI oleh kriteria WHO,
diambil dari analisa ROC. Mengingat bahwa satu dari kriteria WHO melibatkan
pencatatan kenaikan sementara pada marker jantung, contoh: protein-protein
(cTnT atau cTnl), atau pengukuran enzim oleh aktivitas fungsional lainnya atau
bebagai sebuah protein (CK-MB). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hamm et
al. Cut off untuk alat cTnT 2 kali lebih tinggi daripada rekomendasi cut off untuk
diagnosis MI. Faktanya, perlengkapan cTnT digunakan oleh Hamm et al dalam
penelitian tidak lama tersedia tapi tidak digantikan oleh perlengkapan dengan cut
off rendah.
VI. Penelitian Reperfusi Setelah Terapi Thrombolitik
Disamping stratifikasi resiko pada sindroma koroner akut, penanda
biokimia juga akan memiliki suatu peranan dalam monitoring keberhasilan terapi
trombolitik. Peranan ini dibuktikan dari hipotesis pembuluh darah tetap terbuka
dengan meningkat hasilnya dan meningkatnya fungsi ventrikel kiri sebagai hasil
patensi pada pembuluh darah yang mengalami infark setelah MI. Menurut
17
konvensi, patensi pembuluh darah yang mengalami infark yang bertingkat
berdasarkan angiografi pada kriteria "Thrombolysis in myocardial Infarction (TIMI),
yang mana TIMI 0 tanpa perfusi setelah oklusi; TIMI 1 telah terjadi penetrasi
setelah oklusi tanpa perfusi; TIMI 2 terjadi parsial perfusi setelah oklusi; dan TIMI
3 sudah terjadi perfusi komplit. Penilaian obyektif yang non invasif pada reperfusi
merupakan identifikasi cepat pada 20-25% pasien dimana yang mengalami oklusi
yang masih berlangsung (TIMI 0 atau 1) pada 90-120 menit selama terapi
trombolitik. Metode lainnya untuk menilai patensi yang melibatkan angiografi
koroner; meskipun dianggap gold standar, metode ini berhubungan dengan
tingginya biaya, kemampuan terbatas, dan peningkatan morbiditas ketika kondisi
akut. Indikator klinik seperti deteksi dari reperfusi aritmia dan penghentian nyeri
merupakan indikator yang tidak dapat dipercaya untuk patensi. Suatu strategi
yang meliputi penanda biokimia untuk memonitor fenomena ”wash out” jika
patensi dipertahankan pada pembuluh darah yang mengalami infark dapat
menjadi kontribusi yang berharga.
Penggunaan penanda biokimia yang bervariasi, termasuk CK,MB subtipe
MM dan MB, troponin T, dan troponin I diteliti untuk penilaian reperfusi non
invasif; walau bagaimanapun juga tidak ada satupun dari penanda ini dimiliki low
molecular weight atau karakteristik pelepasan dini mioglobin, yang keluar setelah
reperfusi koroner. Karena karakteristik pelepasan dini, mioglobin diperiksa untuk
penilaian non invasif pada perfusi miokardial setelah terapi trombolitik. Variabel
klinik lainnya dapat memberi informasi mengenai keberhasilan reperfusi tetapi
tidak dapat dipercaya, oleh karena itu, suatu model yang mengkombinasikan
variabel klinis dan strategi CK-MB dan pengukuran myoglobin dapat sebagai alat
klinisi untuk menilai bagaimana keberhasilan reperfusi yang terjadi pada individu
pasien.
Seperti kombinasi model yang sedang berkembang menggunakan data
yang terkumpul dari 96 pasien yang mendaftar pada penelitian "Thrombolysis and
Myocardial Infarction-7. Seluruh pasien penelitian ”Thrombolysis and Myocardial
18
Infarction-7 mendapatkan terapi trombolitik kemudian angiografi koroner sekitar 2
jam setelah aliran darah koroner: patensi pembuluh darah koroner meningkat
berdasarkan klasifikasi TIMI. Pada penelitian ini, dlua klasifikasi pada aliran TIMI
dianggap reperfusi yang berhasil. Yang pertama meliputi klasifikasi original pada
TIMI 2 atau 3 untuk keberhasilan reperfusi, dengan grade TIMI 0 atau 1 dianggap
kegagalan trombolisis. Klasifikasi kedua berdasarkan data dasar dan
menganggap TIMI sebagai reperfusi berhasil, dengan grade TIMI 0, 1 dan 2
sebagai reperfusi yang tidak berhasil, lalu 30, 90, dan 180 menit setelah terapi
trombolitik. Seluruh 96 pasien memiliki spesimen ”near-catheterization” yang
terkumpul selama 10 menit penelitian angiografi. Myoglobin diukur pada seluruh
sampel, menggunakan metode ”two-site immunoassay” yang tersedia
pada ”stratus II (Dade diagnostic)”, pengukuran CK-MB dilakukan dengan ”the
ICON CKMB kit (Hybritech Inc)”. Model regresi logistik digunakan untuk
kombinasi penanda biokimia dan variabel klinik. Hasil model regresi logistik selalu
bernilai antara nol dan satuan.
Model pendahuluan berkembang yang meliputi variasi myoglobin strategi
tersendiri, seleksi variabel klinis, dan myoglobin dan kombinasi variabel klinis,
variasi model CK-MB dianalisis sebelumnya. Model optimum melibatkan
myoglobin tunggal yang diukur pada kateterisasi, landainya pelepasan CK-MB,
waktu dari nyeri dada hingga memulai terapi trombolitik, dan gradasi nyeri dada
(dari 0-10; dengan 0 taripa nyeri) selama kateterisasi jantung. Myoglobin
menambah signifikansi kemampuan model untuk memprediksi TIMI 0-1, aliran
koroner, contoh: reperfusi gagal vs reperfusi berhasil gradasi TIMI 2-3 (P<0,044).
Gambar 2 (left panel) menunjukkan sebuah plot untuk kemampuan modeI untuk
memisahkan TIMI grade 0 - 1 dari TIMI 2; Gambar 2 (right panel) menunjukkan
hubungan kurva ROC untuk model dengan menunjukkan tiga poin sebagai
contoh: area kurva ROC ini sebesar 0,88. Untuk perkiraan TIMI grade 3 vs grade
0 - 2, model tetap signifikan tinggi (P<0,0043) dan menunjukkan suatu area kurva
ROC sebesar 0,74.
19
Gambar 2. Distribusi data hasil dari kurva ROC (Cristensen RC. Clinical Chemsitry, 44; 8 (B), 1998).
Meskipun kombinasi “near catheterization” myoglobin, landaian CK-MB,
dan menghasilkan variabel klinis area ROC tinggi, strategi akan tidak akurat
memperkirakan status reperfusi pada seluruh pasien. Hal ini mungkin tidak dapat
terhindarkan paling tidak tiga alasan biologis dasar. Pertama, strategi
menggunakan penanda biokimia berdasarkan perbedaan pada fenomena ”wash
out” yang terjadi setelah patensi yang telah dihidupkan. Model ”wash out”
sering digunakan untuk mengkarakteristik penanda biokimia menunjukkan
janji untuk menilai patensi adalah angioplasty akut. Bagaimanapun juga, model
ini mungkin bukan simulasi yang tepat untuk fenomena ”wash out” yang terjdi
setelah terapi trombolitik, karena angioplasty mengembalikan patensi secara
mendadak, menghasilkan peningkatan pada penanda biokimia. Kontras,
pembekuan patensi setelah terapi trombolitik merupakan suatu proses yang lebih
dinamis yang mana banyak pasien memiliki pembukaan dan penutupan berulang
pada pembuluh darah yang mengalami infark Patensi intermitten merupakan
kemungkinan penyebab oleh keseimbangan faktor koagulasi, fungsi platelet,
atau faktor potensiasi lain yang mempengaruhi aktivitas pro koagulan dan
kontraktilitas otot pembuluh darah koroner, yang dapat menimbulkan ”wash out”
penanda biokimia. Kedua, variabel individu pasien seperti infark yang luas, aliran
kolateral pada area infark, jaringan ikat, dan/atau hibernasi sedikit tekanan darah,
20
mungkin mempengaruhi strategi non invasif untuk menilai patensi. Isu ketiga
melibatkan penggunaan angiography untuk memutuskan patensi. Meskipun ini
merupakan gold standar untuk mengevaluasi patensi koroner, angiografi
menggambarkan suatu ”snapshot” patensi koroner; teknik ini bukan rnerupakan
indikator sebenarnya karena ini tidak dapat mengukur berapa lama pencatatan
status perfusi ada pada pembuluh darah yang mengalami infark sebelum dan
sesudah pencitraan, yang akan mempengaruhi ”wash out”. Kemudian, beberapa
ketidaksesuaian harus diperhitungkan karena dinamisasi fisiologi alami pada
perbaikan patensi setelah terapi trombolitik dan ketidaktentuan pengukuran
angiographic.
Penelitian ini menunjukkan bahwa model yang terdiri dari penanda
biokimia, contoh : myoglobin tunggal, yang berlaku antara 60-150 menit dan
pelepasan landaian CKMB setelah memulai terapi trombolitik dengan waktu dari
onset gejala hingga terapi trombolitik dan gradasi nyeri dada, mungkin
menyediakan informasi klinis penting untuk pasien.
VII. Penutup
Sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian miokardial
iskemia dari angina, yang mengindikasi trauma jaringan reversibel, melalui frank
HI dengan nekrosis jaringan yang luas. Suatu generasi baru penanda biokimia
untuk mengindikasi ”plaque disruption”, reaktivitas platelet, nekrosis miokardial
dini, dan efektifitas terapi trombolitik menjanjikan untuk penilaian yang baik pada
pasien dengan resiko jadi klinisi mungkin mempengaruhi untuk menghindari hasil
yang merugikan. Meskipun secera historis CKMB membuktikan marker yang
sangat berguna untuk mendiagnosa MI berdasarkan kriteria WHO, cTnT dan cTnI
memiliki sensitivitas, indikator klinik lebih spesifik pada jantung yang berguna
mendiagnosis MI dan kepentingannya, untuk stratifikasi resiko. Oleh karena
masih kekurangan data, walau bagaimanapun CKMB harus dianggap indikator
penting untuk menilai infark kembali atau infark luas. Penanda biokimia lainnya,
termasuk fase akut reaktan CRP dan serum amyloid A dan penanda reaktivitas
21
platelet, termasuk P-selectin, sama baiknya dengan penanda pada trombosis
mungkin menjadi berguna untuk identifikasi lokasi pasien pada spektrum
sindroma koroner akut dan oleh karena itu resiko merugikan. Untuk menilai
reperfusi setelah terapi trombolitik, suatu strategi yang melibatkan myoglobin,
CKMB dan indikator klinis, termasuk waktu untuk terapi dan grade nyeri dada,
menunjukkan efisien tinggi dan mungkin menyediakan alat baru yang penting
bagi klinisi. Penanda biokimia akan berlanjut memainkan peranan tradisional
dalam menatalaksana pasien MI, tapi mereka juga mengembangkan kepada
tambahan yang penting untuk pengambilan keputusan pasien dengan ECG dan
yang paling penting adalah keputusan klinis.