PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PHK DAN...

download PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PHK DAN …pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Download-document/77-Pemutusan... · Pemaparan tentang berbagai hal mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang

If you can't read please download the document

Transcript of PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA PHK DAN...

Microsoft Word - PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA _PHK_ DAN ALTERNATIF PENCEGAHANNYA DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dan Alternatif Penyelesaian Pencegahannya Dalam Hubungan Industrial Warta Hukum Edisi VI Juli Agustus 2009 Artikel

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DAN ALTERNATIF PENCEGAHANNYA DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh : Dwi Apriliati Puspitasari1

ABSTRAKSI Angka pengangguran di Indonesia setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya lapangan pekerjaan sehingga terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

dalam suatu perusahaan. Berikut akan dijelaskan mengenai PHK dan salah satu alternatif pencegahannya dalam hubungan industrial.

Pendahuluan Bagi pekerja atau buruh suatu pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan awal hilangnya mata pencaharian sehingga para pekerja kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap pekerja atau buruh, karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK tersebut. Pada kenyataannya, mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya persaingan dan angkatan kerja terus bertambah sangatlah wajar jika para pekerja selalu khawatir dengan ancaman PHK tersebut. Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar pekerja tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Adapun dasar-dasar hukum yang mengatur tentang PHK antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan*, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.907/Men.PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/Men/SJ-HKI/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI atas Hak Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor B.600/Men/Sj-Hk/VIII/2005 perihal Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan.2 Berdasarkan aturan-aturan tersebut, tentunya PHK memang terkadang dibutuhkan oleh suatu perusahaan apabila situasi dan kondisi perusahaan itu sudah tidak dimungkinkan dengan jalan keluar lain maka PHK merupakan penyelesaian terakhir. Namun PHK pasti memberikan kerugian-kerugian bagi para pekerja yang mendapat PHK karena mereka tidak lagi memiliki sumber penghidupan. Kemudian muncul suatu pertanyaan apakah keputusan PHK hanya dilakukan sepihak dari perusahaan? Apakah PHK dilakukan langsung oleh perusahaan dengan memberi Surat Keputusan (SK)? Apakah PHK tersebut dapat dicegah atau diminimalisir? Oleh karena itu, maksud dari tulisan ini ialah belajar memaparkan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) agar dapat dapat dipahami tentang jenis-jenis PHK, prosedur PHK dan beberapa alternatif pencegahannya dalam suatu hubungan industrial.

1 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana (S1) FH UII angkt 2006 * Dalam tulisan ini UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang UU Ketenagakerjaan selanjutnya akan disebut dengan UUK 2 Abdul Khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,Ctk.

Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.183

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dan Alternatif Penyelesaian Pencegahannya Dalam Hubungan Industrial Warta Hukum Edisi VI Juli Agustus 2009 Artikel

Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pasal 1 angka 25 UUK menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.3 Pemaparan tentang berbagai hal mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial antara lain : a. PHK bagi seorang pekerja merupakan permulaan kesengsaraan. Karena sejak saat tersebut yang

bersangkutan tidak mempunyai penghasilan lagi untuk membiayai kehidupannya beserta keluarganya. Disamping itu dengan PHK, yang bersangkutan merasa hilang harga dirinya di tengah-tengah masyarakat.

b. Bagi pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja berarti melepas tenaga-tenaga yang selama ini sadar atau tidak sadar sudah dilatih dengan mengeluarkan ongkos yang banyak dan sudah pula mengetahui cara-cara kerja yang dibutuhkan perusahaan.4

Pemutusan hubungan kerja secara teoritis terbagi dalam empat macam yaitu, PHK demi hukum, PHK oleh pengadilan, PHK oleh para pekerja/buruh dan PHK oleh pengusaha.5 PHK yang terakhir ini tampaknya lebih dominan diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan. Hal ini karena PHK oleh pengusaha sering tidak dapat diterima oleh para pekerja/buruh sehingga menimbulkan permasalahan. Penjelasan jenis-jenis PHK tersebut yaitu : 1. Pemutusan Hubungan Kerja demi Hukum

Pemutusan hubungan kerja demi hukum ialah PHK yang terjadi dengan sendirinya secara hukum. Pasal 1603e KUH Perdata menjelaskan bahwa hubungan kerja berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan undang-udang atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.6 Menurut pasal 154 UUK penyebab PHK antara lain :

a. Pekerja/buruh masih dalam percobaan kerja, apabila telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. Masa percobaan paling lama 3 (tiga) bulan, tidak boleh melebihi jangka waktu tersebut. Jika melebihi, maka masa percobaan batal demi hukum.

b. Berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pertama kali.

c. Para pekerja/buruh telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perundang-undangan.

d. Pekerja/buruh meninggal dunia. 2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan ialah tindakan PHK karena adanya putusan hakim pengadilan. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yang dimaksud hakim disini ialah Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja, sebab sejak berlakunya UU No.2 Tahun 2004 tersebut yang wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan adalah Pengadilan Hubungan Industrial. 3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja terbagi menjadi dua hal yaitu : a. Karena permintaan pengunduran diri (Pasal 154 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003). Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh atas permintaan pengunduran diri ialah PHK yang timbul karena kehendak pekerja secara murni tanpa adanya rekayasa pihak lain. Dalam praktik bentuknya adalah pekerja/buruh mengundurkan diri dari perusahaan tempat ia bekerja. Teknis dilakukan pekerja/buruh secara tertulis dan atas kemauan sendiri tanpa adanya indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha. Apabila terdapat indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha, secara hukum bukan PHK oleh pekerja atau buruh tetapi PHK oleh pengusaha.

b. Karena permohonan PHK kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 169 UUK).

3 Pasal 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4 John Suprihanto, Hubungan Industrial,Sebuah Pengantar, Ctk.Ketiga, BPFE, Yogyakarta, 2002, hlm.118. 5 Ibid ; hlm. 119. 6 Pasal 1603 KUH Perdata

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dan Alternatif Penyelesaian Pencegahannya Dalam Hubungan Industrial Warta Hukum Edisi VI Juli Agustus 2009 Artikel

PHK oleh pekerja atau buruh juga dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan hubungan industrial (Pasal 169 UUK), bila pengusaha melakukan perbuatan antara lain :

- Mengajiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh. - Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan. - Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga kali berturut-turut atau

lebih. - Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh. - Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan. - Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan

pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.7Teknisnya pekerja/buruh menempuh prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial

melalui upaya penyelesaian perundingan bipartite, konsiliasi atau arbitrase, atau mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan hubungan industrial.

4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah PHK dimana kehendak atau prakarsanya berasal dari pengusaha karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau mungkin karena faktor-faktor lain seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 151 UUK bahwa PHK oleh pengusaha harus memperoleh penetapan terlebih dahulu dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Semua harus dilakukan dengan dasar dan alasan yang kuat, sebagaimana diatur pada Pasal 158 UUK. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Dalam UUK berkembang pengaturan prosedur PHK oleh pekerja/buruh dan juga adanya prosedur PHK secara umum. 1. Prosedur PHK Secara Umum a. Sebelum semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh) harus

melakukan upaya untuk menghindari terjadinya PHK. b. Jika tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja mengadakan

perundingan. c. Jika perundingan berhasil, buat persetujuan bersama. d. Jika tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai

dasar dan alasan-alasannya kepada pengadilan hubungan industrial. e. Selama belum ada penetapan atau putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala kewajiban masing-masing. Dimana pekerja tetap menjalankan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah.

f. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan huruf e serupa tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja.

2. Prosedur PHK oleh Pengusaha a. PHK karena kesalahan ringan

- Diawali dengan adanya peringatan ringan, kemudian peringatan tertulis kesatu, kedua, dan ketiga (terakhir). - Jika dalam tenggang waktu berlakunya peringatan tertulis ketiga (terakhir) ternyata pekerja melakukan kesalahan lagi, maka pengusaha secara langsung dapat melakukan PHK kepada pekerja yang bersangkutan. - Apabila pemutusan hubungan kerja dapat diterima oleh pekerja yang bersangkutan, buat perjanjian bersama untuk dasar permohonan penetapan ke pengadilan hubungan industrial. - Apabila pemutusan hubungan kerja tidak dapat diterima oleh pekerja yang bersangkutan, maka salah satu pihak atau para pihak menempuh mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

b. PHK karena kesalahan berat

7 Pasal 169 UU No.13 Tahun 2003

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dan Alternatif Penyelesaian Pencegahannya Dalam Hubungan Industrial Warta Hukum Edisi VI Juli Agustus 2009 Artikel

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka PHK oleh pengusaha kepada pekerja yang melakukan kesalahan berat hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8

3. Prosedur PHK oleh Pekerja a. Prosedur PHK karena permintaan pengunduran diri Diatur dalam Pasal 162 ayat (3) UUK sebagai berikut : - Diajukan secara tertulis kepada pengusaha selambat-lambatnya tiga puluh hari sebelum tanggal

mulai pengunduran diri. - Tidak terikat dalam ikatan dinas dan pengunduran diri. - Tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. b. Prosedur PHK karena permohonan kepada pengadilan hubungan industrial Prosedurnya melalui upaya penyelesaian perundingan bipartite, konsiliasi atau arbitrase, atau

mediasi, kemudian mengajukan gugatan pada pengadilan hubungan industrial. Jadi setelah upaya penyelesaian diluar pengadilan tidak berhasil, maka pekerja menempuh penyelesaian melalui pengadilan, yakni dengan cara mengajukan gugatan kepada pengusaha melalui pengadila hubungan industrial.

Upaya Pencegahan PHK Dalam hubungan industrial PHK memang diperlukan sebagai keputusan terakhir apabila perusahaan tersebut sudah tidak bisa melakukan tindakan lain selain melakukan PHK. Oleh karena itu dapat dilakukan beberapa tindakan sebagai upaya dalam pencegahan terjadinya PHK. Beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya PHK tersebut antara lain :

a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manager dan direktur. b. Mengurangi shift. c. Membatasi atau menghapuskan kerja lembur. d. Mengurangi hari kerja. e. Meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu. f. Tidak memperpanjang kontrak kerja bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya. g. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Upaya-upaya tersebut diatas agaknya perlu dibahas terlebih dahulu antara perusahaan dengan serikat pekerja atau serikat buruh untuk mendapatkan kesepakatan dan tujuan bersama secara bipartite sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kesimpulan Dengan memberikan beberapa gambaran tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) diatas dimaksudkan agar pemahaman mengenai PHK itu tidak semata-mata dilakukan sepihak oleh perusahaan tempat seseorang bekerja. Namun PHK juga dapat berasal dari pihak pekerja itu sendiri apabila ia dengan tanpa pemaksaan pihak lain ia mengajukan permohonan untuk pemutusan hubungan kerja. Hal ini tentunya dengan alasan-alasan yang jelas dan pekerja tersebut telah memenuhi syarat yang ditentukan. Contoh syarat tersebut antara lain bahwa pekerja itu tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap menjalankan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran dirinya. Selain memberikan informasi tersebut juga agar mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat memahami bahwa PHK tidak dilakukan secara langsung oleh perusahaan dengan hanya mengeluarkan surat keputusan kepada pekerja yang mendapatkan PHK, akan tetapi tindakan PHK tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. PHK juga merupakan suatu jalan atau keputusan terakhir apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan. PHK ini merupakan salah satu materi dalam mata kuliah kemahiran hukum yang dikelola oleh Pusdiklat FH UII yaitu mata kuliah Praktik Peradilan Hubungan Industrial (PPHI). Sehingga apabila mahasiswa hendak mengkaji lebih dalam mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam suatu hubungan industrial, hendaknya mahasiswa dapat memanfaatkan mata kuliah ini secara maksimal.

8 Abdul Khakim, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,Ctk.

Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.200.