PEMISAHAN UNSUR-UNSUR PADA MONASIT DENGAN PENGENDAPAN...
Transcript of PEMISAHAN UNSUR-UNSUR PADA MONASIT DENGAN PENGENDAPAN...
PEMISAHAN UNSUR-UNSUR PADA MONASIT
DENGAN PENGENDAPAN BERTINGKAT
SKRIPSI
ANGGI NOVRIYANISTI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
PEMISAHAN UNSUR-UNSUR PADA MONASIT
DENGAN PENGENDAPAN BERTINGKAT
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ANGGI NOVRIYANISTI
NIM. 11150960000057
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/ 1441 H
PEMISAHAN UNSUR-UNSUR PADA MONASIT
DENGAN PENGENDAPAN BERTINGKAT
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
ANGGI NOVRIYANISTI
NIM. 11150960000057
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Nurhasni, M.Si Riesna Prassanti, M.T
NIP. 19740618 200501 2 005 NIP. 19820812 200901 2 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia,
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP. 19750918 200801 1 007
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Pemisahan Unsur-unsur pada Monasit dengan
Pengendapan Bertingkat” telah diuji dan dinyatakan LULUS pada Sidang
Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 4 Juni 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia.
Menyetujui,
Penguji I Penguji II
Dr. Sri Yadial Chalid, M.Si Nurmaya Arofah, M.Eng
NIP. 19680313 200312 2 001 NIP. 19870610 201903 2 016
Pembimbing I Pembimbing II
Nurhasni, M.Si Riesna Prassanti, M.T
NIP. 19740618 200501 2 005 NIP. 19820812 200901 2 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Kimia
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP. 19690404 200501 2 005 NIP. 19750918 200801 1 007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DJAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN
TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Ciputat, Juni 2020
ABSTRAK
ANGGI NOVRIYANISTI. Pemisahan Unsur-unsur pada Monasit dengan
Pengendapan Bertingkat. Dibimbing oleh NURHASNI dan RIESNA
PRASSANTI.
Monasit merupakan mineral hasil samping pengolahan timah yang memiliki
kandungan unsur uranium (U), torium (Th), logam tanah jarang (LTJ) dan senyawa
fosfat (PO4). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh variasi pH dalam
pemisahan unsur-unsur pada monasit dengan pengendapan bertingkat serta
menentukan unsur apa saja yang dihasilkan dari setiap variasi pH. Variasi pH yang
digunakan dimulai dari pH 0,5 sampai 10 dengan selisih antar pH sebesar nol koma
lima. Unsur-unsur dalam monasit dipisahkan secara bertahap dimulai dari proses
dekomposisi menggunakan natrium hidroksida (NaOH), pelarutan dengan asam
klorida (HCl) dan pengendapan bertingkat dengan amonium hidroksida (NH4OH).
Unsur dianalisis menggunakan instrumen Inductively Coupled Plasma Optical
Spectroscopy (ICP-OES), dan Spektrofotometer UV-Visible. Pengaruh variasi pH
menghasilkan endapan pada pH 3, pH 6, pH 6,5 dan pH 7. Unsur yang dihasilkan
pada setiap variasi pH adalah uranium, torium, logam tanah jarang, aluminium,besi,
bismut, galium dan talium. Uranium dan torium paling banyak berada pada endapan
pH 3 dengan recovery U 72,3% dan Th 46,33% dan logam tanah jarang pada pH
6,5 dengan recovery 41,87%. Unsur Fe dan Bi paling banyak mengendap pada pH
3 dengan kadar 37,9 ppm dan 100,9 ppm. Unsur Al, Ga dan Tl paling banyak
mengendap pada pH 6,5 dengan kadar 30,2 ppm, 69,8 ppm dan 8 ppm.
Kata kunci: logam tanah jarang, monasit, pengendapan bertingkat, torium,
uranium
ABSTRACT
ANGGI NOVRIYANISTI. Separation of Elements in Monazite with Multilevel
Precipitation. Supervised by NURHASNI dan RIESNA PRASSANTI.
Monazite is a mineral side product of tin processing which contains uranium (U),
thorium (Th), rare earth elements (REE) and phosphate compounds (PO4). This
study aims to determine the effect of pH variations in separation of elements in
monazite with gradual deposition and determine elements produced from each pH
variation. The variation pH starts from pH 0,5 to 10 with difference pH of zero point
five. The elements in monazite are separated gradually starting from decomposition
process using sodium hydroxide (NaOH), dissolving with hydrochloric acid (HCl)
and graded deposition with ammonium hydroxide (NH4OH). The elements were
analyzed using the instrument Inductively Coupled Plasma Optical Spectroscopy
(ICP-OES), and UV-Visible Spectrophotometer. The effect of pH variations results
in sedimentation at pH 3, pH 6, pH 6.5 and pH 7. The elements produced at each
pH variation are uranium, thorium, rare earth elements, aluminum, iron, bismuth,
gallium and thallium. Uranium and thorium were mostly at pH 3 with recovery of
U 72.3% and Th 46.33% and rare earth elements at pH 6.5 with 41.87% recovery.
The elements Fe and Bi mostly settle at pH 3 with levels of 37.9 ppm and 100.9
ppm. The elements Al, Ga and Tl precipitate most at pH 6.5 with levels of 30.2
ppm, 69.8 ppm and 8 ppm.
Keywords: multilevel precipitation, monazite, rare earth elements, thorium,
uranium
viii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirohmaanirrohim
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan berbagai nikmat terutama nikmat sehat sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya. Penelitian dengan judul Pemisahan Unsur-unsur pada Monasit
dengan Pengendapan Bertingkat dilaksanakan di Laboratorium PTBGN. Skripsi
ini disusun berkat bantuan dari berbagai pihak. Atas kerjasama dan bantuan dari
berbagai pihak terkait, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Nurhasni, M.Si selaku Pembimbing I dan Sekretaris Program Studi Kimia yang
telah membimbing dan mendukung dalam penulisan skripsi ini.
2. Riesna Prassanti, M.T selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan
mendukung penulis selama penelitian di PTBGN-BATAN.
3. Dr. Sri Yadial Chalid, M.Si selaku Penguji I yang telah memberikan saran,
bimbingan dan arahan.
4. Nurmaya Arofah, M.Eng selaku Penguji II yang telah memberikan saran,
bimbingan dan arahan.
5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env., Stud, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
7. Kedua orang tua dan saudara kandung yang telah mendukung penuh baik secara
materil, moril dan doa yang tiada henti-hentinya.
8. Ibu Sumiarti, Miftah Fauzan dan Yoga Permana selaku analis kimia di
Laboratorium PTBGN BATAN yang telah banyak membantu pada saat analisis.
9. Novita Sari Fatihah dan Yanti Haryanti sesama teman mahasiswa Kimia UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga melakukan riset di Laboratorium PTBGN
BATAN serta memberikan motivasi dan semangat pada saat penelitian
berlangsung.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya dorongan, dukungan, motivasi, doa
dan arahan maka skripsi ini tidak dapat diselesaikan. Semoga semua hal tersebut
menjadi amal kebaikan untuk bapak/ibu dan rekan-rekan semua, dan kedepannya
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Ciputat, 04 Juni 2020
Penulis
vii
x
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viiiiii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiiiiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xivv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .......................................................................................... 5
1.3 Hipotesis ........................................................................................................ 5
1.4 Tujuan penelitian ........................................................................................... 5
1.5 Manfaat penelitian ......................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2.1 Monasit .......................................................................................................... 7
2.2 Uranium ......................................................................................................... 9
2.3 Torium ......................................................................................................... 10
2.4 Logam tanah jarang ..................................................................................... 12
2.5 Aluminium ................................................................................................... 15
2.6 Galium dan Talium ...................................................................................... 16
2.7 Besi .............................................................................................................. 17
2.8 Pelarutan ...................................................................................................... 18
2.9 Pengendapan bertingkat ............................................................................... 19
2.10 Spektrofotometer UV-Vis ............................................................................ 20
2.10.1 Prinsip spektrofotometer UV-Vis .................................................... 20
2.10.2 Hukum Lambert-Beer ...................................................................... 22
2.10.3 Instrumentasi .................................................................................... 23
2.11 Inductively Coupled Plasma Optical Spectroscopy (ICP-OES) .................. 24
2.11.1 Prinsip kerja ICP-OES ..................................................................... 24
2.11.2 Instrumentasi .................................................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 28
3.1 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 28
xi
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................ 28
3.2.1 Alat ................................................................................................... 28
3.2.2 Bahan ............................................................................................... 28
3.3 Diagram alir ................................................................................................. 29
3.4 Prosedur kerja .............................................................................................. 30
3.4.1 Dekomposisi metode basa ............................................................... 30
3.4.2 Pelarutan total residu dekomposisi dengan HCl .............................. 30
3.4.3 Pengendapan bertingkat ................................................................... 31
3.4.4 Analisis uranium dengan spektrofotometer UV-Vis ....................... 31
3.4.5 Analisis torium dengan spektrofotometer UV-Vis .......................... 32
3.4.6 Analisis logam tanah jarang dengan ICP-OES ................................ 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 34
4.1 Dekomposisi ................................................................................................ 34
4.2 Pelarutan total .............................................................................................. 39
4.3 Pengendapan bertingkat ............................................................................... 43
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 54
5.1 Simpulan ...................................................................................................... 54
5.2 Saran ............................................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 55
LAMPIRAN ......................................................................................................... 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Proses pengolahan monasit metode basa ............................................. 8
Gambar 2. Absorpsi cahaya oleh sampel............................................................. 22
Gambar 3. Skema alat spektrofotometer UV-Vis ................................................ 23
Gambar 4. Skema alat ICP-OES ......................................................................... 25
Gambar 5. Diagram alir penelitian ...................................................................... 29
Gambar 6. Grafik berat unsur dalam monasit dan residu dekomposisi ............... 35
Gambar 7. Grafik recovery unsur di dalam residu dekomposisi ......................... 36
Gambar 8. Grafik recovery unsur dalam filtrat dan residu pelarutan total .......... 40
Gambar 9. Grafik recovery unsur di dalam residu pengendapan bertingkat ....... 46
Gambar 10. Grafik jenis logam tanah jarang dalam residu pengendapan
bertingkat ............................................................................................ 48
Gambar 11. Konsentrasi unsur pengotor dalam residu pengendapan bertingkat 50
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Unsur tanah jarang.................................................................................. 13
Tabel 2. Berat endapan dan konsumsi NH4OH .................................................... 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pembuatan pereaksi penetapan uranium ......................................... 61
Lampiran 2. Pembuatan pereaksi penetapan fosfat ............................................. 62
Lampiran 3. Pembuatan pereaksi penetapan torium ........................................... 63
Lampiran 4. Sifat-sifat logam tanah jarang ......................................................... 64
Lampiran 5. Kandungan unsur dalam monasit bangka yang digunakan ............. 65
Lampiran 6. Contoh perhitungan berat unsur ...................................................... 65
Lampiran 7. Contoh perhitungan nilai recovery ................................................. 66
Lampiran 8. Contoh perhitungan konsentrasi real logam tanah jarang ............... 67
Lampiran 9. Contoh perhitungan berat unsur logam tanah jarang ...................... 68
Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai recovery logam tanah jarang ................ 70
Lampiran 11. Dokumentasi penelitian ................................................................ 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyebaran mineral di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi geologi di
sepanjang bentang kepulaan Nusantara. Indonesia mempunyai banyak mineral yang
dijadikan sebagai komoditi utama, salah satunya adalah mineral monasit. Daerah
potensial yang memiliki kandungan monasit antara lain Bangka dan Belitung yang
merupakan jalur timah, serta Kalimantan Barat meliputi Karimata, Ketapang,
Rirang, dan Tanah Merah (Tjokroardono et al., 2002).
Monasit merupakan mineral hasil samping pengolahan timah yang memiliki
kandungan unsur uranium (U), torium (Th), logam tanah jarang (LTJ) dan fosfat
(PO4). Presentase banyaknya masing-masing unsur penyusun monasit antara lain
LTJ2O3 58,97%, U 0,298%, Th 4,147%, dan PO4 23,712% (Sumarni et al., 2011).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam monasit masih bercampur antara satu dengan
lainnya sehingga harus dipisahkan melalui proses kimiawi untuk dapat
dimanfaatkan sesuai kegunaan unsurnya masing-masing.
Monasit dimanfaatkan melalui unsur-unsur yang ada di dalamnya dan
dimanfaatkan untuk beberapa bidang. Uranium dan torium digunakan sebagai
bahan bakar nuklir dan logam tanah jarang dapat digunakan dalam bidang
kesehatan. Sumber daya alam ini harus diolah terlebih dahulu sebelum
dimanfaatkan lebih lanjut. Pengolahan monasit harus dilakukan dengan sebaik-
baiknya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 29:
2
اهن سبع و الذي خلق لكم ما في الرض جميعا ثم استو ماء فسو ى إلى الس
وهو بكل شيء عليم سماوات
Artinya :
Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.
Ayat Al Quran tersebut menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan apa saja
yang ada di bumi, termasuk sumber daya alam yang kita manfaatkan sampai detik
ini. Allah menciptakan semua itu sebagai tanda-tanda kekuasaannya. Manusia
bertugas memanfaatkan sumber daya alam tersebut dengan sebaik mungkin untuk
kehidupan.
Unsur-unsur yang terdapat di dalam monasit memiliki nilai ekonomis
masing-masing sehingga harus dipisahkan. Unsur-unsur tersebut dipisahkan secara
bertingkat. Proses pemisahan unsur-unsur U, Th, LTJ dan fosfat dari bijih monasit
dapat dilakukan dengan metode asam menggunakan H2SO4 (Prassanti, 2013) dan
metode basa menggunakan NaOH (Sumarni et al., 2004). Tahapan proses yang
dihasilkan dengan metode basa adalah dekomposisi, pelarutan parsial pH 3,7,
pengendapan U, Th pH 6,3 dan pengendapan LTJ pH 9,8 (Prassanti, 2013).
Pelarutan bertujuan untuk melarutkan unsur yang ada di dalam residu hasil
dekomposisi untuk selanjutnya dilakukan pemisahan setiap unsurnya melalui
pengendapan. Pelarutan terdiri atas pelarutan parsial dan pelarutan total. Pelarutan
parsial dilakukan pada pH 3,7 bertujuan untuk memisahkan logam tanah jarang
dengan uranium dan torium (Sumarni et al., 2011), sedangkan pelarutan total untuk
melarutkan semua unsur, U, Th dan LTJ (Nuri et al., 2004).
3
Pelarutan parsial pH 3,7 menggunakan HCl telah dilakukan oleh Sumarni
et al., (2011) menghasilkan recovery LTJ terlarut 62% dengan kondisi pelarutan
waktu 2 jam dan suhu 80 oC. Nuri et al., (2004) melakukan pelarutan total residu
dekomposisi monasit rirang menghasilkan kondisi optimal konsumsi HCl 120
mL/100 g umpan, suhu 80 oC dan waktu 2 jam dengan recovery U 96,91%, Th
88,27% dan LTJ 91,99%.
Pemisahan uranium, torium dan logam tanah jarang dapat dilakukan dengan
cara pengendapan menggunakan NaOH. Nuri et al., (2000) memisahkan LTJ dari
U dan Th menggunakan NaOH, kondisi terbaik diperoleh LTJ(OH)3 pada pH 9,8,
konsentrasi NaOH 1 N dan waktu 3 jam. Kondisi tersebut menghasilkan nilai
recovery LTJ2O3 99,79%, Th 4,52%; U dan PO4 tidak terambil dan komposisi
produk LTJ(OH)3 98,868%; Th(OH)4 0,009%; dan lain-lain 1,123%.
Trinopiawan dan Sumiarti (2012) melakukan pemisahan U dari Th dengan
metode pengendapan menggunakan H2SO4. Recovery pengendapan optimal pada
larutan umpan H2SO4 yaitu Th sebesar 96,99% dan U 18,26% dengan konsumsi
H2SO4 20 mL (larutan umpan:H2SO4, 5:2) dan waktu pengendapan 30 menit.
Recovery pengendapan optimal pada larutan umpan HCl yaitu Th sebesar 98,05%
dan U 25,03% dengan konsumsi H2SO4 pekat 20 mL (larutan umpan:H2SO4, 5:2)
dan waktu pengendapan 20 menit. Penelitian tentang pengendapan U, Th dan LTJ
juga dilakukan oleh Anggraini et al., (2012) menggunakan H2SO4 dengan umpan
larutan H2SO4. Jumlah H2SO4 pekat yang digunakan sebanyak 175 mL (larutan
umpan:H2SO4, 1:3,5) menghasilkan recovery LTJ 61,21%, U 78,46%, dan PO4
93,56% serta waktu optimal pengendapan 20 menit.
4
Proses pengendapan untuk pemisahan unsur-unsur dalam monasit dapat juga
dilakukan dengan pengendapan bertingkat. Suyanti dan Puwarni (2011) telah
melakukan pengendapan bertingkat menggunakan NH4OH 15% dengan variasi pH
0,85; 1,25; 1,75; 2; 2,25; dan 2,75 untuk memisahkan torium dari logam tanah
jarang. Logam tanah jarang yang dihasilkan adalah La, Ce dan Nd. Kondisi
optimum yang dihasilkan berbeda setiap unsurnya. Th optimum pada pH 0,85
dengan kadar 20,607%, La dan Nd optimum pada pH 2 dengan masing-masing
kadar 19,055% dan 5,552%, serta Ce pada pH 0,2 dengan kadar 22,346%. Selain
unsur-unsur utama penyusun mineral monasit, terdapat unsur lainnya yang juga
bernilai ekonomis. Unsur-unsur tersebut antara lain besi, aluminium, kalsium,
magnesium, silika, titanium dan zirkonium (Isyunarto et al., 1999). Semua unsur
tersebut dianggap sebagai pengotor dalam proses pemisahan uranium, torium dan
logam tanah jarang. Unsur-unsur pengotor tersebut masih dapat dimanfaatkan lebih
lanjut, oleh karena itu perlu diketahui pada pH berapa unsur-unsur tersebut banyak
terlarut ataupun mengendap dalam proses pemisahan.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan unsur-unsur apa saja selain unsur
utama penyusun monasit yang dihasilkan dengan pengendapan bertingkat
menggunakan NH4OH. Penggunaan NH4OH tidak akan mengotori endapan karena
NH3 mudah menguap (Suyanti dan Puwarni, 2011).
Proses pelarutan yang dilakukan adalah pelarutan total menggunakan HCl,
sehingga diharapkan RE, U dan Th larut secara menyeluruh. Pengendapan
bertingkat dilakukan dengan adanya variasi pH sehingga dihasilkan unsur-unsur
apa saja selain unsur utama penyusun monasit pada kondisi-kondisi pH tertentu.
Parameter yang digunakan adalah pH atau derajat keasaman untuk pengendapan
5
bertingkat. pH yang digunakan dimulai dari pH 0,5 sampai dengan pH 10 dengan
selisih nol koma lima antara setiap pHnya, berdasarkan penelitian Suyanti dan
Puwarni (2011). Analisis kadar unsur uranium, torium dan senyawa fosfat
menggunakan instrumen Spektrofotometer UV-Vis, serta kadar unsur logam tanah
jarang dan pengotor menggunakan instrumen ICP-OES.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana pengaruh variasi pH pada pemisahan unsur-unsur dalam
monasit dengan pengendapan bertingkat?
2. Unsur apa saja yang dihasilkan dari setiap variasi pH pada pemisahan
unsur-unsur dalam monasit dengan pengendapan bertingkat?
1.3 Hipotesis
1. Variasi pH dapat memisahkan unsur-unsur dalam monasit dengan
pengendapan bertingkat.
2. Selain unsur penyusun utama dalam monasit yaitu uranium, torium, dan
logam tanah jarang dihasilkan juga unsur besi, aluminium, kalsium,
magnesium, silika, titanium dan zirkonium dalam setiap variasi pH,
sehingga dapat dipisahkan.
1.4 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan pengaruh variasi pH dalam pengolahan monasit dengan
pengendapan bertingkat.
6
2. Menentukan unsur apa saja yang dihasilkan dari setiap variasi pH pada
pemisahan unsur-unsur dalam monasit dengan pengendapan bertingkat.
1.5 Manfaat penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan
dalam memisahkan unsur-unsur yang bernilai ekonomis selain unsur utama
penyusun monasit dan mengurangi jumlah pengotor untuk pemisahan logam tanah
jarang, sehingga logam tanah jarang yang dihasilkan semakin murni.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monasit
Monasit merupakan mineral fosfat yang mengandung logam tanah jarang,
torium dan uranium (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Mineral ini jika diolah
secara kimiawi akan menghasilkan garam unsur U, Th, logam tanah jarang (LTJ)
dan fosfat. Rumus kimia monasit secara umum adalah (LTJ, Th, U) PO4 (Suyono
et al., 2017). Unsur yang terkandung dalam monasit memiliki nilai ekonomisnya
masing-masing. Logam tanah jarang digunakan dalam bidang industri, metalurgi
dan kimiawi (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Uranium dan torium sebagai bahan
bakar reaktor nuklir (Sagala et al., 2003).
Mineral ini di alam merupakan mineral ikutan dalam batuan granit, biotit
gneiss, dan genesit. Monasit ditemukan di Bangka dan Belitung bersama dengan
mineral timah dan di Kalimantan bersama mineral emas (Noviansyah, 2018).
Kandungan mineral monasit di setiap daerahnya berbeda-beda. Komposisi
kandungan unsur-unsur dalam monasit bangka yaitu 0,298% U, 4,171% Th,
23,712% P2O5 dan 58,97% LTJ oksida total (Anggraini et al., 2012).
Unsur-unsur dalam monasit harus dipisahkan terlebih dahulu untuk
dimanfaatkan sesuai fungsinya masing-masing. Proses pemisahan unsur-unsur
tersebut terdiri atas 4 metode yaitu: metode basa menggunakan NaOH, metode
asam menggunakan H2SO4, metode khloronisasi menggunakan gas klor, Cl dan
metode reduksi suhu tinggi menggunakan karbon, C (Callow, 1967).
8
Pengolahan monasit metode basa diawali oleh dekomposisi dengan NaOH.
Tahapan selanjutnya adalah pelarutan dengan asam dan pengendapan, serta
kalsinasi (Puwarni et al., 2015).
Pengolahan menggunakan metode asam biasa disebut sebagai proses digesti
monasit yang bertujuan untuk memisahkan unsur-unsur di dalam monasit. Digesti
biasanya dilakukan menggunakan asam sulfat karena harganya relatif murah dan
prosesnya lebih sederhana. Recovery yang dihasilkan U 99,90%, Th 99,44%, LTJ
99,54% dan PO4 99,88% (Prassanti, 2013). Digesti monasit masih menghasilkan
fosfat berbeda dengan dekomposisi yang mampu mengurai fosfat di dalam monasit.
Reaksi yang terjadi pada proses dekomposisi adalah sebagai berikut
(Cuthbert, 1958; Isyuniarto et al., 1999):
LTJ(PO4) (s) + 3NaOH (aq) ⟶ LTJ(OH)3 (s) + Na3PO4 (s)................................(1)
Th3(PO4)4 (s) + 12NaOH (aq) ⟶ 3Th(OH)4 (s) + 4Na3PO4 (s)............................(2)
(UO2)3(PO4)2 (s) + 6NaOH (aq) ⟶ 3UO2(OH)2 (s) + 2Na3PO4 (s).......................(3)
Gambar 1. Proses pengolahan monasit metode basa (Gupta dan
Krishnamurthy, 2005)
9
Pengolahan monasit menggunakan metode basa diawali dengan proses
dekomposisi seperti pada Gambar 1. Dekomposisi dilakukan menggunakan basa,
seperti NaOH dan KOH. Proses dekomposisi menghasilkan slurry yaitu campuran
antara residu, filtrat dan garam Na3PO4. Slurry kemudian disaring maka dihasilkan
residu dan filtrat dekomposisi. Residu atau padatan yang dihasilkan tersebut
mengandung hidroksida U, Th, LTJ dan garam Na3PO4. Garam Na3PO4 yang masih
berada di dalam residu dekomposisi dihilangkan dengan cara pencucian
menggunakan air suhu 60 oC. Residu dekomposisi yang tidak lagi mengandung
garam Na3PO4 digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu pelarutan menggunakan
asam, salah satunya asam klorida (HCl) menghasilkan filtrat dan residu pelarutan.
Filtrat pelarutan yang mengandung LTJ, U dan Th diendapkan dengan natrium
hidroksida (NaOH). Pengendapan unsur U dan Th dilakukan pada pH 6,4
sedangkan LTJ pada pH 9,6-10,4. Hasil akhir dari keseluruhan proses ini adalah
endapan (U, Th)(OH) pada ph 6,4 dan LTJ(OH) pada pH 9,6-10,4 (Gupta dan
Krishnamurthy, 2005).
2.2 Uranium
Uranium adalah unsur terpenting untuk bahan bakar nuklir sebagai penghasil
panas. Uranium merupakan unsur utama di antara bahan radioaktif alami yang ada
di bebatuan, terutama batuan sedimen yang bersifat asam. Batuan yang bersifat
asam tersebut antara lain granit, fosfat, dan black shales kaya organik yang ada di
kerak bumi dan air laut (Hore, 2001).
Uranium memiliki tiga isotop di alam, yaitu U-234, U-235, dan U-238. Isotop
U-238 merupakan isotop uranium alami terbanyak di antara ketiganya, yaitu
10
sebesar 99,3% (Bastori dan Birmano, 2018). Dalam bijih senyawa uranium selain
membentuk sulfida umumnya berbentuk Urainit atau yellow cake. Senyawa
pembentuk Urainit (U3O8) adalah senyawa oksida uranium UO2 dan UO3 yang
menghasilkan 50-85% Urainit (Sahputra, 2015).
Potensi uranium di daerah Bangka dikaitkan dengan monasit, di mana
uranium terdapat banyak pada monasit dalam deposit aluvium. Secara alami
aluvium yang kaya monasit menyatu dengan mineral timah, sehingga monasit
tersebut dihasilkan seiring proses penambangan timah. Uranium juga ditemukan
pada terak mineral timah akibat proses pengolahan timah. Sumber daya uranium
dari monasit dalam deposit alluvium telah dihitung sebanyak 22.830 tU, sedangkan
sumber daya uranium dari terak timah telah dihitung sebanyak 2.407 tU (NEA dan
IAEA, 2016).
Monasit Bangka memiliki kandungan uranium sebesar 1500-3000 ppm
(Sumarni et al., 2011). Analisis uranium dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain metode potensiometri, metode alkalimetri (Ngatijo et al., 2017), metode
spektrometer gamma dan spektrofotometer UV-Vis (Adventini et al., 2009).
Pengolahan bijih uranium dengan metode basa menghasilkan residu yang
mengandung hidroksida dari unsur U, Th, RE dan pengotor. Untuk memisahkan
unsur uranium dari yang lainnya perlu dilakukan proses pelarutan kemudian
pengendapan. Penegendapan unsur uranium terjadi pada pH 6,3 (Nuri et al., 2000).
2.3 Torium
Torium merupakan logam aktinida radioaktif berwana keperakan terang,
paramagnetik, dan agak lunak. Torium murni sangat lunak, dan seperti logam pada
11
umumnya, dapat digulung dalam keadaan dingin, ditempa, dan dibentuk. Saat
terkontaminasi dengan oksida, perlahan-lahan akan berubah menjadi abu-abu dan
akhirnya menjadi hitam (International Atomic Energy Agency (IAEA), 2008).
Torium terdapat dalam monasit dan thorianit. Thorianit adalah mineral
radioaktif dengan kandungan torium yang tinggi sekitar 70%, tetapi juga
mengandung oksida uranium, lantanum, cerium dan didymium (praseodymium dan
neodymium). Monasit mengandung torium dalam bentuk ThO2 sebanyak 3%-9%
bersamaan dengan mineral radioaktif. Ketersediaan torium diduga tiga kali lebih
banyak daripada uranium, dan sama banyaknya dengan timbal atau molibden
(Syarip dan Widodo, 2019).
Ekstraksi torium sebagai hasil samping perolehan logam tanah jarang dari
monasit merupakan sumber produksi torium yang paling layak saat ini. Torium
memiliki kepadatan yang tinggi dan daya magnet yang lemah, pemulihan monasit
dari pasir mentah atau bijih yang hancur dimungkinkan dengan teknik pemisahan
fisik yang melibatkan gravitasi dan metode elektrostatik. Indonesia memperkirakan
sekitar 1,5 miliar ton sumber daya spekulatif, yang akan ditargetkan untuk konten
LTJ dan Th-nya dengan membentuk konsorsium 16 lembaga penelitian, akademik
dan pemerintah serta mitra industri. Sebuah pabrik percontohan dengan 50 kg
konsentrat monasit/ kapasitas hari ditugaskan pada tahun 2015. Kegiatan lain dan
penyelidikan skala pilot pada metalurgi elemen langka sedang dipertimbangkan
dari 2016-2019 (NEA dan IAEA, 2016).
Kandungan torium dalam monasit Bangka sebesar 2,5–3,6% (Sumarni et al,.
2011). Terdapat dua metode untuk mengekstaksi torium dari mineral monasit yaitu
metode asam dan basa. Metode asam dilakukan dengan memanaskan mineral
12
menggunakan asam pada suhu 120-150 oC selama beberapa jam. Hasil dari proses
asam adalah larutan yang mengandung logam tanah jarang, U, dan Th. Metode basa
atau biasa dikenal dengan dekomposisi, memanaskan mineral monasit pada suhu
140 oC selama 4 jam. Hasil yang diperoleh adalah residu yang mengandung logam
tanah jarang, U, dan Th oksida. Torium dalam residu dekomposisi akan larut
dengan asam pada pH 3-4 (Dewita, 2012).
Torium sedang dikembangkan di negara India, Rusia, Jepang, Amerika
Serikat dan Kanada sebagai bahan bakar nuklir pengganti uranium. Keberadaan
torium dalam kerak bumi pada kondisi umum beberapa kali lebih berlimpah dari
semua isotop uranium, bahkan kelimpahan torium-232 beberapa ratus kali lebih
banyak daripada uranium-235. Beberapa kelebihan torium dibandingkan dengan
uranium sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar nuklir (Wolf, 2006).
a. Sebagai bahan bakar reaktor, torium tidak perlu pengkayaan.
b. Produk limbahnya tetap berbahaya tetapi hanya untuk jangka waktu yang jauh
lebih pendek dibandingkan limbah uranium.
c. Torium di dalam kerak bumi jumlahnya lebih banyak jumlahnya dibandingkan
uranium dengan perbandingan sekitar 4:1.
d. Torium yang digunakan untuk bahan bakar reaktor lebih sedikit dibanding
uranium yaitu sekitar 1:10.
2.4 Logam tanah jarang
Logam tanah jarang adalah unsur yang dimulai dari nomor atom 57 hingga
71 di dalam tabel unsur periodik, yang semuanya terdapat di alam kecuali
promethium (Tabel 1). Istilah “tanah jarang” digunakan karena proses penemuan
13
unsur ini di bumi memakan waktu yang lama yaitu selama hampir 160 tahun dari
tahun 1788 dan 1941. Unsur-unsurnya antara satu sama lain memiliki sifat kimia
yang sama sehingga selalu berada dalam mineral yang sama dan berperilaku
sebagai entitas kimia tunggal (Gupta dan Krishnamurthy, 2005).
Logam tanah jarang berasal dari mineral limenit, zirkon, kalseterit dan
monasit. Logam tanah jarang pada monasit memiliki komposisi sekitar 50-70%
oksida LTJ. Di Indonesia logam tanah jarang terdapat pada mineral zirkon, kalsiterit
dan monasit. Mineral-mineral tersebut banyak terdapat di wilayah Bangka,
Belitung, Kundur dan Kalimantan Tengah (Suyono et al., 2017).
Tabel 1. Unsur tanah jarang
Simbol Nama unsur Simbol Nama unsur
Y Ytrium Gd Gadolinium
Sc Scandium Tb Terbium
La Lanthanum Dy Dysprosium
Ce Cerium Ho Holmium
Pr Praseodymium Er Erbium
Nd Neodymium Tm Thulium
Pm Promethium Yb Ytterbium
Sm Samarium Lu Lutetium
Eu Europium
Sumber: (Gupta dan Krishnamurthy, 2005)
Jenis logam tanah jarang yang terkandung dalam monasit adalah lantanum,
serium, prosedinium, neodinium, samarium, europium, gadolinium, terbium,
disporsium, holmium, erbium, thulium, itterbium, lutetium, dan ytrium. Kegunaan
setiap logam tanah jarang berbeda-beda. Logam La digunakan sebagai komponen
katalis FCC, terutama dalam pembuatan bahan bakar oktan rendah dari minyak
mentah berat. Logam Ce digunakan untuk pelapis kaca agar terhindar dari sinar
ultraviolet seperti gelas peralatan medis dan jendela pesawat luar angkasa (Gupta
dan Krishnamurthy, 2005).
14
Disporsium memiliki sifat magnet yang paling tinggi namun tidak bisa
berperan sendiri sehingga ia tergabung dalam magnet permanen kekuatan tinggi
neodinium-boron-besi. Produk skandium terutama digunakan dalam keramik dan
laser (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Gadolinium digunakan untuk mendeteksi
anomali fungsi-fungsi organ internal tubuh manusia (Suyono et al., 2017).
Logam tanah jarang dapat bereaksi dengan selenium, sulfur dan fosfor secara
eksotermis. Reaksi yang terjadi dalam proses pemanasan logam tanah jarang
dengan ketiga unsur tersebut dapat merusak wadah, tungku, selungkup udara dan
lain-lain secara serius. Di sisi lain pada suhu rendah logam tanah jarang yang
memiliki massa berat bereaksi dengan sulfur (Gupta dan Krishnamurthy, 2005).
Kandungan logam tanah jarang dalam monasit Bangka sebesar 50-67%
(Trinopiawan et al., 2011). Dalam mineral monasit logam tanah jarang masih
bercampur dengan U, Th dan PO4. Proses pengolahan monasit yaitu dekomposisi
basa menghasilkan residu yang mengandung U, Th dan logam tanah jarang oksida.
Pemisahan logam tanah jarang dari U dan Th dilakukan dengan ekstraksi, resin
penukar ion dan pengendapan (Nuri et al., 2000).
Logam tanah jarang larut dalam asam mineral encer dan hidrogen, namun
kurang larut dalam asam sulfat pekat. Dalam kisaran tertentu laju pelarutan
sebanding dengan konsentrasi asam. Logam tanah jarang bereaksi dengan asam
organik umum tetapi pada tingkat yang lebih lambat dibandingkan dengan asam
mineral dengan konsentrasi yang sama. Campuran asam nitrat pekat dan asam
hidrofluorat 48% dapat digunakan untuk pemisahan tantalum dari logam tanah
jarang, karena hanya tantalum yang larut dalam campuran asam tersebut sedangkan
logam tanah jarang tidak (Gupta dan Krishnamurthy, 2005).
15
2.5 Aluminium
Aluminium adalah logam yang bisa dijumpai dalam kerak bumi dan terdapat
pada batuan seperti felspar dan mika. Kandungannya mudah diperoleh dalam
bentuk kosida terhidrat seperti bauksit, Al2O3.nH2O, dan kryolit, Na3AlF6 (Cotton
dan Wilkinson, 2007). Aluminium dengan konfigurasi elektronik [10Ne] 3s2 3p1
mempunyai tingkat oksidasi +3 dalam senyawanya. Memiliki titik leleh 660 oC dan
titik didih 2467 oC. Logam ini berwarna putih mengkilat, moderat lunak dan lemah
jika dalam keadaan murni, tetapi keras dan kuat jika dipadukan dengan logam-
logam lain (Sugiyanto dan Retno, 2010).
Logam aluminium mempunyai banyak kegunaan dan beberapa garamnya
seperti sulfat dibuat dalam skala besar. Paduan logam aluminium dengan NH4ClO4
dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk mendorong roket yang membawa
pesawat ulang-alik Columbia buatan Amerika Serikat. Senyawa tawas, misalnya
KAl(SO4)2.12H2O bermanfaat sebagai penjernih air dan indutri pencelupan atau
pewarnaan, yang dapat dijumpai dengan mudah di pasaran (Sugiyanto dan Retno,
2010). Aluminium juga biasa digunakan sebagai bahan utama pembuatan alat
masak untuk rumah tangga, namun alat masak tersebut tidak bisa digunakan untuk
bahan-bahan yang bersifat sangat basa (Petrucci, 1985).
Logam aluminium tahan terhadap korosi udara, karena reaksi antara logam
aluminium dengan oksigen udara menghasikan oksidanya, Al2O3 yang merupakan
lapisan nonpori dan membungkus permukaan logam tersebut sehingga tidak terjadi
reaksi lebih lanjut (Sugiyanto dan Retno 2010). Logam aluminum melarut dalam
asam mineral, kecuali asam nitrat pekat, dan dalam larutan hidroksida akan
menghasilkan gas hidrogen. Aluminum membentuk senyawa dengan alkali
16
(contohnya adalah NaOH) sebagian besar non logam dan menunjukkan sifat kimia
yang beragam. Logam aluminium bersifat amfoterik, bereaksi dengan asam kuat
membebaskan gas hidrogen, dan dengan basa kuat membentuk aluminat dan gas
hidrogen menurut persamaan reaksi (Saito, 2004).
2Al (s) + 6H3O+ (aq) 2Al3+ (aq) + 6H2O (l) + 3H2 (g)...............................(4)
2Al (s) + 2OH- (aq) + 6H2O (l) 2[Al(OH)4]- (aq) + 3H2 (g)............................(5)
2.6 Galium dan Talium
Gallium terdapat hanya pada runtutan batuan Al dan Zn. Talium juga
merupakan unsur yang jarang, diperoleh kembali dari debu asap yang berasal dari
pemanggangan pyrit dan batuan sulfida lainnya. Gallium digunakan dalam keadaan
padat dan ditemukan dalam keadaan gas. Talium terutama dalam bentuk Tl(III)
karboksilat digunakan dalam sintesis organik (Cotton dan Wilkinson, 2007).
Galium adalah unsur yang masih berupa cairan pada suhu di atas 2000 oC, karena
itu bahan ini digunakan untuk termometer suhu tinggi (Petrucci, 1985).
Logam talium memiliki manfaat yang sangat khusus dan produksinya tidak
terlalu banyak. Contohnya, talium (I) bromida dan talium (I) iodida adalah dua dari
sedikit senyawa yang mempunyai sifat transparansi yang sangat tinggi sehingga
dapat digunakan untuk keperluan radiasi inframerah dengan panjang gelombang
yang panjang. Dalam bentuk lembaran dari kedua senyawa ini digunakan untuk
unit-unit detektor inframerah. Sifat kimia talium juga cukup menarik karena talium
memiliki dua tingkat oksidasi yaitu +1 dan +3 (Sugiyanto dan Retno, 2010).
Gallium dan talium biasanya diperoleh dengan elektrolisis larutan garam-
garamnya dalam air. Galium memiliki kemungkinan tersebut karena besarnya
17
tegangan lebih untuk evolusi hidrogen dari logam ini. Kedua unsur ini lunak, putih
dan merupakan logam yang cukup reaktif dan mudah larut dalam asam. Talium
larut secara lambat dalam H2SO4 dan HCl, karena garam Tl yang terbentuk hanya
larut sebagian. Gallium sama seperti Al dapat larut dalam larutan NaOH. Gallium
dan talium bereaksi cepat dalam suhu ruang dengan halogen-halogen dan dengan
non logam seperti sulfur (Cotton dan Wilkinson, 2007).
2.7 Besi
Keberadaan besi kerak bumi sebesar 62000 ppm merupakan unsur keempat
terbanyak setelah oksigen, silikon dan aluminium. Besi juga banyak terdistribusi
sebagai oksida dan karbonat, yang terpenting adalah hematit (Fe2O3), magnetit
(Fe3O4), limonit (2FeO3H2O), siderit (FeS2), dan chalcopyrites (CuFeS). Logam
besi bersifat lunak dan mudah dibentuk. Memiliki titik lebur 1537 oC dan bersifat
reaktif . Besi dapat larut dalam asam HCl encer dan H2SO4 (Cottom dan Wilkinson,
2007).
Besi dalam keadaan murni bersifat reaktif. Tingkat oksidasi besi tertinggi
adalah +6 tetapi jarang dijumpai, bilangan oksidasi yang paling umum bagi besi
yaitu +2 dan +3. Besi bereaksi dengan udara lembab teroksidasi membentuk besi
(III) oksida hidrat yang dikenal sebagai karat. Karat yang terbentuk mempunyai
ikatan yang lemah hingga mudah hancur terpisah dari permukaan besi. Logam besi
mudah larut dalam asam yang bergantung pada jenis asam yang digunakan. Besi
dengan asam non oksidator dihasilkan besi (II), sedangkan dengan asam oksidator
(contoh HNO3) dihasilkan Fe (III). Passive iron adalah besi yang tidak bereaksi
dalam larutan asam nitrat. Keadaan pasif ini diakibatkan oleh adanya kontak dengan
18
oksidator seperti asam kromat atau hidrogen peroksida, membentuk suatu lapisan
tipis Fe2O3 (Mudzakir, 2008).
Besi sebagian besar (95%) digunakan sebagai bahan industri logam dan
turunannya seperti industri otomotif, perkapalan, industri komponen bahan
bangunan dan baja. Baja adalah paduan logam dari besi yang paling dikenal. Selain
sebagai logam besi juga digunakan dalam bentuk oksidanya, yaitu oksida besi (III)
digunakan pada produksi komponen magnetik untuk komputer (Mudzakir, 2008).
2.8 Pelarutan
Pelarutan hasil dekomposisi monasit Bangka secara basa yaitu (U, Th, LTJ)
hidroksida menggunakan asam kuat seperti HCl, H2SO4, dan HNO3. Hasil
pelarutan dengan H2SO4 maupun HNO3 yang rnenghasilkan larutan (U, Th, LTJ)
sulfat atau (U, Th, LTJ) nitrat bisa langsung dilakukan proses ekstraksi untuk
pengambilan U dan Th. Akan tetapi pelarutan dengan asam selain HCl tersebut
memerlukan konsumsi asam yang lebih banyak. Pelarutan dengan H2SO4
diperlukan jumlah asam (2-3) kali jumlah HCl. Disamping itu kelarutan (U, Th,
LTJ) hidroksida dalam H2SO4 1ebih kecil dibandingkan dengan HCl (Nuri et al.,
2002).
HCl melarutkan sempurna (U, Th, LTJ) hidroksida pada suhu 79 oC, dengan
perbandingan 1,5 kg asam per kg residu. Proses pelarutan menggunakan HCl
dipengaruhi oleh kondisi saat dekomposisi. Semakin banyak fosfat yang dihasilkan
saat proses dekomposisi semakin mudah pelarutan logam (U, Th, LTJ) hidroksida.
Hal ini berarti ikatan fosfat terlepas dari (U, Th, LTJ) hidroksida (Arief et al., 2002).
19
Reaksi yang terjadi pada proses pelarutan (U, Th, LTJ) hidroksida dengan HCl
adalah sebagai berikut (Sumarni et al., 2011).
LTJ(OH)3 (s) + 3HCl (aq) → LTJCl3 (aq) + 3H2O (aq).............................(6)
Th(OH)4 (s) + 2HCl (aq) → ThCl2 (aq) + 2H2O (aq).............................(7)
UO2(OH)2 (s) + 2HCl (aq) → UO2Cl2 (aq) + H2O (aq)..............................(8)
Kondisi pelarutan (U, Th, LTJ) hidroksida dengan menggunakan HCI yang
terbaik adalah pada suhu 79-80 oC, kebutuhan HCI 1,5 Ib/lb umpan dan waktu
pelarutan 1 jam (Nuri et al., 2002).
2.9 Pengendapan bertingkat
Pengendapan merupakan pemisahan suatu unsur dengan unsur lainnya
dilakukan dengan mengubah bagian tertentu ke bentuk endapan, sehingga mudah
dipisahkan berdasarkan perbedaan fasenya. Ketika pengendapan terjadi, ukuran
partikel endapan dipengaruhi oleh laju relatif dari dua proses berikut: (1)
pembentukan inti (nuclei), yang disebut nukleasi dan (2) pertumbuhan inti tersebut
untuk membentuk partikel-partikel yang cukup besar untuk mengendap (Day dan
Underwood, 2002).
Metode pengendapan bertingkat merupakan salah satu metode pemisahan
untuk mendapatkan unsur logam tanah jarang. Metode tersebut berupa
pengendapan bertingkat yang mirip dengan metode rekristalisasi bertingkat.
Umumnya proses ini menambahkan hidroksida sehingga dihasilkan endapan
hidroksida. Prinsip dasarnya adalah perbedaan tetapan hasil kali kelarutan unsur
dalam bentuk hidroksidanya. Pemisahan dengan metode pengendapan bertingkat
20
juga dilakukan dengan menambahkan hidroksida untuk memperoleh hasil
pemisahan yang lebih selektif (Huheey, 1993).
Pengendapan dilakukan karena dapat memurnikan unsur-unsur dalam
monasit terutama logam tanah jarang. Anggaraini et al., (2012) melakukan
pengendapan logam tanah jarang dari digesti monasit dengan asam sulfat dihasilkan
recovery pengendapan logam tanah jarang pada kondisi optimum adalah LTJ
61,21%, U 78,46% dan PO4 93,56%. Kecepatan dan kesempurnaan reaksi
tergantung dari waktu pengendapan, suhu dan perbandingan asam terhadap umpan.
Selama pengendapan unsur-unsur dalam monasit akan bereaksi dengan basa
sebagai berikut:
LTJCl3 (aq) + 3NH4OH (aq) LTJ(OH)3 (s) + 3NH4Cl (aq).........(9)
UO2Cl2 (aq) + 2NH4OH (aq) UO2(OH)2 (s) + 2NH4Cl (aq).......(10)
ThCI4 (aq) + 4NH4OH (aq) Th(OH)4 (s) + 4NH4Cl (aq)........(11)
Reaksi di atas adalah kecepatan pengendapan yang bergerak ke arah produk.
Besarnya kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh konsentrasi umpan dan reagen
pengendapan yang digunakan, waktu, derajat keasaman, suhu, luas muka
pengadukan dan sebagianya (Nuri et al,. 2000).
2.10 Spektrofotometer UV-Vis
2.10.1 Prinsip spektrofotometer UV-Vis
Sinar ultraviolet memiliki rentang panjang gelombang ± 10 – 200 nm,
sedangkan untuk daerah visible memiliki rentang panjang gelombang ± 200-400
nm. Bagian dari molekul yang paling cepat bereaksi dengan kedua sinar tersebut
adalah elektron-elektron ikatan dan elektron-elektron nonikatan (elektron bebas).
21
Sinar ultraviolet dan sinar tampak merupakan energi, yang bila mengenai elektron-
elektron tersebut, maka elektron akan tereksitasi dari keadaan dasar ke tingkat
energi yang lebih tinggi, eksitasi elektron-elektron ini, direkam dalam bentuk
spektrum yang dinyatakan sebagai panjang gelombang dan absorbansi, sesuai
dengan jenis elektron-elektron yang terdapat dalam molekul yang dianalisis. Makin
mudah elektron-elektron bereksitasi makin besar panjang gelombang yang
diabsorbsi, makin banyak elektron yang bereksitasi makin tinggi absorban
(Suhartati, 2017).
Analisis menggunakan Spektrofotometri UV-Vis harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut, karena berhubungan dengan warna (Triyati 1995):
1. Kestabilan warna.
Sedapat mungkin warna yang dihasilkan stabil untuk beberapa lama.
2. Reaksi warna yang spesifik.
Reaksi warna spesifik untuk unsur tertentu, sehingga adanya unsur-unsur lain
tidak mengganggu dan pemisahan tidak perlu dilakukan.
3. Sifat zat warna.
Kalau zat warna yang terbentuk berada dalam keadaan tertutup dan segera
diperiksa karena penguapan akan menyebabkan pemekatan larutan.
4. Sensitif.
Sensitif yaitu dengan perubahan konsentrasi yang kecil, akan menyebabkan
pemekatan larutan.
5. Larutan homogen.
Larutan yang homogen akan mengabsorpsi cahaya di setiap bagian sama
22
2.10.2 Hukum Lambert-Beer
Metode Spektrofotometri Ultra-violet dan Sinar Tampak berdasarkan pada
hukum Lambert-Beer. Hukum tersebut menyatakan bahwa jumlah radiasi cahaya
tampak, Ultra-violet dan cahaya-cahaya lain yang diserap atau ditransmisikan oleh
suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal
larutan (Triyati, 1995). Hukum Lambert-Beer (Beer's law) adalah hubungan
linearitas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum
Lambert-Beer ditulis seperti persamaan berikut (Dachriyanus, 2004).
𝐀= 𝛆.𝐛.𝐂 ............................... (12)
A = absorban (serapan)
ε = koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1)
b = tebal kuvet (cm)
C = konsentrasi (M)
Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan
sebagai berikut:
T = I / Io ............................... (13)
I = intensitas cahaya setelah melewati sampel
Io = intensitas cahaya awal
Gambar 2. Absorpsi cahaya oleh sampel (Dachriyanus, 2004)
Hubungan antara A dan T adalah:
A = -log T = - log (I / Io) ............................... (14)
23
2.10.3 Instrumentasi
Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer UV-Vis adalah sebagai
berikut (Sastrohamidjojo, 2013):
1. Sumber radiasi
Sumber radiasi sinar UV-Vis yang sering digunakan adalah lampu lampu
filament tungsten. Filament dipanaskan oleh sumber arus searah atau baterai.
Filament tungsten menghasilkan radiasi kontinyu dalam daerah antara 380 nm.
Gambar 3. Skema alat spektrofotometer UV-Vis (Sastrohamidjojo, 2013)
2. Monokromator
Monokromator adalah serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi
polikromatik menjadi jalur-jalur dengan panjang gelombang tunggal atau
monokromatik.
3. Tempat cuplikan
Cuplikan yang akan dianalisis pada daerah sinar ultraviolet atau sinar
tampak ditempatkan dalam sel atau kuvet. Untuk analisis pada daerah ultraviolet
digunakan quartz atau sel yang dilebur, sedangkan untuk analisis pada daerah
tampak digunakan gelas biasa atau quartz. Sel untuk larutan mempunyai panjang
lintasan dari 1 hingga 10 cm.
24
4. Detektor
Detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tanaga
tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik atau
sebagai perubahan panas. Detektor mengaktifkan pencatat, dan pencatat
menghasilkan sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang
mengenainya. detektor yang digunakan dalam sinar UV-Vis adalah detektor
fotolistrik.
2.11 Inductively Coupled Plasma Optical Spectroscopy (ICP-OES)
2.11.1 Prinsip kerja ICP-OES
Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectroscopy (ICP-OES)
adalah adalah alat yang ampuh untuk penentuan logam dalam berbagai matriks
sampel yang berbeda. Prinsip utamanya adalah ketika energi plasma diberikan
kepada sampel analisis dari luar, unsur-unsur komponen (atom) tereksitasi. Atom
tereksitasi kembali ke posisi energi rendah, sinar emisi (sinar spektrum) dilepaskan
dan sinar emisi yang sesuai dengan panjang gelombang foton diukur. Eksitasi-emisi
sampel menggunakan plasma, yaitu suatu energi yang memiliki kerapatan dan suhu
elektron tinggi (6000-10000 oC). Plasma dihasilkan oleh gas argon yang terionisasi
menggunakan medan elekromagnetik berarus tinggi (Boss dan Fredeen, 2004).
2.11.2 Instrumentasi
Sampel yang diangkut ke dalam instrumen bentuknya dalah cairan. Cairan
di dalam instrumen diubah menjadi aerosol melaluli proses yang dikenal dengan
nebulisasi. Sampel yang telah berubah menjadi aerosol diangkut ke plasma, ia
dihancurkan, diuapkan, diatomisasi, dan tereksitasi atau terionisasi oleh plasma.
25
Atom dan ion tereksitasi memancarkan radiasi karakteristik mereka yang
dikumpulkan oleh perangkat yang memilah radiasi dengan panjang gelombang.
Radiasi terdeteksi dan diubah menjadi sinyal elektronik. Skema alat ICP-OES dapat
dilihat pada Gambar 4 (Boss dan Fredeen, 2004).
Gambar 4. Skema alat ICP-OES (Boss dan Fredeen, 2004)
Komponen-komponen dalam instrumen ICP-OES adalah sebagai berikut
(Boss dan Fredeen, 2004).
1. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang mengubah cairan menjadi aerosol untuk diangkut
ke plasma. Proses nebulisasi adalah salah satu langkah penting dalam ICP-OES.
Sistem pengantar sampel yang ideal adalah sistem yang mengirimkan semua
sampel ke plasma dalam bentuk yang dapat diuapkan, diatomisasi, diionisasi, dan
dieksitasi. Dalam ICP, hanya tetesan kecil yang dapat digunakan dari hasil nebulasi
tersebut. Kegunaan nebulizer untuk ICP-OES sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengubah berbagai macam sampel menjadi tetesan kecil.
26
2. Spray chamber
Fungsi utama dari spray chamber adalah untuk menghilangkan tetesan besar
dari aerosol. Tujuan kedua dari spray chamber adalah untuk memperlancar
dorongan yang terjadi selama nebulisasi. Secara umum, ruang semprot untuk ICP
dirancang untuk memungkinkan tetesan dengan diameter sekitar 10 cm atau lebih
kecil untuk mengalir ke plasma.
3. Drain
Drain berguna untuk membawa sampel berlebih dari ruang spray chamber
ke wadah limbah. Selain membawa sampel berlebih, sistem drainase tekanan balik
yang diperlukan untuk memaksa sampel gas nebulizer pembawa aerosol sampel
melalui tabung injektor torch dan ke dalam pelepasan plasma. Injeksi ke dalam
plasma akan terganggu jika sistem drainase tidak mengalirkan secara merata atau
memungkinakan gelembung melewatinya, sehingga esmisi yang rumit dapat
terjadi.
4. Torches
Torches berisi tiga tabung konsentris untuk aliran argon dan injeksi aerosol.
Jarak antara dua tabung luar dijaga tetap sempit sehingga gas yang dimasukkan di
antara keduanya muncul dengan kecepatan tinggi. Untuk ICP argon, aliran gas luar
biasanya sekitar 7 - 15 liter per menit. Ruang antara aliran luar dan aliran dalam
mengirimkan gas langsung di bawah toroid plasma. Aliran ini menjaga pelepasan
plasma dari tabung intermediate dan injector dan membuat sampel aerosol masuk
ke dalam plasma lebih mudah.
5. Radio Frequency Generator
27
Radio Frequency Generator adalah perangkat yang menyediakan daya
untuk menghasilkan dan mempertahankan pelepasan plasma. Daya ini mulai dari
sekitar 700 hingga 1500 watt, ditransfer ke gas plasma melalui koil beban yang
mengelilingi bagian atas torches. Koil beban, yang bertindak sebagai antena untuk
mentransfer daya radio frequency ke plasma, biasanya terbuat dari pipa tembaga
dan didinginkan oleh air atau gas selama operasi.
28
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2019 di
Laboratorium Bidang Teknologi Penambangan dan Pengolahan, Pusat Teknologi
Bahan Galian Nuklir (PTBGN-BATAN) yang berlokasi di kawasan nuklir Jl. Lebak
Bulus Raya No.9 Pasar Jum'at, Jakarta Selatan.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan adalah gelas piala dan alat gelas lainnya, motor
pengaduk, statif, termometer, vakum, cawan petri, kertas saring whattman, lemari
asam, hot plate, labu ukur, pH meter, oven, furnace, mortar, ayakan 325 mesh,
timbangan analitik, Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2600 dan ICP-OES Perkin
Elmer.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah monasit Bangka dengan ukuran butiran 44 µm,
aquades, natrium hidroksida (MERCK), asam klorida pekat teknis 14 N (MERCK),
ammonium hidroksida teknis (MERCK), larutan tri-octhyl-phospin-oxide
(MERCK), asam askorbat (MERCK), asam nitrat (MERCK), larutan kompleks II,
larutan buffer pH 8,35, larutan 2-(5-bromo-2-pyridylozo)-5-diethyl aminophenol
(MERCK) dan larutan thorin (MERCK).
29
3.3 Diagram alir
Residu
Residu Filtrat
Pelarutan total dengan HCl 14 N
suhu 80 OC selama 2 jam Diendapkan bertingkat
dengan NH4OH pada
variasi pH 0,5; 1; 1,5;
2; 2,5; 3; 3,5; 4; 4,5; 5;
5,5; 6; 6,5; 7; 7,5; 8;
8,5; 9; 9,5; 10
Endapan Filtrat
induk
Didekomposisi pada suhu 140 OC selama 4
jam dengan komposisi monasit:air:NaOH
1:1,5:1,7
Dianalisis dengan ICP-OES
dan spektrofotometer UV-Vis
Dianalisis dengan ICP-OES
dan spektrofotometer UV-Vis
Monasit
Slurry
dekomposisi
Penyaringan
Residu Filtrat
induk
Pencucian dengan air
suhu 100 OC hingga pH 9 Filttrat pencucian
dan garam Na3PO4
Dianalisis dengan ICP-OES
dan spektrofotometer UV-Vis
Dianalisis dengan ICP-OES
dan spektrofotometer UV-Vis
Gambar 5. Diagram alir penelitian
30
3.4 Prosedur kerja
3.4.1 Dekomposisi metode basa (Sumarni et al,. 2004)
Ditimbang monasit bangka dengan ukuran butir 44 µm sebanyak 250 g.
Dimasukkan air sebanyak 425 mL ke dalam gelas beker ukuran 1000 mL. Air
dipanaskan di atas penangas sampai suhunya kurang lebih 40 oC, kemudian 375
gram padatan NaOH dimasukkan ke dalamnya dan diaduk hingga larut.
Dimasukkan monasit bangka yang telah ditimbang sebanyak 250 g ke dalam
campuran air dan NaOH sambil diaduk, suhu dekomposisi dinaikkan sampai 140
oC. Proses ini dilakukan selama 4 jam. Perhitungan awal untuk waktu 4 jam tersebut
dilakukan ketika suhu mencapai 140 oC. Komposisi bahan untuk sekali
dekomposisi adalah monasit: NaOH: air dengan perbandingan 1:1,5:1,7. Proses
dekomposisi dilakukan sebanyak 12 kali, dan dalam sekali dekomposisi
menggunakan 250 g monasit.
Slurry yang dihasilkan dari proses dekomposisi diencerkan dengan air panas
sebanyak 3 kali berat monasit yaitu sekitar 750 mL. Slurry yang encer disaring
menghasilkan filtrat induk dan residu dekomposisi, kemudian residu dicuci dengan
air panas hingga pH filtrat mencapai 9. Hasil utama adalah residu dekomposisi yang
digunakan untuk proses pelarutan. Hasil sampingnya berupa filtrat pencucian yang
bercampur dengan garam Na3PO4.
3.4.2 Pelarutan total residu dekomposisi dengan HCl (Sumarni et al., 2004)
Residu dekomposisi sebanyak 1000 g dimasukkan ke dalam gelas beker
ukuran 2000 mL, apabila residu kering ditambahkan 30% air ke dalamnya,
kemudian dipanaskan sampai suhu 50 oC sambil diaduk. HCl pekat 14 N
dimasukkan ke dalam larutan dan suhu dipertahankan pada 80 oC, proses ini
31
dilakukan selama 2 jam. Perbandingan residu dan HCl yang digunakan adalah 1:1,
sehingga HCl dapat melarutkan semua residu.
Residu dan filtrat pelarutan total yang masih bercampur kemudian disaring
untuk memisahkan filtrat dari residunya. Residu yang dihasilkan dikeringkan dalam
oven suhu 100 oC dan dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis dan ICP-OES.
Filtrat yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk proses pengendapan bertingkat
sebagai umpan. Filtrat yang dihasilkan diukur volumenya dan diambil sedikit untuk
dianalisis kandungan dan kadar unsur di dalamnya. Filtrat dianalisis dengan ICP-
OES dan Spektrofotometer UV-Vis.
3.4.3 Pengendapan bertingkat (Suyanti dan Purwani, 2011)
Filtrat hasil pelarutan total diendapkan secara bertingkat menggunakan
reagen NH4OH. Proses pengendapan ini menggunakan variasi pH sebanyak 20
antara lain dimulai dari pH 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4; 4,5; 5; 5,5; 6; 6,5; 7; 7,5; 8;
8,5; 9; 9,5; 10. Penambahan NH4OH dihentikan apabila pH yang diinginkan telah
tercapai dan larutan didiamkan selama 1 jam hingga menghasilkan endapan.
Endapan yang dihasilkan dipisahkan dengan proses penyaringan menggunakan
corong dan kertas saring. Selanjutnya filtrat hasil penyaringan tersebut diendapkan
kembali dengan NH4OH sesuai pH yang diinginkan, begitu seterusnya sampai
variasi pH terakhir. Endapan yang dihasilkan dari setiap pengendapan dianalisis
dengan spektrofotometer UV-Vis dan ICP-OES.
3.4.4 Analisis uranium dengan spektrofotometer UV-Vis (Sumiarti dan
Guswita, 2018)
Sampel monasit bangka, residu dekomposisi dan filtrat hasil pelarutan total
dipipet sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 mL,
ditambahkan dengan asam nitrat 0,5 N sampai larut. Asam askorbat 5% sebanyak
32
2 mL dan 5 mL TOPO 0,05 N ditambahkan ke dalam tabung reaksi tadi. Campuran
tersebut dikocok dengan vortex selama 2 menit, lalu dibiarkan selama 5 menit
sampai fasa organik terpisah dari fasa air dengan baik sehingga membentuk 2
lapisan. Fasa organik atau lapisan atas dipipet sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke
dalam labu ukur 25 mL, selanjutnya ditambahkan 1 mL larutan kompleks II, larutan
buffer pH 8,35 dan 2 mL Br-PADAP 0,05%.
Larutan dikocok sampai tercampur rata setiap penambahan reaksi dilakukan.
Larutan didiamkan selama 10 menit, kemudian ditambahkan alkohol sehingga
larutan tepat 25 mL. Spektrum uranil-Br-PADAP diukur dengan spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 574 nm.
3.4.5 Analisis torium dengan spektrofotometer UV-Vis (Sumiarti dan
Guswita, 2018a)
Sampel monasit bangka, residu dekomposisi dan filtrat hasil pelarutan total
1 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambahkan HCl pH 0,8
sebanyak 15 mL. Larutan ditambahkan 5 mL asam askorbat 5% dan dikocok,
selanjutnya ditambahkan 5 mL Torin. Labu ukur ditepatkan volumenya dengan HCl
pH 0,8, kemudian dibiarkan selama 30 menit hingga stabil. Setelah larutan
kompleks stabil, diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 545 nm.
3.4.6 Analisis logam tanah jarang dengan ICP-OES (Sumiarti dan Guswita
2018b)
Kurva kalibrasi standar mayor dan minor dibuat dengan cara berikut.
Pembuatan larutan standar mayor, pertama deret standar unsur Ce, Pr, Nd, Sm, Gd,
La, Y, Dy dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50 ppm ke dalam masing-masing
labu ukur 25 mL. Larutan standar minor dibuat dengan cara deret standar unsur Eu,
33
Tb, Ho, Er, Tm, Yb, Lu dipipet dengan kadar 0,5; 2; 5; 10; 20; 50 ppm ke dalam
masing-masing labu ukur 25 mL.
Sampel yang dianalisis adalah monasit bangka, residu dekomposisi dan
filtrat hasil pelarutan total. Preparasi sampel dilakukan dengan cara sampel
diencerkan sesuai dengan kadar standar kalibrasi 0,5–50 ppm. Larutan standar
diukur pada panjang gelombang masing-masing unsur yang sudah diatur pada
metode penetapan unsur logam tanah jarang dengan ICP-OES. Larutan sampel
diukur menggunakan metode standar analisis unsur logam tanah jarang dengan
ICP-OES.
34
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini membahas tentang pengaruh variasi pH pada pengendapan
bertingkat dan unsur apa saja yang dihasilkan dari proses tersebut. Pengendapan
bertingkat dimulai dengan dekomposisi monasit dilanjutkan pelarutan total.
Pelarutan total menghasilkan residu dan filtrat pelarutan total, filtrat ini yang
digunakan sebagai umpan untuk proses pengendapan bertingkat. Endapan akan
dihasilkan pada beberapa pH yang telah divariasikan. Endapan yang dihasilkan
dianalisis kadar uranium, torium, logam tanah jarang dan unsur pengotornya
dengan Spektrofotometer UV-Vis dan ICP-OES.
4.1 Dekomposisi
Dekomposisi menggunakan NaOH bertujuan untuk mengurangi jumlah
fosfat dalam monasit. Fosfat dapat mengganggu proses pemisahan unsur-unsur
yang ada di dalam monasit. Unsur yang masih bercampur dengan fosfat tidak larut
pada proses pelarutan residu dekomposisi (Nuri et al., 2004). Penelitian ini
menggunakan proses dekomposisi sebagai proses awal pemisahan unsur-unsur di
dalam monasit karena dapat menurunkan jumlah fosfat dan menghasilkan produk
samping yang masih bisa dimanfaatkan yaitu natrium fosfat (Abdel, Rehim. 2002).
Unsur natrium dalam NaOH akan berikatan dengan fosfat dan membentuk
garam Na3PO4, dan unsur hidroksidanya akan berikatan dengan unsur-unsur dalam
monasit. Reaksi yang terjadi pada proses dekomposisi seperti yang terlihat pada
persamaan reaksi sebelumnya yaitu, Persamaan reaksi (1), (2) dan (3) pada halaman
8. (Cuthbert, 1958; Isyuniarto et al., 1999).
35
Persamaan reaksi tersebut menunjukkan unsur-unsur seperti uranium, torium dan
logam tanah jarang (LTJ) tetap berada di dalam residu dekomposisi dalam bentuk
hidroksidanya. Keberhasilan proses dekomposisi ditandai dengan berkurangnya
berat fosfat dalam jumlah banyak di dalam residu dekomposisi jika dibandingkan
dengan berat fosfat di dalam monasit (Nuri et al., 2004).
Monasit bangka yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis kadar unsur
uranium, torium, logam tanah jarang dan pengotornya, hasil analisis dapat dilihat
pada Lampiran 6. Hasil analisis berupa nilai konsentrasi masing-masing unsur yang
selanjutnya digunakan untuk menghitung berat unsur tersebut di dalam monasit,
seperti perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Berat unsur tersebut
kemudian dibandingkan dengan berat unsur yang ada di dalam residu dekomposisi,
hasilnya terdapat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik berat unsur dalam monasit dan residu dekomposisi
Berat fosfat di dalam monasit mengalami penurunan seperti yang terlihat pada
Gambar 6, karena senyawa fosfat yang telah berikatan dengan natrium dari NaOH
membentuk garam natrium fosfat. Garam natrium fosfat memiliki fasa padat,
12,84
244,73
1324,53
1472,49
1,47,41197,92
83,25
1428,25
1,420
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Uranium Tor ium Fosfa t LTJ Pengotor
Ber
at
(g)
Unsur
Monasit
Residu Dekom
36
terbentuk saat proses penyaringan dan pencucian residu dekomposisi dengan air
suhu 60 oC. Pencucian bertujuan untuk meluruhkan garam natrium fosfat yang ada
di dalam residu, sehingga garam tersebut akan jatuh bersama air pencucian. Garam
natrium fosfat yang larut bersama air pencucian akan terbentuk pada suhu ruang
(Walujo et al., 2004).
Proses dekomposisi menghasilkan residu dan di dalam residu tersebut
terdapat unsur uranium, torium, logam tanah jarang dan fosfat. Nilai recovery
merupakan nilai yang menunjukkan seberapa banyak unsur yang dapat terambil
dari hasil proses yang dilakukan. Nilai ini didapatkan berdasarkan perhitungan yang
dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai recovery untuk unsur uranium, torium, logam
tanah jarang dan fosfat di dalam residu dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik recovery unsur di dalam residu dekomposisi
Nilai recovery digunakan sebagai indikator keberhasilan proses dekomposisi,
khususnya nilai recovery fosfat di dalam residu dekomposisi. Nilai recovery fosfat
yang mendekati 0% menandakan proses dekomposisi berhasil. Nilai recovery
fosfat di dalam residu sebesar 6,28% seperti yang terlihat pada Gambar 7. Fosfat
57,71
80,88
6,28
96
0
20
40
60
80
100
120
Uranium Torium Fosfat LTJ
% R
ecover
y
Unsur
37
yang terakumulasi di dalam residu dekomposisi adalah 6,28% dan sebagian besar
lainnya sudah membentuk garam natrium fosfat yang larut dalam air panas saat
proses pencucian (Nuri et al., 2004).
Proses pencucian residu dekomposisi memiliki peran penting untuk
memisahkan fosfat dari residunya. Penelitian Nuri et al., (2004) dan Xu et al.,
(2012) melakukan pencucian residu dekomposisi sampai filtrat pencucian mecapai
pH 9, hal ini dilakukan karena pada pH tersebut PO4 telah hilang dari residu
dekomposisi. Nuri et al., (2004) melakukan pencucian residu dekomposisi
sebanyak 30 kali penuangan air panas untuk mencapai pH 9, pada penelitian ini
tidak menghitung berapa kali air panas yang dituangkan saat pencucian, melainkan
hanya melihat pH filtrat pencucian itu sendiri yang telah mencapai pH 9. Fosfat
yang masih berada dalam residu dekomposisi dikarenakan proses pencucian yang
kurang optimal. Berat monasit yang digunakan jumlahnya cukup banyak sehingga
tidak semua fosfat yang ada dalam residu terkena air pencucian dan luruh bersama
filtrat (Walujo et al. 2004).
Residu dekomposisi memiliki kandungan uranium, torium, logam tanah
jarang, unsur pengotor dan sedikit fosfat seperti yang terlihat pada Gambar 7. Nilai
recovery uranium, torium dan logam tanah jarang dalam residu dekomposisi
menunjukkan berapa persen unsur-unsur tersebut terakumulasi di dalam residu
dekomposisi. Nilai recovery uranium adalah 57,71%, torium 80,88% dan logam
tanah jarang 96%. Penelitian Nuri et al., (2004) dengan kondisi dekomposisi yang
sama dengan penelitian ini menghasilkan nilai recovery pada residu yaitu uranium
78,665%, torium 94,83% dan logam tanah jarang 98,176%. Penelitian lain oleh
Galvin dan Safarzadeh (2018) mendapatkan kondisi optimal dekomposisi
38
menggunakan KOH dengan kriteria waktu 4 jam, konsumsi KOH:monasit yaitu 3:1
dan suhu pemanggangan 210 oC. Presentase yang dihasilkan U 60%, Th 97% dan
LTJ 85%.
Penelitian ini memiliki nilai % recovery ketiga unsur yang lebih sedikit
dibandingkan dengan penelitian Nuri et al., (2004) dengan kondisi yang sama,
namun jika dibandingkan dengan penelitian Galvin dan Safarzadeh (2018)
penelitian ini memiliki % recovery LTJ yang lebih besar. Hal ini menunjukkan
penggunaan NaOH untuk proses dekomposisi lebih efektif dibandingkan KOH.
Nilai recovery ketiga unsur dalam penelitian ini lebih sedikit dikarenakan
masing-masing unsur dengan fosfat tidak terpisah sepenuhnya. Unsur yang masih
bercampur dengan fosfat ikut larut dengan filtrat dekomposisi saat pencucian atau
masih menyatu dengan 6,28% fosfat yang ada di residu. Hal ini juga mengakibatkan
berat ketiga unsur di dalam residu dekomposisi jadi berkurang (Galvin dan
Safarzadeh 2018).
Uranium dan torium dengan fosfat masih bercampur dikarenakan faktor-
faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi. Faktor tersebut di antaranya adalah
suhu, waktu, konsumsi NaOH dan jumlah monasit yang digunakan (Syarip dan
Widodo, 2019). Penelitian ini menggunakan suhu dekomposisi 140 oC, waktu 4 jam
dan konsumsi NaOH dengan monasit menggunakan perbandingan 1,5:1 NaOH 375
g dan monasit 250 g.
Jumlah NaOH yang digunakan dalam percobaan ini maupun penelitian
Galvin dan Safarzadeh (2018) lebih besar dibanding monasit agar Na3PO4 yang
terbentuk lebih banyak. Suhu tinggi yang tidak melebihi titik didih reagen akan
39
memisahkan unsur dengan fosfat, karena pada suhu rendah fosfat dengan uranium,
torium dan LTJ sulit terurai.
Waktu dekomposisi yang lama memungkinkan banyaknya fosfat yang
terpisahkan dari residu dekomposisi dan kandungan Na3PO4 lebih banyak terbentuk
pada filtrat. Ketiga faktor ini memiliki hubungan yang signifikan, yaitu konsumsi
alkali banyak, suhu tinggi dan waktu dekomposisi lama mampu meningkatkan
penguraian fosfat dan semakin banyak Na3PO4 yang terbentuk (Galvin dan
Safarzadeh 2018).
4.2 Pelarutan total
Pelarutan total bertujuan untuk melarutkan semua unsur yang ada di dalam
residu dekomposisi. Asam klorida digunakan sebagai pelarut karena dapat
melarutkan unsur-unsur hidroksida yang berada di dalam residu dekomposisi.
Reaksi pelarutan total residu dekomposisi seperti yang terlihat pada Persamaan
reaksi (4), (5) dan (6) pada halaman 18. (Sumarni et al., 2011).
Faktor yang mempengaruhi kondisi pelarutan, di antaranya suhu, waktu,
konsentrasi, dan jumlah pelarut. Menurut Sumarni et al., (2011) semakin lama
waktu pelarutan semakin sempurna kontak antara pelarut dan padatan, sehingga
unsur U, Th dan LTJ semakin banyak yang terlarut.
40
*RPT=Residu Pelarutan Total
FPT=Filtrat Pelarutan Total
Gambar 8. Grafik recovery unsur dalam filtrat dan residu pelarutan total
Nilai recovery untuk ketiga unsur lebih banyak berada pada filtrat
dibandingkan residunya, hal ini sesuai dengan tujuan proses pelarutan itu sendiri.
Penelitian ini menghasilkan nilai recovery uranium 72,23%, torium 70,24% dan
logam tanah jarang 86,02% lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian
Sumarni et al., (2004) yang menghasilkan % recovery uranium 96,91%, torium
88,27% dan logam tanah jarang 91,99%. Penelitian Sumarni et al., (2004)
melarutkan residu dekomposisi dengan HCl dalam kondisi waktu 2 jam, suhu 80
oC dan konsumsi HCl 120 mL/100 g umpan, sedangkan penelitian ini menggunakan
HCl perbandingan 1:1 dengan umpan. Panda et al., (2014) juga melakukan
pelarutan residu dekomposisi dengan HCl 6 N pada kondisi suhu 90 oC, kepadatan
pulp 60 g /L selama 2 jam menghasilkan recovery LTJ 95%. Dilihat dari penelitian
Panda et al., (2014) suhu yang lebih tinggi menghasilkan recovery LTJ yang lebih
besar meskipun masih sama-sama dalam kisaran nilai 90%.
Pelarutan residu dekomposisi dengan asam nitrat yang dilakukan oleh Nuri
et al., (2002) menghasilkan recovery U 53,14 %, Th 88,98 %, LTJ 70,03 % dan PO4
72,2370,24
86,02
20,2528,17
7,41
0
20
40
60
80
100
120
Uranium Tor ium LTJ
% R
ecove
ry
Unsur
RPT
FPT
41
53,89 %. Kondisi pelarutan yang digunakan adalah konsentrasi 14 N HNO3,
kebutuhan reduktor 20 mL H2O2, tanpa pemanasan dan waktu pelarutan 1 jam.
Dibandingkan dengan pelarutan menggunakan asam nitrat pelarutan dengan asam
klorida seperti pada penelitian ini menghasilkan lebih banyak recovery untuk ketiga
unsur.
Nilai recovery yang lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian
Sumarni et al., (2004) dan Panda et al., (2014) karena jumlah HCl yang digunakan
lebih sedikit sehingga unsur yang ada di dalam residu dekomposisi masih ada yang
tidak terlarut atau berada dalam residunya. Recovery unsur yang ada di dalam residu
pelarutan total dapat dilihat pada Gambar 8. Faktor lain yaitu masih adanya unsur
yang berikatan dengan fosfat akibat kondisi dekomposisi yang kurang sempurna
sehingga tidak larut dalam HCl (Sumarni et al., 2004). Kondisi dekomposisi yang
kurang sempurna itu dapat dilihat dari nilai recovery fosfat sebesar 6,28% yang
berada dalam residu dekomposisi. Faktor-faktor pelarutan yang telah disebutkan
sebelumnya juga dapat mempengaruhi hasil % recovery.
Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 oC sama dengan suhu
optimal yang digunakan oleh Sumarni et al., (2004) menggunakan pelarut HCl.
Suhu pelarutan berkaitan dengan titik didih dari pelarut yang digunakan. Dalam
penelitian ini pelarut asam klorida memiliki titik didih 110 oC maka suhu pelarutan
yang digunakan harus di bawah titik didih tersebut. Suhu pelarutan yang tidak
konstan atau melebihi titik didih akan menguapkan pelarut sehingga jumlah unsur
yang larut akan lebih sedikit karena akan semakin sedikit unsur yang berikatan
dengan pelarut (Nuri et al., 2002). Teori termodinamika mengatakan, kecepatan
42
reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi terutama reaksi endotermis karena reaksi
tersebut membutuhkan energi atau panas untuk mencapai kondisi reaksinya.
Waktu pelarutan adalah faktor selanjutnya yang berkaitan dengan jumlah
unsur yang terlarut. Waktu pelarutan memberikan kesempatan unsur-unsur untuk
dapat terlarut optimal di dalam filtrat pelarutan. Hal lainnya adalah waktu pelarutan
juga memberikan kesempatan pelarut untuk menguap lebih banyak dan bisa jadi
waktu yang digunakan melebihi titik kesetimbangan proses tersebut (Nuri et al.
2002). Percobaan ini menggunakan waktu selama 2 jam, sesuai percobaan Sumarni
et al., (2004) waktu tersebut adalah waktu optimal untuk pelarutan dengan HCl.
Faktor pendukung dari faktor-faktor utama adalah pengadukan, yang dapat
memengaruhi proses penguapan. Pengadukan berkorelasi dengan suhu dan waktu
pelarutan. Semakin cepat pengadukan maka proses penguapan akan semakin cepat.
Hal-hal seperti ini akan merugikan proses pelarutan apabila tidak diperhatikan satu
dan lainnya, karena semua faktor berkorelasi selama proses pelarutan. Kerugian
tersebut dapat dilihat dari sedikitnya nilai recovery di dalam filtrat pelarutan total
(Nuri et al., 2002).
Percobaan ini menggunakan konsentrasi HCl pekat 37% atau sebanding
dengan 12 N, diharapkan dapat melarutkan banyak unsur di dalam residu
dekomposisi karena konsentrasi salah satu yang dapat memengaruhi hasil
pelarutan. Konsentrasi berkaitan dengan reaktivitas reaksi, semakin tinggi
konsentasi pelarut semakin tinggi reaktivitasnya sehingga hasil pelarutannya
semakin optimal (Nuri et al., 2002).
Pelarutan hidroksida logam dengan HCl pada suhu 80 oC dapat berjalan
sempurna apabila kondisi dekomposisi sudah terpenuhi dengan baik di antaranya:
43
ukuran monasit -325 mesh, suhu 140 oC dan konsentrasi larutan NaOH 50%.
Uranium, torium dan LTJ larut dalam HCl 37% dengan perbandingan 1,5:1 antara
HCl dan umpan residu pada suhu 80 oC (Sumarni et al., 2004). Penelitian Berry et
al., (2017) menyatakan pengaruh kondisi dekomposisi terhadap kelarutan uranium
dan torium dalam asam. Kelarutan uranium dan torium optimal saat kondisi
dekomposisi selama 4 jam, suhu 210 oC dan perbandingan NaOH dengan monasit
adalah 3:1. Kondisi tersebut menghasilkan kelarutan uranium 39 mg/L dan torium
188,8 mg/L.
Kelarutan unsur di dalam asam klorida seperti torium, menandakan bahwa
pH pelarutan total yang mencapai nol koma merupakan pH yang cocok untuk
melarutkannya. Torium dapat terlarut atau berada dalam bentuk ionnya pada pH <
2, sedangkan dalam bentuk hidroksidanya pada pH > 2. Torium banyak terlarut
pada pH yang sangat asam (Kumari et al., 2015). Logam tanah jarang kecuali
torium, berada dalam bentuk ionnya pada pH <6,5 (Subagja, 2014). Uranium dan
pengotor lain dapat terlarut pada pH < 3,5 (Nuri et al., 2004).
4.3 Pengendapan bertingkat
Pengendapan merupakan salah satu cara untuk memisahkan suatu cuplikan
menjadi dua fasa yaitu fasa padat (berupa endapan) dan fasa cair (masih dalam
bentuk larutan). Pengendapan ini terjadi karena zat tersebut berada dalam bentuk
persenyawaan yaitu hasil kali konsentrasi ion-ionnya melebihi harga Ksp senyawa
tersebut. Ksp atau hasil kali kelarutan adalah hasil kali konsentrasi ion-ion dalam
larutan jenuh pada suhu tertentu, setelah masing-masing konsentrasi dipangkatkan
dengan koefisiennya menurut persamaan ionisasinya (Keenan, 1992).
44
Pengendapan bertingkat dilakukan secara bertahap dengan mengatur pH
sesuai yang diinginkan dengan umpan yang sama. Reagen yang digunakan untuk
mengendapkan unsur U, Th dan LTJ adalah NH4OH sebagai senyawa hidroksida
yang akan mengikat unsur klorida yang terbentuk di dalam filtrat pelarutan sebagai
umpan proses ini dan membentuk NH4Cl, seperti Persamaan reaksi (7), (8) dan (9)
yang telah dituliskan sebelumnya pada halaman 19.
Penelitian ini menggunakan pengendapan bertingkat dengan variasi pH
dimulai dari 0,5 sampai 10 dengan rentang antar pH adalah 0,5. Dihasilkan endapan
pada pH 3;6; 6,5 dan 7, selain keempat pH tersebut endapan tidak terbentuk pada
pH yang lainnya.
Unsur yang terkandung di dalam monasit selain unsur utamanya yaitu U, Th
dan LTJ terdapat unsur-unsur lain yang sering disebut dengan unsur pengotor.
Unsur pengotor di sini dimaksudkan sebagai unsur yang tidak diharapkan ada dalam
setiap pemisahan unsur-unsur utama dalam monasit. Unsur tersebut sedikit banyak
berpengaruh dalam proses pemisahan unsur utama monasit. Penelitian Manurung
(2013) memisahkan logam tanah jarang pada monasit bangka, melaporkan adanya
unsur pengotor seperti Fe, Al, Ti, Si dan Ca pada setiap endapan LTJ yang
dihasilkan.
Variasi pH yang dilakukan menghasilkan empat endapan seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2. di bawah ini beserta jumlah NH4OH yang digunakan. Endapan
paling akhir terbentuk pada pH 7 dan pada pH selanjutnya sampai pH 10 yaitu
variasi pH paling terakhir pada proses ini, sudah tidak terbentuk endapan lagi.
45
Tabel 2. Berat endapan dan jumlah NH4OH yang digunakan
pH Berat endapan (g) Jumlah NH4OH (mL)
pH 3 25,574 53
pH 6 26,27 90,2
pH 6,5 24,92 98,4
pH 7 12,43 112,9
Berat endapan yang dihasilkan berbeda-beda begitu juga konsumsi NH4OH
seperti yang terlihat pada Tabel 2. Umpan yang digunakan sebanyak 300 mL.
Endapan yang paling banyak yaitu endapan pada pH 6 dengan konsumsi NH4OH
sebanyak 90,24 mL. Hal ini ini menandakan banyaknya unsur yang dapat
mengendap pada pH tersebut. Endapan pH 3 hanya butuh 53 mL NH4OH untuk
menghasilkan berat endapan sedikit lebih kecil dari endapan pH 6. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya jumlah unsur-unsur yang memang dapat mengendap
pada pH 3, sehingga dengan konsumsi NH4OH sedikit sudah dapat berinteraksi
membentuk endapan.
Konsumsi NH4OH paling banyak pada endapan pH 6,5 dan berat endapan
yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan endapan pH 3 dan pH 6. Masih
terbentuknya endapan pada pH 6,5 dan pH 7 karena waktu pengendapan yang relatif
sebentar sehingga di dalam umpan masih ada unsur-unsur yang belum terendapkan
dan dapat mengendap di pH berikutnya (Trinopiawan dan Sumiarti, 2012). Berat
endapan semakin sedikit seiring dengan bertambahnya pH, hal ini dikarenakan
unsur-unsur tersebut sudah banyak mengendap di pH sebelumnya.
Endapan mulai terbentuk pada pH 3, karena pada pH tersebut mulai terjadi
interaksi antara unsur-unsur di dalam umpan dengan pereaksi. Hasil reaksi antara
unsur dengan NH4OH akan menghasilkan garam amonium klorida, selain unsur itu
46
sendiri dalam bentuk hidroksidanya (Torowati, 2010). Torium berada dalam bentuk
hidroksidanya pada pH > 2 dan logam tanah jarang pada pH > 6,5 (Subagja, 2004).
Gambar 9. Grafik recovery unsur di dalam residu pengendapan bertingkat
Endapan pertama terbentuk pada pH 3 dengan recovery uranium 72,31%,
disusul oleh torium 46,33% dan logam tanah jarang paling kecil yaitu 4,62%.
Penelitian yang telah dilakukan oleh PTBGN BATAN didapatkan kondisi optimal
untuk pengendapan U dan Th melalui proses pengolahan basa adalah pada pH 6,3
(Prassanti, 2012). Kondisi optimal tersebut menunjukkan unsur uranium dan torium
banyak mengendap pada pH 6,3, namun tidak menutup kemungkinan pada pH yang
lebih rendah dari itu uranium dan torium sudah dapat terendapkan. Torowati (2010)
menyatakan pengendapan uranium dengan pereaksi NH4OH dapat terjadi pada pH
yang lebih rendah dari pH optimalnya karena terbentuknya garam amonium klorida
yang dapat memperkecil nilai pH pengendapan. Nilai Ksp uranium dalam bentuk
hidroksidanya yaitu UO2(OH)2 sebesar 1,1×10-22. (Syarip dan Widodo, 2019).
Torium mulai mengendap pada pH 2,3 berdasarkan perhitungan teori
menggunakan nilai Ksp Th(OH)4 sebesar 10-55,7 (Syarip dan Widodo, 2019), namun
72,31
21,08
2,13 1,06
46,33
25,821,3
3,284,62
31,75
41,87
14,6
0
10
20
30
40
50
60
70
80
pH 3 pH 6 pH 6,5 pH 7
% R
eco
ver
y
Endapan
Uranium
Thorium
LTJ
47
pada penelitian ini torium mulai mengendap pada pH 3. Nilai Ksp (hasil kali
kelarutan) uranium dan torium jika direaksikan dengan reagen basa adalah rendah.
Semakin rendah nilai Ksp maka unsur tersebut lebih mudah mengendap (Anggraini
et al., 2015).
Endapan pada pH 6 memiliki nilai recovery uranium sebesar 21,08%, torium
25,8% dan logam tanah jarang 31,75%. Nilai recovery uranium dan torium lebih
kecil dibandingkan endapan pada pH 3 karena unsur tersebut sudah banyak
mengendap pada pH 3, namun masih dapat mengendap di pH yang lebih tinggi dari
3. Uranium dan torium optimal mengendap pada pH 6,3 (Prassanti, 2012).
Endapan pada pH 6,5 nilai recovery uraniumnya sudah sedikit yaitu 2,13%
sedangkan toriumnya masih sebesar 21,3% tidak jauh dari endapan pada pH 6.
Masih adanya torium pada pH 6,5 berkaitan dengan pH optimum pengendapan
torium itu sendiri. Nilai recovery logam tanah jarang pada pH 6,5 adalah yang
paling banyak dibandingkan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan sifat logam
tanah jarang itu sendiri yang mulai mengendap pada pH > 6,5 (Subagja, 2014).
Endapan pada pH 7 memiliki nilai recovery uranium dan torium paling kecil
dibandingkan endapan lainnya, namun untuk logam tanah jarang masih cukup
banyak dibandingkan pada pH 3. Kandungan uranium dan torium lebih sedikit
karena kedua unsur itu telah banyak mengendap di pH sebelumnya dan memang
kedua unsur itu mulai mengendap pada pH yang lebih rendah. Logam tanah jarang
sendiri memiliki nilai sebesar 14,6% karena masih dapat mengendap pada pH
tinggi.
Nilai Ksp logam tanah jarang yang dapat dilihat pada Lampiran 4,
menunjukkan semua logam tanah jarang mengendap pada pH tinggi. Nilai pKsp
48
semakin kecil atau semakin besar harga Ksp, konsentrasi OH- semakin besar dan
nilai pOH semakin kecil sehingga nilai pH untuk mengendapkan LTJ semakin besar
(Suyanti et al., 2008).
Semua unsur logam tanah jarang dihasilkan pada pengendapan bertingkat
namun hanya delapan unsur yang banyak mengendap pada residu dan jenis tersebut
dapat dilihat pada Gambar 10. Logam tanah jarang memiliki sifat kimia dan fisika
yang hampir mirip antara satu dengan lainnya, mulai dari valensi, jari-jari, nilai Ksp
bahkan warnanya. Sifat-sifat logam tanah jarang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 10. Grafik jenis logam tanah jarang dalam residu pengendapan
bertingkat
Monasit memiliki logam tanah jarang dominan seperti La, Ce, Nd dan Pr yang
terkandung sebanyak kira-kira 90% di dalam mineral dengan sedikit Y dan unsur-
unsur yang lebih berat sisanya (Gupta dan Krishnamurthy, 2005). Mineral yang
mengandung lantanida dalam tingkat oksidasi +3 biasanya miskin Eu yang
disebabkan oleh kecenderungannya yang menghasilkan keadaan +2 (Cotton dan
Wilkinson, 2007).
20,2
1,6
5,57,2
2,41,5
0,2
14,39,3
16,5
24,5
23,5 18,6
15,7
13,8
29,2
16,5
24,5
30,6
26,5
28 30,5
24,5
14,1
10,4 16,4
21,4
24,6
19,3
14,6
11,5
0
5
10
15
20
25
30
35
Ce Dy Gd La Nd Pr Sm Y
Ko
nse
ntr
asi
(p
pm
)
Logam tanah jarang
Endapan pH 3
Endapan pH 6
Endapan pH 6,5
Endapan pH 7
49
Logam Nd dan La mendominasi komposisi logam tanah jarang di setiap
endapan yang dihasilkan, kecuali pada endapan pH 6,5, La digantikan oleh Sm.
Logam yang paling sedikit pada setiap endapan adalah Y dan Dy. Logam Y dan Dy
mulai mengendap pada pH 8,14 dan 8,18. Rata-rata pH untuk mengendapkan logam
tanah jarang adalah pH 8, namun ada juga pada pH 7 (Cotton dan Wilkinson, 2007).
Logam tanah jarang mulai mengendap pada pH 3 dengan kadar yang paling
sedikit dibandingkam dengan U dan Th. Penelitian Suyanti dan Puwarni (2011)
menghasilkan logam La, Ce dan Nd sebagai LTJ yang paling banyak pada proses
pengendapan bertingkat residu digesti monasit. Ketiga logam tersebut mulai
mengendap pada pH 0,45. Variasi pH yang dilakukan mulai dari 0,45 sampai 0,9
dengan selisih 0,05 antar setiap pH.
Penelitian Kumari et al., (2018) melakukan pengendapan logam tanah jarang
dari filtrat pelarutan monasit dengan asam menggunakan dinatrium oksalat.
Menghasilkan logam tanah jarang Sm, Pr, Nd, Ce dan La mulai mengendap pada
pH < 1, pH yang paling rendah menghasilkan presentase yang rendah namun
mengalami kenaikan seiring bertambahnya pH. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan yaitu logam tanah jarang dapat mengendap pada pH rendah namun
dalam presentase perolehan yang sedikit. Kenaikan pH mengakibatkan kenaikan
jumlah logam tanah jarang yang terendapkan.
50
Gambar 11. Konsentrasi unsur pengotor dalam residu pengendapan
bertingkat
Penelitian ini menghasilkan beberapa unsur pengotor yang dominan, baik
yang ada di dalam endapan atau filtrat pengendapan bertingkat. Berdasarkan hasil
pengukuran dengan ICP-OES unsur pengotor dominan adalah Aluminium (Al),
besi (Fe), bismuth (Bi), galium (Ga) dan talium (Tl) dengan konsentrasinya yang
dapat dilihat pada Gambar 11.
Unsur pengotor mengendap pada pH yang berbeda antara satu dengan
lainnya. Unsur Al, Ga dan Tl banyak mengendap pada pH 6,5 dengan
konsentrasinya berturut-turut sebesar 755,25; 1745; dan 202,475 ppm. Unsur Bi
dan Fe banyak mengendap pada pH 3 dengan konsentrasinya berturut-turut sebesar
3672,5 dan 949,5 ppm.
Unsur pengotor mengendap pada pHnya masing-masing didasarkan nilai Ksp
dan pKspnya. Proses pengendapan adalah proses terjadinya padatan karena
melewati nilai Ksp, yang harganya tertentu dan dalam keadaan jenuh. Jika harga
Ksp kecil atau pKsp besar, unsur atau senyawa mudah mengendap, sedangkan jika
22,7
37,9
0
100,9
4,49,8
0,23
34,5
04,5
30,2
17,4
69,8 68,4
89,7
0
34,3
0 2,5
0
20
40
60
80
100
120
A l F e G a B i T l
Ko
nse
ntr
asi
(p
pm
)
Unsur
Endapan pH 3
Endapan pH 6
Endapan pH 6,5
Endapan pH 7
51
harga Ksp besar atau pKsp kecil, unsur atau senyawa sulit mengendap. Nilai pKsp
dapat memperkirakan pH terjadinya endapan (Suyanti et al., 2008).
Nilai Ksp unsur Al dalam bentuk hidroksidanya setelah bereaksi dengan
NH4OH seperti reaksi di bawah ini, adalah 1,8 × 10-33 (Chang, Raymond. 2006).
Al(OH)3 (s) + 3HCl (aq) AlCl3 (aq) + 3H2O (aq).............................(15)
AlCl3 (aq) + 3NH4OH (aq) Al(OH)3 (s) + 3NH4Cl (aq).......................(16)
Nilai Ksp Al cukup kecil artinya pKspnya besar dan berdasarkan perhitungan teori
pH untuk mengendapkan Al(OH)3 adalah 3. Nilai pH tersebut menunjukkan unsur
Al dalam larutan HCl yang berinteraksi dengan NH4OH dapat mengendap pada pH
tersebut membentuk endapan Al(OH)3. Unsur Al berdasarkan percobaan mulai
mengendap pada pH 3 sesuai dengan perhitungan yang telah dibuat. Unsur ini juga
terbentuk pada pH lainnya dan paling banyak pada endapan pH 6,5.
Nilai Ksp unsur Fe untuk membentuk endapan Fe(OH)3 adalah 1,1 × 10-36.
Reaksi antara Fe yang telah larut dalam HCl bereaksi dengan NH4OH adalah seperti
berikut (Chang, Raymond. 2006).
Fe(OH)3 (s) + HCl (aq) FeCl3 + 3H2O (aq)....................................(17)
FeCl3 (aq) + 3NH4OH (aq) Fe(OH)3 (s) + 3NH4Cl (aq)......................(18)
Nilai pH Fe(OH)3 berdasarkan perhitungan teori untuk dapat mengendap adalah
3,2. Percobaan ini menghasilkan unsur Fe pada endapan pH 3 dan 6,5. Hal ini
menunjukkan Fe mulai terbentuk pada pH 3 sesuai dengan perhitungan teorinya. Fe
juga mengendap pada pH yang lebih tinggi yaitu 6,5 namun tidak ada pada pH 6
dan 7. Unsur Fe telah habis mengendap pada endapan pH 6,5 sehingga pada pH
yang lebih tinggi tidak terbentuk lagi. Unsur Fe paling banyak ada pada endapan
pH 3.
52
Adanya unsur pengotor dapat mengakibatkan endapan yang dihasilkan pada
pemisahan unsur-unsur dalam monasit menjadi tidak murni karna unsur pengotor
ini ikut mengendap. Penelitian Manurung (2013) berupaya menghasilkan endapan
LTJ dari umpan monasit yang telah didekstruksi, namun dalam percobaannya
menghasilkan unsur-unsur non-LTJ seperti Al, Fe, Ti dan Zr. Unsur pengotor
tersebut menurutnya dapat mempengaruhi kemurnian LTJ karena ikut mengendap.
Semakin banyak pengotor yang mengendap maka semakin sedikit endapan logam
tanah jarang yang dihasilkan.
Penelitian Kumari et al., (2018) melakukan pengendapan unsur pengotor dari
filtrat pelarutan monasit dengan asam menggunakan dinatrium oksalat.
Pengendapan dimulai dari pH 0 sampai pH 5 dengan selisih antar pH nol koma
lima. Menghasilkan unsur pengotor berupa Al, Fe, Pb, Ca dan Cu, dengan Al paling
besar kadarnya dan paling banyak mengendap pada pH 3. Unsur Fe paling banyak
mengendap pada pH 5. Berbeda dengan penelitian ini unsur Al paling banyak
mengendap pada pH 6,5 dan Fe paling banyak mengendap pada pH 3.
Faktor yang dapat mempengaruhi proses pengendapan adalah waktu,
konsumsi reagen dan suhu. Penelitian ini menggunakan suhu ruang, variasi waktu
yang sama pada setiap prosesnya yaitu 1 jam dan konsumsi NH4OH yang
ditambahkan sesuai dengan tercapainya pH. Jumlah NH4OH yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Waktu pengendapan yang digunakan adalah 1 jam, dalam kurun waktu
tersebut diharapkan interaksi antara unsur-unsur di dalam umpan dengan pereaksi
cukup untuk membentuk endapan. Semakin lama waktu kontak akan semakin
banyak unsur-unsur yang berikatan dengan pereaksi sehingga endapan yang
53
terbentuk semakin banyak (Trinopiawan dan Sumiarti 2012). Waktu pengendapan
sendiri dipengaruhi oleh kecepatan reaksi pengendapan. Semakin besar kecepatan
reaksi maka waktu yang dibutuhkan untuk mengendapkan umpan semakin cepat
(Anggraini et al., 2015).
54
54
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Variasi pH pada pengolahan monasit menghasilkan endapan pada pH 3,
selanjutnya pada pH 6, pH 6,5 dan pH 7.
2. Unsur uranium dan torium paling banyak mengendap pada pH 3 dengan
recovery U 72,3% dan Th 46,33% serta LTJ pada pH 6,5 dengan recovery
41,87%. Unsur Fe dan Bi paling banyak mengendap pada pH 3 dengan kadar
37,9 ppm dan 100,9 ppm. Unsur Al, Ga dan Tl paling banyak mengendap pada
pH 6,5 dengan kadar 30,2 ppm, 69,8 ppm dan 8 ppm.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengendapan selektif
untuk pengotor yaitu, pengendapan yang dilakukan berdasarkan pH optimal
pengotor untuk mengendap, sehingga jumlahnya dapat dikurangi atau dihilangkan
agar endapan LTJ, U dan Th lebih murni.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdel, Rehim dan Aly M. 2002. An Innovative Method for Processing Egyptian
Monazite. Journal of Hydrometallurgy 67(1–3): 9–17.
Adventini, Natalia, Dwiana Diah, Muhayatun, dan Damastuti Endah. 2009.
Penentuan Kadar Uranium pada Serbuk UO2 dan U3O8 Menggunakan
Spektrofometri UV-Vis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi
Nuklir PTBNR-BATAN: 163–69.
Anggraini, Mutia, Sumarni, Sumiarti, Rusydi S, dan Sugeng Waluyo. 2012.
Pengendapan Unsur Tanah Jarang Hasil Digesti Monasit Bangka
Menggunakan Asam Sulfat. Jurnal Eksplorium 33(2): 121–28.
Anggraini, Mutia, Budi Sarono, dan Sugeng Waluyo. 2015. Pengendapan Uranium
dan Torium Hasil Pelarutan Slag II. Jurnal Eksplorium 36(2): 125–32.
Arief, Erni Rifandiyah, Susilaningtyas, Widowati, Tulardi dan Rusydi. 2002.
“Pelarutan RE Hidroksida Hasil Dekomposisi Monasit Hasil Samping
Penambahan Timah Bangka Dengan HCl Secara Bertingkat.” Seminar IPTEK
Nuklir dan Pengenlolaan Sumber Daya Tambang.
Bastori, Imam, dan Moch Djoko Birmano. 2017. Analisis Ketersediaan Uranium di
Indonesia untuk Kebutuhan PLTN Tipe PWR 1000 MWe. Jurnal
Pengembangan Energi Nuklir 19(2): 95–102.
Berry, L., J. Galvin, V. Agarwal, dan M. S. Safarzadeh. 2017. Alkali Pug Bake
Process for the Decomposition of Monazite Concentrates. Journal of Minerals
Engineering 109: 32–41.
Boss, Charles B, dan Kenneth J Fredeen. 2004. Concepts, Instrumentation, and
Techniques Ind Inductively Cuopled Plasma Optical Emission Spectrometry.
Kedua. U.S.A: The Perkin-Elmer Corporation.
Callow, R. J. 1967. The Industrial Chemistry of the Lanthanous, Yttrium, Thorium
and Uranium. London: Pergamon Press.
Chang, Raymond. 2006. Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Cotton dan Wilkinson. 2007. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).
56
Cuthbert, F.L. 1958. Thorium Production Technology. Massachusetts: Wisley
Publishing Company.
Dachriyanus. 2004. Ananilisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.
Padang: Lembaga Pengembangan Teknologi Infromasii dan Komunikasi
(LPTIK) Universitas Andalas.
Day, R A, dan A L. Underwood. 2002. Analsis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Dewita, Erlan. 2012. Analisis Potensi Torium Sebagai Bahan Bakar Nuklir
Alternatif PLTN. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir 14(1): 45–56.
Galvin, J., dan M. S. Safarzadeh. 2018. Decomposition of Monazite Concentrate in
Potassium Hydroxide Solution. Journal of Environmental Chemical
Engineering 6(1): 1353–63.
Gupta, G. K., dan N. Krishnamurthy. 2005. Extractive Metallurgy of Rare Earths.
U.S.A: CRC Press LLC.
Hore, Lacy Ian. 2001. Nuclear Energy in the 21st Century. London: World Nuclear
Association.
Huheey, J. E. 1993. Inorganic Chemistry. 4th ed. New York: Harper International.
International Atomic Energy Agency (IAEA). 2008. Vienna, Austria: IAEA.
Isyuniarto, AW Muhadi, and Handini Tri. 1999. “Pelindian Pasir Monasit Dengan
Metode Basa.” Prosiding Perlemuan dan Presentasi Ilmiah 132(132–136).
Keenan, Charles W. 1992. Kimia untuk Universitas Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Kumari, Archana, Rekha Panda, Manis Kumar Jha, J. Jasesh Kumar, Jin Yong Li.
2015. Process Development to Recover Rare Earth Metals from Monazite
Mineral: A Review. Journal of Minerals Engineering 79: 102–15.
Kumari, Archana, Sony Jha, Jay Narayan Patel, Sanchita Chakravarty dan Manis
Kumar Jha. 2018. Processing of Monazite Leach Liquor for the Recovery of
Light Rare Earth Metals (LREMs). Journal of Minerals Engineering 129(9):
9–14.
57
Manurung, Anna Rohani Roida. 2013. Pengayaan Unsur Tanah Jarang Secara
Destruksi dan Pengendapan dari Pasir Monasit Bangka. Repository Institut
Pertanian Bogor: 4–49.
Mudzakir, Ahmad. 2008. Kimia Anorganik 2. Pertama. Tangerang: Penerbit
Universitas Terbuka.
NEA, dan IAEA. 2016. Uranium 2016 : Resources, Production and Demand.
United States: Nuclear Energy Agency and International Atomic Energy
Agency.
Ngatijo, Pranjono, Torowati, dan Waringin Margi Yusmawan. 2017. Analisis
Kadar Uranium dan Keasaman untuk Menentukan Kebutuhan Sodium
Hidroksida pada Penetralan Limbah Uranium Cair di Laboratorium Kimia
Instalasi Elemen Bakar Eksperimental. Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar
Nuklir (19): 27–36.
Noviansyah, Denny. 2018. Logam Tanah Jarang (Rare Earths Element). Bandung:
PT Dunia Pustaka Jaya.
Nuri, Hafni Lisa, Faizal R, Sugeng Waluyo, Budi S, Arif S dan Susilaningtyas.
2002. Pelarutan (U, Th, RE) Hidroksida Hasil Dekomposisi Basa Monasit
Bangka dengan Menggunakan Asam Nitrat. Seminar IPTEK Nuklir dan
Pengelolaan Sumber Daya Tambang: 143.
Nuri, Hafni Lisa, Faizal R, Sugeng Waluyo, Susilaningtyas dan Rifandriyah. 2004.
Aplikasi Perlatan Proses Monasit Skala Laboratorium untuk Pengolahan
Monasit Bangka Menjadi Rare Earth Oksida dengan Kapasitas 1 Kg/Hari.
Prosiding Seminar Geologi Nuklir dan Sumberdaya Tambang: 114–24.
Panda, Rekha, Archana Kumari, Manis Kumar Jha, Jhumki Hait, Vinaty Kumar, J.
Rajesh Kumar dan Jin Young Lee. 2014. Leaching of Rare Earth Metals
(REMs) from Korean Monazite Concentrate. Journal of Industrial and
Engineering Chemistry 20(4): 2035–42.
Prassanti, Riesna. 2013. Digesti Monasit Bangka dengan Asam Sulfat. Jurnal
Eksplorium Buletin Pusat Pengembangan Geologi Nuklir 33(1): 41–54.
Puwarni, MV, Suyanti, dan Deddy Hasnurrofiq. 2015. Optimasi dan Kinetika
Dekomposisi Memakai NaOH. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah-
Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir.
Ralph H. Petrucci. 1985. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta:
58
Erlangga.
Sagala, F.P., Adiwardoyo, dan Eko Madi Parmanto. 2003. Model Atom, Uranium
Dan Prospeknya Sebagai Energi Masa Depan. Jakarta: Badan Tenaga Nuklir
Nasional, Pusat Diseminasi Iptek Nuklir.
Sahputra, Rachmat. 2015. Efisiensi Pemilihan Kandungan Uranium Tinggi dan
Sulfur Rendah Melalui Analisis Radiometri pada Bijih Uranium BM-179
Kalan-Kalbar. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah.
Saito, Taro. 2004. Kimia Anorganik. Tokyo: Iwanami Shoten.
Subagja, Rudi. 2014. Monasit Bangka dan Alternatif Proses Pengolahannya. Jurnal
Metalurgi 29(1): 79–90.
Sugiyanto, H. Kristian, dan D. Suyanti Retno. 2010. Kimia Anorganik Logam.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suhartati, Tati. 2017. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrofotmetri
Massa untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Lampung: Aura.
Sumarni, Erni R dan Faizal R. 2004. Pelarutan Residu Hasil Dekomposisi Bijih
Uranium Rirang. Prosiding Seminar Geologi Nuklir dan Sumber Daya
Tambang Tahun 2004 Pusat Pengembangan Bahan Galian dan Geologi
Nuklir BATAN.
Sumarni, Erni Ra, Faizal R, Tukardi, Tajarudin dan Rusydi. 2004. Pelarutan Residu
Hasil Dekomposisi Bijih Uranium Rirang. Prosiding Seminar Geologi Nuklir
dan Sumberdaya Tambang.
Sumarni, Riesna Prassanti, Kurnia Trinopiawan, Sumiarti dan Lisa Hafni Nuri.
2011. Penentuan Kondisi Pelarutan Residu dari Hasil Pelarutan Parsial
Monasit Bangka. Jurnal Eksplorium 32(2): 115–24.
Sumiarti, and Alwi Guswita. 2018a. Standar Operasional Prosedur Penetapan
Thorium Dengan Metode Spektrofotometri.
———. 2018b. Standar Operasional Prosedur Penetapan Unsur LTJ Dengan
Metode ICP-OES.
———. 2018c. Standar Operasional Prosedur Penetapan Uranium Dengan
Metode Spektrofotometri.
59
Suyanti, MV Purwani, dan Aw Muhadi. 2008. Peningkatan Kadar Neodimium
Secara Proses Pengendapan Bertingkat Memakai Amonia. Jurnal Pusat
Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN: 429-38.
Suyanti dan MV Puwarni. 2011. Pengendapan Torium dari Hasil Olah Pasir
Monasit. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Nuklir.
Suyanti, Suyanti, dan MV Purwani. 2011. Pengendapan Torium dari Hasil Olah
Pasir Monasit. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir.
Suyono, Agus Supriyadi, Agung Wahyu Kencono, dan Bambang Edi Prasetyo.
2017. Kajian Potensi Mineral Ikutan Pada Pertambangan Timah. Jakarta:
Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral.
Syarip, Syarip, dan Susilo Widodo. 2019. Dari Pasir Monasit Ke Torium : Bahan
Baku Bahan Bakar Nuklir dan Radioisotop Medik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tjokroardono, Soeprapto, Bambang Soetopo, dan Ngadenin. 2002. Tinjauan
Sumberdaya Monasit di Indonesia Sebagai Pendukung LITBANG/Industri
Superkonduktor. Seminar IPTEK Nuklir dan Pengelolaan Sumber Daya
Tambang.
Torowati. 2010. Pengaruh Kandungan Uranium dalam Umpan Terhadap Efisiensi
Pengendapan Uranium. Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir: 9–15.
Trinopiawan, Kurnia, Prassanti Riesna, Sumarni, dan Pudjianto Rudi. 2011.
Pemisahan Uranium dari Thorium pada Monasit dengan Metode Ekstraksi
Pelarut Alamine. Jurnal Eksplorium 32(155): 47–52.
Trinopiawan, Kurnia, dan Sumiarti. 2012. Pemisahan Thorium dari Uranium pada
Monasit dengan Metode Pengendapan. Jurnal Eksplorium 33(1): 55–62.
Triyati, Etty. 1995. Spektrofotometer Ultra-Violet dan Sinar Tampak Serta
Aplikasinya dalam Oseanologi. Jurnal Oseana X(1): 39–47.
Walujo, Sugeng, Lisa Hafni Nuri Susilaningtyas, Mukhlis Sarono Budi dan
Widowati. 2004. Pemurnian Natrium Fosfat Hasil Samping Proses
Dekomposisi Bijih Rirang. Prosiding Seminar Geologi Nuklir dan Sumber
Daya Tambang Tahun 2004 Pusat Pengembangan Bahan Galian dan Geologi
Nuklir BATAN.
60
Wolf, Stephen Frederic. 2006. The Chemistry of the Actinide and Transactinide
Elements. United States: Springer Science.
Xu, Yanhui, Liu Haijiao, Meng Zhijun, Cui Jianguo, Zhao Wenyi dan Li Liangcai.
2012. Decomposition of Bastnasite and Monazite Mixed Rare Earth Minerals
Calcined by Alkali Liquid.” Journal of Rare Earths 2(30):155-158.
61
LAMPIRAN
61
Lampiran 1. Pembuatan pereaksi penetapan uranium
1. TOPO 0,05 M
Ditimbang 19,2 gram TOPO, dilarutkan dengan sikloheksana, volume larutan
ditepatkan sampai 1 liter dengan sikloheksana.
2. Asam askorbat 5%
Ditimbang 5 gram asam askorbat, dilarutkan dengan 100 mL aquades.
3. Larutan komplek I
Ditimbang 25 gram triplex IV, 5 gram NaF dan 65 gram asam sulfosalisilat,
dilarutkan dengan 800 mL aquades, kemudian ditambahkan larutan NaOH
sedikit demi sedikit sampai pH larutan menjadi 8,35 lalu diencerkan sampai
1000 mL dengan aqudes.
4. Larutan komplek II
Diencerkan satu volume larutan komplek I dengan satu volume aquades, lalu
pH larutan diatur sampai pH 8,35 dengan larutan NaOH.
5. Buffer pH 8,35
Dilarutkan 134 mL trietanoalamin ke dalam 800 mL aquades lalu pH larutan
diatur sampai 8,35 dengan HClO4, larutan disimpan semalam. Keesokan
harinya pH larutan diatur kembali menjadi 8,35 dengan HClO4, larutan
diencerkan menjadi 1 liter dengan aquades.
6. Bromo PADAP 0,05%
Ditimbang 0,05 gram Bromo-PADAP, dilarutkan dengan 1 liter alkohol.
7. HNO3 2,5 N
Diencerkan 390 mL HNO3 pekat dengan aquades sampai volume menjadi 2500
mL.
62
Lampiran 2. Pembuatan pereaksi penetapan fosfat
1. Ammonium heptamolibdat 3%
Ditimbang 15 gram ammonium heptamolibdat dilarutkan dengan 500 mL
aquades.
2. Asam askorbat 5%
Ditimbang 5 gram asam askorbat kemudian dilarutkan dengan 100 mL
aquades.
3. Kalium antimonil tartrat 0,17%
Ditimbang 0,85 gram kalium antimonil tartrat dilarutkan dengan 500 mL
aquades.
4. Asam sulfat encer
Diencerkan 20 mL asam sulfat pekat ke dalam 180 mL aquades.
5. Pereaksi campuran
Pereaksi campur dibuat dengan mencampurkan 25 mL larutan ammonium
molibdat, 125 mL asam sulfat encer dan 25 mL larutan kalium antimonil tartrat
0,17%.
63
Lampiran 3. Pembuatan pereaksi penetapan torium
1. TTA 0,1 M
Ditimbang 2,22 gram TTA dilarutkan dalam 100 mL karbon tetrakloorida.
2. Torin 0,01%
Ditimbang 0,1 gram torin kemudian dilarutkan dalam 1000 mL aquades.
3. Askorbat 5%
Ditimbang 5 gram asam askorbat dalam 100 mL aquades.
4. HCl 3 M
Diencerkan 255 mL HCl dengan aquades menjadi 1000 mL.
5. HCl pH 0,8
Dibuat dengan menambahkan sejumlah volume HCl ke dalam aquades sampai
menunjukkan pH 0,8.
64
Lampiran 4. Sifat-sifat logam tanah jarang
Z Nama Lambang Konfigurasi
elektron Valensi
Jari-
jari
M3+
(Å)
Warna
M3+ pKSp pH
39 Itrium Y
[Kr]4d
1
5s
2
3 0.88 Tak
berwarna 22.00 8.14
57 Lantanum La [Xe]5d16s2 3 1.06 Tak
berwarna 22.30 8.07
58 Serium Ce [Xe]4f1 5d1
6s2 3,4 1.03
Tak
berwarna 19.82 8.69
59 Praseodimium Pr [Xe]4f3 6s2 3, 4 1.01 Hijau 23.45 7.78
60 Neodimium Nd [Xe]4f46s2
3 0.99 Ungu 21.49 8.27
61 Prometium Pm [Xe]4f5 6s2
3 0 0.98
Merah
jambu 21.00 8.39
62 Samarium Sm [Xe]4f6 6s2
2, 3 0.96 Kuning 22.08 8.12
63 Europium Eu [Xe]4f7 6s2 2, 3 0.95 Merah
jambu 23.03 7.89
64 Gadolinium Gd [Xe]4f7 5d 6s2 3 0.9 Tak
berwarna 22.74 7.96
65 Terbium Tb [Xe]4f9 6s2
3, 4 0.92
Merah
jambu 21.70 8.22
66 Disprosium Dy [Xe]4f10 6s2
3 0.91 Kuning 21.85 8.18
67 Holmium Ho [Xe]4f11 6s2 3 0.89 Kuning 22.30 8.09
68 Erbium Er [Xe]4f12 6s2
3 0.88 Lila 23.39 7.80
69 Tulium Tm [Xe]4f13 6s2
3 0.87 Hijau 23.48 7.78
70 Iterbium Yb [Xe]4f14 6s2
2, 3 0.86
Tak
berwarna 23.60 7.74
71 Lutetium Lu [Xe]4f14 5d
6s2 3 0.85
Tak
berwarna 23.72 7.71
Sumber: Cotton & Wilkinson (2007) dan Bjerrum et al., (1958).
65
Lampiran 5. Kandungan unsur dalam monasit bangka yang digunakan
Unsur Konsentrasi (ppm) Pengenceran Konsentrasi real
(ppm)
Uranium 21,402 200 4.280,4
Torium 81,578 1000 81.,28
Logam tanah jarang 32,986 12500 490.832,175
Pengotor 18,78 25 456,875
Lampiran 6. Contoh perhitungan berat unsur
1. Berat uranium dalam residu pelarutan total
a. Berat Residu pelarutan total = 0,733 kg
Pengenceran = 50 kali
Konsentrasi U = 16,431 ppm
Konsentrasi real U = 16,431 ppm×50
= 821,55 ppm
b. Berat Uranium
Berat U = 821,55
1.000.000× 0,733 kg
= 0,000602196 kg
2. Berat uranium dalam filtrat pelarutan total
a. Volume filtrat = 0,87 L
Pengenceran = 50 kali
Konsentrasi U = 50,054 ppm
Konsentrasi real U = 50,054 ppm×50
= 2.502,7 ppm atau 2.502,7 mg/L
66
b. Berat uranium
Berat U = 2.502,7 mg/L
1.000.000 × 0,87 L
= 0,002177349 kg
Lampiran 7. Contoh perhitungan nilai recovery
1. Nilai recovery uranium dalam residu pelarutan total
a. Berat U dalam residu dekomposisi = 0,002973 kg
Berat U dalam residu pelarutan total = 0,000602196 kg
b. Nilai recocery U
% Rec. = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑈 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑅𝑃𝑇
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑈 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑅𝐷 × 100%
= 0,000602196
0,002973 𝑘𝑔 × 100%
= 20,25%
2. Nilai recovery uranium dalam filtrat pelarutan total
a. Berat U dalam filtrat pelarutan total = 0,002973 kg
Berat U dalam residu dekomposisi = 0,002177349 kg
b. Nilai recovery U
% Rec. = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑈 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐹𝑃𝑇
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑈 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑅𝐷 × 100%
= 0,002177349 𝑘𝑔
0,002973 𝑘𝑔 × 100%
= 73,23%
67
Lampiran 8. Contoh perhitungan konsentrasi real logam tanah jarang
1. Konsentrasi real logam tanah jarang di dalam monasit
Logam Faktor
koreksi Pengenceran
Konsentrasi
(ppm)
Konsentrasi
real (ppm)
Ce 1,171 12500 14,58 213414,75
Dy 1,1477 12500 0,76 10903,15
Gd 1,72 12500 0,887 19070,5
La 1,173 12500 6,81 99851,625
Nd 1,166 12500 4,872 71009,4
Pr 1,17 12500 1,345 19670,625
Sm 1,16 12500 1,697 24606,5
Y 1,27 12500 2,035 32305,625
Jumlah 490832,175
2. Konsentrasi real logam tanah jarang di dalam residu dekomposisi
Logam Faktor
koreksi Pengenceran Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi
real (ppm)
Ce 1,171 500 445,1 260606,05
Dy 1,1477 500 19,23 11035,1355
Gd 1,72 500 21,54 18524,4
La 1,173 500 209,8 123047,7
Nd 1,166 500 145,6 84884,8
Pr 1,17 500 34,69 20293,65
Sm 1,16 500 43,86 25438,8
Y 1,27 500 45,79 29076,65
Jumlah 572907,1855
3. Konsentrasi real logam tanah jarang di dalam filtrat pelarutan total
Logam Faktor
koreksi Pengenceran
Konsentrasi
(ppm)
Konsentrasi
real (ppm)
Ce 1,171 2500 96,4 282211
Dy 1,1477 2500 4,444 12750,947
Gd 1,72 2500 6,153 26457,9
La 1,173 2500 79,93 234394,725
Nd 1,166 2500 4,872 14201,88
Pr 1,17 2500 1,345 3934,125
Sm 1,16 2500 1,697 4921,3
Y 1,27 2500 2,035 6461,125
Jumlah 585333,002
68
Lampiran 9. Contoh perhitungan berat unsur logam tanah jarang
1. Berat unsur logam tanah jarang dalam monasit
a. Berat monasit = 3 kg
Konsentrasi real LTJ = 490832,175 ppm
b. Berat logam tanah jarang
Berat LTJ = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝐿𝑇𝐽
1.000.000 × berat monasit
= 490832,175
1.000.000 × 3 kg
= 1,472496525 kg
2. Berat logam tanah jarang dalam residu dekomposisi
a. Berat residu dekomposisi = 2,493 kg
Konsentrasi real LTJ = 572907,1855 ppm
b. Berat logam tanah jarang
Berat LTJ = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝐿𝑇𝐽
1.000.000 × berat residu dekomposisi
= 572907,1885
1.000.000 × 0,87 L
= 1,428257613 kg
3. Berat logam tanah jarang dalam filtrat pelarutan total (umpan pengendapan)
a. Berat filtrat pelarutan total = 0,3 L
Konsentrasi real LTJ = 585333,002 ppm
b. Berat logam tanah jarang
Berat LTJ = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝐿𝑇𝐽
1.000.000 × berat filtrat pelarutan total
= 585333,002
1.000.000 × 0,3 L
= 0,175599901 kg
69
4. Berat logam tanah jarang dalam endapan pH 3
a. Berat residu dekomposisi = 0,025574 kg
Konsentrasi real LTJ = 317901,4438 ppm
b. Berat logam tanah jarang
Berat LTJ = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝐿𝑇𝐽
1.000.000 × endapan pH 3
= 317901,4438
1.000.000 × 0,025574 kg
= 0,008130012 kg
70
Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai recovery logam tanah jarang
1. Nilai recovery logam tanah jarang dalam residu dekomposisi
a. Berat LTJ dalam monasit = 1,472496525 kg
Berat LTJ dalam residu dekomposisi = 1,428257613 kg
b. Nilai recocery LTJ
% Rec. = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐿𝑇𝐽 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑅𝐷
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐿𝑇𝐽 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑀𝑜𝑛𝑎𝑠𝑖𝑡 × 100%
= 1,428257613
1,472496525 𝑘𝑔 × 100%
= 96,99 %
2. Nilai recovery logam tanah jarang dalam endapan pH 3
a. Berat LTJ dalam filtrat pelarutan total = 0,175599901 kg
Berat LTJ dalam endapan pH 3 = 0,008130012 kg
b. Nilai recocery LTJ
% Rec. = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐿𝑇𝐽 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑝𝐻 3
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐿𝑇𝐽 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 × 100%
= 0,008130012 kg
0,175599901 𝑘𝑔 × 100%
= 4,62 %
71
Lampiran 11. Dokumentasi penelitian
(a) Proses dekomposisi (b) Residu dekomposisi
(c) Filtrat dekomposisi (d) Proses pelarutan total
72
(e) Filtrat pelarutan total (f) Proses pengendapan
(g) Endapan pH 3