Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

40
 22 BAB II Peranan Elit Partai Dalam Proses Politik Penyusunan Daftar Calon Angg ota DPRD (Studi Penyu sun an Daftar Ca lon Tetap Angg ota DPRD di Provinsi Sumatera Utara) Oleh: Prayudi 1  I. Pendahuluan  A. Lat ar B elak ang Pertarungan memperebutkan kursi parlemen melalui Pemilu tidak semata berdimensi kemampuan individual calon dan peranan tokoh yang tampil di daerah pemilihan bersangkutan, tetapi juga berhadapan dengan peranan elit partai dalam menentukan figur-figur yang akan ditawarkan kepada pemilih. Dengan pola kepartaian yang diikat oleh ketentuan skala nasional secara rentang organisasi, maka peranan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dalam menjalin komunikasi menjadi menentukan terhadap daftar calon legislator (caleg) yang nantinya disusun dan diajukan ke KPU/KPUD. Penyampaian pengumuman partai kepada publik baik saat awal rekrutmen, seleksi, mulai masuk tahap Daftar Calon Sementara (DCS) hingga tahap penetapan Daftar Calon tetap (DCT), adalah tidak terlepas dari peranan elit di tingkat DPP dan DPD bersangkutan. Di beberapa partai, tentunya dapat ditemui mekanisme formal berdasarkan usulan pihak ranting dan cabang masing-masing, sebelum akhirnya ditetapkan oleh keputusan pengurus yang lebih hirakhis secara organisasi. Pola organisasi kepartaian yang sangat didorong ke arah nasional dibandingkan lokal dan sub-sub lokal secara otonom, berbanding terbalik dibandingkan arus tuntutan otonomi daerah yang disampaikan pada kurun waktu reformasi. Akibatnya, elit dapat melakukan campur tangan terhadap setiap keputusan yang diambil kalangan pengurus partainya di tingkat lokal. Karakteristik campur tangan tersebut biasanya dapat menjalin kerjasama dengan pengurus DPD atau DPW partai setempat terkait dengan keputusan-keputusan politik yang dianggapnya sebagai hal strategis. Salah satu bentuk keputusan semacam itu sebagaimana ditampilkan pada saat proses penyusunan daftar calon anggota DPRD. Campur tangan tidak jarang memancing konflik internal partai baik antar pengurus, pengurus dengan anggota, maupun di antara anggota partai itu sendiri beserta para pendukung masing-masing. Tingginya suhu politik yang semakin memanas pada saat proses penyusunan daftar calon bukan mustahil diwarnai aksi kekerasan atau bahkan penyegelan dan perusakan gedung atau tempat kantor pengurus partai. Fenomena politik yang sangat diwarnai oleh berbagai maneuver  untuk proses pengisian nama-nama calon biasanya mendorong proses politik yang berkembang pada tataran penyusunan 1  Penulis adalah Peneliti Peneliti Politik dan Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] 

Transcript of Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

Page 1: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 1/40

  22

BAB II

Peranan Elit Partai Dalam Proses Politik PenyusunanDaftar Calon Anggota DPRD

(Studi Penyusunan Daftar Calon Tetap Anggota DPRDdi Provinsi Sumatera Utara)

Oleh: Prayudi1 

I. Pendahuluan

 A. Latar Belakang

Pertarungan memperebutkan kursi parlemen melalui Pemilu tidak semataberdimensi kemampuan individual calon dan peranan tokoh yang tampil di

daerah pemilihan bersangkutan, tetapi juga berhadapan dengan peranan elitpartai dalam menentukan figur-figur yang akan ditawarkan kepada pemilih.Dengan pola kepartaian yang diikat oleh ketentuan skala nasional secararentang organisasi, maka peranan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD(Dewan Pimpinan Daerah) dalam menjalin komunikasi menjadi menentukanterhadap daftar calon legislator (caleg) yang nantinya disusun dan diajukan keKPU/KPUD. Penyampaian pengumuman partai kepada publik baik saat awalrekrutmen, seleksi, mulai masuk tahap Daftar Calon Sementara (DCS) hinggatahap penetapan Daftar Calon tetap (DCT), adalah tidak terlepas dari perananelit di tingkat DPP dan DPD bersangkutan. Di beberapa partai, tentunya dapatditemui mekanisme formal berdasarkan usulan pihak ranting dan cabang

masing-masing, sebelum akhirnya ditetapkan oleh keputusan pengurus yanglebih hirakhis secara organisasi.

Pola organisasi kepartaian yang sangat didorong ke arah nasionaldibandingkan lokal dan sub-sub lokal secara otonom, berbanding terbalikdibandingkan arus tuntutan otonomi daerah yang disampaikan pada kurun waktureformasi. Akibatnya, elit dapat melakukan campur tangan terhadap setiapkeputusan yang diambil kalangan pengurus partainya di tingkat lokal.Karakteristik campur tangan tersebut biasanya dapat menjalin kerjasama denganpengurus DPD atau DPW partai setempat terkait dengan keputusan-keputusanpolitik yang dianggapnya sebagai hal strategis. Salah satu bentuk keputusansemacam itu sebagaimana ditampilkan pada saat proses penyusunan daftar

calon anggota DPRD. Campur tangan tidak jarang memancing konflik internalpartai baik antar pengurus, pengurus dengan anggota, maupun di antaraanggota partai itu sendiri beserta para pendukung masing-masing. Tingginyasuhu politik yang semakin memanas pada saat proses penyusunan daftar calonbukan mustahil diwarnai aksi kekerasan atau bahkan penyegelan dan perusakangedung atau tempat kantor pengurus partai. Fenomena politik yang sangatdiwarnai oleh berbagai maneuver  untuk proses pengisian nama-nama calonbiasanya mendorong proses politik yang berkembang pada tataran penyusunan

1Penulis adalah Peneliti Peneliti Politik dan Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi

(P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: [email protected] 

Page 2: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 2/40

  23

daftar calon anggota legislatif menjadi sangat sensitif secara emosional danrentan bagi adanya potensi perubahan hingga detik-detik akhir pengumumanfinalnya.

Pada beberapa daerah, diakui bahwa proses penyusunan daftar calonlegislatif masing-masing partai yang memiliki basis massa pendukung setempatberjalan relatif lancar dan tidak terjadi ekspresi destruktif sentimen ketidakpuasansecara berlebihan. Tetapi, dengan kondisi kepartaian yang masih lemah secaramanagerial pengelolaan organisasinya, maka proses politik penyusunan daftarcalon anggota legislatif sangat mudah diterpa oleh sentimen emosional tertentu.Akumulasi sentimen semacam itu bukan tidak mungkin dapat menyulutketidakpuasan dan berakhir dengan perpecahan di internal partai. Mereka yanggagal memenuhi ambisi kekuasaan atau tidak puas dengan cara-cara dan hasilyang dipetik dari mekansime penyusunan para kader untuk ditampilkan dalampemilu, akan terdorong untuk melahirkan partai sempalan. Kelahiran partai baru

 jelas akan semakin memperbesar jumlah partai secara nasional, mengingatruang partai lokal masih sebatas dibuka pada tataran pemerintahan berdasarkanundang-undang, adalah hanya berlaku di Aceh.2 

Dengan lingkup nasional kepartaian yang menjadi orientasi pengelolaan ditingkat kebijakan, maka jarak atas calon wakil di parlemen dengan rakyat dansekaligus daerah pemilihannya semakin menarik publik untuk mengkritisinyalebih lanjut. J aringan patronase terhadap partai semakin mudah dituduhkanketika proses pengkaderan secara berjenjang justru hanya berlaku secaraseremonial. Meskipun teknis pengelolaan organisasi partai berusaha melakukanpengisian jabatan organisasi berdasarkan fundamental kiprah para kadernya ditempat asal masing-masing, tetapi keputusan akhir atas proses politik

pengusulannya sebagai calon anggota DPRD, dapat berbeda dibandingkandengan tujuan awal yang dibangun dari mekanisme pengkaderan tersebut.

Peranan elit partai yang sangat besar terhadap proses penyusunan daftarcaleg, pada pemilu 2009 ini berhadapan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi(MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentangPemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Substansi perubahan yang dihadirkanoleh Putusan MK tersebut dalam bentuk perolehan suara terbanyak sebagaidasar penentuan caleg terpilih, pada kenyataannya menghasilkan fenomenapolitik tertentu. Fenomena pasca keluarnya Putusan MK di atas adalah tidaksesederhana dalam rangka menghasilkan penguatan kedaulatan rakyat melaluisuara pemilih yang diberikan saat pemilu. Hal ini menghasilkan pertimbangan

atas implikasi yang sudah dicapai oleh ketentuan lain dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2008, seperti halnya yang sempat hangat diperdebatkan adalahmengenai nasib kebijakan affirmative action terhadap perempuan dalam rangkamencapai kursi di legislatif atau dikenal dengan sebutan zipper system. Padatingkat internal partai, maka persaingan antar caleg tidak lagi sebatas pada antarpartai, tetapi juga diwarnai oleh antar caleg dalam satu partai yang sama.Bahkan, persaingan ini bukan tidak mungkin justru sangat potensi untukterjadinya saling curiga satu sama lain, dan bahkan terjadi konflik. Apabila partaitidak mampu mengelola persaingan antar calegnya tersebut, maka akan

2Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 3: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 3/40

  24

memancing konflik organisasi yang berkepanjangan dan mendorong perpecahanbagi partai bersangkutan.

Dalam persaingan antar caleg, penggunaan sentimen tertentu adalahmenjadi preseden berikut yang dapat mewarnai kehidupan politik tidak saja bagipartai tersebut, tetapi juga terhadap situasi daerah secara keseluruhan. Hal inisangat mungkin terjadi, mengingat ikatan sentimen atau emosi komunal masihlebih kuat berperan dibandingkan rasionalitas dalam pilihan penggunaan carauntuk memenangkan persaingan pemilu.

B. Pokok Masalah

Pertimbangan baik unsur popularitas, sumber ekonomi maupun unsursumber daya lainnya, dalam mendorong seorang calon dinominasikan olehpartainya sebagai calon anggota DPRD, tidak terlepas dari campur tangan

pengurus inti di organisasi partai itu. Meskipun prinsip suara terbanyak bagisetiap individu calon telah menggeser kekuatan nomor urut sebagai peluanguntuk menduduki kursi DPRD, tetapi peran elit partai terhadap prosespenyusunan daftar calon tampaknya masih mempunyai peranan menentukan.Pada tahap proses penyusunan daftar tersebut, maka biasanya sangat rawanterjadinya friksi di internal, kecuali mekanisme konsultatif atau akomodasi dalammenampung dan menyalurkan aspirasi yang muncul dapat dijalankan secaramaksimal. Sebaliknya, perilaku saling menggeser posisi calon di dalam daftar,atau sebaliknya sikap apatis terhadap hasil yang telah dicapai, akan menentukantidak saja masa depan partai bersangkutan, tetapi juga terhadap penampilanDPRD itu sendiri. Dengan kondisi kepartaian yang masih bergantung pada figur

di tingkat nasional, maka sistem kepartaian di Indonesia tampaknya masih terjaditarik menarik yang kuat antara pola sentralisasi dan desentralisasi di dalamorganisasi yang menjalankan peranan partai tersebut di atas pentas politik.

Oleh karena itu pokok masalah dalam penelitian ini yaitu:1. Bagaimana peranan elit partai dalam mengelola proses penyusunan daftar

calon anggota DPRD dalam pemilu?2. Mengapa diperlukan mekanisme tertentu di internal partai dalam mendorong

langkah-langkah yang diinginkan oleh elit partai dalam proses penyusunandaftar calon tersebut?

3. Apa implikasi atas peranan elit partai dalam hal ini, yaitu terkait bagikehidupan politik di daerah bersangkutan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian terhadap masalah peranan elit partai dalam proses pencalonananggota DPRD, bertujuan:(1) memperoleh pengetahuan terhadap tindakan politik yang dilakukan oleh elit

partai dalam proses penyusunan anggota DPRD dengan memperhatikanfenomena politik yang mengiringi kemungkinan terjadinya konsensus dankonflik yang berkembang dalam proses politik tersebut;

Page 4: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 4/40

  25

(2) melihat lebih jauh tanggapan kelembagaan politik partai dalam mengelolatindakan-tindakan yang berkembang terkait dengan proses politikpenyusunan caleg dan terhadap kemungkinan adanya strategi secarakeorganisasian yang ingin dicapai;

(3) membantu dalam melihat iklim kehidupan politik di internal partai politik ditingkat lokal dan memperoleh perkiraan tertentu atas kemungkinan kehidupanpolitik daerah setempat dan perkembangan demokrasi di tingkat provinsidimasa mendatang.

D. Kerangka Pemikiran

Gelombang demokratisasi yang menggulingkan penguasa otoriter dibeberapa negara, ternyata belum diimbangi oleh kelembagaan politik yangmampu menopang proses politik di tingkat lanjutan agar mampu bergerak secara

solid ke arah konsolidasi. Larry Diamond menyatakan: “sampai derajat yangbesar, perbedaan antara bentuk dan substansi demokrasi di dunia adalahkesenjangan kelembagaan. Tidak ada sistem politik di dunia yang beroperasisecara tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan formalnya, tetapiapa yang membedakan kebanyakan negara demokrasi di Amerika Latin, Afrika,dan bekas negara-negara komunis adalah institusi-institusi politiknya terlalulemah untuk menjamin perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang beragam,supremasi konstitusional, rule of law, dan pembatasan eksekutif”.3 Akibatnya,proses politik kelembagaan yang dibangun ternyata lebih menampakkanpersonal elitnya dibandingkan mekansime rotasi kepemimpinan secarapartisipatif yang substansial. Hal ini tidak saja terjadi di tingkat suprastruktur

politik kelembagaan hasil pemilu yang dijalankan, tetapi juga berkembang padakuatnya cengkeraman oligarki elit partai di tingkat infrastruktur politik. Akibatnya,prosedur demokrasi lebih mengandalkan pada kekuasaan elit agar mampuberperan maksimal untuk mengurangi berbagai friksi yang muncul, dibandingkandengan kemampuan mekanisme internal partai itu sendiri dalam mencapai suatukonsensus tertentu.

Berdasarkan pemahaman teori klasik elit bahwa dalam kehidupandemokrasi sekalipun di setiap negara dan organisasi, selalu terdapat kelompokminoritas yang membuat kebijakan. Vilfredo Pareto membagi kelas dalam duabagian, yaitu elit dan non elit yang melampaui jauh daripada sekedar pandangandeterminisme ekonomi ala Karl Marx. Gagasan Pareto tentang elit dan non elit

beranjak dari kemungkinan terjadinya suatu perubahan dikalangan elit (elitecirculation).4 Hal yang pasti adalah kelas elit mempunyai pengaruh yang sangatbesar dalam menentukan kehidupan suatu negara dan bahkan di lingkuporganisasi yang menaunginya sekalipun. Pengaruh ini tidak saja disebabkan olehresources yang berbeda dari elit dibandingkan non elit, tetapi juga terhadap apayang dianggap perlu dilakukan oleh kelompok besar massa itu sendiri dan ditingkat negara sekalipun, yaitu terkait dengan cara-cara yang akan

3 Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta, 1999, h. 43.4

Vilfredo Pareto (1966) dalam Bab 8 berjudul “Theories of Class: From Pluralist Elite to Rulling Class and Mass, RonaldH Chilcote, Theories of Comparative Poltics: The Search for Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado, 1981, h. 349.

Page 5: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 5/40

  26

dilakukannya, Meskipun Gaetano Mosca menyatakan, keharusan adanyadukungan massa bagi elit agar dapat establish dalam memerintah5, tetapitampaknya peranan yang sangat menentukan dari elit tetap penting diperhatikansecara cermat.

Persaingan di antara partai yang sangat ketat dalam setiap kali pemilu,seperti halnya, di tahun 2009, menyebabkan penempatan posisi caleg di dapilmasing-masing menjadi sangat menentukan. Pada konteks usahamemenangkan caleg dan sekaligus suara yang diraih bagi partai bersangkutan,bukan mustahil terjadi konflik kepentingan antara elit pusat dan para penguruspartai atau kader di daerah. Dengan konteks proses pengadaan sumber dayapartai, seperti halnya terkait uang, dalam rangka keperluan menghadapi pemilu,pertimbangan elit di pusat dapat demikian mudah untuk mementahkan kesiapanelit partai setempat untuk tampil menjadi caleg. Pada tataran penempatan kadersebagai caleg di DPR dan caleg di DPRD, tampaknya masih terbuka ruang untuk

terjadinya perbedaan fenomena politik yang melatarbelakangi dan menentukankeputusan hasil akhirnya. Sehingga, perbedaan dan kemungkinan adanya unsurkesamaan terkait peranan elit partai tersebut menarik untuk menelitinya lebih jauh. Kemungkinan terjadinya variasi dalam proses penempatan caleg tersebutbiasanya tidak terlepas dari adanya faksi-faksi yang berkembang di organisasipartai. Terdapat kebutuhan bagi elit dalam mengendalikan jalannnya organisasipartai dengan alasan kestabilan internal dan menghindarkan terjadinyaperpecahan. 6 

Negosiasi antar elit dalam proses penyusunan caleg, biasanya jugamempunyai konsekuensi tertentu atas bangunan sistem pemerintahan yang akandibangun, meskpun ketentuan perundang-undangan sudah mengaturnya lebih

lanjut. Pada konteks proses penyusunan DPRD, tampaknya perhitungan elitterhadap koalisi antar partai yang dijalin dalam menghadapi pemilu tentu tidakdapat dilepaskan atas segala usaha yang sudah ditempuh atau nantinya akandijalankan pada saat penyelenggaraan Pilkada. Apalagi, ditemukan beberapadaerah yang menyelenggarakan Pilkada tidak jauh kurun waktunya tidak sajaberkaitan dengan pelaksanaan Pemilu anggota legislatif tetapi juga terhadappemilu presiden. Perhitungan atas peranan elit partai dalam strategipemenangan pemilu sangat dimungkinkan terkait dengan perdebatan yangmasih belum tuntas terkait dengan penciptaan stabilitas sistem pemerintahandengan sistem kepartaian yang sangat majemuk saat ini.7 

Fenomena terkait dengan ruang akomodasi elit atau tokoh lokal dalam

mengisi keanggotaan DPRD sesuai garis partainya masing-masing semakin luassetelah Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 diberlakukan. Ini sekaligusmendorong proses desentralisasi kepartaian yang tentu searah dengan

5Garetano Mosca (1966) dalam Ibid, h. 352. 

6Alan Ware, Political Parties And Party System, Oxford University Press, Oxford- New York, 1996, h. 109.

7 Stabilitas sistem presidensial dalam konteks bangunan civil society dan sejarah kediktatoran militer yang pernah dijalanioleh beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan berbagai negoisasi elit partai dalam membuka jalan transisi menujudemokrasi, antara lain dibahas Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, London,Cambridge University Press, 2007. Di sini ditulis tentang masalah kemiskinan yang juga dapat mempengaruhi kestabilitankehidupan demokrasi. Bahwa: “Democracies are unstable in poor countries and presidential democracies are poorer thanparliemantary one, large countries are hard to govern, and countries with presidential democracies are larger thancountries with parliamentary democracies. Latin America is inherently unstable, and the stability of presidentialism is dueto the fact that most presidential system exist in this region of the world.”

Page 6: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 6/40

  27

semangat otonomi daerah yang sedang berkembang saat ini. Kemungkinanterdapat gerak desentralisasi kepartaian yang lebih cepat dalam prosespengisian keanggotaan di tingkat DPRD dibandingkan di DPR, meletakkanperanan dewan pengurus lokal mempunyai peranan penting dan peranan dewanpengurus pusat lebih sebagai fasilitator. Meskipun disisi lain ditegaskan bahwademokrasi adalah tidak berarti selalu sama dengan otonomi daerah dan bahkankadangkala justru menjadi rintangan tersendiri.8 Perhitungan atas kemampuandukungan secara konstruktif tampilnya elit lokal dalam proses pengisiankeanggotaan DPRD, tentu sangat bergantung pada poses rekrutmen yangdilakukan oleh partai bersangkutan. Dalam konteks seleksi kandidat, Reuven YHazan dan Gideon Rahal dengan mengutip pendapat Renney (1981: 75)menyebutkan sebagai: “the process by which a political party decides which theperson legally, eligible to hold an elected office will be designated on the ballotand in election communication or list of candidates.9 Dalam rangka kegiatan

yang berada di daerah, pertimbangan atas desentralisasi yang berkembangditubuh partai politik dapat didasarkan pada aspek teritorial seperti halnyapengurus lokal setempat yang menominasikan kandidatnya sebagai calonlegislator, atau melalui mekanisme voting untuk memilih calon tersebut. Disamping itu, desentralisasi juga terjadi pada aspek fungsional, yaitu untukmemastikan keterwakilan bagi kalangan tertentu, seperti halnya berdasarkankelompok profesi, buruh, wanita, atau bagi pihak minoritas. 10 

Desentralisasi kepartaian dalam seleksi calon untuk mengisi jabatanorganisasi partai itu sendiri dan pemerintahan secara luas, lebih dapatmengatasi kemungkinan terjadinya konflik internal di tubuh partai bersangkutandibandingkan model sentralisasi. Pengurus pusat partai tidak dapat begitu saja

sewenang-wenang untuk memveto usulan dari dari daerah, dan harusberdasarkan masukan yang disampaikan dari bawah. Hal ini sekaligus menjadipenting bagi proses demokratisasi bagi kehidupan partai tersebut.

Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentangPemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD: “Pemilu untuk memilih anggota DPR,DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistemproporsional terbuka.” Kemudian, Pasal 51 Undang-Undang tersebut,menyatakan: “(1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calonanggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; (2) Seleksi bakalcalon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis danterbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Selanjutanya Pasal 52:

“(1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftarcalon oleh partai politik masing-masing; (2) Daftar calon anggota DPR ditetapkanoleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat; (3) Daftar bakal calonanggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilutingkat provinsi; (4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkanoleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.“11 

8Alan Ware, Op. cit., h. 111.

9 Reuven Y Hu dan Gideon Rahal, “Candidate Selection: Methods and Consequences”, dalam Richard S. Katz danWilliam Crotty, Handbook of Party Politics, Sage Publication, London, 2006, h. 109.10

 Ibid., h. 112.11

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008. 

Page 7: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 7/40

  28

Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008: “Daftar bakal calonsebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluhperseratus) keterwakilan perempuan.” Pasal 54: “Daftar bakal calonsebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratusdua puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.” Pasal 55: “(1)Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal54 disusun berdasarkan nomor urut; (2) Di dalam daftar bakal calonsebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapatsekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Dan seterusnya,sampai kemudian terdapat ketentuan pengaturan terhadap proses verifikasiKPU/KPUD terhadap setiap calon dalam daftar yang diajukan oleh partai politik.12 

II. Metode Penelit ian

 A. Waktu dan Tempat Penelit ian

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal. 9-12 Maret 2009dan penelitian berikutnya dilakukan pada tanggal16-20 April 2009. Pemilihantempat penelitian dilakukan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara denganalasan…….

B. Teknik Pengumpulan Data

 Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan meneliti serta

menganalisis berbagai dokumen yang terkait dengan proses rekrutmen calegpartai untuk DPRD Provinsi. Wawancara dilakukan untuk mengetahui prosespolitik yang berlangsung di internal partai, sebelum nantinya disampaikan kepadaKPU daerah setempat. Wawancara yang dilakukan tidak hanya sebatas kepadapengurus di tingkat struktural partai bersangkutan, tetapi juga meliputi para tokohyang berada di luar organisasi partai dalam melihat konstruksi politik yangberlangsung dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif. Hal ini dijalankandalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan sekaligusmenjaga obyektifitas pandangan terkait muatan substansi penelitian dalamkerangka keseluruhan.

Untuk masalah dokumen dan bahan tertulis yang dianalisis lebih lanjut,

maka klasifikasi bahan informasi dan data tersebut merupakan pendukung dalamrangka melengkapi hasil wawancara yang sudah diperoleh. Salah satu dokumenyang diteliti adalah mengenai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga(AD/ART) partai politik sebagai semacam aturan main dan landasan nilai-nilaiperjuangan yang dianutnya. Di samping AD/ART, juga diteliti lebih lanjutterhadap kemungkinan adanya peraturan partai politik lainnya, yang

12Undang-Undang No. 10 Tahun 2008.

Page 8: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 8/40

  29

dimungkinkan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,selama peraturan itu berpedoman kepada AD/ART partai tersebut. 13 

Di samping dokumen kepartaian, juga diteliti terhadap berbagai isu ataumasalah yang terkait dengan peranan elit partai terhadap proses penyusunancaleg hingga di tingkat penetapan DCT oleh KPU Provinsi sebagaimanadiungkap oleh media surat kabar baik di tingkat nasional maupun daerah.

Hal lain dalam usaha memperoleh diskripsi data yang mendalam dengansegala tuntutan dalam menjawab pertanyaan penelitian, adalah terkait dengankompetensi dari setiap informan yan diwawancarai. Hal ini terkait dengan kriteriainforman yang diwawancarai yang dapat disebut sebagai “persyaratan dalamkemampuannya memberikan data dan informasi yang dibutuhkan peneliti sesuaifokus atau tujuan penelitian.”14 Terdapat beberapa informan yang akandiwawancarai dalam penelitian ini, yaitu:(1) Pengurus partai di daerah, yaitu mereka yang menjabat sebagai ketua umum,

wakil ketua umum, dan sekretaris, yang berada di jajaran struktural partai.Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengakomodasi penentuan calonterpilih berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dituangkan dalamUndang-Undang No. 10 Tahun 2008, peranan elit pengurus partai di daerahtetap menjadi faktor yang menentukan;

(2) Anggota DPRD setempat, baik yang menduduki jabatan tertentu di fraksinyamaupun yang hanya sebagai anggota DPRD. Dikalangan anggota DPRD ituyang diwawancarai terutama adalah mereka yang mencalonkan diri kembalidalam Pemilu 2009;

(3) Tokoh masyarakat, terutama pengamat politik setempat atau staf pengajar dilingkungan perguruan tinggi, di mana merupakan daerah pemilihan tempat

proses pencalonan anggota DPRD tersebut dilakukan.

C. Metode Analisis

Proses pengumpulan dan analisis data dalam menjawab pokokpermasalahan dilakukan melalui metode penelitian kualitatif yang dilakukanberdasarkan kemungkinan adanya variasi kecenderungan yang dihadapi padasetiap kurun waktu dan lokasi tertentu. Untuk itu, di tengah keterbatasan waktudalam melakukan proses penelitian, sejauh mungkin diusahakan untukmemformulasikan secara cermat pertanyaan yang dapat mengungkap latarbelakang sebagai akar masalah dan berbagai implikasi dari kejadian atau

fenomena politik yang terjadi. Meskipun bukan berarti tanpa batas dalam usahamemperoleh data dalam rangka dianalisis lebih lanjut, karena dapat berakibatpada ketidakfokusan terhadap masalah yang diteliti15, pengungkapan setiap sisi

13Pasal 30 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008: “Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan

dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.” 14

Ibid., h. 59. 15

Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, di anggap tidak perlu mengemukakan definisi operasional, karena denganpenetapan hal dimaksud justru tidak sesuai dengan perspektif etnik. Artinya, dengan penetapan definisi operasional,berarti dilakukan penetapan jumlah dan jenis “indikator” yang hanya akan membatasi kebebasan informan penelitiandalam menceritakan, mendeskripsikan jenis dan jumlah butir-butir pengetahuan, pengalaman atau pandangannya.Walaupun, di sisi lain, bukan berarti bermodal “kepala kosong” tentang struktur internal konsep dan gejala yang melekat.

Page 9: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 9/40

  30

persoalan yang dijalankan dilakukan dengan pemeriksaan ulang atau secarasilang (cross check) dengan berbagai kemungkinan dokumen yang diusahakanuntuk ditemukan.III. Hasil Penelit ian dan Pembahasan

1. Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara yang terletak di sebelah barat Indonesia adalahdikenal sebagai wilayah yang didiami oleh berbagai etnis dan ikatan komunallainnya secara beragam. Provinsi tersebut diundangkan melalui Undang-UndangNo. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh DanPerubahan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara jo. PP No. 21 Tahun 1950tentang Pembentukan Daerah Provinsi. Luasnya rentang wilayah administrasipemerintahan dan kondisi heterogenitas sosial budaya dan agama di Sumatera

Utara telah mendorong gagasan untuk dilakukannya pemekaran wilayah.Provinsi ini semula terdiri dari 17 kabupaten/kota, kemudian berkembangmenjadi 33 kabupaten/kota. Sebelum berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun1999 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian direvisi melalui kelahiranUndang-Undang No. 32 Tahun 2004, Sumut bahkan telah menghasilkan daerahotonom baru, yaitu Kabupaten Mandailing Natal dan Toba Samosir.16 Terlepasdari kontroversi yang menyertai gagasan dimaksud dengan kenyataan dilapangan, dua usulan pemekaran di tingkat Provinsi sangat kuat dimunculkandalam forum-forum publik, yaitu terkait dengan pembentukan Provinsi TapanuliUtara (Protap) dan Provinsi Sumatera Tengah (Sumteng).

Provinsi Tapanuli, sebagaimana diusulkan RUU terkait pemekaran

wilayah ini, disebutkan bahwa nantinya akan berasal dari sebagian wilayahProvinsi Sumatera Utara, yang terdiri atas: a. Kabupaten Tapanuli Utara,Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Toba Samosir,Kabupaten Samosir; Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten NiasSelatan (Pasal 3). Provinsi pemekaran ini diusulkan berbatasan dengan wilayah:sebelah utara dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo. Sebelahtimur dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Sebelah selatanberbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, dan sebelah barat denganperairan Samudera Hindia dan Kabupaten Nias (Pasal 5). Ibukota Provinsi Tapanuli direncanakan untuk berkedudukan di Siborong-borong (Pasal 7).Sedangkan, pembentukan Propinsi Sumatera Tengah diinginkan untuk meliputi

beberapa wilayah, antara lain untuk daerah Kabupaten Mandailing Natal,Pemkota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten PadangLawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.17 

Lihat Hamidi, Metode Penelitian Kualititatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian ,, PenerbitUniversitas Muhammadiyah Malang, Malang, cetakan ketiga, 2008, h. 61..16

Setelah itu, lahir 14 daerah otonom baru yang lain. Lihat, “Ke Indonesiaan-Sumatera Utara (2): Perbesar Pemekaran,Bukan Perbesar Anggaran”, Kompas, 1 J uli 2009.17

Rancangan Undang Undang tentang Provinsi Tapanuli Utara, dikutip dari dpr.go.id/assets/images/pic/ruu SedangDibahas. Dalam RUU ini antara lain disebutkan, “Pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Tapanuli untuk pertama kalidilakukan dengan cara penetapan berdasarkan perimbangan hasil perolehan suara partai politik peserta Pemilu tahun2004 yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara (Pasal 10 ayat 1).” Selanjutnya: “Penetapan keanggotaan DPRDProvinsi Sumatera Utara yang asal daerah pemilihannya pada pemilu tahun 2004 terbagi ke dalam wilayah Provinsi

Page 10: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 10/40

  31

Perdebatan terkait dengan rencana pemekaran Provinsi Sumatera di atassarat dengan berbagai konflik kepenting dan bahkan sempat membawa jatuhnyakorban Ketua DPRD setempat. Terlepas dari rencana itu dan kepentingan yangmenyertai dalam proses pembentukannya, terutama ketika memasuki waktumenjelang Pemilu 2009, dinamika politik sangat mewarnai provinsi ini. Dengankemunculan reformasi, setelah sebelumnya Partai Golkar selalu dominan, makadi Pemilu 1999 dan 2004, muncul persaingan sengitnya dengan PDI Perjuangan,PAN, dan PKS. Dengan jumlah penduduk dan keragaman etnis, agama dan latarbelakang kultural masyarakatnya, maka Provinsi Sumatera Utara menjadi salahsatu barometer penting dalam perjalanan politik Indonesia. Keterlibatan politikstabilitas dengan jaringan birokrasi sipil dan ABRI dimasa Orde Baru, mengalamiperumusan ulang hingga di tingkat operasional, setelah nilai-nilai kebebasan,keterbukaan dan partisipasi mulai mengisi ruang politik di masa reformasi pascatahun 1998. Peta politik keanggotaan DPRD dan proses penyusunan daftar

caleg, baik di tingkat DCS maupun DCT semakin diwarnai persaingan ketat antarkader partai..

DPRD Sumatera Utara adalah berjumlah 85 orang dan sebagai hasilpemilu 2004 menunjukkan komposisi politik keanggotannya sebagai berikut:1. F PG : 19 orang;2. FPDI P : 13 orang3. F PPP : 11 orang4. FPD : 9 orang5. FPKS : 8 orang6. FPAN : 9 orang7. FPDS : 6 orang

8. FPBR : 5 orang9. F Gabungan : 5 orang

Pada tahun 2008, jumlah fraksi berkurang menjadi 8 dengan tidak adanyalagi fraksi Gabungan, tetapi secara keseluruhan jumlah anggota DPRD ProvinsiSumatera Utaa tetap 85 orang. Komposisi keterwakilan partai politik melaluikeberadaan fraksi-fraksinya di DPRD hasil Pemilu 2004, semakin dituntut untukterbuka terhadap berbagai tuntutan rakyat di daerah pemilihannya ketika politikpemekaran di wilayah setempat semakin gencar dilakukan. Apalagi, denganadanya distribusi APBD yang dianggap tidak adil bagi pembangunan di wilayahSumut, maka politik pemekaran yang dijalankan semakin mendorong partai-partai politik berusaha menarik simpati masyarakat.18 Secara prosedural, ketika

masih menggunakan PP No. 129 tahun 2000, sebelum kemudian direvisimenjadi PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,Penghapusan,dan Penggabungan Daerah, Tri Ratnawati menjelaskan:“pembentukan dan pemekaran daerah diawali oleh adanya kemauan politik

Sumut dan Provinsi Tapanuli sebagai akibat undang-undang ini, yang bersangkutan dapat memilih menjadi anggotaDPRD Provinsi Tapanuli atau tetap pada keanggotaan DPRD Sumatera Utara.” 18

Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara, Ridwan Rangkuti, mengatakan, faktor utama yang menyebabkan Sumutagresif dalam pemekaran wilayah adalah adanya ketidakadilan distribusi APBD. Pembentukan daerah otonom barudianggap sebagai solusi terhadap masalah ini. Dengan daerah otonom baru, otomatis akan terjadi pertambahan uangkarena mendapatkan APBD. Daerah baru juga mendapatkan tambahan dana dari pemerintah pusat melalui DanaAlokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Lihat, “Ke Indonesiaan-Sumatera Utara (2): PerbesarPemekaran, Bukan Perbesar Anggaran”, Loc.Cit. 

Page 11: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 11/40

  32

pemda dan aspirasi masyarakat setempat, didukung oleh penelitian awal yangdilaksanakan oleh Pemda. Usulan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeriyang disertai lampiran hasil penelitian, persetujuan DPRD Provinsi danKabupaten/Kota. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri memproses lebih lanjut danmenugasi tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi rekomendasibagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Semua proposal akan“dipertimbangkan” oleh DPOD yang berkantor di Depdagri.19 

Dinamika masyarakat Sumut dalam kehidupan sosial politik tergolongtinggi, tidak saja berlangsung di tingkat elit dalam memperebutkan kekuasaandan jabatan pemerintahan. Tetapi dinamika semacam itu juga dapat ditemuipada karakter dan komunitas masyarakatnya yang dapat terjalin dalam suatugerakan terhadap isu sosial ekonomi tertentu. Kecenderungan demikian tampakdari sikap politik yang muncul dari isu politik tertentu, seperti halnya pada kasuspemekaran provinsi Tapanuli Utara, 20 juga sejarah perlawanan konflik di tingkat

masyarakat terhadap pengusaha dalam pengembangan investasi bidangtertentu. Kasus terakhir, pada saat terjadi perlawanan masyarakat Porsea, TobaSamosir, dan Tapanuli yang berlangsung secara dramatis dalam skala massif terhadap keberadaan PT Inti Indorayon.

Fenomena politik persaingan antar partai ini juga mewarnai prosespenyusunan daftar calegnya di DPRD dengan berusaha menampilkan tokoh-tokohnya yang berpengaruh ketika politik pemekaran dijalankan. Meskipunpemekaran daerah menjadi salah satu sarana bagi faktor elit lokal meraihkekuasaan yang berkembang di Sumut, tetapi kehadiran partai-partai di tingkatnasional tampaknya telah meletakkan sentimen etnis dalam kerangka integrasibangsa. Hasil studi William Liddle (1970) di wilayah Simalungun, Sumatera

Utara, menunjukkan, terlepas dari adanya ikatan-ikatan tradisional, mayoritaspenduduk, terutama dikalangan pemilih, telah berkembang ikatan afiliasi-afilisasisupra lokal yang ditandai kehadiran partai-partai nasional di sana. Partai-partaitersebut menggeser orientasi politik penduduk dari ”ikatan sosial bersifatparokial” menuju ”ikatan yang bersifat nasional”.21 

2. Proses Penyusunan Daftar Caleg

Partai politik justru masih menunjukkan kesan sentralistik dalammanajemen organisasinya. Bahkan, sistem kepartaian di Indonesia dianggapmirip dengan model kerajaan yang tersentalisasi. Hal ini dapat dilihat pada

kepengurusan partai politik yang saling berjenjang, mulai dari tingkat pusat(DPP), Provinsi/Kabupaten/Kota (DPD/DPW), sampai di tingkat kecamatan dan

19Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah: Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, h. 29.

20Lihat misalnya Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan

Masyarakat Batak VS. PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara , Yogyakarta, Gajahmada Univ. Press kerjasamadengan kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM), 2009, h. 213-237. Tercatat bahwaperlawanan masyarakat dimulai secara sporadic (1986-1992), lahirnya embrio perlawanan bersama (1993), kemundurandan deradikalisasi perlawanan (1994-1997). Selanjutnya, berkembang meluas kembali di era reformasi hingga tahun2005, yang diwarnai oleh karakteristik new social movement dengan menggunakan berbagai jaringan adat dan kelompokmasyarakat.21 William Liddle (1970) Sebagaimana dikutip dari Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Studitentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer Gramedia dan Lembaga Survei Indonesia,

 J akarta, 2009, h. 64. 

Page 12: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 12/40

  33

desa. Kondisi demikian mengakibatkan kehadiran partai politik di level lokal,berpotensi tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada agarmencapai hingga ke akar rumput. Ruang gerak keleluasaan partai untukmengelola persoalan di tingkat daerah, cenderung masih rendah. Terjadinyabeberapa kasus yang mengganggu roda demokrasi partai, seperti halnya, darianggota partai yang menjadi caleg terbukti menggunakan ijazah palsu ataumelakukan tindakan asusila, pengurus partai tersebut tidak dapat mengambiltindakan tegas.22 

Dalam kasus di atas, dapat saja terjadi bahwa pengurus partai hanyamampu mengeluarkan surat rekomendasi untuk diserahkan sepenuhnya kepadapengurus tingkat pusat. Pihak pengurus di tingkat pusat berhak memutuskan,apakah yang bersangkutan diberikan sanksi atau dipecat dari partai. Kesukaranbertindak tegas, akan semakin menguat kesannya, apalagi ketika yangmelakukan pemalsuan ijazah atau tindakan pelanggaran tersebut, termasuk

masalah asusila, memiliki hubungan erat berdasarkan ikatan emosional tertentu,seperti halnya nepotisme, koncoisme, atau bahkan keluarga, dengan pengurus ditingkat pusat.

Peranan partai politik dalam penyusunan daftar caleg tidak sajadipengaruhi oleh strategi partai dalam memenangkan pemilu, tetapi juga harusberhadapan dengan konteks emosional tertentu. Hal terakhir ini, adalah dalamkonteks hubungan pertemanan dan kekerabatan baik antar caleg itu sendirimaupun dengan pengurus inti organisasi partai.23 Meskipun tidak terjadi konflikyang sangat tinggi dan memecah keutuhan partai, tetapi faksi-faksi yangberkembang dalam partai mendorong dinamika tertentu terkait dengan tahappenetapan bakal calon dan calon anggota legislatif. Kesulitan yang tidak

terlampau dihadapi secara signifikan, menyebabkan pengajuan daftar namacalon relatif dapat berjalan lancar. Dengan pertimbangan pragmatis dalampengajuan caleg terkait, maka makna ideologi dalam mengemudikan kehidupanpartai menjadi sangat lentur atau sangat mudah berubah dan mengikutiperkembangan zaman.24 Hal ini tidak heran dapat terjadi, karena syndrome pemaknaan basis ideologi partai menjadi cenderung kabur dan lebih dibalut olehkepentingan kekuasaan.25 Dengan konstruksi persaingan antar partai yang ketatdan bahkan sejak awal sudah diduga kuat akan mengarah pada koalisi pasca

22 Zulfan Heri, Legislator Menuai Kritik, ISDP (Indonesian Society for Democracy and Peace), Pekanbaru, Riau, 2005, h.25.23 Tercatat bahwa beberapa caleg adalah masih saudara, atau bahkan anak kandung dari petinggi partai setempat.24

Dengan memandang ideologi dapat direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka ideologi tidak lagi sekedardipahamisi pada tataran dokrin politik pihak yang berkuasa. Syndrome pemaknaan ideologi kepartaian yang sangatfleksibel, juga tidak terlepas dari kesadaran bahwa basis politik keagamaan, terutama kalangan Islam, bagi partai-partaiyang mencoba mengacunya sebagai ideologi semakin terdesak perolehan suara dukungan pemilihnya. Di saat Pemilupertama era reformasi, yaitu di tahun 1999 saja, 11 partai bersimbol Islam, secara total hanya memperoleh 37 persen,itupun sudah termasuk PAN dan PKB yang sebenarnya kuat dengan warna pluralis, mayoritas mempunyai pemilih Islam.Ketika dua partai dimaksud tidak dimasukan dalam partai bersimbol Islam, maka perolehan suara hanya tinggal menjadi17,5 persen. Lihat Arief Mudatsir Mandan, Krisis Ideologi: Catatan Tentang Ideologi Politik Kaum Santri, Studi KasusPenerapan Ideologi Islam PPP, Pustaka Indonesia Satu, J akarta, 2009, h. 3, dan h. 30-31.25

Kuskrido Ambardi mengatakan, sejak reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yangmirip kartel. Terdapat lima ciri terkait hal ini, yaitu: (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilakukoalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampirtidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk berperilakusecara kolektif. Lihat lebih lanjut studi mendalam tentang pragmatisme partai-partai era reformasi dan memudarnyakomitmen ideology mereka, dalam, Kuskrido Ambardi, Op.cit, khususnya, h. 3-4, di samping itu juga di h. 285-290.

Page 13: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 13/40

  34

pemilu, maka latar belakang dan profil individual caleg di setiap partai politikmenjadi sangat beragam. Kompetisi antar partai justru dapat menjadi antiklimakspada saat nantinya hasil pemilu telah diketahui hasil-hasilnya. Persaingan sengitlebih berada pada tataran individu antar caleg dibandingkan secarakelembagaan antar partai-partai peserta pemilu.

PDIP juga mengakui peranan pertimbangan faktor emosional pemilih yangdigunakan partai dalam menempatkan calegnya di setiap daerah pemilihan. Disebutkan bahwa: ”dalam strategi kampanye, partai harus mempertimbangkankondisi cultural dari masyarakat setempat. Pada setiap komunitas itu, dikenaliadanya semacam event yang dapat dimanfaatkan dalam rangka kepentinganpolitik menarik simpati pemilih kepada partai bersangkutan. Pendekatan cultural semacam ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan saranakelembagaan resmi semata atau jalur formal. Meskipun diakui bahwa dalampenggunaan sarana ini tentunya tetap tergantung pada kejelian dan kemampuan

caleg dalam menggalang dukungan politik dari setiap komunitas yang ada bagidiri dan partainya.”26 Provinsi Sumut dianggap secara cultural memberikansumbangan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Beberapa potensiemosi bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) dapat ditekanledakannya oleh masyarakat. Salah satu unsur cultural ini adalah apa yangdisebut sebagai kearifan lokal berupa sistem kekerabatan atau struktur sosialyang disebut Dalihan Na Tolu.27 

Meskipun pagar pengaman kemungkinan meluasnya konflik secaracultural dapat berjalan positif, tetap praktek penyimpangan dari unsur sportivitasdalam pemilu masih dapat saja terjadi. Pertarungan menuju kekuasaanmenyebabkan “saling bajak” dan mengambil kesempatan untuk mengadakan

transaksi politik di antara caleg dengan partai sangat mudah terjadi. Persainganitu tidak saja terjadi dalam konteks penempatan nomor urut yang akandiberlakukan, tetapi juga terkait dengan strategi apa yang dianggap tepat dalammeraih dukungan maksimal dari pemilih. Pertarungan antar caleg yang sangattajam merupakan hasil dari proses politik demokrasi, setelah dimasa Orde Baru,terjadi campur tangan kuat dari regim terhadap lembaga perwakilan politikrakyat. Salah satu bentuk utama campur tangan dari regim autoritarian saat ituadalah menyingkirkan kandidat yang tidak disukai penguasa dari daftar calonlegislator. Dengan memahami konstruksi hubungan eksekutif dan legislatif dimasa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menekankan check and balances dalam konteks unsur pemerintahan daerah di satu pihak, dan Undang-

Undang Pemerintahan yang berlaku sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang dianggap legislative heavy, maka partai politik turut berperandalam mengakomodasi calegnya menjadi sangat menentukan arah hubunganyang terbentuk secara kelembagaan.

26Wawancara dengan Effendi Napitupulu, Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret

2009.27

Dalihan Na Tolu, berasal dari bahasa Toba, diterjemahkan sebagai tungku berkaki tiga yang saling menyokong.Dalihan Na Tolu adalah sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak yang menempatkan seseorang dalam posisipenting, yaitu sebagai pemberi istri (hula-hula), pengambil putri (boru), atau saudara semarga (dongan tubu). Pedomanhidup ini mengajarkan untuk menghormati marga pemberi istri, mengayomi, dan menyayangi pengambil istri, dan kasihsayang pada saudara semarga. Lihat, “ J aring Pengaman Demokrasi”, Kompas, 4 J uli 2009. 

Page 14: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 14/40

  35

Peranan oligarki elit masih kuat berkembang dalam perjalanan partai,termasuk terhadap proses penyusunan daftar calegnya. Bahkan peranan itumengarah pada lingkungan oligarki elit secara sangat terbatas dibandingkandengan forum musyawarah partai.

Ditubuh Partai Demokrat misalnya, diungkapkan bahwa:”Proses penyusunan caleg diutamakan mereka yang berada dalamposisi atau yang menjabat menjadi pengurus partai setempat.. disusuloleh yang bukan pengurus atau tokoh2. Spirit nya pengurus, tetapipelaksanaannya tidak seperti itu di lapangan. Oligarki ketua dansekretaris yang mengambil keputusan dan fasilitas. Sistem, ada juklak,atau juknis, tetapi pelaksanaannya menyimpang. Perbedaan dilapangan dengan konsep, di Demokrat oligarkinya sangat kuat. Ketuake bawah itu jaraknya sangat jauh, sehingga keputusan AD/ART yangkolektif kolegial, pada kenyataannya sangat elitis. Rapat hanya

performa formal, keputusan diambil sepihak oleh elit, ketua dansekretaris. Kalau dilapor ke pusat, terkesan kurang diabaikan,mungkin masalah setoran tertentu. Sehingga, berbeda antaraketentuan dengan apa yang dilakukan. Bisa juga, karena kondisi inidisebabkan oleh Demokrat yang masih baru banyak yang sekedar numpang hidup mencari makan di partai.”28 Fenomena politik uang dianggap dapat dirasakan, walaupun memang

sudah tentu sukar untuk dibuktikan. Penyusunan DCS ada yang tiba-tiba masuk,tanpa kejelasan asal usul alasannya. Konflik intern akibatnya, terjadi diDemokrat, demonstrasi menuntut daftar caleg dilakukan sesuai prosedur danmemecat ketua yang bersikap tidak adil. Hubungan emosional berdasarkan

ikatan keluarga, sanak famili mempunyai ikatan pengaruhnya terhadap prosespenyusunan caleg. Dalam konteks ini termasuk, hubungan pertemanan denganpimpinan partai juga memegang peranan penting sejak pendaftaran,penjaringan, dan penyusunan caleg. Tetapi di atas itu semua, uang memangdianggap cenderung mempunyai peranan lebih menentukan dibandingkanikatan-ikatan organisasi atau emosional tertentu.29 Terlepas dari jaringan yangmembentuk proses penyusunan caleg untuk menarik simpati pemilih danperanan elit partai yang bermain terkait proses politik tersebut, PD mampumeraih peningkatan jumlah dan persentase suara sangat signifikan antara pemilu2004 dan dibandingkan saat pemilu 2009. Caleg yang ditampilkan dan terpilihsaat kedua pemilu tersebut cukup proporsional jumlahnya dilihat dari karakteristik

 jenis kelamin dan agama yang dianut.

28Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat, Sumut, Medan, 12 Agustus 2009.

29 Ibid. 

Page 15: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 15/40

  36

 

Tabel: Calon Anggota Legislatif Terpilih DPRD Provinsi SumutPartai Demokrat: Perbandingan Pemilu 2009 dan Pemilu 2004

Dengan Karakteristik Sosial Politik Dan Jenis Kelaminnya.

Quota Kursi Hasil Pemilu J enis Kelamin AgamaNo. Dapil Kabupaten/Kota2004 2009 2004 2009

%Kenaikan Pria Wanita Islam Non

Islam1. Sumut I Medan 14 21 2 7 350% 5 2 5 22. Sumut 2 Deli Serdang 11 12 1 4 400 % 4 0 2 23. Sumut III Serdang Bedagai,

 Tebing Tinggi5 5 0 1 100% 1 0 0 1

4. SumutIV

 Tanjung Balai,Asahan, Batu Bara

8 8 1 2 200% 2 0 2 0

5. Sumut V Labuhan Batu 7 8 1 2 200% 1 1 2 0

6. SumutVI

Mandailing Natal, Tapanuli Selatan,Padangsidempuan,Padang lawas,Padang LawasUtara

8 10 1 2 200% 1 1 2 0

7. SumutVII

Nias, Nias Selatan 5 5 1 1 100% 1 0 0 1

8. SumutVIII

 Tapanuli Tengah,Sibolga, TapanuliUtara, TobaSamosir, Samosir,HumbangHasundutan

8 9 1 2 200% 2 0 0 2

9. SumutIX

Simalungun,Pematang Siantar

7 8 1 2 200% 1 1 1 1

10. Sumut X Pakpak Bharat,Dairi, Karo

4 4 0 1 100% 1 0 0 1

11 SumutXI

Langkat, Binjai 8 10 1 3 300% 2 1 3 0

 J umlah 85 100 10 27 21 6 17 10Sumber: Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, 2009.

Partai Demokrat mengajukan DCT jumlah caleg DPRD Provinsi Sumutsebanyak 103 nama yang terbagi masing-masing dalam 11 Dapil. Di antara 103nama itu, tercatat adanya 27 nama yang terpilih sebagai anggota DPRD ProvinsiSumut sebagai hasil Pemilu 2009. Untuk Dapil Sumut I, Partai Demokratmenempatkan 7 nama caleg terpilihnya. Untuk Dapil Sumut II, tercatat 4 namacaleg Partai Demokrat yang terplih. Dapil Sumut III terdapat 1 orang caleg

terpilihnya. Dapil Sumut IV terdapat 2 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut Vterdapat 2 nama caleg terpilih dari Partai Demokrat. Dapil Sumut VI tercatat 2orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut VII tercatat 1 orang. Dapil Sumut VIIIterdapat 2 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut IX tercatat 2 nama calegterpilihnya. Dapil Sumut X tercatat 1orang. Sedangkan, Dapil Sumut XI PartaiDemokrat menempatkan 3 orang caleg terpilihnya.30 

Dalam proses rekrutmen caleg, dilakukan konferensi pers bagi publikuntuk menjaring caleg dari luar kalangan partai. Langkah yang dilakukan adalahmembuka pendaftaran, di dapil yang diinginkan, termasuk juga bagi para

30Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, 2009.

Page 16: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 16/40

  37

pengurus sekalipun tetap mendaftar terlebih dahulu. Setelah pendaftaran selesai,dapil yang dianggap sesuai dengan karakteristik politik dan sosial calegbersangkutan, maka dapat diambil keputusan partai untuk menempatkannya didapil tertentu. Tetapi kalau yang mendaftar di dapil itu melebihi kuota, makadapat saja caleg itu digeser ke tempat lain. Partai dalam menyusun daftar caleg,memprioritaskan terlebih dahulu bagi para kadernya, baru setelah itu para tokohatau orang-orang yang ikut bergabung kemudian. Dalam perkembangan,kenyataannya pihak yang berasal dari luar partai dan memiliki uang ditempatkandi nomor satu. Di tubuh Partai Demokrat, penyaringan terhadap caleg jugadilakukan terhadap para kader di organisasi massa yang mempunyai ikatanemosional atau menjadi ”anak” partai tersebut sebagai salah satu sumberrekrutmen politiknya. Rekrutmen terhadap anggota organisasi massa pendukungPartai Demokrat, dijalankan dengan berusaha mengkombinasikannya terhadapdominasi pola urutan dan dukungan popularitas calon.

Dinyatakan bahwa:”Dibuka, siapa yang ingin bergabung ke demokrat, termasuk ulama,pengusaha, tokoh muda, dan seterusnya, 6 dari 27 caleg adalahperempuan yang mendaftar sebagai caleg DPRD Provinsi Sumut.Latar belakang profesi, kebanyakan pegawai swasta, pensiunan, danseterusnya. PDRI (Perempuan Demokrat Republik Indonesia), inisemacam onderbouw resmi, termasuk dikalangan Pemuda, banyaksekali organisasi demokratnya, tetapi belum bersifat partai Demokratcukup diuntungkan nomor urut yang digunakan oleh pemilih yang

 justru menimbulkan keanehan bagi caleg tertentu, seperti di DPDyang bernomor 31. Pola urutan lebih dominan dibandingkan tingkat

popularitas personal caleg. Sehingga daftar urutan masih menjadiandalan dalam bergeraknya berbagai sumber daya mesin partai,karena dianggap bahwa sistem pemilu belum sejalan dengan tingkatpendidikan masyarakat.”31 Berdasarkan kerangka strategi pemenangan pemilu, masing-masing

partai dapat melakukan nuansa pendekatan yang berbeda dalam penempatancalegnya di setiap Dapil. Artinya, keberadaan nilai-nilai komunitas setempat didalam Dapil akan menjadi pertimbangan yang penting dalam rangka proses danhasil akhir yang diharapkan dapat dicapai terhadap langkah-langkahpenempatan calegnya dalam daftar yang ada. Fenomena politik pilihanmasyarakat yang masih terikat dengan unsur tradisional figur selama ini dan

sejarah intervensi birokrasi saat otoriterian regim dimasa lampau, membentukpola strategi semacam itu. Fenomena politik berdasarkan preferensi personaltersebut lebih dominan dibandingkan dengan penilaian atas kemampuan partaidalam membangun sistem kelembagaan yang mampu merealisasikan berbagai janji saat kampanye. Interaksi antar struktur organisasi partai sebagai mesinpemenangan pemilu tetap membutuhkan partisipasi masyarakat dalam rangkamenguatkan dukungan politik yang terbentuk. Misalnya, bagi PKS, strategipemenangan partai dalam menempatkan caleg di Dapil, denganmempertimbangkan:

31 Ibid. 

Page 17: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 17/40

  38

1. dari tataran struktur organisasi partai;2. individu atau personal caleg bersangkutan.32 

Dalam tataran struktur, potensi caleg didorong untuk didayagunakandalam meraih dukungan pemilih. Ketika menjelang pemilu 2009, basis masapemilih yang sudah terbentuk saat pemilu 2004, digarap lebih lanjut oleh partaidan kadernya yang menjadi caleg, dalam rangka memperkuat fundamentaldukungan bagi partai. Sekaligus ini juga akan memperluas basis massapendukung PKS, ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat di daerah yangsangat beragam latar belakangnya. Terkait para personal yang akan ditempatkansebagai caleg, banyak berperan pada saat ditetapkannya DCT. Biasanya padatataran personal tersebut, partai berusaha menggunakan berbagai jaringan yangada dan bahkan sampai pada tingkatan keluarga. Tetapi pada saat memasukikampanye rapat massa, struktur partai lebih banyak berperan untuk menggalangdukungan pemilih. Ketika hari H pemilu, yaitu saat pemungutan suara, dilakukan

perekrutan saksi, jajaran partai yang ditempatkan sebagai pengawal suaraterhadap kemungkinan terjadi kesalahan atau manipulasi, dan sebagainya. Saksiadalah saksi partai politik, sehingga di PKS, berbeda dengan partai lain, yangtidak mengalami pertentangan pendapat atau bahkan konflik di antara saksicalegnya. Kasus di partai lain menunjukkan bahwa antara saksi partai dan saksicaleg terjadi kasus saling perebutan suara satu sama lain.

Peranan elit pengurus partai juga besar dalam menggarap dukungan didaerah pemilihan. Sehingga, PKS mengutamakan untuk sosialisasi ataukampanye memilih partai dibandingkan memilih caleg..33 Berdasarkan hasil yangdicapai pemilu-pemilu sebelumnya yaitu di tahun 1999 dan 2004, peranan jaringan dan personal caleg di Dapil pada pemilu 2009, dapat semakin

diandalkan dalam menarik simpati pemilih. Walaupun di sisi lain, untuk kotaMedan, sempat mengalami penurunan, yang pada pemilu 2004 mencapai sekitar40 persen. Para caleg PKS tidak terlampau menyandarkan diri pada penggunaantokoh-tokoh yang ada di masyarakat dalam meraih dukungan dan memperkuatposisinya dalam daftar calon.34 Meskipun konstruksi proses caleg baik di tingkatDCS maupun DCT berusaha mengokomodasi berbagai aspirasi yang muncul,ketidakpuasan masih terjadi dan bahkan sempat diwarnai dengan perpindahanpartai di antara salah seorang pengurus yang menjadi caleg PKS di Sumut.Misalnya, Wakil Ketua FPKS DPRD Provinsi Sumut, Arifin Nainggolan, yangberpindah dan menjadi caleg Partai Demokrat dalam Pemilu 2009.35 

Dalam batas-batas tertentu, komposisi caleg yang diusahakan semakin

beragam, ternyata masih mengalami keterbatasan agar bergerak pada setiappartai politik. Hal ini kembali kepada kemampuan partai itu dalam mendorongiklim pluralitas yang menjadi komitmennya, agar dapat dioperasionalkan padatataran lapangan melalui mesin partai dan jaringannya. Setidaknya, keterbatasanini dialami oleh PDS yang masih terbatas sumber pengadaan calegnya.Kalangan yang berprofesi sebagai guru/dosen/pendeta/pengusaha, adalah rata-

 32

Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW PKS Provinsi Sumut, Medan, 17 Maret 2009.  33 Ibid.34 Ibid.35

Perindahan dengan alasan ketidaksepahaman yang terjadi di antara dirinya dengan pengurus PKS lainnya. Lihat“Dashyat: Pentolan PKS Sumut Pindah Ke Partai Demokrat”, http:// forum detik.com , diakses 5 J uni 2009. 

Page 18: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 18/40

  39

rata profil caleg PDS.36 Isu partai terbuka, pada pemilu 2009, diakui ada bagicaleg setempat di provinsi Sumut, dan pasti ada pula yang beragama Islam didaerah lain. Penempatan komposisi latar belakang caleg semacam ini semakinkuat, apalagi dengan mengingat bahwa di Sumut, pertimbangan agama tidakterlalu dianggap penting untuk ditanyakan.37 Faktor-faktor popularitas dan basisekonomi partai memang menjadi pertimbangan partai dalam penempatancalegnya di daerah pemilihan. Dengan kondisi kepartaian yang masih kurangsignifikan untuk ditopang oleh pendanaa secara otonom, seperti halnya antaralain melalui kemampuan sumbangan atau iuran anggotanya, maka pertimbanganatas faktor popularitas dan finansial para calegnya menjadi sarana untukmengimbangi ketimpangan yang ada. Diakui, bahwa secara umum partai politikmasih mengandalkan subsidi dari pemerintah, di tengah proses politikpendanaan kepartaian itu sendiri yang kadangkala berseberangan denganprinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik.

Sebaliknya, peranan elit partai di tingkat pusat yang tergolongmenentukan terhadap proses penyusunan caleg, tidak terlampau terjadi secarameluas di tubuh PPP. Campur tangan secara organisasi ada, tetapi elit DPPtidak melakukan secara pribadi. Mekanisme juklak, DPD Sumut mengajukanrekomendasi ke pusat untuk dicalonkan melalui KPU. Kader asli yang lamaberkiprah lebih dominan dibandingkan orang luar yang menjadi caleg. Nomorurut satu tetap diutamakan yang menjadi atau pernah menjadi para pihak yangpernah menjadi atau kini menjabat sebagai ketua pengurus wilayah. Tercatatbahwa dari 7 caleg PPP terpilih untuk DPRD Provinsi, yang jadi caleg terpilihdalam Pemilu 2009, adalah 6 orang bernomor urut satu. Sedangkan, 1 orangcaleg terpilih adalah adalah bernomor urut 4. Konstituen dengan caleg terkait

konsolidasi partai tetap berjalan. Konsolidasi partai dilakukan sejak semula saat jajaran pengurus partai dilantik, dan dilanjutkan baik melalui media dakwah,maupun kegiatan sosial tertentu seperti halnya membantu orang lanjut usia dananak yatim piatu.

Konsolidasi partai semakin meningkat, terutama saat menghadapimomentum tertentu, seperti halnya ketika memasuki tahapan pilkada GubernurSumut. Pemanfaatan setiap media dan momentum tertentu, menunjukkan caratersebut yang ditempuh ternyata sangat efektif. Partai melakukan berbagaiusaha, antara lain melalui penjaringan secara terbuka.Internal, seperti halnya diPPP, yang dilakukan selalu setelah penyelenggaraan Rapim. Artinya, bagi PPPkeputusannya tidak pernah dijalankan di luar rapat. Pertemuan, dan pelatihan

saksi, juga intensif dilakukan. Peta dukungan di Sumut, bagi PPP terkonsentrasidi wilayah Barat, yang kebanyakan penduduknya beragama Islam dibandingkanwilayah timur yang kebanyakan non muslim. Dari 11 Dapil di priovinsi Sumut, 7Dapil yang ada, diidentifikasi banyak dipengaruhi keberadaan faktor umatIslamnya.38 Sedangkan dari sudut pertimbangan finansial, di PPP, Sumbanganuntuk penyusunan caleg, tidak terlampau menjadi sesuatu yang menentukan,walaupun di sisi lain memang dianggap penting bagi partai. Pada konteks

36 Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April 2009.37

 Ibid. 38

Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut, sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009. 

Page 19: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 19/40

  40

finansial, sumbangan yang diberikan calon dilakukan setelah memasuki masakampanye. Sumbangan dari caleg diberikan langsung kepada partai. Tetapi disini diberikan batasan oleh partai besarnya sumbangan tersebut. Kader partaiada yang menjadi wirasawastan, tetapi yang terpenting bagi PPP, di atas latarbelakang sosial itu, adalah mereka semua merupakan kader dan sekaligusanggota partai. Bahkan, di kabupaten/kota dan cabang terdata rapi terkaitkeanggotaan kartu kader PPP.

Dalam pengajuan calon legislatif mengacu padas DPP baik di provinsi dankabupaten/kota. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan, antara lain yaitu:penjaringan, seleksi administrasi dan kepatutan. Kemudian, dalampelaksanaannnya LP2L (lajnah Pemenangan Pemilu Legislatif). LP2Lmerekomendasikan kepada LPP (Lajnah penetapan calon wilayah) kabipaten,cabang. Rekomendasi dibuat kepada Nama-nama dan nomor urut oleh LP2Ldan ditetapkan LPP. Di Propinsi, ini adalah panitia di tingkat partai, pengurusnya

waki ketua DPW, Fadli Nurzal. Sesuai dengan Surat Keputusan DPP PPP No.1003/Kpts/ DPP/VI/ 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Anggota DPR, DPRDProvinsi, dan DPRD kabupaten/Kota pada Pemilu 2009, LP2L di tingkatanPusat, Wilayah, dan Cabang, melakukan rekrutmen seleksi bakal calon legislatif.LP2L melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggota DPR.. LP2LWilayah melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggota DPRD Provinsi.LP2L Kabupaten/Kota melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggotaDPRD kabupaten/kota.39 

 Tahapan rekrutmen dan seleksi yang dilakukan meliputi: (a) tahappengumuman, (b) tahap pendaftaran; (c) tahap seleksi administrasi; (d) tahapseleksi khusus; (e) tahap penugasan partai, (f) tahap evaluasi dan penilaian

akhir; (g) tahap rekomendasi.40 Tahapan yang dilakukan oleh LP2L difinalisasimelalui Surat Keputusan DPP PPP No. 128/SKC/DPP/VIII/2008 tentangPenetapan Calon Anggota DPRD Provinsi dari PPP Sumatera Utara PadaPemilu Legislatif Tahun 2009. Surat Keputusan ini menanggapi Surat DPW PPPProvinsi Sumut No.121/Int/B/VIII/2008 tanggal 18 Agustus 2008 perihalpermohonan persetujuan calon anggota DPRD Sumatera Utara. Bagi PPP,sebagai partai Islam, dan berasas Islam, menganggap dirinya tetap konsistendengan asas Islam, menghadapi kawasan Sumut yang pluralis. Kinerja caleg,cukup lumayan, hampir semuanya berjuang turun ke bawah untuk meraih. Dari 8menjadi 7 kursi, Sumut tergolong PPP nya cukup bagus dibandingkan daerahlain.41 

Adapun ditubuh PAN, DPP menggariskan aturan mainnya denganberpedoman pada aturan yag dibuatnya dalam bentuk Petunjuk Pelaksanaan(J uklak) bagi kepengurusan di daerah terkait proses penyusunan daftarcalegnya. J uklak yang ditetapkan oleh DPP adalah hasil Rakernas PAN diSemarang menjadi acuan dan ada kriteria, misalnya tingkat pendidikan, S1, S2,S3, SMA, paling tinggi 20.42 Proses pencalegan diumumkan media massa,

39 Ibid.

40 Pasal 5 Surat Keputusan DPP PPP No. 1003/Kpts/DPP/VI/2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Caa danMekanisme Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Pada Pemilu 2009.41

Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut, sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009.42

Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009. 

Page 20: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 20/40

  41

termasuk TVRI, media cetak daerah, siapapun yang merasa sehaluan dan inginmenyalurkan aspirasi melalui PAN, dipersilakan. Proses sejauh mungkindipermudah, seperti halnya mengurus KTA secara singkat. Tidak dipersulit danmemang dibuka pendaftaran dan diumumkan melalui media massa. Tidak adaperlakuan khusus bagi setiap caleg, termasuk bagi caleg yang berasal darianggota DPRD untuk mencalonkan lagi.. Seorang ketua provinsi pernahditempatkan di nomor Tahun 2008, Rakernas Surabaya, bahwa setiap kaderyang menjabat dapat mencalonkan untuk ketiga kalinya dan harus lapor kepusat. Di Sumut hanya tercatat seorang, di kabupaten/kota sebanyak 3 orang,artinya di PAN tergolong sedikit.

Masalah pencalegan di PAN berlaku secara nasional sama, berdasarkanRakernas ketetapan No. 4 tahun 2007 bahwa diberlakulan pencalegan dini.Setahun sebelum pencalegan resmi tahapan dimulai, PAN sudah memulainya.DPP dan DPW PAN memberikan kebebasan terhadap masing-masing kader

atau calon legislatifnyan untuk memilih dapilnya, sesuai tingkatan DPRDProvinsi, Kabupaten/Kota. Proses tersebut sudah mendahului dilakukan, kepadacaleg yang sudah memilih dapilnya, diharuskan melakukan sosialisasi kemasyarakat dan kewajiban pembinaan partai (membangun dan membenahi).Ada tim khusus ini ada yang tim rekrutmen, di sini setiap caleg mendaftar,setelah jalan yang bekerja Tim Evaluasi, ini menyangkut 2 hal: (1) memberikanarahan di dapil bagi caleg, (2) melakukan evaluasi dan rekomendasi kepadacaleg dan pimpinan partai, walaupun tidak mempunyai wewenang menindak. DiPAN, hasil evaluasi menentukan nomor jurut seseorang, Ketika menetapkanDCS, siapa yang nomor urut satu, hasil evaluasi menentukan berdasarkan skorranking.43 

Kalau anggota DPRD mencalonkan diri sebagai caleg, anjlok nol lagiskornya, kecuali memberikan kontribusi tertentu bagi partai. Kontribusi pribadiberupa uang caleg, mendaftar saja Rp 5 juta, anggota DPRD bebannya Rp 7,5 juta. Itu kepentingannya untuk tim pencalegan dini. Tim pencalegan dini yangmelakukan monitoring kepada caleg berjalan di setiap dapilnya. Tim inimelakukan evaluasi caleg setiap bulannya. Dari sisi politis lain adalah, siapayang dekat dengan pimpinan partai yang memperoleh nomor urut bagus.Misalnya, saya caleg Labuhan Batu mendapat nomor satu, tetapi kurangberuntung, di dapil 8 kursi di DPRD Sumutnya, ranking 7, tetapi karena kursipartai Demokrat dan Golkar tidak jadi.44 Sedangkan dari sudut proses kaderisasi,Mereka yang berkiprah berkarier di PAN diprioritaskan di nomor urut kecil

dibandingkan dengan mereka yang sebagai tokoh tiba-tiba menjadi caleg PAN.Mereka yang berasaldari non kader PAN sebelum resmi menjadi kader

PAN, harus membangun jaringan tersendiri, tidak boleh menggunakaninfrastruktur partai dan memobilisasi kader PAN untuk mendukungnya. Mayoritaskader yang menjadi caleg PAN Pemilu 2009, kebanyakan muda-muda, yaitumencapai sekitar 90 persen. Latar belakang profesi, macam-macam, wartawan,wiraswasta, pengacara, dan sebagainya. Ini semua berjalan alamiah. Segmenmasyarakat tertentu pernah dicoba dan tidak signifikan untuk dibidik PAN. Diakui,

43Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009.

44 Ibid. 

Page 21: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 21/40

  42

bahwa PAN basisnya muslim, tetapi sebagai partai terbuka, berusaha menjagapluralitas sesuai kategori masing-masing pemilih atau pendukung PAN itusendiri. Sebagai contoh, misalnya di kawassan Tapanuli Utara, kental dengannuansa Islam,, misalnya diawali dengan mengucapkan Basmallah, ayat-ayat suciAl Qur’an. Etnis keturunan Cina di Labuhan Batu, non muslim, menjadi petunjukbahwa PAN parttai terbuka. Di sampping itu, juga dari segi kepengurusan PAN,terdapat etnis keturunan dan non muslim.45 Identitas politik kebangsaan yanglebih kuat dibandingkan penggunaan sentimen primordial tertentu, seperti halnyaetnisitas dan agama, dalam pencalonan legislatif PAN tampaknya berlangsungdalam pemilu 2009 di kawasan Sumut. Ini berbeda, dengan anggapanmenguatnya sentimen etnis dan agama saat pelaksanaan Pilkada GubernurSumut tahun 2008.

Sosialisasi caleg di Dapil, partai membuat pedoman pelaksanaan pemilulegislatif tahun 2009. Ini diatur hak partai dengan infrastrukturnya dan fasilitasi

terhadap kewajiban caleg. Partai berhak memperoleh pembinaan dari calegbersangkutan dan caleg kader berhak mendapat pelayanan dari infrastrukturpartai. Mau membuat apapun sang kader, partai harus melayani. Kalauinfrastruktur partai melihat bahwa kader itu abai sebagai caleg, jaringan yangmengawasinya dapat melapor ke wilayah untuk bahan evaluasi dan ambilkeputusan. Dalam praktek di pemilu 2009, kalau terjadi sesuatu yang kurangatau pelanggaran, maka hanya sebatas teguran. Semua potensi konflik di tarikke provinsi dan jangan sampai kesan muncul terjadi konflik terbuka di internalPAN dimata publik. Konflik ini yang diselesaikan, baik antar caleg, antar calegdengan pengurus partai, dan sebagainya. Partai memberikan kemudahan bagisetiap yang menjadi caleg, prosedur dipermudah. Perjuangan di bawah adalah

murni hasil dari caleg bersangkutan, partai hanya sebatas memberikan fasilitasisecara terbatas.46 

 Tidak ada kekhawatiran kalau nanti terpilih caleg lebih loyal kepadakalangan lain dibandingkan partai. Ini karena, ada PAW sebagai katuppengaman dan semua dibicarakan terbuka sesuai dengan tahapan pemilu,dalam rangka menjaga loyalitas caleg terpilih kepada partai. Artinya, semuatahap pengambilan kebijakan terkait proses penyusunan caleg terbuka terhadapcaleg bersangkutan. Setiap kurun waktu tertentu, misalnya di kawasan tertentudiangkat koordinator zona untuk melakukan rapat terkait performance caleg didapil bersangkutan. Kalau teguran tidak mempan, maka ditegur secara tertulis. Tetapi inipun masih terganggu oleh politik uang yang terjadi secara nasional. Ini

harus diakui dalam politik Indonesia. Dengan kondisi politik uang yang masihberedar, maka penggalangan masa agar militan bagi partai menjadi sukardilakukan, Bahkan, sebaliknya, masyarakat menjadi tidak suka terhadap perilakupolitik elit di pemerintahan, dan partai. Politik menjadi pragmatis hingga diberbagai tingkatan sampai ke bawah dan dalam ruang lingkup yang tergolongkecil, seperti halnya kampung-kampung, ranting, cabang, dan sebagainya. Politikuang juga digunakan dalam rangka mendekati media massa untukmensosialisasikan caleg, kader, dan partainya.

45Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009

46Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009. 

Page 22: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 22/40

  43

 Terkait dengan keputusan MK dalam penentuan calon terpilih yangmenggunakan suara terbanyak, bagi PAN tampaknya tidak menjadi persoalan.Bahkan, sesuai dengan Surat Keputusan DPP PAN No.PAN/A/Kpts/KU-SJ /075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan CalonAnggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih BerdasarkanSuara Terbanyak PAN, kecenderungan situasi kondusif itu semakin kuatberkembang. 47 Ketentuan tentang Persyaratan Khusus di Pasal 5 SuratKeputusan DPP PAN tersebut antara lain menyebutkan: “(2) Setiap Calon harusmenyertakan Surat Pengunduran Diri dan Surat Persetujuan Suara Terbanyak.”Selanjutnya, di Pasal 13: :”(1) Perolehan suara partai dalam 1 (satu) Dapil terdiriatas jumlah total suara sah partai dan jumlah total suara sah calon; (2) Biladalam 1 (satu) kertas suara yang ditandai hanya lambang partai saja, makasuara dimaksud tidak dihitung sebagai suara sah Calon.” Pasal 14: “(1)Perolehan suara calon adalah suara yang diperoleh oleh masing-masing calon

yang dibuktikan dengan pemberian tanda pada surat suara yang ditetapkan olehKPU; (2) Perolehan suara sah masing-masing calon merupakan jumlah totalperolehan suara sah masing-masing calon dalam satu Dapil; (3) J umlah totalsuara sah calon sesuai dengan yang ditetapkan oleh KPU. Pasal 15: “ J umlahperolehan suara Calon dinyatakan terbanyak bila tidak ada di antara calon laindalam satu Dapil memiliki jumlah suara yang sama dan atau melebihi perolehansuara sah calon tersebut. Ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pembentukanmekanisme penetapan calon terpilih, mekanisme penetapan calon terpilih darisisa suara di Provinsi yang memiliki lebih dari satu Dapil, serta batas waktupenyerahan surat pengunduran diri dan surat persetujuan suara terbanyak.

Dalam menetapkan calon terpilih, PAN menempuh mekanisme sebagai

berikut:(1) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30%

dari BPP dalam satu Dapil, di mana terdapat jumlah calon lebih banyakdaripada jumlah kursi yang diperoleh partai maka kursi diberikan kepadacalon yang memperoleh suara terbanyak;

(2) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dariBPP dalam satu Dapil, di mana ada dua/ lebih calon yang memperoleh suarayang sama banyak, maka penentuan calon terpilihnya adalah: a. PeriodeisasiPAW yang sama terhadap calon tersebut; b. Periode pertama yang menjadianggota legislatif diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecildan untuk periode selanjutnya diberikan kepada nomor urut berikutnya; c.

Proses PAW dapat diajukan enam bulan sebelum periodeisasi PAW berakhir;(3) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari

BPP dalam satu Dapil, di mana jumlahnya calon lebih sedikit dari jumlah kursiyang diperoleh partai politik, maka kursi diberikan kepada calon yangmemperoleh suara terbanyak pertama dan suara terbanyak selanjutnya;

47 Surat Keputusan DPP PAN ini berlandaskan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu

Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu, Peraturan/Ketetapan KPU, AD/ART PAN, platform PAN, hasil Kongres II PAN diSemarang tahun 2005, hasil Rakernas PAN tahun 2006 di Jakarta, dan hasil Rakernas PAN tahun 2007 di

Palembang.

Page 23: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 23/40

  44

(4) Dalam hal calon tidak ada yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30persen dari BPP dalam satu Dapil, maka calon terpilih ditetapkanberdasarkan suara terbanyak;

(5) Surat keputusan partai tentang penetapan calon terpilih tersebut ditetapkanberdasarkan total suara sah calon yang memperoleh suara terbanyak, yangditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretariat J enderal DPP bagi calonanggota DPR terpilih, oleh ketua dan sekretaris jenderal DPP bagi calonanggota DPR RI terpilih, oleh ketua dan sekretaris DPW bagi calon anggotaDPRD provinsi terpilih dan oleh ketua dan sekretaris DPD bagi calon anggotaDPRD kabupaten/kota terpilih.48 

3. Impl ikasi Peranan Partai, Caleg dan Politik Lokal

Sempat terjadi perselisihan terkait dengan penempatan caleg, terutama

dikalangan PDI P dan Partai Golkar, di provinsi Sumatera Utara. Konstruksikonflik terjadi dalam masalah yang dibawa pada konteks persaingan di tubuhmasing-masing partai bersangkutan, adalah imbas dari pilkada Gubernur Sumuttahun 2008. Misalnya, di PDI P antara kelompok pendukung Rudolf Pardede dankelompok dari DPP di satu pihak, sementara di Partai Golkar, antara kelompokpendukung Ali Umri dan lawannya yang ingin menempatkan kelompok di luar AliUmri.49 Loyalitas kepada partai diharapkan dapat dihargai dalam menempatkankader partai yang kadangkala berhadapan dengan penggunaan sentimenemosional suku. Hal ini semakin ketat persaingannya ketika basis ekonomi sangcaleg juga digunakan dalam mempengaruhi partai terkait proses penempatancaleg. Sedangkan dari segi etnisitas seperti halnya keturunan India dan Cina,

tidak terlampau digunakan maksimal.Persaingan antar caleg DPRD Provinsi Sumut juga diwarnai oleh ketatnya

persaingan antar caleg kawakan dikalangan partai politik di beberapa daerahpemilihan setempat. Sejak proses penyusunan nama-nama calon dalam daftaroleh partai politik, perkiraan atas kerasnya persaingan antar caleg DPR jugamenjadi pertimbangan tertentu dalam pemasangan nama-nama kader di setiapdaerah pemilihan terkait dengan proses penyusunan daftar caleg di tingkatDPRD Provinsi. Dengan pertimbangan pemenangan pemilu dalam pemasangancaleg di setiap daerah pemilihan, maka menciptakan konteks partai terbuka yangdapat melintasi batas-batas politik emosional bersifat segmental pemilih.Semakin terbuka ruang persaingan antar partai dan caleg, mendorong partai

politik menetapkan semacam kode etik dalam rangka menjaga soliditas parakader yang saling bersaing di internal partai bersangkutan. Salah satu partaiyang mencoba menetapkan kode etik terkait dengan persaingan tersebut, adalahPartai Golkar, khususnya DPD Golkar di Provinsi Sumatera Utara. Sebagaimanadisampaikan oleh Sekretaris DPD Partai Golkar di Provinsi Sumut, Azis Angkat,bahwa mengantisipasi persaingan tidak sehat antarcaleg, baik di internal ataueksternal partai, DPP Partai Golkar mengeluarkan kode etik caleg, yang harus

48 Ketetapan Rapat Kerja Nasional Tahun 2007 Partai Amanat Nasional No. 4 Tahun 2007 tentang Pencalegan Dini DPRRI.49

Wawancara dengan Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 17 Maret 2009. 

Page 24: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 24/40

  45

menjadi pedoman bagi seluruh caleg partai berlambang pohon beringin itu.Langkah ini dilakukan menyusul keluarnya keputusan MK yang menetapkancaleg terpilih adalah peraih suara terbanyak.50 

Berdasarkan peranan elit partai yang sangat besar dalam prosespenyusunan daftar calon anggota legislatif, maka tampilnya kalangan yangberada di luar basis pengkaderan resmi partai menjadi sangat berpeluang besaruntuk turut menghiasi karakteristik para calon yang akan ditawarkan kepadapemilih. Personal elit dalam menjalin komunikasi dengan kalangan di luar partaimenjadi sangat menentukan besaran warna luar partai yang ditampilkan.Demikian halnya di internal, personal elit menjadi sangat menentukan tentangsiapa saja kader yang dianggal layak untuk tampil sebagai calon legislator.Meskipun anggota DPRD pada beberapa individu di antaranya juga merangkapsebagai pengurus partai, tetapi secara umum tampaknya peranan lingkaran elitpartai politik dalam penyusunan daftar calon dimaksud adalah tetap mempunyai

dinamika tersendiri. Kesadaran terhadap kuatnya peranan lingkaran tersebut,menyebabkan setiap orang yang ingin mencalonkan diri akan berusaha untukmenjalin komunikasi atau bahkan ikatan dengan kalangan pengurus partai yangdianggap menjadi salah satu kuci di partai bersangkutan. Ketika nomor urutmulai terpinggirkan oleh prinsip perolehan suara terbanyak, maka kemungkinanterjadinya kombinasi antara kemampuan atau asset individual dengan jaringanstruktural organisasi partai sebagai tempat dirinya bernaung, dapat menjadialternatif yang berbeda dengan masa sebelumnya.

Dengan sistem suara terbanyak untuk menentukan anggota legislatif terpilih dari parpol yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), caleg tidakhanya menghadapi persaingan dengan caleg partai lain, tetapi juga dengan

sesama caleg dari partainya sendiri. Sehingga, caleg pun tidak lagi hanyabertarung melawan caleg partai lain, tetapi juga berhadapan dengan ”kawan”dari partai sendiri dan di sini dianggap terbuka peluang bagi terjadinya konflikinternal partai. Perebutan jumlah kursi yang sudah tentu terbatas dengan petapersaingan partai dan antar caleg dalam jumlah yang luar biasa besar, jelasmembuka peluang konflik semacam itu. Dengan konstruksi peta persaingan dankemungkinan dampaknya, maka manajemen partai adalah menjadi pentingadanya. Kode etik yang diberlakukan antar caleg dalam partai politik, adalah satubentuk manajemen organisasi partai untuk mengelola potensi konflik yang dapatmempengaruhi keutuhan partai secara kelembagaan.

Pertimbangan keutuhan partai juga menjadi sangat penting ketika

menghadapi hasil pemilu yang ternyata mengundang tanda tanya atas strategipartai yang menghadapi dilema pada saat terjadi kompetisi di antara caleg dalamsatu partai yang sama. Tingginya persaingan untuk memperebutkan kursi dilegislatif tersebut, tidak saja di tingkat DPR tetapi juga di tingkat DPRD, yaitutermasuk pula di antara caleg untuk DPRD Propinsi. Pada saat kompetisi yangsangat tinggi secara personal caleg dan antar partai, maka kekurangan

50 http/www. Medan Bisnis, dikutip 24 April 2009. dalam kode etik itu memuat pasal-pasal yang harus diindahkan oleh

para caleg Golkar. J ika tidak, maka sang caleg akan berhadapan pasal-pasal yang berbicara sanksi. Tim kode etik ituterdiri dari lima orang yang berasal dari kader Golkar non-caleg. Untuk tingkat propinsi, tim diketuai Syahdansah Putra,yang saat ini menjadi Ketua DPRD Medan. Para anggota terdiri T Ery Nuryadi (kader Golkar/Bupati Sergai), RamliAriyanto (Kabiro Pemenangan Pemilu) dan HI Tarigan.

Page 25: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 25/40

  46

seimbangan politik di tingkat kelembagaan akan membawa kerugian bagi partaiyang tidak dapat mengelolanya secara proporsional. Misalnya, bagi PartaiGolkar: “penempatan caleg di dapil, jelas terkait dengan strategi partai dalampemenangan pemilu. Tetapi dalam pemilu 2009, diakui oleh Golkar sebagaisuatu kelalaian dalam menjaga keseimbangan itu, akibatnya kesadaran bahwapemilu adalah persaingan antar partai justru kurang ditekankan pada parakadernya. Kesempatan kampanye yang memang difasilitasi melalui perangkataturan, termasuk Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, justru tidak dimanfaatkanoleh partai, tetapi lebih dimanfaatkan oleh caleg. Hal ini berbeda misalnyadengan Partai Demokrat, karena mereka lebih gencar untuk mensosialisasikannomor dan lambang partainya kepada saat kampanye. Bahkan, sosialisasi yangdilakukan Partai Demokrat disebut sebagai dalam tingkat luar biasa massif untukmenarik massa pemilih.”51 Keberuntungan memang diharapkan dapat diperolehdengan gencarnya nomor urut disosialisasikan kepada pemilih, melalui

kemungkinan pilihan politik saat pemilu presiden dilaksanakan. Kondisi internalPartai Demokrat yang masih menghadapi konsolidasi organisasi setelah pemilu2004 dan menghadapi pemilu 2009, serta ketergantungannya kepada popularitasPresiden SBY, tampaknya cenderung mendorong sosialisasi nomor urut partailebih berkembang luas dibandingkan dengan pertimbangan mengkampanyekanpara calon legislatornya di daftar caleg.

 Terkait dengan asset ekonomi caleg, pada setiap partai dapat berbedadalam menjawab anggapan umum masyarakat bahwa partai pasti memerlukandana yang besar. Keberadaan caleg dengan asset ekonominya, dapat sajamempengaruhi dirinya dalam menempatkan diri atau ditempatkan oleh partainyadi dalam daftar caleg. Misalnya di tubuh PKS, keberadaan asset ekonomi caleg,

dianggap tidak terlampau menjadi faktor dominan.52 Seperti halnya penggunaanpatron personal yang tidak juga tidak berperan dominant, sehingga munculkesan bahwa PKS tidak berkepentingan dengan masalah seberapa besarseorang caleg mengeluarkan biaya terhadap proses pencaloanannya. Ini bahkanditentang keras, karena dianggap bahwa pada saat kampanye yangmenghabiskan dana caleg, seperti halnya untuk pengadaan saksi yang dibeberapa daerah justru sangat mahal pula. Sehingga saksi cukup dilakukan olehpartai.

Posisi saksi  sangat penting, karena dapat bermain antara sebagai saksipartai dan saksi caleg. Buruknya sistem perhitungan di TPS, sehingga sejak awaldi KPPS, banyak di antaranya kurang berpengalaman. Pertimbangan ini semakin

sulit, karena petugas di daerah harus merekrut orang setempat, seperti halnyatokoh adat, terlepas dari pendidikan yang kurang memadai, bahkan tidakmembaca baca tulis, kurang pengalaman di bidang pemilu, dan sebagainya.Karakteristik rekrutmen petugas pemilu semacam ini, dapat menimbulkanmasalah dan bahkan keributan tersendiri dalam perhitungan suara pemilu.53 Sedangkan di tubuh PDS, diakui bahwa untuk menjaring caleg, digunakan jaringan gereja atau kebaktian, kebaktian kebangunan rohani (KKR), sekaligus

51 Wawancara Syahdansah Putra, Ketua Bappilu Partai Golkar, DPD Provinsi Sumut Partai Golkar, Medan 17 April 2009.52

Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW Provinsi Sumut PKS, Medan, 17 April 2009.53

 Ibid. 

Page 26: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 26/40

  47

diterangkan visi dan misi PDS. Bahkan, penasehat PDS cukup banyak yangberasal dari kalangan gereja. Selain gereja, juga jalur kegiatan sosial terhadapkalangan yang terlibat di dalamnya, seperti halnya pengobatan gratis disetiapdaerah pemilihan di tingkat kecamatan, bergantian, tempat-tempat panti asuhan,panti jompo. Sementara itu dikalangan anak muda, dilakukan penggarapanterhadap organisasi sayap underbouw, PDS. Demikian halnya wanita, melaluiunderbouw yang menjadi wadah paguyuban para aktivis simpatisan PDS.

Penggunaan jaringan gereja dan komunitas kebaktian atau keagamaan,diakui sama sekali bukan berarti sikap PDS yang sektarian, karenamenggunakan sentiment sektarian dan juga bukan mengingkari kebijakansebagai partai terbuka. Bahkan, isu-isu substansial, seperti halnya gerakan antikorupsi, sebagaimana ditunjukkan pada ketiadaan kadernya yang harusberurusan dengan hukum sebagai akibat tindaka korupsi di parlemen, jugamenjadi tawaran selling point PDS pada waktu kampanye. Walaupun diakui,

bahwa dalam pencalonan anggota DPRD provinsi Sumut, baik di tingkat DCSmaupun DCT, tidak terdapat calegnya yang beragama bukan Kristen.

Mesikpun menganut kebijakan partai terbuka, PDS juga menyampaikanpencapaian tindakan kongkrit atas segala janji perjuangan bagi constiuentnyayang bernuansa kental keagamaan, seperti halnya tentang hak-hak beribadahdan kesetaraan umat beragama. Perjuangan PDS itu misalnya mengenaianggaran Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen, sehingga mengalamipersentase kenaikan yang dianggapnya cukup signifikan. Di samping itu, jugaterhadap bidang pendidikan yaitu bagi keberadaan Guru Sekolah Minggu yangmemperoleh anggaran dari pemerintah, termasuk dalam konteks APBD Sumut..Demikian pula terhadap kenaikan anggaran untuk guru agama dalam konteks

yang lebih umum, yaitu antara lain menyangkut tunjangan yang diperolehnya. 54 Penggunaan dukungan isu bagi tawaran caleg oleh partai, melalui kalanganelitnya, tampaknya menjadi sesuatu yang berarti di tengah masih lemahnyafundamental platform perjuangan partai. Masalah anggaran juga mempengaruhitingkatan kemampuan politik isu yang ditawarkan partai melalui susunancalegnya.

Anggapan mengenai pertimbangan asset ekonomi caleg dalam nominasidaftar calon dari partainya, tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Kritik tersebutterutama didasarkan pada temuan yang terjadi setelah pemilu legislatif mulaimemasuki tahapan penghitungan suara. Pada 2008-2009, 666 kasus diserahkankepada pihak terkait, yakni 631 diserahkan kepada Kapolri dan 35 kasus kepada

Kejaksaan Agung. Pengaduan paling banyak mengenai kasus korupsi dengan jumlah 297 kasus, sedangkan yang kedua adalah penipuan denganmenggunakan dokumen palsu. Diperkirakan penyebabnya adalah kelonggaranbagi pihak perseorangan atau perusahaan dalam memberikan dana kampanyebagi partai politik. Stuasi menunjukkan"satu orang dapat memberikan Rp1 miliardan perusahaan memberikan Rp5 miliar, sebenarnya melebihi sumbangan yangada dalam ketentuan di Undang-Undang No. 10 Tahun 2008.”55 

54 Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan 18 April 2009.55 Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), “Waduh, pencucian uang

meningkat”, Waspada Oline, http://www.waspada.co.id /dikutip 28 April 2009.

Page 27: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 27/40

  48

Hal di atas semakin kuat terjadinya potensi semacam itu, ketika rasio perkursi di daerah pemilihan bersangkutan yang semakin tinggi. Misalnya, untukKabupaten Tapanuli Tengah, yang memiliki 4 daerah pemilihan. Pada daerahpemilihan 4 di Kabupaten tersebut, yang meliputi beberapa kecamatan, yaituSosorgadung, Barus, Barus Utara, Antam Dewi, Sirandorung, Manduamas,tercatat sangat tinggi dibandingkan dengan 3 daerah pemilihan lainnya di wilayahsetempat. Hal ini sejak awal, diperingatkan terhadap kemungkinan penggunaan“segala cara” terhadap usaha memperoleh kursi kemenangan.56 Kemungkinanterjadinya praktek illegal atau seperti halnya antara lain politik uang tetap dicatat,meskipun di sisi lain tindakan tertentu caleg terhadap KPU tidak terjadi. Paracaleg yang bersaing diakui tidak melakukan pendekatan tertentu untukmendukung pencalonannya kepada KPU. Pada saat penghitungan suara, proteslebih banyak terjadi di tingkat PPK, sedangkan terkait protes kepada KPU,sempat pula terjadi, seperti halnya antara lain protes pemilu ulang di Tapanuli

Utara yang dianggap merugikan caleg tertentu.57 Pasca pemungutan suara pemilu, konflik antar caleg dalam satu partai

yang sama cenderung meningkat. Hal ini disebabkan faktor ketidakrelaan kalaudirinya mengalami kekalahan atau tidak memperoleh suara sebesar yangdiperkirakan sebelumnya oleh dirinya atau bahkan justru sedikit perolehansuaranya. Kasus-kasus yang terjadi secara administratif dan menyiapkangugatan secara pidana. Hal ini apakah akan dilanjutkan atau sebaliknya tidakdilanjutkan, tergantung pada mereka sendiri, termasuk dalam tindak pidana antarseorang caleg dengan caleg lainnya. Padahal, kalau mereka mampu bersikapgentle atau sportif, maka dapat berbesar hati menerima kekalahan. Sehinggakonflik antar caleg di internal partai justru tidak berkembang luas pasca pemilu.

Dengan anggapan peluang yang dimiliki adalah sama besarnya, semakinmembuat mereka saling bergerak sendiri-sendiri.58 

Mengingat kemungkinan terjadinya konflik sebagai akibat persaingandalam proses penyusunan daftar caleg, beberapa partai cenderung mengelolaproses politik itu secara hati-hati. Di PAN misalnya, berdasarkan surveyterhadap opini masyarakat partai berusaha memilih melalui forum tatap muka. Tetapi pertimbangan jalur etnisitas kesukuan dianggap tepat bagai beberapadaerah di Sumut, seperti halnya di Tapanuli Bagian Selatan, ada beberapa:faktor Marga, faktor penguasa lokal yang berpengaruh sebagai pemimpininformal, dan di samping menyadari peran dari politik uang. Kekuasaan partaiterhadap caleg dinomor urut, bukan dipertimbangan figur caleg bersangkutan.

PAN berusaha melakukan secara demokratis dalam proses penyusunan caleg.59 Sehingga, tidak terjadi konflik dalam proses tersebut. Meskipun demikian, diakuibahwa dalam konteks kepartaian di tingkat nasional, luar biasa terkait politikuang dalam pencalegan. Ini tidak sehat bagi demokrasi. Anehnya, masyarakat justru memilihnya, walaupun diketahui track recordnya yang buruk.

56http://manduamastapanulibarat.wordpress.com/2009/02/19/dalam “pemilu-2009-dimanduamas-menimbang-peluang-

caleg”,, di kutip 24 April 2009. 57 Wawancara dengan Kabag Hubungan Pelayanan Masyarakat (Hupmas) KPU Prov. Sumut., Sangkot Hasibuan, Medan17 April 2009.58

Wawancara dengan Mohammad Amien, Ketua Panwaslu Kota Medan, 19 April 200959

Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009. 

Page 28: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 28/40

  49

Oligarki elit masih menjadi penentu dalam penempatan caleg-calegdisetiap daerah pemilihan. Sehingga konstruksi partai yang cenderungsentralistis, masih kuat berperan dalam mengarahkan tawaran daftar calegdibandingkan dengan inisiatif otonom yang beranjak dari bawah. Partai politikmelalui elit yang berada di jajaran pengurus di daerah dan pusat ternyata sangatmempunyai peranan menentukan dalam penyusunan daftar caleg. Kurun waktuyang terjadi sebelum keluarnya putusan MK tentang perolehan suara terbanyakbagi caleg terpilih sebagai anggota Dewan. Membuat dinamika partai diwarnaioleh persaingan untuk mendapat nomor kecil. Sejauh yang berkembang diSumatera Utara, tidak terjadi konflik yang dapat mengarah pada potensiperpecahan partai sebagai akibat persaingan antar caleg. Ketidakpuasan diakuiterjadi terhadap proses penyusunan daftar caleg, tetapi secara keseluruhan tidaksampai menjadi konflik antar caleg atau pengurus di partai bersangkutan.Denganterjadinya perubahan atas penentuan calon terpilih, dikhawatirkan adanya konflik

antar caleg ketika masing-masing panitia pemilu saling berbeda dalammenentukan keputusan terkait berdasarkan suara terbanyak dengan posisicontreng terhadap partai. Diharapkan dengan keluarnya Perppu No. 1 Tahun2009, maka kekhawatiran itu dapat dijawab dan mencegah terjadinya kekisruhandalam penentuan calon terpilih.

Setidaknya, di tubuh PDI P dengan hubungan elit partai yang sangatterpola secara hirarkis, maka inisiatif daerah, cabang, dan ranting harusdilakukan penyesuaian dengan keinginan pusat.

Dalam wawancara penelitian disebutkan bahwa:“DPP yang menentukan keseluruhan proses caleg, DPD (dan didahuluioleh DPC) mengusulkan ke pusat, kemudian pusat memutuskan siapa

yang dicalonkan. Sehingga, tidak terdapat istilah jalan sendiri-sendiri,mulai proses dari ranting, cabang, anak cabang, kemudian ke DPD,sampai ke DPP. Semuanya harus mempunyai visi dan misi yang sama.Sebelum keputusan MK, yang menentukan calon terpilih berdasarkansuara terbanyak, PDI P sudah mempersiapkan kontrak politik yangharus ditandatangani caleg, termasuk dalam hal pemindahan dapil-nyabagi setiap caleg. Tetapi, semua ini bukan berarti intervensi, karenaada persentase setiap jenjang, kalau DPR memang pusat dominan,tetapi di jenjang DPRD, daerah yang lebih menentukan.”60 Ketika terjadi perbedaan pandangan, di PDI P semuanya diusahakan

sejauh mungkin proses penyelesaiannya melalui mekanisme yang ada. Kalau

kemudian dilahirkan keputusan, maka hal itu harus melalui hasil rapat, danditentukan apakah secara prosedural mencapai kuorum atau tidak kuorum.Dalam pembahasan semua percakapan setiap orang direkam, sebelumnya nantisampai pada tahap pengambilan keputusan. Begitu selesai dibicarakan, makaakan diambil keputusan. Keputusan bersifat final dan mengikat. Artinya, setiappengurus dan anggota harus taat kepada keputusan itu. Ketaatan ataskeputusan partai, juga termasuk dalam hal memecat orang. Tindakan ini

60Wawancara dengan Efendi Napitupulu (Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret

2009

Page 29: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 29/40

  50

dipatuhi, karena didasarkan proses pemeriksaan kesalahan yang dilakukanorang bersangkutan dan disertai argumentasinya.”61 

Sedangkan di tubuh Golkar, dalam proses pengisian daftar caleg, Golkarselalu berusaha menjalankan tahapan yang telah ditetapkan KPU, disetiaptingkatan caleg baik untuk nasional, provinsi, kabupaten/kota, agar tidak satupuntidak terlampaui.Meskipun beberapa pensiunan PNS dibuka kesempatansebagai caleg Golkar, tetapi diakuinya tetap dilakukan dalam kerangka menjaganetralitas politik birokrasi.62 Dengan ketentuan suara terbanyak pasca keputusanMK terhadap pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, makakecenderungan persaingan antar caleg baik antar kader maupun di antara kaderdengan caleg dari luar partai menjadi semakin tajam. Sehubungan itu,diharapkan agar para caleg tidak sekedar mengandalkan ketergantungandukungan politik dari pengurus di level atas partai, tetapi yang lebih penting adabagaimana dirinya mengabdi kepada kepentingan rakyat yang akan dan memilih

dirinya nanti saat hari pemungutan suara. Campur tangan elit partai dalammengelola proses penyusunan caleg dianggap sebagai usaha untukmempertahankan keutuhan organisasi partai. Hal ini juga berdasarkanpertimbangan peranan secara individual dari elit pengurus partai dalammencegah persaingan antar caleg justru memunculkan perpecahan atau kondisiyang tidak sehat ditubuh partai.

Melalui proses rekrutmen yang dilakukan terbuka dan beranjak secaraberjenjang dari ke bawah ke atas, maka penyusunan daftar caleg diusahakanuntuk mencegah terjadinya konflik yang tajam. Apalagi, jika potensi konflik yangmengarah pada perpecahan partai, maka bagi partai Golkar diupayakan secaramaksimal mungkin untuk dicegah agar tidak terjadi, Dalam kerangka pemilu

legislatif, diberikan motivasi bagi setiap caleg yang saling berkompetisi untukkepentingan bangsa dibandingkan sekedar ambisi pribadi individual, kelompokterbatas, atau bahkan partai semata.

Dalam kerangka keterbukaan publik terkait rekrutmen caleg jugadijalankan oleh PPP. Bahkan, hal ini dilakukan melalui pengumuman di mediamassa lokal dan elektronik, seperti halnya situs DPW PPP Sumut, yangmembuka partisipasi secara luas bagi setiap orang atau yang merasa dirinyatokoh setempat untuk mendaftar sebagai caleg PPP. Pembukaan ruangpartisipasi publik dalam rangka mengejar target perolehan suara PPP padaPemilu 2009 sebesar 15 persen dibandingkan saat Pemilu 2004 yang hanyamampu meraih 8,9 persen. Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu Legislatif (LP2L)

DPW PPP Sumut, H. Rizal Sirait, menyebutkan proses penjaringan bakal calegdi PPP dibuka secara umum dengan beberapa persyaratan sesuai denganketentuan partai.63 

Berdasarkan lampiran nama dan klasifikasi biodata caleg yang disetujuioleh DPP melalui Surat Keputusan No. 128/ SKC/DPP No.128/SKC/DPP/VIII/2008, secara keseluruhan terdapat 92 orang caleg PPP untukDPRD provinsi Sumatera Utara yang semuanya adalah beragama Islam. Di

61 Ibid.62

Wawancara Syahdansyah, Loc.cit.63

“PPP Sumut Buka Pendaftaran Bakal Calon Legislatif” dalamhttp;//www.inimedanbung.com, diakses 3 Agustus 2009. 

Page 30: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 30/40

  51

antara ke 92 orang tersebut, terdapat 28 orang caleg perempuan PPP yangdicalonkan pada pemilu 2009. Mereka terbagi pada 10 Dapil di ProvinsiSumatera Utara, masing-masing 23 orang caleg (Sumut I: Medan), 11 orangcaleg (Sumut II: Deli Serdang), 6 orang caleg (Sumut III: Serdang Bedagai dan Tebing Tinggi), 9 orang caleg (Sumut IV: Asahan, Tanjung Balai dan Batubara),10 orang caleg (Sumut V: Labuhan Batu), 11 orang caleg (Sumut VI: TapanuliSelatan, Padangsidempuan, Mandailing Natal, Padang Lawas, dan PadangLawas Utara), 5 orang caleg (Sumut VII: Nias dan Nias Selatan), Sumut VIII(Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Utara, Toba Samosir, HumbangHasundutan), 7 orang caleg (Sumut IX: Simalungun dan Pematang Siantara),dan 5 orang caleg untuk Dapil Sumut X (Karo, Dairi, dan Pakpak Barat) .64 

Demikian halnya, peranan elit di tingkat pusat juga sangat menentukandalam proses penyusunan daftar calegnya. Penyusunan DCS dan DCT,pencalonan DPRD provinsi, terdapat kriteria yang ditetapkan dari DPP. Partai

Damai Sejahtera (PDS) juga mengacu pada ketentuan vertikal semacam itu danhal tersebut dituangkan dalam Peraturan internal PDS, bukan dalam bentukmateri muatan yang bernama AD/ART. Garis ketentuan pusat partai itudijalankan oleh DPW. Demikian seterusnya bertingkat-tingkatoperasionalisasinya oleh cabang, kabupaten/kota, dengan tidak lepaskemungkinan adanya petunjuk atau peraturan lanjutan yang dibuat oleh DPP. 65  Tidak ada penggunaan politik uang dalam pencalonan daftar caleg. Sementaradari segi figur ketokohan di PDS, diakui tidak ada terlampau yang menonjol.Mereka yang dicalonkan oleh PDS kebanyakan merupakan pengurus partai ataupara kadernya. Tidak ada personal jalur non kader yang dicalonkan sebagaicaleg DPRD. Ini dianggap tidak menganggu urusan masing-masing, karena

saling terkait pekerjaannya dan waktunya dapat diatur, apalagi DPRD tidaksetiap hari pleno. Terkait dengan kuota perempuan, lebih ditempatkan dinomor-nomor sepatu.66 

Adapun ditubuh Partai Demokrat, dijelaskan: ”campur tangan oligarki,penyusunan bukan dilakukan di DPD, awalnya di DPD penjaringan sesuai juklak,tetapi lalu berkasnya di bawa oleh pengurus keluarga tidak diketahui di hotel atautempat mana, daftar caleg. Ketidakpuasan, disampaikan protes ke media, bikindemonstrasi. Ada riak-riak kecil, di demokrat, sesudah keluar keputusan MKsuara terbanyak, misalnya meminta kembali uang yang diserahkan, persaingantidak sehat antar caleg dalam satu dapil.” 67 Oligarki politik elit partai yang kuattampaknya dianggap bukan sebagai cermin feodalisme yang dapat menghambat

demokrasi internal organisasi partai secara keseluruhan. Hal ini dilakukan tidaksaja demi menjaga keutuhan partai, tetapi juga terkait dengan pengembanganpola komunikasi antar pengurus dan anggota partai yang dapat berjalan secaratimbal balik. Kedekatan caleg dengan constituent biasanya kalah dominandibandingkan dengan peranan elit partai terhadap para calegnya, yang nanti jugaantara lain termasuk ditempatkan sebagai anggota DPRD provinsi. Rasionalitas

64Berdasarkan Lampiran Surat Keputusan DPP PPP Nomor: 128/SKC/DPP/VIII/2008 tentang Klasifikasi Biodata Singkat

Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara.65 Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April 2009.66

 Ibid. 67

Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat, Sumut, Medan, 12 Agustus 2009. 

Page 31: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 31/40

  52

pemilih dalam menentukan pilihan politiknya tampak belum menjadi gejaladominan dalam dinamika pemilu di Indonesia. Sehingga, masalah pencitraan dantampilan figur adalah lebih berperan menentukan dibandingkan dengan platformpartai yang akan ditawarkan kepada pemilih.

Dari temuan data di lapangan, Panwas mencatat bahwa selama prosespenetapan DCS dan DCT, ternyata terdapat beberapa hal yang menjadi catatan:

Pertama, adalah status dari caleg bersangkutan, misalnya sebagai PNSatau pegawai BUMN, sekretaris desa/perangkat desa, atau bahkan sebagaikepala desa, dan diketahui sebagai pihak penyelenggara pemilu di tingkatPPS/KPPS.

Kedua, adalah persoalan dugaan penggunaan ijazah palsu ketikamelampirkan kelengkapan admistrasi saat mendaftar sebagai caleg;

Ketiga, tindakan terlampau awal terhadap diri caleg dalam berkampanyeyang berada di luar jadwal sebenarnya;

Keempat, masalah teknis nama antara yang tercantum dalam daftar calegdengan nama yang diumumkan oleh KPU setempat.

Kelima, masalah caleg ganda antara yang terdaftar di KPU Pusat danKPUD Sumut dengan nama berbeda atau partai yang saling berbeda satu samalain untuk pencalonan sebagai anggota DPR dan DPRD provinsi68 

Persoalan caleg kebanyakan adalah ijazah. Masyarakat yang melaporkankasus ini, ternyata tidak mengerti paket C. Panwas sudah berusahamenghubungi perguruan tinggi, atau sekolah tempat kelulusan caleg, bahkanhingga ke daerah lain. Kebanyakan persoalan di lokalisir hingga di tingkatadministrasi. Apabila kasusnya sampai tingkat pidana, maka penanganannya dialihkan kepada KPU. Komposisi Panwaslu yang minus J aksa dan Polisi, justru

semakin memperlemah dalam proses penanganan kasus yang dilaporkan.Seharusnya, kalau kelembagaan ad hoc, maka tidak perlu dipersoalkanindependensi personal yang menjadi keanggotaan Panwaslu, karenakeberadaannya lebih dikaitkan dengan kasus-kasus yang muncul dan harusditangani.

 Terkait dengan tindakan aparat dalam mendukung caleg tertentu, diakuipelanggaran pemilu tersebut memang ditemukan atau terjadi di lapangan.Misalnya, suami si caleg adalah pejabat, istrinya menjadi caleg, kemudian sisuami memfasilitasi istrinya sebagai caleg. Kembali masalahnya, dugaanpelanggaran yang dilaporkan kepada Panwas, ternyata posisinya tidak terlampaukuat berhadapan dengan para pembela caleg. Istri pejabat, misalnya suaminya

Bupati, artinya istri itu juga adalah ketua gerakan Pendidikan KesejahteraanKeluarga (PKK), maka dirinya dapat saja mengaku melakukan kegiatankampanye dengan alasan kegiatan PKK. Sehingga jalur PKK yang digunakan. Inisangat mudah dimanipulasi dan dianggap tidak menyalahi aturan kampanye.Diharapkan semua caleg pada saat didaftar sudah melepaskan atributnya terkait jabatan di birokrasi, apapun bentuk keterkaitan dimaksud. Kalau hal ini tidakdijalankan, maka proses penanganan pelanggaran akan susah ditindaklanjutidari laporan yang masuk dan selalu berdalih dengan alasan tertentu. Sebagai

68Data pelanggaran Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2009, berdasarkan catatan

Panwaslu Provinsi Sumut, periode harian/minggu/bulanan.

Page 32: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 32/40

  53

akibat dari pelanggaran semacam ini, maka sukar ditindaklanjuti sebagai manakasus yang dihadapi caleg, di Nias dan Labuhan Batu. Kasus pelanggaran calegterkait kampanye, adalah juga mengenai penggunaan money politics. 

 Tidak semua konflik tajam dipicu pada saat setelah proses daftar calegdiumumkan. Di tubuh PAN wilayah Sumut, misalnya, kondisi yang relatif kondusif dapat cukup terjaga dalam rangka keutuhan organisasinya menghadapipemilu 2009. Persaudaraan tidak menjadi hal penting, tetapi loyalitas danrajinnya ke turun ke dapil adalah hal penting. Berbeda suku terjadi di PAN,contohnya terdapat caleg yang bersuku Banjar, tetapi ditaruh nomor urut satu,padahal pada jajaran caleg lain terdapat yang bersuku Mandailing, Padang, J awa, Batak, dan sebagainya. Ketidakpuasan dalam penyusunan caleg sempatterjadi, misalnya mengapa ketua nomor satu dan dipertanyakan bagaimanasosialisasi ke dapil. Ketidakpuasan menggunakan sentiment komunal relatif tidak ada. Peranan partai melakukan pencalegan dini dan ada Tim ada 14 tim

yang dibagi berdasarkan Dapil masing-masing. Campur tangan DPP tidak adadalam caleg provinsi, Beda wilayah kekuasaanya yang juga DPW Prov tidakmencampuri urusan DPW Kabupaten/Kota.Tokoh masyarakat, atau yangdiistilahkan sebagai Tomas, juga dilakukan merekrut masyarakat. 69 Caleg inidiambil dari luar dan ini ditentukan oleh tim pencalegan dini, dan dirapat plenoDPW PAN. Ini tokoh masyarakat banyak yang menjadi caleg jadi PAN, misalnyadi Padang Laut Utara, tokohnya masyarakat yang direkrut justru menggeserpengurusnya. Di Sibolga, juga tokohnya yang menjadi caleg terpilih walau nomorsatu pengurus setempat, sedangkan sang tokoh nomor empat. 70 

Proses dari DCS menuju ke DCT tidak mengalami perubahan signifikan,misalnya pindah dapil, nomor urut. Bukan dilakukan oleh kebijakan partai, tetapi

lebih ditentukan caleg bersangkutan.Tidak ada usulan dari pemilih dapil untukmenentukan calegnya kepada DPW, tetapi sebagai aspirasi boleh aja kalau inginmencalonkan.Pencalegan lebih dianggap sebagai hak pribadi individu, kalau adayang mencalonkan boleh saja dan di dapil manapun atau tingkatan manapun.Catatan domisili sepanjang undang-undangmemungkinkan, maka dilaksanakansecara longgar. Dinomor urut, partai lebih berperan dalam proses penyusunancaleg.

Sesudah keluar keputusan MK, berdasarkan suara terbanyak, maka PANtidak mempunyai masalah. Seluruh caleg PAN di Indonesia untuk semuatingkatan pemilu, melakukan perjanjian dihadapan notaris ada 2: (1) perjanjiansuara terbanyak, (2) pernyataan pengunduran diri, kalau diterapkan keputusan

MK dilaksanakan di lapangan bagi caleg yang tergeser di bawahnya kalausuaranya lebih sedikit.71 Fenomena Ini biasa saja mengalami perubahan-perubahan, berdasarkan kebijakan partai. Tetapi normalnya demikian. Dalamproses pemilihan dapil caleg, bukan partai yang menentukan, tetapi calegbersangkutyan yang mau ditempatkan di mana, tetapi ini tergantung skor rankingyang diperoleh nantinya. Sesungguhnya siapa yang memperoleh kontribusibesar bagi PAN, adalah caleg bersangkutan. Kontribusi masalah uang hampir

69 Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009.70

 Ibid.71

Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009. 

Page 33: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 33/40

  54

tidak ada, paling sebatas pendaftaran Rp 5 juta, termasuk mengurus surat-suratke polisi, pengadilan, dan seterusnya. Biaya semacam ini inipun diakui banyakyang tidak membayar. Tim pencalegan dini dan evaluasi, dan pengurusaanadministrasi untuk menggunakan dana tersebut. Caleg DPRD provinsi berjumlahsekitar 60 an orang, sebagian besar tidak membayar, caleg nomor satu dan duayang lebih banyak membayar.72 

Di tubuh PAN, proses penyusunan caleg berusaha untuk berlangsungsecara bottom up. Pengaruh elit untuk mengarahkan secara vertikal diakuisebagai tidak terlampau ada dan benar-benar otonom masing pengurustingkatan dalam menyusun caleg. Pegangan dalam proses penyusunan calegadalah berdasarka hasil Rakernas 2007. Caleg yang tersusun benar-benardisusun benar-benar keinginan bersangkutan. Prosesnya berjalan demokrasi dan jauh dari campur tangan elit partai secara vertikal atau bahkan sangatminim.Sehingga proses nya diharapkan benar-benar berjalan otonom masing

pengurus tingkatan dalam menyusun caleg. Pegangannya adalah kembali jugakepada hasil Rakernas 2007.73 

Caleg yang tersusun benar-benar dianggap berusaha untuk sejalanaspirasi pemilih di satu pihak dan memperhatikan track record calonbersangkutan dipihak lain.. Relatif tidak ada konflik dalam penyusunan caleg,dan kejadian saling geser nomor urut memang terjadi, tetapi skor tetapmemegang hasil akhir yang diperoleh caleg bersangkutan. Tetapi, ini masih adabatas toleransinya. Artinya, hanya itu kelebihan pimpinan partai tidak lebih darikewenangan demikian. Kasus ditemui di Asahan, dan Medan, sempat menjadiperdebatan soal nomor urut, Sesudah diambil keputusan semua menerima,walaupun kedakpuasan.74 Dalam proses penyusunan caleg, DPP mengeluarkan

Ketetapan Raker I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006, tentangRekrutmen dan Evaluasi Calon Legislatif Periode 2009-2014. Dalammelaksanakan proses rekrutmen, monitoring dan evaluasi Bacaleg PAN, DPPmembentuk 3 tim yaitu: tim pendaftaran cacaleg; b. tim klarifikasi dan verifikasidata bacaleg; dan c. tim monitoring bacaleg. Sesuai dengan ketetapan RakerPAN itu, maka sumber rekrutmen bacaleg berasal dari: (1) anggota ataupengurus partai yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota (KTA); (2) tokoh-tokoh masyarakat yang direkrut sejak dini dan mendukung pemenangan pemilu;(3) memperhatikan keberadaan bacaleg perempuan di nomor urut 1 sampaidengan 30 persen dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi daerah.75 

KPUD Sumut mengakui sosialisasi daftar calon sementara (DCS) DPRD

Sumut untuk Pemilu 2009 yang diumumkan lewat dua media cetak lokalbeberapa waktu lalu tidak memiliki hasil yang maksimal. Bahkan penunjukan duabuah media cetak itu juga dinilai tidak sesuai dengan aturan yang ada. Karenaketidakefektifan sosialisasi itu, KPU Pusat pun akhirnya memperpanjang masasosialisasi DCS hingga 14 Oktober 2008. Tetapi KPUD mengaku tidakmengetahui, apakah sosialisasi DCS itu akan disebarkan ke banyak media atau

72 Ibid

73 Ibid.74 Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 200975

Pasal 9 Ketetapan Raker Nasional I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006 tentang Rekrutmen dan Evaluasi CalonLegislatif PAN Periode 2009-2014. 

Page 34: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 34/40

  55

kembali hanya dimonopoli oleh media-media tertentu saja. Penguasaan mediaoleh kalangan elit di pusat dan jaringannya di provinsi Sumut semakinmengkristalkan posisi dominan para elit yang muncul dan pada gilirannyamembuat masyarakat pemilih menjadi semakin terbatas pilihan politiknya.Padahal, dengan semakin terbukanya akses media dan sikap kritis masyarakatterhadap pilihan politik yang ditawarkan oleh setiap peserta dalam pemilu,seharusnya menuntut peluang pilihan politik yang diperluas. Hal ini dapatmemicu semakin meluasnya sikap apatis masyarakat terhadap politik dansekaligus membuat semakin tingginya angka golput di Sumut, yang sejak pemilu2004 cenderung meningkat.

Dengan DCS dan DCT yang sangat berorientasi pada kepentinganoligarki elit partai, maka pemahaman pendidikan politik atas salah satu fungsipartai politik justru semakin terpinggirkan. Sebaliknya, dengan mengejar unsurpopularitas dari setiap calon yang dimunculkan, maka unsur dedikasi, integritas

dan sekaligus kemampuan para calon wakil rakyat di DPRD kalah bersaing untukmenjadi tawaran yang menarik bagi pemilih. Lembaga politik yang adaptif terhadap perkembangan lingkungan sekitar dibutuhkan dalam rangkamenghindarkan terjadinya guncangan sistem politik. Kerangka stabilitas demikiansekaligus menghindarkan penggunaan pendekatan yang sangat menekankanpada unsur represif terhadap aspirasi yang muncul dan kemungkinan manipulasiatas persaingan ketat di antara para stake holder  dalam proses pengambilankebijakan publik.

Sumber daya partai politik adalah faktor penting dalam rangkamemadukan di antara tuntutan masing-masing pendekatan yang harus dilakukankelembagaan sistem politik. Ini ditandai dengan kemampuan dari setiap calon

pemimpin yang dikader oleh partai bersangkutan untuk menjalankan mandatyang sudah dipilih oleh rakyat saat pemilu. Pada konteks menjelang pemilu2009, tampaknya para caleg masih menggunakan “cara coba-coba untukmengadu nasib” dengan menempatkan namanya dalam daftar yang disampaikanoleh partai politik kepada KPU daerah setempat. Akibatnya, persaingan antarcalon lebih bersifat lintas organisasi secara vertikal dengan menempatkan akseskepada penguasa partai di puncak lebih sebagai prioritas dibandingkan denganberusaha memperkuat akar di daerah pemilihan. Padahal, usaha memperkuatpijakan di akar daerah pemilihan justru sangat penting menghadapi ketentuanperaturan perundangan-undangan pemilu yang menekankan perolehan suaraterbanyak dibandingkan nomor urut.

Pertimbangan prioritas untuk mencoba mendekatkan pola pencalonansecara vertikal yang sangat elitis pada gilirannya hanya memancing hambatanbagi kelembagaan partai agar berkembang secara sehat. Artinya, polapencalonan semacam itu mendorong penyumbatan ruang bagi aliran proseskaderisasi yang berlangsung secara matang dan bahkan mendorong kondisirendahnya disiplin atau militansi para anggota partai untuk memiliki kemampuansecara memadai terhadap langkah menerjemahkan lebih lanjut di tingkatformulasi dan pelaksanaan setiap kebijakan atau ketentuan yang digariskan olehpartai. Menjadi menarik, bahwa prioritas pendekatan kepada elit partai justrumembuka peluang terkait kemungkinan pelanggaran persyaratan sebagai

Page 35: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 35/40

  56

peserta pemilu. Hal ini disebabkan oleh tingginya iklim “persekongkolan” diantara faksi-faksi yang ada d internal partai bersangkuan dalam rangkamemenangkan persangan pemilu, tidak saja terhadap calon dari partai lain,tetapi juga terhadap calon dari sesama partainya sendiri. Politisasi ikatan-ikatanpertemanan atau melalui jaringan kekerabatan, dianggap kurang kondusif bagilahirnya para kader yang memiliki komitmen. integritas dan kemampuanmemperjuangkan aspirasi rakyat yang akan diwakilinya pada saat nantinya kalaumemang terpilih.

Dengan rendahnya kapasitas kelembagaan partai dan terlampaubesarnya peluang subyektivitas elit partai bermain dalam daftar calon, makasegala proses politik yang berkembang dari seleksi politik para caleg menjadisangat tergantung pada kemampuan individu masing-masing anggota DPRDtersebut ketika nantinya terpilih dari hasil pemilu. Di satu sisi, ini tentumendorong hubungan DPRD dan eksekutif daerah tidak terdorong terjebak pada

kondisi yang bersifat friksi tajam terkait pembahasan isu-isu daerah tertentu. Tetapi di sisi lain, stabilitas pemerintahan daerah yang dijalankan menjadi lemahkontribusinya bagi mendorong demokratisasi secara lebih luas di daerah. Crusialpoint dari relasi antar variabel semacam ini, adalah kemungkinan manipulasi ataskepentingan publik di tingkat lokal menjadi terbuka terhadap permainan elitpolitik. Otonomi daerah masih menghadapi tantangan besar dalam memberikandampak positifnya terhadap dambaan peningkatan kesejahteraan rakyat didaerah. Bahkan, sebaliknya, peluang permainan elit justru dapat membuatsumber daya negara untuk pembiayaan otonomi daerah, justru mudahdimanfaatkan bagi proses politik dikalangan elit partai terhadap segala biayatinggi yang sudah dikeluarkannya saat persaingan di penyelenggaraan pemilu.

IV. Penutup

Peranan elit partai, dalam hal ini mereka yang duduk dalam strukturkepengurusan organisasi partai bersangkutan, sangat besar terhadap prosespenyusunan daftar calon legislatif, baik di tingkat DCS dan DCT. Meskipunterdapat panduan berupa AD/ART dan J uklak/J uknis partai, tetapi berbagaidinamika politik dapat terjadi dalam tataran operasional proses penyusunandimaksud. Sehingga, pergeseran nama dan lokasi dapil bagi setiap caleg sangatmudah terjadi terkait dengan berbagai kepentingan atau aspirasi yang harusdipenuhi oleh partai. Strategi partai dalam memenangkan pemilu dan koneksi

politik yang terbangun di antara caleg dan elit partai, biasanya melandasiberbagai dinamika politik terhadap penyusunan daftar calon legislatif.

Di tingkat daerah, seperti halnya terkait proses penyusunan daftar calegDPRD Provinsi, partai politik biasanya tetap mengacu pada arahan yang dibuatoleh dewan pengurus pusat. Ruang penentuan keputusan tetap diberikan padapengurus wilayah sepanjang tetap dalam ketentuan yang digariskan oleh pusat.Proses desentralisasi kepartaian mulai berjalan pada beberapa partai tertentu,sementara masih ada pula yang masih kuat dengan kesan sentralisasinya.Keseluruhan proses politik pengendalian kepartaian yang dijalankan bertujuanuntuk mencegah terjadinya benturan kepentingan yang dapat mengarah kepada

Page 36: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 36/40

  57

perpecahan. Tetapi, dengan fundamental kelembagaan partai yang masih belumkukuh, maka masih ditemui adanya cara-cara ekstra konstitusional kepartaianberdasarkan selera pribadi elit semata dan mengabaikan nilai-nilai esensialdemokrasi terkait proses penyusunan daftar caleg. Dengan konstruksikelembagaan demikian di tengah cara-cara ekstra legal yang berkembang, makaarti aspirasi proses penyusunan secara bootom up menjadi tidak artinya danbahkan menciptakan keresahan. Meskipun keresahan belum memicuperpecahan internal partai yang lebih parah, tetapi kehidupan partai bagi parakader dan pendukungnya dapat menjadi tidak sehat. Kasus-kasus pelanggaranadministrasi dan/ atau hukum yang ditemui saat penyusunan caleg, justru masihditemui dan temuan Panwas masih lemah untuk ditindaklanjuti. Kelemahanpenegakan etika dan hukum demikian semakin kuat, ketika para caleg yangdiduga melanggar memiliki ikatan kekerabatan dengan elit politik partai yangmemegang posisi kunci kekuasaan.

Dengan segala kekurangannya, partai politik mulai menetapkan kriteriadalam persyaratan kader dan simpatisan yang ingin bergabung sebagai calegnyaterkait dengan ketentuan loyalitas dan pengalaman berorganisasi dimilikinya. Tetapi, biasanya ini masih sebatas pada kriteria awal, yang mudah berubahketika memasuk tahap-tahap menentukan dalam proses penyusunan DCShingga apalagi saat DCT. Diakui masih adanya peluang terjadi politik uang danpola kerabatan serta pertemanan masih mengalahkan ketentuan nilai-nilaiideologis partai dan profesionalisme kerja yang seharusnya diterapkan. Disamping itu, juga dapat dilakukan rekrutmen caleg terhadap anggota ormasonderbouw partai bersangkutan. Mereka menyebut jalur tersebut bukan bersifatresmi kelembagaan, karena tidak terdapat kewajiban partai untuk

mengakomodasi calon dari ormas dimaksud. Bahkan, di luar politik uang, kaderdari ormas semacam ini, dapat menjadi prioritas nomor urut kecil dibandingkantokoh dari luar yang ikut mencalonkan diri. Sebaliknya, penggunaan isu dalammendukung keberadaan caleg yang ditawarkan oleh partai politik tampaknyabelum mempunyai kekuatan yang menentukan dalam pilihan politik partai.Fundamental platform partai yang tidak terlampau mapan keberadaannya,terlihat masih menjadi kendala dalam pengembangan politik isu terkait aspirasipemilih untuk menjangkau berbagai potensi lapisan pendukung saat pemilunantinya.

Satu hal yang dapat dicatat dari pola emosional minus yang masih eksistadi, adalah kesadaran terkait dengan integrasi bangsa mulai tumbuh kuat. Tidak

terkait persoalan, apakah partai itu bersifat terbuka atau tertutup, maka pilihandapil dan bakal calon yang akan ditempatkan mulai bersifat terbuka dan tidakmenutup diri bagi lahirnya kalangan etnis lain untuk turut di dalamnya. Artinya,partai dengan simbol ideologis tertentu tidak terjebak pada komunitas yangbersifat eksklusif secara fisik. Sehingga, pembedaan antara partai nasionalissekuler dan nasionalis agama, tampaknya semakin cair sifatnya dan dapat terjadiinteraksi muatan nilai-nilai antar satu sama lain anggota dan pendukungnya.Dengan rekrutmen keterbukaan yang dibangun, menyebabkan persaingan antarcaleg berkembang menjadi tajam, dan berpotensi terjadi konflik. Persaingan tidaksaja antar caleg yang berasal dari kader partai bersangkutan, tetapi diwarnai

Page 37: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 37/40

  58

oleh para tokoh setempat yang ikut mencoba mencalonkan atau dicalonkan olehpartai. Pada konteks tertentu, dapat saja diterapkan semacam kode etik,sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Golkar terhadap para celegnya diDPRD Propinsi Sumut.

Pada beberapa partai tertentu, mencoba menerapkan evaluasi terhadapbeberapa kader yang duduk sebagai anggota DPRD untuk mencalonkan diri diperiode keanggotaan berikut. Dibangun sebuah institusi yang melakukanevaluasi dan memberikan masukan kepada DPD untuk mengambil keputusanterhadap proses pencalonan caleg bersangkutan. Evaluasi terutama mengenaikinerja bagi caleg ketika menjalankan perannya sebagai anggota DPRD dantanggapan dari masyarakat pemilih di daerah pemilihan selama dirinya bertugas.Bahkan, pada kasus lain dalam rangka mendorong proses regenerasi dansekaligus penyegaran, partai dapat saja menerapkan ketentuan bahwa seorangcaleg, termasuk sebagai anggota DPRD, hanya diperkenankan menjabat selama

dua periode keanggotaan dan tidak boleh lebih dari itu. Tanpa kelembagaan partai yang mentati aturan main yang sudah

dibuatnya, tingginya campur tangan elit dapat tergelincir pada tindakan yangmemunculkan persaingan tidak sehat antar calon. Apalagi, setelah MK memutuskan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dan bukan lagi padanomor urut, maka potensi peranan elit partai yang terlampau berlebihan akanberdampak kurang produktifnya partai dalam aktif dan memformulasikan isu-isupubliknya di saat kampanye. Secara umum, ketika terjadi konflik terkait prosespenyusunan daftar caleg di kalangan partai-partai, tidak terlampaumempengaruhi kehidupan politik di tingkat lokal setempat. Pengaduan resmimelalui surat yang disampaikan, atau bahkan selebaran bernada menghasus

dan desas desus, hanya sebatas terjadi di antara anggota partai yang salingbersaing sebagai caleg beserta pendukungnya masing-masing. Kemampuanpengurus partai dalam mengelola perbedaan kepentingan dan pendapat yangterjadi dalam masalah tersebut, akan menentukan nasib partai itu sendiri agartidak terjebak pada konflik internal yang lebih parah.

Di samping kemampuan para pengurusnya, kelembagaan partai yang taatpada aturan main sebagai mekanisme dan substansi pergerakan politiknya, jugasangat penting dalam rangka menegakkan sistem kepartaian yang bersifatkompetitif. Partai tidak terjebak pada pola kartel yang diwarnai oleh transaksitertentu berjangka pendek antar diri dengan para calegnya yang justru akanmematikan prospek partai itu sendiri dijangka panjang. Bahkan, yang harus

dicatat adalah sistem kepartaian yang kompetitif sangat bermakna penting bagikehidupan demokrasi.

Beberapa partai mulai melakukan penjaringan secara terbuka dalamrangka memperoleh nama-nama calonnya. Pada tahap demikian, biasanya tokohmasyarakat setempat yang berada di luar keanggotaan dapat diajak atau ikutbergabung atas inisiatif dirinya sendiri. Dengan pola semacam ini, terjadikombinasi antara kader anggota yang meniti karier dalam jangka waktu tergolonglama dengan tokoh populer dikalangan masyarakat. Pola semacam ini dapat sajadiwarnai oleh kombinasi tertentu, seperti halnya ketentuan yang menempatkanskala prioritas bagi kader pemegang jabatan kepengurusan partai atau

Page 38: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 38/40

  59

berdasarkan senioritas untuk memperoleh nomor urut kecil atau atas. Prioritasuntuk penempatan urutan juga kadangkala dibarengi oleh penempatan dapil-dapil mana saja yang akan ditempati oleh para caleg yang memegang posisistrategis di partai.

Daftar Pustaka

BukuAmbardi, Kuskrido, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Studi tentang

Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan PopulerGramedia dan Lembaga Survei Indonesia, J akarta, 2009. 

Cheibub, J ose Antonio, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy,London, Cambridge University Press, 2007.

Chilcote, Ronald H, Theories of Comparative Poltics: The Search for Paradigm,Westview Press, Boulder, Colorado, 1981

Diamond, Larry, Developing Democracy Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta, 1999 

Hamidi, Metode Penelitian Kualititatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposaldan Laporan Penelitian,, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang,Malang, cetakan ketiga, 2008

Heri, Zulfan, Legislator Menuai Kritik, ISDP (Indonesian Society for Democracyand Peace), Pekanbaru, Riau, 2005. 

Katz, Richard S., dan William Crotty, Handbook of Party Politics, SagePublication, London, 2006

Mandan, Arief Mudatsir, Krisis Ideologi: Catatan Tentang Ideologi Politik KaumSantri, Studi Kasus Penerapan Ideologi Islam PPP, Pustaka IndonesiaSatu, J akarta, 2009

Manalu, Dimpos, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi KasusGerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS. PT Inti Indorayon Utama diSumatera Utara, Yogyakarta, Gajahmada Univ. Press kerjasama dengankelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM), 2009

Ratnawati, Tri, Pemekaran Daerah: Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Ware, Alan, Political Parties And Party System, Oxford University Press, Oxford-New York, 1996

DokumenPelanggaran Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota

2009, Catatan Panwaslu Provinsi Sumut, periode harian/minggu/bulanan.Ketetapan Raker Nasional I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006 tentang

Lampiran Surat Keputusan DPP PPP Nomor: 128/SKC/DPP/VIII/2008tentang

Ketetapan Rapat Kerja Nasional Tahun 2007 Partai Amanat Nasional No. 4 Tahun 2007 tentang Pencalegan Dini DPR RI.

Klasifikasi Biodata Singkat Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Page 39: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 39/40

  60

Rekrutmen dan Evaluasi Calon Legislatif PAN Periode 2009-2014.Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.Surat Keputusan DPP PAN ini berlandaskan pada Undang-Undang No. 10

 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRDProvinsi/Kabupaten/Kota, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentangPenyelenggara Pemilu, Peraturan/Ketetapan KPU, AD/ART PAN, PlatformPAN, hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005, hasil Rakernas PANtahun 2006 di J akarta, dan hasil Rakernas PAN tahun 2007 di Palembang.

Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, Calon AnggotaLegislatif Terpilih DPRD Provinsi Sumut Partai Demokrat: PerbandinganPemilu 2009 dan Pemilu 2004 Dengan Karakteristik Sosial Politiknya, ”Medan, 2009

Surat Keputusan DPP PPP No. 1003/Kpts/DPP/VI/2008, tentang PetunjukPelaksanaan Tata Cara dan Mekanisme Pencalonan Anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Pada Pemilu 2009.Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan

DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 

WawancaraWawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13

Agustus 2009.Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April

2009.Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW Provinsi Sumut PKS, Medan,

17 April 2009.Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat,

Sumut, Medan, 12 Agustus 2009.Wawancara Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 17 Maret2009.Wawancara dengan Efendi Napitupulu (Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD

PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret 2009Wawancara dengan Mohammad Amien, Ketua Panwaslu Kota Medan, 19 April2009Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan,

13 Agustus 2009

Wawancara dengan Syahdansah Putra, Ketua Bappilu Partai Golkar, DPDProvinsi Sumut Partai Golkar, Medan 17 April 2009.

Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut,sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009.

Wawancara dengan Kabag Hupmas KPU Prov. Sumut., Sangkot Hasibuan,Medan 17 April 2009.

Situs Internethttp;//www.inimedanbung.com, diakses 3 Agustus 2009.

Page 40: Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

7/15/2019 Pemilu Legislatif 2009 Dan Kesiapan Infrastruktur Politik Demokrasi Di Daerah Bab 2 2009

http://slidepdf.com/reader/full/pemilu-legislatif-2009-dan-kesiapan-infrastruktur-politik-demokrasi-di-daerah 40/40

 http://www.waspada.co.id, diakses 28 April 2009.http://manduamastapanulibarat.wordpress.com/2009/02/19/”, diakses 24 April

2009. http/www. Medan Bisnis, diakses 24 April 2009.dpr.go.id/assets/images/pic/ruu Sedang Dibahas, diakses 16 J uli 2009 http:// forum detik.com , diakses 5 J uni 2009.

Surat Kabar “KeIndonesiaan-Sumatera Utara (2): Perbesar Pemekaran, Bukan Perbesar

Anggaran”, Kompas, 1 J uli 2009.“ J aring Pengaman Demokrasi”, Kompas, 4 J uli 2009.