Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

64
LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA KABUPATEN PROBOLINGGO KERJASAMA KPU KABUPATEN PROBOLINGGO FISIP UIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2015

Transcript of Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

Page 1: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

LAPORAN

HASIL PENELITIAN

PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA

KABUPATEN PROBOLINGGO

KERJASAMA

KPU KABUPATEN PROBOLINGGO –

FISIP UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA

2015

Page 2: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Ilahi Robbi kami panjatkan bersamaan dengan

selesainya penulisan laporan penelitian tentang pemilu dan partisipasi pemilih

warga di kabupaten Probolinggo. Terimakasih yang sebesar-besarnya kami

ucapkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Probolinggo atas

kepercayaan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan riset partisipasi pemilih ini.

FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan fakultas baru yang lahir mengiringi

perubahan IAIN menuju Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. FISIP

UIN Sunan Ampel terdiri dari tiga prodi yakni Sosiologi, Ilmu Politik dan

Hubungan Internasional. Selain tiga prodi didalamnya juga terdapat laboratorium

yang concern mengkaji dan meneliti persoalan politik dan sosial kemasyarakatan.

Penelitian ini, bagian dari kiprah laboratorium FISIP UINSA untuk terlibat dalam

ikhtiar penyehatan demokrasi dan kepemiluan.

Kami mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum yang telah menggelar riset demi

menjamin keberlangsungan demokrasi. Demokrasi itu bagaikan tanaman yang

apabila tidak dirawat perlahan namun pasti menjadi layu dan membeku (Frozen

Democracy). Yang perlu disegerakan adalah upaya pendalaman demokrasi, atau

meminjam istilah Giddens, demokratisasi atas demokrasi (democratizing

democracy). Dan Riset yang telah dilakukan ini merupakan langkah awal bagi

pendalaman demokrasi dimaksud. Tak lupa apresiasi saya juga bagi tim peneliti

yang telah menyelesaikan riset ini.

Akhirnya , kami berharap semoga hasil penelitian ini banyak membawa manfaat.

Surabaya, Juli 2015

Dekan,

ttd

Prof. Akh. Muzakki, Grad. Dipl. SEA., M.Ag, M.Phil., Ph.D

Page 3: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................

Daftar Isi……………………………………………………………………

i

ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............……………………... 1

1.2. Rumusan Masalah........................................... 3

1.3 Kerangka Teoritik..................……………….. 3

1.4 Tujuan Penelitian....………………………….. 7

1.5

1.6

1.7

1.8

1.9

Manfaat Penelitian...................……………...

Metode Penelitian...........................................

Rencana Anggaran……………………………

Alokasi waktu..................................................

Sistematika.......................................................

7

7

10

10

11

BAB II : KERANGKA TEORITIS

2.1.

2.1.1

Partisipasi Politik................................

Partisipasi Politik dalam Pandangan Elitisme

demokrasi dan Pilihan Rasional.....................

12

13

2.2 Partisipasi Politik dalam Berbagai Sistem

Pemerintahan.................................................

15

2.2.1

2.2.2

2.2.3

2.2.4

Partisipasi Politik di Negara Otoriter.............

Partisipasi Politik di Negara Berkembang.....

Partisipasi Politik di Negara Demokrasi........

Partisipasi Politik di Negara Liberal..............

16

17

19

20

BAB III : PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA

KABUPATEN PROBOLINGGO

3.1. Pengetahuan Politik Lokal dan Nasional……… 29

3.2. Motif dan Partisipasi Warga dalam Pemilu....... 38

3.2.1. Pandangan Warga Di Lima Kecamatan.…........ 47

Page 4: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

iii

.

BAB IV : PENUTUP

4.1 Kesimpulan…………………………………….. 58

4.2 Saran……………………………………………. 69

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 5: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tercatat sebanyak 11

(sebelas) kali pemilu telah dilaksanakan dalam tiga rezim pemerintahan yang

berbeda. Pemilu tahun 1955 adalah pemilu untuk pertama kalinya

diselenggarakan pada masa rezim orde lama, kemudian orde baru

menyelenggarakan pemilu sebanyak 6 (enam) kali dan di era reformasi telah

menyelenggarakan pemilu sebanyak 4 (empat) kali yakni pemilu tahun 1999,

2004, 2009 dan tahun 2014 tahun lalu1. Penyelengaraan pemilu secara berkala

mulai orde lama sampai orde baru bertujuan untuk memilih anggota legislatif di

berbagai tingkatan pemerintahan. Namun, di era reformasi, pemilu, selain

memilih calon angota legislatif juga memilih pejabat publik di lingkungan

eksekutif mulai presiden sampai bupati/walikota. Pemilu untuk memilih calon

kepala daerah ditingkat provinsi maupun kabupaten lazim disebut pemilu kepala

daerah (Pemilukada/Pilkada).

Pemilihan umum merupakan sarana legal untuk pergantian kekuasaan.

Disamping bertujuan untuk pergantian kekuasaan, pemilu juga bermanfaat

sebagai ruang evaluasi atas kepemimpinan lima tahunan oleh masyarakat.

Pemilihan umum atau disingkat pemilu dalam tataran praksisnya adalah proses

pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-

jabatan politik tersebut mulai dari presiden, gubernur, bupati/walikota serta

wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan.

Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana

perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang

demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh

1 Sejarah Pemilu, Dokumen KPU RI

Page 6: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

2

2

penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan

akuntabilitas.

Penyelenggaraan pemilu dalam tiap periode pemerintahan mengalami

dinamika tersendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Pada rezim orde lama,

untuk pertama kalinya pemilu dilaksanakan pada tahun 1955, sepuluh tahun

setelah Indonesia merdeka. Rencana menggelar pemilu pada tahun 1946 gagal

karena sebab utama yakni tidak siapnya perangkat undang-undang pemilu dan

kesibukan para pemimpin Negara melakukan konsolidasi akibat ketegangan

antar kekuatan politik di Indonesia. Pemilu untuk pertam kalinya ini, berhasil

diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.

Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-

negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari

seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Rezim orde baru, yang

memerintah mulai tahun 1967 melalui sidang MPRS memulai pemilu pada tahun

1971. Pemilihan Umum pada masa orde baru senantiasa menguntungkan penguasa

yakni partai Golkar. PNS selaku aparatur pemerintah, secara normatif harus

netral, namun dalam praktek ada tekanan untuk menyalurkan aspirasi politiknya

kepada Golkar. Massa pemilih juga tidak bisa leluasa mengekspresikan aspirasi

politiknya secara leluasa. Akibatnya, kondisi ini menyebabkan sikap apatisme

masyarakat terhadap politik dan pemilu.

Di era reformasi merupakan pemilu dimana aspirasi terbuka luas dan

leluasa, kesempatan politik bagi seluruh anggota masyarakat terbuka lebar dan

untuk siapa saja. Baik sebagai pemilih maupun anggota masyarakat yang ingin

tampil sebagai pejabat publik. Pemilu di masa ini senantiasa diwarnai kejutan

perubahan-perubahan perilaku politik yang berubah dengan sangat cepat. Pada

pemilu tahun 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya rezim orde baru, pemilih

dapat diidentifikasi sebagai pemilih aktif dan partisipatif. Para pemilih secara

sukarela membiayai partai maupun calon yang didukungnya, juga dalam

pelaksanaan pemilu senantiasa menyediakan biaya dan waktu jika dibutuhkan.

Namun dengan cepat kondisi berubah, massa pemilih yang diliputi suasana

Page 7: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

3

3

penuh kesukarelaan tersebut berubah menjadi pemilih berwatak transaksional.2

Pemilih transaksional ini mulai dikenal sejak pemilu tahun 2004 lalu dan terus

mengalami perkembangan mengkhawatirkan sampai pemilu tahun 2009 dan 2014

lalu. Partisipasi politik warga yang awalnya di dorong oleh keinginan terdalam

untuk terlibat dalam pembenahan pembangunan politik namun dalam

perjalanannya banyak terciderai oleh perilaku politik transaksional.

Melihat fenomena tersebut, menarik untuk dilihat lebih mendalam

tentang partisipasi politik warga terutama berkenaan dengan bagaimana para

pemilih memaknai politik lokal serta pemilu.

II. Rumusan Masalah

Untuk melihat gambaran melek politik warga dalam pemilu terangkai

dalam pertanyaan penelitian berikut:

a. Bagaimana pengetahuan warga tentang politik lokal berkenaan dengan

peran Bupati dan DPRD di era Pemilihan Kepala Daerah Langsung?

b. Bagaimana Partisipasi Pemilih saat Pelaksanaan Pemilu serta Motif yang

Melatarbelakangi?

III. Kerangka Teoritik

Partisipasi politik dalam studi analisis modern, awalnya hanya difokuskan

kepada keberperanan partai politik dalam mewarnai pemerintahan, namun dalam

perkembangannya juga mempelajari bagaimana kelompok-kelompok masyarakat

(NGO, Ormas, OKP, organisasi profesi) terlibat dalam memengaruhi

pengambilan kebijakan. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai respon atas

kekecewaan terhadap kinerja partai politik yang dinilai tidak optimal

memperjuangkan aspirasi beragam masyarakat.

Partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif

individu ataupun kelompok dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan

2 Kacung Maridjan, Perilaku Pemilih Paska Runtuhnya Orde Baru, Makalah yang disampaikan

dalam diskusi dosen di Surabaya, 2008.

Page 8: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

4

4

yang berdampak pada kehidupan mereka. Proses aktif bisa berbentuk oposisi

maupun loyalis pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan melalui

penggunaan hak pilihnya pada saat pemilihan umum baik itu pemilu presiden,

gubernur maupun Bupati/Walikota, menghadiri rapat umum, mengadakan

hubungan (contacting) ataupun lobi-lobi dengan pejabat pemerintah atau anggota

parlemen, menjadi anggota partai politik ataupun kelompok penekan (pressure

group).

Dari contoh ini jelas bahwa partisipasi politik bukan sekedar memberikan

suaranya pada saat pemilu melainkan secara aktif melakukan gerakan, yang

langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi proses pembuatan

keputusan.

Beberapa ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang

partisipasi politik. Herbert McClosky memberikan pengertian, ”partisipasi

politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung

atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.3

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson4 secara eksplisit

memasukkan tindakan ilegal dan kekerasan kedalam pengertian tentang

partisipasi politik, “partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak

sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan

keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,

terorganisir ataupun sporadis, legal atau illegal, secara damai atau dengan

kekerasan, efektif atau tidak efektif”. Dari pengertian yang diberikan oleh

Huntington jelas memberikan tekanan pada kegiatan untuk memengaruhi proses

pengambilan kebijakan, yang dapat ditempuh dengan jalan apa pun.

Partisipasi Politik dalam Pandangan Penganjur Elitisme Demokratis dan

Pilihan Rasional (Rational Choice).

3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, Hal 367 4Ibid, hal. 368

Page 9: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

5

5

Elitisme Demokratis

Penganjur elitisme demokratis berkutat pada persoalan bagaimana

mempertahankan stabilitas politik, demokrasi adalah hal sekunder dalam hal ini.

Tokoh penganut Elitisme Demokratis, Schumpeter menyatakan bahwa pemimpin

yang berwawasan, yang meraih persetujuan melalui partisipasi minimal massa,

adalah cara terbaik untuk memelihara ketertiban.5 Penganjur elitisme demokratis

bertolak dari anggapan bahwa massa pada umumnya apatis, bodoh, dan tidak

mengerti aturan, sehingga keterlibatannya dalam skala luas di bidang

pemerintahan akan mengganggu ketertiban.

Kewarganegaraan yang terlalu aktif dalam proses pengambilan kebijakan akan

menyebabkan kelambanan dan mendorong kearah pengambilan keputusan yang

berjangka pendek dan kurang pertimbangan. Argumen lain yang menguatkan

prinsip ini, adalah bahwa massa kebanyakan rentan dimanipulasi oleh para

ideolog (dalam istilah rezim Orde Baru sering disebut „ekstrem kiri‟ untuk

menyebut gerakan para penganut ajaran komunis dan „ekstrem kanan‟ bagi kaum

fundamentalis agama).

Dalam lintasan sejarah pemerintahan di Indonesia, teori elitisme demokratis yang

menomorduakan demokrasi dan menomorsatukan stabilitas memiliki kedekatan

dengan praktik kekuasaan orde baru. Dalam menjalankan roda pemerintahan

dimana pembangunan sebagai panglima, rezim orde baru menegakkan trilogi

pembangunan yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan

ekonomi. Dengan stabilitas nasional sebagai thesis utamanya, maka gemuruh

protes dan ekspresi massa untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan

dianggap sebagai tindakan melawan hajat Negara.

Partisipasi dalam skala luas, menurut pandangan elitisme demokratis, dianggap

akan mengalami kesulitan dalam hal pelembagaannya. Berbeda dengan yang

pernah terjadi di Athena, pada masa Yunani Kuno abad ke-4 dan ke-5 SM, dimana 5 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia, hal 227-228

Page 10: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

6

6

‘warga’6 masyarakat terlibat dalam hal pembuatan keputusan, pemilihan pejabat

pemerintahan dilakukan melalui pemungutan suara secara langsung. Saat ini,

dimana penduduk secara geografis tersebar, dan jumlahnya yang begitu besar

hingga mencapai jutaan dalam satu Negara, maka pelibatan warga masyarakat

secara langsung sebagaimana yang pernah terjadi di Athena tidak

memungkinkan.

Pembuatan keputusan, bagi penganut paham ini, hendaknya diserahkan kepada

para intelektual dan pengurus partai politik yang concern mengurus persoalan

politik dan menguasai seni dalam hal pemerintahan. Dengan demikian, seluruh

tanggung jawab menjalankan pemerintahan dan akibat buruk yang ditimbulkan

di pikul kelompok elit ini.

Pilihan Rasional

Para penganut Pilihan Rasional juga memiliki pandangan minimalis terhadap

partisipasi politik warga masyarakat. Berbeda dengan pandangan elitisme

demokratis yang menilai massa kebanyakan tidak cakap untuk urusan politik,

namun pandangan kaum pilihan rasional berangkat dari asumsi bahwa massa

kebanyakan berpartisipasi karena pertimbangan rasionalitas. Pertanyaan yang

diajukan oleh individu-individu, apakah keterlibatan mereka dalam proses

pengambilan keputusan memiliki dampak bagi mereka ataukah tidak ber efek

sama sekali?. Jawaban sebagian besar individu disimpulkan bahwa mereka

merasa tidak memiliki urusan dengan proses pengambilan kebijakan. Pendukung

teori ini, Olson7, bahkan pada kesimpulan bahwa individu yang rasional akan

bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan tidak akan bertindak untuk

kepentingan umum. Gerakan politik, dalam pandangan ini, akan dipimpin oleh

orang yang secara politik diuntungkan. Para elit, yang menjadi motor gerakan

politik akan memeroleh keuntungan berupa prestige dan jabatan kekuasaan.

6Kata warga penulis garis miring karena dalam tradisi demokrasi langsung Athena tidak seluruh warga

dilibatkan.Yang tidak memiliki hak suara yakni kaum perempuan dan para pekerja asing yang berada di

wilayah Athena. 7Faulks, Kate, op cit, 231.

Page 11: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

7

7

Mobilisasi massa, bergantung pada bagaimana kemampuan elit untuk

meyakinkan pemilih dan elit mengharapkan keuntungan dari biaya yang telah

dikeluarkan.

IV. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

- Memeroleh gambaran pengetahuan masyarakat pemilih tentang

pemilu dan perpolitikan di tingkat daerah

- Memeroleh gambaran partisipasi pemilih saat pelaksanaan pemilu

serta motif yang melatarbelakangi.

V. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi:

- Peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu yang terselenggara

setiap lima tahun sekali.

- Penguatan melek politik warga yang dirancang dalam berbagai program

nantinya.

- Pengembangan keilmuan seputar kepemiluan dan perilaku pemilih di

Indonesia.

- Memberikan dasar kebijakan bagi lembaga penyelenggara pemilu

maupun stakeholder pemilu lainnya untuk membuat program

peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi.

VI. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis survey serta

kualitatif. Pendekatan survey digunakan untuk melihat sejauhmana pengetahuan

dan skill masyarakat dalam politik dan kepemiluan, sedangkan kualitatif dengan

wawancara dan observasi digunakan untuk menggali tindakan masyarakat dalam

politik dan kepemiluan tersebut. Melalui pendekatan logika induktif berusaha

memahami perilaku seseorang dengan interaksi secara langsung dan mendalam

(in-depth interview). Pendekatan ini juga tidak menafikan keterlibatan unsur

Page 12: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

8

8

subyektif (common sense) dalam merumuskan dan mengkonsepsikan pengetahuan

seperti keyakinan, ideologi, pengalaman dan nilai yang dianutnya. Metode survey

yang dilakukan adalah sistem wawancara menggunakan panduan survey dalam

sistem daftar pertanyaan tertutup.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan mengambil sampling beberapa wilayah di

Kabupaten Probolinggo yang merepresentasikan pemilih yang tinggal di wilayah

perkotaan (wilayah kecamatan Kraksaan dan Paiton), pegunungan (wilayah

kecamatan Gading dan Maron) dan masyarakat pesisir (wilayah kecamatan

Gending). Pemilihan karakteristik pemilih ini berdasarkan hasil diskusi terfokus

(FGD) tim peneliti dengan komisioner serta sekretaris beserta seluruh kasubag

dan staf sekretariat KPU Kabupaten Probolinggo.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan baik sumber sekunder berupa dokumentasi,

data demografi maupun sumber primer yakni keterangan para para pemilih

melalui survey dan wawancara.

Penentuan Sampel

Penentuan sampel dalam metode survey tidak harus meneliti individu

secara keseluruhan, namun dengan syarat dan prosedur yang tepat dapat

mewakili keseluruhan populasi dan dapat memberi informasi sebanyak mungkin

sesuai kebutuhan8.

Melihat data yang tersedia dikantor KPU Kabupaten Probolinggo, maka

peneliti mengambil data nama-nama para pemilih dan alamatnya, maka

pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampling.

Quota sampling adalah teknik pemilih sampel dengan mengelompokkan sejumlah

orang dan kemudian menetapkan dalam tiap kategori.9

8 Masri Singarimbun (ed.), Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1989, 149-152

9 W. Lawrence Nueman, Metodologi Penelitian Sosial, Pendekatan Kulaitatif dan Kuantitatif,

Page 13: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

9

9

Penelitian ini, menggunakan metode quota sampling tersebut, memilih

sampling perempuan sebanyak 20 orang dan 80 orang laki-laki. Jadi total

keseluruhan sampling sebanyak 100 responden yang mewakili para pemilih di

kabupaten Probolinggo dengan kategori jenis kelamin (pria-wanita), kelompok

umur (terbagi kedalam tiga kategori yakni 17-21 tahun, kelompok usia produktif

yakni 22-55 tahun, dan kelompok diatas usia 55 tahun) yang seluruhnya berasal

dari pemilih yang tersebar di tiga wilayah tersebut diatas.

Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data didapat dari tiga kegiatan yakni

survey, observasi dan wawancara. Observasi merupakan metode yang paling

pokok dalam penelitian kualitatif. Observasi yang dimaksud adalah deskripsi

secara sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang akan

diteliti10. Untuk melakukan pengamatan, seyogyanya observer dapat diterima

dengan baik, memperoleh „ijin masuk‟ baik formal maupun non formal dan tidak

menimbulkan kecanggungan dan „mengusik‟ subyek yang akan diteliti. Dalam

penelitian ini, tim peneliti beranggapan mudah untuk memenuhi kriteria

tersebut. Hal itu disebabkan, karena kedekatan pemahaman dan keseharian

antara subyek penelitian dengan para observer yang terdiri dari dosen sebagai

peneliti utama serta surveyor yang berasal dari mahasiswa yang berasal dari

kabupaten probolinggo sebagai peneliti lapangan.

Wawancara juga merupakan hal pokok dalam penelitian ini untuk

pengumpulan data, mengingat data yang akan dikumpulkan berupa penuturan

tentang tindakan pemilih menjelang, saat pelaksanaan dan setelah

penyelenggaraan pemilu. Wawancara ini, peneliti menggunakan interview guide,

yang berisikan hal-hal penting yang harus diperdalam dan ditanyakan. Hal ini

penting bagi penulis untuk menghindari perbincangan yang tidak terarah dan

Jakarta: PT. Indeks, 2013, hal 272-273.

10 Emi Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif:Sebuah Pengantar, dalam Bagong Suyanto dan

Sutinah (ed), Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Kencana, 2005,

hlm 172

Page 14: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

10

10

subyek merasa bosan. Walaupun berpedoman pada interview guide, tetapi

digunakan secara luwes dan terkesan alamiah.

Pengumpulan data hasil survey per-kecamatan kemudian dipilah

berdasarkan jawaban yang diberikan oleh pemilih. Pemilahan juga dilakukan

untuk jawaban setiap item pertanyaan pada masing-masing kecamatan

(selengkapnya baca di bab tiga laporan penelitiian ini)

Analisa Data

Analisa yang digunakan dalam pendekatan ini mengikuti alur/proses yang

lazim digunakan dalam penelitian kuantitatif yakni mengkode data (koding),

pengolahan data dan analisa data. Hasil penyebaran survey yang dilakukan

peneliti lapangan dikodifikasi dan ditelaah secara deskriptif.

VII. Rencana Biaya Anggaran

Penelitian ini membutuhkan anggaran sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah). Dengan rincian penggunaan sebagai berikut:

- Peneliti Utama Rp 2.000.000,-

- Tenaga lapangan Rp 2.500.000,-

- ATK Rp 1.000.000,-

- Operasional Penelitian Rp 4.500.000,-

VIII. Alokasi Waktu

Penelitian akan dilaksanakan selama dua bulan yakni bulan Juni-Juli

dengan rincian sebagai berikut:

No Kegiatan Juni Juli

I II III IV I II III IV

1 Survey Awal dan Proposal

2 Pengorganisasian dan penelitian

3 FGD

Page 15: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

11

11

4 Pelaporan

IX. Sistematika

Sesuai dengan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang ada,

maka penelitian ini akan terdiri dari beberapa bab sebagaimana berikut:

Bab I: Pendahuluan : Dalam bab ini akan dibahas beberapa sub pembahasan, yaitu

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

landasan teori, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II: Kajian Teori : Bab ini akan membahas teori yang dapat menjadi pintu

masuk penelitian ini. Teori yang akan dikupas adalah teori tentang partisipasi

politik

Bab III: Penyajian dan kajian data yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap

warga dalam pemilu di Kabupaten Probolinggo

Bab IV: Penutup

Page 16: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

12

BAB II

PARTISIPASI POLITIK

Pengantar

artisipasi politik dalam studi analisis modern, awalnya hanya difokuskan

kepada keberperanan partai politik dalam mewarnai pemerintahan, namun dalam

perkembangannya juga mempelajari bagaimana kelompok-kelompok masyarakat

(NGO, Ormas, OKP, organisasi profesi) terlibat dalam memengaruhi

pengambilan kebijakan. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai respon atas

kekecewaan terhadap kinerja partai politik yang dinilai tidak optimal

memperjuangkan aspirasi beragam masyarakat.

A. Definisi

Partisipasi politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif

individu ataupun kelompok dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan

yang berdampak pada kehidupan mereka. Proses aktif bisa berbentuk oposisi

maupun loyalis pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan melalui

penggunaan hak pilihnya pada saat pemilihan umum baik itu pemilu presiden,

gubernur maupun Bupati/Walikota, menghadiri rapat umum, mengadakan

hubungan (contacting) ataupun lobi-lobi dengan pejabat pemerintah atau anggota

parlemen, menjadi anggota partai politik ataupun kelompok penekan (pressure

group).

Dari contoh ini jelas bahwa partisipasi politik bukan sekedar

memberikan suaranya pada saat pemilu melainkan secara aktif melakukan

gerakan, yang langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi proses

pembuatan keputusan.

Pandangan Ahli tentang Partisipasi Politik

P

Page 17: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

13

Beberapa ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang

partisipasi politik. Herbert McClosky memberikan pengertian, ”partisipasi

politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung

atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.1

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson2 secara eksplisit

memasukkan tindakan ilegal dan kekerasan kedalam pengertian tentang

partisipasi politik, “partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak

sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan

keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif,

terorganisir ataupun sporadis, legal atau illegal, secara damai atau dengan

kekerasan, efektif atau tidak efektif”. Dari pengertian yang diberikan oleh

Huntington jelas memberikan tekanan pada kegiatan untuk memengaruhi proses

pengambilan kebijakan, yang dapat ditempuh dengan jalan apa pun.

B. Partisipasi Politik dalam Pandangan Penganjur Elitisme Demokratis

dan Pilihan Rasional (Rational Choice).

Elitisme Demokratis

Penganjur elitisme demokratis berkutat pada persoalan bagaimana

mempertahankan stabilitas politik, demokrasi adalah hal sekunder dalam hal ini.

Tokoh penganut Elitisme Demokratis, Schumpeter menyatakan bahwa pemimpin

yang berwawasan, yang meraih persetujuan melalui partisipasi minimal massa,

adalah cara terbaik untuk memelihara ketertiban.3 Penganjur elitisme demokratis

bertolak dari anggapan bahwa massa pada umumnya apatis, bodoh, dan tidak

mengerti aturan, sehingga keterlibatannya dalam skala luas di bidang

pemerintahan akan mengganggu ketertiban.

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, Hal 367 2Ibid, hal. 368 3 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia, hal 227-228

Page 18: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

14

Kewarganegaraan yang terlalu aktif dalam proses pengambilan kebijakan akan

menyebabkan kelambanan dan mendorong kearah pengambilan keputusan yang

berjangka pendek dan kurang pertimbangan. Argumen lain yang menguatkan

prinsip ini, adalah bahwa massa kebanyakan rentan dimanipulasi oleh para

ideolog (dalam istilah rezim Orde Baru sering disebut „ekstrem kiri‟ untuk

menyebut gerakan para penganut ajaran komunis dan „ekstrem kanan‟ bagi kaum

fundamentalis agama).

Dalam lintasan sejarah pemerintahan di Indonesia, teori elitisme demokratis yang

menomorduakan demokrasi dan menomorsatukan stabilitas memiliki kedekatan

dengan praktik kekuasaan orde baru. Dalam menjalankan roda pemerintahan

dimana pembangunan sebagai panglima, rezim orde baru menegakkan trilogi

pembangunan yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan

ekonomi. Dengan stabilitas nasional sebagai thesis utamanya, maka gemuruh

protes dan ekspresi massa untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan

dianggap sebagai tindakan melawan hajat Negara.

Partisipasi dalam skala luas, menurut pandangan elitisme demokratis, dianggap

akan mengalami kesulitan dalam hal pelembagaannya. Berbeda dengan yang

pernah terjadi di Athena, pada masa Yunani Kuno abad ke-4 dan ke-5 SM, dimana

‘warga’4 masyarakat terlibat dalam hal pembuatan keputusan, pemilihan pejabat

pemerintahan dilakukan melalui pemungutan suara secara langsung. Saat ini,

dimana penduduk secara geografis tersebar, dan jumlahnya yang begitu besar

hingga mencapai jutaan dalam satu Negara, maka pelibatan warga masyarakat

secara langsung sebagaimana yang pernah terjadi di Athena tidak

memungkinkan.

Pembuatan keputusan, bagi penganut paham ini, hendaknya diserahkan kepada

para intelektual dan pengurus partai politik yang concern mengurus persoalan

4Kata warga penulis garis miring karena dalam tradisi demokrasi langsung Athena tidak seluruh warga

dilibatkan.Yang tidak memiliki hak suara yakni kaum perempuan dan para pekerja asing yang berada di

wilayah Athena.

Page 19: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

15

politik dan menguasai seni dalam hal pemerintahan. Dengan demikian, seluruh

tanggung jawab menjalankan pemerintahan dan akibat buruk yang ditimbulkan

di pikul kelompok elit ini.

Pilihan Rasional

Para penganut Pilihan Rasional juga memiliki pandangan minimalis terhadap

partisipasi politik warga masyarakat. Berbeda dengan pandangan elitisme

demokratis yang menilai massa kebanyakan tidak cakap untuk urusan politik,

namun pandangan kaum pilihan rasional berangkat dari asumsi bahwa massa

kebanyakan berpartisipasi karena pertimbangan rasionalitas. Pertanyaan yang

diajukan oleh individu-individu, apakah keterlibatan mereka dalam proses

pengambilan keputusan memiliki dampak bagi mereka ataukah tidak ber efek

sama sekali?. Jawaban sebagian besar individu disimpulkan bahwa mereka

merasa tidak memiliki urusan dengan proses pengambilan kebijakan. Pendukung

teori ini, Olson5, bahkan pada kesimpulan bahwa individu yang rasional akan

bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan tidak akan bertindak untuk

kepentingan umum. Gerakan politik, dalam pandangan ini, akan dipimpin oleh

orang yang secara politik diuntungkan. Para elit, yang menjadi motor gerakan

politik akan memeroleh keuntungan berupa prestige dan jabatan kekuasaan.

Mobilisasi massa, bergantung pada bagaimana kemampuan elit untuk

meyakinkan pemilih dan elit mengharapkan keuntungan dari biaya yang telah

dikeluarkan.

PARTISIPASI POLITIK DALAM BERAGAM SISTEM PEMERINTAHAN

Demokrasi, sebagaimana kita kenal, bermacam-macam. Dalam sejarah demokrasi

di Indonesia, terdapat Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin dan

Demokrasi Parlementer. Dibelahan dunia lain, ada yang menganut Demokrasi

Liberal, Demokrasi Soviet, Demokrasi Rakyat dan sebagainya.

Menurut Robert Dahl (2005), dalam praktik demokrasi yang berskala besar

diperlukan sejumlah institusi politik, yang sekurang-kurangnya mencakup: 5Faulks, Kate, op cit, 231.

Page 20: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

16

1. pejabat-pejabat yang dipilih

2. pemilu yang bebas (free), adil (fair), dan sering dilakukan

3. kebebasan berekspresi

4. sumber-sumber informasi alternatif

5. otonomi asosiasional

6. kewarga(negara)an yang inklusif.

Institusi-institusi tersebut saling terkait dan saling melengkapi, dan diperlukan

demi partisipasi yang efektif, untuk mengontrol agenda-agenda kebijakan,

meningkatkan saling pengertian, serta demi menjamin pengakuan atas hak dan

peran-peran kewargaan (inklusi) secara penuh.

C. Partisipasi Politik di Negara Otoriter

Partisipasi politik di Negara otoriter, seperti komunis pada masa lampau,

cenderung tinggi. Hal dikarenakan secara formal kekuasaan berada ditangan

rakyat dan bertujuan progresif untuk merombak tatanan masyarakat menuju

masyarakat modern, produktif, dan berideologi kuat. Mendiang Negara Uni

Soviet sebagai contoh dalam hal ini, prosentase kehadiran pemilih dalam pemilu

selalu menunjukkan angka tinggi. Dalam pemilihan umum Uni Soviet, kehadiran

pemilih menunjukkan angka 99%6. Partisipasi diluar pemilu, bersifat community

action, melalui pembinaan yang terkontrol oleh lembaga-lembaga kader yang

segmented seperti golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi kebudayaan.

Walaupun menunjukkan angka statistic tinggi, bentuk partisipasi bukan

tergolong partisipasi yang bersifat sukarela, tetapi terdapat unsur mobilized

participation di dalamnya karena intensitas ditentukan oleh partai. Di China dan

Mendiang Uni Soviet menghadapi dilema bagaimana memperkuat dan

memperluas partisipasi tanpa harus kehilangan kontrol sebagai mekanisme baku

untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. China, melalui gerakan

“kampanye seratus bunga” mengendorkan kontrol dan memperbolehkan 6 S.E Finner, Comparative Government, London:Pelican Books, 1978 dalam Miriam Budiardjo, op cit,hal

379

Page 21: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

17

masyarakat menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah pada tahun

1956/1957. Akan tetapi pengendoran ini tidak berlangsung lama, karena protes

keras semakin bergema dimana-mana dan pemerintah menganggap kritik ini

menganggu stabilitas nasional. Puncaknya, peristiwa Tiananment Square tahun

1989, beberapa ratus mahasiswa harus meregang nyawa akibat bentrok dengan

aparat keamanan, yang menyebabkan pemerintah kembali mengencangkan

kontrol terhadap masyarakat.

D. Partisipasi Politik di Negara Berkembang

Partisipasi Politik di Negara berkembang memiliki karakteristik

dibanding Negara maju, yakni partisipasi otonom yang bersumber dari dirinya

sendiri masih terbatas. Kondisi ini, dapat memunculkan sifat apatis dan

puncaknya, kebuntuan partisipasi menghantarkan pada keadaan anomi dan

bahkan revolusi7.

Dilema Partisipasi Politik juga dihadapi oleh Negara berkembang yang

pembangunannya agak lancar. Di Negara-negara seperti ini, perluasan urbanisasi,

perkembangan teknologi informasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat

akan media komunikasi (media literacy) berimbas pada meningkatnya tuntutan

akan peran serta masyarakat dalam wilayah politik.

Dalam sebuah studi tentang peningkatan peran serta masyarakat dalam kancah

social dan politik akibat penetrasi teknologi informasi (IT) digambarkan oleh

Budge8. Bahwa kecanggihan teknologi informasi dapat meringkus hambatan

waktu, ukuran, dan ruang dengan memungkinkan seseorang berinteraksi dengan

warga lainnya tanpa bertatap muka. Partisipasi interaktif terjalin dan terhubung

melalui jejaring social facebook, twitter, email dan faximile, teleconference, dan

koneksi kabel lainnya. Implikasi positif IT bagi partisipasi politik dapat diringkas

menjadi lima macam9:

7 Miriam Budiardjo, op cit, hal 381 8 Keith, Faulks, Sosiologi Politik, Tinjauan Kritis,hal 245 9 Ibid, 247-249

Page 22: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

18

1. IT merupakan peluang baru bagi terciptanya kesadaran akan

keputusan pemerintah dan penting untuk melegitimasi keputusan

tersebut. Misalnya, sat ini bermunculan website yang menampilkan

produk-produk kebijakan pemerintah, lembaga swasta maupun

lembaga pendidikan.

2. Informasi juga mengalir cepat dari warga yang menyampaikan keluhan,

protes maupun kepuasan kepada pemerintah tanpa harus melalui

birokrasi yang panjang. Ini sangat membantu terutama warga negara

yang memiliki keterbatasan fisik dan kesibukan yang tinggi. Melalui IT

utamanya media massa, warga dapat melihat setiap produk kebijakan

dan sepak terjang partai politik, mengalihkan dukungan dengan cepat

kepada partai lain.

3. Teknologi baru meningktakan potensi prkumpulan masyarakat sipil

secara relatif murah. Rekruitmen anggota dan simpatisan yang

mendukung gagasan sehingga mengkristal menjadi kekuatan besar

dengan cepat dilakukan. Penyebaran gagasan, ide, opini dan protes atas

kesewenang-wenangan dan ketidak adilan pemerintah dengan cepat

memeroleh persetujuan melalui beragam jejaring social.

4. Sifat interaktif IT memungkinkan warga negara terlepas dari hubungan

yang bersifat pasif. Terjadi interaksi timbal balik antara warga Negara

dan pemerintah.

5. Bagi pemerintah, IT membantu untuk merumuskan kebijakan dengan

tepat. Tepat sasaran, tepat waktu dan tepat penganggarannya.

Identifikasi atas sasaran kebijakan dibantu melalui kecanggihan

informasi semisal mengelola statistic, menghimpun jajak pendapat dan

memilah kelompok-kelompok sosial baru.

Selanjutnya, kelompok-kelompok yang terhimpun dalam satuan satuan

organisasi-organisasi kepemudaan, koalisi perempuan, jaringan pekerja,

perkumpulan keagamaan dan lain sebagainya tergugah kesadaran sosial dan

politiknya sehingga berupaya memengaruhi keputusan pemerintah. Cara-cara

yang ditempuh untuk merealisasikan tuntutan berpotensi menyebabkan chaos

Page 23: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

19

jika terdapat kesenjangan dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagaimana

prediksi Huntington bahwa pembangunan yang cepat, dan ikut sertanya banyak

kelompok baru dalam politik dalam waktu yang singkat dapat mengganggu

stabilitas10.

E. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi

Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, partisipasi politik

dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk. Pertama partisipasi politik dalam

pemberian suara saat pemilu, kedua partisipasi politik diluar pemberian suara

saat pemilu.

Partisipasi dalam bentuk pemberian suara saat pemilu, di Negara-negara

demokrasi seperti Amerika Serikat dan negara demokrasi lainnya menunjukkan

angka yang terus menurun dari tahun ke tahun.Pada tahun 1995, angka kehadiran

pemilih saat pemilu kurang dari 50%, sedangkan di Prancis dan Jerman lebih

tinggi. Dalam Pemilu 1990 di Prancis tercatat angka sebesar 86%, sedangkan di

Jerman pada Pemilu 1992 mencapai 90%. Di Inggris pada Pemilu 1992 juga cukup

tinggi tingkat kehadiran pemilihnya yakni sebesar 77%, sedangkan di Belanda

sama dengan Perancis yakni 86%.

Pada tahun 2000-an, tingkat partisipasi dalam bentuk pemberian suara saat

pemilu mengalami penurunan. Di Inggris, pada pemilihan umum 2001, pemilih

yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) sebesar 59,2%. Sementara di

Jerman, voter turnout pada pemilu 2002 sebanyak 47.980.304 orang, berkurang

dibanding pemilu tahun 1998 berjumlah 49.308.512 orang.11

Walaupun partisipasi politik dalam bentuk pemberian suara saat pemilu rendah,

namun partisipasi politik dalam bentuk organisasi-organisasi yang aktif

membantu pemecahan masalah lingkungan, penyakit AIDS dan advokasi

10 Samuel P. Huntington, Political Order In Changing Societies, New Haven: Yale University Press, 1968,

Hal 4, dalam Miriam Budiardjo, op cit, hal 381. 11 Data-data diambil dari Miriam Budiarjo dan sumber lain dengan pengolahan seperlunya

Page 24: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

20

kebijakan cukup tinggi. Mengapakah tingkat partisipasi politik cenderung

menurun? Perubahan sosial yang berdampak bagi partisipasi politik akan

dijelaskan dalam sub bab dibawah ini.

F. Partisipasi Politik dalam Demokrasi Liberal

Studi tentang perubahan sosial yang berdampak pada partisipasi politik

dalam sistem demokrasi liberal terangkum dalam beberapa kecenderungan;

kewarganegaraan yang semakin berwawasan dan kritis, menurunnya kepecayaan

terhadap efektifitas lembaga dan elit politik, menurunnya loyalitas kepada partai

politik tradisional, dan anjloknya tingkat keikutsertaan dalam pemilihan umum,

dan peningkatan partisipasi politik inkonvensional.

Kewarganegaraan Kritis dan Berwawasan

Peningkatan daya kritis dan wawasan warga Negara disumbang oleh dua

hal. Pertama, tingkat pendidikan yang semakin tinggi, dan kedua, penetrasi media

massa. Sebelum tahun 1930, atau sebelum perang dunia kedua, fasilitas

pendidikan hanya dinikmati segelintir orang kelompok minoritas. Paska perang

dunia kedua, maka kesempatan untuk memeroleh pendidikan semakin terbuka.

Berbondong-bondong warga Negara memasuki universitas dan sekolah-sekolah.

Tercatat di Amerika Serikat pada tahun 1974, pendaftar dilembaga pendidikan

tumbuh sebesar 347%, 472% terjadi di Inggris dan tertinggi dicapai Perancis

dengan angka 586%12.

Televisi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kesadaran

politik. Dalam sebuah studi, Dalton menemukan fakta bahwa 69% rakyat

Amerika Serikat menyebut televisi sebagai sumber informasi penting mengenai

politik. Selain televisi, persebaran opini melalui internet, email juga mempercepat

saling tukar informasi dan meng up date kondisi perpolitikan mutakhir.

12 Dalton, ……dalam Keith, Faulks

Page 25: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

21

Penetrasi media semakin kuat ditengah budaya masyarakat yang semakin

individual. Masing-masing individu tidak lagi terikat dalam satuan-satuan

perkumpulan keagamaan semisal gereja, ormas islam maupun perkumpulan

kepemudaan dalam pembentukan sikap politiknya. Individualisasi ini terkait

dengan proses perubahan sosial dalam skala luas. Peningkatan pendapatan per

kapita, mengendornya semangat berorganisasi, pergeseran jenis usaha dari

manufaktur ke sektor jasa adalah proses perubahan sosial yang turut

mempercepat individualisasi.

Peningkatan jenjang pendidikan dan jumlah masyarakat melek media (media

literacy) tidak berbanding lurus dengan kesadaran mereka untuk berpartisipasi

dalam politik. Dalam satu survey di Amerika Serikat terhadap 250.000 mahasiswa

Universitas California pada tahun 1998 menunjukkan hanya 27% yang merasa

penting untuk mengikuti masalah politik.

Di Indonesia, Survey terbaru memperlihatkan sebanyak 60,51 persen pemilih

pemula belum memastikan diri akan memilih dalam pemilihan umum (pemilu)

2009 lalu. Sebanyak 18% (persen) menyatakan tidak akan memilih, sedangkan

21,49 persen menyatakan akan menggunakan hak pilihnya. Ini antara lain hasil

survei tingkat partisipasi politik pemilih pemula menjelang pemilu 2009 di Kota

Solo13. Jumlah responden 400 responden berasal dari siswa kelas 2 dan 3 dari 10

SMA/SMK di Kota Solo yang berusia 17-20 tahun.

Menurunnya Kepercayaan Politik

Kepercayaan masyarakat akan efektifitas lembaga diukur juga dari

kepercayaan mereka pada politisi. Menurunnya tingkat kepercayaan public

terhadap politisi dan proses demokrasi yang sedang berjalan di ikuti oleh semakin

meningginya pengawasan terhadap lembaga-lembaga politik tersebut. Media dan

13 Kompas.com, kamis 19 Pebruari 2009, “60,51% Pemilih Pemula Belum Pastikan Memilih” Survey oleh

Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri Solo, Diunduh pada tanggal 21 Desember 2011

Page 26: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

22

perangkat teknologi informasi lain memainkan peran besar menumbuhkan

partisipasi politik.

Perilaku tidak patut seperti perselingkuhan yang dilakukan politisi,

penyalahgunaan kekuasaan melalui tender proyek menjadi cepat tersiar ke

hadapan publik. Contoh terkini dalam perpolitikan nasional, seperti kasus wisma

atlet yang menyeret sejumlah pengurus DPP Partai Demokrat mempercepat

runtuhnya kepercayaan politik masyarakat.

Hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI)14 menjelaskan bahwa tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap politisi di Indonesia anjlok total. Kepercayaan

tersebut kini hanya tinggal 23,4 persen. Sementara yang tidak percaya sebesar

51,3 persen, dan sisanya tidak tahu. Survei yang dilaksanakan pada 5-10

September 2011 dengan 1200 responden ini menemukan bahwa jumlah tersebut

menurun drastis dibanding tahun 2005. Saat itu tingkat kepercayaan publik

maupun citra positif DPR masih sebesar 44,2 persen.

Politisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tokoh tokoh yang yang dipilih

rakyat melalui mekanisme Pemilu, seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota,

anggota DPR, dan mantan anggota DPR. Hasil survei kepercayaan terhadap

politisi di kalangan masyarakat perkotaan lebih buruk dibanding masyarakat

pedesaan. Di perkotaan, yang menyatakan politisi bekerja dengan baik sebanyak

19,6 persen. Sedangkan di desa lebih besar lagi, yakni 26,6 persen.

Sedangkan di kalangan pendidikan tinggi, mahasiswa, dan lulusan S1, S2, dan S3,

yang menyatakan politisi bekerja dengan baik juga lebih sedikit, yakni hanya 18,4

persen. Sedangkan di kalangan responden yang berpendidikan menengah dan

rendah (SMU ke bawah) lebih banyak, yakni di atas 24 persen.

14 Berita Pelita Online, “Kepercayaan Publik terhadap Politisi Anjlok”, diunduh pada tanggal 02 Pebruari

2012 melalui http://www.pelitaonline.com/read/politik/nasional/16/8246/kepercayaan-publik-terhadap-

politisi-anjlok/

Page 27: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

23

Melihat hasil survey LSI diatas, kita memeroleh gambaran bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan, kepercayaan dan tingkat kepuasan terhadap kinerja politisi

semakin rendah. Sebaliknya, bagi yang berpendidikan menengah dan rendah

(SMU kebawah) tingkat kepuasan terdapat kinerja politisi menunjukkan angka

lebih tinggi yakni sebesar 24 persen.

Begitu juga perbandingan penilaian masyarakat perkotaan dan pedesaan terhadap

kinerja politisi juga berbeda. Bagi masyarakat kota yang lebih dekat dengan

media, berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, tingkat kepercayaan politiknya

semakin rendah dibanding masyarakat pedesaan.

Menurunnya Loyalitas Kepada Partai Politik Tradisional

Partai-partai politik merupakan mediator penting untuk menjembatani

kepentingan Negara dan masyarakat sipil. Mengingat posisi strategis yang

diperankannya, menarik untuk ditelisik lebih jauh kebelakang sejarah

kemunculan partai dan signifikansi peran partai politik dalam sistem politik

modern. Dalam pandangan Roy C Macridis, tidak ada sistem politik yang

berlangsung tanpa kehadiran partai politik. Walaupun awalnya, skeptisisme juga

muncul mengiringi kelahiran partai politik terutama oleh masyarakat dan

birokrasi di Eropa Barat, yang menganggap partai politik bagian dari konflik

politik.

Partai politik menjadi aktor utama dalam menggerakkan partisipasi masyarakat,

karena dianggap mewakili aspirasi warga Negara terutama isu seputar agama dan

kelas. Namun seiring perubahan sosial dan bergesernya isu-isu politik

kontemporer yang lebih kompleks15 dan fragmentasi identitas sosial baru16,

15Isu-isu politik pada tahun 80-an berpusat pada sensitifitas agama diwakili oleh partai persatuan

pembangunan (PPP), sedangkan isu-isu perjuangan kelas banyak diusung oleh Partai Demokrasi

Perjuangan (PDI), sedangkan isu-isu politik terkini lebih bervariasi seperti isu lingkungan, energy,

gender, dan ekonomi. 16Kelas-kelas social baru bermunculan seiring pertumbuhan ekonomi, seperti kalangan kelas konsumen baru

atau disebut kelompok menengah, organisasi profesi dll.

Page 28: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

24

terjadi penggerusan atas peran partai politik sebagai wadah penjaring aspirasi

masyarakat.

Para pemilih cenderung mengikuti isu-isu terbaru serta prestasi kinerja partai

politik dibanding mengikuti perasaan setia (loyal) terhadap partai politik

tertentu. Efek lebih lanjut dari sikap seperti ini adalah para pemilih dengan cepat

mencabut dan mengalihkan dukungan dari satu partai politik kepada partai

politik lainnya.

Hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

menunjukkan dukungan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun

akibat kekecewaan publik yang menilai pemerintah cenderung stagnan. Survei

CSIS itu mencatat Partai Demokrat menjadi partai yang mengalami penurunan

dukungan public terbesar dengan angka penurunan 8,25%, sehingga hanya

memperoleh dukungan 12,6%. Sementara itu Partai Golkar diperkirakan

memperoleh dukungan 10,5%, menurun 3,95% dari pemilu 2009 lalu, sedangkan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendapat dukungan 7,8%,

dengan demikian terjadi penurunan sebesar 6,23%. Menariknya, sebanyak 48,4%

masyarakat tidak memiliki pilihan ketika ditanyai dukungan mereka terhadap

partai politik.

Survey diatas memberitakan pada kita bahwa terjadi penurunan tingkat

kepercayaan public terhadap kinerja partai politik. Hal ini terjadi karena

pemberitaan yang gencar media massa atas skandal korupsi yang melibatkan

partai politik. Mega korupsi Bank Century dan Wisma atlet yang menyeret

pentolan partai Demokrat, korupsi dalam kementerian tenaga kerja dan

transmigrasi (Kemenakertrans) yang diduga melibatkan fungsionaris PKB, suap

pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang menimpa fungsionaris PPP, PDI P dan

Golkar dengan cepat mengalir ke rumah-rumah warga melalui pemberitaan

televisi. Respon masyarakat atas skandal tersebut adalah „menghukum‟ partai

Page 29: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

25

politik yang bersangkutan dengan jalan mengalihkan dukungan pada partai lain

yang dinilai belum cacat moral.

Differensiasi dan fragmentasi isu-isu politik mencerabut hubungan partai politik

dan pemilihnya yang berdasarkan komitmen tradisi. Dengan demikian, kontrak

yang dijalin warga Negara dengan partai politik adalah dengan melihat arah

program, visi, dan perilaku politik pengurusnya.

Anjloknya Tingkat Keikutsertaan dalam Pemilihan Umum

Kecenderungan yang segera muncul akibat menurunnya kepercayaan

politik masyarakat adalah penurunan tingkat partisipasi pada pemilu. Menurut

studi tentang tingkat kehadiran pemilih di berbagai Negara mencatat terjadi

penurunan secara keseluruhan. Namun, walaupun terjadi penurunan partisipasi

politik secara konvensional yakni pada pemberian suara pada pemilihan umum,

namun terjadi peningkatan partisipasi politik inkonvensional.

Peningkatan Partisipasi Politik Inkonvensional

Disaat angka partisipasi politik konvensional berupa pemberian suara

saat pemilu menurun, keterlibatan masyarakat dalam tindakan langsung

meningkat pesat. Studi di beberapa negara menunjukkan peningkatan tingkat

partisipasi melalui boikot, protes, pemogokan tidak resmi atau pendudukan

gedung oleh warga masyarakat. Di Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris

dan Jerman Barat, keterlibatan partisipasi warga dalam aksi-aksi langsung

semacam itu mencapai seperempat jumlah penduduk.

Keanggotaan dalam organisasi-organisasi lingkungan, koalisi perempuan

meningkat pesat melebihi keanggotaan partai politik di banyak Negara. Warga

Negara cenderung bergabung dengan organisasi-organisasi diluar partai politik

untuk mengambil bagian dalam berbagai macam partisipasi alternatif untuk

mengungkapkan opini mereka.

Page 30: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

26

Pertukaran Sosial George Caspar Homans

Pertukaran sosial karya Homans menarik untuk juga dijadikan sebagai kerangka

pikir dalam memahami partisipasi pemilih dalam penelitian ini. Alasan utamanya

karena teori ini memandang perilaku sosial sebagai pertukaran aktivitas, ternilai

ataupun tidak dan kurang lebih menguntungkan atau mahal bagi dua orang yang

saling berinteraksi. Teori pertukaran ini berusaha menjelaskan perilaku sosial

dasar berdasarkan imbalan dan biaya. Dalam bangunan teori sosiologi, teori ini

masuk dalam rumpun perilaku sosial.

Mengembangkan temuan- temuan B.F Skinner, Homans lalu mencetuskan

beberapa proposisi yang merupakan inti dari teori pertukaran sosial. Proposisi-

proposisi tersebut antara lain proposisi sukses, proposisi stimulus, proposisi

kekurangan dan kelebihan, proposisi nilai, proposisi agresi-pujian, proposisi

rasionalitas.

Untuk kepentingan penelitian ini, kami hanya menggunakan tiga proposisi yakni

proposisi sukses, stimulus dan rasionalitas.

Proposisi Sukses

Jika seseorang sering melakukan suatu tindakan dan orang tersebut mendapatkan imbalan

dari apa yang ia lakukan, maka makin besar kecenderungan ia akan melakukannya pada waktu

yang akan datang.

Secara umum perilaku yang selaras dengan proposisi sukses meliputi tiga

tahap yaitu Pertama tindakan seseorang, Kedua hasil yang diberikan dan Ketiga

pengulangan tindakan asli atau minimal tindakan yang dalam beberapa hal

menyerupai tindakan asli.

Homans mencatat bahwa ada beberapa hal khusus terkait dengan proposisi

sukses. Pertama meskipun secara umum benar bahwa imblan yang semakin sering

dilakukan mendorong peningkatan frekuensi tindakan. Situasi timbal balik ini

mungkin berlangsung tanpa batas. Dalam beberapa hal individu sama sekali tidak

dapat terlalu sering berbuat seperti itu. Kedua semakin pendek interval antara

Page 31: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

27

perilaku dan imbalan, semakin besar kecenderungan seseorang melakukan

perilaku tersebut. Sebaliknya semakin panjang interval antara perilaku dan

imbalan memperkecil kecenderungan melakukan perilaku tersebut. Intinya

adalah imbalan tidak teratur yang diberikan kepada seseorang menyebabkan

berulangnya perilaku, sedangkan imbalan yang teratur justru membuat

masyarakat menjadi bosan dan muak melakukan hal yang sama pada waktu yang

akan datang.

Proposisi Stimulus

Jika pada masa lalu terjadi stimulus tertentu, atau serangkaian stimulus adalah situasi

dimana tindakan seseorang diberikan imbalan, maka semakin mirip stimulus saat ini dengan

stimulus masa lalu tersebut semakin besar kecenderungan orang tersebut mengulangi tindakan

yang sama atau yang serupa.

Homans tertarik pada proses Generalisasi yaitu kecenderungan untuk

memperbanyak perilaku pada situasi serupa. Namun, beliau juga berpendapat

bahwa proses diskriminasi juga penting. Seorang aktor menjadi terlalu sensitif

terhadap rangsangan khususnya jika rangsangan itu sangat bernilai baginya.

Sebaliknya aktor akan dapat merespon rangsangan yang tidak relevan, paling

tidak sampai situasinya dibenahi oleh kegagalan yang berulang. Semua itu

dipengaruhi oleh kewaspadaan individu atau perhatian mereka terhadap

rangsangan.

Proposisi Rasionalitas

Ketika seseorang memilih tindakan alternative, seseorang akan memilih tindakan

sebagaimana yang dipersepsikannya kala itu jika nilai hasilnya dikalikan dengan probabilitas

keberhasilan, maka hasilnya adalah lebih besar.

Jika proposisi sebelumnya banyak bersandar dari behaviorisme (perilaku

sosial). Proposisi rasionalitas secara gamblang menunjukkan pengaruh teori

pilihan rasional pendekatan Homans. Pada dasarnya, orang menelaah melakukan

kalkulasi atas berbagai tindakan alternatif yang tersedia baginya. Mereka

Page 32: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

28

membandingkan jumlah imbalan yang diasosiasikan dengan setiap tindakan.

Mereka pun mengkalkulasikan kecenderungan bahwa mereka benar-benar akan

menerima imbalan. Imbalan yang bernilai tinggi akan hilang nilainya jika actor

menganggap bahwa itu semua cenderung tidak akan mereka peroleh. Sebaliknya,

imbalan yang bernilai rendah akan mengalami pertambahan nilai jika semua itu

dipandang sangat mungkin diperoleh. Jadi terjadi interaksi antara nilai imbalan

dengan kecenderungan diperolehnya imbalan. Imbalan yang paling diinginkan

adalah imbalan yang sangat bernilai dan sangat mungkin tercapai. Imbalan yang

paling tidak diinginkan adalah imbalan yang paling tidak bernilai dan cenderung

tidak mungkin diperoleh. Beliau juga berargumen bahwa struktur skala besar

dapat dipahami jika kita memahami secara baik perilaku sosial dasar.

Menurutnya proses pertukaran identik pada level masyarakat terdapat proses

kombinasi fundamental yang lebih kompleks17.

Dengan demikian teori pertukaran melihat tatanan sosial sebagai hasil yng

tidak direncanakan dari tindakan pertukaran antara anggota masyarakat. Teori

pertukaran secara eksklusif menunjukkan upaya untuk menjelaskan kehidupan

dengan metode pilihan rasional. Teori pertukaran tumbuh dari fakta bahwa pasar

lembaga non industry masyarakat biasanya lebih sederhana daripada yang

ditemukan dalam ekonomi modern18.

17 George Ritzer. Teori Sosiologi (Bantul : Kreasi Wacana Offset. 2011), Hal 450-457.

18 Khoirul Yahya, dkk. Teori Politik (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press. 2013), Hal 137-141

Page 33: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

29

BAB III

PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA

KABUPATEN PROBOLINGGO

Partisipasi dalam pengertian konvensional adalah kehadiran pemilih pada

saat pemungutan suara untuk memilih wakilnya dalam pemilu. Namun, partisipasi

politik secara umum diartikan sebagai keterlibatan aktif individu ataupun kelompok

dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan yang berdampak pada

kehidupan mereka. Untuk dapat terlibat secara aktif maka dituntut pengetahuan

yang memadai mengenai politik maupun soal kepemiluan.

Pandangan dan beberapa macam bentuk partisipasi warga diperoleh melalui survey

dan wawancara yang dilakukan bulan juli lalu, terhadap 100 orang responden yang

mewakili tiga karakteristik wilayah kabupaten Probolinggo. Ketiga wilayah tersebut

meliputi wilayah perkotaan, pegunungan dan pesisir yang tersebar di kecamatan

kraksaan, paiton, kecamatan Gading dan Maron serta pesisir di Kecamatan Gending.

Metode Survey yakni wawancara tatap muka dilakukan untuk mencari pemahaman

masyarakat tentang pemilu maupun gambaran tentang “melek” politik warga.

“melek” politik yang digali dalam penelitian ini meliputi pengetahuan warga tentang

pemilu, politik lokal dan nasional, serta bagaimana bentuk partisipasi yang

dilakukan. Pemaparan berikut merupakan perpaduan sajian data sekaligus kajian

yang menjadi fokus penelitian.

I. Pengetahuan Politik Lokal dan Nasional

Dalam sistem demokrasi keberadaan pemilu berkala merupakan hal yang

penting untuk dilaksanakan. Pemilihan umum merupakan sarana konversi suara

rakyat menjadi kursi kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif. Pemilu,

Page 34: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

30

merupakan salah satu dari beberapa macam institusi politik dalam paktik demokrasi.

Menurut Robert Dahl (2005), dalam praktik demokrasi yang berskala besar

diperlukan sejumlah institusi politik, yang sekurang-kurangnya mencakup:

1. pejabat-pejabat yang dipilih

2. pemilu yang bebas (free), adil (fair), dan sering dilakukan

3. kebebasan berekspresi

4. sumber-sumber informasi alternatif

5. otonomi asosiasional

6. kewarga(negara)an yang inklusif.

Institusi-institusi tersebut saling terkait dan saling melengkapi, dan diperlukan demi

partisipasi yang efektif, untuk mengontrol agenda-agenda kebijakan, meningkatkan

saling pengertian, serta demi menjamin pengakuan atas hak dan peran-peran

kewargaan (inklusi) secara penuh.

Dalam sejarah keenam institusi tersebut tidak lahir sekaligus, melainkan bertahap.

Dua yang disebut terakhir lahir kemudian. Kewarga(Negara)an yang inklusif

mengandaikan pemilih yang memiliki pengetahuan memadai tentang siapa yang akan

dipilih, apa tugas dan peran anggota dewan, memiliki rekam jejak yang baik

keberadaan calon pemimpin baik legislatif maupun eksekutif. Dalam pengumpulan

survey yang telah dilakukan, para pemilih umumnya mengenal calon dengan baik

yakni sebesar 70 persen.

Page 35: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

31

Iya70%

Tidak30%

Mengenal Calon Anggota DPRD

Tingginya angka pemilih yang mengenal calon anggota DPRD tidak lepas dari

kedekatan secara geografis calon dan pemilihnya. Saluran-saluran informasi yang

menyampaikan atau mengenalkan keberadaan calon tersebut kepada pemilih

beragam, mulai dari stakeholder formal pemilu yakni Parpol maupun KPU, juga

memanfaatkan saluran institusi keluarga, pertemanan dan aparat desa.

21

13

13

22

KPU Kab

Parpol

Aparat Desa

Keluarga dan teman

0 5 10 15 20 25

saluran-saluran informasi

KPU Kab

Parpol

Aparat Desa

Keluarga dan teman

Dari diagram diatas terlihat bahwa institusi keluarga dan relasi pertemanan maupun

kelompok teman sebaya (peer group) memiliki andil besar untuk menyebarluaskan

rekam jejak calon kepada para pemilih. Dari sana juga tergambar bahwa upaya partai

Page 36: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

32

politik dalam menjajakan profil kader partai yang akan mencalonkan diri dalam

pemilihan legislatif sangatlah kecil yakni 19 persen, masih dibawah KPU yang diakui

30 persen responden.

Peranan keluarga dalam sosialisasi politik juga menjadi perhatian para ahli. Keluarga

merupakan salah satu agensi paling penting dan paling awal dalam sosialisasi politik.

Davies menyimpulkan bahwa sebagian besar kepribadian politik individu,

kecederungannya untuk berpikir dan bertindak secara politis, ditentukan di rumah,

sebelum dia mengambil peran sebagai orang dewasa1.

Peranan keluarga dalam memengaruhi sikap politik anak-anak muda ini juga terlihat

dalam studi mengenai pemberian suara saat pemilu. Terdapat kecenderungan kuat

pada para pemberi suara untuk memberikan dukungan kepada partai yang sama

dengan partai yang dipilih ayah mereka. Di Indonesia, saat orde baru anak-anak yang

berada di lingkungan keluarga Pegawai Negeri Sipil (PNS) cenderung menjatuhkan

pilihan politiknya pada Golkar dibanding anak-anak di luar komunitas PNS.

Namun perkenalan warga dengan calon legislatif sebatas personal, belum menyentuh

aspek substansial semisal program kerja dan rencana pengembangan dari partai

pengusungnya. Hal ini terlihat dari masih jauhnya pemilih akan program kerja partai

politik. Sebanyak 74 persen responden mengatakan tidak tahu program-program

kerja partai politik.

Minimnya angka keterlibatan dan partisipasi warga dalam setiap tahapan-tahapan

pemilihan, menjadi salah satu sebab adanya jarak antara partai politik dengan warga

konstituennya. Partai hanya mementingkan mendulang suara saat pemilihan

timbang memberikan pendidikan pentingnya politik. Maka bisa dimaklumi, tidak

1 James, C. Davies, “The Family’s Role in Politicial Sosialization”, Annals, 361, 1965. Hal II, dalamRush, Michael,….hal 61

Page 37: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

33

sedikit warga yang menyatakan tidak tahu tentang program-program kerja partai

politik.

Ini berarti, UUD RI No 2 tahun 2008 Tentang Parpol pada BAB VI Hak dan

Kewajiban Pasal 13 butir E dan K tidak dilaksanakan dengan optimal oleh partai

politik. Maka iya, hanya 26 persen responden yang mengatakan tahu tentang

program kerja partai politik.

Berjaraknya informasi program partai politik ternyata berbanding terbalik dengan

program individu calon anggota legislatif. Informasi seputar janji caleg lebih nyaring

terdengar dibanding program kerja partai politiknya. Gerakan menjaring hati warga

secara masif disebar baik melalui media cetak, elektronik hingga online. 74 persen

responden mengaku pernah mendengar janji-janji para kandidat. Mulai dari janji

bantuan sapi, sembako, perbaikan jalan, irigasi, renovasi Masjid, layanan kesehatan

dan pendidikan gratis. Hanya 26 persen responden yang mengaku tidak pernah

mendengar janji-janji manis partai politik atau kandidat.

26%

74%

Pernah dengar janji caleg ?Tidak Pernah Pernah

Salah satu indikator untuk menakar kualitas calon pemimpin adalah melihat dan

mencermati program kerja individu sebagai janji seorang caleg. Setiap proses pemilu,

baik pemilu legislatif atau eksekutif selayaknya mencantumkan prioritas perbaikan

maupun program yang akan diusung sang calon sesuai kebutuhan masyarakatnya.

Program kerja partai politik di kabupaten Probolinggo nampaknya masih sunyi

bahkan nyaris tak terdengar oleh warga.

Page 38: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

34

Bagaimana pengetahuan atau melek warga terhadap tugas dan fungsi anggota

legislatif maupun peran-peran seorang Bupati? Dalam hal ini pandangan warga yang

tersebar di tiga wilayah tersebut memahami bahwa tugas dan peran anggota legislatif

maupun seorang Bupati adalah sekedar pemberi santunan dan bantuan. Terlihat

dalam diagram berikut jawaban para responden

49%

37%

14%

Persepsi Warga Terhadap Tugas DewanMemberi Santunan/bantuan Membuat Perda lain-lain

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau oleh warga lebih dikenal dengan

istilah “dewan” diasumsikan sebagai pejabat yang bertugas memberi santunan

maupun bantuan. Masyarakat tidak memusingkan apakah anggota legislatif tersebut

memiliki kepekaan dan kemampuan merancang peraturan daerah yang menjadi

kebuituhan masyarakat atau tidak. “Seng penting loman” merupakan tolok ukur bagi

sebagian responden untuk mengukur integritas anggota dewan. Sementara sebanyak

37 % (tigapuluh tujuh persen) responden telah menilai bahwa tugas anggota dewan

daerah adalah merancang peraturan daerah yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Selain kedua persepsi tersebut, sebanyak 14 persen responden menjawab dengan

varian jawaban lain yakni menyatakan bahwa tugas anggota dewan mengayomi

masyarakat, mensejahterakan rakyat, pro rakyat maupun mengentaskan kemiskinan.

Demikian pula dengan pandangan warga atas tugas dan peran Bupati, jawaban yang

menyatakan tugas bupati memberi bantuan lebih besar yakni 56 persen.

Page 39: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

35

56%23%

21%

Peran BupatiMemberi Bantuan membuat Perbup lain-lain

Banyaknya warga yang menganggap Bupati sebagai pemberi bantuan maupun

santunan wajar mengingat dalam era pemilihan umum kepala daerah secara langsung

(pilkada), para incumbent banyak membelanjakan uang APBD untuk kegiatan bantuan

baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat.

Akibat panjang dari kegiatan tersebut adalah membentuk cara pandang (mindset)

masyarakat yang demikian rupa hingga menganggap bahwa tugas seorang kepala

daerah maupun anggota dewan adalah memberi santunan. Mindset atau cara

pandang ini bukan terjadi secara serta merta, namun berlangsung dalam jangka

waktu yang lama.

Partai politik, sebagaimana amanat UU No. 02 Tahun 2008 memiliki dua fungsi.

Menyelenggarakan pendidikan politik masyarakat dan rekrutmen politik dalam

proses pengisian jabatan politik. Sementara tugas komisi pemilihan umum adalah

memberikan informasi seputar penyelenggaraan pemilu berikut seluruh tahapan

penyelenggaraannya. Tabel berikut menyajikan perbedaan peran dan fungsi

sosialisasi Partai Politik dan KPU menurut undang-undang.

Page 40: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

36

Jenis Kegiatan PARTAI POLITIK KOMISI PEMILIHAN UMUM

Sosialisasi - Melakukan pendidikan politik dan

menyalurkan aspirasi politik

anggotanya;

- Menyukseskan penyelenggaraan

pemilihan umum;

(Pasal 13 UU No. 02 Tahun 2008

diperbaharui UU nomor 02 Tahun 2012)

Menyampaikan informasi

Pemilu Kepada Masyarakat

Namun masih terdapat secercah harapan karena sebagian warga sebanyak 23 persen

menyatakan bahwa tugas seorang kepala daerah adalah merancang dan menerbitkan

Peraturan Bupati (PERBUP). Sementara terdapat 21 persen menyatakan bahwa tugas

seorang kepala daerah adalah menyediakan lapangan pekerjaan, mengayomi

masyarakat serta mengentas kemiskinan. Membuka lapangan pekerjaan adalah salah

satu jenis peran bupati yang diharapkan masyarakat terutama saat ini dimana jumlah

warga yang membutuhkan makin banyak tiap tahunnya.

Pemahaman tentang politik nasional yang digali dalam survey penelitian ini hanya

meliputi peran dan kiprah anggota DPR RI. Terhadap peran dan fungsi anggota

legislatif di tingkat pusat sebagian besar masih buta, hal ini tergambar dalam

jawaban responden sejumlah 65 persen tidak tahu apa tugas dan fungsi anggota

legislatif. Sementara 35 persen lainnya menjawab bahwa tugas anggota legislatif

membuat undang-undang dan melakukan kontrol terhadap pemerintah serta

memperjuangkan otonomi daerah.

Tingginya jumlah warga yang mengenal peran anggota DPR RI jika dibanding

pengetahuan warga tentang peran anggota dewan daerah, tidak terlepas dari peran

televisi. Televisi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kesadaran

politik. Dalam sebuah studi, Dalton menemukan fakta bahwa 69% rakyat Amerika

Serikat menyebut televisi sebagai sumber informasi penting mengenai politik. Selain

Page 41: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

37

televisi, persebaran opini melalui internet, email juga mempercepat saling tukar

informasi dan meng up date kondisi perpolitikan mutakhir.

Penetrasi media semakin kuat ditengah budaya masyarakat yang semakin individual.

Masing-masing individu tidak lagi terikat dalam satuan-satuan perkumpulan

keagamaan semisal gereja, ormas islam maupun perkumpulan kepemudaan dalam

pembentukan sikap politiknya. Individualisasi ini terkait dengan proses perubahan

sosial dalam skala luas. Peningkatan pendapatan per kapita, mengendornya semangat

berorganisasi, pergeseran jenis usaha dari manufaktur ke sektor jasa adalah proses

perubahan sosial yang turut mempercepat individualisasi.

Peningkatan jenjang pendidikan dan jumlah masyarakat melek media (media literacy)

tidak berbanding lurus dengan kesadaran mereka untuk berpartisipasi dalam politik.

Dalam satu survey di Amerika Serikat terhadap 250.000 mahasiswa Universitas

California pada tahun 1998 menunjukkan hanya 27% yang merasa penting untuk

mengikuti masalah politik.

Pemahaman Tentang Pemilu

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala setiap lima tahun

hampir semua tahu, terutama kapan dan untuk apa dilaksanakan. Tatkala digali

lebih dalam apa makna serta tujuan partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu, maka

didapat jawaban sebagaimana dibawah ini. Melalui wawancara dengan model

pertanyaan terbuka, para responden menyebut bahwa kenapa mereka berpartisipasi

didorong oleh keinginan untuk mensukseskan pemilu serta mewujudkan hak dan

kewajiban sebagai warga Negara. Selain bertujuan pembuktian diri sebab kedudukan

sebagai warga Negara yang baik, juga dimotivasi oleh ramainya kontestasi caleg dan

berharap dapat memilih caleg disertai harapan agar memeroleh bantuan baik

material maupun bantuan dalam bentuk barang.

Page 42: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

38

Sementara terdapat jawaban yang menegaskan bahwa keterlibatan dalam pemilu

sekedar ikut-ikutan dan meramaikan acara, karena pemilu dianggap tak ubahnya

semacam pertunjukan atau even kegiatan lainnya. Saran dari aparat desa juga

menjadi dasar pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Pemilihan Umum atau dikenal luas dengan istilah pemilu merupakan sarana

pergantian kekuasaan baik kekuasaan legislatif maupun eksekutif, namun dalam

pandangan warga memiliki pemaknaan sendiri setingkat pemahaman mereka

terhadap pemilu itu sendiri. Dalam wawancara informan menyebut bahwa bagi

mereka pemilu bermanfaat untuk mengganti anggota legislatif baik di DPR maupun

DPRD sekaligus juga sebagai ajang evaluasi atas kinerja mereka selama lima tahun

berkuasa. Secara umum mereka juga menghendaki adanaya perubahan dan

pergantian wajah para legislatif tiap kali pemilu sehingga dapat mensejahteraan

rakyat. Bagi informan pemilu sangat besar maknanya utama bagi penentuan nasib

rakyat. Pemilu juga sebagai indikator kuat bahwa Indonesia telah menjadi Negara

demokrasi.

Selain makna optimis dan positif sebagian juga pesimis dengan menyebut pemilu

sebagai even yang menghamburkan uang banyak serta bertabur janji para calon

legislatif, ajang pencitraan para pemimpin.

II. Motif dan Partisipasi Warga dalam Pemilu

Partisipasi dalam bentuk keterlibatan warga dalam kegiatan politik

diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas penyelenggaraan pemilu. Pemilu

berkualitas memiliki dua indikator. Pertama, mekanisme dan tahapan

penyelenggaraannya dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat, kedua walaupun

mekanisme terbuka namun pemilu yang baik hasil perolehan suara pemenang tidak

bisa diprediksi.

Page 43: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

39

Partisipasi warga dalam pelaksanaan pemilu didorong oleh motif atau dorongan diri

yang kuat mengapa hal tersebut dilakukan. Ditanya apa yang membuat warga senang

terlibat aktif dalam pemilu, rata-rata responden mengaku dilatarbelakangi karena

sudah mendapat uang dari salah satu calon. Tentu alasan tersebut memang

memprihatinkan. Politik transaksional dan jual beli suara sudah dianggap biasa bagi

warga. Dari hasil wawancara, terungkap pendapat dari warga apa alasan yang

mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam pemilu. Warga pemilih yang senang

ikut terlibat aktif dalam pemilu karena ingin mensukseskan calonnya sendiri serta

ingin mendorong terealisasinya janji-janji politik calon. Juga ditemui alasan bahwa

riuh rendah pemilu mempunyai daya tarik tersendiri. Ramainya perbincangan

tentang pemilihan, juga menjadi alasan kebanyakan responden senang ikut terlibat

aktif dalam pemilu.

Alasan pemilih yang mengatakan bahwa keterlibatannya dalam pemilu hanya untuk

mensukseskan calon karena telah mendapat pemberian uang mengingatkan kita

pada proposisi sukses Homans. Proposisi itu mengatakan Jika seseorang sering

melakukan suatu tindakan dan orang tersebut mendapatkan imbalan dari apa yang ia lakukan,

maka makin besar kecenderungan ia akan melakukannya pada waktu yang akan datang

Pemilih yang menyatakan demikian bukan terjadi begitu saja (given), namun sebagai

bentuk pengulangan akibat imbalan atau stimulus yang diterima pada pemilu

sebelumnya. Sehingga tidak dikatakan pemilu jika tidak mendapat uang. Pola ini lalu

terbangun berulang dan membangun suatu tindakan sosial yang mapan.

Selain imbalan material, namun terselip juga harapan akan imbalan tak langsung

yakni mendorong caleg merealisasikan gagasan dalam rencana politiknya. Hal inilah

sebenarnya yang diharapkan dari penyelenggaraan pemilu, transaksi yang terjalin

adalah menukar suara untuk produk kebijakan yang membawa mashlahah bagi

masyarakat.

Page 44: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

40

Tentu tugas pelaksana pemilihan misal KPU, perlu memperhatikan sebab-sebab

menurunnya partisipasi warga. Apa yang membuat warga antusias dan apa sebab

sebab warga tidak antusias untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu.

Penuturan responden kenapa mereka tidak lagi antusias dalam penyelenggaraan

pemilu adalah kesibukan pemilih sendiri semisal kesibukan profesi, mencari nafkah

untuk keluarga, bayaran kecil dan atau lokasi jauh dari rumah. Bukan hanya alasan

kewajiban dalam rumah tangga dan yang sudah disebut diawal tadi, tapi juga dalam

pandangan kebanyakan pemilih, pemilu sudah tidak menarik, tidak ada gunanya,

hanya memboroskan anggaran negara.

Alasan lain yang dikemukakan kenapa warga sudah tidak lagi sreg membantu

pemilu, karena pemilih beralasan bahwa pemilu itu sudah ada panitianya. Hal lain

yang jadi sebab warga tidak lagi sreg terhadap pemilu, karena banyaknya calon ingkar

janji, ketika jadi lupa kepada pemilihnya. Sebagian warga juga menyatakan

pelaksanaan pemilu sudah tidak ada pengaruh. Rata-rata calon pun tidak dikenal

oleh warga.

Jika kita lihat perhelatan pemilu, maka terlihat tiga stakeholder utama pemilu yakni

pemilih, peserta pemilu dan penyelenggara dengan tugas pokok masing-masing.

Penyelenggara yang terdiri dari KPU Kabupaten, Panwas, PPK, PPS dan KPPS

bertugas untuk menyelngarakan dan menjamin terpenuhinya hak memilih warga.

Partai politik sebagai peserta pemilu berkewajiban untuk menciptakan kehidupan

politik yang mencerdaskan, merekrut kader yang potensial sehingga dapat

mempersembahkan produk kebijakan secara optimal.

Seputar Daftar Pemilih Sementara (DPS)

Secara teknis, tahapan penyelenggaraan pemilu dirancang oleh KPU sejak

kapan waktu penyelenggaraannya, penyusunan daftar pemilih sementara, penetapan

Page 45: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

41

dafatar pemilih tetap dan pelaksanaan kampanye sampai selesainya pemungutan

suara.

Salah satu tahapan krusial dalam penyelenggaraan pemilu adalah penetapan jumlah

pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Permasalahan dalam Daftar

Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu kali ini menduduki peringkat nomor satu, baru

kemudian disusul oleh persoalan lain-lain seperti logistik, teknik penghitungan suara

dan lainnya. Alur kegiatan pemutakhiran sebagaimana diamanatkan UU Nomor 08

Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden menetapkan Alur Pemutakhiran Data Pemilih sebagai berikut;

Dari alur diatas maka domain KPU Kab/Kota adalah pada pengolahan setelah

diterimanya Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang disediakan Pemerintah.

Semakin bagus kualitas bahan baku (DP 4) semakin cepat pula proses pemutakhiran

yang dilakukan dan sebaliknya. Selain disokong bahan mentah berupa kualitas DP 4,

pemutakhiran pemilih juga disokong oleh partisipasi aktif masyarakat sejak

pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS). Selama penggalian data dilapangan

antusiasme masyarakat demikian rendah, hal ini terlihat dari besarnya jumlah warga

yang tidak melihat pengumuman daftar pemilih sementara.

Pemerintahmenyediakandata pemilih

KPU Kab/Kota Mengolahdata tersebut dibantu

PANTARLIH, PPK dan PPS

KPU Menetapkan Peraturan tentangTatacara Penyusunan Daftar Pemilihdengan fase-fase sebagai berikut:- Penyusunan Daftar Pemilih yang

berasal dari DP 4- Pemutahiran Data

DPS, DPS HP- KPU Kab menetapkan DPT

Page 46: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

42

21%

79%

Pengumuman DPSTahu Tidak tahu

Data hasil wawancara kepada warga menerangkan bahwa hanya 21 persen responden

yang menyatakan tahu dan melihat data Daftar Pemilih Sementara (DPS). Responden

menjelaskan mereka tahu data DPS tersebut mayoritas dari panitia pemilihan/KPU

dan aparat desa. Sedang 79 persen responden menyatakan tidak tahu dan tidak

melihat data DPS yang sudah diumumkan. Dalam alam politik demokrasi, partisipasi

warga adalah kata kunci. Demokratis tidaknya suatu sistem politik dilihat dari tinggi

rendahnya tingkat partisipasi warganya. Salah satu indikator partisipasi ini dilihat

dari antusiasme warga dalam menggunakan hak pilihnya. Antusiasme menggunakan

hak pilih selalu dimulai dari usaha warga untuk melihat apakah dirinya sudah

terdaftar dalam daftar pemilih atau tidak.

Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang sudah diumumkan oleh panita pemilihan di

tempat pengumuman desa/kelurahan bertujuan untuk mendapat masukan dan

tanggapan dari warga. Warga yang sudah punya hak pilih namun namanya belum

terdaftar dalam DPS maka boleh memberitahu panitia pemilihan untuk dimasukkan

ke dalam daftar pemilih. Hal ini penting untuk akurasi data. Menjamin setiap warga

bisa mendapatkan haknya memilih dalam pemilu.

DPS yang sudah mendapatkan masukan dan tanggapan dari warga kemudian akan

diperbaiki oleh panitia pemilihan. DPS hasil perbaikan (DPSHP) akan dikirim oleh

panitia pemilihan ditingkat desa/kelurahan ke KPU Kabupaten/kota untuk

Page 47: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

43

ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). DPT yang sudah ditetapkan oleh

KPU Kabupaten/kota akan dikirim ke panitia pemilihan tingkat desa/kelurahan

kemudian diumumkan kembali hingga hari pemungutan suara dilaksanakan.

Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT)

29%

68%

Pengumuman DPTTahu Tidak tahu

DPT yang sudah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota tidak menjamin keakurasian

dan validitas data sepenuhnya. Maka perlu, warga sebagai pemilih melihat DPT yang

sudah diumumkan oleh panitia. Namun sayang 68 persen responden menjelaskan

bahwa dirinya tidak tahu dan tidak melihat DPT yang sudah diumumkan. Dan hanya

29 persen responden yang menyatakan bahwa dirinya tahu dan melihat DPT.

Pelaksanaan Kampanye

Dalam setiap tahapan pemilihan, yang selalu menarik untuk diperhatikan

adalah masa kampanye. Pelaksanaan kampanye sudah diatur dalam Peraturan KPU

RI No 01 tahun 2013 tentang pedoman kampanye, dan terakhir diubah oleh Peraturan

KPU RI No 15 tahun 2013.

Page 48: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

44

11%

89%

Terlibat Kampanye ParpolTerlibat Tidak terlibat

Kampanye adalah panggung bagi para kandidat untuk memaparkan visi misinya,

mengutarakan janji-janji, baik melalui alat-alat peraga di pinggir jalan hingga

kampanye terbuka. Tak jarang ditemui ketika ada gelaran kampanye terbuka, jalan

akan ramai hingga macet. Walaupun tentu banyaknya euforia pendukung disana sini

belum besaran dukungan yang sudah diperoleh kandidat.

Dalam UUD RI No 2 tahun 2008 Tentang Parpol pada BAB V Tujuan dan Fungsi

Pasal 10 ayat 2 point (a) yang berbunyi; Meningkatkan patisipasi politik anggota dan

masyarakat dalam rangka penyelenggaraan politik dan pemerintahan. Namun fakta

yang ditemui dilapangan, keterlibatan warga dalam partisipasi politik, semisal

kampanye hanya 11% persen. Angka sekecil itu pun karena alasan menjadi tim

sukses, diajak keluarga dan dapat kaos dan uang.

89 persen responden menyatakan tidak ikut terlibat dalam kampanye. Variasi alasan

karena; sibuk kerja, tidak ada yang ajak dan ada pula yang menyatakan, terlibat

dalam kampanye hanya bikin capek. Alasan-alasan tesebut menunjukan bahwa

warga mulai tidak lagi tertarik dengan proses euforia pemilu.

Pemungutan dan Penghitungan Suara

Page 49: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

45

Pemungutan dan pengjitungan suara dilaksanakan pada saat hari libur atau

hari yang diliburkan. Pemerintah menetapkan hari libur agar masyarakat terlibat

penuh dalam pelaksanaan pemilihan umum tersebut.

13%

87%

Proses Pemungutan dan PenghitunganSuara

Iya Sampai Selesai Tidak, habis nyoblos pulang

Kenyataan pada saat hari pemungutan suara, warga hanya hadir ke Tempat

Pemungutan Suara (TPS), menggunakan hak pilih, selesai, lalu pulang. Sebanyak 87

persen responden mengaku demikian. Mereka tidak peduli apapun hasilnya dan

bagaimana prosesnya. Seakan-akan bagi mereka demikianlah berpolitik. Datang

mencoblos, selesai, lalu pulang.

Kepedulian atas hasil serta perlunya pengawasan atas proses pemungutan suara di

TPS hanya dilakukan oleh 13 persen responden. Itu pun, karena menjadi tim sukses

salah satu calon, hingga penting untuk mencatat hasil. Juga karena menjadi saksi

hingga perlu melihat bagaimana jalannya proses pemungutan dan penghitungan

suara. Apakah sesuai dengan prosedur atau tidak? dan atau untuk memastikan tidak

ada kecurangan/kejanggalan yang dilakukan oleh pelaksana pemilihan. Dan andai 13

persen responden itu kemudian tidak jadi tim sukses dan saksi, bisa ditebak mereka

pun tidak akan menunggu dan mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan

suara.

Dari gambaran diatas kita memiliki pemahaman bahwa pemahaman warga tentang

partisipasi politik masih berkutat pada beberapa hal. Pertama, oleh sebagian besar

masyarakat masih dilihat sekedar pemberian suara pada saat pemilu (contreng atau

Page 50: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

46

coblos). Cara pandang semacam ini, menyebabkan pemilih hanya berfungsi sebagai

kontributor suara saja. Tidak lebih dari itu. Pemilu dianggap dan seringkali disebut

“pesta demokrasi” yang dirayakan lima tahun sekali sebagai “muara” dari proses

politik. Pasca pemilu, mereka merasa tidak lagi memiliki keterlibatan apa-apa dalam

proses politik selanjutnya.

Pemahaman ini terbangun melalui fase yang sangat panjang. Pemerintah Orde Baru,

melalui proyek de-ideologisasi, de-politisasi memisahkan massa pemilih dengan

partai politik dan kegiatan yang bersinggungan dengan politik. Kebijakan yang

berlangsung puluhan tahun ini menghantarkan masyarakat menuju kondisi yang

emoh politik. Tidak ambil pusing dan merasa tidak punya kaitan apa-apa dengan

proses politik (baca; pengambilan keputusan) yang sedang dan akan berlangsung.

Partisipasi politik pada masa tersebut, dan berlangsung hingga hari ini, adalah hadir

di TPS dan memberikan hak pilihnya.

Konsekuensi lanjutan dari sikap ini adalah pemilu dianggap sebagai kebutuhan para

calon/kandidat, dan bukan kebutuhan para pemilih (masyarakat). Tak heran jika

setiap even pemilihan baik pemilu/kada, sebagian pemilih menunggu “mobilisasi”

dari calon atau tim sukses. “Mobilisasi” dimaksud adalah anggaran yang diterima

oleh pemilih untuk hadir dalam rapat-rapat kampanye, sosialisasi kandidat sampai

hadir di TPS dan memberikan suaranya.

Kedua, melihat bahwa demokrasi serta kegiatan politik berada di arena perebutan

kekuasaan semata. Tidak hanya pada level pemilihan Presiden, Gubernur atau

Bupati/Walikota, bahkan pada saat pemilihan RT/RW pun mereka menyebut

dengan istilah berdemokrasi. Oleh karena pemahamannya hanya seputar perebutan

kekuasaan, maka, pelaku politik adalah mereka yang tercatat sebagai pengurus

partai, kandidat peserta pemilihan, serta tim suksesnya. Pemilih (voters) tidak merasa

menjadi bagian penting dari elemen demokrasi.

Pemahaman ini, setidaknya disebabkan oleh belum optimalnya partai politik sebagai

sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi

untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.

Page 51: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

47

80%

19%

Janji CalegTidak menepati Menepati

Salah satu alasan kenapa kemudian pemilih banyak tidak peduli dengan pemilu

adalah sikap para kandidat yang ketika jadi, lupa pada janji-janjinya. Masyarakat

kemudian menganggap bahwa pemilihan tidak punya arti apa-apa. Tidak ada

perubahan setelahnya, tidak ada dampaknya yang terasa oleh warga. Sejumlah 80

persen responden mengatakan bahwa para kandidat ketika sudah terpilih, tidak

menepati janjinya.

Banyaknya janji yang diingkari, ketika jadi lalu lupa diri, ini tidak kecil pengaruhnya

bagi pandangan masyarakat. Maka maklum, perlahan-lahan warga pun menganggap

bahwa pemilu adalah waktu untuk mendapatkan uang secara gratis. Bukan waktu

untuk benar-benar menyeleksi kandidat. Bukan waktu untuk mencermati dan

mengkritisi visi-misi kandidat.

Page 52: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

48

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

15

20

13

19

14

5

0

7

1

6

Janji CalegMenepati Tidak menepati

III. Pandangan Warga di Lima Kecamatan

Berikut kami tampilkan pengumpulan data di lima kecamatan dalam survey

partisipasi pemilih kabupaten Probolinggo dalam bentuk diagram dibawah ini.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

13

14

16

16

11

7

6

4

4

9

Mengenal Calon Anggota DPRDTidak Kenal Kenal

Kita lihat diagram batang diatas bahwa untuk calon anggota DPRD, para pemilihrata-rata secara personal telah mengenal baik calon yang diajukan partai politikdalam pemilu legislatif 2014 lalu.

Page 53: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

49

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

3

6

0

2

3

4

0

4

2

6

Alasan MemilihDiajak seseorang Tebak-tebakan

Bagi pemilih yang tidak kenal dengan calon secara langsung, maka yang menjadi

dasar untuk menjatuhkan pilihan karena dua hal yakni diajak oleh teman/keluarga

sebagai orang terdekat, namun tak jarang karena tidak tersentuh oleh kampanye baik

parpol maupun individu calon terdapat pemilih yang asal memilih. Di lima

kecamatan tersebut, nampak wilayah kecamatan Gading atau daerah “atas” lebih

banyak yang asal memilih.

Page 54: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

50

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

6

4

3

8

0

2

0

7

1

3

1

8

0

3

1

4

2

6

4

7

Saluran InformasiLainya Aparat Desa KPU Parpol

Bagi yang tahu calon, maka saluran-saluran yang berperan mengenalkan calon

tersebut adalah parpol, KPU, Keluarga dan Aparat Desa. Dari diagram diatas terlihat

pemilih kraksaan yang paling besar memanfaatkan institusi KPU sebagai saluran

untuk mengenal calon. Hal ini karena kedekatan geografis maupun aktifitas KPU

Kabupaten yang terletak di kecamatan kraksaan berpengaruh kuat untuk para

pemilih.

0 2 4 6 8 10 12

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

2

1

0

8

3

12

12

9

4

12

6

11

11

8

5

Peran Anggota DPRD

Lainnya

Membuat Peraturan

Memberi Santunan

Page 55: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

51

Pemahaman terhadap tugas dan peran anggota DRPD, lapisan terbesar dari lima

kecamatan tersebut menjawab bahwa peran utamanya adalah memberi santunan

maupun bantuan. Pemahaman lebih baik terhadap tugas DPRD yakni membuat

perda maupun tugas lain terdapat pada pemilih Kraksaan dan Paiton.

Namun untuk pemilih di kecamatan kraksaan, saat ditanya dengan pertanyaan yang

sama untuk peran seorang Bupati, maka lapisan terebsarnya adalah menjawab

membri bantuan dan santunan. Dalam diagram batang dibawah terlihat jawaban

pemilih di lima kecamatan

0 5 10 15 20

Gending

Kraksaan

Maron

Peran Kepala Daerah

Lainnya

Membuat Peraturan

Memberi santunan

Pemahaman pemilih terhadap peran anggota DPR RI lebih jauh lagi karena rata-rata

mereka tidak tahu apa peran anggota DPR RI

Page 56: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

52

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

8

6

9

10

2

12

14

11

10

18

Peran DPR RITidak tahu Tahu

Walaupun tidak memahami peran dan wewenangnya, namun secara personal

mengaku tahu dan kenal dengan calon anggota DPR RI dalam pemlihan Umum

Legislatif 2014 lalu.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

15

15

12

13

10

5

5

8

7

10

Kenal Calon Anggota DPR RI

Tidak Kenal Kenal

Partisipasi Pemilih dalam Pemilu

Page 57: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

53

Salah satu tahapan yang menuntut partispasi warga agar terlibat aktif adalah

pengumuman DPS sampai penetapan DPT. Pada tahapan pengumuman DPS,

menurut pengakuan warga masih banyak yang tidak tahu kapan dan dimana

pengumuman tersebut disampaikan.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

4

1

5

6

5

16

19

15

14

15

Pengumuman DPSTidak Tahu Tahu

Begitu juga dengan pengumuman DPS Hasil Perbaikan untuk ditetapkan menjadi

DPT, pemilih juga banyak yang belum tahu. Lapisan terbesar yang mengaku tidak

tahu pengumuman DPT ada di wilayah kecamatan Gading.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

6

0

6

7

10

14

20

19

13

10

Pengumuman DPTTidak Tahu Tahu

Page 58: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

54

Kampanye politik adalah wadah untuk mengenalkan program dan visi perjuangan

kepada masyarakat luas. Namun saat ini sebagian besar responden menyatakan tidak

terlibat dalam penyelnggaraan kampanye parpol tersebut.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

4

2

1

3

1

16

18

19

17

19

Kampanye Partai PolitikTidak Terlibat Terlibat

Akibat lebih jauh dari keengganan masyarakat terlibat dalam kampanye partai

politik, adalah menjauhnya informasi tentang program kerja parpol dari masyarakat.

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

13

14

16

17

14

7

6

4

3

6

Program Kerja ParpolTahu Tidak tahu

Page 59: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

55

Sepinya infromasi tentang program kerja parpol, rupanya tidak berbanding lurus

dengan pengetahuan warga akan rencana caleg. Sebagian besar warga mengetahui

rencana kerja maupun janji yang diucapkan seorang calon anggota legislatif.

Gend…

Gading

Kraks…

Paiton

Maron

3

1

7

10

5

17

19

13

10

15

Rencana Kerja CalegPernah Tidak pernah

Hari Pemungutan dan Penghitungan Suara

Saat pemungutan suara, rata-rata warga hanya memberikan suara lalu pulang,

tidak mengikuti proses penghitungan sampai selesai. Terdapat warga yang mengaku

mengikuti proses penghitungan sampai selesai, namun

kecil.

0 5 10 15 20

Gending

Gading

Kraksaan

Paiton

Maron

6

0

0

4

3

14

20

20

16

17

Pemungutan dan Penghitungan Suara

Habis coblos pulang

Iya, sampai selesai

Page 60: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

56

Komposisi Responden; Usia dan Jenis Kelamin

Laki-laki58%

Perempuan42%

Jenis Kelamin Responden

9

45

45

35

2

Usia 17-21 Usia 22-55 Usia >55

Usia RespondenLaki-Laki Perempuan

Page 61: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

58

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan temuan dan analisis yang peneliti kembangkan dari

jawaban atas permasalahan penelitian maka diperoleh informasi berikut;

- Perpolitikan tanah air telah bergeser dari penentuan

keputusan yang serba pusat menjadi kewenangan daerah

sehingga lebih dekat dengan rakyat. Dengan demikian maka

pemahaman terhadap politik lokal oleh warga juga senantiasa

terus ditingkatkan. Politik lokal dalam penelitian ini meliputi

peran dan fungsi anggota DPRD maupun Bupati. Dalam

temuan dan kajian data lapangan bahwa pemahaman warga

atas peran kedua pilar utama pemerintah daerah belum mapan.

Lapisan terbesar warga Probolinggo menjawab bahwa peran

dan fungsi keduanya adalah memberi bantuan maupun

santunan. Selebihnya menjawab pembuat perda, mengayomi

masyaraat miskin serta menciptakan lapangan pekerjaan. Jika

kita cermati maka hal ini bukan terjadi secara tiba-tiba, namun

berlangsung dalam waktu lama. Keputusan untuk

menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung

serta penetapan anggota DPRD melalui mekanisme suara

terbanyak hadir memperantarai cara pandang tersebut. Telah

kita ketahui bersama bahwa untuk meraih simpati pemilih,

Page 62: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

59

maka kontestan pemilu melakukan cara-cara pragmatis untuk

membujuk para pemilih dengan bantuan material maupun

santunan yang dikemas dalam bantuan pemerintah daerah.

- Motif yang melatarbelakangi aktifnya partisipasi warga

menjelang pelaksanaan pemilu membentang mulai dari alasan

mendapat uang dari para calon, suksesi calon dukungan,

mendorong terealisasinya janji-janji politik hingga karena

sekedar suka dengan euforia pemilu semata. Sedang

keengganan warga untuk terlibat aktif dalam pelaksanaa

pemilu disebabkan selain alasan sudah ada panitia, sibuk kerja,

jarak yang tidak dekat, calon yang tidak dikenal warga, janji-

janji yang dilupakan oleh calon ketika sudah terpilih, hingga

pada adanya anggapan warga bahwa pemilu tidak membawa

perubahan yang signifikan bagi kehidupan pemilih.

Keengganan pemilih untuk terlibat aktif dalam pemilu bukan

karena kurangnya sosialisasi KPU, tapi dipengaruhi hal lain

diluar teknis KPU. Faktor-faktor tersebut antara lain, seperti

banyaknya praktek koruptif, janji-janji politik yang tidak

ditepati hingga praktek politik uang oleh peserta pemilu.

Kesimpulan ini mematahkan asumsi selama ini yang

mengatakan bahwa rendahnya partisipasi pemilih dalam

pemilu disebabkan kurangnya sosialisasi oleh KPU.

Page 63: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

60

B. Saran

Penelitian ini semoga dapat menjadi acuan bagi perbaikan kehidupan

demokrasi dan perpolitikan di tingkat lokal. Hasil penelitian yang tengah

dilaporkan ini memiliki sejumlah pertanyaan lanjutan untuk dikembangkan bagi

peneliti selanjutnya yang berminat terhadap masalah sejenis yang tidak sempat

tereksplorasi dalam kegiatan ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan yakni;

- Bagaimanakah usaha-usaha yang dilakukan secara berkelompok

maupun profesional dalam membantu penyehatan demokrasi di

tingkat lokal/daerah?

Sedangkan bagi kepentingan praktis perpopolitikan daerah, upya yang harus

dilakukan adalah;

- Perbaikan rekruitmen politik oleh partai politik, peningkatan

kehidupan berdemokrasi melalui pendidikan politik yang menjadi

kewajiban partai politik

- Perlu dicari langkah-langkah menarik dan praktis dari KPU

Kabupaten Probolinggo saat pengumuman DPS, DPT agar menarik

partisipasi masyarakat.

Page 64: Pemilu dan Partisipasi Politik Warga (KPU Kabupaten Probolinggo)

DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim, 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Buku Sumber untuk Penelitian

Kualitatif, Yogyakarta:Tiara Wacana

Bagong Suyanto dan Sutinah (ed) , 2005, Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif

Pendekatan, Jakarta: Kencana

Keith, Faulks, 2010., Sosiologi Politik, Pengantar Kritis, Bandung: Nusamedia

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Margaret M. Poloma, 2000., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada,

Masri Singarimbun, (ed.), 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES.

W. Lawrence Neuman, ,2003., Sosial Research Methods, Qualitative and Quantitative

Approaches 5th ed., New York: Pearson Education Inc.