PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama...

31

Click here to load reader

Transcript of PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama...

Page 1: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN-KONTEMPORER Mar 28, '08 11:25 AMfor everyone

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN-KONTEMPORER?Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat. A.    Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.1.    Rasyid Ridha Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.

2.    Sayyid Qutub dan al-Maududi

Page 2: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat ., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip

Page 3: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.

B.    Tipologi Pemikiran Politik Islam SekulerKebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq danLuthfi al-Sayyid.Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. Tesis utama dari buku ini adalah:1.    Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.2.    Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.3.    Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.4.    Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian. 1.    Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.2.    Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara. 3.    Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan

Page 4: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan

Page 5: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.

C.    Tipologi Pemikiran Politik Islam ModeratBerbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.1.    Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.2.    Muhammad Abduh (1862-1905)Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari

Page 6: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala

Page 7: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.3.    FazlurrahmanBila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10

Page 8: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habissekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.

Source: http://grms.multiply.com/journal/item/25

Mabni Darsi,MA, Alumnus International Islamic University Pakistan

Negara Islam dalam Pemikiran Politik Gerakan Islam KontemporerFenomena kemenangan gerakan Islam (Islamic movement) di pentas politik kerap menjadi sorotan para pengamat Barat dan pengamat muslim sekuler. Salah satu alasan yang sengaja mereka hembuskan adalah bahwa gerakan Islam mempunyai hidden agenda yaitu mendirikan Negara Islam yang berlandaskan ideology Islam. Sehingga meskipun kemenangan gerakan Islam lewat proses demokrasi kerap kali tudingan itu tertuju kepada gerakan Islam sehingga dikalangan para pengamat Barat, sebagaimana dikutip oleh John L. Esposito ada kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya hijack democracy (pembajakan demokrasi) oleh gerakan Islam yang tampil di kancah politik.

Kemenangan HAMAS dalam proses pemilu, - sebelumnya George W.Bush menyambut positif pemilu tersebut dan menyatakan sebagai pemilu paling demokratis di Timur Tengah - , namun setelah hasil pemilu dimenangkan oleh HAMAS degan serta merta Amerika dan Uni Eropa dan komplotannya ramai-ramai melumpuhkan pemerintahan Haniya dengan cara mengembargo secara ekonomi. Sebelumnya kemenagan FIS di Aljazair juga tidak luput dari penolakan Gedung Putih. Kemenangan partai Refah di Turki di bawah pimpinan Najmudin Erbakan juga hanya seumur jagung. Kemengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki juga tidak luput dari tudingan stigma

Page 9: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

negative meskipun partai tersebut secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai partai sekuler.

Ketika partai Islam seperti PKS mendapatkan suara yang cukup signfikan, pertanyaan tentang Negara Islampun bertubi-tubi ditujukan kepada para petinggi partai berasaskan Islam tersebut. Kini setelah partai tersebut memutuskan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan mengajukan Cawapres kepada presiden SBY, kekhawatiran itupun kembali mencuat ke permukaan khususnya dari kalangan yang sejak awal memang telah mencurigai kemunculan PKS (sebelumnya bernama PK) di ranah politik nasional.

Gerakan Islam dan Demokrasi

Sebagai sistem impor dan produk Barat Western product , Demokrasi memang menuai kontrofersial dikalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam (di sini bukan tempatnya untuk membawakan argumen masing-asing pihak). Kita dihadapkan kepada sebuah fakta bahwa pasca kemerdekaan Negara-negara mayoritas muslim dari imperialisme Barat, sistem demokrasi menjadi yang berlaku di hampir seluruh negara-negara tersebut.

Kaum musliminin dihadapkan kepada pranata-prananata demokrasi seperti pemilihan umum, sistem presidensial dan sitem parlementerial. Sebagian kaum muslimin yang tidak puas dengan sistem ini memilih jalur konfrontasi dan angkat senjata sebagai pilihan untuk mendirikan Negara Islam, sehingga di Indonesia lahirlah NII (Negara Islam Indonesia), DI (Darul Islam) Korto Suwiryo dan gerakan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Natsir dengan Masyuminya menempuh jalur yang 'lebih cerdas' dalam memahami demokrasi sebagi sarana untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam. Bahkan keberhasilan Natsir sebagai perdana mentri pertama di Indonesia adalah sebuah eksperimen pertama di dunia Islam dimana seorang tokoh yang memperjuangkan cita-cita politik Islam berhasil masuk ke jantung kekuasaan.

Dalam sejarah perjalan sejarah perjuangan kaum muslimin di Indonesia, dua jalan yang berbeda antara aliran yang menempuh jalan 'demokrasi'dan jalan 'jihad' sama-sama mempunyai penerus dan pengikut. Sehingga ada kelompok yang mengharamkan ikut serta dalam proses demokrasi dan menempuh jalur 'jihad.' Dengan mengusung slogan penegakan Syar'at Islam di bumi Indonesia. Sedangkan mereka yang ikut berpartisipasi dalam proses demokrasi lebih banyak diilhami oleh cita-cita politik yang diperjuangkn oleh M.Natsir dengan Masyuminya dan Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya. Dan ada kelompok lain yang menjadi bagian dari gerakan internasional yaitu Hizbu Tahrir mengusung penegakan kembali Khilafah Islamiyah.

Dalam pandangan tokoh-tokoh gerakan Islam, demokrasi adalah sistem yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin meskipun memang diakui sistem ini tidak luput dari kekurangan. Namun membiarkan sistem ini berjalan tanpa keikut sertaan gerakan Islam justru akan melahirkan mudharat yang lebih besar terhadap kepentingan umat. Disamping itu, sistem demokrasi yang berlandaskan segala keputusan kepada suara terbanyak ada kesamaanya dengan sistem Syura dalam Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan.

Page 10: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Namun yang membedakan 'suara terbanyak' dalam Islam dan 'suara terbanyak' dalam sistem demokrasi, bahwa dalam Islam ranah Syura adalah ranah Ijtihadiyah; sesuatu yang telah jelas keharamannya seperti zina tidak bisa dihalalkan lewat jalur demokrasi, sebagaimana yang ditegskan oleh para ulama ushul fiqih " la ijtihada ma'an nash." Tidak ada Ijtihad terhadap nash yang sudah qat'i. Dalam masyarakat yang mayoritas muslim, kata Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, mereka tidak akan menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan, dan inilah yang membedakan demokrasi di dunia Islam dengan demokrasi di Barat. Menurut Abul A'la Almawdudi, pendiri Jama'at Islami di Pakistan, tidak ada jalan lain untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam kecuali kaum muslimin harus tampil dengan memanfaatkan proses demokrasi, seperti pemilihan umum. ' There is no other way in a democratic system except to participate in the battle of elections, that is by educating the public opinion in the country and changing the people's standard in electing their representative … by doing so, we would be in a position to hand power to righteous men, who are eager to develop the country in the pure basis of Islam.' .

Syeikh Abdul Aziz bin Baz ulama kharismatik di Saudi Arabia yang semasa hidupnya pernah menjadi mufti Saudi Arabia dalam sebuah wawancara dengan majalah Al-Jusur yang terbit di Saudi Arabia edisi 6 Dzul Qa'dah 1424 H. : membolehkan kaum muslimin ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak berlandaskan Islam selama niat mereka untuk memperbaiki Negara dan menyampaikan messege atau dakwah Islamiyah. Syeikh Al-'Usaimin yang juga salah seorang ulama dari Saudi Arabia dengan tegas lagi mengatakan bahwa tidak boleh membiarkan parlemen diisi oleh orang-orang fasik dan sekuler.

Kaum sekuler selalu berusaha agar gerakan Islam tidak memasuki ranah pemerintahan dan kekuasaan karena dengan demikian mereka akan lebih leluasa menyuarakan cita-cita sekuler mereka. Sehingga dihembuskanlah pandangan-pandangan yang menyesatkan umat seperti bahwa Islam hanya agama yang tidak ada kaitannya dengan politik dan Negara. Mereka ingin 'memenjarakan' Islam hanya sebatas dinding masjid yang tidak bisa keluar. Dan ironisnya tidak sedikit kaum muslimin yang terbawa arus menyesatkan ini ikut menuding partai yang mengusung cita-cita dakwah dan politik Islam hanya sekedar memburu kekuasaan. Padahal dalam Islam meraih kekuasaan bukanlah tindakan yang menyalahi syari'at yang penting jalannya adalah dengan jalan terhormat.

Bentuk Negara Yang Dicita-citakan

Setelah gerakan Islam tampil di kancah politik dan mendapat popularitas signifikan dari masyarakat maka muncullah pertanyaan-pertanyaan yang bernada curiga dari mereka yang tidak menghendaki tampilnya gerakan Islam. Pertanyaan yang kerap muncul adalah Negara bagaimanakah yang dikehendaki oleh gerakan Islam? Agenda mendirikan Negara Islam kerap dianggap sebagai 'hiden agenda' dari gerakan Islam. Kurangnya pemahaman tentang agenda-agenda politik Islam melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah kaprah terhadap agenda politik gerakan Islam. Wajah thaliban di Afghanistan kerap dijadikan oleh media Barat sebagai wajah gerakan Islam jika bekuasa. Padahal tokoh-tokoh dan inspirator gerakan Islam mengkritik tindakan thaliban yang justru banyak mencoreng citra Islam.

Page 11: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Menela'ah platform dan agenda-agenda politik gerakan Islam di dunia Islam serta pernyataan dan tulisan-tulisan tokoh dan inspirator gerakan Islam termasuk di Indonesia, kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa mendirikan Negara Islam sama sekali bukan agenda utama mereka. Tema utama mereka adalah Al-Islam huwal hal atau Islam is the solution. Solusi Islam terhadap segala permasalahan bangsa yang mencangkup politik, sosial dan ekonomi. Bagi gerakan Islam mewujudkan pemerintahan yang bersih jauh dari korupsi, mensejahterakan rakyat (prosperity), mempertahankan integritas bangsa dan Negara, menegakkan supermasi hukum, proesional, mendukung segala proses demokratisasi di dunia Islam adalah agenda-agenda yang mendesak untuk diwujudkan. Agenda-agenda tersebut adalah sebuah nilai-nilai universal yang diterima oleh seluruh komponen bangsa.

Dr.Yusuf Al-Qaradhawi, salah seorang tokoh yang karya-karya ikut mengilhami gerakan Islam kontemporer dalam karyanya Fiqhud Dawlah mengatakan bahwa Negara yang dikehendaki oleh Islam adalah Negara yang belandaskan sipil bukan "Negara teokrasi" atau "Negara kaum agamawan" yang selama ini dituduhkan oleh media-media Barat. Hal senada ditegaskan oleh Abdul Mun'im Abdul Fatuh, salah seorang tokoh dan anggota Maktab Irsyad Ikhwanul Muslimin di Mesir, dalam wawancara dengan islamonline (14/12/2005) beliau menegaskan bahwa definisi kontemporer tentang Negara Islam adalah Negara yang dihuni oleh mayoritas kaum muslimin. Negara sipil (madani) yang dikelola oleh orang-orang yang profesonal, bukan Negara teokrasi yang dikelola oleh kaum agamawan.

Lebih lanjut, beliau mengutip ungkapan Muhammad Mahdi 'Akif, mursyid 'am (pimpinan) Ikhwanul Muslimin bahwa negara yang dicita-citakan adalah negara sipil yang berlandaskan kepada kebebasan (hurriyah) dan demokrasi, memberikan hak kepada warga negara untuk membentuk partai poltik. Negara Islam, lanjut Abdul Mun'im Abdul Fatuh adalah Negara yang menerapkan pembagian kekuasaan (check and balance) antara eksekutif, legilatif dan yudikatif. Bahkan sistem pembagian kekuasaan ini, menurut beliau telah diterapkan pada masa khalifah Umar bin Khattab.

Negara yang dikehendaki oleh Islam, menurut Syeikh Qaradhawi adalah Negara yang berlandaskan kepada mufakat dan musyawarah bukan Negara kerajaan. Negara yang dibangun berdasarkan berbagai prinsip demokrasi yang baik, tetapi berbeda dengan demokrasi Barat , persamaan antara keduanya adalah keharusan rakyat memilih kepala Negara, rakyat tidak boleh dipaksa untuk memilih pemimpin mereka, seorang kepala Negara bertanggung jawab di hadapan wakil-wakil rakyat. Bahkan para wakil rakyat tersebut, menurut Syeikh Qaradhawi berhak memecat (impeachment) bila sang pemimpin melakukan hal-halyang inskonstitusional.

Dalam menegakkan cita-cita tersebut gerakan Islam harus bersama-sama dengan pihak lain yang bisa saja berbeda secara ideology partai, dalam membangun Negara. Maka koalisi setrategis (at-Tahâluf as-Siyasi) dalam membangun bangsa dan Negara adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Dan perlu digaris bawahi bahwa tidak ada nash syari'at yang melarang kaum muslimin untuk bersama-sama golongan lain yang berbeda agama dalam membangun Negara.

Page 12: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Bahkan menurut Dr.'Isham al-Basyir, salah seorang tokoh gerakan Islam di Sudan dan sekjen Markaza al-'Alami lil washatiyah, mengatakan bahwa ulama sepakat bolehnya non muslim menjabat kementrian, kecuali tiga pos penting seperti Presiden, karena tugas presiden dalam Negara Islam adalah hurasatud din waddunya, Mahkamah agung dan Pimpinan militer ( Pangab) karena adanya kewajiban jihad yang hanya dibebankan kepada kaum muslimin dalam Negara Islam (Koran harian Al-Harakah, Kuwait 8/01/2007).

Tampilnya gerakan Islam di pentas politik dan ketelibatan mereka dalam proses demokrasi seharusnya disambut positif. Pemerintahan yang otoriter yang menyumbat proses demokratisasi di dunia Islam menurut John L. Espsito, justru hanya akan memicu dan memelihara lahirnya oposisi militan, tindakan-tindakan radikal, instabilitas politik dan munculnya terorisme global, "Autocratic governments may be able to derail or stifle the process of change; however they will merely delay the inevitable. The realities of most Muslim societies and the aspirations of many citizens require greater political liberalization. Failure to do so will continue to contribute to the conditions that foster militant opposition, radicalization, political instability and Global terrorism".

Wallahu A'lam bis Shawab

Source: http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/mabni-darsi-ma-alumnus-nternational-islamic-university-pakistan-negara-islam-dalam-pemikiran-politik-gerakan-islam-kontemporer.htm

Politik Islam di Indonesia

Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.

Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia.

Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer

Page 13: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

dari konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang surut Islam politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam politik baru di Indonesia.

Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W Montgomery Watt, pengamat Islam bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, menurut Watt adalah tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.

Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya dapat dikelompokkan pada dua bentuk kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang bercorak ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq yang dengan interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam menjadi berwajah kultural dan komplementer.

Pemikiran MaududiMenurut konseptualisasi Maududi, kebutuhan dan pembenaran untuk suatu negara Islam timbul dari pemahaman akan tatanan universal. Karena itu negara Islam adalah bagian dari teologi terpadu, luas, yang prinsip pokoknya adalah kedaulatan Tuhan. Negara atau alat lain yang akan melaksanakan kekuatan politik merupakan konsekuensi pada konsepsi universal yang diatur Tuhan bagi kehidupan manusia di dunia.

Untuk itu Maududi merumuskan negara Islam dengan menggunakan dua cara. Pertama, melalui pembahasan prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kedua, melalui pertimbangan lembaga-lembaga dan sifat-sifat khususnya.

Bagi Maududi, sasaran negara bukan semata-mata mencegah tirani, menghentikan berbagai macam kejahatan, tapi juga mendorong setiap jenis kebajikan. Guna mencapai tujuan ini diperlukan kekuatan politik, dan negara dibenarkan menggunakan seluruh sarana. Suatu negara dengan tujuan seperti itu tidak dibolehkan mengabaikan kehidupan rakyatnya, walaupun misalnya beralasan bahwa ini di luar wewenangnya. Pendekatannya, haruslah menyeluruh dan universal. Pendeknya negara haruslah totaliter. Menolak ketentuan ini, dengan membiarkan adanya bidang di luar kekuasaan negara, akan sama artinya dengan menyangkal kedaulatan Tuhan. Maududi memang mengakui bahwa konsepsi negara Islam adalah totaliter. Hanya totalitarianisme yang dikenalkan itu tidak menindas kebebasan individu dan kemerdekaan manusia tetapi justru melindunginya.

Satu hal pokok dari negara Islam, menurut Maududi adalah wujudnya sebagai suatu negara ideologi. Faktor pengikat di kalangan warga negara adalah ideologi yang dianut bersama. Ideologi ini bertujuan memperbaiki masyarakat manusia dan negara adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Dua akibat penting dari negara Islam sebagai negara Ideologi ialah, pertama, negara harus diawasi dan dikendalikan hanya oleh seorang muslim. Kedua, soal konsep kewarganegaraan. Ada dua jenis kewarganegaraan: satu jenis untuk kaum muslimin yang berdomisili di wilayah negara, dan jenis lain untuk mereka yang bukan muslim yang menyetujui dan patuh kepada negara Islam tempat mereka bermukim. Pada kaum

Page 14: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

muslimin terletak tanggung jawab sepenuhnya atas berjalannya roda negara. Merekalah yang menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam, termasuk kewajiban membela negara, dan sebaliknya mereka berhak menjadi anggota parlemen, memberikan suara dalam pemilihan kepada negara, dan diangkat pada kedudukan-kedudukan penting.

Warga negara bukan Muslim dijamin memperoleh perlindungan hidup, badan, milik, dan keyakinan serta kehormatan. Yang tidak dijamin kepada mereka adalah hak penuh untuk mengemukakan pernyataan politik atau persamaan dengan sesama warga negara muslim. Negara akan memberlakukan pada mereka undang-undang negara secara umum, sementara membiarkan mereka menggunakan hukum perorangan mereka guna mengatur urusan mereka sendiri. Ada sejumlah jaminan dan perlindungan lain yang juga diberikan kepada mereka, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok hidup kepada semua warga negara tanpa kecuali.

Konsep itu lahir di tengah suasana proses pembentukan negara-negara nasional pada awal abad ke-20, ketika lembaga ''Khalifah'' yang berpusat di Turki telah merosot otoritasnya, setelah Perang Dunia I. Dan semua gagasannya dipengaruhi oleh satu cita-cita kaum sekular dari kelompok muda Turki yang pernah dididik Barat. Ide-ide politik Maududi itu sesungguhnya hendak menyadarkan kaum intelektual muslim dan membangkitkan di dalam diri mereka tentang suatu fakta bahwa Islam mempunyai aturan hidup sendiri, kebudayaan sendiri, sistem politik sendiri, ekonomi, filsafat, dan sistem pendidikan yang lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ditawarkan oleh peradaban Barat.

Tentu Maududi amat beruntung bahwa ide-idenya dapat direalisasikan, minimal di tingkat konstitusi pada suatu negara baru hasil pemisahannya dari anak benua India. Pengakuan 1949 Majelis Konstituante Pakistan menyetujui ''Revolusi Objektif'' yang berisi tentang ide-ide Maududi, tidak jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Persoalannya memang tidak berhenti di tingkat konstitusi saja, karena berbagai tantangan muncul. Komisi ''Munir'' yang terkenal itu, misalnya, merupakan "protes" paling keras terhadap ide-ide Maududi. Bahkan Presiden Iskandar Mirza, pada 7 Oktober 1958 memutuskan untuk membatalkan konstitusi "negara Islam" yang banyak menolak ide-ide Maududi tersebut. Bahkan pada masa Ayub Khan, diberlakukan undang-undang darurat perang dan melarang partai politik, termasuk partai Maududi Jamaat-i-Islami. Pakistan hingga wafatnya Zia Ul Hak (1988) masih tetap mencari identitas diri yang tak kunjung selesai dan kadang-kadang diwarnai oleh kekerasan-kekerasan yang memakan korban.

Maududi dan kemudian negara Islam Pakistan adalah sebuah model pemikiran dan institusi politik yang diupayakan mempunyai watak keislaman yang "kaffah", holistik dan menyeluruh.

Pemikiran RaziqDalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu, (1) Penekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik. (2) Penekanan atas persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan partisipasi massa dalam masalah-masalah poliitk. (3) Penekanan pada perluasan kapasitas dari suatu sistem politik untuk mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.

Page 15: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari identitasnya. Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi membuat pemisahan lembaga politik dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari agama telah dipupus. Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama, pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa massa pada proses politik maka keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun tidak muncul secara formal: memahami pluralisme.

Penafsiran kembali konsepsi Islam tentang politik dan kenegaraan muncul misalnya di Mesir dengan tokohnya Ali Abdul Raziq. Melalui buku al-Islam wa Ushul al-Hukm, konsepsi Raziq kemudian menjadi model alternatif bagi pemikiran politik Islam kontemporer. Secara garis besar pemikiran Raziq bertolak dari definisinya tentang ''Khalifah''. Bagi Raziq, khalifah tidak wajib didirikan, baik menurut akal maupun menurut syara'. Yang wajib bagi umat adalah menegakkan hukum syara'. Jika umat sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada imam atau khalifah. Baik Alquran maupun sunnah tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian kepemimpinan negara.

Kedua, bahwa risalah (kerasulan Muhammad SAW) itu bukanlah kerajaan. Risalah adalah suatu status kultural dan kerajaan adalah status struktural. Banyak raja yang bukan rasul, sebagaimana kebanyakan rasul adalah bukan raja. Penafsiran Raziq tentang risalah Nabi hanya mengandung nilai yang menyerupai pemerintahan politik. Raziq yakin bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul dan menyampaikan seruan agama, tidak pernah mendirikan negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.

Dari interpretasinya terhadap dua hal tersebut, Raziq membuat kesimpulan akhir yang sangat luwes. Khalifah tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenalnya, tidak mengingkari, tidak memerintahkan, dan tidak melarangnya. Semua dikembalikan kepada akal pengalaman manusia dan pendapat orang.

Dalam term mutakhir, solusi Raziq itu merupakan ''de-ideologi'' dan ''de-politisasi'' Islam dan bersamaan dengan itu terjadi perluasan wawasan keislaman. Politik hanya merupakan salah satu komponen, dan bukan determinan, di dalam proses sejarah kehidupan umat Islam.

Pada periode ini, proses de-ideologisasi Islam (meminjam Kuntowijoyo), justru mengantarkan Islam pada periode ilmu. Politik bisa jatuh bangun, tetapi ide tidak terpengaruh perkembangan politik. Pada periode ini, Islam lebih terbuka, dan diharapkan bisa lebih terasa "rahmatan lil 'alamin", bukan hanya sekadar ideologi yang hanya dinikmati umat Islam.

Page 16: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

Pada realitas empiris, perkembangan politik Islam di Indonesia dapat dibicarakan melalui dua manifestasinya yang nyata: sebagai ideologi dan sebagai perilaku-perilaku kultural (yang pengaruh dan kekuatannya tetap mempunyai muatan politik). Dua bentuk manifestasi politik Islam ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal dan pemahaman terhadap sesuatu yang kadang-kadang pragmatis (seperti ekonomi). Perubahan manifestasi politik dari satu bentuk ke bentuk yang lain mungkin saja dapat dikonseptualisasikan sebagai, misalnya, proses sekularisasi politik Indonesia atau merosotnya peran ideologis Islam. Tetapi dengan mencoba mencari pemahaman baru terhadap realitas politik Islam di Indonesia, konseptualisasi sekularisasi politik sebagaimana dikemukakan Donald E Smith ditinjau kembali.

Smith, mengambil Islam sebagai contoh kasus dan membuat suatu skema dengan menunjukkan perkembangan Islam bermula dari corak tradisional ke Islam modern, Islam sosialis, sosialisme, dan akhirnya ke pragmatisme humanisme sekular, sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Yang terjadi sesungguhnya di dalam negara-negara baru adalah bukan sekularisasi politik hingga menjadi benar-benar pragmatis sekular, tetapi menciutnya pengaruh politik pemimpin agama setelah beberapa waktu elite agama ini sangat berpengaruh dalam proses politik. Dengan demikian, berkurangnya pengaruh itu berarti sistem politik di Indonesia tidak ada penguasa yang terang-terangan anti-Islam atau terang-terangan sekular.

Dengan memahami perkembangan politik di Indonesia seperti itu, maka tidak akan terjadi upaya memitologikan "partai politik Islam" atau bahkan "negara Islam", dan pemahaman arti politik menjadi lebih luas, tidak sekadar partai politik misalnya. Dan romantisme seperti itu dapat ditekan untuk kemudian mencoba mengembangkan aktivitas "politik baru" yang lebih bermakna.

Periode awalPada periode awal, Islam di Indonesia menjelmakan sebagai kekuatan rakyat yang teguh melalui keikutsertaan umat Islam dalam Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat Islam. SI dianggap sebagai penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi di dalamnya tidak ada watak ideologis, bahkan yang terlihat adalah watak kultural tahap awal. Di satu pihak, SI mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. SI menjadi tumpuan masyarakat sebagai 'Ratu Adil' yang merupakan cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa itu. Umat waktu itu menginginkan lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menuju ke sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.

Watak kultural ini sama sekali belum mempunyai muatan ideologis, meski kecerdasan akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak dini perjuangan merupakan benang merah yang senantiasa ada dalam perjuangan organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam hingga kini.

Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu muncul daripada

Page 17: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan kultural. Politik masih mempunyai arti yang luas sebagai upaya bersama untuk mencerdaskan umat, membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan pemasyarakatan ajaran-ajaran Islam, dan karena itu keterlibatan mereka dalam suatu kerangka kebangsaan semata-mata ingin menghilangkan penjajahan.

Pemikiran ideologis Islam baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa ini mendirikan organisasi-organisasi politik di sekitar tahun 1930-an. Munculnya MIAI, GAPI, dan lain-lain dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) misalnya, telah memunculkan ide-ide masa depan Indonesia, yaitu tuntutan Indonesia berparlemen. Pemikiran ideologis itu misalnya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Seorang juru bicara MIAI, Wiondoamiseno, mendukung Indonesia berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus "berlandaskan Isam" tanpa menjelaskan apa maksudnya, apalagi mekanismenya. Menurut Deliar Noer, pernyataan itu hanya mencerminkan kecurigaan, khawatir kalau-kalau pemikiran dan cita-cita kalangan masing-masing akan diabaikan oleh kelompok lain.

Artikulasi pemikiran ideologis ini muncul lebih sistematik ketika GAPI menyusun suatu memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa ia mendukung rencana GAPI dengan mengharapkan agar kepala negara Indonesia adalah beragama Islam, suatu dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu departemen agama haruslah didirikan, sedangkan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang. Meskipun masih terkesan vulgar, formal dan dangkal, tetapi perkembangan pemikiran ideologis Islam telah muncul dan perkembangan itu akan menentukan corak politik Islam selanjutnya.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, perdebatan dalam Badan Penyelidik melibatkan pemimpin Islam pada perdebatan sengit tentang konstitusi negara. Kompromi yang membawa kepada kemenangan Islam hampir saja diraih bila saja tidak ada upaya-upaya lobbyingI yang dilakukan Muhammad Hatta dengan pemimpin Islam untuk merelakan penghapusan "tujuh kata" dalam Mukaddimah UUD 1945. Penghapusan tujuh kata yang penting dan diperdebatkan secara mendalam itu hanya dihadapi dengan "kepentingan keutuhan nasional". Dan dari sana dapat diyakini bahwa corak idologis Islam di Indonesia lain sama sekali, dengan konsepsi ideologi Islam menurut Maududi, misalnya. Sejak semula, muatan nasionalisme yang diberi warna pluralisme menjadikan Islam tampil secara low profile dalam bentuknya yang paling keras sekalipun.

Pada perkembangan berikutnya, kekuatan ideologis Islam menempatkan posisinya pada kedudukan partai politik Islam yang ternyata tidak membawa perubahan kualitatif apapun dalam perkembangan Indonesia modern. Kehadiran partai politik Islam di masa setelah kemerdekaan selalu ditandai dengan beragamnya aspirasi politik dari "partai-partai Islam", sehingga pada gilirannya partai politik Islam itu berjalan sendiri-sendiri. Karena itu sesungguhnya tidak dapat dilakukan penjumlahan dari perolehan suara dalam pemilihan umum sebagai "kekuatan Islam". Itulah yang terjadi pada pemilu 1955, juga setelah masa Orde Baru 1971.

Page 18: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

PPP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk fungsinya berbagai organisasi politik Islam yang praktis telah mengalami penciutan peran, mungkin pernah menikmati "persatuan" kumulatif dari segi ide dan kebijaksanaan politik pada tahun 1977, ketika PPP dianggap sebagai kekuatan oposisi yang potensial bagi pemerintahan Soeharto. Tetapi sejarah politik Islam mencatat, bahwa lagi-lagi perubahan kualitatif tidak pernah dicapai. Bahkan dengan adanya partai-partai politik Islam itu menempatkan umat Islam dalam posisi oposan dan menjadi kekuatan minoritas dalam mayoritas. Keluarnya NU dari PPP merupakan ide cemerlang untuk keluar dari lingkaran setan dan mencoba mengalihkan persepsi politik Islam sebagai tidak sekadar partai politik. Upaya NU memperoleh momentum dengan ditetapkannya UU Orpol/Ormas baru yang mengharuskan setiap partai politik dan organisasi kemasyarakatan menggunakan asas tunggal Pancasila.

Pasang surut partai politik Islam dapat dibaca dalam kerangka yang digunakan Hudson sebagai pasang surut pengaruh politik pemimpin agama. Tetapi sebagaimana dikemukakan Burhan D Magenda, ada perubahan format politik yang dibawakan oleh pemimpin agama yang justru menunjukkan perkembangan yang tak terduga sebelumnya.

Format baruInklusifnya peran ulama dalam berbagai kekuatan politik dan peran kemasyarakatan merupakan fenomena baru setelah era partai Islam memudar. Dan pemikiran selanjutnya diarahkan pada pertanyaan: bagaimana membentuk format baru politik Islam di Indonesia.

Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia untuk mencari format baru politik Islam. Pertama, rekayasa politik terhadap seluruh kekuatan komponen bangsa untuk membangun politik integrasif berwawasan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan konsekuensi historis dari berbagai perkembangan yang ada di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kerangka Robert L Hellbroner, upaya rekayasa politik yang dilakukan rezim Orde Baru itu merupakan ikhtiar pembangunan nasional yang harus lebih dahulu dilakukan sebelum pembangunan ekonomi. Kedua, adanya perubahan wawasan keagamaan dari umat Islam sendiri, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi kenegaraan dan kebangsaan. Bagi umat Islam, kehidupan bernegara adalah kesepakatan bersama untuk hidup berdampingan, setara dan damai dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan di luar Islam. Kesepakatan itu misalnya dirumuskan dengan pernyataan bahwa negara Indonesia adalah bentuk final dari upaya perjuangan umat Islam di Indonesia.

Format baru yang dikembangkan umat Islam, terutama oleh pemimpin agama terlihat tampil secara damai dan tanpa pretensi mengangkat Islam sebagai ideologi. Dalam sebuah artikel pendek, Burhan Magenda mendeskripsikan perubahan profil ulama dalam pergaulan politik di Indonesia. Kalau disepakati (menurut kerangka Hudson), bahwa yang terjadi sekarang ini adalah penyusutan politik ulama berkenaan dengan asas tunggal, dan lalu tidak adanya partai politik Islam, maka peluang justru terbuka jika tujuan diarahkan pada tujuan-tujuan baru dengan memandang bahwa ulama adalah sebagian dari pejuang-pejuangnya. Karena itu persoalannya kurang lebih berbunyi: "Bagaimana memanfaatkan

Page 19: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MODERN … · Web viewSayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi

peluang yang ada sekarang". Karena sejauh ini partai politik Islam sejak awal di Indonesia ditandai oleh kecurigaan yang tidak gampang diretas antara ulama dan kekuasaan. Terbukti pula bahwa kecurigaan itu tidak menghasilkan perbaikan kualitatif antara kedua belah pihak. Bahkan di antara sesama umat Islam terjadi kecurigaan yang tidak kunjung berakhir, bahwa mereka memandang sesama ulama yang ada di partai (Islam) lain sebagai orang lain. Dan kesenjangan itu terdapat antara umat Islam simpatisan partai dan mereka yang tidak, antara lain karena berada di jajaran birokrasi pemerintah. Keadaan demikian tentu sangat merugikan Islam.

Karena itu menurut Magenda, partai politik Islam tidak diperlukan lagi. Dengan demikian diharapkan tidak ada hambatan psikologis untuk menyebarkan diri secara inklusif dalam aneka wadah politik, bahkan tidak terbatas pada wadah politik yang ada, tetapi juga jalur-jalur lain yang ada di dalam sistem politik di Indonesia, baik dalam suprastruktur maupun infrastruktur.

Perubahan suasana kondusif bagi perkembangan politik (baca: aspirasi) Islam itu, tidak berhenti di situ. Ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sebagai upaya menentukan format baru politik Islam di Indonesia.

Pertama, perumusan terhadap corak kebangsaan di Indonesia. Tuntutan perluasan wawasan kebangsaan itu mengandung konsekuensi perumusan ulang terhadap tujuan-tujuan politik Islam. Dalam hal ini secara simplistik terhadap rumusan yang dijadikan rumusan baku tujuan Islam di Indonesia, yaitu: "cita-cita Islam adalah inheren dengan cita-cita Indonesia." Corak kebangsaan itu juga menuntut perubahan sikap dan perilaku politik terbebas dari sektarianisme, menerima pluralisme dan karena itu menghilangkan kecurigaan yang berdasarkan sentimen-sentimen keagamaan, ras dan kesukuan.

Kedua, perlunya lapisan profesional dalam segala lapangan kehidupan, yang ini merupakan tanggung jawab orgasasi-organisasi Islam untuk memberi arah, memberi peluang bagi terciptanya lapisan elit itu. Bila boleh dikatakan bahwa kelelahan umat Islam masa lalu banyak ditentukan oleh tersedianya lapisan profesional yang tidak dapat diisi atau tidak dapat dipenuhi.

Kedua prasyarat itu minimal perlu dipertimbangkan sebelum diproklamasikan "Islam tanpa partai politik". Dan itulah tawaran tertinggi umat Islam Indonesia, kecuali bila umat Islam mempunyai tawaran alternatif lain yang lebih inheren dengan cita-cita Islam dan sekaligus dengan cita-cita Indonesia. (RioL)�

Noer Iskandar AlbarsanyPengasuh Pondok Pesantren Alhidayah, PurwokertoAnggota DPR RI dari FKBSource: http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=A761_0_4_0_M