KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

107
KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh : Ahmad Ridhawi NIM 109045200003 KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H

Transcript of KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

Page 1: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN

KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

Ahmad Ridhawi

NIM 109045200003

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M / 1435 H

Page 2: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …
Page 3: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …
Page 4: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

iv

LEMBARAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Januari 2014

Ahmad Ridhawi

Page 5: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

iv

Page 6: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

v

ABSTRAK

Ahmad Ridhawi, 109045200003, Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali

bin Abi Thalib. Konsentrasi Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2013, x+94 halaman.

Masalah pokok dari penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor politik yang terjadi pada

masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap

peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib

Jenis penelitian ini adalah metode penelitian sejarah (history) dengan tujuan untuk

memahami masa lalu, dan mencoba menguraikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di

masa lampau. Jenis data dalam penelitian ini adalah lebih mendominasi kepada data primer yang

diperoleh dengan teknik studi pustaka berupa referensi-referensi mengenai Sejarah Peradaban

Islam pada masa sahabat, yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan tidak terlepas dari analisa-analisa

yang positif sehingga memperoleh data-data sejarah tepat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa konflik yang mewarnai

pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Maka

dari itu, dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang positif terhadap sosok Ali bin

Abi Thalib ketika menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terlepas dari Al-

Quran dan Sunnah.

Kata kunci : Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi

Thalib

Pembimbing : 1. Iding Rosyidin, M.Si

2. Masyrofah, M. Si

Daftar Pustaka : 1978 s.d 2013

Page 7: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

vi

KATA PENGANTAR

ميحالر نمحالر الله مسب

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat

dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada

Nabi Muhammad Saw.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, karena tanpa bantuan,

pentunjuk, bimbingan dan saran-saran mungkin penulis tidak akan dapat

menyusun laporan ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta

para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan

Siyasah Syar’iyah.

3. Bapak Afwan Faizin, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah,

Jurusan Siyasah Syar’iyah.

4. Bapak Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Penasehat

Akademik.

Page 8: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

vii

5. Bapak Iding Rosyidin, S.Ag., M.Si Dosen pembimbing I yang penulis

hormati, selama bimbingan berlangsung beliau sangat membantu penulis,

sehingga penulis bisa mempercepat penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Masyrofah, M.Si Dosen pembimbing II yang penulis banggakan,

melalui tangan dingin beliau lah penulis banyak mendapat inspirasi dan

ide-ide untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari

referensi dan literatur buku selama kuliah.

8. Prof. Dr. H. Afrizal Mansur, M.A Dosen Akidah Filsafat UIN Syarif

Kasim Pekanbaru, Riau dan juga sebagai Ayah bagi penulis yang telah

banyak membantu memberikan masukan, saran, dan kritikan kepada

penulis sehingga penulis dapat merangkai kalimat demi kalimat untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibuku tercinta Rukmini Dalil yang juga sangat berperan dalam mendukung

pembuatan skripsi ini. Dengan kritikan pedas beliau setiap hari, penulis

menjadi fokus kembali untuk menulis skripsi, sehingga skripsi penulis

selesai tepat pada waktunya.

10. Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah

memberikan bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan laporan ini.

Page 9: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

viii

Pada kesempatan ini, penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak apabila sewaktu mengerjakan skripsi ini ada hal-hal yang

kurang berkenan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik

dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya

pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang

membangun sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memenuhi

syarat dan bermanfaat bagi siapa yang membacanya.

Jakarta, 23 Januari 2014

Penulis

Ahmad Ridhawi

Page 10: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iii

LEMBARAN PERNYATAAN ............................................................................ iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 6

C. Rumusan dan Pembatasan Masalah.................................................. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 9

F. Metode Penelitian ........................................................................... 10

G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

BAB II MENGENAL ALI BIN ABI THALIB ............................................. 14

A. Riwayat Hidupnya .......................................................................... 14

B. Pemikiran-Pemikiran Ali bin Abi Thalib ........................................ 24

BAB III KEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB ........................................ 31

A. Pengangkatan Ali sebagai Khalifah ............................................... 31

B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib ....................................... 41

BAB IV KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA

PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB ............. 47

A. Konflik Ali Bin Abi Thalib dengan Thalhan, Zubair

dan Aisyah ...................................................................................... 48

Page 11: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

x

B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah Dan

Kaum Khawarij .............................................................................. 62

C. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Politik Pada Masa

Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib ..................................... 78

D. Strategi Ali dalam Menyelesaikan Konflik Politik di

Masa itu .......................................................................................... 85

BABV PENUTUP .......................................................................................... 91

A. Kesimpulan ..................................................................................... 91

B. Saran-saran ..................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94

Page 12: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang sudah menganut agama Islam

semenjak kecil, sehingga ia dijuluki anak muda yang tidak pernah memiliki

keyakinan musyrik. Dari kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad

Saw. Nabi sendiri menyayanginya karena sifat-sifatnya yang mulia.1 Meskipun

masih sangat muda Ali selalu menemani Nabi dalam menyiarkan misinya, dan

telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit

agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang

dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang

Yahudi.

Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam

menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato),

Ali merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi

buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Ia terkenal

sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan, dan

kecerdesannya, nasihatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan

Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasihat utama di dalam

kekhalifahan mereka.

---------- 1 Syed Mahmudun Nasir, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung:Remaja Rusda

Karya,1991, hlm.194

Page 13: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

2

Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan

dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada,

adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua

kebajikan manusia. Akan tetapi, kesederhanaan, keterusterangan, dan

kelapangdadannya ternyata merupakan kekurangannya sebagai seorang

pengusaha karena dia mudah mempercayai orang-orangnya, maka musuh-

musuhnya yang cerdik dengan mudah dapat menipunya.

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah

Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Utsman bin Affan yang

terbunuh oleh “sekelompok pemberotak asal Mesir”.2 Ali bukan hanya

mewarisi jabatan ke-Khalifah, tetapi juga menuai konflik dari Utsman yang

sudah tertanam dalam masyarakat Islam. “Sepanjang pemerintahan Utsman

telah timbul berbagai ketagangan yang belum dirasakan sebelumnya”.3

Ali tidak dapat melepaskan diri dari konflik tersebut begitu saja.

Konflik-konflik itu juga menjadi masalah besar sepanjang pemerintahannya.

Badri Yatim mengatakan bahwa “Ali menghadapi berbagai pemberontakan.

Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan

stabil”.4 Hidupnya dijalaninya untuk menghadapi berbagai konflik dan

---------- 2Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

cetakan Pertama, 2010, hlm. 27. 3Konflik timbul cukup kompleks, antara lain disebabkan perluasan kekuasaan, yang

diikuti dengan perpecahan, baik oleh situasi umum maupun oleh ketidakmampuan Utsman sendiri

untuk mengatasinya. Utsman dikepung di rumahnya di Madinah dalam kondisi tidak memiliki

pasukan dan pengawal yang siap melindunginya. Lihat Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan

dalam Islam, (Siyasah Dusturiyah), Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 184. 4Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press,

1996, hlm. 39.

Page 14: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

3

pemberontakan, yang banyak muncul dari kalangan Islam sendiri

dibandingkan dengan yang datang dari luar umat Islam.

Memang Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang khalifah yang

fenomenal dan mendapat jaminan dari Rasul untuk masuk surga. Mungkin ini

pula salah satu faktor yang menyebabkan ia digolongkan pada kelompok

Khalifah Ar-Rasyidin. Namun pengelompokan itu tidak menjaminnya terlepas

dari berbagai masalah yang rumit sepanjang hidupnya.5

Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah pada bulan juni tahun

565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.6 Pengukuhan Ali menjadi

khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali

dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas peristiwa meninggalnya

Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah

sedang terjadi. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat

Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum

pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota

Madinah, seperti Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan

Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan

tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih

menginginkan Ali menjadi khalifah. Dia didatangi beberapa kali oleh

kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun

Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui

---------- 5Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta:pustaka book

publisher,cetakan pertama, 2007,hlm, 89. 6 Muhadi Zainudin dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama

Press, 2008, hal. 70.

Page 15: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

4

musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka.

Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu

segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar,

akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.

Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para

tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat

senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah,

Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu

berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Ibn Umar dan Saad

misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at.

Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai’at secara

terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum

Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at

menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,

kecuali memilih Ali.

Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara

aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di berbagai

kota. Mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam

sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di

tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah

Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali

dan menunjukan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan,

Page 16: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

5

keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena

menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.7

Sejarah mencatat bahwa dalam pengolahan urusan pemerintahan Ali

juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya,

meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam

dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umayyah (pendukung

Muawiyah) dan hasyimiyah (pendukung Ali).8

Tidak mengherankan jika kemudian pada masa kepemimpinan Ali,

terjadi berbagai konflik-konflik, seperti perang jamal (onta) antara Ali dan

Aisyah, perang shiffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sampai

terjadinya tahkim9 (masing-masing pihak memilih seorang hakim) dan

peritiwa itu terjadi pada tahun 34 H.

Setelah selesai perang jamal dan perang Siffin lantas bukan berarti Ali

terlepas dari konflik. Sebaliknya ia terpaksa menghadapi perlawanan dari

tentaranya sendiri yang tidak setuju dengan penerimaan (tahkim) arbitrase10

dalam penyelesaian konflik dengan Mu’awiyah. Karena penerimaan tahkim ini

Ali dan pasukannya mendapat kekalahan dalam peperangan maka sebagian

pengikutnya membelot dan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan

kaum Khawarij. Konflik dengan kaum ini ternyata sangat melelahkan bagi Ali

dan yang tragisnya ini pula yang menyebabkan ia terbunuh. Terbunuhnya Ali ----------

7Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 95-

96. Selanjutnya ditulis Dedi, Sejarah. 8Dedi, Sejarah, hlm.71

9Yayan Sopyan, M.Ag, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok:

Gramata Publishing, 2010, hlm. 94 10

Tahkim atau arbitrase adalah sebuah proses yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu

sengketa dengan mempercayakan kepada suatu pengetara, yaitu orang yang dipercayai dari kedua

belah pihak yang bersengketa. Mungkin istilah ini identik dengan wasit.

Page 17: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

6

kemudian menimbulkan babak baru dalam sistem pemerintahan di negara

Islam.

Begitulah gambaran umum tentang konflik yang terjadi pada masa

khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian di atas belum mengungkap semua

peristiwa yang terjadi. Untuk mendalami peristiwa ini lebih jauh, perlu

dilakukan kajian yang mendalam sehingga pertanyaan yang ada dalam

penelitian ini dapat dijawab dengan baik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas sesungguhnya dapat

diambil berbagai unsur yang menjadi identifikasi dari judul ini, antara lain :

1. Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi, yang termasuk kelompok

Khalifah Rasyidin, mendapat jaminan dari Rasulullah Saw sebagai

penghuni surga sehingga ada indikasi ia terlepas dari kesalahan dan

kekeliruan, tetapi masa kepemimpinannya penuh dengan konflik dan

tragedi memilukan.

2. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pemerintahan

Khalifah Ali bin Abi Thalib yang masih belum banyak diketahui, dan perlu

digali lebih mendalam.

3. Penilaian objektif terhadap sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai

sahabat yang dianggap mumpuni oleh masyarakat umum dan perlu

dipertanyakan karena berbeda dengan kenyataan sejarah yang diketahui.

Page 18: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

7

4. Berbagai kemungkinan pengajaran yang dapat diambil dari fenomena

pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk dianalisis secara politis

akademis dan agamis.

C. Rumusan Dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis mengemukakan

rumusan masalah sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimanakah konflik-konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah

Ali bin Abi Thalib?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik politik

pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib?

3. Bagaimana strategi Ali dalam menyelesaikan konflik-konflik pada masa

pemerintahannya?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi masalah

menjadi tiga faktor, yaitu :

1. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah,

Zubair dan Aisyah

2. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan

Mu’awiyah bin Abu Sofyan

3. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kaum

Khawarij.

Page 19: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengungkap konflik-konflik politik yang terjadi selama

Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankan pemerintahannya.

b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang timbul dari konflik pada masa

pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu Manfaat

praktis dan manfaat akademis.

a. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru terhadap perjalanan

perpolitikan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.

b. Manfaat Akademis

Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Terungkapnya pemahaman baru dalam masyarakat mengenai

perjalanan politik pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang

tidak terlepas dari konflik.

b) Masyarakat mengetahui bahwa gelar Khalifah Ar-Rasyidin bukan

berarti Khalifah Ali bin Abi Thalib terlepas dari kesalahan dan

kekeliruan, melainkan juga menghadapi berbagai permasalahan

manusia pada umumnya.

Page 20: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

9

E. Tinjauan Pustaka

Banyak buku yang membahas tentang perjalanan politik pada masa

Khalifah Ali bin Abi Thalib. Buku yang paling banyak mengupas persoalan

ini antara lain :

1. History of the Arabs, tulisan Philip K Hitti, yang diterjemahkan oleh R

Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Buku ini dipopulerkan

sebagai rujukan induk paling terkenal dalam sejarah peradaban Islam.

Isinya sangat luas mulai dari sejarah Arab sebelum Islam sampai terjadinya

perubahan baru islam di abad moderen. Karena pemabahasannya sangat

luas membuat penjelasan tentang konflik-konflik politik yang terjadi di

masa Usman dan Ali tertuang dalam buku ini secara terpisah dan

bentuknya sangat umum. Sulit untuk memahami jalan sejarah perpolitikan

itu secara runtut sehingga perlu dibahas secara spesifik.

2. Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, M.A,

yang termasuk sebagai referensi primer di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, sejak tahun 1990/1991.

3. Buku Biografi Ali Bin Ali Thalib yang ditulis oleh Prof. DR. Ali

Muhammad Ash-Shalabi pustaka al-Kautsar Jakarta, mengungkap secara

luas. Pengalaman hidup dan problematika yang dialami Ali bin Abi Thalib

dalam pemerintahannya.

4. Uraian tentang tentang topik ini juga terdapat dalam Teologi Islam Karya

Harun Nasution. Penulisnya mengungkap peristiwa yang terjadi pada

pemerintahan Khalifah Ali ini dari sisi teologis, yaitu menekankan

Page 21: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

10

bagaimana hubungan setiap peristiwa itu dengan sekte-sekte teologi Islam.

Berbeda dengan kedua buku ini, dalam tulisan penulis membahas secara

khusus segala peristiwa yang terkait dengan konflik-konflik yang terjadi

pada masa pemerintahan kedua sahabat Rasulullah Saw ini. Pembahasan

ditekankan dalam hubungannya dengan proses pemilihan kepala negara

dan kepala pemerintahan yang menyeret orang-orang yang dekat dengan

Nabi Saw dan konsen untuk Islam.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

sejarah (history) yang merujuk kepada studi pustaka. Yang dimaksud dengan

penelitian sejarah menurut Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall &

Borg, 2007)11

telah menjawab pertanyaan “What is history?”, Sejarah adalah

suatu proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dan fakta yang

ada, yang merupakan dialog tidak berujung antara masa lalu dan masa

sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang

telah terjadi.

Dalam bahasa Arab kata, tarikh, ta’rikh, dan taurikh berarti

pemberitahuan terhadap waktu, kadangkala kata tarikhusy syai menunjukkan

arti, tujuan dan masa berakhinya. Termasuk di dalamnya peristiwa dan

kejadian besar yang sejalan. Sejarah (tarikh) adalah suatu seni yang membahas

tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya,

---------- 11

Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research. USA:

Pearson Education Inc.

Page 22: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

11

temanya manusia dan waktu, permasalahannya adalah keadaaan yang

menguraikan bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia

dan dalam suatu waktu. 12

Data-data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian

adalah data-data sebagai berikut :

a. Data-data tentang segala konflik yang terjadi, pada masa pemerintahan

Khalifah Ali bin Abi Thalib.

b. Data-data yang terkait dengan penyebab-penyebab kenapa konflik itu

terjadi.

c. Data-data tentang akibat yang ditimbulkan oleh konflik pada masa

pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang

membahas dan menyoroti konflik-konflik politik pada masa Khalifah Ali bin

Abi Thalib, antara lain yang disebutkan adalah, History of the Arabs karya

Philip K Hitti, dan Teologi Islam karya Harun Nasution, Politik

Ketatanegaraan dalam Islam karya Jubair Situmorang, Pembunuhan Politik

dalam sejarah Dunia kayra Ibrahim Suraj serta buku-buku lain yang

menyinggung persoalan yang sedang dibahas.

Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua referensi

yang terkait sebanyak mungkin agar data-data yang diperoleh lebih akurat dan

saling mendukung. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan

bertanya kepada orang-orang yang mungkin tahu dan memahami dengan baik

---------- 12

Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta:Dept. Agama R.I, 1986) cet. ke-2

Page 23: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

12

persoalan yang sedang ditulis. Dimungkinkan juga diperoleh data dari atikel,

buletin, karya ilmiah, dan tidak tertutup melalui internet.

Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dianalisa dengan cara

menelaah semua data yang ada, memahami maksudnya dan kemudian

menempatkannya sesuai dengan persoalan penelitian yang sudah dibuat.

Rangkaian-rangkaian data itu disusun menjadi laporan penelitian sehingga

terwujudlah hasilnya dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Agar lebih mudah memahami isi skripsi ini maka dibuat sistematika

penulisan sebagai berikut :

Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang

mencakup riwayat hidup dari masa kecil, pendidikan, prestasi dan kemajuan

yang dicapai dalam pemerintahannya.

Bab tiga membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang

mencakup proses pemilihan serta pengangkatan yang berbeda dari ketiga

Khalifah sebelumnya, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada masa

pemerintahannya.

Page 24: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

13

Bab empat membahas tentang konflik-konflik politik yang terjadi pada

masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup inti dari

permasalahan skripsi ini.

Bab lima adalah bagian akhir dari skripsi yang berisi kesimpulan dan

saran-saran. Kemudian skripsi dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang

dianggap perlu.

Page 25: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

14

BAB II

MENGENAL ALI BIN ABI THALIB

Pada bab ini penulis memperkenalkan siapa sesungguhnya Ali bin Abi

Thalib. Di sini penulis ingin mengemukakan berbagai sisi positif dari beliau

karena tidak sedikit hal-hal baik yang terdapat pada diri sang Khalifah.

Pembahasan ini bertujuan untuk menghindari sikap subjektif dan pandangan

sepihak yang kurang baik jika sisi positif sang khalifah tidak dikemukakan, karena

inti persoalan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini lebih kepada

persoalan konflik yang cenderung kepada aspek negatifnya. Dengan

mengemukakan aspek positif itu supaya keseimbangan pembaca melihat Ali bin

Abi Thalib lebih kelihatan. Oleh sebab itu pembahasan dalam bab ini dibagi

menjadi beberapa pasal sebagai berikut:

A. Riwayat Hidupnya

Namanya adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul

Muthalib dipanggil juga dengan nama Syaibah al-Hamdi bin Hasyim bin

Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab bin Lu‟ai bin Ghalib bin Pihir bin Malik bin

An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar

bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur

Rasyidin.1 Dia adalah anak Paman Rasulullah dan bertemu dengan beliau

pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Kakeknya ini

memliki anak bernama Abu Thalib, sudara kadung Abdullah, ayah dari Nabi

-----------

1 Hepi Andi Bastomi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008, hlm. 22.

Page 26: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

15

Muhammad saw. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya

adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian ibunya sebagai kenangan

terhadap nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim.2

Ketika Ali lahir, ayahnya Abu Thalib tidak ada di tempat. Oleh sebab

itu pemberian nama Asad hanyalah pemikiran istrinya, ibu Ali. Setelah

mengetahui nama yang diberikan kepada anaknya adalah Asad (Haidar) Abu

Thalib merasa kurang tertarik sehingga nama itu digantinya dengan Ali.3

Nama inilah yang populer di kalangan umat Islam sampai sekarang.

Selain nama yang banyak diketahui umat Islam Ali memiliki nama

lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah abu

dalam bahasa Arab berarti bapak dan turab berarti tanah. Dengan demikian

abu turab berarti bapak tanah. Karena pemberian Rasulullah Ali merasa

senang saja dengan gelar itu. Pemberian gelar ini mempunyai latar balakang

tersendiri. Ketika berkunjung ke rumah Fathimah, putri beliau, Rasulullah

Saw bertemu Ali. Karena itu beliau bertanya kepada putrinya tentang

keberadaan Ali. Fathimah pun menjelaskan bahwa telah terjadi perselisihan

antara Fatimah dengan Ali, lalu Ali marah dan pergi meninggalkan rumah.

Oleh sebab itu, Nabi menyuruh seseorang laki-laki yang ada di rumah itu

untuk mencari informasi di mana Ali berada. Setelah informasi diperoleh

orang itu mengabarkan bahwa Ali sedang tidur di mesjid. Kemudian

Rasulullah menjumpai dan benar Ali sedang tidur di mesjid tanpa baju dan

tanpa alas sehingga badannya bertaburan debu. Karena itu Rasulullah

----------- 2Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali Bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,

2012, hlm. 13. 3Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 14.

Page 27: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

16

membangunkannya dan memanggil dengan ucapan “wahai Abu At-Turab”.

Semenjak itu Ali mendapat gelar Abu Turab.4 Gelar ini dipakai kemudian

dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh beberapa Orientalis.

Kabarnya orang-orang Syi‟ah disebut orang Turabiyah dan pengikut Ali

disebut Turabi.5 Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia

memiliki seorang anak yang bernama Hasan.6

Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah dekat Ka‟bah.7 Menurut al-Faqihi,

dan al-Hakim seperti dikutip as-Shalabi Ali bin Abi Thalib adalah orang

pertama yang lahir di Ka‟bah.8 Terjadi perbedaan pendapat sejarahwan

tentang waktu kelahiran Ali bin Abi Thalib. Menurut Hasan al-Basri seperti

dijelaskan As-Shalabi, Ali lahir 15 atau 16 tahun sebelum kenabian. Ada pula

yang mengatakan Ali lahir lima tahun sebelum kenabian. Ibn Ishak dan

kebanyakan ahli sejarah mengatakan Ali lahir 10 tahun sebelum kenabian.

Ali Audah mengatakan Ali lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 Masehi.

Tahun ini dihitung berdasarkan catatan sejarah dengan jarah 30 tahun setelah

kelahiran Rasulullah saw., yaitu tahun 570 Masehi.

Semenjak masa bayi Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw sendiri,

karena Nabi dulunya juga diasuh oleh Abu Thalib, ayah Ali.9 Nabi

Muhammad saw ketika masih muda dan beliau juga membalas budi

pamannya Abu Thalib dengan mengasuh Ali. Rasul sangat sayang kepadanya

----------- 4Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 15.

5Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husen, Bogor : Litera AntarNusa,

Pustaka Nasional, 2010, hlm. 28. Selanjutnya disebut Audah, Ali. 6Audah, Ali, hlm. 28.

7Audah, Ali, hlm. 27.

8As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.

9Audah, Ali, hlm. 29.

Page 28: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

17

karena memiliki sifat yang mulia.10

Sifat yang mulia itu memang sudah

kelihatan pada diri Ali semenjak kecil karena bergaul dengan orang yang baik

budi pula. Selain takdir Allah, keluarga dan lingkungan dapat berpengaruh

kepada generasi yang ditinggalkannya dari segi pisik, bakat, keberanian,

penampilan11

dan sebagainya.

Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari Suku

Quraisy. Dalam sejarah, suku ini memiliki bahasa yang fasih dan cakap

menjelaskan sesuatu secara gamblang. Selain itu mereka juga berakhlak

mulia, memiliki sifat keberanian yang luar biasa dan masyarakat sudah

mengenal sifat-sifat itu. Pada masa jahiliah mereka berbeda masyarakat lain,

hidup rukun dan banyak berpegang teguh kepada syari‟at Nabi Ibrahim.12

Mereka tidak sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak

dibimbing dan muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak.

Dalam pergaulan mereka sangat menyayangi anak, saling hormat

menghormati, termasuk kepada jenazah, terbebas dari sifat buruk dan prilaku

kenistaan. Mereka tidak melakukan pernikahan terlarang seperti dengan anak

perempuan sendiri, sudara perempuan sendiri, cucu perempuan, menjaga

kehormatan istri dan menjauhi prilaku orang Majusi. Dalam agama mereka

sering melaksanakan haji ke Baitullah, mengerjakan amal ibadah. Mereka

----------- 10

Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991,

hlm. 194. Selanjutnya disebut Mahmudunnasir, Islam. 11

As-Shalabi, Biografi, hlm. 15. 12

As-Shalabi, Biografi, hlm. 17.

Page 29: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

18

juga mengizinkan putra-putri mereka menikah dengan suku lain tanpa fanatik

dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama.13

Abdul Muthalib, kakek Ali sekaligus kakek Rasul pada masa Jahiliah

dikenal sebagai dermawan, memberi makan dan minum jamaah haji, pada hal

dia bukan orang terkaya dan bukan satu-satunya tokoh yang disegani di

kalangan suku Quraisy.14

Tugasnya itu ditambah dengan memelihara sumur

Zamzam yang erat kaitannya dengan Baitullah telah mingkatkan derajat dan

menambah kemuliaan bagi diri Abdul Muthalib.

Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu

adalah mereka mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja.

Tanpa adanya syarat apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka

tidak menikahkan putra-putri mereka kecuali kepada orang-orang yang

berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku

bagi mereka dan lebih-lebih bagi tokoh-tokoh mereka.

Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga

sangat disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad

memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan

orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat,

Abu Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah

Nabi.15

Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan

dari Nabi semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik

----------- 13

As-Shalabi, Biografi, hlm. 18. 14

As-Shalabi, Biografi, hlm. 19. 15

As-Shalabi, Biografi, hlm. 21.

Page 30: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

19

dari nenek moyangnya.16

Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia

dibimbing oleh Nabi sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi

terpantulkan kepada diri Ali.17

Meskipun masih sangat muda Ali selalu

mendampingi Nabi dalam setiap kegiatan dakwah dan menjadi pejuang

terkemuka di kalangan Islam. Dia merupakan seorang pemberani, menjadi

prajurit agung, lihai dalam berperang dan terkenal dalam setiap pertempuran

yang dilakukan umat Islam melawan orang-orang kafir dan orang-orang

Yahudi.18

Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika

berumur 10 tahun ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding

dengan siapa pun, termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi

dan Khadijah shalat Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya

ruku‟ dan sujud serta membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya

kepada Nabi kepada siapa mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka

sujud kepada Allah yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya.19

Kemudian Nabi mengajak Ali untuk beribadah kepada Allah dan menerima

agama Islam secara sempurna dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan.

Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari

bimbingan Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik,

----------- 16

Dalam ilmu anatomi, darah, dan keturunan (gen) memiliki pengaruh terhadap generasi

berikutnya, baik dalam bentuk pisisk maupun dalam kejiwaan, etika sosial, akhlak, kesehatan, dan

bakat dan sebagainya. Oleh sebab itu nilai-nilai dan cita-cita yang mereka warisi dari orang tua

dan nenek moyang itu akan mereka percayai dan mempetahankannya sekuat tenaga untuk

menghormati dan memuliakannya, dan menganggap orang-orang yang mengikuti nilai-nilai dan

cita-cita tersebut sebagai generasi dan anak keturunan dari keluarga mereka. 17

As-Shalabi, Biografi, hlm. 32. 18

Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194. 19

Audah, Ali, hlm. 28.

Page 31: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

20

seperti kefasihan berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani,

dermawan, rendah hati, menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu,

ramah, terlepas dari sikap dan prilaku jahiliah.

Walaupun berada di lingkungan Nabi, penulis perlu mengemukakan

bagaimana proses Ali menjadi muslim. Keislaman Ali seolah-oleh sudah

merupakan skenario Allah. Kisah itu berawal dari krisis perekonomian yang

dialami masyarakat Qurasiy. Abu Thalib memilik banyak anak, tetapi penulis

tidak menjumpai dari berbagai literatur berapa orang anak yang ia miliki.

Krisis itu menyulitkan. Rasul berpikir bagaimana cara membantu pamannya

ini untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Rasulullah berkata kepada

Abbas pamannya yang dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata

Rasul, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki

keluarga yang besar. Kamu tahu krisis yang saat ini sedang melanda

masyarakat, maka marilah kau berada bersama kami untuk meringankan

beban mereka, saya akan mengambil satu orang dari anaknya dan kamu juga

mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi segala kebutuhannya.” Lalu

Abas berkata, Ya wahai Rasulullah, lalu keduanya berangkat menuju rumah

Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai Abu Thalib,

sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.”

Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka

tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa

yang kalian kehendaki selain dia.20

----------- 20

As-Shalabi, Biografi, hlm. 31.

Page 32: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

21

Kemudian Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya, dan

Abbas mengambil ja‟far untuk hidup bersamanya. Berawal dari situlah maka

kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga datangnya risalah kenabian.

Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk orang pertama dari

golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya. Begitu pula Ja‟far

juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam dan hidup

mandiri.21

Dari sini ternyata Rasulullah telah membalas kebaikan yang dilakukan

pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah merawat dan mencukupi

segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul Muthalib. Ini

merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada Ali karena

dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai dengan

petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an

terpantulkan kepada diri Ali. Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah

Islam, dia tahu segala rahasia-rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi

sebelum dakwah Islam mulai melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari

pertolongan yang memperkuat dakwahnya kepada manusia, dan

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika

datang menemui Nabi Saw saat setelah keislaman Khadijah. Ali mendapati

keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?”

Kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih

----------- 21

As-Shalabi, Biografi, hlm. 31.

Page 33: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

22

dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau

wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan utuk

menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza.” Ali pun

berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah

mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang

memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada

Abu Thalib.” Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya

kepada siapa pun termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah

untuk menceritakan urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali

jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun

berdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi

kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia menghadap kepada Rasulullah

dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”

Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah

dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari tuhan Latta dan Uzza,

serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah.” Ali pun

melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan menyatakan diri

masuk Islam.

Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut

kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut agama Islam.

Mula-mula dia menyembunyikan keislamannya itu, tidak berani

menampakkannya.22

----------- 22

As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.

Page 34: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

23

Ibnu Ishaq menceritakan, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah

keluar menuju tempat perbukitan di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut

bersama beliau secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Ia

menyembunyikan keislamannya dari bapak, paman-paman, dan keluarganya

yang lain. Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang

tiba, keduanya baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi.

Pada suatu ketika Abu Thalib pun menemukan keduanya secara

sembunyi-sembuyi sedang mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya

kepada Rasulullah, “Wahai anak saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang

kalian anut ini ?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para

malaikat-Nya, agama para nabi-Nya, dan agama bapak kita Ibrahim.” Saya

telah diutus menjadi seorang Rasul kepada sekalian umat manusia. Dan

engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk menerima

nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi seruanku, dan menolong

diriku.”23

Ajakan Rasulullah saw untuk mengucapkan syahadat tidak diterima

Abu Thalib, tetapi bukan berarti ia marah kepada Rasul dan anaknya Ali.

Sebenarnya Abu Thalib mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi pengaruh

wibawa di kalangan kaumnya menghambat ia untuk menjadi muslim.24

Abu Thalib tidak melarang anaknya Ali untuk mengikuti agama yang

dibawa Nabi Muhammad saw., bahkan mengizinkannya karena menurut Abu

----------- 23

As-Shalabi, Biografi, hlm. 33. 24

Abu Thalib berkata bahwa ia tidak mampu meninggalkan agama neneknya Tetapi bukan

berarti ia akan berhenti menolong dan membela Rasul dari berbagai ancaman orang-orang

Quraisy. As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.

Page 35: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

24

Thalib Muhammad tidak mengajak kecuali kepada kebaikan lalu

menyuruhnya untuk selalu mengikuti Rasul.”25

Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan

dirinya untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah

saw menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk

mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi

harinya. Ia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam

berbagai peperangan. Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk

membacakan surat Al-Bara‟ah di hadapan kaum muslimin pada musim haji

tahun 9 H.26

Ia memiliki 29 anak, 14 laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak

laki-lakinya adalah Hasan dan Husein, pemuka pemuda surga, Muhammad

ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar.

B. Pemikiran-Pemikiran Ali Bin Abi Thalib

Pasal ini membicarakn pemikiran-pemikiran dari Ali bin Abi Thalib.

Di sini penulis mulai dengan menjelaskan sifat keadilannya. Penjelasannya

dikemukakan melalui suatu kisah. Suatu hari, Amirul mukminin melihat baju

zirahnya27

, yang telah lama hilang, ternyata ada pada seorang Nasrani. Ia

tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia

berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu

----------- 25

As-Shalabi, Biografi, hlm. 34. 26

Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2007, hlm. 20 27

Yang dimaksud dengan zirah adalah baju besi atau baju rantai yang dikenakan pada waktu

perang

Page 36: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

25

miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu

baju miliknya. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib membawa laki-laki itu ke

pengadilan. Kadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki

Nasrani, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul

Mukminin?”

Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikmu. Amirul Mukminin tidak

berhak menuduhku.” Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai

Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”

Di antara pemikiran yang cukup menarik dari Ali bin Abi Thalib

adalah bidang fikih. Ali bin Abi Thalib dianugrahi pemahaman yang baik

terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu

poros fikih Islam, dan termasuk di antara kelompok utama pembuat fatwa di

kalangan generasi muslim pertama.28

Di sini penulis tidak akan menjelaskan

pemikiran fikihnya secara mendetail, tetapi hanya mengambil beberapa

pikirannya yang dianggap penting diketahui.

Di antara pendapat fikihya yang sangat luas, kita mengenal

pandangannya tentang nikah muth‟ah. Ali bin Abi Thalib dielu-elukan oleh

kaum Syi‟ah sebagai imam yang ma‟sum (terpelihara dari dosa dan

kesalahan). Di kalangan Syi‟ah terdapat hukum yang membolehkan

terjadinya nikah muth‟ah, yaitu nikah yang ditetapkan dalam jangka waktu

tertentu. Sementara Ali tidak membolehkan nikah muth‟ah.29

----------- 28

Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib, Jakarta: Zaman, 2013, hlm. 62. 29

Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400.

Page 37: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

26

Ali mengatakan bahwa jika dua orang menikah tanpa wali kemudian

mereka bersetubuh maka keduanya tak dapat dipisahkan, sedangkan jika

keduanya belum bersetubuh maka keduanya harus dipisahkan.30

Ali bin Abi

Thalib tidak membolehkan pernikahan orang yang dikebiri. Ia mengatakan,

“Seorang laki-laki yang dikebiri tidak boleh menikahi muslimah yang

menjaga kehormatan dirinya.” Ali membolehkan umat Islam makan makanan

kaum Majusi, kecuali daging. Ia juga mengharamkan makan daging

sembelihan kaum Nasrasni Arab karena mereka tidak memegang ajaran

Nasrani yang benar, bahkan mereka suka minum arak. Pendapat Ali ini

berbeda dengan pendapat jumhur ulama.31

Ia juga berpendapat bahwa jizyah dari kaum musyrik dapat diterima

kecuali kaum musrik Arab. Tentang hal ini ia mengatakan, “Tidak ada pilihan

bagi kita berkenaan dengan kaum musyrik Arab kecuali mereka masuk Islam

atau perang.”32

Ia menyatukan antara hukuman cambuk dan hukuman rajam bagi

muhsan yang berzina. Diriwayatkan dari al-Sya‟bi bahwa Syarahah memiliki

seorang suami yang sedang pergi ke Syiria, tetapi tiba-tiba ia mengandung

sehingga majikannya membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib dan

berkata, “Wanita ini berzina dan ia mengakuinya.” Ali mencambuk wanita itu

seratus kali pada hari kamis dan pada hari Jumatnya ia dirajam. Aku

menyaksikan sendiri tubuh wanita itu dikubur sebatas pinggang. Ali berkata

----------- 30

Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400. 31

Ash-Shalabi, Ali, hlm. 397. 32

Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, Pustaka

Azzam, Jilid 8, hlm. 738

Page 38: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

27

ketika itu, “Rajam adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Orang yang

menjadi saksi perbuatan zina harus melempar pertama kali, namun karena

wanita ini mengakui perbuatannya—tanpa—maka akulah yang melempar

pertama kali.” Lalu Ali melempar wanita itu dengan batu, dan diikuti oleh

orang-orang yang ada di sana. “Demi Allah,” ungkap al-Sya‟bi, “aku

termasuk di antara orang yang melempar wanita itu menemui ajalnya.”33

Dalam redaksi lain, Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan

hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah saw.”

Ali mengharamkan permainan dadu dan catur, bahkan ia tidak mau

mengucapkan salam kepada orang yang memiliki dadu. Ali juga menetapkan

hukum mengenai perawan yang dipaksa menikah karena takut terjerumus

dalam zina. Ia menetapkan mahar mitsil untuk wanita seperti itu dengan

mengatakan bahwa mahar untuk perawan seperti mahar untuk wanita lainnya

dan bagi janda mahar mitsilnya.

Dan ia membolehkan menerima hadiah dari penguasa (sultan),

“Janganlah meminta sesuatu pun kepada penguasa. Jika ia memberimu,

ambillah, karena dalam baitul mal lebih banyak harta yang halal ketimbang

harta yang haram.

Ali melipatgandakan hukuman atas orang yang mendapat hukuman

pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Atha, dari ayahnya bahwa Ali

memukul seorang penyair negro dari Bani Harits, karena ia minum arak pada

bulan Ramadhan. Orang itu dicambuk sebanyak delapan dua puluh

----------- 33

Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, hlm. 738

Page 39: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

28

cambukan. Setelah itu Ali berkata kepadanya, “Ali mencambukku lagi

sebanyak dua puluh kali cambukan karena kau melakukan kejahatan kepada

Allah dan karena kau berbuka di bulan Ramadhan.

Pendapat hukumnya yang lain adalah bahwa harta orang yang suka

meminjamkan dan yang suka dititipi tidak dapat dijamin jika hartanya itu

rusak tanpa memperthitungkan dari siapa ia mendapatkan hartanya.

Diriwayatkan harta ia berkata, “(Harta) Orang yang suka meminjamkan dan

memnitipkan tidak dapat dijamin.

Ia juga berpendapat bahwa orang yang menolong orang lain dalam

kebenaran atau melindungi orang lain dari kezaliman tidak noleh menerima

hadiah. Maksudnya, orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk

menjalankan urusan masyarakat tidak boleh menerima hadiah dari orang lain

karena dianggap akan memengaruhi keputusan atau pendapat hukumnya. Itu

beberapa pandangan Ali bin Abi Thalib seputar fikir Islam.

Ali bin Abi Thalib memberikan julukan khusus kepada seorang fakih

yang dihormati para fakih lainnya. Ia menyebutnya “al-faqih haqq al-faqih”.

Ia berkata, “ Maukah kalian kuberi tahu tentang yang paling utama di antara

para faqih (al-faqih haqq al-faqih)? Ia adalah orang yang tidak memutuskan

harapan manusia dari rahmat Allah, tidak mendorong mereka bermaksiat

kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari makar Allah, dan ia

tidak meniggalkan Al-Quran karena membencinya, lalu berpaling kepada

yang lain. Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai

pengetahuan, dan tidak ada kebaikan dalam pengetahuan yang tidak disertai

Page 40: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

29

pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam pembacaan yang tidak disertai

tadabur ─ penelaahan.34

Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sama seperti Umar r.a.

Dikisahkan bahwa Umar berkata, “pelajarilah pengetahuan dan ajarkanlah

kepada manusia. Pelajarilah kemuliaan dan kehormatan diri. Bersikap rendah

hatilah kepada orang yang mengajari dan yang kau ajari. Jangan menjadi

ulama yang sewenang-sewenang, agar ilmumu tidak dikalahkan kebodohan.35

Selain dikenal luas sebagai seorang fakih, Ali bin Abi Thalib juga dikenal

sebagai sahabat yang paling memahami kitab Allah. Ia banyak menafsirkan ayat-

ayat Al-Quran sehingga jika kita hendak menghimpun tafsir-tafsir Ali bin Abi

Thalib, dibutuhkan berjilid-jilid besar. Di sini kami hanya akan mengungkapkan

sebagian tafsirnya atas ayat-ayat Al-Quran yang mulai. Di antaranya, ia

menafsirkan firman Allah: Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-

Nya, dan penguasa urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu

maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, dengan mengatakan bahwa

mengembalikan kepada Allah berarti menjadikan kitab Allah sebagai landasan

hukum, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah Saw. Berarti memegang

sunnah Rasulullah Saw. menafsirkan firman Allah: maka kami akan

menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dengan mengatakan bahwa

makna kehidupan yang baik adalah qanaah. Mengenai ayat sama saja baik

----------- 34

H.R. Abu Naim dalam al-Hilyah, jilid I, hlm. 77; Ibn al-Dhurais dan Ibn Akasir pun

meriwayatkannya sebagaimana dalam al-Kanz, Jilid 5, hlm. 231. 35

Ibn Abdil Barr dalam Jami‟ al-„Ilm, Jilid I, hlm. 135.

Page 41: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

30

berdiam di sana maupun di padang pasir36

—ia mengatakan bahwa al-„akif adalah

orang yang mukim, sedangkan al-badi adalah orang yang dating ke suatu tempat,

dan bukan berasalh dari tempat itu.37

Ia juga mengatakan tentang ayat dan ketahuilah sesungguhnya harta

kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, bahwa Allah meguji mereka dengan

harta dan anak-anak sehingga menjadi jelas mana orang yang tidak rida atas

rezeki dari-Nya dan orang yang rida dengan bagian dari-Nya. Meskipun Allah

Swr. mengetahui keadaan mereka, Dia menjadikan harta dan anak-anak sebagai

ujian untukb menunjukkan apakah seseorang layak mendapatkan pahala atau

siksa. Sebab, ada di antara mereka yang lebih menyukai anak laki-laki dan

membenci anak perempuan; sebagian mereka menyukai bertambahnya harta dan

membencinya berkurangnya harta.38

Mengenai ayat Al-Quran: sesunnguhnya kita berasal dari Allah dan kita

akan kembali kepada-Nya, Ali r.a menjelaskan bahwa ungkapan “kita berasal dari

Allah merupakan penegasan bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai kita,

sementara ungkapan “kita kembali kepada-Nya” merupakan penegasan bahwa

Dialah yang akan membinasakan dan mematikan kita.

----------- 36

Al-Hajj: 25. Dalam Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen

Agama, kata al-badi di terjemahkan di padang pasir. Secara harfiah kata itu berarti yang tinggal di

pedesaan. Kita mengenal istilah Arab Baduwi, atau Arab Badui, yang berarti bangsa Arab nomad

dari kawasan pedesaan atau padang pasir. 37

Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib hlm. 66 38

Najh al-Balaghah, hlm. 553

Page 42: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

31

BAB III

KEPEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB

Pada bab tiga ini penulis mengemukakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

dengan segala persoalannya. Bab ini terdiri atas dua pasal. Pasal pertama

menjelaskan bagaimana proses yang terjadi dalam pengangkatan Ali sebagai

khalifah, serta menggambarkan kondisi umat Islam seputar bai‟at. Ini bertujuan

untuk memperkenalkan bahwa sejak awal kepemimpinan Ali sudah dimulai

semenjak pengangkatan Ali sendiri. Pasal kedua menjelaskan beberapa kebijakan

yang dilakukan Ali dalam memulihkan situasi dan dari tergambarkan bahwa

kebijakan itu tidak membuat Ali terlepas dari konflik politik. Uraian tentang itu

semua adalah seperti diuraikan berikut ini.

A. Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah

Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum‟at 18 Dzulhijjah

tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota

sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan,

keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara

dan tidak ada imam.1

Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada

satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain orang-

orang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi‟in

--------------- 1Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya

disebut al-Maududi, Khilafah.

Page 43: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

32

dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam

yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman

dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak

memiliki pemimpin.2

Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah

secapat mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang

menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-‘aqd, semacam

dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai‟at kepada seorang

khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta

pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan

yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang

layak dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang

mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi

saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib,

Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali

dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan

Abdurrahman bin „Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai

umat setelah Utsman bin Affan.3

Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai

pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali.

Jika ada seseorang yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan

--------------- 2Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 155.

3Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.

Page 44: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

33

terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.4 Karena itu semua sahabat

Rasulullah Saw berbondong-bondong membai‟at Ali sebagai khalifah.5

Mereka mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan

aman tanpa adanya seorang pemimpin.6

Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang

banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai‟at, dan akhirnya ia mau

dibai‟at. Tetapi bai‟at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat

banyak dan tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai‟at

berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan

tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas

sampai dua puluh orang.7

Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar,

sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali

tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan

mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia

telah dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan

dibai‟at oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah

kecuali daerah Syam.8

Walaupun sudah dibiat oleh masyarakat umum, namun masih ada

sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw

--------------- 4Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.

5Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bi Abi Thalib, hlm. 219.

6Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.

7Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Tidak disebutkan siapa nama-nama yang

yang tidak dapat melakukan bai‟at itu. 8Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.

Page 45: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

34

yang tidak mau membai‟at Ali. Penulis melihat bahwa tidak dijelaskan nama-

nama yang tidak mau membai‟at Ali itu. Namun dengan penolakan itu tidak

berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali tidak sah karena penolak

itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah melakukan bai‟at.9

Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah memperoleh

kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam sistem

khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan.

Tetapi ada tiga faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan

atau tertutupnya lubang itu. Pertama kaum pembangkang yang datang dari

berbagai daerah untuk memberontak kepada Utsman terlibat dalam

membai‟at Ali bin Abi Thalib. Di antaranya ada pelaku yang membunuh

Utsman, dan ada provokasi yang mengobarkan semangat orang lain untuk

membunuhnya dan ada pula yang membantu mereka untuk melaksanakan

pembunuhan itu. Atas pundak mereka terpikul tanggung jawab kericuhan dan

kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan

khalifah telah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.10

Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya fitnah

adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai‟at Ali dan mengawasi.

Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman

dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun

suasana yang terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah

--------------- 9Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.

10Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 158.

Page 46: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

35

orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan

mereka dalam pemilihan khalifah yang baru.

Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah sikap

netral para sahabat besar dalam pembai‟atan kepada Ali. Sikap netral itu

memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah

timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah

baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa

dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh

kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari

Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat

seharusnya bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk

mengembalikan perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.11

Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah

munculnya penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan

oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok

Mu‟awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan

dan kedudukan kedua kelompok ini mereka, namun jika ditinjau dari segi

hukum harus dikatakan bahwa sikap mereka tidak dapat dibenarkan.

Alasannya masa itu bukanlah masa sistem kesukuan yang dikenal pada zaman

Jahiliyah yang membolehkan setiap orang, dengan cara bagaimanapun,

menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan menggunakan cara-cara apa

saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu ada pemerintahan

--------------- 11

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 159.

Page 47: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

36

yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan undang-undang dan

syari‟at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak menuntut bela atas

pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang masih hidup.

Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap kaum

penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah orang-

orang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan

kebijaksanaan.

Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan jalan

yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan

bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama

sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau

tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak

dianggap sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar

menangkap kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali

adalah seorang pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja

siapa pun dan menghukumnya tanpa berlandaskan hukum?

Pada hakikatnya tindakan yang dapat disebut sebagai “lebih tidak

sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah tindakan kelompok yang

pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota Madinah dan

mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah dan juga

tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu berada,

dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan

sebaik-baiknya. Namun sebaliknya, mereka pergi ke Basrah dan

Page 48: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

37

mengumpulkan pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut

balas atas kematian Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan

darah sepuluh ribu orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja,

dan juga menyebabkan kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang.

Sungguh ini adalah cara yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan

yang sah, baik dalam pandangan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya, atau

bahkan dalam pandangan undang-undang apa pun di antara undang-undang

sekular.12

Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok

Mu‟awiyah yang menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam

kedudukannya sebagai pribadi Mu‟awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam

kedudukannya sebagai penguasa wilayah Syam. Ia telah menolak menaati

pemerintah pusat dan menggunakan tentara wilayahnya untuk mencapai

tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya menuntut Sayyidina Ali agar

mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke pengadilan dan menghukum

mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar Sayyidina Ali menyerahkan

mereka semua kepadanya agar ia (Mu‟awiyah) membunuh mereka dengan

tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip dengan kekacauan

kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam, dan sama sekali

tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa Islam.13

Seandainya Mu‟awiyah dibolehkan mengajukan tuntutan itu

berdasarkan hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama

--------------- 12

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 160. 13

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 161.

Page 49: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

38

pribadinya karena memang Mu‟awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat

Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia mempunyai hak meminta bantuan

khalifah untuk menangkap orang-orang jahat itu dan mengadili mereka.

Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama sekali ia tidak berhak

menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada khalifah yang telah

dibai’at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh seluruh wilayah

negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu‟awiyah sendiri.14

Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara

daerahnya itu untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah,

menuntut agar diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada

pengadilan, tetapi kepada penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan

membalas dengan tangannya sendiri.

Dalam kitabnya, ahkamul-Qur’an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi

menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan perundang-

undangan yang benar. Katanya : “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak

mungkin membiarkan penduduk tanpa pimpinan. Oleh sebab itu

kepemimpinan umat ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura

bentukan Umar sebelum wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali

sendiri. Tetapi kemudian Ali menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat

dari pertumpahan darah yang lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam

kebatilan. Ali khawatir akan memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan

mungkin akan menyebabkan rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang

--------------- 14

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 162.

Page 50: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

39

Islam. Maka ketika ia telah dibai’at, orang-orang Syam mengajukan syarat

untuk membai’atnya, yaitu agar Ali r.a memberikan kesempatan kepada

mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh Utsman dan menjatuhi

hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada mereka : „Masuklah

kalian dalam bai’at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan memperoleh

suatu bai’at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada bersamamu. Kami

melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja!‟ sudah barang tentu

pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata Ali

langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah

mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang

yang ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada

di tangannya dan bai’at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap

para pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah, dalam suatu

majelis pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara

benar. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan

menunda hukum qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya

kekacauan atau bercerai-berainya umat.15

Demikian pula yang terjadi dalam

hubungan Thalhah dan Zubair; mereka berdua tidak pernah memakzulkan Ali

dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka berdua juga tidak pernah

meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya berpendapat bahwa

mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman adalah suatu

tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada pendirianya, ucapan-ucapan

--------------- 15

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 163.

Page 51: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

40

kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa yang telah diputuskannya

dan dalam hal ini dia berada di pihak yang benar.”

Kemudian al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menjelaskan ketika menafsirkan

ayat :

تغبن ئف اـــمهنيا بىحلاصافىلتقتا هينمؤلما هم ــانتـفائط نإو

نئف اللهي رم الا ئف تت حغب تتا الىلقتي فرخ الألا عمهدحا

هيطسقمال بحي الله نا اىطساقو ل دلعاا بــمهنيا بىحلصأف تاءف

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka

damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim

terhadap (golongan) yang lain maka perangilah golongan yang berbuat

zalim itu, sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika

golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah

antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. 49:9).

Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan agar diusahakan perdamaian

sebelum dimulainya peperangan, dan Ia telah menetapkan dibolehkannya

berperang ketika timbul perbuatan aniaya. Maka Ali r.a telah bertindak sesuai

dengan petunujuk Allah ini; ia memerangi golongan aniaya yang hendak

melanggar wewenang imam dan membatalkan hasil ijtihadnya, kemudian

mereka itu menjauhkan diri dari pusat nubuwwah dan khilafah dengan

membawa serta sekelompok orang yang menuntut apa yang sebenarnya tidak

berhak mereka tuntut, kecuali dengan syarat mereka itu menghadiri majelis-

majelis peradilan dan mengajukan hujjah-hujjah mereka atas lawan. Dan

seandainya mereka berbuat yang demikian itu, lalu Ali tidak menjatuhkan

hukuman atas mereka, niscaya mereka tidak usah bertengkar dengan Ali atau

berusaha menjatuhkannya, sebab dengan sendirinya umat secara keseluruhan

pasti akan mencabut kembali bai’at kepadanya dan memakzulkannya.

Page 52: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

41

Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali memulai

jabatan khalifahnya. Dan ketika ia memulai pemerintahannya, pada saat di

kota Madinah masih ada sekitar 2000 kaum pembangkang, tiba-tiba Thalhah

dan Zubair, di damping beberapa orang sahabat yang lain, mendatanginya dan

berkata kepadanya : “Kami telah memberikan bai’at kami kepada Anda demi

melaksanakan hukuman atas kaum penjahat, maka laksanakanlah hal itu

terhadap orang-orang yang telah membunuh Utsman.” Ali menjawab :

“Wahai saudara-saudaraku, bukannya aku tidak megetahui apa yang kalian

ketahui, tapi apa yang dapat aku lakukan dengan suatu kelompok yang

memiliki kekuatan atas kita sedangkan kita tidak memiliki kekuatan atas

mereka.16

Itulah kondisi yang terjadi sekitar pengangkatan Ali bin Abi Thalib.

Kondisi-kondisi itu ternyata menjadi batu pengganggu yang sangat rumit dan

sulit bagi Ali dalam menjalankan pemerintahan.

B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib

Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman,

Ali bin Abi Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak

kondusif. Di atas telah dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam

kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali

mengalami berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Beratnya tugas

pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun kadang-

--------------- 16

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 164

Page 53: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

42

kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan

yang berkembang dalam masyarakat.17

Di antara langkah-langkah yang

dilakukan Ali bin Abi Thalib:

Pertama, “memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat

pendahulunya Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokoh-

tokoh lain. Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan

kekhalifahannya”.18

“Di antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya‟la bin

Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman.

Dalam pemberhetian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan

karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya‟la sudah meninggalkan Yaman dan

pergi ke Mekah serta membawa hartanya”.19 Banyak orang yang

meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan

sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh diganggu.

Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami,

gubernur Basrah dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini

Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah

Abudllah sudah meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa

sebagian harta.

Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam

memberhentikan Abu Musa al-Asy‟ari, Gubernur Kufah dan menggantinya

dengan Umarah bin Syihab. Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu

dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan

--------------- 17

H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, hlm. 21 18

Hitti, History, hlm. 224. 19

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 203.

Page 54: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

43

kedatangan Umarah bin Syihab dan memintanya untuk kembali ke Madinah.

Penduduk Kufah kelihatannya lebih mempertahankan Abu Musa al-Asy‟ari.

Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu Musa berkirim surat kepada

Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur bersama rakyatnya

membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian kebijakan Ali

mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa al-Asy‟ari,

gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu tidak

terlalu bermasalah.

Berbeda dengan pemberhentian dan pengangkatan gubernur

sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian Gubernur

Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang politikus

ulung menggantikan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk, pos

perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu‟awiyah dan disuruh kembali.

Dengan kembalinya Sahl rakyat Siria merasa gelisah karena ini menurut

pandangan masyarakat adalah ulah Mu‟awiyah yang suka berperang. Mereka

ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari

pihak Mu‟awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan

berusaha mencari kompromi.20

Dalam menghadapi Mu‟awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu

dilakukan dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan

umat Islam. Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu‟awiyah yang

--------------- 20

Audah, Ali Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204.

Page 55: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

44

menyuruh membai‟atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk

Syam agar terjadi kompromi politik yang baik.21

Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih menurut Mu‟awiyah

tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut membai‟atnya,

walaupun mayoritas umat Islam sudah membai‟atnya. Alasan lain yang

dikemukakan Mu‟awiyah akan membai‟at setelah Ali terlebih dahulu berhasil

menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.22

Tiga bulan kemudian Mu‟awiyah mengirim surat kepada Ali yang

dibawa seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan

bersegel dengan format “Dari Mu‟awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi

Thalib” tanpa menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila

sudah memasuki kota Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat

dibaca sehingga orang tahu bahwa Mu‟awiyah menantang Amir al-

Mukminin. Setelah itu surat tersebut langsung dibawa kepada Ali sehingga

masyarakat tahu bahwa isinya adalah jawaban Mu‟awiyah terhadap Ali dan

ingin mengetahui lebih jauh apa maksud Mu‟awiyah dengan perlakuan seperti

ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan yang ada dalam surat itu adalah

bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang ganjil dan dinilai suatu

penghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya.

Ini dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara

tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali.

Buktinya setelah Ali wafat Mu‟awiyah mengadakan kesepakatan dengan

--------------- 21

Audah, Ali, hlm. 204. 22

Audah, Ali, hlm. 204.

Page 56: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

45

Hasan, anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah

kekuasaan berada di tangan Mu‟awiyah persoalan pembunuhan Utsman

hilang sama sekali dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.23

Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam : (1)

urusan korespondensi; (2) urusan pajak (3) urusan angkatan bersenjata (4)

urusan administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia

memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.24

Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah

menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para

pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara.25 Kebijakan

ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur,

berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati,

sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman

hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah.26 Ketika Ali

menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam

memimpin dunia Islam. Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan

lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di

tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia

mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah

dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takun apa yang sudah

--------------- 23

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204. 24

H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 21 25

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, hlm. 107. 26

Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, hlm. 255.

Page 57: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

46

mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat meni‟mati

lagi.27

Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga

menghalangi orang Syam enggan untuk membai‟atnya sebagai khalifah.

Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri

bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir

sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik.

--------------- 27

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 206.

Page 58: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

47

BAB IV

KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN

KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

Pada bab empat ini penulis mengemukakan konflik-konflik politik yang

terjadi pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Istilah konflik diambil dari bahasa

Inggris conflict yaitu a situation in which people, groups or countries are involved

in a serious disagreement or argumen.1 Artinya konflik ialah suatu keadaan rakyat

atau kelompok atau suatu daerah terlibat dalam ketidak-sepakatan yang seius.

Dalam Kamus Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia,

konflik diartikan dengan perselisihan, atau pertempuran atau perlawanan.2

Dalam Wikipedia yang penulis ambil dari internet Konflik berasal dari

bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik

diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.3 Dengan demikian yang

dimaksud dengan konflik dalam skripsi ini adalah proses sosial berupa

perselisihan dan pertentangan yang terjadi antara berbagai kelompok dalam masa

pemerintahan, yaitu pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan tujuan menjatuhkan

kekuasaannya.

---------- 1Sally Wehmeier, (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curren English, Oxforf

university Prees, 2007, hlm. 305, dan selanjutnya disebut Sally Wahmeier, Oxford dictionary. 2Antonius Bangun (ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia,

Jakarta : PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993, hlm. 108. 3Dikutip dari Wikipedia melalui internet pada tanggal 29 Oktober 2013.

Page 59: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

48

Bab ini dibagi menjadi empat pasal. Pasal pertama, membicarakan tentang

konflik Ali dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Pasal kedua, membicarakan

tentang konflik Ali dengan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan dan kaum Khawarij. Pasal

ketiga, membahas tentang faktor-faktor terjadinya konflik politik pada masa

pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dan pasal keempat, membahas tentang

strategi Ali dalam menyelesaikan konflik politik pada masa pemerintahannya.

A. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah

Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah,

beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian

khalifah Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat

menjadi khalifah pengganti Utsman.4 Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa

yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti

Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.5 Thalhah

bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah,

meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka

menunaikan umrah. Data tersebut memberikan informasi bahwa Thalhah bin

Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada awalnya telah membaiat Ali bin

Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan bahkan menyebut Thalhah

bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat Ali bin Abi Thalib.6

Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu

---------- 4 Sahabat yang memberi tahu kepada Aisyah tentang terbunuhnya Utsman dan dibaiatnya

Ali adalah Ubaidillah bin Salamah al-Laisi. (Ensiklopedi Islam, Jilid I, hlm. 94) 5 Jeje Zainudin, hlm. 90

6 Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Bahauddin,

(Kalam Mulia, Jakarta: 2006), cet. 2, hlm. 508

Page 60: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

49

akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan

menghukum para pembunuh Utsman.

Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran, bahwa

penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubair

faktor utamanya adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh

Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham.

Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan

seharusnya yang menjadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang

diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, yang

juga menjadi rujukan primer di UIN, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad

Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab

terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk

menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya,

Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia

dapat menggantikan posisi Ali.7 Dengan redaksi yang kurang lebih sama,

Harun Nasution juga menyatakan bahwa;

“Setelah Utsman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah

yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka

yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah

yang mendapat sokongan dari Aisyah.”8 Hal senada juga diungkapkan Hery

Sucipto. Tanpa menyantumkan rujukan, dalam bukunya dia menyebutkan;

“Namun, tak berapa lama setelah menunaikan rukun Islam kelima itu,

dia [Aisyah] mendengar dari salah seorang sahabat, bahwa khalifah Utsman

meninggal dan kepemimpinan dipegang oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.

Hanya saja, baiat terhadap Ali ini membuat kecewa Aisyah, lantaran baginya

---------- 7Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 39.

8Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press,

Jakarta: 2002), Edisi 2, Cet. I, hlm. 6.

Page 61: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

50

yang berhak mengganti [khalifah Utsman] adalah kakak iparnya, Thalhah bin

Ubaidillah.”9

Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda

dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip

sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi

oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua

sahabat itu, menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan

rakyat memilihnya menjadi khalifah.10

Hipotesa beberapa penulis di atas jauh berbeda dengan Asma'

Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari, Muhammad Ziyadah

mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang menyebut

`Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali.11 Dasar gerakan `Aisyah adalah

menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara

Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka

bergabung untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari

tragedi pembunuhan Utsman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap

pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa

akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman

itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau

lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) di masa yang

akan datang bisa sering terjadi.

---------- 9 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan Qardhawi,

(Mizan: Bandung: 2006), cet. Ke-2, hlm. 18 10

Ensiklopedi Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993, hlm. 113 11

Asma' Muhammad Ziyadah, hlm. 424

Page 62: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

51

Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa

yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan

Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak

baiat kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya,

dalam bukunya dia menyatakan;

“Ada faktor lain yang lebih penting dari tuntutan qishash, diantaranya;

(1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara Ali dan Aisyah. Asiyah

sendiri pernah berkata; sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak

ubahnya sebagai orang dengan mertuanya. Mungkin, ketegangan ini

disebabkan oleh pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-

Ifki. (2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam pemilihan khalifah Abu

Bakar…(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting, yaitu faktor Abdullah bin

Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama Asma bin Abi

Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya sendiri.12

Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan

sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam

Musnadnya meriwayatkan sebauh hadits yang menceritakan situasi Rasulullah

saat sakit. Kala itu, Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu

Abbas berkata kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang

bersamaku memapah Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati

kepadanya”.13

Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan

rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali

dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun

tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah

---------- 12

Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya

dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000), cet. 4, hlm. 288. 13

Hadits riwayat Imam Ahmad. CD Hadits Mausu’ah al Hadits al Syarief, (Cairo: Sakh

Software, 1996), nomor hadits 22932.

Page 63: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

52

bersabda; “Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pasti ia (Ammar)

memilih yang paling bijaksana di antara keduanya”14 Dalam hadits kedua ini,

tekesan Aisyah hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan

dia tidak memperdulikannya (membelanya).

Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk

terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut

dari sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat (pendapat)

oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah

Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan

tanyakanlah kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur

kepadamu”. Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan

Aisyah. Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar di tengah

masyarakat bahwa Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling

tidak Ali tidak menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah di saat posisinya

beserta Rasulullah benar-benar tertekan dengan berita fitnah.15

Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah

ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian

hari sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas

Ali di kalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan Imam Al Zuhri,

tokoh hadits dari generasi tabi‟in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah

dibujuk oleh Al Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa

Ali termasuk orang yang menfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas

---------- 14

Riwayat Imam Ahmad, no. 23676 15

Jeje zainudin, hlm. 110

Page 64: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

53

menolak dan ia mengemukakan pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah

termasuk orang yang menfitnahnya yang dikecam Allah dalam Al Quran surat

An-nur ayat 11 sebagai “kelompok persekongkolan”, Ali hanyalah tidak

memberi sikap pembelaan kepada Aisyah, bukan ikut menfitnahnya.16

Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju

rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan

nama Ali dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al

Jâmiush Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu‟, no. hadits 191) tanpa ada

tambahan perkataan Ibnu Abbas, “Tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.

Tambahan perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah

benci dan dendam terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan

pada riwayat hadits di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîh-

nya melainkan mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang

seorang lagi itu adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi

Aisyah tidak suka hati kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari

periwayatan Ma‟mar bin Râsyid, seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam

Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al Asqalani mencurigai hadits Ma‟mar

yang diriwayatkannya di Bashrah. Inilah sebabnya Imam Al Bukhari dalam

kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari Ma‟mar melainkan dari Syu‟aib

bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya dari Az Zuhri.17

Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan

seseorang yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan

---------- 16

Jeje Zainudin, hlm. 110 17

Jeje Zainudin, hlm. 112

Page 65: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

54

kesahihannya mengingat pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit

yang meriwayatkan dari Atha‟ bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan

tsabit oleh sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu

Huzaimah ia seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari

Atha‟ tidak terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha‟ bin Yasâr

tidak ada mutâbi’nya. Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah

ada landasannya yang kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang

suka memilih keputusan yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam

Ahmad pada Musnad-nya no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah

bin Mas‟ud.18

Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai

penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat

cemburu kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah.

Kecemburuan Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya di

hadapan Aisyah. Karena itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada

Fatimah, putri Nabi dari Khadijah yang sangat dicintainya. Ketika Ali

menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul sangat besar kepada mereka

berdua, kecemburuan Aisyah pun ditumpahkan kepada Fatimah dan Ali.19

Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam

kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada

Khadijah, adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar.

Pendek kata, tidak ada data yang akurat untuk dijadikan alasan bahwa

---------- 18

Jeje Zainudin, hlm. 112-113 19

George Jordac, hlm. 373

Page 66: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

55

perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas

pembunuhan Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat

dipungkiri adanya berita-berita sejarah telah menceritakan adanya

kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum

peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan perselisihan pendapat antara

Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah mengenai tanah Fadak yang

diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai saran Ali kepada Rasulullah

ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang kepada Aisyah pada

peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang-harmonisan hubungan ini telah

ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok oposisi. Tetapi

untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen pribadi di antara

mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang Ali sungguh

terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya sebagai

pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh cara

tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat

dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan

logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi

dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.20

Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari

pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi

para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di

sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah,

---------- 20

Jeje Zainudin, hlm. 113

Page 67: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

56

termasuk di dalamnya Thalhah dan Zubair, murni karena menuntut

pengusutan tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang

menguatkan statmen itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara

Aisyah, Thalhah, Zubair dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah

khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat

dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.21

Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali

sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu

Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan

kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali

mengatakan;

“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui.

Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai

kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka

budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka semenatara

mereka ada di sela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian.

Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu

sebagaimana yang kalian inginkan.22

Jika informasi yang diberikan al-Aqqad di atas benar, dapatlah

dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash. Ali kelihatannya

ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim,

terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan

hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat

dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat

ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah

---------- 21

Jeje Zainudin, hlm. 119-120 22

Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah,

(Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hlm. 146.

Page 68: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

57

bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan

dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab,

pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy

politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh

Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasti, sementara para

pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku

yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh

menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang

tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi

tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman

qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya

penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar

kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.

Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperangan

pun tidak dapat dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal

dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah

menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu

Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak

menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh

Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.23 Pada hal saat itu, Thalhah

---------- 23

Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,

2004. hlm. 254

Page 69: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

58

dan Zubair telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali

sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali.24

Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta

pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali

di atas menunjukkan bahwa peperangan itu bukanlah peperangan untuk

menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali menyolati para korban

dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan menguburkannya,

Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan. Menurut

Joesoef Sou‟yb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya untuk

beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia

menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak

sampai akhir hayatnya.25 Ia banyak merenung dan menyesali perbuatannya

karena ikut terlibat dalam peperangan.

Perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zubair

merupakan fakta sejarah yang sudah terjadi. Namun demikian, perlu diketahui

juga, apakah memang saat itu perang benar-benar merupakan solusi satu-

satunya? Atau ada grand desaind dari pihak luar yang sengaja memperkeruh

suasana yang mengakibatkan peperangan?

Analisa yang diberikan oleh beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa

sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan dialog melalui surat-

menyurat untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari kamis, pertengahan

Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan negosiasi

---------- 24

Ali Audah, hlm. 231-236 25

Joeseof Sou‟yb, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986), hlm. 479

Page 70: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

59

selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut sebenarnya

berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan menahan

diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.

Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan Zuber meminta Ali agar tidak

melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman bin Affan dan

orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan damai.

Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang

terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman, baik yang datang dari

Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampung

halaman masing-masing.

Instruksi Ali itu mengejutkan para pimpinan kelompok tersebut yang

termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan kepercayaan Ali sendiri

seperti al-Asytar al-Nakha‟i dan Syuraih bin Aufa. Keduanya mengundang

tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat rencana untuk

sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana damai itu

harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan menjadi

korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan

Aisyah, Thalhah dan Zubair kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera

menghukum qishash para pembunuh Utsman. Maka damaianya pihak Ali dan

Aisyah berarti kematian bagi mereka.26 Sebagian ahli sejarah berkeyakinan

bahwa orang-orang di atas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini

---------- 26

Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq,

2004 hlm. 255

Page 71: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

60

adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali

maupun Aisyah.

Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam

rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan

menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan

pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan.27 Posisi Aisyah

saat itu adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi

pemerintahan bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh

gubernur Utsman bin Hunaif. Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara

pihak Aisyah dengan pihak Utsman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan

perdamaian, akhirnya disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri

salah satu isinya adalah mengakui Utsman bin Hunaif sebagai gubernur

Basrah berikut bait al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak

Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di Basrah, sambil menunggu

Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya dalam keadaan tenang,

aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat dilaksanakan seperti hari-

hari biasa.28

Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak

senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk

mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah,

pengikut Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif selepas

shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait al-Maal dan membunuh para

---------- 27

Ali Audah, hlm. 225 28

Ali Audah, hlm. 225

Page 72: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

61

penjaganya. Ketika hal tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan

perlawanan dengan Hakim bin Jabalah. Orang ini kemudian mati bersama

tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran dengan Thalhah dan

rombongannya.29

Jika diteliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah ini

semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat skenario besar di balik

kegagalan perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Utsman bin Hunaif,

menyerbu bait al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan

asset pemerintahan Ali bin Thalib. Menurut penulis, hal ini menunjukkan

bahwa Hakim bin Jabalah, pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator,

mengadu domba pihak Ali dengan cara menculik dan membunuh Utsman bin

Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan

itu adalah pihak Aisyah. Di sisi lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan

pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi Thalhah yang saat itu memang

sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan besar juga berpikir

bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan penyerangan

dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan dan

akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.

Ketika peperangan berkecamuk Ali mengirim sepucuk surat kepada

Zubair dan Thalhah untuk mengingatkan pesan Rasulullah untuk menghindari

perang. Karena itu Zubair berusaha menghindar dan Thalhah berpindah dari

barisan terdepan dan mengambil posisi belakang. Namun Amr bin Jarmuz

---------- 29

Ali Audah, hlm. 226

Page 73: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

62

bertindak membunuh Zubair dan Marwan bin Hakam membunuh Thalhah.30

Pasukan Ali dapat menguasai dan memenangkan peperangan, sementara

Aisyah dalam peperangan itu tertangkap. Ia memperlakukan Aisyah dengan

perlakuan yang penuh penghormatan dan setelah itu memulangkannya ke kota

Madinah dengan penjagaan yang sempurna dan terhormat.31 Dengan demikian

satu peperangan telah dilewati Ali, namun peperangan berikutnya yang lebih

sengit lagi sudah menunggu.

B. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah dan Kaum Khawarij

Ali dengan Mu‟awiyah

Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya,

Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi

korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus. Ia

segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis

pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa

pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang

terpotong.32 Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid

Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu

melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan

dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah

Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali.

---------- 30

Al-Maududi, Khilafah, hlm. 167. 31

Al-Maududi, Khilafah, hlm. 169. 32

Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir.

Lihat Jeje Zainudin, hlm. 98

Page 74: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

63

Ditambah lagi dengan keputusan Ali memecat Muawiyyah menyebabkan

kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan -- bukan menolak --

pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas.

Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali

bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyah, tuntutan para pembunuh Utsman

harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari

kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah

berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti

dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara

bulat dari kalangan umat untuk membaiatnya.33

Telah disinggung sebelumnya, dan mengapa Ali menangguhkan qishash

terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah

masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau

membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Utsman dituntaskan. Ada dugaan

saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh

Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan

pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin

---------- 33

Alasan kedua yang dikemukakan oleh Muawiyyah tidaklah tepat. Ali Audah bahkan

menyebut alasan itu terkesan mengada-ada. Sebab, yang tidak membaiat Ali saat itu hanya

beberapa orang. Dan itu pun bersikap netral dan tidak menentang kekhalifahan. Alas an pertama

juga dalam pandangan Ali Audah agak rancu. Jika memang alas an tersebut menjadi dasar

penentangan Muawiyah terhadap Ali tentunya saat Muawiyyah menjadi pemimpin Negara, kasus

seharusnya Muawiyah mengusut siapa kasus terbunuhnya Utsman. Akan tetapi, Muawwiyah tidak

pernah melakukannya. Lihat Ali Audah, Ali bin Abi Thalib; Sampai Kepada Hasan dan Husain,

Amanat Perdamaian, Keadilan dan Persatuan, Peranannya Sebagai Pribadi dan Khalifah, (Litera

AntarNusa, Jakarta: 2007), cet. Ke-3, hlm. 204.

Page 75: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

64

memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para

pemberontak.34

Dengan mengutip pakar sejarah Islam klasik, al-Thabari, Harun Nasution

mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir,

yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah

Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak

mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan

Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir

Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan

penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui

penduduk Mesir, salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa‟ad bin Abi

Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka

Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk

mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran,

Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu

menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan

mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan

delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa‟ad bin

Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh

Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad

bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat

perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat

---------- 34

Harun Nasution. hlm. 7

Page 76: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

65

yang—katanya—dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang

memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh

para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar.

Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu

target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut

Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh.35

Mungkin

karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan

termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi

salah satu tersangka.

Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman,

ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah

menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah

yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain,

Nailah hanya menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah,

“dia sudah keluar meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat

itu pula Ali langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk

menguatkan kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan

statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk

dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada ayah36 [Abu Bakar], saya

meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak

membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.37

---------- 35

Joesef Soy‟b, hlm. 444-454 36

Perkataan Utsman kepada Muhammad bin Abi Bakar kala itu adalah; “Kemenakanku,

sekiranya ayahmu masih hidup, kau tidak akan memperlakukan aku seperti ini.” 37

Ali Audah, hlm. 216

Page 77: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

66

Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa

tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah

kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin

Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang

diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk

kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu

tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu,

dan memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan

memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Mu‟awiyah mempunyai sikap tegas

untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah

pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan

Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut

pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari

perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu

bersitegang.

Ali sendiri ketika menghadapi tantangan Muawiyah telah melakukan

berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah,

mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut

selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas

surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang

bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa

menyebut gelar Amirul Mukminin.38

---------- 38

Ali Audah, hlm. 204

Page 78: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

67

Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi,

negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil

kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan

tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih

dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.

Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali,

seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang

tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih

dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini

seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah

dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu‟bah tatkala itu

bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah

pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih

dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat.

Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok

opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.39

Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam

waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah

tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan

pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana

Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun

menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus

---------- 39

Abbas Mahmud al-Aqqad, hlm. 70

Page 79: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

68

lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin,

suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria.

Perang pun terjadi, kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah

tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram

awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan

sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri

pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Tragedi ini merupakan

malapetaka amat besar yang patut disesalkan. Saat perang dahsyat itu

berkecamuk, pasukan Ali hamper saja memenangkan pertempuran. Tercatat

7.000 orang Islam gugur.40

Sedang luka korban fisik tidak terhitung.

Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai

terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angin. Muawiyah yang sudah

berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh

beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat

untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua

bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian

pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang

menyuruh Ali untuk menerimanya.

Menarik untuk dibahas tentang kedua kubu Ali yang berbeda pendapat

ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu

sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan

pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy‟ats

---------- 40

Didin Saefudin Buchori, hlm. 45

Page 80: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

69

bin Qais al-Tamimy, Mis‟ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-

Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya

(khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain

justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk

menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk

melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan

bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut

Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa

setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin

Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak

Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim.41 Kemungkinan

cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena

ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij.

Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti

bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari

pihak Muawiyah.42

Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua kelompok, namun

akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan

perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara

masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak

Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan dari pihak Ali mengajukan

---------- 41

Prof. Dr. Muhammad Amhazun, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa

Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid (LP2SI al-

Haramain, Jakarta: 1994), cet. I, hlm. 474 42

Prof. Dr. Muhammad Amhazun, hlm. 483

Page 81: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

70

Abu Musa al-Asy‟ari sebagai juru runding.43 Perundingan tersebut rencananya

akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul

Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.

Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu

Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun

dari Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi

saat pembacaan keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati

kesepakatan dengan menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah

diberhentikan oleh Abu Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena

persidangan. Abu Musa mengecam Amr yang telah khianat sebagai anjing

yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina Abu Musa dengan

menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi

perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada

Ali. Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan

yang terhormat di hadapannya.

Ali dengan Kaum Khawarij

Setelah proses tahkim berakhir hasil perundingan tentu saja

dimenangkan oleh Muawiyah,44 sedangkan kelompok Ali terbelah menjadi

dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan

menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai kaum

---------- 43

Didin Saefudin Buchori, hlm. 45 44

Didin Saefudin Buchori, hlm. 46

Page 82: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

71

khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima

tahkim.

Kemudian mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya

mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan

Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan

kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus

mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan

yang lebih tepat dari pendapat kami.”45

Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12.000

orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di

Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta

syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal

menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa

perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh

diputuskan oleh arbitrase (tahkim) manusia. Putusan hanya dari Allah dengan

kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.46

Ketika Ali sedang berkhutbah Jum‟at, sebagian orang Khawarij

meneriakinya dengan kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali

mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan

kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu

memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan

mengampanyekan pahamnya dengan slogan “hukum itu hanya milik Allah.”

---------- 45

Hilmi Ali Sy‟ban, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.32

cet. I 46

Harun Nasution, hlm. 8 dan 13

Page 83: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

72

Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim

itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas

ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali

bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan

bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap

bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk kelompok sendiri. Abdullah

bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa

menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya

bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah

terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh

siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang

sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi

korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan

dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut.

Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari

pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama,

mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta

semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena

Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan

gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah

perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian

dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib.

Page 84: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

73

Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah

dalam masalah hukum, sebab ia telah menyerahkan keputusan politiknya

dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah

pihak, bukan kepada Allah. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah

bukan milik manusia. Adapun Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang

harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij

berargumen dengan ayat, yang berbunyi :

نوربفلكا مه كئلبف الله لزوب أمب مكحي مل هموArtinya : barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa

yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Al-

maidah ayat 33. Di ayat berikut Allah menjelaskan :

نومبلالظ مه كئلبؤف الله لزوا بمب مكحي مل هموArtinya: barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa

yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Al-

Maidah ayat 45.

Berdasarkan kedua ayat itu kaum Khawarij menetapkan ب اللهلا مكحلا “tidak ada yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah”.

Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan

membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi

pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi

mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-

anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar

karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta

bendanya.

Page 85: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

74

Alhasil, perselisihan kemudian diselesaikan melalui perundingan.47 Ali

mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping

ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali

ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas

menjawab dengan beberapa argumen:

Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai

Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tidak

mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak

beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan

mengubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi

pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan

perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi

permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul

Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak

keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad saw.,

sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar

menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad

Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada

diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak

menyebut Allah”.48

---------- 47

Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam¸ cet I. 2009. hlm.45 48

Q.S Al-Ahzab: 21

Page 86: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

75

Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah di bidang hukum

karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan

mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah

kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan

harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua

utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah,

agar bermusyawarah dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan

Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran

mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh

wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.

Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga

yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding

untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka

lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan

kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta

rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi

mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara

tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau

kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir,

dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir

juga”.

Page 87: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

76

Bagaimana pun kaum Khawarij tidak tinggal diam. Dengan sisa-sisa

kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompok Ali

dan kelompok Muawiyah, „Amr bin “Ash dan Abu Musa al-Asy‟ari, yaitu

orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Atas dasar ayat al-Quran di atas

mereka menetapkan bahwa keempat orang ini telah menjadi kafir dan harus

dibunuh. Oleh sebab itu membuat rencana untuk membunuh orang-orang yang

terlibat tahkim itu. Dalam menjalankan tugas itu mereka membagi tugas dan

menetapkan bagaimana cara pelaksanaan eksekusi itu. Mereka merencanakan

pelaksanaan eksekusi serentak pada waktu subuh. Waktu ini dipilih ketika

semua mereka itu keluar untuk menjalankan shalat subuh. Ketika waktunya

tiba setiap petugas turun dan ternyata yang berhasil adalah pembunuh Ali yang

bernama Abdurahman bin Muljam.49 Ali wafat seketika, sedangkan yang

ditugasi membunuh Mu‟awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asya‟ri gagal

sehingga yang wafat hanyalah Ali bin Abi Thalib saja.

Wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhirlah pola kepemimpinan

Khalifah Rasyidin. Kemudian diserahkan kepada Hasan.50 Hal itu membuka

babak baru bagi sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem khilafah

menjadi sistem kerajaan. Sistem yang tersebut terakhir berjalan dalam masa

yang cukup lama.

Selanjutnya analisa penulis mengenai perkara politik yang menyinggung

tentang ketiga konflik diatas yaitu pertama, antara Ali bin Abi Thalib dengan

Thalhah, Zubair dan Aisyah, kedua, antara Ali dengan Mu‟awiyah, dan ketiga,

---------- 49

Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46 50

Didin Saefuddin Buchori, hlm. 46

Page 88: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

77

antara Ali dengan Kaum Khawarij. sebagaimana perkara yang yang diungkap

di atas bahwa Aisyah tidak setuju Ali menjadi Khalifah pengganti Utsman

akan tetapi Aisyah berpendapat bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah

Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian berbeda dengan sahabat senior yaitu

Thalhah dan Zubair yang pada mulanya mereka membai‟at Ali tetapi di akhir

kisah mereka bersekongkol untuk memerangi Ali. Mereka juga menginginkan

kedudukan sebagai Khalifah akan tetapi rakyat Madinah tidak memihak

kepada mereka, maka dari itu, ada kecemburuan terhadap Ali di samping

mereka juga menuntut tragedi pembunuhan Utsman kepadanya.

Begitu pula halnya dengan Mu‟awiyah bin Abu Sofyan yang sangat

menginginkan jabatan kekhalifahan, dengan berbagai pengalaman yang ia

miliki sebagai politikus dan administrator yang pandai51

, wajar saja Umar

memilihnya sebagai Gubernur Syam pada waktu itu, akan tetapi ketika di

masa Ali, Mu‟awiyah dilengserkan dari kedudukannya, maka dari itu

Mu‟awiyah membuat siasat untuk menjatuhkan Ali, dengan dalih menuntut

pembunuhan Utsman.

Kemudian persoalan munculnya kaum khawarij, tidak terlepas dari

persoalan agama dan politik dimana ketika terjadinya tahkim antara kelompok

Ali dengan Mu‟awiyah, kelompok ini beranggapan bahwa itu tidak sesuai

dengan nash-nash al-Quran dan mengkafirkan pelaksananya. Setelah mereka

keluar dari kelompok Ali, maka mereka dikenal dengan istilah kaum

Khawarij. Mereka juga berambisi untuk merebut kekuasaan Khalifah Ali bin

---------- 51

http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidina-usman.html

Page 89: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

78

Abi Thalib pada waktu itu, karena dianggap pemerintahan yang tidak sesuai

lagi dengan al-Quran dan sunnah dan ingin mendirikan negara sesuai dengan

pendapat mereka yang dianggap benar.

Maka dari itu, konflik-konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin

Abi Thalib sangat kental dengan fenomena politik. Dan tak terlepas pula dari

unsur-unsur lain seperti hukum (qishash) maupun agama.

C. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Pada Masa Pemerintahan

Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ada beberapa faktor masalah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya

konflik di masa Ali ra. Yaitu kebijakan-kebijakannya yang menyangkut : a)

pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam, b) penyerahan pembunuh

Utsman ra, c) penerimaan tahkim dalam peristiwa Shiffin.52

a). Pemecatan Muawiyah sebagai Gubernur Syam

Masalah-masalah itulah yang menimbulkan banyak persengeketaan dan

perbedaan pendapat. Dalam masalah pertama yaitu pemecatan Muawiyah.

Dikatakan bahwa Ali ra telah menolak pendapat Mughirah bin Syu‟bah dan

Ibn Abbas, serta Ziyad bin Handhalah At-Tamimi. Padahal mereka adalah

para ahli politik Arab yang terkenal lihai. Mughirah setelah melakukan baiat

kepada Ali ra datang menghadap dan berkata:

“Bagimu adalah hak, ketaatan, dan nasihat. Hari ini menyebabkan apa

yang akan terjadi esok. Kita akan kehilangan hari ini apabila melupakan hari

---------- 52

Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, (Solo:CV. Pustaka Mantiq),

hal. 99

Page 90: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

79

esok. Sebaiknya, Muawiyah tetapkan dalam jabatannya. Dan para pejabat lain

selama mereka masih menunjukkan kesetiaan dan ketaatan, biarkan mereka. “

“Aku tidak sepakat dengan itu. Aku tidak suka berbuat kompromi selama

berkaitan dengan agamaku,” jawab Ali ra.

“Anda boleh saja mengganti semuanya, kecuali Muawiyah. Dia

mempunyai keberanian dan kekuasaan. Seluruh Syam ada di bawah

pengaruhnya. Umar ra telah mengangkatnya berkuasa sebagai wali atas

seluruh Syam. Itu sebenarnya dapat menjadi alas an anda untuk

menetapkannya…,” kata Mughirah.

Demi Allah….! Aku menolaknya. Aku tidak akan mempertahankannya

walau untuk dua hari saja,” jawab Ali ra keras.

Sekeluar Mughirah, masuk Ibn Abbas yang menanyakan bagaimana

dengan saran Mughirah. Ali ra mempertanyakan mengapa itu harus dilakukan.

Ibn Abbas pun berkata,

“Anda dan kita semua mengetahui bahwa Muawiyah dan para sahabatnya

adalah orang-orang yang senang keduniaan, jika dia anda tetapkan dalam

jabatannya, dia tidak akan peduli siapa yang menjadi atasannya dan

bagaimana caranya. Tetapi jika anda pecat, dia akan menusuk anda

mengambil jabatan ini bukan dari musayawarah. Tetapi dari hasil

pembunuhan Utsman ra. Dan ini akan membuat ahli Syam dan Irak datang

menuntut hak dan darah Utsman ra.”

Tetapi khalifah Ali ra. Tetap pada pendiriannya. Tak lama kemudian

tersiar kabar bahwa Muawiyah menentang khalifah. Ziyad bin Handhalah At-

Tamimi melaporkan keadaan itu kepada Ali ra. Ziyad termasuk salah satu

penasihat Ali ra. 53

---------- 53

Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 100

Page 91: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

80

Itulah perbedaan pendapat antara Khalifah Ali ra. Dengan mereka yang

telah terkenal sebagai ahli siasat.

Adapun Khalifah Ali ra. Tidak bias menetapkan Muawiyah dalam

jabatannya dikarenakan dua sebab. Yaitu :

Pertama, jauh sebelumnya Ali ra telah sering menyarankan kepada

Khalifah Utsman ra untuk memecat Muawiyah. Ali ra tidak bias menerima

alasan bahwa Umar ra lah yang telah mengangkat Muawiyah di Syam.54

Bukan itu saja. Ali ra juga menyarankan untuk memecat pejabat-pejabar lain

yang mulai menampakkan ambisi keduaniaannya. Itu demi kebaikan dan

kestabilan pemerintahan Utsman ra sendiri. Banyak alasan yang dikemukakan

Khalifah Utsman ra, di antaranya adalah Khalifah Umar ra lah yang

mengangkat. Ali ra berkata, “Di zaman Umar ra Muawiyah memang takut

kepadanya. Tetapi sekarang, setelah Umar ra meninggal tiada lagi yang

ditakutinya satu pun.”

Setelah menduduki jabatan, apakah Ali ra harus berpaling dari

pendapatnya itu? Apakah dia harus mempertahankan alasan yang ditentangnya

itu? Apakah dia juga akan berpaling dari umat yang membaiatnya untuk

mengubah suasana dan keadaan? Apakah dia harus tetap mengikuti pola

pemerintahan Khalifah Utsman ra yang banyak dikecam itu?

Tentunya tidak bukan? Beliau harus tetap konsekuen dengan apa yang

menjadi kebijakannya. Beliau juga sebenarnya tidak ingin berlaku kekerasan.

Masih ingatkah kita, bagaimana Thalhah dan Zubair di peristiwa Jamal

---------- 54

Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm.101

Page 92: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

81

mendahului menyerang karena takut dengan usul perdamaian yang diajukan

beliau? Bukankah mereka menyerang orang-orang Bashra lebih dahulu

sebelum ada komando dari beliau? Mereka sesungguhnya khawatir karena

dengan perdamaian mungkin perubahan tidak akan terlaksana. Baiklah kita

tinggalkan masalah itu dan kembali ke persoalan semula.

Sekarang kita lihat kemungkinan lain. Yaitu dengan mengakui dan

mempertahankan Muawiyah dalam jabatannya. Apakah dengan demikian akan

menjamin keadaan dan keselamatan? Tidak …sekali-kali tidak akan demikian.

Apalagi jabatan itu tidak harus dipegang selama hidup. Juga wajar bukan

apabila orang ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi?

Itulah sebabnya sebenarnya yang terjadi. Dengan kedudukannya

Muawiyah berusaha memperkokoh diri dan menancapkan kekuasaannya di

Syam. Ambisi yang ada jelas! Dia ingin kekuasaan Syam terus berada di

tangan keturunannya. Dengan kekuasaannya itu dia mempersiapkan diri untuk

mencari kesempatan mewujudkan angan dan citanya itu. Aneka cara

dikumpulkan untuk mencari pendukung. Tinggal kesempatan saja untuk

merebut kekuasaan dari tangan Khalifah yang sebenarnya.

Kedua, Khalifah Utsman ra terbunuh. Itulah saat yang ditunggu

Muawiyah. Kematian Utsman ra dapat dipakai upaya menuntut darah Utsman

ra. Dapat dipakainya merebut simpati para penuntut pembunuhnya itu. Dan

kesempatan itu tak disia-siakan. Muawiyah telah lama tahu bahwa Ali ra tidak

menghendaki dia dalam jabatan. Bahwa Ali ra telah mengetahui ambisi

Page 93: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

82

pribadinya. Dan tentu saja dengan pengangkatannya Ali ra sebagai khalifah

berarti mengancam kedudukannya.55

Inikah keadaan sebenarnya. Apakah untungnya Khalifah Ali ra,

menetapkan Muawiyah dalam jabatannya? Muawiyahlah yang justru

beruntung. Keadaan yang kacau memberi kesempatan dia menyusun kekuatan.

Jauh sebelumnya Muawiyah sudah berkeinginan melepaskan diri dan

mendirikan kerajaan baru dengan Syam sebagai pusat pemerintahan. Selagi

Ali ra disibukkan dengan situasi, maka Muawiyah pun ikut-ikutan mengrong-

rong Ali ra. Muawiyah paham, jika keadaan aman dan stabil maka pasti Ali

akan melaksanakan kebijakannya. Yaitu mencopot dari jabatan di Syam. Dan

tentu saja itu amat tidak diinginkannya. Untuk menyelamatkan umatlah

kebijaksanaan Khalifah Ali ra itu dimunculkan tanpa melihat usul para ahli

siasat tersebut.

b). Penyerahan Pembunuh Utsman ra

Permasalahan selanjutnya yang cukup rumit adalah tindakan terhadap para

pembunuh Khalifah Utsman ra. Mereka para penuntut darah Utsman menuntut

agar Ali ra menindak mereka yang membunuh Utsman ra. Padahal mereka itu

sendiri tidak membaiat Ali ra. Dengan demikian jelas, bahwa sebenarnya

mereka tidak dapat menuntut Ali ra mengadili para pembunuh Utsman ra.

Apalagi mereka sendiri pun sebenarnya tidak tahu siapakah sebenarnya

pembunuh itu. Tidak jelas memang masalahnya. Siapa yang dituntut? Siapa

yang berhak menuntut? Siapa yang berhak mengadili?

---------- 55

Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib ,hlm.103

Page 94: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

83

Mereka sebenarnya mengetahui dengan jelas bahwa Khalifah Ali ra tidak

mungkin melakukan apa yang dituntutkan sebelum keadaan pemerintahan

stabil. Namun sepertinya itu sengaja dilakukan. Dalam keadaan yang belum

stabil, mereka mendesak dan menuntut Ali ra mengabulkan permintaan

mereka.

Satu kali Khalifah Ali ra membicarakan tentang pembunuhan Khalifah

Utsman ra. Ternyata muncul tidak kurang sepuluh ribu tentara yang mengakui

mereka semualah pembunuh Utsman sambil menghubus senjata. Apakah

mungkin Khalifah menindak pembunuh Utsman harus mengambil dan

menindak mereka semuanya. Melihat demikian, Khalifah Ali ra berkata

kepada mereka yang menuntut,

“Aku sebenarnya tidaklah bodoh atas apa yang kalian ketahui. Tetapi aku

harus berbuat bagaimana menghadapi satu kaum yang menguasai kita sedang

kita tidak menguasai mereka. Kini, mereka sudah memberontak dibela budak-

budaknya. Pula disertai suku mereka di dusun. Mereka berbuat sekehendak

sendiri di sekitar kalian. Nah…, apakah kalian melihat satu kemungkinan

melaksanakan seperti yang kalian kehendaki?

“Sebenarnya masalah ini adalah masalah jahiliyah. Mereka mempunyai

dassar pokok tindakan mereka. Dan pendapat tentang masalah ini pun tidak

sama. Sebagian berpendapat sebagaimana kalian. Sedangkan tidak

berpendapat demikian. Sekelompok lagi tidak berpendapat apa-apa. Mereka

diam menunggu keadaan tenang dan stabil. Bersabarlah kalian…! Jika

keadaan telah mantap, pasti tiap hak akan diselesaikan. Sekarang…, urusi

keadaan masing-masing. Percayalah…, aku pasti akan mengabulkan

permintaan kalian jika tiba waktunya.”56

---------- 56

Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 107

Page 95: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

84

c). Penerimaan Tahkim dalam peristiwa Shiffin

penerimaan tahkim pun tidak sedikit yang mencela. Mereka para pencela

itu tidak mau melihat keadaan sebenarnya. Sebenarnyalah, Khalifah Ali ra

sama sekali tidak berniat menerima tahkim tersebut. Apalagi saat pasukan

beliau berada di ambang kemenangan. Dia terpaksa menerima karena

pasukannya menghentikan peperangan tanpa perintahnya. Bahkan telah terjadi

salah paham yang mengakibatkan mereka saling membunuh. Kaum “Huffad”

dan “Qurra” telah menyebarkan dan menyerukan untuk menghentikan

peperangan. Bahkan sebagaimana peristiwa terbunuhnya Utsman ra jika tidak

dihentikan. Juga memaksa Ali ra untuk segera memanggil Panglima Al-Asytar

yang sedang mengejar musuh yang melarikan diri. Kemenangan sudah di

ambang pintu…!

Mereka mencela juga pengiriman Abu Musa sebagai utusan. Mereka lupa

mungkin bahwa itu pun karena paksaan, sebagaimana pemaksaan tahkin. Tapi

sebenarnya, Ali ra telah melihat bahwa siapa pun yang dikirim hasilnya akan

sama. Memang mungkin Abu Musa itu orang yang lemah dan penuh keragu-

raguan. Tapi mereka juga lupa bahwa itu pun di paksakan untuk diterima. Aba

Musa, Al-Asytar, ataupun Abdullah Ibn Abbas jelas tidak akan berhasil. Amru

bin Ash tidak mungkin mencopot Muawiyah dan mengakui kekuasaan Ali bin

Abi Thalib ra. Apalagi setelah penawaran kelompok Muawiyah dengan Amru

bin Ash-nya telah mempunyai siasat yang pasti akan dicapainya dengan jalan

apa pun.

Page 96: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

85

D. Strategi Ali Dalam Menyelesaikan Konflik Politik Di Masa Itu

Di antara masalah yang dirasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin

Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar yang

perlu dicermati. Berbagai konflik atau tepatnya fitnah yang begitu dahsyat

telah terjadi di kalangan para sahabat. Orang-orang yang terlibat dalam

konflik itu sesungguhnya adalah generasi sahabat yang disebut di dalam al-

Qur‟an sebagai Khairu Ummah dan semua peristiwa yang terjadi benar-benar

tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sendiri. Hal itu

menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim,

termasuk dalam kajian ini. Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini,

bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi

sahabat di masa itu.

Sudah dipahami bahwa satu peristiwa tidak dapat tidak berkaitan dengan

peristiwa yang lain, yang disebut dengan kausalitas. Konflik yang

menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya

dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin

Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan

dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah

sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahannya. Pembunuhan

sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan

Utsman dan rakyatnya. Insiden itu berawal dari pembangkangan yang

dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bhasrah terhadap kekhalifahan

Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai berbau

Page 97: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

86

nepotisme. Oleh karena itu, mereka meminta khalifah Utsman untuk memecat

para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai, seperti Al-Walid bin

Uqbah Gubernur Kuffah, Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah Gubernur Mesir.

Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes

dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman. Khalifah Utsman

akhirnya bersedia mengabulkan permintaan mereka dan mengganti Al-Walid

bin Uqbah dengan Sa‟id bin Ash, dan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah

dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi

rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme

kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri

untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.

Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali

lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka

membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman

yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel

Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar

menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah

Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam

itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk

mengklarifikasi keberadaan surat itu. Seorang khalifah yang begitu baik

sangat sulit dipercaya akan memerintahkan itu. Dimungkin ada orang lain

yang memanfaatkan situasi ini. Tetapi itulah yang ditebus Utsman dengan

nyawanya sendiri.

Page 98: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

87

Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu

menyisakan banyak teka-teki yang tak kunjung memuaskan. Mengenai

misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya

yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal ini telah salah

satu menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan Ali

bin Abi Thalib.

Pembai‟atan Ali berjalan dengan mulus karena mayoritas penduduk

Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik

menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk

pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis

besar dari visi politiknya. Ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu.

Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan

oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan

mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara

tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang

paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan

ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga,

tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.

Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala

gangguan kedzaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan

masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan

landasan ketaatan kepada Allah swt. Meskipun pembai‟atan Ali berjalan

Page 99: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

88

mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum

muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.

Ada kelompok lain yang melarikan diri dari Madinah ke Syam segera

setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam

pembai‟atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani

Umayyah dan para pendukung setianya. Ada kelompok yang menangguhkan

pembai‟atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi.

Dan ada kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai‟at kesetiannya

kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat

pembaiatan Ali. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal

terhadap Utsman bin Affan. Ada kelompok sahabat penduduk Madinah yang

menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi

pembai‟atan. Setelah terjadi pembai‟atan, sebagian kecil mereka tidak pulang

ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Sikap

kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah

Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti

diungkapkan di atas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik

menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak

baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah

ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad

hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang

disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam

yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi

Page 100: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

89

barometer keutuhan umat. Sebab, di sinilah berkumpulnya para sahabat Nabi

yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja

sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik publik, maka

penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya.

Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka

menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat

cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan

korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan

Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang

penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat

dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya

saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun

Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin

untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh

oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap

Muawiyah. Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka

hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga

tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui

ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij

(nenek moyang wahabi), meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada

nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus

Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal.

Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik

Page 101: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

90

ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan

mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau

muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor

penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syi‟ah yang

mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan

pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir

terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena

tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka semua status keimanan

seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai

seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada

hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri. Terakhir, konflik yang terjadi

diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa,

dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat

Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair

al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi umat akhir zaman ini. Namun

bagaimana seharusnya hal itu disikapi secara positif agar untuk dijadikan

pengajaran.

Page 102: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

91

BAB V

P E N U T U P

Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan secara luas bagaimana terjadinya

konflik dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dalam bab ini sampailah

penulis bagian akhir dari tulisan yang berisi penutup. Bab ini dituangkan dalam

kesimpulan dan saran-saran dengan urutan sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan konflik. Dan Ali sendiri

mewarisi konflik dari pemerintahan sebelumnya. Sumber-sumber konflik

itu sudah ada pada pemerintahan Utsman, dan Ali menjabat sebagai

khalifah dalam suasana rakyat yang kurang stabil.

2. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka

menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat

cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan

korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan

Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang

penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat

dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan

pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah,

Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali

sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja,

Page 103: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

92

cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Dan pada akhirnya perang

yang dinamakan perang jamal (tahun 656 M) itu pun tak dapat dihindari.

3. Konflik antara Ali dengan Mu’awiyah (Mei-Juli 657 Masehi) disebabkan

ambisi yang besar untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu ia beralasan

belum mau mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum pembunuh Utsman

tertangkap dan dieksekusi. Buktinya setelah ia berhasil memegang

kekuasaan, persoalan pembunuhan Utsman hilang begitu saja dan tidak

digubris lagi.

4. Konflik dengan kaum Khawarij disebabkan campuran faktor politik dan

agama. Pada mulanya kaum Khawarij merasa kecewa dan tidak puas

dengan kebijakan Ali menerima tahkim dalam penyelesaian konflik

dengan Muawiyah. Di satu sisi mereka tidak mendapat rampasan perang

yang hampir berhasil karena perang terhenti disebabkan tahkim. Setelah

itu tahkim ternyata membawa kekalahan yang mengecewakan bukan

kemenangan. Setelah itu konflik berlanjut dengan mengangkat motif

agama karena kaum Khawarij memandang tindakan tahkim diambil tidak

berdasarkan ketentuan al-Quran, tetapi atas inisiatif pikiran manusia

semata dan itu membuat pelaksananya kafir.

5. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan

sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua

itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika

sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami

konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya

Page 104: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

93

secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

B. Saran-saran

1. Pembahasan tentang konflik politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi

Thalib yang penulis lakukan ini terasa belum tuntas. Banyak informasi

yang belum penulis peroleh disebabkan kekurang-mampuan penulis, baik

karena referensi yang kurang lengkap, maupun kelemahan penulis dalam

menguraikan kronologis setiap peristiwa yang ada. Oleh sebab itu,

disarankan kepada teman-teman prodi Siyasah Syar’iyah khususnya

maupun prodi lain yang terkait dan tidak tertutup kemungkinan bagi

masyarakat umum untuk melanjutkan pembahasan ini dengan pembahasan

yang lebih sempurna.

2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen yang mendalami sejarah politik Islam,

khususnya mengenai kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

disarankan untuk memberikan arahan serta bimbingannya agar kami para

mahasiswa lebih memahami persoalan ini secara lebih baik.

Page 105: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

94

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali bin Abi Thalib, Solo: CV. Pustaka Mantiq,

1994.

Abu Himam Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis Press,

2008.

Al-Amini, Abdul Husain, Syaikh, Ali bin Abi Thalib Sang Putra Ka’bah, Jakarta:

Al-Huda, 2003.

Al-Maududi, Khilafan Dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1978.

Audah Ali, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera

Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.

Ash-Shalabi Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2008.

Bangun Antonius (Ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa

Indonesia, Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993.

Buchori Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermassa,

2009.

Bustomi Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008

Consuelo g. sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: penerbit universitas

Indonesia (UI-Press), 1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1993.

Djazuli H.A, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.

Fouda Farag, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan

dalam Sejarah Kaum Muslim, Jakarta : Dian Rakyat, Cetakan kedua, 2008.

Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research.

USA: Pearson Education Inc.

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Dept. Agama R.I, 1986.

Hitti Philip K, History of the Arabs, terjemahan, Jakarta: Serambi, 2008.

Page 106: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

95

Imani Mahdi Faqih, Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: Citra, 2006.

Jordac George, Khalifah Terakhir, Jakarta: Zahra Publishing House, 2013.

Karim Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka

Book Publisher, Cetakan pertama, 2007.

Khalid Amru, Biografi Khulafaur Rasyidin, Solo: PT. Aqwam Media Profetika,

2012.

Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah,

Bandung : CV Diponegoro, 2006.

Katsir Ibnu, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul

Haq, 2004.

Lahiji Qurbani, Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib, Jakarta: al-

Huda, 2011.

Mahzun Muhammad, Meluruskan Sejarah Islam, studi kritis peristiwa tahkim,

Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Murad Musthafa, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Zaman, 2013.

Mursi Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2007.

Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI-Press, 1986.

Nasution Syamruddin, Arbitrase, Riau: Yayasan Pustaka, 2011.

Nasir Syed Mahmudun, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung: Remaja

Rusda Karya, 1991.

Qudamah Ibnu, Al-Mughni, Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li ibn Qudamah,

Pustaka Azzam, jilid 8.

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Siraj Ibrahim, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-

Kautsar, 2010.

Page 107: KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI …

96

Situmorang Jubair, Politik Ketatanegaraan dalam Islam, Bandung : Pustaka Setia,

2012.

Sopyan Yayan, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok:

Gramata Peublishing, 2010.

Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008).

Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan

Qardhawi, Bandung: Mizan, 2006.

Sya’ban Hilmi Ali, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004).

Wehmeir Sally, (Ed.), Oxforf Advanced Leaner’s Dictionary of Curren English,

Oxford university Press, 2007.

Zainudin Muhadi dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra

Mediatama Press, 2008.

INTERNET

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik

http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidina-

usman.html

http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-

bin.html