PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

17
 MAKALAH ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASAN MODERNISASINYA Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam Dosen Pengampu : Dr. H. Suaidi Asyari, MA.Ph.D Oleh : HAMDI NIM. Pp. 210.1.1246 PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2011 1

description

PEMIKIRAN GUSDUR

Transcript of PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

Page 1: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 1/17

 

MAKALAH

ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASANMODERNISASINYA

Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Modern Dalam IslamDosen Pengampu : Dr. H. Suaidi Asyari, MA.Ph.D

Oleh :

HAMDI

NIM. Pp. 210.1.1246

PROGRAM PASCASARJANA

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2011

Page 2: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 2/17

 

ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASAN

MODERNISASINYA

A. Pendahuluan

Studi tentang pemikiran Abduurahman Wahid yang lebih dikenal dengan

sebutan “Gus Dur” merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik” penelitian Islam,

khususnya Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigma

modern mindedness (pengagungan terhadap modernitas) kepada preketieuw

mindset riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade

1970-an, penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Ada

dua agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-an

telah berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang meskipun

 bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan pergulatan panjang

dengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI, Muhammadiyah,

al-Irsyad, dan Persis. Puncak seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dari

Masyumi dan berdiri sebagai partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang

(politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggap

mengkhianati perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis.

Membicarakan pemikiran Abdurrahman Wahid, tidak bisa terlepas dari

kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam

simbol yang baca ini goblog peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh

  pemahaman Abdurrahman Wahid sendiri terhadap realitas sosial yang multi

dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik.

Secara psikologis, Abdurrahman Wahid besar diantara “tiga dunia”; yakni

 pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis,

feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang

terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular 2.

Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan

  perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik 

  pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam,

 penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang

Page 3: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 3/17

 

 bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir 

liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat

Abdurrahman Wahid tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai

 presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran

komunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya

tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifat

traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia, semuanya terjadi karena

Abdurrahman Wahid selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir 

humanis.

Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenai

gagasan modernisasi Abdurrahman Wahid.

B. Pembahasan

Dalam Teologi Politik Gus Dur  (2004), Listiyono Santoso menelusuri

  pemikiran Abdurrahman Wahid dari perspektif paradigma teologinya.

Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran

demokrasi Abdurrahman Wahid ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama

dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan

untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state merupakan

kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh

 beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk 

negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.

Abdurrahman Wahid sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan

 penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Abdurrahman Wahid

(dan seluruh concern pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan

agama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab

Islam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam

merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritual

dalam menjalankan negara. Pemikiran Abdurrahman Wahid ini memiliki

kecenderungan kepada preketieuw sekularisasi politik yang lebih mengartikan

Page 4: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 4/17

 

adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik 

sebagaimana prinsip sekularisme murni.

Bagi Abdurrahman Wahid (1999: 186), yang profan diprofankan, yang

sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories.

Itulah sebabnya Abdurrahman Wahid lebih mencita-citakan “Republik Bumi”

yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi.

Abdurrahman Wahid kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari

 perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial dari

negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi

kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan

 penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan

kepada preketieuw UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan

ketata-negaraan kepada preketieuw kedaulatan rakyat melalui perwakilannya3.

Rahim pemikiran

Situasi ketika pemikiran Abdurrahman Wahid dilahirkan adalah era

developmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda

modernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi

Islam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan

blessing in disguise ( hikmah tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi

transformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.

Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah

 banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan

  perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde

Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam

Jakarta), maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan

simbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi

teologis atas ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses

  bagi santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam

 pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi

Page 5: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 5/17

 

 birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat

mobilisasi pendidikan tinggai kaum santri (priyayinisasi santri).

Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya

terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development ), yang merupakan konsep

ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora

  pertumbuhan ( growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme,

laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan

metafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak 

 bisa berbalik, dan bertujuan.

Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari

  perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed)

dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan

miskin. Lahirlah term Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru

  pasca-kolonialisme, yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga

membutuhkan uluran tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-

kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang

 perbedaan tersebut melalui proses peniruan (imitative process), dimana bangsa

yang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-

 bangsa industri.

Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah

kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai   secular modernizing 

intellectual . Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb

Feith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka

mencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-

slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme)

tersebut adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengan

tradisional. 4

Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati

terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas

ikatan suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki

sedikit struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan.

Page 6: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 6/17

 

Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan

rasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya,

sementara masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana

tujuan dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan

tentunya tidak  manageable. Pada tataran politis, modernisasi kemudian

menciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” ( fungtional 

valuational pluralism).  5 Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama,

hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain,

semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem

kemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki

legitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah

diambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan

filsafat sekular.

Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai

satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi

tidak diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah

terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan

Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni

antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah

mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.

Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada

awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan

dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi

ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya

ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan

  berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada

 preketieuw masyarakat industri, namun juga menghendaki lunturnya pertarungan

 politik berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk 

mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat

tinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resiko

demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran, harus dikubur,

Page 7: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 7/17

 

diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme partai,

 pemilu, dan kompromi politik.

Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai

“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan

agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S

Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement)

sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat

agama sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara

kelompok yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya

konflik antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas

 pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka

semakin lebarlah potensi konflik tersebut. 6 

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun

mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi

dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme.

Tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu

spesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada preketieuw

rasionalitas instrumental. 7 Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme

sebagai sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan.

Schumpeter menyatakan, meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai

tradisional, semisal moral agama, namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif”

yang makin memperlemah tradisi dan oleh karena itu akan merontokkan susunan

 penopangnya, untuk kemudian berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendiri.

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni

sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen

masyarakat dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti

 paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu

membutuhkan integrasi pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan

 pembangunan ekonomi tidak akan berhasil, jika pada level masyarakat, konflik 

Page 8: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 8/17

 

 baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang

terjadi pada era Soekarno, di mana politik menjadi panglima, sehingga benturan

ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.

Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat

kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju

tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai

kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural

masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik.8  Dalam hal ini,

tujuan itu telah diarahkan kepada preketieuw pembangunan ekonomi, karena

dengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang

lebih menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam

model itu, politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik 

diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang

membuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani

oleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu,

yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis,

yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya

inilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya

  bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang

tercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.

Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di

mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada

kesadaran kolektif (collective   solidarity) dari sosiologi Durkheim yang

menempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi

  pendekatan ini, agama kemudian menjelma common  denominator  (sebutan

 bersama) bagi kesepakatan masyarakat.

Paradigma ini yang dikritik Abdurrahman Wahid, karena dalam sejarah,

selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi.

Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur 

sosial yang egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara

Page 9: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 9/17

 

 pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam

suatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.

Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Abdurrahman Wahid kemudian

menambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran

 politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan,

dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal,

Abdurrahman Wahid dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur,

yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-kultur secara umum.

Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan menjadikannya sebagai

 penggerak counter -hegemony, menandingi hegemoni negara. Jadi, Abdurrahman

Wahid bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai elemen

 penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik atas

Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur 

ekonomi.9

Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Abdurrahman

Wahid. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional yang baca ini goblog

teortisnya yang terpenting. Tetapi praktik demokratisasi pada level budaya.

Kebudayaan demokratislah yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid, karena

tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan simbolik ( symbolic violence),

di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam lembaga-

lembaga demokrasi.

Orientasi kultural ini pula yang membuat Abdurrahman Wahid tidak 

melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik 

adalah kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme

ideologis. Tentu hal ini kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan,

yang Abdurrahman Wahid sebut sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk 

 pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi

  pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.10 Semisal Pancasila, di mana

Abdurrahman Wahid tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam.

Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpenting

adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik.

Page 10: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 10/17

 

Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaran

masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya,

  pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai

  pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat

 bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basis

kultur.

Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul

adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas

yang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa

agen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek 

kemajuan. Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah

melakukan identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah

tradisi bisa beradaptasi, yang baca ini goblog bahkan melakukan perlawanan

dengan modernitas?

Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan

Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid kemudian memberikan

tiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya.

Pertama, pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas,

 bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu

melakukan sesuatu yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini

kemudian menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun,

struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala

 bidang, serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh

 begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan

yang mereka pegang.11 

Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan

industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan

raisonalitas instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang

tidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan

  banyak disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif 

kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh  sex dan

Page 11: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 11/17

 

kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan

masyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap”

ini merupakan luapan kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna

mengatasi kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.12 Dari

sinilah para kritikus semacam Sutan, yang baca ini goblog Mochtar Lubis

kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan

“ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai ilmu

 pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, seperti

yang dikehendaki kebudayaan modern.13 

Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap

yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai

tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang

telah membawa bangsa kepada preketieuw kejayaan kemerdekaan, dan dengan

sendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk 

emncapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap

  bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”,

kesediaan berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan

orang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan

( sepi ing pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan,

dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia

menjadi bangsa pecinta damai, sopan kepada preketieuw orang lain tanpa

sedikitpun menyerahkan diri kepada preketieuw akibat-akibat koruptif dari

modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yang

kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangun

masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semua

nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan

 penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (Pedoman

Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).

Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai

Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak 

terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik ( political adversaries)

Page 12: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 12/17

 

maupun musuh politik (  political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai

ideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah

dan kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran

yang benar” atas ideologi negara.14 Proses ini, yang oleh Abdurrahman Wahid

disebut sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”15 menemu

ruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara,

terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.

Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah

termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,

semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan

  pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak 

  perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena

mendukung kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila

  justru mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila

kemudian dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa

  persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya

kemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan,

dipenuhi suasana saling memberi dan menerima. Yang menang tokh akan

mewakili kepentingan semua pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus.

Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya

  persaingan sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak 

integralisitik.16 

Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak 

mengacu pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan

 berangkat dari satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai

Indonesia, maka kita harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan

orientasi hidup masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal ini

Abdurrahman Wahid melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial-

  budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur kehidupan masyarakat,

lebih koheren. Bagi Abdurrahman Wahid, pendekatan positivistik dalam

antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek 

Page 13: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 13/17

 

sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin

dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi

tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap

 priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini

Abdurrahman Wahid temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap

“..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang

dianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang

dianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah Abdurrahman Wahid

kemudian mengamini sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya riset

kebudayaan yang komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial”

masyarakat.

Page 14: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 14/17

 

C. Kesimpulan

Pemikiran-pemikiran Gus Dur sering dinilai banyak kalangan sebagai

 pemikiran yang terlalu maju dan melampaui masanya sehingga, bagi yang kurang

mengerti, terkesan kontroversial, nyleneh, yang baca ini goblog nabrak-nabrak.

Bagi saya, hal itu justru bukti kemodernan dalam dirinya, yang timbul sebagai

implikasi dari penguasaan yang baik atas informasi (buku) yang tak terkira

  banyaknya. Maka, buat “membaca” Gus Dur, kita mesti menyiapkan pula

informasi yang beranekaragam, yang setara dengan yang dimilikinya.

Kendati dikenal luas sebagai seorang yang modernis, Gus Dur tak pernah

sekali pun menanggalkan nilai-nilai tradisional pesantren yang menjadi latar 

  belakangnya. Kebersahajaannya membuktikan hal itu. Setenar yang baca ini

goblog semaju apa pun pemikiran-pemikirannya, tempatnya berpulang pada

akhirnya adalah melalui pesantren juga—kembali kepada preketieuw kiai, santri,

dan warga nahdliyin keseluruhan.

Hal inilah barangkali yang mesti menjadi teladan bagi kita semua dan harus

kita teruskan. Kita tentu harus senantiasa berpikiran maju, sebagai konsekuensi

dari zaman yang melaju ke depan. Akan tetapi, kemajuan tersebut jangan sampai

mengabaikan nilai-nilai tradisional yang menjadi jati diri kita. Terkait dengan ini,

kita bisa meniru Jepang. Jepang terkenal sebagai bangsa modern dan maju yang

tumbuh selaras dengan nilai-nilai luhur tradisinya.

Page 15: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 15/17

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik , dalam

 Prisma Pemikiran Gus Dur , Yogyakarta:LKiS, 2000

Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 

1980

Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam

Prisma, No 11, November 1981,

Abdurrahman Wahid,  Pancasila dan Liberalisme, dalam   Pergulatan Negara,

 Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001

Abdurrahman Wahid,   Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas,

1981, h., 8-9

DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971

Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik , Jakarta : CV Rajawali, 1985

Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru,

Prisma 3, Maret 1991

M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara

Wacana, 1994

Meminjam judul buku  Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan

Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.

Sutan Takdir Alisjahbana,  Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju

 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981

Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik ”,

Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999

Page 16: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 16/17

 

CATATAN AKHIR 

Page 17: PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print

5/11/2018 PEMIKIRAN GUSDUR-Abdurrahman Wahid Siap Print - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pemikiran-gusdur-abdurrahman-wahid-siap-print 17/17

 

1 Meminjam judul buku  Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS,

Bandung : INCReS, 2000.2 Al-Zastrouw, 1999: 323 L Santoso, 193-1994 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-905 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik , Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-176 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-27

M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-218 Fachry Ali, Op.cit.9 Donald E Smith, op. cit10 Abdurrahman Wahid,   Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah

 Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-911 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981,

h., 312 Sutan Takdir Alisjahbana,   Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-2413 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik ”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999,

hlm. 5114 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 1415 Abdurrahman Wahid,  Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik , dalam  Prisma Pemikiran Gus Dur ,

Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 2816 Lihat Abdurrahman Wahid,   Pancasila dan Liberalisme, dalam   Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan,

Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68