84012262 Abdurrahman Wahid

55
Abdurrahman Wahid Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas K.H. Abdurrahman Wahid Presiden Indonesia ke-4 Masa jabatan 20 Oktober 199923 Juli 2001 Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri Pendahulu Baharuddin Jusuf Habibie Pengganti Megawati Sukarnoputri Lahir 7 September 1940 Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda Meninggal 30 Desember 2009 (umur 69) Jakarta, Indonesia Kebangsaan Indonesia Partai politik PKB Suami/Istri Sinta Nuriyah Anak Alissa Qotrunnada Zannuba Ariffah Chafsoh

description

nb

Transcript of 84012262 Abdurrahman Wahid

Page 1: 84012262 Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

K.H. Abdurrahman Wahid

Presiden Indonesia ke-4

Masa jabatan

20 Oktober 1999–23 Juli 2001

Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri

Pendahulu Baharuddin Jusuf Habibie

Pengganti Megawati Sukarnoputri

Lahir 7 September 1940

Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda

Meninggal 30 Desember 2009 (umur 69)

Jakarta, Indonesia

Kebangsaan Indonesia

Partai politik PKB

Suami/Istri Sinta Nuriyah

Anak Alissa Qotrunnada

Zannuba Ariffah Chafsoh

Page 2: 84012262 Abdurrahman Wahid

Anita Hayatunnufus

Inayah Wulandari

Agama Islam

Situs resmi www.gusdur.net

Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September

1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)[1] adalah tokoh Muslim

Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999

hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999.

Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan

Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada

tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah

mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan

eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Kehidupan awal

2 Pendidikan di luar negeri

3 Awal karier

4 Nahdlatul Ulama

o 4.1 Awal keterlibatan

o 4.2 Mereformasi NU

o 4.3 Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama

o 4.4 Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru

o 4.5 Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi

5 Reformasi

o 5.1 Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur

o 5.2 Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR

6 Kepresidenan

o 6.1 1999

o 6.2 2000

Page 3: 84012262 Abdurrahman Wahid

o 6.3 2001 dan akhir kekuasaan

7 Aktivitas setelah kepresidenan

o 7.1 Perpecahan pada tubuh PKB

o 7.2 Pemilihan umum 2004

o 7.3 Oposisi terhadap pemerintahan SBY

8 Kehidupan pribadi

o 8.1 Kematian

9 Penghargaan

o 9.1 Tasrif Award-AJI

o 9.2 Doktor kehormatan

10 Lihat pula

11 Catatan kaki

12 Daftar pustaka

13 Pranala luar

[sunting] Kehidupan awal

Gus Dur semasa muda.

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar

Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia

Page 4: 84012262 Abdurrahman Wahid

lahir tanggal 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah

kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya'ban, sama dengan 7 September 1940.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk".[2] Kata "Addakhil"

tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus

Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati

"abang" atau "mas".[2]

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat

terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,

pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar

pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan[3]. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,

terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj.

Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin

Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny,

Anita, dan Inayah.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman

Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok,

saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[4][5] Tan A Lok dan Tan Eng

Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya

V.[5] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles

Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di

Trowulan.[5]

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua

pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan

dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan

Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama

perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke

Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk

ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-

Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya[6]. Gus Dur terus

tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada

tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada

tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan

pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di

SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai

Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,

menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun

1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan

pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan

nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah

seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.[7]

Page 5: 84012262 Abdurrahman Wahid

[sunting] Pendidikan di luar negeri

Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al

Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab,

Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar

Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan

bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.[8]

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan

Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar

Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas

remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur

kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang

digunakan Universitas [9].

Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan

30 September (G30S) terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya

pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di

Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan

laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis

laporan [10].

Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya

setelah G30S sangat mengganggu dirinya.[11] Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus

mengulang belajar.[11] Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas

Baghdad.[12] Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada

awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi

Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid

pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi

kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.[13] Dari Belanda, Wahid pergi ke

Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.

[sunting] Awal karier

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di

Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga

Penelitian,Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum

intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut "Prisma"

dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai

kontributor LP3ES,Gusdur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat

itu,pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi

kurikulum pemerintah. Gusdur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional

pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gusdur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren

yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum

pemerintah,pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu

Page 6: 84012262 Abdurrahman Wahid

pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gusdur memilih batal belajar luar negeri dan

lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis,menulis untuk majalah dan surat kabar

Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.

Dengan popularitas itu,ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,

membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,tempat Gusdur tinggal bersama

keluarganya.

Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu,Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu

sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual

kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang

sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun

kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada tahun 1977,Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek

dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyek tambahan seperti syariat

Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian

kalangan universitas.

[sunting] Nahdlatul Ulama

[sunting] Awal keterlibatan

Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam

menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual

publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun,

Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya

tawaran ketiga [14]. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang

ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin

dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan

umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah

Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut

bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya [15].

Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral

Benny Moerdani.

[sunting] Mereformasi NU

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan

stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh

(yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali

NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-

pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri.

Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya

melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan

Page 7: 84012262 Abdurrahman Wahid

Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak

konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama

dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta

kemundurannya [16].

Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai

Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang

ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan

seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan

bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara [17]. Untuk lebih menghidupkan

kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU

dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.

[sunting] Terpilih sebagai ketua dan masa jabatan pertama

Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional

1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai

ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh

untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian,

persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari

terakhir Munas, daftar anggota Wahid sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggu NU

termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah

daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia

Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang sama sekali berbeda

kepada para peserta Munas.[18]

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap

Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan.

Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur indoktrinator Pancasila.[19] Pada tahun 1987,

Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik

PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Ia kemudian

menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Wahid mengkritik

pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia.[20] Hal ini

merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat

dukungan politik dari NU.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren

dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi

sekolah sekular.[21] Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa

Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan

menyediakan interpretasi teks Muslim.[22] Gus Dur pernah pula menghadapi kritik bahwa ia

mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat

pagi".[23]

[sunting] Masa jabatan kedua dan melawan Orde Baru

Page 8: 84012262 Abdurrahman Wahid

Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada

saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati

Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh

Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim

seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota

ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena ia mengira ICMI mendukung

sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.[24] Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI

dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai

komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah

menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum

legislatif 1992.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang

tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan

acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara

tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di

Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat

protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang

terbuka, adil dan toleran.[25] Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur

mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus

mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober

1994.[26]

[sunting] Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga.

Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas,

pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus

Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan

intimidasi.[27] Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur

tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi

politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang

menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim

Soeharto. Wahid menasehati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden

untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika

pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah,

Soerjadi.

Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang

adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan

Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa

bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun

1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.[28] Pada saat yang sama, Gus Dur

membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996

bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Page 9: 84012262 Abdurrahman Wahid

Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi

tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun ia

terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan

pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya

kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19

Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke

kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan

pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian

yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah

Soeharto akan menepati janjinya.[29] Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi

Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya

pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

[sunting] Reformasi

[sunting] Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim

Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-

partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN)

bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni

1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak

langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide

tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar

dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat

dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU,

Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.

Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien,

dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7

Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.

[sunting] Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR

Amien Rais dan Gus Dur pada Sidang Umum MPR.

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara

dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan

Page 10: 84012262 Abdurrahman Wahid

akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki

mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros

Tengah, koalisi partai-partai Muslim.[30] Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai

kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid

sebagai calon presiden.[31] Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie

dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan

ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20

Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid

kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya

313 suara.[32]

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk

dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan

jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB

mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21

Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz

dari PPP.

[sunting] Kepresidenan

[sunting] 1999

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota

berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI

juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.

Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto

dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup.[33]

Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat,

Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia mengunjungi Republik Rakyat

Cina.[34]

Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator

Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada

bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh

beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat.[33]

Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya

atas pendekatan Gus Dur dengan Israel [35].

Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan

otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi

pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri

Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya.

Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa

ia mendorong penggunaan nama Papua.[36]

Page 11: 84012262 Abdurrahman Wahid

[sunting] 2000

Abdurrahman Wahid di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000.

Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke Swiss untuk menghadiri

Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang menuju Indonesia.

Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi

Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga

mengunjungi India, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur

mengunjungi Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan

menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong

Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran,

Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.[37]

Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto

mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat

Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran

HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.[38]

Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur

agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya

mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf

Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa

keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang

kuat.[39] Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka

(GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga

Page 12: 84012262 Abdurrahman Wahid

awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.[40] Gus Dur juga

mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.[41]

Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok

Muslim Indonesia.[42] Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk

Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur

pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang

penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar

Palestina untuk Indonesia, diganti.[43]

Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur

menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada

bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan

yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Wahid

untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk

Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk

pensiun, sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.[44]

Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di Maluku dan

dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik

dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, namun mereka tetap

berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.[45]

Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei,

Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog.

Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil

uang.[46] Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal

ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan

uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk

membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini

disebut skandal Bruneigate.

Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti

Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan

pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota

MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan

mewakilkan sebagian tugas.[47] Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima

tugas tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi

Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru

meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan ketidaksenangannya

dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak

non-partisan. Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.

Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin

memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga

kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang

sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang

Page 13: 84012262 Abdurrahman Wahid

kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.[48] Ia dikritik oleh Megawati dan

Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di

Jakarta dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.

Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid. Orang

yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur

sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi dengan meyakinkan

Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka. Megawati melindungi Gus Dur,

sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151

anggota DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.[49]

[sunting] 2001 dan akhir kekuasaan

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur

opsional.[50] Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur

lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.[51] Abdurrahman Wahid

melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia

mengunjungi Australia.

Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan

kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal

tersebut terjadi.[52] Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR

bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang

Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam

menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU

melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya

mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di

Pasuruan.[53]. Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan

pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai

presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.

Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia

mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.[54] Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga

dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan

diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan,[55] yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi

menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak

hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan

meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.

Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko

Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak

dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle

kabinet pada tanggal 1 Juli 2001.[56] Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang

Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga

menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan.[57].

Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2)

Page 14: 84012262 Abdurrahman Wahid

mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun,

dan (3) membekukan Partai Golkar[58] sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.

Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi

memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.[59] Abdurrahman

Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama

beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah

kesehatan.[60]

[sunting] Aktivitas setelah kepresidenan

[sunting] Perpecahan pada tubuh PKB

Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas.

Namun, Matori Abdul Djalil, ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan

posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada

tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut

keanggotaan Matori pada bulan November.[61] Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan

Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali

sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17

Januari, sehari setelah Munas Matori selesai[62] Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur

sebagai Ketua Dewan Penasehat dan Alwi Shihab sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal

sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.

[sunting] Pemilihan umum 2004

Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia

2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia

2004, dimana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden.

Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak

memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan

dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua

antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.

[sunting] Oposisi terhadap pemerintahan SBY

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi

Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati,

koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai

pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.

[sunting] Kehidupan pribadi

Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba

Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny juga aktif berpolitik di

Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute.

[sunting] Kematian

Page 15: 84012262 Abdurrahman Wahid

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita

gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus

dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan

gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut,

yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin.

Menurut Salahuddin Wahid adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri.[63] Seminggu

sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di

Jawa Timur.[64]

[sunting] Penghargaan

Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup

prestisius untuk kategori Community Leadership.[65]

Wahid dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng

Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret

2004.[5]

Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang

penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka ia

merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.[66][67] Gus Dur memperoleh

penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki

keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di

Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.[66] Wahid

juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama

kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.[66] Pada 21 Juli 2010, meskipun telah

meninggal, ia memperoleh Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010.[68]

Penghargaan ini diserahkan langsung kepada Sinta Nuriyah, istri Gus Dur.

[sunting] Tasrif Award-AJI

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang

Kebebasan Pers 2006.[69] Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur

dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan

berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dan Gadis

dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The

Jakarta Post Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil

menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan Tasrif Award bagi Gus Dur menuai protes dari para

wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu.[70] Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya

karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, ia menerima penghargaan

tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan

wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid

menentang RUU APP dengan kebebasan pers.[70]

[sunting] Doktor kehormatan

Page 16: 84012262 Abdurrahman Wahid

Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai

lembaga pendidikan:

Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand

(2000)[71]

Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)[71]

Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu

Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)[71]

Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000) [72]

Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)[71]

Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)[71]

Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)[73]

Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)[71]

Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

Pluralisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Etimologi

2 Pluralisme Sosial

3 Pluralisme Ilmu Pengetahuan

4 Pluralisme Agama

o 4.1 Pandangan Kristen

o 4.2 Pandangan Islam

o 4.3 Pandangan Hindu

5 Lihat pula

6 Referensi

Page 17: 84012262 Abdurrahman Wahid

[sunting] Etimologi

plural + -ism

Secara bahasa Pluralisme (pluralism.ing) diserap dari bahasa inggris, terdiri dari dua kata plural

(beragam,id) dan isme(faham, id, yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam

faham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged

Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:

hasil atau keadaan menjadi plural.

keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan gerejawi.

[sunting] Pluralisme Sosial

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-

kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup

bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling

penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan,

masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan

dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan

penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.

Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan

partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang

lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah:

perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.

[sunting] Pluralisme Ilmu Pengetahuan

Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam

pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan

menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan

pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.

Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-

masing.

[sunting] Pluralisme Agama

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama agama.

Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan

dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Seba

gai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-

Page 18: 84012262 Abdurrahman Wahid

agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para il

muwan dalam studi agama agama (religious studies)

[sunting] Pandangan Kristen

Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit Dominus Jesus[1]’ Penjelasan ini,

selain menolak paham Pluralisme Agama,juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah

satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui

Yesus.

* Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. (Pdt.

Dr. Stevri Lumintang).

* Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dariupada

sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling

menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. (Franz Magnis

Suseno).

Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-

Barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu

1. Trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan,

2. Problema teologis Kristen dan

3. Problema Teks Bibel.

Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan da

n kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran s

atu agama tertentu.

Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap a

gama lain.

eksklusivisme, yang memandang hanya orang-

orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatkan. Di luar itu

tidak selamat.

inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, teta

pi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.

pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju inti

dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang leb

ih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-

sama sah menuju Tuhan [2]

[sunting] Pandangan Islam

Page 19: 84012262 Abdurrahman Wahid

Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bag

i umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005). [3]

Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme agama adalah haram

[sunting] Pandangan Hindu

Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasika

n bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yan

g dia katakan dia cintai. (Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu).

Polemik pluralisme di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan

ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.

Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari

wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a

framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that

they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia :

"Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu

sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Polemik

2 Catatan

3 Kristalisasi polemik

4 Rujukan

[sunting] Polemik

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme

dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :

pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural

pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama

Page 20: 84012262 Abdurrahman Wahid

pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai

dengan ajaran agama lain

Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia

tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh

jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.

Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa.

Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu

dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar

tidak timbul kerancuan.

[sunting] Catatan

Belakangan, muncul fatwa dari MUI yang melarang pluralisme sebagai respons atas pemahaman

yang tidak semestinya itu. Dalam fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama

(sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu paham yang mengajarkan bahwa

semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu,

setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan

agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk

dan hidup dan berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu, maka

paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama Islam [1].

Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai

pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan

berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas

berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi

pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka

untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya.

[sunting] Kristalisasi polemik

Dengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk

indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun

menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan

tersinggung seringkali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu :

1. penganut pluralisme dalam arti asimilasi

2. penganut pluralism dalam arti non asimilasi

3. penganut anti-pluralisme (yang sebenarnya setuju dengan pluralism dalam arti non-

asimilasi)

BAHAYA PLURALISME

[Al-Islam 488] Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur (mantan Presiden RI ke-4), isu

pluralisme kembali menjadi perbincangan. Selama beberapa hari hampir semua media cetak

Page 21: 84012262 Abdurrahman Wahid

menjadikan pluralisme sebagai berita utama, baik dikaitkan langsung dengan sosok Gus Dur

maupun tidak. Isu pluralisme kembali mencuat terutama setelah Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menjuluki Gus Dur sebagai ―Bapak Pluralisme‖ yang patut menjadi teladan bagi

seluruh bangsa. (Antara.co.id, 31/12/2009).

Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais pun menilai Gus Dur sebagai

ikon pluralisme (Kompas.com, 2/1/2010).

Kalangan liberal tak ketinggalan. Salah seorang aktivisnya, Zuhairi Misrawi, menulis bahwa

dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh

Presiden Yudhoyono, akan sangat baik jika MUI mencabut kembali fatwa pengharaman

terhadap pluralisme (Kompas.com, 4/1/2010).

Sejumlah kalangan pun menilai penting untuk memelihara nilai-nilai pluralisme pasca Gus

Dur. Mantan Wakil Presien Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengharapkan semangat

kebersamaan dan pluralisme yang selalu dikobarkan Gus Dur tetap terjaga (Detik.com,

30/12/2009).

Pertanyaannya, bagaimana dengan MUI sendiri yang dalam fatwanya No.7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme (selain

sekularisme dan liberalisme) adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam,

dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut? Lebih penting lagi, bagaimana

sesungguhnya pluralisme menurut pandangan Islam?

Hakikat Pluralisme

Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,

agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada

sebuah keinginan untuk melenyapkan ‗klaim keberanan‘ (truth claim) yang dianggap menjadi

pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta

penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan

mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap

agamanya yang paling benar.

Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui

berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya

seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide

pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas

demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk

beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.

Di Balik Gagasan Pluralisme

Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejumlah

faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama

bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan

keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan.

Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya

kerenggangan, perpecahan bahkan konflik antarpemeluk agama. Karena itu, menurut mereka,

Page 22: 84012262 Abdurrahman Wahid

diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi

memicu konflik.

Kedua, faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di

dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia,

pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang

digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.

Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan

awal munculnya gagasan pluralisme agama. Namun selanjutnya, faktor dominan yang

memicu maraknya isu pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan

dominasi Kapitalismenya, khususnya atas Dunia Islam.

Konflik Sebagai Alasan?

Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika seluruh konflik

yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering

berlatar belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestina-Israel

lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antaragama (Islam, Yahudi dan

Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga

pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah Islam.

Konflik Palestina-Israel ini lebih bernuansa politik yang melibatkan penjajah Barat. Sejarah

membuktikan, konflik Palestina-Israel bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja

―ditanam‖ oleh penjajah Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam.

Konflik ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris,

untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya,

dengan begitu Barat dapat terus-menerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut

sehingga umat Islam melupakan bahaya dominasi Barat—khususnya AS dan Inggris—

sebagai penjajah mereka.

Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso beberapa tahun lalu,

misalnya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain

kaum penjajah Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim,

ketimbang berlatar belakang agama.

Sementara itu, dalam skala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering

dianggap mencerminkan konflik Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September

2001, juga jelas lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama. Memang,

sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS George W Bush pernah

―keseleo‖ dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade

(Perang Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian dilanjutkan

dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS sendiri yang menjelaskan

bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi

(yakni demi minyak)—di samping politik (demi dominasi ideologi Kapitalisme), dan bukan

bermotifkan agama.

Karena itu, sangat tidak ‗nyambung‘ jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut

kemudian dipasarkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll.

Pasalnya, akar konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan politik—

Page 23: 84012262 Abdurrahman Wahid

yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, atas Dunia Islam—

ketimbang berlatar-belakang agama.

Pluralisme Menurut Islam

Allah SWT berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan

Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa

di sisi Allah (QS al-Hujurat [49]: 13).

Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman suku dan bangsa

serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas), namun sama sekali tidak mengakui

kebenaran agama-agama tersebut (pluralisme). Allah SWT juga berfirman:

Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak

memiliki ilmu dan tidaklah orang-orang zalim itu mempunyai pembela (QS al-Hajj:67-71).

Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada

selain Allah SWT. Lalu bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme

yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada

Tuhan yang sama?

Dalam ayat yang lain, Allah SWT menegaskan:

Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [3]:

85); menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun

agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-

orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72).

Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralisme

agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana

mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4)

disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan

dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam

disamaratakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut

diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan pemeluknya

bebas beribadah, makan, berpakaian, dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi,

tidak berarti diakui benar.

Page 24: 84012262 Abdurrahman Wahid

Karena itu, yang wajib dilakukan umat Islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru para

pemeluk agama lain untuk memeluk Islam dan hidup di bawah naungan Islam. Meski dengan

catatan tetap tidak boleh ada pemaksaan.

Bahaya di Balik Gagasan Pluralisme

Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya,

Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna

perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya

bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum

dihalangi demi ―menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.‖ Lebih

jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena

dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya

sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari

berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah

pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-

Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan

pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran

tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.

Karena itu, wajar jika KH Kholil Ahmad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati

Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme agama yang diusung Gus Dur berbahaya bagi

umat Islam (Tempointeraktif.com, 30/12/2009).

Bahaya lainnya, pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui

isu globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai

Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan ―agama baru‖ yang bernama pluralisme

agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima

Kapitalisme itu sendiri.

Inilah di antara bahaya yang terjadi, yang sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum

Muslim saat ini ketika kaum Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad

lalu. Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam,

melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk

oleh pluralisme. []

―Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, seperti diungkapkan

Presiden di Jombang beberapa waktu lalu karena dapat menimbulkan konflik agama,‖ kata

Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad Buchori di Surabaya, Rabu (13/1).

Ia menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga

sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia.

―Ada dua hal yang membahayakan hubungan umat beragama di Indonesia, yakni radikalisme

agama dan pluralisme agama,‖ katanya dalam sidang Badan Pembina Pahlawan Daerah Jatim

untuk membahas pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan nasional.

Page 25: 84012262 Abdurrahman Wahid

Shomad menyatakan, sejak Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, MUI Jatim

kebanjiran surat protes dari berbagai kalangan.

―Yang benar adalah pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas adalah upaya untuk

mensejajarkan beberapa agama. Ini harus dicermati agar tidak memicu konflik karena adanya

pelanggaran akidah,‖ katanya mengingatkan. (hidayatullah/alhikmahonline)

Penafsiran Memang keberatan MUI mengakui Gus Dur sebagai ―Bapak Pluralisme‖ bukan barang baru.

Pasalnya, MUI perhan mengaluarkan surat Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indoneisa

Nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme

Agama

Konon, kemunculan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang melarang pluralisme

sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya.

MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi)

dalam arti ―Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya

kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh

mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.

Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan

berdampingan di surga‖. (Adian Husaini, 2005;2-3)

Adian Husaini menilai pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI itu, justru tidak jauh berbeda

dengan pemahaman para tokoh pluralis, sebagaimana dirangkum oleh Adian Husaini berikut

ini; Ulil Abshar Abdalla: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam

bukan yang paling benar; Budhy Munawar Rahman: Karenanya, yang diperlukan sekarang

ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapapun

yang beriman–tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sama di hadapan Allah; Abdul

Munir Mulkhan: Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga

Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk

tiap agama memasuki kamar surganya; Nurcholish Madjid: Sebagai contoh, filsafat perenial

yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan

pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi

keimanan terhadap Tuhan yang sama; Alwi Shihab: Prinsip lain yang digariskan oleh Al-

Qur‘an, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas

beragama dan dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini

memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam

pengartian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur‘an. Sebab

Al-Qur‘an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya; Sukidi: Dan

konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama.

Nietzsche menegasikan adanya ‖Kebenaran Tunggal‖ dan justru bersikap afirmatif terhadap

banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua

agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya-

adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama;

Sumanto Al-Qurtuby: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan,

mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang Mahaluas,

disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain; Jesus, Muhammad, Sahabat Umar,

Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan

Munir! (Adian Husaini, 2005; 38-40)

Page 26: 84012262 Abdurrahman Wahid

Anis Malik Thoha, dalam makalah ―Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama‖

menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer,

memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut:

Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and

conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from

within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the

transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly

taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much the same

extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism).

Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki

persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam

terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang

bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-

Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.

Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain

Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari

realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya,

karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons

manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan

demikian, semuanya merupakan ―authentic manifestations of the Real.‖ Ringkasnya, semua

agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri

―uniqueness of truth and salvation‖ (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan

menuju keselamatan).

Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme: suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan

untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa

dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama

yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar semua–keyakinan itu dianggap

benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran. Melainkan pluralisme itu sikap

keterbukaan.

Yasraf Amir Piliang bekometar pluralisme adalah kecenderungan atau pandangan yang

menghargai kemajemukan (pluralitas), serta penghormatan terhadap sang lain (the others)

yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-keyakinan

berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah proses dialog di

dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief) sambil tetap

menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Bagi Syafii Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism (ICIP)

menulis: ‖Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan sinkretisme agama

yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada penyamaan dan pembenaran

semua agama.‖ Juga dikatakannya, ―Mereka yang concern dengan pluralisme yang benar

tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing. Mereka tentu mempercayai

kebenaran agamanya sendiri.‖ (Majalah AL-WASATHIYYAH Edisi No 11/2008)

Karen Armstrong menilai pluralisme bisa menjadi jawaban atas agama di abad ke-21.

Pluralisme mengimplikasikan pembentukan iman secara kuat pada seseorang sementara pada

saat yang sama mempelajari dan menghargai jalan orang yang memiliki keyakinan lain, dan

memahami bagaimana mereka ingin dipahami. (Nadi, vol. 03, th. 2007)

Page 27: 84012262 Abdurrahman Wahid

Menurut Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kali Jaga berpendapat Pluralisme agama adalah

kenyataan otentik kehidupan dan tiap orang selalu munyikapi kenyataan ini menurut

pandanganya sendiri-sendiri, sesuai dengan konfogurasi budaya, agama dan tradisi yang

melatarbelakanginya. Di indonesia, keanekaragaman (pluralitas) agama, termasuk

keanekaragaman paham keagamaan dalam tubuh internal umat beragama adalah kenyataan

historis yang tidak dapat disangkal siapapun. (Aba Du Wahid, 2004:VIII)

Dimata Bejo. SE, Pluralisme (agama) bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama,

kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ‖semua agama berhak untuk

ada dan hidup‖. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan menghormati iman

atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika atau moral. Dalam hal

ini pluralisme agama berarti bahwa ‖semua pandangan moral dari masing-masing agama

bersifat relatif dan sah‖. Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita

didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral

berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga,

kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ‖agama-agama pada hakekatnya setara,

sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan‖. Mungkin kalimat yang lebih umum

adalah ‖banyak jalan menuju Roma‖. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang

berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama,

yang dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.

Pluralis sendiri menurut wikipedia dapat diartikan Suatu kerangka interaksi yg mana setiap

kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik

atau asimilasi (pembauran/pembiasan).

Jalaluddin Rahmat, Ia ingin memperlihatkan bahwa pluralisme, berdasarkan dasar teologis

Alquran, bukan faham penyamarataan yang menjelaskan semua kelompok agama benar, atau

semua kelompok agama sama. Ada ayat-ayat yang menegaskan bahawa semua golongan

agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh (al-

Baqarah: 62, al-Maidah: 69, dan al-Hajj: 17). (Jalaludin Rahmat, 2006;23)

Alwi Shihab pluralisme harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata menunjuan

pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan

aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah

bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi

terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam

kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan

kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu

lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama

Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan

berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup

serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.

Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru

dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa

agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. (Islam Inklusif;2001:41-42)

Page 28: 84012262 Abdurrahman Wahid

Keharusan Diakui atau tidak Indonesia merupakan negara majamuk. Saat John Rawls melihat

kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan seperti ditulis

Benyamin F Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society

Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak

kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat

manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah

Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat

perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme

indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang

mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung

menyebutnya pluralisme ‖murahan‖ tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur

menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama.

Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama

dengan agama lainnya.

Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa

kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Ia menegaskan saat diwawancarai untuk

penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai

universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme sebagai

agen pemaslahatan bangsa. (Kompas, 7/1)

Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang

tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu sistem nilai

yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk

melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa

kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-67 )

Dengan demikian, Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari

sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak

kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang

berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat

hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi

masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena

sektarian.

Kiranya, melestarikan sekaligus memperjuangkan kebebasan beragama merupakan

penghargaan terbesar baginya, daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional

semata. Pasalnya, Gus Dur berpesan sebelum meninggal ‖Saya ingin di kuburan saya ada

tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis‖ (Kompas, 3/1). [Ibn Ghifarie]

Pemikiran-pemikiran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenai nilai-nilai pluralisme

harus dilanjutkan dalam upaya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peneliti The Wahid Institute Dr Rumadi di Serang, Sabtu mengatakan, ada satu hal yang

paling konsisiten dilaksanakan oleh Gus Dur sejak ia masih menjadi mahasiswa hingga akhir

hayatnya, adalah mengenai pemikiran dan tindakannya tentang pluralisme atau keberagaman

Page 29: 84012262 Abdurrahman Wahid

serta membela kaum minoritas.

"Kita tidak perlu mencari sosok atau figur mirip Gus Dur karena tidak akan menemukan.

Namun bagaimana kita melanjutkan pemikiran-pemikiran beliau terutama mengenai nilai

pluralisme," kata Rumadi dalam diskusi "Membumikan Pemikiran Gus Dur di Ranah Banten"

di Kota Serang.

Ia mengatakan, Gus Dur adalah sosok orang yang mampu menjaga tali silaturahim dengan

semua tanpa pandang ras, agama atau golongan. Gus Dur juga bukan seorang ulama atau kyai

yang hanya faham tentang ilmu agama karena ia juga adalah seorang yang sangat rasional

terhadap ilmu-ilmu sosial.

Menurut Rumadi, satu hal yang tidak dimiliki orang lain pada Gus Dur adalah keberaniannya

dalam mempertahankan apa yang ia yakini kebenarannya, meskipun harus berlawanan arus

dengan banyak orang.

Sementara menurut Ketua Pengurus Cabang NU Kota Serang KH Amas Tajudin, pluralisme

dalam prespektif Gus Dur ada dua hal yakni, semua agama dipandang oleh Gus Dur sebagai

pemersatu ideologi nasional bagi NKRI.

Kemudian, khusus ajaran Islam sebagai rahmatan lilalamin, sejatinya penganut Islam harus

mampu melindungi keyakinan dan keberagaman kepada siapapun, tanpa membedakan asal

usul agama dan ras.

"Namun permasalahannya, tidak semua orang Islam memiliki pemahaman agama yang sama

tentang pluralisme tersebut. Apalagi jika dibandingkan dengan Gus Dur," kata Amas Tajudin.

Diskusi bertema "Membumikan Pemikiran Gus Dur di Bumi Banten" tersebut

diselenggarakan Pengurus Wilayah Ansor Provinsi Banten bekerjasama dengan Forum

Diskusi Wartawan Harian (FDWH) Banten. Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah

perwakilan ormas Islam, Ahmadiyah, NU, ormas pemuda dan perwakilan agama lain.(*)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2010

Biografi Gus Dur…Bapak Demokrasi-

Pluralisme

Desember 30, 2009

tags: Abdurrahman Wahid, gus dur, presiden indonesia

oleh nusantaraku

Page 30: 84012262 Abdurrahman Wahid

Biografi Singkat, Bapak Demokrasi-Pluralis

Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa

Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari

keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya

adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak

ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada

perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan

menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok

Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh

nasional.

Berdasarkan silsilah keluarga, Gus Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari

keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah

(Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak

Page 31: 84012262 Abdurrahman Wahid

dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V (Suara

Merdeka, 22 Maret 2004).

Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun

dan melanjutkan studinya di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun

pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan

Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai

kaum ‗cendekiawan‘ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang

sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini

dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang

sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha

mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.

Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo

dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi

sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk

memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan

Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya

dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan

dengan menjual kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya

(Barton.2002. Biografi Gus Dur, LKiS, halaman 108)

Sakit Bukan Menjadi Penghalang Mengabdi

Pada Januari 1998, Gus Dur diserang stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter.

Namun, sebagai akibatnya kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini

memburuk. Selain karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor

keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.

Dalam keterbatasan fisik dan kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk

masyarakat dan bangsa meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30

Desember 2009 ini membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang

berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di

nusantara.

Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran

dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah

suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran

modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa

Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi fungsi ABRI.

Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu mengembalikan tentara ke

barak dan memisahkan polisi dari tentara.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati

sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB,

ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat

presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi

Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang

Page 32: 84012262 Abdurrahman Wahid

yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa

pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang

berjiwa kebangsaan.

―Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik

untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu‖

-Gus Dur- (diungkap kembali oleh Hermawi Taslim)

Dalam komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul sebagai

tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Ia berani

berbicara dan berkata yang sesuai dengan pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun

akan berseberangan dengan banyak orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas.

Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi

ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini

sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas

mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya

malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

Karir Organisasi NU

Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali

ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU

sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional

1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus

Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan

kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan

Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk

merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap

Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU.

Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan

bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh

200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan

bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Munas 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga.

Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum

Munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan

terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga

ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk

tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan

ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri

dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya

memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.

Menjadi Presiden RI ke-4

Page 33: 84012262 Abdurrahman Wahid

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12%

suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati

memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun,

PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli,

Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai

menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen

PKB terhadap PDI-P mulai berubah.

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur

dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20

Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman

Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan

Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati

mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden.

Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden

dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati

untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden

dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4

Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi

kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata.

Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerah-daerah yang

berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan

kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh

dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah

tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan

mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid

berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama

Papua.

Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk

menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga

Page 34: 84012262 Abdurrahman Wahid

keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland

Benar… Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada

pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan

Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang

tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi

tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh,

Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak

tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan,

secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara,

menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk

pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.

Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam

mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi

Bapak ―Tionghoa‖ Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa

untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa

tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai

―Bapak Tionghoa‖. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru

Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur

Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan

atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-

6 di Indonesia.

Selain berani membela hak minoritas etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin

tertinggi Indonesia pertama yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI

yang mati dan disiksa (antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI

oleh pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan anti

diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat kemajemukan

suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan bangsa yang harus

dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa yang besar.

Dalam kapasitas dan ‗ambisi‘-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan

pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan

sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan

menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang

malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang

seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak

gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik,

kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi.

Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut

pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya

yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan

bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur

sudah terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal reformasi,

orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme dalam membangun

bangsa yang beragam di saat ini.

Page 35: 84012262 Abdurrahman Wahid

Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar

pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan

untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti

berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden,

sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia

melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga

saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan

pernyataan yang mengundang kontroversi.

Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang

memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif,

yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur

menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.

Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan

kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki ―Presiden Pewisata―. Pada tahun 2000, muncul

dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada

bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog.

Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk

mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya

terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2

juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk

membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut.

Skandal ini disebut skandal Bruneigate.

Dua skandal ―Buloggate‖ dan ―Brunaigate‖ menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur

untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa

Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di

Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk

penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi

(1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan

mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai

bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh

dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan

menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Itulah akhir perjalanan Gus Dur menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan

memimpin, setidaknya Gus Dur telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju

proses reformasi yang lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan

NKRI dalam wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila

merupakan jasa yang tidak terlupakan.

Page 36: 84012262 Abdurrahman Wahid

Hal-Hal Positif dari Gus Dur

All religions insist on peace. From this we might think that the religious struggle for peace is

simple … but it is not. The deep problem is that people use religion wrongly in pursuit of

victory and triumph. This sad fact then leads to conflict with people who have different

beliefs.

-KH Abdurrahman Wahid- (source)

Mantan Ketua DPP PKB, Hermawi Taslim yang selama 10 tahun terakhir turut bersama Gus

Dur dalam segala aktivitasnya mengungkapkan tiga prinsip dalam hidup Gus Dur yang selalu

ia sampaikan kepada orang-orang terdekatnya.

Pertama : Akan selalu berpihak pada yang lemah.

Kedua : Anti-diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Ketiga : Tidak pernah membenci orang, sekalipun disakiti.

Gus Dur merupakan salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme

agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur

menantangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus

berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan

yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.

Gus Dur dalam pemerintahannya telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia. Tak

berlebihan kiranya bila negara dan rakyat Indonesia memberikan penghargaan setinggi-

tingginya atas darma dan baktinya. Layaknya kiranya Gus Dur mendapat penghargaan

sebagai Bapak Pluralisme dan Demokratisasi di Indonesia.

Page 37: 84012262 Abdurrahman Wahid

Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain

Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor

Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai

lembaga pendidikan diantaranya :

Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen,

dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)

Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok,

Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)

Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)

Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)

Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan

(2003)

Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

Penghargaan-penghargaan lain :

Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)

Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan

hubungan antar-agama di Indonesia (1993)

Bapak Tionghoa Indonesia (2004)

Pejuang Kebebasan Pers

Selamat Jalan Gus Dur

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,

Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal,

yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah)

rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai

mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur

Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan

bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di

Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang

‗agung‘.

Salam hormat dan turut berbela sungkawa,

ech-wan, 30 Desember 2009

Referensi utama : wikipedia —- gusdur.net —-kompas — 3 Prinsip Hidup Gus Dur-

Baca Juga : Kumpulan Anekdot, Joke dan Humor Ala Gus Dur

Page 38: 84012262 Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan.

Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah

mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut

logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin

nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54

tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat

julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang

mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi

kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan

melahirkan 3 orang presiden.

Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter

tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan

sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini

terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk

kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang

mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua

latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan

kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka

kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi

kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan

watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas

dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak

dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa

didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk

mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan

dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.

Page 39: 84012262 Abdurrahman Wahid

Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai

semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu

B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk

mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek

kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai

Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai

momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa.

Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan

sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan

yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.

Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi,

akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar

40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh

adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang

dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian

digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih

memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya

–Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu

Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri.

Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk

bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap

Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena

ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.

Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo

(SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil

Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100

hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke

depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan

masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga

yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.

Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa

Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah

membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan

berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan

rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat

didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi

Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi

politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan

mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.

Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan

bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang

Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk

Page 40: 84012262 Abdurrahman Wahid

perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan

yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa

mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk

mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur

menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.

Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir

muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap

pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada

Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza

Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus

Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.

Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur

menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya

ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari

Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.

Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh

sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk

mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung

calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk

mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika

Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.

Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat

Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan

Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap

mati demi mempertahankan Habibie.

Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang

terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi

masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan

idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk

menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan

dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.

Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan

pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami

persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya

perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing

kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib

bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.

Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab

masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu

tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan

Page 41: 84012262 Abdurrahman Wahid

yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses

perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan

bangsa.

Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden

saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di

balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan

kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia

melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan

memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.

Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam

perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai

benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya

kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam

kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran

semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak

urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa

yang ada.

Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur

Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini

banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah

melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan

pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya

kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan

yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung

dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.

Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di

tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus

dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga

balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap

eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan

ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis

pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang

menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih

pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik.

Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.

Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian

warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah

Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun

momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi

yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai

komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah

Page 42: 84012262 Abdurrahman Wahid

kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus

nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri.

Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para

keluarga yang tergabung dalam PKI.§

Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik

layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya

berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya

menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung

perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena

itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan

bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak

pembisik yang memiliki interest individu.

Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi

menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya

diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti

menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut

rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak

pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI.

Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap

Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi

politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari

pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan

Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah,

baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka

Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual

dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri

inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak

kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati

akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur

sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam

money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini

nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam

menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi

lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-

feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.

Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia

dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang

kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti

ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang

dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi

Page 43: 84012262 Abdurrahman Wahid

Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan

kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan

dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen

yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.

Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar

kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui

lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan

kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya,

Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat

mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah,

perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana

bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan

individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak

orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang

ada.

Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan

percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri

terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan

menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti

bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan

Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi

juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan

tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan

ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap

dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.

Analisis

Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan

oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur

mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya.

Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang

mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga

membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu

percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin

memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga,

Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua

komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda,

sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa

yang ada.

Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis

disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional

yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya.

Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap

Page 44: 84012262 Abdurrahman Wahid

pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang

murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu

bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.

Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren

selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping

sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau

status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia

yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara,

akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa

seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada

sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja

kepemimpinannya.

Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan

luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki

kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-

kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah

bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.

BAHAN BACAAN

Chris Manning dan Peter Van Diermen (Ed.), “Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial

Reformasi dan Krisis”, Yogyakarta: LKiS, 2000, Cet. ke-1

Douglas E. Ramage, “Percaturan Politik di Indonesia, Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi”,

Jogjakarta: MATABANGSA, 2002, Cet. ke-1

I.B. Irawan, Sukidin, Basrowi, “Perencanaan dan Strategi Pembangunan”, Jember: Jember

University Press, 2001, Cet. ke-1

Muhammad Najib dan Kuat Sukardiyanto, “Amien Rais Sang Demokrat”, Jakarta: GEMA INSANI,

1998, Cet. ke-1

M. Nipan Abdul Hakim dan Muhammad Zakki, “Gus Dur Sang Penakluk ‘Tanpa Ngasorake’”,

Surabaya: LEPKISS, 2000, Cet. ke-1

21 BULAN PEMERINTAHAN PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID (1), Setiap Jumat Selalu

Dekat dengan Rakyat - 28/07/2001

Kedaulatan Rakyat

http://www.kr.co.id/

SELAMA 21 bulan (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001) memerintah, kepemimpinan Gus

Dur sebagai Presiden RI banyak memunculkan kontroversi baik dalam kaitan

dengan kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri, kabinet, upayanya

memberantas KKN, maupun dalam kebijakannya dengan TNI - Polri. Aneka

kontroversi itulah yang kemudian dipercaya memunculkan serangkaian konflik

Page 45: 84012262 Abdurrahman Wahid

internal dalam pemerintahannya, maupun konflik eksternal yang secara langsung

membenturkannya berhadap-hadapan dengan DPR. Benturan demi benturan dengan

lembaga legislatif ini berpuncak pada digelarnya SI MPR 21-26 Juli 2001 yang

berakhir dengan _jatuhnya_ Presiden keempat RI itu dari kursi kepresidenan.

Namun demikian bukan berarti tidak ada langkah-langkah dan kebijakan Gus Dur

yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Banyak pihak mengakui, tidak

sedikit langkah Gus Dur yang signifikan dan positif serta memberikan warna

maupun nuansa baru bagi iklim berdemokrasi, termasuk langkah-langkah beraninya

menyeret para tersangka pelaku korupsi.

Forum LSM DIY, misalnya, bersaksi bahwa pemerintahan Gus Dur sebenarnya

setapak lebih maju dalam menjalankan agenda reformasi, berupa pengadilan

terhadap para koruptor, pengadilan Golkar, dan pengadilan kejahatan terhadap

HAM oleh militer. Upaya-upaya tersebut, menurut Ketua Dewan Pengurus Forum LSM

DIY, Martinus Ujianto, tentu saja mendapat perlawanan sengit dari Golkar dan

militer dengan menjadikan DPR dan MPR sebagai alat untuk menjatuhkan

pemerintahan Gus Dur.

Pengakuan dari luar negeri pun tetap ada terhadap Gus Dur. Khususnya dalam

membawa Indonesia melewati masa transisi dan memberikan warna baru dalam

kehidupan berdemokrasi. Pengakuan itu antara lain datang dari Presiden Amerika

Serikat George W Bush yang menyatakan bangsa Indonesia dalam menghadapi krisis

kepemimpinan berdasarkan konstitusi dan undang-undang telah menunjukkan

komitmennya terhadap kekuasaan hukum dan demokrasi. _Kami mengharapkan semua

pihak akan bekerjasama untuk menjaga perdamaian, mendukung konstitusi dan

mengupayakan rekonsiliasi nasional. Kami menghargai kinerja Presiden Wahid

selama dua tahun terakhir ini, dalam membawa Indonesia melewati masa

transisinya menuju ke arah demokrasi,_ katanya.

***

BAGI masyarakat awam, masa pemerintahan Gus Dur juga memunculkan suasana baru

dalam kaitan dengan tingkat intensitas berkomunikasi dan berdialognya dengan

presiden. Bukan hanya dalam bentuk kemunculan Gus Dur beberapa kali di layar

televisi dalam acara wawancara khusus maupun dialog interaktif _ suatu wacana

baru, yang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak pernah dijumpai. Namun juga

dialog langsung dengan masyarakat, sebagaimana selalu tersaksikan setiap

selesai salat Jumat.

Berbeda dengan Soeharto, dialog langsung dengan anggota masyarakat yang

dibangun Gus Dur bersifat spontan. Artinya, tidak pernah ada skenario

sebelumnya baik dalam kaitan dengan siapa-siapa yang boleh bertanya maupun

materi pertanyaan, seperti yang selalu tersaksikan dalam serangkaian tanya

jawab Soeharto dengan masyarakat dalam berbagai kesempatan. Warga masyarakat

dapat bertanya mengenai masalah apa saja kepada Gus Dur. Bahkan antara

keduanya hampir tidak ada jarak, baik yang menyangkut tempat duduk maupun

penyebutan namanya. Jarang penanya mengawali pertanyaannya dengan kata-kata,

_Bapak Presiden yang terhormat_, atau _Bapak Presiden yang kami muliakan_.

Page 46: 84012262 Abdurrahman Wahid

Para penanya justru merasa lebih senang memulai dengan menyebut nama panggilan

akrabnya, Gus Dur _ tanpa terbersit rasa takut.

Tidak terbilang lagi masjid di berbagai daerah yang pernah menjadi ajang

dialog langsung Gus Dur dengan masyarakat. Pada kesempatan itulah kebanyakan

penanya berkesempatan mengkonfirmasikan suatu masalah atau bahkan isu yang

muncul. Mereka merasa lega setelah mendapat jawaban langsung dari presiden.

TETAPI tidak jarang Gus Dur menggunakan forum dialog Jumat itu untuk

mengemukakan suatu keputusan, gagasan, atau wacana. Ada kalanya gagasan atau

wacana itu sengaja dilemparkan dalam kerangka proof ballon, lemparan isu

dengan mengharapkan tanggapan dari masyarakat luas. Atau merupakan suatu

kebijakan yang akan dijalankan _ tetapi kemudian _diturunkan statusnya_

menjadi wacana setelah mendapat reaksi keras dan bertubi-tubi dari masyarakat

luas. Contohnya, kehendak Gus Dur mencabut Tap No XXV/MPRS/1966 tentang

pembubaran PKI yang juga dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh

wilayah RI.

Dalam berbagai kesempatan Gus Dur secara gigih mempertahankan kehendaknya itu

dengan dalih tidak pada tempatnya negara melarang suatu ajaran (isme) _ karena

diterima atau ditolaknya suatu ajaran, masyarakatlah yang berhak

menentukannya. Belakangan, Gus Dur menurunkan status kehendaknya itu menjadi

wacana ketika sejumlah fraksi mengancam akan membawa permasalahan tersebut ke

Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Demikian pula dengan keinginan pemerintah

untuk membuka hubungan dagang secara langsung dengan negara Zionis, Israel.

Setelah menunai kecaman dari berbagai kalangan di dalam negeri karena

keinginan itu dinilai bertentangan dengan Mukaddimah UUD 1945, serta protes

sejumlah besar negara Arab _ Menlu Alwi Shihab menyatakan pemerintah

berkeputusan menundanya. (Rsv/No)-a

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September

1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.

Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie

sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober

1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001.

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal

dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam

komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul

Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren.

Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama

pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.

Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan

Page 47: 84012262 Abdurrahman Wahid

tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di

Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk

memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan

karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia

mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam

waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan

pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan

Majalah Budaya Jaya.

Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al

Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya.

Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan

pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.

Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi

kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan

Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan

Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial

demokrat.

LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan

sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa.

Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin

luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.

Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.

Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.

Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar,

Page 48: 84012262 Abdurrahman Wahid

sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang.

Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren

Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab

Al Hikam.

Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan

Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan

misiologi.

Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima

setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga

memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.

Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif

1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam

termasuk NU.

Reformasi NU

NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu

menghidupkan kembali NU.

Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya

mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak

konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur.

Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan

mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk

menyiapkan respon NU terhadap isu ini.

Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih

menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada

masalah sosial.

Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia

menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan

bekerja di bawahnya.

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan

dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah.

Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam

Page 49: 84012262 Abdurrahman Wahid

pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar.

Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah,

diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia.

Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan

berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular.

Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989.

Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati

Muslim.

Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati

intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie.

Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap

sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.

Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri

dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial.

Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang

tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.

Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU

begitu tiba di Jakarta.

Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan

menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali

ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye

melawan terpilihnya kembali Gus Dur.

Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap

anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode

berikutnya.

Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai

Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan

Soeharto.

Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus

Page 50: 84012262 Abdurrahman Wahid

membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan

pemerintah, Soerjadi.

Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus

Dur sebagai ketua NU.

Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap

kebijakan-kebijakan pemerintah.

Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu.

Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena

stroke pada Januari 1998.

Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang

memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak

bergabung dengan Komite Reformasi.

Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat

Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden

Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998,

komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.

Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-

satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB).

Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.

Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20

Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai

Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial

serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi

dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur.

Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpin-

pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM.

Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme

Page 51: 84012262 Abdurrahman Wahid

dicabut.

Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh

pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik.

Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian

menjatuhkannya.

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur

opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati

Soekarnoputri.

Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden.

Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai

kandidat.

Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto

dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla

dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput.

Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto,

Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,

terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.

Kehidupan pribadi

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada,

Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.

Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul

18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya

sejak lama.

Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia

sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.

Penghargaan

Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk

kategori kepemimpinan sosial.

Page 52: 84012262 Abdurrahman Wahid

Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay

Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang

Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam

memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di

Indonesia.

Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang

penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM.

Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid

dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.

Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama

kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga

pendidikan, yaitu:

- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)

- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)

- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)

- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu

Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)

- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)

- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

Masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid atau yang sering kita sebut dengan

Gus Dur dimulai dari sidang umum MPR yang diselenggarakan pada tanggal 1-21

Oktober 1999 yang menghasilkan agenda sebagai berikut :

Page 53: 84012262 Abdurrahman Wahid

1. Mengangkat Amien Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR untuk

periode 1999-2004.

2. Pembacaan pidato pertanggungjawaban Presiden B.J Habibie. Pidato pertanggung

jawaban tersebut ditolak oleh segenap anggota dengan menggunakan votting. Suara

yang menolak 355, yang menerima 322, absen 9, dan tidak sah 4. Dengan demikian B.J

Habibie tidak dapat maju mencalonkan diri menjadi Presiden RI selanjutnya.

3. Pemilihan presiden RI yang baru. Calon yang maju dari PDIP (Megawati Soekarnoputri),

PKB (K.H Abdurrahman Wahid), dan dari Bulan Bintang (Yusril Ihza Mahendra), namun

pada detik - detik terakhir Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Karena takut suara

islam terpecah menjadi dua pada Gus Dur dan dirinya, sehingga bisa dipastikan

Megawati akan menjadi presiden RI yang ke-4. Dari hasil pemilihan Presiden yang

dilaksanakan secara votting, tanggal 20 Oktober 1999, K.H Abdurrahman Wahid terpilih

menjadi Presiden RI ke-4.

4. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan wakil Presiden, dengan calonnya

Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan wakil presiden dimenangkan

Megawati Soekarnoputri.

Dari hasil sidang istimewa tersebut, dapat disimpulakan bahwa Gus Dur menjadi

Presiden RI ke-4 dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya yang sah untuk masa

bakti 1999-2004.

Pidato pertama Gus Dur setelah terpilih sebagai Presiden, berisi tugas – tugas

yang akan dijalankan antara lain sebagai berikut :

a) Peningkatan pendapatan rakyat.

b) Menegakkan keadilan dan mendatangkan kemakmuran.

c) Mempertahankan keutuhan bangsa dan Negara.

Pada pemerintahan Gusdur, beliau membentuk kabinet yg disebut Kabinet

Persatuan Nasional. Ketika itu Gusdur memberikan kebebasan pada rakyat untuk

berpendapat dan memberikan kesempatan kepada kaum minoritas di Indonesia. Namun

karena hal tersebut, masyarakat mulai mengalami kebingungan dan kebimbangan

mengenai benar tidaknya suatu hal. Sebab, pemerintah sendiri juga tidak pernah tegas

dalam memberikan pernyataan terhadap suatu masalah.

Page 54: 84012262 Abdurrahman Wahid

Pasangan K.H Abdurrahman Wahid – Megawati membentuk Kabinet Persatuan

Nasional (KPN) yang dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. Presiden juga membentuk

Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan tujuan untuk memperbaiki ekonomi yang belum

pulih akibat krisis yang berkepanjangan dengan susunan sebagai berikut:

Ketua : Prof. Emil Salim

Wakil : Subiyakto Cakrawerdaya

Sekertaris : Dr. Sri Mulyani Indrawati

Anggota : Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih, Bambang Subianto

Gus Dur saat menjalankan pemerintahan mengalami banyak persoalan, karena

itu adalah warisan dari Pemerintahan Orde Baru. Salah satu permasalahan yang sangat

menonjol adalah masalah KKN, pemulihan ekonomi, masalah Badan Penyehatan

Perbankan Nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs

Rupiah, masalah jaringan pengaman social (JPS), penegakan hukum, penegakan HAM.

Belum tuntas mengatasi persoalan ORBA, pemerintahan Gus Dur dihadapkan

pada persoalan – persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat

controversial. Adapun kebijakan – kebijakan tersebut antara lain :

a) Pemberhentian Kapolri Jendral (pol.) Roesmanhadi yang dinilai tidak mampu

mengantisipasi terjadinya pembakaran sekolah Kristen STT Doulos.

b) Pemberhentian Kapuspen Hankam Mayjen. TNI Sudrajat yang diganti dengan Marsekal

Muda TNI Graito dari TNI AU. Pemberhentian tersebut dilatarbelakangi oleh pernyataan

Mayjen. Sudrajat bahwa Presiden bukan Panglima Tinggi TNI.

c) Pemberhentian Wiranto sebagai Menkopolkam yang dilatarbelakangi hubungan yang tidak

harmonis antara Wiranto dan Presiden K.H Abdurrahman wahid. Ketidakharmonisan itu

muncul ketika presiden mengizinkan dibentuknya Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP)

HAM untuk menyelidiki para jendral termasuk Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM di

Timor Timur. Kemudian pada tanggal 13 Februari 2000 presiden mengeluarkan perintah

untuk menonaktifkan Wiranto dari jabatan Menkopolkam.

d) Mengeluarkan pengumuman tentang adanya menteri - menteri Kabinet Persatuan

Nasional yang terlibat KKN.

Page 55: 84012262 Abdurrahman Wahid

e) Gus Dur juga ingin mengadakan referendum Aceh, untuk memilih merdeka atau

bergabung dengan RI. Namun hal ini dibantah oleh pemerintah Karena bila diadakan

jajak pendapat, maka kemungkinan besar raykat aceh akan memilih untuk merdeka.

Lalu Gus Dur mengurungkan niatnya, dan hal ini membuat rakyat Aceh kecewa hingga

dibentuklah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

f) Pada akhir 1999 presiden menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya dan

menyetujui pengibaran Bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua.

Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan presiden K.H

Abdurrahman Wahid muncul kasus Bulog Gate dan Brunei Gate.

Bulog Gate

Kasus Buloggate begitu terkenal karena sering kali menjerat petinggi-petingggi

negara. Kasus-kasus yang melibatkan nama Badan Urusan Logistik (Bulog) serta jajaran

pimpinannya sejak lama sudah mengemuka. Kasus ini melibatkan Yanatera (Yayasan

Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantan Wakabulog Sapuan. Sapuan akhirnya

divonis 2 tahun penjara dan terbuksi bersalah menggelapkan dana non bujeter Bulog

sebesar 35 milyar rupiah.

Keterlibatan Presiden Gus Dur sendiri baru terungkap secara terbatas, yaitu adanya

pertemuan antara Presiden dan Sapuan (Wakil Kepala Bulog) di Istana. Dalam

pertemuan itu, Presiden menanyakan dana nonbudgeter Bulog dan kemungkinan

pengunaannya. Sapuan mengatakan, dana nonbudgeter itu ada, tetapi penggunaannya

harus melalui keppres (keputusan presiden). Keterlibatan Gus Dur baru terungkap

sebatas itu.