PEMBURU RENTE_RENT SEEKING (EPP KEL 6)
-
Upload
fatin-nuha-astini -
Category
Documents
-
view
1.467 -
download
1
description
Transcript of PEMBURU RENTE_RENT SEEKING (EPP KEL 6)
PENGARUH PEMBURU RENTE DALAM PEREKONOMIAN DI INDONESIA
TUGAS MAKALAH KELOMPOK MATA KULIAH EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN
KELOMPOK 6
1. Agus Indra Irawan (115030101111053)
2. Qamaruddin (115030113111007)
3. Rizky Kurnia P (115030100111132)
4. Ridhan rachmadi (115030105111002)
5. Debi Dwi Sapurno (115030102111002)
6. Achab Sonni (115030107111016)
7.Rahmat Effendi (11503010)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
DESEMBER 2012
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi suatu negara saat ini tidak terlepas dari peran pemerintah dalam
mengatur perekonomian untuk mencapai kesejahteraan sosial (Social Walfare) bagi publik.
Mayoritas negara di dunia ini melakukan strategi perekonomian yang lebih hati-hati dan
menggabungkan prinsip pasar bebas (market mechanism) dengan intervensi pemerintah yang
lebih terarah dan tepat guna (Deliarnov, 2006). Aliran-aliran pemikiran seperti Marxisme,
Keynesian, dan paham sosialis lainnya juga mendukung institusi politik dan pemerintahan dalam
perekonomian untuk mencapai ekonomi yang lebih efisien dan lebih adil.
Sejak tahun 1967, teori mengenai “rent-seeking” (pemburu rente)ini dikembangkan oleh
Gordon Tullock, dan istilah “rent” disini berkembang menjadi tidak dalam pengertian yang sama
dengan yang dimaksudkan oleh Adam Smith. Fenomena dari rent seeking ini teridentifikasi
dalam hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rentseeking (pemburu rente) menjadi
bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui
manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan, regulasi, tariff dll) daripada melalui
perdagangan.
Istilah rent seeking sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anne Krueger pada tahun
1973 dalam tulisan yang mengulas tentang pemikiran Gordon Tullock. Menurut Didik J
Rachbani, “perburuan rente ekonomi terjadi ketika seorang pengusaha atau perusahaan
mengambil manfaat atau nilai yang tidak dikompensasikan dari yang lain dengan melakukan
manipulasi pada lingkungan usaha atau bisnis. Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut juga
terjadi, karena perebutan monopoli atas aturan main atau regulasi. Karena itu, pelaku usaha yang
melobi untuk mempengaruhi aturan lebih memihak dirinya dengan pengorbanan pihak lainnya
disebut pemburu rente (“rent seekers”). Praktik berburu rente ekonomi juga diasosiasikan dengan
usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen.
Penetapan tarif oleh pemerintah untuk kelompok bisnis juga merupakan bagian dari praktik
tersebut. Hal yang sama dalam pemberian monopoli impor gandum, beras,gula, dan sejenisnya
merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi” (Suara Merdeka, 28 November 2005).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
a. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya rent seeking di Indonesia?
b.Bagaimana pengaruh rent seeking terhadap perekonomian Indonesia?
c. Bagaimana contoh kasus yang menggunakan praktek rent seeking di Indonesia?
d. Bagaimana cara mengatasi maraknya rent seeking di Indonesia?
1.3 Tujuan
a. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi maraknya rent seeking di
Indonesia.
b. Mendiskripsikan pengaruh rent seeking terhadap perekonomian Indonesia.
c. Mendiskripsikan contoh kasus yang menggunakan praktek rent seeking di Indonesia.
d. Mengidentifikasikan cara mengatasi maraknya rent seeking di Indonesia.
BAB II
Kajian Pustaka
A. Pengertian Rent- Seeking : Konsep Klasik vs Ekonomi Politik
Teori rent-seeking pertama kali diperkenalkan oleh Krueger yang kemudian
dikembangkan oleh Bhagwati dan Srinivasan. Pada saat itu, Krueger membahas tentang praktik
memperoleh kuota impor. Kuota impor sendiri bisa diartikan sebagai perbedaan antara harga
batas/ border price (cum price) dan harga domestik.
Dalam pengrtian ini, perilaku rent-seeking dapat diartikan sebagai pengeluaran sumber
daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat
menguntungkan pihak pencari rente. Dalam teori ekonomi klasik, konsep rent-seeking tidak
dinilai secara negative sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak
lain. Bahkan, perilaku rent-seeking dapat dinilai positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi
secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun upah.
Namun, di sisi lain, dalam literatur ekonomi politik, konsep rent-seeking diangap sebagai
perilaku negative. Asumsi yang dibangun dalam teori ekonomi politik adalah, bahwa setiap
kelompok kepentingan berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya
dengan upaya sekecil-kecilnya. Pada titik inilah seluruh sumber daya yang dimiliki seperti lobi
akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut.
Disini timbul masalah. Jika hasil dari lobi tersebut adalah berupa kebijakan, maka
dampak yang muncul bisa sangat besar. Menurut Olson (seperti terdapat dalam Yustika) proses
lobi tersebut dapat berdampak kolosal karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan
berjalan sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespon secara cepat terhadap
perubahan-perubahan dan teknologi baru.
Berdasarkan penjelasan di atas, kegiatan rent-seeking dapat didefinisikan sebagai upaya
individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi
pemerintah. Prasad (seperti terdapat dalam Yustika) mendefinisikan rent-seeking sebagai proses
di mana individu memperoleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau
malah mengurangi produktivitas tersebut.
Istilah “Rent Seeking” menurut Adam Smith
Adam Smith membagi penghasilan (income) dalam tiga tipe, laba, upah dan sewa
(profits, wages, and rents). Rents (sewa) adalah tipe termudah yang dapat diperoleh untuk
menjadi penghasilan. Uang sewa dibayarkan untuk penggunaan seperti tanah, gedung, kantor,
mobil, dimana seseorang menginginkan untuk menggunakan tetapi tidak ingin memiliki. Karena
‘sewa’ merupakan penghasilan yang termudah dan lebih aman, maka secara alamiah orang
ingin penghasilan berasal dari ‘sewa’ dari pada yang berasal dari laba atau upah. Motivasi
yang disebut sebagai “pemburu rente” (“rent-seeking”), yang dalam konteks ini adalah sah-sah
saja.
B. Tipe-tipe Rent-Seeking
Menurut Michael Ross , pemburu rente/rent seeking dapat dibagi menjadi dua tipe :
a) Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat oleh Negara
dengan menyogok politisi dan birokrat (in whichfirms seek rents created by the state, by bribing
politicians andbureaucrats)
b) Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan
mengancam perusahaan dengan peraturan-peraturan (in which politicians and bureaucrats seek
rents held by firms, by threatening fims with costly regulations)
Selain kedua tipe di atas, masih ada satu tipe lagi, yaitu:
c) Rent Seizing, dimana terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat berusaha untuk
mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari institusi-institusi Negara untuk
kepentingan individunya atau kelompoknya. (rent seizing: as efforts by state actors to gain
theright to allocate rents).
Berdasarkan definisi di atas maka praktek rent-seeking itu memiliki beberapa ciri:
1. Mencoba menerapkan praktek monopoli, khususnya sumber daya.
2. Adanya praktek merayu atau melobby Pemerintah guna mencari perlindungan atau
mendapatkan hak guna sumber daya.
Dalam Ekonomi Politik juga dikenal yang namanya Rent Seeking. Rent Seeking adalah
perilaku mempengaruhi kebijakan pemerintah, agar memperoleh keuntungan. Contoh:
Produsen pakaian merek TMC, belakangan ini mengalami penurunan permintaan akibat
masuknya produk dari luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Maka perusahaan
pakaian TMC melakukan lobi ke pemerintah agar di keluarkan aturan yang mengenakan tarif
bea masuk yang tinggi terhadap pakaian dari luar negeri, agar harga jual dalam negeri
pakaian tersebut meningkat, sehingga permintaan produknya meningkat kembali. Inilah
contoh perilaku Rent Seeking, biasanya dilakukan oleh keluarga dekat para pejabat
pemerintah. Kalau sudah begini, masyarakat sebagai konsumen yang dirugikan.
Pemburu rente (rent-seeking) didefinisikan sebagai perilaku pengusaha yang memperoleh
keuntungan dengan sama sekali tidak berkontribusi bagi peningkatan produktifitas
perekonomian tetapi malah menimbulkan tambahan kerugian pada masyarakat. Di Indonesia,
perilaku ini dikenal sebagai penyumbang terbaik bagi apa yang disebut high-cost
economy. Tullock[1] menemukan bahwa perilaku ini cenderung terjadi pada mereka yang
memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi ia memonopoli sumber daya,
distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di
pemerintahan maupun legislatif. Kunio[2] menyebut perilaku ini tidak mungkin berkembang
bila tidak terjadi kerjasama saling menguntungkan antara pemburu rente di sektor ekonomi
dan kaum predator pembuat kebijakan di sektor publik. Fenomena ini disebutnya
sebagai ersatz capitalism atau pseudo-capitalism (kapitalisme semu) suatu terminologi
perekonomian yang terlihat maju dalam jangka pendek tetapi rentan dalam jangka panjang.
Mcvey[3] lebih menjelaskan kapitalisme semu itu telah mewujud di banyak negara Asia
Tenggara dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara para pengusaha yang
menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat yang menyediakan fasilitas,
insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya,
mudahnya akses atas informasi dan opportunity yang diperoleh melalui kebijakan yang
dikeluarkan untuk itu sementara pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap,
kolusi dan korupsi.
Kapitalis kraton
Di muangthai, Malaysia, dan Indonesia ada keluarga-keluarga kraton (tetapi tidak di singapura
dan Filipina). Di Malaysia dan Indonesia, para sultan dan /atau keluarga mereka, dan di
muangthai, raja (lebih tepatnya, biro harta raja, yang mengelola harta dan investasi dari rumah
tangga kraton) terjun dalam bisnis. Dari ketiga Negara ini, keterlibatan kraton dalam bisnis
paling tidak signifikan di Indonesia, karena hanya sedikit sultan yang masih ada- dan di antara
mereka, hanya sultam Yogyakarta, sri sultan hamengkubuwono IX-yang scara luas terlibat.
Sebagai contoh, hamper separuh harga bank dagang nasional Indonesia, salah satu bang dagang
swasta terbesar, dan memiliki atau memegang saham sejumlah perusahaan yang lain ( seperti PT
Duta Merlin, sebuah kompleks pertokoan di Jakarta
Keluarga presiden
Di Indonesia, konon presiden soeharto melakukan investasi di investasi, khususnya pada
perusahaan-perusahaan milik liem sioe liong, tetapi tak ada cara untuk mengecek kebenaran hal
ini karena ia tidak melakukannya atas namanya sendiri. Akan tetapin keluarganya, terlibat luas
dalam bisnis. Adaik tirinya, probosutedjo, memimpin kelompok perusahaan mertju Buana. Ia
berbagai hak monopoli impor cengkeh dengan Liem Sioe Liong: merupakan kontraktok utam
untuk proyek-proyek pemerintahan; dan menjadi pemasok utama bagi perusahaan minyak
Indonesia: saudara angkat soehrto, sudwikatmono, sering bertindak sebagai wakil (frontman)
perusahaan bagi Liem Sioe Liong di samping juga memiliki grup perusahaaan (grup subenta).
Selanjutnya, saudara lelaki nyonya soeharto Bernard ibnu hardjono, memiliki grup perusahaan
gumung ngadeg jaya, yang terjun dalam usaha kayu glondongan, distribusi semen, perdagangan
luar negri, dan pemasokan lepasa pantai
Pemburu Rente
Para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis
dapat disebut pemburu rente (rent seekers) karena pada pokoknya mereka mencari peluang-
peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan penyerahan
sumber dayanya, menawarkan proteksi atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan
tertentu yang diaturnya. “Rente” disini didefinisikan sebagai solusi antara nilai pasar dari suatu
“kebaikan hati” pemerintah dengan jumlah yang dibayar oleh si penerima kepada pemerintah
atau secara pribadi kepada penolongnya di pemerintahan (kalau ia tidak membayar sama sekali,
maka seluruh nilai pasar adalah rente, atau lebih tepatnya rente ekonomi).
Kapitalis Konco
Para kapitalis konco atau (crony kapitalist) adalah usahawan sektor swasta yang memperoleh
keuntungan besar dari hubungan erat dengan kepala negara. Para kapitalis seperti Benedicto,
Eduardo Cojuangco, Rodulfo Cuenca, Herminio Disini, Antonio Floirendo dan Ricardo Selverio
sering disebut menjadi konco-konco Marcos. Banyak diantara konco-konco Marcos telah
mendirikan bisnis sebelum undang-undang darurat.
Spekulator
Bila spekulator di definisikan sebagai seseorang yang mengambil resiko demi peluang
memperoleh keuntungan,maka semua usahawan adalah spekulator, karena semua investasi pasti
mengandung resiko.Agar memenuhi syarat sebagai spekulator,ia harus mengambil resiko besar
demi peluang memperoleh keuntungan yang besar. Usahawan yang pergi ke Kasino dengan
sejumlah besar uang merupakan pola dasarnya. Konon banyak orang yang mendatangi Kasino di
Filiphina dan Malaysia( juga di Indonesia hingga tahun 1981) adalah usahawan. Mereka yang
tidak puas dengan Kasino-kasino mendatangi Macau atau bahkan sampai sejauh Las
Vegas.Dahulu,ketika belum ada kasino banyak orang cina berjudi di klub-klub pertemuan
seperti klub Ee Hoe Hean dan klub Tanjong Rhu di singapura.
BAB III
Pembahasan
3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi maraknya rent seeking di Indonesia
Pada umumnya keberadaan pemerintah memiliki pengaruh perekonomian pada tingkat
yang berbeda-beda. Ada pemerintahan yang mengatur perekonomiannya secara ketat atau
intensif dan ada pula yang membatasi sebagai pendukung saja dalam suatu perekonomian.
Beberapa peran pemerintah dalam perekonomian adalah pemerintah membantu
perkembangan bisnis secara umum, mendorong persaingan usaha yang sehat, membanatu
kelompok ekonomi lemah, dan sebagai stabilizer.
Indonesia sekarang ini sedang mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang meningkat
namun yang jadi permasalahan sekarang adalah tingkat korupsi dan fenomena rent seeking
para pejabat pemerintahan yang semakin marak yanag berdamapak terhadap perekonomian
Indonesia.
Secara ekonomi maraknya rent seeking disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. adanya hambatan perdagangan internasional
2. pengawasan harga oleh pemerintah
3. diberlakukannya multiple exchange rate,
4. dan rendahnya gaji pegawai negeri
(Mauro, 1997, Ginting, 1999).
3.2 pengaruh rent seeking terhadap perekonomian Indonesia
rent-seeking bureaucracy timbul sebagai akibat perbuatan seseorang, kelompok, ataupun
organisasi tertentu, terutama birokrasi, yang mengambil keuntungan materi sebesar-besarnya dari
menjual kewenangan dan praktek manipulasi untuk mendukung pihak lain mengekploitasi
sumber-sumber ekonomi.
praktek kolutif tersebut pada akhirnya menyuburkan korupsi, sehingga muncul kemudian
istilah shadow state sebagai tandingan istilah negara konvensional. Definisi negara konvensional
menurut Weber memiliki karakteristik, antara lain:
a. aturan administratif dan kepastian penegakan hukum,
b. kekuasaan atas warga negara dan suatu wilayah tertentu,
c. monopoli dalam penggunaan kekuataan memaksa1.
Sementara itu, konsep shadow state antara lain bercirikan suatu sistem pemerintahan yang
dikendalikan oleh aparatur negara yang bertindak berdasarkan kepentingan kaum swasta ataupun
aktor-aktor eksternal lainnya di luar institusi negara. Aktor-aktor tersebut dapat merupakan
penyedia jasa dan barang kepada pemerintah, dimana terdapat kewajiban pemerintah membeli
kepada mereka tanpa harus melalui prosedur pembelian yang legal misalnya, mekanisme
pengadaan barang dan jasa atau lelang. Shadow state digerakkan oleh hukum yang tidak tertulis,
senantiasa berubah menurut selera pemerintah dan kepentingan pengusaha. Kerjasama di antara
mereka akan menimbulkan gejala monopoli di dalam penguasaan sumber-sumber utama
ekonomi yang akan selalu diliputi ketidakpastian. Warga negara hidup di dalam shadow state
ditandai dengan lebarnya jurang kemiskinan antara miskin dan kaya sebagai akibat tidak adanya
aturan tegas memberikan akses kesejahteraan bagi kaum kurang beruntung.
Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di balik pembangunan gedung ini semakin tidak
terbantahkan. Apalagi, tren menunjukkan, tidak sedikit anggota DPR yang memiliki latar
belakang sebagai pebisnis.
Dalam sejarah politik di Indonesia, tampaklah bahwa akar korupsi terdapat dalam praktik
pemburuan rente yang sudah berurat-akar sejak zaman prakemerdekaan. Para elite secara
sistematis menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam
perencanaan anggaran.
Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada tataran aktor dan elite politik di parlemen. Walaupun
telah mengalami pemutakhiran, ternyata perilakunya tetap sama.
Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di balik pembangunan gedung ini semakin tidak
terbantahkan. Apalagi, tren menunjukkan, tidak sedikit anggota DPR yang memiliki latar
belakang sebagai pebisnis.
Dalam sejarah politik di Indonesia, tampaklah bahwa akar korupsi terdapat dalam praktik
pemburuan rente yang sudah berurat-akar sejak zaman prakemerdekaan. Para elite secara
sistematis menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam
perencanaan anggaran.
Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada tataran aktor dan elite politik di parlemen. Walaupun
telah mengalami pemutakhiran, ternyata perilakunya tetap sama.
Konfigurasi semacam ini telah menjadi ”parasit” bagi negara, terutama dalam hal pengelolaan
dana publik, sehingga inisiatif untuk menyejahterakan masyarakat hanya menjadi slogan semata.
Pembangunan gedung baru DPR yang bermasalah ini menyiratkan bahwa problem politik
semacam ini sedang melanda DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal
(Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Dewan Pemburu Rente.
Konfigurasi semacam ini telah menjadi ”parasit” bagi negara, terutama dalam hal pengelolaan
dana publik, sehingga inisiatif untuk menyejahterakan masyarakat hanya menjadi slogan semata.
Pembangunan gedung baru DPR yang bermasalah ini menyiratkan bahwa problem politik
semacam ini sedang melanda DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal
(Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Dewan Pemburu Rente.
3.3 contoh kasus yang menggunakan praktek rent seeking di Indonesia
A. Kasus Rent – Seeking : Kebijakan Monopoli
Kasus rent-seeking di Indonesia dapat kita telusuri pada masa pemerintahan Orde Baru.
Pada saat itu, terdapat persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun
lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Dengan fasilitas tersebut, pemilik rente ekonomi
memperoleh dua kentungan. Pertama, mendapatkan laba yang berlebih. Kedua, mencegah
pesaing masuk dalam pasar.
Produsen gandum dapat melakukan investasi dengan biaya yang lebih murah, atau
mereka dapat mengorganisasikan kartel atau monopoli. Hal ini dilakukan agar mereka dapat
mengendalikan harga melalui pembatasan produksi. Upaya mengorganisasikan kartel atau
monopoli inilah yang disebut sebagai perilaku rent-seeking. Dengan adanya rent-
seeking,produksi akan berubah menjadi Q1 dan harga naik menjadi P1. Hal ini menyebabkan dua
konsekuensi. Pertama, keuntungan area segi empat (yang diberi titik-titik) akan ditransfer dari
konsumen ke pihak monopolis. Kedua, masyarakat mengalami kerugian yang digambarkan
dalam grafik di atas sebagai segitiga yang diarsir.
B. Kasus Rent-Seeking : Korupsi
Contoh kasus rent-seeking yang sudah akrab dalam kehidupan kita adalah kasus korupsi.
Korupsi merupakan permasalahan yang dialami banyak negara, dan hingga saat ini amat sulit
untuk ditangani, tidak terkecuali di Indonesia. Korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
salah satunya adalah penyuapan. Banyak politisi di Indonesia yang terjerat kasus korupsi dengan
modus penyuapan. Politisi tersebut mendapatkan rente ekonomi (suap) dari para pengusaha atau
investor yang memiliki kepentingan tertentu. Semakin mudah penyuapan dilakukan, maka
semakin korup negara tersebut.
Berdasarkan laporan lembaga Transparency International pada Corruption Perceptions Index
tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke 110 dengan nilai 2,8 dari total 178 negara. Semakin
tinggi nilai suatu negara (mendekati 10), maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi.
Dengan angka 2,8, Indonesia masih merupakan lahan subur bagi tindak korupsi. Nilai ini amat
jauh bila dibandingkan dengan Singapura yang menempati peringkat pertama dengan nilai 9,3,
dan Malaysia yang menempati urutan ke- 56 dengan nilai 4,4.
Jika dikaitkan dengan kasus penyuapan, menurut survey yang dilakukan oleh
lembagaTransparency International pada tahun 2008, pihak yang paling mudah disuap di
Indonesia adalah pihak-pihak legislatif dengan nilai 4,1, menyusul di bawahnya adalah politisi
dan polisi dengan nilai masing-masing 3,9. (skala nilai adalah 1-5, dengan ketentuan semakin
besar nilai maka semakin mudah disuap).
a) Faktor- faktor Penyebab Korupsi
Menurut Paolo Mauro dalam Economic Issues Vol. 6 yang diterbitkan oleh IMF, terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tindak korupsi, antara lain:
1) Pembatasan perdagangan. Jika suatu negara menetapkan kuota impor, maka keberadaan
lisensi impor bagi seorang importir merupakan hal yang sangat berharga, dan importir akan
menyuap otoritas yang berwenang demi mendapatkan lisensi impor ini. Disamping kuota impor,
kebijakan pemerintah untuk melindungi usaha lokal dari kompetisi asing melalui kebijakan tarif
akan memunculkan semi-monopoli bagi industri lokal. Pengusaha lokal dapat
melakukan lobbying agar kebijakan ini terus berlangsung dengan menyuap politisi.
2) Subsidi pemerintah. Korupsi dapat tumbuh dengan subur di bawah payung kebijakan sektor
industri yang salah sasaran. Jadi, industri tersebut tidak perlu disubsidi, namun karena adanya
suatu kebijakan, maka subsidi diberikan bagi sektor industri tersebut.
3) Kontrol atas harga. Kontrol harga yang dimaksudkan untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar dapat menimbulkan perilaku rent-seeking. Kontrol harga akan mendorong individu
maupun kelompok untuk menyuap pemerintah untuk mempertahankan kebijakan seperti itu, dan
memberikan “bagian” atas harga yang ditetapkan tersebut.
4) Praktek nilai tukar yang bermacam-macam (Multiple Exchange Rate) dan skema alokasi
valuta asing. Suatu negara bisa saja memiliki beberapa nilai tukar, misalnya nilai tukar untuk
importir, nilai tukar untuk wisatawan, dan nilai tukar untuk investor. Diferensiasi ini mendorong
pihak-pihak untuk mengejar nilai tukar yang menguntungkan bagi mereka.
5) Upah yang rendah bagi pegawai pemerintah. Jika upah pegawai pemerintah terlalu rendah,
maka pegawai pemerintah dapat menggunakan wewenangnya untuk meminta uang suap, terlebih
lagi bila kemungkinan terbongkar kasus suap tersebut amat kecil.
6) Sumber daya alam yang melimpah. Harga jual hasil alam biasanya jauh melebihi biaya
pengolahannya, dan penjualan hasil alam tersebut biasanya harus mengikkuti peraturan
pemerintah yang ketat. Hal ini akan menimbulkan perilaku rent-seeking, di mana hasil penjualan
hasil alam tersebut dinikmati olehsegelintir orang saja.
7) Faktor sosiologi. Dalam suatu ikatan keluarga yang kuat, setiap anggota keluargaakan saling
tolong-menolong dalam banyak hal. Begitu pula dengan pegawai pemerintah. Maraknya kasus
nepotisme merupakan contoh dari ikatan keluarga yang kuat, yang dapat menimbulkan
perilaku rent-seeking.
b) Dampak Korupsi
Dari segi ekonomi, dampak korupsi adalah memperlambat pertumbuhan ekonomi dari berbagai
sektor, antara lain:
1. Menurunkan tingkat investasi dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi pada tingkat
yang signifikan. Di sebuah negara yang korup, para investr menyadari bahwa suap
dibutuhkan sebelum sebuah perusahaan berdiri. Setelah perusahaan berhasil berdiri, korupsi
masih terus saja terjadi karena penguasa terus meminta bagiannya. Dengan demikian,
investor akan menganggap suap dan korupsi sebagai bagian dari pajak. Hal ini akan
mengurangi insentif untuk berinvestasi.
2. Alokasi yang salah atas sumber daya manusia yang berkualitas. Insentif finansial akan
mendorong sumber daya manusia yang berkualitas untuk bekerja pada sektor yang memiliki
kemudahan melakukan rent-seeking, dibandingkan di tempat-tempat yang benar-benar
produktif.
3. Mengurangi efektivitas alur bantuan. Dengan adanya korupsi, alokasi bantuan dana bisa saja
digunakan untuk pengeluaran pemerintah yang tidak produktif dan sia-sia. Akibatnya,
negara-negara donor akan mengurungkan niatnya untuk memberikan bantuan.
4. Menurunkan penghasilan pajak. Pajak yang seharusnya masuk ke kas negara bisa saja masuk
ke kantong pribadi pihak-pihak tertentu akbat adanya korupsi.
5. Menurunkan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik.
3.4 Cara mengatasi maraknya rent seeking di Indonesia
Untuk mengatasi itu, selayaknya dilakukan beberapa langkah untuk memberantas perilaku
pemburu rente dan korupsi di Indonesia. Langkah-langkah itu haruslah dibuat terukur
sehingga dapat mengurangi peluang bagi siapa saja mengembangkan perilaku pemburu rente
dan korupsi, seperti antara lain:
1. Memperkuat keterbukaan dan demokrasi, terutama dengan memperluas
partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan publik. Harus
dihindari semaksimal mungkin suatu kebijakan publik, terutama yang melibatkan
anggaran publik atau kebijakan yang mengenai sumber daya publim/negara,
dilakukan dengan pola di “bawah meja.” Setiap keputusan-keputusan publik
seperti itu harus mampu dijelaskan cost dan benefitnya. Karena itu, transparansi
dalam hal ini menjadi konsern utama. Kebebasan pers dapat menjadi alat ampuh
bagi mendorong keterbukaan dan demokrasi. Kebebasan pers harus didorong
untuk makin meningkatnya kualitas lembaga-lembaga pemerintahan, parlemen,
partai politik serta lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti LSM dan
organisasi-organisasi sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan public
accountability yang makin baik terhadap lembaga-lembaga tersebut. Public
transparency dan public accountability untuk semua kebijakan publik
seharusnyalah diatur dalam aturan-aturan yang jelas, misalnya, dengan membuat
Undang-undang tentang itu.
2. Meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para penyelenggara
Negara melalui reformasi birokrasi dan perbaikan sistem renumerasinya. Dengan
tingkat kesejahteraan yang makin baik diharapkan para penyelenggara Negara
dapat menjalankan perannya sesuai dengan tujuan-tujuan pelayanan publik yang
menjadi wilayah kewenangannya. Pelayanan publik akan semakin berkualitas dan
efektif bila dikelola oleh para penyelenggara yang memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidang pekerjaannya. Disamping itu harus diperhatikan posisi-
posisi pemerintahan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan,
khususnya dalam soal kegiatan belanja barang pemerintahan maupun dalam soal
promosi kepegawaian yang berdasarkan merit system dan bukan berdasarkan
koneksi. Bahkan untuk jabatan-jabatan tertentu check system seperti melalui
mekanisme fit and proper testdan atau track record diperlukan untuk seseorang
sebelum mengemban jabatan itu. Disamping itu, perbaikan sistem renumerasi
yang mampu memenuhi kebutuhan hidup layak dan yang juga memperhatikan job
loads dan job risksn suatu jabatan publik harus menjadi bagian integral bagi
perbaikan kualitas pejabat publik.
3. Mempertegas law enforcement. Penegakan hukum yang tegas, pasti dan tidak
diskriminasi akan menjadi alat yang efektif dalam memberantas korupsi di
Indonesia. Karena dalam beberapa survey menunjukkan para penegak hukum
merupakan wilayah yang rentan atas kegiatan korupsi, pemerintah harus
memberikan perhatian serius terhadap peningkatan kualitas dan kesejahteraan
para penegak hukum ini.
4. Memperkuat ajaran agama khususnya budaya kejujuran dan kedisiplinan
sehingga menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan dan pendidikan.
Perilaku-perilaku seperti nyontek, plagiat, nyerobot antrian, berdiam diri atas
ketidakadilan dan sebagainya harus makin diminimalkan. Keteladanan, khususnya
kaum pemimpin dapat menjadi faktor menentukan dalam memperkuat budaya ini.
Budaya agama substansial, seperti kejujuran tadi, harus lebih dapat dikembangkan
dalam sistem penyelenggaraan Negara daripada budaya agama seremonial. Inilah
modal sosial yang harus terus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
5. Konsistensi dan kejelasan peraturan-peraturan harus makin dijadi pedoman bagi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan-peraturan yang
jelas dan konsisten akan mengurangi kemungkinan siapapun mencari keuntungan
dari kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi.
Daftar Pustaka
Bribe Payers Index 2008. Transparency International.
Corruption Perceptions Index 2010 Results. Transparency International.
Mauro, Paolo.1997. Why Worry About Corruption? Economic Issues Vol. 6. International
Monetary Fund. Washington D. C: IMF Publication Services.
Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan. Malang: Bayu Media Publishing.
Share this: