Gambaran Sensation Seeking Trait pada Pendaki Gunung...

41
GAMBARAN SENSATION SEEKING TRAIT PADA PENDAKI GUNUNG (MOUNTAINEERS) OLEH AKWILA 802009125 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Transcript of Gambaran Sensation Seeking Trait pada Pendaki Gunung...

GAMBARAN SENSATION SEEKING TRAIT PADA

PENDAKI GUNUNG (MOUNTAINEERS)

OLEH

AKWILA

802009125

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

GAMBARAN SENSATION SEEKING TRAIT PADA

PENDAKI GUNUNG (MOUNTAINEERS)

Akwila

Berta Esti Ari Prasetya

Heru Astikasari Setya Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

i

Abstrak

Tujuan penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan gambaran umum sensation seeking trait pada

pendaki gunung (mountaineers). Penelitian ini dilakukan karena berbagai fenomena kecelakaan

para pendaki gunung belakangan ini seringkali terjadi dikarenakan tindakan-tindakan ekstrim

sebagai bentuk pemuasan sensation seeking trait yang berujung pada kematian, sehingga melalui

penelitian ini dapat diperoleh pemahaman tentang sensation seeking trait yang dapat membawa

pendaki dalam bahaya saat melakukan pendakian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

dengan teknik pengambilan data berupa wawancara dan observasi. Partisipan dalam penelitian

ini ialah dua orang pendaki gunung dengan kriteria pernah mendaki setidaknya 4 gunung yang

memiliki ketinggian lebih dari 2500 mdpl. Hasil penelitian menggambarkan bahwa kedua

partisipan memiiliki kecenderungan sensation seeking trait yang ditunjukkan melalui dimensi

Thrill and Adventure Seeking (TAS), Experience Seeking (ES), dan Disinhibition (DIS).

Penemuan baru yang ditemukan pada penelitian ini ialah kedua partisipan menggunakan

kegiatan naik gunung sebagai sarana untuk mendapatkan modal sosial berupa jejaring

pertemanan baru yang dianggap menguntungkan di kemudian hari.

Kata kunci: Sensation seeking trait, pendaki gunung

ii

Abstract

This study aims to describe sensation seeking trait of the mountaineers. It is urgently needed

because there were accidents of the Indonesian mountaineers that had reported frequently

caused by the acts of sensation seeking which end up with deaths. Thus, through this study, there

will be an understanding about sensation seeking trait that can bring the mountaineers into

dangers. This study uses qualitative method with interview and observation as the techniques of

collecting data. The participants of this study were two mauntaineers who at least had four

experiences of more than 2.500 heights mountaineering. Result of this study describes that both

participants have sensation seeking trait which shown by three dimensions, such as Thrill and

Adventure Seeking (TAS), Experience Seeking (ES), dan Disinhibition (DIS). Also, this study

found that both participants got social modal of mountaineering such a new circle of friendship

that bring benefits in future.

Keywords: Sensation seeking trait, mountaineers

1

PENDAHULUAN

Manusia, dalam menjalani kehidupan sehari-hari seringkali melibatkan aktivitas yang

berbahaya untuk menghindari kejenuhan dalam hidupnya seperti panjat tebing, outbound,

mountaineering maupun kegiatan lain yang sifatnya menantang atau memacu adrenalin.

Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan individu untuk membuktikan bahwa manusia tidak akan

pernah merasa puas dengan kondisi yang tenang dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga

selalu melakukan aktivitas yang bisa menimbulkan sensasi atau yang berbahaya bagi

keselamatannya (Zuckerman dalam Atkinson, 1983). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa

setiap individu memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal baru yang bersifat menantang,

berbahaya dan memacu adrenalin dengan tujuan untuk menghindari kejenuhan dan dapat

menimbulkan sensasi meskipun hal tersebut berbahaya bagi keselamatannya.

Zuckerman (2007) memberi definisi sensation seeking sebagai “seeking of variety, novel,

complex and intense sensations and experiences”. Istilah variety (perubahan) merujuk pada

adanya kebutuhan akan perubahan. Istilah novel (melakukan hal yang baru) merefleksikan

adanya ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang telah dialami

sebelumnya. Istilah novel juga merujuk pada kesukaan dalam diri individu tersebut terhadap hal-

hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). Sedangkan istilah complex (kompleksitas)

merujuk pada jumlah atau banyaknya elemen-elemen pada suatu kegiatan dan rangkaian-

rangkaian dari masing-masing elemen tersebut.

Zuckerman (2007) menjelaskan sensation-seeking sebagai motif biososial, berdasarkan

perbedaan dalam biokimia dari neurotransmitter tertentu dari sistem limbik yang mengatur

pendekatan, eksplorasi, dan aktivitas umum. Menurut teorinya, orang yang berpartisipasi dalam

aktivitas yang berisiko dapat mengaktifkan sistem limbik. Zuckerman (dalam Kart, 2008)

2

Menjelaskan bahwa teori tersebut dikembangkan ke arah teori biologi untuk melihat perbedaan

individu dalam mencari sensasi. Dasar biologis dihubungkan dengan kuatnya refleks terhadap

stimulus dan menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya

hormon seks (testosteron, esterogen dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya

neurotransmitter.

Zuckerman (dalam Kart, 2008) menjelaskan bahwa model pencarian sensasi tinggi

diasosiasikan dengan rendahnya kemampuan arousal sehingga orang tersebut mencari stimulasi

untuk mengimbangi tingkat arousal yang rendah. Semakin individu merasa berhasil memenuhi

kebutuhannya dalam mencari sensasi, semakin ia merasa memperoleh reward dari perilakunya

yang secara biologis mampu mengimbangi tingkat norepinephrine dalam tubuhnya. Gatzke,

Raine, Loeber, Stouthamer-Loeber dan Steinhauer, (2002) berpendapat bahwa pencarian sensasi

sering bertujuan untuk mendapatkan kegairahan dan meningkatkan rangsangan yang optimal

serta cenderung mencari stimulus baru dan luar biasa, meskipun stimulus tersebut berbahaya

bagi orang lain dan menimbulkan kecemasan serta perasaan tidak menyenangkan.

Seiring dengan berbagai penelitian yang dilakukan, definisi sensation seeking pun menjadi

semakin berkembang. Zuckerman (2007) memperbaharui sensation seeking menjadi suatu sifat

yang didasari oleh pencarian yang bervariasi, baru, kompleks, dan sensasi yang lebih serta

pengalaman, dan keinginan untuk mengambil risiko fisik, sosial, hukum, dan keuangan demi

pengalaman tersebut. Dengan demikian, sensation seeking merupakan sebuah sifat (trait) yang

menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety), kebutuhan untuk melakukan hal

yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat kompleks (Zuckerman, 2007).

Studi lanjutan mendapati bahwa sensation seeking memiliki keterkaitan yang kuat dengan

perilaku berisiko khususnya pada remaja (Roberti, 2004; Zuckerman, 1994). Selama tiga dekade

3

terakhir, para ilmuwan yang bergerak di bidang neuroscience terus membuktikan hipotesis

tentang kematangan otak yang berpengaruh pada perilaku berisiko yang diambil seorang

individu (Casey et al, 2008; Steinberg, 2008). Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan bukti

bahwa remaja tidak memiliki kendali yang cukup kuat untuk menghambat dorongan pencarian

sensasi. Hipotesis ini memiliki implikasi yang kuat bahwa pada remaja dengan tingkat

impulsivitas yang tinggi, seperti pencari sensasi, ada sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegah

kenaikan risiko dari sensation seeking remaja, yakni dengan membatasi perilaku berisiko

tersebut hingga otak mencapai kematangan yang cukup untuk mengontrol perilaku (Nelson et al.

2002; Steinberg 2008).

Berbagai teori telah diusulkan mengenai mekanisme yang mendasari kemampuan untuk

melakukan kontrol atas dorongan atau impuls dan berfokus pada satu mekanisme yang potensial

dalam menunjukkan kematangan dari anak hingga dewasa, yakni kemampuan untuk menunda

kepuasan (Green et al. 1994; Steinberg et al. 2009). Pemberian reward atas penundaan kepuasan

tidak pula menurunkan perilaku berisiko yang dilakukan remaja secara drastis. Hal ini

menunjukkan bahwa kematangan otak mungkin diperlukan untuk memunculkan kemampuan

pengendalian impuls. Namun, hipotesis menunjukkan bahwa perbedaan individu dalam

kesempatan untuk belajar mengontrol perilaku impulsif dapat memprediksi peningkatan

kemampuan untuk menunda kepuasan (Steinberg et al, 2009).

Terdapat banyak jenis kegiatan yang mengandung unsur petualangan berisiko, seperti

panjat tebing (wall climbing), bungee jumping, rafting, mountaineering. Penelitian ini berfokus

pada mountaineering sebagai kegiatan yang mengandung unsur sensation seeking trait karena

pada kegiatan mountaineering, khususnya pada pendakian gunung-gunung grade IV sampai

grade VI (gunung dengan medan yang sukar dilalui dalam satu hingga lebih dari dua hari dan

4

harus menempuh lereng-lereng sempit untuk bisa dinaiki), para pendaki harus melalui berbagai

jenis medan berbahaya seperti jurang, tebing curam yang mengharuskan pendaki untuk

melakukan hill walking (pendakian bukit), scrambling (mendaki dengan menggunakan badan

sebagai keseimbangan dan tangan untuk berpegangan dengan medan yang memiliki kemiringan

hingga 45 derajat), memanjat tebing batu atau dinding karang (rock climbing) dan melewati

jurang tanpa pengaman yang memberikan jaminan keselamatan (Erone, 2010).

Woodman, Scanff dan Castainer (2011) juga menyatakan bahwa salah satu kegiatan yang

bersifat menuntut atau menantang, yang menempatkan individu pada kondisi ekstrem,

mengancam dan membawa individu ke titik terendah adalah kegiatan mendaki gunung atau

mountaineering. Mountaineering biasa dilakukan di alam bebas (outdoor activity), memiliki

resiko yang tinggi (high risk activiy), aktivitas yang menuntut (demanding activity) dan terdapat

unsur petualangan dalam setiap kegiatannya (Kusumohartono,1985). Dalam pendakian gunung,

individu terdorong oleh kebutuhan untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam hidupnya,

sehingga individu harus mengambil resiko demi memperoleh kondisi tersebut (PAPAS, 2010).

Banyak faktor yang menimbulkan risiko pada pendaki gunung, seperti suhu yang ekstrim di

daerah pegunungan, kecelakaan, kekurangan pasokan makan dan minuman, gangguan fisik

seperti hypothermia, cidera, dehidrasi dan fatique (Erone, 2010).

Dewasa ini, aktivitas mendaki gunung telah menjadi trend baru dan digemari oleh

berbagai kalangan masyarakat, bahkan sudah terdapat agen wisata yang menawarkan jasa

perjalanan wisata pendakian gunung. Hal ini juga didukung oleh kondisi geografis indonesia

yang memiliki banyak pegunungan, yaitu lebih dari 400 gunung berapi dan 130 di antaranya

termasuk gunung berapi aktif (huteri.com, 2010). Meskipun berbahaya, menguras tenaga dan

sangat beresiko namun bagi sebagian orang mendaki gunung merupakan wisata alam yang paling

5

mengesankan. Para pemburu sensasi menganggap dan menerima resiko sebagai nilai atau harga

dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Sensation seeking sendiri

merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar tetapi terkadang kurang disadari. Konsep ini telah

memicu adanya penelitian baru seputar sensation seeking. Sensation seeking trait memiliki

empat dimensi yakni (London & Esner, 1978, Zuckerman, 1991): Thrill and Adventure Seeking

(TAS), Boredom Susceptibility (BS), Disinhibition (DIS), Experience Seeking (ES). Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi trait sensastion seeking, yakni faktor herediter dan faktor

lingkungan (Zuckerman, 1991; Grasha & Krischenbaum, 1980).

Sensation seeking trait pada seseorang bisa menimbulkan bahaya bagi individu tersebut.

Banyak kecelakaan yang di timbulkan oleh besarnya hasrat pencarian sensasi pada individu. ada

beberapa kecelakaan maut yang di sebabkan oleh faktor human error, antara lain pada hari Sabtu

(16/52015) sore, seorang pendaki yang bernama Eri Yunanto (21) meninggal dunia saat mendaki

Gunung Merapi, tepatnya saat Eri Yunanto mendaki puncak garuda. Padahal sudah ada

peringatan untuk tidak menaiki Puncak Garuda karena alasan tidak ada jalur yang aman untuk

menaiki Puncak Garuda. Alasan utama Eri Yunanto untuk menaiki puncak garuda adalah untuk

mengabadikan foto selfie-nya di Puncak Garuda (Kompas, 2015). Ada pula korban yang

bernamaYanuru Aksanu Laila (23) tewas terjatuh dari tebing saat bermaksud untuk selfie di Air

Terjun Coban Sewu, Lumajang, pada Jumat (1/5/2015) lalu. Menurut otoritas setempat, korban

tewas karena terpeleset dari tebing yang sebenarnya sudah dipasang rambu dilarang untuk dilalui

(malang-post. 2015).

Adapun kecelakaan lain yang ditimbulkan oleh human error, yakni seorang mahasiswa

pascasarjana jurusan teknik elektro Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta yang bernama

Achmad Fauzi (32), meninggal dunia saat mendaki Gunung Semeru. Kecelakaan tersebut terjadi

6

karena korban tertimpa longsoran batu saat berada di Watu Gede. Kepala Balai Besar Bromo

Tengger Semeru, Ayu Dewi Utari, mengatakan, sebelumnya telah mengingatkan bahwa batas

pendakian hanya sampai Kalimati. Tapi rombongan tetap nekat menuju puncak. Pendakian ke

puncak Semeru dilarang karena hingga saat ini, status gunung tertinggi di Pulau Jawa itu masih

waspada atau level II. Selain itu, biasanya pada musim kemarau, cuaca di atas gunung sangat

ekstrim. Beberapa pekan lalu cuaca pernah mencapai 6 derajat celsius di malam hari (liputan6,

2014)

Berdasarkan pemaparan fenomena di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab

pertanyaan penelitian: Bagaimanakah gambaran sensation seeking trait pada pendaki gunung?

Dengan demikian, peneliti dapat menggambarkan sensation seeking trait yang didapat oleh para

pendaki gunung setelah menempuh perjalanan yang berisiko hingga mencapai puncak. Selain itu,

hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu para mountainers untuk lebih mengenal pola

perilaku manusia mengenai kebutuhannya akan pencarian sensasi atau sensation seeking trait

dan diharapkan penelitian ini menjadi manfaat bagi orang-orang yang memiliki sensation

seeking trait tinggi, supaya orang-orang yang memiliki sensation seeking trait tinggi dapat

mempertimbangkan segala tindakan atau keputusannya untuk melakukan sesuatu yang

menantang dan membahayakan keselamatannya.

KAJIAN TEORI

Pengertian Sensation Seeking

Zuckerman (1979) memberi definisi sensation seeking sebagai “seeking of varied, novel,

complex and intense sensations and experiences”. Istilah variety (perubahan) merujuk pada

adanya kebutuhan akan perubahan. Istilah novel (melakukan hal yang baru) merefleksikan

7

adanya ketidaksukaan individu terhadap kejadian-kejadian atau pengalaman yang telah dialami

sebelumnya. Istilah novel juga merujuk pada kesukaan dalam diri individu tersebut terhadap

hal-hal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), sedangkan istilah complex (kompleksitas)

merujuk pada jumlah atau banyaknya elemen-elemen pada suatu kegiatan dan rangkaian-

rangkaian dari masing-masing elemen tersebut. Dengan demikian, sensation seeking merupakan

sebuah sifat (trait) yang menerangkan tentang suatu kebutuhan akan perubahan (variety),

kebutuhan untuk melakukan hal yang baru (novel), pengalaman dan sensasi yang bersifat

kompleks (Zuckerman, 1979).

Dimensi Sensation seeking trait

Sensation seeking trait meliputi empat dimensi yakni (London & Esner, 1978, Zuckerman,

1991):

1) Thrill and Adventure Seeking (TAS)

Merefleksikan kebutuhan individu untuk melakukan tindakan berisiko dan penuh

petualangan yang menawarkan sensasi unik pada tiap individu. Tindakan berisiko meliputi

keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aktivitas fisik yang menuntut kecepatan,

berbahaya dan merupakan aktivitas yang ‟melawan‟ gravitasi bumi (seperti terjun payung,

menyelam, dan bungee jumping).

2) Experience Seeking (ES)

Mengekspresikan pencarian individu terhadap pengalaman baru (novel experiences)

melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak

konform dalam berbagai hal, termasuk dalam hal musik, seni, travel style hingga gaya

hidup anti konformitas lainnya.

3) Disinhibition (DIS)

8

Merefleksikan perilaku impulsif yang ekstrovert pada individu, meliputi keinginan

yang kuat (desire) untuk melakukan perilaku yang mengandung risiko sosial dan risiko

kesehatan. Perilaku yang mengandung risiko sosial dan kesehatan adalah perilaku yang

secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif terhadap posisi seseorang dalam

masyarakat, terhadap kondisi badan atau pikiran seseorang yang dapat muncul dari proses

di masa kini atau peristiwa di masa yang akan datang. Perilaku disinhibition antara lain

adalah mengkonsumsi minuman beralkohol, menyukai pesta, sengaja melanggar peraturan

lalu-lintas, bermesraan di depan umum dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan norma

sosial masyarakat pada umumnya.

4) Boredom Susceptibility (BS)

Merefleksikan perilaku individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif,

pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi

ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan tersebut. Boredom susceptibility juga

menyebabkan hadirnya kegundahan pada individu saat tidak ada perubahan pada

kehidupannya, dan ketidaksukaan pada orang yang membosankan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sensation seeking trait

Terdapat dua faktor utama yang kerap dikaitkan sebagai faktor yang menjadi sumber

penyebab munculnya sensation seeking trait dalam diri individu, yakni faktor herediter dan

faktor lingkungan (Zuckerman, 1991; Grasha & Krischenbaum, 1980). Berikut merupakan

penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi sensation seeking trait:

a) Faktor Herediter

Faktor herediter merupakan faktor utama yang diprediksi sebagai penyebab munculnya

sensation seeking trait dalam diri individu. Beberapa penelitian yang telah dilakukan

9

Zuckerman mengindikasikan adanya faktor genetik yang sangat mempengaruhi susunan gen

dan kondisi biologis individu sehingga memiliki kecenderungan untuk mencari sensasi dalam

hidupnya. Keberadaan MAO (monoamine oxidase), kode kelas genetik dopamine 4 (DRD4),

kadar hormon seksual dan kadar tingginya neurotransmitter norepinephrine maupun

dopamine dipercaya menjadi kondisi biologis yang menyebabkan individu memiliki

kebutuhan arousal dan sensasi yang tinggi. Kondisi biologis ini tentu disebabkan oleh susunan

genetika yang diturunkan oleh generasi sebelumnya. Oleh sebab itu faktor herediter diprediksi

memberikan pengaruh setidaknya 60% pada seseorang untuk memiliki kebutuhan arousal dan

sensasi yang tinggi dalam dirinya. (London & Esner, 1978; Zuckerman, 1991).

b) Faktor Lingkungan

Hasil pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi

dan „mengajarkan‟ individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu.

Faktor lingkungan dan pembelajaran sosial, ini kemudian diprediksi sebagai 40%

kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki sensation seeking trait dan

kebutuhan pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan

significant others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung

mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah. (Zuckerman, 1991; Grasha &

Krischenbaum, 1980)

Karakteristik Individu dengan Sensation seeking trait

Zuckerman (1991) menyatakan bahwa individu dengan tingkat sensation seeking trait

tertentu memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik orang-orang pencari sensasi tinggi antara

lain tampak dari:

10

1) Terlibat dalam aktivitas hidup yang berisiko tinggi dalam kegiatan olahraga, profesi,

pekerjaan dan hobi.

2) Menyukai situasi fobia yang umum, seperti kegelapan, ketinggian, kedalaman dan hewan

yang berbahaya.

3) Mempunyai keberanian ekstrim.

4) Menyukai segala hal yang menantang.

5) Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya.

6) Menganggap segala situasi kurang berisiko.

7) Terlibat dalam perilaku berisiko-kecenderungan melakukan hal berbahaya.

8) Banyak melakukan spekulasi.

9) Suka berpergian ke tempat-tempat berbahaya.

10) Keluar dari situasinya karena tidak mendapatkan stimulasi seperti yang diinginkan.

11) Berkurangnya kecemasan dengan adanya penilaian risiko yang sama.

Mountaineering

Mendaki gunung ini umumnya terkait dengan keberanian untuk menjelajah daerah yang

ekstrim. Belum banyak yang mengetahui tentang siapa orang yang mendaki gunung untuk

pertama kali, namun sejarah pendakian gunung umumnya sangat etnosentris, dimulai dari benua

Eropa pada ratusan tahun yang lalu. Memang, hanya sedikit yang mengetahui tentang sejarah

budaya lain tentang pendaki gunung (mountaineers). Salah satu contoh yang membuktikan

kesimpulan ini adalah bahwa dari pegunungan Hua Shan, yaitu Puncak Kudus barat (Holy Peak

of the West) di Cina. Dalam abad keenam, ketika buku pertama pendakian gunung ditulis oleh

seorang peziarah, cendekiawan dan penyair yang telah mendaki Hua Shan untuk berbagai tujuan

(Vervoorn, 1990-1991).

11

Mountaineering merupakan sebuah kegiatan menarik yang bisa menyegarkan pikiran

bahkan menjadi hobi bagi banyak orang sekarang ini serta dapat menjadi prestasi yang dapat

dibanggakan. Aktivitas mountaineering nampaknya bukan lagi merupakan suatu kegiatan yang

langka, artinya tidak lagi hanya dilakukan oleh orang tertentu saja yang menamakan diri sebagai

kelompok Pencinta Alam, Penjelajah Alam dan semacamnya. Melainkan telah dilakukan oleh

orang-orang dari kalangan umum (MAHESA, 2010). Mountaineering adalah suatu teknik

gabungan pendakian yang memerlukan teknik dan alat-alat khusus (Ekapasers, 2006).

Mountaineering menurut istilah umumnya adalah segala kegiatan yang bermedan gunung

(Pucangpendowogear, 2011).

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan

mountaineering adalah suatu teknik gabungan pendakian dengan kegiatan yang bermedan

gunung yang dapat menjadi hobi bagi banyak orang serta menjadi prestasi yang dapat

dibanggakan.

Gambaran Sensation seeking trait pada Pendaki Gunung (Mountaineers)

Salah satu hal yang mendasari adanya perbedaan kebutuhan individual (individual

defferences) dalam melakukan pendakian gunung adalah keberadaan trait yang berbeda antara

pendaki satu dan lainnya. Kebutuhan terhadap novelty dan kesediaan untuk mengambil risiko

yang berbeda pada pendaki gunung ini dipengaruhi oleh keberadaan sensation seeking trait

dalam diri pendaki gunung. Individu yang memiliki sensation seeking trait tinggi memiliki

kebutuhan stimulus dan arousal yang tinggi pula sehingga cenderung berperilaku yang berisiko

dan ingin mencari sensasi, tantangan, pengalaman baru, serta variasi yang tinggi dalam hidupnya

(Zuckerman, 1979; 1994; 2000)

12

Karakteristik pendaki gunung dengan kebutuhan novelty yang tinggi menyerupai

karakteristik individu dengan sensation seeking trait tinggi, yang memiliki perilaku yang

cenderung berisiko seperti: menyukai hal-hal menantang, menikmati segala sesuatu yang

berbahaya, menganggap segala situasi kurang berisiko, banyak melakukan spekulasi, dan suka

berpergian ke tempat-tempat asing (Zuckerman, 2007).

METODE

Pada penelitian ini, metode yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Menurut

Bogdan & Taylor (dalam Moleong, 2002), metodologi penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut

secara holistik (utuh). Dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau hipotesis, tetapi

perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, sedangkan teknik pengambilan data

yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu wawancara dan observasi (Moleong, 2002).

Metode ini dipilih karena metode ini dipandang lebih sesuai untuk mengungkap gambaran

sensation seeking trait pada pendaki gunung.

Partisipan

Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian adalah mahasiswa UKSW yang sudah

pernah melakukan pendakian gunung. Adapun kriteria yang diperlukan dalam penelitian ini

antara lain sebagai berikut:

1. Partisipan sudah pernah mendaki gunung;

2. Setidaknya empat gunung yang berbeda pernah didaki oleh subjek.

13

3. Gunung yang didaki memiliki ketinggian lebih dari 2500 mdpl (Gn. Merbabu, Gn,

Merapi, Gn. Selamet, Gn. Gede, Gn. Semeru)

Berdasarkan kriteria tersebut, dua orang mahasiswa yang memenuhi kriteria

diikutsertakan dalam penelitian ini dan memiliki karakteristik sebagai berikut ini:

Tabel 1. Identitas Partisipan

Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif ada kriteria kredibilitas atau derajat kepercayaan. Tehnik

pemeriksaan dari kredibilitas salah satunya adalah triangulasi. Teknik triangulasi yang paling

sering digunakan adalah teknik pemeriksaan dengan berdasarkan sumber. Triangulasi

berdasarkan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton

dalam Moleong, 2006).

Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan data hasil

wawancara dengan data yang diperoleh dari pengamatan selama wawancara dan orang-orang

yang dekat dengan subjek. Pembanding ini dilakukan agar semua data yang terkumpul dapat

dilihat kesesuaiannya satu sama lain sehingga didapat keabsahan data. Setelah itu data yang

diperoleh secara individu dibandingkan satu sama lain dari tiap subjek yang ada dan

disimpulkan. Dalam Moleong (2006), pada penelitian keabsahan data dapat diuji melalui:

Nama Romli

(Bukan nama sebenarnya)

Pitung

(Bukan nama sebenarnya)

Tanggal lahir 31 Desember 1989 06 Agustus 1994

Umur 25 tahun 21 tahun

Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki

Pendidikan terakhir SMA SMA

Pekerjaan Mahasiswa Mahasiswa

Agama Buddha Kristen

Jumlah anggota keluarga 6 6

14

1. Pemeriksaan sejawat melalui reduksi

Diadakannya diskusi-diskusi analitik dengan rekan sejawat mengenai hasil sementara

maupun hasil akhir penelitian.

2. Ketekunan pengamatan

Dengan memusatkan pada permasalahan yang diteliti dihasilkan suatu keandalan

pemahaman terhadap permasalahan tersebut.

3. Kemampuan peneliti dalam bertanya

Kemampuan disini meliputi kemampuan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara

kritis terhadap jawaban yang diberikan subjek.

4. Cek dan ricek data

Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (cek dan recek) data, dengan usaha

menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

5. Mencatat bebas

Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif

terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Umum Partisipan

Dua partisipan yang terlibat dalam penelitian memiliki karakteristik dan latar belakang

keluarga, pendidikan, sosial yang berbeda. Berikut ini ialah gambaran umum dari masing-masing

partisipan:

a) Romli (Bukan nama sebenarnya)

15

Romli adalah seorang mahasiswa yang menyukai kegiatan seni dan fotografi.

Kecintaannya pada kegiatan mountaineering muncul saat teman-temannya mengajaknya

untuk mendaki gunung Merbabu yang mempunyai tinggi mencapai 3126 mdpl, cukup tinggi

dan beresiko untuk pendaki pemula seperti Romli. Romli sangat tertarik untuk mengikuti

kegiatan mountaineering tersebut. Romli berpikir bahwa ketika berada di gunung, dia akan

mendapatkan pemandangan yang indah untuk karya seni photography-nya. Romli tidak

memiliki dasar apa-apa tentang kegiatan mountaineering. Kegiatan Romli saat ini masih

seputar kuliah dan bermain, tidak ada kegiatan yang terlalu beresiko untuk keselamatannya.

Keinginannya untuk bergabung dengan komunitas pecinta alam di kampusnya terhalang

karena kurangnya kepercayaan diri untuk bergabung dengan teman-teman komunitas pecinta

alam di kampusnya.

Romli tinggal di lingkungan vihara bersama keluarganya, dia anak ketiga dari empat

bersaudara. Ayah dan ibunya bekerja di vihara, sehingga Romli sangat menguasai ajaran

Agama Buddha dengan baik. Di lingkungan rumahnya Romli sangat menjaga sikap dan

sifatnya. Hubungan kekeluargaanya sangat baik, jarang diantara mereka yang menciptakan

konflik. Romli cenderung terbuka kepada Ibu dan adik perempuannya, dia bisa menceritakan

apa saja yang menjadi masalah kepada ibu dan adik perempuannya. Tidak ada yang

mempunyai basic pendaki gunung di keluarga Romli, namun ibunya mengatakan bahwa

kakeknya pernah mendaki beberapa gunung di pulau Jawa.

b) Pitung (Bukan nama sebenarnya)

Pitung adalah seorang mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang bertempat di Kota

Salatiga. Pitung sudah menyukai kegiatan-kegiatan yang ekstrim dari semenjak menduduki

bangku SMP kelas 3. Awalnya Pitung mengikuti kegiatan yang dinamakan caving, atau susur

16

goa dan setelah itu P2 memulai pendakian pertamanya. Pendakian pertama Pitung dilakukan

di gunung Dempo, saat itu Pitung diajak oleh teman-temanya. Pitung mulai aktif mengikuti

kegiatan-kegiatan adventure dan thrilling saat duduk dibangku SMA kelas 1 dan mulai

mengikuti komunitas pecinta alam Garis Milang di Lahat, Palembang.

Pitung sangat tertarik dengan kegiatan yang memacu fisik dan adrenalin yang

dilakukan di alam bebas, hal ini didukung oleh keseriusannya mengikuti program DIKSAR

pecinta alam. Pitung mengikuti program DIKSAR selama Sembilan hari. Dihari kedua

program DIKSAR, Pitung mengalami kecelakaan yang cukup serius akibat tersambar

kobaran api yang berasal dari spiritus. Dengan tekad yang kuat yang sudah dia kumpulkan

sejak menduduki bangku SMP, Pitung tetap meneruskan pendakian tersebut walaupun

tubuhnya penuh dengan luka bakar yang cukup serius. Kecelakaan tersebut tidak mumbuat

Pitung jera mengikuti kegiatan-kegiatan yang ekstrim. Pitung sangat menyukai kegiatan

KORAD atau rafting dalam subkegiatan pecinta alam. Walaupun rafting sangat berbahaya

bagi keselamatannya, Pitung pernah mengikuti semua kegiatan yang dimiliki semua divisi

pecinta alam seperti, rafting, rock climbing, mountaineering, caving dan observation.

Pitung anak ketiga dari empat bersaudara, ketiga saudaranya semua laki-laki. Pola

asuh dari orang tuanya sangat keras dan hal tersebut membuat anak-anaknya menjadi

pemberontak. Pitung sering bertengkar dengan adiknya yang keempat, sehingga dia sudah

terbiasa menyikapi pertengkaran dengan adiknya. Walaupun Pitung sering betengkar dengan

adiknya, dia tetap menyayangi adiknya dan hubungannya sampai sekarang terjaga dengan

baik. Pitung termasuk orang yang sangat pandai bergaul, dia bisa menjangkau kalangan mana

saja.

17

Gambaran Dimensi Sensation seeking trait Partisipan

a) Thrill and Adventure Seeking (TAS)

Thrill and adventure seeking (TAS) ialah kebutuhan individu untuk melakukan tindakan

berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik. Berikut ini ialah gambaran

dari dimensi thrill and adventure seeking yang dimiliki oleh kedua partisipan.

Romli:

1. Romli merasakan sensasi yang berbeda ketika ia naik gunung. Beberapa gunung di Jawa

Tengah yang ia daki menimbulkan sensasi yang berbeda-beda. Romli merasakan

keindahan alam yang tidak dapat ia rasakan di kota. Pengalaman yang menegangkan ia

rasakan ketika ia melewati hutan, tebing dan medan yang berbatu juga cuaca yang

ekstrim di atas gunung. Hal tersebut membantu melatih fisiknya untuk menjadi lebih

kuat.

“Awalnya tidak tahu apa-apa tentang naik gunung. Pertama kali diajak teman

naik gunung. Lalu merasakan sensasi yang menarik ketika naik gunung…. Paling

favorit gunung Merbabu, tapi masing-masing punya keindahannya masing-

masing, sensasinya masing-masing. Merapi bebatuan, kalau merbabu banyak

hutannya. Sudah tidak merasakan sensasinya, awalnya sih merasakan keindahan

alamnya tapi aku lebih nyaman di merbabu. Kalau andong kita bisa langsung view

puncak, pemandangannya bagus. Lawu karena dinginnya, malah untuk melatih

fisik saya.”

2. Romli dapat merasakan bagaimana kesulitannya ketika jauh dari peradaban. Romli hanya

bergantung pada perlengkapan yang secukupnya, hanya dibalutkan dengan sleeping bag

dan jaket yang dia kenakan. Tidak ada yang bisa Romli lakukan selain bertahan di

tengah-tengah gunung yang kapan saja bisa menghilangkan nyawanya.

18

“Naik gunung hanya membawa bawaan sendiri, saya merasakan titik nol, tidak

punya apa-apa dan tidak bisa mengharapkan orang lain.”

3. Setiap resiko yang terjadi di gunung, Romli siap menanggungnya. Beberapa kali Romli

mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka fisik, bahkan Romli pernah tersesat di

tengah-tengah hutan. Namun semua itu adalah hal yang harus Romli tanggung, karena

setiap resikonya adalah keputusan yang tepat menurut Romli.

“Kalau naik gunung resikonya badan capek, kecelakaan itu yang harus saya

tanggung.”

4. Keinginan Romli melakukan kegiatan mountaineering sangat besar. Romli

mempunyai keinginan untuk mendaki gunung yang lebih tinggi dan berbahaya dari

sebelumnya.

“Besar banget, kalau tentang tertarik kegiatan mountaineering. Cuma

masalah dimodal, kalau ada yang kasih modal ke gunung apa saja pasti

berangkat…. Saya memang kepikiran untuk ke gunung yang lebih tinggi

tetapi tidak everest dulu, mungkin Jaya Wijaya”

5. Romli sering melakukan tindakan yang membahayakan keselamatannya saat di

gunung, ia pernah terbakar saat menyalakan api unggun. Romli sebelumnya sudah

diingatkan oleh teman-temannya agar tidak membuat api unggun di gunung karena

pada saat itu sedang musim kemarau dan rumput-rumput sangat rentan untuk

terbakar. Romli pun hampir terperosok ke jurang saat hendak mengambil kayu

bakar yang berada di tebing, padahal salah satu temannya sudah mengingatkan agar

tidak membuat api unggun di gunung. Lalu kebiasaan Romli lainnya adalah berlari

kencang saat menuruni gunung, kebiasaan tersebut seringkali ia lakukan saat

19

menuruni gunung yang kapan saja bisa menimbulkan kecelakaan untuk dirinya

maupun pendaki lain.

“Nah itu kecelakaan kedua, kecelakaan yang ketiga yang paling saya inget itu, itu

saya diajak temen ke gunung Andong nah dia nganterin temen-temennya saya

ngikut, nah itu lagi saya diajak ketendanya mereka saya ndak mau karena takut

ngeganggu acara mereka, karena kan saya ngikut orang luar istilahnya orang

luar ngikut ya kan, diajak ketenda ndak mau diluar kedinginan, kebetulan saya

bawa bahan bakar, tapi bahan bakarnya bensin, itu salah saya..heheh... itu salah

saya sendiri, eh terusan pas saya mau nyumet, apan itu ee nyalain api iya kan, itu

apinya nyamber ke botol bensin nah saya bingung ini gimana caranya. kemudian

saya injak, botolnya meletot,

“Kalo turun gunung tuh saya sukanya lari, kadang saya sering ndak sabar untuk

nunggu teman-teman saya”.

Pitung:

1. Sejak SMP, Pitung hanya sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali. Pitung mulai

tergabung di dalam komunitas pecinta alam ketika menduduki bangku SMA kelas satu.

Hal tersebut didorong oleh keinginan Pitung sendiri. Pitung sangat tertarik terhadap

kegiatan petualangan yang memacu adrenaline, outbond, dan hal-hal yang

bersinggungan dengan alam.

“Dari SMP Cuma sekedar masuk goa, naik gunung hanya sekali…. Pada

waktu SMA kelas satu, sudah masuk organisasi pecinta alam, memang

keinginan sendiri karena tertarik dengan alam bebas”

2. Pitung pernah mengikuti semua kegiatan rafting, mountainaring, caving, navigation.

Semua kegiatan tersebut memiliki resiko kecelakaan yang tinggi. Pitung menyukai

kegiatan tersebut karena hal tersebut membuatnya hidup dan membuat adrenaline-nya

20

meningkat. Selain itu, semua kegiatan tersebut adalah syarat mengikuti DIKSAR yang

dia inginkan sejak SMP.

“Saya pernah mengikuti semuanya, karena itu syarat mengikuti DIKSAR…

Tertarik kerena memacu adrenalin”

3. Pitung memiliki kebiasaan yang membahayakan saat menuruni gunung, yakni ia seringkali berlari

saat menuruninya. Hal tersebut ia lakukan karena ia merasakan keseruan tersendiri yang

membuatnya merasa senang.

“Wih asik kak kalo turun gunung itu sambil lari.. Senang sekali aku kak! Biasanya

aku lari dulu ke bawah terus nunggu teman-teman, terus nanti lari lagi, nunggu

lagi. Begitu saja terus kak sampai di bawah….”

b) Experience Seeking (ES)

Experience seeking mengacu pada ekspresi individu terhadap pengalaman baru

melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform

dalam berbagai. Gambaran experience seeking kedua partisipan dijabarkan sebagai berikut:

Romli:

1. Romli menyatakan bahwa masing-masing kegiatan mountaineering punya keseruannya

sendiri. Selain naik gunung, Romli mempunyai hobbi photography, theatre dan melukis.

Ada sensasi tersendiri yang dirasakan dari kegiatan-kegiatan tersebut.

“Punya keseruan masing-masing antara naik gunung dan kegiatan yang

lain. “

2. Romli pernah melakukan pendakian sendirian, Romli merasakan kesulitan dan banyak

pelajaran yang dia dapat dari pendakiannya tersebut, seperti; refleksi diri, ketenangan,

21

kemandirian, dan naluri bertahan hidup. Ketenangan yang ia rasakan di gunung

membuatnya sanggup untuk merefleksikan dirinya, bagaimana ia melihat potensi dari

dalam dirinya sendiri.

“Ketika saya sendirian, saya merasa tenang di gunung, saya mendapatkan

sensasi tenang. Saya bisa refleksi diri dan melatih kemampuan survival”

3. Romli seringkali naik gunung sendiri, kira-kira sebanyak lima sampai enam kali. Dia

mendapatkan pengalaman baru. Terkadang ketika kembali ke kota dia merasa jadi anti

sosial dan rindu melihat orang-orang dan teman-temannya.

“Sering naik sendiri, naik sendiri lima sampai enam kali. Dapat pengalaman,

terus pulang-pulang jadi anti social dan kangen sama orang-orang. Kangen tapi

jadi anti sosial”.

Pitung:

1. Pitung tidak pernah kapok, ia tetap melanjutkan sampai selesai karena ia sudah bertekad

dari SMP. Maka, ketika ada kesempatan sewaktu SMA, ia tidak mundur sekalipun terjadi

kecelakaan. Pitung merasa bahwa pengalaman yang diperolehnya saat pra-DIKSAR akan

sia-sia jika ia mundur.

“Karena sudah tekad, jadi saya harus menyelesaikannya. Saya tetap naik

gunung tapi tidak mengikuti latihan fisik, karena penuh luka bakar dari kaki

sampai muka. Saya mengikuti kegiatan fisik kurang lebih dua hari. Waktu

melakukan DIKSAR kurang lebih Sembilan hari. Setelah tes fisik hanya dua hari

setelah itu saya terbakar.”

c) Disinhibition (DIS)

22

Disinhibition merefleksikan perilaku impulsif yang ekstrovert pada individu, meliputi

keinginan yang kuat (desire) untuk melakukan perilaku yang mengandung risiko sosial dan

risiko kesehatan.

Romli:

1. Romli pernah melanggar di bagian NAPSA ketika berada di gunung. Menurut Romli,

alkohol bukan NAPSA, dia hanya membawa bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya

kopi rokok dan ganja. Karena dia menganggap ketiga hal tersebut adalah teman ketika dia

naik gunung. Romli pun pernah menerima tawaran alcohol dan ganja oleh pendaki lain,

hal tersebut membuat dirinya merasa mempunyai teman yang mempunyai kesukaan yang

sama. Merasa bahwa ganja dan alcohol bukan sesuatu yang illegal dimata Romli.

“Saya pernah melanggar di bagian NAPSA… Alkohol bukan NAPSA sih, saya

hanya bawa yang ringan-ringan saja, diantaranya kopi rokok dan ganja.

Karena itu teman, yang temenin ya tiga hal itu…. Saya pernah menerima

tawaran oleh pegunung juga. Paling ganja, minuman dan rokok”.

2. Pernah ada yang mengingatkan untuk tidak membawa ganja, tapi Romli tetap membawa

ganja saat melakukan kegiatan mountaineering secara diam-diam. Dia percaya ketika di

gunung tidak akan ada yang memeriksa barang bawaannya dan Romli yakin bahwa ganja

tidak membuatnya melakukan tindakan criminal atau merugikan orang lain, melainkan

membuatnya merasa tenang saat melakukan pendakian ataupun sedang beristirahat di

gunung.

“Pernah ada yang mengingatkan, tapi saya tetap bawa tapi diam-diam saja. Di

gunung juga tidak ada pemeriksaan kok mas… Saya merasa tenang di gunung,

saya mendapatkan sensasi tenang.”

23

3. Romli merasakan ketenangan dan euphoria saat menggunakan ganja di gunung. Romli pun

menggunakan ganja saat beristirahat di gunung untuk melepaskan lelah, karena ganja membuat

badannya menjadi rileks dan cepat tidur, juga kualitas tidurnya menjadi baik.

“Saya merasa tenang sehabis menghisap ganja, kalau sedang istirahat tidur lebih

enak dan keika bangun badan menjadi lebih segar”.

Pitung:

1. Pitung sudah terbiasa mengkonsumsi minuman keras sebelumnya, selain itu saat ia

berada di gunung minuman beralkohol berfungsi untuk menghangatkan tubuh dan karena

faktor cuaca yang dingin, ia juga pernah menggunakan ganja selama di gunung. Pitung

tidak merasa takut tertangkap saat menggunakan ganja karena pendaki lain juga

melakukannya dan semua pendaki saling mengerti sehingga tidak ada yang melaporkan.

“Kalau minuman keras sudah biasa, untuk menghangatkan juga karena faktor

cuaca yang dingin. Pernah bawa ganja juga… Tidak takut, pendaki lain di

daerah saya banyak yang suka, semua pendaki saling mengerti, kalau ada yang

mau melaporkan juga tidak aka nada yang mau menangkap di atas gunung.”

2. Pitung pernah naik gunung hanya untuk bersenang-senang saja dan pesta pora di Gunung

Kaba bersama teman-temannya karena menurut Pitung, Gunung Kaba mudah untuk

dijangkau dan medannya tidak terlalu sulit.

“Pernah, di Kaba kita paling banyak hanya senang-senang saja”

3. Pitung merasa lebih santai dan bebannya menjadi hilang saat menggunakan ganja di gunung.

Pitung jadi lebih banyak senyum dan tidak memikirkan kelalahan fisik pada saat pendakian selain

24

itu pitung menjadi cepat lapar sehingga ia sering mengkonsumsi makanan dan minuman hal

tersebut membuat daya tahan tubuh Pitung tetap terjaga selama di gunung.

“Wiih.. enak bener kak… Jadi rileks, santai, rasanya happy aja terus pengen

cengar-cengir sendiri. Badannya juga jadi nggak kerasa capeknya, malah laper

terus kak, makan aja terus di atas gunung.. Dinginnya jadi nggak berasa di aku

kak…”

d) Boredom Susceptibility (BS)

Pada dimensi boredom susceptibility, yakni dimensi yang mengacu pada perilaku

individu yang antipati terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran

orang-orang yang dapat terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang

membosankan, tidak nampak pada kedua partisipan, baim Romli maupun Pitung. Kedua

patisipan tidak melakukan aktivitas naik gunung ketika mereka sedang merasa bosan dengan

rutinitas yang dijalaninya setiap hari.

Selain empat dimensi yang dikemukakan oleh Zuckerman, peneliti menemukan pula

bahwa melalui kegiatan mountaineering, kedua partisipan mendapatkan modal sosial berupa

jejaring pertemanan baru yang menguntungkan bagi mereka ketika ingin berkunjung atau

melakukan kegiatan naik gunung lain di kemudian hari.

Romli:

”Lha enak kalo naik gunung tuh jadi kenalannya banyak. Pas ke Rinjani

kemarin tuh aduh rame banget, ada yang dari Jakarta mereka, dari

Lampung, semua ketemu disitu. Mana ada satu cewek cantik banget Cuma

belom sempet minta nomernya.. Hehehe. Ya itu sih serunya jadi banyak

temennya”

Pitung:

25

“Itu kak, temenku dari Jogja besok ajak naik lagi… Yang dulu ketemu pas di

Merbabu itu kak.. Kalo sama dia ni aku cocok lah kak, nggak repot

orangnya, mau susah bareng juga. Soalnya pernah kak aku ajak temenku tapi

mikirin dirinya sendiri. Males aku kak kalo gitu. Malah temen-temen yang

ketemu kenal di gunung nah malah cocok sama aku, jadi sering janjian lagi

ketemu kalo pas aku main-main sana”.

PEMBAHASAN

Fokus dalam penelitian ini bermaksud untuk mengetahui gambaran sensation seeking

trait para pendaki gunung (mountaineers). Untuk memahami gambaran tersebut secara

komprehensif, penelitian ini menggunakan pandangan Zuckerman (2007) yang mendapati bahwa

terdapat empat dimensi sensation seeking trait, yakni: thrill and adventure seeking (TAS),

experience seeking (ES), disinhibition (DIS), dan boredom susceptibility (BS).

Thrill and adventure seeking (TAS) merupakan salah satu dimensi dalam sensation

seeking trait yang merefleksikan kebutuhan pendaki gunung untuk melakukan tindakan yang

berisiko dan penuh petualangan yang menawarkan sensasi unik pada tiap pendaki gunung. Hal

ini mempengaruhi dorongan para pendaki gunung untuk melakukan kegiatan yang berisiko

tinggi. Kedua partisipan baik Romli maupun Pitung, menunjukan kecenderungan untuk mencari

sensasi melalui kegiatan-kegiatan yang memicu adrenalin dan berisiko untuk keselamatannya.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya dorongan yang kuat pada kedua partisipan untuk selalu

mencari kegiatan-kegiatan yang berbahaya seperti naik gunung (mountaineering) dengan

ketinggian di atas 2500 mdpl. Meskipun beberapa kali mengalami kecelakaan seperti anggota

tubuh yang terbakar bahan bakar, terperosok ke jurang, tersesat di hutan, kehabisan uang dan

bahan baku pangan dalam perjalanan, baik Romli maupun Pitung tetap menyenangi kegiatan

26

naik gunung karena mereka merasa memiliki gairah hidup saat mendapati adrenalinnya terpacu

melalui kegiatan-kegiatan ekstrim.

Dimensi kedua dalam sensation seeking trait ialah experience seeking (ES) yang

mengekspresikan pencarian pendaki gunung terhadap pengalaman baru (novel experiences)

melalui pemikiran, penginderaan, dan gaya hidup yang tidak konvensional dan tidak konform

dalam berbagai hal. Pencarian pengalaman (experience seeking) juga nampak dalam sensation

seeking trait khususnya pada Romli. Bagi Romli, ia dapat melakukan aktivitas naik gunung

sendiri dan hal itu seringkali ia lakukan karena ketika naik gunung, ia merasakan bahwa dirinya

bisa merefleksikan hidup seolah kembali ke titik nol. Ia pun menyatakan bahwa ia merasakan

ketenangan setiap kali ia berada di gunung. Berbeda dengan Romli, Pitung tidak menunjukkan

pengalaman intrapersonal yang mendalam saat melakukan aktivitas naik gunung. Kedalaman

pengalaman yang dimiliki Romli ini dapat disebabkan karena latar belakang keluarga Romli

yang menganut ajaran agama Buddha yang menjunjung tinggi keseimbangan dan kesatuan tubuh

dengan alam.

Pada dimensi disinhibition (DIS) yang merefleksikan perilaku impulsif dan

mengandung risiko sosial serta kesehatan pada pendaki gunung, baik Romli maupun Pitung

cenderung menunjukkan perilaku ini melalui tindakan mengkonsumsi alkohol dan ganja selama

perjalanan di gunung. Selain itu, pengambilan keputusan baik Romli maupun Pitung tidak

melalui pertimbangan yang matang. Beberapa kali partisipan mengalami kecelakaan fisik

disebabkan oleh kurangnya pertimbangan yang matang dalam memutuskan sesuatu, sebagai

contoh menyalakan api menggunakan bahan bakan cair di tempat yang bukan untuk melakukan

pembakaran di kawasan gunung. Kedua partisipan pun sering mengkonsumsi minuman

beralkohol yang berlebihan di gunung. Mereka merasa aman ketika mengkonsumsi minuman

27

beralkohol, diluar dari fungsi minuman beralkohol dapat menghangatkan badan. Kedua

partisipan bisa mendapatkan teman baru dari kebiasaan menggunakan ganja dan alkohol.

Terkadang mereka ditawarkan oleh pendaki lain untuk bergabung mengkonsumsi ganja dan

alkohol. Sebagai pendaki gunung, ganja dan alkohol sudah tidak asing bagi mereka, menurut

Romli ganja membuatnya lebih tenang ketika berada di alam bebas. Berbeda dengan Pitung,

menurut Pitung ganja membuatnya senang dan membuatnya lebih rileks ketika beristirahat di

gunung.

Studi cross-section yang dilakukan oleh Donohew et al. (2000), mengidentifikasikan

bahwa sensation seeking memiliki peran yang krusial di dalam penyalahgunaan drug dan

alkohol. Individu dengan sensation seeking trait yang tinggi cenderung terlibat dalam situasi

yang berisiko dan terhubung dengan perilaku yang berbahaya. Hasil penelitian ini juga

sependapat dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Crompton (1992) bahwa yang

mempengaruhi perilaku wisatawan adalah tempat tujuan wisata. Individu yang cenderung

mencari hal-hal unik dan baru akan memilih tempat tujuan wisata yang dapat memenuhi

keinginan mereka, misal daerah yang bebas dan fleksibel untuk mereka melakukan hal-hal yang

bertentangan dengan norma.

Boredom Susceptibility (BS) yang merefleksikan perilaku pendaki gunung yang antipati

terhadap pengalaman yang repetitif, pekerjaan yang rutin, kehadiran orang-orang yang dapat

terprediksi, dan reaksi ketidakpuasan terhadap kondisi yang membosankan. Pada kedua

partisipan tidak dorongan untuk melakukan kegiatan mountaineering yang disebabkan karena

kebosanan mereka pada rutinitas sehari-harinya.

Jika dikaji melalui studi neuroscience terkait kematangan otak yang berpengaruh pada

sensation seeking trait, remaja dinyatakan tidak memiliki kendali yang cukup kuat untuk

28

menghambat dorongan pencarian sensasi (Nelson et al. 2002; Steinberg 2008). Namun, hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa usia kedua pasrtisipan yang sudah memasuki tahap

perkembangan dewasa awal, yakni 21 tahun (Pitung) dan 25 tahun (Romli) tidak sejalan dengan

kemampuan kontrol atas impuls pencarian sensasi yang dilakukan partisipan. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa pada kedua partisipan dalam penelitian ini, usia tidak merepresentasikan

kematangan otak dalam hal pengambilan keputusan atas kontrol impuls pencarian sensasi. Hal

ini sejalan dengan penelitian Martin et al (2002) pada remaja usia 11 hingga 14 tahun, tidak

ditemukan korelasi antara usia dan sensation seeking pada remaja. Galvan et al (2007) melalui

penelitiannya terhadap inidividu usia 7 hingga 29 tahun, melaporkan adanya korelasi negatif

yang signifikan antara usia kronologis dengan impulsivitas. Hal ini mengindikasikan bahwa

kontrol impuls terus belanjut dari masa remaja hingga dewasa.

Selain itu, peneliti menemukan fenomena baru mengenai sensation seeking trait pada

pendaki gunung. Kedua partisipan mendapatkan modal sosial dari pengalaman mereka naik

gunung. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang

dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan

terjadinya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002). Terdapat tiga unsur utama dalam modal

sosial adalah trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik), dan interaksi sosial. Trust

(kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain untuk

memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Romli dan Pitung menemukan

teman-teman baru dan saling menukar alamat, Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan mereka

ketika melakukan perjalanan jauh atau luar pulau. Pertemanan mereka dibangun ketika mandaki

gunung bersama atau sewaktu partisipan melakukan DIKSAR dan Jambore. Ada jejaring dan

lingkar pertemanan baru yang terjalin setiap kali partisipan melakukan aktivitas naik gunung.

29

Hal itu memudahkan mereka untuk terus menjalin relasi dan membentuk komunitas untuk

melakukan kegiatan pendakian gunung berikutnya. Perluasan jejaring ini dianggap sebagai

modal sosial yang dimiliki partisipan karena dapat memudahkan pasrtisipan ketika ia berkunjung

ke tempat teman baru yang didapat saat naik gunung.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa sensation seeking trait

kedua partisipan tergambar dalam dimensi thrill and adventure seeking, experience seeking, dan

disinhibition. Pada dimensi boredom susceptibility, tidak ditemukan kecenderungan pada kedua

partisipan. Namun demikian ada kecenderungan bahwa kedua partisipan mendapatkan modal

sosial dalam bentuk jaringan pertemanan yang diperluas sehingga kedua partisipan bisa

menumbuhkan rasa trust (kepercayaan), reciprocal (timbal balik) dan interaksi social dengan

teman yang ditemui ketika melakukan kegiatan mountaineering.

Saran

Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk memilih partisipan dengan usia dan jenis

kelamin yang bervariasi agar data yang diperoleh lebih komprhensif. Perlu dilakukan penelitian

30

lebih lanjut mengenai tipe sensation seeking trait. Minimnya penelitian mengenai sensation

seeking di Indonesia membatasi peneliti dalam mendapatkan tinjauan kepustakaan. Apabila

penelitian mengenai sensation seeking bertambah, maka bertambah pula literatur atau bahan bagi

yang membutuhkan untuk kepentingan penelitian lainnya.

31

DAFTAR PUSTAKA

Burk, S. & Orlick, T. (2004). Mental strategies of elite mount everest climbers. Journal of

Excellence, no.8.

Casey, B. J., Getz, S., & Galvan, A. (2008). The adolescent brain. Developmental Review, 28,

62–77.

Donohew, L., Zimmerman, R., Cupp, P. S., Novak, S., Colon, S., & Abell, R. (2000). Sensation

seeking, impulsive decision-making, and risky sex: Implications for

risk-taking and design of interventions. Personality and Individual Differences,

28, 1079-1091.

Erone. (2010). Materi pengetahuan pecinta alam. Dokumen untuk pengetahuan pecinta alam

pasundan.

Fukuyama, F. (1995). Trust: The social Virtue and The Creation of

Properity. New York: New York Free Press.

Galvan, A., Hare, T., Voss, H., Glover, G., & Casey, B. J. (2007). Risk

taking and the adolescent brain: Who is at risk? Developmental Science,

10, F8–F14

Kompas. (2015). http://regional.kompas.com/read/2015/05/17/20175971/Ini.Foto.Detik-

detik.Sebelum.Eri.Jatuh.ke.Kawah.Merapi. Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.50

WIB.

Liputan 6. (2015). http://news.liputan6.com/read/2129023/detik-detik-tewasnya-mahasiswa-

ugm-di-gunung-semeru. Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.57 WIB

MAHESA. (2010). Materi pencinta alam. Makasar: MAHESA, Universitas Hasanudin.

Malang Pos. (2015). http://malang-post.com/kriminal/101943-pamit-ibu-tidak-lagi-akan-pulang.

Diakses tanggal 8 September 2015 pukul 23.58 WIB.

Martin, C. A., Kelly, T., Rayens, M., Brogli, B., Brenzel, A., Smith, W., et

al. (2002). Sensation seeking, puberty and nicotine, alcohol and marijuana use in

adolescence. Journal of the American Academy of Child and

Adolescent Psychiatry, 41, 1495–1502.

Moleong, L.J. (2004). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Nicholls, L. (2008). „Touching the void‟. Mountains as transitional objects: Climbing as a

defence against anxiety. Psychodynamic Practice, Vol. 14, No. 3.

32

Pucangpendowogear. (2011). Mountaineering. Jakarta 8 Juli 2011.

http://pucangpendowogear.wordpress.com/2011/07/08/mountaineering/

Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta:

Kanisius.

Steinberg, L. (2008). A social neuroscience perspective on adolescent risk

taking. Developmental Review, 28, 78–106.

Stück, M. Balzer, H. Hecht & Schröder, H. (2005) "Psychological and Psychophysiological

Effects of a High-Mountain Expedition to Tibet", Journal of Human Performance in

Extreme Environments: Vol. 8: Iss. 1, Article 4.

Zuckerman, M. (2007). Sensation Seeking And Risk Behavior. Washington DC: American

Psychological Asociation.