Pembinaan

14
10 BAB II LANDASAN TEORITIS A. KONSEP PEMBINAAN Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan akhiran –an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses, perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Secara umum pembinaan diartikan sebagai usaha untuk memberi pengarahan dan bimbingan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Pembinaan merupakan hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, kecakapan di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Berkenaan dengan hal tersebut sesuai dengan Poerwadarminta (1987:182) bahwa “Pembinaan adalah yang dilakukan secara sadar, terencana, teratur dan terarah untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan subjek dengan tindakan pengarahan dan pengawasan untuk mencapai tujuan”. Hal serupa diungkapkan oleh A.Maqun Hardjana (1989:12) yaitu : Pembinaan adalah suatu proses pembelajaran dengan melepaskan hal- hal yang sudah dimilikinya, yang bertujuan untuk membantu dan mengembangkan kecakapan dan pengetahuan yang sudah ada serta mendapatkan kecakapan dan pengetahuan untuk mencapai tujuan hidup, dan kerja yang sudah dijalani secara efektif dan efisien.

description

pengertian pembinaan

Transcript of Pembinaan

Page 1: Pembinaan

10

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. KONSEP PEMBINAAN

Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan

akhiran –an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses,

perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara

berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Secara umum pembinaan diartikan sebagai usaha untuk memberi pengarahan

dan bimbingan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Pembinaan merupakan

hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,

kecakapan di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan

lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan

sikap, kemampuan dan kecakapan. Berkenaan dengan hal tersebut sesuai

dengan Poerwadarminta (1987:182) bahwa “Pembinaan adalah yang

dilakukan secara sadar, terencana, teratur dan terarah untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap dan keterampilan subjek dengan tindakan pengarahan dan

pengawasan untuk mencapai tujuan”. Hal serupa diungkapkan oleh A.Maqun

Hardjana (1989:12) yaitu :

Pembinaan adalah suatu proses pembelajaran dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimilikinya, yang bertujuan untuk membantu dan mengembangkan kecakapan dan pengetahuan yang sudah ada serta mendapatkan kecakapan dan pengetahuan untuk mencapai tujuan hidup, dan kerja yang sudah dijalani secara efektif dan efisien.

Page 2: Pembinaan

11

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa pembinaan terjadi

melalui proses melepaskan hal-hal yang bersifat menghambat, dan

mempelajari pengetahuan dengan kecakapan baru yang dapat meningkatkan

taraf hidup dan kerja yang lebih baik. Pembinaan tersebut menyangkut

kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi,

pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan hasil

yang maksimal. Dalam definisi tersebut secara implisit mengandung suatu

interpretasi bahwa pembinaan adalah segala usaha dan kegiatan mengenai

perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi, pelaksanaan, dan

pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan hasil yang

maksimal. Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja (1988) :

Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan-urutan pengertian, diawali dengan mendirikan, membutuhkan, memelihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha-usaha perbaikan, penyempurnaan, dan mengembangkannya.

Untuk menghindari kepentingan individu dengan kepentingan

organisasi, maka diperlukan pembinaan yang bermuatan suatu tugas, yakni

meningkatkan disiplin dan motivasi yang disebut dengan mendirikan sehingga

menjadi suatu kebutuhan yang akhirnya memelihara atas apa yang didapat

dengan melakukan berbagai perbaikan ke hal yang jauh lebih baik. Merujuk

pada pendefinisian di atas, jika diinterpretasikan lebih jauh, maka pembinaan

didasarkan atas suatu konsensus yang baku dan memiliki sifat berlaku untuk

semua. Pembinaan merupakan suatu perangkat sistem yang harus dijalankan

Page 3: Pembinaan

12

secara fungsional untuk menjamin bertahannya sistem tersebut hingga

mencapai tujuan yang diharapkan.

Dari beberapa definisi pembinaan di atas, jelas bagi kita maksud dari

pembinaan itu sendiri dan pembinaan tersebut bermuara pada adanya

perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya, yang diawali dengan

kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi,

pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan

hasil yang lebih baik.

B. PENDIDIKAN INKLUSIF

Perkembangan pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang

beragam. Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah

sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini

menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai

dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Di samping itu ada pula

bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak

berhasil. Bahkan sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat

diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu baik dari

guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan

individual anak berkelainan, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat

istimewa dapat terpenuhi. Berkenaan dengan hal diatas sependapat dengan

Staub dan Peck (1995) (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan bahwa

”Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat

ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler”. Hal ini menunjukkan

Page 4: Pembinaan

13

bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak

berkebutuhan khusus, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun

gradasinya. Sependapat dengan Sapon-Shevin dalam O’Neil (1995) dan

Sunardi (2002) menyatakan bahwa Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan

pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus

dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman

seusianya.

Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah,

sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus

setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari

semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Benang merah yang dapat ditarik dari adanya variasi pendapat para ahli

diantaranya adalah bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan

khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki. Vaughn, Bos, dan Schumm (2000)

mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian

dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan

layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan

kebutuhan individualnya. Model pendidikan inklusif semakin meluas

pengkajiannya sejak ada pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia

tentang Pendidikan khusus bulan Juni 1994 bahwa Prinsip mendasar dari

pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya

Page 5: Pembinaan

14

belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang

mungkin ada pada mereka.

Telah disinggung pada uraian di muka bahwa pendidikan inklusif

merupakan model pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terkini. Sejak

digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan khusus, ada upaya

kuat melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara terpadu,

bahkan terpadu penuh (inklusif), dengan anak normal di sekolah biasa.

C. KARAKTERISTIK AUTIS

Dalam kamus psikologi umum (1982), autis berarti preokupasi

terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak

berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan

atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis sering

disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri, Schreibman (1988) dan

McLaughin (2002) juga menjelaskan bahwa autis disebut juga “the ultimate

learning disability”. Istilah autis berasal dari kata “auto” yang berarti berdiri

sendiri, Istilah ini diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiater

dari Harvard, Amerika. Istilah autis dipergunakan untuk menunjukkan suatu

gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut

Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain

ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran

dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau

mengajak mereka berkomunikasi. Adapun beberapa definisi autis menurut

Page 6: Pembinaan

15

para ahli, diantaranya menurut Kartono (2000) berpendapat bahwa

”Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak

mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran

dan fantasi sendiri”. Tidak semua anak autis mengalami gejala yang

disebutkan pendapat diatas tergantung dari berat atau tidaknya gejala yang

dialami oleh penyandang autis. Berbeda dengan Supratiknya (1995)

menyebutkan bahwa:

Penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak memberikan respon (tersenyum, dan sebagainya) bila diajak bermain atau bercanda, diberi makanan dan sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran (mendengarkan suara orang tua pun menangis), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit menangkap.

Seperti yang diungkapkan di atas gejala autis timbul sebelum anak

mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini

sudah terlihat sejak lahir, Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa

keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun, yang sangat menonjol

adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi

dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial dalam perkembangannya

yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 -

4 bulan (Andriani, 2003). Jika ibu merangsang bayinya dengan

menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan

berespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin

Page 7: Pembinaan

16

responsive terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya

kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan

memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak

muncul atau sangat kurang pada bayi autis. Ia bersikap acuh tidak acuh dan

seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Ia lebih suka bermain

dengan “dirinya sendiri” atau dengan mainannya.

Secara umum ada beberapa gejala autis yang akan tampak semakin jelas

saat anak telah mencapai usia 3 tahun. Budiman (1998) menjelaskan sejumlah

gangguan meliputi gangguan komunikasi verbal, gangguan dalam interaksi

sosial, gangguan pada perilaku, gangguan pada bidang perasaan atau emosi,

dan gangguan dalam persepsi sensoris. Gangguan dalam komunikasi verbal

maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam

bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti , sering meniru dan mengulang

kata tanpa ia mengerti maknanya. Gangguan dalam bidang interaksi sosial,

seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk

dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri. Gangguan pada bidang perilaku yang

terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan

(deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan

pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton,

kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dan

lainnya yang dibawanya kemana-mana. Gangguan pada bidang

perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi, kadang-

kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering

Page 8: Pembinaan

17

mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit

mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga,

tidak menyukai rabaan dan pelukan. Gejala –gejala tersebut di atas tidak harus

ada semuanya pada setiap anak autis, tergantung dari berat-ringannya

gangguan yang diderita anak.

D. PENANGANAN ANAK AUTIS

Pertanyaan yang sering dilontarkan orang tua adalah apakah anaknya

dapat secara total bebas dari autis. Agak sulit untuk menerangkan pada orang

tua bahwa autis adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable),

namun bisa diterapi (treatable). Wenar (1999) mengemukakan alasan tidak

bisa disembuhkan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kelainan yang

terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala-gejala yang ada dapat

dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur

dengan anak-anak lain secara normal. Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu ; Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan

otak. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur

anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.

Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya. Bicara dan

bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup,

sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang

berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai

prognosis yang lebih baik.

Page 9: Pembinaan

18

Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autis harus dilakukan

dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara

4 – 8 jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu

komunikasi dengan anak. Penanganan penyandang autis memerlukan

kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara

lain psikiater, psikolog neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.

Ada beberapa jenis terapi yang telah dikembangkan akan dijelaskan banyak

jenis terapi yakni terapi melalui pengobatan atau medikamentosa, terapi

psikologis, terapi wicara, fisioterapi, terapi musik, son-rise dan terapi vitamin.

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa yakni terapi dengan memberikan obat dalam

dosis tertentu. Menurut dr. Melly Budiman (1998) pemberian obat pada anak

harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat,

pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat. Perlu

diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap

efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-

hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung

jangka panjang. Pemakaian obat akan sangat membantu untuk memperbaiki

respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata

laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka

pemberian obat dapat dikurangi bahkan dihentikan.

Page 10: Pembinaan

19

2. Terapi psikologis

Terapi psikologis membutuhkan waktu dan kesabaran. Terapi

difokuskan pada upaya meningkatkan kemampuan bahasa, komunikasi, self-

help dan mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki seperti melukai diri

sendiri (self mutilation). Menurut Wenar (1994) terapi psikologis tidak dapat

menyembuhkan anak autis seperti anak normal, tetapi menekankan pada

fungsi individu.

3. Terapi Wicara

Terapi wicara umumnya hampir semua penyandang autis menderita

gangguan bicara dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada

penyandang autis merupakan keharusan. Salah seorang tokoh yang

mengembangkan terapi bicara ini adalah Lovaas pada tahun 1977 yang

menggunakan pendekatan behaviouris-model operant conditioning (dalam

Wenar, 1994). Anak yang mengalami hambatan bicara dilatih dengan proses

pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis.

4. Terapi Musik

Selain itu ada beberapa terapi lainnya yang menjadi alternatif

penanganan penyandang autis menurut pengalaman Sleeuwen ( 1996 ), yaitu

terapi musik meliputi aktivitas menyanyi, menari mengikuti irama dan

memainkan alat musik. Musik dapat sangat bermanfaat sebagai media

mengekspresikan diri, termasuk pada penyandang autis.

Page 11: Pembinaan

20

5. Son- rise

Program berdasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat

pada anak-anak autis. Diciptakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosa

menderita autis tetapi karena program latihan dan stimulasi yang intensif dari

orangtua anak dapat berkembang tanpa tampak adanya tanda-tanda autis.

Program Fasilitas Komunikasi meskipun sebenarnya bukan bentuk terapi,

tetapi program ini merupakan metode penyediaan dukungan fisik kepada

individu dalam mengekspresikan pikiran atau ide-idenya melalui papan

alfabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer.

6. Terapi Vitamin

Terapi vitamin penyandang autis mengalami kemajuan yang berarti

setelah mengkomsumsi vitamin tertentu seperti B6 dalam dosis tinggi yang

dikombinasikan dengan magnesium, mineral dan vitamin lainnya. Diet

Khusus ( Dietary Intervention) yang disesuaikan dengan cerebral allergies

yang diderita penyandang autis.

E. PENANGANAN ANAK AUTIS MELALUI SENI

Banyak terapi yang telah digunakan untuk menangani anak autis,

diantaranya terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik , terapi sosial, terapi

bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan dan terapi visual. Terapi musik

merupakan salah satu bentuk terapi yang dikembangkan di Amerika untuk

penanganan gangguan autis. Musik dalam beberapa bentuk telah digunakan

Page 12: Pembinaan

21

sebagai perantara untuk menyembuhkan orang sakit. Dari awal penemuan ini

sampai kini, penelitian dalam bidang musik dan pengobatan telah digunakan

sejak 15 tahun yang lalu. Musik merupakan medium yang menggerakkan,

menggugah, memberi tenaga serta menghibur jiwa (Bartlet, 1993). Sejak

tahun 1880-an musik diyakini dapat digunakan sebagai sarana untuk

penyembuhan karena musik di anggap sebagai suatu alat yang dapat

membelokkan perhatian dari rasa sakit dan ketidaknyamanan meskipun terapi

holistik yang didasarkan pada konsep ini tampak abstrak. Kenyataannya musik

tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan otak tetapi juga

perkembangan emosi karena musik dapat membantu manusia

mengekspresikan/melepaskan emosi-emosinya.

Musik memberikan kesempatan pada manusia untuk mengendalikan

diri, musik yang iramanya lambat membuat orang merasa rileks,

mempermudah pernapasan dalam dan mendorong pelepasan pikiran dan

perasaan. Para peneliti juga menemukan bahwa musik meningkatkan

kreativitas, memperbaiki kepercayaan diri, mengembangkan keterampilan

sosial, menaikkan perkembangan motorik persepsi dan perkembangan

psikomotor. Menurut Nordoff & Robbins (1985) musik merupakan bahasa

universal yang dapat dipahami dan mempengaruhi emosi setiap orang. Emosi

kita seringkali dipengaruhi oleh suasana hati kita dan ketika kita mendengar

musik maka suasana hati kita akan berubah mengikuti alunan musik tersebut.

Musik tidak hanya berarti bagi orang normal saja tetapi bagi anak-anak

dengan kebutuhan khusus, yaitu anak-anak yang mengalami gangguan

Page 13: Pembinaan

22

perkembangan. Musik dapat menjadi suatu terapi yang dapat membantu

perkembangan anak-anak tersebut.

Terapi musik adalah aplikasi yang unik dari musik yang dapat

digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan menciptakan

perubahan-perubahan yang positif dalam perilaku manusia. Terapi sendiri

berarti suatu usaha yang terencana dalam penyembuhan terhadap pasien.

Menurut Humpall (1990) sebagai terapi, musik dapat diaplikasikan sebagai

intervensi untuk perkembangan kognitif, perkembangan motorik, komunikasi,

dan interaksi sosial.

Terapi musik juga suatu komponen integral kegiatan sekolah khusus

yang diberi kepada siswa - siswi sebagai makhluk pribadi dan sosial dalam

rangka kegiatan bimbingan musik, dan yang terakhir terapi musik dapat

dirumuskan sebagai suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk

menumbuhkan cipta rasa kersa estetik siswa - siswi dalam rangka

mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotoris dan

fisiomotorik secara optimal. Seperti yang dikatakan Soemarno dan

Jenadriyono (2002) Dalam hal ini musik merupakan alat bantu untuk

menumbuhkan kemauan dan dorongan daya kreasi siswa - siswi yang dapat

diarahkan untuk keperluan terapi untuk anak kebutuhan khusus baik secara

psikomotorik maupun fisiomotorik. Hal tersebut diperkuat menurut Farnan

(2005) bahwa:

Perilaku individual dalam kelompok akan memberikan penguatan perilaku propososial seperti bekerjasama dan berpartisipasi dalam melakukan tugas. Kelompok kecil ini maksimal terdiri dari empat orang. Ritme memberikan impuls untuk bertindak dan bertindak

Page 14: Pembinaan

23

bersama dalam kerjasama dalam kelompok, yang membuat interaksi dengan yang lain menjadi lebih baik.”

Semuanya ini menggunakan pendekatan yang proaktif.

Terlihat jelas bahwa musik bisa merangsang penyandang autis untuk

bisa berinteraksi dengan yang lain dengan bermain musik secara berkelompok

yang memerlukan komunikasi satu dengan yang lainnya. Menurut Wigram

dan Gold (2006) dalam New Medical Journal bahwa:

Terapi musik memberi efek dimana anak autis yang dengan keterbatasan dan kelemahannya menjadi kuat dan potensial”. terapi musik memberi pengaruh yang signifikan untuk membentuk perilaku komunikatif pada anak autis, perkembangan bahasa, respon emosional, perkembangan atensi dan kontrol

Seperti hal yang diungkapkan di atas bahwa terapi musik memberi

pengaruh yang signifikan untuk membentuk perilaku komunikatif yang

berpengaruh pada perkembangan bahasa, emosional, perkembangan atensi

dan kontrol. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan terapi musik adalah

suatu usaha bantuan yang merupakan proses terencana dan sistematis dalam

menggunakan musik sebagai media penyembuhan untuk anak penyandang

autis dalam interaksi sosial.