Pembinaan
-
Upload
even-sayuti -
Category
Documents
-
view
258 -
download
3
description
Transcript of Pembinaan
10
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. KONSEP PEMBINAAN
Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke- dan
akhiran –an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses,
perbuatan, cara membina, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Secara umum pembinaan diartikan sebagai usaha untuk memberi pengarahan
dan bimbingan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Pembinaan merupakan
hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
kecakapan di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan
lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan
sikap, kemampuan dan kecakapan. Berkenaan dengan hal tersebut sesuai
dengan Poerwadarminta (1987:182) bahwa “Pembinaan adalah yang
dilakukan secara sadar, terencana, teratur dan terarah untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan subjek dengan tindakan pengarahan dan
pengawasan untuk mencapai tujuan”. Hal serupa diungkapkan oleh A.Maqun
Hardjana (1989:12) yaitu :
Pembinaan adalah suatu proses pembelajaran dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimilikinya, yang bertujuan untuk membantu dan mengembangkan kecakapan dan pengetahuan yang sudah ada serta mendapatkan kecakapan dan pengetahuan untuk mencapai tujuan hidup, dan kerja yang sudah dijalani secara efektif dan efisien.
11
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa pembinaan terjadi
melalui proses melepaskan hal-hal yang bersifat menghambat, dan
mempelajari pengetahuan dengan kecakapan baru yang dapat meningkatkan
taraf hidup dan kerja yang lebih baik. Pembinaan tersebut menyangkut
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi,
pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan hasil
yang maksimal. Dalam definisi tersebut secara implisit mengandung suatu
interpretasi bahwa pembinaan adalah segala usaha dan kegiatan mengenai
perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi, pelaksanaan, dan
pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan hasil yang
maksimal. Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja (1988) :
Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan-urutan pengertian, diawali dengan mendirikan, membutuhkan, memelihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha-usaha perbaikan, penyempurnaan, dan mengembangkannya.
Untuk menghindari kepentingan individu dengan kepentingan
organisasi, maka diperlukan pembinaan yang bermuatan suatu tugas, yakni
meningkatkan disiplin dan motivasi yang disebut dengan mendirikan sehingga
menjadi suatu kebutuhan yang akhirnya memelihara atas apa yang didapat
dengan melakukan berbagai perbaikan ke hal yang jauh lebih baik. Merujuk
pada pendefinisian di atas, jika diinterpretasikan lebih jauh, maka pembinaan
didasarkan atas suatu konsensus yang baku dan memiliki sifat berlaku untuk
semua. Pembinaan merupakan suatu perangkat sistem yang harus dijalankan
12
secara fungsional untuk menjamin bertahannya sistem tersebut hingga
mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari beberapa definisi pembinaan di atas, jelas bagi kita maksud dari
pembinaan itu sendiri dan pembinaan tersebut bermuara pada adanya
perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya, yang diawali dengan
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi,
pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan
hasil yang lebih baik.
B. PENDIDIKAN INKLUSIF
Perkembangan pendidikan inklusif mempunyai pengertian yang
beragam. Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusif adalah
sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. Di samping itu ada pula
bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak
berhasil. Bahkan sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat
diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu baik dari
guru, teman sebaya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individual anak berkelainan, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa dapat terpenuhi. Berkenaan dengan hal diatas sependapat dengan
Staub dan Peck (1995) (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan bahwa
”Pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat
ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler”. Hal ini menunjukkan
13
bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak
berkebutuhan khusus, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun
gradasinya. Sependapat dengan Sapon-Shevin dalam O’Neil (1995) dan
Sunardi (2002) menyatakan bahwa Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan
pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman
seusianya.
Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah,
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus
setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari
semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Benang merah yang dapat ditarik dari adanya variasi pendapat para ahli
diantaranya adalah bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan
khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimiliki. Vaughn, Bos, dan Schumm (2000)
mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian
dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan
layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan
kebutuhan individualnya. Model pendidikan inklusif semakin meluas
pengkajiannya sejak ada pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia
tentang Pendidikan khusus bulan Juni 1994 bahwa Prinsip mendasar dari
pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
14
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.
Telah disinggung pada uraian di muka bahwa pendidikan inklusif
merupakan model pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terkini. Sejak
digulirkannya konsep mainstreaming dalam pendidikan khusus, ada upaya
kuat melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara terpadu,
bahkan terpadu penuh (inklusif), dengan anak normal di sekolah biasa.
C. KARAKTERISTIK AUTIS
Dalam kamus psikologi umum (1982), autis berarti preokupasi
terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata lain lebih banyak
berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan
atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autis sering
disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri, Schreibman (1988) dan
McLaughin (2002) juga menjelaskan bahwa autis disebut juga “the ultimate
learning disability”. Istilah autis berasal dari kata “auto” yang berarti berdiri
sendiri, Istilah ini diperkenalkan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiater
dari Harvard, Amerika. Istilah autis dipergunakan untuk menunjukkan suatu
gejala psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut
Sindrom Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain
ekspresi wajah yang kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran
dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian mereka atau
mengajak mereka berkomunikasi. Adapun beberapa definisi autis menurut
15
para ahli, diantaranya menurut Kartono (2000) berpendapat bahwa
”Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak
mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran
dan fantasi sendiri”. Tidak semua anak autis mengalami gejala yang
disebutkan pendapat diatas tergantung dari berat atau tidaknya gejala yang
dialami oleh penyandang autis. Berbeda dengan Supratiknya (1995)
menyebutkan bahwa:
Penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak memberikan respon (tersenyum, dan sebagainya) bila diajak bermain atau bercanda, diberi makanan dan sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran (mendengarkan suara orang tua pun menangis), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit menangkap.
Seperti yang diungkapkan di atas gejala autis timbul sebelum anak
mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini
sudah terlihat sejak lahir, Seorang ibu yang cermat dapat melihat beberapa
keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun, yang sangat menonjol
adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi
dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial dalam perkembangannya
yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya pada usia 3 -
4 bulan (Andriani, 2003). Jika ibu merangsang bayinya dengan
menggerincingkan mainan dan mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan
berespon dan bereaksi dengan ocehan serta gerakan. Makin lama bayi makin
16
responsive terhadap rangsang dari luar seiring dengan berkembangnya
kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan
memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak
muncul atau sangat kurang pada bayi autis. Ia bersikap acuh tidak acuh dan
seakan-akan menolak interaksi dengan orang lain. Ia lebih suka bermain
dengan “dirinya sendiri” atau dengan mainannya.
Secara umum ada beberapa gejala autis yang akan tampak semakin jelas
saat anak telah mencapai usia 3 tahun. Budiman (1998) menjelaskan sejumlah
gangguan meliputi gangguan komunikasi verbal, gangguan dalam interaksi
sosial, gangguan pada perilaku, gangguan pada bidang perasaan atau emosi,
dan gangguan dalam persepsi sensoris. Gangguan dalam komunikasi verbal
maupun non verbal seperti terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata dalam
bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti , sering meniru dan mengulang
kata tanpa ia mengerti maknanya. Gangguan dalam bidang interaksi sosial,
seperti menghindar kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk
dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri. Gangguan pada bidang perilaku yang
terlihat dari adanya perlaku yang berlebih (excessive) dan kekurangan
(deficient) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif namun dilain waktu terkesan
pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan monoton,
kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu seperti gambar, karet, dan
lainnya yang dibawanya kemana-mana. Gangguan pada bidang
perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati, dan toleransi, kadang-
kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering
17
mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit
mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga,
tidak menyukai rabaan dan pelukan. Gejala –gejala tersebut di atas tidak harus
ada semuanya pada setiap anak autis, tergantung dari berat-ringannya
gangguan yang diderita anak.
D. PENANGANAN ANAK AUTIS
Pertanyaan yang sering dilontarkan orang tua adalah apakah anaknya
dapat secara total bebas dari autis. Agak sulit untuk menerangkan pada orang
tua bahwa autis adalah gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable),
namun bisa diterapi (treatable). Wenar (1999) mengemukakan alasan tidak
bisa disembuhkan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa kelainan yang
terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala-gejala yang ada dapat
dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur
dengan anak-anak lain secara normal. Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu ; Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan
otak. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya. Bicara dan
bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup,
sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang
berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai
prognosis yang lebih baik.
18
Penanganan / intervensi terapi pada penyandang autis harus dilakukan
dengan intensif dan terpadu. Terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara
4 – 8 jam sehari. Selain itu seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu
komunikasi dengan anak. Penanganan penyandang autis memerlukan
kerjasama tim yang terpadu yang berasal dari berbagai disiplin ilmu antara
lain psikiater, psikolog neurolog, dokter anak, terapis bicara dan pendidik.
Ada beberapa jenis terapi yang telah dikembangkan akan dijelaskan banyak
jenis terapi yakni terapi melalui pengobatan atau medikamentosa, terapi
psikologis, terapi wicara, fisioterapi, terapi musik, son-rise dan terapi vitamin.
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa yakni terapi dengan memberikan obat dalam
dosis tertentu. Menurut dr. Melly Budiman (1998) pemberian obat pada anak
harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat,
pemantauan ketat terhadap efek samping dan mengenali cara kerja obat. Perlu
diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap
efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-
hatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung
jangka panjang. Pemakaian obat akan sangat membantu untuk memperbaiki
respon anak terhadap lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata
laksana terapi lainnya. Bila kemajuan yang dicapai cukup baik, maka
pemberian obat dapat dikurangi bahkan dihentikan.
19
2. Terapi psikologis
Terapi psikologis membutuhkan waktu dan kesabaran. Terapi
difokuskan pada upaya meningkatkan kemampuan bahasa, komunikasi, self-
help dan mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki seperti melukai diri
sendiri (self mutilation). Menurut Wenar (1994) terapi psikologis tidak dapat
menyembuhkan anak autis seperti anak normal, tetapi menekankan pada
fungsi individu.
3. Terapi Wicara
Terapi wicara umumnya hampir semua penyandang autis menderita
gangguan bicara dan berbahasa. Oleh karena itu terapi wicara pada
penyandang autis merupakan keharusan. Salah seorang tokoh yang
mengembangkan terapi bicara ini adalah Lovaas pada tahun 1977 yang
menggunakan pendekatan behaviouris-model operant conditioning (dalam
Wenar, 1994). Anak yang mengalami hambatan bicara dilatih dengan proses
pemberian reinforcement dan meniru vokalisasi terapis.
4. Terapi Musik
Selain itu ada beberapa terapi lainnya yang menjadi alternatif
penanganan penyandang autis menurut pengalaman Sleeuwen ( 1996 ), yaitu
terapi musik meliputi aktivitas menyanyi, menari mengikuti irama dan
memainkan alat musik. Musik dapat sangat bermanfaat sebagai media
mengekspresikan diri, termasuk pada penyandang autis.
20
5. Son- rise
Program berdasarkan pada sikap menerima dan mencintai tanpa syarat
pada anak-anak autis. Diciptakan oleh orangtua yang anaknya didiagnosa
menderita autis tetapi karena program latihan dan stimulasi yang intensif dari
orangtua anak dapat berkembang tanpa tampak adanya tanda-tanda autis.
Program Fasilitas Komunikasi meskipun sebenarnya bukan bentuk terapi,
tetapi program ini merupakan metode penyediaan dukungan fisik kepada
individu dalam mengekspresikan pikiran atau ide-idenya melalui papan
alfabet, papan gambar, mesin ketik atau komputer.
6. Terapi Vitamin
Terapi vitamin penyandang autis mengalami kemajuan yang berarti
setelah mengkomsumsi vitamin tertentu seperti B6 dalam dosis tinggi yang
dikombinasikan dengan magnesium, mineral dan vitamin lainnya. Diet
Khusus ( Dietary Intervention) yang disesuaikan dengan cerebral allergies
yang diderita penyandang autis.
E. PENANGANAN ANAK AUTIS MELALUI SENI
Banyak terapi yang telah digunakan untuk menangani anak autis,
diantaranya terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik , terapi sosial, terapi
bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan dan terapi visual. Terapi musik
merupakan salah satu bentuk terapi yang dikembangkan di Amerika untuk
penanganan gangguan autis. Musik dalam beberapa bentuk telah digunakan
21
sebagai perantara untuk menyembuhkan orang sakit. Dari awal penemuan ini
sampai kini, penelitian dalam bidang musik dan pengobatan telah digunakan
sejak 15 tahun yang lalu. Musik merupakan medium yang menggerakkan,
menggugah, memberi tenaga serta menghibur jiwa (Bartlet, 1993). Sejak
tahun 1880-an musik diyakini dapat digunakan sebagai sarana untuk
penyembuhan karena musik di anggap sebagai suatu alat yang dapat
membelokkan perhatian dari rasa sakit dan ketidaknyamanan meskipun terapi
holistik yang didasarkan pada konsep ini tampak abstrak. Kenyataannya musik
tidak hanya membawa dampak positif bagi perkembangan otak tetapi juga
perkembangan emosi karena musik dapat membantu manusia
mengekspresikan/melepaskan emosi-emosinya.
Musik memberikan kesempatan pada manusia untuk mengendalikan
diri, musik yang iramanya lambat membuat orang merasa rileks,
mempermudah pernapasan dalam dan mendorong pelepasan pikiran dan
perasaan. Para peneliti juga menemukan bahwa musik meningkatkan
kreativitas, memperbaiki kepercayaan diri, mengembangkan keterampilan
sosial, menaikkan perkembangan motorik persepsi dan perkembangan
psikomotor. Menurut Nordoff & Robbins (1985) musik merupakan bahasa
universal yang dapat dipahami dan mempengaruhi emosi setiap orang. Emosi
kita seringkali dipengaruhi oleh suasana hati kita dan ketika kita mendengar
musik maka suasana hati kita akan berubah mengikuti alunan musik tersebut.
Musik tidak hanya berarti bagi orang normal saja tetapi bagi anak-anak
dengan kebutuhan khusus, yaitu anak-anak yang mengalami gangguan
22
perkembangan. Musik dapat menjadi suatu terapi yang dapat membantu
perkembangan anak-anak tersebut.
Terapi musik adalah aplikasi yang unik dari musik yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan menciptakan
perubahan-perubahan yang positif dalam perilaku manusia. Terapi sendiri
berarti suatu usaha yang terencana dalam penyembuhan terhadap pasien.
Menurut Humpall (1990) sebagai terapi, musik dapat diaplikasikan sebagai
intervensi untuk perkembangan kognitif, perkembangan motorik, komunikasi,
dan interaksi sosial.
Terapi musik juga suatu komponen integral kegiatan sekolah khusus
yang diberi kepada siswa - siswi sebagai makhluk pribadi dan sosial dalam
rangka kegiatan bimbingan musik, dan yang terakhir terapi musik dapat
dirumuskan sebagai suatu usaha mendidik melalui pelajaran musik untuk
menumbuhkan cipta rasa kersa estetik siswa - siswi dalam rangka
mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotoris dan
fisiomotorik secara optimal. Seperti yang dikatakan Soemarno dan
Jenadriyono (2002) Dalam hal ini musik merupakan alat bantu untuk
menumbuhkan kemauan dan dorongan daya kreasi siswa - siswi yang dapat
diarahkan untuk keperluan terapi untuk anak kebutuhan khusus baik secara
psikomotorik maupun fisiomotorik. Hal tersebut diperkuat menurut Farnan
(2005) bahwa:
Perilaku individual dalam kelompok akan memberikan penguatan perilaku propososial seperti bekerjasama dan berpartisipasi dalam melakukan tugas. Kelompok kecil ini maksimal terdiri dari empat orang. Ritme memberikan impuls untuk bertindak dan bertindak
23
bersama dalam kerjasama dalam kelompok, yang membuat interaksi dengan yang lain menjadi lebih baik.”
Semuanya ini menggunakan pendekatan yang proaktif.
Terlihat jelas bahwa musik bisa merangsang penyandang autis untuk
bisa berinteraksi dengan yang lain dengan bermain musik secara berkelompok
yang memerlukan komunikasi satu dengan yang lainnya. Menurut Wigram
dan Gold (2006) dalam New Medical Journal bahwa:
Terapi musik memberi efek dimana anak autis yang dengan keterbatasan dan kelemahannya menjadi kuat dan potensial”. terapi musik memberi pengaruh yang signifikan untuk membentuk perilaku komunikatif pada anak autis, perkembangan bahasa, respon emosional, perkembangan atensi dan kontrol
Seperti hal yang diungkapkan di atas bahwa terapi musik memberi
pengaruh yang signifikan untuk membentuk perilaku komunikatif yang
berpengaruh pada perkembangan bahasa, emosional, perkembangan atensi
dan kontrol. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan terapi musik adalah
suatu usaha bantuan yang merupakan proses terencana dan sistematis dalam
menggunakan musik sebagai media penyembuhan untuk anak penyandang
autis dalam interaksi sosial.