PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP … · penyebab kematian kedua di Indonesia setelah Infark...
Transcript of PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP … · penyebab kematian kedua di Indonesia setelah Infark...
PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP
PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Ny. S DENGAN HIPERTENSI
DI RUANG MAWAR 1 RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH KARANGANYAR
DISUSUN OLEH :
DESIANA MARTHA NURYUDHAYANTI
P. 12 075
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP
PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Ny. S DENGAN HIPERTENSI
DI RUANG MAWAR 1 RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH KARANGANYAR
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
DESIANA MARTHA NURYUDHAYANTI
P. 12 075
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “ Pemberian Terapi Musik Klasik terhadap
Penurunan Tekanan Darah pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan
Hipertensi di Ruang Mawar I Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar “
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. S.Dwi Sulisetyawati,S.Kep.,Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing
sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat,
memberikan masukan-masukan , inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
4. Atiek Murharyati,S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji I yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Intan Maharani S. Batubara, S.Kep.,Ns, selaku dosen penguji II yang
telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan,
inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi
sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orang tuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan Stikes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan
spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, Juni 2015
Penulis
vi
Daftar Isi
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………………… ii
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................ v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… ix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………... x
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………... xi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................................ 5
C. Manfaat Penulisan ....................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7
A. Tinjauan Teori ............................................................................ 7
1. Hipertensi ............................................................................... 7
2. Tekanan Darah ....................................................................... 29
3. Terapi Musik .......................................................................... 33
B. Kerangka Teori ......................................................................... 45
C. Kerangka Konsep ..................................................................... 46
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET ............... 47
vii
A. Subjek Aplikasi Riset .............................................................. 47
B. Tempat dan Waktu .................................................................. 47
C. Media atau Alat yang digunakan ............................................. 47
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset .......................... 47
E. Alat ukur evaluasi tindakan aplikasi riset ................................ 47
BAB IV LAPORAN KASUS .................................................................... 48
A. Identitas klien .......................................................................... 48
B. Pengkajian ............................................................................... 48
C. Analisa Data ............................................................................. 54
D. Intervensi Keperawatan ............................................................ 55
E. Implementasi Keperawatan ..................................................... 57
F. Evaluasi Keperawatan ............................................................... 62
BAB V PEMBAHASAN ......................................................................... 66
A. Pengkajian ............................................................................... 66
B. Perumusan masalah keperawatan ............................................ 70
C. Intervensi Keperawatan ............................................................ 76
D. Implementasi Keperawatan ..................................................... 79
E. Evaluasi Keperawatan ............................................................. 81
BAB VI PENUTUP ................................................................................... 87
A. Kesimpulan ............................................................................. 87
B. Saran ........................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Tabel 2.1 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hipertensi…………….. 9
2 Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi…………………………………… 10
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Gambar 2.1 Kerangka Teori ................................................................ 42
2 Gambar 2.2Kerangka Konsep ............................................................. 43
x
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : USULAN JUDUL APLIKASI JURNAL
LAMPIRAN 2 : SURAT PERNYATAAN
LAMPIRAN 3 : JURNAL KEPERAWATAN UTAMA
LAMPIRAN 4 : JURNAL PENDAMPING
LAMPIRAN 5 : LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
LAMPIRAN 6 : LEMBAR LOG BOOK
LAMPIRAN 7 : LEMBAR PENDELEGASIAN
LAMPIRAN 8 : LEMBAR KONSULTASI
LAMPIRAN 9 : LEMBAR CHEKLIST
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-
menerus lebih dari satu periode. Konstriksi arteriole membuat darah
sulit untuk mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding
arteri (Grey, et al, 2003).
WHO (Badan Kesehatan Dunia) menyatakan bahwa batasan
tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg,
sedangkan tekanan darah ≥160/95 mmHg dinyatakan sebagai
hipertensi (Udjianti, 2010). Salah satu penyakit kardiovaskuler yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang umum dan merupakan
penyebab kematian kedua di Indonesia setelah Infark Myocard
Acute (AMI) adalah hipertensi. Berdasarkan data Global Burden of
Disease (GBD) tahun 2000, sebanyak 50% dari penyakit
kardiovaskuler disebabkan oleh hipertensi (Grey, et al., 2003).
The National Health and Nutrition Examination Survey
(NHNES) menunjukan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden
hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-
65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta
1
2
dari data NHNES tahun 1988-1991, hipertensi esensial sendiri
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Sudoyo, 2006).
Hipertensi menempati peringkat ke-2 dari 10 penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2006 dengan
prevalensi sebesar 4,67% di indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar
(2007) juga menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia
berkisar 30% lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-
laki (48%) (Depkes, 2008 dalam Musayaroh, 2011).
Prevalensi kasus hipertensi di Provinsi Jawa Tengah mengalami
peningkatan dari 1,87% pada tahun 2006, menjadi 2,02% pada tahun
2007, dan 3,30% pada tahun 2008. Prevalensi sebesar 3,30% artinya
setiap 100 orang terdapat 3 orang penderita hipertensi primer.
Peningkatan kasus ini disebabkan antara lain karena rendahnya
kesadaran masyarakat untuk memeriksakan tekanan darah secara
dini tanpa harus menunggu adanya gejala. Paparan faktor resiko pola
makan yang tidak sehat dan kurangnya olahraga juga bisa memicu
peningkatan kasus tersebut (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2008).
Menurut catatan medik di RSUD Karanganyar pada tahun 2014
didapatkan penderita hipertensi sebanyak 996 pasien, dan pada bulan
Februari 2015 di ruang Mawar 1 sebanyak 83 pasien.
Gejala klinis yang dialami oleh penderita hipertensi diantaranya
adalah pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak
nafas, rasa berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, dan
3
mimisan (Adinil, 2004). Oleh karena itu, hipertensi harus segera
ditangani.
Pengobatan farmakologi pada penderita hipertensi yaitu diuretik,
penghambat simpatetik, betabloker, vasodilator, ACE inhibitor,
penghambat reseptor angitensi II pada reseptor sehingga memperingan
daya pompa jantung, antagonis kalsium. Sedangkan penatalaksanaan
non farmakologis pada penderita hipertensi yaitu memodifikasi gaya
hidup (Ridwanamiruddin, 2007). Diantaranya mempertahankan berat
badan ideal, kurangi asupan natrium (sodium), batasi konsumsi
alkohol, makan K dan Ca yang cukup dari diet, menghindari rokok,
penurunan stress, terapi masase (pijat), terapi musik klasik
(Radmarssy, 2007).
Terapi musik adalah suatu proses yang terencana, bersifat
preventif dalam usaha penyembuhan terhadap penderita yang
mengalami gangguan fisik motorik, sosial emosional maupun mental
intelegensi. Terapi musik secara umum bertujuan untuk membuat hati
dan perasaan seseorang menjadi senang dan terhibur, membantu
mengurangi beban penderitaan seseorang, dan tempat penyaluran bakat
seseorang. Mendengarkan musik diharapkan dapat merangsang dan
menarik penderita untuk mengikuti alur irama yang selanjutnya
menciptakan suasana santai, gembira yang pada akhirnya adanya
perubahan yang positif (Pillie & Chair, 2002, Musayaroh, 2011).
4
Rangsangan musik pada terapi musik ternyata mampu
mengaktivasi sistem limbik yang berhubungan dengan emosi. Saat
sistem limbik teraktivasi, otak menjadi rileks, kondisi inilah
yang memicu tekanan darah menurun. Alunan musik dalam terapi
musik juga dapat menstimulasi tubuh untuk memproduksi molekul
nitric oxide (NO). Molekul ini bekerja pada tonus pembuluh darah
yang dapat mengurangi tekanan darah (Sirait, 2007, Yakin, 2010).
Namun, musik untuk penyembuhan tidak asal sembarang musik, hanya
lagu yang tepat yang bisa menyembuhkan. Pilih jenis musik yang
bersifat rileks dengan tempo sekitar 60 ketukan per menit seperti musik
klasik karya Mozart.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Suherly,
Ismonah, dan Wulandari Meikawati pada bulan November 2011
sebanyak 28 responden menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekanan
darah setelah pemberian terapi musik klasik sebanyak 5 % atau 9-10
mmHg dari tekanan darah sebelumnya (Suherly.M dkk, 2011). Hasil
studi pendahuluan di Ruang Mawar 1 RSUD Karanganyar didapatkan
80% pasien hipertensi mengeluh pusing. Telah didapatkan informasi dari
perawat ruangan, bahwa hanya sebagian perawat saja yang melakukan
terapi musik klasik kepada pasien hipertensi untuk menurunkan tekanan
darah. Hasil observasi yang didapatkan pada Ny. S dengan hipertensi
tekanan darah meningkat 170/110 mmHg, kepala pusing, dan kepala
terasa panas.
5
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membuat karya
tulis ilmiah berdasarkan aplikasi riset yang berjudul Pemberian Terapi
Musik Klasik terhadap Penurunan Tekanan Darah pada Asuhan
Keperawatan Ny. S dengan Hipertensi di Ruang Mawar 1 Rumah Sakit
Umum Daerah Karanganyar.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan pemberian terapi musik klasik terhadap
penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi.
2. Tujuan Khusus
a) Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan
hipertensi.
b) Penulis mampu melakukan diagnosa keperawatan pada pasien
hipertensi.
c) Penulis mampu menyusun rencana tindakan keperawatan pada
pasien hipertensi.
d) Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan
hipertensi.
e) Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan
hipertensi.
f) Penulis mampu menganalisa hasi pemberian terapi musik
klasik pada pasien hipertensi.
6
C. Manfaat pemberian terapi musik klasik pada pasien hipertensi
1. Bagi Pasien
Hasil aplikasi riset diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan mengenai manfaat mendengarkan musik klasik.
2. Bagi Rumah Sakit
Hasil aplikasi riset diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan bagi para pasien penderita hipertensi mengenai
manfaat mendengarkan musik klasik.
3. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil aplikasi riset ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan mahasiswa dijurusan keperawatan sebagai
pelayanan kepada masyarakat mengenai pengaruh musik klasik
terhadap penderita hipertensi.
4. Bagi Penulis
Dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam
penanganan alami penderita hipertensi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan teori
1. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan
peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian atau
mortalitas. Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada 2 fase dalam
setiap denyut jantung yaitu fase sistolik 140 mmHg menunjukkan fase
darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase diastolik 90 mmHg
menunjukan fase darah yang kembali ke jantung (Endang, 2014).
Hipertensi adalah kondisi abnormal dari hemodinamik, dimana
menurut WHO tekanan sistolik >140 mmHg dan atau tekanan diastolik
>90 mmHg (untuk usia <60 tahun) dan tekanan sistolik >160 mmHg
dan atau tekanan diastolik >95 mmHg (untuk usia >60 tahun) (Taufan,
2011).
b. Klasifikasi
1) Klasifikasi Berdasarkan Etiologi :
a) Hipertensi Esensial (Primer)
Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana
sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara pasti.
Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam terjadinya
7
8
hipertensi esensial, seperti: faktor genetik, stress dan
psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan
penggunaan garam dan berkurangnya asupan kaliun dan
kalsium).
Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-
satunya tanda hipertensi primer. Umumnya gejala baru terlihat
setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti ginjal,
mata, otak dan jantung.
b) Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder, penyebab, dan patofisiologi dapat
diketahui dengan jelas sehingga lebih mudah untuk
dikendalikan oleh obat-obatan. Penyebab hipertensi sekunder
diantaranya berupa kelainan ginjal seperti tumor, diabetes,
kelainan adrenal, kelainan aorta, kelainan endokrin lainnya
seperti obesitas, resistensi insulin, hiperteroidisme, dan
pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi oral dan
kortikosteroid.
2) Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hipertensi
a) Berdasarkan JNE VII :
Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi (sumber: JNE VII, 2003).
Derajat Tekanan sistolik mmHg Tekanan diastolik mmHg
Normal <120 Dan <80
Pre – hipertensi 120-139 Atau 80-89
9
Hipertensi derajat I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi derajat II >160 >100
b) Menurut European Society of Cardiology :
Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi (sumber: ESC, 2007).
Kategori Tekanan Sistolik
(mmHg)
Tekanan Diastolik
(mmHg)
Optimal <120 Dan <80
Normal 120-129 Dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 Dan/atau 85-89
Hipertesi derajat I 140-159 Dan/atau 90-99
Hipertesi derajat II 160-179 Dan/atau 100-109
Hipertesi derajat III >180 Dan/atau >110
Hipertensi Sistolik
terisolasi
>190 Dan <90
c. Etiologi
Hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR) (Corwin, 2000).
Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan
abnormal saraf atau hormone pada nodus SA. Peningkatan kecepatan
denyut jantung yang berlangsung krooni sering menyertai keadaan
hiperteroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung
biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup sehingga
tidak menimbulkan hipertensi.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat
terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang
berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh
10
ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan
renin atau adosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat
mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume
plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir
sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah.
Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
sistolik. Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada
peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa secara lebih
kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar,
untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit.
Hal ini disebabkan peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan
afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai
mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan
ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus
mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi, sarat-sarat otot jantung juga mulai
tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan
penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.
11
d. Patofisiologi
Kapasitas mengenai patofisiologi hipertensi masih dipenuhi
ketidakpastian. Sejumlah kecil pasien (antara 2% dan 5%) memiliki
penyakit dasar ginjal atau adrenal yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Namun, masih belum ada penyebab tunggal yang dapat
diidentifikasi dan kondisi inilah yang disebut sebagai “hipertensi
esensial”. Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan
tekanan darah normal, yang kemudian dapat turut berperan dalam
terjadinya hipertensi esensial.
Beberapa faktor yang saling berhubungan mungkin juga turut
serta menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi,
dan peran mereka berbeda pada setiap individu. Diantara faktor-faktor
yang telah dipelajari secara intensif adalah asupan garam, obesitan dan
esistensi insulin, sistem renin-angiotensi, dan sistem saraf simpatis.
Pada beberapa tahun belakangan, faktor lainnya telah dievalus,
termasuk genetic disfungsi endotel (yang tampak pada perubahan
endotelindan nitrat oksida).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut
kebawah kekorda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ke
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui saraf
12
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asekilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai
faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla
adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi.
Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensi I yang
kemudian diubah menjadi angiotensi II, suatu vasokonstriktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosterone oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tulubus
ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung pencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
darah parifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang
13
terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang ada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan
arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan parifer (Brunner &
Suddarth, 2005).
e. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain
tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada
retina, seperti pendarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan
pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada
diskus optikus).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menempatkan
gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukkan adanya
kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ
yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan
patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma (peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin). Keterlibatan pembuluh
darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien
yang bermanifestasi sebagai paralysis sementara pada satu sisi
14
(hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan (Brunner & Suddart,
2005).
Sebagian besar gejala klinis timbul seperti (Crowin, 2000) :
1) Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan
muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
2) Pengelihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
3) Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat.
4) Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus.
5) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler.
f. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologis dengan modifikasi gaya
hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati
tekanan darah tinggi (Ridwanamiruddin, 2007). Penatalaksanaan
hipertensi dengan non farmakologis terdiri dari berbagai macam
cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu:
a) Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan ideal sesuai Body Mass
Index (BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/m2 ( Kaplan, 2006 ).
15
BMI dapat di ketahui dengan membagi berat badan anda
dengan tinggi badan anda yang telah dikuadratkan dalam
satuan meter. Mengatasi obesitas (kegemukan) juga dapat
dilakukan dengan melakukan diet rendah kolesterol namun
kaya dengan serat dan protein (Pfizerpeduli.com), dan jika
berhasilkan menurunkan berat badan 2,5-5 kg maka tekanan
darah diastolik dapat diturunkan sebanyak 5 mmHg
(Radmarssy, 2007).
b) Kurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan natrium dapat dilakukan dengan cara
diet rendah garam yaitu tidak lebih dari 100mmol/hari (kira-
kira 6gr NaCl atau 2,4 gr gram / hari ) (kalpan, 2006). Jumlah
yang lain dengan mengurangi asupan garam sampai kurang dari
2300 mg (1 sendok teh ) setiap hari. Pengurangan konsumsi
garam menjadi ½ sendok teh/hari, dapat menurunkan tekanan
sistolik sebanyak 5 mmHg dan tekanan diastolik sekitar 2,5
mmHg (Radmarssy, 2007).
c) Batasi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol
berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah. Para peminum
berat mempunyai resiko mengalami hipertensi empat kali lebih
besar daripada mereka yang tidak minum minuman berakohol
(Radmarssy, 2007)
16
d) Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Pertahankan asupan diet potassium (>90 mmol
(3500mg)/hari) dengan cara konsumsi diet tinggi buah dan
sayur dan diet rendah lemak dengan cara mengurangi asupan
lemak jenuh dan lemak total (Kaplan, 2006). Kalium dapat
menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan natrium yang
terbuang bersama air kencing. Dengan setidaknya
mengonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam sehari,
seseorang bisa mencapai asupan potassium yang cukup
(Radmarssy, 2007).
e) Menghindari Rokok
Merokok memang tidak berhubungan secara langsung
dengan timbulnya hipertensi, tetapi merokok dapat
meningkatkan resiko komplikasi pada pasien hipertensi seperti
penyakit jantung dan stroke, maka perlu dihindari
mengkonsumsi tembakau (rokok) karena dapat memperberat
hipertensi (Dali Martha, 2008).
Nikotin dalam tembakau membuat jantung bekerja lebih keras
karena menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan
frekuensi denyut jantung serta tekanan darah (Sheps, 2005).
Maka pada penderita hipertensi dianjurkan untuk menghentikan
kebiasaan merokok (Pfizerpeduli.com).
17
f) Penurunan Stress
Stress memang tidak menyebutkan hipertensi yang
menetap namun jika episode stress sering terjadi dapat
menyebabkan kenaikan sementara yang sangat tinggi (Sheps,
2005). Menghindari stress dengan menciptakan suasana yang
menyenangkan bagi penderita hipertensi dan memperkenalkan
berbagai metode relaksasi seperti yoga atau meditasi yang
dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya dapat menuunkan
tekanan darah (pfizerpeduli.com).
g) Terapi Masasse (pijat)
Pada prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita
hipertensi adalah untuk memperlancar aliran energi dalam
tubuh sehingga gangguan hipertensi dan komplikasinya dapat
diminimalisir, ketika semua jalur energi terbuka tidak lagi
terhalang oleh ketegangan otot dan hambatan lain maka resiko
hipertensi dapat ditekan (Dali Martha, 2008)
h) Terapi Musik Klasik
Terapi musik secara umum bertujuan untuk membuat
hati dan perasaan seseorang menjadi senang dan terhibur,
membantu mengurangi beban penderitaan seseorang, dan
tempat penyaluran bakat seseorang. Mendengarkan musik
diharapkan dapat merangsang dan menarik penderita untuk
mengikuti alur irama yang selanjutnya menciptakan suasana
18
santai, gembira yang pada akhirnya adanya perubahan yang
positif (Pillie & Chair, 2002, dalam Musayaroh, 2011). Terapi
musik diketahui bahwa rangsangan musik ternyata mampu
mengaktivasi sistem limbik yang berhubungan dengan emosi.
Saat sistem limbik teraktivasi, otak menjadi rileks, kondisi
inilah yang memicu tekanan darah menurun. Terapi musik,
alunan musik juga dapat menstimulasi tubuh untuk
memproduksi molekul nitric oxide (NO). Molekul ini bekerja
pada tonus pembuluh darah yang dapat mengurangi tekanan
darah (Sirait, 2007, dalam Yakin, 2010).
2) Pengobatan farmakologi
a) Diuretic (Hidroklorotiazid)
Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan di tubuh
berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi
lebih ringan.
b) Penghambat Simpatetik (Metildopa, Klonidin, dan reserpin)
Menghambat aktifitas saraf simpatis
c) Betabloker (Metoprolol, Propanolol, dan atenolol)
1) Menurunkan daya pompa jantung.
2) Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial.
3) Pada penderita diabetes mellitus: dapat menutup gejala
hipoglikemia.
19
d) Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos pembuluh darah.
e) ACE inhibitor (Captropil)
1) Menghambat pembentukan zat angiotensi II.
2) Efek samping : Batuk kering, pusing, sakit kepala, dan
lemas.
f) Penghambat reseptor angitensi II pada reseptor sehingga
memperingan daya pompa jantung.
g) Antagonis Kalsium ( Diltiasem dan Verapemil ).
Menghambat Kontraksi Jantung ( Kontraktilitas ).
g. Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi,
maka dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri
didalam tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri
tersebut. Komplikasi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut :
1) Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung
dan penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban
kerja jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendor dan
berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya,
jantung tidak mampu lagi memompa sehingga banyak cairan
tertahan diparu maupun jarinngan tubuh lain yang dapat
20
menyebabkan sesak nafas dan oedema, kondisi ini disebut gagal
jantung.
2) Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke,
apabila tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
3) Ginjal
Tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan ginjal. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem penyaringan
didalam ginjal akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu
membuang zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk
melalui aliran darah dan terjadi penumpukan didalam tubuh.
4) Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati
hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan (Yahya, 2005).
h. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis
1) Pengkajian
a) Data biografi : Nama, alamat, umur, tanggal MRS, diagnosa
medis penanggung jawab, catatan kedatangan.
b) Riwayat Kesehatan
(1) Keluhan utama: biasanya pasien dating ke RS dengan
keluhan kepala terasa pusing dan bagian kuduk
terasa berat, tidak bias tidur.
21
(2) Riwayat kesehatan sekarang: biasanya pada saat dilakukan
pengkajian pasien masih mengeluh kepala terasa pusing
dan berat, pengelihatan berkunang-kunang, tidak bias tidur.
(3) Riwayat kesehatan dahulu: biasanya penyakit hipertensi ini
adalah penyakit yang menahun yang sudah lama dialami
oleh pasien, dan biasanya pasien mengonsumsi obat rutin
seperti captropil.
c) Data dasar pengkajian
(1) Aktivitas atau istirahat
Gejala: kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
monoton.
Tanda: frekuensi jantung meningkat, perubahan irama
jantung, takipnea.
(2) Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung
coroner, penyakit serebrovaskuler.
Tanda: Kenaikan TD, hipotensi postural, takhikardi,
perubahan warna kulit, suhu dingin.
(3) Integritas ego
Gejala: riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi,
euphoria, faktor stress multiple.
22
Tanda: letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue
perhatian, tengisan yang meledak, otot muka tegang
pernafasn menghela, peningkatan pola bicara.
(4) Eliminasi
Gejala: gangguan ginjal saat ini atau yang lalu.
(5) Makanan atau cairan
Gejala: makanan yang disukai yang dapat mencankup
makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol.
Tanda: BB normal atau Obesitan, adanya edema.
(6) Neurosensori
Gajala: keluhan pusing atau pening, sakit kepala, berdenyut
sakit kepala ,berdenyut, gangguan pengelihatan, episode
epistaksis.
Tanda: perubahan orientasi, penurunan kekuatan
genggaman, perubahan retinal optik.
(7) Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala: angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit
kepala oksipital berat, nyeri abdomen.
(8) Pernafasan
Gejala: dipsnea yang berkaitan dengan aktivitas, tekipnea,
ortopnea, dyspnea nocturnal proksimal, batuk dengan atau
tanpa sputum, riwayat, merokok.
23
Tanda: distress respirasi atau penggunaan otot aksesoris
pernafasan, bunyi nafas tambahan, sianosis.
(9) Keamanan
Gejala: gangguan koordinasi, cara jalan.
Tanda: episode parastesia unilateral transien, hipotensi
postural.
(10) Pembelajaran atau penyuluhan
Gejala: faktor resiko keluarga: hipertensi, ateroskierosis,
penyakit jantung, DM, penyakit ginjal, faktor resiko etnik,
penggunan pil KB atau hormon.
2) Diagnosa Keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard,
hipertropi ventricular.
b) Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler ventricular.
c) Potensial perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung,
berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
d) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan perawatan diri.
3) Rencana Asuhan Keperawatan
24
a) Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan
dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard,
hipertropi ventricular.
Tujuan: setelah di lakukan intervensi keperawatan selama 3x24
apkan afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi,
tidak terjadi iskemia miokard.
Hasil yang diharapkan:
(1) Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan
darah.
(2) Mempertahankan tekanan darah dalam rentang yang dapat
diterima.
(3) Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil.
Intervensi:
(1) Pantau tekanan darah, ukur pada kedua tangan, gunakan
manset dan teknik yang tepat.
(2) Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan parifer.
(3) Auskultasi tonus jantung dan bunyi nafas.
(4) Amati warna kulit, kelembapan, suhu dan masa pengisian
kapiler.
(5) Catat edema umum.
(6) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas.
(7) Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat
tidur atau kursi.
25
(8) Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan.
(9) Lakukan tindakan yang nyaman seperti pijatan punggung
dan leher.
(10) Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas
pengalihan.
(11) Pantau respon terhadap obat untuk menontrol tekanan
darah.
(12) Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi.
(13) Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi.
b) Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler ventricular.
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24
jam di harapkan nyeri. (sakit kepala) berkurang.
Hasil yang diharapkan:
(1) Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala dan tidak
nyaman.
Intervensi :
(1) Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit
penerangan.
(2) Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan.
(3) Batasi aktivitas.
(4) Hindari merokok atau menggunakan penggunaan nikotin.
(5) Beri obat analgetik dan sedasi sesuai pesanan.
26
(6) Beri tindakan yang menyenangkan sesuai indikasi seperti
kompres es, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan
imajinasi, hindari konstipasi.
c) Potensial perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung,
berhubungan dengan gangguan sirkulasi.
Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24
jam diharapkan sirkulasi tubuh tidak terganggu.
Hasil yang diharapkan :
(1) Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik
seperti ditunjukkan dengan : tekanan darah dalam batas
yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing,
nilai-nilai, laboratorium dalam batas normal.
(2) Haluaran urin 30 ml / menit.
(3) Tanda-tanda vital stabil.
Intervensi:
(1) Pertahankan tirah baring: tinggikan kepala tempat tidur.
(2) Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan: tidur,
duduk dengan memantau tekanan arteri jika tersedia.
(3) Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai pesanan.
(4) Amati adanya hipotensi yang mendadak.
(5) Ukur masukan dan pengeluaran.
(6) Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai pesanan.
(7) Ambulasi sesuai kemampuan: hindari kelelahan.
27
d) Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan perawatan diri.
Tujuan: setelah di lakukan intervensi keperawatan selama 3x24
jam diharapkan klien terpenuhi dalam informasi tentang
hipertensi.
Hasil yang diharapkan :
(1) Pasien mengungkapkan pengetahuan dan keterampilan
penatalaksanaan perawatan dini.
(2) Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai pesanan.
Intervensi:
(1) Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan
prosedur.
(2) Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh
dengan stress.
(3) Diskusikan tentang obat-obatan: nama, dosis, waktu
pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik.
(4) Jelaskan perlunya menghindari penggunaan obat bebas
tanpa pemeriksaan dokter.
(5) Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk
dilaporkan dokter Sakit kepala, pusing, pingsan, mual, dan
muntah.
(6) Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil.
28
(7) Diskusikan pentingnya hindari kelelahan dan mengangkat
berat.
(8) Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium
sesuai pesanan.
(9) Jelaskan pentingnya mempertahankan pemasukan cairan
yang tepat, jumlah yang di perbolehkan, pembatasan seperti
kopi yang mengandung kafein, serta alkohol.
(10) Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan.
2. Tekanan Darah
a. Definisi
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
curah jantung, ketegangan arteri, volume, dan laju serta kekuatan
(viskositas) darah. Tekanan darah terjadi akibat fenomena siklis.
Tekanan puncak terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah
biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap
tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari
100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah normal
biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Komponen Tekanan Darah
Secara umum ada dua komponen tekanan darah (Martuti, 2009)
yaitu:
29
1) Tekanan darah sistolik (angka atas) yaitu tekanan yang
timbul akibat pengerutan bilik jantung sehingga ia akan
memompa darah dengan tekanan terbesar.
2) Tekanan darah diastolik (angka bawah) yang merupakan
kekuatan penahan pada saat jantung mengembang antar denyut,
terjadi pada saat jantung dalam keadaan mengembang (saat
beristirahat).
Tekanan darah normal (normotensi) sangat dibutuhkan untuk
mengalirkan darah ke seluruh tubuh, yaitu untuk mengangkut oksigen
dan zat- zat gizi. Tekanan darah ada dalam pembuluh darah, sedangkan
tekanan darah tertinggi ada dalam arteri terbesar (Martuti, 2009).
Tekanan darah dikatakan tinggi bila lebih besar dari tekanan
yang diperlukan untuk memelihara aliran darah yang tetap. Saat
tekanan darah diatas normal, saat itu volume darah meningkat dan
saluran darah terasa lebih sempit sehingga untuk dapat menyuplai
oksigen dan zat-zat makanan ke setiap sel didalam tubuh, jantung
harus memompa lebih keras. Progresifitas hipertensi dimulai dari
prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya
curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur
20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi
hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi
dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (Martuti, 2009).
30
Tekanan darah yang ideal adalah 120/80 mmHg
(sistolik/diastolik). Batas normal adalah bila tekanan sistolik tidak
lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik tidak lebih dari 90 mmHg.
Tekanan darah termasuk kategori tinggi jika tekanan sistolik lebih dari
160 mmHg dan diastolik diatas 99 mmHg, dalam 3 kali pemeriksaan
berturut-turut selama selang waktu 2-8 minggu (Martuti, 2009).
c. Alat ukur Tekanan Darah
Tekanan darah diukur dengan menggunakan alat
spygmomanometer (tensimeter) dan stetoskop. Ada tiga tipe dari
spygmomanometer yaitu :
1) Spygmomanometer Air Raksa atau Merkuri.
Tipe air raksa adalah jenis spygmomanometer yang paling
akurat. Tingkat bacaan dimana detak tersebut terdengar
pertama kali adalah tekanan sistolik. Sedangkan tingkat
dimana bunyi detak menghilang adalah tekanan diastolik.
2) Spygmomanometer Aneroid
Spygmomanometer aneroid prinsip penggunaannya yaitu
menyeimbangkan tekanan darah dengan tekanan dalam
kapsul metalis tipis yang menyimpan udara didalamnya.
3) Spygmomanometer Elektronik
Spygmomanometer elekrtonik merupakan pengukur
tekanan darah terbaru dan lebih mudah digunakan dibanding
model standar yang menggunakan air raksa, tetapi
31
akurasinya juga relatif rendah. Sebelum mengukur tekanan
darah yang harus diperhatikan yaitu: jangan minum kopi atau
merokok 30 menit sebelum pengukuran dilakukan, duduk
bersandar selama 5 menit dengan kaki menyentuh lantai dan
tangan sejajar dengan jantung (istirahat), memakai baju
lengan pendek, kemudian buang air kecil dulu sebelum
diukur, karena kandung kemih yang penuh dapat mempengaruhi
hasil pengukuran (Sustrani, 2004).
d. Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada pasien
setelah istirahat yang cukup, yaitu sesudah berbaring paling sedikit 5
menit. Pengukuran dilakukan pada posisi terbaring, duduk, dan berdiri
sebanyak 2 kali atau lebih dengan interval 2 menit. Ukuran manset
harus cocok dengan ukuran lengan atas. Manset harus melingkari
paling sedikit 80% lengan atas dan lebar manset paling sedikit 2/3 kali
panjang lengan atas, pinggir bawah manset harus 2 cm diatas fosa
cubiti untuk mencegah kontak dengan stetoskop. Sebaiknya disediakan
barbagai ukuran manset untuk dewasa, anak dan orang gemuk.
Balon dipompa sampai ke atas tekanan diastolik kemudian tekanan
darah diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg tiap
denyut jantung. Tekanan sistolik tercatat pada saat terdengar bunyi
yang pertama (kortokoff 1) sedangkan tekanan diastolik dicatat jika
bunyi tidak terdengar lagi (kortokoff V). Pemeriksaan tekanan darah
32
sebaiknya dilakukan pada kedua lengan, pada posisi berbaring atau
duduk (Arijatmo, 2001).
3. Terapi Musik Klasik
a. Definisi
Musik yang digunakan untuk tujuan terapeutik dikenal dengan
terapi musik. Dalam terapi musik, kata musik selalu digunakan untuk
menggambarkan media tertentu yang di gunakan. Musik bisa di
gunakan sebagai media terapeutik, hanya kemanfaatan yang optimal
pada terapi musik ini tergantung pada kesesuaian pemanfaatannya.
Terapi musik sebagai suatu ketrampilan dalam menggunakan musik
dan elemen-elemen musik oleh seseorang yang ahli dibidang musik
untuk meningkatkan, memelihara, memperbaiki kesehatan mental,
fisik, emosi, dan spiritual. Pengertian yang lain dikemukakan oleh
McCloskey dan Bulechek (1996) dikutip oleh Chlan, Evans, Greenleaf
dan Walker (2000) yang menyatakan terapi musik adalah “sebagai
pemanfaatan musik untuk membantu mencapai perubahan spesifik
dalam tingkah laku dan perasaan” (endang, 2014).
Musik adalah merupakan bagian yang penting dari kebudayaan
masa lalu dan sekarang. Sepanjang sejarah musik telah mempengaruhi
dan membentuk respon sosial dalam konteks yang berbeda-beda,
misalnya pada kegiatan ritual, sosial dan upacara politik. Secara
tradisional, musis dianggap berdampak terhadap respon fisik dan
emosial. Lebih lanjut, musik telah banyak dimanfaatkan dalam
33
intervensi terapeutik pada pertengahan abad 20, yang sebelumnya telah
muncul dalam berbagai bentuk kebudayaan sepanjang abad (Endang,
2014).
Namun, musik untuk penyembuhan tidak asal sembarang musik,
hanya lagu yang tepat yang bisa menyembuhkan. Pilih jenis musik yang
bersifat rileks dengan tempo sekitar 60 ketukan per menit seperti musik
klasik karya mozart.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Suherly,
Ismonah, dan Wulandari Meikawati pada bulan November 2011
sebanyak 28 responden menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekanan
darah setelah pemberian terapi musik klasik sebanyak 5 % atau 9-10
mmHg dari tekanan darah sebelumnya (Suherly. M dkk, 2011). Hasil
studi pendahuluan di Ruang Mawar 1 RSUD Karanganyar didapatkan
80% pasien hipertensi mengeluh pusing. Telah didapatkan informasi dari
perawat ruangan, bahwa hanya sebagian perawat saja yang melakukan
terapi musik klasik kepada pasien hipertensi untuk menurunkan tekanan
darah. Hasil observasi yang didapatkan pada Ny. S dengan hipertensi
tekanan darah meningkat 170/110 mmHg, kepala pusing, dan kepala
terasa panas. Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk
memberikan terapi musik klasik untuk menurukan tekanan darah pada
Ny. S.
Akhir-akhir ini kegunaan musik sabagai suatu intervensi dalam
terapi telah dikembangkan dengan pesatnya. Berdasarkan laporan
34
Joanna briggs institute (2001) musik telah di gunakan untuk
penanganan pasien berbagai usia dari bayi, anak, dewasa dan orang tua
dalam penurunan kecemasan ketikan di rawat, membantu orang untuk
rileks, mengurangi rasa nyeri, meningkatkan fungsi kognitif,
meminimalkan efek suara gaduh, meningkatkan kepuasan dalam
pelayanan, meningkatkan perasaan bahagia, dan meningkatkan
toleransi seseorang terhadap tindakan invasive atau yang tidak
menyenangkan (Endang, 2014).
Suatu bentuk terapi dengan mempergunakan musik secara
sistematis, terkontrol, dan terarah dalam menyembuhkan,
merehabilitasi, mendidik, dan melatih anak-anak dan orang dewasa
yang menderita gangguan fisik, mental atau emosional. Musik yang
terdiri kombinasi irama, ritme, harmonik dan melodi sejak dulu di
yakini mempunyai pengaruh terhadap pengobatan orang sakit. Melalui
ritmik musik yang stabil memberi irama yang teratur akan memberi
keseimbangan pada detak jantung dan denyut nadi manusia (Natalina,
2013).
Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang
terorganisir yang terdiri atas melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk
dan gaya. Musik klasik seringkali menjadi acuan terapi musik,
karena memiliki rentang nada yang luas dan tempo yang dinamis
(Nurrahmani, 2012). Sebuah penelitian yang dipresentasikan pada
konfrensi tahunan ke-62 American Heart Association 2008,
35
mengemukakan bahwa mendegarkan musik klasik bisa menurunkan
tekanan darah penderita hipertensi (Martha, 2012).
Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen
musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan
mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spritual. Dalam
kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap
(Complementary Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik
sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit
dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang
digunakan dalam terapi musik dapat disesuai dengan keinginan, seperti
musik klasik, intrumentalia, slow musik, orkestra, dan musik modern
lainnya. Tetapi beberapa ahli menyarankan untuk tidak menggunakan
jenis musik tertentu seperti pop, disco, rock and roll, dan musik
berirama keras (anapestic beat) lainnya, karena jenis musik
dengan anapestic beat (2 beat pendek, 1 beat panjang dan
kemudian pause) merupakan irama yang berlawanan dengan irama
jantung. Musik lembut dan teratur seperti intrumentalia dan musik
klasik merupakan musik yang sering digunakan untuk terapi musik
(Potter, 2005).
Menurut Nurseha & Djafar (2002) musik klasik mempunyai
fungsi menenangkan pikiran dan katarsis emosi, serta dapat
mengoptimalkan tempo, ritme, melodi dan harmoni yang teratur
sehingga menghasilkan gelombang alfa serat gelombang beta dalam
36
gendang telinga sehingga memberikan ketenangan yang membuat otak
siap menerima masukan baru, efek rileks, dan menidurkan. Secara
umum musik menimbulkan gelombang vibrasi yang dapat
menimbulkan stimulus pada gendang pendengaran. Stimulasi itu
ditransmisikan pada susunan saraf pusat (limbic system) di sentral otak
yang merupakan ingatan, kemudian pada hypothalamus atau kelenjar
sentral memiliki susunan saraf pusat akan mengatur segala
sesuatunya untuk mengaitkan musik dengan respon tertentu.
Terdapat tiga sistem saraf dalam otak yang akan terpengaruh oleh
musik yang didengar, yaitu :
1) Sistem otak yang memproses perasaan
Musik merupakan bahasa jiwa yang mampu membawa
perasaan kearah mana saja. Musik yang didengar akan merangsang
sistem saraf yang akan menghasilkan suatu perasaan. Rangsangan
sistem saraf ini mempunyai arti penting bagi pengobatan, karena
sistem saraf merupakan bagian dalam proses fisiologis. Dalam
ilmu kedokteran jiwa, jika emosi tidak harmonis maka akan
mengganggu sistem lain dalam tubuh, misalnya sistem
pernapasan, sistem endokrin, sistem imun, sistem kardiovaskuler,
sistem metabolik, sistem motorik, sistem nyeri, sistem temperatur
dan lain sebagainya. Semua sistem tersebut dapat bereaksi positif
jika mendengar musik yang tepat.
2) Sistem otak kognitif
37
Aktivitas sistem ini dapat terjadi walaupun seseorang tidak
mendengarkan atau memperhatikan musik yang sedang diputar.
Musik akan merangsang sistem ini secara otomatis, walaupun
seseorang tidak menyimak atau memperhatikan musik yang
sedang diputar. Sistem ini dirangsang maka seseorang akan
meningkatkan memori, daya ingat, kemampuan belajar,
kemampuan matematika, analisis, logika, intelegensi dan
kemampuan memilah disamping itu juga adanya perasaan
bahagia dan timbulnya keseimbangan sosial.
3) Sistem otak yang mengontrol kerja otot
Musik secara langsung bisa mempengaruhi kerja otot kita.
Detak jantung dan pernapasan bisa melambat atau cepat secara
otomatis, tergantung alunan musik yang didengar. Bahkan bayi
dan orang tidak sadar pun tetap terpengaruh oleh alunan
musik. Bahkan ada suatu penelitian tentang efek terapi musik
pada pasien dalam keadaan koma. Ternyata denyut jantung bisa
diturunkan dan tekanan darah kembali naik. Fakta ini juga
bermanfaat bagi penderita hipertensi karena musik bisa
mengontrol tekanan darah (Eka, 2011).
b. Manfaat
Musik mempunyai manfaat sebagai berikut (Spawnthe Anthony, 2003) :
1) Efek mozart, adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan
sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang.
38
2) Refresing, pada saat piksssiran seseorang lagi kacau atau jenuh,
dengan mendengarkan musik walaupun sejenak, terbukti dapat
menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali.
3) Motivasi, adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan “feeling”
tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala
kegiatan bisa dilakukan.
4) Perkembangan kepribadian. kepribadian seseorang
diketahui mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis musik yang
didengarnya selama masa perkembangan.
5) Tentang manfaat musik untuk kesehatan, baik untuk kesehatan fisik
maupun mental. Beberapa gangguan atau penyakit yang dapat
ditangani dengan musik antara lain: kanker, stroke, dimensia dan
bentuk gangguan intelengisia lain, penyakit jantung, nyeri, gangguan
kemampuan belajar, dan bayi prematur.
6) Komunikasi, musik mampu menyampaikan berbagai pesan ke seluruh
bangsa tanpa harus memahami bahasanya. Pada kesehatan mental,
terapi musik diketahui dapat memberi kekuatan komunikasi dan
ketrampilan fisik pada penggunanya.
c. Prosedur Terapi Musik Klasik
Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi,
walau mungkin membutuhkan bantuannya saat mengawali terapi
musik. Untuk mendorong penulis menciptakan sesi terapi musik
39
sendiri, berikut ini beberapa dasar terapi musik yang dapat anda
gunakan untuk melakukannya.
1) Untuk memulai melakukan terapi musik, khususnya untuk
relaksasi, penulis dapat memilih sebuah tempat yang tenang, yang
bebas dari gangguan. Penulis dapat juga menyempurnakannya
dengan aroma lilin wangi aroma terapi guna membantu
menenangkan tubuh.
2) Untuk mempermudah, peneliti dapat mendengarkan berbagai jenis
musik pada awalnya. Ini berguna untuk mengetahui respon dari
tubuh responden. Lalu anjurkan responden untuk duduk dilantai,
dengan posisi tegak dan kaki bersilangan, ambil nafas dalam-
dalam, tarik dan keluarkan perlahan-lahan melalui hidung.
3) Saat musik dimainkan, dengarkan dengan seksama instrumennya,
seolah-olah pemainnya sedang ada diruangan memainkan musik
khusus untuk responden. Penulis bisa memilih tempat duduk lurus
didepan speaker, atau bisa juga menggunakan headphone. Tapi
yang terpenting biarkan suara musik mengalir keseluruh tubuh
responden, bukan hanya bergaung dikepala.
4) Bayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan mengalir
ke seluruh tubuh responden. Bukan hanya dirasakan secara fisik
tapi juga fokuskan dalam jiwa. Fokuskan di tempat mana yang
ingin eneliti sembuhkan, dan suara itu mengalir ke sana.
Dengarkan, sembari responden membayangkan alunan musik itu
40
mengalir melewati seluruh tubuh dan melengkapi kembali sel – sel,
melapisi tipis tubuh dan organ dalam responden.
5) Saat penulis melakukan terapi musik, responden akan membangun
metode ini melakukan yang terbaik bagi diri sendiri. Sekali telah
mengetahui bagaimana tubuh merespon pada instrumen, warna
nada, dan gaya musik yang didengarkan, responden dapat
mendesain sesi dalam serangkaian yang telah dilakukan sebagai hal
yang paling berguna bagi diri sendiri.
6) Idealnya, penulis dapat melakukan terapi musik selama kurang
lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tak memiliki
cukup waktu 10 menitpun jadi, karena selama waktu 10 menit telah
membantu pikiran responden beristirahat (Pandoe, 2006).
d. Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Terapi Musik Klasik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terapi musik :
1) Hindari interupsi yang diakibatkan cahaya yang remang-remang
dan hindari menutup gorden atau pintu.
2) Usahakan klien untuk tidak menganalisa musik, dengan prinsip
nikmati musik ke mana pun musik membawa.
3) Gunakan jenis musik sesuai dengan kesukaan klien terutama yang
berirama lembut dan teratur. Upayakan untuk tidak menggunakan
jenis musik rock and roll, disco, metal dan sejenisnya. Karena jenis
musik tersebut mempunyai karakter berlawanan dengan irama
jantung manusia (Pandoe, 2006).
41
e. Manfaat
Musik telah banyak digunakan sebagai terapi untuk mengatasi
berbagai gejala depresi dan kecemasan. Manfaatnya yaitu:
1) Mengurangi rasa sakit
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa mendengarkan musik
dapat mengurangi rasa sakit. Penelitian lain menunjukkan bahwa
musik dapat bermanfaat bagi pasien penyakit jantung dengan
mengurangi tekanan darah, denyut jantung dan kecemasan.
Terapi musik juga telah ditunjukkan untuk mengangkat semangat
pasien dengan depresi. Membuat musik sendiri, baik memainkan
alat musik atau bernyanyi.
Ketika mendengarkan atau terlibat dalam musik yang membuat
senang, rileks, kontemplatif, tubuh akan mendapat efek relaksasi
yang mendalam seperti tidur nyenyak, mandi air hangat, dan
menurunkan tingkat stres secara keseluruhan.
2) Meningkatkan kemampuan otak
Beberapa penelitian menunjukkan bagaimana musik dapat
meningkatkan fungsi otak. Bahwa musik membantu pasien
penyakit paru-paru agar kemampuan mentalnya dapat bekerja
dengan lebih baik.
3) Meningkatkan kecerdasan
Mendengarkan musik adalah suatu usaha yang lebih kompleks dari
kelihatannya. Otak manusia memilah nada, waktu, dan pengurutan
42
suara untuk memahami musik. Bahwa lobus frontal otak
dirangsang dan diaktifkan ketika mendengarkan musik. Karena
area tersebut adalah bagian otak yang berhubungan dengan fungsi
mental yang lebih tinggi seperti berpikir abstrak atau perencanaan.
Frances Rauscher menemukan bahwa mendengarkan musik Mozart
dapat meningkatkan penalaran orang di bidang matematika dan
kemampuan spasial.
Piano sonata no. 6 Mozart merangsang aktivitas tiga gen yang
terlibat dalam sinyal sel saraf di otak. Mendengarkan musik adalah
salah satu cara mendengarkan musik secara pasif untuk
memperoleh manfaat bagi otak. Tetapi aktifitas yang lebih
merangsang otak dan bahkan meningkatkan IQ adalah bermain
atau menulis musik (ref)
43
B. Kerangka Teori
Jantung
Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Musayaroh, Nining, 2011).
Faktor-Faktor Penyebab :
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
Tekanan darah Sistolik dan
Diastolik yang dipengaruhi oleh :
1. Makanan sehari-hari
yang mengandung
lemak
2. Aktivitas
Terjadi gangguan
pada jantung yang
mempengaruhi
tekanan arteri
sistemik
Peningkatan Tekanan Darah tan Teka
Pemberian Terapi
Musik Klasik
erian
Tekanan Darah Turun nan Da
Rangsangan musik pada terapi musik mampu mengaktivasi sistem
limbik yang berhubungan dengan emosi. Saat sistem limbik
teraktivasi, otak menjadi rileks.
i musi
44
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
(Musayaroh, Nining, 2011).
Terapi Musik Klasik Menurunkan tekanan
darah : Sistolik
Diastolik
45
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Pemberian Terapi Musik Klasik terhadap Penurunan Tekanan Darah pada
Pasien Hipertensi.
B. Tempat dan Waktu
Aplikasi hasil riset dilakukan di RSUD Karanganyar selama 3 hari. Pada
tanggal 10-12 Maret 2015.
C. Media alat yang digunakan
1. Handphone dan headset.
2. Terapi musik klasik Piano Sonata Mozart no. 6.
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
1. Mengukur tekanan darah sebelum melakukan terapi musik klasik.
2. Melakukan terapi musik klasik piano sonata mozart nomer 6.
3. Mengukur kembali tekanan darah sesudah 30 menit di lakukan terapi
musik klasik.
E. Alat ukur evaluasi
Alat ukur yang digunakan untuk mengevaluasi perubahan tekanan
darah adalah Chek List sebelum dan sesudah terapi musik klasik, Tensi
Meter dan Stetoskop.
45
46
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien
Berdasarkan pengkajian tanggal 9 Maret 2015 dengan metode
pengkajian autoanamnese, identitas pasien dengan nama Ny. S, umur
47 tahun, agama islam, pendidikan sekolah dasar, pekerjaan swasta,
alamat Wates Popongan, diagnosa medis hipertensi, dengan
penanggung jawab Tn. S, umur 54 tahun, pendidikan tidak sekolah,
pekerjaan petani, alamat wates popongan, hubungan dengan pasien
adalah suami.
B. Pengkajian
1. Riwayat Keperawatan
Pasien mengatakan kepala pusing dan terasa panas. Sejak
dua minggu yang lalu kepala terasa pusing, lalu bersama
keluarganya dibawa ke klinik 24 jam Griya Husada. Kemudian
pasien di rujuk ke UGD RSUD Karanganyar. Di UGD pasien
mendapatkan pemeriksaan Tanda-tanda vital, meliputi : Tekanan
Darah 170/110 mmHg, Nadi 64x/menit, respirasi 20x/menit, dan
diberikan terapi infus RL 20 tpm, injeksi norages, 1000mg/8 jam,
injeksi ondansetron 4mg/8 jam, injeksi sakabion 1 amp/12 jam,
amiodipin 1x10mg, dan captropil 3x12,5mg.
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu pasien
mengatakan 9 tahun yang lalu mengalami penyakit yang sama,
46
47
tetapi tidak pernah memiliki penyakit lain ataupun kecelakaan dan
tidak pernah diimunisasi serta tidak memiliki alergi apapun. Klien
mengatakan mempunyai kebiasaan tidur malam dan tidur tidak
teratur.
Pada pengkajian riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan bahwa ayahnya memiliki penyakit hipertensi. Dan
pasien mengatakan tempat tinggal pasien di daerah perkampungan
yag padat penduduk.
2. Pola Kesehatan Fungsional
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
mengatakan bahwa kesehatan itu sangat penting, jika ada keluarga
yang sakit segera dibawa ke pelayanan kesehatan.
Pola nutrisi dan metabolik pasien mengatakan sebelum
sakit makan 3 kali sehari, jenis makanan nasi, sayur, buah, 1 porsi
habis dan tidak ada keluhan saat makan.selama sakit pasien
mengatakan makan 3 kali sehari, jenis makanan nasi, sayur, buah,
½ porsi, dengan keluhan tidak nafsu makan.
Pola eliminasi pasien mengatakan sebelum sakit BAK 5-6 x
sehari, kurang lebih 900 cc, warna kuning jernih dan tidak ada
keluhan. Selama sakit pasien mengatakan sering BAK, dengan
frekuensi 6-7 x sehari, kurang lebih 1200 cc, warna kuning pekat
dan tidak ada keluhan.
48
Pola aktivitas dan latihan pasien mengatakan selama sakit
melakukan aktivitas makan atau minum, toileting, berpakaian,
mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi atau rom di bantu
dengan keluarga.
Pola istirahat dan tidur pasien mengatakan sebelum sakit
tidur 6-7 jam sehari, selama sakit pasien mengatakan tidak bisa
tidur karena pusing, kurang lebih hanya 2 jam sehari dan sering
terbangun,dan badan terasa lemas.
Pola kognitif perseptual pasien mengatakan sebelum sakit
pasien dapat berbicara dengan lancar, melihat dan mendengar
dengan jelas. Selama sakit pasien mengatakan kepala pusing dan
terasa panas. Dengan pengkajian nyeri P : Nyeri saat berdiri, Q :
Nyeri seperti tertusuk-tusuk, R : Nyeri terasa di kepala, S : Nyeri
skala 7, T : Nyeri terasa setiap saat. Pasien tampak pucat, tampak
memegangi kepala,dan tampak merintih.
Pola persepsi konsep diri pasien mengatakan menerima
sakitnya dengan ikhlas, tidak putus asa, ingin sepat sembuh dan
cepat pulang.
Pola seksualitas reproduksi pasien mengatakan menjadi
seorang istri dan memiliki 3 orang anak.
Pola hubungan peran sebelum sakit pasien mengatakan
mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga dan tetangganya.
Selama sakit pasien mengatakan masih tetap memiliki hubungan
49
yang baik dengan keluarga dan tetangga, sering dikunjungi oleh
keluarga dan tetangganya. Dan memiliki hubungan yang baik juga
dengan sesame pasien.
Pola mekanisme koping sebelum sakit pasien mengatakan
apabila mempunyai masalah selalu bercerita dengan keluarga.
Selama sakit pasien mengatakan masih tetap menyelesaikan
masalah dengan keluarganya.
Pola nilai dan keyakinan sebelum sakit pasien mengatakan
selalu menjalankan sholat 5 waktu dan sering mengikuti pengajian.
Selama sakit pasien menggatakan tidak dapat menjalankan sholat 5
waktu secara rutin dan tepat waktu.
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan atau penampilan umum cukup, kesadaran
composmentis. Pada pemeriksaan TTV didapatkan tekanan darah
170/110 mmHg, nadi 64x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu
36,5 derajat Celsius.
Pemeriksaan kepala didapatkan bentuk kepala mesecephal,
kulit kepala berketombe dan kurang bersih, rambut hitam sedikit
beruban dan kusam.
Pemeriksaan mata didapatkan palpebral terdapat kantung
mata, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
diameter ka/ki simetris, reflek terhadap cahaya positif.
Pemeriksaan hidung bersih tidak ada polip dan tidan ada sekret.
50
Pemeriksaan mulut simetris, bibir kering dan tidak ada stomatitis.
Dan pada pemeriksaan telinga kurang bersih, terdapat sedikit
serumen dan simetris ka/ki.
Pemeriksaan leher di dapatkan tidak ada pembesaran kelenjar
tyroid, nadi karotis teraba, dan tidak ada kaku kuduk .
Pemeriksaan dada pada paru-paru inspeksi tampak normo
chest, tidak ada jejas, dan ekspansi paru sama. Palpasi vocal
vremitus getarannya sama,perkusi suara paru sonor, auskultasi
vasikuler pada seluruh lapang paru. Pemeriksaan jantung inspeksi
pulsasi tidak tampak dari luar, perkusi bunyi jantung pekak, palpasi
pada jantung ictus cordis teraba di ICS V dan auskultasi BJ 1-2
murni, lup dup.
Pemeriksaan genetalia tampak bersih dan tidak terpasang
kateter dan pada rektum tampak bersih, tidak ada lesi, dan tidak
ada hemoroid.
Pemeriksaan ekstremitas atas kekuatan otot ka/ki 5, ROM
ka/ki normal, capillary refile di tekan 2 detik kembali normal, dan
perabaan akral dingin. Pada ekstremitas bawah kekuatan otot ka/ki
5, ROM ka/ki normal, capillary refile di tekan 2 detik kembali
normal dan perabaan akral dingin.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 9 Maret 2015
di dapatkan hemoglobin 14.6 g/dl (nilai normal 12.00-16.00),
51
hematokrit 40.5 % (nilai normal 37.00-47.00), leukosit 7.07 10^ul
(nilai normal 5-10), trombosit 3.24 10^ul ( nilai normal 150-100),
eritrosit 4.62 10^ul (nilai normal 400-500), MPV 7.9 Fl ( nilai
normal 6.5-12), PDW 15.9 (nilai normal 9.0-17.0), MCV 87.6 Fl (
nilai normal 82.0-92.0), MCH 31.6 pg ( nilai normal 27.00-32.0),
MCHC 36.1 g/dl (nilai normal 32.0-37.0), gran % 53.5 % (nilai
normal 50.0-70.0), limfosit % 41.1 % (nilai normal 25.0-4-.0),
monosit % 2.4 % (nilai normal 3.0-9.0), eosinophil % 2.7% (nilai
normal 0.5-5.0), basophil 0.3 % (nilai normal 0.1-1.0), glukosa
darah sewaktu 93 mg/100ml (nilai normal 70-150).
5. Terapi Medis
Pada tanggal 9 Maret 2015 pasien mendapatkan terapi infus
Rl 20 tpm fungsinya untuk pengganti cairan tubuh, injeksi
ranitidine 50 mg/12 jam fungsinya untuk saluran pencernaan,
injeksi norages 1000 mg/8 jam fungsinya untuk meredakan nyeri,
injeksi ondansetron 4 mg/12 jam fungsinya untuk mengatasi mual
muntah, captopril 25 mg (3x1 tablet) fungsinya untuk obat
hipertensi berat-ringan, amlodipine 5 mg (1x1tablet) fungsinya
untuk menurunkan tekanan darah.
C. Analisa Data
Pada hari Senin, 9 Maret 2015 pukul 10.00 WIB, ditemukan
masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis,
dengan data subyektif pasien mengatakan kepala pusing dan terasa
52
panas, data pengkajian nyeri, nyeri terasa saat berdiri, nyeri seperti
tertusuk-tuduk, nyeri terasa di kepala, nyeri skala 7 dan nyeri terasa
setiap saat. Ditemukan pula data obyektif pasien tampak pucat, tampak
memegangi kepala, dan tampak merintih. Tekanan darah 170/110
mmHg, nadi 64x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5 derajat Celsius.
Pada hari Senin, 9 Maret 2015 pukul 11.15 WIB, ditemukan
masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan
peningkatan tekanan vaskuler serebral, dengan data subyektif pasien
mengatakan sulit tidur, kurang lebih 2 jam sehari karena pusing.
Ditemukan pula data obyektif tampak lingkaran gelap di mata, tampak
sering menguap, tampak gelisah. Tekanan darah 170/110 mmHg, nadi
64x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5 derajat Celsius.
Pada hari Senin, 9 Maret 2015 pukul 11.50 WIB, ditemukan
masalah keperawatan intoleransi aktifitas berhubungan dengan
kelemahan, dengan data subyektif pasien mengatakan badan terasa
lemas dan aktivitas dibantu keluarga. Ditemukan pula data obyektif
pasien tampak lemas dan lemah, tampak berbaring di tempat tidur, dan
tampak makan dibantu keluarga.
D. Intervensi Keperawatan
Dari data yang telah di dapatkan untuk diagnosa keperawatan
yang pertama yaitu nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis.
Tujuan yang diharapkan yaitu setelah di lakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam di harapkan nyeri berkurang, dengan kriteria hasil
53
skala nyeri 1-3, TTV dalam batas normal TD 120/80 mmHg, nadi 16-
24 x/menit, respirasi 60-100x/menit, suhu 36-37 derajat Celsius, pasien
mengatakan nyeri atau ketidaknyamanan hilang atau terkontrol, pasien
mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi
nyeri. Dengan intervensi keperawatan lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif, kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri,
ajarkan tentang teknik non farmakologi atau teknik relaksasi nafas
dalam, berikan terapi musik klasik, berikan analgesik untuk
mengurangi nyeri.
Diagnosa yang kedua yaitu gangguan pola tidur berhubungan
dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral. Tujuan yang
diharapkan yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan gangguan pola tidur dapat teratasi, dengan kriteria
hasil jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari, pola tidur
kwalitas dalam batas normal, perasaan segar sesudah tidur atau
istirahat, mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur.
Dengan intervensi keperawatan jelaskan pentingnya tidur yang
adekuat, ciptakan lingkungan yang nyaman, monitor atau catat
kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam, kolaborasi pemberian obat
tidur.
Diagnosa yang ketiga yaitu intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan. Tujuan yang di harapkan yaitu setelah di lakukan
tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan intoleransi
54
aktifitas teratasi, dengan kriteria hasil berpartisipasi dalam aktivitas
fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan respirasi,
mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara madiri, Tanda-
tanda vital normal, mampu berpindah: dengan atau alat bantu. Dengan
intervensi keperawatan bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan, bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang
sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan sosial, bantu untuk
mengidentifikasi aktifitas yang disukai, kolaborasi dengan tim
rehabilitasi medik dalam merencanakan terapi yang tepat.
E. Implementasi keperawatan
Pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 08.00 WIB dilakukan
pemantauan tanda-tanda vital, dengan data subyektif pasien
mengatakan mau diperiksa. Data obyektif tekanan darah 170/110
mmHg, nadi 64x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,5 derajat Celsius.
Pukul 08.10 WIB mengkaji nyeri dengan pola PQRST dengan data
subyektif pasien mengatakan bersedia, nyeri terasa saat berdiri, nyeri
seperti tertusuk-tuduk, nyeri tersa di kepala, nyeri skala 7 dan nyeri
terasa setiap saat dan data obyektif pasien tampak pucat, tampak
memegangi kepala, tampak merintih. Pukul 08.15 WIB menciptakan
lingkungan yang nyaman dengan data subyektif pasien mengatakan
bersedia, data obyektif pasien tampak tenang. Pukul 08.20 WIB
membantu mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan, dengan
data subyektif pasien mengatakan dapat mengidentifikasi aktifitas yang
55
mampu dilakukan dan data obyektif pasien tampat bercerita. Pukul
08.30 WIB membantu untuk memilih aktivitas yang konsisten, dengan
data subyektif pasien mengatakan mampu memilih aktivitas dan data
obyektif pasien tampak memilih aktivitas. Pukul 08.40 WIB
menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, dengan data subyektif
pasien mengatakan bersedia diberi penjelasan tentang pentingnya tidur
yang adekuat dan data obyektif pasien tampak mendengarkan dan
kooperatif. Pukul 08.55 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas
dalam, dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia diajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan data obyektif pasien tampak
kooperatif. Pukul 09.15 WIB membantu mengidentifikasi aktifitas
yang disukai, dengan data subyektif pasien mengatakan mampu
memilih aktivitas yang disukai dan data obyektif pasien tampak
koperatif. Pukul 09.30 WIB memberikan obat melalui intravena yaitu
injeksi ranitidine 50 mg/12 jam, injeksi norages 1000 mg/8 jam, injeksi
ondansetron 4 mg/12 jam dengan data subyektif pasien mengatakan
bersedia diinjeksi dan data obyektif pasien tampak tenang, injeksi
masuk melalui intravena. Pukul 09.55 WIB mengukur tekanan darah
dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia dan data obyektif
tekanan darah 170/110 mmHg. Pukul 10.00 WIB memberikan terapi
musik klasik, dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia
diberikan terapi musik klasik dan data obyektif pasien tampak
kooperatif. Pukul 10.30 WIB mengukur kembali tekanan darah,
56
dengan dara subyektif pasien mengatakan bersedia dan data obyektif
tekanan darah 160/100 mmHg. Pukul 12.00 WIB memonitor
kebutuhan tidur pasien setiap hari, dengan data subyektif pasien
mengatakan tidak bisa tidur hanya kurang lebih 2 jam sehari dan data
obyektif pasien tampak menguap, tampak lingkaran hitam dimata.
Pukul 13.00 WIB memantau tanda-tanda vital, dengan data subyektif
pasien mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah 160/100
mmHg, nadi 67x/menit, respirasi 21x/menit, suhu 36,5 derajat Celsius.
Rabu, 11 Maret 2015 pukul 08.10 WIB memantau tanda-tanda
vital, dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia dan data
obyektif tekanan darah 150/100 mmHg, nadi 70x/menit, respirasi
20x/menit. Pukul 08.25 WIB mengkaji nyeri dengan pola PQRST,
dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia, nyeri saat berdiri,
nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri terasa di kepala, nyeri skala 5, nyeri
terasa setiap saat dan data obyektif pasien tampak pucat, tampak
merintih. Pukul 08.45 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam,
dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia diajarkan teknik
relaksasi nafas dalam dan data obyektif pasien tampak kooperatif.
Pukul 09.10 WIB membantu mengidentifikasi aktivitas yang disukai,
dengan data subyektif pasien mengatakan mampu memilih aktifitas
yang disukai dan data obyektif pasien tampak koopetatif. Pukul 09.40
WIB memberikan obat melalui intravena yaitu injeksi ranitidine 50
mg/12 jam, injeksi norages 1000 mg/8 jam, injeksi ondansetron 4
57
mg/12 jam dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia diinjeksi
dan data obyektif pasien tampak tenang, injeksi masuk melalui
intravena. Pukul 09.55 WIB mengukur tekanan darah dengan data
subyektif pasien mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah
150/100 mmHg. Pukul 10.00 WIB memberikan terapi musik klasik,
dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan terapi
musik klasik dan data obyektif pasien tampak kooperatif. Pukul 10.30
WIB mengukur kembali tekanan darah, dengan data subyektif pasien
mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah 140/90mmHg.
Pukul 12.00 WIB memonitor kebutuhan tidur pasien setiap hari,
dengan data subyektif pasien mengatakan sudah bisa tidur walaupun
belum nyenyak kurang lebih 4 jam sehari dan data obyektif pasien
tampak sedikit segar. Pukul 13.00 WIB memonitor aktivitas kegiatan
pasien, dengan data subyektif pasien mengatakan sudah bisa makan
sendiri dan data obyektif pasien tampak makan dan ke kamar mandi
dengan sedikit bantuan dari keluarga. Pukul 14.00 WIB memantau
tanda-tanda vital, dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia
dan data obyektif tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 70x/menit,
respirasi 20x/menit, suhu 36 derajat Celsius.
Kamis, 12 Maret 2015 pukul 08.10 WIB memantau tanda-tanda
vital, dengan data subyektif pasien mengatakan bersedia dan data
obyektif tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 70x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36 derajat Celsius. Pukul 08.30 WIB mengkaji nyeri
58
dengan pola PQRST, dengan data subyektif pasien mengatakan
bersedia, nyeri saat berdiri lama, seperti tertusuk-tusuk, nyeri terasa
dikepala, nyeri skala 3, nyeri hilang timbul dan data obyektif pasien
tampak lebih rileks. Pukul 09.00 WIB memberikan obat melalui
intravena yaitu injeksi ranitidine 50 mg/12 jam, injeksi norages 1000
mg/8 jam, injeksi ondansetron 4 mg/12 jam dengan data subyektif
pasien mengatakan bersedia diinjeksi dan data obyektif pasien tampak
tenang, injeksi masuk melalui intravena. Pukul 09.10 WIB memonitor
kebutuhan tidur setiap hari, dengan data subyektif pasien mengatakan
sudah bisa tidur dan data obyektif pasien tampak segar. Pukul 09.55
WIB mengukur tekanan darah, dengan data subyektif pasien
mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah 130/90 mmHg.
Pukul 10.10 WIB memberikan terapi musik klasik, dengan data
subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan terapi musik klasik
dan data obyektif pasien tampak kooperatif. Pukul 10.40 WIB
mengukur kembali tekanan darah dengan data subyektif pasien
mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah 120/80 mmHg.
Pukul 12.00 WIB memonitor aktivitas kegiatan pasien dengan data
subyektif pasien mengatakan sudah bisa makan dan ke kamar mandi
sendiri dan data obyektif pasien tampak melakukan aktivitas secara
mandiri. Pukul 13.00 WIB memantau tanda-tanda vital,dengan data
subyektif pasien mengatakan bersedia dan data obyektif tekanan darah
59
120/89 mmHg, nadi 70x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36 derajat
Celsius.
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi pada hari Selasa, 10 Maret 2015 pukul 13.00 WIB
dengan diagnosa keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera
biologis, data subyektif pasien mengatakan kepala pusing dan terasa
panas, nyeri saat berdiri, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri terasa
dikepala, nyeri skala 6, nyeri terasa setiap saat dan data obyektif pasien
tampak memegangi kepala, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi
67x/menit, respirasi 21x/menit, suhu 36,5 derajat Celsius. Assessment
masalah belum teratasi, planning lanjutkan intervensi dengan kontrol
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri, ajarkan teknik relaksasi
nafas dalam, berikan terapi musik klasik, lakukan pengkajian nyeri
yang komprehensif, serta berikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan
tekanan vaskuler serebral pukul 13.15 WIB dengan data subyektif
pasien mengatakan sulit tidur, hanya kurang lebih 2 jam sehari karena
pusing dan data obyektif pasien tampak menguap dan tampak lingkaran
gelap dimata. Assessment masalah belum teratasi, planning lanjutkan
intervensi dengan jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, ciptakan
lingkungan yang nyaman, monitor atau catat kebutuhan tidur pasien
setiap hari atau jam, kolaborasi pemberian obat tidur.
60
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
pukul 13.30 WIB dengan data subyektif pasien mengatakan badan
lemas dan beraktivitas dibantu keluarganya dan data obyektif pasien
tampas lemas dan lemah, tampak berbaring ditempat tidur, tampak
makan dan ke kamar mandi dibantu keluarga. Assessment masalah
belum teratasi, planning lanjutkan intervensi dengan bantu untuk
memilih aktifitas yang konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik,
psikologi dan sosial, bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang
disukai.
Evaluasi hari Rabu, 11 Maret 2015 pukul 14.10 WIB dengan
diagnosa nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis, data
subyektif pasien mengatakan masin terasa pusing nyeri saat berdiri,
nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri terasa di kepala, nyeri skala 5, nyeri
terasa setiap saat dan data obyektif tekanan darah 140/90 mmHg, nadi
70x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36 derajat Celsius. Assessment
masalah belum teratasi dan planning lanjutkan intervensi dengan
lakukan pengkajian nyeri, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam,
berikan terapi musik klasik, berikan analgesik untuk menurunkan
nyeri.
Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan
tekanan vaskuler serebral pukul 14.30 WIB dengan data subyektif
pasien mengatakan masih sedikit kurang tidur, kurang lebih hanya 4
jam sehari dan data obyektif pasien tampak sering menguap.
61
Assessment masalah belum teratasi dan planning lanjutkan intervensi
yaitu monitor atau catat kebutuhan tidur pasien setiap hari atau jam,
kolaborasi pemberian obat tidur.
Diagnosa intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
pukul 14.45 WIB dengan data subyektif pasien mengatakan masih
terasa sedikit lemas dan data obyektif pasien tampak masih berbaring
ditempat tidur, ke kamar mandi di bantu dengan keluarga. Assessment
masalah belum teratasi dan planning lanjutkan intervensi yaitu bantu
untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai.
Evaluasi hari Kamis, 12 Maret 2015 pukul 13.00 WIB dengan
diagnosa nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis, dengan data
subyektif pasien mengatakan masih pusing, nyeri saat berdiri lama,
nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri terasa dikepala, nyeri skala 3, nyeri
hilang timbul, dan data obyektif tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
70x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36 derajat Celsius. Assessment
masalah belum teratasi sebagian dan planning lanjutkan intervensi
yaitu berikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan
tekanan vaskuler serebral pukul 13.15 WIB dengan data subyektif
pasien mengatakan sudah bisa tidur nyenyak dan data obyektif pasien
tampak segar, tidur 6 jam sehari. Assessment masalah teratasi dan
planning intervensi dihentikan.
62
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
pukul 13.30 WIB dengan data subyektif pasien mengatakan sudah bisa
melakukan aktifitas sendiri dan data obyektif pasien tampak makan dan
ke kamar mandi sendiri tanpa bantuan orang lain atau keluarga.
Assessment masalah teratasi dan planning intervensi dihentikan.
63
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian terapi
musik klasik pada asuhan keperawatan pada Ny. S dengan hipertensi
di Bangsal Mawar 1 Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.
Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian
maupun kesenjangan antara teori dengan kasus yang meliputi:
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi pada Ny. S dengan Hipertensi.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses
keperawatan. Pengkajian merupakan tahap yang paling
menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi
masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan
menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis yang diangkat
akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan.
Selanjutnya, tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti
perencanaan yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus
dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan
perawatan pada klien dapat diidentifikasi (Nikmatur dan saiful,
2012).
Pada tahap ini penulis menggunakan metode wawancara
kepada pasien dan keluarga, metode observasi, metode studi
63
64
dokumentasi yang mana penulis mengambil data dari catatan medis
pasien. Dimana catatan medis tersebut berisi tentang riwayat
kesehatan pasien, program terapi dan data penunjang lainnya yang
berhubungan dengan perkembangan kesehatan pasien.
Saat dikaji pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 10.00 WIB,
Keluhan utama pasien mengatakan kepala pusing dan terasa panas.
Kondisi pasien lemah, tampak pucat, tampak memegangi kepala,
dan tampak merintih. Dengan pengkajian nyeri Provoking (P):
Nyeri saat berdiri, Quality (Q): Nyeri seperti tertusuk-tusuk,
Region (R) : Nyeri terasa di kepala, Severity (S): Nyeri skala 7,
Time (T): Nyeri terasa setiap saat. Pengkajian nyeri terdiri atas dua
komponen utama, yaitu: (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data
dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan
fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan
pemahaman objektif terhadap pengalaman subjektif, dengan
mengunakan (P,Q,R,S,T). P: Provoking atau pemicu yaitu faktor
pemicu yang menimbulkan nyeri, Q: Quality atau kualitas nyeri
(misal : tumpul atau tajam), R: Region atau daerah yaitu daerah
perjalanan kedaerah lain, S: Severity atau keganasan yaitu
intensitasnya, T: Time atau waktu yaitu serangan, lamanya,
kekerapan, dan sebab (Mubarak, 2008).
Data tersebut telah sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa tekanan darah di pembuluh arteri meningkat, peningkatan
65
ini menimbulkan masalah sehingga jantung dipaksa bekerja lebih
keras dari biasanya untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh.
Akibatnya, darah meningkat melebihi batas normal. Hal ini yang
menyebabkan adanya keluhan pusing atau nyeri kepala pada pasien
hipertensi (Medkes, 2013).
Pada riwayat kesehatan dahulu pasien mengatakan 7 tahun
yang lalu pernah dirawat di rumah sakit dengan keluhan yang
sama. Dan pasien mengatakan ayah pasien juga memiliki penyakit
hipertensi. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital di dapatkan
Tekanan darah 170/110, nadi 64x/menit, respirasi 20x/menit, suhu
36,5 derajat Celsius. Terapi yang diterima pasien selama di bangsal
yaitu ranitidine 50 mg/12 jam, injeksi norages 1000 mg/8 jam,
injeksi ondansetron 4 mg/12 jam, dan terpasang infus 20 tpm.
Data yang didapatkan telah sesuai dengan teori pengkajian
bahwa keluhan utama yang muncul pada pasien hipetensi yaitu
kepala terasa pusing (Nyeri) dan bagian kuduk terasa berat, dan
tidak bisa tidur. Pada teori juga didapatkan gejala yang muncul
pada nyeri yaitu angini, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit
kepala oksipital berat (Brunner & Suddarth, 2005). Pada riwayat
kesehatan sekarang biasanya saat dilakukan pengkajian pasien
masih mengeluh kepala terasa sakit dan berat, serta tidak bisa tidur.
Pada riwayat kesehatan dahulu biasanya penyakit hipertensi adalah
penyakit yang menahun yang sudah lama dialami oleh pasien, dan
66
biasanya pasien mengonsumsi obat rutin seperti captropil. Dan
pada riwayat kesehatan keluarga biasanya penyakit hipertensi ini
adalah penyakit keturunan (Brunner & Suddarth, 2005).
Pada pengkajian pola gordon, pola istirahat tidur pasien
mengatakan selama sakit tidak bisa tidur karena pusing, dan tidur
kurang lebih 2 jam sehari dan sering terbangun dan badan terasa
lemas. Tampak lingkaran gelap dimata, tampak sering menguap,
dan tampak gelisah.
Data tersebut telah sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa pusing akan menyebabkan gangguan tidur dan apabila
pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat
gangguan tidurnya (Albertie, 2006). Selain itu Rains (2006) juga
menambahkan bahwa pusing dapat menyebabkan seseorang
terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi
berkurang.
Pada pola aktivitas dan latihan kemampuan perawatan diri
pasien seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas
ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM dibantu orang lain.
Dan pasien tampak lemas. Hal ini dibuktikan pada teori pengkajian
pada pola aktivitas atau istirahat bahwa gejala yang mucul pada
pasien hipertensi yaitu kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
monoton (Brunner & Suddarth, 2005).
67
B. Perumusan Masalah
Diagnosa keperawatan adalah Penilaian klinis tentang respon
individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah atau respon
kehidupan aktual maupun potensial sebagai dasar pemilihan
indervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat
bertanggung jawab (nikmatur dan saiful, 2012).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien hipertensi
yaitu penurunan curah jantung, intoleransi aktivitas, nyeri,
kelebihan volume cairan, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan
otak, ketidakefektifan koping (Asuhan Keperawatan Nanda NIC-
NOC, 2003). Pada Ny. S ditemukan diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis, gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral, dan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Diagnosa pertama yang diangkat penulis pada asuhan
keperawatan Ny. S yaitu nyeri berhubungan dengan agen cidera
biologis. Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera biologis dengan mengacu dari hasil analisa data
yang didapatkan data subyektif yaitu pasien mengatakan kepala
pusing dan terasa panas. Dengan pengkajian nyeri Provoking P :
Nyeri saat berdiri, Quality (Q): Nyeri seperti tertusuk-tusuk,
Region (R) : Nyeri terasa dikepala, Severity (S) : Nyeri skala 7,
Time (T) : Nyeri terasa setiap saat. Data obyektif pasien tampak
68
pucat, tampak memegangi kepala, dan tampak merintih. Tekanan
Darah 170/110 mmHg, nadi: 64x/menit, Respirasi: 20x/menit,
Suhu: 36,5 derajat celsius.
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat
subyektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat
menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (long, 1996).
Secara umum, nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan tidak
nyaman, baik ringan maupun berat (Priharjo, 1992).
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensori
yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan
jaringan yang akual atau potensial, digambarkan dalam istilah
seperti kerusakan (international Association for the Study of Pain);
awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai
berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan
dan durasinya kurang dari 6 bulan (Wilkinson, 2007).
Penulis mengangkat diagnosa nyeri berhubungan dengan
agen cidera biologis karena telah sesuai dengan batasan
karakteristik (Wilkinson, 2007) yang menyebutkan bahwa batasan
karakteristik nyeri yaitu mengungkapkan secara verbal atau
melaporkan dengan isyarat, gerakan menghindari nyeri, posisi
menghindari nyeri, perubahan autonomik dari tonus otot (dapat
dalam rentang tidak berenergi sampai kaku), respon-respon
autonomik (misalnya diaphoresis, tekanan darah, pernafasan atau
69
perubahan nadi, dilatasi pupil), wajah topeng (nyeri), perilaku
menjaga dan melindungi, berfokus pada diri sendiri, gangguan pola
tidur, perilaku ekspresif (misalnya gelisah, merintih, menangis,
kewaspadaan berlebih, peka terhadap rangsang, dan menarik nafas
panjang).
Berdasarkan batasan karakteristik maka etiologi yang dapat
diambil penulis adalah agen cedera biologis. Agen cedera biologis
yang dialami pasien yaitu peningkatan tekanan darah. Peningkatan
tekanan darah terjadi karena tekanan darah dipembuluh arteri
meningkat, peningkatan ini menimbulkan masalah sehingga
jantung dipaksa bekerja lebih keras dari biasanya untuk
mengedarkan darah ke seluruh tubuh (Medkes, 2013). Sehingga
sesuai dengan batasan karakteristik menurut teori.
Memberikan terapi musik klasik bertujuan untuk
mengurangi tekanan darah tinggi pada pasien hipertensi. Tindakan
ini di lakukan untuk mengatasi diagnosa yang pertama. Pemberian
terapi musik klasik dilakukan dengan cara mengukur tekanan darah
pasien hipertensi sebelum dilakukan terapi musik klasik kemudian
diukur kembali tekanan darah setelah dilakukan pemberian terapi
musik klasik.
Penulis juga memberikan edukasi tentang tujuan
pemberikan terapi musik klasik agar nantinya timbul kesadaran
dari pasien untuk melakukan pemberian terapi musik klasik.
70
Memberikan edukasi tentang pemberian terapi musik klasik dirasa
penting bagi penulis karena merupakan salah satu menjaga
keefektifan implementasi ini.
Diagnosa kedua yang diangkat oleh penulis pada asuhan
keperawatan Ny. S yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan
peningkatan tekanan vaskuler serebral. Gangguan pola tidur dapat
di definisikan sebagai gangguan jumlah dan kualitas tidur
(penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu dalam
jumlah dan kualitas (Wilkinson, 2007).
Prioritas diagnosa mengacu dari hasil analisa data yang
didapatkan data subyektif pasien mengatakan sulit tidur kurang
lebih 2 jam sehari karena pusing. Data obyektif tampak lingkaran
gelap dimata, tampak sering menguap, dan tampak gelisah.
Tekanan Darah 170/110 mmHg, Nadi 64x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36,5 Derajat Celsius.
Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena
telah sesuai dengan batasan karakteristik (Wilkinson, 2007) yang
menyebutkan bahwa batasan karakteristik gangguan pola tidur
yaitu bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan,
ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur,
keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan
baik. Batasan karakteristik lain yang mungkin muncul ( Non-
Nanda) yaitu lingkaran gelap dibawah mata, penurunan rentang
71
perhatian, afek datar, sering menguap, tidur terganggu, tidak
bergairah, dan perubahan mood. Berdasarkan batasan karakteristik
maka etiologi yang dapat diambil oleh penulis yaitu peningkatan
tekanan vaskuler serebral. Peningkatan tekanan vaskuler serebral
terjadi karena peningkatan tekanan darah atau hipertensi yang
dipengaruhi oleh curah jantung yang meningkat (Tembayang,
2000). Sehingga sesuai dengan batasan karakteristik menurut teori.
Diagnosa ketiga yang diangkat oleh penulis pada Asuhan
Keperawatan Ny. S yaitu intoleransi aktifitas berhubungan dengan
kelemahan umum dengan mengacu dari hasil analisa data yang
didapatkan data subyektif pasien mengatakan badan terasa lemas
dan saat melakukan aktivitas di bantu oleh keluarga. Data obyektif
tampak lemas dan lemah, tampak berbaring ditempat tidur, dan
tampak makan dan ke kamar mandi dibantu keluarga.
Intoleransi aktifitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis
untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari
yang diinginkan. (Wilkinson, 2007).
Penulis mengangkat diagnosa intoleransi aktivitas karena
telah sesuai dengan batasan karakteristik (Wilkinson, 2007) yang
menyebutkan bahwa batasan karakteristik intoleransi aktivitas
yaitu ketidaknyamanan atau dispneu yang membutuhkan
72
pengerahan tenaga, melaporkan keletihan dan kelemahan secara
verbal.
Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera biologis sebagai prioritas pertama didasarkan
pada teori Hieraki Maslow (fisiologi, rasa aman nyaman, mencintai
dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri) dan menurut Griffith-
Kenney Christense (ancaman kehidupan dan kesehatan, sumber
daya dan dana yang tersedia, peran serta klien, dan prinsip ilmiah
dan praktik keperawatan) (Dermawan, 2012). Nyeri merupakan
kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan bersifat sangat
subjektif dan akan menyebabkan gangguan rasa aman dan nyaman.
Maka penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan nyeri akut
berubungan dengan agen cedera biologis sebagai diagnosa yang
pertama.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah pengembangan strategi
desain untuk mencegah,mengurangi, dan mengatasi masalah-
masalah yang telah di identifikasi dalam diagnosis keperawatan.
Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu
menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efisien. (nikmatur dan saiful, 2012).
Penulis menyusun rencana tindakan dalam diagnosa
keperawatan nyeri akut, gangguan pola tidur dan intoleransi
73
aktivitas berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification)
dengan menggunakan metode ONEC (Observasi, Nursing
Intervetion, Education, Collaboration). Tujuan dan kriteria hasil
ini disusun berdasarkan NOC (Nursing Outcomes Classification)
dengan menggunakan metode SMART (Specific, Meausrable,
Achievable, Realistic, Time) (Dermawan, 2012).
Pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan
agen cidera biologis penulis mencantumkan tujuan yaitu setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam di harapkan
nyeri akut dapat teratasi. Tujuan yang dilakukan pada Ny. S adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri
akut dapat teratasi, batas waktu pencapaian tujuan ini adalah suatu
tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam waktu singkat,
biasanya kurang dari satu minggu. Kriteria waktu ini didasarkan
pada unsur etologi dalam diagnosis keperawatan yang ada
(Nursalam, 2011). Kriteria hasil skala nyeri 1-3, tanda-tanda vital
dalam batas normal tekanan darah 120x/menit, respirasi 16-
24x/menit, nadi 60-100x/menit, suhu 36-37 derajat Celsius, Pasien
mengatakan nyeri atau ketidaknyamanan hilang atau terkontrol,
pasien mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk
mengurangi nyeri (Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Intervensi pada diagnosa pertama yaitu lakukan pengkajian
nyeri, rasionalnya untuk mengetahui karakteristik nyeri. Kontrol
74
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri untuk memberikan
kenyamanan, ajarkan tentang teknik non farmakologi atau relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi nyeri, berikan terapi musik klasik
untuk menurunkan tekanan darah, berikan analgesik untuk
mengurangi nyeri (Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan
dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral penulis
mencantumkan tujuan yaitu setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur
dapat teratasi dengan kriteria hasil jumlah jam tidur dalam batas
normal 6-8 per hari, pola tdur dan kualitas tidur dalam batas
normal, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat, mampu
mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur (Asuhan
Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Intervensi pada diagnosa kedua yaitu jelaskan pentingnya
tidur yang adekuat untuk mengetahui pentingnya tidur yang cukup,
ciptakan lingkungan yang nyaman untuk memberikan
kenyamanan, monitor atau catat kebutuhan tidur pasien setiap hari
atau jam untuk mengetahui pola tidur setiap hari, kolaborasi
pemberian obat tidur untuk meningkatkan pola tidur (Asuhan
Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Pada diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan umum penulis mencantumkan tujuan yaitu
75
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan intoleransi aktifitas dapat teratasi dengan kriteria hasil
berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi, respirasi. Mampu melakukan aktifitas sehari-
hari (ADLs) secara mandiri, tanda-tanda vital normal, mampu
berpindah: dengan atau tanpa alat bantu (Asuhan Keperawatan
Nanda NICNOC, 2013).
Intervensi pada diagnosa ketiga yaitu bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan untuk
mengetahui aktivitas yang dilakukan, bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
dan sosial untuk mengetahui aktifitas yang sesuai kemampuan,
bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang di sukai untuk
mengetahui aktifitas yang disukai, kolaborasi dengan tim
rehabilitasi medik dalam merencanakan terapi yang tepat untuk
meningkatkan aktifitas (Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC,
2013).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan adalah realisasi rencana
tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan
dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (nikmatur dan saiful, 2012).
76
Pada diagnosa yang pertama yaitu nyeri berhubungan
dengan agen cidera biologis implementasi yang dilakukan oleh
penulis yaitu melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
untuk mengetahui karakteristik nyeri, mengontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri untuk memberikan kenyamanan,
mengajarkan tentang teknik nonfarmakologi atau teknik relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri,
memberikan terapi musik klasik untuk menurunkan tekanan darah,
terapi musik klasik diberikan saat tekanan darah pasien diatas
normal. Terapi musik klasik diberikan selama 15 menit. Menurut
teori terapi musik secara umum bertujuan untuk membuat hati dan
perasaan seseorang menjadi senang dan terhibur, membantu
mengurangi beban penderitaan seseorang, dan tempat penyaluran
bakat seseorang. Dengan mendengarkan musik diharapkan dapat
merangsang dan menarik penderita untuk mengikuti alur irama
yang selanjutnya menciptakan suasana santai, gembira yang pada
akhirnya adanya perubahan yang positif (Pillie & Chair, 2002,
dalam Musayaroh 2011). Pemberian terapi musik klasik pada Ny.
S selama 15 menit terbukti efektif sesuai dengan hasil penelitian
yang ditulis dalam jurnal Afniati, dkk (2014). Memberikan
analgesik untuk mengurangi nyeri (Asuhan Keperawatan Nanda
NICNOC, 2013).
77
Diagnosa yang kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
implementasi yang dilakukan oleh penulis yaitu menjelaskan
pentingnya tidur yang adekuat untuk mengetahui pentingnya tidur
yang cukup, menciptakan lingkungan yang nyaman untuk
memberikan kenyamanan, memonitor atau mencatat kebutuhan
tidur pasien setiap hari dan jam untuk mengetahui pola tidur setiap
hari, kolaborasi pemberian obat tidur untuk meningkatkan
kebutuhan tidur (Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Diagnosa yang ketiga intoleransi aktifitas berhubungan
dengan kelemahan umum implementasi yang dilakukan oleh
penulis yaitu membantu klien untuk mengidentifikasi aktifitas yang
mampu dilakukan untuk mengetahui aktifitas yang mampu di
lakukan, membantu untuk memilih aktifitas konsisten yang sesuai
dengan kemampuan fisik, psikologi, dan sosial untuk mengetahui
aktifitas yang sesuai kemampuan, membantu untuk
mengidentifikasi aktifitas yang disukai untuk mengetahui aktifitas
yang disukai klien, kolaborasi dengan tim rehabilitasi medik untuk
merencanakan terapi yang tepat untuk meningkatkan aktifitas klien
(Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)
78
dengan tujuan dan kriteria hasil yang di buat pada tahap
perencanaan. (nikmatur dan saiful, 2012).
Evaluasi dari tindakan yang dilakukan pada tanggal 12
April 2015 dengan metode SOAP (Subjektif, Obyektif, Asessment,
Planning). Evaluasi pada hari pertama diagnosa pertama yaitu
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis, Selasa 10
Maret 2015 pukul 13.00 WIB dengan hasi Subyektif (S) pasien
mengatakan kepala pusing dan terasa panas, Provoking (P): nyeri
saat berdiri, Quality (Q): seperti tertusuk-tusuk, Region (R): nyeri
terasa di kepala, Severity (S): Skala nyeri 6, Time (T) : terasa setiap
saat. Obtektif (O) pasien tampak memegangi kepala, Tekanan
Darah 160/100 mmHg, Nadi 67x/menit, Respirasi 27x/menit, Suhu
36,5 derajat Celsius. Asesssment (A) Masalah belum teratasi
dengan kriteria hasil skala nyeri 1-3, tanda-tanda vital dalam batas
normal, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit,
respirasi 16-24x/menit, pasien mengatakan nyeri atau
ketidaknyamanan hilang atau terkontrol, pasien mampu
menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri dan
Planning (P) lanjutkan intervensi dengan mengontrol lingkungan
yang dapat mempengaruhi nyeri, ajarkan teknik telaksasi nafas
dalam, berikan terapi musik klasik, lakukan pengkajian nyeri yang
komprehensif, berikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
79
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral, Selasa
10 Maret 2015 pukul 13.15 WIB Subyektif (S) pasien mengatakan
sulit tidur, hanya kurang lebih 2 jam sehari. Obyektif (O) Pasien
tampak sering menguap, tampak lingkaran gelap di mata.
Asessement (A) Masalah belum teratasi dengan kriteria hasil
jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari, pola tidur dan
kualitas dalam batas normal, perasaan segar sesudah tidur atau
istirahat, mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
dan Planning (P) lanjutkan intervensi jelaskan pentingnya tidur
yang adekuat, ciptakan lingkungan yang nyaman, monitor atau
catat kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam, kolaborasi
pemberian obat tidur.
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan umum, Selasa 10 Maret 2015
pukul 13.30 WIB Subyektif (S) pasien mengatakan badan lemas
dan beraktivitas dibantu keluarga, Obyektif (O) pasien tampak
lemas dan lemah, tampak berbaring ditempat tidur, tampak makan
dan kekamar mandi dibantu keluarga, Asessment (A) masalah
belum teratasi dengan kriteria hasil berpartisipasi dalam aktivitas
fisik tanpa di sertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan respirasi,
mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri,
tanda-tanda vital normal, mampu berpindah: dengan atau tanpa alat
80
bantu dan Planning (P) lanjutkan intervensi bantu memilih aktifitas
konsisten yang sesuai dengan kemampuan fisik, psikologi dan
sosial, bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang disukai.
Evaluasi hari kedua diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera biologis, Rabu 11 Maret 2015 pukul 14.10
WIB Subyektif (S) pasien mengatakan masih terasa pusing,
Provoking (P): nyeri saat berdiri, Quality (Q): seperti tertusuk-
tusuk, Region (R) nyeri terasa di kepala, Severity (S): Skala nyeri
5, Time (T) : terasa setiap saat. Obyektif (O) pasien tampak sedikit
lemas. Tekanan Darah 140/90 mmHg, Nadi 70x/menit, Respirasi
20x/menit, Suhu 36,5 derajat Celsius. Asessment (A) Masalah
belum teratasi dan Planning (P) lanjutkan intervensi dengan
ajarkan teknik telaksasi nafas dalam, berikan terapi musik klasik,
lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif, berikan analgesik
untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral, Rabu
11 Maret 2015 pukul 14.30 WIB Subyektif (S) pasien mengatakan
masih sedikit sulit tidur, hanya kurang lebih 4 jam sehari. Obyektif
(O) Pasien tampak sering menguap. Asessment (A) Masalah belum
teratasi dan Planning (P) lanjutkan intervensi monitor atau catat
kebutuhan tidur pasien setiap hari dan jam, kolaborasi pemberian
obat tidur.
81
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu intoleransi ativitas
berhubungan dengan kelemahan umum, Rabu 11 Maret 2015 pukul
13.45 WIB Subyektif (S) pasien mengatakan badan masih terasa
sedikit lemas , Obyektif (O) pasien tampak berbaring ditempat
tidur, tampak makan dan ke kamar mandi dibantu keluarga,
Asessment (A) masalah belum teratasi dan Planning (P) lanjutkan
intervensi bantu untuk mengidentifikasi aktifitas yang disukai.
Evaluasi hari ketiga diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera biologis Kamis 12 Maret 2015 pukul 13.00
WIB Subyektif (S) pasien mengatakan masih terasa pusing,
Provoking (P): nyeri saat berdiri lama, Quality (Q): seperti
tertusuk-tusuk, Region (R): nyeri terasa di kepala, Severity (S):
Skala nyeri 3, Time (T): hilang timbul. Obyektif (O) Tekanan
Darah 120/80 mmHg, Nadi: 70x/menit, Respirasi: 20x/menit, Suhu
: 36,5 derajat celsius. Asessment (A) Masalah teratasi sebagian dan
Planning (P) lanjutkan intervensi berikan analgesik untuk
mengurangi nyeri.
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral, Kamis
12 Maret 2015 pukul 13.15 Subyektif (S) pasien mengatakan sudah
bisa tidur. Obyektif (O) pasien tampak segar, tidur 6 jam sehari,
Asessment (A) Masalah teratasi dan Planning (P) hentikan
intervensi.
82
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan umum, Kamis 12 Maret 2015
pukul 13.30 Subyektif (S) pasien mengatakan sudah bisa
melakukan aktifitas sendiri, Obyektif (O) pasien tampak makan dan
ke kamar mandi sendiri secara mandiri. Asessment (A) masalah
teratasi dan Planning (P) hentikan intervensi.
83
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, melakukan
implementasi dan evaluasi serta mengaplikasikan pemberian terapi
musik klasik untuk menurunkan tekanan darah pada Ny. S dengan
hipertensi di rumah sakit umum daerah karanganyar maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
1. Pengkajian
Keluhan utama yang dirasakan pasien yaitu kepala pusing
dan terasa panas. Pada pola kognitif perseptual sebelum sakit
pasien mengatakan dapat berbicara dengan lancar, dapat
melihat dan mendengarkan dengan jelas, selama sakit pasien
mengatakan kepala pusing dan terasa panas P: nyeri saat
berdiri, Q: seperti tertusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kepala, S:
Skala nyeri 7, T : terasa setiap saat. Pasien juga mengatakan
sebelum sakit tidur 6-7 jam sehari, selama sakit pasien
mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya kurang lebih 2 jam
sehari, sering terbangun dan badan terasa lemas. Serta pasien
mengatakan badan lemas dan saat melakukan aktifitas dibantu
oleh keluarganya.
83
84
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada Ny. S yaitu nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis, gangguan pola tidur
berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral,
intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
3. Intervensi Keperawatan
Penulis membuat intervensi keperawatan dalam diagnosa
yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
biologis ini dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam di harapkan nyeri akut dapat
teratasi dengan kriteria hasil nyeri berkurang, dengan kriteria
hasil skala nyeri 1-3, TTV dalam batas normal TD 120/80
mmHg, nadi 16-24 x/menit, respirasi 60-100x/menit, suhu 36-37
derajat Celsius.
Intervensi yang direncanakan penulis yaitu lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif, kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri, ajarkan tentang teknik non
farmakologi atau teknik relaksasi nafas dalam, berikan terapi
musik klasik, berikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
Intervensi keperawatan pada diagnosa kedua yaitu
gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler serebral dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur
85
dapat teratasi dengan kriteria hasil jumlah jam tidur dalam batas
normal 6-8 per hari, pola tdur dan kualitas tidur dalam batas
normal, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat, mampu
mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur
(Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Intervensi pada diagnosa kedua yaitu jelaskan
pentingnya tidur yang adekuat, ciptakan lingkungan yang
nyaman, monitor atau catat kebutuhan tidur pasien setiap hari
atau jam, kolaborasi pemberian obat tidur.
Pada diagnosa ketiga intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan umum penulis mencantumkan tujuan yaitu
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan intoleransi aktifitas dapat teratasi dengan kriteria
hasil berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa di sertai
peningkatan tekanan darah, nadi, respirasi. Mampu melakukan
aktifitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri, tanda-tanda vital
normal, mampu berpindah: dengan atau tanpa alat bantu
(Asuhan Keperawatan Nanda NICNOC, 2013).
Intervensi pada diagnosa ketiga yaitu bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan, bantu untuk
memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi dan sosial, bantu untuk mengidentifikasi aktifitas
86
yang disukai, kolaborasi dengan tim rehabilitasi medik dalam
merencanakan terapi yang tepat.
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa
nyeri berhubungan dengan agen cidera biologis dimulai pada
hari Selasa 10 Maret 2015 sampai dengan Kamis 12 Maret 2015
dan tindakan tersebut meliputi melakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif, mengontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri, mengajarkan tentang teknik non
farmakologi atau teknik relaksasi nafas dalam, memberikan
terapi musik klasik, memberikan analgesik untuk mengurangi
nyeri.
Tindakan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa
gangguan pola tidur berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler serebral dimulai pada hari Selasa 10 Maret 2015
sampai dengan Kamis 12 Maret 2015 dan tindakan tersebut
meliputi menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat,
menciptakan lingkungan yang nyaman, memonitor atau catat
kebutuhan tidur pasien setiap hari atau jam, kolaborasi
pemberian obat tidur.
Tindakan keperawatan pada Ny. S dengan diagnosa
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
dimulai pada Selasa 10 Maret 2015 sampai dengan Kamis 12
87
Maret 2015 dan tindakan tersebut meliputi membantu klien
untuk mengidentifikasi aktifitas yang mampu dilakukan,
membantu untuk memilih aktifitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi, dan sosial, membantu untuk
mengidentifikasi aktivitas yang disukai, kolaborasi dengan tim
rehabilitasi medik.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan
agen cidera biologis yang di lakukan pada hari Kamis 12 Maret
2015, evaluasi terakhir Subyektif (S) pasien mengatakan masih
pusing, Provoking (P): nyeri saat berdiri lama, Quality (Q):
seperti tertusuk-tusuk, Region (R): nyeri terasa di kepala,
Severity (S): nyeri skala 3, Time (T): hilang timbul. Obyektif (O)
Tekanan darah 120/80 mmHg nadi 70x/menit, respirasi
20x/menit, suhu 36 derajat Celsius. Maka dapat disimpulkan
bahwa Asessment (A) masalah teratasi sebagian dan Planning
(P) intervensi di lanjutkan berikan analgesik untuk mengurangi
nyeri.
Evaluasi pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan
dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral yang dilakukan
pada hari Kamis 12 Maret 2015, evaluasi terakhir pasien
mengatakan sudah bisa tidur nyenyak, kurang lebih 6 jam
88
sehari. Pasien tampak segar, tidur 6 jam sehari. Maka dapat
disimpulkan bahwa masalah teratasi dan intervensi dihentikan.
Evaluasi pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan umum yang dilakukan pada hari Kamis 12
Maret 2015, evaluasi terakhir pasien mengatakan sudah bisa
melakukan aktivitas sendiri. Pasien tampak makan dan ke kamar
mandi sendiri tanpa bantuan orang lain atau keluarga. Maka
dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi dan intervensi
dihentikan.
6. Aplikasi Pemberian Terapi Musik Klasik
Dalam pengaplikasian tindakan pemberian terapi musik
klasik terhadap penurunan tekanan darah pada asuhan
keperawatan Ny. S dengan hipertensi di RSUD Karanganyar
selama 3 hari pasien mengatakan nyeri kepala berkurang dari
skala 7 nyeri berat terkontrol menjadi skala 3 yang menandakan
nyeri ringan, dan tekanan darah dari 170/100 mmHg menjadi
120/80 mmHg. Sehingga pemberian terapi musik klasik efektif
dalam menurunkan tingkat nyeri dan menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi, sesuai hasil penelitian yang ditulis dalam
jurnal oleh Muhammad suherly, dkk.
89
B. SARAN
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada
Ny. S dengan hipertensi, penulis akan memberikan usulan dan
masukan positif, khususnya dibidang keperawatan antara lain :
1. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit)
Diharapkan rumah sakit dapat memberikan
pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan
kerjasama yang baik antara tim kesehatan maupun pasien,
diharapkan rumah sakit juga dapat memberikan informasi
lebih tentang pemberian terapi musik klasik klasik kepada
para perawat sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan pada umumnya dan pasien hipertensi
khususnya.
2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
Hendaknya para perawat memiliki tanggungjawab
untuk selalu memperbarui pengetahuan serta
keterampilannya, tak lupa untuk koordinasi tim kesehatan
lain dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami nyeri khususnnya pada pasien hipertensi.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan ada penelitian untuk menyusun karya
tulis ilmiah tentang pemberian terapi musik klasik klasik
pada pasien hipertensi dan diadakan praktek tentang
90
pemberian terapi musik klasik pada pasien hipertensi dengan
benar sehingga dapat mampu meningkatkan mutu dalam
pembelajaran untuk menghasilkan perawat-perawat yang
lebih professional, inovatif, terampil, dan bermutu dalam
memberikan asuhan keperawatan terutama dalam pemberian
implementasi musik klasik pada pasien hipertensi secara
komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
4. Bagi penulis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien
dengan hipertensi diharapkan penulis akan dapat lebih
mengetahui cara pemberian terapi musik klasik yang baik
dan benar terutama pada pasien hipertensi yang mengalami
gangguan nyeri akut dan di harapkan akan menambah
wawasan dalam menangani masalah keperawatan hipertensi.
91
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. 2000., Buku Saku Patofisiologi, Jakarta, EGC.
Dalimartha, dkk. (2008), Care Your Selft Hipertensi. Jakarta: Penebar plus.
Erfandi. 2009. https://forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/16/konsep-
terapi-musik/. 26 Maret 2015 (19.20).
Grey H, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. (2003). Lecture Notes
Kardiologi. Edisi IV. Jakarta: Erlangga.
Herlambang. 2013. Menaklukkan Hipertensi dan Diabetes. Cetakan Pertama.
Tugu Publisher. Jakarta.
Kaplan, N, M, Flynn, J.T, (2006). Clinical hypertension. Nioth Edition. USA:
Lippincolt Williams
Martha, K. (2012), Panduan Cerdas Mengatasi Hipertensi. Yogyakarta:
Araska.
Musayaroh, Nining. (2011). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tekanan
Darah
Pada Penderita Hipertensi. Semarang: Politeknik Kesehatan.
Natalina, D. 2013. Terapi Musik Bidang Keperawatan, Mitra Wacana Media,
Jakarta.
Nugroho T. 2011. Asuhan Keperawatan, Cetakan I, Nuha Medika,
Yogyakarta.
Nurarif, A.H dan Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Nanda
NIC-NOC,
92
NOC, Jilid 2, Mediacting Plishing, Jakarta.
Profil Kesehatan Indonesia 2008. (2009). Jakarta: Departemen
Republik
Indonesia.http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/profil
Kesehatan%20In donesia%202008.pdf diperoleh tanggal 25 Mei
2011.
Rohman N, dan walid. S. 2012. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi.
Cetakan
I, AR- RUZZ MEDIA, Jogjakarta.
Sudoyo, AW. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:
FKUI
Triyanto. E, 2014. Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara
Terpadu, cetakan pertama, graha ilmu, Yogyakarta.
Turgor. (2003). Hipertensi essensial. Dalam : buku ajar cardiologi. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Udjianti, WJ. (2010). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta : Salemba
Medika.
Wilkinson. J. M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 7, Buku
Kedokteran. ECG, Jakarta.
Yahya, (2005). Sebelum Jantung Anda Berhenti Berdetak. Bandung : Kaifa.
Yakin. (2010). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tekanan Darah. Semarang:
Politeknik Kesehatan.