Acute Coronary Syndroma

79
Pendahuluan Penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab tehadap hampir setengah dari kematian di USA dan negara maju lainnya, serta seperempat kematian di negara berkembang. Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskuler akan menyebabkan satu dari tiga kematian di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998. Sindroma koronaria akut (SKA) termasuk salah satu penyakit kardiovaskular yang mengancam jiwa dan merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai. Diagnosis dini dan penanganan yang cepat merupakan hal yang sangat penting dan secara langsung mempengaruhi harapan hidup. Definisi

description

Acute Coronary Syndroma

Transcript of Acute Coronary Syndroma

Page 1: Acute Coronary Syndroma

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskuler bertanggung jawab tehadap hampir setengah dari

kematian di USA dan negara maju lainnya, serta seperempat kematian di negara

berkembang. Pada tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskuler akan menyebabkan

satu dari tiga kematian di seluruh dunia.

Penyakit kardiovaskular saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab

kematian di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan secara

berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler

memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993

dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998.

Sindroma koronaria akut (SKA) termasuk salah satu penyakit kardiovaskular

yang mengancam jiwa dan merupakan kasus gawat darurat yang sering dijumpai.

Diagnosis dini dan penanganan yang cepat merupakan hal yang sangat penting dan secara

langsung mempengaruhi harapan hidup.

Definisi

Sindroma koronaria akut adalah gabungan gejala klinik yang menadakan iskemia

miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST

segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi

segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina

pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan

erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum

yang mengalami nekrosis.

Page 2: Acute Coronary Syndroma

UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan

patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)

dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi

yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,

sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.

Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi

sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa perubahan

EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau

adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam,

maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak stabil seringkali tak bisa dibedakan

dari NSTEMI.

Faktor yang mempengaruhi aliran koroner

1. Keadaan anatomis dan mekanis

Arteri koroner bermuara di pangkal aorta pada sinus valsava, yang berada di

belakang katup aorta. Arus darah yang keluar dari ventrikel kiri bersifat turbulen

yang meneyebabkan terhambatnya aliran koroner.

2. Faktor mekanis akibat tekanan pada arteri koroner

Arteri koroner tidak seluruhnya berada di permukaan jantung, tetapi sebagian

besar berada di miokard, sehingga waktu jantung berkontraksi (sistol) tekanan

intra miokard meningkat, hal ini akan menghambat aliran darah koroner. Karena

itu dapat dipahami aliaran darah koroner 80% terjadi saat diastol dan 20% saat

sistol.

Page 3: Acute Coronary Syndroma

3. Sistem otoregulasi

Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi (vasokontriksi)

maupun berdilatasi (vasodilatasi) baik oleh rangsangan metabolis maupun adanya

zat-zat lain seperti adenin ino K+, prostaglandin dan kinin. Demikian pula oleh

karena adanya regulasi syaraf, baik yang bersifat alfa dan beta adrenergik,

maupun yang bersifat tekanan (baroreseptor).

4. Tekanan perfusi

Meskipun aliran darah ke dalam arteri koroner dapat terjadi, tetapi perpusi ke

dalam jaringan membutuhkan tekanan tertentu, yang disebut tekanan perfusi.

Tekanan perfusi dipengaruhi oleh tekanan cairan di dalam rongga jantung,

khususnya tekanan ventrikel kiri, yang secara umum diketahui melalui

pengukuran tekanan darah. Tekanan perfusi normal antara 70 mmHg sampai 130

mmHg.

Pada tekanan perfusi normal tersebut sistem otoregulasi berjalan dengan baik.

Bila tekanan perfusi menurun dibawah 60 mmHg, maka sistem regulasi aliran

darah koroner tidak bekerja, sehingga aliran darah koroner hanya ditentukan oleh

tekanan perfusi itu sendiri. Hal itu menyebabkan kebutuhan jaringan tidak

tercukupi. Dalam klinis keadaan ini menunjukkan suatu fase hipotensif yang

mengarah ke gagal jantung. Artinya kerja jantung tidak mencukupi kebutuhan

dirinya sendiri, karena sistim otoregulasi lumpuh.

Page 4: Acute Coronary Syndroma

Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya SKA dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu

fakor resiko yang dapat di modifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.

Sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu merokok, dislipidemia, diabetes

mellitus, hipertensi, dan obesitas.

A. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

1. Usia

Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan

antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan

yang lebih panjang terhadap faktor-faktor aterogenik.

2. Jenis kelamin

Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,

setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan

estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum

menopause.

3. Ras

Orang bAmerika-Afrika lebih rentan tehadap aterosklerosis daripada orang kulit

putih.

4. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner

Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara

atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan

Page 5: Acute Coronary Syndroma

kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Besarnya pengaruh genetik dan

lingkungan belum diketahui. Komponen genetik dapat dikaitkan pada beberapa

bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya, seperti pada

gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula mencerminkan

komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau

obesitas.

B. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

1. Merokok

Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap

dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan

arteri, nikotin menyebakan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan

reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan

glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding arteri.

2. Dislipidemia

Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal

dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida

adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting

sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak

larut dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein,

yaitu; kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,

sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi

terdapat pada HDL.

Page 6: Acute Coronary Syndroma

Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit

jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi berperan sebagai faktor

pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata

bersifat aterogenik. Rasio kadar LDL dan HDL dalam darah mempunyai makna

klinis untuk terjadinya aterosklerosis.

3. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan di

bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar

menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya

LDL yang berikatan dengan dinding vaskuler.

4. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.

Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan

tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan

hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung.

Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan

oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,

akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.

Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah

akibat tekana tinggi yang lama (endothelial injury).

Page 7: Acute Coronary Syndroma

5. Obesitas

Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada

umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.

Faktor Pencetus

1. Hipertensi

Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh darah

akibat tekanan tinggi yang lama. Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan

terjadinya rupturnya plak pada pembuluh darah.

2. Anemia

Adnya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk

ke jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk

meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di jantung

meningkat. Ketidakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen mengakibatkan

gangguan pada jantung.

3. Kerja fisik/olahraga

Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan

miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen

tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa

terjadi infark

Page 8: Acute Coronary Syndroma

Patogenesis

Sebagian besar SKA terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis sehingga terbentuk

thrombus di atas ateroma. Thrombus tersebut secara akut menyumbat lumen arteri

koroner.

Ateroskerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan

pengerasan dari dinding pembuluh dara yang disebabkan oleh akumulasi makrofag yang

berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak. Aterosklerosis

bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi yang dapat

mempengaruhi system vaskuler seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma

iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut

merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.

Aterosklerosis merupakan proses inflamasi. Secara patologis lesi berasal dari

disfungsi dan jejas endotel yang berkembang menjadi fatty streak kemudian menjadi plak

fibrosis dan akhirnya terbentuk lesi yang kompleks. Aterosklerosis dimulai dengan jejas

terhadap sel endotel yang melapisi dinding arteri. Penyebab yang mungkin dari jejas

endotel tersebut adalah tersebut adalah faktor resiko yaitu merokok, hipertensi, diabetes

mellitus, peningkatan LDL, HDL yang kurang, dan hiperhomosisteinemia. Penyebab lain

dapat berupa peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi

insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. Ketika jejas terjadi,

mengakibatkan disfungsi endotel dan peradangan yang diikuti proses patofisiologi

sebagai berikut :

1. Sel endotel yang mengalami jejas terjadi peradangan dan tidak dapat mensintesis

jumlah normal dari antitrombokin dan sitokin vasodilatasi.

Page 9: Acute Coronary Syndroma

2. Terlepasnya berbagai sitokin proinflamasi termasuk TNF alfa dan interferon gamma,

IL-1, oksigen radikal dan heat shock protein.

3. Terlepasnya angiotensisn II, fibroblast growth factor, dan PDGF yang merangsang

proliferasi sel otot polos pada dinding pembuluh darah.

4. Perlekatan makrofag pada endotel yang mengalami jejas dengan bantuan molekul

adhesi, misalnya VCAM-1.

5. Makrofag tersebut kemudian melepas enzim dan radikal bebas dan menyebabkan

stress oksidatif, LDL teroksidasi, juga jejas lebih lanjut pada dinding pembuluh darah.

Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi

dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes

mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL yang

dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. LDL

teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot

polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi mauk ke dalam tunika intima

dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL

disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk

jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh

darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak memproduksi

radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan perubahan inflamasi dan

imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih ptogresif. Kemudian terjadi proliferasi

sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos

tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth

factor (TGF beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan

Page 10: Acute Coronary Syndroma

menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul

gejala klinis (angina atau claudication intermitten).

Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak menimbulkan gejala

klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak terjadi akibat aktivasi reaksi

inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga

menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan

berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur.

Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung

menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL teroksidasi

dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek (ulserasi atau rupture)

terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan mediator inflamasi yang multiple,

sekresi macrophage-derived degradative enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika

rupture, terjadi adhesi platelet terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade

pembekuan darah, dan pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut

dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.

Page 11: Acute Coronary Syndroma

Gambar 1: Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

Patofisiologi

Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan. Namun,

apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus akibat plak

aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom koroner akut.

- Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat mencetuskan

terjadinya infark.

- Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan kerusakan

ireversibel dari otot jantung.

Atherosclerotic plaque with a lipid-rich core and thin

fibrous cap

Shear forces, inflammation, apoptosis, macrophage-

derived degradative enzymes

Increased inflammation with release of multiple cytokines,

platelet activation and adherence, production of

thrombin and vasoconstrictors

Rupture of plaque

Thrombus formation over lesion plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary blood flow

Unstable angina or myocardial infarction

Page 12: Acute Coronary Syndroma

Gambar 2 : Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

Unstable angina

Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan

kebutuhan oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi). Berkurangnya

suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter lumen pembuluh

darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau thrombus. Pada banyak

pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya suplai oksigen lebih banyak

Atherosclerotic plaque partially obstructs coronary blood flow

Stable plaque

Stable angina

Unstable plaque with ulceration or rupture and thrombosis

Acute coronary syndromes

Trancient ischemia

Sustained ischemia

Unstable anginaMyocardial infarction

Myocardial inflammation and necrosis

Stunned myocytes

Hibernating myocytes

Myocardial remodeling

Page 13: Acute Coronary Syndroma

terjadi dibandingkan peningkatan oksigen demand. Tetapi pada beberapa kasus,

keduanya dapat terjadi secara bersamaan.

Mekanisme pengurangan suplai oksigen dipengaruhi oleh agregasi

trombosit, thrombosis, dan vasokonstriksi koroner.

Agregasi platelet. Beberapa penelitian menyatakan bahwa agregasi platelet

memainkan peranan penting sebagai faktor presipitasi terjadinya episode iskemik

seperti yang terjadi pada infark miokard akut. Platelet dan sel endotel koroner

berinteraksi dalam satu kesatuan. Platelet menghasilakn tromboxan A2 yang

merupakan proagregatory dan vasokonstriktor, sedangkan sel endotel normal

menghasilkan antiagregatory vasodilator protasiklin (prostaglandin I2) maupun

tissue plasminogen activator (t-PA) dan endothelium-derived relaxing factor.

Proses iskemia terjadi akibat vasokonstriksi koroner yang disebabkan karena

akumulasi tromboxan A2. serotonin serta pengurangan jumlah prostaglandin I2

dan inhibitor agregasi plateat.

Thrombosis. Proses aktif thrombus juga terjadi pada pasien unstable angina.

Thrombus intrakoroner muncul karena hiperkoagulabilitas akibat proses

fibrinolisis yang terganggu.

Vasokonstriksi Koroner. Disfungsi endotel mengakibatkan keluarnya mediator

endothelin I yang berefek vasokonstriksi dan berkurangnya mediator vasodilator

seperti protasiklin dan endothelium-derived relaxing factor. Vasokonstriksi ini

menyebabkan sempitnya lumen dan meningkatkan resistensi vaskuler. Disfungsi

endotel juga mengakibatkan proses fibrinolisis terganggu.

Page 14: Acute Coronary Syndroma

Dalam proses atherosklerosis, agregasi trombosit, pembentukan thrombus,

dan vasokonstriksi koroner dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan dalam

waktu yang berbeda sehingga terjadi unstable angina.

Empat proses patofisiologi pada unstable angina, adalah:

1. Ruptur atau erosi plak ditambah adanya thrombus non-oklusif

2. Obstruksi dinamik (cth. Spasme koroner pada Prinzmetal’s variant angina)

3. Obstruksi mekanik yang progresif (cth. Atherosclerosis coroner atau

restenosis setelah PCI (percutaneus coronary intervention)).

4. Unstable angina sekunder akibat meningkatnya oksigen demand dan/atau

kurangnya suplai oksigen (cth. anemia).

Lebih dari satu proses di atas terjadi pada pasien unstable angina.

Infark miokard

Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat terjadi

nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan, progresivitas

plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI sama halnya seperti

yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya. Namun, pada MI

trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh darah dalam waktu yang

lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat berkembang menjadi nekrosis dan

kematian miosit. Jika thrombus lisis sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal

yang komplet, infark yang terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada

langsung di bawah endokardium (subendocardial MI).

Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent, maka

infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga menyebabkan disfungsi

Page 15: Acute Coronary Syndroma

jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis, MI transmural harus

diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius dan harus

mendapat terapi yang segera.

Jejas Selular. Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu 20

menit sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat pada 30-60

detik setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan metabolisme yang non

fungsional, sel miosit tetap viable jika darah kembali dalam 20 menit. Penelitian

menunjukkan bawa sel miosit dapat beradaptasi terhadap perubahan suplai

oksigen. Proses tersebut dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik

penurunan aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih

dingin. Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70% dari

kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit daripada

metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian berakumulasi

sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat sensitif pada pH yang

rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah. Asidosis menyebabkan

miokardium menjadi rentan terhadap kerusakan lisosom yang mengakibatkan

terganggunya fungsi kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi

gagal jantung. Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K, dan

Mg. secara normal miokardium berespon terhadap kadar katekolamin (epinefrin

dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada sumbatan arteri yang signifikan, sel

miokardium melepaskan katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi

simpatis dan parasimpatis, disritmia dan gagal jantung. Katekolamin merupakan

mediator pelepasan dari glikogen, glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh.

Page 16: Acute Coronary Syndroma

Oleh karena itu terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma

dalam satu jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid)

yang berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE

meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel hepar dan

sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas sehingga produksi

insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia terjadi setelah

72 jam onset serangan.

Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard berkontribusi dalam

patogenesis MI, dengan cara yaitu:

1. Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan sehingga

meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah penurunan

kemampuan kontraktilitas jantung

2. Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor sel otot

polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung, sehingga

merangsang peningkatan kadar katekolamin dan memperparah

vasospasme koroner.

Kematian selular. Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit

merupakan jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan kematian sel dan

nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium dapat menyebabkan pelepasan

beberapa enzim intraseluler tertentu melalui membrane sel yang rusak ke dalam

ruang intersisisal. Enzim yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh

darah limfe ke pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.

Page 17: Acute Coronary Syndroma

Perubahan fungsional dan struktural. Infark miokardial menyebabkan

perubahan fungsional dan struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat

pada table di bawah ini.

Waktu setelah MI

Perubahan Jaringan Tahapan Proses Pemulihan

6-12 jam Tidak ada perubahan makroskopis; sianosis subseluler dengan penurunan temperatur

Belum dimulai

18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; slight pallor

Respon inflamasi; pelepasan enzim intraseluler

2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat di tengah dan hiperemis di sekitar tepi

Enzim proteolitik dipindahkan oleh debris; katekolamin, lipolisis, dan glikogenolisis meningkatkan glukosa plasma dan FFA untuk membantu miokard keluar dari anaerobic state

4-10 hari Area soft, dengan degenerasi lemak di tengah, daerah perdarahan pada area infark

Debris telah dibersihkan; collagen matrix laid down

10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue dengan awal revaskularisasi

Penyembuhan berlanjut namun area sangat lunak, mudah dipengaruhi stress

6 minggu Jaringan parut biasanya telah komplit

Jaringan parut kuat yang tidak elastis menggantikan miokardium yg nekrosis

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat dalam

beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan EKG. Miokardium

yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang dapat berkembang menjadi

nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau menjadi normal kembali. Jaringan

jantung yang dikelilingi daerah infark juga mengalami perubahan yang dapat

dikategorikan ke dalam:

Page 18: Acute Coronary Syndroma

1. Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi kontraktilitas yang

berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari setelah perfusi kembali

normal.

2. Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi persisten dan

telah mengalami adaptasi metabolic.

3. Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai Angiotensin II,

aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin inflamasi yang menyebabkan

hipertrofi miositdan penurunan fungsi kontraktilitas pada daerah jantung yang

jauh dari lokasi infark

Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat dari

aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker setelah MI.

Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi oleh ukuran dan

lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1). Penurunan kontraktilitas

jantung dengan gerak dinding jantung abnormal, (2). Perubahan compliance

dari ventrikel kiri, (3). Penurunan stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi,

(5). Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA

node, (7). Disritmia yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai

MI.

Fase Perbaikan. Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah

yang diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel yang

rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak tipe sel,

hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses penyembuhan dapat

berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi infiltrasi lekosit dalam jaringan

Page 19: Acute Coronary Syndroma

nekrotik dan degradasi jaringan nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil

scavenger. Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya

katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya glukosa

dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi insulin yang

meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar gula darah. Pada

10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang lemah dan rentan

terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya individu merasa sehat

dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga proses penyembuhan

terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara utuh diganti oleh jaringan

parut yang kuat namun tidak dapat berkontraksi seperti jaringan miokardium

yang sehat.

Page 20: Acute Coronary Syndroma

Diagnosis dan Gambaran Klinis Bagi Angina Pektoris Tidak Stabil

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang dengan

keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan oleh trauma,

yang mengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama berusia > 35 tahun

atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian khusus dan evaluasi lebih

lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan posisi, penekanan, pengaruh

makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya faktor resiko.

Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik, ditekan, diremas,

ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di blakang sternum, dibagian

tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada, tidak dapat ditunjuk dengan

satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang, bahu, punggung, lengan kiri atau

kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak hilang setelah 5 menit istirahat atau

pemberian nitrat.

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina

yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih

lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.

Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual sampai

muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali

tidak ada yang khas.

Pada tahun 1989, Braunswald menganjurkan dibuat kalsifikasi supaya ada

keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.

Page 21: Acute Coronary Syndroma

Beratnya angina :

Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya

nyeri dada.

Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi

tak ada serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

Klas III. Adanya serangan angina dalam waktu istirahat dan terjadinya secara akut

baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

Keadaan Klinis:

Kelas A. Angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, ineksi lain atau

febris.

Kelas B. Angina tak stabil yang primer, tak ada faktor extra cardiac.

Kelas C. Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Pemeriksaan Penunjang

i) Elektrokardiografi (ECG)

Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko

pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukan kemungkinan

adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti

depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak

spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4%

mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.

Page 22: Acute Coronary Syndroma

ii) Exercise test

Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara

lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya mitral

insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan prognosis

kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan adanya iskemi

miokardium.

iii) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai

petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology

(ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24

jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat

kenaikan troponin.

CKMB kurang spesifik karena juga ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk

diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam

48jam.

Page 23: Acute Coronary Syndroma

Diagnosis dan Gambaran Klinis Bagi Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

Evaluasi klinis

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium dengan ciri

khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau

tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis

berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki gejala dengan onset baru

angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih baik berbanding dengan memiliki

nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop

atau nyeri lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang

lebih besar terutama pasien lebih dari 65 tahun.

Elektrokardiogram

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal

penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial Ischemia

Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0.05mV merupakan

predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk meningkat secara progresif dengan

memberatnya depresi segmen ST dan baik depresi segmen ST maupun perubahan

troponin T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan

NSTEMI.

Page 24: Acute Coronary Syndroma

Biomarker Kerusakan Miokard

Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih

disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada

pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4jam dan

dapat menetap sampai 3-4minggu.

Stratifikasi Risiko

Penilaian klinis dan EKG merupakan pusat utama dalam pengenalan dan

penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka keadaan ini memerlukan

terapi awal yang segera. Beberapa pendekatan untuk stratifikasi telah tersedia.

Skor TIMI

Skor risiko merupakan suatu metoda sederhana dan sesuai untuk stratifikasi

risiko, dan angka faktor risiko bebas pada presentasi kemudian ditetapkan. Skor risiko ini

berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada

empat penelitian dan satu registry. Dengan meningkatnya skor risiko, telah terobservasi

manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan low molecular weight

heparin (LMWH) versus unfractionated heparin (UFH), dengan platelet GP Iib/IIIa

receptor blocker tirofiban versus palcebo, dan strategi nivasif versus konservatif.

Pada pasien untuk semua level skor risiko TIMI, penggunaan klopidogrel

menunjukkan penurunan keluaran yang buruk relatif sama. Skor risiko juga efektif dalam

memprediksi keluaran yang buruk pada pasien yang pulang.

Page 25: Acute Coronary Syndroma

Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

Usia ³ 65 tahun

³ 3 faktor risiko PJK

Stenosis sebelumnya ³ 50%

Deviasi ST

³ 2 kejadian angina £ 24 jam

Aspirin dalam 7 hari terakhir

Peningkatan petanda jantung

Tabel 1: Skor risiko TIMI untuk UA/NSTEMI

Penanda biologis (Biomarker) multipel untuk penilaian risiko

Newby et.al mendemonstrasikan bahwa strategi bedside menggunakan mioglobin,

creatinine kinase-MB dan troponin I memberikan stratifikasi risiko yang lebih akurat

dibandingkan jika menggunakan petanda tunggal berbasis laboratorium. Sabatine et.al

mempertimbangkan 3 faktor patofisiologi vyang terjadi pada UA/NSTEMI yaitu:

Ketidakstabilan plak dan nekrosis otot yang terjadi akibat mikroembolisasi

Inflamasi vaskular

Kerusakan ventrikel kiri

Masing-masing dapat dinilai secara independen berdasarkan penilaian terhadap

petanda-petanda seperti cardiac-specific troponin, C-reactive protein dan brain-natriuretic

peptide, berturut-turut. Pada penelitian TACTICS-TIMI 18, di mana risiko relatif,

mortalitas 30 hari pasien-pasien dengan marker 0,1,2, dan 3 semakin meningkat berkali

Page 26: Acute Coronary Syndroma

lipat 1,2.1,5.7 dan 13 berturut-turut. Pendekatan ini dengan berbagai petanda

laboratorium ini sebaiknya tidak digunakan sendiri-sendiri tapi harusnya dapat

memperjelas penemuan klinis.

Diagnosis dan Gambaran Klinis Bagi Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST

Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada

yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ³ 2mm, minimal pada dua sadapan

prekordial yang berdampingan atau ³ 1mm pada dua sadapan ektremitas. Pmeriksaan

enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun

keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan

enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is

muscle.

Anamnesis

Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari

jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu

dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula

apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain

hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung

koroner pada keluarga.

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,

seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun

Page 27: Acute Coronary Syndroma

STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi

hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu

mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,

karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti

ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan

lemas.

Page 28: Acute Coronary Syndroma

Gambar 3 : Pola nyeri dada pada iskemia miokard

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi

aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu

ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus

dan usia lanjut.

Page 29: Acute Coronary Syndroma

Gambar 4: Diagnosis banding nyeri dada

Pemeriksaan Fisik

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali

ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit

dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark

anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau

hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas

parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan

intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat

ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena

Page 30: Acute Coronary Syndroma

disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai

380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .

Elektrokardiogram

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri

dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit

sejak kedatangan di UGD. Pemriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti

kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang

bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak

diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat

STEMI, EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara

kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.

Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi

kemungkinan infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami

evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard

gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika

obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak

kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau

NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan

gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural

digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan

infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara

Page 31: Acute Coronary Syndroma

segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG

dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q

atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.

Gambar 5 : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL

Laboratorium

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)

Pemriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac

Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan

sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,

karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan

Page 32: Acute Coronary Syndroma

elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak

tergantung pada pemeriksaan biomarker.

Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya

nekrosis jantung (infark miokard)

CKMB: menigkat setelah 3 jam bial ada infark miokard dan mencapai puncak

dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat

pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila

ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat

dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

Mioglobinv: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam

4-8 jam.

Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan

mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark

miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Page 33: Acute Coronary Syndroma

Biomarker Berat molekul (Da)

Rentang waktu untuk

meningkat

Rerata waktu evaluasi puncak (nonreperfusi)

Waktu kembali ke rentang

normalSering di praktek klinik

CKMB cTnI cTnT

860002350033000

3-12jam3-12jam3-12jam

24jam24jam

12jam-2hari

48-72jam5-10hari5-14hari

MyoglobinCKMB Tissue

Isoform

CKMM TissueIsoform

17800

86000

86000

1-4jam

2-6jam

1-6jam

6-7jam

18jam

12jam

24hari

tidak diketahui

3jamTabel 2. Biomarker Molekuler Untuk Evaluasi Pasien Infark Miokard dengan

Elevasi ST

Gambar 6 : Perubahan konsentrasi enzim plasma setelah infark miokard

Page 34: Acute Coronary Syndroma

Penatalaksanaan

1. Angina Pektoris Tidak Stabil (unstable angina)

a. Tindakan umum

Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, dan

diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau

petidin perlu ada pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah

mendapat nitrogliserin.

b. Terapi Medikamentosa

Nitrat

Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,

dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress

dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai dengan vasodilatasi

pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Yang ada di Indonesia

terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara intravena dengan dosis

1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat diganti isosorbid dinitrat per oral.

Penyekat Beta

Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek

penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700

pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan risiko infark sebesar

13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada kontraindikasi

Page 35: Acute Coronary Syndroma

seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker seperti propanolol,

metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang menunjukkan effektivitas yang

serupa.

Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar : golongan dihidropiridin

seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil. Kedua

golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan tekanan darah.

Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi lebih kuat dan

penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif

juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki survival dan mengurangi infark

pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang

berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan

nondihidropiridin pada pasien SKE dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis

kalsium pada pasien yang ada kontraindikasi dengan beta-bloker

Obat antiagregasi trombosit

Obat antiplatelet merupakan satu dasar dalam pengobatan UA maupun NSTEMI.

Tiga golongan obat antiplatelet seperti aspirin, tienopiridin dan GPIIb/IIIa inhibitor telah

terbukti bermanfaat.

Aspirin

Banyak studi telah membuktikan bahaw aspirin dapat mengurangi kematian

jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin dianjurkan

Page 36: Acute Coronary Syndroma

seumur hidup dengan dosis awal 160mgper hari dan dosis selanjutnya 80-325 mg per

hari.

Tiklopidin

Tiklopidin suatu derivat tienopiridin merupakan obat lini kedua dalam pengobatan

UA bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek

samping granulositopenia, dimana insidennya 2,4%. Dengan adanya klopidogrel yang

lebih aman pemakaian tiklopidin mulai ditinggal.

Klopidogrel

Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi platelet.

Klopidogrel juga terbukti dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular

dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin. AHA menganjurkan pemberian

klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel

dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg per hari.

Glikoprotein IIb/IIIa

Ikatan fibrinogen dengan reseptor GR Iib/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir

pada proses agregasi platelet. Karena GPIIb/IIIa inhibitor menduduki reseptor tadi maka

ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi.3

macam obat golongan ini yaitu: absiksimab, suatu antibodi monoklonal; eptifibatid, suatu

siklik heptapeptid; dan tirofiban, suatu nonpeptid mimetik. Tirofiban dan eptifibatid harus

diberikan bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemi terus-menerus atau

pasien risiko tinggi dan pasien yang direncanakan untuk tindakan PCI. Abciximab

disetujui untuk pasien dengan UA dan NSTEMI yang direncanakan untuk tindakan

invasif di mana PCI direncanakan dalam 12 jam.

Page 37: Acute Coronary Syndroma

Obat antitrombin

Unfractionated Heparin

Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai rantai

polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang berbeda-beda.

Antitrombin III, bila terikat dengan heparin, akan bekerja menghambat trombin dan

faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap trombus yang kaya trombosit dan

heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.

Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)

LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.

Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya bekerja pada faktor

Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan enoksaparin

Stratifikasi Risiko

Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah:

- pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak

ada serangan

- sebelumnya tidak memakai obat anti angina

- ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.

- Enzim jantung tidak meningkat termaasuk troponin dan biasanya usia

lebih muda.

Page 38: Acute Coronary Syndroma

Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah:

- Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu

istirahat

- Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus

- Tidak ada perubahan ST segmen

- Enzim jantung tidak meningkat.

Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah:

- Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat

terapi yang intensif

- Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau ”rales” pada

pemeriksaan fisik

- Terdapat perubahan segmen ST yang baru

- Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.

Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,

maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko

rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya pasien dengan risiko tinggi

yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan kemungkinan tindakan

revaskularisasi.

Page 39: Acute Coronary Syndroma

2. Infark miokard akut tanpa elevasi ST

Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk

deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus

dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:

Terapi antiiskemia

Terapi antiplatelet/antikoagulan

Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

Terapi antiiskemia

Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk

menghilangkan nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan

penyekat beta oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan

iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.

Nitrat

Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami

nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap stelah diberikan nitat sublingual 3 kali dengan

interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit).

Penyekat Beta

Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60kali/menit.

Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantungseperti diltiazem dan verapamil

pada pasieen dengan nyeri dada persisten.

Page 40: Acute Coronary Syndroma

Terapi antitrombotik

Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis

NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated

fibrin betanggungjawab atas klot.

Terapi antiplatelet

Aspirin

Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah

dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga aspirin

menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI. Sindrom ”resistensi

aspirin” muncul baru-baru ini. Sindrom ini dideskripsi dengan bervariasi sebagai

kegagalan relatif untuk menghambat (inhibisi) agregasi platelet dan/atau kegagalan untuk

memperpanjang waktu pendarahan, atau perkembangan kejadian klinis sepanjang terapi

aspirin. Pasien-pasien dengan resisitensi aspirin mempunyai risiko tinggi terjadi rekuren.

Walaupun penelitian prospektif secara acak belum pernah dilaporkan pada pasien-pasien

ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, wlaaupun aspirin sebaiknya juga

tidak dihentikan.

Klopidogrel

Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada

permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaanya

pada UA/NSTEMI terutama berdasarkan penelitian Clopidogrel in Unstable Angina To

Prevent Recurrent Ischemic Events (CURE) dan Clopidogrel for The reduction of Events

Page 41: Acute Coronary Syndroma

During Observation (CREDO). Efek bermanfaat ditemukan unutk semua subkelompok,

termasuk kelompok tanpa deviasi segmen ST dan kelompok yang memiliki skor risiko

TIMI rendah. Namun, klopidogrel dikaitkan dengan peningkatan pendarahan mayor dan

minor, sejalan dengan kecenderungan peningkatan pendarahan yang mengancam jiwa

(life-threatening bleeding).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian, maka klopidogrel direkomendasi sebagai obat

lini pertama (first-line drug) pada UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi

pendarahan dan pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan

pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini

Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi

Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

Terapi antikoagulan

UFH (Unfractionated heparin)

Manfaat UFH jika ditambah aspirin telah dibuktikan dalam tujuh tahun penelitian

acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah digunakan dalam tatalaksana UA/NSTEMI

untuk lebih dari 15 tahun. Namun demikian terdapat kerugian pada penggunaan UFH.

Produksi antbodi antiheparin mungkin berhubungan dengan heparin-induced

thrombositopenia. Ikatan ini menimbulkan efek antikoagulan yang tidak menentu,

memerlukan monitor lebih sering terhadap activated partial thromboplastin time (aPTT),

pengaturan dosis dan membutuhkan infus intravena kontinu.

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)

Page 42: Acute Coronary Syndroma

Kerugian pada penggunaan UFH sebagian besar dapat diatasi dengan penggunaan

LMWH. Pentingnya pemantauan efek antikoagulan tidak diperlukan dan kejadian

trombositopenia yang diinduksi heparin berkurang. LMWH adalh inhibitor utama pada

sirkulasi trombin dan juga faktor Xa sehingga obat ini mempengaruhi tidak hanya kinerja

trombin dalam sirkulasi (efek anti factor IIa), tapi juga mengurangi pembentukan trombin

(efek anti factor Xa).

Strategi invasif dini versus konservatif dini

Trial klinis multipel membuktikan keuntungan dari strategi invasib yang dini pada

pasien dengan risiko tinggi seperti pasien dengan faktor risiko multipel, deviasi segmen

ST, dan/atau biomarker yang positif (Tabel kls I.). Pada strategi ini, arteriografi koroner

dilakukan dalam 48jam setelah admisi, setelah diberikan terapi anti iskemik dan anti

trombotik. Ini disusuli dengan revaskularisasi koroner (PCI atau CABG), tergantung

anatomi koroner pasien.

Strategi ini adalah kos efektif buat pasien dengan risiko tinggi. Pada pasien

dengan risiko rendah, hasil dari strategi invasif hampir sama dengan strategi konservatif

dini, dimana pasien mendapat terapi anti iskemik dan anti trombotik diikuti dengan

“watchful waiting”. Arteriografi hanya dilakukan jika terdapat nyeri dada pada waktu

istirahat, perubahan pada ST segmen atau adanya bukti iskemia pada stress test.

Page 43: Acute Coronary Syndroma

Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini

angina rekuren saat intirahat / aktivitas tingkat rendah walaupun mendapat

terapi

Peninggian troponin I atau T

Depresi segmen ST baru

Angina/iskemia rekuren baru dngan gejala gagal jantung kongestif, ronki.

regurgitasi mitral

Tes stress positif

Fraksi ejeksi kurang dari 40%

Penurunan tekanan darah

Takikardia ventrikel sustained

PCI < 6 bulan, CABG sebelumnya

Tabel 3. Rekomendasi Klas I Untuk Penggunaan Strategi Invasif Dini

Perawatan Untuk Pasien Risiko Rendah

Tes stres noninvasif sebaiknya dilakukan pada pasien risiko rendah, dan pasien

yang hasil tesnya menunjukkan gambaran risiko tingi sebaiknya segera menjalani

arteriografi koroner dan berdasarkan temuan anatomi revaskularisasi dapat dilakukan.

Arteriografi koroner dapat dipilih pada pasien-pasien dengan tes positif tapi tanpa temuan

risiko tinggi.

Page 44: Acute Coronary Syndroma

Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder

Tatalaksana terhadap faktor risiko antara lain mencapai berat badan yang optimal,

nasihat diet, penghentian merokok, olahraga, pengontrolan hipertensi dan tatalaksana

intensif diabetes melitus dan deteksi adanya diabetes yang tidak dikenali sebelumnya.

3. Infark Miokard Dengan Elevasi ST

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri

dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian

antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana

komplikasi IMA. Pedoman (guideline) yang digunakan dalam tatalaksana IMA dengan

elevasi ST adalah dari ACC/AHA 2004. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan

kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada

(khususnya di bidang kardiologi intervensi).

A. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi

umum yaitu: aritmia dan pump failure. Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada

STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi

dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.

Elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Page 45: Acute Coronary Syndroma

Segera memanggil tim medis emergensi ytang dapat melakukan tindakan

resusitasi.

Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas ICU serta staf medis dokter

dan perawat yang terlatih.

Melakukan terapi reperfusi.

B. Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada

Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,

Tiase pasien risiko rendah ke ruangan tang tepat di rumah sakit

Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

C. Tatalaksana Umum

1. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri

<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jm

pertama.

2. Nitrogliserin (NTG)

NTG sublingual dapat diberikan dnegan aman dnegan dosis 0.4mg dan dapat

diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG

juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara

dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika

Page 46: Acute Coronary Syndroma

nyeri dada terus berlansungdapat diberikan NTG intravena (iv). NTG juga diberikan

untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg

atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien yang menggunakan

phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam karena dapat memicu efek

hipotensi nitrat.

3. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada

Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis yang

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin

Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 2-4mg dan

dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.

Aspirin

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif

pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2

dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan

EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162mg.

Penyekat Beta

Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah

metoprolol 5mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi

jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR<0.24detik

dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV

Page 47: Acute Coronary Syndroma

terakhir dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan

dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.

Terapi reperfusi

Reperfusi dini akan akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan

derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien

STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang

maligna

a. Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Biasanya angioplasty dan atau stenting (CABG) tanpa didahului

fibrinolisis disebut PCI primer. Akan efektif pada STEMI jika

dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif

bila dibandingkan fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang

teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan

panjang yang lebih baik.

b. Fibrinolisis

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan

dalam 30 menit sejak masuk. Tujuan utama adalah restorasi cepat

patensi arteri koroner. Antara obat fibrinolitik yang digunakan yaitu:

- Streptokinase (SK)

Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah

terpajan dengan SK tidak boleh dinerikan pajanan selanjutnya karena

terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.

Page 48: Acute Coronary Syndroma

Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens pendarahan

intracranial yang rendah.

- tissue plasmibnogen Activator (tPA, alteplase)

Keuntungannya Menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari

sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK.

Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan resiko

pendarahan intracranial lebih tinggi.

- Reteplase ( Retavasemencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan

resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1)

D. Terapi Farmakologis

1. Antitrombotik

Penggunaan terapi antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI

berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa trombosis mempunyai peran penting

dalam patogenesis. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memantapkan dan

mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah

menurunkan tedensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar

pada STEMI.

Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah

unfractinated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen

aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif (tPA, rPA atau TNK) membantu

trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.

Page 49: Acute Coronary Syndroma

2. Penyekat beta

Manfaat penyekat beta pada STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera

jika obat diberikan secara akut dan yang diberkan jangka panjang jika obat diberikan

untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian secara iv membaiki kebutuhan

suplai serta kebutuhan oksigen moikard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark,

dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang khusus.

3. ACE inhibitor

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap

mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Inhibitor ACE

harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE

harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien

dengan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat

abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.

Komplikasi STEMI

1. Disfungsi ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran

dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut

remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara

klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark, ventrikel kiri

mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark. Selanjutnya terjadi

pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang disproporsional dan

Page 50: Acute Coronary Syndroma

elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi

dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi pasca infark pada apeks

ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering

terjadi gagal jantung dengan prognosis yang teruk

2. Gangguan hemodinamik

Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena

STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal

pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang

tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada

roentgen sering dijumpai kongesti paru.

3. Syok kardiogenik

Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%

ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok

kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.

4. Infark ventrikel kanan

Sekitar sepertiga pasien dengan infark posteroposterior menunjukkan sekurang-

kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas

primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda

gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul’s,

hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada sadapan EKG sisi

kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama pasien infark

ventrikel kanan. Terapi terdiri dari ekspansi volume untuk mempertahankan preload

Page 51: Acute Coronary Syndroma

ventrikel kanan yang adekuat dan upaya untuk meningkatkan tampilan dengan reduksi

takanan arteri pulmonalis.

5. Aritmia pasien pasca STEMI

Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset gejala.

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom,

gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia miokard.

6. Ekstrasistol ventrikel

Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir

semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam

mencegah aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi

ventrikel, dan harus diberikan rutin kecuali terdapat kontraindikasi. Hipokalemia dan

hipomagnesemia merupakan faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI,

konsentrasi kalium serum diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2

mmol/liter.

7. takikardi dan fibrilasi ventrikel.

Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi

tanpa tanda bahaya aritmia sebelumnya.

8. Komplikasi mekanik

- Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.

- Penatalaksaan : operasi

Page 52: Acute Coronary Syndroma

Prognosis

Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca

IMA:

Klas Definisi Mortalitas (%)

I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan / atau ronkhi basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

Tabel 4: Klasifikasi Killip pada IMA

Page 53: Acute Coronary Syndroma

DAFTAR PUSTAKA

Price, Silvia A. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4.

1995. Jakarta: EGC

McPhee, Sthepen J. Pathophysiology of Disease, A Introduction to Clinical

Medicine. 2003. United States: McGraw Hill

Rilantono, Lily Ismudiati, dkk. Buku Ajar Kardiologi. 2004. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI

Kasper, D.L., Braunswald E., Fauci A.S., Hauser S.L., Longo D.L., Jameson

J.L. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition, New Tork:

Mc Graw Hill; 2005

Hanafi b. Trisnohadi, Idrus Alwi, S. Harun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Brashers L. Valentina. Chapter 30 : Alterations of Cardiovaskular Function in

Pathofisiology the Biologic basis for disease in Adults and Children 5 th

edition. McCance L. Kathryn, Huether E. Sue,. 2006. Philadelphia:

Elsevier Mosby

Antman Elliot M., Braunwald Eugene. Chapter 227: Unstable Angina and

non-ST-Elevation Myocardial Infarction in Harrison’s Principles of

Internal Medicine 16th edition. Braunwald, Fauci,Hauser, Jameson, Longo,

Kasper. 2005. USA: McGraw Hill