Pemberian obat

12
TUGAS NAMA: NANA JUNIARTI N.D. MEKANISME AKSI OBAT (1) Satu prinsip dasar dari farmakologi adalah molekul obat dapat mempengaruhi komponen organisme hidup sehingga dapat menghasilkan efek atau respons. Obat dapat bekerja dalam tubuh apabila berinteraksi atau berikatan dengan komponen tubuh dan berdasarkan apakah obat tersebut diperantarai oleh komponen tertentu dari sel (target obat spesifik). Dalam bekerja pada suatu organisme hidup, mekanisme aksi obat dibedakan menjadi: 1) Aksi non spesifik, yaitu mekanisme aksi obat yang didasarkan sifat fisika kimiawi yang sederhana, 2) aksi spesifik, yaitu mekanisme aksi obat yang melibatkan interaksi dengan komponen spesifik organisme, misalnya reseptor, enzim, komponen genetik dan kanal ion. a. Aksi Obat Non-Spesifik Pertimbangan utama obat yang beraksi dengan mekanisme fisika kimiawi non-spesifik adalah bahwa obat tersebut tidak menunjukkan efek yang lain pada dosis di mana obat tersebut menghasilkan suatu aksi fisika kimiawi dalam miliu fisiologi yng sesuai. Aksi obat non-spesifik biasanya melibatkan dosis yang besar dalam menimbulkan efek atau respon. 1) Aksi obat berdasarkan sifat fisika 1. Aksi obat bedasarkan sifat osmolaritas Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat yang menimbulkan efek karena sifat osmotiknya. Contohnya: diuretik osmotik (manitol, trometamol dan urea).

description

Parasetamol, mekanisme obat pada reseptor

Transcript of Pemberian obat

Page 1: Pemberian obat

TUGAS

NAMA: NANA JUNIARTI N.D.

MEKANISME AKSI OBAT (1)

Satu prinsip dasar dari farmakologi adalah molekul obat dapat mempengaruhi

komponen organisme hidup sehingga dapat menghasilkan efek atau respons. Obat

dapat bekerja dalam tubuh apabila berinteraksi atau berikatan dengan komponen

tubuh dan berdasarkan apakah obat tersebut diperantarai oleh komponen tertentu

dari sel (target obat spesifik). Dalam bekerja pada suatu organisme hidup,

mekanisme aksi obat dibedakan menjadi: 1) Aksi non spesifik, yaitu mekanisme aksi

obat yang didasarkan sifat fisika kimiawi yang sederhana, 2) aksi spesifik, yaitu

mekanisme aksi obat yang melibatkan interaksi dengan komponen spesifik

organisme, misalnya reseptor, enzim, komponen genetik dan kanal ion.

a. Aksi Obat Non-Spesifik

Pertimbangan utama obat yang beraksi dengan mekanisme fisika kimiawi non-

spesifik adalah bahwa obat tersebut tidak menunjukkan efek yang lain pada

dosis di mana obat tersebut menghasilkan suatu aksi fisika kimiawi dalam miliu

fisiologi yng sesuai. Aksi obat non-spesifik biasanya melibatkan dosis yang besar

dalam menimbulkan efek atau respon.

1) Aksi obat berdasarkan sifat fisika

1. Aksi obat bedasarkan sifat osmolaritas

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat yang menimbulkan

efek karena sifat osmotiknya. Contohnya: diuretik osmotik (manitol,

trometamol dan urea). Larutan hipertonik dari senyawa ini dapat dengan

mudah mencapai tubulus nefron dan menghasilkan efek osmosis

sehingga menurunkan proses reabsorpsi air dan ion natrium.

Penghambatan reabsorpsi tersebut kemudian efek diuresis.

2. Aksi obat berdasarkan massa fisis

Aksi obat ini diakibatkan oleh perubahan massa fisis dari obat tersebut.

Contohnya: bulk laxative (metilselulosa dan gum), merupakan polimer

polisakarida yang sulit dicerna pada proses normal dalam usus halus.

Agen ini dapat menahan air dalam lumen usus sehingga meningkatkan

volume air dan selanjutnya merangsang aktivitas peristaltik dan memacu

defekasi.

Page 2: Pemberian obat

3. Aksi obat berdasarkan sifat adsorben

Suatu material yang partikelnya mempunyai area permukaan adsorpsi

yang luas dapat digunakan untuk pengobatan diarea, misalnya Kaolin,

attapulgit, dan karbon aktif.

4. Aksi obat berdasarkan rasanya

Senyawa yang berasa pahit dapat menginduksi keluarnya asam klorida ke

lambung sehingga merangsang nafsu makan. Contohnya: gentian dan

calumba

5. Aksi obat pengendapan protein

Beberapa desinfektan misalnya fenol, beraksi dengan mendenaturasi

protein mikroorganisme. Astringen dan senyawa hemostatik tertentu juga

beraksi mengendapkan dan mendenaturasi protein sel. Beberapa

astringen bekerja dengan cara mengendapkan protein sehingga

membentuk lapisan protektif superfisial. Contohnya: asam tannat, garam

zink.

6. Aksi obat berdasarkan barier fisik

Demulsen mengandung gum musilago atau material minyak yang

digunakan untuk melapisi membran mukosa yang mengalami inflamasi

sehingga dapat menurunkan iritasi. Contoh lain adalah sukralfat yang

digunakan untuk melapisi secara fisik permukaan lambung atau usus yang

mengalami ulser pada penderita tukak peptik.

7. Surfaktan

Kelompok outama obat-obat surfaktan meliputi sabun yang digunakan

sebagai senyawa pembersih kulit, antiseptik dan desinfektan.

8. Obat radioaktivitas dan radioopasitas

Pengobatan ini berdasarkan emisi radiasi ionisasi dan absorpsi x-ray dari

konstituen atom penyusunnya. Contoh senyawa ini adalah 131I untuk

pengobatan hipertiroidisme (radioaktivitas) dan penggunaan barium sulfat

untuk diagnosis gangguan saluran cerna (radioopasitas)

2) Aksi obat berdasarkan sifat kimia

1. Berdasarkan sifat asam-basanya

Page 3: Pemberian obat

Contohnya: antasida

2. Senyawa pengoksidasi dan pereduksi.

Contoh: kalium permanganat konsentrasi rendah digunakan untuk

keracunan morfin, striknin, akotinin dan pirotoksin berdasarkan reaksi

oksidasi.

3. Senyawa pengkhelat

Contoh: turunan etilendiaminm dimekaprol, unitiol yang dapat membentuk

kompleks kelat dengan logam-logam seperti timbal atau tembaga

sehingga logam tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.

b. Aksi Obat Spesifik

Terdapat beberapa komponen organisme yang digunakan sebagai target aksi

obat spesifik, yaitu:

1) Enzim

Obat yang bekerja pada enzim dibagi menjadi 3 berdasarkan mekanisme

aksinya.

a) Inhibitor kompetitif

Inhibitor kompetitif (obat) beraksi secara kompetitif dengan substrat enzim

terhadap enzim pada sisi aktifnya menyebabkan penghambatan aktivitas

enzim tersebut. Contohnya: aspirin, bereaksi dengan menghambat enzim

sikooksigenase yang memperantarai perubahan substrat asam arakidonat

menjadi beberapa mediator inflamasi.

b) Substrat palsu

Peningkatan tekanan darah salah satunya dipacu oleh aktivitas saraf

simpatik pada organ kardiovaskuler dengan melibatkan noradrenalin (NA).

dalam saraf simpatik, NA dibentuk dari dopamin oleh enzim dopamin b-

hidroksilase. Dopamin sendiri dibentuk dari dopa oleh enzim dopa

dekarboksilase. Pada pemberian metildopa, senyawa tersebut dapat

berinteraksi dengan enzim tersebut sehingga tidak terbentuk noradrenalin

namun membentuk metil-noradrenalin yang merupakan agonis α2

adrenergik. Aktivasi pada reseptor tersebut menyebabkan penghambatan

pelepasan noradrenalin dari sistem saraf simpatik.

c) Prodrug

Page 4: Pemberian obat

Prodrug merupakan suatu obat yang berinteraksi dengan enzim

metabolisme dalam tubuh, diubah menjadi suatu metabolit yang

mempunyai efek farmakologi. Contohnya: prednison.

2) Kanal ion

Berdasarkan mekanismenya, obat dengan target aksi kanal ion dibedakan

menjadi 2, yaitu:

1. Pengeblok kanal

Obat golongan ini mengeblok kanal ion secara fisik sehingga menghambat

transpor ion pada membran. Anastesi lokal beraksi dengan cara

mengeblok voltage-gated Na+ channels sehingga menyebabkan transpor

ion natrium ke dalam sel terhambat. Hal ini menyebabkan terhambatnya

proses depolasisasi sehingga menurunkan potensial aksi sel. Padahal

potensial aksi tersebut dibutuhkan dalam penghantaran impuls rasa sakit.

Contoh: prokain, lidokain.

2. Modulator kanal.

Obat golongan ini bekerja dengan memodulasi kanal ion sehingga

menyebabkan kanal ion terbuka atau tertutup. Obat ini mempunyai sisi

aktif sendiri (selain sisi aktif agonis) pada kanal ion. Benzodiazepin dan

barbiturat berinteraksi pada sisi “modulator” pada reseptor GABAA. hal ini

menyebabkan peningkatan interaksi antara GABA dengan reseptor

GABAA sehingga dapat memodulasi terbukanya kanal ion klorida.

3) Molekul pembawa (protein transporter)

Protein pembawa pada membran berinteraksi membentuk sebuah kompleks

dengan substrat, selanjutnya terjadi perubahan konformasi protein pembawa

tersebut. Kemudian terjadi translokasi kompleks tersebut ke sisi yang

berlawanan, selanjutnya protein pembawa tersebut melepaskan substrat.

Protein pembawa dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan proses

transpornya yaitu transporter pasif dan transporter aktif.

Contoh: Insulin memacu translokasi GLUT-4 dari sitoplasma menuju ke

membran sel sehingga bisa mengangkut glukosa menuju ke dalam sel. Hal ini

menghasilkan penurunan kadar glukosa dalam darah.

4) Reseptor

Page 5: Pemberian obat

Reseptor merupakan suatu molekul target yang jelas dan spesifik terdapat

dalam organisme, tempat molekul obat berinteraksi membentuk suatu

kompleks yang reversibel sehingga pada akhirnya menimbulkan respons.

Suatu senyawa yang dapat mengaktivasi reseptor sehingga menimbulkan

respon adalah agonis, sedangkan senyawa yang membentuk kompleks

dengan reseptor tapi tidak dapat menimbulkan respon dinamakan antagonis.

Sedangkan senyawa yang mempunyai aktivitas di antara dua kelompok

tersebut dinamakan agonis parsial.

PENENTUAN RENTANG WAKTU PEMBERIAN OBAT (2)

Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang

aktivitas terapetik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan dalam batas yang

sempit untuk mencapai efektivitas klinik yang maksimal, diantara obat-obat itu

adalah antibakteri, kardiotonika, antikonvulsan dan hormon. Secara ideal, suatu

aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma yang benar

tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.

Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif

minimum yang diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapetik yang sempit

(seperti digoksin dan fenitoin) memerlukan batasan kadar plasma terapetik minimum

dan konsentrasi plasma non-toksik maksimum. Dalam memperhitungkan suatu

aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan harus dikaitkan dengan suatu

respons terapetik. Dua parameter utama yang dapat diatur dalam mengembangkan

suatu aturan dosis adalah: (a) ukuran dosis obat dan (b) frekuensi pemberian obat

yakni jarak waktu antara dosis.

Dosis obat akan tergantung pada bioavailabilitas dari produk obat, kadar

terapetik obat yang diinginkan dan jarak waktu pemberian dosis yang dipilih. Kadar

rata-rata atau kadar tunak obat dalam plasma diberikan dalam persamaan berikut:

Cav∞=

F D 0

V dK τ atau Cav

∞=F D 01,44 t 1 /2

V d τ atau Cav

∞=F D 0

ClT τ

F = fraksi dosis terabsorpsi

Vd = volume distribusi

D0 = dosis

t1/2 = waktu paruh obat

ClT = klirens total

Page 6: Pemberian obat

Dalam merancang aturan dosis, hendaknya dipertimbangkan suatu aturan yang

praktis dan enak bagi penderita. Penggunaan persamaan 13-17 untuk perikaran

awal suatu aturan dosis mempunyai kegunaan yang luas. Cav∞ sama dengan laju

pemberian dosis dibagi dengan klirens tubuh total obat pada penderita:

Cav∞=

F D 0

τ1ClT

FD0/𝜏 sama dengan laju pemberian dosis, R dan 1/ClT sama dengan 1/KVd. Dalam

merancang aturan dosis, laju pemberian dosis; D0/𝜏 diatur sesuai klirens obat pada

penderita untuk mendapat Cav∞ yang diinginkan. Untuk infusi, laju order nol infusi, R,

digunakan untuk mendapatkan konsentrasi tunak obat dalam plasma, Css. Jika R

disubtitusikan untuk dalam persamaa, maka untuk memperikarakan Css setelah

infusi diperoleh persamaan berikut:

C ss=R1ClT

Konsentrasi plasma rata-rata dari suatu obat digunakan untuk menunjukkan

apakah kadar obat optimum telah tercapai. Kadar puncak dan kadar palung kurang

bermanfaat secara farmakokinetik, karena informasi ini tidak dapat digunakan

langsung untuk suatu jadwal pemberian diagnosis yang berbeda. Lebih lanjut, kadar

puncak dan kadar palung lebih berfluktuasi dan biasanya dilaporkan secara kurang

teliti daripada konsentrasi rata-rata dari obat dalam plasma. Bila konsentrasi rata-

rata obat dalam plasma digunakan sebagai petunjuk terapetik, maka harus dipilih

suatu jarak waktu pemberian dosis optimum. Jarak waktu pemberian dosis biasanya

diatur pada kira-kira 1-2 waktu paruh eliminasi obat, kecuali kalau obat mempunyai

indeks terapetik yang sangat sempit. Dalam hal ini obat harus diberikan dalam dosis

kecil secara lebih sering dengan infusi.

Jarak waktu pemberian dosis harus diatur dengan menggunakan waktu paruh

eliminasi obat; jika tidak, penderita dapat mengalami efek toksisk dari suatu kadar

Cmaks∞ yang tinggi meskipun Cav

∞ dibuat konstan. Pada umumnya, jika suatu obat

mempunyai indeks terapetik yang relatif lebar dan waktu paruh yang relatif panjang,

maka ada fleksibilitas yang baik dalam mengubah dosis atau jarak pemberian dosis

dengan menggunakan Cav∞ sebagai petunjuk. Bila obat mempunyai indeks terapetik

sempit, maka untuk meyakinkan keamanan dan efektivitas, Cmaks∞ dan Cmin

∞ harus

dipantau.

Page 7: Pemberian obat

Dosis dan jarak waktu pemberian dosis seharusnya diperhatikan dalam

perhitungan aturan dosis. Untuk pemberian dosis yang telah dihitung hendaknya

mempertahankan konsentrasi obat dalam serum antara Cmaks∞ dan Cmin

∞ . Untuk

pemberian dosis ganda secara intravena rasio Cmaks∞ /Cmin

∞ dapat dinyatakan dengan:

Cmaks∞

Cmin∞ = 1

e−kτ

Dari persamaan di atas dapat dihitung suatu jarak maksimum pemberian dosis 𝜏, yang akan mempertahankan kadar serum berada dalam rentang Cmaks∞ dan Cmin

∞ .

Setelah jarak waktu pemberian dosis dihitung, maka dosis dapat dihitung.

BILA MENGKONSUMSI PARASETAMOL SAAT TIDAK DEMAM, APAKAH SUHU

TUBUH AKAN MENURUN? (3,4)

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen

adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen

eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen

eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya.

Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan

oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang

merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen

antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya

adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan

pirogen endogen jika terstimulasi. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel

darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin,

mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan

zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen

eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk

membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan

patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap

suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu

mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi

kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi

peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya

akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut. Parasetamol

merupakan penghambat prostaglandin yang lemah dengan cara menghambat COX-1

Page 8: Pemberian obat

dan COX-2 di jaringan perifer. Penelitian terbaru menyatakan bahwa parasetamol

menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan

COX-2 yaitu enzim COX-3. Sifat antipiretik dari parasetamol dikarenakan efek langsung

ke pusat pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer,

berkeringat, dan pembuangan panas. Parasetamol berpenetrasi melewati sawar darah

otak hingga mencapai kadar tertentu dalam cairan serebrospinal yang setara dengan

kadarnya dalam serum, serta dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Bila seseorang

dalam keadaan sehat, pelepasan pirogen endogen tidak terjadi sehingga pembentukan

prostaglandin tidak terjadi, akibatnya demam tidak terjadi. Parasetamol bekerja

menurunkan demam melalui penghambatan sintesis prostaglandin sehingga bila

prostaglandin tidak terbentuk maka parasetamol tidak bekerja untuk menurunkan

demam. Hal inilah yang menyebabkan suhu tubuh tidak menurun saat mengonsumsi

parasetamol dalam keadaan sehat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho AE. Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam Tubuh. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta. 2012. Hal. 21-40.

2. Shargel L, Yu ABC. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga

University Press. Surabaya. 1988. Hal. 310-1, 316-9, 369-373.

3. Bagian Farmakologi FK UI. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Gaya Baru.

Jakarta. 1995. Hal. 209.

4. Aronoff DM, Neilson EG. Antipyretics: Mechanisms of Action and Clinical Use in Fever Suppression. The American journal of medicine. 2001.