PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN MODEL STAD …...iii pengesahan pembelajaran fisika menggunakan...
Transcript of PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN MODEL STAD …...iii pengesahan pembelajaran fisika menggunakan...
PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN MODEL STAD (STUDENT TEAM
ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU DARI AKTIVITAS
BELAJAR DAN KREATIVITAS SISWA
( Penelitian Pembelajaran Suhu dan Kalor Kelas X Semester 2 SMA Negeri 1 Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan Tahun Pelajaran 2008/ 2009 )
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sains
Minat Utama Fisika
Oleh
ABDUL HADI SUTRISNO NIM S.830908101
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
ii
PERSETUJUAN
PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN MODEL STAD (STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU
DARI AKTIVITAS BELAJAR DAN KREATIVITAS SISWA
( Penelitian Pembelajaran Suhu dan Kalor Kelas X Semester 2 SMA Negeri 1 Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan Tahun Pelajaran 2008/ 2009 )
Disusun oleh
ABDUL HADI SUTRISNO NIM S.830908101
Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd ............................. ................. NIP.19520116.198003.1.001
Pembimbing II Dra. Suparmi, M.A, Ph.D .............................. ................ NIP.19520915.197603.2.001
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Sains
Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd NIP.19520116.198003.1.001
iii
PENGESAHAN
PEMBELAJARAN FISIKA MENGGUNAKAN MODEL STAD (STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISIONS) DAN JIGSAW DITINJAU
DARI AKTIVITAS BELAJAR DAN KREATIVITAS SISWA
( Penelitian Pembelajaran Suhu dan Kalor Kelas X Semester 2 SMA Negeri 1 Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan Tahun Pelajaran 2008/ 2009 )
Disusun oleh :
ABDUL HADI SUTRISNO NIM S.830908101
Tesis telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. H. Ashadi ..................... .................
NIP 195101021975011001
Sekretaris Drs. Cari, M.A, M.Sc, Ph.D ..................... .................
NIP 196103061985031002
Anggota Penguji :
1. Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd ..................... .................
NIP 195201161980011001
2. Dra. Suparmi, M.A, Ph.D ..................... .................
NIP 195209151976032001
Surakarta, 27 Januari 2010
Mengetahui, Ketua Program Studi Direktur PPs UNS Pendidikan Sains Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd NIP 195708201985031004 NIP 195201161980031001
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Abdul Hadi Sutrisno
NIM : S.830908101
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa tesis saya yang berjudul ”Pembelajaran
Fisika Menggunakan Model STAD (Student Team Achievement Divisions) dan
Jigsaw Ditinjau dari Aktivitas Belajar dan Krativitas Siswa” adalah benar-benar
karya tesis saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademis berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari
tesis tersebut.
Surakarta, 27 Januari 2010
Yang membuat pernyataan
Abdul Hadi Sutrisno
NIM S.830908101
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Berilmu tanpa beramal bagaikan pohon tidak berbuah dan beramal tanpa berilmu
bagaikan buah yang indah namun pahit rasanya
Tesis ini aku persembahkan :
1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak dan Ibu Moechjari.
2. Istriku terkasih, Erminawati.
3. Kedua anakku tersayang,
Muhammad Aldi Joko Satria Perdana dan Muhammad Aldo Jaka Satria Permana.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, hidayah dan inayahNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan tesis dengan judul Pembelajaran Fisika Menggunakan
Model STAD (Student Team Achievement Divisions) dan Jigsaw Ditinjau dari
Aktivitas Belajar dan Kreativitas Siswa dengan penuh petunjuk, lancar dan baik.
Kami menyadari bahwa tesis ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari semua
pihak yang telah membantu kami, Untuk ini kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D, selaku direktur Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan studi di Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Sains .
2. Bapak Prof. Dr. H. Widha Sunarno, M.Pd selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Sains Program Pascasarjana UNS dan sekaligus sebagai Pembimbing
I yang telah memberikan dorongan, bimbingan, petunjuk, pengarahan dan
perhatian kepada kami, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. Ibu Dra. Suparmi, M.A, Ph.D sebagai Pembimbing II yang telah memberikan
dorongan, bimbingan, petunjuk, pengarahan dan perhatian dengan penuh
kesabaran kepada kami, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sains Program Pascasarjana UNS
yang telah mengajar dan membimbing kami sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
vii
5. Bapak Drs. H. Zainuddin, M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 1 Banjarmasin yang
telah memberikan izin dan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian
di SMA Negeri 1 Banjarmasin.
6. Bapak dan Ibu guru pengajar mata pelajaran fisika di SMA Negeri 1 Banjarmasin
yang telah memberikan bantuan dan kerjasama dalam melakukan penelitian
sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
7. Bapak dan Ibu guru SMA Negeri 1 Banjarmasin yang telah memberikan bantuan
dan kerjasama dalam melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
8. Keluargaku tercinta, Bapak dan Ibu, istri dan kedua anaku yang telah ikhlas
dengan perhatian dan doa yang tulus.
9. Semua rekan-rekan di Program Studi Pendidikan Sains angkatan September 2008
yang telah memberikan bantuan dan kerjasama dalam melakukan penelitian
sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
10. Semua pihak tanpa terkecuali yang telah memberikan bantuan dan kerjasama
dalam melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan tesis ini masih
jauh dari sempurna, tapi kami berharap semoga tesis ini bisa berguna khususnya
bagi perkembangan pendidikan fisika dan berguna bagi dunia pendidikan secara
umum.
Surakarta, 27 Januari 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
PERNYATAAN ................................................................................................. iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
ABSTRAK ......................................................................................................... xvi
ABSTRACT ....................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 9
C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 9
D. Perumusan Masalah ........................................................................ 10
E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 11
F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 11
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR
DAN HIPOTESIS ................................................................................. 14
A. Kajian Teori .................................................................................... 14
ix
1. Teori Belajar ............................................................................. 14
a. Teori Belajar Kognitif.......................................................... 14
1). Teori Belajar Piaget....................................................... 15
2). Teori Belajar Vygotsky ................................................. 20
b. Teori Belajar Konstruktivisme ............................................. 23
2. Model Pembelajaran Kooperatif ................................................ 27
a. Pembelajaran Kooperatif Model STAD ............................... 28
b. Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw ............................... 29
3. Aktifitas Belajar Siswa .............................................................. 32
4. Kreatifitas ................................................................................. 33
5. Prestasi Belajar .......................................................................... 36
6. Pembelajaran IPA (Sains) .......................................................... 39
7. Materi Pembelajaran Fisika ....................................................... 40
B. Penelitian yang Relevan .................................................................. 54
C. Kerangka Berfikir ........................................................................... 56
D. Hipotesis ......................................................................................... 60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................
xii
Menggunakan Model Jigsaw ............................................................. 82
Tabel 4.7. Deskripsi Data Kreativitas Siswa ....................................................... 84
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Kreativitas pada Kelas yang
Menggunakan Model STAD .............................................................. 84
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Kreativitas pada Kelas yang
Menggunakan Model Jigsaw ............................................................. 85
Tabel 4.10. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ............................... 86
Tabel 4.11. Ringkasan Hasil Uji Homogenitas .................................................... 87
Tabel 4.12. Rangkuman Anava Tiga Jalan Prestasi Belajar Fisika ....................... 89
Tabel 4.13. Rangkuman Anova Satu Jalan Prestasi Belajar vs Model .................. 91
Tabel 4.14. Rangkuman Probabilitas Interaksi .................................................... 92
Tabel 4.15. Rangking Metode Pembelajaran Kooperatif...................................... 94
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Hubungan Antara Skala Termometer ........................................... 43
Gambar 2.2. Muai Panjang............................................................................... 44
Gambar 2.3 Muai Luas ................................................................................... 44
Gambar 2.4 Muai Volum ............................................................................... 45
Gambar 2.5 Air yang Dipanaskan ................................................................... 47
Gambar 2.6. Perubahan Wujud Zat .................................................................. 48
Gambar 2.7 Diagram Hubungan Q dan t ......................................................... 49
Gambar 2. 8 Aliran Panas ................................................................................ 50
Gambar 2.9. Benda Gelap Menyerap Panas Lebih Baik ................................... 51
Gambar 2.10. Kalorimeter Aluminium ............................................................... 53
Gambar 4.1. Histogram Prestasi Belajar pada Kelas yang
Menggunakan Model STAD ........................................................ 80
Gambar 4.2. Histogram Prestasi Belajar pada Kelas yang
Menggunakan Model Jigsaw........................................................ 81
Gambar 4.3. Histogram Skor Aktivitas Siswa pada Kelas yang
Menggunakan model STAD ........................................................ 83
Gambar 4.4. Histogram Skor Aktivitas Siswa pada Kelas yang
Menggunakan model Jigsaw ........................................................ 83
Gambar 4.5. Histogram Skor Kreativitas Siswa pada Kelas yang
Menggunakan model STAD ........................................................ 85
Gambar 4.6. Histogram Skor Kreativitas Siswa pada Kelas yang
Menggunakan model Jigsaw ........................................................ 86
xiv
Gambar 4.7. Grafik Uji ANOM Model Pembelajaran terhadap
Prestasi Belajar Fisika .................................................................. 91
Gambar 4.8. Grafik Interaksi factor Model, aktivitas Belajar siswa
Dan Kreativitas terhadap Prestasi Belajar Fisika .......................... 92
Gambar 4.9. Grafik Uji ANOM Aktivitas Belajar terhadap
Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ................................................... 96
Gambar 4.10. Grafik Uji ANOM Kreativitas Belajar terhadap
Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ................................................... 97
Gambar 4.11. Grafik Interaksi Model Pembelajaran dan Aktivitas
Belajar terhadap Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ......................... 99
Gambar 4.12. Grafik Interaksi Model Pembelajaran dan Kreativitas
Terhadap Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ................................... 101
Gambar 4.13. Grafik Interaksi Aktivitas dan Kreativitas
Terhadap Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ................................... 102
Gambar 4.14. Grafik Interaksi Model Pembelajaran, Aktivitas dan
Kreativitas terhadap Prestasi Belajar Suhu dan Kalor ................... 103
Gambar 4.15. Grafik Efek Mean Faktor Model Pembelajaran,
Aktivitas Belajar dan Kreativitas terhadap Prestasi
Belajar Suhu dan Kalor ................................................................ 104
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 SILABUS ........................................................................................ 116
Lampiran 2 RPP Suhu dan Kalor model STAD ................................................... 125
Lampiran 3 RPP Suhu dan Kalor model Jigsaw .................................................. 135
Lampiran 4 Lembar Kegiatan Siswa (LKS)......................................................... 151
Lampiran 5 Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ............................................... 165
Lampiran 6 Kisi-Kisi Instrumen Angket Kreatifitas Siswa .................................. 167
Lampiran 7 Angket Kreatifitas Siswa .................................................................. 169
Lampiran 8 Kisi-Kisi Tes Fisika Materi Pokok Suhu dan Kalor .......................... 172
Lampiran 9 Tes Fisika Materi Pokok Suhu dan Kalor ......................................... 173
Lampiran 10 Kunci Jawaban Tes Fisika Materi Pokok Suhu dan Kalor ............... 179
Lampiran 11 Data Hasil Penelitian ...................................................................... 180
Lampiran 12 Deskripsi hasil Pengolahan Data ................................................... 184
Lampiran 13 Uji Coba Aktivitas ......................................................................... 209
Lampiran 14 Uji Coba Kreativitas....................................................................... 211
Lampiran 15 Uji Coba Suhu dan Kalor ............................................................... 213
Lampiran 16 Permohonan Ijin Penelitian ............................................................ 215
Lampiran 17 Surat Keterangan............................................................................ 216
xvi
ABSTRAK
Abdul Hadi Sutrisno. S830908101. Pembelajaran Fisika Menggunakan Model STAD (Student Team Achievement Divisions) dan Jigsaw Ditinjau dari Aktivitas Belajar dan Kretivitas Siswa. Penelitian Pembelajaran Suhu dan Kalor Kelas X Semester 2 SMA Negeri 1 Banjarmasin Propinsi Kalimantan Selatan Tahun Pelajaran 2008/2009. Tesis : Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) Pengaruh penerapan model pembelajaran STAD dan pembelajaran Jigsaw terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 2) Pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 3) Pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 4) Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 5) Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreativitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 6) Interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor, 7) Interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktivitas belajar dan kreativitas belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2008 – Maret 2009. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Rancangan penelitian ini menggunakan anava tiga jalan dengan desain faktorial 2 x 2 x 2. Faktor pertama adalah pembelajaran dengan model STAD dan Jigsaw. Faktor kedua adalah aktivitas, yang dibagi menjadi aktivitas tinggi dan aktivitas rendah, dan faktor ketiga adalah kreativitas, yang dibagi menjadi kreativitas tinggi dan kreativitas rendah. Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan : 1) Ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, ditolak sebab p-value model = 0,017 < 0,050; 2) Tidak ada pengaruh Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, tidak ditolak sebab p-value Aktivitas belajar siswa = 0,161 > 0,050; 3) Tidak ada pengaruh Kreativitas siswa terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, tidak ditolak sebab p-value Kreativitas siswa = 0,566 > 0,050; 4) Tidak ada interaksi antara model pembelajar an dengan Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, tidak ditolak sebab p-value interaksi model dan Aktivitas belajar = 0,879 > 0,050; 5) Tidak ada interaksi antara model pembelajaran dengan Kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, tidak ditolak sebab p-value interaksi model dan Kreativitas = 0,324 > 0,050; 6) Tidak ada interaksi antara Aktivitas belajar dan Kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, tidak ditolak sebab p-value interaksi antara Aktivitas belajar dan Kreativitas = 0,141 > 0,050; 7) Ada interaksi antara model pembelajar an, Aktivitas belajar, dan Kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, ditolak sebab p-value interaksi antara model, Aktivitas belajar dan Kreativitas = 0,025 < 0.050. Kata Kunci: STAD, Jigsaw, Aktivitas, Kreativitas, Prestasi
xvii
ABSTRACT
Abdul Hadi Sutrisno, S.830908101. The Physics Teaching and Learning Using STAD (Student Team Achievement Division) and Jigsaw Learning Models Overviewed from the Students’ Learning Activity and Learning Creativity (A Case Study of Heat and Temperature for Grade Xth Students Banjarmasin State Senior High School I, South Kalimantan Province in the Academic Year 2008/2009). Thesis: Science Education Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010. The purposes of the research are to know: (1) the effect of physics teaching learning using STAD and Jigsaw models to students’ achievement, (2) the effect of students’ learning activity to students’ achievement, (3) the effect of students’ creativity to students’ achievement, (4) the interaction between the use of STAD and Jigsaw learning models and students’ learning activity to students’ achievement, (5) the interaction between the use of STAD and Jigsaw learning models and students’ creativity to students’ achievement, (6) the interaction between the students’ learning activity and the students’ creativity to students’ achievement, and (7) the interaction of effect among the learning models, the students’ learning activity, and the students’ creativity to students’ achievement. This research used experimental method and was conducted from November 2008 to Maret 2009. The population was all students in Grade X SMA Negeri 1 Banjarmasin, consisted of 6 classes. The sample was taken using cluster random sampling, consisted of 4 classes. The data was collected using test for student achievement and questionere for student’ learning activity and creativity. Then the hypotheses were analyzed using Anova with 2 x 2 x 2 factorial design. Based on the results of the analysis can be concluded that : (1) there is an effect of STAD and Jigsaw learning models to the students’ achievement (p = 0.017 < 0.050); (2) there is no effect of the students’ learning activity to the students’ achievement (p = 0.161 > 0.050); (3) there is no effect of the students’ creativity to the students’ achievement (p = 0.566 > 0.050); (4) there is no interaction between the learning models and the students’ learning activity to the students’ achievement (p = 0.879 > 0.050); (5) there is no interaction between the learning models and the students’ creativity to the students’ achievement (p = 0.324 > 0.050); (6) there is no interaction between the students’ learning activity and the students’ creativity to the students’ achievement (p = 0.141 > 0.050); and (7) there is interaction among the learning models, the students’ learning activity, and the students’ creativity to the students’ achievement (p = 0.025 < 0.050). Keywords: STAD, Jigsaw, learning activity, learning creativity, and learning
achievement.
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi pendidikan nasional
tidak saja berusaha menghasilkan manusia Indonesia yang berpengetahuan dan
berketerampilan, tetapi juga mampu memberi manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Pendidikan menengah merupakan bagian integral dari sistem pendidikan
nasional. Salah satu lembaga pendidikan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sekolah Menengah Atas merupakan intitusi yang memiliki peran sangat penting
untuk membangun sistem pembelajaran yang berkualitas serta membangun budaya
kualitas dalam sistem pembelajaran. Tugas utama Sekolah Menengah Atas adalah
menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, untuk dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi. Siswa yang akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
dipersiapkan melalui program pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Guru tidak
hanya berpengetahuan luas tentang materi pembelajaran yang dia kuasai, guru juga
harus mampu merancang dan mengelola pembelajaran, memilih pendekatan model
pembelajaran, metode, media pembelajaran yang tepat, memahami karakteristik
siswa, memanfaatkan sumber sarana yang ada, memanfaatkan alat bahan praktikum
yang efisien, sehingga pembelajaran akan menyenangkan dipandang sudut siswa.
xix
Pembelajaran fisika secara umum masih bersifat konvesional, interaksi antara guru
dengan siswa hanya satu arah sehingga kegiatan pembelajaran terkesan sebagai
“content transmission“. Hasil Ujian Nasional tahun 2007/2008 SMA Negeri 1
Banjarmasin menunjukan hasil yang mengembirakan nilai rata-rata mata pelajaran
Fisika 7,89 dengan kualifikasi A, berarti pembelajaran Fisika di SMA Negeri 1
Banjarmasin mencapai ketuntasan yang diharapkan.
Tabel 1.1 Data Hasil Ujian Nasional Program IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2007/2008
Mata Pelajaran Nilai UN Rata-rata Terendah Tertinggi
B. Indonesia 7.60 5.20 9.10 B. Inggris 8.80 6.61 9.84 Matematika 7.82 4.00 9.51 Fisika 7.89 5.73 9.51 Kimia 8.76 5.06 10.00 Biologi 7.69 4.00 9.24
Namun demikian data nilai ini ditinjau dari nilai rata-rata secara umum, belum
menggambarkan nilai rata-rata tiap standart kompetensi (SK) maupun tiap
kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh siswa tersebut. Data nilai UAN yang
dimiliki sekolah merupakan nilai komulatif dari nilai seluruh kompetensi dalam
standar kompetensi lulusan. Oleh karena itu gambaran nilai tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengetahui pencapaian kriteria ketuntasan minimal kompetensi
dasar siswa pada materi suhu dan kalor. Pembelajaran fisika di SMA Negeri 1
Banjarmasin masih kurang menggunakan model pembelajaran yang diharapkan
dapat meningkatkan prestasi hasi belajar misalnya model STAD (Student Team
Achievement Divisions) atau Jigsaw.
xx
Pembelajaran fisika termasuk kelompok sains merupakan ilmu yang diperoleh
dan dikembangkan berdasarkan eksperimen yang mencari jawaban atas pertanyaan
apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam, khususnya yang berkaitan dengan
komposisi, struktur, sifat transformasi, dinamika, dan energitika zat. Oleh sebab itu
mata pelajaran ilmu fisika di SMA mempelajari segala sesuatu tentang zat yang
meliputi komposisi, strukutur, dan sifat, transformasi, dinamika dan energitika zat
yang melibatkan ketrampilan dan penalaran. Pembelajaran Fisika di SMA Negeri 1
Banjarmasin berlandaskan kurikulum berbasis kompotensi dan sekarang digunakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompotensi yang dibakukan dan cara penyampaiannya disesuaikan dengan keadaan kondisi daerah. Pendidikan berbasis kompotensi yaitu pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki lulusan suatu jenjang pendidikan ( Depdiknas, 2003: 1).
Kurikulum berbasis kompotensi dikembangkan dengan menganut prinsip-prinsip :
berfokus pada siswa, siswa sebagai subyek, kecepatan pemahaman siswa terhadap
pelajaran harus diperhatikan, model pembelajaran terpadu, belajar tuntas, setiap
kompotensi harus dikuasai oleh siswa secara tuntas, pemecahan masalah mengacu
pada aktivitas pemecahan masalah dengan pendekatan belajar kontekstual,
pembelajaran berdasarkan pada pengalaman yang ditentukan untuk mencapai
kompotensi tertentu dan peran guru tidak hanya sebagai instruktur tetapi juga sebagai
fasilitator. Berhasil atau tidaknya pembelajaran bergantung pada guru dan siswa
sebagai aktor dalam pembelajaran. Guru adalah salah satu manusia dalam
pembelajaran yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia
yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah unsur
xxi
dibidang pendidikan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga
profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang makin berkembang (Sardiman,
2005 : 125 ).
Untuk meningkatkan mutu pendidikan pemerintah melalui menteri pendidikan nasional telah membuat standar kualifakasi akademik dan kompotensi guru. Kualifikasi akademik yang harus dimiliki oleh guru mata pelajaran secara umum dan khususnya mata pelajaran fisika SMA/MA minimum diploma empat (D.IV) atau Sarjana (S1), sedangkan kompotensi yang harus dikuasai oleh seorang guru ada empat komponen utama yaitu (1) kompotensi paedagogik (2) kompotensi kepribadian, (3) kompotensi sosial, (4) kompotensi profesional (BSNP 2007 : 5).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berhasilnya pembelajaran adalah
guru dalam memilih model pembelajaran tidak sesuai dengan karakteristik materi
pembelajaran, guru kurang mengaktifkan siswa, pembelajaran masih berlangsung
transfer pengetahuan, hanya dalam bentuk hafalan, dan masih jauh dari konsep
pemberdayaan berfikir. Hal ini berakibat keaktifan dan kreatifitas siswa cenderung
terabaikan. Dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran IPA atau sains para
pakar praktisi banyak memperkenalkan dan menerapkan pendekatan berbagai
metode dan pendekatan pembelajaran yang diramu dalam suatu model pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran IPA. Model-model pembelajaran ini
akan mengubah penerapan strategi pembelajaran yang pada awalnya mengutamakan
pemberian informasi konsep-konsep IPA menuju kepada strategi pembelajaran
ketrampilan-kterampilan yang berpikir kritis, kreatif dan inovasi dalam menerapkan
konsep-konsep IPA. Penerapan model-model pembelajaran diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran dan memberikan kesempatan pada siswa untuk
aktif menentukan dan membuat konsep pengetahuan, meningkatkan prestasi belajar
siswa, kreatifitas, inovasi serta lebih mengembangkan ketrampilan berfikir siswa.
xxii
Menurut hasil informasi siswa siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin yang baru lulus
tahun pelajaran 2007/2008, nilai ujian yang didapatkan belum memuaskan karena
banyak cara untuk menuju hasil tersebut, dan siswa belum mendapatkan proses IPA
yang diaplikasikan ke masyarakat, keterampilan konsep IPA yang berfikir kritis,
kreatif dan inovasi. Menanggapi hasil-hasil temuan yang diinformasikan siswa-siswa
tersebut, melakukan alternatif pemecahan masalah dengan menggunakan model-
model pembelajaran.
Siswa kelas X SMA Negeri 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2008/2009 secara
umum merupakan siswa yang mudah di ajak bekerja sama dalam belajar, terbentuk
kelompok-kelompok belajar, nampak keaktivitas siswa dalam kelompoknya, periang,
berasal dari berbagai daerah, agama dan budaya yang heterogen. Ditinjau dari segi
sarana, Laboratorium IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin memiliki peralatan yang
masih sederhana, sarana kelas yang belum memadahi, sarana komputer dan LCD
yang belum lengkap, sehingga belum memenuhi standart minimal sarana. Namun
demikian guru harus dapat memanfaatkan kondisi yang ada untuk melaksanakan
pembelajaran mencapai standar kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa.
Berdasarkan pada kondisi siswa, sarana dan kompetensi yang harus dicapai,
pembelajaran suhu dan kalor pada siswa kelas X dilaksanakan dengan menggunakan
model pembelajaran yang pembelajaran kooperatif, yaitu model STAD dan Jigsaw.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang didasarkan
pada teori belajar konstruktivisme, dimana siswa secara aktif membina
pengetahuannya dan dapat menemukan sendiri konsep-konsep pengetahuan yang
sulit dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
xxiii
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi sesuai.
Dalam penerapan model pembelajaran ini guru bertindak sebagai organisator dan
fasilitator. Kedua model ini akan diterapkan dalam pembelajaran materi Suhu dan
Kalor kelas X, karena materi ini sangat penting dan aplikatif banyak digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh faktor dari dalam dan
faktor dari luar diri siswa. Faktor dari alam diri siswa (internal) antara lain berupa
minat, keinginan, motivasi, kreativitas dan aktivitas belajar siswa. Sedangkan faktor
dari luar diri siswa (eksternal) antara lain kondisi lingkungan, sarana (media)
pembelajaran, dan model pembelajaran, dan lain-lain. Setiap siswa mempunyai sikap
yang berbeda-beda terhadap stimulus atau rangsangan. Hal ini disebabkan oleh
keadaan dalam diri siswa yang berbeda-beda. Dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan aktivitas belajar perlu didukung oleh kreativitas
dalam diri siswa. Kreativitas yang berkaitan dengan kelompok ketrampilan dalam
bidang ilmiah menjadi persyaratan bagi proses.
Siswa dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan diharapkan dapat
mencontoh para ilmuan yang mempunyai keingintahuan tinggi untuk mendapatkan
ilmu. Setiap siswa memiliki pola pikir yang berbeda-beda terhadap ilmu
pengetahuan. Siswa memiliki pola pikir tinggi cenderung memiliki semangat dalam
belajar tinggi, dan siswa memilki pola pikir rendah cenderung memiliki semangat
belajar rendah, akhirnya hal ini cenderung akan mempengaruhi prestasi belajarnya.
Keberhasilan pencapaian prestasi belajar siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin
juga ditentukan oleh sarana prasarana yang dimiliki dan digunakan guru dalam
xxiv
pembelajaran suhu dan kalor. Dengan keterbatasan sarana laboratorium, eksperimen
suhu dan kalor dapat dimodifikasi secara sederhana. Namun demikian untuk
memperkuat pemahaman dan pencapaian kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa
perlu dipilih model pembelajaran seperti STAD dan Jigsaw. Model pembelajaran
koopertif yang dipilih memberikan ruang pada siswa untuk saling berinteraksi dan
bekerja sama dalam kelompoknya.
Untuk mengetahui bahwa proses pembelajaran dapat berlangsung dan sejauh
mana siswa berhasil menguasai materi pembelajaran maka diperlukan alat ukur
keberhasilan siswa dalam pembelajaran yaitu tes prestasi belajar. Tes prestasi belajar
merupakan alat pengukuran dibidang pendidikan yang sangat penting artinya sebagai
sumber informasi guna mengambil keputusan. Teknik penilaian melalui tes dapat
dibedakan menjadi tiga macam yaitu tes tertulis, lisan dan perbuatan.
Test tertulis yaitu tes yang soal-soalnya harus dijawab siswa secara tertulis. Tes lisan yaitu tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan tanya jawab secara langsung antara guru dan siswa. Tes perbuatan yaitu tes penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dalam bentuk perbuatan atau penampilan (Safari, 2003 : 7 – 8).
Dengan latar belakang yang telah penulis kemukakan, penulis mencoba
menerapkan model pembelajaran STAD (Student Team Achievement Divisions) dan
Jigsaw ditinjau dari aktivitas belajar dan kreativitas siswa. Penerapan model ini
merupakan inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa.
Menurut Permen Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan,
Standar Penilaian Pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar. Penilaian
xxv
pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk pencapaian
hasil belajar peserta didik. Untuk mengetahui proses mengukur pencapaian
kompotensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran dan
menentukan keberhasilan belajar peserta didik dilakukan ulangan atau tes, observasi,
penugasaan perseorangan atau kelompok, sesuai dengan karateristik kompotensi dan
tingkat perkembangan peserta didik. Dalam penelitian ini tekniknya adalah tes
tertulis, tes praktik atau tes kinerja.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil
usaha anak didik selama mengikuti pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar,
yang dapat dapat memuaskan dan menyenangkan baik peserta didik maupun
pendidik. Untuk melakukan penilaian prestasi hasil belajar dilaksanakan ulangan
atau tes, baik tertulis maupun tes praktik. Hasilnya berupa angka, simbol, huruf
maupun kalimat yang mencerminkan hasil usaha peserta didik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti kemukakan di atas, maka
timbul masalah penelitian yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Pembelajaran fisika yang berlangsung di SMA, pada umunya masih kurang
memperhatikan proses berpikir siswa.
2. Pelaksanaan pembelajaran fisika di SMA, masih menggunakan model
pembelajaran konvensional, monoton dan belum menggunakan variasi model
pembelajaran.
xxvi
3. Pembelajaran fisika selama ini masih berpusat pada guru, belum melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran.
4. Kurangnya kualitas pembelajaran untuk meningkatkan siswa aktif dan konsep
ilmu pengetahuan.
5. Hasil belajar rendah karena penggunaan model pembelajaran kurang sesuai.
6. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa.
7. Guru belum melakukan inovasi pembelajaran khsususnya mata pelajaran fisika
yaitu dengan menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
materi fisika.
8. Guru belum memperhatikan aktivitas belajar dan kreativitas siswa.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di muka dan agar penelitian ini lebih terfokus
dan terarah, maka dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut :
1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian dibatasi pada
pembelajaran kooperatif model STAD (Student Team Achievement Divisions)
dan Jigsaw, sebagai dua kelompok eksperimen.
2. Prestasi belajar pada penelitian ini dibatasi pada prestasi belajar fisika pada aspek
kognitif dari hasil tes formatif untuk materi pokok Suhu dan Kalor pada siswa
kelas X SMA Negeri 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2008/2009.
3. Aktivitas belajar siswa dibatasi oleh kegiatan fisik berada dalam tugas,
mengambil giliran dan berbagi tugas, mendorong partisipasi, mendengarkan
dengan penuh perhatian, bertanya dan diskusi.
xxvii
4. Kreativitas siswa dibatasi oleh sikap siswa antara lain rasa ingin tahu, imajinatif,
tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil resiko dan menghargai.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah tersebut di atas, sehingga dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai
berikut :
1. Apakah ada pengaruh penerapan pembelajaran model STAD dan Jigsaw
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor?
2. Apakah ada pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada
materi suhu dan kalor?
3. Apakah ada pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada
materi suhu dan kalor?
4. Apakah ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas
belajar siswa?
5. Apakah ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreativfitas
belajar siswa?
6. Apakah ada interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa terhadap
prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor?
7. Apakah ada interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktivitas belajar dan
kreativitas belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor?
E. Tujuan Penelitian
xxviii
Dari perumusan masalah pada penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui :
1. Pengaruh penerapan model pembelajaran STAD dan pembelajaran Jigsaw
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
2. Pengaruh aktivifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi
suhu dan kalor.
3. Pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan
kalor
4. Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas belajar siswa
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor
5. Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreatifitas belajar siswa
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor
6. Interaksi antara aktivitas dengan kreativfitas belajar siswa terhadap prestasi
belajar fisika pada materi suhu dan kalor
7. Interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktivitas belajar dan kreativitas
belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru maupun siswa dalam
pembelajaran. Adapun manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis :
xxix
a. Sebagai bahan acuan bagi para guru dan pengelola pendidikan dalam
mengembangkan model pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran
yang berorientasi pada pembelajaran kooperatif.
b. Sebagai bahan acuan bagi para praktisi pendidikan dan pengelola pendidikan
untuk penelitian metode pembelajaran kooperatif lebih lanjut.
c. Sebagai bahan masukan bagi pengelola pendidikan dalam memberikan
dorongan kepada guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar yang
berdasarkan pada pembelajaran kooperatif.
2. Manfaat Praktis :
a. Sebagai bahan acuan bagi para guru dalam mendesain model pembelajaran
yang berorientasi pada guru sebagai fasilitator dalam proses belajar
mengajar.
b. Sebagai bahan acuan bagi para guru dalam memilih model pembelajaran
yang sesuai agar dapat meningkatkan prestasi belajar.
c. Sebagai bahan masukan kepala SMA Negeri 1 Banjarmasin dalam
memberikan dorongan kepada guru dalam melakukan kegiatan belajar
mengajar yang berdasarkan pada pembelajaran kooperatif.
xxx
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Teori Belajar
a. Teori Belajar Kognitif
Tinjauan tentang proses belajar terus mengalami perkembangan, hal ini dapat
dilihat dari pandangan tentang proses belajar yang menyatakan bahwa siswa
menerima secara pasif informasi pengetahuan dan ketrampilan yang diterima dari
guru, sampai pandangan yang menyatakan bahwa siswa tidak lagi dianggap sebagai
obyek tetapi merupakan subyek pembelajaran. Pembelajaran fisika di SMA
disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Pada kurikulum 1994 pembelajaran
fisika menggunakan pendekatan ketrampilan proses yaitu pendekatan dalam proses
pembelajaran yang menekankan pada pembentukan ketrampilan memperoleh
pengetahuan dan mampu mengkomunikasikan hasilnya. Pembelajaran fisika di SMA
yang dikehendaki oleh kurikulum 1994 tidak lagi mendasarkan pada teori
pembelajaran behaviorisme seperti pada kurikulum 1984. Teori behaviorisme ini
memiliki keterbatasan, yakni hanya menekankan pada perubahan perilaku siswa
yang mudah diamati dan pencapaian tujuan pembelajaran tingkat rendah.
Pembelajaran berdasarkan teori behavior didasarkan pada metode pembelajaran
tradisional yang kurang memperhatikan model-model inovatif dalam pengajarannya.
Pembelajaran berdasarkan teori behavior tidak mendorong siswa untuk bisa berfikir
kreatif. Pada kurikulum 1994 telah menekankan pada pembentukan dan ketrampilan
yang sukar diamati, seperti ketrampilan mengamati, meramalkan, menarik
xxxi
kesimpulan dan lain-lain dan bukan pada pengetahuan dan ketrampilan yang mudah
diamati. Penekanan ini hanya dapat terwujud apabila proses belajar mengajar fisika
menerapkan teori pembelajaran kognitif. Daya pikir dan daya kreasi merupakan
pengetahuan dan ketrampilan yang ingin dibentuk pada pembelajaran fisika. Daya
pikir dan daya kreasi siswa ini merupakan sebagian dari indikator perkembangan
kognitif siswa.
Menurut ahli psikologi pendidikan perkembangan kognitif bukan merupakan
akumulasi dari perubahan perilaku terpisah, melainkan pembentukan oleh kerangka
mental siswa untuk memahami lingkungan. Pada teori pembelajaran kognitif
memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang berpusat pada proses-proses
mental siswa yang kurang dapat diamati. Menurut pandangan psikologi kognitif
belajar merupakan hasil interaktif antara apa yang diketahui, informasi yang
diketahui dan apa yang dilakukan ketika belajar. Ahli psikologi kognitif beranggapan
bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran peserta didik. Teori belajar kognitif
berkembang dari kerja para tokoh seperti Piaget dan Vygotsky.
1) Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi bila mengikuti tahap-tahap
asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi atau penyeimbangan. Piaget mengelompokan
tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat tahap yaitu: (1)
Tahap sensorimotorik (umur 0-2 tahun), ciri pokok berdasarkan tindakan dan
langkah demi langkah. (2) Tahap praoperasi (umur 2-7 tahun), ciri pokok
perkembangan penggunaan simbol bahasa dan konsep intuitif. (3) Tahap operasi
kongkrit (umur 7-11 tahun) ciri pokok perkembangan pemakaian aturan jelas/ logis,
xxxii
reversible dan kekekalan. (4) Tahap operasi formal (11 tahun keatas) ciri pokok
perkembangan hipotetis, abstrak, deduktif, induktif, logis dan probabilities. (Ratna
Wilis Dahar, 1986: 347). Jadi proses perkembangan berpikir siswa berasal dari hal-
hal yang kongkrit kemudian berangsur-angsur menuju ke hal-hal yang abstrak.
Sebagai seorang guru dituntut dapat memahami hal-hal yang sulit dipahami oleh
siswa yang diajar, misalnya sebuah benda jatuh ke bawah bukan ke atas, matahari
terbenam di ufuk barat dan akan terbit lagi di ufuk timur. Konsep-konsep yang
demikian ini yang masih sulit diterima oleh pikiran siswa.
Titik perhatian yang dipelajari oleh Piaget yakni pada hakekat tentang
bagaimana pengetahuan diperoleh dan bagaimana siswa dapat tahu tentang apa yang
siswa ketahui. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan dan
perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh siswa secara
aktif berinteraksi dengan lingkungan. Artinya pengetahuan itu merupakan sebuah
proses, karena itu untuk memahami pengetahuan siswa dituntut untuk mengenali dan
menjelaskan berbagai cara bagaimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut pandangan Piaget, manusia tumbuh, beradaptasi dan berubah menurut
perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosional,
perkembangan kognitif (berpikir) dan perkembangan bahasa. Menurut Piaget,
struktur intelektual (skemata), terbentuk ketika siswa berinteraksi dengan lingkungan
(Ratna wilis Dahar, 1988: 80). Perkembangan kognitif siswa sebagian besar
tergantung pada seberapa jauh siswa secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Interaksi antara individu siswa dengan lingkungan merupakan sumber pengetahuan
baru. Namun interaksi dengan lingkungan tidaklah cukup untuk mengembangkan
xxxiii
pengetahuan kecuali jika intelegensi individu mampu memanfaatkan pengalaman
dalam berinteraksi dengan lingkungan. Karena perkembangan intelektual siswa
didasarkan pada dua fungsi yakni organisasi dan adaptasi (Ratna Wilis Dahar,
1988:80). Organisasi memberikan kemampuan untuk mensistematika dan
mengorganisir proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur
dan saling berhubungan. Sedangkan fungsi kedua yakni adaptasi, semua organisme
lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi pada lingkungan dengan melalui
proses asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang siswa
menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah dimiliki untuk menanggapi
masalah yang dihadapi dengan lingkungannya, sedangkan pada proses akomodasi
seseorang siswa memerlukan modifikasi struktur mental yang telah dimiliki dalam
merespon terhadap tantangan lingkungannya.
Adaptasi merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Jika
seseorang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya maka akan terjadi
ketidakseimbangan dan akibatnya terjadilah akomodasi serta menimbulkan
perubahan sehingga timbul struktur pengetahuan yang baru. Pertumbuhan intelektual
merupakan proses yang terus-menerus dari ketidakseimbangan dan keadaan
setimbang. Jika terjadi keseimbangan kembali maka individu tersebut berada pada
tingkat kognitif yang lebih tinggi dari tingkat kognitif sebelumnya.
Prinsip teori belajar Piaget dalam penerapan pengajaran diterapkan dalam
program-program yang menekankan : 1) Pembelajaran melalui penemuan dan
pengalaman-pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat bahan atau media
belajar yang lain; 2) Peranan guru sebagai seseorang yang mempersiapkan
xxxiv
lingkungan yang memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar yang
luas.
Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi
terpisah melainkan merupakan pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa
untuk memahami lingkungan mereka. Guru seharusnya menyediakan diri sebagai
model dengan cara memecahkan masalah bersama siswa, menjelaskan proses
pemecahan masalah dan membicarakan hubungan antara tindakan dan hasil. Guru
hadir di kelas sebagai narasumber dan bukan sebagai penguasa di kelas yang
memaksakan jawaban benar, siswa harus bebas membangun atau menstruktur
pemahamannya sendiri.
Piaget memandang perkembangan intelektual berdasarkan struktur kognitif dan
setiap akan melewati tahapan demi tahapan secara herarki namun perkembangan itu
berlangsung dalam kecepatan yang berbeda, tergantung dari seberapa jauh anak
dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Piaget (dalam Srini M.Iskandar 2001: 152-
160) mengidentifikasi empat tahapan perkembangan kognitif seorang anak, yaitu : 1)
Tahap Sensorimotor (0-2 tahun), pada periode anak ini mengadaptasi dunia luar
melalui perbuatan, mula-mula belum mengenal bahasa atau cara lain untuk memberi
label pada obyek atau perbuatan, di akhir tahap ini telah sampai pada pembentukan
struktur kognitif sementara untuk mengkoordinasikan perbuatan dalam hubungannya
terhadap waktu, benda, ruang dan kausalitas. Anak mulai mengenal atau mempunyai
bahasa untuk memberi label terhadap benda atau perbuatan; 2) Tahap Pra
Operasional (2-6 tahun), pada periode anak ini, dimulai meningkatkan kosa kata,
membuat penilaian berdasarkan persepsi bukan pertimbangan konseptual,
xxxv
mengelompokkan benda-benda berdasarkan sifat-sifat, mulai memiliki pengetahuan
mengenai benda-benda serta mulai memahami tingkah laku dan organisme di dalam
lingkungannya., mempunyai pandangan egosentrik dan subyektif; 3) Tahap
Operasional Kongkrit (6-11 tahun), pada periode anak ini mulai memandang dunia
secara obyektif bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan
memandang unsur-unsur kesatuan secara serempak, mulai berpikir secara
operasional dan menggunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan
benda-benda, membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip
ilmiah sederhana dan mempergunakan hubungan sebab akibat, memahami konsep
substansi, volume zat cair, panjang, luas dan berat; 4) Tahap operasional Formal (11-
14 tahun), pada periode anak ini, mempergunakan pemikiran tingkat yang lebih
tinggi yang terbentuk pada tahap sebelumnya, membuat hipotesis, melakukan
penelitian terkontrol, dapat menghubungkan bukti dan teori, membangun dan
memahami penjelasan yang rumit mencakup rangkaian deduktif dan logika, pada
periode operasional formal, anak-anak sudah berpikir sebagai orang dewasa, dengan
kata lain ia sudah dapat berpikir tentang yang dipikirkan dan ia juga dapat
menyatakan operasi mentalnya dengan simbol-simbol. Usia siswa SMA tergolong
berada pada tingkat perkembangan kognitif operasional formal sehingga mampu
melakukan pengontrolan terhadap suatu variabel, misalnya untuk pembelajaran fisika
seperti melakukan pengujian terhadap suatu termometer suhu pada materi Suhu dan
Kalor, apabila udara terasa panas dapat dilihat tingginya angka pada termometer dan
sebaliknya.
xxxvi
Menurut Piaget, pembelajaran materi Suhu dan Kalor dapat dilakukan melalui
penemuan dan pengalaman-pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat bahan
atau media belajar yang lain. Kemampuan siswa pada usia SMA tergolong berada
pada tingkat perkembangan kognitif operasional formal dan mulai dapat berfikir
secara abstrak. Pengalaman-pengalaman nyata yang diperolehnya dapat dipahami
dan dikembangkan dalam kelompoknya, baik pembelajaran menggunakan model
STAD maupun Jigsaw. Siswa dengan aktivitas dan kreativitasnya dapat memahami
materi suhu dan kalor melalui pembelajaran menggunakan model STAD maupun
Jigsaw.
2) Teori Vygotsky
Proses perkembangan mental menurut Vygotsky lebih menekankan pada
hakekat sosiokultural dari pembelajaran dimana pembelajar tinggal yakni interaksi
sosial melalui dialog dan komunikasi verbal. Vygotsky memperkenalkan gagasan
Zone Proximal Development (ZPD). Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi
apabila siswa bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan kemampuan siswa atau
tugas-tugas itu berada dalam Zone Proximal Development (ZPD) siswa, yaitu tingkat
perkembangan intelektual yang sedikit lebih tinggi di atas perkembangan intelektual
siswa yang dimiliki saat ini.
Vygotsky (Slavin, 1994:36-37), memberikan batasan tentang teori
perkembangan ZPD, yakni sebagai berikut : ”jarak antara level pembangunan aktual
seperti yang ditentukan oleh penyelesaian masalah secara indipenden dan level
pembangunan potensial seperti yang ditentukan melalui penyelesaian masalah
xxxvii
dengan bantuan dari orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman yang lebih
mampu.” Vygotsky sangat yakin bahwa kemampuan yang tinggi pada umumnya
akan muncul dalam dialog antara kerjasama antar individu siswa, sebelum
kemampuan yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu siswa.
Implikasi utama dari teori Vygotsky dalam pendidikan yakni menghendaki
seting kelas melalui pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran kooperatif,
sehingga siswa dapat berinteraksi dengan temannya dalam tugas-tugas dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-
masing ZPD-nya melalui pembelajaran kooperatif siswa belajar untuk
mengembangkan ketrampilan sosial dan komunikasi diantara siswa dan menerima
akan perbedaan, meliputi ras, status sosial, budaya, kemampuan dan
ketidakmampuan. Ketrampilan sosial ini sangat penting kelak dikemudian hari siswa
hidup dalam masyarakat yang sifatnya heterogen.
Vygotsky juga meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak
secara psikologis. Namun Vygotsky menekankan ”pentingnya interaksi sosial
dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan system
yang secara kultural telah berkembang dengan baik”, Cobb dalam Suparno (2007:
11). Itulah sebabnya dalam pendidikan, siswa perlu berinteraksi dengan para ahli
atau tokoh dan juga terlibat dengan situasi yang cocok dengan pengetahuan yang
ingin digeluti. Misalnya, para siswa dipertemukan dengan ahli atau tokoh yang dapat
bercerita tentang bidang tugas yang mereka geluti, pemikiran mereka tentang suatu
masalah tertentu. Dalam interaksi ini, para siswa ditantang untuk mengkonstruksikan
xxxviii
pengetahuannya sesuai dengan konstruksi para ahli. Siswa juga bisa diajak ke
laboratorium ataupun tempat-tempat lain yang dapat memberi inspirasi bagi siswa.
”Tingkat perkembangan aktual adalah kemampuan anak memecahkan masalah
secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan
memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan
teman sebaya yang lebih mampu. Zona perkembangan proksimal bagaikan secercah
cahaya, namun tidak “sekokoh fungsi yang sudah dikuasai” anak bisa berjalan
dengan bantuan hari ini, namun akan sanggup melakukannya sendiri besok”
(Vygotsky, 1934) dalam Crain W., terjemahan Yudi Santoso, (2007:371). Ide
penting lain yang diturunkan Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan
bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal perkembangan, kemudian bantuan ini
dikurangi untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk yang semakin besar
segera setelah anak dapat melakukannya. Jika diterapkan dalam proses pembelajaran,
ide scaffolding dapat berupa pertunjuk, peringatan, dorongan, dan menguraikan
masalah pada awal pembelajaran.
Menurut teori ini dalam pembelajaran Suhu dan Kalor siswa dapat mengambil
alih tanggung jawabnya dalam belajar setelah guru memberikan bantuan kepada anak
pada tahap-tahap awal perkembangan melalui petunjuk, peringatan, dorongan, dan
menguraikan masalah.
b. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori kontruktivisme mengatakan bahwa pengetahuan seseorang adalah
bentukan (konstruksi) orang itu sendiri. Pengetahuan seseorang akan suatu benda
xxxix
bukanlah tiruan benda itu, melainkan konstruksi pemikiran seseorang akan benda
tersebut. Tanpa keaktifan seseorang mencerna dan membentuknya, seseorang tidak
akan mempunyai pengetahuan. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari otak guru
yang dianggap tahu bila murid tidak mengolah dan membentuknya sendiri.
Teori belajar yang paling berpengaruh dalam pendidikan fisika yakni teori
belajar konstruktivisme. Teori ini merupakan teori belajar kognitif yang dinyatakan
oleh Piaget. Teori belajar menurut pandangan konstruktivis, menyatakan bahwa
siswa tidak menerima begitu saja pengetahuan dari orang lain, tetapi siswa secara
aktif membangun pengetahuannya dengan cara terus menerus mengasimilasi dan
mengakomodasi informasi baru. Mereka membangun sendiri dalam pikiran
pengetahuan-pengetahuan tentang peristiwa fisika dari pengalaman sebelum siswa
memperoleh pelajaran fisika yang siswa terima di sekolah disimpan dalam struktur
kognitif siswa, dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif
yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang
realita. Konstruktivisme sangat dipengaruhi oleh epistomologis Piaget dan Vygotsky.
Sedangkan menurut Paul Suparno (1997: 8), ”prinsip-prinsip teori belajar
konstruktivisme adalah pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara
individu maupun secara berkelompok dan pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
guru ke siswa kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar dan
mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
menuju konsep yang lebih rinci, lengkap dan sesuai dengan konsep ilmiah.” Guru
sekedar membantu menyediakan sarana dan membuat situasi agar proses konstruksi
siswa berjalan mulus, sehingga siswa bukan penerima informasi yang pasif.
xl
Para pendukung teori belajar konstruktivis seperti Vico, Von Glaserfeld
menyatakan ilmu pengetahuan perlu dibangun atau dikonstruksi oleh masing-masing
siswa melalui tiga aktivitas dasar. Ketiga aktivitas dasar tersebut adalah pelibatan
Siswa Aktif, artinya siswa bukan sebagai penerima pengetahuan yang pasif, laksana
botol kosong yang setiap saat dapat diisi bermacam-macam pengetahuan, melainkan
siswa sebagai pembuat struktur pemahaman pengetahuan yang aktif. Refleksi,
artinya siswa memperoleh pengetahuan yang dibangun dari pemahaman siswa untuk
dijadikan pengetahuan yang baru dengan merefleksikan atau ditunjukkan pada
gerakan fisik dan sikap mental siswa. Pengabstrakan, artinya setelah siswa
memperoleh pengetahuan baru berusaha membuat pengetahuan yang bermakna.
Dalam belajar siswa tidak hanya mengasimilasi konsep baru tetapi
mengakomodasikan, mengembangkan, memodifikasikan dan merubah konsep atau
pengetahuan yang ada.
Menurut kajian teori pembelajaran, dalam kegiatan belajar mengajar guru
tidak boleh menganggap sebagai suatu proses memindahkan pengetahuan dari
pikiran guru kepada pikiran siswa karena apa yang diajarkan guru kerap kali tidak
sama apa yang dipelajari siswa. Proses pembelajaran mempengaruhi apa yang
dipelajari siswa, tetapi tidak menekankan apa yang dikonstruksikan oleh siswa.
Kegiatan belajar mengajar berdasarkan pandangan teori belajar konstruktivis
berusaha untuk memerinci konsepsi dan persepsi siswa dari pandangan siswa sendiri.
Pandangan ini tidak menegaskan aspek-aspek yang mencerminkan pandangan orang
dewasa terhadap pengetahuan fisika, tetapi memberi tekanan terhadap penjelasan
pengetahuan fisika dari pandangan siswa sendiri. Pembelajaran menurut pandangan
xli
konstruktivisme mengandaikan ada masalah dalam pembentukan perkembangan
pengetahuan siswa. Dua andaian tersebut adalah siswa tidak menerima pengetahuan
secara pasif tetapi bersifat aktif dalam membina pengetahuannya, dan pengetahuan
siswa merupakan pembinaan oleh siswa sendiri berdasarkan pengalamannya dan ia
bukan sebagai salinan realitas.
Dalam proses pembelajaran fisika, sering terjadi miskonsepsi. Timbulnya
miskonsepsi ini menunjukkan bahwa dalam otak siswa sendiri terbentuk
pengetahuan selama mengikuti proses belajar mengajar. Pengetahuan siswa boleh
tidak sesuai yang dibentuk dalam pikiran dengan konsep pengetahuan yang
diberikan selama proses belajar mengajar. Terbentuknya miskonsepsi ini merupakan
pertanda bahwa dalam otak siswa terbentuk pengetahuan. Siswa bebas membentuk
pengetahuan sebelum kegiatan belajar mengajar secara formal berlangsung. Menurut
pandangan konstruktivisme, konsepsi dan persepsi siswa tidak salah karena konsepsi
dan persepsi mereka adalah berdasarkan pembentukan pengetahuan dari tindakan
yang dilakukan oleh siswa sendiri. Oleh karena itu sangat penting bagi guru agar
siswa diberi kesempatan untuk mengutarakan semua ide dan konsepnya tentang
suatu masalah. Berdasarkan ide dan konsep dari siswa tersebut guru dapat mencoba
membantu dalam perkembangan pengetahuan yang dipunyai dalam otak siswa.
Pembentukan pengetahuan itu pertama-tama ditentukan oleh kegiatan atau
keaktifan siswa itu sendiri dalam berhadapan dengan persoalan, bahan, atau
lingkungan baru. “Siswa sendirilah yang membentuk pengetahuannya. Namun, ini
berarti bahwa orang lain atau lingkungan sosial lain mempunyai pengaruh dalam
pembentukan pengetahuan tersebut sebagai pemicu, mengkritik, dan menantang
xlii
sehingga proses pengetahuan lebih linier, gagasan siswa ditantang, diluruskan serta
diyakinkan” (Paul Suparno, 2001 : 123).
Menurut Piaget dalam Ratna Wilis (1988 : 160) proses konstruktif terbagi
dalam tiga macam (1) Subyek dan obyek (2) Skema-skema atau subsistem-
subsistem (3) Pengetahuan keseluruhannya dan bagian-bagiannya bentuk pertama
dapat dipandang proses konstruksi pengetahuan fisis, bentuk yang kedua dapat
dipandang sebagai konstruksi pengetahuan logika-matematika dan bentuk ketiga
adalah diferensiasi dari skema-skema dan pengintegrasiannya ke dalam keseluruhan
pengetahuan. Prinsip yang esensial dalam model konstruktivisme adalah bahwa
anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah, dan pendidikan
seharusnya memperhatikan hal itu menunjang proses alamiah.
Teori belajar konstruktivisme mempunyai ciri-ciri atau prinsip sebagai
berikut: (1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, (2) Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke murid, kecuali dengan keaktifan murid sendiri untuk
menalar, (3) Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus. (4) Guru sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi terhadap proses kontruksi siswa.
Dari uraian di atas, untuk membangun dan meningkatkan pengetahuan siswa
diharapkan dapat menjadi fasilitator dan tidak menganggap bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki siswa merupakan hasil transfer secara langsung dari guru kepada
siswa. Sebagai fasilitator guru diharapkan memberi arahan pada siswa tentang
model dan pendekatan apa yang digunakan agar pengetahuan dapat dibangun oleh
siswa dengan konsep yang benar. Peran sekolah dalam membangun ilmu
pengetahuan siswa yaitu sebagai penyedia alat, sarana prasarana dan sumber belajar.
xliii
2. Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model pembelajaran yang
telah dikembangkan, antara lain : STAD (Student Team Achievement Divisions) dan
Jigsaw. Hakekat belajar pembelajaran kooperatif model STAD yakni menitik
beratkan pada pencapaian kemampuan penguasaan materi pelajaran secara bersama,
sedangkan Jigsaw disamping menitik beratkan pada kebersamaan juga pada
ketrampilan antar personal dalam pelaksanaan pembelajaran.
Pengembangan model pembelajaran kooperatif STAD, menekankan pada
struktur tutorial teman sebaya. Semua siswa dalam kelompok saling membantu. Pada
pembelajaran model kooperatif Jigsaw memberikan penekanan pada peran masing-
masing siswa dalam kelompoknya (kelompok asal) dan saling bertukar pengetahuan.
Pada model kooperatif Jigsaw antar siswa dalam kelompok memiliki ketergantungan
yang sangat besar karena masing-masing siswa dalam kelompok mendapatkan tugas
yang berlainan antara siswa dengan siswa lain.
a. Pembelajaran Kooperatif Model STAD
STAD (Student Team Achievement Divisions) merupakan model
pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert E. Slavin di universitas
John Hopkins, AS. STAD terbentuk dari lima fase kegiatan, yakni : 1) Presentasi
Kelas, pada komponen ini, guru memberikan materi dengan mengemukakan konsep-
konsep, ketrampilan-ketrampilan, dengan menggunakan buku siswa, buku guru,
bahan untuk audio visual dan sebagainya. Guru harus mampu mendesain materi
xliv
pembelajaran kooperatif STAD yang berbeda ketika guru mengajar dengan
menggunakan pembelajaran tradisional yaitu dengan membuat Lembar Kegiatan
Siswa (LKS) untuk masing-masing sub pokok bahasan; 2) Kelompok Belajar, siswa
dalam satu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok heterogen dengan jumlah
anggota 4-5 orang siswa. Pada pembentukan kelompok guru harus memperhatikan
keanekaragaman gender, latar belakang sosial, etnik dan tingkat kemampuan
akademik siswa dalam keanggotaan kelompok. Dalam hal kemampuan akademik,
tiap kelompok terdiri dari satu orang siswa berkemampuan tinggi, dua orang siswa
berkemapuan sedang dan satu orang siswa berkemampuan rendah. Fungsi utama
kelompok belajar ini adalah agar siswa belajar dalam kelompoknya serta
mempersiapkan anggotanya untuk belajar dengan baik dalam menghadapi tes
individu. Setelah guru mempresentasikan materi, masing-masing kelompok bertemu
untuk mendiskusikan, membandingkan jawaban dan mengoreksi jika ditemukan
salah persepsi dari lembar kerja atau materi lain. Kelompok-kelompok belajar
merupakan hakekat belajar yang sangat penting dalam model pembelajaran
kooperatif STAD, keberhasilan pembelajaran sangat ditekankan pada para anggota
kelompok untuk melakukan hal terbaik untuk kelompoknya, seperti saling
memberikan semangat, dukungan perhatian dan penghargaan diri untuk keberhasilan
belajar; 3) Evaluasi Belajar, setelah satu pokok bahasan guru mempresentasikan
materi pelajaran, maka kemudian dilakukan evaluasi perseorangan dengan tujuan
untuk mengukur pengetahuan yang diperoleh selama kegiatan belajar mengajar; 4)
Skor/Nilai Peningkatan Perseorangan; pemberian evaluasi secra individu mempunyai
tujuan untuk membandingkan skor/nilai yang diperoleh pada tes dengan skor
xlv
dasar/awal yang dimiliki siswa sebelumnya; 5) Rekognisi Tim (Kelompok Belajar),
bentuk penghargaan jika tim memperoleh skor rata-rata mencapai tertentu.
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran model STAD
No. Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Tahap Informasi Menyampaikan informasi tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari Mendengarkan/memperhatikan informasi dan penjelasan yang disampaikan guru.
2. Tahap Pelaksanaan
Membagikan LKS kepada masing-masing kelompok Menerima tugas/LKS Memberi waktu kepada kelompok untuk
membaca bagian tugas/LKS dan berdiskusi dalam kelompok
Membaca bagian tugas/LKS dan berdiskusi dalam kelompok
Memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk menuliskan di papan tulis hasil analisis LKS dan memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah mengetahui jawaban yang benar.
Menuliskan hasil analisis di papan tulis dan diikuti seluruh siswa dengan benar di buku catatan
b. Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw
Jigsaw sebagai model pembelajaran kooperatif dikembangkan pertama kali
oleh Aronson & Patnoe tahun l997. Dalam model pembelajaran kooperatif Jigsaw, ”
setiap siswa menjadi anggota kelompok asal (home group) dan juga sebagai
kelompok ahli (expert group). Siswa dalam kelompok ahli bertanggung jawab
terhadap penguasaan materi yang menjadi bagian yang dipelajari dan berkewajiban
mengajarkan kepada siswa lain dalam kelompoknya’’ (Arend, l997) dalam Helly
Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (2008: 13).
Seperti pada model pembelajaran kooperatif STAD, pada model
pembelajaran kooperatif model Jigsaw siswa dalam satu kelas dibagi kedalam
kelompok-kelompok heterogen dengan anggota 4-5 orang siswa. Pada model
pembelajaran kooperatif Jigsaw setiap siswa dalam satu kelompok asal (home group)
xlvi
akan menerima LKS yang berbeda. Setiap siswa bertanggung jawab terhadap
penguasaan LKS yang menjadi bagian tugasnya.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model Jigsaw adalah siswa dalam
satu kelas dibagi menjadi kelompok asal (home group), menunjuk salah satu siswa
sebagai ketua kelompok. Anggota kelompok asal harus heterogen baik dari
kemampuan berfikir, gender, suku, agama dan lain-lain. Setiap siswa pada kelompok
asal memperoleh LKS yang berbeda, memberi waktu membaca LKS, siswa yang
memperoleh LKS yang sama berkumpul membentuk kelompok ahli untuk
mendiskusikan LKS dan kemudian menjadi ahli pada tugasnya. Tunjuklah seorang
pemimpin diskusi, pencatat, pembaca materi dan pengkoreksi, masing-masing siswa
dari kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan LKS yang menjadi
tugasnya ke anggota kelompoknya secara bergantian dan berbagi informasi.
Tekankan pada masing-masing siswa bahwa setiap siswa mempunyai tanggung
jawab pada kelompok asal dan menjadi tutor yang baik sebagaimana halnya dia
menjadi pendengar yang baik. Para siswa harus dapat meyakinkan bahwa mereka
telah memahami seluruh pokok bahasan dan siap untuk mengikuti tes perseorangan.
Pada akhir pelajaran, para siswa diberikan tes perseorangan yang mencakup semua
sub pokok bahasan yang telah dipelajari.
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif Jigsaw pada awalnya akan
terjadi proses yang kurang lancar. Hal ini dapat terjadi karena beberapa masalah
yang muncul selama KBM, antara lain : 1) Siswa yang pandai akan mendominasi
pembicaraan, sebaliknya siswa yang kurang pandai akan kesulitan memberikan
presentasi; 2) Siswa yang pandai merasa bosan dengan anggota kelompok yang
xlvii
lamban. Untuk mengatasi masalah, metode pembelajaran kooperatif memberikan
jalan keluar, diantaranya : 1) Anggota kelompok hendaknya dari siswa yang
kemampuan akademiknya beragam yaitu dari tingkat akademik tinggi sampai
rendah; 2) Tidak menganut keanggotaan permanen artinya siswa dapat berganti
kelompok dalam kurun waktu tertentu.
Tabel 2.2 Langkah-langkah Pembelajaran model Jigsaw
No. Kegiatan Guru Kegiatan Siswa 1. Tahap Informasi Menyampaikan informasi tentang materi
pembelajaran yang akan dipelajari Mendengarkan/memperhatikan informasi dan penjelasan yang disampaikan guru.
2. Tahap Pelaksanaan Membagikan LKS kepada masing-masing
kelompok asal sebagai ahli dalam tugasnya Para ahli menerima tugas/LKS sesuai dengan tanggung jawabnya.
Memberi waktu kepada kelompok ahli untuk membaca bagian tugas/LKS masing-masing agar mereka tahu apa yang akan dilakukan ketika diskusi
Para ahli membaca bagian tugas/LKS dalam kelompok asal (home group)
Membentuk kelompok ahli, yaitu siswa yang mempunyai bagian tugas/LKS yang sama untuk berkumpul.
Para ahli yang mempunyai tugas/ LKS yang sama berkelompok dalam satu kelompok ahli
Memberitahukan kepada masing-masing ahli untuk berdiskusi dalam kelompok ahli dilanjutkan mengerjakan soal-soal latihan.
Para ahli dalam kelompok ahli melakukan kegiatan berdiskusi
Memberitahukan kepada kelompok ahli untuk kembali ke kelompok asal (home group).
Para ahli kembali ke kelompok asal (home group)
Memberitahukan kepada para ahli untuk menjelaskan dan berdiskusi dengan anggota kelompok bergantian dari ahli 1, 2, 3, 4 dan 5 dilanjutkan mengerjakan soal-soal latihan.
Para ahli menjelaskan tugas/LKS yang sesuai tanggung jawabnya kepada kelompok asal (home group) secara bergantian
Memberi kesempatan kepada kelompok asal untuk menuliskan di papan tulis hasil analisis LKS dan memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah mengetahui jawaban yang benar.
Menuliskan hasil analisis di papan tulis dan diikuti seluruh siswa dengan benar di buku catatan
3. Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas Belajar Siswa merupakan faktor keberhasilan pembelajaran
kooperatif. Dalam proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan
xlviii
aktivitas siswa melalui berbagai pengalaman belajar, dan salah satu keberhasilan
proses pembelajaran ditentukan oleh seberapa besar tingkat aktivitas yang dilakukan
siswa pada setiap kegiatan belajar mengajar. Aktivitas belajar siswa adalah suatu
kegiatan fisik dan mental yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama, penciptaan
kerja dan proses berpikir yang terjadi secara simultan dalam kegiatan belajar
mengajar.
Salah satu faktor keberhasilan pembelajaran kooperatif model STAD dan
model Jigsaw untuk pembelajaran fisika pada materi pokok Suhu dan Kalor adalah
tingkat aktivitas belajar siswa. Aktivitas belajar menentukan prestasi belajar siswa,
apabila tingkat aktivitas belajar yang dimiliki siswa tinggi maka prestasi belajar
siswa tersebut tinggi, sebaliknya apabila tingkat aktivitas belajar siswa rendah maka
prestasi belajar siswa rendah.
Aktivitas belajar siswa merupakan kegiatan yang dilakukan siswa secara fisik
dan dapat teramati oleh guru ketika siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar
selama satu pokok bahasan. Kegiatan fisik siswa yang teramati meliputi : Berada
dalam tugas, mengambil giliran dan berbagi tugas, mendorong partisipasi,
mendengarkan dengan penuh perhatian, bertanya dan diskusi.
4. Kreativitas
Menurut UU. No. 20 Tahun 2003 sikap kreatif merupakan salah satu tujuan
pendidikan nasional. Kenyataan di lapangan pengembangan kreativitas tampaknya
selalu menjadi wilayah yang paling sering terabaikan, padahal kreativitas atau daya
cipta adalah adalah wilayah manusia yang paling unik dan sekaligus membedakan
xlix
dari makhluk lainnya. ”Kreativitas adalah bentuk aktivitas imajiatif yang mampu
menghasilkan sesuatu bersifat orisinil, murni, asli dan bermakna. Menurut Anna
Craft, pikiran berdaya adalah titik utama kreativitas, sedangkan kreativitas adalah
suatu bentuk yang secara sekaligus mencakup multiple intelliegence” (Nurti
Wijayanti, 2006: 77).
Menurut Martin Jamaris (2003:67), “aspek-aspek yang mempengaruhi
kreativitas adalah : 1) Aspek kemampuan Koqnitif; 2). aspek intuisi dan imajinasi; 3)
Aspek penginderaan dan 4) Aspek kecerdasan emosi” . Seorang siswa yang memiliki
pengetahuan cukup baik, mampu berimajinasi dan memiliki intuisi baik, dapat
melakukan pengamatan terhadap lingkungan sekitarnya, serta memiliki kecerdasan
emosional maka sikap kreatifnya akan muncul.
Menurut Herminanto (2004:17) “indikator kreativitas meliputi rasa ingin
tahu, kemampuan bertanya, mengajukan usul dan gagasan, berani berpendapat secara
spontan, menghargai keindahan, ide pribadi, tidak mudah terpengaruh orang lain,
memiliki rasa humor dan daya imajinatif yang tinggi, mampu mengajukan pemikiran
dan gagasan untuk memecahkan masalah, dapat bekerja sendiri, senang mencoba
hal-hal yang baru, serta mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan
(kemampuan elaborasi)”. Dengan mengembangkan kreatifitas pembelajaran
bukanlah hal yang menjemukan, tetapi akan terasa lebih indah, lebih hidup, bukan
merupakan beban, tetapi merupakan hal yang menyenangkan.
Pengembangan kreativitas dapat bermula dari pengetahuan yang dimilikinya
dan mengenal masalah di lingkungannya agar dapat menemukan pemecahan suatu
masalah. Gordon dalam Joyce dan Weil (1980:166) tertarik pada pendekatan baru
l
yang disebut Sinektik. Sinektik adalah pendekatan untuk mengembangkan
kreativitas. Empat ide dasar sinektik yang menantang adalah, kreativitas penting
dalam aktivitas setiap hari, proses kreatif tidak semuanya merupakan hal yang
misterius, tetapi kreatifitas dapat ditingkatkan melalui deskripsi dan latihan secara
langsung, pendapat yang kreatif adalah sama dalam lahan–seni, sains–pabrik mesin,
dan memiliki karateristik seperti penopang proses intelegensi. Gordon menganggap
ada hubungan antara pemikiran umum dalam seni dan sains sama kuatnya, asumsi
bahwa pendapat individu dan kelompok (creative thinking) adalah sangat mirip.
Individual dan pendapat umum kelompok dan hasil dalam banyak bentuk yang sama.
Hal ini sangat berbeda dari sikap kreatif adalah intensitas pengalaman personal.
Dalam pembelajaran guru membantu siswa melihat konsep-konsep yang telah
dikenalnya dengan cara yang segar. Dimulai dari mengambil konsep dari situasi yang
dijelaskan siswa atau topik yang mereka lihat sekarang, menjelaskan sebelumnya
dalam sebuah tulisan. Ilustrasi model pembelajaran dalam enam fase yaitu
Description of present condition: guru memiliki deskripsi situasi siswa atau topik
seperti yang mereka lihat sekarang, Direct analogy: siswa mengusulkan analogi
langsung, memilih satu, dan memeriksa (mendeskripsikan) lebih luas, Personal
anology: Siswa menjadikan analogi yang mereka seleksi dalam dua fase,
Compressed conflict : siswa membawa deskripsinya dari dua fase dan tiga,
membantu mengusulkan penekanan konflik dan memilih salah satu, Direct analogy:
Siswa umumnya dan menyeleksi analogi langsung lainya didasarkan pada penekanan
konflik, Reexamination of the original task: guru mengembalikan siswa pada tugas
li
aslinya atau problemnya dan digunakan analogi sebelumnya dan atau masuk pada
pemngalaman sinektik.
Selanjutnya menurut Mulyasa (2006) dalam Kusmoro (2008:59)
“Pembelajaran kreatif menuntut guru mampu untuk merangsang kreativitas siswa,
baik dalam mengembangkan kecakapan berfikir maupun dalam melakukan suatu
tindakan. Berfikir kreatif selalu dimulai dari berfikir kritis, guna menemukan atau
melahirkan sesuatu yang tadinya belum ada atau memperbaiki sesuatu”. Hasil dari
suatu kreativitas merupakan sesuatu yang baru tetapi logis dan dapat diuji secara
empiris. Tetapi dapat pula berupa perbaikan dari suatu konsep, ide atau produk yang
kurang atau tidak tepat.
5. Prestasi Belajar
Belajar adalah proses seorang untuk memperoleh kecakapan, ketrampilan dan
sikap. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku melalui interaksi antar
individu dengan lingkungannya. Kegiatan belajar merupakan faktor penting dalam
keseluruhan proses pendidikan di sekolah yang menghasilkan perubahan-perubahan
pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan sikap.
Suatu proses belajar dikatakan berhasil apabila dapat menghasilkan prestasi
belajar yang baik. Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa dari usaha
belajarnya. Prestasi belajar siswa dapat diketahui dari angka/nilai yang diperoleh
siswa dibandingkan dengan angka/nilai yang diperoleh kelompok atau siswa yang
lii
lain. Dari yang telah diuraikan, prestasi belajar adalah hasil belajar dari proses yang
dilakukan siswa selama kegiatan belajar mengajar dan dinyatakan dengan angka.
Menurut Permen Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan, Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang
berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar.
Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
pencapaian hasil belajar peserta didik. Untuk mengetahui proses mengukur
pencapaian kompotensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses
pembelajaran dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik dilakukan ulangan
atau Metode tes, observasi, penugasaan perseorangan atau kelompok, sesuai dengan
karakteristik kompotensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Dalam penelitian
ini tekniknya adalah tes tertulis, tes praktik atau tes kinerja.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil
usaha anak didik selama mengikuti pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar,
yang dapat dapat memuaskan dan menyenangkan baik peserta didik maupun
pendidik. Untuk melakukan penilaian prestasi hasil belajar dilaksanakan ulangan
atau tes, baik tertulis maupun tes praktiks. Hasilnya berupa angka, simbol, huruf
maupun kalimat yang mencerminkan hasil usaha peserta didik. Pada Kurikulum
tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) penilaian prestasi belajar meliputi penilaian
kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran materi strukrut atom dan sistem
periodik unsur tidak dilakukan kegiatan praktikum sehingga hanya dilakukan
penilaian kognitif dan afektif. Penilaian prestasi belajar dilakukan melalui tes untuk
liii
memperoleh nilai kognitif dan pengamatan oleh guru untuk penilaian afektif selama
pembelajaran.
Keberhasilan belajar peserta didik dapat diketahui dengan menggunakan
pengukuran, pengujian, penilaian dan evaluasi. Pengukuran merupakan proses
penetapan angka terhadap suatu gejala berdasarkan aturan tertentu. Pengukuran
pendidikan dapat bersifat kuantitatif (berupa angka) dan kualitatif (seperti sangat
baik, baik, kurang baik, dan seterusnya). Penilaian adalah penafsiran data hasil
pengukuran. Penilaian atau assesment merupakan metode yang digunakan untuk
menilai kinerja individu atau kelompok atau program. Instrumen penilaian dapat
berupa tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah
dan sebagainya. Penilaian secara sistematis tentang manfaat dan kegunaan suatu
obyek disebut evaluasi. Alat ukur yang digunakan dalam evaluasi bervariasi. Sebagai
obyek dari evaluasi adalah program yang didalamnya terdapat banyak dimensi,
seperti kemampuan, kreativitas, sikap, minat, ketrampilan dan sebagainya.
Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi dasar meliputi standart
kompetensi, kompetensi dasar, rencana penilaian, proses penilaian, proses
implementasi, pencatatan dan pelaporan. Menurut Permen Nomor 20 Tahun 2007
tentang Standar Penilaian Pendidikan, Standar penilaian pendidikan adalah standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen
penilaian hasil belajar. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk pencapaian hasil belajar peserta didik. Untuk
mengetahui proses mengukur pencapaian kompotensi peserta didik secara
berkelanjutan dalam proses pembelajaran dan menentukan keberhasilan belajar
liv
peserta didik dilakukan ulangan atau Metode tes, observasi, penugasaan
perseorangan atau kelompok, sesuai dengan karakteristik kompotensi dan tingkat
perkembangan peserta didik. Dalam penelitian ini tekniknya adalah tes tertulis, tes
praktik atau tes kinerja.
Prestasi belajar siswa diukur melalui penilaian ranah kognitif, ranah afektif
dan ranah psikomototik. Penilaian kognitif meliputi kemampuan siswa dalam
memahami konsep-konsep atau teori-teori atau hukum-hukum pada mata pelajaran
kimia. Penilaian afektif digunakan untuk mengukur sikap dan minat peserta didik
terhadap mata pelajaran kimia. Sedangkan penilaian psikomotorik digunakan untuk
mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik.
Keberhasilan belajar peserta didik dapat diketahui dengan menggunakan
pengukuran, pengujian, penilaian dan evaluasi. Pengukuran merupakan proses
penetapan angka terhadap suatu gejala berdasarkan aturan tertentu. Pengukuran
pendidikan dapat bersifat kuantitatif (berupa angka) dan kualitatif (seperti sangat
baik, baik, kurang baik, dan seterusnya). Penilaian adalah penafsiran data hasil
pengukuran. Penilaian atau assesment merupakan metode yang digunakan untuk
menilai kinerja individu atau kelompok atau program. Instrumen penilaian dapat
berupa tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas rumah
dan sebagainya. Penilaian secara sistematis tentang manfaat dan kegunaan suatu
obyek disebut evaluasi. Alat ukur yang digunakan dalam evaluasi bervariasi. Sebagai
obyek dari evaluasi adalah program yang didalamnya terdapat banyak dimensi,
seperti kemampuan, kreativitas, sikap, minat, ketrampilan dan sebagainya.
Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi dasar meliputi standart
lv
kompetensi, kompetensi dasar, rencana penilaian, proses penilaian, proses
implementasi, pencatatan dan pelaporan.
6. Pembelajaran IPA (Sains)
Pendidikan dalam arti yang luas berarti suatu proses untuk mengembangkan
semua aspek kejadian manusia, yang menyangkut pengetahuan, nilai serta sikap dan
ketrampilannya. Pendidikan bertujuan untuk mencapai kepribadian individu yang
lebih baik. Pendidikan pada hakekatnya akan mencakup kegiatan mendidik,
mengajar, membimbing dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu
usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai.
Pendidikan sains seperti halnya pendidikan pada umumnya, memiliki peran
yang sangat penting dalam pembentukkan kepribadian, dan perkembangan
intelektual anak. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, pendidikan sains
senantiasa mengalami pengkajian ulang, pembaharuan untuk mencari bentuk yang
paling sesuai. Sains terdiri dari tiga komponen yaitu : Sains sebagai produk, proses
dan sikap. Dengan demikian dalam pembelajaran sains ada beberapa kompetensi
yang harus dikembangkan. Secara akademis siswa harus mengalami konsep sains
dan pemecahannya baik secara ilmiah melalui strategi deduktif maupun induktif.
Ilmu Fisika adalah ilmu yang berupaya menemukan pola-pola keteraturan dan
membingkainya dalam rumusan matematik. Jadi, ilmu fisika adalah sebuah
pencitraan (imagine) alam semesta dengan media utamanya adalah matematika. Oleh
karena itu jalan panjang penelitian yang dilakukan dalam ilmu fisika bermuara pada
perumusan matematika yang cocok dengan gejala-gejala alamiah yang dipelajarinya.
lvi
7. Materi Pembelajaran Fisika
Pada penelitian ini dipilih materi pokok bahasan Suhu dan Kalor kelas X
SMA semester 2, Kurikulum KTSP 2008. Standar Kompetensi : Menerapkan
konsep kalor dan prinsip konservasi energi pada berbagai perubahan energi.
Kompetensi Dasar : Menganalisis pengaruh kalor terhadap suatu zat.
Suhu dan Termometer
Panas atau dingin dapat dirasakan melalui indra peraba, tetapi suatu
kenyataan bahwa indra peraba tidak dapat mengukur dengan tepat derajat panas
dinginnya suatu benda. Ukuran atau derajat panas dinginnya suatu benda disebut
dengan suhu. Benda yang panas memiliki suhu tinggi sedangkan benda yang dingin
memiliki suhu yang rendah. Ketika memanaskan atau mendinginkan suatu benda
sampai pada suhu tertentu, beberapa sifat fisik benda tersebut berubah, sebagai
contoh ketika memanaskan sebatang besi, besi akan memuai, begitu pula ketika
memanaskan zat cair. Ketika mendinginkan air sampai suhu di bawah nol, air
tersebut berubah menjadi es. Sifat-sifat benda yang bisa berubah akibat adanya
perubahan suhu disebut sifat termometrik.
Sifat termometrik suatu zat dapat dimanfaatkan sebagai alat pengukur suhu
atau yang biasa dikenal dengan termometer. Termometer adalah alat yang digunakan
untuk mengukur suhu suatu benda. Berbagai jenis termometer dibuat berdasarkan
pada beberapa sifat termometrik zat seperti pemuaian zat padat, pemuaian zat cair,
lvii
pemuaian gas, tekanan zat cair, tekanan udara, regangan zat padat, hambatan zat
terhadap arus listrik dan intensitas cahaya (radiasi benda).
Adapun beberapa jenis termometer tersebut antara lain adalah : 1)
Termometer Bimetal, alat ini bekerja berdasarkan prinsip bahwa logam akan memuai
(bertambah panjang) jika dipanaskan; 2) Termometer hambatan, alat ini bekerja
berdasarkan prinsip bahwa bila seutas kawat logam dipanaskan, hambatan listriknya
akan bertambah. Perubahan hambatan listrik ini kemudian diubah ke dalam pulsa-
pulsa listrik. Pulsa listrik inilah yang menunjukkan suhu saat itu; 3) Termokopel,
pada prinsipnya, pemuaian yang berbeda antara dua logam yang ujungnya
disentuhkan akan menghasilkan gaya gerak listrik (ggl). Besar ggl inilah yang
dimanfaatkan oleh termokopel untuk menunjukkan suhu; 4) Termometer gas, bila
sejumlah gas yang dipanaskan volumenya dijaga tetap, tekannya akan bertambah.
Sifat termometrik inilah yang dimanfaatkan untuk mengukur suhu pada termometer
gas; 5) Pyrometer, bekerja dengan mengukur intensitas radiasi yang dipancarkan
oleh benda yang sangat panas. Instrumen pyrometer tidak menyentuh benda panas
sehingga pyrometer dapat digunakan untuk mengukur suhu yang sangat tinggi (kira-
kira 500oC – 3.000oC) yang dapat membakar habis termometer jenis lainnya.
Skala-skala Termometer
Untuk menyatakan suhu suatu benda dengan bilangan pada termometer, maka
pada termometer harus terdapat skala. Skala suhu pada termometer dapat diubah
dengan cara menetapkan dua suhu tertentu. Kedua suhu tersebut harus memenuhi
dua syarat yaitu tidak berubah-ubah nilainya dan mudah diadakan kapan saja dan
lviii
dimana saja. Oleh karena itu kedua suhu tersebut disebut titik tetap atas dan titik
tetap bawah.
Skala Celcius, Anders Celcius menetapkan bahwa satuan suhu adalah derajat
Celcius yang ditulis oC dan dua suhu tetap yaitu suhu air murni yang sedang
mendidih pada tekanan 1 atmosfer dinyatakan 100oC sebagai suhu tetap atas dan
suhu air murni yang sedang membeku pada tekanan 1 atmosfer dinyatakan 1oC
sebagai suhu tetap bawah. Skala Kelvin, Lord Kelvin menetapkan titik tetap bawah
dengan nol mutlak yang besarnya lebih kurang -273,15oC. Pada suhu ini gerak
pertikel berhenti sehinggga tidak ada panas yang dapat diukur, hal ini karena panas
sebanding dengan energi kinetik tiap partikel. Skala Fahrenheit, Gabriel Fahrenheit
menetapkan titik tetap bawah menggunakan suhu campuran es dan garam, titik ini
diberi angka 0 dan titik tetap atas menggunakan air yang sedang mendidih diberi
angka 212. Titik beku air diberi angka 32, jadi terdapat perbedaan 180o antara titik
beku air dan titik didihnya. Skala Reamur, menetapkan titik lebur es diberi angka 0
sebagai titik tetap bawah dan titik didih air diberi angka 80 sebagai titik tetap atas.
Pada Skala Reamur terdapat 80 skala.
Celsius Fahrenheit Reamur Kelvin
Gambar 2.1 Hubungan antara skala termometer
Hubungan antar skala Celcius, Fahrenheit, Reamur dan Kelvin
lix
ToF = ( 59 ToC + 32) atau ToC =
95 (ToF – 32); ToR =
54 ToC atau ToC =
45 ToR;
T = (ToC + 273)K
Pemuaian zat
Pada umumnya apabila suatu benda dipanaskan maka benda itu akan
memuai. Pemuaian yang terjadi pada benda meliputi muai panjang, muai luas dan
muai ruang (volume). Besarnya pemuaian benda tergantung pada : 1) ukuran benda
semula; 2) kenaikan suhu; 3) jenis benda
Pemuaian Zat Padat
Muai Panjang, bila suatu benda padat dipanaskan maka benda tersebut akan
memuai ke segala arah. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu kita dapat memperhatikan
pemuaian pada arah memanjang. Pada jenis batang dinyatakan dengan koefisien
muai panjang (koefisien linear) dinyatakan dengan simbol . = TL
L
o dan Lt = Lo
+ L = Lo(1 + T)
Gambar 2.2 Muai Panjang
Muai Luas, apabila benda tipis berbentuk persegi panjang dipanaskan maka
terjadi pemuaian dalam arah memanjang dan melebar (Pemuaian luas). = 2 ,
= 2
TAA
o
dan At = Ao + A = Ao(1 + T)
lx
Gambar 2.3 Muai Luas
Muai Volume, jika sebuah balok mula-mula memiliki ukuran panjang p0,
lebar l0 dan tinggi h0 dipanaskan hingga suhunya bertambah T, maka berdasarkan
pemikiran muai panjang dan luas diperoleh V0 = p0l0h0, = 3
TVV
o
,
T = 273 + t, T0 = 0 + 273, V = 2731 dan Vt = Vo + V
Vt = Vo + Vo T
Vt = Vo(1 + T) Vt
= Vo(1 + 273
t )
Vt = Vo
273273 t
Vt
= Vo0T
Tt
0VVt =
0TTt
Anggap P = 2731 baik pada tekanan dan volum tetap Pt = Po(1 + V t)
Pt = Po
273273 t
lxi
Pt = Po0T
Tt
0P
Pt =0T
Tt
Gambar 2.4 Muai Volum
Pemuaian Gas
Seperti hasilnya benda padat, gas juga memuali jika dipanaskan. Hukum
mengenai pemuaian gas dinyatakan oleh Gay Lussac danBoyle, dan menjadi hukum
Boyle-Gay Lussac. Hubungan antara tekanan dan volume gas telah kalian pelajari di
SLTP. Selain kedua besaran itu (tekanan P dan volume V), gas memiliki besaran
lain, yaitu suhu T. Berikut ini kita akan menyelidiki hubungan ketiga besaran
tersebut. Jika kita menyelidiki hubungan volume dengan suhu, maka tekanan harus
dijaga agar selalu tetap (Hukum Gay Lussac). Demikian juga, jika kita menyelidiki
hubungan tekanan dan suhu, volume harus dijaga agar selalu tetap.
2
2
1
1
TVatau tan)(
TVkonsC
Tv
dan 2
2
1
1
TPatau (konstan) C
TP
TP
Hukum Boyle
Pada batas-batas volume dan suhu yang konstan, berlaku bahwa hasil
perkalian antara volume gas dan tekanannya selalu konstan. Secara matematis
dirumuskan : P1V1 = P2V2 atau PV = C (konstan)
lxii
Hukum Boyle – Gay Lussac
Sejumlah gas yang bermassa dengan keadaan awal P1, V1 dan T1(a), kemudian
ditekan ke bawah dengan suhu tetap sehingga volumenya menjadi V2 dan tekanan
P(b). Dari keadaan ini gas dipanaskan dalam volume tetap (C). Berdasarkan kedua
tahap perlakuan tersebut, akan didapat persamaan gas sebagai berikut
(konstan) C T
PVatau 1
11
2
22 TVP
TVP
Pemuaian Zat Cair
Zat cair mempunyai sifat selalu mengikuti bentuk sesuai dengan tempat yang
ditempati. Oleh karena itu, zat cair hanya mengalami muai volume saja. Besarnya
pertambahan volume zat cair akibat pemuaian dirumuskan dengan persamaan berikut
V1=V0(1+y T) atau Y1= dilY T
)(
a
ab
Gambar 2.5 Air yang dipanaskan akan memuai
Anomali Air
Cobalah kalian panaskan batu es yang bersuhu dibawah 0oC. Kalian akan
menyaksikan es memuai seperti zat padat lainnya sampai es mencapai suhu 0oC. Di
antara suhu 0oC dan 4oC air menyusut dan mencapai volume minimum pada suhu
lxiii
4oC. Sewaktu menyusut, massa air tetap . Ini berarti massa jenis air (p=m/V)
mencapai maksimum pada suhu 4oC. Di atas 4oC air akan memuai jika
dipanaskan.Jadi, pada suhu di antara 0oC dan 4oC air menyusut dan diatas suhu 4oC
air memuai.
Sifat pemuaian air yang tidak teratur inilah yang disebut “anomali Air”
(Anomali berarti ketidakteraturan). Zat lain yang mempunyai sifat anomali seperti air
adalah parafin dan bismuth.
Perubahan Wujud Zat
Gambar 2.6 Perubahan Wujud Zat
Melebur adalah perubahan wujud zat dari padat menjadi cair. Ketika melebur,
zat memerlukan kalor sehingga selama melebur tidak terjadi kenaikan suhu. Suhu
pada saat zat melebur disebut titik lebur. Kalor yang diperlukan untuk mengubah 1
kg zat padat menjadi cair disebut kalor lebur.
Membeku adalah perubahan wujud zat dari cair menjadi padat. Ketika
membeku, zat melepaskan kalor yang disebut kalor beku. Suhu pada saat zat
lxiv
membeku disebut titik beku. Pada zat yang sama titik lebut = titik beku dan kalor
lebur = kalor beku.
Apabila Q menyatakan banyak kalor yang digunakan untuk meleburkan zat
bermassa m, kalor lebur L zat ditulis dengan persamaan : L = mQ atau Q = m L
Menguap adalah perubahan wujud dari zat cair menjadi gas atau uap. Pada
waktu menguap, zat memerlukan kalor. Salah satu peristiwa penguapan adalah
mendidih, yaitu penguapan yang terjadi di seluruh bagian zat cair. Selama mendidih
suhu zat tetap, suhu itu disebut titik didih. Kalor yang diperlukan untuk menguapkan
satu satuan massa zat pada titik didih normalnya disebut kalor laten penguapan atau
kalor uap.
Mengembun adalah perubahan wujud zat dari uap atau gas menjadi cair. Pada
saat mengmbun, zat melepaskan kalor yang disebut kalor laten pengembunan atau
kalor embun.
Apabila untuk menguapkan zat bermassa m pada titik didihnya diperlukan
kalor sebesar Q joule, besar uap U dapat ditulis dengan persamaan : U = mQ atau
mcQ
T 1
Perpindahan kalor
lxv
Grafik 2.7 Diagram Hubungan antara Q dan t
Perpindahan kalor konduksi, apabila sepotong logam salah satu ujungnya
dipanasi dengan api dan ujung yang lain dipegang, maka pada ujung yang dipegang
lama-kelamaan akan menjadi panas. Padahal ujung ini tidak berhubungan langsung
dengan api. Dalam hal ini kalor merambat dari ujung yang bersuhu tinggi ke ujung
yang bersuhu rendah. Perpindahan kalor semacam ini disebut konduksi. Jadi,
konduksi adalah perpindahan kalor yang tidak disertai dengan perpindahan partikel
zat pengantarnya. Perpindahan energi kalor secara konduksi dapat terjadi melalui dua
proses yaitu kalor dipindahkan melalui tabrakan antar partikel. Pemanasan
mengakibatkan energi kinetik partikel bertambah sehingga bergerak lebih cepat.
Gerakan partikel itu mengakibatkan terjadinya tabrakan antara partikel-partikel yang
berdekatan dan sekaligus terjadi perpindahan kalor. Cara ini membutuhkan waktu
lama untuk memindahkan panas dari ujung yang satu ke ujung yang lain dan kalor
dipindahkan melalui elektron-elektron bebas. Pada bagian yang dipanaskan, energi
elektron-elektron bertambah besar. Oleh karena elektron-elektron bergerak bebas,
energi itu dapat dipindahkan secara cepat melalui tumbukan dengan elektron-
elektron di sekitarnya.
Laju perpindahan kalor bergantung pada panjang (L), luas penampang (A),
konduktivitas termal (K) atau jenis bahan, dan beda suhu (T). Oleh karena itu,
banyak kalor yang dapat berpindah selama waktu tertentu ditulis dengan persamaan
berikut :
lxvi
H = LTKA
tQ , K= konduktivitas termal atau koefisien konduksi termal (W/m.K
atau J/s.moC); A= luas permukaan/penampang (m2); LT = gradien suhu (oC/m)
Gambar 2.8 Aliran Panas
Perpindahan kalor konveksi
Perpindahan kalor secara konveksi dapat terjadi pada zat alir (fluida). Hal ini
dapat kita amati pada waktu proses pemanasan air dalam suatu gelas. Partikel-
partikel air pada dasar gelas menerima kalor dan menjadi panas. Partikel yang telah
panas ini bergerak ke atas, sedangkan air yang dingin turun mengisi tempat yang
ditinggalkan air panas yang naik. Air dingin yang turun akan menerima kalor dan
menjadi panas. Demikian seterusnya terjadi secara alamiah. Perpindahan kalor
dengan cara semacam ini disebut dengan konveksi. Jadi, konveksi adalah
perpindahan kalor yang disertai perpindahan partikel-partikel zat.
Perpindahan kalor radiasi
Laju pemancaran kalor oleh permukaan hitam, menurut Stefan dinyatakan
sebagai berikut. Energi total yang dipancarkan oleh suatu permukaan hitam
sempurna dalam bentuk radiasi kalor tiap satuan waktu, tiap satuan luas permukaan
sebanding dengan pangkat empat suhu mutlak permukaan itu. Secara matematis, laju
kalor radiasi ditulis dengan persamaan : W = T4. Energi yang dipancarkan tiap
lxvii
satuan waktu adalah : tQ = A T4, = tetapan Stefan (5,7 x 10-8W/m2.K4)’ A = luas
permukaan, T = suhu mutlak benda
Gambar 2.9 Benda gelap menyerap panas lebih baik Kalor
Kalor Sebagai Bentuk Energi
Suhu adalah sesuatu yang diukur pada termometer, dan kalor adalah sesuatu
yang mengalir (fluida) dari benda yang panas ke benda yang dingin dalam rangka
mencapai keseimbangan termal.
Kalor Jenis dan Kapasitas Kalor
Dari hasil percobaan diperoleh kesimpulan, besarnya kalor yang diperlukan
untuk menaikan suhu suatu zat sebanding dengan massa zat itu dan menaikan
suhunya. Jika besarnya kalor yang dibutuhkan suatu zat yang bermassa m untuk
kenaikan suhu T sebesar Q, maka : Q = m c T, Q = kalor yang diserap atau
dilepaskan, dalam satuan J atau kalori, M=massa zat, satuannya kg atau g,
T=perubahan suhu, satuannya K atau oC, C=kalor jenis, satuannya J/kg.K atau
kal/goC
Jadi, jika kalor yang dibutuhkan sebesar Q untuk menaikan suhu benda sebesar T,
maka kapasitas kalor (C) benda tersebut dapat dirumuskan :
lxix
Gambar 2.10 Kalorimeter aluminium
Menentukan kalor jenis suatu zat dengan kalorimeter, kita gunakan hukum
kekekalan energi atau Black. Jika kalor jenis suatu zat diketahui, kalor jenis zat lain
yang dicampur dengan zat tersebut dapat dihitung.
Asas Black
Apabila dua benda yang suhunya berbeda dipertemukan (dicampurkan),
benda yang suhunya tinggi akan memberikan kalor kepada benda yang suhunya
rendah. Pada akhir percampuran, suhu kedua benda menjadi sama. Berdasarkan hal
tersebut, jika kalor jenis salah satu zat diketahui, kalor jenis zat yang lain dapat
dihitung dengan menggunakan hukum kekekalan energi yaitu : Qdilepas =
Qditerima..
B. Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan model pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah
mendiskusikan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila siswa saling
mendiskusikannya dengan teman kelompok. Aktivitas dan kreatifitas siswa sangat
memegang peranan penting dalam pembelajaran dan pada pembelajaran sains
berbeda dengan pembelajaran sosial tentunya pada kaidah-kaidah tertentu sebab
peranan teman, kelompok dan guru tidak dipisahkan. Ternyata teori ini sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya.
lxx
Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (2005) tentang Penerapan
pembelajaran kooperatif model STAD dan model Jigsaw terhadap prestasi belajar
fisika pada pokok bahasan tegangan dan arus bolak-balik ditinjau dari aktivitas
belajar siswa, yang bertujuan : a) mengetahui perbedaan pengaruh penggunaan
model pembelajaran STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar, b) mengetahui
perbedaan pengaruh aktivitas belajar terhadap prestasi belajar, c) mengetahui
interaksi antar model STAD dan Jigsaw dengan aktivitas belajar terhadap prestasi
belajar. Dengan memperhatikan hasil penelitian sebelumnya, penulis mengganti
materi pembelajaran dengan materi suhu dan kalor karena dianggap lebih cocok
dengan model pembelajaran dan menambah variabel terikat kreativitas siswa dalam
penelitian ini karena dianggap dapat meningkatkan hasil prestasi belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Suharno (2009) tentang, Pembelajaran
kooperatif model Jigsaw dan TGT ditinjau dari orientasi kepribadian kooperatif,
yang bertujuan : a) mengetahui perbedaan prestasi belajar biologi antara
pembelajaran kooperatif model Jigsaw dan TGT pada materi virus, b) mengetahui
perbedaan prestasi belajar biologi antara tingkatan orientasi kepribadian kooperatif
tinggi, sedang dan rendah pada materi virus, c) interaksi antara pembelajaran
kooperatif model Jigsaw, TGT dengan orientasi kepribadian kooperatif terhadap
prestasi belajar biologi pada materi virus. Dengan memperhatikan hasil penelitian
sebelumnya, penulis menggunakan model pembelajaran STAD dan Jigsaw karena
dianggap lebih setara dan mengganti variabel dengan aktivitas belajar dan kreativitas
siswa karena dianggap lebih cocok dengan model pembelajaran serta sesuai dengan
karakteristik siswa di SMA Negeri 1 Banjarmasin.
lxxi
Penelitian yang dilakukan oleh Seran Daton Gregorius (2009) tentang,
Pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD Dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar
ditinjau dari motivasi berprestasi dan sikap sosial siswa, yang bertujuan : a)
mengetahui perbedaan pengaruh pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II
terhadap prestasi belajar, b) mengetahui pengaruh motivasi berprestasi terhadap
prestasi belajar, c) mengetahui pengaruh sikap sosial terhadap prestasi belajar, d)
mengetahui interaksi antara motivasi berprestasi dengan pembelajaran kooperatif tipe
STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi belajar, e) mengetahui interaksi antara sikap
sosial dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw II terhadap prestasi
belajar, f) mengetahui interaksi antara motivasi berprestasi dengan sikap sosial
terhadap prestasi belajar, dan g) mengetahui interaksi antara pembelajaran kooperatif
tipe STAD dan Jigsaw II, motivasi berprestasi dan sikap sosial terhadap prestasi
belajar. Dengan memperhatikan hasil penelitian sebelumnya, penulis mengganti
model pembelajaran STAD dan Jigsaw karena dianggap lebih seimbang antara kedua
model pembelajaran. Variabel yang digunakan adalah aktivitas belajar dan
kreativitas siswa karena dianggap dapat meningkatkan hasil prestasi belajar.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan dari kajian yang telah diuraikan, dapat dikemukakan kerangka
pemikiran pada penelitian ini bahwa keberhasilan sebuah proses belajar mengajar
ditentukan dari prestasi yang diperoleh siswa. Faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar ditentukan dari model pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan oleh guru, serta keterlibatan aktif dan kreatif siswa selama
KBM dalam bentuk aktivitas belajar dan kreativitas siswa.
lxxii
8. Pengaruh penerapan pembelajaran model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi
belajar fisika pada materi suhu dan kalor. Secara umum siswa telah mampu
melakukan belajar dalam kelompok. Namun secara individu ada siswa yang
ingin tetap bekerja dan belajar dalam kelompoknya secara bersama tetapi ada
pula siswa yang berkeinginan lebih menguasai dalam satu bidang. Siswa-siswa
tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok siswa I
diberikan pembelajaran menggunakan model STAD dan kelompok siswa II
dilakukan pembelajaran menggunakan model Jigsaw. Tehnis pembentukkan
kelompok dan materi yang diajarkan pada dua kelompok siswa diberlakukan
pada selang waktu yang sama. Diduga model pembelajaran STAD akan lebih
berpengaruh terhadap prestasi belajar Suhu dan kalor pada kelompok siswa yang
ingin mencapai kompetensi secara bersama-sama. Sedangkan model
pembelajaran Jigsaw berpengaruh pada prestasi belajar suhu dan kalor pada
kelompok siswa yang secara individu termasuk dalam kelompok ahli.
9. Pengaruh aktifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu
dan kalor. Aktivitas belajar pada siswa dalam satu kelas tidak homogen. Siswa
yang memiliki aktivitas belajar tinggi cenderung memperoleh prestasi belajar
yang tinggi. Siswa yang memiliki aktivitas belajar yang rendah cenderung
memperoleh prestasi belajar yang rendah. Diduga siswa yang memiliki aktivitas
belajar tinggi akan memperoleh prestasi belajar suhu dan kalor yang lebih baik
daripada siswa yang memiliki aktivitas belajar rendah.
10. Pengaruh kreativitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan
kalor. Dalam satu kelas terdapat siswa yang memiliki kreativitas tinggi dan
lxxiii
rendah. Pada umumnya siswa yang berkreativitas tinggi memiliki kemampuan
koqnitif, intuisi dan imajinasi, penginderaan dan kecerdasan emosi yang tinggi,
sehingga mampu memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Siswa yang
berkreativitas rendah memiliki kemampuan kognitif, intuisi dan imajinasi,
penginderaan dan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga memperoleh prestasi
belajar yang rendah. Diduga siswa yang memiliki kreativitas tinggi akan
memperoleh prestasi belajar suhu dan kalor yang lebih baik daripada siswa yang
memiliki kreativitas rendah.
11. Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas belajar siswa
Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan aktivitas. Model STAD
menekankan struktur tutorial teman sebaya, semua siswa dalam kelompoknya
saling membantu dan menitik beratkan pada pencapaian kemampuan dalam
menguasai materi secara bersama. Sedangkan Model pembelajaran Jigsaw ada
perbedaan pembagian tugas, dalam bentuk kelompok ahli. Setiap kelompok ahli
dibekali dengan LKS yang berbeda. Model Pembelajaran Jigsaw memerlukan
aktivitas belajar individu yang lebih tinggi dari pada penerapan model
pembelajaran STAD. Diduga siswa yang memiliki aktivitas belajar tinggi sesuai
menggunakan model pembelajaran dengan Jigsaw, dan memperoleh prestasi
belajar yang tinggi. Sedangkan siswa yang memiliki aktivitas belajar rendah
akan memperoleh prestasi belajar lebih baik dengan menggunakan model
pembelajaran STAD.
12. Interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreativitas belajar siswa.
Kreativitas siswa tinggi akan mendukung siswa dalam memahami konsep-konsep
lxxiv
pada materi suhu dan kalor. Siswa yang memiliki kreativitas tinggi cenderung
ingin menguasai lebih dalam setiap sub materi yang dipelajarinya, sehingga lebih
sesuai menggunakan model pembelajaran Jigsaw untuk memperoleh prestasi
belajar yang tinggi. Siwa yang memiliki kreativitas rendah cenderung ingin
memahami materi secara kelompok melalui tutor sebaya, sehingga lebih sesuai
mengunakan model pembelajaran STAD. Diduga siswa yang memiliki
kreativitas tinggi memperoleh prestasi belajar suhu dan kalor tinggi
menggunakan model pembelajaran Jigsaw.
13. Interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar
fisika pada materi suhu dan kalor. Siswa yang memiliki aktivitas belajar tinggi
memiliki sikap disiplin, kritis dan berani bertanya, cenderung memiliki
kreativitas yang tinggi. Sedangkan siswa yang memiliki aktivitas belajar rendah
cenderung memiliki kreativitas belajar rendah. Diduga siswa yang memiliki
aktivitas belajar tinggi dan kreativitas belajar tinggi akan memperoleh hasil
prestasi belajar yang lebih baik.
14. Interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktivitas belajar dan kreativitas
belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor. Pada model
pembelajaran STAD siswa menghadapi tugas bersama-sama dan saling
mendiskusikan semua materi pelajaran dalam kelompoknya, sehingga tidak
diperlukan aktivitas dan kreativitas yang tinggi. Sedangkan pada model Jigsaw
memberikan penekanan pada peran masing-masing siswa dalam kelompoknya
(kelompok asal) dan saling bertukar pengetahuan, karena masing-masing dalam
satu kelompok mendapatkan bagian tugas yang berlainan antara siswa satu
lxxv
dengan yang lain, sehingga diperlukan aktivitas dan kreativitas belajar yang
tinggi. Diduga siswa yang memiliki aktivitas dan kreativitas tinggi akan
memperoleh prestasi belajar suhu dan kalor tinggi dengan menggunakan model
pembelajaran Jigsaw. Sedangkan siswa yang memiliki aktivitas dan kreativitas
belajar rendah akan memperoleh prestasi belajar suhu dan kalor tinggi dengan
menggunakan model pembelajaran STAD.
D. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, kajian teori, dan kerangka
berfikir di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada pengaruh penerapan pembelajaran model STAD dan Jigsaw terhadap
prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
2. Ada pengaruh aktifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi
suhu dan kalor.
3. Ada pengaruh kreatifitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu
dan kalor.
4. Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas belajar
siswa.
5. Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreatifitas belajar
siswa.
6. Ada interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa terhadap prestasi
belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
7. Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktifitas belajar dan
lxxvi
kreatifitas belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Banjarmasin Propinsi
Kalimantan Selatan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Tahun Pelajaran 2008/2009 yaitu bulan
Nopember 2008 sampai Maret 2009 dengan jadwal penelitian sebagai berikut :
Tabel 3.1 : Jadwal Penelitian
No Kegiatan Tahun Pelajaran 2008/2009
Nop Des Jan Peb Mar
1 Pengajuan Judul X
2 Seminar proposal X X
3 Perizinan X
4 Penyusunan Instrumen Pembelajaran X
5 Penyusunan Instrumen Tes X
6 Uji Coba Instrumen X
7 Analisa Ujicoba X
8 Pelaksanaan Penelitian X X
9 Pengambilan Data X
10 Pengolahan Data X
11 Pengolahan dan Analisa Data X
lxxvii
12 Penyusunan laporan Lengkap X
13 Ujian Tesis X X
14 Revisi X
B. Metode Penelitian
Metoda penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari penyelesaian
masalah dari kajian teori, pengujian teori untuk mendapatkan suatu tujuan. Kategori
penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen sungguhan (true
experimenal research) yang bertujuan menyelidiki kemungkinan saling hubung sebab
akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimen, satu
atau lebih kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih
kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan (Sumadi Suryobroto, 1998: 27).
C. Rancangan dan Variabel Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian metode eksperimen yang bertujuan untuk
mengetahui perbedaan pengaruh antara pembelajaran Model STAD (Student Team
Achievemen Divisions) dan Jigsaw terhadap prestasi belajar Fisika, yang ditinjau dari
Aktivitas belajar dan kreatifitas siswa pada materi pembelajaran Suhu dan Kalor.
Dengan memperhatikan variable yang terlibat dan untuk mencapai tujuan, maka
rancangan digunakan adalah faktorial 2x2x2.
Tabel 3.2. Rancangan Penelitian
STAD (A1) Jigsaw (A2)
Aktifitas Tinggi
(B1)
Kreatifitas Tinggi (C1) A1B1C1 A2B1C1
Kreatifitas Rendah (C2) A1B1C2 A2B1C2
lxxviii
Aktifitas Rendah
(B2)
Kreatifitas Tinggi (C1) A1B2C1 A2B2C1
Kreatifitas Rendah (C2) A1B2C1 A2B2C2
Keterangan :
A = Model Pembelajaran
A.1 = Pembelajaran Model STAD
A.2 = Pembelajaran Model Jigsaw
B = Aktivitas Belajar
B.1 = Aktivitas Belajar Tinggi
B.2 = Aktivitas Belajar Rendah
C = Kreatifitas
C.1 = Kreatifitas Tinggi
C.2 = Kreatifitas Rendah
2. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran.
1). Definisi operasional
Model Pembelajaran adalah suatu strategi yang digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2). Skala pengukuran : Nominal dengan dua kategori yaitu :
a). Pembelajaran model STAD (Student Team Achievemen Divisions).
b). Pembelajaran model Jigsaw.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian adalah prestasi belajar Fisika.
lxxix
1). Definisi operasional
Prestasi belajar fisika adalah tingkat penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran fisika. Domain kognitif adalah domain belajar yang dapat dilihat
melalui kemampuan intelektual dan memiliki karakteristik seperti
memahami informasi, mengorganisasi jawaban dan mengevaluasi
informasi serta tindakan.
2). Skala pengukuran : interval
3). Indikator : Nilai tes prestasi pada pokok Suhu dan Kalor
3. Variabel Moderator / Atribut.
Variabel moderator dalam penelitian ini adalah Aktivitas Belajar siswa dan
kreatifitas siswa. Aktivitas belajar siswa adalah suatu kegiatan fisik dan
mental yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama, penciptaan kerja dan
proses berpikir yang terjadi secara simultan dalam kegiatan belajar mengajar
dan Kreatifitas adalah bentuk aktivitas imajiatif yang mampu menghasilkan
sesuatu bersifat orisinil, murni, asli dan bermakna.
Skala pengukuran : Interval yang dipandang nominal dengan 2 kategori yaitu
: 1) Aktivitas belajar dan kreatifitas kategori tinggi; 2) Aktivitas belajar dan
kreatifitas kategori rendah.
Indikator :
1. Aktivitas belajar dan kreatifitas kategori tinggi jika > mean + ½ standar deviasi.
2. Aktivitas belajar dan kreatifitas kategori rendah jika < mean – ½ standar
deviasi.
D. Populasi dan Sampel
lxxx
1. Populasi
Dalam penelitian ini, populasi yang dipakai adalah seluruh siswa kelas X
SMA Negeri 1 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2008/2009 sebanyak 192 orang siswa.
2. Sampel
Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil dari seluruh populasi yang
diteliti sebanyak 192 orang siswa yang terdiri dari 96 orang siswa kelompok
pembelajaran kooperatif model STAD dan 96 orang siswa untuk kelompok
pembelajaran kooperatif model Jigsaw.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel merupakan cara untuk memperoleh sampel
sehingga diperoleh sampel yang dapat berfungsi menggambarkan keadaan populasi
yang sebenarnya (Suharsimi Arikunto, 1997: 32). Dalam penelitian ini mengambil
teknik sampel Cluster Random Sampling, yaitu sampel yang diambil berdasarkan
kelompok. Sampel yang dipilih bukan sekelompok individu-individu yang berdiri
senidiri-sendiri melainkan individu-individu yang bersama-sama berada dalam satu
tempat dengan mempunyai persamaan ciri yang ada hubungannya dengan variabel
penelitian.
Populasi yang diambil yakni seluruh siswa kelas X sebanyak 192 orang siswa
yang terdiri dari 6 kelas. Dengan teknik cluster random sampling diambil 4 kelas
sebagai sampel penelitian yang kemudian membagi 2 kelas eksperimen model
pembelajaran kooperatif STAD dan 2 kelas eksperimen yang lain dengan model
lxxxi
pembelajaran kooperatif Jigsaw. Kemudian dua kelas eksperimen dilakukan uji
keseimbangan. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan keseimbangan
kemampuan masing-masing kelompok.
E. Metoda Pengumpulan Data
Agar diperoleh data penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan,
diperlukan instrumen yang dapat digunakan sebagai pengumpul data. Ada dua
metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Metode Tes
Tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes yang digunakan untuk
mengukur prestasi belajar setelah siswa mengikuti PBM (Achievement test). Bentuk
tes yang dilakukan berbentuk tes pilihan ganda yang memuat pertanyaan-pertanyaan
tentang materi pada materi pokok Suhu dan Kalor. Banyaknya butir soal tes uraian
yakni 30 item. Tes bentuk pilihan ganda ini menuntut kemampuan siswa secara
menyeluruh untuk mengingat dan mengenal kembali sehingga memacu daya
kreativitas yang tinggi dan mempunyai kelebihan cara pemeriksaannya yang lebih
obyektif.
2. Metoda Pengamatan
Metoda pengamatan disebut juga metoda observasi, merupakan metoda
pengumpulan data dengan cara mengamati, mencatat secara sistematis melalui
lembar pengamatan aktivitas belajar siswa selama proses kegiatan belajar mengajar
untuk pembelajaran kooperatif model STAD dan untuk pembelajaran kooperatif
lxxxii
model Jigsaw.
3. Metoda Angket
Metoda angket yang dimaksud dalam penelitian ini adalah angket yang
digunakan untuk mengukur tingkat kreatifitas siswa melalui lembar pertanyaan yang
harus diisi oleh siswa sebelum siswa mengikuti PBM.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi
dua yaitu :
1. Instrumen dalam pelaksanaan penelitian berupa Silabus 2004, Rencana
Pelaksanaan Pengajaran (RPP), lembar tes, lembar pengamatan dan lembar kerja
siswa (LKS).
2. Instrumen dalam pengambilan data yaitu pengamatan aktivitas siswa, angket
kreatifitas siswa dan tes prestasi belajar ranah kognitif.
Dalam penyusunan tes, sebelum tes dibuat terlebih dahulu dibuat kisi-kisi
sebagai rambu-rambu penjabaran konsep menjadi butir item. Tes yang telah disusun,
kemudian diujicobakan pada populasi yang tidak dijadikan sampel penelitian. Tujuan
uji coba adalah untuk melihat apakah instrumen yang telah disusun benar-benar valid
atau benar-benar reliabel atau tidak. Pelaksanaan uji coba dilaksanakan di SMA
Negeri 1 Banjarmasin, terhadap siswa yang mempunyai kemampuan seimbang
dengan kemampuan populasi yang dijadikan penelitian yaitu kelas X-1 dan X-2
Tahun Pelajaran 2008/2009.
lxxxiii
G. Uji Coba Instrumen
1. Uji Taraf Kesukaran
Tingkat kesukaran soal dapat ditunjukkan dengan indeks kesukaran, yaitu
bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal. Indeks kesukaran
adalah bilangan yang merupakan hasil perbandingan antara jawaban benar yang
diperoleh dengan jawaban benar yang seharusnya diperoleh dari suatu item soal.
Besarnya indeks kesukaran item soal berkisar antara 0,10 sampai dengan 1,00.
Indeks kesukaran dihitung dengan rumus sebagai berikut:
IK = maxNxS
B
Keterangan : IK = Indeks kesukaran soal
B = Jumlah siswa yang menjawab dengan benar
N = Kelompok siswa
Smax = Skor maksimal
Indeks kesukaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 3.3. Tabel indeks kesukaran
Nilai IK Keterangan
0,91 – 1,00
0,71 – 0,90
0,41 – 0,70
0,21 – 0,40
0,00 – 0,20
Mudah sekali
Mudah
Sedang
Sukar
Sukar sekali
( Masidjo, 1995 : 189-192)
Hasil uji taraf kesukaran soal instrumen tes prestasi belajar fisika terangkum
lxxxiv
dalam tabel 3.4.
Tabel 3.4 Rangkuman taraf kesukaran soal instrumen tes prestasi belajar
Jumlah soal
Taraf kesukaran soal
Sukar sekali Sukar sedang mudah Mudah
sekali
40 3 3 7 19 8
Berdasarkan data diatas, soal tes prestasi belajar fisika khususnya materi suhu
dan kalor semua soal digunakan dalam penelitian dengan rincian 3 soal sukar sekali,
3 soal sukar, 7 soal sedang, 19 soal mudah dan 8 soal mudah sekali. Hasil uji taraf
kesukaran ini lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 196.
2. Uji Taraf Pembeda
Daya beda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara
siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dan kemampuan rendah, yang besarnya
ditunjukkan dengan indeks diskriminasi. Indeks diskriminasi adalah angka yang
menunjukkan besarnya daya pembeda, besarnya antara 0,10 sampai 1,00. Seluruh
peserta tes bedanya menjadi dua kelompok, yaitu antara atas dan bawah. Siswa-siswa
yang tergolong kelompok atas adalah siswa-siswa yang memiliki skor tinggi,
sedangkan siswa-siswa yang tergolong kelompok bawah adalah siswa-siswa yang
memiliki skor rendah.
Untuk menentukan siswa-siswa yang tergolong kelompok atas (NKA) atau
kelompok bawah (NKB), diambil kira-kira 25 % atau 27 % dari jumlah siswa suatu
kelompok (apabila kelompok itu besar = N ≥ 100) atau 50 % (apabila kelompok kecil
lxxxv
= N < 100).
Rumus untuk menentukan indeks diskriminasi adalah :
ID = maxxSatauNKNK
KK
BA
BA
Keterangan :
ID = Indeks Diskriminasi
KA = Jumlah kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
KB = Jumlah kelompok bawah yang menjawab dengan benar
Smax = Skor maksimal
Klarifikasi daya pembeda soal adalah :
Tabel 3.5. Tabel nilai daya pembeda soal
Nilai D Keterangan
0,81- 1,00
0,60- 0,79
0,40- 0,59
0,20 – 0,39
Negatif – 0,19
Sangat Membedakan
Lebih Membedakan
Cukup Membedakan
Kurang Membedakan
Sangat Kurang Membedakan
(Marsidjo, 1995 : 196-201)
Hasil uji daya beda soal instrumen tes prestasi belajar fisika yang dilakukan
terangkum dalam tabel 3.6
Tabel 3.6 Rangkuman Hasil uji daya beda soal instrumen tes prestasi belajar fisika
Jumlah
soal
Daya pembeda soal
Sangat kurang
membedakan
Kurang
membedakan
Cukup
membedakan
Lebih
membedakan
Sangat
membed
akan
40 9 14 16 1 0
Berdasarkan data diatas, tes prestasi belajar fisika khususnya materi suhu dan
lxxxvi
kalor semua soal digunakan dalam penelitian dengan rincian 9 soal sangat kurang
membedakan, 14 soal kurang membedakan, 16 soal cukup membedakan, 1 soal lebih
membedakan dan 0 soal sangat membedakan. Hasil uji ini lebih rinci dapat dilihat
pada lampiran 13 halaman 196.
3. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurannya. Suatu instrumen
dikatakan memenuhi kriteria validitas atau mempunyai validitas yang tinggi apabila
instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur, yang
sesuai dengan tujuan dilakukannya pengukuran.
Validitas item soal dihitung engan menggunakan rumus korelasi product
moment dari karl Pearson. Rumusnya adalah:
r xy = 2222 )()(
)(yynxxn
yxxyn
Keterangan :
rxy = Korelasi product moment Pearson
n = Jumlah sampel
x = Nilai/skor tiap item soal
y = Nilai/skor total
xy = Jumlah (x) (y)
Angka hasil perhitungan rxy kemudian dibandingkan dengan korelasi product
moment pada tabel rxy dengan taraf signifikansi 5%
lxxxvii
Butir soal dinyatakan valid apabila rxy ≥ rtabel
Kriteria validitas rxy adalah :
Tabel 3.7. Interpretasi kriteria validitas
Nilai rxy Interpretasi
0,91-1,00
0,71-0,90
0,41-0,70
0,21-0,41
Negatif-0,20
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
( Masidjo, 1995: 242-246)
Hasil uji validitas instrumen tes prestasi belajar fisika yang dilakukan terangkum
dalam tabel 3.8
Tabel 3.8. Rangkuman hasil uji Validitas Instrumen tes prestasi belajar
Variabel Jumlah soal Kriteria Valid Tidak valid
Suhu dan kalor 40 30 10 Berdasarkan data hasil uji validitas instrumen tes prestasi fisika khususnya
materi suhu dan kalor semua soal digunakan dalam penelitian dengan rincian 30 soal
valid dan 10 soal tidak valid, soal – soal yang tidak valid ini hampir mendekati valid
sehingga soal boleh saja digunakan dengan mekanisme penyesuaian untuk
kepentingan penelitian.
4. Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan tingkat keajegan atau keandalan soal. Realibilitas
digunakan untuk mengetahui sejauh mana instrumen dapat memberikan hasil
pengukuran yang dapat dipercaya atau tetap. Taraf reliabilitas suatu tes dinyatakan
lxxxviii
dalam suatu koefisien yang disebut dengan koefisien reliabilitas. Untuk menguji
masing-masing item pada tes dalam penelitian ini digunakan rumus KR-20, yaitu:
rtt =
2
2
1 StpqSt
nn
st = 22 )(1 XXNn
r11 =
2
2
1)1( t
b
kk
Keterangan:
rtt = Koefisien reliabilitas
n = Jumlah item
st = Standar deviasi
p = Proporsi subjk yang menjawab benar
q = Proporsi subjek yang menjawab salah (q = p-1)
N = Jumlah siswa
X = skor
Hasil yang diperoleh dari perhitungan kemudian dibandingkan dengan
tabel r11. Instrumen dikatakan reliable apabila r11. Instrumen dikatakan
reliable apabila r11 ≥ rtabel.
Indeks korelasi yang merupakan interpretasi terhadap koefisien korelasi (nilai
r) dapat diklarifikasikan sebagai berikut:
lxxxix
Tabel 3.9. Interpretasi koefisien korelasi
Nilai r Interpretasi
0.91-1,00
0,71-0,90
0,41-0,70
0,21-0,40
Negatif-0,20
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah
(Masidjo, 1995 : 233)
H. Teknik Analisa Data
1. Uji Prasyarat
a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari
populasi yang ter
xci
Kelompok siswa dengan model pembelajaran STAD, kemampuan menggunakan alat
ukur listrik tinggi dan aktivitas belajar tinggi terhadap prestasi kognitif.
A1B1C1 : Kelompok siswa dengan model pembelajaran STAD, aktivitas belajar
tinggi dan kreativitas tinggi terhadap prestasi kognitif
A1B1C2 : Kelompok siswa dengan model pembelajaran STAD, aktivitas belajar
tinggi dan kreativitas rendah terhadap prestasi kognitif
A1B2C1: Kelompok siswa dengan model pembelajaran STAD, aktivitas belajar
rendah dan kreativitas tinggi terhadap prestasi kognitif .
A1B2C2: Kelompok siswa dengan model pembelajaran STAD, aktivitas belajar
rendah dan kreativitas rendah terhadap prestasi kognitif .
A2B1C1: Kelompok siswa dengan model pembelajaran Jigsaw, aktivitas belajar
rendah dan kreativitas rendah terhadap prestasi kognitif .
A2B1C2: Kelompok siswa dengan model pembelajaran Jigsaw, aktivitas belajar
tinggi dan kreativitas rendah terhadap prestasi kognitif .
A2B2C1: Kelompok siswa dengan model pembelajaran Jigsaw, aktivitas belajar
rendah dan kreativitas tinggi terhadap prestasi kognitif .
A2B2C2: Kelompok siswa dengan model pembelajaran Jigsaw, aktivitas belajar
rendah dan kreativitas rendah terhadap prestasi kognitif .
Uji terhadap hipotesis
8. H0 : TidakAda pengaruh penerapan pembelajaran model STAD dan Jigsaw
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor
H1: Ada pengaruh penerapan pembelajaran model STAD dan Jigsaw terhadap
prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
xcii
9. H0 : Tidak ada pengaruh aktifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika
pada materi suhu dan kalor.
H0 : Ada pengaruh aktifitas belajar siswa terhadap prestasi belajar fisika pada
materi suhu dan kalor
10. H0 : Tidak ada pengaruh kreatifitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada
materi suhu dan kalor.
H1 : Ada pengaruh kreatifitas siswa terhadap prestasi belajar fisika pada materi
suhu dan kalor.
11. Ho : Tidak ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas
belajar siswa.
H1 : Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan aktivitas
belajar siswa.
12. H0 : Tidak ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan
kreatifitas belajar siswa.
H1 : Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran dengan kreatifitas
belajar siswa.
13. H0 : Tidak ada interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa
terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
H1 : Ada interaksi antara aktifitas dengan kreatifitas belajar siswa terhadap
prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
14. H0 : Tidak ada interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktifitas belajar
dan kreatifitas belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan
kalor.
xciii
H1 : Ada interaksi antara penerapan model pembelajaran, aktifitas belajar dan
kreatifitas belajar terhadap prestasi belajar fisika pada materi suhu dan kalor.
b. Uji Lanjut Anava
Jika dalam pengujian hipotesis, hipotesis nol (H0) ditolak yang bararti
hipotesis alternatif (H1) diterima, maka perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui
tingkat pengaruh variabel bebas terahadap variabel terikat yang diteliti. Uji lanjut
dilakukan dengan Analysis of Mean (ANOM) pada minitab 15.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini terdiri dari Aktivitas belajar siswa,
Kreativitas, dan nilai prestasi belajar Fisika pada materi pokok Suhu dan kalor. Data
diperoleh dari kelas X-3 dan X-4 sebagai kelas experimen yang menggunakan model
STAD, serta X-5 dan X-6 sebagai kelas experimen yang menggunakan model
Jigsaw.
1. Data Prestasi Belajar Fisika
Prestasi merupakan penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau
angka nilai yang diberikan oleh guru. Sedangkan seseorang dikatakan belajar jika
menunjukkan terjadinya perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Perubahan tingkah
xciv
laku tersebut menyangkut perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan
keterampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut sikap (afektif). Dalam
penelitian ini prestasi belajar Fisika dibatasi pada aspek kognitif saja. Adapun soal
tes prestasi dan hasil belajar Fisika siswa secara lengkap tersaji pada lampiran 9 dan
11.Untuk memudahkan dalam pembacaan data hasil belajar Fisika, ringkasan dari
lampiran tersebut disajikan pada tabel 4.1 berikut,
Tabel 4.1 Deskripsi Data Nilai Prestasi Belajar Fisika
Total MODEL Count Mean StDev Minimum Median Maximum JIGSAW 61 52,52 10,79 27,00 53,00 77,00 STAD 64 56,859 7,588 37,000 57,000 73,000
Sedangkan distribusi frekuensi nilai prestasi belajar Fisika siswa pada kelas
yang menggunakan model pembelajaran STAD dan Jigsaw disajikan pada tabel 4.2
dan 4.3 berikut,
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Prestasi belajar Fisika Pada Kelas yang menggunakan Model STAD
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 35 - 40 1 37,5 1 1,56% 41 - 46 4 43,5 5 6,25% 47 - 52 10 49,5 15 15,63% 53 - 58 22 55,5 37 34,38% 59 - 64 18 61,5 55 28,13% 65 - 70 8 67,5 63 12,50% 71 - 76 1 73,5 64 1,56%
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Nilai Prestasi belajar Fisika Pada Kelas yang menggunakan Model JIGSAW
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 25 - 32 2 28,5 2 3,28% 33 - 40 7 36,5 9 11,48% 41 - 48 12 44,5 21 19,67% 49 - 56 20 52,5 41 32,79% 57 - 64 13 60,5 54 21,31% 65 - 72 6 68,5 60 9,84%
xcv
73 - 80 1 76,5 61 1,64%
Gambar 4.1 Histogram Prestasi Belajar Fisika pada kelas yang menggunakan Model STAD
Gambar 4.2 Histogram Prestasi Belajar Fisika pada kelas yang menggunakan Model JIGSAW
2. Data Aktivitas belajar Siswa
Dalam penelitian ini, data Aktivitas belajar siswa diperoleh dari skor
observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Aktivitas belajar siswa
dikategorikan menjadi dua, yaitu Aktivitas belajar tinggi dan Aktivitas belajar
rendah. Siswa dikatakan memiliki Aktivitas belajar tinggi jika skor aktivitas
belajarnya lebih besar atau sama dengan rerata dan dikatakan rendah jika skor
xcvi
Aktivitas belajar lebih rendah dari rerata. Deskripsi data Aktivitas belajar dapat
dilihat pada tabel 4.4 berikut,
Tabel 4.4 Deskripsi Data Aktivitas belajar Siswa
Model = Jigsaw Total K-AKTIV Count Mean StDev Minimum Median Maximum Rendah 30 78,70 6,58 61,00 80,50 85,00 Tinggi 31 93,06 5,73 86,00 92,00 109,00
Model = STAD Total K-AKTIV Count Mean StDev Minimum Median Maximum Rendah 41 78,63 7,01 58,00 82,00 85,00 Tinggi 23 95,83 5,52 87,00 94,00 107,00
Sedangkan distribusi frekuensi skor aktivitas belajar siswa pada kelas yang
menggunakan model pembelajaran STAD dan Jigsaw disajikan pada tabel 4.5 dan
4.6 berikut,
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Aktivitas pada Kelas yang menggunakan Model STAD
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 55 - 62 2 58,5 2 3,13% 63 - 70 5 66,5 7 7,81% 71 - 78 11 74,5 18 17,19% 79 - 86 23 82,5 41 35,94% 87 - 94 14 90,5 55 21,88%
95 - 102 7 98,5 62 10,94% 103 - 110 2 106,5 64 3,13%
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Aktivitas pada Kelas yang menggunakan Model JIGSAW
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 55 - 62 1 58,5 1 1,64% 63 - 70 2 66,5 3 3,28% 71 - 78 8 74,5 11 13,11% 79 - 86 22 82,5 33 36,07% 87 - 94 17 90,5 50 27,87%
95 - 102 10 98,5 60 16,39% 103 - 110 1 106,5 61 1,64%
xcvii
Untuk memperjelas distribusi skor di atas, berikut adalah histogram Aktivitas
yang disajikan pada gambar 4.3 dan 4.4,
Gambar 4.3 Histogram skor Aktivitas siswa pada kelas yang menggunakan Model STAD berdasarkan tabel 4.5
Gambar 4.4 Histogram skor Aktivitas siswa pada kelas yang menggunakan Model JIGSAW berdasarkan tabel 4.6
3. Data Kreativitas Siswa
Setiap peserta didik mempunyai level kreativitas yang berbeda. Kreatifitas
adalah bentuk aktivitas imajiatif yang mampu menghasilkan sesuatu bersifat orisinil,
murni, asli dan bermakna. Pikiran berdaya adalah titik utama kreatifitas, sedangkan
xcviii
Kreatifitas adalah suatu bentuk yang secara sekaligus mencakup multiple
intelliegence.
Tingkat Kreativitas diukur menggunakan perangkat berupa angket. Adapun
skor hasil angket tersebut dari masing-masing kelompok disajikan pada tabel 4.7
berikut,
Tabel 4.7 Deskripsi Data Kreativitas Siswa
Model = Jigsaw
Total K-KREATIV Count Mean StDev Minimum Median Maximum Rendah 32 83,63 9,71 61,00 84,00 100,00 Tinggi 29 88,62 8,62 73,00 87,00 109,00
Model = STAD Total K-KREATIV Count Mean StDev Minimum Median Maximum Rendah 30 85,40 10,80 61,00 85,00 106,00 Tinggi 34 84,29 10,42 58,00 84,50 107,00
Distribusi frekuensi skor hasil angket Kreativitas siswa pada kelas yang
menggunakan model pembelajaran STAD dan JIGSAW disajikan pada tabel 4.8 dan
4.9 di bawah.
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kreativitas pada Kelas yang menggunakan Model STAD
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 92 - 96 2 94 2 3,13%
97 - 101 7 99 9 10,94% 102 - 106 14 104 23 21,88% 107 - 111 20 109 43 31,25% 112 - 116 12 114 55 18,75% 117 - 121 6 119 61 9,38% 122 - 126 3 124 64 4,69%
xcix
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kreativitas pada Kelas yang menggunakan Model JIGSAW
Nilai Frek. Nilai Tengah Frek. Kum Frek.Persen 92 - 96 5 94 5 8,20%
97 - 101 8 99 13 13,11% 102 - 106 13 104 26 21,31% 107 - 111 16 109 42 26,23% 112 - 116 9 114 51 14,75% 117 - 121 7 119 58 11,48% 122 - 126 3 124 61 4,92%
Untuk memperjelas distribusi skor di atas, berikut adalah histogram
Kreativitas yang disajikan pada gambar 4.5 dan 4.6,
Gambar 4.5 Histogram skor Kreativitas siswa pada kelas yang menggunakan Model STAD berdasarkan tabel 4.8
c
Gambar 4.6 Histogram skor Kreativitas siswa pada kelas yang menggunakan Model JIGSAW berdasarkan tabel 4.9
B. Pengujian Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan salah satu uji statistik yang digunakan untuk
mengetahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas data dalam penelitian ini menggunakan perhitungan dengan bantuan
software Minitab 15 series. Komputasi selengkapnya terdapat pada lampiran12, dan
ringkasan hasilnya disajikan pada tabel 4.10 berikut,
Table 4.10 Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data Penelitian No. Data Model p-value Ryan-Joiner Distribusi Data 1 Prestasi >0,100 0,993 Normal 2 Prestasi STAD >0,100 0,995 Normal 3 Prestasi Jigsaw >0,100 0,995 Normal 4 Aktivitas >0,100 0,993 Normal 5 Aktivitas STAD >0,100 0,993 Normal 6 Aktivitas Jigsaw >0,100 0,989 Normal 7 Kreativitas >0,100 0,998 Normal 8 Kreativitas STAD >0,100 0,996 Normal 9 Kreativitas Jigsaw >0,100 0,996 Normal
ci
Dari hasil Uji Normalitas data prestasi, Aktivitas belajar, dan Kreativitas di
atas, yang diuji dengan kriteria Ryan-Joiner (RJ) didapatkan bahwa p-value > 0,05
untuk Uji Normalitas yang dilakukan. Berdasarkan hasil uji tersebut, maka dapat
diambil keputusan bahwa data Prestasi, Aktivitas belajar dan Kreativitas berdistribusi
normal. Kriteria uji normalitas adalah “tolak hipotesis null (data tidak menyalahi
kriteria berdistribusi normal) jika p-value < alpha 5%”.
2. Uji Homogenitas
Tujuan dari uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang berditribusi dari variansi homogen atau tidak. Uji homogenitas
yang peneliti gunakan adalah metode uji F. Adapun sebagai pendukung keputusan
dilakukan juga uji Levene. Variabel terikat untuk uji ini adalah prestasi belajar
Fisika, sedangkan sebagai faktornya adalah model pembelajar an (STAD dan
Jigsaw), Aktivitas belajar dan Kreativitas siswa. Hasil uji homogenitas disajikan
dalam tabel 4.11 dan hasil analisis selengkapnya disajikan pada lampiran hasil
analisa data.
Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Uji Homogenitas
D
ari
tab
el
4.11 di atas terlihat bahwa semua nilai sehingga semua Ho yang diajukan
(data prestasi tidak menyalahi kriteria homogenitas) tidak ditolak. Hal ini berarti
No. Respon Faktor p-value Keputusan F Test Levene’s Test 1 Prestasi Model 0,056 0,078 Homogen 2 Prestasi K-Aktiv 0,578 0,995 Homogen 3 Prestasi K-Kreativ 0,214 0,452 Homogen 4 Prestasi Model dan K-Aktiv 0,058 0,153 Homogen 5 Prestasi Model dan K-Kreativ 0,068 0,060 Homogen 6 Prestasi K-Aktiv dan K-Kreativ 0,337 0,560 Homogen
cii
bahwa homogenitas data prestasi berdasarakan faktor Model, kategori Aktivitas
belajar dan tingkat Kreativitas siswa terpenuhi, sehingga uji selanjutnya, yaitu uji
Anova dapat dilakukan.
C. Pengujian Hipotesis
Dalam berbagai kasus, diperlukan pengujian signifikansi perbedaan tidak
hanya antara dua mean sampling, tetapi juga antara tiga, empat atau lebih. Salah satu
alternatif pengujian yang disertakan Minitab 15 untuk kasus seperti yang
diperkirakan di atas adalah prosedur uji hipotesis Analysis of Variance, ANOVA.
1. Analisis Variansi
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan Anova tiga jalan sebab,
faktor yang terlibat dan bertindak sebagai variabel bebas sejumlah tiga faktor, yaitu
model pembelajaran, Aktivitas belajar dan Kreativitas siswa. Adapun rangkuman
hasil analisis variansi tiga jalan dengan frekuensi sel tidak sama dapat dicermati pada
tabel 4.12 sedangkan hasil lengkapnya tercantum pada lampiran hasil analisa data.
Tabel 4.12 Rangkuman ANAVA Tiga Jalan Prestasi Belajar Fisika
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P MODEL 1 586,86 486,19 486,19 5,85 0,017 K-AKTIV 1 154,11 165,55 165,55 1,99 0,161 K-KREATIV 1 41,94 27,48 27,48 0,33 0,566 MODEL*K-AKTIV 1 3,09 1,94 1,94 0,02 0,879 MODEL*K-KREATIV 1 79,38 81,58 81,58 0,98 0,324
ciii
K-AKTIV*K-KREATIV 1 180,24 183,02 183,02 2,20 0,141 MODEL*K-AKTIV*K-KREATIV 1 426,65 426,65 426,65 5,13 0,025 Error 117 9723,54 9723,54 83,11 Total 124 11195,81
S = 9,11631 R-Sq = 13,15% R-Sq(adj) = 7,95%
Hasil tersebut digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan penolakan Hipotesis
penelitian sebagai berikut:
a. H01: Tidak ada pengaruh penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi
belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, ditolak sebab p-value model = 0,017 <
0,050.
b. H02: Tidak ada pengaruh Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada
materi suhu dan kalor tidak ditolak sebab p-value aktivitas belajar siswa = 0,161
> 0,050.
c. H03: Tidak ada pengaruh Kreativitas siswa terhadap prestasi belajar Fisika pada
materi suhu dan kalor tidak ditolak sebab p-value Kreativitas siswa = 0,566 >
0,050.
d. H04: Tidak ada interaksi antara model pembelajar an dengan Aktivitas belajar
terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor tidak ditolak sebab p-
value interaksi model dan Aktivitas belajar = 0,879 > 0,050.
e. H05: Tidak ada interaksi antara model pembelajar an dengan Kreativitas terhadap
prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor tidak ditolak sebab p-value
interaksi model dan Kreativitas = 0,324 > 0,050.
f. H06: Tidak ada interaksi antara Aktivitas belajar dan Kreativitas terhadap prestasi
belajar Fisika pada materi suhu dan kalor tidak ditolak sebab p-value interaksi
antara Aktivitas belajar dan Kreativitas = 0,141 > 0,050.
civ
g. H07: Tidak ada interaksi antara model pembelajaran, aktivitas belajar dan
kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor ditolak
sebab p-value interaksi antara model, aktivitas belajar dan kreativitas = 0,025 >
0.050.
Dari beberapa hipotesis diatas ada hasil yang nilai probabilitasnya lebih kecil
daripada alpha (p-value < α), maka ada langkah statistik lebih lanjut untuk
mengetahui model Pembelajaran mana yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap prestasi belajar Fisika, dan bagaimana bentuk interaksi ketiga faktor
tersebut.
2. Uji Lanjut Analisis Variansi Tiga Jalan
Uji lanjut anava atau uji komparasi ganda diperlukan untuk mengetahui
karakteristik pada variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini uji
komparasi dilakukan pada hipotesis H01.
Hasil Anova yang perlu diuji lebih lanjut adalah hasil pada H11, yaitu: “ada
pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan
kalor”.
Adapun hasil uji lanjut untuk mengetahui model pembelajaran mana yang
memiliki pengaruh paling signifikan tersaji dalam tabel 4.13 tentang rangkuman
anova satu jalan berikut,
Tabel 4.13 Rangkuman Anova Satu Jalan Prestasi Belajar vs Model One-way ANOVA: PRESTASI versus MODEL
Source DF SS MS F P MODEL 1 586,9 586,9 6,80 0,010 Error 123 10608,9 86,3 Total 124 11195,8
cv
S = 9,287 R-Sq = 5,24% R-Sq(adj) = 4,47% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ---------+---------+---------+---------+ JIGSAW 61 52,525 10,787 (--------*---------) STAD 64 56,859 7,588 (--------*---------) ---------+---------+---------+---------+ 52,5 55,0 57,5 60,0 Pooled StDev = 9,287
Gambar 4.7 Grafik Uji ANOM Model Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar Fisika
Tingkat aktivitas belajar dan Kreativitas siswa tidak memberikan efek berbeda
terhadap pencapaian prestasi belajar Fisika, sedangkan model pembelajaran
memberikan pengaruh yang signifikan. Untuk mengetahui pola interaksi ketiga
faktor tersebut, perhatikan grafik pola interaksi berikut,
cvi
Gambar 4.8 Grafik interaksi faktor model, Aktivitas belajar dan kreativitas terhadap Prestasi Untuk lebih memahami detail pola interaksi, informasi hasil uji Anova satu
jalan tersaji pada tabel berikut,
Tabel 4.14 Rangkuman Probabilistik Interaksi Aktivitas Belajar Kreativitas Statistik STAD JIGSAW
Aktivitas Tinggi
Tinggi
N = 11 18
Mean = 59,273 p=0,012 49,94
Stdev = 6,650 10,14
p=0,512 p=0,027
Rendah
N = 12 13
Mean = 57,250 p=0,672 58,92
Stdev = 7,783 p=0,287 * p=0, 928**
p=0, 388* p=0,421 **
11,22
Aktivitas Rendah
Tinggi
N = 23 11
Mean = 55,826 p=0,442 53,64
Stdev = 8,288 6,14
p=0,805 p=0,349
Rendah
N = 18 19
Mean = 56,444 p=0,055 49,95
Stdev = 7,334 11,91 )* Aktivitas rendah vs tinggi )** Kreativitas rendah vs tinggi
D. Pembahasan Hasil Analisis Data
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh
penggunaan model pembelajaran STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar suhu
dan kalor, apakah ada pengaruh Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar suhu dan
kalor, apakah ada pengaruh Kreativitas terhadap prestasi belajar suhu dan kalor,
apakah ada interaksi antara model dan Aktivitas belajar siswa, apakah ada interaksi
antara model dan Kreativitas siswa, apakah ada interaksi antara Aktivitas belajar dan
Kreativitas siswa, dan apakah ada interaksi antara model pembelajar an, Aktivitas
belajar dan Kreativitas terhadap prestasi belajar suhu dan kalor.
cvii
Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
STAD dan Jigsaw. Pengukuran Aktivitas belajar siswa dilakukan saat pembelajaran
suhu dan kalor berlangsung melalui perangkat observasi, sedangkan untuk
mengetahui Kreativitas siswa dilakukan dengan tes/angket Kreativitas. Observasi
yang dilakukan selama proses pembelajaran dimaksudkan untuk mendapatkan
akativitas khususnya pada materi suhu dan kalor. Setelah pembelajaran selesai
dilakukan tes kemampuan kognitif untuk mengukur prestasi belajar suhu dan kalor
siswa.
1. Hipotesis Pertama
Dari hasil analisis data menggunakan anava tiga jalan dengan sel tak sama
diperoleh p-value model pembelajaran = 0,017 < 0,050 maka Ho (tidak ada
perbedaaan pengaruh penggunaan model pembelajaran terhadap prestasi belajar)
ditolak, ini berarti bahwa antara model STAD dan Jigsaw memiliki perbedaan
pengaruh terhadap prestasi belajar suhu dan kalor siswa. Meskipun demikian kedua
model pembelajaran ini sama kuat pengaruhnya terhadap prestasi belajar Fisika pada
materi suhu dan kalor. Hal ini dapat dilihat pada rata-rata nilai prestasi belajar Fisika
yang sama-sama menunjukkan belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM
: 65) yang dipatok, siswa yang dibelajar kan dengan model STAD dan Jigsaw
masing-masing reratanya 56,859 dan 52,525. Dengan demikian kedua model
pembelajaran ini sama-sama tidak tepat digunakan dalam pembelajaran Fisika
khususnya pada materi suhu dan kalor.
Tabel 4.15 Rangking Metode Pembelajaran Kooperatif.
cviii
Sumber: David W et.all. 2000. Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis
STAD dan Jigsaw yang merupakan model dari pembelajaran kooperatif yang
digunakan. Menurut Armstrong, Scott, Palmer dan Jesse (1998), yang meneliti
STAD pada tataran effect on student achievement and attitude, menemukan bahwa
hasil dari kedua kelompok terpisah yang sama-sama dibelajar kan dengan STAD
prestasinya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan menurut hasil
meta-analisis metode pembelajaran kooperatif yang dilakukan oleh David W dan
kawan-kawannya dalam penelitian Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis
menemukan bahwa STAD selalu lebih baik rangkingnya dari pada Jigsaw, baik
dalam hal rasio antara sifat kooperatif dengan kompetisi (STAD = 0,51; Jigsaw =
0,29) dan pada rasio antara sifat kooperatif dengan individu (STAD = 0,29; Jigsaw =
0,13). Untuk peringkat model kooperatif yang lain perhatikan tabel 4.15 di atas.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil pembelajaran dengan
model STAD akan lebih baik hasilnya daripada model Jigsaw. Jadi, berdasarkan
pada hasil kedua penelitian di atas, apa yang ditemukan pada penelitian ini tidak
bertentangan, yaitu: hasil kedua kelas yang dibelajarkan dengan model STAD dan
Jigsaw signifikan perbedaan rerata prestasinya dimana siswa yang dibelajarkan
dengan model STAD mendapatkan rerata prestasi yang relatif lebih bagus hasilnya.
Perhatikan kencerderungan arah pengaruh kedua model pada gambar 4.7 di atas.
cix
2. Hipotesis Kedua
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh Aktivitas belajar
terhadap prestasi belajar suhu dan kalor, p-value Aktivitas belajar siswa = 0,161 >
0,050. Uji lanjut menunjukkan bahwa Aktivitas belajar tidak memberikan pengaruh
signifikan terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, p-value
Aktivitas belajar siswa = 0,366 > 0,050.
Hasil tersebut menandakan tidak adanya pengaruh Aktivitas belajar terhadap
prestasi suhu dan kalor. Jika diperhatikan lagi pada hasil rerata kedua Aktivitas
belajar diperoleh informasi bahwa rerata siswa yang Aktivitas belajar tinggi dan
rendah masing-masing 55,630 dan 54,070. Hal itu berarti bahwa faktor Aktivitas
belajar siswa tidak menunjang keberhasilan proses pembelajaran, karena faktor
Aktivitas belajar ternyata dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap
prestasi belajar suhu dan kalor. Meski tidak memberikan efek signifikan, aktivitas
belajar siswa memberikan efek dengan arah berbeda terhadap pencapaian prestasi
belajar suhu dan kalor, dimana siswa yang memiliki tingkat Aktivitas belajar rendah
mendapatkan rerata prestasi yang relatif lebih rendah, sedangkan siswa yang
memiliki tingkat Aktivitas belajar tinggi mendapatkan prestasi yang relatif lebih
tinggi. Siswa dengan Aktivitas belajar tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik
dalam menyelesaikan masalah-masalah suhu dan kalor dibanding siswa yang
memiliki Aktivitas belajar rendah. untuk lebih jelasnya, perhatikanlah gambar hasil
uji lanjut mean berikut,
cx
Gambar 4.9 Grafik Uji ANOM Aktivitas belajar terhadap Prestasi Belajar suhu
dan kalor
3. Hipotesis Ketiga
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh Kreativitas
terhadap prestasi belajar Fisika (p-value Kreativitas siswa = 0,566 > 0,050) dalam
proses pembelajaran. Kreativitas siswa tidak memberikan pengaruh terhadap prestasi
belajar Fisika materi suhu dan kalor. Uji lanjut menunjukkan bahwa Kreativitas
siswa tidak memberikan perbedaan pengaruh yang signifikan terhadap prestasi
belajar Fisika pada materi suhu dan kalor (p-value Kreativitas siswa = 0,655 >
0,050). Hal ini terjadi karena kemampuan Kreativitas sifatnya personal sehingga
tidak bisa mengarah pada pola berinteraksi seperti yang diharapkan pada pendekatan
kooperatif, khususnya dalam pembelajaran Fisika materi suhu dan kalor.
Tingkat Kreativitas siswa dapat dikatakan tidak memberikan efek berbeda
terhadap pencapaian prestasi belajar Fisika, dimana siswa yang memiliki tingkat
Kreativitas tinggi dan rendah mendapatkan rerata prestasi yang hampir sama, yaitu
54,365 dan 55,129. Meskipun tingkat Kreativitas tidak memberikan pengaruh
cxi
signifikan terhadap prestasi, masih diperoleh informasi bahwa arah pengaruhnya
negatif untuk Kreativitas tinggi dan positif untuk Kreativitas rendah. hal ini
menandakan tidak sesuainya antara faktor kreativitas dengan suasana pembelajaran
di kelas.
Gambar 4.10 Grafik Uji ANOM Kategori Kreativitas terhadap Prestasi Belajar Fisika
4. Hipotesis Keempat
Hasil analisis data dari uji hipotesis sebelumnya menunjukkan bahwa ada
pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar suhu dan kalor, dan tidak
demikian dengan Aktivitas belajar sehingga hasil uji interaksi menunjukkan bahwa
tidak ada interaksi antara faktor model pembelajaran dan Aktivitas belajar terhadap
prestasi belajar suhu dan kalor (p-value interaksi model dan Aktivitas belajar =
0,879 > 0,050). Hasil uji lanjut semakin memperkuat keputusan tidak adanya
interaksi antara model pembelajaran dengan aktivitas belajar. Dimana, hasil uji
interaksi untuk model STAD diperoleh p-value sebesar 0,287 dan p-value untuk
model Jigsaw 0,388.
cxii
Hal ini terjadi karena penggunaan model STAD dan Jigsaw sebagai
perangsang untuk proses belajar model STAD telah diprediksikan oleh David W dan
kawan-kawannya bahwa hasil kelompok yang dibelajar kan dengan STAD akan
berbeda signifikan hasilnya dengan yang dibelajarkan menggunakan model Jigsaw.
Demikian juga dengan Aktivitas belajar siswa, yang menunjukkan arah tren
pengaruh yang positif, berdasarkan hasil uji pada hipotesis kedua ditemukan bahwa
cukup berpengaruh. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan model
pembelajaran Fisika selaras dengan Aktivitas belajar individu siswa. Untuk lebih
jelas lagi dalam memaknai keselarasan model pembelajaran dengan Aktivitas belajar
perhatikan gambar berikut ini,
Gambar 4.11 Grafik interaksi Model pembelajaran dan Aktivitas belajar terhadap
Prestasi Belajar suhu dan kalor
Dari gambar 4.12 diperoleh informasi bahwa arah pengaruh kedua faktor
selaras atau sejajar sehingga tidak memungkinkan terjadinya interaksi pengaruh.
Dengan jelas gambar memperlihatkan bahwa siswa yang dibelajarkan dengan model
STAD lebih baik hasilnya daripada Jigsaw dan siswa dengan Aktivitas belajar tinggi
cxiii
lebih baik hasilnya daripada yang rendah. Arah pengaruh kedua faktor tersebut sama-
sama linier terhadap prestasi. Artinya, semakin baik aktivitas belajarnya semakin
baik prestasi yang diperoleh demikian juga dengan model pembelajarannya.
5. Hipotesis Kelima
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa ada pengaruh penggunaan model
pembelajaran terhadap prestasi suhu dan kalor dan tidak ada pengaruh Kreativitas
terhadap prestasi belajar suhu dan kalor. Oleh karena hanya model yang
berpengaruh, hasil uji statistik memperlihatkan bahwa tidak terjadi interaksi
pengaruh antara faktor model pembelajaran dengan Kreativitas pada prestasi belajar
Fisika pada materi suhu dan kalor (p-value interaksi model dan Kreativitas = 0,324
> 0,050). Hal ini menandakan bahwa penggunaan model STAD dan Jigsaw sebagai
perangsang untuk proses belajar model STAD memenuhi tabel peringkat yang telah
diprediksikan oleh David W dan kawan-kawannya (tabel 4.16) bahwa hasil
kelompok yang dibelajarkan dengan STAD akan berbeda signifikan hasilnya dengan
yang dibelajarkan menggunakan model Jigsaw. Kenyataan tersebut mengindikasikan
bahwa penggunaan model pembelajaran memperlihatkan kecenderungan tidak
selaras dengan efek Kreativitas siswa namun belum mengindikasikan terjadinya
interaksi kedua faktor. Hasil uji lanjut semakin memperkuat keputusan tidak adanya
interaksi antara model pembelajaran dengan Kreativitas. Dimana, hasil uji interaksi
untuk Kreativitas dengan model STAD diperoleh p-value sebesar 0,928 dan p-value
untuk interaksi Kreativitas dengan model Jigsaw 0,421. Berdasarkan hasil tersebut
diperoleh informasi bahwa tidak terjadi interaksi pada model pembelajaran. Untuk
cxiv
lebih jelas lagi dalam memaknai interaksi model pembelajaran dengan Kreativitas
siswa perhatikan gambar berikut ini,
Gambar 4.12 Grafik interaksi Model pembelajaran dan Kreativitas
terhadap Prestasi Belajar suhu dan kalor 6. Hipotesis Keenam
Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antara Aktivitas belajar
dan Kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor (p-value
interaksi antara Aktivitas belajar dan Kreativitas = 0,141 > 0,050). Hasil ini
merupakan konsekuensi dari dua keputusan sebelumnya yaitu Aktivitas belajar tidak
berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar demikian juga Kreativitas yang
tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar suhu dan kalor. Secara parsial Aktivitas
belajar memberikan pengaruh yang memiliki tren positif terhadap pencapaian
prestasi namun kreativitas memiliki tren sebaliknya, sehingga logis apabila kedua
variabel ini menunjukkan tidak adanya interaksi terhadap prestasi belajar suhu dan
kalor. Hanya saja, dari hasil statistik tidak serta merta menunjukkan hal yang
demikian. Untuk itu perlu diteliti pada setiap sel interaksi keduanya, ternyata
cxv
berdasarkan pada tabel 4.15 yang merangkum hasil probabilistik interaksi, diketahui
bahwa Aktivitas belajar dan Kreativitas berinteraksi pada beberapa level. Interaksi
pengaruh hampir terjadi pada level Aktivitas belajar rendah dan kreativitas rendah
(p-value = 0,055) dimana siswa yang dibelajarkan dengan STAD memperoleh rerata
prestasi 56,444 dan siswa yang dibelajarkan dengan Jigsaw memperoleh rerata
49,95. Sedangkan pada level Aktivitas belajar tinggi dan kreativitas tinggi (p-value =
0,012) dimana siswa yang dibelajarkan dengan STAD memperoleh rerata prestasi
59,273 dan siswa yang dibelajarkan dengan Jigsaw memperoleh rerata 49,94. Untuk
mengetahui pola interaksi kedua faktor tersebut perhatikan tabel berikut,
Gambar 4.13 Grafik interaksi Aktivitas belajar dan Kreativitas
terhadap Prestasi Belajar Fisika
7. Hipotesis Ketujuh
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada interaksi antara model
pembelajaran, Aktivitas belajar, dan Kreativitas (p-value interaksi antara model,
cxvi
Aktivitas belajar dan Kreativitas = 0,025 < 0,050). Seperti yang telah dijabarkan di
atas, secara mandiri hanya faktor model berpengaruh signifikan terhadap perolehan
prestasi belajar Fisika siswa, ternyata mampu memberikan pengaruh signifikan
dalam hal interaksi dengan faktor lainnya, aktivitas belajar dan Kreativitas siswa.
Berdasarkan tabel 4.15 yang merangkum hasil probabilistik interaksi, diketahui
bahwa model, Aktivitas belajar dan Kreativitas berinteraksi pada satu level. Level
tersebut adalah Aktivitas belajar tinggi dan kreativitas (p-value = 0,027) pada siswa
yang dibelajarkan dengan Jigsaw, diperoleh rerata prestasi 58,92. Untuk mengetahui
pola interaksi sepenuhnya dari ketiga faktor tersebut perhatikan tabel berikut,
Gambar 4.14 Grafik interaksi faktor Model pembelajaran, Aktivitas belajar dan Kreativitas
terhadap Prestasi Belajar suhu dan kalor
cxvii
Gambar 4.15 Grafik efek mean faktor Model pembelajaran, Aktivitas belajar dan Kreativitas
terhadap Prestasi Belajar suhu dan kalor
Berdasarkan gambar 4.16 diperoleh informasi bahwa baik model
pembelajaran (STAD – Jigsaw) dan Aktivitas belajar (tinggi – rendah) sama-sama
memiliki tren positif sedangkan Kreativitas siswa (tinggi – rendah) sebaliknya.
Secara umum penelitian ini dapat mengambil dua hal penting sebagai berikut:
a). Penggunaan model pembelajar an STAD dan Aktivitas belajar tinggi berpengaruh
signifikan. Siswa dengan Aktivitas belajar tinggi akan memperlihatkan pemahaman
konsep suhu dan kalor dengan lebih cepat. b). Interaksi antara model pembelajaran
dengan Aktivitas belajar dan kreativitas memberikan sumbangan besar terhadap
pemahaman siswa akan konsep Fisika pada materi suhu dan kalor terutama pada
siswa yang memiliki Aktivitas belajar tinggi dan Kreativitas rendah yang
dibelajarkan dengan model Jigsaw. Hal ini disebabkan karena Jigsaw menarik dan
berkesan bagi siswa dengan Aktivitas belajar tinggi dan kreativitas rendah.
E. Keterbatasan Penelitian
cxviii
Penelitian ini, meskipun sudah direncanakan dan melalui proses evaluasi
sebelum dilaksanakan, tidak terlepas juga dari keterbatasannya. Adapun beberapa hal
yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini adalah 1) hanya mengukur dari
sebagian saja tidak secara keseluruhan; 2) Setelah akhir pembelajaran guru belum
memberikan penguatan konsep kepada siswa.
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Kedua model pembelajaran ini berpengaruh sama kuat terhadap prestasi belajar
Fisika pada materi suhu dan kalor, karena sama-sama menitik beratkan pada
kerjasama dengan tutor sebaya. Model STAD lebih cocok digunakan siswa untuk
meningkatkan prestasi belajarnya. Perbedaan model STAD dan Jigsaw pada
kedudukan siswa dalam kelompoknya, pada model STAD setiap siswa
cxix
membahas materi yang sama dalam kelompoknya, sedangkan model Jigsaw
masing-masing siswa membahas materi yang berbeda. Dari hasil analisis data
menggunakan anava tiga jalan dengan sel tak sama diperoleh p-value model
pembelajaran = 0,017 < 0,050. Dengan demikian ada perbedaan pengaruh
penggunaan model STAD dan Jigsaw terhadap prestasi belajar Fisika pada materi
suhu dan kalor
2. Sebagian besar siswa beraktivitas tinggi dan memiliki kreativitas tinggi baik pada
model pembelajaran STAD maupun Jigsaw. Dengan demikian faktor aktivitas
belajar siswa dan kreativitas tidak menunjang keberhasilan proses pembelajaran,
karena faktor tersebut dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap
prestasi belajar suhu dan kalor. Rerata prestasi belajar siswa baik yang Aktivitas
belajar tinggi dan rendah masing-masing 85,996 dan 78,659, maupun yang
berkreatiitas tinggi dan renda masing-masing memiliki perberbedaan yang tidak
signifikan. Prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor, baik p-value
Aktivitas belajar maupun kreativitas belajar siswa lebih besar dari ( >) 0,050.
Dengan demikian tidak ada perbedaan pengaruh Aktivitas belajar siswa dan
kreativitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor
3. Hasil uji interaksi menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara faktor model
pembelajaran dan Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar suhu dan kalor (p-
value interaksi model dan Aktivitas belajar = 0,879 > 0,050). Hasil uji lanjut
memperkuat keputusan tidak adanya interaksi. Dimana, hasil uji interaksi untuk
model STAD diperoleh p-value sebesar 0,287 dan p-value untuk model Jigsaw
0,388. Dengan denmikian tidak ada interaksi yang signifikan antara model
cxx
pembelajaran dengan Aktivitas belajar terhadap prestasi belajar Fisika pada
materi suhu dan kalor.
4. Untuk menumbukan dan memperkuat kompetensi siswa dalam pelaksanaan
model pembelajaran STAD maupun Jigsaw diperlukan siswa yang berkreativitas
tinggi. Kelompok kelas STAD dan Jigsaw keduanya memiliki tingkat kreativitas
yang hampir sama. Siswa yang memiliki aktivitas tinggi biasanya memiliki
kreativitas yang tinggi pula.Dan siswa yang memiliki aktivitas rendah biasanya
kreativitasnya rendah. Oleh karena itu prestasi belajar yang diperoleh siswa juga
hampir sama. Hasil uji makin memperkuat keputusan tidak adanya interaksi
antara model pembelajaran dengan Kreativitas. Dimana, hasil uji interaksi untuk
Kreativitas dengan model STAD diperoleh p-value sebesar 0,928 dan p-value
untuk interaksi Kreativitas dengan model Jigsaw 0,421. Dengan demikian tidak
ada interaksi antara model pembelajaran dengan Kreativitas dan aktivitas belajar
siswa terhadap prestasi belajar Fisika pada materi suhu dan kalor.
5. Walaupun aktivitas dan kreativitas belajar siswa tidak menunjukkan interaksi
namun hasil analisis menunjukkan ada interaksi pengaruh antara model
pembelajaran, Aktivitas belajar dan Kreativitas terhadap prestasi belajar Fisika
pada materi suhu dan kalor. Faktor model, Aktivitas belajar dan Kreativitas
berinteraksi pada satu level. Level tersebut adalah Aktivitas belajar tinggi dan
kreativitas (p-value = 0,027) pada siswa yang dibelajarkan dengan Jigsaw,
diperoleh rerata prestasi 58,92.
cxxi
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang jelas tentang model
STAD dan Jigsaw yang sesuai digunakan dalam pembelajaran Fisika pada
materi pokok suhu dan kalor. kedua model pembelajaran ini sama-sama
berperan untuk mempermudah siswa dalam memahami konsep pembelajaran
Fisika pada materi tersebut, model STAD meski belum maksimal nampak lebih
mampu merangsang siswa untuk mendapatkan prestasi lebih baik dari pada
model Jigsaw.
2. Implikasi Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini adalah siswa yang dibelajarkan
dengan model STAD dan Jigsaw ternyata mendapatkan prestasi belajar Fisika
yang belum memenuhi harapan. Model STAD menjadikan konsep yang
dibelajarkan menjadi lebih mudah diterima siswa namun belum mampu
mendongkrak semangat siswa untuk mendapatkan prestasi maksimal daripada
daripada model Jigsaw. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan prestasi belajar
Fisika khusus pada materi suhu dan kalor sebaiknya tidak diberikan melalui
model STAD dan Jigsaw.
C. Saran-Saran
cxxii
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Saran untuk Guru
Pembelajaran konsep-konsep Fisika diperlukan model dan media belajar yang
sesuai dengan karakter materi ajar dan karakater siswa sehingga model pembelajaran
membantu siswa pada kondisi senang, rileks dan mudah untuk menerima dan
memahami materi. Pembelajaran Suhu dan kalor menggunakan model STAD dan
Jigsaw perlu dilengkapi media pembelajaran seperti charta, gambar atau media
visual yang lain.
2. Saran untuk para peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian
sejenis. Perlu melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang model yang tepat
digunakan dalam proses pengajaran di kelas sesuai dengan karakter materi yang
dibelajarkan. Tidak semua siswa menerima dengan baik efek setiap model
pembelajaran karena setiap anak memiliki keunikan belajarnya sendiri. Penelitian
mengenai penerapan metode dan model lain yang dapat mempermudah siswa dalam
memecahkan permasalahan dalam belajar Fisika terutama yang berkaitan dengan
pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi belum banyak
digali.
cxxiii
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2002. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo
Arend, Richard 1.1997. Classroom Intruction and Management. Central
Connecticut State University : The McGraw-Hill Companies Inc.
Aminah Ayob, Ng Khar Thoe. 1998. Some Constructivists Approches Theory and
Practice. Malaysia : Ministry of Education and Culture, The Republik of
Indonesia in Coordination With SEMEO RECSAM
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Permendiknas RI Nomor 16 tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Jakarta : Badan Standar Nasional Pendidikan.
Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University
Press.
Brophy, J.E. 1997. Motivating Student to Learn. Toronto : McGrow Hill.
Depdikbud. 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP SMU Mata Pelajaran
Fisika. Jakarta : Depdikbud
Depdikbud. 1995. Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Kurikulum SMU. Jakarta :
Depdikbud.
Depdiknas. 2004. Model – model Pengajaran dalam pembelajaran sains.
Bandung : Dikmenum Pusat Pengembangan Penataran Guru IPA
Departemen Pendidikan Nasional 2003. Kurikulum 2004 SMA. Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Fisika. Jakarta :
Direktorat Pendidikan Menangah Umum, Ditjen, Dikdasmen, Depdiknas
cxxiv
Elliot, Stephen, N. etal.1999. Educational Psychology. Madison Brown &
Benchmark Publisher
Herminanto Sopyan. 2004. Pedoman Khusus Penelusuran Potensi Siswa. Jakarta.
Depdiknas Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Johnson & Johnson. 2000. Cooperative Learning and Culturally Plural Classroom.
www.clrc.com. (19 Agustus 2002)
Kusmoro. 2008. Pengaruh Model PAIKEM dengan Pendekatan
Konstruktivisme dan Kooperatif Learning dan Pembelajaran Sains
Ditinjau dari Lingkungan Belajar Siswa. Tesis. PPs UNS
Lundgren. Linda. 1994. Cooperative Learning in The Sciense Classroom. Glencoe :
McMillan / Mc Graw Hill
Margaret E. Bell Gredler. Terjemahan Munadir. 1994 Belajar dan
Membelajarkan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Marten Kanginan. 1996. Fisika SMU jilid 2A. Jakarta : Penerbit Erlangga
Masidjo, Ign. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah,
Yogyakarta, Kanisius
Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : Remaja
Rosada Karya.
Mohammad Nazir. 1988. Metoda Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Nur, Muhamad. 1996. Pola Pembelajaran dan Sosok Tenaga Kependidikan Yang
Sesuai Dengan Tantangan dan Tuntunan Kehidupan Tahun 2020.
Makalah yang disajikan pada Konvensi Pendidikan Indonesia III di Ujung
Pandang tanggal 4 s.d. 7 Maret 1996
cxxv
Ong Eng Tek. 1998. Structural Approach to Cooperative Learning. Malaysia :
Ministry of Education and Culture, The Republik of Indonesia in
Coordination With SEMEO RECSAM
Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam pendidikan. Jogyakarta :
Kanisius.
Paul Suparno. 2001. Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan
Menyenangkan. Jogyakarta : Universitas Sanata Darma.
Paul A. Tipler. 1998. Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta : Erlangga
Ratna Wilis Dahar, 1986. Pengelolaan Pengajaran kimia. Jakarta : Karunia
Jakarta UT.
Ratna Wilis Dahar, 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Penerbit Erlangga
Safari. 2003. Evaluasi pembelajaran. Jakarta. Dirjen Dikdasmen Direktorat Tenaga
Kependidikan.
Seran Daton Gregorius. 2009. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
dan Jigsaw II Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari Motivasi
Berprestasi dan Sikap Sosial. Tesis.
Suharno. 2009. Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw dan TGT Ditinjau dari
Orientasi Kepribadian Kooperatif. Tesis.
Sumarsosno. 2005. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan
model Jigsaw Terhadap Prestasi Belajar Fisika pada Pokok Bahasan
Tegangan dan Arus Bolak-balik Ditinjau Dari Aktivitas Belajar Siswa.
Tesis.
cxxvi
Suryati. 1998. Penerapan pembelajaran kooperatif dalam rangka meningkatkan
hasil belajar. Makalah
Slavin, Robert E. 1994. Education Psycology : Theory and Practse Fourth Edition.
Massachusets : allyn and Bacon Publishers
Srini M. Iskandar , PhD. 2001. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung :
CV. Maulana
Singgih Gunarso, 1981. Psikologi Remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
Suharsini Arikunto, 1997. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi
Aksara
Suharsisi Arikunto, 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Sumadi Suryabrata 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Raja Grafindo
Perkasa
Sudjana, 1996, Metoda penelitian Statistika. Bandung : Tarsito
Sardiman A.M. 1994, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja
Grafindo
Sutriyono, 1998. Konstruktivisme Dalam Pengajaran Sains dan Matematika.
Makalah yang disajikan dalam Seminar Regional Centre for Edication in
Science and Mathematics (RECSAM) ASEAN-IKIP Semarang Tanggal 4-6
Mei 1998
Von Glaserfeld, E. 1987. Learning as Constructive Activity, Dalam C. Janvier (ed).
Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics.
Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum
cxxvii
Yohanes, Surya. 1996. Olimpiade Fisika. Jakarta. PT. Primatika Cipta Ilmu
Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jogyakarta : Penerbit
Publishing