PEMBATASAN ATAS KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF...

38
LAPORAN PENELITIAN PEMBATASAN ATAS KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAM PENELITI : I DEWA AYU DWI MAYASARI MAHASISWA : 1. Desak Putri Tri Rahayu ( 1403005164 ) 2. Ni Putu Intan Purnami ( 1403005140 ) FAKULTAS HUKUM UNUVERSITAS UDAYANA BULAN FEBRUARI 2017

Transcript of PEMBATASAN ATAS KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF...

  • LAPORAN PENELITIAN

    PEMBATASAN ATAS KEBEBASAN PERS DALAM

    PERSPEKTIF PENEGAKAN HAM

    PENELITI :

    I DEWA AYU DWI MAYASARI

    MAHASISWA :

    1. Desak Putri Tri Rahayu ( 1403005164 )

    2. Ni Putu Intan Purnami ( 1403005140 )

    FAKULTAS HUKUM

    UNUVERSITAS UDAYANA

    BULAN FEBRUARI 2017

  • HALAMAN PENGESAHAN

    PENELITIAN MANDIDI

    1. Judul : Pembatasan Atas Kebebasan Pers Dalam Perspektif Penegakan HAM

    2. Bidang Unggul : Ilmu Hukum 3. Ketua Peneliti

    a. Nama lengkap : I Dewa Ayu Dwi Mayasari, S.H.,M.H b. NIP/NIDN : - c. Jabatan structural : - d. Jabatan Fungsional : - e. Fakultas/Jurusan PS : Hukum/Ilmu Hukum f. Alamat Rumah : Jl. Tukad Jinah Perum Puri Waturenggong Blok

    E/10 Panjer Dps

    g. Telepon : 081558228767 h. Email : [email protected]

    4. Jumlah Peneliti : 3 orang 5. Lokasi Penelitian : Denpasar, Bali 6. Jangka Waktu Penelitian : 6 Bulan 7. Biaya Penelitian : Rp. 5.000.000,00

    Denpasar, 31 Juli 2017

    mailto:[email protected]

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

    rahmat-Nyalah penelitian yang berjudul “Pembatasan Atas Kebebasan Pers

    Dalam Perspektif Penegakan HAM” dapat kami selesaikan. Dalam

    penyusunan penelitian ini, peneliti banyak menemui berbagai hambatan, namun

    berkat bimbingan dan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya

    penelitian ini dapat terselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini kami

    menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

    1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan,

    beserta staff di lingkungan Fakultas Hukum Unud.

    2. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas

    Udayana

    3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

    4. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian

    penelitian ini.

    Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan.

    Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami

    harapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil

    penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi

    perkembangan ilmu hukum.

    Denpasar, 20 Februari 2017

    Peneliti,

  • DAFTAR ISI

    COVER ............................................................................................................ i

    HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

    DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

    BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 4

    1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 4

    a. Tujuan Umum ............................................................................ 4

    b. Tujuan Khusus........................................................................... 5

    1.4 Manfaat.......................................................................................... 5

    BAB II TINJAUAN UMUM .......................................................................... 6

    BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 19

    BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 23

    4.1. Kebebasan Pers Sebagai Bentuk Penyimpangan Pers .................. 23

    4.2. Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers Sebagai

    Bentuk Penegakan HAM ............................................................... 26

    BAB V PENUTUP .......................................................................................... 31

    5.1 Kesimpulan.................................................................................... 31

    5.2. Saran-Saran ................................................................................... 32

    DAFTAR PUSTAKA

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Untuk suksesnya pembangunan dan tercapainya masyarakat yang adil

    dan makmur berlandaskan Pancasila diperlukan adanya sarana-sarana yang

    mendukung pelaksanaan pembangunan. Salah satu sarana tersebut adalah

    pers dan mass media. Pers dan mass media merupakan sarana ampuh dalam

    bidang publikasi, baik untuk menyebar luasan pemberitaan, penyebar luasan

    ilmu pengetahuan, sosial politik, ekonomi dan teknologi, maupun sebagai alat

    penggerak serta menggairahkan partisipasi masyarakat untuk ikut

    melaksanakan pembangunan.1

    Selama masa orde baru, sistem pers Indonesia memposisikan diri

    sebagai pers yang berhadapan dengan tiga kepentingan sekaligus, negara,

    pemodal dan masyarakat. Negara menuntut pers menjadi agen pembangunan

    yang ikut serta mengondusifkan stabilitas politik guna menyokong

    pertumbuhan ekonomi. Pemodal memaksa pers menjadi sebuah industri

    dengan logika peniagaan dan keuntungan. Pers dituntut untuk menggali dan

    mendayagunakan kemampuan-kemampuan kompetitifnya sehingga bisa

    mengeruk khalayak konsumen yang luas, meraup pengiklan dalam jumlah

    besar dan mengakumulasikan keuntungan atau kapital. Di sisi lain, pers

    diminta oleh masyarakat untuk menjadi penyedia informasi yang aktual dan

    1 Hamzah A., Wayan Suandra, Manalu, B.A., 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Media

    Sarana Press, Jakarta, h.1

  • faktual, serta menjalankan fungsi pemberdayaan dan kontrol sosial. 2 Perjalan

    kehidupan pers selama dua setengah dasawarsa pertama orde baru, dalam

    pandangan para pengamat politik di Indonesia, memperlihatkan bahwa

    negara dan pemodal lebih banyak menyita energi tanggung jawab pers

    daripada masyarakat. Ini adalah kenyataan yang menjebak pers untuk

    menomor satukan tanggung jawab dan sedikit banyak menggadaikan

    kebebasan.3

    Adapun era reformasi membawa berkah positif bagi insan pers,

    dimana kinerja mengalami perubahan yang sangat signifikan atau dengan

    kata lain pers mulai bebas menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga

    (watchdog) dan juga menjadi forum dialog dalam pertukaran ide. Dengan

    kata lain, inilah yang kita sebut sebagai era kebebasan pers. Dengan

    dilindungi oleh Undang-undang 40 Tahun 1999 tentang Pers, insan pers

    memiliki hak untuk menjalankan fungsinya dalam menyampaikan informasi,

    memberi pencerdasan, memberikan hiburan yang bermakna, dan melakukan

    kontrol sosial dalam bentuk pengawasan, kritik, dan saran untuk kepentingan

    umum.4 Namun demikian, karena pers di dalam penyelenggaraannya

    dilaksanakan oleh manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, maka kadang-

    kadang di dalam pemberitaan terjadi pula hal-hal yang menimbulkan dampak

    2 Sobur Alex, 2001, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, Utama Press, Bandung, h.

    267.

    3 Ibid, h.268.

    4 Anggara, Hak Jawab + Hak Tolak + Hak Koreksi + Kewajiban Koreksi – Kriminalisasi =

    Kemerdekaan Pers, data diakses 5 Mei 2013, available from : URL : http://anggara.org/.

  • negatif seperti pemberitaan tentang kejahatan yang terlalu berlebih-lebihan,

    pemberitaan yang bersifat sensasional, pornografi dan lainnya sehingga

    menimbulkan keresahan di masyarakat.

    Sebagai contoh, tentu kita masih mengingat pemberitaan oleh media

    Bali Post yang berjudul “ Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman”.

    Pemberitaan ini dimulai sejak tanggal 19 September 2011 hingga 24

    September 2001. Media anggota Kelompok Media Bali Post yakni Bali TV

    juga turut serta melakukan hal serupa, menyiarkan dialog interaktif dengan

    topik Bubarkan Desa Pakraman pada hari Senin, 19 September 2011.

    Presenter dialog dengan sangat jelas dan tanpa ragu menyebutkan bahwa

    Gubernur Bali meminta maaf atas pernyataan yang sebelumnya dimuat Bali

    Post.5 Pemberitaan ini kemudian berkembang menjadi sebuah polemik di

    tengah masyarakat, bahkan berakhir dengan sengketa yang melibatkan pihak

    Bali Post yang berhadapan dengan Gubernur Bali hingga ke Pengadilan. Pada

    akhirnya, baik Dewan Pers melalui Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi

    (PPR) Dewan Pers Nomor 09/PPR-DP/XI/2011 Tentang Pengaduan

    Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Terhadap Harian Bali Post maupun

    Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 162/Pdt/2012/PT.Dps secara

    garis besar menyatakan bahwa pihak Bali Post yang bersalah dalam

    pemberitaan yang dimaksud.

    5 Gandita Rai Anom, Gagalnya Pembunuhan Karakter Melalui Bali Post, data diakses 3 juni

    2013, available from : URL : http:// www.balebengong.net.

  • Bertolak dari fakta hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka

    mendorong ketertarikan penulis untuk mengangkat topik mengenai upaya

    pengendalian terhadap pers terkait hak kebebasan berpendapat. Oleh sebab

    itu, penulisan penelitian ini diberi judul ; “Pembatasan Atas Kebebasan

    Pers Dalam Perspektif Penegakan HAM.”

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian yang terdapat pada sub sebelumnya

    (pendahuluan), maka ada beberapa poin pertanyaan yang akan disampaikan,

    yakni :

    1. Apakah kebebasan pers yang merupakan perwujudan dari hak kebebasan

    berpendapat dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyimpangan Pers?

    2. Bagaimanakah upaya dari pemerintah dalam mengendalikan kebebasan

    pers sebagai bentuk penegakan HAM?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami dan

    menganalisis lebih jauh mengenai Pembatasan Atas Kebebasan Pers

    Dalam Perspektif Penegakan HAM.

  • 1.3.2. Tujuan Khusus

    Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang ragam bentuk

    kebebasan pers yang dapat dikualifikasi sebagai bentuk

    penyimpangan Pers.

    2. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang upaya dari pemerintah

    dalam mengendalikan kebebasan pers sebagai bentuk penegakan

    HAM

    1.4. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan keilmuan

    hukum dalam bidang hukum pers, khususnya tentang konsep kebebasan pers

    kepada mahasiswa dan praktisi hukum. Pada penelitian ini secara eksplisit

    berupaya untuk memberikan gambaran yang tegas tentang konsep kebebasan

    pers dan sejauh mana batas dari kebebasan pers itu sendiri. Apabila konsep

    kebebasan pers itu jelas, maka beragam bentuk pelanggaran HAM oleh insan

    pers dapat diantisipasi. Adapun bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan

    bermafaat untuk memberikan wawasan tambahan tentang hukum pers, salah

    satunya memberikan inormasi mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh

    jika nantinya berkedudukn sebagai pihak yang dirugikan akibat pemberitaan

    oleh pers. Dengan demikian, masyarakat (baik dalam arti kelompok maupun

    individu) dapat terhindar dari tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan

    oleh insan pers.

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM

    2.1. Tinjauan Pustaka

    a. Pers dan Junalistik

    Secara etimologis, kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau

    presse (Prancis), berasal dari bahasa latin, pressare dari kata premere,

    yang berarti “tekan” atau “cetak”. Difinisi terminologisnya ialah “media

    massa cetak”, disingkat “media cetak”. Bahasa Belandanya , gedrukten,

    atau drukpers, atau pers. Bahasa Inggrisnya printed media atau printing

    press.6 Media massa, menurut Gamble & Gamble, adalah bagian

    komunikasi antar manusia (human communication), dalam arti, media

    merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh

    jangkauan pross penyampaian-penyampaian pesan antar manusia.7

    Karena sifatnya yang masal yang digunakan untuk menyampaikan

    berbagai informasi kepada masyarakat, maka pers sebagaimana media

    massa lain, mempunyai sifat_sifat sebagai berikut :

    1. Umum, yaitu terbuka bagi semua orang, tidak hanya antara orang tertentu seperti halnya surat menyurat antar dua orang

    sahabat;

    2. Heterogen, yaitu komunikasi terdiri dari bermacam-macam manusia, tidak terbatas pada kelompok atau golongan

    tertentu;

    6 Muis, A, 1996, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers , Mario grafika, Jakarta, h. 11

    7 Ibid, h. 12

  • 3. Simultan, yaitu kontak yang dilakukan dengan sejumlah besar rang dalam jarak dan waktu yang sama atau hampir

    sama;

    4. Non pribadi, yaitu hubungan antara komunikator dengan komunikan tidak mesti saling mengenai.

    8

    Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan awam,

    jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.

    Sesungguhnya tidak. Jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan,

    sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian,

    jurnalistik pers berarti proses kegiatan mencari, menggali,

    mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan berita melalui

    media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah dengan

    secepat-cepatnya.9 Tetapi sekarang, kata pers atau press ini digunakan

    untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang

    berhubungan dengan menghimpun berita , baik oleh wartwan media

    cetak maupun wartawan media elektronik. Dalam bukunya, Mass Media

    dan Hukum, Oemar Seno Adji membagi pengertian pers dalam arti

    sempit dan luas. Dikatakannya,

    “pers dalam arti sempit, seperti diketahui , mengandung penyiaran-

    penyiaran pikiran, gagasan, ataupun berita-berita dengan jalan kata

    tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas memasukan di dalamnya

    semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan

    perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata-kata

    lisan”.10

    8 Idris Shaffat, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka,

    Jakarta, h. 2

    9 Haris Sumadiria, 2008, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, h. 1

    10

    Seno Oemar, 1977, Pers dan Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, h. 13

  • Berdasarkan uraian tersebut, ada dua pengertian mengenai pers,

    yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. pers dalam arti kata

    sempit yaitu menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan

    dengan perantara barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas

    ialah meyangkut kegiatan komunikas, baik yang dilakukan dengan

    media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi

    maupun internet.11

    Definisi yuridis formal dari pers, berdasarkan Pasal 1 butir 1 UU

    No. 14 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu :

    “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang

    melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,

    memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik

    dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan

    grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media

    cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers diartikan : (1) usaha

    percetakan dan penerbitan; (2) usaha pengumpulan dan penyiaran berita;

    (3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio; (4) orang

    yang bergerak dalam penyiaran berita: (5) medium penyiaran berita

    seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film.

    11 Susanto Edy, Taufik Makarao dan Syamsudin Hamid, Op.cit, h. 20

  • b. Profesi Kewartawanan

    Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 4 UU tentang Pers,

    “wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan

    kegiatan jurnalistik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ,

    wartawan, diartikan orang yang pekerjaannya mencari dan

    menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan

    televisi.”

    Adapun menurut Adinegoro, mengeukakan bahwa yang

    dimaksud dengan wartawan ialah:

    “orang yang hidupnya bekerja sebagai anggota redaksi surat

    kabar, baik yang duduk dalam redaksi dengan bertanggung jawab

    terhadap isi surat kabar maupun di luar kantor redaksi sebagai

    koresponden, yang tugasnya mencari berita, menyusunnya,

    kemudian mengirimkannya kepada surat kabar yang dibantunya;

    baik berhubungan tetap maupun tidak tetap dengan surat kabar

    yang memberi nafkahnya.” 12

    Singkatnya ada dua jenis wartawan berdasarkan tugas yang

    dikerjakan, yaitu reporter dan editor. Istilah reporter berasal dari kata

    report yang berarti “laporan,” dan orangnya disebut pelapor, jurnalis,

    wartawan, atau reporter. Jadi, seperti yang dikatakan Roshin Anwar,

    “reporter adalah orang yang mencari, menghimpun dan menulis berita;

    sedangkan editor adalah orang yang menilai, menyunting berita dan

    menempatkannya dalam koran.13

    Apakah kewartawanan itu profesi atau bukan? Pada UU tentang

    Pers terdahulu maupun dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik

    12

    Alex Sobur, Op.cit, h. 101

    13

    Anwar, H. Rosihan, 1996, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, PT. Jurnalindo Aksara

    Pustaka dan Gatra, Jakarta, h. 1

  • Indonesia tentang Surat Izin Penerbitan Pers terdahulu, tidak ada satu

    pun istilah profesi di dalamnya, apalagi pengertiaannya. Di dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi berarti bidang pekerjaan yang

    dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Profesi diartikan jabatan atau

    kedudukan yang mensyaratkan pendidikan yang ekstensif dalam suatu

    cabang ilmu. Suatu profesi pada dasarnya adalah kegiatan dalam pranata

    sosial. Karenanya tujuan profesional pelakunya adalah memenuhi

    harapan lingkungan sosial yang didalamnya ia berada.14

    Wartawan disebut sebagai profesi. Istilah profesi muncul dalam

    UU tentang Pers Bab I Pasal 1 ayat (10). Selain itu, dalam Kode Etik

    Jurnalistik Wartawan Indonesia bisa kita jumpai dua kata profesi.

    Pertama pada pembukaan, alenia kedua dan kedua, pada Bab I

    Kepribadian dan Integritas, Pasal 1. Dikutip dari buku Kebebasan Pers

    dan Kode Etik Jurnalistik, Lambeth dalam McQuail (1986) membuat

    bangunan kriteria tentang sebuah profesi. Pertama profesi ini pekerjaan

    yang bersifat fulltime. Kedua, profesi sebagai wartawan tidak hanya

    menempatkan aktivitas jurnalistik sebagai kerja fisik, justru lebih pada

    komitmen untuk perubahan sosial. Ketiga, umumnya organisasi

    wartawan memiliki standar profesional. Keempat profesi itu diikuti oleh

    suatu pendidikan formal, memiliki bentuk keilmuan yang spesialis.

    14 Alex Sobur, Op.cit, h. 86

  • Kelima, pada level terendah dalam fungsi penyajian informasi, jurnalis

    merupakan profesi pelayan sosial kepada masyarakat.15

    Wartawan profesional yang memandang kewartawanan sebagai

    profesi yang memiliki harkat, harus turut menjaga ancaman erosi

    terhadap martabat profesi. Wartawan bekerja untuk kepentingan yang

    lebih luas, yaitu publik pembaca, bukan untuk kepentingan segelintir

    pihak saja. Seorang profesional selalu mengutamakan kepetingan publik

    yang lebih luas di atas kepentingan individual.16

    Menururt Eisy, sikap

    profesionalitas itu harus terdiri dari dua unsur, yaitu hati nurani dan

    ketrampilan.17

    Hati nurani merupakan sesuatu yang teramat penting bagi

    kehidupan pers pada umumnya, dan profesi wartawan khususnya.

    Alasannya, dengan dalih kebebasan pers, tidak sedikit wartawan yang

    “terjang sana terjang sini” demi kepentingan pribadi dan bisnis persnya,

    maupun sekedar menunjukan eksistensinya dan ingin disebut sebaga

    pers pemberani. Masyarakat dinegara mana pun, tidak menginginkan

    pers yang bebas tanpa batas. Hati nuranilah yang bisa menyaring suatu

    berita yang layak muat , namun urung memuatnya karena pertimbangan

    kemanusiaan atau pertimbangan lainnya. ketrampilan yang dimaksud,

    15

    Effendi Siregar, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press Yogyakarta,

    Yogyakarta, h. 36

    16 Sobur Alex Op.cit., h. 116

    17 Effendi Siregar, Op.ci.t, h. 37

  • tidak lain ialah ketrampilan dalam berbahasa dan menulis. Wartawan

    yang baik harus menguasai bahasa serta mampu memilih dan

    memperlakukan kata-kata dengan tepat dalam menuliskan berita.

    Seperti yang kita ketahui para wartawan mempunyai resiko

    dalam menuaikan tugasnya, bukanlah hal yang luar biasa. Setiap profesi,

    apapun jenis profesi itu, mempunyai resiko sendiri-sendiri. Sebutlah

    profesi apa saja, pasti mendapat celah-celahnya yang mungkin

    membawa bencana bagi yang bersangkutan, betapapun kecilnuya resiko

    itu. Memang menjadi wartawan tidaklah mudah, karena seseorang harus

    siap untuk menghabiskan segenap perjuangan dan pengorbanan. Apapun

    yang menjadi kriteria sebuah profesi, umumnya para wartawan melihat

    dunia mereka, dunia kewartawanan, sebagai sebuah profesi. Seorang

    wartawan adalah seorang profesional. Itulah sebabnya, orang yang

    merasa terpanggil untuk menjalankan profesi ini umumnya mempunyai

    kebanggaan profesi yang mereka pertahankan dengan cara apa pun dan

    melindungi citranya dari berbagai gangguan dan ancaman yang akan

    merusaknya.18

    Sebagai dasar dalam menjawab segenap pertanyaan di atas, maka

    dalam penulisan penelitian kali ini akan bertolak dari beberapa konsep,

    asas dan teori-teori hukum yang relevan. Adapun penjabaran secara lebih

    mendetail adalah sebagai berikut :

    18

    Sobur Alex, Op.cit., h. 106

  • a. Konsep Negara Hukum

    Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selalu terkait dengan

    konsep rechtsstaat dan the rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep

    Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu

    mencakup empat elemen penting, yaitu: 19

    1. Perlindungan hak asasi manusia.

    2. Pembagian kekuasaan

    3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang

    4. Peradilan tata usaha Negara.

    Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting

    dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The

    Rule of Law”, yaitu:

    1. Supremasi hukum

    2. Persamaan dalam hukum

    3. Asas legalitas

    Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas

    utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah

    asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila,

    oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka

    secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara

    19

    Jimly Aaahiddiqie, 2003, Gagasan Negara Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,

    Jakarta, h. 2

  • Hukum Pancasila”.20

    Adapun unsur-unsur negara hukum

    Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri

    Martosoewignjo adalah sebagai berikut: 21

    1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan

    warga negara;

    2. Adanya pembagian kekuasaan negara;

    3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya

    pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku

    baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

    4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan

    kekuasaannya merdeka.

    Apabila konsep negara hukum sebagaimana dijelaskan di

    atas dikaitkan dengan penulisan penelitian kali ini, maka dapat

    dipergunakan sebagai dasar dalam berasumsi bahwa negara

    berkewajiban untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi

    setiap warga negaranya dalam merealisasikan hak kebebasan

    berpendapat, termasuk pers di dalamnya.

    20

    I Dewa Gede Atmadja, 2010,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah

    Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157

    21

    Sri Soemantri,1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, h.

    29

  • b. Asas Legalitas

    Rumusan atas asas legalitas seperti yang dikemukakan

    oleh von Feurbach dalam Moeljatno22

    , yakni di dalam

    menentukan suatu perbuatan yang tergolong dilarang, maka

    bukan hanya perbuatannya saja yang wajib dittuliskan tetapi

    harus disertai juga dengan bentuk pidana yang diancamkan.

    Adapun relevansi dari asas legalitas jika dikaitkan dengan

    penyimpangan pers, maka harus ditentukan secara terlebih

    dahulu macam perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan

    sebagai penyimpangan pers oleh peraturan perundang-undangan

    yang terkait dan wajib di dalam aturan tersebut juga

    mencantumkan sanksi pidana.

    c. Teori Demokrasi

    Robert A. Dahl dalam Yohanes Usfunan23

    ,

    mengemukakan tiga teori demokrasi, yakni teori demokrasi

    populis, teori demokrasi poliarchy dan teori demokrasi

    madisonian. Adapun teori yang paling relevan di dalam

    penulisan paper kali ini adalah teori demokrasi poliarchy yang

    begitu terpaut dengan partisipasi warga negara, yang meliputi

    antara lain :

    1. Kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam

    22

    Moeljatno, 2009, Edisi Revisi Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 27

    23

    Yohanes Usfunan, 2011, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana

    University, Denpasar, h. 111-112

  • organisasi

    2. Kebebasan untuk berpendapat

    3. Hak untuk memilih

    4. Hak politik untuk bersaing mendapatkan dukungan

    5. Jaminan terhadap sumber-sumber informasi

    6. Keadilan dan kebebasan memilih

    7. Kebijaksanaan pemerintah diarahkan untuk kepentingan

    rakyat

    Khususnya berpatokan pada kebebasan berpendapat.

    Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia kini menganut konfigurasi

    politik berciri demokratis, dengan demikian banyak produk politk

    yang lahir dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam

    mengambil keputusan.24

    Dari sini jelas terlihat bahwa kebebasan

    berpendapat telah terjamin eksistensinya di Indonesia

    d. Teori Positivisme

    Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara luas

    dikenal dan percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat.

    Kemudian, hak seharusnya diciptakan dan diberikan oleh konstitusi,

    hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham

    sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari

    hukum riil lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum

    24

    Abdul Manan, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, cet. 3, Kencana Predana Media,

    Jakarta, h. 110

  • „kodrati‟, lahir hak imajiner...Hak kodrati adalah omong kosong

    belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong

    kosong retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi”.25

    Teori ini

    dirasa relevan dalam menjelaskan bahwa hak kebebasan

    sesungguhnya dapat dibatasi berdasarkan peraturan perundang-

    undangan. Teori ini sekaligus dapat dipergunakan untuk

    menetapkan batas penggunaan hak berpendapat.

    e. Teori Tentang Tujuan Hukum

    Gustav Radbruch mengajarkan tentang tiga ide dasar hukum

    yang diidentikan dengan tiga tujuan hukum, yakni keadilan,

    kemanfaatan dan kepastian hukum. Di dalam pelaksanaannya,

    Radbruch kemudian menghimbau untuk menggunakan asas prioritas,

    di mana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah

    kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfataan

    dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan,

    demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan

    kemanfaatan.26

    Teori ini kiranya relevan guna dijadikan landasan

    berpijak bagi penegakan hukum yang dalam konteks ini sangat

    terkait dengan upaya dari pemerintah dalam mengendalikan

    kebebasan pers. Upaya-upaya yang dimaksud di dalam

    25

    Todung Mulya Lubis, , 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of

    Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, hlm. 15-16.

    26

    Ali Achmad,2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana, h.288

  • implementasinya agar tetap berpatokan pada ide-ide tentang

    keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

  • BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitan kepustakaan. Metode yang

    digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif.

    Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-

    norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

    undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode

    penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research),

    yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it

    written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge

    through judicial process.27

    Adapun pada penelitian ini berupaya

    mendeskripsikan aturan tentang hukum positif di Indonesia yang mengatur

    tentang konsep kebabasan pers.

    3.2. Jenis Pendekatan

    Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

    pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai

    aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk ditemukan jawabannya.

    Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

    pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case

    27 Anonim, data diakses tanggal 3 April 2011, alvalaible from: URL:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdf.

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdf

  • approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan kompartif

    (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

    approach).28

    Adapun daam penelitian ini menggunakan dua jenis

    pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach) dan

    pendekatan konseptual (conceptual approach).

    3.3. Sumber Bahan Hukum

    Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi

    mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.29

    Bahan Hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum

    normatif terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

    hukum tersier.30

    Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan antara

    lain:

    1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    3. Undang-undang No. 40 Tahun 1999

    4. Undang-undang No. 12 Tahun 2005

    Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini

    antara lain, buku-buku ataupun literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum,

    pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi yang relevan

    28

    Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

    h. 93.

    29

    Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h.141.

    30 Djam‟an Satori, Aan Komariah, Loc.cit.

  • dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini juga

    mempergunakan bahan hukum tersier berupa kamus hukum, internet dan

    lain-lain.

    3.4. Teknik Pengumplan Bahan Hukum

    Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini

    mempergunakan snowball method (metode bola salju).31

    Adapun yang

    dimaksud dengan metode bola salju adalah metode menggelinding secara

    terus menerus yang mengacu kepada perarturan perundang-undangan, dan

    buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan dengan perlindungan

    tehadap hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan

    berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian,

    serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengumpulan

    bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

    Selanjutnya bahan hukum yang terdiri dari aturan perundang-undangan,

    putusan pengadilan, buku-buku hukum, jurnal hukum dan lainnya akan

    diinventarisasi dan diklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang tengah

    dibahas.32

    Dengan kata lain, bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian

    kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah, disistematisasi dan

    dianalisis, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini

    akan dapat dijawab.

    31

    I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, “Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam

    Sistem Peradilan Pidana”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas

    Udayana, Denpasar.

    32

    Johhny Ibrahim, Op.cit, h. 296

  • 3.5. Teknik Analisis

    Jika bahan hukum telah berhasil dikumpulkan, maka langkah

    berikutnya ialah melakukan analisis terhadap bahan hukum sebagaimana

    dimaksud. Teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara

    lain sebagai berikut :

    1. deskripsi, penggambaran apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

    dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum;

    2. sistematisasi, upaya mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau

    proposisi hukum anatara peraturan hukum yang sedrajat maupun tidak

    sedrajat;

    3. argumentasi, penjabaran atas alasan-alasan yang bersifat penalaran

    hukum yang berguna dalam pembahasan permasalahan hukum;

    4. evaluasi, penilaian oleh peneliti terhadap sesuatu yang tertera dalam

    bahan hukum yang ada.

  • BAB IV

    PEMBAHASAN

    4.1. Kebebasan Pers Sebagai Bentuk Penyimpangan Pers

    Dikenal beberapa jenis HAM yang tergolong HAM generasi

    pertama, seperti kebebasan pribadi, kebebasan berpendapat, kebebasan

    berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, dan lain-lain.33

    Khususnya

    mengenai kebebasan berpendapat, secara internasional melalui Konvenan

    Internasional Hak-hak sipil dan politik (yang selanjutnya dirtifikasi menjadi

    Undang-undang No. 12 Tahun 2005) telah mengatur di dalamnya mengenai

    hak untuk berpendapat. Dalam hal ini, hak berpendapat meliputi beberapa

    hal seperti ; hak untuk mencari, menerima dan memberikan infomasi dan

    pemikiran apapun, terlepas dari segala bentuk pembatasan-pembatasan.

    Adapun secara nasional, hak kebebasan berpendapat juga telah diatur secara

    implisit di dalam konstitusi, yakni melalui Pasal 28 E ayat (2) Undang-

    undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Boleh

    dikatakan, berdasarkan konsep negara hukum, Indonesia telah mengatur

    bahkan meratifikasi seganap hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia

    (HAM) yang dalam konteks ini dititikberatkan pada hak kekebasan

    berpendapat.

    33

    Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights The protection of Socio-

    Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishe,

    Boston, h. 6

  • Pengaruh dari era globalisasi dan serba demokratis yang saat ini

    sedang melanda Indonesia, berkonsekuensi setiap orang bahkan organisasi

    atau lembaga sosial lainnya dapat dengan leluasa untuk menuangkan

    pendapatnya, termasuk melakukan penilaian hingga kritik yang bersifat

    pedas terhadap banyak hal. Fenomena semacam ini dapat dibenarkan atas

    pemikiran teori demokrasi poliarchy dan menjadi semakin kuat ketika

    memperoleh dukungan atas pengakuan terhadap hak untuk mencari,

    memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infomasi sebagaimana

    diamanatkan oleh Pasal 28 F UUD 1945. Bukan dalam artian negatif, para

    pihak yang nantinya berkemauan untuk menilai bahkan melakukan kritik

    dapat mencari-cari info dan data tentang kesalahan maupun kelemahan dari

    obyek yang dikehendaki. Adapun kegiatan semacam ini sangat bersentuhan

    dengan kinerja pers yang rutinitasnya bergelut dengan kegiatan jurnalistik.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999

    tentang Pers (UU tentang Pers), bahwa yang dimaksud dengan pers adalah

    “lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan

    kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,

    menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam

    bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan

    grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media

    cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

    Di mana, pelaku utama dari pers disebut wartawan yang berarti

    orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik sesuai dengan

    ketentuan Pasal 1 butir 4 UU tentang Pers. Menurut Oemar Seno Adji dalam

  • Idri Shaffat34

    dalam kaitannya dengan kebebasan pers yang lazim disebut

    kemerdekaan pers di dalam UU tentang Pers, maka segenap insan pers

    dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan untuk menyampaikan

    pendapat namun masih berada dalam batas-batas tertentu dengan syarat-

    syarat limitatif dan demokrasi, seperti hukum nasional maupun hukum

    internasional.

    Jika dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, pers bertindak di luar

    apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seperti halnya distorsi

    informasi, dramatisasi fakta, serangan privacy, pembunuhan karakter,

    eksploitasi seks, meracuni benak/pikiran anak dan penyalahgunaan

    kekuasaan. Segenap prilaku ini kerap disebut penyimpangan (deviasi) pers.35

    Dengan mengacu pada asas legalitas, baik UU tentang Pers, Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata

    (KUHPerdata), maupun Kode Etik Jurnalistik telah mengatur bentuk-bentuk

    perbuatan yang dilarang dalam suatu kegiatan jurnalistik dengan disertai

    sanksi di dalamnya. Sebagai contoh, dikenal dengan adanya delik

    penghinaan di dalam Pasal 137, Pasal 144, Pasal 208 dan Pasal 310 KUHP.

    Delik kesusilaa di dalam Pasal 282 KUHP.

    34

    Idri Shaffat, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka

    Publisher, Jakarta, h. 84-85.

    35

    Ibid, h. 107

  • Diluar KUHP, penyimpangan pers juga diatur di dalam UU tentang

    Pers, seperti halnya Pasal 18 ayat (2) tentang pemberitaan oleh pers yang

    tidak menghormati norma agama, kesusilaan, asas praduga tak bersalah.

    Pasal 13 di dalam undang-undang yang sama juga mengatur ketentuan

    serupa, namun penekanannya lebih kepada iklan. Adapun perhatian tentang

    penyimpangsn pers juga terakomodir di dalam Kitab Undang-undang

    Hukum Perdata (KUHPerdata). Sebut saja dalam Pasal 1365 dan pasal 1372

    KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

    kepada orang lain, mewajibkan orang lain, mewajibkan orang yang salahnya

    menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Tuntutan perdata

    tentang hal penghinaan, bertujuan mendapat penggantian kerugian serta

    memulihkan kehormatan dan nama baik.

    4.2. Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers Sebagai

    Bentuk Penegakan HAM

    Kebebasan pers dalam bahasa inggrisnya disebut freedom of opinion

    and expression dan freedom of the speech.36

    Dengan demikian, maka

    kebebasan pers dapat kita maknai sebagai kebebasan untuk mengungkapkan

    pendapat atau kreativitas dalam bentuk tulisan atau ekspresi lainnya. Patut

    untuk diketahui juga bahwa hak atas kebebasan berpendapat merupakan

    salah satu bentuk HAM yang harus dijamin. Deklarasi HAM menyatakan

    bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi,

    hak ini mencakup kebebasan untuk memegang pendapat tanpa interferensi,

    36

    Amir Effendi Siregar, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press,

    Yogyakarta, h.8

  • dan informasi terpisah serta ide-ide melalui media apapun tanpa

    pembatasan-pembatasan yang menyebabkan keterkungkungan pers dalam

    menjalankan fungsi, tugas dan kewajibannya.37

    Disamping itu, kebebasan

    berpendapat oleh pers dalam hal ini juga menjadi cermin demokrasi.38

    Jadi

    kebebasan berpendapat itu sesungguhnya bersifat universal dan oleh

    karenanya ia tidak dapat di ganggu gugat (negative rights).

    Ketika pengaturan dan pemenuhan atas hak kebebasan berpendapat

    telah terakomodir ke dalam lingkup nasional (konstitusi negara), maka kala

    itu sifat universal yang ada sebelumnya akan beralih menjadi dapat

    dicampuri negara (positive rights). Secara teori, intervensi atau pembatasan

    terhadap hak kebebasan berpendapat oleh negara ini juga memperoleh

    pembenaran dari teori positivisme yang penjelasannya telah diuaraikan pada

    sub sebelumnya. Adapun kemudian menurut Jakob Oetomo bahwa kebasan

    pers itu rumit, pelik dan penuh tanggung jawab.39

    Sehingga mau tidak mau

    di dalam pelaksanaan kebebasan pers harus dipraktikan secara benar sesuai

    dengan kaidah-kaidah yang ada.40

    Namun hal itu tidak semudah yang

    dibayangkan, faktanya kinerja pers di negara-negara berkembang pada

    umumnya justru banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

    37

    Idri Shaffat, Op.cit, h. 78

    38

    Hafies Cangara, 2011, Komunikasi Politik Konsep, Teori dan Strategi, cet. 3, PT

    RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 70-71

    39

    Jakob Oetomo, 1987, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 86

    40

    Hafies Cangara, Op.cit., h. 86

  • Kita ambil saja contoh dari negara sendiri, yakni Indonesia.

    Implementasi dari kebebasan pers ditandai dengan maraknya pengaduan

    masyarakat kepada Dewan Pers menyangkut materi karya jurnalistik yang

    telah diterbitkan dan disiarkan oleh media pers. Gambaran secara faktual

    dapat kita simak melalui data yang dilansir oleh dewan pers :41

    No. Tahun Jumlah Pengaduan

    1 2003 101

    2 2004 153

    3 2005 127

    4 2006 207

    5 2007 319

    6 2008 424

    7 2009 442

    8 2010 514

    9 2011 511

    Jumlah 2.798

    41

    Anonim, Data Pengaduan Masyarakat, data diakses 1 juni 2013, available from : URL :

    http://www.dewanpers.or.id,

    http://www.dewanpers.or.id/

  • Nampak jelas bahwa dari tahun ke tahun pengaduan masyarakat

    terkait kinerja pers cenderung meningkat. Berdasarkan fakta di atas,

    kiranya dapat disimpulkan bahwa kinerja pers selama ini tidak lah

    beracuan pada aturan main yang berlaku. Beberapa pengamat pernah

    mengatakan bahwa wartawan jika tidak berpegang teguh pada undang-

    undang dan kode etik maka ia berpotensi berprilaku jahat, sama halnya

    teroris.42

    Dengan adanya fenomena semacam ini, era globalisasi dan

    serba demokratis sebagaimana disebutkan sebelumnya justru belum

    selalu bisa meningkatkan hak-hak azazi manusia.43

    Adapun sebaliknya,

    dapat dimaknai sebagi era untuk tidak menghormati HAM pihak lain.

    Bedasarkan kewenangan yang dimiliki oleh negara terkait

    pembatasan atas kebebasan berpendapat, maka pada kesempatan

    berikutnya perlu diambil langkah preventif maupun represif sebagai

    upaya dalam mengendalikan kebebasan pers. Adapun yang menjadi

    contoh konkrit dari langkah prventif ialah dengan disahkannya UU

    tentang Pers yang memuat tentang asas, fungsi, hak, kewajiban dan

    peranan pers. Selain itu, untuk menjalankan UU tentang pers, wartawan

    juga dibekali Kode Etik sebagai pedoman oprasional dalam menegakkan

    integritas dan profesionalitas wartawan. Jika nantinya tetap terjadi

    tindakan yang menyimpang oleh pers, maka lagkah represif berupa

    42

    Hafies Cangara, Loc.cit.

    43

    Alma Kadragic, 2006, Globalization and Human Rights, Chelsea House Publishers,

    Philadelphia, h. 99-100

  • penjatuhan sanksi pidana, perdata maupun etik dapat diterapkan terhadap

    pers. Namun dalam ikhwal penjatuhan sanksi tersebut dihimbau agar

    tetap berpatokan pada ide-ide tentang keadilan, kemanfaatan dan

    kepastian hukum. Dengan demikian kedudukan pers sebagai salah satu

    pilar demokrasi akan tetap terjaga eksistensinya.

  • BAB V

    PENUTUP

    5.1. Simpulan

    Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik

    simpulan sebagai berikut:

    1. Kebebasan pers yang lazim disebut kemerdekaan pers di dalam UU

    tentang Pers, berkonsekuensi bahwa pers dalam melaksanakan tugasnya

    mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapat namun tetap

    berada dalam batas-batas tertentu dengan syarat-syarat limitatif dan

    demokrasi, seperti hukum nasional maupun hukum internasional. Jika

    dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, pers bertindak di luar apa yang

    telah ditentukan oleh undang-undang. Seperti halnya distorsi informasi,

    dramatisasi fakta, serangan privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi

    seks, meracuni benak/pikiran anak dan penyalahgunaan kekuasaan.

    Maka segenap prilaku ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk

    penyimpangan (deviasi) pers.

    2. Implementasi dari kebebasan pers justru ditandai dengan maraknya

    pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers menyangkut materi karya

    jurnalistik yang telah diterbitkan dan disiarkan oleh media pers. Dari

    tahun ke tahun pengaduan masyarakat terkait kinerja pers cenderung

    meningkat. Berdasarkan fakta tersebut, tidak tertutup kemungkinan akan

  • terbentuk sebuah opini bahwa kebebasan pers dapat diartikan sebagai

    hak untuk tidak menghormati HAM pihak lain. Oleh karenanya negara

    diarasa patut untuk melakukan upaya pengendalian atas kebebasan pers,

    baik dalam arti preventif maupun represif dengan tetap bertolak dari ide-

    ide tentang keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

    5.2. Saran

    1. Pers di dalam melaksanakan seluruh kegiatan jurnalistik hendaknya tetap

    berpegang teguh pada segenap aturan-aturan yang telah di tetapkan, baik

    itu peraturan perundang-undangan maupun kode etik jurnalistik

    Sehingga citra dari kebebasan pers nantinya dapat mencerminkan

    pertimbangan moral, etis dan tanggung jawab.

    2. Negara selaku pihak yang berwenang dalam melakukan upaya-upaya

    pengendalian terhadap kebebasan pers, hendaknya tetap berpatokan pada

    ide-ide tentang keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan

    demikian kedudukan pers sebagai salah satu pilar demokrasi akan tetap

    terjaga eksistensinya.

  • DAFTAR BACAAN

    BUKU

    Achmad, Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana,

    Jakarta.

    Alex, Sobur, 2001, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, Utama Press,

    Bandung.

    Cangara, Hafies, 2011, Komunikasi Politik Konsep, Teori dan Strategi, cet. 3, PT

    Raja Grafindo Persada, Jakarta.

    Hamzah A., Wayan Suandra, Manalu, B.A., 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia,

    Media Sarana Press, Jakarta.

    Jimly Aashiddiqie, 2003, Gagasan Negara Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo

    Persada, Jakarta.

    Kadragic, Alma, 2006, Globalization and Human Rights, Chelsea House

    Publishers, Philadelphia.

    Moeljatno, 2009, Edisi Revisi Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta,

    Jakarta.

    Muis, A, 1996, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers , Mario grafika, Jakarta.

    Oemar, Seno, 1977, Pers dan Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta.

    Oetomo, Jakob, 1987, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Jakarta.

    Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

    Group, Jakarta.

    Rosihan, Anwar, H., 1996, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, PT. Jurnalindo

    Aksara Pustaka dan Gatra, Jakarta.

    Shaffat, Idris, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers,

    Prestasi Pustaka, Jakarta.

    Siregar, Amir Effendi, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII

    Press, Yogyakarta.

    Sumadiria, Haris, 2008, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media,

    Bandung.

  • Usfunan, Yohanes, 2011, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia,

    Udayana University, Denpasar.

    TESIS

    I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, “Kebijakan Formulasi Keadilan

    Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana”, (tesis) Program Studi

    Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

    INTERNET

    Anonim, data diakses tanggal 3 April 2011, alvalaible from: URL:

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pd

    f.

    Anggara, Hak Jawab + Hak Tolak + Hak Koreksi + Kewajiban Koreksi –

    Kriminalisasi = Kemerdekaan Pers, data diakses 5 Mei 2013, available

    from : URL : http://anggara.org/.

    Anonim, Data Pengaduan Masyarakat, data diakses 1 juni 2013, available from :

    URL : http://www.dewanpers.or.id,

    Gandita Rai Anom, Gagalnya Pembunuhan Karakter Melalui Bali Post, data

    diakses 3 juni 2013, available from : URL : http:// www.balebengong.net.

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdfhttp://anggara.org/http://www.dewanpers.or.id/