LAPORAN PENELITIAN
PEMBATASAN ATAS KEBEBASAN PERS DALAM
PERSPEKTIF PENEGAKAN HAM
PENELITI :
I DEWA AYU DWI MAYASARI
MAHASISWA :
1. Desak Putri Tri Rahayu ( 1403005164 )
2. Ni Putu Intan Purnami ( 1403005140 )
FAKULTAS HUKUM
UNUVERSITAS UDAYANA
BULAN FEBRUARI 2017
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN MANDIDI
1. Judul : Pembatasan Atas Kebebasan Pers Dalam Perspektif Penegakan HAM
2. Bidang Unggul : Ilmu Hukum 3. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap : I Dewa Ayu Dwi Mayasari, S.H.,M.H b. NIP/NIDN : - c. Jabatan structural : - d. Jabatan Fungsional : - e. Fakultas/Jurusan PS : Hukum/Ilmu Hukum f. Alamat Rumah : Jl. Tukad Jinah Perum Puri Waturenggong Blok
E/10 Panjer Dps
g. Telepon : 081558228767 h. Email : [email protected]
4. Jumlah Peneliti : 3 orang 5. Lokasi Penelitian : Denpasar, Bali 6. Jangka Waktu Penelitian : 6 Bulan 7. Biaya Penelitian : Rp. 5.000.000,00
Denpasar, 31 Juli 2017
mailto:[email protected]
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nyalah penelitian yang berjudul “Pembatasan Atas Kebebasan Pers
Dalam Perspektif Penegakan HAM” dapat kami selesaikan. Dalam
penyusunan penelitian ini, peneliti banyak menemui berbagai hambatan, namun
berkat bimbingan dan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya
penelitian ini dapat terselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, para wakil dekan,
beserta staff di lingkungan Fakultas Hukum Unud.
2. Ketua Unit Penelitian Pengabdian Fakultas Hukum Universitas
Udayana
3. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
4. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
penelitian ini.
Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata, semoga hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum.
Denpasar, 20 Februari 2017
Peneliti,
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 4
a. Tujuan Umum ............................................................................ 4
b. Tujuan Khusus........................................................................... 5
1.4 Manfaat.......................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN UMUM .......................................................................... 6
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 19
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 23
4.1. Kebebasan Pers Sebagai Bentuk Penyimpangan Pers .................. 23
4.2. Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers Sebagai
Bentuk Penegakan HAM ............................................................... 26
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 31
5.1 Kesimpulan.................................................................................... 31
5.2. Saran-Saran ................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk suksesnya pembangunan dan tercapainya masyarakat yang adil
dan makmur berlandaskan Pancasila diperlukan adanya sarana-sarana yang
mendukung pelaksanaan pembangunan. Salah satu sarana tersebut adalah
pers dan mass media. Pers dan mass media merupakan sarana ampuh dalam
bidang publikasi, baik untuk menyebar luasan pemberitaan, penyebar luasan
ilmu pengetahuan, sosial politik, ekonomi dan teknologi, maupun sebagai alat
penggerak serta menggairahkan partisipasi masyarakat untuk ikut
melaksanakan pembangunan.1
Selama masa orde baru, sistem pers Indonesia memposisikan diri
sebagai pers yang berhadapan dengan tiga kepentingan sekaligus, negara,
pemodal dan masyarakat. Negara menuntut pers menjadi agen pembangunan
yang ikut serta mengondusifkan stabilitas politik guna menyokong
pertumbuhan ekonomi. Pemodal memaksa pers menjadi sebuah industri
dengan logika peniagaan dan keuntungan. Pers dituntut untuk menggali dan
mendayagunakan kemampuan-kemampuan kompetitifnya sehingga bisa
mengeruk khalayak konsumen yang luas, meraup pengiklan dalam jumlah
besar dan mengakumulasikan keuntungan atau kapital. Di sisi lain, pers
diminta oleh masyarakat untuk menjadi penyedia informasi yang aktual dan
1 Hamzah A., Wayan Suandra, Manalu, B.A., 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Media
Sarana Press, Jakarta, h.1
faktual, serta menjalankan fungsi pemberdayaan dan kontrol sosial. 2 Perjalan
kehidupan pers selama dua setengah dasawarsa pertama orde baru, dalam
pandangan para pengamat politik di Indonesia, memperlihatkan bahwa
negara dan pemodal lebih banyak menyita energi tanggung jawab pers
daripada masyarakat. Ini adalah kenyataan yang menjebak pers untuk
menomor satukan tanggung jawab dan sedikit banyak menggadaikan
kebebasan.3
Adapun era reformasi membawa berkah positif bagi insan pers,
dimana kinerja mengalami perubahan yang sangat signifikan atau dengan
kata lain pers mulai bebas menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga
(watchdog) dan juga menjadi forum dialog dalam pertukaran ide. Dengan
kata lain, inilah yang kita sebut sebagai era kebebasan pers. Dengan
dilindungi oleh Undang-undang 40 Tahun 1999 tentang Pers, insan pers
memiliki hak untuk menjalankan fungsinya dalam menyampaikan informasi,
memberi pencerdasan, memberikan hiburan yang bermakna, dan melakukan
kontrol sosial dalam bentuk pengawasan, kritik, dan saran untuk kepentingan
umum.4 Namun demikian, karena pers di dalam penyelenggaraannya
dilaksanakan oleh manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, maka kadang-
kadang di dalam pemberitaan terjadi pula hal-hal yang menimbulkan dampak
2 Sobur Alex, 2001, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, Utama Press, Bandung, h.
267.
3 Ibid, h.268.
4 Anggara, Hak Jawab + Hak Tolak + Hak Koreksi + Kewajiban Koreksi – Kriminalisasi =
Kemerdekaan Pers, data diakses 5 Mei 2013, available from : URL : http://anggara.org/.
negatif seperti pemberitaan tentang kejahatan yang terlalu berlebih-lebihan,
pemberitaan yang bersifat sensasional, pornografi dan lainnya sehingga
menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebagai contoh, tentu kita masih mengingat pemberitaan oleh media
Bali Post yang berjudul “ Gubernur : Bubarkan Saja Desa Pakraman”.
Pemberitaan ini dimulai sejak tanggal 19 September 2011 hingga 24
September 2001. Media anggota Kelompok Media Bali Post yakni Bali TV
juga turut serta melakukan hal serupa, menyiarkan dialog interaktif dengan
topik Bubarkan Desa Pakraman pada hari Senin, 19 September 2011.
Presenter dialog dengan sangat jelas dan tanpa ragu menyebutkan bahwa
Gubernur Bali meminta maaf atas pernyataan yang sebelumnya dimuat Bali
Post.5 Pemberitaan ini kemudian berkembang menjadi sebuah polemik di
tengah masyarakat, bahkan berakhir dengan sengketa yang melibatkan pihak
Bali Post yang berhadapan dengan Gubernur Bali hingga ke Pengadilan. Pada
akhirnya, baik Dewan Pers melalui Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi
(PPR) Dewan Pers Nomor 09/PPR-DP/XI/2011 Tentang Pengaduan
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Terhadap Harian Bali Post maupun
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 162/Pdt/2012/PT.Dps secara
garis besar menyatakan bahwa pihak Bali Post yang bersalah dalam
pemberitaan yang dimaksud.
5 Gandita Rai Anom, Gagalnya Pembunuhan Karakter Melalui Bali Post, data diakses 3 juni
2013, available from : URL : http:// www.balebengong.net.
Bertolak dari fakta hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
mendorong ketertarikan penulis untuk mengangkat topik mengenai upaya
pengendalian terhadap pers terkait hak kebebasan berpendapat. Oleh sebab
itu, penulisan penelitian ini diberi judul ; “Pembatasan Atas Kebebasan
Pers Dalam Perspektif Penegakan HAM.”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada sub sebelumnya
(pendahuluan), maka ada beberapa poin pertanyaan yang akan disampaikan,
yakni :
1. Apakah kebebasan pers yang merupakan perwujudan dari hak kebebasan
berpendapat dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyimpangan Pers?
2. Bagaimanakah upaya dari pemerintah dalam mengendalikan kebebasan
pers sebagai bentuk penegakan HAM?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami dan
menganalisis lebih jauh mengenai Pembatasan Atas Kebebasan Pers
Dalam Perspektif Penegakan HAM.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang ragam bentuk
kebebasan pers yang dapat dikualifikasi sebagai bentuk
penyimpangan Pers.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang upaya dari pemerintah
dalam mengendalikan kebebasan pers sebagai bentuk penegakan
HAM
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan keilmuan
hukum dalam bidang hukum pers, khususnya tentang konsep kebebasan pers
kepada mahasiswa dan praktisi hukum. Pada penelitian ini secara eksplisit
berupaya untuk memberikan gambaran yang tegas tentang konsep kebebasan
pers dan sejauh mana batas dari kebebasan pers itu sendiri. Apabila konsep
kebebasan pers itu jelas, maka beragam bentuk pelanggaran HAM oleh insan
pers dapat diantisipasi. Adapun bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan
bermafaat untuk memberikan wawasan tambahan tentang hukum pers, salah
satunya memberikan inormasi mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh
jika nantinya berkedudukn sebagai pihak yang dirugikan akibat pemberitaan
oleh pers. Dengan demikian, masyarakat (baik dalam arti kelompok maupun
individu) dapat terhindar dari tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh insan pers.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1. Tinjauan Pustaka
a. Pers dan Junalistik
Secara etimologis, kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau
presse (Prancis), berasal dari bahasa latin, pressare dari kata premere,
yang berarti “tekan” atau “cetak”. Difinisi terminologisnya ialah “media
massa cetak”, disingkat “media cetak”. Bahasa Belandanya , gedrukten,
atau drukpers, atau pers. Bahasa Inggrisnya printed media atau printing
press.6 Media massa, menurut Gamble & Gamble, adalah bagian
komunikasi antar manusia (human communication), dalam arti, media
merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh
jangkauan pross penyampaian-penyampaian pesan antar manusia.7
Karena sifatnya yang masal yang digunakan untuk menyampaikan
berbagai informasi kepada masyarakat, maka pers sebagaimana media
massa lain, mempunyai sifat_sifat sebagai berikut :
1. Umum, yaitu terbuka bagi semua orang, tidak hanya antara orang tertentu seperti halnya surat menyurat antar dua orang
sahabat;
2. Heterogen, yaitu komunikasi terdiri dari bermacam-macam manusia, tidak terbatas pada kelompok atau golongan
tertentu;
6 Muis, A, 1996, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers , Mario grafika, Jakarta, h. 11
7 Ibid, h. 12
3. Simultan, yaitu kontak yang dilakukan dengan sejumlah besar rang dalam jarak dan waktu yang sama atau hampir
sama;
4. Non pribadi, yaitu hubungan antara komunikator dengan komunikan tidak mesti saling mengenai.
8
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan awam,
jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.
Sesungguhnya tidak. Jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan,
sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian,
jurnalistik pers berarti proses kegiatan mencari, menggali,
mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan berita melalui
media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah dengan
secepat-cepatnya.9 Tetapi sekarang, kata pers atau press ini digunakan
untuk merujuk semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang
berhubungan dengan menghimpun berita , baik oleh wartwan media
cetak maupun wartawan media elektronik. Dalam bukunya, Mass Media
dan Hukum, Oemar Seno Adji membagi pengertian pers dalam arti
sempit dan luas. Dikatakannya,
“pers dalam arti sempit, seperti diketahui , mengandung penyiaran-
penyiaran pikiran, gagasan, ataupun berita-berita dengan jalan kata
tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas memasukan di dalamnya
semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan
perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata-kata
lisan”.10
8 Idris Shaffat, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka,
Jakarta, h. 2
9 Haris Sumadiria, 2008, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, h. 1
10
Seno Oemar, 1977, Pers dan Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta, h. 13
Berdasarkan uraian tersebut, ada dua pengertian mengenai pers,
yaitu pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. pers dalam arti kata
sempit yaitu menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan
dengan perantara barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas
ialah meyangkut kegiatan komunikas, baik yang dilakukan dengan
media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi
maupun internet.11
Definisi yuridis formal dari pers, berdasarkan Pasal 1 butir 1 UU
No. 14 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu :
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pers diartikan : (1) usaha
percetakan dan penerbitan; (2) usaha pengumpulan dan penyiaran berita;
(3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio; (4) orang
yang bergerak dalam penyiaran berita: (5) medium penyiaran berita
seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film.
11 Susanto Edy, Taufik Makarao dan Syamsudin Hamid, Op.cit, h. 20
b. Profesi Kewartawanan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 4 UU tentang Pers,
“wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan
kegiatan jurnalistik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ,
wartawan, diartikan orang yang pekerjaannya mencari dan
menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan
televisi.”
Adapun menurut Adinegoro, mengeukakan bahwa yang
dimaksud dengan wartawan ialah:
“orang yang hidupnya bekerja sebagai anggota redaksi surat
kabar, baik yang duduk dalam redaksi dengan bertanggung jawab
terhadap isi surat kabar maupun di luar kantor redaksi sebagai
koresponden, yang tugasnya mencari berita, menyusunnya,
kemudian mengirimkannya kepada surat kabar yang dibantunya;
baik berhubungan tetap maupun tidak tetap dengan surat kabar
yang memberi nafkahnya.” 12
Singkatnya ada dua jenis wartawan berdasarkan tugas yang
dikerjakan, yaitu reporter dan editor. Istilah reporter berasal dari kata
report yang berarti “laporan,” dan orangnya disebut pelapor, jurnalis,
wartawan, atau reporter. Jadi, seperti yang dikatakan Roshin Anwar,
“reporter adalah orang yang mencari, menghimpun dan menulis berita;
sedangkan editor adalah orang yang menilai, menyunting berita dan
menempatkannya dalam koran.13
Apakah kewartawanan itu profesi atau bukan? Pada UU tentang
Pers terdahulu maupun dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik
12
Alex Sobur, Op.cit, h. 101
13
Anwar, H. Rosihan, 1996, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, PT. Jurnalindo Aksara
Pustaka dan Gatra, Jakarta, h. 1
Indonesia tentang Surat Izin Penerbitan Pers terdahulu, tidak ada satu
pun istilah profesi di dalamnya, apalagi pengertiaannya. Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi berarti bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian tertentu. Profesi diartikan jabatan atau
kedudukan yang mensyaratkan pendidikan yang ekstensif dalam suatu
cabang ilmu. Suatu profesi pada dasarnya adalah kegiatan dalam pranata
sosial. Karenanya tujuan profesional pelakunya adalah memenuhi
harapan lingkungan sosial yang didalamnya ia berada.14
Wartawan disebut sebagai profesi. Istilah profesi muncul dalam
UU tentang Pers Bab I Pasal 1 ayat (10). Selain itu, dalam Kode Etik
Jurnalistik Wartawan Indonesia bisa kita jumpai dua kata profesi.
Pertama pada pembukaan, alenia kedua dan kedua, pada Bab I
Kepribadian dan Integritas, Pasal 1. Dikutip dari buku Kebebasan Pers
dan Kode Etik Jurnalistik, Lambeth dalam McQuail (1986) membuat
bangunan kriteria tentang sebuah profesi. Pertama profesi ini pekerjaan
yang bersifat fulltime. Kedua, profesi sebagai wartawan tidak hanya
menempatkan aktivitas jurnalistik sebagai kerja fisik, justru lebih pada
komitmen untuk perubahan sosial. Ketiga, umumnya organisasi
wartawan memiliki standar profesional. Keempat profesi itu diikuti oleh
suatu pendidikan formal, memiliki bentuk keilmuan yang spesialis.
14 Alex Sobur, Op.cit, h. 86
Kelima, pada level terendah dalam fungsi penyajian informasi, jurnalis
merupakan profesi pelayan sosial kepada masyarakat.15
Wartawan profesional yang memandang kewartawanan sebagai
profesi yang memiliki harkat, harus turut menjaga ancaman erosi
terhadap martabat profesi. Wartawan bekerja untuk kepentingan yang
lebih luas, yaitu publik pembaca, bukan untuk kepentingan segelintir
pihak saja. Seorang profesional selalu mengutamakan kepetingan publik
yang lebih luas di atas kepentingan individual.16
Menururt Eisy, sikap
profesionalitas itu harus terdiri dari dua unsur, yaitu hati nurani dan
ketrampilan.17
Hati nurani merupakan sesuatu yang teramat penting bagi
kehidupan pers pada umumnya, dan profesi wartawan khususnya.
Alasannya, dengan dalih kebebasan pers, tidak sedikit wartawan yang
“terjang sana terjang sini” demi kepentingan pribadi dan bisnis persnya,
maupun sekedar menunjukan eksistensinya dan ingin disebut sebaga
pers pemberani. Masyarakat dinegara mana pun, tidak menginginkan
pers yang bebas tanpa batas. Hati nuranilah yang bisa menyaring suatu
berita yang layak muat , namun urung memuatnya karena pertimbangan
kemanusiaan atau pertimbangan lainnya. ketrampilan yang dimaksud,
15
Effendi Siregar, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press Yogyakarta,
Yogyakarta, h. 36
16 Sobur Alex Op.cit., h. 116
17 Effendi Siregar, Op.ci.t, h. 37
tidak lain ialah ketrampilan dalam berbahasa dan menulis. Wartawan
yang baik harus menguasai bahasa serta mampu memilih dan
memperlakukan kata-kata dengan tepat dalam menuliskan berita.
Seperti yang kita ketahui para wartawan mempunyai resiko
dalam menuaikan tugasnya, bukanlah hal yang luar biasa. Setiap profesi,
apapun jenis profesi itu, mempunyai resiko sendiri-sendiri. Sebutlah
profesi apa saja, pasti mendapat celah-celahnya yang mungkin
membawa bencana bagi yang bersangkutan, betapapun kecilnuya resiko
itu. Memang menjadi wartawan tidaklah mudah, karena seseorang harus
siap untuk menghabiskan segenap perjuangan dan pengorbanan. Apapun
yang menjadi kriteria sebuah profesi, umumnya para wartawan melihat
dunia mereka, dunia kewartawanan, sebagai sebuah profesi. Seorang
wartawan adalah seorang profesional. Itulah sebabnya, orang yang
merasa terpanggil untuk menjalankan profesi ini umumnya mempunyai
kebanggaan profesi yang mereka pertahankan dengan cara apa pun dan
melindungi citranya dari berbagai gangguan dan ancaman yang akan
merusaknya.18
Sebagai dasar dalam menjawab segenap pertanyaan di atas, maka
dalam penulisan penelitian kali ini akan bertolak dari beberapa konsep,
asas dan teori-teori hukum yang relevan. Adapun penjabaran secara lebih
mendetail adalah sebagai berikut :
18
Sobur Alex, Op.cit., h. 106
a. Konsep Negara Hukum
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selalu terkait dengan
konsep rechtsstaat dan the rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep
Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu
mencakup empat elemen penting, yaitu: 19
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting
dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The
Rule of Law”, yaitu:
1. Supremasi hukum
2. Persamaan dalam hukum
3. Asas legalitas
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas
utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah
asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila,
oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka
secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara
19
Jimly Aaahiddiqie, 2003, Gagasan Negara Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 2
Hukum Pancasila”.20
Adapun unsur-unsur negara hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut Sri Soemantri
Martosoewignjo adalah sebagai berikut: 21
1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan
warga negara;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan
kekuasaannya merdeka.
Apabila konsep negara hukum sebagaimana dijelaskan di
atas dikaitkan dengan penulisan penelitian kali ini, maka dapat
dipergunakan sebagai dasar dalam berasumsi bahwa negara
berkewajiban untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi
setiap warga negaranya dalam merealisasikan hak kebebasan
berpendapat, termasuk pers di dalamnya.
20
I Dewa Gede Atmadja, 2010,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157
21
Sri Soemantri,1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, h.
29
b. Asas Legalitas
Rumusan atas asas legalitas seperti yang dikemukakan
oleh von Feurbach dalam Moeljatno22
, yakni di dalam
menentukan suatu perbuatan yang tergolong dilarang, maka
bukan hanya perbuatannya saja yang wajib dittuliskan tetapi
harus disertai juga dengan bentuk pidana yang diancamkan.
Adapun relevansi dari asas legalitas jika dikaitkan dengan
penyimpangan pers, maka harus ditentukan secara terlebih
dahulu macam perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai penyimpangan pers oleh peraturan perundang-undangan
yang terkait dan wajib di dalam aturan tersebut juga
mencantumkan sanksi pidana.
c. Teori Demokrasi
Robert A. Dahl dalam Yohanes Usfunan23
,
mengemukakan tiga teori demokrasi, yakni teori demokrasi
populis, teori demokrasi poliarchy dan teori demokrasi
madisonian. Adapun teori yang paling relevan di dalam
penulisan paper kali ini adalah teori demokrasi poliarchy yang
begitu terpaut dengan partisipasi warga negara, yang meliputi
antara lain :
1. Kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam
22
Moeljatno, 2009, Edisi Revisi Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 27
23
Yohanes Usfunan, 2011, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana
University, Denpasar, h. 111-112
organisasi
2. Kebebasan untuk berpendapat
3. Hak untuk memilih
4. Hak politik untuk bersaing mendapatkan dukungan
5. Jaminan terhadap sumber-sumber informasi
6. Keadilan dan kebebasan memilih
7. Kebijaksanaan pemerintah diarahkan untuk kepentingan
rakyat
Khususnya berpatokan pada kebebasan berpendapat.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia kini menganut konfigurasi
politik berciri demokratis, dengan demikian banyak produk politk
yang lahir dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam
mengambil keputusan.24
Dari sini jelas terlihat bahwa kebebasan
berpendapat telah terjamin eksistensinya di Indonesia
d. Teori Positivisme
Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka secara luas
dikenal dan percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat.
Kemudian, hak seharusnya diciptakan dan diberikan oleh konstitusi,
hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham
sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak hukum; dari
hukum riil lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum
24
Abdul Manan, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, cet. 3, Kencana Predana Media,
Jakarta, h. 110
„kodrati‟, lahir hak imajiner...Hak kodrati adalah omong kosong
belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong
kosong retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi”.25
Teori ini
dirasa relevan dalam menjelaskan bahwa hak kebebasan
sesungguhnya dapat dibatasi berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Teori ini sekaligus dapat dipergunakan untuk
menetapkan batas penggunaan hak berpendapat.
e. Teori Tentang Tujuan Hukum
Gustav Radbruch mengajarkan tentang tiga ide dasar hukum
yang diidentikan dengan tiga tujuan hukum, yakni keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Di dalam pelaksanaannya,
Radbruch kemudian menghimbau untuk menggunakan asas prioritas,
di mana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah
kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfataan
dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan,
demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan
kemanfaatan.26
Teori ini kiranya relevan guna dijadikan landasan
berpijak bagi penegakan hukum yang dalam konteks ini sangat
terkait dengan upaya dari pemerintah dalam mengendalikan
kebebasan pers. Upaya-upaya yang dimaksud di dalam
25
Todung Mulya Lubis, , 1993, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, hlm. 15-16.
26
Ali Achmad,2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana, h.288
implementasinya agar tetap berpatokan pada ide-ide tentang
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitan kepustakaan. Metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-
norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode
penelitian tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research),
yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it
written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge
through judicial process.27
Adapun pada penelitian ini berupaya
mendeskripsikan aturan tentang hukum positif di Indonesia yang mengatur
tentang konsep kebabasan pers.
3.2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk ditemukan jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
27 Anonim, data diakses tanggal 3 April 2011, alvalaible from: URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdf.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdf
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan kompartif
(comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).28
Adapun daam penelitian ini menggunakan dua jenis
pendekatan, yakni pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).
3.3. Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.29
Bahan Hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum
normatif terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.30
Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan antara
lain:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Undang-undang No. 40 Tahun 1999
4. Undang-undang No. 12 Tahun 2005
Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
antara lain, buku-buku ataupun literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum,
pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi yang relevan
28
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 93.
29
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., h.141.
30 Djam‟an Satori, Aan Komariah, Loc.cit.
dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini juga
mempergunakan bahan hukum tersier berupa kamus hukum, internet dan
lain-lain.
3.4. Teknik Pengumplan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini
mempergunakan snowball method (metode bola salju).31
Adapun yang
dimaksud dengan metode bola salju adalah metode menggelinding secara
terus menerus yang mengacu kepada perarturan perundang-undangan, dan
buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan dengan perlindungan
tehadap hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pengumpulan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Selanjutnya bahan hukum yang terdiri dari aturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, buku-buku hukum, jurnal hukum dan lainnya akan
diinventarisasi dan diklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang tengah
dibahas.32
Dengan kata lain, bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah, disistematisasi dan
dianalisis, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini
akan dapat dijawab.
31
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, “Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam
Sistem Peradilan Pidana”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas
Udayana, Denpasar.
32
Johhny Ibrahim, Op.cit, h. 296
3.5. Teknik Analisis
Jika bahan hukum telah berhasil dikumpulkan, maka langkah
berikutnya ialah melakukan analisis terhadap bahan hukum sebagaimana
dimaksud. Teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara
lain sebagai berikut :
1. deskripsi, penggambaran apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum;
2. sistematisasi, upaya mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau
proposisi hukum anatara peraturan hukum yang sedrajat maupun tidak
sedrajat;
3. argumentasi, penjabaran atas alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum yang berguna dalam pembahasan permasalahan hukum;
4. evaluasi, penilaian oleh peneliti terhadap sesuatu yang tertera dalam
bahan hukum yang ada.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Kebebasan Pers Sebagai Bentuk Penyimpangan Pers
Dikenal beberapa jenis HAM yang tergolong HAM generasi
pertama, seperti kebebasan pribadi, kebebasan berpendapat, kebebasan
berserikat dan berkumpul, kebebasan beragama, dan lain-lain.33
Khususnya
mengenai kebebasan berpendapat, secara internasional melalui Konvenan
Internasional Hak-hak sipil dan politik (yang selanjutnya dirtifikasi menjadi
Undang-undang No. 12 Tahun 2005) telah mengatur di dalamnya mengenai
hak untuk berpendapat. Dalam hal ini, hak berpendapat meliputi beberapa
hal seperti ; hak untuk mencari, menerima dan memberikan infomasi dan
pemikiran apapun, terlepas dari segala bentuk pembatasan-pembatasan.
Adapun secara nasional, hak kebebasan berpendapat juga telah diatur secara
implisit di dalam konstitusi, yakni melalui Pasal 28 E ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Boleh
dikatakan, berdasarkan konsep negara hukum, Indonesia telah mengatur
bahkan meratifikasi seganap hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia
(HAM) yang dalam konteks ini dititikberatkan pada hak kekebasan
berpendapat.
33
Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights The protection of Socio-
Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishe,
Boston, h. 6
Pengaruh dari era globalisasi dan serba demokratis yang saat ini
sedang melanda Indonesia, berkonsekuensi setiap orang bahkan organisasi
atau lembaga sosial lainnya dapat dengan leluasa untuk menuangkan
pendapatnya, termasuk melakukan penilaian hingga kritik yang bersifat
pedas terhadap banyak hal. Fenomena semacam ini dapat dibenarkan atas
pemikiran teori demokrasi poliarchy dan menjadi semakin kuat ketika
memperoleh dukungan atas pengakuan terhadap hak untuk mencari,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan infomasi sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 28 F UUD 1945. Bukan dalam artian negatif, para
pihak yang nantinya berkemauan untuk menilai bahkan melakukan kritik
dapat mencari-cari info dan data tentang kesalahan maupun kelemahan dari
obyek yang dikehendaki. Adapun kegiatan semacam ini sangat bersentuhan
dengan kinerja pers yang rutinitasnya bergelut dengan kegiatan jurnalistik.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999
tentang Pers (UU tentang Pers), bahwa yang dimaksud dengan pers adalah
“lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Di mana, pelaku utama dari pers disebut wartawan yang berarti
orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 butir 4 UU tentang Pers. Menurut Oemar Seno Adji dalam
Idri Shaffat34
dalam kaitannya dengan kebebasan pers yang lazim disebut
kemerdekaan pers di dalam UU tentang Pers, maka segenap insan pers
dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan untuk menyampaikan
pendapat namun masih berada dalam batas-batas tertentu dengan syarat-
syarat limitatif dan demokrasi, seperti hukum nasional maupun hukum
internasional.
Jika dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, pers bertindak di luar
apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seperti halnya distorsi
informasi, dramatisasi fakta, serangan privacy, pembunuhan karakter,
eksploitasi seks, meracuni benak/pikiran anak dan penyalahgunaan
kekuasaan. Segenap prilaku ini kerap disebut penyimpangan (deviasi) pers.35
Dengan mengacu pada asas legalitas, baik UU tentang Pers, Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), maupun Kode Etik Jurnalistik telah mengatur bentuk-bentuk
perbuatan yang dilarang dalam suatu kegiatan jurnalistik dengan disertai
sanksi di dalamnya. Sebagai contoh, dikenal dengan adanya delik
penghinaan di dalam Pasal 137, Pasal 144, Pasal 208 dan Pasal 310 KUHP.
Delik kesusilaa di dalam Pasal 282 KUHP.
34
Idri Shaffat, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, h. 84-85.
35
Ibid, h. 107
Diluar KUHP, penyimpangan pers juga diatur di dalam UU tentang
Pers, seperti halnya Pasal 18 ayat (2) tentang pemberitaan oleh pers yang
tidak menghormati norma agama, kesusilaan, asas praduga tak bersalah.
Pasal 13 di dalam undang-undang yang sama juga mengatur ketentuan
serupa, namun penekanannya lebih kepada iklan. Adapun perhatian tentang
penyimpangsn pers juga terakomodir di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Sebut saja dalam Pasal 1365 dan pasal 1372
KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang lain, mewajibkan orang yang salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Tuntutan perdata
tentang hal penghinaan, bertujuan mendapat penggantian kerugian serta
memulihkan kehormatan dan nama baik.
4.2. Upaya Pemerintah Dalam Mengendalikan Kebebasan Pers Sebagai
Bentuk Penegakan HAM
Kebebasan pers dalam bahasa inggrisnya disebut freedom of opinion
and expression dan freedom of the speech.36
Dengan demikian, maka
kebebasan pers dapat kita maknai sebagai kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat atau kreativitas dalam bentuk tulisan atau ekspresi lainnya. Patut
untuk diketahui juga bahwa hak atas kebebasan berpendapat merupakan
salah satu bentuk HAM yang harus dijamin. Deklarasi HAM menyatakan
bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat dan berekspresi,
hak ini mencakup kebebasan untuk memegang pendapat tanpa interferensi,
36
Amir Effendi Siregar, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press,
Yogyakarta, h.8
dan informasi terpisah serta ide-ide melalui media apapun tanpa
pembatasan-pembatasan yang menyebabkan keterkungkungan pers dalam
menjalankan fungsi, tugas dan kewajibannya.37
Disamping itu, kebebasan
berpendapat oleh pers dalam hal ini juga menjadi cermin demokrasi.38
Jadi
kebebasan berpendapat itu sesungguhnya bersifat universal dan oleh
karenanya ia tidak dapat di ganggu gugat (negative rights).
Ketika pengaturan dan pemenuhan atas hak kebebasan berpendapat
telah terakomodir ke dalam lingkup nasional (konstitusi negara), maka kala
itu sifat universal yang ada sebelumnya akan beralih menjadi dapat
dicampuri negara (positive rights). Secara teori, intervensi atau pembatasan
terhadap hak kebebasan berpendapat oleh negara ini juga memperoleh
pembenaran dari teori positivisme yang penjelasannya telah diuaraikan pada
sub sebelumnya. Adapun kemudian menurut Jakob Oetomo bahwa kebasan
pers itu rumit, pelik dan penuh tanggung jawab.39
Sehingga mau tidak mau
di dalam pelaksanaan kebebasan pers harus dipraktikan secara benar sesuai
dengan kaidah-kaidah yang ada.40
Namun hal itu tidak semudah yang
dibayangkan, faktanya kinerja pers di negara-negara berkembang pada
umumnya justru banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
37
Idri Shaffat, Op.cit, h. 78
38
Hafies Cangara, 2011, Komunikasi Politik Konsep, Teori dan Strategi, cet. 3, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 70-71
39
Jakob Oetomo, 1987, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 86
40
Hafies Cangara, Op.cit., h. 86
Kita ambil saja contoh dari negara sendiri, yakni Indonesia.
Implementasi dari kebebasan pers ditandai dengan maraknya pengaduan
masyarakat kepada Dewan Pers menyangkut materi karya jurnalistik yang
telah diterbitkan dan disiarkan oleh media pers. Gambaran secara faktual
dapat kita simak melalui data yang dilansir oleh dewan pers :41
No. Tahun Jumlah Pengaduan
1 2003 101
2 2004 153
3 2005 127
4 2006 207
5 2007 319
6 2008 424
7 2009 442
8 2010 514
9 2011 511
Jumlah 2.798
41
Anonim, Data Pengaduan Masyarakat, data diakses 1 juni 2013, available from : URL :
http://www.dewanpers.or.id,
http://www.dewanpers.or.id/
Nampak jelas bahwa dari tahun ke tahun pengaduan masyarakat
terkait kinerja pers cenderung meningkat. Berdasarkan fakta di atas,
kiranya dapat disimpulkan bahwa kinerja pers selama ini tidak lah
beracuan pada aturan main yang berlaku. Beberapa pengamat pernah
mengatakan bahwa wartawan jika tidak berpegang teguh pada undang-
undang dan kode etik maka ia berpotensi berprilaku jahat, sama halnya
teroris.42
Dengan adanya fenomena semacam ini, era globalisasi dan
serba demokratis sebagaimana disebutkan sebelumnya justru belum
selalu bisa meningkatkan hak-hak azazi manusia.43
Adapun sebaliknya,
dapat dimaknai sebagi era untuk tidak menghormati HAM pihak lain.
Bedasarkan kewenangan yang dimiliki oleh negara terkait
pembatasan atas kebebasan berpendapat, maka pada kesempatan
berikutnya perlu diambil langkah preventif maupun represif sebagai
upaya dalam mengendalikan kebebasan pers. Adapun yang menjadi
contoh konkrit dari langkah prventif ialah dengan disahkannya UU
tentang Pers yang memuat tentang asas, fungsi, hak, kewajiban dan
peranan pers. Selain itu, untuk menjalankan UU tentang pers, wartawan
juga dibekali Kode Etik sebagai pedoman oprasional dalam menegakkan
integritas dan profesionalitas wartawan. Jika nantinya tetap terjadi
tindakan yang menyimpang oleh pers, maka lagkah represif berupa
42
Hafies Cangara, Loc.cit.
43
Alma Kadragic, 2006, Globalization and Human Rights, Chelsea House Publishers,
Philadelphia, h. 99-100
penjatuhan sanksi pidana, perdata maupun etik dapat diterapkan terhadap
pers. Namun dalam ikhwal penjatuhan sanksi tersebut dihimbau agar
tetap berpatokan pada ide-ide tentang keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Dengan demikian kedudukan pers sebagai salah satu
pilar demokrasi akan tetap terjaga eksistensinya.
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Kebebasan pers yang lazim disebut kemerdekaan pers di dalam UU
tentang Pers, berkonsekuensi bahwa pers dalam melaksanakan tugasnya
mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapat namun tetap
berada dalam batas-batas tertentu dengan syarat-syarat limitatif dan
demokrasi, seperti hukum nasional maupun hukum internasional. Jika
dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, pers bertindak di luar apa yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Seperti halnya distorsi informasi,
dramatisasi fakta, serangan privacy, pembunuhan karakter, eksploitasi
seks, meracuni benak/pikiran anak dan penyalahgunaan kekuasaan.
Maka segenap prilaku ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk
penyimpangan (deviasi) pers.
2. Implementasi dari kebebasan pers justru ditandai dengan maraknya
pengaduan masyarakat kepada Dewan Pers menyangkut materi karya
jurnalistik yang telah diterbitkan dan disiarkan oleh media pers. Dari
tahun ke tahun pengaduan masyarakat terkait kinerja pers cenderung
meningkat. Berdasarkan fakta tersebut, tidak tertutup kemungkinan akan
terbentuk sebuah opini bahwa kebebasan pers dapat diartikan sebagai
hak untuk tidak menghormati HAM pihak lain. Oleh karenanya negara
diarasa patut untuk melakukan upaya pengendalian atas kebebasan pers,
baik dalam arti preventif maupun represif dengan tetap bertolak dari ide-
ide tentang keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
5.2. Saran
1. Pers di dalam melaksanakan seluruh kegiatan jurnalistik hendaknya tetap
berpegang teguh pada segenap aturan-aturan yang telah di tetapkan, baik
itu peraturan perundang-undangan maupun kode etik jurnalistik
Sehingga citra dari kebebasan pers nantinya dapat mencerminkan
pertimbangan moral, etis dan tanggung jawab.
2. Negara selaku pihak yang berwenang dalam melakukan upaya-upaya
pengendalian terhadap kebebasan pers, hendaknya tetap berpatokan pada
ide-ide tentang keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan
demikian kedudukan pers sebagai salah satu pilar demokrasi akan tetap
terjaga eksistensinya.
DAFTAR BACAAN
BUKU
Achmad, Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana,
Jakarta.
Alex, Sobur, 2001, Etika Pers Profesionalisme Dengan Nurani, Utama Press,
Bandung.
Cangara, Hafies, 2011, Komunikasi Politik Konsep, Teori dan Strategi, cet. 3, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hamzah A., Wayan Suandra, Manalu, B.A., 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia,
Media Sarana Press, Jakarta.
Jimly Aashiddiqie, 2003, Gagasan Negara Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Kadragic, Alma, 2006, Globalization and Human Rights, Chelsea House
Publishers, Philadelphia.
Moeljatno, 2009, Edisi Revisi Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Muis, A, 1996, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers , Mario grafika, Jakarta.
Oemar, Seno, 1977, Pers dan Aspek-Aspek Hukum, Erlangga, Jakarta.
Oetomo, Jakob, 1987, Perspektif Pers Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Rosihan, Anwar, H., 1996, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, PT. Jurnalindo
Aksara Pustaka dan Gatra, Jakarta.
Shaffat, Idris, 2008, Kebebasan, Tanggung Jawab dan Penyimpangan Pers,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Siregar, Amir Effendi, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII
Press, Yogyakarta.
Sumadiria, Haris, 2008, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media,
Bandung.
Usfunan, Yohanes, 2011, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia,
Udayana University, Denpasar.
TESIS
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, “Kebijakan Formulasi Keadilan
Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana”, (tesis) Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
INTERNET
Anonim, data diakses tanggal 3 April 2011, alvalaible from: URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pd
f.
Anggara, Hak Jawab + Hak Tolak + Hak Koreksi + Kewajiban Koreksi –
Kriminalisasi = Kemerdekaan Pers, data diakses 5 Mei 2013, available
from : URL : http://anggara.org/.
Anonim, Data Pengaduan Masyarakat, data diakses 1 juni 2013, available from :
URL : http://www.dewanpers.or.id,
Gandita Rai Anom, Gagalnya Pembunuhan Karakter Melalui Bali Post, data
diakses 3 juni 2013, available from : URL : http:// www.balebengong.net.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16965/4/Chapter%20I.pdfhttp://anggara.org/http://www.dewanpers.or.id/