Pembangunan Nasional Dengan Sismennas Yg Berkeadilan
-
Upload
bowo-praxosonic -
Category
Documents
-
view
622 -
download
1
Transcript of Pembangunan Nasional Dengan Sismennas Yg Berkeadilan
p
PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN SISMENNAS YANG
BERKEADILAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN
NASIONAL DALAM RANGKA PENANGGULANGAN TERORISME
A. PENDAHULUAN
Sistem manajemen nasional adalah1 suatu sistem yang meliputi faktor karsa, sarana dan
upaya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. Dalam konsepsi Sismennas,,
manajemen merupakan faktor upaya, organisasi sebagai faktor sarana dan embanan Nasional
sebagai faktor karsa yang memberi arah dan pemerpadu keseluruhan proses.
Sebagai suatu sistem, Sismennas merupakan perpaduan dari tata nilai, struktur, fungsi dan proses
secara menyeluruh untuk mencapai tujuan nasional.
Sebagai manajemen, Sismennas adalah rangkaian pengambilan keputusan/ kebijaksanaan
dalam melaksanakan keseluruhan fungsi managerial yang terdiri dari perencanaan, pengendalian
dan penilaian dengan kewenangan pembuatan aturan, penerapan aturan dan pengujian aturan,
dalam rangka pencapaian tujuan secara berdaya dan berhasil guna.
Secara nasional, Sismennas menunjukkan cakupan keseluruhan aspek kehidupan masyarakat,
bangsa dan Negara, serta seluruh bidang, tatanan, wilayah, tingkatan bidang administrasi
pemerintahan.
Salah satu fungsi yang diemban dalam Sistem Manajemen Nasional adalah Fungsi
Penyelenggaraan Pembangunan. Fungsi tersebut diimplementasikan dalam bentuk kebijakan
pembangunan yang harus diterapkan oleh Pemerintah dan segenap jajarannya. Dalam
menetapkan kebijakan pembangunan diperlukan strategi yang matang karena terbukti kesalahan
dalam menetapkan kebijakan pembangunan berdampak fatal terhadap Ketahanan Nasional. Bukti
nyata adalah munculnya pemberontakan di berbagai daerah pada masa awal kemerdekaan
dimana dirasakan tidak meratanya pembangunan nasional. Pada masa globalisasi saat ini
sensitivitas akan hal tersebut semakin tinggi dengan risiko aksi terorisme dan separatisme.
1 Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita, Sistem Manajemen Nasional Dalam Tinjauan Administrasi Publik
p
Dengan demikian diperlukan perhatian khusus terhadap penyelenggaraan pembangunan
nasional sebagai bagian dari Sistem Manajemen Nasional.
B. PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Kabinet pertama2 di Indonesia yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945 disebut sebagai Kabinet Presidensial masih bersifat formal dan belum dapat
melaksanakan roda pembangunan dan pemerintahan. Program kabinet tersebut pun tidak pernah
diumumkan.
Pasca pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, Bangsa Indonesia masih mengalami masalah
perekonomian yang kompleks. Kondisi perekonomian masih dikuasai asing, sehingga pada masa
pemerintahan Kabinet Natsir (1950-1951), Soemitro Djoyohadikusumo sebagai ekonom
sekaligus Menteri Perdagangan pada saat itu menggagas gerakan ekonomi yang disebut Program
Benteng. Program ini bertujuan melindungi usaha-usaha pribumi dengan mengucurkan kredit
bagi pengusaha lokal dalam rangka membangun struktur ekonomi nasional (Pembangunan
Ekonomi Indonesia). Pada akhirnya tujuan program tersebut tidak tercapai dengan baik, bahkan
berdampak pada defisit negara.
Kabinet Natsir hanya bertahan selama dua tahun, demikian juga kabinet-kabinet setelahnya
hanya bertahan rata-rata satu atau dua tahun. Program dari tiap kabinet tersebut bersifat jangka
pendek, kecuali dimulai pada Masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun. Kabinet terakhir pada masa Demokrasi Liberal adalah Kabinet
Djuanda (1957-1959).
Beberapa pencapaian penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan telah dihasilkan oleh
setiap kabinet yang pernah berkuasa. Namun ternyata semua pencapaian tersebut tidak mampu
menahan “kekecewaan” daerah khususnya di luar jawa. Hal ini dikarenakan Penyelenggaraan
Pembangunan Nasional masih tersentralisasi di Jawa oleh Pemerintah Pusat sehingga menyulut
ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
2 Manggala BP-7 Pusat. 1985. Susunan Kabinet Republik Indonesia.
p
Tahun 1953 – 1962 Indonesi bergolak3, daerah-daerah menuntut otonomi hingga meningkat
dengan pecahnya perang. Prof. Dr. R.Z. Leirissa, sejarahwan UI, menyebutkan adanya
ketidakpuasan di daerah-daerah terhadap sistem pembangunan saat itu. Ketidakpuasan
tersebut yang kemudian didukung oleh beberapa perwira Tentara Nasional dan tokoh politik
nasional semakin memperkuat daerah yang pada akhirnya dijawab oleh pemerintah pusat dengan
Operasi Militer.
Masih dalam dekade yang sama, satu aksi terorisme terjadi di Jakarta pada 30 November
1957 dikenal dengan Peristiwa Cikini, aksi peledakan granat di area SD Sekolah Perguruan
Cikini dengan target pembunuhan Presiden Soekarno. Peristiwa ini oleh pemerintah pusat pada
saat itu dikaitkan dengan perlawanan yang ada di daerah sehingga hasil Musyawarah Nasional
(Munas) 1957 yang seharusnya dapat mengakomodir tuntutan daerah dibekukan. Ironisnya pada
hari yang sama 30 November 1957, sebagaimana hasil Munas sedang dilangsungkan
Musyawarah Pembangunan Nasional. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan nasional
semakin terhambat.
Masalah yang kompleks pada era Orde Lama tersebut secara tidak langsung menunjukkan
adanya kegagalan sistem manajemen nasional sebagai fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
fungsi penyelenggaraan pembangunan.
Pada era Orde Baru, Sistem Manajemen Nasional dalam fungsi Penyelenggaraan
Pembangunan, secara administratif menjadi lebih sistematis. Hal ini terlihat dari adanya
pedoman dan landasan yang jelas dan terencana dalam rangka pembangunan nasional. Pada era
ini dicetuskan Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan sebagai pedoman
pembangunan nasional. Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional adalah ketetapan
MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum dalam penjabaran perencanaan
pembangunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Periode awal periode pemerintahan Orde Baru diwarnai dengan kebijakan pembangunan
yang berfokus pada angka pertumbuhan ekonomi dengan membuka peluang besar masuknya
modal asing. Dalam menggambarkan situasi konkret, Hariman Siregar selaku Ketua Dewan
3 Nasionalisme Sang Pemberontak. Metro Files-Metro TV. 2010.
p
Mahasiswa UI pada tahun 1973, menggambarkan bahwa perekonomian negara pada waktu itu
ditopang oleh lima sektor4. Lima sektor tersebut yaitu:
1. Bantuan Luar Negeri,
2. Modal Asing,
3. Ekspor Karet,
4. Minyak Bumi,
5. Kayu.
Sedangkan sebagaimana diketahui bahwa peningkatan hasil karet, minyak bumi dan kayu pun
tidak mungkin tanpa ditunjang oleh sumber-sumber luar pada poin 1 & 2. Dengan demikian
bantuan luar negeri dan modal asing merupakan faktor pokok dalam perekonomian negara.
Dalam tempo yang relatif singkat pada Repelita I dapat dilihat dari makro ekonomi di atas
kertas, terlihat prestasi yang mengesankan. Inflasi dapat ditekan, situasi moneter terkendali dan
laju pertumbuhan ekonomi meninggi. Namun menurut Dorodjatun Kuntjoro Jakti, 80% biaya
investasi pembangunan justru datang dari luar negeri.5
Keadaan utang luar negeri hingga akhir 1973 dari Intergovermental Group on Indonesia
(IGGI) saja mencapai US$ 2,73 miliar. Situasi tersebut sangat serius mengingat Orde Baru pada
saat itu baru berusia tujuh tahun. Konsekuensi yang sangat mungkin ditimbulkan di masa datang
tentu sangat mahal, masyarakat kecil akan menjadi lebih berat kehidupannya. 6
Pemerataan pembangunan fisik kala itu sudah lebih baik dibanding pemerintahan
sebelumnya namun tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan non-fisik.Pemikiran yang
mendasari konsep pembangunan nasional lebih banyak dipengaruhi pemikiran materialisme atas
hasil ekonomi dan pembangunan fisik.7 Ini terjadi akibat adanya arogansi sektoral yang
4 Imran Hasibuan dkk. 2011. Hariman & Malari, Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing. Jakarta : Q-
Communication. 5 Eep Saefulloh Fatah. 2010.Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik Malari,Petisi 50,
dan Tanjung Priok. Jakarta: Burung Merak Press. 6 Ingrid Palmer. 1978. The Indonesian Economy since 1965: A Case Study of Political Economy. London: Frank Cass.
7 Sunan Mursyid Syamsudin (Dir. LSDP, alumni FE-UI). Visioner Neo-Kolonialisme Peradaban: Fundamental Error
Pemikiran Ekonomi-Pembangunan Indonesia. www.iluni.or.id. ikatan alumni FE UI.
p
menimbulkan ketimpangan antarsektor dalam pembangunan. Muncul pula ekses lain yaitu
merajalelanya korupsi dan mislokasi keuangan negara seperti dalam proyek TMII.8
Kondisi ini mendorong terorganisirnya gerakan mahasiswa tahun 1973 yang mengkritisi
kebijakan pemerintah dengan mengusung pemikiran strategi pembangunan alternatif untuk
membereskan masalah ketergantungan dan menyusun kekuatan ekonomi dalam negeri. Puncak
dari gerakan ini adalah demonstrasi mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 yang sering disebut
dengan Peristiwa Malari.
Pasca peristiwa Malari, pemerintah menjadi represif terhadap gerakan-gerakan oposisi
sehingga kebijakan pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Hasil-hasil
pembangunan fisik pada masa orde baru sudah terdistribusi hingga ke daerah-daerah.
Pertumbuhan ekonomi yang tercatat pun cukup mengesankan. Meskipun demikian porsi hasil
pembangunan pada era itu lebih banyak dinikmati oleh kalangan-kalangan tertentu terpolarisasi
di wilayah penguasa hingga munculah konglomerasi dan kesenjangan sosial. Artinya pemerataan
pembangunan tidak berkeadilan.
Ironis, pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan secara serius dan tidak
dipersiapkannya penguatan ekonomi dalam negeri yang mantap sehingga ketika terjadi krisis
ekonomi pada tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun
di atas fondasi yang rapuh.
Penyebab utama runtuhnya orde baru adalah krisi moneter tahun 1997.9 Sejak tahun 1997
kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk, sedangkan KKN semakin merajalela dan
kemiskinan rakyat terus meningkat. Momentum ini menggerakkan mahasiswa untuk melakukan
perubahan dengan demonstrasi. Upaya represif yang ditunjukkan pemerintah dengan jatuhnya
korban pada peristiwa Trisakti justru semakin menyulut semangat para mahasiswa untuk
menuntut Reformasi. Demonstrasi besar-besaran dengan mengusung tuntutan Reformasi
merupakan puncak dari ekspresi kekecewaan terhadap ketidakadilan pembangunan nasional oleh
pemerintah Orde Baru. Pada akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei
1998.
8 Hariman Siregar.1995.Gerakan Mahasiswa 1970an , makalah pengantar diskusi yang diselenggarakan mahasiswa
Indonesia di Kanada dan Amerika Serikat. 9 Sanusi Fattah. Berakhirnya Masa Orde Baru dan Lahirnya Reformasi. www.crayonpedia.org
p
Orde Reformasi yang tumbuh bersama globalisasi saat ini ternyata tidak sepenuhnya
mengambil pelajaran dari kasalahan-kesalahan pemerintahan yang lalu. Padahal dengan gebyar
globalisasi tantangan Indonesia justru semakin besar. Sejak akhir tahun 1998 saat akhir
pemerintahan Soeharto, hingga masa pemerintahan Megawati, keadilan harus dikorbankan oleh
segerbong agenda untuk penyelesaian masalah kronis bangsa-negara, yakni membayar utang,
privatisasi, mengejar pemasukan negara, memelihara momentum pertumbuhan, pengurangan
campur tangan pemerintah (liberalisasi), menjaga nilai tukar rupiah dsb. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa tidak ada perubahan paradigma pembangunan nasional.
Fakta yang menjadi bukti ketidakadilan tersebut salah satunya adalah mengenai alokasi &
distribusi dana BLBI, Kredit program pemerintah dan proyek-proyek APBN, proyek-proyek
BUMN yang sebagian besar untuk pengusaha besar. Setelah kredit macet-pun, pengusaha besar
memperoleh keringanan dan pengampunan. Sedangkan alokasi & distribusi BLBI dan kredit
program serta APBN untuk sektor kecil-menengah tidak mencapai 20%. Setelah macet, tidak ada
keringanan dan dipaksa aset (berupa rumah tinggal) disita dan dilelang.10
Kesalahan mendasar dalam Paradigma Pembangunan yang ditetapkan sebagai Strategi dan
kesalahan dalam pemikiran yang melandasi pembangunan ekonomi telah ditempuh sejak Orde
baru hingga saat ini.11
Kesalahan terbesar salah satunya adalah kesalahan dalam penetapan
strategi-kebijakan pembangunan yang mengorbankan prinsip keadilan dengan menempatkan
prioritas pada pembangunan fisik-ekonomi sebagai kaidah dasar. Pembangunan Non-fisik yang
bertujuan membawa kemajuan manusia (cerdas,sehat,aman) dan kesejahteraan hanya
memperoleh porsi perhatian yang hanya mencukupi untuk manusia Indonesia maju pelan-pelan,
dan akibat krisis nasional, bahkan mayoritas rakyat hanya sekadar bertahan hidup.12
Paradigma pembangunan yang dianut Indonesia sampai sekarang dan negara-negara lain
yang menganutnya dimana terlalu berfokus pada mengejar pertumbuhan ekonomi, dalam tataran
internasional paradigma tersebut telah dikritik. Pembangunan jauh lebih luas dari sekadar
pertumbuhan (growth). Pembangunan tidak hanya fenomena kuantitatif berupa stabilitas
ekonomi makro seperti pertumbuhan yang tinggi, inflasi di bawah 10 % dan tingkat bunga yang
10
Sunan Mursyid Syamsudin (Dir. LSDP, alumni FE-UI). Visioner Neo-Kolonialisme Peradaban: Fundamental Error Pemikiran Ekonomi-Pembangunan Indonesia. www.iluni.or.id. ikatan alumni FE UI. 11
sda. 12
sda.
p
rendah, kurs mata uang yang stabil, jumlah devisa yang besar serta berbagai indicator moneter
lainnya. Namun Pembangunan juga harus berkaitan dengan indicator kualitatif berupa tingginya
kesejahteraan yang dicerminkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang makin
rendah serta proses transformasi kualitas masyarakat berupa etos kerja, kecerdasan,
produktivitas, efisiensi, kebebasan dan tanggung jawab, hak asasi manusia, keamanan serta cara
hidup dan peradaban yang makin tinggi dalam standar dunia modern.
Pada era Reformasi ini suara kekecewaan terhadap pemerintah dan pelaksanaan
pembangunan sudah sering didemonstrasikan di ibukota negara maupun di kota-kota lain di
Indonesia. Bahkan ekspresi kekecewaan sudah semakin sporadis dengan aksi terorisme.
C. KEGAGALAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN TERORISME
Fakta sejarah mengenai buruknya sistem manajemen khususnya dalam rangka
penyelenggaraan pembangunan telah berdampak pada kekecewaan yang dirasakan mayoritas
elemen bangsa yang tidak tersentuh hasil-hasil pembangunan secara adil. Aksi-aksi
“perlawanan” terhadap sistem tersebut selalu mewarnai di sepanjang perjalanan sejarah
Indonesia, di era Orde Lama, Orde Baru dan bahkan sampai dengan era Reformasi hari ini.
Kondisi yang semakin memberikan tantangan adalah ketika Orde Reformasi saat ini tampil
memimpin proses pembangunan nasional, ekonomi dunia sedang memasuki era baru Globalisasi.
Apabila kesalahan manajemen pembangunan terulang pada era ini, risikonya semakin besar
karena pertaruhan nasib rakyat di era globalisasi jauh lebih tinggi dengan persaingan yang lebih
keras.
Pada dasarnya aksi “perlawanan” tersebut dengan beragam cara dan metodenya merupakan
perwujudan dari ekspresi kekecewaan yang diderita akibat ketidak-adilan yang menimpanya.
Ted Robert Gurr, seorang sisiolog yang mendalami konflik sosial-politik, menyatakan Teori
Deprivasi Relatif yang ditulis di dalam bukunya berjudul Why Men Rebel (1970). Teori
Deprivasi Relatif13
menyatakan tentang kekecewaan akibat adanya kesenjangan antara harapan
yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi. Perasaan kecewa tersebut berpengaruh terhadap
13
T.R. Gurr.1970. Why Men Rebel. New Jersey : Princeton University Press.
p
perilaku, sikap, termasuk pandangan politik seseorang atau kelompok yang pada akhirnya akan
mengarah pada tindakan terhadap lingkungan sosial di sekitarnya.
Teori Deprivasi Relatif terutama menjelaskan kenapa orang melakukan aksi protes,
pemberontakan, terorisme atau perilaku agresif massal lainnya. Aksi yang mewarnai Indonesia
sejak masa Orde Lama hingga saat ini yang beberapa diantaranya disebutkan pada uraian
Penyelenggaraan Pembangunan Nasional di atas, dapat dijelaskan dengan Teori Deprivasi
Relatif ini.
Teori Deprivasi Relatif dikategorikan menjadi dua yaitu:
1. Deprivasi Relatif Egoistik (DRE)
Kategori ini merujuk pada orang yang kecewa ketika dia membandingkan kondisinya
dengan orang atau kelompok lain dan mendapati adanya kekurangan dari dirinya
dibanding orang atau kelompok lain.
2. Deprivasi Relatif Fraternalistik (DRF)
Deprivasi Relatif Fraternalistik adalah kekecewaan suatu kelompok ketika
membandingkan kondisinya dengan kelompok lain. Dalam studi lebih lanjut oleh para
sosiolog untuk menguji teori tersebut, terbukti bahwa DRF lebih berpotensi mendorong
tindakan ekstrim dan militan dibanding DRE.
Demokrasi yang merupakan wujud kritik atas ortoritas klerikal yang imperialis, dominan,
represif dan monolitik14
sejatinya menawarkan konsepsi ideal yang dapat menjadi jalan mudah
untuk mencairkan konflik. Dengan penerapan yang benar secara maksimal dan efektif,
demokrasi seharusnya mampu memberi solusi atas beragam kekecewaan atas ketidak-adilan
yang dirasakan rakyat.
Namun pada kenyataannya, media dialog dan komunikasi yang seharusnya difasilitasi oleh
lembaga wakil rakyat tidak berjalan dengan efektif. Beragam kasus tidak bermoral yang terkuak
di DPR semakin memiskinkan kepercayaan rakyat.
Dalam kondisi demikian, rakyat harus berjuang sendiri dengan segala ekspresi. Kekecewaan
yang diekspresikan di tengah proses demokratisasi negara Indonesia yang masih 2/3 jalan ke
14
Mark E Warren.1999. Democracy and Trust. Cambridge University Press.
p
batas aman berdemokrasi ini15
masih mendapat ruang longgar untuk ter-ekspresi dalam berbagai
bentuk bahkan yang mengarah kepada kekerasan dan aksi Terorisme.
Paradigma pembangunan yang dianut Indonesia sampai sekarang dan negara-negara lain
yang menganutnya dimana terlalu berfokus pada mengejar pertumbuhan ekonomi, dalam tataran
internasional paradigma tersebut telah dikritik. Pembangunan jauh lebih luas dari sekadar
pertumbuhan (growth). Pembangunan tidak hanya fenomena kuantitatif berupa stabilitas
ekonomi makro seperti pertumbuhan yang tinggi, inflasi di bawah 10 % dan tingkat bunga yang
rendah, kurs mata uang yang stabil, jumlah devisa yang besar serta berbagai indikator moneter
lainnya. Namun Pembangunan juga harus berkaitan dengan indicator kualitatif berupa tingginya
kesejahteraan yang dicerminkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan yang makin
rendah serta proses transformasi kualitas masyarakat berupa etos kerja, kecerdasan,
produktivitas, efisiensi, kebebasan dan tanggung jawab, hak asasi manusia, keamanan serta cara
hidup dan peradaban yang makin tinggi dalam standar dunia modern.16
Kenyataan adanya desakan Globalisasi dan eksistensi paradigma pembangunan liberal dapat
merapuhkan ekonomi rakyat dalam negeri dan menggiring bangsa Indonesia menjadi penonton
di negeri sendiri. Situasi ini dapat dikaitkan dengan probabilitas peningkatan tensi kekecewaan
dimana berdasarkan teori Deprivasi Relatif merupakan faktor mendasar terjadinya aksi-aksi
Terorisme.
Kondisi tersebut bukan lagi ada di angan-angan belaka. Jumlah kasus Terorisme semakin
meningkat mulai tahun 2000. Peningkatan aksi terorisme berada pada rentan waktu yang sama
dengan peningkatan tensi kekecewaan publik terhadap manajemen pembangunan nasional yang
dijalankan pemerintah. Indikator kekecewaan tersebut dapat dilihat dari maraknya demonstrasi,
opini publik di media masa dan elektronik serta maraknya kerusuhan sosial.
Pada awal tahun 2011 pemerintah melaporkan pencapaian-pencapaian pembangunan 2010 yang
memuaskan.17
Antara lain pertumbuhan ekonomi sekitar 6%, inflasi 6,28%, kurs rupiah sekitar
Rp. 9.000 per dolar AS, jumlah devisa yang terbesar sepanjang sejarah bangsa sekitar US$95
15
AM. Hendropriyono.2010. Terorisme Dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional. www.rimanews.com. 16
Michael P Todaro.1981.Economic Development in Third World. London: Longman. 17
Redaksi Media Indonesia. www.mediaindonesia.com
p
miliar, IHSG sekitar Rp. 3.700 serta outstanding perbankan sekitar Rp.2.700 triliun ditambah
perbankan syariah sekitar Rp.70 triliun. 18
Kemiskinan turun dari sekitar 14,5% menjadi 13,3% atau sekitar 31,5 juta jiwa.
Pengangguran dari sekitar 10% menjadi 9%. Khusus untuk dua hal terakhir (kemiskinan dan
pengangguran) harus mendapat catatan khusus. Kemiskinan yang garisnya sekitar Rp. 215.000
per bulan sebagai pendapatan seharusnya dikategorikan sebagai extreme poverty (melarat).
Karena mereka yang berpendapatan sekitar Rp. 300.000 per bulan saja hidup dengan rumah
hamper roboh, beralaskan tanah, dan terkadang makan hanya sekali sehari. Bahkan menurut
Bank Dunia kategori penduduk miskin adalah mereka dengan penghasilan US$2 per hari atau
sekitar Rp. 540.000, maka dengan standar tersebut akan lebih realistis jika sekitar 49% dari
penduduk Indonsia (sekitar 116 juta jiwa) tergolong miskin.19
Juga masalah penganggur terbuka yang diukur bekerja hanya dengan 1 jam seminggu dinilai
terlalu longgar. Belum lagi setengah penganggur dan penganggur tersembunyi yang kesemuanya
sekitar 30%. Jadi problem pengangguran masih lebih dari 42 juta jiwa.20
Kekecewaan muncul di tengah publik karena jarak antara harapan dan kenyataan masih jauh
bahkan menjauh. Pemerintah ngotot dengan seluruh pencapaian numerik yang membaik, tetapi
publik tidak merasakan perubahan substantive. Laju pertumbuhan ekonomi yang membaik dan
membesar dalam hitungan pemerintah tidak menyentuh perubahan substantif di bidang lapangan
pekerjaan dan pengangguran serta jumlah orang miskin. Dan disinilah, ketika banyak
pengangguran dan orang miskin, kaderisasi terorisme semakin subur.
D. URGENSI UPAYA REORIENTASI MENUJU SISMENNAS YANG BERKEADILAN
Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, Penyelenggaraan Pembangunan Nasional
telah mengalami kegagalan dengan masalah utama yaitu berjalannya Sistem Manajemen yang
tidak berkeadilan. Hasil dari penerapan sistem yang selama ini dijalankan adalah rapuhnya
ekonomi dalam negeri yang juga berdampak pada tingginya kesenjangan sosial-ekonomi. Pada
18
Didin S Damanhuri (Guru Besar Ekonomi-Politik IPB).2011.Outlook Pembangunan 2011.www.mediaindonesia.com 19
Didin S Damanhuri (Guru Besar Ekonomi-Politik IPB).2011.Outlook Pembangunan 2011.www.mediaindonesia.com 20
sda.
p
situasi ini kekecewaan publik akan semakin mendorong pada ekspresi-ekspresi dalam aksi
kekerasan dan melemahkan ketahanan nasional.
Sistem Manajemen Nasional merupakan fondasi dari keseluruhan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan dan fungsi penyelenggaraan pembangunan. Dengan perbaikan pengelolaan
menjadi Sistem Manajemen yang berkeadilan dapat menjadi kunci dari masalah berantai yang
berujung pada Terorisme dan aksi lainya yang dapat mengancam Ketahanan Nasional.
Eksistensi globalisasi saat ini menuntut dipercepatnya upaya-upaya perbaikan sistem manajemen
nasional khususnya dalam fungsi Penyelenggaraan Pembangunan.
Penyelenggaraan Pembangunan Nasional dengan Sismennas yang berkeadilan akan
mengahsilkan pemerataan hasil-hasil pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Konsekuensi
dari perhatian terhadap pembangunan non-fisik salah satunya adalah keterlibatan rakyat secara
merata dan aktif dalam roda perekonomian di tengah globalisasi. Hal ini dengan sendirinya akan
memperkuat Ketahanan Nasional sekaligus menutup kesempatan berkembangnya kaderisasi
teroris di Indonesia.
---prakoso B / 2011---