Pembahasan Lapsus Edit

3
Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi yaitu pasien dalam keadaan demam (suhu 37,9 o C) sejak 2 hari SMRS. Tonsil tampak membesar T 4 – T 3 , hiperemis, permukaan tonsil tampak tidak rata, uvula tampak lengket pada tonsil kanan, terdapat detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa tonsilitis kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil tampak hiperemis, kriptae melebar, ada detritus dan perlengketan. Sedangkan tonsilitis kronis yang tidak mengalami eksaserbasi, tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak hiperemis, kriptae juga nampak melebar, ada detritus dan perlengketan, namun tidak tampak ada tanda-tanda peradangan seperti pada tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda infeksi pada pasien ini. Pada pasien ini pula ditemukan abses pada tonsil kiri. Tonsil kiri tampak edema dan lebih hiperemis daripada tonsil kanan. Abses intratonsiler merupakan salah satu komplikasi dari peradangan kronis tonsil ke daerah sekitar. Menurut kepustakaan, abses ini adalah akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kriptae pada tonsilitis folikular akut. Tonsil terlihat membesar dan merah. Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh tidak bisa makan selama 3 hari akibat keluhan nyeri menelan yang dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 24 tpm; injeksi antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi

description

lapsus

Transcript of Pembahasan Lapsus Edit

Page 1: Pembahasan Lapsus Edit

Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi yaitu pasien dalam

keadaan demam (suhu 37,9 oC) sejak 2 hari SMRS. Tonsil tampak membesar T4 – T3,

hiperemis, permukaan tonsil tampak tidak rata, uvula tampak lengket pada tonsil kanan,

terdapat detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa tonsilitis

kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil tampak hiperemis, kriptae melebar, ada

detritus dan perlengketan. Sedangkan tonsilitis kronis yang tidak mengalami eksaserbasi,

tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak hiperemis, kriptae juga nampak

melebar, ada detritus dan perlengketan, namun tidak tampak ada tanda-tanda peradangan

seperti pada tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan

leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda infeksi pada pasien ini.

Pada pasien ini pula ditemukan abses pada tonsil kiri. Tonsil kiri tampak edema dan

lebih hiperemis daripada tonsil kanan. Abses intratonsiler merupakan salah satu komplikasi

dari peradangan kronis tonsil ke daerah sekitar. Menurut kepustakaan, abses ini adalah

akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kriptae

pada tonsilitis folikular akut. Tonsil terlihat membesar dan merah.

Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh tidak bisa makan

selama 3 hari akibat keluhan nyeri menelan yang dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien

ini diberikan terapi cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 24 tpm; injeksi antibiotik

(ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi analgetik (ketorolac 3 x 1 ampul); dan pasien diberikan

injeksi ranitidine 2 x 1 ampul. Ranitidine merupakan antagonist reseptor H2 yang dibekerja

dengan cara menekan sekresi asam lambung. Diberikan obat antagonist reseptor H2 dengan

pertimbangan pasien tidak bisa makan selama 3 hari, sehingga tidak ada makanan yang

dicerna oleh lambung, dan bisa terjadi peningkatan asam lambung.

Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis kronis terdiri atas terapi

medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa ditujukan pada hygiene mulut dengan

cara berkumur atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat

irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita tonsilitis kronis eksaserbasi akut

berupa cephaleksin (golongan sefalosporin generasi pertama) ditambah metronidazole,

klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam

klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis). Pada pasien ini berikan antibiotik

golongan sefalosporin generasi kedua yaitu ceftriaxone. Ceftriaxone bekerja untuk bakteri

gram positif dan bakteri gram negatif. Tidak sama dengan kepustakaan, pada pasien ini tidak

Page 2: Pembahasan Lapsus Edit

mendapat terapi tambahan berupa metronidazole dan klindamisin, hanya mendapat satu terapi

antibiotik yaitu ceftriaxone.

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman

patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme

patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang

inadekuat. Oleh karena itu, sebaiknya pada pasien dilakukan kultur tonsil untuk mengetahui

secara pasti bakteri penyebab infeksi agar pasien dapat diberikan antibiotik yang tepat.

Menurut kepustakaan, gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.

Umumnya kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus β hemolitikus diikuti

Stafilokokus aureus.

Pada follow up hari pertama (26 Mei 2015), keluhan nyeri menelan pasien sudah

berkurang, tidak demam, dan bisa makan-minum dengan baik. Adanya keluhan mata bengkak

setelah pemberian obat ketorolac intravena saat pasien diantar dari IGD ke ruangan rawat

inap. Di duga pasien mengalami alergi. Hasil pemeriksaan faring didapatkan pembesaran

tonsil sudah berkurang, besar tonsil T3 (kanan), T3 (kiri), masih disertai kriptae yang melebar,

adanya detritus, dan sedikit hiperemis. Untuk tatalaksana tetap dilanjutkan terapi sebelumnya

yaitu diberikan infus D5:RL 1:1 24 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram (hasil skin test negatif),

ranitidin 2x1 IV, dan Norages® (analgetik-anti inflamasi). Pada pasien ini injeksi ketorolac

dihentikan, karena diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien.

Pada follow up hari kedua