Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan
-
Upload
ahmad-thubuleu -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
description
Transcript of Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan
Menyelamatkan Serak Jawa (Tyto alba) Di Tengah Pembangunan Gedung UNY
I. Latar Belakang
Burung merupakan satwa yang dapat dijumpai hampir di semua habitat; mulai dari
habitat perairan, hutan hingga pegunungan. Selain itu, perkotaan atau kawasan
permukiman yang menjadi hunian manusia, ternyata juga dapat menyediakan
kebutuhan hidup bagi berbagai jenis burung. Burung-burung tersebut mampu
berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada. Berbagai jenis
burung memanfaatkan dengan baik berbagai bentuk hasil ciptaan manusia, seperti
gedung, taman, hutan buatan, dan sebagainya untuk hidup, mencari makan,
bersarang dan berkembang biak.
Kota Yogyakarta sendiri yang telah lama dikenal sebagai kota pelajar dan budaya
juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung. Pada berbagai kawasan burung-
burung dapat dengan mudah dijumpai. Sebagai contoh, kawasan Kampus UNY
Karangmalang menjadi habitat bagi 29 jenis burung. Enam jenis diantaranya
dikategorikan melimpah, seperti Burung Gereja-erasia (Passer montanus), Cucak
kutilang (Picnonotus aurigaster) dan Bondol jawa (Lonchura leucogastroides)
(Wibowo:2004). Di Kebun Binatang Gembira Loka dilaporkan terdapat 20 jenis
burung (Sin, 2002:43-44). Kampus UGM juga menjadi habitat bagi beraneka jenis
burung, misalnya Cangak abu (Ardea cinerea) yang menghuni Arboretrum
Fakultas Biologi dan hutan buatan Fakultas Kehutanan.
Dari berbagai jenis burung yang ada, di kota Yogyakarta juga terdapat burung
hantu atau Serak Jawa (Tyto alba). Serak Jawa merupakan burung nokturnal dan
termasuk ke dalam kelompok burung pemangsa. Berdasar hasil pengamatan dari
beberapa pengamat burung, Serak Jawa dapat dijumpai di Kampus UNY, Kampus
UGM, Kampus UPN, Candi Prambanan dan beberapa tempat lain.
Informasi terbaru dari pengamat burung BIONIC menyebutkan bahwa di Gedung
perpustakaan pusat UNY terdapat Serak Jawa yang bersarang di sana. Gedung
tersebut merupakan pusat aktivitas literatur yang ada di UNY. Namun kebijakan
renovasi terhadap gedung ini secara langsung akan berdampak pada kondisi sarang
dan kehidupan burung nokturnal tersebut.
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
Serak Jawa sebagai burung pemangsa yang hidup di area perkotaan memiliki peran
khusus. Prawiradilaga et al (2003:1), menyebutkan bahwa keberadaan burung
pemangsa dalam suatu ekosistem sangat penting, karena posisinya sebagai
pemangsa puncak dalam piramida atau rantai makanan. Dengan demikian bila ada
gangguan terhadap mereka, maka akan terganggu pula rantai dan jaring-jaring
makanan dalam ekosistem tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Rencan pemugaran gedung perpustakaan tersebut sangat beresiko terhadap
kelangsungan kehidupan Serak Jawa. Selain kedudukannya terancam, juga
menimbulkan kekhawatiran penurunan jumlah populasinya. Pada kenyataannya,
masih banyak informasi yang belum diketahui dari keberadaan burung tersebut,
misalnya estimasi populasi, lokasi keberadaan sarang, karakteristik habitat sarang
dan aktivitas hariannya. Pengetahuan mengenai hal di atas menjadi penting untuk
diketahui sebelum melakukan upaya lebih jauh terkait dengan rencana pemugaran
gedung maupun penyelamatan Serak Jawa dari aktivitas tersebut.
II. Profil Kota Yogyakarta Sebagai Habitat Burung
Menurut Salim (1986:200), kota lahir sebagai akibat pemusatan penduduk pada
satu tempat dan ruang tertentu. Pemusatan permukiman penduduk ini didorong
oleh berbagai hal yang memberi ciri khas kepada kota.
Dalam kota, terjadi berbagai macam interaksi antarpenduduknya. Segala jenis
kegiatan, baik perdagangan, jasa, pembangunan, dan sebagainya yang pada
awalnya merupakan bentuk interaksi antarmanusia sebagai penghuni kota, pada
akhirnya juga membawa dampak pada lingkungan hidup.
Kota bila dipandang sebagai sebuah lingkungan hidup, terdapat juga komponen-
komponen yang menyusunnya. Dalam Tandjung (2002:1), disebutkan bahwa
lingkungan hidup tersusun atas sumberdaya alam non hayati sebagai komponen
lingkungan fisik (abiotic environment), sumberdaya alam hayati sebagai komponen
lingkungan biologi (biotic environment), serta sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan sebagai hasil karya dan karsa manusia disebut sebagai
komponen lingkungan kebudayaan (cultural environment) atau lingkungan sosial-
ekonomi-budaya (sosekbud). Konsep ini menyatakan bahwa lingkungan hidup
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
Kawasan kota Yogyakarta masuk dalam fisografi dataran kaki fluvio vulkanik
Merapi. Topografi relatif datar antara 0-2%; curah hujan antara 1700-2500 mm/th.
Dengan luas wilayah yang hanya 1% dari luas Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, kepadatan penduduknya merupakan yang tertinggi dibandingkan
dengan wilayah DIY yang lain, yakni 15.414 jiwa per km2 (BPS, 2001:63). Hal ini
menciptakan tata ruang yang terpusat pada penyediaan kebutuhan manusia, seperti
perumahan, gedung, pasar, dan sebagainya.
Kota Yogyakarta sebagai sebuah lingkungan hidup, mengandung sumberdaya alam
hayati yang merupakan komponen lingkungan biologi. Salah satu sumberdaya
alam hayati yang terdapat di kota Yogyakarta adalah burung. Kawasan-kawasan
yang terdapat di kota Yogyakarta diketahui menjadi habitat bagi berbagai jenis
burung. Di kawasan Kampus UNY Karangmalang misalnya, dapat dijumpai 29
jenis burung. Burung-burung tersebut memiliki karakteristik masing-masing dalam
memanfaatkan habitat yang ada.
Bila dikategorisasikan, terdapat 3 kategori burung dalam pemilihan habitat
bersarang, yaitu burung-burung yang bersarang pada pohon, burung-burung yang
bersarang di semak atau perdu dan burung-burung yang memanfaatkan bangunan
sebagai tempat bersarang (Wibowo, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa burung-
burung yang hidup di area perkotaan dengan karakteristik lingkungan bentukan
manusia, burung-burung dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi
tersebut.
Sebagai salah satu kampus dengan keanekaragaman burung yang sangat tinggi,
merupakan suatu kekhawatiran apabila terjadi pembangunan tanpa memperhatikan
etika lingkungan. Banyak lokasi yang pada awalnya merupakan daerah yang
disukai burung, sekarang telah berubah menjadi gedung-gedung baru. Hal ini pula
yang terjadi pada sarang Serak Jawa. Pemugaran gedung perpustakaan tanpa
memperhatikan norma-norma lingkungan bisa jadi mengakibatkan hilangnya
populasi Serak Jawa di kampus ini.
III. Serak Jawa (Tyto alba)
Serak Jawa (Tyto alba) merupakan salah satu burung pemangsa (raptor), disebut
juga sebagai bird of prey. Burung pemangsa secara teori mencakup semua burung
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
yang memangsa hewan lain, tetapi karena spesies burung pemakan ikan dan
serangga dibicarakan tersendiri, maka istilah burung pemangsa hanya
dipergunakan bagi dua ordo burung, yakni burung pemangsa siang (ordo
Falconiformes) dan burung pemangsa malam (ordo Strigiformes).
Secara umum, burung pemangsa memiliki paruh yang berkait untuk mencabut
daging mangsanya, dan tungkai kuat dengan cakar untuk menerkam mangsa,
mencengkeram dan membunuhnya. Selain itu, kedua ordo juga memperlihatkan
dimorfi (perbedaan rupa) antarjenis kelamin. Jantan pada umumnya lebih kecil
daripada betina, yang ada kaitannya dengan kebiasaan memangsa (Anonim,:89).
B.1. Taksonomi
Dideskripsikan pertama kali oleh Giovanni Scopoli tahun 1769. Nama Alba
berkaitan dengan warnanya yang putih. Nama Inggris untuk Serak Jawa
adalah Barn Owl, Monkey-faced Owl, Ghost Owl, Church Owl, Death Owl,
Hissing Owl, Hobglobin atau Hobby Owl, Golden Owl, Silver Owl, White
Owl, Night Owl, Rat Owl, Scritch Owl, Screech Owl, Straw Owl, Barnyard
Owl, dan Delicate Owl (Baskoro, 2005:1).
Menurut MacKinnon (Tanpa Tahun:195), Serak Jawa tersebar secara luas di
seluruh dunia. Di Indonesia, tidak umum terdapat di dataran rendah
Sumatera, Jawa, dan Balli, sampai ketinggian 800 meter. Tidak tercatat di
Kalimantan, tetapi tersebar di Sumatera tengah dan Sumatera selatan
(mungkin akibat penebangan hutan), dan ada kemungkinan masuk ke
Kalimantan selatan.
Secara hirarki atau kedudukannya dalam klasifikasi taksonomi adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Classis : Aves
Order : Strigiformes
Family : Tytonidae
Genus : Tyto
Species : Tyto alba
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
Subspecies : Tyto alba javanica
B.2. Biologi dan Perkembangbiakan
Menurut MacKinnon (Tanpa Tahun:195), Serak Jawa berukuran besar (34
cm), mudah dikenali sebagai burung hantu putih. Muka putih, berbentuk hati
dan lebar. Tubuh bagian atas kuning bertanda merata, tubuh bagian bawah
putih dengan bintik-bintik hitam keseluruhan. Warna umumnya bervariasi.
Iris coklat gelap, paruh dan kaki kuning kotor. Remaja berwarna kuning lebih
gelap.
Pada Serak Jawa terdapat dimorfisme seksual. Baskoro (2005:4)
menyebutkan, jantan berukuran 32-28 cm dengan berat sekitar 470 gram dan
bentang sayap sekitar 107 cm. Pada betina, ukurannya mencapai 34-40 cm
dengan berat sekitar 570 gram dan bentang sayap mencapai sekitar 110 cm.
Warna bulu leher bagian depan jantan putih berbintik hitam bulu sedang
betina kuning berbintik hitam.
Suara Serak Jawa keras, parau dan teriakan bernada tinggi: “whiiikh” atau
“se-rak”. Juga suara tinggi: “ke ke ke ke”. Pada Baskoro (2005:9), disebutkan
berbagai variasi suara, mulai dari teriakan (hoot) yang khas, siulan (whistle),
deritan (screech), jeritan (scream), dengkur (puur), dengus (snort), chitter,
dan desisan (hiss). Meskipun begitu burung hantu termasuk jarang bersuara.
Suara yang umum terdengar disebut dengan “deritan cakar terus-menerus”
(drawn- out rasping screech).
Serak Jawa mempunyai sistem pencernaan yang khas. Tidak seperti burung
lain, Serak Jawa tidak memiliki tembolok. Mangsa kecil ditelan keseluruhan,
sementara mangsa besar dicabik menjadi bagian-bagian kecil sebelum
ditelan. Makanan diteruskan secara langsung ke dalam saluran pencernaan.
Lambung terdiri dari 2 bagian, yaitu proventriculus dan ventriculus. Pada
proventriculus, dihasilkan enzim, asam, dan mucus yang mengawali proses
pencernaan.
Makanan kemudian masuk ke ventriculus. Di sini tidak terdapat kelenjar
pencernaan, dan pada burung pemangsa ini berperan sebagai penyaring,
penahan bagian tak tercerna, seperti tulang, gigi, dan rambut mangsa. Bagian
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
akhir dari saluran cerna adalah kloaka, yang menahan kotoran dari sistem
pencernaan dan urinari.
Beberapa jam setelah makan, bagian yang tidak tercerna dipadatkan menjadi
suatu pelet. Pelet akan menetap selama 10 jam di proventriculus sebelum
dimuntahkan (regurgitasi) (Baskoro, 2005:10-11).
Serak Jawa berbiak sepanjang tahun. Menurut Widodo (2000:36), dalam satu
tahun, Serak Jawa mampu bertelur sebanyak dua kali, yakni pada bulan Mei
sampai Juni dengan periode bertelur 4,5 - 5 bulan sekali. Telur yang
dihasilkan berjumlah 4-11 butir yang dikeluarkan selang 2 hari dengan
kemungkinan menetas 50%. Telur berbentuk bulat warna keputihan,
berukuran 38-46 mm dan lebar 30-35 mm yang dierami selama 30-34 hari.
Serak Jawa tidak membuat sarang. Sarang biasanya memanfaatkan celah atau
lubang pada bangunan gedung, gua, ceruk sumur atau lubang-lubang pohon
bekas sarang burung lain sampai ketinggian sekitar 20 meter.
Sarang terbagi menjadi 2 bagian atau ruang. Bagian atau ruang pertama
merupakan tempat yang digunakan oleh Serak Jawa untuk istirahat, bertelur,
mengerami telur, dan mengasuh anak-anaknya.
Bagian atau ruang kedua digunakan untuk bercengkerama dan menyantap
hasil buruannya. Di tempat ini sering ditemukan pelet atau sisa makanan
yang tidak tercerna (Widodo, 2000:43)
B.3. Makanan
Makanan Serak Jawa berupa mamalia tanah kecil, dan mangsanya berupa
hewan pengerat kecil. Makanan spesifik Serak Jawa adalah tikus. Dari hasil
penelitian, 99% mangsanya berupa tikus, sedangkan 1% adalah serangga.
Serak Jawa mampu mengkonsumsi tikus lebih banyak 2-3 ekor per hari,
namun daya membunuh lebih dari yang dimakannya. Sebagai contoh, di
Kendal, pada Kecamatan Rowosari, Desa Pojoksari sering ditemukan tikus
mati yang berlobang pada bagian kepalanya, hanya diambil otaknya atau
tikus mati dengan rongga perut yang keluar ususnya hanya diambil
jeroannya.
Pada dasarnya kebutuhan konsumsi Serak Jawa sekitar 1/3 dari berat
tubuhnya. Saat memelihara anak, konsumsinya akan berkurang karena harus
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
berbagi dengan anak. Serak Jawa yang berumur 2-4 minggu, rata-rata
konsumsinya sekitar 2-4 ekor tikus per malam. Pada umur 3-5 minggu,
konsumsi akan tikus bertambah menjadi sekitar 5-10 ekor per malam.
B.4. Perilaku
Serak Jawa merupakan burung nokturnal. Aktivitas harian biasanya dimulai
dengan membersihkan bulu, menggeliat, menguap dan menggaruk kepala
dengan cakarnya. Semua jenis burung termasuk Serak Jawa melakukan
aktivitas menelisik bulu-bulunya (preening) dengan menggunakan paruh dan
cakarnya. Aktivitas ini terutama untuk membersihkan debu, kotoran dan
parasit dan juga untuk merapikan sayap. Serak Jawa mempunyai kelebihan,
yaitu terbang dengan senyap tanpa suara guna mencegah mangsanya
mendengar, dan membantu pendengarannya sendiri.
IV. Kampus UNY dan Dinamikanya
Kampus kerakyatan, yang dulu merupakan bagian tak terpisahkan dengan gagasan
pendidikan, sekarang telah berubah. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari segi
pendidikan, kurikulum dan SDMnya, melainkan juga perubahan secara fisik. Pada
tahun 1960-an sanpai dengan pertengahan tahun 1980-an, gedung di UNY (dulu
IKIP) baru sekitar 7 gedung utama. Kemudian perombakan secara besar-besaran
terjadi pada akhir tahun 1980-an hingga sekarang (Pewara edisi V tahun 2006).
Perombakan ini otomatis akan mengakibatkan perubahan wilayah dan struktural
lingkungan di kampus ini. Beberapa lokasi yang tadinya merupakan daerah resapan
air, dibuka dan didirikan gedung baru. Akibatnya, perubahan ini membawa IKIP
menuju gerbang baru pendidikan di Indonesia, yaitu dengan diubahnya nama IKIP
menjadi UNY. Perubahan ini menuntuk konsekuensi yang tinggi bagi para civitas
akademinya.
Namun, masterplan yang ada tidak terealisir secara sempurna. Peraturan mengenai
pengelolaan lingkungan di UNY masih jauh dari harapan. Akibatnya, kondisi ini
mengakibatkan terjadinya banjir (pada saat hujan) dan suhu yang sangat panas
(pada saat kemarau). Bagi kehidupan burung-burung, kondisi ini mengakibatkan
beberapa jenis mengalami penurunan populasi yang sangat tajam (Wibowo, 2004).
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
Serak Jawa merupakan salah satu jenis burung yang mengalami dampak tersebut.
Meskipun usaha lobi terhadap jajaran rektorat aga pemugaran memperhatikan
beberapa lokasi sarang, namun tanggapan yang diberikan sangat tidak linier
dengan aplikasi di lapangan. Hal ini yang menjadikan kekhawatiran tersendiri
terhadap keberadaan burung pemangsa ini.
V. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tanpa Tahun. Love Life, Love Nature. Booklet Profil Yayasan Kutilang IBC. YKI. Yogyakarta.
Anonim. 2003. Jogja Bird Walk: Bersama Menikmati Burung Di Alam. Buletin Kabar Burung Edisi Oktober 2003. YKI. Yogyakarta.
Anonim. 2002. Laporan Utama Agenda Pembangunan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta-YUDP.
Anonim. 2003. Pohon Kehidupan: Tanaman Yang Disukai Burung. Buletin Kabar Burung Edisi Desember 2003. YKI. Yogyakarta.
Anonim. Tanpa Tahun. Upaya Pengendalian Hama Tikus dengan Burung Hantu Tyto Alba di Kabupaten Kendal. www.kabupaten-kendal.go.id.
Anonim. 2001. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi DIY. Yogyakarta.
Baskoro, Karyadi. 2005. Tyto alba: Biologi, Perilaku, Ekologi dan Konservasi. Pecinta Alam Haliaster Biologi-UNDIP. Semarang.
Baskoro, Karyadi. 2005. Tyto alba: Panduan Survey dan Pengamatan. Pecinta Alam Haliaster Biologi-UNDIP. Semarang.
MacKinnon, J., Philliphs, K., van Balen, B. Tanpa Tahun. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Pewara edisi 5 tahun 2006, Universitas Negeri Yogyakarta.
Prawiradilaga, Dewi M., et al. 2003. Panduan Survey Lapangan dan Pemantauan Burung-burung Pemangsa. Biodiversity Conservation Project-JICA.
Salim, Emil. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3S. Jakarta.
Sin, Lim Wen. 2002. Burung-burung Liar di Kebun Binatang Gembira Loka. Jurnal BIOTA volume 7 No.1 Tahun 2002. FB UAJY. Yogyakarta.
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828
Tandjung, S. Djalal. 2002. Dasar Ekologi, Tipologi Ekosistem dan Kerawanannya. Disampaikan pada Kursus Identifikasi Dampak Lingkungan I (IDAL I). BAPEDALDA DIY-Sekber PPA DIY- KAPPALA Yogyakarta. Yogyakarta.
Wibowo, Yuni. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Laporan Penelitian.
Widodo, S. B., 2000. Burung Hantu Pengendali Tikus. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Yatim, Wildan. 1999. Kamus Biologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828