Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

14
Menyelamatkan Serak Jawa (Tyto alba) Di Tengah Pembangunan Gedung UNY I. Latar Belakang Burung merupakan satwa yang dapat dijumpai hampir di semua habitat; mulai dari habitat perairan, hutan hingga pegunungan. Selain itu, perkotaan atau kawasan permukiman yang menjadi hunian manusia, ternyata juga dapat menyediakan kebutuhan hidup bagi berbagai jenis burung. Burung-burung tersebut mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada. Berbagai jenis burung memanfaatkan dengan baik berbagai bentuk hasil ciptaan manusia, seperti gedung, taman, hutan buatan, dan sebagainya untuk hidup, mencari makan, bersarang dan berkembang biak. Kota Yogyakarta sendiri yang telah lama dikenal sebagai kota pelajar dan budaya juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung. Pada berbagai kawasan burung- burung dapat dengan mudah dijumpai. Sebagai contoh, kawasan Kampus UNY Karangmalang menjadi habitat bagi 29 jenis burung. Enam jenis diantaranya dikategorikan melimpah, seperti Burung Gereja-erasia (Passer montanus), Cucak kutilang (Picnonotus aurigaster) dan Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) (Wibowo:2004). Di Kebun Binatang Gembira Loka dilaporkan terdapat 20 jenis burung (Sin, 2002:43-44). Kampus UGM juga menjadi habitat bagi beraneka jenis burung, misalnya Cangak abu (Ardea cinerea) Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNY Oleh: Surya Purnama/Biologi/033414010 [email protected]/081927591828

description

sss

Transcript of Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Page 1: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Menyelamatkan Serak Jawa (Tyto alba) Di Tengah Pembangunan Gedung UNY

I. Latar Belakang

Burung merupakan satwa yang dapat dijumpai hampir di semua habitat; mulai dari

habitat perairan, hutan hingga pegunungan. Selain itu, perkotaan atau kawasan

permukiman yang menjadi hunian manusia, ternyata juga dapat menyediakan

kebutuhan hidup bagi berbagai jenis burung. Burung-burung tersebut mampu

berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada. Berbagai jenis

burung memanfaatkan dengan baik berbagai bentuk hasil ciptaan manusia, seperti

gedung, taman, hutan buatan, dan sebagainya untuk hidup, mencari makan,

bersarang dan berkembang biak.

Kota Yogyakarta sendiri yang telah lama dikenal sebagai kota pelajar dan budaya

juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung. Pada berbagai kawasan burung-

burung dapat dengan mudah dijumpai. Sebagai contoh, kawasan Kampus UNY

Karangmalang menjadi habitat bagi 29 jenis burung. Enam jenis diantaranya

dikategorikan melimpah, seperti Burung Gereja-erasia (Passer montanus), Cucak

kutilang (Picnonotus aurigaster) dan Bondol jawa (Lonchura leucogastroides)

(Wibowo:2004). Di Kebun Binatang Gembira Loka dilaporkan terdapat 20 jenis

burung (Sin, 2002:43-44). Kampus UGM juga menjadi habitat bagi beraneka jenis

burung, misalnya Cangak abu (Ardea cinerea) yang menghuni Arboretrum

Fakultas Biologi dan hutan buatan Fakultas Kehutanan.

Dari berbagai jenis burung yang ada, di kota Yogyakarta juga terdapat burung

hantu atau Serak Jawa (Tyto alba). Serak Jawa merupakan burung nokturnal dan

termasuk ke dalam kelompok burung pemangsa. Berdasar hasil pengamatan dari

beberapa pengamat burung, Serak Jawa dapat dijumpai di Kampus UNY, Kampus

UGM, Kampus UPN, Candi Prambanan dan beberapa tempat lain.

Informasi terbaru dari pengamat burung BIONIC menyebutkan bahwa di Gedung

perpustakaan pusat UNY terdapat Serak Jawa yang bersarang di sana. Gedung

tersebut merupakan pusat aktivitas literatur yang ada di UNY. Namun kebijakan

renovasi terhadap gedung ini secara langsung akan berdampak pada kondisi sarang

dan kehidupan burung nokturnal tersebut.

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 2: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Serak Jawa sebagai burung pemangsa yang hidup di area perkotaan memiliki peran

khusus. Prawiradilaga et al (2003:1), menyebutkan bahwa keberadaan burung

pemangsa dalam suatu ekosistem sangat penting, karena posisinya sebagai

pemangsa puncak dalam piramida atau rantai makanan. Dengan demikian bila ada

gangguan terhadap mereka, maka akan terganggu pula rantai dan jaring-jaring

makanan dalam ekosistem tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Rencan pemugaran gedung perpustakaan tersebut sangat beresiko terhadap

kelangsungan kehidupan Serak Jawa. Selain kedudukannya terancam, juga

menimbulkan kekhawatiran penurunan jumlah populasinya. Pada kenyataannya,

masih banyak informasi yang belum diketahui dari keberadaan burung tersebut,

misalnya estimasi populasi, lokasi keberadaan sarang, karakteristik habitat sarang

dan aktivitas hariannya. Pengetahuan mengenai hal di atas menjadi penting untuk

diketahui sebelum melakukan upaya lebih jauh terkait dengan rencana pemugaran

gedung maupun penyelamatan Serak Jawa dari aktivitas tersebut.

II. Profil Kota Yogyakarta Sebagai Habitat Burung

Menurut Salim (1986:200), kota lahir sebagai akibat pemusatan penduduk pada

satu tempat dan ruang tertentu. Pemusatan permukiman penduduk ini didorong

oleh berbagai hal yang memberi ciri khas kepada kota.

Dalam kota, terjadi berbagai macam interaksi antarpenduduknya. Segala jenis

kegiatan, baik perdagangan, jasa, pembangunan, dan sebagainya yang pada

awalnya merupakan bentuk interaksi antarmanusia sebagai penghuni kota, pada

akhirnya juga membawa dampak pada lingkungan hidup.

Kota bila dipandang sebagai sebuah lingkungan hidup, terdapat juga komponen-

komponen yang menyusunnya. Dalam Tandjung (2002:1), disebutkan bahwa

lingkungan hidup tersusun atas sumberdaya alam non hayati sebagai komponen

lingkungan fisik (abiotic environment), sumberdaya alam hayati sebagai komponen

lingkungan biologi (biotic environment), serta sumberdaya manusia dan

sumberdaya buatan sebagai hasil karya dan karsa manusia disebut sebagai

komponen lingkungan kebudayaan (cultural environment) atau lingkungan sosial-

ekonomi-budaya (sosekbud). Konsep ini menyatakan bahwa lingkungan hidup

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 3: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Kawasan kota Yogyakarta masuk dalam fisografi dataran kaki fluvio vulkanik

Merapi. Topografi relatif datar antara 0-2%; curah hujan antara 1700-2500 mm/th.

Dengan luas wilayah yang hanya 1% dari luas Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, kepadatan penduduknya merupakan yang tertinggi dibandingkan

dengan wilayah DIY yang lain, yakni 15.414 jiwa per km2 (BPS, 2001:63). Hal ini

menciptakan tata ruang yang terpusat pada penyediaan kebutuhan manusia, seperti

perumahan, gedung, pasar, dan sebagainya.

Kota Yogyakarta sebagai sebuah lingkungan hidup, mengandung sumberdaya alam

hayati yang merupakan komponen lingkungan biologi. Salah satu sumberdaya

alam hayati yang terdapat di kota Yogyakarta adalah burung. Kawasan-kawasan

yang terdapat di kota Yogyakarta diketahui menjadi habitat bagi berbagai jenis

burung. Di kawasan Kampus UNY Karangmalang misalnya, dapat dijumpai 29

jenis burung. Burung-burung tersebut memiliki karakteristik masing-masing dalam

memanfaatkan habitat yang ada.

Bila dikategorisasikan, terdapat 3 kategori burung dalam pemilihan habitat

bersarang, yaitu burung-burung yang bersarang pada pohon, burung-burung yang

bersarang di semak atau perdu dan burung-burung yang memanfaatkan bangunan

sebagai tempat bersarang (Wibowo, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa burung-

burung yang hidup di area perkotaan dengan karakteristik lingkungan bentukan

manusia, burung-burung dapat berinteraksi dan beradaptasi dengan kondisi

tersebut.

Sebagai salah satu kampus dengan keanekaragaman burung yang sangat tinggi,

merupakan suatu kekhawatiran apabila terjadi pembangunan tanpa memperhatikan

etika lingkungan. Banyak lokasi yang pada awalnya merupakan daerah yang

disukai burung, sekarang telah berubah menjadi gedung-gedung baru. Hal ini pula

yang terjadi pada sarang Serak Jawa. Pemugaran gedung perpustakaan tanpa

memperhatikan norma-norma lingkungan bisa jadi mengakibatkan hilangnya

populasi Serak Jawa di kampus ini.

III. Serak Jawa (Tyto alba)

Serak Jawa (Tyto alba) merupakan salah satu burung pemangsa (raptor), disebut

juga sebagai bird of prey. Burung pemangsa secara teori mencakup semua burung

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 4: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

yang memangsa hewan lain, tetapi karena spesies burung pemakan ikan dan

serangga dibicarakan tersendiri, maka istilah burung pemangsa hanya

dipergunakan bagi dua ordo burung, yakni burung pemangsa siang (ordo

Falconiformes) dan burung pemangsa malam (ordo Strigiformes).

Secara umum, burung pemangsa memiliki paruh yang berkait untuk mencabut

daging mangsanya, dan tungkai kuat dengan cakar untuk menerkam mangsa,

mencengkeram dan membunuhnya. Selain itu, kedua ordo juga memperlihatkan

dimorfi (perbedaan rupa) antarjenis kelamin. Jantan pada umumnya lebih kecil

daripada betina, yang ada kaitannya dengan kebiasaan memangsa (Anonim,:89).

B.1. Taksonomi

Dideskripsikan pertama kali oleh Giovanni Scopoli tahun 1769. Nama Alba

berkaitan dengan warnanya yang putih. Nama Inggris untuk Serak Jawa

adalah Barn Owl, Monkey-faced Owl, Ghost Owl, Church Owl, Death Owl,

Hissing Owl, Hobglobin atau Hobby Owl, Golden Owl, Silver Owl, White

Owl, Night Owl, Rat Owl, Scritch Owl, Screech Owl, Straw Owl, Barnyard

Owl, dan Delicate Owl (Baskoro, 2005:1).

Menurut MacKinnon (Tanpa Tahun:195), Serak Jawa tersebar secara luas di

seluruh dunia. Di Indonesia, tidak umum terdapat di dataran rendah

Sumatera, Jawa, dan Balli, sampai ketinggian 800 meter. Tidak tercatat di

Kalimantan, tetapi tersebar di Sumatera tengah dan Sumatera selatan

(mungkin akibat penebangan hutan), dan ada kemungkinan masuk ke

Kalimantan selatan.

Secara hirarki atau kedudukannya dalam klasifikasi taksonomi adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Classis : Aves

Order : Strigiformes

Family : Tytonidae

Genus : Tyto

Species : Tyto alba

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 5: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Subspecies : Tyto alba javanica

B.2. Biologi dan Perkembangbiakan

Menurut MacKinnon (Tanpa Tahun:195), Serak Jawa berukuran besar (34

cm), mudah dikenali sebagai burung hantu putih. Muka putih, berbentuk hati

dan lebar. Tubuh bagian atas kuning bertanda merata, tubuh bagian bawah

putih dengan bintik-bintik hitam keseluruhan. Warna umumnya bervariasi.

Iris coklat gelap, paruh dan kaki kuning kotor. Remaja berwarna kuning lebih

gelap.

Pada Serak Jawa terdapat dimorfisme seksual. Baskoro (2005:4)

menyebutkan, jantan berukuran 32-28 cm dengan berat sekitar 470 gram dan

bentang sayap sekitar 107 cm. Pada betina, ukurannya mencapai 34-40 cm

dengan berat sekitar 570 gram dan bentang sayap mencapai sekitar 110 cm.

Warna bulu leher bagian depan jantan putih berbintik hitam bulu sedang

betina kuning berbintik hitam.

Suara Serak Jawa keras, parau dan teriakan bernada tinggi: “whiiikh” atau

“se-rak”. Juga suara tinggi: “ke ke ke ke”. Pada Baskoro (2005:9), disebutkan

berbagai variasi suara, mulai dari teriakan (hoot) yang khas, siulan (whistle),

deritan (screech), jeritan (scream), dengkur (puur), dengus (snort), chitter,

dan desisan (hiss). Meskipun begitu burung hantu termasuk jarang bersuara.

Suara yang umum terdengar disebut dengan “deritan cakar terus-menerus”

(drawn- out rasping screech).

Serak Jawa mempunyai sistem pencernaan yang khas. Tidak seperti burung

lain, Serak Jawa tidak memiliki tembolok. Mangsa kecil ditelan keseluruhan,

sementara mangsa besar dicabik menjadi bagian-bagian kecil sebelum

ditelan. Makanan diteruskan secara langsung ke dalam saluran pencernaan.

Lambung terdiri dari 2 bagian, yaitu proventriculus dan ventriculus. Pada

proventriculus, dihasilkan enzim, asam, dan mucus yang mengawali proses

pencernaan.

Makanan kemudian masuk ke ventriculus. Di sini tidak terdapat kelenjar

pencernaan, dan pada burung pemangsa ini berperan sebagai penyaring,

penahan bagian tak tercerna, seperti tulang, gigi, dan rambut mangsa. Bagian

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 6: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

akhir dari saluran cerna adalah kloaka, yang menahan kotoran dari sistem

pencernaan dan urinari.

Beberapa jam setelah makan, bagian yang tidak tercerna dipadatkan menjadi

suatu pelet. Pelet akan menetap selama 10 jam di proventriculus sebelum

dimuntahkan (regurgitasi) (Baskoro, 2005:10-11).

Serak Jawa berbiak sepanjang tahun. Menurut Widodo (2000:36), dalam satu

tahun, Serak Jawa mampu bertelur sebanyak dua kali, yakni pada bulan Mei

sampai Juni dengan periode bertelur 4,5 - 5 bulan sekali. Telur yang

dihasilkan berjumlah 4-11 butir yang dikeluarkan selang 2 hari dengan

kemungkinan menetas 50%. Telur berbentuk bulat warna keputihan,

berukuran 38-46 mm dan lebar 30-35 mm yang dierami selama 30-34 hari.

Serak Jawa tidak membuat sarang. Sarang biasanya memanfaatkan celah atau

lubang pada bangunan gedung, gua, ceruk sumur atau lubang-lubang pohon

bekas sarang burung lain sampai ketinggian sekitar 20 meter.

Sarang terbagi menjadi 2 bagian atau ruang. Bagian atau ruang pertama

merupakan tempat yang digunakan oleh Serak Jawa untuk istirahat, bertelur,

mengerami telur, dan mengasuh anak-anaknya.

Bagian atau ruang kedua digunakan untuk bercengkerama dan menyantap

hasil buruannya. Di tempat ini sering ditemukan pelet atau sisa makanan

yang tidak tercerna (Widodo, 2000:43)

B.3. Makanan

Makanan Serak Jawa berupa mamalia tanah kecil, dan mangsanya berupa

hewan pengerat kecil. Makanan spesifik Serak Jawa adalah tikus. Dari hasil

penelitian, 99% mangsanya berupa tikus, sedangkan 1% adalah serangga.

Serak Jawa mampu mengkonsumsi tikus lebih banyak 2-3 ekor per hari,

namun daya membunuh lebih dari yang dimakannya. Sebagai contoh, di

Kendal, pada Kecamatan Rowosari, Desa Pojoksari sering ditemukan tikus

mati yang berlobang pada bagian kepalanya, hanya diambil otaknya atau

tikus mati dengan rongga perut yang keluar ususnya hanya diambil

jeroannya.

Pada dasarnya kebutuhan konsumsi Serak Jawa sekitar 1/3 dari berat

tubuhnya. Saat memelihara anak, konsumsinya akan berkurang karena harus

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 7: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

berbagi dengan anak. Serak Jawa yang berumur 2-4 minggu, rata-rata

konsumsinya sekitar 2-4 ekor tikus per malam. Pada umur 3-5 minggu,

konsumsi akan tikus bertambah menjadi sekitar 5-10 ekor per malam.

B.4. Perilaku

Serak Jawa merupakan burung nokturnal. Aktivitas harian biasanya dimulai

dengan membersihkan bulu, menggeliat, menguap dan menggaruk kepala

dengan cakarnya. Semua jenis burung termasuk Serak Jawa melakukan

aktivitas menelisik bulu-bulunya (preening) dengan menggunakan paruh dan

cakarnya. Aktivitas ini terutama untuk membersihkan debu, kotoran dan

parasit dan juga untuk merapikan sayap. Serak Jawa mempunyai kelebihan,

yaitu terbang dengan senyap tanpa suara guna mencegah mangsanya

mendengar, dan membantu pendengarannya sendiri.

IV. Kampus UNY dan Dinamikanya

Kampus kerakyatan, yang dulu merupakan bagian tak terpisahkan dengan gagasan

pendidikan, sekarang telah berubah. Perubahan yang terjadi tidak hanya dari segi

pendidikan, kurikulum dan SDMnya, melainkan juga perubahan secara fisik. Pada

tahun 1960-an sanpai dengan pertengahan tahun 1980-an, gedung di UNY (dulu

IKIP) baru sekitar 7 gedung utama. Kemudian perombakan secara besar-besaran

terjadi pada akhir tahun 1980-an hingga sekarang (Pewara edisi V tahun 2006).

Perombakan ini otomatis akan mengakibatkan perubahan wilayah dan struktural

lingkungan di kampus ini. Beberapa lokasi yang tadinya merupakan daerah resapan

air, dibuka dan didirikan gedung baru. Akibatnya, perubahan ini membawa IKIP

menuju gerbang baru pendidikan di Indonesia, yaitu dengan diubahnya nama IKIP

menjadi UNY. Perubahan ini menuntuk konsekuensi yang tinggi bagi para civitas

akademinya.

Namun, masterplan yang ada tidak terealisir secara sempurna. Peraturan mengenai

pengelolaan lingkungan di UNY masih jauh dari harapan. Akibatnya, kondisi ini

mengakibatkan terjadinya banjir (pada saat hujan) dan suhu yang sangat panas

(pada saat kemarau). Bagi kehidupan burung-burung, kondisi ini mengakibatkan

beberapa jenis mengalami penurunan populasi yang sangat tajam (Wibowo, 2004).

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 8: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Serak Jawa merupakan salah satu jenis burung yang mengalami dampak tersebut.

Meskipun usaha lobi terhadap jajaran rektorat aga pemugaran memperhatikan

beberapa lokasi sarang, namun tanggapan yang diberikan sangat tidak linier

dengan aplikasi di lapangan. Hal ini yang menjadikan kekhawatiran tersendiri

terhadap keberadaan burung pemangsa ini.

V. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tanpa Tahun. Love Life, Love Nature. Booklet Profil Yayasan Kutilang IBC. YKI. Yogyakarta.

Anonim. 2003. Jogja Bird Walk: Bersama Menikmati Burung Di Alam. Buletin Kabar Burung Edisi Oktober 2003. YKI. Yogyakarta.

Anonim. 2002. Laporan Utama Agenda Pembangunan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta-YUDP.

Anonim. 2003. Pohon Kehidupan: Tanaman Yang Disukai Burung. Buletin Kabar Burung Edisi Desember 2003. YKI. Yogyakarta.

Anonim. Tanpa Tahun. Upaya Pengendalian Hama Tikus dengan Burung Hantu Tyto Alba di Kabupaten Kendal. www.kabupaten-kendal.go.id.

Anonim. 2001. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi DIY. Yogyakarta.

Baskoro, Karyadi. 2005. Tyto alba: Biologi, Perilaku, Ekologi dan Konservasi. Pecinta Alam Haliaster Biologi-UNDIP. Semarang.

Baskoro, Karyadi. 2005. Tyto alba: Panduan Survey dan Pengamatan. Pecinta Alam Haliaster Biologi-UNDIP. Semarang.

MacKinnon, J., Philliphs, K., van Balen, B. Tanpa Tahun. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.

Pewara edisi 5 tahun 2006, Universitas Negeri Yogyakarta.

Prawiradilaga, Dewi M., et al. 2003. Panduan Survey Lapangan dan Pemantauan Burung-burung Pemangsa. Biodiversity Conservation Project-JICA.

Salim, Emil. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3S. Jakarta.

Sin, Lim Wen. 2002. Burung-burung Liar di Kebun Binatang Gembira Loka. Jurnal BIOTA volume 7 No.1 Tahun 2002. FB UAJY. Yogyakarta.

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828

Page 9: Pembahasan Hasil Survey Dan Pengamatan

Tandjung, S. Djalal. 2002. Dasar Ekologi, Tipologi Ekosistem dan Kerawanannya. Disampaikan pada Kursus Identifikasi Dampak Lingkungan I (IDAL I). BAPEDALDA DIY-Sekber PPA DIY- KAPPALA Yogyakarta. Yogyakarta.

Wibowo, Yuni. 2004. Keanekaragaman Jenis Burung di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Laporan Penelitian.

Widodo, S. B., 2000. Burung Hantu Pengendali Tikus. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Yatim, Wildan. 1999. Kamus Biologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Laporan singkat temuan Tyto Alba kepada FMIPA UNYOleh: Surya Purnama/Biologi/[email protected]/081927591828