pembahasan farkol

19
Susunan saraf otonom adalah susunan saraf yang bekerja tanpa mengikuti kehendak kita. Misalnya detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan maupun pencernaan makanan (Pratiwi, DA.1996. Biologi 2. Jakarta. Erlangga. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, antara lain: 1. Susunan saraf simpatik (adrenergik dan adrenolitik). 2. Susunan saraf parasimpatik (kolinergik dan anti kolinergik). Pada umumnya kedua saraf ini bekerja berlawanan, tetapi dalam beberapa hal khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu penghantar yang disebut transmiter neurohormon atau neurotransmiter. Bila rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis, maka neurohormon yang bekerja adalah noradrenalin (adrenalin) atau norepinephrin(epinefrin). Sebaliknya, apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka yang neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin (Anonim, 2006. Knowledge Antomi. Progam animasi anatomi. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Untuk menghindarkan akumulasi dari neurohormon yang dapat mengakibatkan perangsangan saraf terus menerus, maka neurohormon harus diuraikan oleh enzim khusus yang

Transcript of pembahasan farkol

Page 1: pembahasan farkol

Susunan saraf otonom adalah susunan saraf yang bekerja tanpa mengikuti

kehendak kita. Misalnya detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan

maupun pencernaan makanan (Pratiwi, DA.1996. Biologi 2. Jakarta. Erlangga.

Diakses tanggal 14 Oktober 2010).

       Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, antara

lain:

1.    Susunan saraf simpatik (adrenergik dan adrenolitik).

2.    Susunan saraf parasimpatik (kolinergik dan anti kolinergik). 

Pada umumnya kedua saraf ini bekerja berlawanan, tetapi dalam beberapa hal

khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari

susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu

penghantar yang disebut transmiter neurohormon atau neurotransmiter. Bila

rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis, maka neurohormon yang bekerja

adalah noradrenalin (adrenalin) atau norepinephrin(epinefrin). Sebaliknya,

apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka yang

neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin (Anonim, 2006. Knowledge

Antomi. Progam animasi anatomi. Diakses tanggal 14 Oktober 2010).

Untuk menghindarkan akumulasi dari neurohormon yang dapat mengakibatkan

perangsangan saraf terus menerus, maka neurohormon harus diuraikan oleh enzim

khusus yang terdapat dalam darah maupun jaringan. Untuk neurohormon

noradrenalin diuraikan oleh enzim metil transferase dan didalam hati oleh Mono

Amin Oksidase (MAO), sedangkan neurohormon asetilkolin diuraikan oleh enzim

kolinesterase. 

Selain itu, didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat

otonom  adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom,

mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi

organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja

pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls

dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,

pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor

spesifik (Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 2002. Jakarta

: Gramedia Pustaka Umum. Diakses tanggal 15 Oktober 2010).

Page 2: pembahasan farkol

Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada

sistem saraf otonom digolongkan menjadi : 

a.     Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai

berikut : 

·      Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan

dari saraf simpatik 

(oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain. 

·      Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf

parasimpatik ditekan atau            melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida

sekale, propanolol, dan lain-lain. 

b.    Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya

sebagai berikut : 

·         Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan

dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin. 

·         Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf

parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida

belladonna (Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 2002.

Jakarta : Gramedia Pustaka Umum. Diakses tanggal 15 Oktober 2010).

Karena di dalam praktikum ini yang dilakukan adalah pengamatan obat-obat

sistem saraf otonom, maka sistem saraf otonom yang digunakan adalah sistem

saraf parasimpatik. Obat-obat dari sistem saraf otonom yang akan diamati adalah

efek aktivitas obat kolinergik dan antikolinergik pada mencit. Dipilihnya mencit

sebagai hewan percobaan untuk efek aktivitas obat koligernik dan antikoligernik,

karena di dalam penanganannya hewan mencit ini lebih mudah ditangani

dibandingkan hewan lainnya, seperti kelinci, marmot, dan monyet.Kolinergik atau

parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang

sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatik (SP), karena melepaskan

neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah

mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat

penggunaannya, yang berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, maka

akan timbul sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek

kolinergis faal yang terpenting, seperti stimulasi pencernaan dengan jalan

Page 3: pembahasan farkol

memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga

sekresi air mata, memperkuat sirkulasi (mengurangi kegiatan jantung,

vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah), memperlambat

pernafasan (menciutkan bronchi),  sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata

dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler

akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter

dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot

kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan Hoan Tjay

& Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 oktober 2010). 

Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron

postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan

Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap

perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : (Tan Hoan Tjay

& Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 Oktober 2010) 

a.    Reseptor Muskarinik

Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu

suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor

muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin.   

 b.    Reseptor Nikotinik

 Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi

afinitas lemah terhadap muskarin. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem

saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.

Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat

di jaringan tadi. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 Oktober

2010). 

Kolinergik yang termasuk pada parasimpatomimetik dapat dibagi menurut cara

kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak

langsung. Kolinergik yang bekerja secara langsung meliputi karbakol, pilokarpin,

muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja

secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek

muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat

hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin (Tan Hoan Tjay &

Page 4: pembahasan farkol

Rahardja, 2002).

 Sedangkan, kolinergik yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat

antikolinesteras, seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini

merintangi penguraian ACh secara reversible yang hanya untuk sementara.

Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan

dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara

irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang,

karena bertahan sampai enzim baru terbentuk lagi (Tjay & Rahardja, 2002). Efek

yang ditimbulkan oleh kolinergik adalah : 

·      Stimulasi aktivitas saluran cerna, peristaltik diperkuat, sekresi kelenjar-

kelenjar ludah, getah lambung, air mata dan lain-lain. 

·      Memperlambat sirkulasi darah dan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi

dan penurunan tekanan darah. 

·      Memperlambat pernafasan dengan menciutkan saluran nafas

(bronkokontriksi) dan meningkatkan sekresi dahak. 

·      Kontraksi otot mata dengan penyempitan pupil mata (miosis) dan

menurunkan tekanan intra okuler dan memperlancar keluarnya airmata. 

·      Kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar keluarnya

air seni.

Selain itu, kolinergik dapat digunakan pada : 

·      Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler

meningkat dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan kebutaan. Obat

ini bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol dan fluostigmin. 

·      Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan impuls di

pelat ujung motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-otot tubuh hingga

kelumpuhan. Contohnya  neostigmin dan piridostigmin. 

·      Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung kemih

setelah operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh. Akibatnya timbul

aktivitas saraf adrenergik dengan efek obstipasi, sukar buang air kecil atau

lumpuhnya gerakan peristaltik dengan tertutupnya usus (ielus paralitikus).

Contohnya, prostigmin (neostigmin).

Sedangkan, antikolinergik yang termasuk parasimpatolitik memperlihatkan kerja

Page 5: pembahasan farkol

yang hampir sama, tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai organ,

misalnya atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan keringat pada

dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi pupil mata,

gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada jantung. Antikolinergik

juga memperlihatkan efek sentral, yaitu merangsang pada dosis kecil tetapi

mendepresi pada dosis toksik. Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan untuk

bermacam-macam gangguan, tergantung dari khasiat spesifiknya masing-masing,

antara lain : 

·      Spasmolitika, dengan meredakan ketegangan otot polos, terutama

merelaksasi kejang dan kolik di saluran lambung-usus, empedu dan kemih. 

·      Midriatikum, dengan melebarkan pupil mata dan melemahkan akomodasi

mata. 

·      Borok lambung-usus, dengan menekan sekresi dan mengurangi peristaltik. 

·      Hiperhidrosis, dengan menekan sekresi keringat yang berlebihan. 

·      Berdasarkan efeknya terhadap sistem saraf sentral, yaitu : 

a.       Sedatif pada premedikasi operasi bersama anestetika umum. 

b.      Parkinson (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 oktober

2010). 

Sebelum mencit diamati, terlebih dahulu seluruh mencit diberi tiopental sebagai

sedativa, agar mempermudah jalannya percobaan dan pengamatan. Pemberian

tiopental ini secara intra peritonial yang bertujuan agar efek yang dihasilkan lebih

cepat diperoleh apabila dibandingkan dengan per oral. Pemerian Pentotal atau Na-

Tiopental mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari 102,0%

C11H17N2NaO2S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriannya

berupa serbuk hablur, putih sampai hampir putih kekuningan atau kuning

kehijauan pucat, bersifat higroskopik, berbau tidak enk. Larutan bereaksi basa

terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika didihkan akan terbebtuk endapan.

Larur dalam air, etanol, tidak larut dalam benzena, eter mutlak dan dalam

heksana. Na-Tiopental untuk injeksi adalah camupran steril dari Na-Tiopental dan

Na-Carbonat anhidridat sebagai dapar. Mengandung tidak kurang dari 93,0% dn

tidak lebih dari 107,0% C11H17N2NaO2S dari jumlah yang tertera pada etiket.

(Anonimus, 1995:790. Diakses tanggal 16 Oktober 2010). Metabolisme tiopental

Page 6: pembahasan farkol

sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% tiopental yang

diberikan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata

metabolisme tiopental 12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis

tunggal. Pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan penurunan tekanan

darah arteri, curah balik, dan curah jantung. Hai ini dapar menyebabakan depresi

miokard dan meningkatnya kapasitas vena sera sedikit perubahan pada tahanan

arteri perifer. Tiopental dapat mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan

sensitivitas pusat pernafasan terhadap karbon dioksida.

Kemudian, setelah muncul gejala sedasi, mencit diberi perlakuan sebagai

berikut : 

1.   Kelompok 1 : kontrol (diberi NaCl fisiologis). 

2.   Kelompok 2 : diberi pilokarpin (p.o). 

3.   Kelompok 3 : diberi pilokarpin (p.o), setelah muncul efek, diberi atropin

(p.o). 

4.   Kelompok 4 : diberi atropin (p.o) diamkan selama 30 menit, lalu diberi

pilokarpin (p.o).

Untuk obat-obat dari sistem saraf parasimpatik seperti yang tertera di atas  yang

digunakan, yaitu pilokarpin dan atropin. Pemberian pilokarpin dan atropin

dilakukan secara per oral. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar

mencit tersebut tenang dan dapat mengeluarkan saliva. Sedangkan, atropin

bertujuan sebgai anestesi pada mencit. Selain itu, pilokarpin merupakan salah satu

kolinergik yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma. Alkaloid

pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh

asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini

ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama

digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan

miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu

spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga

sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu

sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva (Betram.

G. katzung. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. EGC. Jakarta. Diakses tanggal

14 Oktober 2010).

Page 7: pembahasan farkol

Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan

tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat

ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlem,

sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar

dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang

kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja

lebih lama lagi.

Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga

mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan

menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang

berlebihan (Betram. G. katzung. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. EGC.

Jakarta. Diakses tanggal 14 Oktober 2010).

Berbeda dengan pilokarpin, atropin adalah senyawa berbentuk kristal putih,

memiliki rasa sangat pahit, titik lebur 115° dan terdiri dari amine antimuscarinic

tersier. Atropin merupakan antagonis reseptor kolinergik yang diisolasi

dari Atropa belladona L., Datura stramonium L., dan tanaman lain dari family

Solanaceae. (Mursidi,1989. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Atropin

merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau

parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja

menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot

polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian

asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. (Achmad,

1986. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Mekanisme kerja atropin memblok aksi

kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya)

yaitu, hambatan oleh atropin dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau

agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya

kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan.Atropin dapat menimbulkan

beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla

oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi

akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas,

eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa

medulla oblongata. Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan

Page 8: pembahasan farkol

siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut

dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik,

yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara

langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,

atropin sebagai antispasmodik, yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,

sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan

sehingga menyebabkan retensi urin (Hidayat, 2005. Diakses tanggal 14 Oktober

2010).

Setelah dberikan pilokarpin dan atropin, kemudian mencit disimpan ke dalam

gelas kimia yang telah diberi alas kertas saring dan  telah ditaburi metilen blue

(metal biru). Metil biru merupakan pewarna thiazine yang kerap digunakan

sebagai bakterisida dan fungsida pada akuarium. Di beberapa tempat penggunaan

bahan ini sudah semakin tidak populer karena diketahui mempunyai pengaruh

buruk terhadap filtrasi biologi dan kemampuan warnanya untuk melekat pada

kulit, pakaian, dekorasi akuarium dan peralatan lainnya termasuk lem akuarium.

Diduga bahan inipun dapat berakibat buruk pada tanaman. Metil biru diketahui

efektif untuk pengobatan ichthyopthirius (white spot) dan jamur. Selain itu, juga

sering digunakan untuk mencegah serangan jamur pada telur ikan. Metil biru

biasanya tersedia sebagai larutan jadi di toko-toko akuarium, dengan konsenrasi 1

- 2 persen. Selain itu tersedia pula dalam bentuk serbuk.

Kemudian, setelah di simpan dalam gelas kimia, lalu diamati pengeluaran saliva

setiap 5 menit dan di ukur diameter bercak saliva pada mencit. Hasil pengamatan

yang diperoleh adalah sebagai berikut :

 

Kelompok 0 menit 5

menit

10 menit 15 menit 20 menit 25 menit

Mencit 1 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm

Mencit 2 0 cm 0.58 cm 1.3 cm 0.2 cm 0.1 cm 0 cm

Mencit 3 0 cm 1.0 cm 1.5 cm 1.7 cm 2.0 cm 1.2 cm

Mencit 4 0 cm 1.7 cm 1.4 cm 2.8 cm 1.6 cm 1.1 cm

Dari hasil pengamatan, pada mencit kelompok kesatu yang tidak diberi

obat sistem saraf parasimpatik tidak mengeluarkan saliva dari menit ke-5 sampai

Page 9: pembahasan farkol

dengan menit ke-30. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan apapun pada

ekskresi salivanya.

Lain halnya pada mencit kelompok kedua yang diberi pilokarpin

menunjukkan peningkatan diameter pada bercak saliva. Ini membuktikan bahwa

pilokarpin sebagai parasimpatomimetik dimana ekskresi saliva mencit meningkat

pada menit ke-5 dan menit ke-10, menit selanjutnya menurun dan tidak ada

bercak saliva pada menit ke-25 dan ke-30.

Pada mencit kelompok ketiga yang diberi pilokarpin, lalu setelah timbul

efek diberi atropin, diameter bercak saliva meningkat sampai menit ke-20, lalu

menurun. Kemudian, pada mencit kelompok keempat dimana diberi atropin

terlebih dahulu kemudian, setelah 30 menit diberi pilokarpin diameter bercak

saliva menurun, lalu meningkat lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pilokarpin

sebagai parasimpatomimetik dan atropin sebagai parasimpatolitik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatik dan parasimpatik

memperlihatkan fungsi ang antagonistik. Bila satu mengahambat suatu fungsi ,

maka yang lain memacu fungsi tersebut. Organ tubuh umumnya di persarafi oleh

saraf simpatik dan parasimpatik dan tonus yang terlihat merupakan hasil

perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun

akibat denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi oleh sistem

yang lain. Tidak pada semua organ terjadi antagonisme ini, kadang-kadang

efeknya sama, misalnya pada kelenjar liur. Sekresi liur dirangsang, baik oleh saraf

simpatik maupun parasimpatik, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya,

pada perangsangan simpatik liur kental, sedangkan  pada perangsangan

parasimpatik liur lebih encer.

Tetapi, dari hasil perhitungan yang diperoleh pada menit ke-15 terhadap menit ke-

30, diantaranya sebagai berikut :

Perhitungan menit ke-15 terhadap menit ke-30

Kelompok Menit ke-15 terhadap

menit ke-30

Keterangan

Mencit 1% I = [(0 - 0)]   x 100%

       = 0%

Tidak terjadi inhibisi

karena hasil yang di

peroleh positif

Page 10: pembahasan farkol

Mencit 2 % I = [(0.2 – 0)] x

100%

                0.2

       = 100 %

Tidak terjadi inhibisi

karena hasil yang di

peroleh positif

Mencit 3 % I = [(1.5 – 0.9)]

x 100%

                 1.5

       = 40 %

Tidak terjadi inhibisi

karena hasil yang di

peroleh positif

Mencit 4 % I = [(2.8 –

1.5 )] x 100%

                 2.8

       = 46.4%

Tidak terjadi inhibisi

karena hasil yang di

peroleh positif

Dari hasil perhitungan yang diperoleh di atas, tidak terjadi inhibisi diameter

bercak saliva mencit, karena bernilai positif.

Pada percobaan kali ini, praktikan hanya melakukan percobaan terhadap mencit

pada kelompok 2 dan kelompok 4, dimana pada kedua kelompok ini dilakukan

penimbangan berat badannya terlebih dahulu untuk menghitung dosis bahan uji

(obat) yang akan diberikan.

            Kelompok 2 diberikan tiopental dengan dosis 0,09875 mL dengan tujuan

menurunkan kesadaran hewan percobaan, dalam hal ini mencit. Percobaan

Page 11: pembahasan farkol

kemudian dilanjutkan dengan penambahan pilokarpin pada mencit tersebut

dengan dosis 0,49375 mL yang bertujuan untuk mengamati perangsangan sistem

saraf simpatikus. Perangsangan sistem saraf parasimpatikus menyebabkan reaksi

trofotropik, yaitu meningkatnya semua proses yang berfungsi untuk aktifitas

pengembalian. Dalam praktikum ini, proses pengembalian yang dapat diamati

yaitu peningkatan aktivitas kelenjar-kelenjar saliva. Dalam keadaaan tidak sadar,

mencit pada percobaan mengeluarkan jumlah saliva yang semakin banyak seiring

dengan semakin bertambahnya pilokarpin yang terserap tubuh mencit tersebut.

Jumlah itu diamati melalui besarnya diameter saliva yang menetes pada kertas

yang telah ditaburi methylene blue. Berdasarkan teori tersebut seharusnya

diameter saliva yang dikeluarkan mencit semakin lama semakin besar, namun

pada praktikum ini diameternya bervariasi sehingga tidak membentuk kurva yang

linear. Hal ini kemungkinan terjadi akibat faktor-faktor internal dan eksternal,

misalnya kondisi tubuh mencit yang sedang tidak stabil, sehingga penyerapan

pilokarpin yang disuntikan ke dalam tubuhnya tidak berlangsung secara bertahap.

Maka dari itu, kuantitas saliva yang dikeluarkan mencit terkadang berjumlah

banyak dan terkadang sedikit.

            Kelompok 4 dari mencit ini diberi perlakuan yang sama untuk pembiusan

terlebih dahulu, yaitu dengan penambahan tiopental dengan dosis sebanyak

0,09375 mL kemudian diberikan antropin untuk mengamati efek perangsangan

sistem saraf simpatikus yang menyebabkan reaksi ergotropik, yaitu meningkatnya

kemampuan untuk bekerja dan berhubungan dengan luar serta menurunya

aktivitas produksi kelenjar-kelenjar saluran pencernaan. Dalam hal ini, yang

praktikan amati adalah proses menurunnya produksi saliva pada mencit yang diuji

coba, dimana seharusnya terjadi penurunan produksi saliva yang teramati dengan

mengecilnya diameter saliva yang dikeluarkan mencit. Kemudian setelah 30

menit, dilakukan penambahan pilokarpin untuk meningkatkan kembali

rangsangan sistem saraf parasimpatikus sehingga aktivitas kelenjar percernaan

kembali normal.

            Pengamatan mencit pada kelompok 3 hanya dilakukan hingga 45 menit.

Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap hewan uji yang sudah

Page 12: pembahasan farkol

menunjukkan efek sesuai dengan tujuan. Sehingga, pengamatan lebih cepat dan

dihentikan pada waktu tersebut.