pembahasan farkol
-
Upload
nfaranuari -
Category
Documents
-
view
596 -
download
7
Transcript of pembahasan farkol
Susunan saraf otonom adalah susunan saraf yang bekerja tanpa mengikuti
kehendak kita. Misalnya detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan
maupun pencernaan makanan (Pratiwi, DA.1996. Biologi 2. Jakarta. Erlangga.
Diakses tanggal 14 Oktober 2010).
Menurut fungsinya, susunan saraf otonom dibagi menjadi 2 bagian, antara
lain:
1. Susunan saraf simpatik (adrenergik dan adrenolitik).
2. Susunan saraf parasimpatik (kolinergik dan anti kolinergik).
Pada umumnya kedua saraf ini bekerja berlawanan, tetapi dalam beberapa hal
khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis. Rangsangan dari
susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu
penghantar yang disebut transmiter neurohormon atau neurotransmiter. Bila
rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis, maka neurohormon yang bekerja
adalah noradrenalin (adrenalin) atau norepinephrin(epinefrin). Sebaliknya,
apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka yang
neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin (Anonim, 2006. Knowledge
Antomi. Progam animasi anatomi. Diakses tanggal 14 Oktober 2010).
Untuk menghindarkan akumulasi dari neurohormon yang dapat mengakibatkan
perangsangan saraf terus menerus, maka neurohormon harus diuraikan oleh enzim
khusus yang terdapat dalam darah maupun jaringan. Untuk neurohormon
noradrenalin diuraikan oleh enzim metil transferase dan didalam hati oleh Mono
Amin Oksidase (MAO), sedangkan neurohormon asetilkolin diuraikan oleh enzim
kolinesterase.
Selain itu, didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat
otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom,
mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi
organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja
pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls
dalam susunan saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor
spesifik (Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 2002. Jakarta
: Gramedia Pustaka Umum. Diakses tanggal 15 Oktober 2010).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada
sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut :
· Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan
dari saraf simpatik
(oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.
· Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida
sekale, propanolol, dan lain-lain.
b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya
sebagai berikut :
· Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan
dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
· Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida
belladonna (Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 2002.
Jakarta : Gramedia Pustaka Umum. Diakses tanggal 15 Oktober 2010).
Karena di dalam praktikum ini yang dilakukan adalah pengamatan obat-obat
sistem saraf otonom, maka sistem saraf otonom yang digunakan adalah sistem
saraf parasimpatik. Obat-obat dari sistem saraf otonom yang akan diamati adalah
efek aktivitas obat kolinergik dan antikolinergik pada mencit. Dipilihnya mencit
sebagai hewan percobaan untuk efek aktivitas obat koligernik dan antikoligernik,
karena di dalam penanganannya hewan mencit ini lebih mudah ditangani
dibandingkan hewan lainnya, seperti kelinci, marmot, dan monyet.Kolinergik atau
parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang
sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatik (SP), karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, yang berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, maka
akan timbul sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek
kolinergis faal yang terpenting, seperti stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga
sekresi air mata, memperkuat sirkulasi (mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah), memperlambat
pernafasan (menciutkan bronchi), sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata
dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler
akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter
dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot
kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan Hoan Tjay
& Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 oktober 2010).
Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan
Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap
perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : (Tan Hoan Tjay
& Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 Oktober 2010)
a. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin.
b. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi
afinitas lemah terhadap muskarin. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem
saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat
di jaringan tadi. (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 Oktober
2010).
Kolinergik yang termasuk pada parasimpatomimetik dapat dibagi menurut cara
kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak
langsung. Kolinergik yang bekerja secara langsung meliputi karbakol, pilokarpin,
muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini bekerja
secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip efek
muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwaterner yang bersifat
hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin (Tan Hoan Tjay &
Rahardja, 2002).
Sedangkan, kolinergik yang bekerja secara tak langsung meliputi zat-zat
antikolinesteras, seperti fisostigmin, neostigmin, dan piridogstimin. Obat-obat ini
merintangi penguraian ACh secara reversible yang hanya untuk sementara.
Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh segera akan
dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara
irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang,
karena bertahan sampai enzim baru terbentuk lagi (Tjay & Rahardja, 2002). Efek
yang ditimbulkan oleh kolinergik adalah :
· Stimulasi aktivitas saluran cerna, peristaltik diperkuat, sekresi kelenjar-
kelenjar ludah, getah lambung, air mata dan lain-lain.
· Memperlambat sirkulasi darah dan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah.
· Memperlambat pernafasan dengan menciutkan saluran nafas
(bronkokontriksi) dan meningkatkan sekresi dahak.
· Kontraksi otot mata dengan penyempitan pupil mata (miosis) dan
menurunkan tekanan intra okuler dan memperlancar keluarnya airmata.
· Kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar keluarnya
air seni.
Selain itu, kolinergik dapat digunakan pada :
· Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler
meningkat dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan kebutaan. Obat
ini bekerja dengan jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol dan fluostigmin.
· Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan impuls di
pelat ujung motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-otot tubuh hingga
kelumpuhan. Contohnya neostigmin dan piridostigmin.
· Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung kemih
setelah operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh. Akibatnya timbul
aktivitas saraf adrenergik dengan efek obstipasi, sukar buang air kecil atau
lumpuhnya gerakan peristaltik dengan tertutupnya usus (ielus paralitikus).
Contohnya, prostigmin (neostigmin).
Sedangkan, antikolinergik yang termasuk parasimpatolitik memperlihatkan kerja
yang hampir sama, tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai organ,
misalnya atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan keringat pada
dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi pupil mata,
gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada jantung. Antikolinergik
juga memperlihatkan efek sentral, yaitu merangsang pada dosis kecil tetapi
mendepresi pada dosis toksik. Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan untuk
bermacam-macam gangguan, tergantung dari khasiat spesifiknya masing-masing,
antara lain :
· Spasmolitika, dengan meredakan ketegangan otot polos, terutama
merelaksasi kejang dan kolik di saluran lambung-usus, empedu dan kemih.
· Midriatikum, dengan melebarkan pupil mata dan melemahkan akomodasi
mata.
· Borok lambung-usus, dengan menekan sekresi dan mengurangi peristaltik.
· Hiperhidrosis, dengan menekan sekresi keringat yang berlebihan.
· Berdasarkan efeknya terhadap sistem saraf sentral, yaitu :
a. Sedatif pada premedikasi operasi bersama anestetika umum.
b. Parkinson (Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002. Diakses tanggal 15 oktober
2010).
Sebelum mencit diamati, terlebih dahulu seluruh mencit diberi tiopental sebagai
sedativa, agar mempermudah jalannya percobaan dan pengamatan. Pemberian
tiopental ini secara intra peritonial yang bertujuan agar efek yang dihasilkan lebih
cepat diperoleh apabila dibandingkan dengan per oral. Pemerian Pentotal atau Na-
Tiopental mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari 102,0%
C11H17N2NaO2S, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriannya
berupa serbuk hablur, putih sampai hampir putih kekuningan atau kuning
kehijauan pucat, bersifat higroskopik, berbau tidak enk. Larutan bereaksi basa
terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika didihkan akan terbebtuk endapan.
Larur dalam air, etanol, tidak larut dalam benzena, eter mutlak dan dalam
heksana. Na-Tiopental untuk injeksi adalah camupran steril dari Na-Tiopental dan
Na-Carbonat anhidridat sebagai dapar. Mengandung tidak kurang dari 93,0% dn
tidak lebih dari 107,0% C11H17N2NaO2S dari jumlah yang tertera pada etiket.
(Anonimus, 1995:790. Diakses tanggal 16 Oktober 2010). Metabolisme tiopental
sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% tiopental yang
diberikan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata
metabolisme tiopental 12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis
tunggal. Pada pemberian dosis tinggi akan menyebabkan penurunan tekanan
darah arteri, curah balik, dan curah jantung. Hai ini dapar menyebabakan depresi
miokard dan meningkatnya kapasitas vena sera sedikit perubahan pada tahanan
arteri perifer. Tiopental dapat mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan
sensitivitas pusat pernafasan terhadap karbon dioksida.
Kemudian, setelah muncul gejala sedasi, mencit diberi perlakuan sebagai
berikut :
1. Kelompok 1 : kontrol (diberi NaCl fisiologis).
2. Kelompok 2 : diberi pilokarpin (p.o).
3. Kelompok 3 : diberi pilokarpin (p.o), setelah muncul efek, diberi atropin
(p.o).
4. Kelompok 4 : diberi atropin (p.o) diamkan selama 30 menit, lalu diberi
pilokarpin (p.o).
Untuk obat-obat dari sistem saraf parasimpatik seperti yang tertera di atas yang
digunakan, yaitu pilokarpin dan atropin. Pemberian pilokarpin dan atropin
dilakukan secara per oral. Pilokarpin yang diberikan kepada mencit bertujuan agar
mencit tersebut tenang dan dapat mengeluarkan saliva. Sedangkan, atropin
bertujuan sebgai anestesi pada mencit. Selain itu, pilokarpin merupakan salah satu
kolinergik yang sering digunakan dalam pengobatan glaukoma. Alkaloid
pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini
ternyata sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama
digunakan untuk oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan
miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu
spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga
sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu
sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva (Betram.
G. katzung. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. EGC. Jakarta. Diakses tanggal
14 Oktober 2010).
Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan
tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat
ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlem,
sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat cairan humor keluar
dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang
kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja
lebih lama lagi.
Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga
mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan
menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang
berlebihan (Betram. G. katzung. 2004. Farmakologi dasar dan klinik. EGC.
Jakarta. Diakses tanggal 14 Oktober 2010).
Berbeda dengan pilokarpin, atropin adalah senyawa berbentuk kristal putih,
memiliki rasa sangat pahit, titik lebur 115° dan terdiri dari amine antimuscarinic
tersier. Atropin merupakan antagonis reseptor kolinergik yang diisolasi
dari Atropa belladona L., Datura stramonium L., dan tanaman lain dari family
Solanaceae. (Mursidi,1989. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Atropin
merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau
parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja
menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot
polos. Hambatan ini bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. (Achmad,
1986. Diakses tanggal 14 Oktober 2010). Mekanisme kerja atropin memblok aksi
kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya)
yaitu, hambatan oleh atropin dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau
agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya
kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan.Atropin dapat menimbulkan
beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang medulla
oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi
akibat dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas,
eksitasi, halusinasi dan lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa
medulla oblongata. Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan
siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut
dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat bifasik,
yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan,
atropin sebagai antispasmodik, yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung,
sedangkan pada otot polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan
sehingga menyebabkan retensi urin (Hidayat, 2005. Diakses tanggal 14 Oktober
2010).
Setelah dberikan pilokarpin dan atropin, kemudian mencit disimpan ke dalam
gelas kimia yang telah diberi alas kertas saring dan telah ditaburi metilen blue
(metal biru). Metil biru merupakan pewarna thiazine yang kerap digunakan
sebagai bakterisida dan fungsida pada akuarium. Di beberapa tempat penggunaan
bahan ini sudah semakin tidak populer karena diketahui mempunyai pengaruh
buruk terhadap filtrasi biologi dan kemampuan warnanya untuk melekat pada
kulit, pakaian, dekorasi akuarium dan peralatan lainnya termasuk lem akuarium.
Diduga bahan inipun dapat berakibat buruk pada tanaman. Metil biru diketahui
efektif untuk pengobatan ichthyopthirius (white spot) dan jamur. Selain itu, juga
sering digunakan untuk mencegah serangan jamur pada telur ikan. Metil biru
biasanya tersedia sebagai larutan jadi di toko-toko akuarium, dengan konsenrasi 1
- 2 persen. Selain itu tersedia pula dalam bentuk serbuk.
Kemudian, setelah di simpan dalam gelas kimia, lalu diamati pengeluaran saliva
setiap 5 menit dan di ukur diameter bercak saliva pada mencit. Hasil pengamatan
yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Kelompok 0 menit 5
menit
10 menit 15 menit 20 menit 25 menit
Mencit 1 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm 0 cm
Mencit 2 0 cm 0.58 cm 1.3 cm 0.2 cm 0.1 cm 0 cm
Mencit 3 0 cm 1.0 cm 1.5 cm 1.7 cm 2.0 cm 1.2 cm
Mencit 4 0 cm 1.7 cm 1.4 cm 2.8 cm 1.6 cm 1.1 cm
Dari hasil pengamatan, pada mencit kelompok kesatu yang tidak diberi
obat sistem saraf parasimpatik tidak mengeluarkan saliva dari menit ke-5 sampai
dengan menit ke-30. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan apapun pada
ekskresi salivanya.
Lain halnya pada mencit kelompok kedua yang diberi pilokarpin
menunjukkan peningkatan diameter pada bercak saliva. Ini membuktikan bahwa
pilokarpin sebagai parasimpatomimetik dimana ekskresi saliva mencit meningkat
pada menit ke-5 dan menit ke-10, menit selanjutnya menurun dan tidak ada
bercak saliva pada menit ke-25 dan ke-30.
Pada mencit kelompok ketiga yang diberi pilokarpin, lalu setelah timbul
efek diberi atropin, diameter bercak saliva meningkat sampai menit ke-20, lalu
menurun. Kemudian, pada mencit kelompok keempat dimana diberi atropin
terlebih dahulu kemudian, setelah 30 menit diberi pilokarpin diameter bercak
saliva menurun, lalu meningkat lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pilokarpin
sebagai parasimpatomimetik dan atropin sebagai parasimpatolitik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatik dan parasimpatik
memperlihatkan fungsi ang antagonistik. Bila satu mengahambat suatu fungsi ,
maka yang lain memacu fungsi tersebut. Organ tubuh umumnya di persarafi oleh
saraf simpatik dan parasimpatik dan tonus yang terlihat merupakan hasil
perimbangan kedua sistem tersebut. Inhibisi salah satu sistem oleh obat maupun
akibat denervasi menyebabkan aktifitas organ tersebut didominasi oleh sistem
yang lain. Tidak pada semua organ terjadi antagonisme ini, kadang-kadang
efeknya sama, misalnya pada kelenjar liur. Sekresi liur dirangsang, baik oleh saraf
simpatik maupun parasimpatik, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya,
pada perangsangan simpatik liur kental, sedangkan pada perangsangan
parasimpatik liur lebih encer.
Tetapi, dari hasil perhitungan yang diperoleh pada menit ke-15 terhadap menit ke-
30, diantaranya sebagai berikut :
Perhitungan menit ke-15 terhadap menit ke-30
Kelompok Menit ke-15 terhadap
menit ke-30
Keterangan
Mencit 1% I = [(0 - 0)] x 100%
= 0%
Tidak terjadi inhibisi
karena hasil yang di
peroleh positif
Mencit 2 % I = [(0.2 – 0)] x
100%
0.2
= 100 %
Tidak terjadi inhibisi
karena hasil yang di
peroleh positif
Mencit 3 % I = [(1.5 – 0.9)]
x 100%
1.5
= 40 %
Tidak terjadi inhibisi
karena hasil yang di
peroleh positif
Mencit 4 % I = [(2.8 –
1.5 )] x 100%
2.8
= 46.4%
Tidak terjadi inhibisi
karena hasil yang di
peroleh positif
Dari hasil perhitungan yang diperoleh di atas, tidak terjadi inhibisi diameter
bercak saliva mencit, karena bernilai positif.
Pada percobaan kali ini, praktikan hanya melakukan percobaan terhadap mencit
pada kelompok 2 dan kelompok 4, dimana pada kedua kelompok ini dilakukan
penimbangan berat badannya terlebih dahulu untuk menghitung dosis bahan uji
(obat) yang akan diberikan.
Kelompok 2 diberikan tiopental dengan dosis 0,09875 mL dengan tujuan
menurunkan kesadaran hewan percobaan, dalam hal ini mencit. Percobaan
kemudian dilanjutkan dengan penambahan pilokarpin pada mencit tersebut
dengan dosis 0,49375 mL yang bertujuan untuk mengamati perangsangan sistem
saraf simpatikus. Perangsangan sistem saraf parasimpatikus menyebabkan reaksi
trofotropik, yaitu meningkatnya semua proses yang berfungsi untuk aktifitas
pengembalian. Dalam praktikum ini, proses pengembalian yang dapat diamati
yaitu peningkatan aktivitas kelenjar-kelenjar saliva. Dalam keadaaan tidak sadar,
mencit pada percobaan mengeluarkan jumlah saliva yang semakin banyak seiring
dengan semakin bertambahnya pilokarpin yang terserap tubuh mencit tersebut.
Jumlah itu diamati melalui besarnya diameter saliva yang menetes pada kertas
yang telah ditaburi methylene blue. Berdasarkan teori tersebut seharusnya
diameter saliva yang dikeluarkan mencit semakin lama semakin besar, namun
pada praktikum ini diameternya bervariasi sehingga tidak membentuk kurva yang
linear. Hal ini kemungkinan terjadi akibat faktor-faktor internal dan eksternal,
misalnya kondisi tubuh mencit yang sedang tidak stabil, sehingga penyerapan
pilokarpin yang disuntikan ke dalam tubuhnya tidak berlangsung secara bertahap.
Maka dari itu, kuantitas saliva yang dikeluarkan mencit terkadang berjumlah
banyak dan terkadang sedikit.
Kelompok 4 dari mencit ini diberi perlakuan yang sama untuk pembiusan
terlebih dahulu, yaitu dengan penambahan tiopental dengan dosis sebanyak
0,09375 mL kemudian diberikan antropin untuk mengamati efek perangsangan
sistem saraf simpatikus yang menyebabkan reaksi ergotropik, yaitu meningkatnya
kemampuan untuk bekerja dan berhubungan dengan luar serta menurunya
aktivitas produksi kelenjar-kelenjar saluran pencernaan. Dalam hal ini, yang
praktikan amati adalah proses menurunnya produksi saliva pada mencit yang diuji
coba, dimana seharusnya terjadi penurunan produksi saliva yang teramati dengan
mengecilnya diameter saliva yang dikeluarkan mencit. Kemudian setelah 30
menit, dilakukan penambahan pilokarpin untuk meningkatkan kembali
rangsangan sistem saraf parasimpatikus sehingga aktivitas kelenjar percernaan
kembali normal.
Pengamatan mencit pada kelompok 3 hanya dilakukan hingga 45 menit.
Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap hewan uji yang sudah
menunjukkan efek sesuai dengan tujuan. Sehingga, pengamatan lebih cepat dan
dihentikan pada waktu tersebut.