Pemanfaatan Biji Asam Jawa

65
PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENJERNIHAN AIR LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi COD influent , hydraulic retention time (HRT) dan tinggi unggun terhadap % penurunan COD dan MLSS secara biofiltrasi anaerob dari limbah cair industri tahu telah dilaksanakan dalam reaktor fixed-bed dua tahap dengan media kerikil. Variabel operasi penelitian adalah konsentrasi COD influent (2000, 3000 mg/L dan tanpa pengenceran), HRT (12, 18 dan 24 jam) dan tinggi unggun (100 dan 125 cm). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peningkatan HRT berpengaruh terhadap penurunan total COD tetapi tidak terhadap MLSS. Penurunan konsentrasi COD umpan meningkatkan persentase reduksi total COD dan MLSS. Reduksi total COD dan MLSS pada tinggi unggun 125 cm lebih tinggi dibanding tinggi unggun 100 cm. Penggunaan HRT 18 24 jam dan konsentrasi COD influent 2000 mg/L memberikan hasil yang terbaik untuk penurunan total COD (71,94% dan 59,85% masing-masing untuk tinggi unggun 125 dan 100 cm). Sementara pada kondisi yang sama penyisihan MLSS masing-masing sebesar 81,37% dan 75,98%. Kata Kunci : limbah cair, biofiltrasi, anaerobik, reaktor fixed-bed ABSTRACT Study on the effect of varying influent COD concentration, hydraulic retention time (HRT) of the reactor, and height of medium of the reactor to percentage reduction of COD and mixed liquor suspended solid (MLSS) from tofu wastewater was conducted in a two stages anaerobic biological filter reactor by using gravel packing medium. The operation variables were the COD influent (2000, 3000 mg/L and without dilution), the HRT (12, 18 and 24 hours) and the height of medium (100 and 125 cm). The results of the analysis showed that the reduction of COD was affected by HRT, while the reduction MLSS was not affected by HRT. The percentages of COD and MLSS removal were increased as well as the decrease of the concentration of COD influent. Total reduction of COD and MLSS at 125 cm bed height was higher than 100 cm bed height. The use of 18 to 24 hours HRT and the 2000 mg/L of COD influent gave the best percentage total reduction of COD (71.94 and 59.85% for 125 and 100 cm the bed height, respectively). At the same condition, the average of percentage MLSS removal was 81.37% and 75.98%. Keywords : wastewater, biofiltration, anaerobic, fixed-bed reactor

Transcript of Pemanfaatan Biji Asam Jawa

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (Tamarindus indica)

SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENJERNIHAN

AIR LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU

ABSTRAK

Penelitian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi COD influent, hydraulic retention time (HRT) dan tinggi unggun terhadap % penurunan COD dan MLSS secara biofiltrasi anaerob dari

limbah cair industri tahu telah dilaksanakan dalam reaktor fixed-bed dua tahap dengan media kerikil. Variabel operasi penelitian adalah konsentrasi COD influent (2000, 3000 mg/L dan

tanpa pengenceran), HRT (12, 18 dan 24 jam) dan tinggi unggun (100 dan 125 cm). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peningkatan HRT berpengaruh terhadap penurunan total COD tetapi tidak terhadap MLSS. Penurunan konsentrasi COD umpan meningkatkan persentase

reduksi total COD dan MLSS. Reduksi total COD dan MLSS pada tinggi unggun 125 cm lebih tinggi dibanding tinggi unggun 100 cm. Penggunaan HRT 18 – 24 jam dan konsentrasi COD

influent 2000 mg/L memberikan hasil yang terbaik untuk penurunan total COD (71,94% dan 59,85% masing-masing untuk tinggi unggun 125 dan 100 cm). Sementara pada kondisi yang sama penyisihan MLSS masing-masing sebesar 81,37% dan 75,98%.

Kata Kunci : limbah cair, biofiltrasi, anaerobik, reaktor fixed-bed

ABSTRACT

Study on the effect of varying influent COD concentration, hydraulic retention time (HRT)

of the reactor, and height of medium of the reactor to percentage reduction of COD and mixed liquor suspended solid (MLSS) from tofu wastewater was conducted in a two stages anaerobic

biological filter reactor by using gravel packing medium. The operation variables were the COD influent (2000, 3000 mg/L and without dilution), the HRT (12, 18 and 24 hours) and the height of medium (100 and 125 cm). The results of the analysis showed that the reduction of COD was

affected by HRT, while the reduction MLSS was not affected by HRT. The percentages of COD and MLSS removal were increased as well as the decrease of the concentration of COD influent.

Total reduction of COD and MLSS at 125 cm bed height was higher than 100 cm bed height. The use of 18 to 24 hours HRT and the 2000 mg/L of COD influent gave the best percentage total reduction of COD (71.94 and 59.85% for 125 and 100 cm the bed height, respectively). At

the same condition, the average of percentage MLSS removal was 81.37% and 75.98%.

Keywords : wastewater, biofiltration, anaerobic, fixed-bed reactor

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang

kedelai (Glysine spp) yang sangat akrab khususnya bagi masyarakat Indonesia dan bahkan Asia

umumnya. Sebagian besar produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh industri skala kecil yang

kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. Berdasarkan laporan Proyek Environmental Managenet

Development in Indonesia atau EMDI (Bapedal, 1994), pada tahun 1990 jumlah industri tahu di

Indonesia tercatat sebanyak 25.870 dan 63 diantaranya merupakan industri skala besar dan

menengah sedang sisanya berskala kecil.

Proses pembuatan tahu relatif sederhana, protein-nabati dalam bahan baku diekstraksi

secara fisika dan digumpalkan dengan koagulan antara lain batu tahu, asam asetat atau whey tahu

(Santoso, 1993). Whey tahu merupakan limbah cair tahu yang diasamkan dengan cara

penyimpanan dalam wadah terbuka selama 24 jam. Dalam pemrosesannya, setiap tahapan

proses umumnya menggunakan air sebagai bahan pembantu dalam jumlah yang relatif banyak.

Menurut Nuraida (1985), untuk tiap 1 kg bahan baku kedelai dibutuhkan rata-rata 45 liter air dan

akan dihasilkan limbah cair berupa whey tahu rata-rata 43,5 liter. Whey mengandung bahan-

bahan organik berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak yang tinggi (Nurhasan dan

Pramudyanto, 1987) dan dapat segera terurai dalam lingkungan berair (EMDI–Bapedal, 1994)

menjadi senyawa-senyawa organik turunan yang dapat mencemari lingkungan. Tay (1990),

BPPT (1997a) dan Husin (2003) melaporkan, bahwa air buangan industri tahu mengandung

BOD, COD, TSS, nitrogen dan fosfor yang tinggi.

Suatu hasil studi tentang karakteristik air buangan industri tahu-tempe di Medan (Bappeda

Medan, 1993), dilaporkan bahwa air buangan industri tahu rata-rata mengandung BOD, COD,

TSS dan minyak/lemak berturut-turut sebesar 4583, 7050, 4743 dan 26 mg/l. Sementara EMDI –

Bapedal (1994) melaporkan kandungan rata-rata BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar

3250, 6520 dan 1500 mg/l. Bila dibandingkan dengan baku mutu limbah cair industri produk

makanan dari kedelai menurut KepMenLH No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu

Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, kadar maksimum yang diperbolehkan untuk BOD5, COD

dan TSS berturut-turut adalah 50, 100 dan 200 mg/l, sehinga jelas bahwa limbah cair industri ini

telah melampaui baku mutu yang dipersyaratkan.

Upaya untuk menurunkan kandungan bahan organik dalam air buangan industri tahu telah

banyak dilakukan, diantaranya menggunakan metode fisika-kimia (Husin, 2003 dan Satyanaran

et al, 2004), biologis aerob (Tay, 1990 dan Upe, 2001), dan pemanfaatan gulma air (Lisnasari,

1995). Akan tetapi, penerapan ketiga metode tersebut dalam skala riil khususnya di Indonesia

relatif sulit karena beberapa alasan, antara lain : metode dan operasi relatif kompleks, kebutuhan

jumlah koagulan besar dan biaya energi listrik untuk aerasi tinggi, serta lahan fasilitas

pengolahan yang relatif luas (MetCalf dan Eddy, 2003) serta produksi lumpur atau biomassa

tinggi (Tobing dan Loebis, 1994). Dengan demikian, para pengusaha industri tahu sering

membuang limbah ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk

mengatasi masalah di atas, diperlukan metode pengolahan alternatif baru yang efektif, murah dan

efisien serta mudah dioperasikan.

Biofilter merupakan suatu reaktor biologis film-tetap (fixed-film) menggunakan packing

berupa kerikil, plastik atau bahan padat lainnya dimana limbah cair dilewatkan melintasinya

secara kontinu. Adanya bahan isian padat menyebabkan mikroorganisme yang terlibat tumbuh

dan melekat atau membentuk lapisan tipis (biofilm) pada permukaan media tersebut (MetCalf

dan Eddy, 2003). Biofilter berupa filter dari medium padat tersebut diharapkan dapat melakukan

proses pengolahan atau penyisihan bahan organik terlarut dan tersuspensi dalam limbah cair.

Filtrasi merupakan proses pemisahan padatan–material tersuspensi yang ada di dalam air

dengan melewatkannya melalui media berpori (Montgomery, 1985). Adanya bahan organik dan

aktivitas biologis menyebabkan terjadinya perubahan sifat pelekatan material tersuspensi

terhadap media filter.

Aplikasi metode biofiltasi telah banyak dilaporkan khususnya dalam pengolahan limbah

cair, seperti limbah cair industri tahu-tempe (BPPT, 1997a), limbah cair rumah sakit (BPPT,

1997b), air buangan industri (Darmawan,1998), air sungai yang sangat kotor (Laura, 1995; Hadi

dan Santoso, 2000), limbah pabrik alkohol (Suwarno et al, 2003). Menurut Young (1991) dan

Rittmann dan McCarty (2001), biofiltrasi juga dapat diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair

bahan-bahan kimia, domestik, bahan makanan, soft drink, landfill leachate dan industri farmasi.

Uji coba yang telah dilakukan di daerah Jakarta dalam mengolah limbah cair industri tahu-

tempe menggunakan packing dari bahan plastik berbentuk sarang tawon dalam kondisi anaerob-

aerob membuktikan adanya penurunan BOD, COD dan TSS yang cukup signifikan (BPPT,

1997a). Akan tetapi, penggunaaan packing dari bahan plastik mempunyai kelemahan yaitu biaya

packing relatif tinggi (MetCalf dan Eddy, 2003) dan kecenderungan kehilangan padatan biologis

yang lebih besar (Rittmann dan McCarty, 2001).

Meskipun unjuk kerja biofilter secara anaerob-aerob memberikan hasil yang cukup baik seperti dilaporkan oleh BPPT (1997a), tetapi pengujian proses tersebut khususnya untuk industri tahu berskala kecil secara individual di Indonesia dan penggunaan media biofilter yang lain

masih jarang.

Dalam penelitian ini, penyusun mencoba mempergunakan proses biofiltrasi anaerob dalam reaktor fixed-bed dua tahap dengan batu kerikil berdiameter 1 – 2 cm yang diisi secara curah ke dalam reaktor sebagai media pembiakan mikroba. Penelitian ini dilakukan pada skala laboratorium dengan laju alir umpan kontinu dan aliran downflow – upflow pada temperatur ruang.

1.2. Masalah Penelitian

Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi, bila dibuang ke

lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu akan menimbulkan dampak negatif berupa penurunan

kualitas badan air penerima. Upaya penanganan dampak dengan cara pengolahan limbah cair

industri tahu menggunakan metode koagulasi– flokulasi, proses lumpur aktif dan gulma air

belum memberikan hasil yang memuaskan.

Uji coba pengolahan limbah cair industri tahu-tempe secara biofiltrasi anaerob

menggunakan packing bahan plastik berbentuk sarang tawon yang telah dilakukan di daerah

Jakarta menunjukkan adanya penurunan BOD, COD dan TSS yang cukup signifikan (BPPT,

1997a). Akan tetapi, penggunaaan packing dari bahan plastik masih mempunyai kelemahan

antara lain biaya packing relatif tinggi dan kecenderungan kehilangan padatan biologis yang

lebih besar. Metode pengolahan limbah cair secara biofiltrasi anaerobik menggunakan packing

batu kerikil diharapkan akan dapat menjawab permasalahan tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hydraulic retention time (HRT),

konsentrasi COD awal limbah dan tinggi media unggun terhadap reduksi kandungan COD dan

MLSS limbah cair industri tahu secara biofiltrasi anaerob menggunakan reaktor fixed-bed dua

tahap dengan packing dari bahan kerikil.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam mengolah limbah cair industri

tahu

b. Sebagai bahan masukan baik bagi pengusaha industri tahu maupun peneliti, bahwa

biofiltrasi anaerobik dapat digunakan untuk mendegradasi bahan organik dalam limbah

cair industri tahu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1). Pada penelitian ini digunakan limbah cair industri tahu yang terdapat di sekitar daerah

Padang Bulan Medan.

(2). Parameter uji yang diamati adalah chemical oxygen demand (COD) dan mixed liquor

suspended solid (MLSS).

(3). Kondisi operasi percobaan dilakukan pada temperatur ruang dengan pH awal limbah cair

alamiah, dengan variasi percobaan sebagai berikut :

a. Hydraulic retention time (HRT) atau waktu tinggal cairan : 12 ; 18 dan 24 jam.

b. Konsentrasi COD awal limbah masuk ke reaktor : 2000 dan 3000 mg/L dan alamiah

(tanpa pengenceran).

c. Tinggi unggun media filter : 100 dan 125 cm.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Pembuatan Tahu

Kedelai dan produk makanan yang terbuat dari kacang kedelai merupakan sumber bahan

makanan yang dapat diperoleh dengan harga yang murah serta kandungan protein tinggi. Bagi

penduduk dunia terutama orang Asia, tahu merupakan makanan yang umum. Di Indonesia,

peningkatan kualitas kesehatan secara langsung merupakan bagian dari peningkatan produk

makanan yang terbuat dari kedelai, seperti tahu, tempe, kecap dan produk lain yang berbasis

kedelai.

Industri tahu di Indonesia berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.

Namun di sisi lain industri ini menghasilkan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan.

Industri tahu membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu untuk proses sortasi, perendaman,

pengupasan kulit, pencucuian, penggilingan, perebusan dan penyaringan. Secara umum, skema

proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Air buangan dari proses pembuatan tahu ini menghasilkan limbah cair yang menjadi

sumber pencemaran bagi manusia dan lingkungan. Limbah tersebut, bila dibuang ke perairan

tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mengakibatkan kematian makhluk hidup dalam air

termasuk mikroorganisme (jasad renik) yang berperan penting dalam mengatur keseimbangan

biologis air, oleh karena itu penanganan limbah cair secara dini mutlak perlu dilakukan.

Kedelai

Sumber : Santoso, 1993; Bapedal, 1994 dan BPPT, 1997a

Gambar 2.1. Bagan Proses Pembuatan Tahu

Tahu

Perebusan Air air rebusan

Pencetakan/pengepresan/pemotongan Air tahu

Penggumpalan Batu tahu Asam Asetat

atau Whey

Limbah cair

(BOD, TSS)

Penyaringan Air tahu/ whey

(TSS, BOD)

Pengupasan Kulit Air

Kulit kedelai

Limbah Cair

(BOD, TSS)

Perendaman Air

Sortasi dan pembersihan Air Kotoran

Limbah Cair

(3 – 12 jam)

Pencucian Air Limbah cair (30-40 menit)

Penggilingan Air - Air hangat ( 8 : 1)

Pemasakan bubur kedelai Air

– air hangat, 100oC, 15 – 30 menit

FILTRAT

Penyaringan Air Ampas tahu air hangat

30 menit

80oC

2.2. Limbah Cair Industri Tahu

Limbah industri tahu terdiri dari dua jenis, yaitu limbah cair dan padat. Dari kedua jenis

limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari lingkungan.

Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan bersumber dari cairan kental yang terpisah dari

gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan yang disebut air dadih atau

whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan

kulit, pencucian, penyaringan, pencucian peralatan proses dan lantai. Jumlah limbah cair yang

dihasilkan oleh industri pembuatan tahu sebanding dengan penggunaan air untuk

pemrosesannya. Menurut Nuraida (1985) jumlah kebutuhan air proses dan jumlah limbah cair

yang dihasilkan dilaporkan berturut-turut sebesar 45 dan 43,5 liter untuk tiap kilogram bahan

baku kacang kedelai. Pada beberapa industri tahu, sebagian kecil dari limbah cair tersebut

(khususnya air dadih) dimanfaatkan kembali sebagai bahan penggumpal (Dhahiyat, 1990).

Perincian pengggunaan air dalam setiap tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perkiraan kebutuhan air pada pengolahan tahu dari 3 kg kedelai

Tahap Proses Kebutuhan Air (Liter)

Pencucian 10

Perendaman 12

Penggilingan 3

Pemasakan 30

Pencucian ampas 50

Perebusan 20

Jumlah 135

Sumber : Nuraida (1985)

Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik kompleks yang tinggi

terutama protein dan asam-asam amino (EMDI ─ Bapedal, 1994) dalam bentuk padatan

tersuspensi maupun terlarut (BPPT, 1997a). Adanya senyawa-senyawa oeganik tersebut

menyebabkan limbah cair industri tahu mengandung BOD, COD dan TSS yang tinggi (Tay,

1990; BPPT, 1997a; dan Husin, 2003) yang apabila dibuang ke perairan tanpa pengolahan

terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran.

2.2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Secara umum karakteristik air buangan dapat digolongkan atas sifat fisika, kimia dan

biologi. Akan tetapi, air buangan industri biasanya hanya terdiri dari karakteristik kimia dan

fisika. Menurut Eckenfelder (1989), parameter yang digunakan untuk menunjukkan karakter air

buangan industri adalah :

a. Parameter fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain-lain.

b. Parameter kimia, dibedakan atas :

b.1. Kimia Organik : kandungan organik (BOD, COD, TOC), oksigen terlarut (DO),

minyak/lemak, Nitrogen-Total (N-Total), dan lain-lain.

b.2. Kimia anorganik : pH, Ca, Pb, Fe, Cu, Na, sulfur, H2S, dan lain-lain.

Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain :

(1). Padatan tersuspensi, yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air.

Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air, semakin

tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air akan semakin keruh (MetCalf &

Eddy, 2003).

(2). Biochemical Oxygen Demand (BOD), merupakan parameter untuk menilai jumlah zat

organik yang terlarut serta menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan oleh aktivitas

mikroba dalam menguraikan zat organik secara biologis di dalam limbah cair (MetCalf

& Eddy, 2003). Limbah cair industri tahu mengandung bahan-bahan organik terlarut

yang tinggi.

(3). Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimiawi merupakan jumlah

oksigen yang dibutuhkan oleh oksidator (misal kalium dikhromat) untuk mengoksidasi

seluruh material baik organik maupun anorganik yang terdapat dalam air (MetCalf &

Eddy, 2003). Jika kandungan senyawa organik dan anorganik cukup besar, maka

oksigen terlarut di dalam air dapat mencapai nol sehingga tumbuhan air, ikan-ikan dan

hewan air lainnya yang membutuhkan oksigen tidak memungkinkan hidup.

(4). Nitrogen-Total (N-Total) yaitu fraksi bahan-bahan organik campuran senyawa

kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan protein (polimer asam amino).

Dalam analisis limbah cair, N-Total terdiri dari campuran N-organik, N-amonia, nitrat

dan nitrit (Sawyer et al, 1994). Nitrogen organik dan nitrogen amonia dapat ditentukan

secara analitik menggunakan metode Kjeldahl, sehingga lebih lanjut konsentrasi total

keduanya dapat dinyatakan sebagai Total Kjeldahl Nitrogen (TKN). Senyawa-senyawa

N-Total adalah senyawa-senyawa yang mudah terkonversi menjadi amonium (NH4+)

melalui aksi mikroorganisme dalam lingkungan air atau tanah (MetCalf dan Eddy,

2003). Menurut Kuswardani (1985) limbah cair industri tahu mengandung N-Total

sebesar 434,78 mg/L.

(5). Derajat Keasaman (pH). Air limbah industri tahu sifatnya cenderung asam (BPPT,

1997a), pada keadaan asam ini akan terlepas zat-zat yang mudah menguap. Hal ini

mengakibatkan limbah cair industri tahu mengeluarkan bau busuk.

Berdasarkan hasil studi Balai Perindustrian Medan terhadap karakteristik air buangan

industri tahu di Medan (Bappeda Medan, 1993), diketahui bahwa limbah cair industri tahu rata-

rata mengandung BOD (4583 mg/l); COD (7050 mg/l), TSS (4743 mg/l) dan minyak atau

lemak 26 mg/l serta pH 6,1. Sementara menurut Laporan EMDI ─ Bapedal (1994) limbah cair

industri tersebut rata-rata mengandung BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520,

dan 1500 mg/l.

Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4) atau asam asetat sebagai koagulan tahu

juga menyebabkan limbah cair tahu mengandung ion-ion logam. Kuswardani (1985) melaporkan

bahwa limbah cair industri tahu mengandung Pb (0,24 mg/l); Ca (34,03 mg/l); Fe (0,19 mg/l); Cu

(0,12 mg/l) dan Na (0,59 mg/l).

2.3. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu

Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba dan dikembangkan.

Secara umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut dapat digolongkan atas 3 jenis

metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia maupun biologis.

Cara fisika, merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya

padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan memanfaatkan gaya-gaya fisika

(Eckenfelder, 1989 dan MetCalf & Eddy, 2003). Dalam pengolahan limbah cair industri tahu

secara fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan

(sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring terutama untuk

menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan tersuspensi dari limbah cair.

Dalam sedimentasi, flok-flok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya

gravitasi.

Cara kimia, merupakan metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa polutan dalam

limbah cair dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia lainnya (MetCalf & Eddy,

2003). Beberapa proses yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair industri tahu

diantaranya termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi.

Proses netralisasi biasanya diterapkan dengan cara penambahan asam atau basa guna

menetralisir ion-ion terlarut dalam limbah cair sehingga memudahkan proses pengolahan

selanjutnya.

Dalam proses koagulasi-flokulasi menurut Mysels (1959), partikel-partikel koloid

hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat

adsorpsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid

bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ion-ion bermuatan berlawanan

dan membentuk lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan

kokoh stern yang bermuatan positif menarik ion-ion negatif lainnya dari dalam larutan

membentuk lapisan kedua (lapisan difus). Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti

partikel-partikel koloid dan membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan

stabil menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya

membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses

sedimentasi ataupun filtrasi.

Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan

cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid, dengan demikian

partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain membentuk mikroflok.

Selanjutnya mikroflok-mikroflok yang telah terbentuk dengan dibantu pengadukan lambat

megalami penggabungan menghasilkan makroflok (flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari

dalam larutan dengan cara pengendapan atau filtrasi (Eckenfelder, 1989; Farooq dan Velioglu,

1989).

Koagulan yang biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan garam-

garam besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya endapan

lumpur yang dihasilkan (Ramalho, 1983; Eckenfelder, 1989; MetCalf dan Eddy, 2003), sehingga

membutuhkan penanganan lebih lanjut.

Selain kedua metode tersebut di atas, metode gabungan fisika-kimia mencakup flokulasi

yang dikombinasikan dengan sedimentasi juga telah dicoba digunakan dalam skala laboratorium

antara lain oleh Husin (2003) dan Satyanaran et al (2004). Namun, penerapan metode fisika,

kimia atau gabungan keduanya dalam skala riil hasilnya kurang memuaskan khususnya di

Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain : metode pengolahan fisika-kimia

terlalu kompleks, kebutuhan bahan kimia cukup tinggi, serta lumpur berupa endapan sebagai

hasil dari sedimentasi menjadi masalah penanganan lebih lanjut.

Cara biologi dapat menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan

mikroorganisme atau tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul

kompleks menjadi molekul sederhana. Proses ini sangat peka terhadap faktor suhu, pH, oksigen

terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat beracun. Mikroorganisme yang digunakan

untuk pengolahan limbah adalah bakteri, algae, atau protozoa (Ritmann dan McCarty, 2001).

Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat digunakan termasuk gulma air (aquatic weeds)

(Lisnasari, 1995).

Metode biologis lainnya juga telah dicoba diterapkan dalam penanganan limbah cair

industri tahu. Tay (1990) mencoba menggunakan proses lumpur aktif (activated sludge) untuk

mendegradasi kandungan organik dalam limbah cair tahu dan susu kedelai. Hasil yang dicapai

dilaporkan secara teknis cukup memuaskan, dimana diperoleh penurunan BOD terlarut, nitrogen

dan fosfor berturut-turut sebesar 95%, 67% dan 57%. Akan tetapi melihat tingkat pengetahuan

para pengrajin tahu khususnya di Indonesia yang relatif minim dalam hal penanganan limbah dan

faktor-faktor teknis lainnya, seperti biaya investasi dan operasi cukup tinggi, luas lahan yang

diperlukan cukup besar, serta pengendalian proses yang relatif kompleks. Sehingga, penerapan

metode ini khususnya di Indonesia kurang berdaya guna. Hal ini dapat dilihat, bahwa banyak di

antara pengrajin tahu membuang limbahnya ke perairan tanpa melalui pengolahan terlebih

dahulu (Lisnasari, 1995).

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, perlu dicari metode pengolahan limbah cair

yang lebih sederhana, efektif dan murah dan mudah dioperasikan, sehingga dapat diterima dan

diterapkan di Indonesia. Berdasarkan laporan EMDI ─ Bapedal (1994) metode pengolahan

biologis yang juga patut dipertimbangkan untuk mengolah limbah cair tahu di antaranya adalah

proses aerob dan anaerob di samping metode penimbunan pada tanah dan penyemprotan irigasi.

Berdasarkan informasi tersebut, salah satu cara pengolahannya adalah menggunakan proses

anaerob. Pemilihan metode ini sesuai dengan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh

Eckenfelder (1989) dan Tobing (1989), bahwa untuk limbah cair pekat dengan kandungan BOD5

1000 mg/l metode pengolahan yang lebih layak adalah dekomposisi anaerob.

2.4. Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerobik

Pengolahan limbah cair dengan proses anaerob pada dasarnya sama dengan proses aerobik,

dimana sama-sama memanfaatkan aktivitas mikroorganisme atau metabolisme sel untuk

menurunkan atau menghilangkan substrat tertentu terutama senyawa-senyawa organik

biodegradable dalam air buangan. Proses metabolisme sel dapat dipisahkan atas 2 jenis proses,

yaitu katabolisme dan anabolisme (Davis dan Cornwell, 1991; Manahan, 1994 ; Rittmann dan

McCarty, 2001). Katabolisme adalah semua proses biokimia yang terlibat dalam degradasi atau

oksidasi substrat menjadi produk akhir yang disertai dengan pelepasan energi. Energi yang

dilepas dalam proses oksidasi tersebut ditransfer ke energy carrier yang kemudian

menyimpannya, dan selanjutnya digunakan oleh bakteri tersebut untuk pergerakan sel,

maintenance sel serta kebutuhan energi proses lainnya (Rittmann dan McCarty, 2001).

Anabolisme adalah termasuk semua proses biokimia yang dilakukan bakteri untuk sintesa

sel baru atau komponen seluler dari sumber karbon. Proses sintesa ini digerakkan oleh energi

yang telah tersimpan atau tersedia dalam energy carrier (Davis dan Cornwell, 1991). Jadi suatu

organisme dapat menggunakan proses metabolisme baik untuk menghasilkan energi maupun

untuk memodifikasi senyawa-senyawa biomolekuler (Manahan, 1994).

Berdasarkan pemanfaatan oksigen dalam proses metabolisme sel, pengolahan limbah cair

secara biologis dapat dikelompokkan atas 2 kelompok, yaitu proses aerob dan anaerob. Pada

proses aerob, katabolisme senyawa organik berlangsung dengan memanfaatkan oksigen bebas

yang terdapat dalam lingkungan sebagai penerima elektron terakhir. Pada proses anaerob atau

disebut respirasi anaerob, katabolisme senyawa organik berlangung tanpa oksigen bebas dalam

lingkungan dan penguraian terjadi dengan memanfaatkan senyawa organik sebagai penerima

elektron terakhir (Rittmann dan McCarty, 2001).

Dalam perlakuan biologis, prinsip biologi diterapkan untuk mengolah limbah cair dengan

bantuan mikroorganisme yang dapat diperoleh secara alamiah (Rittmann dan McCarty, 2001;

MetCalf & Eddy, 2003) atau seleksi (Tobing dan Loebis, 1994). Sistem ini cukup efektif dengan

biaya pengoperasian rendah dan dapat mereduksi BOD hingga 90% (Fardiaz, 1992). Oleh karena

itu, pengolahan limbah cair secara biologis merupakan cara yang sangat menarik dan

menguntungkan. Keuntungan lainnya adalah lumpur yang dihasilkan dari pengolahan limbah

khususnya proses anaerob relatif sedikit (Rittmann dan McCarty, 2001; MetCalf dan Eddy,

2003).

Perlakuan anaerobik untuk degradasi senyawa organik kompleks dalam limbah cair tahu

muncul sebagai pilihan yang logis dan menarik, karena biodegradasi senyawa-senyawa organik

kompleks dapat dilakukan dalam sistem anaerob. Dalam proses anaerob, senyawa-senyawa

organik kompleks (protein, karbohidrat dan minyak/lemak) berantai panjang mula-mula

didegradasi menjadi asam lemak dan asam amino sederhana dan berantai pendek serta sejumlah

kecil gas hidrogen (Parkin dan Owen, 1986; Ridlo, 1996; MetCalf dan Eddy, 2003). Selanjutnya

asam-asam organik dan asam-asam amino sederhana diuraikan lebih lanjut menjadi gas metan

(CH4), karbon dioksida (CO2) dan sejumlah kecil H2, hidrogen sulfida (H2S) dan nitrogen serta

biomassa (Balch et al, 1977; Speece, 1983).

2.4.1. Biodegradasi Limbah Cair Secara Anaerobik

Biodegradasi senyawa-senyawa organik kompleks dalam limbah cair secara anaerob atau

disebut juga proses destabilisasi (Tobing dan Loebis, 1994) dapat menghasilkan produk

intermediet berupa asam lemak volatil, asam amino sederhana seperti asam asetat, asam

propionat, butirat, glysin, leusin dan lain-lain. Beberapa literatur tentang proses penguraian

substrat organik kompleks dalam limbah cair secara anaerob dilaporkan oleh Andrews et al

(1962); McCarty dan Smith (1986); Damayanthie (2000); Archer dan Kirsop (1990) dan Tobing

dan Loebis (1994).

Andrews et al (1962) mempelajari kinetika dan karakteristik degradasi limbah cair organik

menggunakan reaktor batch dalam keadaan anaerob. Hasil penelitian tersebut menunjukkan,

bahwa :

(1). Pada awal proses degradasi anaerob, pH cairan mengalami penurunan karena di dalam

sistem terjadi pembentukan asam-asam organik. Setelah tahap ini berakhir terjadi

fermentasi metana, dimana asam-asam organik dipecah akibatnya pH campuran

mengalami kenaikan. Proses ini mulai terjadi setelah operasi berlangsung kurang lebih 2

hari.

(2). Setelah periode penahanan yang lama, hampir seluruh asam-asam organik volatil

dikonversi menjadi gas metan dan karbon dioksida.

Dhamayanthie (2000) mencoba meneliti pengolahan limbah cair industri tekstil dengan

proses anaerob-aerob menggunakan reaktor alir kontinu. Hasil penelitian dilaporkan bahwa

dalam tahap anaerob dengan temperatur ruang dan waktu tinggal 12 – 24 jam dihasilkan

penurunan COD 21,76 – 29,56 % dan BOD 14,80 – 41,91%.

Berdasarkan grup bakteri yang berperan, proses biodegradasi bahan organik kompleks

secara anaerob menjadi gas metana dapat dibagi atas tiga tahap seperti terlihat pada Gambar 2.2

(Polprasert dan Hoang, 1983; Spaan, 1983; Ridlo, 1996; Rittmann dan McCarty, 2001; dan

MetCalf & Eddy, 2003).

Pada tahap hidrolisis, mikro organisme hidrolitik akan mendegradasi bahan organik

kompleks menjadi monomer-monomer. Produk akhir pada proses hidrolisis ini terutama

monosakarida, asam lemak, asam amino serta purin dan pirimidin (Spaan, 1983; Speece, 1983;

Polprasert dan Hoang, 1983; Ridlo, 1996; dan MetCalf & Eddy, 2003) dan bahan-bahan organik

yang sukar terhidrolisis (Tobing dan Loebis, 1994). Akan tetapi hasil proses ini tidak merubah

nilai COD (Eckenfelder, 1989).

Dalam tahap fermentasi (asidifikasi), monomer-monomer hasil proses hidrolisis

didegradasi lebih lanjut oleh bakteri asidogenik menjadi asam lemak volatil seperti asam

propionat, butirat, valerat dan sebahagian kecil asam asetat, H2 dan CO2 MetCalf & Eddy, 2003),

etanol, amoniak dan hidrogen sulfida (Tobing dan Loebis, 1994; dan Ridlo, 1996) . Asam-asam

organik yang molekulnya lebih berat dari asam asetat akan diubah lebih lanjut oleh bakteri

asetogenik menjadi asam asetat, H2 dan CO2 (Parkin dan Owen, 1986). Eckenfelder (1989) dan

McCarty dan Smith (1986) melaporkan bahwa penguraian asam-asam organik seperti propionat,

butirat dan valerat oleh bakteri asetogenik hanya dapat terjadi bila konsentrasi H2 sangat rendah,

yaitu jika tekanan parsial gas H2 10-4 atm. Produk akhir tahap fermentasi ini merupakan

perintis dalam pembentukan gas metana.

Tahap

hidrolisis

Tahap

fermentasi

BAHAN ORGANIK KOMPLEKS (Protein, lipid, polisakarida, asam nukleat)

asam amino, asam lemak, monosakarida,

purin dan pirimidin

asam propionat asam butirat asam valerat dll

asam asetat H2 ; CO2

Tahap ketiga, yaitu tahap metanogenesis (metanasi) merupakan tahap pembentukan gas

metana dari asam asetat dan H2 serta CO2 (Tobing, 1989; dan Ridlo, 1996). Proses metanasi

dilakukan oleh dua grup mikroorganisme yang secara kolektif disebut metanogenik (Balch et al,

1977). Kedua jenis organisme metanogenik tersebut sama-sama menghasilkan gas metana dan

CO2. Grup pertama disebut asetilastik metanogen (Balch et al, 1977) berfungsi mengubah

substrat asam asetat menjadi metana dan CO2 melalui reaksi :

CH3COOH CH4 + CO2 ……………….……………(1)

Grup kedua disebut bakteri metanogenik pengguna hidrogen atau methanogen

hidrogenotropik (Balch et al, 1977) menggunakan hidrogen (H2) sebagai elektron donor dan

CO2 sebagai akseptor untuk membentuk metana seperti reaksi anaerobik.

CO2 + 4 H2 CH4 + 2H2O ……………….....… (2)

Dalam proses anaeobik, tahap metanogenesis ini merupakan tahap yang paling penting

dalam pengolahan limbah cair, karena pada tahap ini terjadi reduksi COD atau BOD cukup

tinggi. Eckenfelder (1989) dan Rittman dan McCarty (2001) melaporkan bahwa dalam proses

ini, setiap 1 kg COD atau BOD ultimate yang dihilangkan dan atau diproses dihasilkan 0,35 m3

gas metana pada temperatur dan tekanan standard.

2.5. Pengolahan Limbah Cair Secara Biofilter Anaerobik

Berdasarkan keadaan aggregat biakan mikroorganisme dalam medium limbah cair, secara

garis besar pengolahan limbah cair dapat dibedakan atas biakan tersuspensi (suspended culture)

dan biakan melekat (attached culture). Pada sistem dengan biakan tersuspensi, kultur mikroba

dibiakkan secara tersuspensi diseluruh volume limbah cair. Sistem pengolahan yang

menggunakan metode ini diantaranya adalah proses lumpur aktif (activated sludge), step aerasi,

stabilisasi kontak, proses campur sempurna (completely mixed process) dan lain-lain.

Pada sistem pengolahan dengan biakan melekat (sering disebut biofilter), kultur mikroba

dibiakkan pada suatu media, sehingga mikroorganisme yang terlibat melekat atau membentuk

lapisan tipis (biofilm) pada permukaan media padat (MetCalf dan Eddy, 2003). Berdasarkan

posisi media biofilter dalam bioreaktor, MetCalf dan Eddy (2003) membagi proses pertumbuhan

melekat atas 3 macam, yaitu non-submerged, suspended growth process dengan fixed film

packing dan submerged.

a. Proses pertumbuhan melekat dengan biakan tidak terendam (non-submerged) merupakan

proses pengolahan limbah secara biologis dimana media biakan tidak terendam dalam bulk

cairan. Unit proses yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain adalah trickling filter

(MetCalf dan Eddy , 2003).

b. Proses pertumbuhan tersuspensi dengan packing film tetap (suspended growth process with

fixed-film packing) pada dasarnya merupakan proses pengolahan dengan biakan tersuspensi

sebagaimana halnya dalam sistim lumpur aktif. Akan tetapi penggunaan jenis bahan

packing yang tersuspensi ke dalam tangki menyebabkan mikroorganisme yang terlibat

melekat pada bahan packing tersebut. Di samping itu, bahan packing tetap yang sebahagian

tercelup ke dalam tangki seperti halnya rotating biological contactor (RBC) yang terendam

sebagian dapat digolongkan ke dalam pertumbuhan melekat. (WEF, 2000).

c. Proses pertumbuhan melekat dengan biakan terendam (submerged) merupakan proses

pengolahan limbah secara biologis dimana media biakan terendam sepenuhnya dalam bulk

cairan. Unit proses yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain adalah reaktor

biologis unggun-tetap aliran ke atas (upflow) dan aliran ke bawah (downflow), unggun

terfluida (fluidized bed), upflow anaerobic sludge blanket (UASB), dan lain-lain (MetCalf

& Eddy, 2003).

Dari ketiga jenis sistem biofilter tersebut, proses pertumbuhan melekat dengan biakan

terendam merupakan metode pengolahan limbah cair yang relatif baru khususnya dalam

pengolahan biologis anaerobik. Aplikasi proses ini pertama sekali dikemukakan oleh Young dan

McCarty pada tahun 1963 (Rittman dan McCarty, 2001; Bal dan Dhagat, 2001; MetCalf & Eddy,

2003). Young dan McCarty menggunakan sistem biofilter anaerob dalam proses pengolahan

limbah cair organik dalam skala laboratorium dan mendapatkan bahwa biofilter mampu

mendegradasi kandungan organik air limbah.

Sistem biofilter anaerob merupakan pengembangan dari sistem pengolahan limbah anaerob

dengan biakan tersuspensi, dimana dengan adanya filter tersebut konsentrasi padatan biologis

(biomassa) dalam reaktor dapat dipertahankan. Dengan penahanan padatan biologis ini diperoleh

sludge retention time (SRT) yang lebih lama meskipun pada aliran limbah cair yang besar (Bal

dan Dhagat, 2001). Dengan demikian, bila dibandingkan dengan proses biakan tersuspensi,

sistem biofilter atau biakan melekat mempunyai beberapa keuntungan,antara lain :

(1). Proses degradasi substrat secara anaerob dalam limbah cair terjadi dalam 3 step reaksi

biokimia, yaitu hidrolisis, fermentasi dan metanasi. Ketiga proses tersebut berhubungan

langsung dengan SRT atau hydraulic retention time (HRT). Semakin tinggi SRT maka

semakin tinggi kemungkinan terjadinya ketiga reaksi tersebut di atas. Bila SRT kurang

dari SRT minimum, bakteri tidak dapat tumbuh dengan cepat dan proses degradasi akan

mengalami kegagalan (WEF, 1998).

(2). Adanya air buangan yang melalui media tumbuh biofilm lama-kelamaan mengakibatkan

tumbuhnya lapisan lendir yang menyelimuti packing atau disebut biofilm. Selain

berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan BOD dalam aliran limbah,

biofilter juga mengurangi konsentrasi TSS (BPPT, 1997a dan 1997b).

Sistem pengolahan limbah cair biofilter anaerobik dengan biakan terendam dapat

dioperasikan dengan berbagai cara, antara lain aliran ke atas (upflow), aliran ke bawah

(downflow), atau gabungan keduanya, unggun terekspansi dan unggun terfluida (Rittmann dan

McCarty, 2001).

2.5.1. Proses Pembentukan Biofilm

Biofilm atau biofilter pada dasarnya adalah sekumpulan aggregat mikroorganisme atau

produk polimer ekstrasellular yang melekat pada permukaan padatan dan/atau bahan inert dalam

lingkungan berair (Marshall, 1992; Behrendt, 2000; Rittmann dan McCarty, 2001) atau

tergantung dengan antarmuka (Davey dan O’Toole, 2000). Menurut Costerton et al (1985)

populasi bakteri pada lingkungan berair paling banyak dijumpai dalam keadaan aggregat yang

dapat membentuk biofilm dari pada keadaan planktonik (bebas). Bakteri dalam keadaan

plaktonik bertindak sebagai suatu individu, sehingga tidak mampu bersaing untuk mendapatkan

ruang, oksigen dan faktor lainnya. Hal ini menyebabkan bakteri dalam keadaan planktonik

mempunyai tingkat kepadatan yang rendah. Dalam keadaan aggregat dan molekul bakteri

mampu memperoleh nutrisi lebih banyak.

Mekanisme pembentukan biofilm dimulai ketika sel melekat ke permukaan sel lainnya dan/

atau bahan inert. Beberapa faktor yang berperan dalam proses pelekatan sel pada permukaan

suatu media adalah transportasi sel, adsorpsi reversible, adhesi irreversible dan penggandaan sel

(Schmindt dan Ahring, 1996). Proses pelekatan sel bakteri dimulai dengan pembentukan butiran

perintis (aggregat bakteri yang kecil) yang cenderung tercuci (washout) dari reaktor dan

kemudian tumbuh menjadi butiran-butiran mikroorganisme (Callander dan Barford, 1983). Pada

awal pelekatannya, bakteri tertarik pada permukaan, namun tidak langsung melekat erat dan

bakteri melakukan gerak Brown (acak) serta dapat lepas kembali. Setelah menyesuaikan diri

dengan permukaan, bakteri selanjutnya melekat erat pada permukaan. Kecepatan pelekatan

bakteri berbeda-beda tergantung pada struktur dan daya rekatnya. Beberapa bakteri seperti

substansi polimer ekstra sellular dan fimbriae memiliki struktur dan daya rekat yang kuat,

sehingga dengan cepat akan melekat erat pada permukaan media. Tetapi ada juga bakteri yang

membutuhkan waktu kontak yang lama agar dapat melekat erat pada permukaan media

(Marshall, 1992).

2.5.2. Proses Degradasi Bahan Organik Kompleks dengan Biofiltrasi Anaerob

Upaya untuk menurunkan kandungan bahan organik kompleks dalam limbah cair telah

banyak dilakukan baik dengan cara aerob maupun anaerob. Proses yang banyak dilakukan antara

lain proses activated sludge (MetCalf & Eddy, 1930; Eckenfelder, 1989; Mines Jr. dan Sherrard,

1989; Tay, 1990; dan Upe, 2001) dan Upflow Anaerobic Sludge Blanket atau UASB (Speece,

1983; Lettinga et al, 1988; Vidal et al, 2001; Bal & Dhagat, 2001; Gomec et al, 2005) atau

reaktor lainnya. Akan tetapi pengolahan limbah cair industri tahu menggunakan biofilter anaerob

dalam reaktor unggun tetap (fixed-bed reactor) belum banyak dilakukan. Biofilter merupakan

filter dari media kerikil, batu apung, karbon aktif, plastik dan bahan padat lainnya diharapkan

dapat melakukan proses pengolahan atau penyisihan bahan organik kompleks terlarut atau

tersuspensi dalam limbah cair.

Young (1991) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja filter anaerob aliran-

vertikal, mendapatkan bahwa proses biofiltrasi dapat mendegradasi COD limbah cair domestik

90 – 96% pada laju beban COD 0,2 – 0,7 kg COD/(m3.hari), 37oC dan hydraulic retention time

(HRT) 25 - 37 jam.

Sachs et al (1978) mengolah limbah cair bahan organik sintesis dan mendapatkan

penghilangan COD 80% pada laju beban 0,56 kg COD/ (m3.hari), (35oC) dan HRT 36 jam.

Sementara, Young (1991) memperoleh 80 – 90 % untuk laju beban COD 12 – 15 kg COD / (m3.

hari), 37oC dan HRT 0,9 – 1,3 hari.

Darmawan (1998) yang meneliti proses pengolahan air buangan industri dengan

menggunakan kerikil, pecahan genting dan batu apung sebagai media biofilter mendapatkan,

bahwa untuk bahan baku dengan kadar organik 80 mg/l dengan beban permukaan 1,5 m/jam

diperoleh efisiensi pemisahan organik rata-rata yang diyatakan dalam bilangan permanganat

masing-masing sebesar 83%, 86% dan 87%.

Studi kemampuan biofilter anaerob untuk menurunkan kadar BOD dan COD dalam air

sungai yang kotor juga telah dilakukan oleh Laura (1995) menggunakan media kerikil dengan

diameter media 9 mm 25 mm, variasi HRT 8 dan 12 jam. Hasil yang dicapai menunjukkan

bahwa air baku dengan kadar 25 – 1000 mg/l setelah dilewatkan reaktor pada kecepatan filtrasi 1

– 10 m/jam diperoleh efisiensi pemisahan yang bervariasi antara 90 – 99%.

Uji coba penggunaan biofilter untuk mendegradasi bahan-bahan organik polutan dalam

limbah cair industri tahu-tempe dengan kombinasi anaerob dan aerob berkapasitas 10 – 16

m3/hari telah dilakukan oleh BPPT (1997a) menggunakan media plastik sarang tawon. Proses

yang dilakukan, mula-mula sistem dioperasikan secara anaerob, kemudian kombinasi anaerob-

aerob (khusus untuk tangki biofilter terakhir). Percobaan tersebut dilakukan dengan

memvariasikan HRT total 16 – 24 jam. Hasil yang dicapai menunjukkan, bahwa pada proses

anaerob dengan laju alir 6 – 10 m3/hari setelah proses berjalan 4 minggu diperolah efisiensi

penghilangan BOD 74,5%, COD 75,4% dan TSS 84%. Sedang pada proses kombinasi anaerob-

aerob setelah proses berjalan 2 bulan diperoleh efisiensi penurunan BOD 89,4%, COD 88,2%

dan TSS 94%.

Dari sekian banyaknya referensi yang menyatakan kemampuan biofilter untuk menurunkan

kandungan organik dalam limbah cair, penulis belum menjumpai aplikasi biofilter anaerobik

dengan media batu kerikil dalam pengolahan limbah cair industri tahu. Rittmann dan McCarty

(2001), menyatakan bahwa proses biofiltrasi dalam kondisi anaerob maupun aerob dapat

dilakukan dengan menggunakan media kerikil, batu apung, karbon aktif, plastik serta bahan

padat inert lainnya. Di samping itu, proses biofiltrasi anaerob dalam reaktor packed-bed baik

aliran vertikal maupun horizontal dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair antara lain

limbah rumah tangga dan perkotaan, limbah industri pengolahan bahan makanan, minuman,

industri farmasi serta industri bahan kimia.

Dari informasi-informasi tersebut penyusun menduga bahwa proses biofiltrasi anaerob

dengan media batu kerikil juga dapat diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair industri tahu.

Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, penyusun mencoba menggunakan biofilter anaerob

dalam reaktor unggun diam (fixed-bed reactor) dua tahap dengan media batu kerikil untuk

mengolah kandungan bahan organik dalam limbah cair industri tahu.

2.5.3. Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Proses Biodegradasi Anaerobik

Menururt MetCalf dan Eddy (2003), proses degradasi anaerob bahan organik kompleks

menjadi gas metan dan CO2 dalam limbah cair selain ditentukan oleh jenis mikroorganisme yang

berperan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, antara lain :

a. pH dan Alkalinitas

Proses anaerob sangat sensitif terhadap perubahan pH lingkungan, oleh karena itu agar

proses dapat berlangsung dengan baik, pH lingkungan harus mendekati netral, yaitu 6,6 –

7,6. Bila nilai pH kurang dari 6,6 dapat menghambat aktivitas metanogenik (Rittmann dan

McCarty, 2001). Dalam tahap reaksi metanogenesis dihasilkan gas metan dan CO2, sehingga

dalam proses ini kandungan gas CO2 cenderung meningkat dan dapat mencapai hingga 30 –

35%. Oleh sebab itu, untuk memastikan pH mendekati netral diperlukan alkalinitas yang

tinggi. Dalam beberapa proses sering dijumpai konsentrasi alkalinitas dalam range 3000 –

5000 mg/L sebagai CaCO3.

Untuk limbah cair yang mengandung protein dan asam-asam amino yang tinggi,

alkalinitas yang cukup dapat diperoleh dari peruraian senyawa-senyawa tersebut

menghasilkan NH3, dan bersama-sama dengan gas CO2 dan H2O membentuk alkalinitas

sebagai NH4(CO3) (MetCalf dan Eddy, 2003). Dengan demikian tidak diperlukan

penambahan alkalinitas untuk mengontrol pH. Untuk aplikasi limbah cair industri yang

komponen substratnya hanya mengandung karbohidrat, diperlukan penambahan alkalinitas

agar diperoleh pH mendekati netral. Bahan alkalinitas yang umum ditambahkan ke dalam

limbah cair antara lain adalah soda (Ca(OH)2); sodium bikarbonat (NaHCO3), soda abu

(Na2CO3), sodium hidroksida (NaOH), amoniak (NH3), atau asam bikarbonat (NH4HCO3).

b. Senyawa Inhibitor

Menurut Parkin dan Owen (1986) kehadiran beberapa senyawa baik organik maupun

anorganik dapat menjadi inhibitor atau bersifat toksik dalam proses anaerob. Garam-garam

(seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cu2+, Cr(4), Zn2+, Ni2+ dan lain-lain), bahan organik (seperti

fenol, formaldehid, propanol, etil asetat, dan lain-lain) dan bahan anorganik (seperti NH4+ ;

H2S dan lain-lain) dapat menghambat laju reaksi metanogenik bila konsentrasinya cukup

tinggi. Misalnya, amonium (NH4+) dengan konsentrasi diatas 3000 mg/l merupakan inhibitor

yang kuat dalam proses metanogenesis (McCarty dan McKinney, 1961). Keracunan sulfida

merupakan masalah yang sering dijumpai dalam pengolahan limbah cair yang mengandung

konsentrasi sulfat yang tinggi. Dalam proses anaerob, sulfat lebih disukai sebagai akseptor

elektron dan akan dikonversi menjadi sulfida. Keracunan sulfida cenderung menjadi problem

bila konsentrasi sulfida terlarut mencapai lebih kurang 200 mg/l (McCarty, 1964).

c. Solid Retention Time

Solid retention time (SRT) merupakan periode waktu rata-rata sludge tertahan di dalam

sistem. Solid retention time merupakan landasan desain dan parameter operasi bagi semua

proses anaerobik. Ketiga reaksi biokimia dalam proses degradasi anaerob secara langsung

berhubungan dengan SRT. Jika SRT kurang dari SRT minimum, bakteri tidak dapat tumbuh

cukup cepat, sehingga proses degradasi biologis akan gagal (WEF, 1998). Secara umum,

untuk proses anaerobik diperlukan nilai SRT > 20 hari pada 30oC agar diperoleh kinerja

pengolahan yang efektif.

d. Hydraulic Retention Time

Hydraulic retention time (HRT) merupakan periode waktu rata-rata penahanan cairan di

dalam sistem. Sama halnya dengan SRT, HRT juga merupakan landasan desain dan

parameter operasi proses anaerobik. Semakin tinggi HRT, cairan semakin lama berada di

dalam sistem, akibatnya waktu kontak antara biomassa dalam reaktor dengan substrat dalam

aliran umpan semakin lama. Dengan demikian, diharapkan proses degradasi biologis anaerob

berlangsung semakin baik. Akan tetapi, dalam operasional biorekator, HRT yang tinggi akan

membutuhkan volume reaktor yang besar. Oleh karena itu untuk memperoleh efisiensi

pengolahan yang efektif, nilai HRT harus ditentukan serendah mungkin dengan konversi

setinggi mungkin.

e. Temperatur

Dalam proses degradasi anaerob, temperatur merupakan faktor penting dalam penentuan

laju degradasi, terutama laju hidrolisis dan pembentukan metana. Pemilihan temperatur

operasi sangat penting, karena bakteri terutama pembentuk metana merupakan

mikroorganisme yang sensitif terhadap perubahan temperatur. WEF (1998) menyarankan

perubahan temperatur operasi harus kurang dari 0,5oC/hari agar tidak berpengaruh terhadap

kinerja proses. Secara umum, kebanyakan sistem anaerobik dirancang beroperasi dalam

range temperatur mesofilik, antara 30 – 38oC. Sistem yang lain didesain untuk beroperasi

dalam range temperatur termofilik (50 – 57oC).

f. Bahan Nutrisi

Meskipun proses anaerobik menghasilkan sedikit lumpur, sehingga kebutuhan senyawa

nitrogen dan fosfor untuk pertumbuhan biomassa sedikit, namun pada kebanyakan limbah

cair industri, jumlah kebutuhan nutrien sering tidak mencukupi. Oleh sebab itu, sering

diperlukan penambahan senyawa nitrogen dan fosfor. Secara umum, untuk menjaga agar

aktivitas metanogenik maksimum, disarankan bahwa konsentrasi nitrogen, fosfor, dan sulfur

dalam fase cair berturut-turut tidak kurang dari 50 , 10 dan 5 mg/L (Speece, 1983).

2.6. Mikroorganisme Yang Terlibat Dalam Proses Degradasi Anaerobik

Pengolahan limbah cair dengan biofilter anaerobik melibatkan mikroorganisme untuk

mendegradasi substrat dalam limbah cair menjadi bahan yang tidak mengakibatkan pencemaran.

Secara umum, di dalam air limbah ditemukan banyak sekali jenis mikroorganisme yang

diantaranya termasuk bakteri uniseluler, jamur, virus, protozoa, alga dan rotifera. Sebagaimana

makhluk hidup lainnya, mikroorganisme ini juga membutuhkan nutrisi untuk keperluan

pertumbuhan dan fungsinya. Menurut MetCalf dan Eddy (2003), kebutuhan tersebut antara lain :

a. Sumber energi dapat berupa cahaya (mikroba fototrof) atau senyawa kimia (mikroba

khemototrof).

b. Sumber karbon dalam bentuk bahan-bahan organik (mikroba heterotrof) atau bentuk

karbon dioksida (mikroba autotrof).

c. Nutrient dalam bentuk anorganik ( N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, dan Cl) dan nutrient minor

termasuk Zn, Mn, Mo, Se, Cu, dan Ni (Madigan et al, 2000).

d. Faktor Pertumbuhan atau nutrient organik dalam bentuk asam-asam amino, senyawa-

senyawa berbasis nitrogen (seperti purin dan pirimidin) serta vitamin.

e. Air, karena semua nutrient harus berada dalam keadaan terlarut sebelum masuk ke dalam

sel mikroorganisme (Damayanthie, 2000).

Selain membutuhkan nutrisi (Damayanthie, 2000; Rittmann dan McCarty, 2001; MetCalf

dan Eddy, 2003), mikroorganisme juga membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk

keperluan pertumbuhan dan fungsinya secara normal. Adanya kandungan nutrisi yang cukup dan

seimbang dalam limbah cair disertai kondisi lingkungan yang sesuai, dapat menjadikan air

limbah sebagai media pertumbuhan bagi mikroorganisme tertentu. Dalam kondisi demikian,

mikroorganisme akan mendegradasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam limbah cair

melalui metabolisme sel dan metabolisme energi.

Dalam proses fermentasi anaerob, proses degradasi bahan-bahan organik kompleks

menjadi gas metan, CO2 dan biomassa terjadi dalam 3 tahapan reaksi biokimia, yaitu hidrolisis,

fermentasi asam dan metanogenesis (Ridlo, 1983; Spaan, 1983; dan Polprasert, 1989).

Mikroorganisme yang terlibat dalam tiap tahap proses degradasi tersebut dapat dikelompokkan

atas 2 jenis mikroorganisme (MetCalf dan Eddy, 2003), yaitu :

a. Mikroorganisme yang merespon proses hidrolisis dan fermentasi . Mikroorganisme ini

termasuk dalam grup non-metanogenik terdiri dari bakteri fakultatif dan obligat anaerob.

Baketri fakultatif adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada kondisi

ada atau tanpa molekul-molekul oksigen. Sedangkan obligat anaerob adalah organisme

yang membangkitkan energi dengan fermentasi dan dapat eksis hanya dalam lingkungan

yang tidak terdapat oksigen (Rittmann dan McCarty, 2001).

Beberapa organisme yang diisolasi dari digester anaerob termasuk : Clostridium spp,

Peptococcus anaerobus, Bifidobacterium spp, Corynobacterium spp, Lactobacillus,

Actinomycetes, Staphylococcus, dan Escheria Coli (Polprasert dan Hoang, 1983; Speece,

1983). Grup fisiologis lain yang ada termasuk diantaranya yang memproduksi proteolytic,

lipolytic, ureolytic, atau enzyme cellulytic (MetCalf dan Eddy, 2003).

b. Mikroorganisme yang merespon untuk produksi metana. Mikroorganisme ini

diklasifikasikan sebagai archaea ― merupakan obligat anaerob. Kebanyakan

mikroorganisme metanogenik yang diidentifikasi dalam digester anaerob sama dengan

yang dijumpai dalam perut hewan mammalia dan sedimen yang diambil dari dasar danau

dan sungai (MetCalf dan Eddy, 2003). Genera utama mikroorganisme yang telah

teridentifikasi pada kondisi mesofilik termasuk bakteri berbentuk batang

(Methanobacterium, Methanobacillus) dan bakteri berbentuk bola (Methanococcus,

Methanothrix, dan Methanosarcina) (Lettinga et al, 1988).

Diantara mikroorganisme methanogenik tersebut, hanya Methanosarcina dan

Methanothrix (juga disebut Methanosaeta) saja yang mampu menggunakan asetat untuk

menghasilkan methana dan CO2. Sedangkan mikroorganisme yang lain mengoksidasi

hidrogen dengan CO2 sebagai elektron akseptor untuk memproduksi metana (Balch et al,

1977). Mikroorganisme metanogen pengguna asetat juga terobservasi dalam reaktor

thermofilik (Van Lier, 1996 ; Zinder dan Koch, 1984; dan Ahring, 1995). Beberapa spesies

Methanosarcina terinhibisi oleh temperatur pada 65oC, sebaliknya yang lain tidak (MetCalf

dan Eddy, 2003).

III. METODE PENELITIAN DAN BAHAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik USU

Medan dengan lama waktu penelitian selama 6 (enam) bulan dari Bulan Juli sampai Desember

2007.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam percobaan adalah limbah cair industri tahu yang

terdapat di sekitar Padang Bulan Kota Medan. Bahan analisis dan pembantu yang digunakan

untuk keperluan analisa parameter percobaan, yaitu :

1. K2Cr2O7 anhidrous (p.a.)

2. Ferro Ammonium Sulfat (FAS), (p.a)

3. H2SO4 pekat

4. 1-10 Fenantrolin monohidrat

5. Ag2SO4 (p.a)

6. Aquadest

7. FeSO4.7H2O (p.a).

8. Kertas saring Whatman No. 40

3.2.2. Alat

Peralatan Utama yang diperlukan meliputi :

1. Reaktor tangki (fixed-bed reactor) …………………………… 6 unit

Reaktor yang digunakan adalah reaktor biofilter anaerob dua tahap yang terbuat dari

bahan plastik PVC (paralon), masing-masing berdiameter 0,1 m (4 inchi), tinggi total

reaktor 1,60 m. Media biofilter adalah kerikil berukuran rata-rata 1 – 2 cm yang diisi

secara curah. Tinggi media filter dalam tiap zona reaktor 100 dan 125 cm.

2. Tangki umpan …………………………………………… 2 unit

3. Tangki penampung produk …………………………………… 3 unit

4. Pompa cairan …………………………………………………… 2 unit

5. Tangki penampung gas bio …………………………………… 3 unit

Sketsa peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1, sedangkan perhitungan

desain reaktor dapat dilihat pada Lampiran C. Peralatan tambahan untuk analisis parameter

percobaan :

1. pH meter

2. Neraca elektronik

3. Oven

4. Peralatan gelas lainnya, seperti gelas kimia, labu erlenmeyer, pipet volume, labu

takar, buret dan lain-lain.

5. Peralatan analisis COD dan MLSS

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan uji coba kemampuan reaktor fixed-bed 2 tahap aliran downflow-

upflow dalam mengolah limbah cair industri tahu secara biofiltrasi anaerob. Rancangan

1

2

3

4

5 6

K-1

K-2

K-4

P

Gambar 3.1. Skema Alat Utama Penelitian

Keterangan Gambar : 1. Tangki umpan 6. Penangkap gas

2. Reaktor biofilter anaerob 7. Pipa saluran gas 3. Rotameter P = Pompa umpan 4. Tangki effluent K = Kran pengambilan sample

5. Botol pengaman

K-3

7

percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) faktor.

Setiap kombinasi perlakuan diberikan 1 (satu) kali ulangan.

(1). Faktor A (tinggi media unggun) terdiri dari 2 taraf, yaitu 100 cm dan 125 cm.

(2). Faktor B (hydraulic retention time (HRT)) terdiri dari 3 taraf , yaitu 12, 18 dan 24 jam.

(3). Faktor C (Konsentrasi COD dalam influent dengan cara pengenceran limbah), terdiri dari

3 taraf : konsentrasi COD alamiah (tanpa pengenceran); 2000 dan 3000 mg COD/liter.

Hal ini didasarkan bahwa untuk limbah cair dengan konsentrasi BOD tinggi (BOD5 >

1000 mg/L) tidak sesuai menggunakan dekomposisi aerob karena relatif sulit mensuplai

kebutuhan oksigen yang cukup untuk proses aerob tersebut (Davis dan Cornwell, 1991).

Faktor perlakuan : 2 x 3 x 3 = 18 perlakuan x 2 (1 kali ulangan) = 36 kombinasi

perlakuan. Variasi percobaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Untuk mendapatkan pengaruh perlakuan terhadap substrat limbah cair industri tahu

dilakukan pengambilan sampel dari pipa inlet ke reaktor (K-1), output zona anaerob I (K-3) dan

pipa outlet reaktor (K-4) setiap 24 jam. Percobaan dihentikan setelah 6 (enam) hari operasi atau

apabila hasil analisis laboratorium terhadap parameter uji (COD dan MLSS) relatif stabil.

Analisis COD dan MLSS dilakukan sesuai dengan metode yang termuat dalam buku Standard

Methods for Examination of Water and Wastewater (APHA, 1992).

Tabel 3.1. Variasi Percobaan Yang Dilakukan

Faktor Perlakuan Kombinasi A B C

A1

B1

C0 A1B1C0

C1 A1B1C1 C2 A1B1C2

B2

C0 A1B2C0

C1 A1B2C1 C2 A1B2C2

B3

C0 A1B3C0

C1 A1B3C1 C2 A1B3C2

A2

B1

C0 A2B1C0

C1 A2B1C1 C2 A2B1C2

B2

C0 A2B2C0

C1 A2B2C1 C2 A2B2C2

B3

C0 A2B3C0

C1 A2B3C1 C2 A2B3C2

Keterangan : Setiap kombinasi perlakuan dilakukan satu kali ulangan

Faktor A : tinggi unggun biofilter : 100 cm dan 125 cm..

Faktor B : hydraulic retention time (HRT) : 12 , 18 dan 24 jam.

Faktor C : Konsentrasi COD dalam influent dengan cara pengenceran limbah, terdiri dari 3 taraf : alamiah (tanpa pengenceran); 2000 dan 3000 mg COD/liter.

3.4. Prosedur Percobaan

3.4.1. Persiapan Bahan Baku Limbah Cair Industri Tahu

Limbah cair industri tahu didapatkan dari pengrajin industri tahu yang terdapat di sekitar

Padang Bulan Medan. Sebanyak 120 L limbah cair yang baru keluar dari sisa proses pencetakan

atau penyaringan ditampung dan dimasukkan ke dalam 4 unit wadah derigen plastik berukuran

30 liter, selanjutnya ditutup agar tidak terkontaminasi. Limbah cair tersebut dibawa ke

laboratorium dan siap digunakan sebagai bahan baku penelitian.

3.4.2. Pembuatan Starter

Limbah cair tahu disaring sebanyak 50 liter menggunakan kain saring halus, kemudian

dinetralkan dengan penambahan larutan NaOH, lalu dimasukkan ke dalam tangki berukuran 120

liter yang tutupnya dilengkapi dengan kran dan selang penghubung ke tangki pengumpul gas.

Kemudian ditambahkan nutrisi dengan perbandingan antara nutrisi dengan limbah cair sebagai

berikut : glukosa 25 gr/l; pepton 0,1 g/l; K2HPO4 0,75 gr/l ; NH4H2PO4 1 gr/L dan MgSO4.7

H2O 0,5 g/L). Campuran diaduk hingga seluruh nutrisi bercampur dengan limbah secara baik.

Bibit mikroba anaerob diambil dari lumpur parit pembuangan limbah cair industri tahu, di

masukkan ke dalam wadah tertutup dan dibawa ke laboratorium kemudian dimasukkan ke dalam

larutan starter yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Selanjunya tangki tersebut ditutup rapat

dan kran yang menghubungkan antara tangki inkubasi dengan tangki pengumpul gas juga ditutup

agar diperoleh kondisi anaerob. Setelah tangki dan kran penghubung ditutup, dilakukan inkubasi

pada suhu kamar selama 14 hari. Setelah 14 hari kran penghubung dibuka dan biogas yang

terbentuk dibiarkan mengalir ke dalam tangki pengumpul biogas, kemudian dicoba dinyalakan.

Inkubasi selesai apabila gas dari tangki pengumpul dapat dinyalakan.

3.4.3. Pembuatan Biofilm (Pembibitan Mikroba pada Media) dalam biofilter

Limbah cair tahu yang telah disaring dengan kain saring halus sebanyak 50 liter

dimasukkan ke dalam tangki umpan lalu ditambahkan starter (bibit mikroba) sebanyak 10%

volume yang telah disiapkan terlebih dahulu. Campuran tersebut kemudian dipompakan ke

dalam reaktor biofilter hingga terisi penuh (ditandai dengan cairan mulai keluar dari kran

pembuangan atas), selanjutnya kran pembuangan atas ditutup. Pada saat awal, sistem

dioperasikan secara batch selama dua hari, kemudian dilakukan sirkulasi melalui tangki umpan

selama kurang lebih 14 hari. Proses penghentian pembuatan biofilm ditandai dengan mencoba

menyalakan bio gas melalui gas holder sebagai tanda bahwa telah terbentuk gas metana.

(Suwarno et al, 2003). Hal ini untuk memastikan bahwa telah terjadi adaptasi mikroorganisme

dengan limbah cair tahu yang akan diolah. Selanjutnya reaktor biofilter siap digunakan untuk

percobaan selanjutnya.

3.4.4. Pelaksanaan Percobaan

a. Persiapan Umpan

Proses awal yang dilakukan dalam pengolahan limbah cair industri tahu secara biofilter

anaerob adalah persiapan umpan. Sebanyak 120 L limbah cair segar disaring terlebih dahulu,

kemudian dilakukan analisa kandungan COD sesuai prosedur yang telah ditentukan. Selanjutnya

limbah cair dinetralkan hingga pH larutan menjadi sekitar 7,0.

Untuk mendapatkan kandungan COD awal umpan limbah cair sesuai dengan yang telah

ditentukan (2000 dan 3000 mg/L) dilakukan pengenceran limbah dengan menambahkan air

sambil diaduk agar bercampur sempurna. Kemudian limbah cair yang telah diencerkan

dimasukkan ke dalam 2 unit tangki umpan masing-masing sebanyak 100 liter. Untuk menjamin

ketersediaan umpan ke reaktor biofilter, dilakukan penambahan umpan limbah cair segar setiap

dua hari sekali. Untuk mendapatkan waktu tinggal cairan (HRT) yang diinginkan sebelum proses

dimulai, dilakukan pengaturan laju alir volumetrik limbah cair menggunakan rotameter.

b. Proses Pengolahan Biofiltrasi Anaerob

Setelah pelaksanaan pembuatan biofilm (pembibitan mikroba) menghasilkan gas yang

dapat terbakar, maka percobaan dengan umpan tanpa pengenceran dengan HRT 12 ; 18 dan 24

jam dilaksanakan secara paralel dalam 6 unit bioreaktor. Umpan dari tangki umpan (1) dipompa

ke dalam reaktor biofilter (2) melalui rotameter yang berfungsi sebagai flow meter pada HRT

yang ditetapkan. Di dalam zona anaerob I pada bioreaktor, limbah cair mengalir dari atas ke

bagian bawah reaktor secara gravitasi melewati unggun. Selanjutnya, dari bagian bawah zona

anaerob I, limbah kemudian masuk ke bagian bawah zona anaerob II dan mengalir melewati

unggun zona anaerob II secara vertikal dan keluar melalui katup pembuangan. Limbah yang

telah diolah kemudian ditampung dalam tangki effluent (4). Untuk menjamin terjadinya aliran di

dalam reaktor, posisi pipa input ke zona anaerob I dibuat lebih tinggi lebih kurang 5 cm dari

pipa output dalam zona anaerob II.

Selama proses degradasi substrat organik biodegradable secara anaerob di dalam reaktor,

akan terbentuk produk akhir terutama gas-gas seperti metana, karbon dioksida (CO2), hidrogen

sulfida (H2S) dan amoniak (NH3) serta biomassa. Gas-gas yang terbentuk akan mengisi ruang

kosong pada bagian atas reaktor. Untuk menjamin kelangsungan proses, reaktor dilengkapi

dengan botol pengaman (5) dan penangkap gas (6) yang berfungsi menampung gas-gas yang

terbentuk. Sedangkan untuk memantau jalannya proses, sampel limbah cair diambil secara

periodik pada 3 titik yang berbeda melalui kran K-1, K-3 dan K-4 setiap 24 jam. Percobaan

dihentikan setelah 6 (enam) hari operasi atau apabila hasil analisis laboratorium terhadap

parameter uji (COD dan MLSS) relatif stabil. Selain parameter uji tersebut, juga dilakukan

pemeriksaan pH menggunakan pH meter terhadap masing-masing sample limbah cair guna

mengetahui kondisi proses di dalam reaktor. Setelah Run I selesai, percobaan dilanjutkan untuk

umpan limbah cair dengan konsentrasi COD 2000 mg/L dan 3000 mg/l melalui pengenceran

limbah dengan air.

3.5. Prosedur Analisis

Data yang selalu diamati selama percobaan adalah COD dan MLSS setiap 24 jam

menggunakan prosedur analisis sebagai berikut.

3.5.1. Analisis COD

COD merupakan analisis penentuan besarnya oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi

senyawa organik secara kimiawi. Hasil analisis COD menunjukkan kandungan senyawa organik

yang terdapat dalam limbah. Analisis dilakukan dengan metoda bikromat. Prosedur penentuan

nilai COD dan persen-penurunan (reduksi) COD dapat dilihat pada Lampiran A1.

3.5.2. Analisis MLSS

MLSS menunjukkan besarnya padatan tersuspensi di dalam limbah. Analisa MLSS

dilakukan dengan menyaring 25 mL lumpur menggunakan kertas saring dalam corong Bucher

yang dilengkapi dengan pompa vakum, dan padatan yang tertahan dalam kertas saring

dikeringkan dengan pemanasan dalam oven pada temperatur 105oC selama 1 jam. Prosedur

analisis MLSS dapat dilihat pada Lampiran A1.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Percobaan

Hasil percobaan yang dinyatakan dalam hasil pengukuran kualitas COD dan

MLSS sebelum dan sesudah keluar reaktor fixed-bed di dalam seluruh sistem dapat

dilihat pada Tabel D.1 sampai dengan Tabel D.12 (Lampiran D). Hasil perhitungan rata-

rata reduksi total COD (%) dan MLSS (%) untuk HRT 12 ― 24 jam, konsentrasi awal

limbah 2000; 3000 mg/L dan alami (tanpa pengenceran) dan tinggi unggun 100 dan

125 cm di seluruh sistem dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Persentase Reduksi Total COD dan MLSS di

Seluruh Sistem

Tinggi

Unggun (cm)

Konsentrasi

COD awal

(mg/L)

HRT

(jam)

Reduksi COD

(%)

Reduksi MLSS

(%)

100

2000

12 46,38 73,78

18 59,56 75,21

24 60,13 76,75

3000

12 44,45 65,92

18 55,54 67,85

24 61,45 72,34

alamiah

12 28,37 46,72

18 42,37 48,43

24 43,79 50,45

Tabel 4.1. lanjutan.......

Tinggi

Unggun (cm)

Konsentrasi

COD awal

(mg/L)

HRT

(jam)

Reduksi COD

(%)

Reduksi MLSS

(%)

125

2000

12 31,35 77,88

18 72,18 80,15

24 71,70 82,58

3000

12 49,68 71,66

18 60,11 74,00

24 66,00 75,44

alamiah

12 33,60 50,51

18 47,66 52,94

24 50,76 53,12

4.2. Hubungan antara Waktu Operasi terhadap COD

Percobaan pengolahan limbah cair industri tahu secara biofiltrasi anaerob

dalam reaktor fixed-bed dilakukan secara kontinu selama enam hari operasi dengan

variasi percobaan waktu detensi cairan (hydraulic retention time atau HRT),

konsentrasi COD umpan (beban organik) dan tinggi unggun filter. Variasi HRT yang

digunakan adalah 12, 18 dan 24 jam, variasi konsentrasi COD umpan adalah 2000,

3000 mg/L dan alami (tanpa pengenceran), sedangkan tinggi unggun biofilter adalah

100 cm dan 125 cm. Hasil percobaan yang dinyatakan dalam hasil pengukuran

kualitas COD sebelum dan sesudah melalui biofilter selama 6 (enam) hari untuk

masing-masing HRT 12, 18 dan 24 jam pada konsentrasi awal limbah cair dan tinggi

unggun yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar 4.1a sampai dengan Gambar

4.1f.

Hasil pengamatan setelah operasi hari ke satu dan dua untuk ketiga HRT 12, 18 dan 24 jam

pada konsentrasi COD awal 2000 mg/L, rata-rata persentase penurunan COD untuk tinggi

unggun 100 dan 125 cm berturut-turut adalah 46,10 dan 47,76%., Setelah operasi hari ke tiga

hingga keenam persentase penurunan konsentrasi COD meningkat menjadi 59,98 dan 58,41%

(Gambar 4.1a dan 4.1b).

(e)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(f)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(a)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(c)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(d)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

Hasil pengamatan untuk ketiga HRT 12, 18 dan 24 jam pada konsentrasi COD awal 3000

mg/L, setelah operasi hari ke satu dan dua, rata-rata persentase penurunan COD untuk tinggi

unggun 100 dan 125 cm berturut-turut adalah 29,13 dan 42,75%. Setelah operasi hari ke tiga

hingga keenam persentase penurunan konsentrasi COD meningkat menjadi 53,81 dan 58,60

(Gambar 4.1c dan 4.1d).

Hasil yang sama juga dapat dilihat untuk konsentrasi COD awal alami (tanpa pengenceran),

dimana setelah hari dua untuk ketiga HRT 12, 18 dan 24 jam, rata-rata persentase penurunan

COD untuk tinggi unggun 100 dan 125 cm berturut-turut adalah 19,05 dan 25,84%. Setelah

operasi hari ke tiga hingga keenam persentase penurunan konsentrasi COD juga meningkat

menjadi 38,18 dan 44,01% (Gambar 4.1e dan 4.1f).

Dari Gambar 4.1a sampai dengan Gambar 4.1f terlihat bahwa secara umum efisiensi

reduksi COD semakin meningkat dengan bertambahnya lama waktu operasi. Pada saat awal

operasi terlihat, bahwa persentase reduksi COD dari aliran limbah cair relatif masih kecil Akan

tetapi seiring dengan bertambahnya waktu operasi, efisiensi reduksi COD semakin meningkat.

Juga terlihat bahwa kestabilan operasi umumnya terjadi setelah hari ketiga operasi (72 jam) baik

untuk HRT 12, 18 dan 24 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa diduga pada saat awal operasi,

keaktifan mikroba masih cukup besar karena tempat kontak antara mikroba dengan limbah cair

tersedia cukup banyak. Setelah tiga hari (72 jam) mikroba mulai saling bertumpuk sedemikian

rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dan limbah cair, dengan demikian persentase

penurunan COD menjadi relatif konstan.

4.3. Pengaruh Waktu Tinggal Cairan (HRT)

4.3.1. Pengaruh Variasi HRT terhadap COD

Pada proses ini variasi HRT yang digunakan adalah 12, 18 dan 24 jam. Pengaruh

variasi HRT terhadap penurunan (reduksi) total COD (%) di dalam seluruh sistem

untuk tinggi unggun 100 cm dapat dilihat pada Gambar 4.2, sementara untuk tinggi

unggun 125 cm pada Gambar 4.3.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

12 18 24

Re

du

ksi

CO

D, %

HRT, jam

COD Awal 2000 mg/L

COD Awal 3000 mg/L

COD Awal alami

Gambar 4.2. Pengaruh HRT Terhadap Reduksi COD (%),

Tinggi Unggun 100 cm

Dari Gambar 4.2, hasil fermentasi anaerob pada tinggi unggun 100 cm menunjukkan,

bahwa untuk konsentrasi COD awal 2000 mg/L dan HRT 12 jam rata-rata persen penurunan

(reduksi) total COD di dalam seluruh sistem adalah 46,38%. Peningkatan HRT menjadi 18 dan

24 jam diperoleh peningkatan persen penurunan total COD berturut-turut menjadi 59,56 dan

60,13%. Hasil persentase penurunan total COD di dalam seluruh sistem yang tidak jauh berbeda

juga diperoleh untuk konsentrasi COD awal 3000 mg/L dan alami (tanpa pengenceran). Pada

konsentrasi COD awal 3000 mg/L, rata-rata persen reduksi total COD pada HRT 12, 18 dan 24

jam berturut-turut adalah 44,45; 55,54 dan 61,45%. Sementara untuk konsentrasi COD awal

alami, rata-rata persen reduksi total COD pada HRT 12, 18 dan 24 jam berturut-turut adalah

28,37; 42,37 dan 43,,79%.

Dari Gambar 4.3 hasil fermentasi anaerob pada tinggi unggun 125 cm menunjukkan,

bahwa untuk konsentrasi COD awal 2000 mg/L dan HRT 12 jam rata-rata persen penurunan

(reduksi) total COD di seluruh sistem adalah 31,35%. Peningkatan HRT menjadi 18 dan 24 jam

0

10

20

30

40

50

60

70

80

12 18 24

Re

du

ksi

CO

D, %

HRT, jam

COD Awal 2000 mg/L

COD Awal 3000 mg/L

COD Awal alami

Gambar 4.3. Pengaruh HRT Terhadap Reduksi COD (%),

Tinggi Unggun 125 cm

diperoleh peningkatan persen penurunan total COD berturut-turut menjadi 72,18 dan 71,70%.

Hasil persentase penurunan total COD di dalam seluruh sistem yang tidak jauh berbeda juga

diperoleh untuk konsentrasi COD awal 3000 mg/L dan alami (tanpa pengenceran). Pada

konsentrasi COD awal 3000 mg/L, persen reduksi total COD di seluruh sistem pada HRT 12 jam

sebesar 49,68%, pada HRT 18 jam meningkat menjadi 60,11% dan HRT 24 jam menjadi 66,0%.

Sementara untuk konsentrasi COD awal alami, persen reduksi total COD di seluruh sistem pada

HRT 12 jam sebesar 33,6%, pada HRT 18 jam meningkat menjadi 47,66% dan HRT 24 jam

menjadi 50,76%.

Dari Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa persen reduksi total COD

meningkat sejalan dengan peningkatan waktu tinggal cairan (HRT). Semakin lama waktu tinggal

cairan semakin lama limbah berada di dalam sistem, akibatnya waktu kontak antara biomassa

dalam reaktor dengan substrat juga semakin lama. Dengan demikian, proses degradasi biologis

anaerob berlangsung semakin baik, sehingga presentase penurunan total COD juga meningkat.

Dari pengamatan konsentrasi COD untuk semua percobaan dengan variasi HRT 12 24

jam, diperoleh bahwa pada HRT 18 dan 24 jam persentase penurunan total COD lebih besar

dibanding dengan HRT 12 jam. Hal ini diduga bahwa pada HRT 12 jam, belum memberikan

waktu yang cukup bagi mikroba untuk merombak senyawa-senyawa organik komplek dalam

limbah cair tahu secara anaerob. Menurut Rittmann dan McCarty (2001), dan MetCalf & Eddy

(2003), proses biodegradasi bahan organik kompleks secara anaerob menjadi produk akhir

berupa gas metana terbagi atas tiga tahap, yaitu hidrolisis, fermentasi (asidifikasi) dan

metanogenesis.

Hasil perhitungan persentase penurunan total COD pada tinggi unggun 100 dan 125 cm

(Tabel 4.1) dapat dilihat bahwa perlakuan variasi HRT 18 dan 24 jam menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata terhadap persentase penurunan total COD. Hal ini mengindikasikan bahwa

waktu penahanan cairan selama 18 jam telah memberikan waktu kontak yang cukup baik bagi

mikroba untuk menguraikan substrat organik menjadi produk akhir.

4.3.2. Pengaruh Variasi HRT terhadap COD dalam Reaktor I dan II

Pengamatan konsentrasi COD pada influen reaktor I, effluen reaktor I dan effluen reaktor

II, didapatkan bahwa untuk HRT 12, 18 dan 24 jam dengan konsentrasi awal COD 2000, 3000

dan alamiah pada tinggi unggun 100 dan 125 cm, % reduksi COD di dalam reaktor I selalu lebih

besar daripada % reduksi COD di dalam reaktor II seperti terlihat dalam Gambar 4.4a sampai

dengan Gambar 4.4f dan Tabel 4.2.

Dalam pengolahan limbah cair secara biofiltrasi dengan media kerikil, proses penyisihan

substrat organik yang terkandung dalam limbah cair terjadi melalui dua mekanisme, pertama

proses degradasi biologis oleh mikroorganisme anaerob yang melekat pada media filter

(biofilm), dan kedua proses fisika yakni pemisahan padatan (material) tersuspensi secara filtrasi

sewaktu mengalir melewati media filter. Diduga bahwa pada saat limbah cair mengalir melintasi

media filter dalam reaktor I, sebagian besar padatan tersuspensi (TSS) tertahan pada permukaan

media. Akibatnya di dalam reaktor I tersedia cukup banyak substrat organik dibanding didalam

reaktor II. Adanya ketersediaan bahan-bahan organik yang cukup besar dalam reaktor I

mendorong mikroba-mikroba hidrolitik dan fermentatif berkembang lebih tinggi, dengan

demikian secara total konversi substrat menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, di dalam reaktor II

ketersediaan bahan-bahan organik dalam limbah cair lebih sedikit karena sebagian besar telah

terurai secara biologis atau tersisihkan secara filtrasi dalam reaktor I. Dengan demikian laju

pertumbuhan mikroorganisme baik hidrolitik maupun fermentatif di dalam reaktor II lebih

rendah, dengan kata lain konversi kandungan COD terhadap COD influen lebih kecil.

(a)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

(b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

(e)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

(f)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

(c)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

(d)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Red

uk

si C

OD

, %

HRT 12 jam; R1HRT 18 jam; R1HRT 24 jam; R1HRT 12 jam; R2HRT 18 jam; R2HRT 24 jam; R2

Pada beberapa percobaan ditemukan hasil yang sedikit berbeda khususnya effluent reaktor

I, antara lain pada konsentrasi COD awal 2000 mg/L, tinggi unggun 100 cm dan HRT 18 dan 24

jam (Gambar 4.4a), konsentrasi COD awal 2000 mg/L, tinggi unggun 125 cm dan HRT 12 jam

(Gambar 4.4b) dan konsentrasi COD awal 3000 mg/L, tinggi unggun 100 cm dan HRT 18 jam

(Gambar 4.4c). Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa secara umum efisiensi reduksi COD

dalam effluent reaktor I menunjukkan perubahan yang sedikit berbeda dengan efisiensi reduksi

COD dalam effluent reaktor I dan reaktor II lainnya. Hal ini diduga terjadi karena ketidak

stabilan aliran umpan limbah cair masuk reaktor biofilter khususnya reaktor I.

Tabel 4.2. Hasil Perhitungan Persentase Reduksi COD pada Reaktor I dan II

Tinggi Konsentrasi COD HRT (jam) Reduksi COD (%)

Unggun (cm) umpan (mg/L) Reaktor I Reaktor II

100

2000

12 28,00 46,38

18 41,35 59,56 24 43,35 60,13

3000 12 27,13 44,45 18 29,38 55,54

24 37,27 61,45

alamiah

12 23,07 28,37

18 27,28 42,37 24 26,19 43,79

125

2000

12 30,41 31,35

18 43,33 72,18 24 41,32 71,70

3000 12 33,65 49,68 18 40,55 60,11

24 43,13 66,00

alamiah

12 21,61 33,60

18 27,94 47,66 24 29,10 50,76

Dalam percobaan ini untuk melayani tiga unit reaktor dengan tinggi unggun yang sama

digunakan satu tangki umpan dan satu unit pompa. Selanjutnya keluaran (discharge) dari pompa

tersebut di switch menjadi tiga aliran umpan ke masing-masing reaktor setelah terlebih dahulu

dilewatkan melalui rotameter guna mengatur laju alir yang telah ditentukan. Penggunaan satu

unit pompa untuk melayani ketiga reaktor secara paralel dalam jangkau waktu yang relatif lama

(6 hari percobaan) dapat memungkinkan tekanan di tiap-tiap saluran masuk tidak konstan,

akibatnya aliran limbah cair masuk ke reaktor I tidak stabil. Dengan kata lain, ketersediaan

substrat dalam reaktor I menjadi berfluktuasi dari waktu ke waktu selama percobaan dilakukan.

Hal ini memungkinkan proses penguraian substrat organik oleh mikroorganisme anaerob dalam

reaktor khususnya reaktor I juga berjalan tidak stabil dan pada gilirannya akan mempengaruhi

efisiensi reduksi COD.

4.3.3. Pengaruh Variasi HRT terhadap MLSS

Pengaruh variasi waktu tinggal cairan atau HRT terhadap penyisihan mixed

liquor suspended solid (MLSS) di dalam seluruh sistem dapat dilihat pada Gambar 4.5a

sampai dengan 4.5f.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Pe

nyis

ihan

ML

SS

, %

Waktu, hari

(e)

HRT 12 jam

HRT 18 jam

HRT 24 jam

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Pe

nyis

ihan

ML

SS

, %

Waktu, hari

(f)

HRT 12 jam

HRT 18 jam

HRT 24 jam

(a)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Pen

yis

iha

n M

LS

S,

%

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Pen

yis

iha

n M

LS

S,

%

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(c)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Pen

yis

iha

n M

LS

S,

%

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

(d)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

Pen

yis

iha

n M

LS

S,

%

HRT 12 jamHRT 18 jamHRT 24 jam

Hasil perhitungan penyisihan MLSS limbah cair untuk konsentrasi COD awal

2000 mg/L di dalam seluruh sistem (Gambar 4.5a), menunjukkan bahwa untuk tinggi

unggun 100 cm pada HRT 12 jam % penurunan MLSS lebih kecil (73,78%) dari HRT

18 jam (75,21%) dan HRT 24 jam (76,75%). Namun tampaknya laju penyisihan MLSS

untuk ketiga HRT hampir sama. Hasil yang sama juga diperoleh untuk tinggi unggun

125 cm (Gambar 4.5b) dimana % pemisahan MLSS pada HRT 12, 18 dan 24 jam rata-

rata berturut-turut 77,88%; 80,15% dan 82,58%.

Gambar 4.5. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor. (a). COD Awal 2000

mg/L, Tinggi Unggun 100 cm; (b). COD Awal 2000 mg/L, Tinggi

unggun 125 cm; (c). COD awal 3000 mg/L, tinggi Unggun 100

cm; (d). COD Awal 3000 mg/L, Tinggi Unggun 125 cm; (e). COD

Awal Alami (Tanpa Pengenceran), Tinggi Unggun 100 cm; (f).

COD Awal Alami (Tanpa Pengenceran), Tinggi Unggun 125 cm

Hasil percobaan biofiltrasi untuk konsentrasi COD awal 3000 mg/L di dalam

seluruh sistem, diperoleh % penyisihan MLSS untuk tinggi unggun 100 cm pada HRT

12, 18 dan 24 jam rata-rata berturut-turut 77,88%; 80,15% dan 82,58 %. (Gambar

4.5c). Sementara untuk tinggi unggun 125 cm pada HRT 12 jam, % penyisihan MLSS

rata-rata adalah (77,88,0%), HRT 18 jam (80,15%) dan HRT 24 jam (82,58%)

(Gambar 4.5d).

Untuk konsentrasi COD awal alamiah (tanpa pengenceran) hasil proses

penyisihan MLSS dalam seluruh sistem, untuk tinggi unggun 100 cm % penyisihan

MLSS pada HRT 12, 18 dan 24 jam rata-rata berturut-turut 46,72%; 48,43% dan

50,45% (Gambar 4.5e). Sementara untuk tinggi unggun 125 cm efisiensi penyisihan

MLSS pada HRT 12, 18 dan 24 jam rata-rata berturut-turut 50,51%; 52,94% dan

53,12% (Gambar 4.5f).

Dari grafik Gambar 4.5a sampai dengan Gambar 4.5f dapat dilihat, bahwa

pengaruh peningkatan HRT secara umum menunjukkan efisiensi penyisihan MLSS

yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan, bahwa proses pemisahan padatan

tersuspensi dalam limbah cair hampir tidak dipengaruhi oleh faktor waktu

penahanan cairan (HRT). Filtrasi merupakan proses pemisahan padatan/ material

tersuspensi yang ada dalam cairan yang didasarkan pada karakteristik fisis padatan

tersebut antara lain ukuran dan bentuk partikel (Montgomery, 1975; Foust, 1980).

4.4. Pengaruh Konsentrasi COD Awal

4.4.1. Pengaruh Variasi Konsentrasi COD Awal terhadap COD

Pada proses ini variasi konsentrasi COD awal yang digunakan adalah 2000, 3000

mg/L dan alamiah (tanpa pengenceran). Temperatur operasi yang digunakan adalah

temperatur ruang. Pengaruh variasi konsentrasi COD awal limbah terhadap reduksi

COD (%) di dalam seluruh sistem dapat dilihat pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2000 3000 alamiah

Re

du

ksi

CO

D, %

Konsentrasi COD influent

12 jam

18 jam

24 jam

Gambar 4.6. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem pada Konsentrasi

Awal 2000, 3000 mg/L dan Alamiah, Tinggi Unggun 100 cm

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2000 3000 alamiah

Re

du

ksi

CO

D, %

Konsentrasi COD influent

12 jam

18 jam

24 jam

Gambar 4.7. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem pada Konsentrasi

Awal 2000, 3000 mg/L dan Alamiah, Tinggi Unggun 125 cm

Berdasarkan hasil percobaan biofiltrasi anaerob limbah cair untuk tinggi unggun 100 cm

(Gambar 4.6), diperoleh bahwa untuk HRT 12 – 24 jam, % penurunan total COD rata-rata lebih

tinggi pada konsentrasi COD awal 2000 mg/L (46,38 – 60%) dibanding % penurunan total

COD pada konsentrasi COD awal 3000 mg/L (44,45 – 61,45%) dan COD awal alamiah (28,37 –

43,79%). Sementara untuk tinggi unggun 125 cm (Gambar 4.7) juga diperoleh hasil yang tidak

jauh berbeda, dimana untuk HRT 12 – 24 jam persen penurunan total COD rata-rata lebih tinggi

pada COD awal 2000 mg/L (31,35 – 72,18%) dari pada COD awal 3000 mg/L (49,68 – 66,0%)

dan tanpa pengenceran atau alamiah (33,60 – 50,76%).

Berdasarkan hasil percobaan sebagaimana terlihat pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7

diketahui, bahwa peningkatan konsentrasi COD awal akan menurunkan % penyisihan (reduksi)

COD dalam effluen biofilter. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi COD dalam umpan

(influen) semakin besar jumlah substrat organik yang terkandung dalam aliran limbah cair,

dengan demikian beban organik yang harus diuraikan oleh mikroba anaerob juga semakin besar.

Suatu sistem pengolahan limbah cair dengan biakan melekat (biofilter), proses degradasi substrat

organik secara biologis sebagian besar berlangsung pada antar-muka biofilm dengan limbah cair

dan sebagian kecil lagi di dalam badan biofilm tersebut (Rittman dan McCarty, 2001; MetCalf

& Eddy, 2003). Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa dalam sistem biofilter jumlah

mikroorganisme pengurai yang aktif juga terbatas karena yang berperan dalam degradasi substrat

organik hanya lapisan atas saja, dengan demikian kemampuan mendegradasi substratpun

terbatas.

Berdasarkan hasil percobaan, pada beban organik yang rendah (COD awal 2000 mg/L),

HRT 18 – 24 jam dan tinggi unggun 125 cm, efisiensi reduksi COD relatif tinggi (rata-rata

71,94%). Pada HRT dan tinggi unggun yang sama, peningkatan laju beban organik menjadi 3000

mg/L ternyata diperoleh efisiensi reduksi COD menjadi turun (rata-rata 63,06%), dan bila laju

beban organik ditingkatkan lagi pada kondisi alamiah limbah cair (COD awal antara 4480 – 5600

mg/L), efisiensi reduksi COD turun lebih jauh menjadi rata-rata 49,21%.

Hasil yang sedikit berbeda diperoleh pada percobaan dengan tinggi unggun 125 cm dan

HRT 12 jam (Gambar 4.7), dimana efisiensi reduksi COD untuk umpan dengan konsentrasi

COD awal 2000 mg/L relatif lebih rendah (rata-rata 31,35%) dibanding bila konsentrasi COD

awal 3000 mg/L (rata-rata 49,68%) dan alamiah (33,60%). Hal ini diduga bahwa pada saat-saat

awal perubahan konsentrasi umpan dari saat seeding ke konsentrasi COD awal 2000 mg/L

mikrorganisme masih dalam fase penyesuaian, akibatnya jumlah mikroba aktif dalam lapisan

biofilm juga relatif masih sedikit (belum mencapai jumlah optimum). Dengan demikian, proses

penguraian bahan-bahan organik kompleks dalam limbah cair oleh mikroba anaerob menjadi

senyawa-senyawa lebih sederhana belum berlangsung optimum. Sedangkan pada percobaan

dengan konsentrasi COD awal 3000 mg/L dan alamiah, awal operasi dimulai setelah percobaan

dengan konsentrasi umpan 2000 mg/L selesai dilakukan. Oleh karena itu, diduga saat percobaan

dimulai mikroorganisme sudah mulai memasuki fase logaritma (eksponensial), sehingga jumlah

mikroba anaerob dalam lapisan biofilm relatif sudah lebih banyak.

Dari variasi perlakuan COD influen 2000, 3000 mg/L dan alamiah, kondisi operasi dengan

konsentrasi COD awal 2000 mg/L dan tingi unggun 125 cm serta HRT 18 – 24 jam,

merupakan yang terbaik untuk % penurunan COD.

4.4.2. Pengaruh Variasi Konsentrasi COD Awal terhadap MLSS

Pengaruh variasi konsentrasi COD awal terhadap penyisihan MLSS (%) pada

pengolahan limbah cair secara biofitrasi anaerobik di dalam seluruh sistem dapat

dilihat pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9.

Dari Gambar 4.8 untuk tinggi unggun 100 cm dan HRT 12 jam, dapat dilihat bahwa bila

COD awal 2000 mg/L kandungan MLSS rata-rata turun dari 528 mg/L menjadi 138 mg/L

(73,78%), sementara bila COD awal 3000 mg/L konsentrasi MLSS turun dari 689 mg/L menjadi

235 mg/L (65,92%), sedangkan bila COD awal alami (tanpa pengenceran) penurunannya adalah

dari 1027 mg/L menjadi 547 mg/L (46,72%). Pada HRT 18 dan 24 jam, dapat dilihat bahwa

penyisihan MLSS tidak berbeda secara signifikan dengan efisiensi penyisihan MLSS untuk HRT

12 jam baik untuk konsentrasi awal COD 2000 mg/L maupun 3000 mg/L atau alami.

Selanjutnya dari Gambar 4.9 terlihat bahwa untuk tinggi unggun 125 cm dan konsentrasi

COD awal 2000 mg/L efisiensi penurunan MLSS pada HRT 12 – 24 jam berkisar antara 77,88

– 82,58% . Peningkatan konsentrasi COD awal menjadi 3000 mg/L pada HRT yang sama,

diperoleh efisiensi penurunan MLSS yang lebih kecil (71,66 – 75,44%). Sedangkan bila

digunakan konsentrasi COD awal alamiah (tanpa pengenceran) pada HRT yang sama, efisiensi

penurunan MLSS turun lebih jauh menjadi 50,51 – 53,12%.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2000 3000 alamiah

Pen

yis

ihan

ML

SS

, %

Konsentrasi COD influent

12 jam

18 jam

24 jam

Berdasarkan hasil percobaan sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 4.8 dan Gambar

4.9, diperoleh presentase penyisihan MLSS untuk tinggi unggun 100 dan 125 cm yang tidak

berbeda nyata bila konsentrasi COD awalnya sama baik pada HRT 12, 18 maupun 24 jam.

Hasil analisis kandungan MLSS umpan segar limbah cair industri tahu menunjukkan

bahwa limbah tersebut mengandung padatan tersuspensi total (TSS) rata-rata antara 854 – 1244

mg/L. Pengenceran umpan limbah cair hingga kandungan COD awal menjadi 2000 mg/L atau

3000 mg/L diperoleh kandungan TSS atau MLSS rata-rata berkisar antara 525 – 665 mg/L.

Dengan kata lain, semakin besar konsentrasi COD awal, semakin besar pula kandungan TSS

dalam aliran umpan tersebut.

Kandungan padatan tersuspensi (TSS) yang relatif tinggi dalam aliran umpan akan

membutuhkan waktu tinggal cairan yang lebih lama dalam reaktor agar dapat terlarut

Gambar 4.8. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor pada COD Awal

2000, 3000 mg/L dan Alami, Tinggi Unggun 100 cm

Gambar 4.9. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor pada COD Awal

2000, 3000 mg/L dan Alami, Tinggi Unggun 125 cm

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2000 3000 alamiah

Pe

nyis

ihan

ML

SS

, %

Konsentrasi COD influent

12 jam

18 jam

24 jam

(terhidrolisis) dan terurai oleh mikroorganisme anaerob menjadi senyawa-senyawa lebih

sederhana. Diduga bahwa penggunaan waktu tinggal cairan (HRT) 12 – 24 jam dalam percobaan

ini belum cukup memadai untuk berlangsungnya proses hidrolisis dan degradasi biologis

kandungan padatan tersuspensi dalam aliran umpan limbah cair. Peningkatan konsentrasi COD

awal dari 2000, 3000 mg/L dan kondisi alamiah (tanpa pengenceran) berarti juga peningkatan

kandungan TSS dalam aliran umpan. Oleh karena sebagian besar kandungan TSS belum terurai,

maka padatan tersebut menumpuk sedemikian pada bagian atas media filter dan menghambat

kontak proses degradasi, akibatnya efisiensi penyisihan MLSS (%) cenderung mengalami

penurunan.

Dari hasil percobaan, meskipun diperoleh penyisihan kandungan MLSS yang cukup

signifikan dalam effluent, akan tetapi diduga bahwa penyisihan tersebut lebih didominasi oleh

proses filtrasi ketika cairan limbah melewati unggun padatan.

4.5. Pengaruh Tinggi Unggun

4.5.1. Pengaruh Tinggi Unggun terhadap COD

Pada proses ini variasi tinggi unggun yang digunakan adalah 100 dan 125 cm.

Temperatur operasi yang digunakan adalah temperatur ruang. Pengaruh variasi

tinggi unggun terhadap penurunan (reduksi) COD (%) di dalam seluruh sistem dapat

dilihat pada Gambar 4.10a, 4.10b dan 4.10c.

Pada percobaan biofiltrasi anaerob dengan variasi tinggi unggun, menunjukkan bahwa

untuk HRT yang sama dalam jangkau 12 – 24 jam diperoleh % reduksi COD lebih rendah pada

tinggi unggun 100 cm dibanding % reduksi COD pada tinggi unggun 125 cm (Gambar 4.10

(a), (b) dan (c)). Hal ini merupakan indikasi bahwa semakin besar tinggi unggun, semakin

panjang pula lintasan yang harus dilalui oleh substrat organik mulai dari saat masuk hingga

keluar dari reaktor, dengan demikian semakin besar pula kesempatan kontak antara limbah cair

dengan mikroorganisme anaerob dalam biofilm. Waktu kontak yang lebih lama pada reaktor

dengan tinggi unggun 125 cm, mengakibatkan konversi substrat organik menjadi lebih tinggi

dibanding tinggi unggun 100 cm. Hasil perhitungan % reduksi COD dalam reaktor diperoleh

bahwa penambahan tinggi unggun dari 100 cm menjadi 125 cm menyebabkan peningkatan %

reduksi COD rata-rata sebesar 12,72%.

Hasil yang sedikit berbeda diperoleh pada percobaan dengan konsentrasi COD awal 2000

mg/L dan HRT 12 jam (Gambar 4.10a), dimana efisiensi reduksi COD untuk tinggi unggun 125

cm relatif lebih rendah (rata-rata 31,35%) dibanding dengan tinggi unggun 100 cm (rata-rata

46,38%). Hal ini diduga terjadi ketidak stabilan proses pada reaktor dengan tinggi unggun 125

(a)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

100 125Tinggi unggun, cm

Red

uk

si C

OD

, %

2000 mg/L3000 mg/Lalamiah

Gambar 4.10. Reduksi Total COD (%) di Seluruh Sistem pada Tinggi

Unggun 100 dan 125 cm. (a). HRT 12 jam, (b). HRT 18 jam

dan (c). HRT 24 jam

(b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

100 125Tinggi unggun, cm

Red

uk

si C

OD

, %

2000 mg/L3000 mg/Lalamiah

(b)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

100 125Tinggi unggun, cm

Red

uk

si C

OD

, %

2000 mg/L3000 mg/Lalamiah

cm khususnya pada saat-saat awal percobaan dimulai. Pada saat-saat awal perubahan konsentrasi

umpan dari saat seeding ke konsentrasi COD awal 2000 mg/L mikrorganisme masih dalam fase

penyesuaian, akibatnya jumlah mikroba aktif dalam lapisan biofilm juga relatif masih sedikit

(belum mencapai jumlah optimum). Dengan demikian, proses penguraian bahan-bahan organik

kompleks dalam limbah cair oleh mikroba anaerob menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana

belum berlangsung optimum.

4.5.2. Pengaruh Variasi Tinggi Unggun terhadap MLSS

Pada percobaan biofiltrasi anaerob dengan variasi tinggi unggun 100 dan 125 cm,

menunjukkan bahwa untuk HRT yang sama dalam jangkau 12 – 24 jam diperoleh persen

penyisihan MLSS lebih rendah pada tinggi unggun 100 cm dibanding persen penyisihan MLSS

pada tinggi unggun 125 cm (Gambar 4.11a, 4.11b dan 4.11c).

Gambar 4.11. Penyisihan MLSS (%) dalam Reaktor Pada Tinggi Unggun

100 dan 125 cm. (a). HRT 12 jam, (b). HRT 18 jam dan

(c). HRT 24 jam

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100 cm 125 cm

Pen

yis

ihan

ML

SS

, %

Tinggi Unggun, cm

(c)

2000 mg/L

3000 mg/L

alamiah

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100 cm 125 cm

Pen

yis

ihan

ML

SS

, %

Tinggi Unggun, cm

(b)

2000 mg/L

3000 mg/L

alamiah

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100 cm 125 cm

Pen

yis

ihan

ML

SS

, %

Tinggi Unggun, cm

(a)

2000 mg/L

3000 mg/L

alamiah

Dalam pengolahan limbah cair dengan proses biologis kandungan padatan tersuspensi

dalam limbah cair terdiri atas dua jenis, pertama berupa padatan tersuspensi yang dibawa oleh

aliran umpan atau terbentuk karena proses koagulasi kimia. Jenis padatan tersuspensi yang kedua

berupa flok-flok mikroba yang terbentuk akibat proses mikrobiologis yang berlangsung di dalam

reaktor dan belum sempat melekat pada media filter. Kedua jenis padatan ini bersama-sama

memberikan kontribusi dalam pembentukan MLSS dalam limbah cair. Akibat perbedaan ukuran

partikel yang lebih besar dibanding volume rongga dalam unggun media filter, maka kandungan

MLSS tertahan pada rongga tersebut atau pada bagian atas unggun. Semakin besar tinggi unggun

semakin besar juga volume rongga yang tersedia, dengan demikian efisiensi penyisihan MLSS

dalam aliran limbah semakin besar. Hasil perhitungan % penyisihan MLSS dalam reaktor,

diperoleh bahwa penambahan tinggi unggun dari 100 cm menjadi 125 cm menyebabkan

peningkatan % penyisihan MLSS rata-rata sebesar 8,49%.

0 1 2 3 4 5 6

Waktu, hari

(c)