PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA...
Transcript of PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK KARENA...
PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK
KARENA ISTRI MAFQUD
(Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh:
Siti Munawaroh
NIM: 107044202135
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2011 M/1432 H
PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK KEPADA BAPAK
KARENA ISTRI MAFQUD
(Analisa Yurisprudensi No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.sy)
Oleh:
Siti Munawaroh
NIM: 107044202135
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing
Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP :195703121985031003
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka sata
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 April 2011 M
Siti Munawaroh
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Adil dan Maha Pengasih yang telah
melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada semua makhluknya dan penulis
terutamanya dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
Allah selalu curahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, para sahabat yang telah banyak berkorban dalam mensyiarkan Islam
sehingga kita dapat merasakan nikmatnya iman sampai saat ini.
Skripsi ini ditullis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh
gelar starata satu (S.l), dalam jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan
HukunrUIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul: PELIMPAHAN HAK ASUH
ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTR1 MAFQUD (Analisis Yurisprudensi No:
88IPdt. G/2008/PA. JB DiPA Jakarta Bar at).
Untuk menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat petunjuk, arahan,
dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang
terlibat dan berpartisipasi dalam rangka membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Karenanya penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada
yang terhormat kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Drs. H . A Basiq Djalil SI I. MH Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, Hj
Rosdiana, MA Sekertaris Jurusan, serta Dr. Supriyadi Ahmad, MA Dosen
Pcmbimbing Akademik. Terima kasih atas segala bantuan, perhatian, arahan,
serta bimbingan yang selama ini diberikan.
3. Dr. H. A. Mukri Aji, MA Selaku dosen pembimbing yang senantiasa ikhlas
meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, dan bimbingan yang
sang at berarti demi kelancaran pembuatan skripsi ini.
4. Para narasumber dan staf Pengadilan Agama Jakarta Barat yang telah
memberikan izin dan arahan dalam melaksanakan observasi dan wawancara
selama penulis mengadakan penelitian, khususnya H. Muhiddin, SH, MH,
Hakim yang terlah bersedia diwawancarai dalam menggali keterangan seputar
judul yang penulis angkat.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang selama tiga setengah tahun
dengan ikhlas dan sabar memberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang
diajarkan dapat menjadi bekal hidup penulis dalam menghadapi samudra
kehidupan dan dapat diamalkan dalam keseharian. Serta, para pimpinan dan
staff perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. H. Muhammad Bakri ayahanda yang selama ini menjadi motivator dan
inspirator dalam melangkah, Hj. Masrifah ibunda yang menjadi tempat
bersandar dikala kejenuhan dan kegelisahan melanda, curahan cinta, kasih,
iii
perhatian yang beliau berikan dengan tulus, sehingga dapat menyelesaikan
studi ini dengan lancer. Serta kakak-kakakku Hj. Badiah, Muhammad Syafiq,
Siti Aisyah, S.Ag, Solihah, S.Pdi, serta adikku tersayang, Ahmad Murodi yang
turut memotivasi penulis agar menjadi yang terbaik. Doakan ananda semoga
kelak menjadi insan yang berguna bagi diri sendiri dan sesama, dan dapat
mewujudkan segala cita dan impian yang diharapkan.
7. Sofyan Suri kanda yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan dengan
sabar selalu mengiringi sulca duka penulis dalam menjalani masa studi.
8. Sahabat-sahabatku Alumni Pon-Pes At-Taqwa Puteri Pusat Angkatan 2007
yang banyak memberi masukan dan tempat berbagi pengalaman.
9. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007,
kawan-kawan SCC 2010, serta kakak kelasku Hilma Yuniasti yang banyak
memberikan masukan dan informasi.
10. Kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun yang tidak membantu
penulisan skripsi ini.
Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khoiron katsiron.
Semoga skripsi ini dapar bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, 10 Maret 2011 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………….. 9
D. Metode Penelitian………………………………….. 10
E. Review Studi Terdahulu…………………………… 14
F. Sistematika Penulisan……………………………… 15
BAB II PERCERAIAN DAN HAK ASUH ANAK KARENA ISTRI
MAFQUD
A. Pengertian Perceraian……………………………….. 17
B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya……….. 20
1) Perspektif Fikih…………………………………. 20
2) Perspektif UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam(KHI)……………………………………… 24
C. Syarat-syarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah.. 32
D. Pengertian Istri Mafqud Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan
KHI……………………………………………………. 45
v
E. Hubungan Istri Mafqud Dengan Perceraian……………. 48
F. Akibat Hukum Istri Mafqud Terhadap Hak Asuh Anak … 52
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat……… 53
B. Letak Geografis…………………………………………. 59
C. Struktur Organisasi……………………………………… 65
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
A. Duduk Perkara…………………………………………. 66
B. Profil Dan Pihak yang terlibat…………………………. 69
C. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim…………….. 69
D. Analisis Penulis………………………………………… 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………. 81
B. Saran…………………………………………………… 82
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 83
vi
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………
1. Pedoman Wawancara
2. Hasil wawancara
3. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat
4. Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat
5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
6. Putusan Perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah tangga adalah wadah yang pertama dalam masyarakat. Rumah tangga
adalah salah satu dari sekian banyak batu bata masyarakat. Masyarakat tidak akan
menjadi baik kecuali jika rumah tangga ini baik, dan masyarakat tidak akan rusak
kecuali jika rumah tangga ini rusak. Rumah tangga ini terdiri dari rumah. Sebuah
rumah harus mencerminkan ketenangan, kedamaian, kerjasama dan rasa cinta.
Disinilah anak akan tumbuh membentuk ciri kebersamaan dan hubungan.1
Rumah tangga adalah hubungan jiwa dengan jiwa, hubungan ketentraman dan
ketenangan, hubungan kasih dan sayang, hubungan saling menutupi rahasia dan
memeberikan keindahan, dan apapun yang mencerminkan kecintaan yang bisa
dirasakan manusia.
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami istri
penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya
rasa kasih sayang itu bila tidak bisa dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang
berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suami istri tidak
dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya,
1 Ummu Ibrahim Ilham, Bagaimana Menjadi Istri yang Shalihah dan Ibu Yang Sukses, (Jakarta:
Darul Falah, 1420 H), cet-II, h. 52
2
akan berakibat negatif bagi anaknya. Oleh karena itu, upaya kembali memulihkan
kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.2
Perceraian diakui dalam Islam sebagai satu jalan keluar terakhir dari kemelut
keluarga, di mana bila hal tersebut tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga
menjadi seperti neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya. Dan hal
seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan disyariatkan pernikahan3 yang tertuang
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, yaitu:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanaknnya
merupakan ibadah.”4
Salah satu bentuk perkawinan adalah dengan talak. Thalak secara harfiah
berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya arti kata ini dengan putusnya perkawinan
karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya dengan masing-masing sudah
bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis kelihatan ulama
mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama.
Selain thalak, bentuk perceraian yang lain adalah dengan fasakh. Fasakh
berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan. Sedangkan secara terminologis fasakh berarti pembatalan ikatan
pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat
2 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2004) h. 137
3 Mashuri Kurtubi, Menikah Itu Indah, (Jakarta: Insan Madani, 2007) h. 44
4 DEPAG RI, UU No. 1 Tahin 1974 dan Pedoman Akad Nikah, (Jakarta: DEPAG RI, 2006) h. 62
3
dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang terlanjur menyalahi
hukum pernikahan. Faktor-faktor penyebab terjadinya fasakh antara lain: syiqaq
(pertengkaran), fasakh karena cacat, fasakh karena ketidakmampuan suami memberi
nafkah, fasakh karena suami ghaib (mafqud), fasakh karena melanggar perjanjian
dalam perkawinan.5
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang faktor salah satu pasangan
suami istri mafqud (hilang). Mafqud secara bahasa berarti hilang atau menghilangkan
sesuatu, sedangkan secara terminologis berarti orang yang hilang dari negerinya
dalam waktu yang cukup lama.6
Dalam kenyataan, tujuan mulia perkawinan tidak selamanya berjalan secara
baik. Kehidupan berumah tangga memang tidak selamanya berjalan mulus tanpa
konflik, perbedaan, atau perdebatan, bahkan adakalanya hubungan perkawinan
tersebut di landa problem yang berakhir dengan perceraian.
Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri,
timbul perbedaaan pendapat antara keduanya, berubahnya kecendrungan hati pada
masing-masing pihak memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah
suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang
menjadi kebencian, kesetiaan menjadi pengkhianatan.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2007),hal.190
6 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),
hal.1037
4
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa atau dalam bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebut dengan
mitsaqan ghaliza (ikatan yang kuat), namun dalam realitanya seringkali perkawinan
tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan. Menurut
pasal 38 Undang-undang Perkawinan menyatakan: perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu
pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian,
Undang-undang Perkawinan memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci,
dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan adalah
jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Undang-
undang Perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan
hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Bahkan didalam penjelasan
Undang-undang Perkawinan, pasal 38 tersebut dipandang “cukup jelas”.
Jika merujuk kepada hukum perdata pada pasal 493 dinyatakan: apabila selain
terjadinya meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri
selama genap sepuluh tahun telah tak hadir ditempat tinggalnya, sedangkan kabar
tentang hidup atau matinya pun tak pernah diperolehnya, maka si istri atau suami
yang ditinggalkanya, atas izin Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri bersama
berhak memanggil pihak yang tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum
berturut-turut dengan cara seperti diatur dalam pasal 467 dan 468 yaitu ketentuan
5
yang berkenaan dengan dianggap meninggalnya seseorang dimana antara lain
disyaratkan paling tidak, tidak terdengar kabar beritanya untuk masa lima (5) tahun
atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu masih hidup.7
Dalam literatur-literatur fikih banyak ditemukan tentang status perkawinan
karena suami mafqud (hilang). Akan tetapi tidak dijelaskan secara jelas tentang istri
mafqud (hilang). Untuk itu adalah suatu yang penting dan menarik untuk diteliti
permasalahan tentang permohonan thalak suami karena istri mafqud serta
pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Suatu gugatan perceraian, bisa mengundang berbagai permasalahan.
Disamping gugatan carai itu sendiri, muncul pula masalah-masalah lain sebagai
akibat dari dikabulkannya perceraian tersebut, seperti masalah pembagian harta
bersama, dan bila mana mempunyai keturunan timbul pula masalah tentang siapa
yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah terhadap anak.
Hadhanah secara bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan. Seorang ibu waktu
menyusukan,meletakan anak dipangkuannya, dan melindunginya dari segala sesuatu
yang menyakiti. Erat kaitannya dengan itu, hadhanah secara istilah adalah tugas
menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai ia
mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
Seorang anak pada permulaanya hidup sampai umur tertentu memerlukan
orang lain dalam kehidupannya, baik dalam pengaturan fisiknya, maupun dalam
7 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal.216-218
6
pembentukan akhlaknya. Seorang yang melakukan tugas hadhanah sangat berperan
dalam hal tersebut. Oleh sebab itu masalah hadhanah mendapat perhatian khusus
dalam ajaran islam. Diatas pundak kedua orangtualah terletak kewajiban untuk
melakukan tugas tersebut. Bilamana orang tuanya atau salah satunya tidak dapat atau
tidak layak untuk tugas tersebut dikarenakan suatu hal, maka hendaklah ditentukan
pengasuh yang memenui kriteria dan syarat-syarat yang memenuhi ketentuan untuk
melakukan pengasuhan tersebut, terlebih ketika terjadi percerain antara keduanya8.
Ketentuan tentang hak hadhanah akibat terjadi perceraian orang tuanya telah
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156, yaitu
Akibat putusnya pernikahan karena perceraian ialah:
A. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali
bilamana ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ayah
B. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hak hadhanah
dari ayah atau ibunya
C. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah diculupi, maka atas
8 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hal. 169
7
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan
hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.9
Seperti keterangan tersebut diatas, dalam perkara perceraian yang terjadi
antara Muhammad Arief bin Achmad dengan Survita Widiyanti binti Moch Surip
yang dikarunia 2 orang anak, anak pertama berusia 10 thn, dan anak kedua berusia 7
tahun. Pernikahan mereka telah terbina selama 11 tahun, akan tetapi dengan
kehadiran kedua anak dalam hubungan pernikahan mereka, tetap saja sering terjadi
percekcokan yang disebabkan berbagai hal, diantaranya yang diutarakan suami dalam
posita nya adalah karena adanya perselingkuhan istrinya dengan pria lain yang Non-
Muslim.
Pada puncak keretakan hubungan rumah tangga mereka, sang istri pergi
meninggalkan rumah selama beberapa bulan tanpa alasan yang jelas dan tidak
diketahui keberadaannya, serta tidak pernah memberi kabar berita kepada
keluarganya. Sampai akhirnya suami menjatuhkan cerai kepada Pengadilan Agama
Jakarta Barat dan dijatuhkanlah talak 1 kepada pasangan suami istri tersebut. Tapi
permasalahan yang penulis ingin soroti adalah keputusan hakim menetapkan hak
hadhanah kepada bapak/suami.
Oleh karena itu berawal dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis
tertarik untuk mengangkat judul skripsi tentang PELIMPAHAN HAK ASUH
ANAK KEPADA BAPAK KARENA ISTRI MAFQUD (Analisa Yurisprudensi
No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB).
9 Departement Agama RI, Kompilasi Hukum Islam dan Tanya Jawab Seputar Kepenghuluan,
(Jakarta: DEPAG RI. 2003) h. 91
8
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.Pembatasan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang di atas, maka penulis membatasi bahwa
fokus dari penelitian adalah berkenaan dengan pada apa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menetapkan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak
karena Istri Mafqud dalam pokok bahasan analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta
Barat No. 881/Pdt.G/PA.JB.
Dalam putusan No.881/Pdt.G/2008/PA.JB hakim memutuskan bahwa suami
dapat menjatuhkan talak pada istri yang mafqud (hilang) selama 7 (tujuh) bulan.
Sehingga pelimpahan Hak Asuh Anak ditetapkan kepada bapak. Putusan ini menarik
untuk diteliti guna mengetahui proses sampai putusan ini ditetapkan hakim.
2. Rumusan Masalah
Menurut peraturan yang berlaku dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal
156 bahwa hak hadhanah apabila ibu tidak ada maka, jatuh kepada wanita-wanita
dalam garis lurus keatas dari ibu. Sedang dengan kenyataan yang ada dilapangan
hadhanah diberikan langsung kepada bapak seperti yang diputuskan Pengadilan
Agama Jakarta Barat dalam putusan perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB.
Kemudian untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan
dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB?
9
2. Apa dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam menetapkan
pelimpahan hak hadhanah kepada bapak dalam putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB?
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Dengan menganalisa latar belakang dan rumusan tersebut maka penelitian ini
bertujuan:
1. Untuk mengetahui metode ijtihad yang digunakan oleh majelis hakim dalam
menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB.
2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam
menetapkan hak hadhanah kepada bapak dalam putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB.
II. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat skripsi ini adalah sebagai berikut:
A. Terapan
1. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di
Fakultas Syariah & Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran bagi para hakim
di lingkungan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam menentukan kepada siapa
hak hadhnah harus diberikan ketika terjadi perceraian antara suami istri.
10
B. Ilmiah.
Skripsi ini diharapkan mampu manambah wawasan bagi penulis khususnya dan
masyarakat luas umumnya terutama terkait penentuan hak hadhanah setelah
terjadi perceraian antara suami istri.
D. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu
deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma atau aturan-aturan dari kasus
yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai hak hadhanah
atas anak kepada bapak setelah terjadinya perceraian yang diakibatkan karena istri
mafqud.
Dilihat dari segi tujuan, penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat
deskriptif analisis, yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data dan informasi
dilapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam.
Dan dari segi tipe penelitian hukum, penelitian ini juga termasuk jenis
penelitian kepustakaan (Library Research), penelitian kepustakaan dilakukan dengan
menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih, perundang-undanganan, dan
Yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
11
a) Dokumentasi, yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari
data primer dari dokumen-dokumen berkas putusan perkara No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB Di samping itu dilakukan penelusuran dan pengkajian
terhadap berbagai tulisan yang berkaitan dengan pembahasan ini, dalam aspek
hukum untuk mempertajam analisis terhadap putusan pengadilan tersebut.
b) Interview (wawancara) yaitu metode pengumpulan data dengan menggunakan
pedoman wawancara. Adapun pihak yang diwawancarai adalah hakim Pengadilan
Agama Jakarta barat yang memutus perkara ini. Metode ini dipakai untuk
memperoleh gambaran yang jelas tentang pertimbangan hukum dan upaya
majelis hakim untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga dapat membantu
proses analisis data.
3. Sumber Data
A. Data Primer
Data primer adalah berkas putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
dalam perkara No.881/Pdt.G/2008/PA.JB, buku-buku, internet, Yurisprudensi dan
beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan hak hadhanah atas anak, lalu
dikumpulkan serta diklasifikasikan berdasarkan jenisnya.
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari wawancara terhadap hakim
untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam
menetapkan perkara, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
12
4. Analisa Data
Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis mengenai alasan
dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam menetapkan keputusan
terhadap kasus yang dibahas. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan analisa yurisprudensi dan mengidentifikasi apa yang
menjadi perhatian penulis yaitu terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hak
asuh anak kepada bapak akibat permohonan talak suami pada istri yang mafqud
(hilang) di Pengadilan agama Jakarta Barat. Serta apa yang merupakan persoalan.
Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan antara
lain:
1. Proses katagorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil observasi
atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.
2. Proses Prioritas, yaitu dengan memilih mana katagori yang dapat ditampilkan dan
mana yang tidak perlu ditampilkan.
3. Proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui apakah katagori yang
dihasilkan sudah cukup atau belum.
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan konten
analisis, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dengan mendeskripsikan
putusan perceraian dengan No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB dan menghubungkannya
dengan hasil interview dari hakim yang memutus perkara tersebut.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Artinya penyusun
lebih mempertajam analisis dengan memahami kualitas dari data yang diperoleh.
13
Kemudian dibahas secara mendalam tentang putusan Pengadilan Agama terkait
dengan pertimbangan hakim terhadap penentuan hak hadhanah atas anak yang
muncul dari ketentuan yurisprudensi.
5. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, secara tekhnis penulisan berpedoman kepada
buku Pedoman Penulisan Skripsi, diterbitkan oleh: Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, cet. Pertama.
E. STUDI KAJIAN TERDAHULU
No Identitas Substantif Perbedaan
1 Skripsi oleh Firman
Suleman, Tahun 2009,
Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah,
konsentrasi Peradilan
Agama
Judul “Hak Pemeliharaan
anak yang belum
mumayyiz akibat
perceraian (Studi Kritis
terhadap tentang Pasal
105 point A KHI)”.
Berisi tentang
pembahasan mengenai
efektifitas penerapan
pasal 105 point A KHI
sebagai sumber dalam
Dari segi isi skripsi, skripsi
tersebut membahas tentang
efektivitas penerapan pasal
105 point A KHI dalam
menyelesaikan sengketa
hadhnah di lingkungan
Pengadilan Agama,
dengan melakukan studi
kritis terhadap pasal 105
point A KHI, sedangkan
penulis dengan
14
menyelesaikan sengketa
hadhanah di lingkungan
Pengadilan Agama
menganalisis putusan
hakim tentang hak anak
dan juga menganalisis
pertimbangan hakim
dalam memutuskan
perkara
2 Skripsi oleh Zainul
Arifin, tahun 2004,
Program Studi
Akhwal Syakhsiyyah,
Konsentrasi Peradilan
Agama
Judul “Prioritas hak asuh
ayah terhadap anak di
bawah umur (Studi Kasus
di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan).
Berisi tentang
pembahasan mengenai
prioritas hak asuh ayah
terhadap anak yang masih
dibawah umur secara
teoritis maupun praktis.
Secara umum, skripsi
tersebut membahas tentang
sejauh mana prioritas
diberikan kepada ayah
dalam masalah hak asuh
anak yang belum
mumayyiz akibat
perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan,
sedangkan penulis
melakukan analisa
yurisprudensi terhadap
salah satu putusan hakim
di Pengadilan Agama
Jakarta Barat dengan
15
putusan No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB.
3 Skripsi oleh Aditya
Nur Pratama, tahun
2009 Program Studi
Akhwal Syakhsiyyah,
konsentrasi Peradilan
Agama, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Judul “:Pencabutan hak
asuh anak dari ibu (Studi
Analisis Putusan
Pengadilan Agama
Depok No.
430/Pdt.G/2006/PA.Dpk).
Berisi tentang landasan
teori seputar hak asuh
(hadhanah)anak meliputi
pengertian hadhanah,
dasar hokum hadhanah,
syarat-syarat hadhinah
dan hadhin, masa
hadhanah, serta analisa
terhadap putusan
Pengadilan Agama
Depok tentang
pencabutan hak asuh anak
dari ibu.
Secara umum, skripsi
tersebut mambahas tentang
pencabutan hak asuh
(hadhanah) anak dari ibu,
sedangkan penelitian
penulis tentang hak asuh
anak yang belum
mumayyiz kepada bapak
akibat perceraian karena
istri mafqud. Walaupun
cara yang dilakukan sama
yaitu menganalisis
putusan, namun hal ini
jelas berbeda dengan
skripsi tersebut, karena
penelitian penulis bukan
berkaitan dengan
pencabutan hak asuh anak,
melainkan hak hadhanah
16
kepada bapak karena istri
mafqud.
4 Skripsi oleh Jamil
Fathoni, tahun 2009,
Jurusan Peradilan
Agama, Konsentrasi
Akhwal Syakhsiyyah,
UIN Jakarta
Judul “Perkara cerai
gugat karena suami
mafqud(analisa beberapa
putusan PA Jakarta Pusat
dari Persfektif Fiqih)”.
Berisi tentang perceraian
(khulu’) serta mafqud
dalam persfektif fiqih dan
undang-undang No. 1
Tahun 1974, serta analisa
tentang putusan-putusan
pengadilan Agama
Jakarta Pusat perceraian
akibat suami mafqud.
Secara umum, skripsi
tersebut berisi tentang
cerai gugat kerena suami
mafqud, sedangkan penulis
menitik beratkan pada
ketetapan hak hadhanah
yang diakubatkan karena
istri mafqud, dan skripsi
tersebut menganalisis
beberapa putusan sehingga
dasar keputusan hakim
berbeda-beda dan juga
tidak efisien karena
memerlukan waktu dan
tenaga yang lebih banyak
dalam mengumpulkan
data.
17
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih
terfokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasi permasalahan dalm beberapa
bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama : Pada bab ini berisi pendahuluan yang memberikan gambaran secara
umum dan menyeluruh tentang skripsi dengan menguraikan tentang
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, analisa data dan
sistematika penelitian.
Bab Kedua : Pada bab ini peneliti berusaha menjelaskan tentang hak asuh
anak kepada bapak terhadap istri mafqud menurut hukum Islam dan
hukum positif yaitu undang-undang N0. 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Bab Ketiga : Pada bab ini tentang eksistensi Pengadilan Agama Jakarta Barat,
kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Barat, Pengadilan Agama
Jakarta Barat secara organisasi dan perkara hak asuh anak kepada
bapak karena istri mafqud yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta
Barat.
Bab Keempat : pada bab ini penulis berusaha menjelaskan permasalahan yang
dijadikan objek kajian dengan menganalisa dan menjelaskan putusan
pengadilan yang dijadikan objek penelitian penulis. Menjelaskan
hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan
18
putusan serta menjelaskan metode ijtihad hakim, juga sumber hokum
yang dijadikan sandaran hakim dalam mengambil keputusan.
Bab Kelima : pada bab ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang
dirumuskan serta saran-saran dan harapan penulis.
19
BAB II
PERCERAIAN DAN HAK ASUH ANAK
KARENA ISTRI MAFQUD
A. Pengertian Perceraian
Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 38, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian
sering disebut oleh masyarakat dengan istilah cerai mati. Sedangkan putusnya
perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu cerai gugat dan cerai talak.
Talak terambil dari kata „‟ithlaq‟‟ yang menurut bahasa artinya melepaskan
atau meninggalkan‟‟. Menurut istilah syara‟ talak yaitu : 1
Melepas perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.
Al-Jaziry mendefinisikan :
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, talak adalah:
Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.
1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h.192.
20
Jadi, talak itu adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi
dalam hal talak ba‟in sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan adalah
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua
menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak
raj‟i.2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada dasarnya
mempersulit terjadinya perceraian, alasan-alasan mempersulit itu adalah :
1. Perkawinan itu tujuannya suci dan mulia sesuai dengan pasal 1 Kompilasi Hukum
Islam. Sedangkan perceraian dalah perbuatan yang dibenci Allah.
2. Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri.
3. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita) sehingga setaraf dengan
derajat dan martabat suami.
Hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian, kalau perceraian itu
lebih baik dari pada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Walaupun maksud dari
perkawinan itu mencapai kebahagiaan dan kerukunan hati masing-masing, dan
kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidak dapat dipaksakan. Karena itulah Islam tidak
mengikat mati perkawinan, tetapi tidak pula mempermudah perceraian. Artinya
perceraian adalah tindakan terakhir yang dilakukan setelah terlebih dahulu menempuh
usaha-usaha perdamaian. Demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah
2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 193.
21
terjadinya perceraian tanpa ada rasa penyesalan. Putusnya perkawinan karena
perceraian dapat terjadi karena dua hal yaitu :3
1. Cerai Talak
Cerai talak biasanya hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam. Islam menetapkan hak talak itu berada di
tangan suami, yakni memiliki hak mentalak istri sampai tiga kali talak.
Namun demikian hak itu tidak dapat digunakan oleh suami begitu saja
dengan sewenang-wenang. Suami yang hendak melakukan talak terhadap istrinya
harus didepan pengadilan agama yang berwenang dan memperlihatkan
kepentingan para istri. Cerai talak menurut hukum agama ada tiga macam yaitu
talak raj‟i, talak bain shugra dan talak bain kubra.
2. Gugatan Perceraian
Gugatan perceraian hanya dilakukan para istri, karena dalam hukum
agama Islam istri tidak mempunyai hak mentalak suami. Dalam hukum
perkawinan agama islam sendiri diberi hak untuk menuntut perceraian dari sang
suami dengan cara khulu. Adapun alasan terjadinya perceraian terdapat dalam
pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.4
3 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 247.
4 Ibid., h. 249
22
B. Pengertian Hadhanah dan Dasar Hukumnya
1. Perspektif Fikih
Konsep pemeliharaan dan perlindungan anak dalam hukum Islam (fiqh) lebih
dikenal dengan hadhanah yang merupakan salah satu dari hak anak yang wajib
dipenuhi. Menurut Muhammad Mugniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu
bukan hanya untuk anak yatim saja tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang
masih kecil, safih dan bangkrut.5
a. Menurut Etimologi
6
Hadhanah berasal dari hadlan, yaitu berarti samping, yakni masuk kesamping.
Sedangkan menurut Syara' ialah pendidikan dan pengajaran terhadap anak bagi yang
berhak melakukan hadhanah. Ataupun pendidikan dan pengasuhan orang yang tidak
dapat mandiri terhadap hal-hal yang membahayakan dirinya, karena masih kanak-
kanak atau karena tidak waras. Dengan demikian diperlukan pemeliharaan
kondisinya, dan penyediaan makanan, pakaian dan tempat tidurnya, juga tentang
kebersihannya, cuci pakaian pada usia tertentu, dan lain sebagainya.
5 Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.166.
6 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz IV, (Damaskus: Daar Fikr, 1404-
1984), h. 717.
23
Menurut Wahbah Al Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua
orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam
hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.7
Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran
hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap
anak yang telah digariskan dalam Islam, yakni حضانةال , memelihara anak sebagai
amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.
Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak
mempunyai hak-hak sebagai berikut:8
1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan
2. Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik.
4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan
hidupnya.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
7 Wahbah Al Zuahili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1984), h. 279.
8 Neng Djubaedah,dkk, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h. 177.
24
Hadhanah berarti di samping atau berada di bawah ketiak.9 Hadhanah
(pemeliharaan anak) berasal dari kata إحتضن- حضنا – يحضن – حضن yang artinya
mengasuh anak atau memeluk anak. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, hadhanah
berasal dari kata (الحضن ) yang artinya lambung.10
Seperti dalam ungkapannya: ( حضن
yang diartikan (الطير بيضه11
“burung itu mengapit telur yang ada di bawah sayapnya”.
Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang memelihara anaknya. Selain itu hadhanah
diambil dari kata الحضن yang berarti pendamping. Karena seorang pengasuh akan
senantiasa mendampingi anak yang ada dalam asuhannya. Arti kata حضانةال adalah
.atau pengasuhan المريبة12
Kata hadhanah berasal dari kata hadhana yang berarti menempatkan sesuatu
di antara ketiak dan pusar13
. Seekor burung betina yang mengeram telurnya diantara
sayap dan badannya disebut juga hadhanah.
Menurut Satria Efendi bahwa حضانةال berasal dari kata yang berarti حضن
meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk yakni menggendong atau meletakan
sesuatu dalam pangkuan sedangkan menurut istilah tugas menjaga dan mengasuh atau
9 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II ,(Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve,
1999), h.415.
10 Muhammad Ibn Ismail al-Shan‟ani al-Kahlani, Subul al-Salam, Juz. III, (Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.), h.227.
11 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,Jilid II , Cet.IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h.288.
12 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Depok: Gema Insani, 2000), h.748.
13Syaikh Hasan Ayuub, Fiqih Keluarga, Cet.IV, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.391.
25
mendidik bayi masih kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur
dirinya sendiri.14
b. Menurut Terminologi
Para ulama ahli fiqih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil atau perempuan atau yang sudah besar
tetapi belum tamyiz tanpa perintah darinya, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya15
.
Dan menurut istilah fiqih, hadhanah adalah tugas menjaga dan mengasuh atau
mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga atau dapat
mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti bahwa tugas hadhanah
akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.16
Menurut Imam Taqiyudin hadhanah adalah ibarat menjalankan untuk
menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak berakal dan mengajarkannya
akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu yang sangat membahayakannya.17
14Satria Effendi, Probelmatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi
dengan Pendekatan Ushuliyah, h.166.
15 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Terjemahan), Cet I, Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006), h.237.
16 Neng djubaedah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h.181.
17 Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut Dar: al-
Fikr, 1994), h. 49.
26
Peunoh Daly, mengemukakan definisi hadhanah adalah pekerjaan yang
berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih kecil,
bodoh atau lemah fisik.18
Dalam buku hukum Perdata Islam di Indonesia, dikatakan bahwa hadhanah
adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi
pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan
maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.19
2. Perspektif UU No 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam)
a. Perspektif UU No 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari
hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena
itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif
sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama waktu itu masih
mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-kitab fikih ketika
memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah
18
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, h.399.
19 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67.
27
menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama di beri wewenang untuk
menjadi dan menyelesaikannya.20
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42-45
dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang
belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai nak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus menerus meskipun perkawinan
antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua
juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi
pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan
menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan
primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhandan tingkat sosial ekonomi orang tua si
anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana
dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal
mungkin dengan sebaik-baiknya.21
Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang
dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam Pasal 41 UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan:
20
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h.428-429.
21 Ibid., h. 429.
28
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya;
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41,
dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang
bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih
memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban
suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan
Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.22
Pada pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang tua dan anak
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1
bahwa kedua orang tua wajin memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
22
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet.V, (Jakarta: UI Press, 1986), h.149.
29
tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.23
Selanjutnya
dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara
Orang Tua dan Anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dari
kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
b. Perspektif KHI ( Kompilasi Hukum Islam)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf g dikatakan bahwa: “Hadhanah
atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau berdiri sendiri.”
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menjelaskan secara rinci
dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum
mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak
yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung
oleh ayahnya.24
23
Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14.
24 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007), h.
138.
30
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan:
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik atau mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar pengadilan
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
terjadinya perceraian.25
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak
mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka
kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun
alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban
terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap
(1975:216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya
yaitu meliputi ketidakmampuan oarng tua atau sama sekali tidak mungkin
melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman
penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu
jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk
25
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan, h. 328.
31
meliputi segala tingakh laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik.26
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas,
maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada
anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka ia
tidak berhak lagi mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian,
ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah
yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal
49 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, biaya
pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap
anaknya dicabut.27
Oleh karena itu walaupun ulama sepakat bahwa ibu yang lebih kuat dalam
melaksanakan hadhanah, namun dalam kenyataannya jika sang ibu tersebut tidak
memiliki perilaku atau akhlak yang baik atau jika sang ibu mempunyai keyakinan
yang berbeda yaitu seorang yang bukan beragama Islam maka demi kemaslahatan
anak, bahkan sang ibu pergi meninggalkan rumah dan tidak diketahui keberadaannya
walaupun telah dilakukan upaya pencarian namun tidak juga diketahui. Maka
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.
27 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 15.
32
hadhanah digantikan oleh ayahnya , jika sang ayah memang telah memenuhi syarat-
syarat untuk melaksanakan hadhanah. 28
3. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama sepakat bahwa pemeliharaan anak itu adalah wajib, sebagaimana
wajib memelihara selama dalam pernikahan, adapun dasar hukum dari hadanah atau
pengasuhan anak adalah pada Surat At-Tahrim ayat 629
666
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan‘’.
Yang dimaksud dengan memelihara keluarga pada ayat diatas yakni
mengasuh dan mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna
bagi agama.30
Dan dasar hukum dari hadhanah yang lain sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah pada surat Al Baqarah,(2):233:31
28
Satria Effendi M.Zen, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.181.
29 Slamet Abidin, dkk, Fiqih Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h.171.
30 Syaikh Hasan Ayuub, Fiqih Keluarga, Cet.IV, h. 391.
31 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Inodonesia,
2000), h. 149.
33
2
233
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Maksud dalil diatas adalah bahwasanya orang tua berkewajiban untuk
menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya serta kesehatan baik
secara fisik maupun psikis, karena masa-masa itualah sangat mempengaruhi anak dari
segi perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan diperhatikan oleh
kedua orangtuamya. Hal tersebur merupakan upaya mewujudkan manusia yang
berkualitas dan berakhlak tinggi.32
32
Ibid,. h. 150.
34
C. Syarat-syarat Hadhanah dan Akibat Hukum Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang disebut hadhin dan anak yang
diasuh atau disebut madhun atau hadinah. Baik masih dalam ikatan perkawinan atau
setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk memelihara anaknya dengan
baik. Adapun syarat-syarat dari hadhin adalah sebagai berikut :33
1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas
yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang
dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat
untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat
untuk orang lain.
3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena
tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama
anak yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan agama Islam dikhawatirkan anak
yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa
besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq,
yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang komitmen agamanya rendah
tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak yang masih kecil.
33
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UU
Perkawinan. H. 328.
35
Sayyid sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah memberikan persyaratan untuk
hadhinah sebagai berikut :34
1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh
menangani hadhanah.
2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang
lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya.
3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau
rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus
kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu diurus.
4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan
ntidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik.
5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Sebab
hadanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allh tidak membolehkan
orang Mukmin dibawah perwalian orang kafir, sesuai yang tersirat dalam firman
Allah Swt. Surat Annisa Ayat 141 :35
4141
34
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
35 Ibid., h. 290.
36
„„(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada
dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari
Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan
jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi Keputusan di antara kamu di hari kiamat
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.’’
6. Ibunya belum kawin lagi
7. Merdeka
Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang
yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku maksiat, bukan
penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan
dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara dan
menjamin kesehatan anak dan pertumbuhan moralnya.36
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berdampak kepada hubungan suami istri
menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tinggal dan sebagainya. Tetapi yang lebih
penting mengenai nasib anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak
yang masih kecil-kecil atau dibawah umur, dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah :37
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita
36
M. Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet.17, (Jakarta:Lentera, 2006), h.416.
37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
h. 138.
37
dalam garis lurus keatas dari ibu, ayah, wanita dalam garis lurus dari ayah,
saudara perempuan dari anak tersebut, wanita dari kerabat sedarah menurut garis
samping ayah.
b. Anak yang belum mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibu.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah kepada kerabat
lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anank tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.38
1. Akibat Hukum Hadhanah
Dari suatu perbuatan tentulah ada suatu akibat hukum yang harus di tanggung
oleh seseorang yang berbuat perbuatan tersebut. Begitu juga dengan pemeliharaan
38
Ibid., h. 138.
38
anak tentulah ada suatu akibat dari orang tua yang mendapat hak tersebut atau pihak-
pihak yang memelihara anak tersebut.
1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pada
dasarnya kedua orang tua berkewajiban memelihara anak yang masih dibawah
umur akibat perceraian. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 47 huruf a Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa ibu dan bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata demi
kepentingan anak.39
2. Menurut Hukum Islam.
Menurut hukum Islam ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh orang
yang mendapat hak hadhanah anak yang belum dewasa yang diakibatkan dari
perceraian, hal ini diatur dalam pasal 106 Kompilasi Hukum Islam :
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
39
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, h. 18.
39
2. Pihak-pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama ahli fiqh
menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga
bapaknya. Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut :40
1. Ibu anak tersebut
2. Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara kandung perempuan anak tersebut
5. Saudara perempuan ibuikut
6. Saudara perempuan ayah
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya
10. Saudara perempuan ibunyang se ibu dengannya (bibi)
11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi)
12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
13. anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu
15. anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
16. Bibi yang sekandung dengan ayah
17. Bibi yang seibu dengan ayah
40
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 529..
40
18. Bibi yang seayah dengan ayah
19. Bibinya ibu dari pihak ibunya
20. Bibinya ayah dari dari pihak ibunya
21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya
22. Bibinya ayah dari pihak ayah
Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram
diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih
kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah
(nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing. Pengasuhan anak beralih
kepada :41
1. Ayah kandung anak itu
2. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7. Paman yang seayah dengan ayah
8. Pamanya ayah yang sekandung
9. Pamanya ayah yang seayah dengan ayah42
41
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h.394 42
Ibid.,h. 395.
41
Apabila tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut atau ada
tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada
mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :
1. Ayah ibu (kakek)
2. saudara laki-laki seibu
3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
4. Paman yang seibu dengan ayah
5. Paman yang sekandung dengan ibu
6. Paman yang seayah dengan ibu
Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka
hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta
mendidiknya.
Menurut Sayyid sabiq urutan orang yang berhak dalam hadhanah adalah ibu
yang yang pertama kali berhak atas hak asuhan tersebut.43
Para ahli fiqh kemudian
memperhatikan bahwa kerabat ibu didahulukan daripada kerabat ayah dalam
menangani hadhanah. Urutannya adalah sebagi berikut : Pertama, Ibu. Jika ada suatu
halangan yang mencegahnya untuk didahulukan (umpamanya karena salah satu
syarat-syaratnya tidak terpenuhi), berpindahlah hak hadhanah ke tangan ibunya ibu
(nenek) dan ke atas. Jika ternyata ada suatu halangan, berpindahlah ke tangan ayah,
kemudian saudara perempuannya sekandung, kemudian saudara perempuannya seibu,
saudar perempuen seayah, kemudian kemenakan perempuannya sekandung,
43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (terjemahan), h.239.
42
kemenakan perempuannya seibu, saudara perempuan ibu yang seayah, kemenakan
perempuan ibu yang seayah, anak perempuan saudara laki-lakinya sekandung , anak
perempuan saudara laki-lakinya yang seibu, anak perempuan saudara laki-lakinya
yang seayah. Kemudian bibi dari ibu yang sekandung, bibi dari ibu yang seibu, bibi
dari ibu yang seayah. Lalu bibinya ibu, bibinya ayah dari ayahnya ayah. Begitulah
urutannya dengan mendahulukan yang sekandung dari masing-masing keluarga iu
dan ayah.44
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf a, anak yang belum
mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.45
a. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan dinyatakan: (1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara
44
Ibid., h.239.
45. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
h. 72.
43
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusan.
(2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu. Bila bapak tidak memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
b. Menurut Hukum Islam
1. Dalam menentukan urutan para pihak yang berhak mengasuh atau memelihara
anak ketika terjadi perceraian adalah;
a. Ibu 46
47
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata: Ya
Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya,
Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah:
Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah
(dengan laki-laki lain).
b. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa hak pemeliharaan seseorang anak
adalah:48
1. Ibu
46
Syaikh Nashiruddin al-Albani, Sunan Abi Daud, Juz.II, (Riyad: Maktabah al-Ma‟rif li al-
Nashir wa Tawzi 1998), h.32.
47 Ibid., h. 35
48 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab, h. 417.
44
2. Nenek dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara perempuan
5. Bibi dari pihak ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki
7. Anak perempuan dari saudara perempuan
8. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi si
anak yang mendapat warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian
harta warisan.
c. Kalangan madzhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai
dari:49
1. Ibu Kandung
2. Nenek dari ibu
3. Kakek dari ibu
4. Bibi dari kedua orang tua
5. Saudara perempuan seibu
6. Saudara perempuan seayah
7. Bibi dari kedua orang tua
8. Bibinya ibu, bibinya ayah
9. Bibinya ibu dari jalur ibu
49
Ibid., h.418.
45
10. Bibinya ayah dari jalur ibu
11. Bibinya ayah dari pihak ayah
12. Anak peempuan dar saudara laki-laki
13. Anak perenpuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kerabat
terdekat.
3. Masa Hadhanah
Tidak terdapat ketentuan ayat-ayat dan hadis yang khusus yang menerangkan
tentang masa hadhanah atau kapan berakhirnya masa hadhanah seorang anak akibat
perceraian. Dalam menentukan masa tersebut para ulama fikih hanya melihat dari
suatu isyarat dengan menggunakan ijtihad untuk menentukannya.50
Dalam kitab Fikih Sunnah dikatakan, pengasuhan anak berakhir ketika anak
kecil, laki-laki maupun perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita
dewasa, mencapai masa tamyiz dan sudah bisa mandiri, yakni dapat mengerjakan
sendiri kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian, dan
membersihkan diri (mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia
tertentu, melainkan ukurannya adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama
anak kecil sudah mumayyiz dan tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita, serta
50
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.185.
46
dapat mengerjakan sendiri seluruh kebutuhan dasarnya, maka berakhirlah masa
pengasuhannya.51
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang batas usia bagi anak kecil laki-laki
tidak memerlukan hadhanah. Sebagian mereka menetapkan 7 (tujuh) tahun, sebagian
lagi 9 (sembilan) tahun, dan yang lain lagi adalah 11 tahun. Kementerian kehakiman
berpendapat bahwa kemaslahatanlah yang harus dijadikan pertimbangan hakim untuk
secara bebas menetapkan kepentingan anak laki-laki kecil sampai usia 11 (sebelas)
tahun. Apabila hakim menganggap kemaslahatan bagia anak ini tetap tinggal dalam
asuhan seorang wanita, maka ia boleh memutuskan demikian sampai usia 9
(sembilan) tahun bagi laki-laki, dan 11 (sebelas) tahun bagi perempuan. Akan tetapi
apabila hakim menganggap bahwa kemaslahatan anak ini menghendaki yang lain,
maka ia dapat memutuskan untuk menyerahkan anak-anak tersebut kepada selain
perempuan.52
Adapun lamanya masa hadhanah, ada beberapa pendapat yang dikemukakan
oleh beberapa Imam Mazhab:
1. Imam Syafi‟i dan Ishak mengatakan bahwa lama masa hadhanah adalah sampai
7 (tujuh) tahun atau 8 (delapan) tahun.
2. Ulama-ulama Hanafiyah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak
mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaia sendiri,
sedang anak perempuan sampai ia haidh.
51
Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqh Sunnah, h. 537
52 Slamet Abidin dkk, Fikih Munakahat 2,h.184.
47
3. Imam Malik mengatakan bahwa ibu berhak mengasuh anak perempuan sampai ia
menikah. Sedang bapak berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia baligh.53
Dalam Kompilasi Hukum Islam menyatakan tentang kapan berakhirnya masa
hadhanah :
1. Pasal 105 menyatakan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pasal 98 ayat 1 menyatakan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau
dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun belum
pernah melangsungkan perkawinan.
D. Pengertian Istri Mafqud Menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI
Kata mafqud secara etimologis merupakan isim maf‟ul dari lafaz faqada-
yafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu. Jadi yang dimaksud
dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan
tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang
dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang tidak diketahui apakah ia masih
hidup sehingga bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia sudah
meninggal dunia sehingga kuburannya dapat diketahui.54
Namun dalam skripsi ini
yang dibahas berbeda dengan sebelumnya yaitu yang mafqud adalah isteri bukanlah
suami.
53
Ibid., h. 185
54 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz IV, h. 750.
48
Dalam bahasa istilah Mafqud bisa diterjemahkan dengan al-Ghaib. Kata ini
secara etimologis memiliki arti ghaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat. Hilang
dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau
informasi tentangnya.
2. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya serta
tidak ditemukan informasi tentangnya.
Dari dua definisi diatas, nampak telah jelas bahwa yang dimaksud dengan
mafqud disisni orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai pada saat tertentu
keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggalkan
dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus.
Sebagaimana disebut dalam pasal 1 UU No.1 /1974 dijelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluaraga yang bahagia, kekal, berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam KHI disebut dengan Mitsaqan Ghaliza (ikatan
yang kuat), namun dalam realitanya sering kali perkawinan tersebut kandas tengah
jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Undang-undang.55
Dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 38
dinyatakan: Perkawinan dapat putus karena, (a) kematian, (b)perceraian dan (c) atas
keputusan pengadilan.
55
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawianan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Central Publishing, 2002), h.41.
49
Adapun dalam masalah ini putusnya perkawinan dengan keputusan
pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu
yang cukup lama. Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan berapa lama
jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang
itu.56
Dalam PP No.9 Tahun 1975 Pasal 19 point (b) dinyatakan: Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, jika tidak terdengar kabar beritanya untuk
masa lima tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu
masih hidup. Atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri akan
memanggil orang yang hilang itu melalui selebaran umum untuk menghadap dalam
jangka waktu tiga bulan. Panggilan ini akan diulangi sampai tiga kali jika panggilan
yang pertama dan kedua tidak mendapat sambutan. Setelah itu barulah pengadilan
akan membuat suatu ketetapan tentang telah dianggapnya meninggal orang itu.
Mungkin inilah yang disebut dengan Putusan Pengadilan bahwa orang
tersebut telah wafat, lalu ia kembali maka ia tidak memiliki hak kembali terhadap
suaminya tersebut. Jika suaminya telah menikah kembali, maka ia pun boleh menikah
lagi.
56
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h.291.
50
E. Hubungan Istri Mafqud Dengan Perceraian
Ta‟rif talak menurut bahasa Arab adalah „‟melepaskan ikatan‟‟. Yang
dimaksud disini adalah melepaskan ikatan pernikahan. Adapun tujuan pernikahan
adalah sebagai berikut :
1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
2. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan.
3. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali peraudaraan antara
kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri) sehingga
pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu kaum (golongan)
untuk tolong-menolong dengan kaum yang lainnya.57
Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan
tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak
adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah Swt. Dibukakan-
Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu perceraian yang diharapkan
dapat terjadi ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak, dan supaya
masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok dan dapat mencapai apa yang
dicita-citakan.
Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam
bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak
ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat diperbaiki lagi, maka
57
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.401.
51
talak (perceraian) itulah sebagai jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara
mereka sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh.
Dalam Islam sebuah perkawinan terdapat hak dan kewajiban masing-masing
antara suami istri dalam menjalankan rumah tangga yang diatur sangat jelas untuk
membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.58
Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia terdapat tiga kategori
tentang hak dan kewajiban suami istri, yaitu :
1. hak dan kewajiban bersama ;
2. kewajiban-kewajiban suami ; dan
3. kewajiban-kewajiban istri.
Adapun kewajiban bersama suami istri yaitu :
1. Wajib menegakkan rumah tangga59
dan hal-hal penting dalam rumah tangga
diputuskan bersama oleh suami dan istri,60
2. Mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan dalam masyarakat,61
3. Berhak melakukan perbuatan hukum,62
58
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.198. 59
Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 30,”suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dari susunan masyarakat”. (KHI pasal
77 ayat 1).
60 Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 1,” suami adalah pembimbing terhadap istri dan
rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal- urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama.
61 UU No. 1/1974 pasal 31 ayat 1,‟‟ Hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat‟‟. (KHI pasal 79 ayat 2).
62 UU No. 1/1974 pasal 31 ayat 2” Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum”. (KHI pasal 79 ayat 3).
52
4. Musyawarah bersama dalam menentukan tempat tinggal (rumah),63
5. Wajib saling mencintai, hormat menghormati dan saling membantu,64
6. Mempunyai hak gugat apabila salah satu melalaikan kewajibannya,65
7. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,66
8. Masing-masing berhak menguasai dan menggunakan harta bawaan, hadiah dan
warisan masing-masing,
9. Harus persetujuan bersama untuk menggunakan harta bersama, dan jika terjadi
perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing,
10. suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.67
Adapun kewajiban-kewajiban suami ada empat yaitu :
1. Suami wajib membimbing istri dan rumah tangga.
2. Suami wajib melindungi istri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang
meliputi nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan,
biaya pengobatan dan biaya pendidikan.68
63
U No.1/1974 pasal 32 ayat 2,” Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama‟‟. (KHI 78 ayat 2).
64 UU No.1/1974 pasal 33,‟‟Suami istri wajib saling cinta mencintai hormat-menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. (KHI pasal 77 ayat 2).
65 UU No.1/1974 pasal 34 ayat 3,‟‟ Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. (KHI pasal 77 ayat 5).
66 UU No. 1/1974 pasal 35 ayat 1,‟‟harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama‟‟.
67 UU No. 1/1974 pasal 36 ayat 2,‟‟ Mengenai harta bawaan masing-masing , suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
68 KHI pasal 80 ayat 4,” Sesuai dengan penghasilannya suami menaggung: (a) nafkah,
kiswah, dan tempat kediaman bagi istr; (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak; (c) biaya pendidikan bagi anak”. KHI pasal 81 ayat 4,” suami wajib melengkapi
53
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan
belajar.
4. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak atau bekas istri yang
masih dalam masa iddah.
Diantara beberapa kewajiban istri terhadap suami adalah sebagai berikut :
1. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
2. Mengatur rumah dengan baik.
3. Menghormati keluarga suami.
4. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
5. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
6. Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
7. Selalu berhemat dan suka menabung.
8. Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
9. Jangan selalu cemburu buta.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai kewajiban istri terhadap suami
dijelaskan dalam Pasal 83 dan pasal 84 sebagai berikut: (1) Kewajiban utama bagi
seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh Hukum Islam,(2) istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.dan dalam Pasal 84 (1)Istri dapat
dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana
dimaksud dlam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alasan yang sah, (2)Selama istri
tempat kediaman sesuai sengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
54
dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya, (3)Kewajiban
suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz, (4)
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti
yang sah. 69
F. Akibat Hukum Istri Mafqud Terhadap Hak Asuh Anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berdampak kepada misalnya mengenai
hubungan suami istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tinggal dan
sebagainya. Tetapi yang lebih penting mengenai nasib anak dan kepentingannya,
biasanya terjadi terhadap anak yang masih kecil-kecil atau dibawah umur, hal
tersebut diatur dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam.70
Sesuai dengan ketentuan Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam,
bahwa : „‟Dalam hal terjadinya perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya‟‟.71
Namun demikian,
Pengadilan Agama Jakarta Barat telah menetapkan hak asuh anak (hadhanah) anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun kepada bapaknya ‘’akibat talak
yang dijatuhkan suami kepada istri yang mafqud’’, sebagaimana tertuang dalam
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor : 881/Pdt.G/2008/PA.JB.
69
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 164.
70 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2007),
h. 138.
71 Ibid,.h. 158.
55
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT
A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat
Keberadaan Pengadilan Agama merupakan fenomena khas yang terdapat di
sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di Indonesia cikal bakal
Pengadilan Agama telah ada sejak zaman kesultanan pada abad ke-15 Muslim
dibeberapa wilayah nusantara. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya bahkan
mendapat pengakuan dari kolonial Belanda pada abad ke-19 M. Namun, sungguhpun
mempunyai status yuridis baru diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal
19 Januari 1882 dengan dikeluarkannya surat keputusan No 241, keberadaan
peradilan Agama hingga hampir 50 tahun Indonesia merdeka lebih bersifat semu dan
tetap berada di posisi marjinal. Padahal kedudukan dan peran mereka sangatlah
sentral dalam tatanan masyarakat di Indonesia.2
Lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama telah membuka babak baru bagi proses penguatan yang signifikan untuk
struktur dan kapasitas yurisdiksi Peradilan Agama. Boleh dibilang bahwa sejak
dekade 1990-an, konsilidasi peradilan agama berlangsung dengan cukup intensif dan
mengalami perkembangan institusional yang pesat dari waktu ke waktu. Intergrasi
struktur peradilan agama sejak tahun 2004 yang sebelumnya berada di bawah
1 Staatblad 1882 No. 152 Tentang Pengadilan Agama Di Jawa Dan Madura
2 Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di
Indonesia,cet. Pertama,( Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN
Syarif Hidayatullah ,2009), h. 78.
56
koordinasi Departemen Agama, ke dalam wilayah administrasi Mahkamah Agung
mendorong percepatan proses kemajuan di berbagai bidang, temasuk peningkatan
anggaran belanja tahunan dan kualitas sumber daya manusia.
Terhadap Stb. 1882 No. 152 para ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut
merupakan hasil dari teori Receptio In Complexu LWC Van den Berg. Keberadaan
Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori Hukum Adat oleh Van Vollen-
Hoven dan Snouck Hurgronje dengan teori Receptie, akibat dari teori tersebut
pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali kedudukan Peradilan Agama karena
Stb. 1882 No. 152 dianggap merupakan suatu kesalahan pemerintah Hindia Belanda
yang mengakui terbentuknya Peradilan Agama Stb. 1882 No. 152 yang intinya
"memperlakukan undang-undang agama", diganti dengan Stb. Tahun 1907 No. 204,
Stb. Tahun 1919 No. 262 yang intinya "memperhatikan undang-undang agama".3
Pasca proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan pada
Pasal II Aturan Peralihan kemudian dipertegas dengan Peraturan Presiden No. 2
pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Pasal 1, dijelaskan:
"Segala badan-badan negara yang ada sampai berdirinya Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar, maka tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang
3 Dadang Muttaqien, “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 19 April 2010 dari http://msi-
uii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259
3 Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, ( Yogyakarta : UII Press, 1999), h.39
57
tersebut".4 Dengan demikian Peradilan Agama sebagai produk hukum kolonial
Hindia Belanda masih dipergunakan di Indonesia.
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda Pengadilan Agama berkembang,
daerah demi daerah dalam keadaan yang tidak sama, baik namanya, wewenangnya
maupun strukturnya. Legitimasi keberadaan Pengadilan Agama waktu itu didasarkan
pada pasal 75 ayat (2) Regerings Reglement (RR) yang berbunyi :
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau orang
yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim
agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau
ketentuan-ketentuan agama mereka”.5
Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga
kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu:
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarat Utara
b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk6
Ketiga kantor cabang tersebut termasuk dalam wilayah yuridiksi hukum
cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian pada tanggal 16 Desember
1976 telah keluar Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tentang
4 Peraturan Presiden No.2 tahun 1945 Tentang Pembaharuan Tata Hukum Kolonial Menjadi
Tata Hukum Nasional.
5 Regerings Reglement pasal 75 ayat 2 Tentang Tata Hukum Kolonial.
6 Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, h.40
58
pembentukan cabang Mahkamah Islam, yang menyatakan bahwa semua Pengadilan
Agama di propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah
Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Makhamah Islam Tinggi Cabang
Bandung. Istilah Mahkamah Islam Tinggi kemudian berkembang menjadi Pengadilan
Tinggi Agama (PTA).7
Setelah itu perpindahan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta ke Jakarta
didasari oleh Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun
1985, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 1987 lalu
secara otomatis wilayah hukum pengadilan agama di wilayah DKI Jakarta menjadi
wilayah hukum hukum pengadilan tinggi agama Jakarta.8
Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa bahwa terbentuknya kantor
pengadilan agama Jakarta Barat merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat
Jakarta.
Faktor terbentuknya kantor cabang pengadilan agama Jakarta Barat adalah
sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk di wilayah Jakarta Barat dan
bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Barat yang
wilayahnya cukup luas.9
7 Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Cabang
Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 19 April 2010, dari
www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html
8 Ibid., h.41
9 Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, Jakarta, 7 Februari 2011
59
Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat mengalami perpindahan tempat.
Pertama kali kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat berada di jalan Limo Kebayoran
Lama, yang merupakan dana dari sebuah yayasan. Dikarenakan status kepemilikan
bangunan masih Hak Guna Bangunan (HGB) maka gedung Pengadilan Agama lalu
berpindah tempat, yang terletak di jalan Flamboyan II/2, Cengkareng Barat Jakarta
Barat. Tergolong tidak strategis karena tidak dilewati kendaraan umum atau jaraknya
± 1500 M dari jalan Kamal Raya dan berdampingan dengan rumah susun
Cengkareng.10
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994 dan
selesai pada tahun 1997 adalah milik Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kemudian
olehnya diserahterimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 19
Mei 199711
untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan Pengadilan Agama Jakarta
Barat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan keadilan. Pada saat ini
kondisinya sebagai berikut:
1. Luas Tanah
Luas tanah kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya adalah 3.056 M²
yang seluruhnya berupa tanah darat.
2. Luas Bangunan kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya 2.400 M².12
10
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h. 45
11 Ibid., h.45
12 Ibid., h.46
60
Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana instansi yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya yang menjadi landasan
hukum dan landasan kerjanya adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman.
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
4. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan
undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
7. Keputusan Ketua Menteri Agama RI Nomor KMA/ 004/ SK/ II/ 1992 tanggal 24
Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kepanitraan Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan keputusan Menteri Agama RI Nomor
303 tahun 1990 tentang susunan organisasi dan tata kerja kesekertariatan
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
8. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 001/ SK/ I/ 1991 tanggal 24 Januari
1991 tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama.
9. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA/ 006/ SK/ III/ 1994 tentang
pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh pengadilan tingkat banding
dan pengadilan tingkat pertama.
61
10. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama.
11. Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2004 tentang perubahan satu bab dibawah
Mahkamah Agung RI.13
B. Letak Geografis
Secara geografis wilayah Jakarta Barat terletak antara 6º 10’ LS dan 106º 49’
BT. Wilayah hukum Pengadilan agama Jakarta Barat meliputi wilayah kota Jakarta
Barat yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan 49 (empat puluh sembilan) Kelurahan
yaitu:
1. Kecamatan Cengkareng
Kecamatan Cengkareng terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Cengkareng Timur
2) Kelurahan Cengkareng Barat
3) Kelurahan Kapuk
4) Kelurahan Rawa Buaya
5) Kelurahan Duri Kosambi
6) Kelurahan Kedaung Kali Angke14
2. Kecamatan Grogol Pertamburan
Kecamatan Grogol Pertamburan terdiri dari 7 (tujuh) Kelurahan, yaitu:
13
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 19 April 2010 dari http://pajb.net
14 Ibid.
62
1) Kelurahan Grogol
2) Kelurahan Tanjung Duren Utara
3) Kelurahan Tanjung Duren Selatan
4) Kelurahan Tomang
5) Kelurahan Jelambar
6) Kelurahan Jelambar Baru
7) Kelurahan Wijaya Kusuma15
3. Kecamatan Tambora
Kecamatan Tambora terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Tambora
2) Kelurahan Tanah Sareal
3) Kelurahan Duri Utara
4) Kelurahan Duri Selatan
5) Kelurahan Angke
6) Kelurahan Roa Malaka
7) Kelurahan Pekojan
8) Kelurahan Jembatan Besi
9) Kelurahan Jembatan Lima
10) Kelurahan kali Anyar
11) Kelurahan Krendang16
15
Ibid.
63
4. Kecamatan Taman Sari
Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 (delapan) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Taman Sari
2) Kelurahan Glodok
3) Kelurahan Keagungan
4) Kelurahan Krukut
5) Kelurahan Tangki
6) Kelurahan Maphar
7) Kelurahan Mangga Besar
8) Kelurahan Pinangsia17
5. Kecamatan Palmerah
Kecamatan Palmerah terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Palmerah
2) Kelurahan Kota Bambu Utara
3) Kelurahan Kota Bambu Selatan
4) Kelurahan Kemanggisan
5) Kelurahan Jati Pulo
6) Kelurahan Slipi18
6. Kecamatan Kembangan
16
Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid.
64
Kecamatan Kembangan terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Kembangan Selatan
2) Kelurahan Kembangan Utara
3) Kelurahan Meruya Utara
4) Kelurahan Meruya Selatan
5) Kelurahan Srengseng
6) Kelurahan Joglo19
7. Kecamatan Kalideres
Kecamatan Kalideres terdiri dari 5 (lima) Kelurahan, yaitu:
1) Kelurahan Kalideres
2) Kelurahan Tegal Alur
3) Kelurahan Kamal
4) Kelurahan Semanan
5) Kelurahan Pegadungan20
Adapun batas wilayah Pengadilan Agama Jakarta Barat, yaitu:
1) Utara : Kabupaten Tangerang dan Kota Madya Jakarta Utara
2) Timur : Kota Madya Jakarta Utara dan Kota Madya Jakarta Pusat
3) Selatan : Kota Madya Jakarta Selatan dan Kota Madya Tangerang
4) Barat : Kota Madya Tangerang.21
19
Ibid.
20 Ibid.
65
C. Strukur Organisasi
Berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 004 tahun
1992 tentang susunan organisasi serta surat keputusan Menteri Agama RI Nomor
303 tahun 1990 tentang susunan organisasi ditetapkan bahwa struktur organisasi
Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di
lingkungan Departemen Agama RI, adalah sebagai berikut:
a. Ketua : Drs. H. Musfizal Musa, SH, MH
b. Wakil Ketua : Drs. Masrur, SH, MH
c. Dewan Hakim :
- Dra. Nuraini Saladin, SH
- Drs. Asep Gupron, SH
- Drs. TB A Murtaqi, S.Y, SH
- Drs. Muhiddin, SH, MH
- Dra. Ida Hamidah, MH
- H. M. Ali Syarifuddin, M.LC, SH
- Dra. Hj. A. Salimah, SH, MH
- Drs. Abu Thalib Zisma
- Drs. M. Rosyid Ya’kub
- Drs. M. Rizal, SH, MH
21
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h.41
66
d. Panitera/ Sekertaris : Eliakim Sihotang, SH
e. Wakil Sekertaris : Neneng Kurniati, S.Ag
f. Wakil Panitera : Hj. Umi Salamah T, SH, MH
g. Ka. Sub. Keuangan : Imron Rosyidi, SH
h. Ka. Sub Kepegawaian : Nisrin, SH
i. Ka. Sub. Umum : Suryatiningsih
j. Panmud Permohonan : Ruslan P, SH
k. Panmud Gugatan : Endang. P, SH
l. Panmud Hukum : Drs. H. Abdul Chaer HN, SH
m. Panitera Pengganti :
- Turchamun Ichwanuddin, SH
- Saparanto, SH
- Abdul Hamid, S.Ag
- Atiyah Shaufanah, SH
- Patimah, SH
- Junaedi, SH
- Muhlis, SH
n. Jurusita : Ahlan, SH
o. Jurusita Pengganti :
- Djuhdan Muharom
- H. Jamhur
- Toto Sudarto
67
- Imam Suwardi
- Rostina, Shi
- Abdul Ghofur.22
STRUKTUR ORGANISASI23
PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT (UNDANG-UNDANG No. 7/1989/ Jo UU No. 3/2006 )
22
Ibid., h.42
23 Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 24 April 2010 dari
http://www.pajb.net/index.php/struktur-organisasi
68
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
A. Deskripsi Perkara/Duduk Perkara
Dalam surat gugatan duduk perkara/posita sangat eksistensinya, setiap surat
gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau fundamentum petendi yaitu
menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa.1 Biasanya dalam
praktik baik dalam putusan ataupun surat gugatan lebih dikenal atau lebih lazim
disebut dengan tentang duduk perkara yang menjadi dasar gugatan atau menguraikan
secara kronologis duduk perkaranya kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak
berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan,
melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan dalam persidangan nanti
sebagai dasar dari tuntutan.2
Tentang posita atau duduk perkara dalam surat gugatan yang tertanggal 10
Oktober 2008 yang terdaftar di bagian Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakara Barat
dengan register perkara Nomor: 881/Pdt.G/2008/PA.JB. Telah mengajukan
Permohonan talak sebagai berikut:
1. Bahwa, pada tanggal 06 Juni 1997, Pemohon dengan Termohon melangsungkan
pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
1 Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbi Iblam, 2005),h.60.
2 Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, 2006), h.9.
69
Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta (Kutipan Akta Nikah
Nomor: 227/19/VI/1997 tanggal 06 Juni 1997);
2. Bahwa, setelah pernikahan tersebut PEMOHON dengan TERMOHON bertempat
tinggal dirumah kontrakan di Jalan KS. Tubun III-B, Kelurahan Slipi, Jakarta
Barat;
3. Bahwa, selama pernikahan tersebut PEMOHON dan TERMOHON telah hidup
rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang anak yang
bernama:
1. AHMD MUZAMIL, lahir tanggal 5Juni 1998.
2. NUR KHALIZAH, lahir tanggal 9 November 2001.
4. Bahwa, kurang lebih sejak bulan April tahun 2008 ketentraman rumah tangga
PEMOHON dan TERMOHON mulai goyah, yang disebabkan oleh:
1. Termohon sering menolak ajakan untuk berhubungan suami isteri terhadap
Pemohon.
2. Termohon sering meninggalkan anak-anak disaat Pemohon kerja.
3. Pemohon dan Termohon pisah tempat tinggal sejak tanggal 14 Agustus 2008.
4. Termohon telah berselingkuh dengan Pria lain Non Muslim.
5. Bahwa puncak keretakan hubungan rumah tangga antara pemohon dan termohon
tersebut terjadi pada bulan Agustus tahun 2008, yang akibatnya termohon telah
pergi meninggalkan pemohon hingga sekarang tanpa alasan yang jelas dan sah
dan selama itu Termohon tidak pernah pulang dan tidak pernah kirim kabar serta
70
tidak diketahui alamatnya yang jelas dan pasti di wilayah Republik Indonesia
(GHOIB).
6. Bahwa Pemohon telah berusaha keras mencari Termohon, kemudian Pemohon
mencari keberadaan Termohon di rumah Paman Termohon di Cipondoh-
Tangerang namun Pemohon tidak mengetahui keberadaan Termohon sampai
sekarang.
7. Bahwa pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan
musyawarah namun tidak berhasil.
8. Bahwa akibat tindakan tersebut diatas, Pemohon sudah tidak sanggup lagi
memberikan nasehat dan bimbingan kepada Termohon dan Pemohon sudah tidak
sanggup lagi melanjutkan rumah tangga dengan Termohon, maka jalan keluar
yang terbaik bagi Pemohon menceraikan Termohon dihadapan sidang Pengadilan
Agama Jakarta Barat.
9. Bahwa 2 orang anak hasil perkawinan Pemohon dan Termohon saat ini masih
kecil dan membutuhkan kasih sayang dari Pemohon sebagai Ayah kandungnya,
oleh karenanya mohon Pemohon ditunjuk sebagai pengasuh dan pemelihara atas
anak tersebut.3
3 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat, Putusan No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB
71
B. Profil dan Pihak Yang Terlibat
a. Pemohon adalah Mohammad Arief bin Achmad, umur 39 tahun, agama Islam,
pendidikan SLTA, Pekerjaan Karyawan Swasta, Tempat tinggal di Jalan
KS.Tubun III RT.008 RW. 007 No. 15, Kelurahan Slipi Kecamatan Palmerah
Kota Jakarta Barat.
b. Tergugat adalah , Survita Widiyanti binti Moch. Surip H.U, Umur 29 tahun,
agama Islam, Pendidikan SMP, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, dahulu bertempat
tinggal di Jalan KS. Tubun III-B RT.008 RW. 007 No. 15, Kelurahan Slipi
Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat.
c. Ahamad Syaikhu bin Ilyas adalah sebagai saksi dari pihak pemohon yang telah
memberikan keterangan dimuka persidangan.
d. M.Satri bin Umar adalah sebagai saksi dari pihak pemohon yang telah
memberikan keterangan dimuka persidangan.
e. Drs. H. Muhiddin, SH.MH yaitu sebagai Hakim Ketua.
f. H. M. Ali Syarifuddin, M.Lc,SH yaitu sebagai Hakim Anggota I.
g. Drs. H. Nemin Aminuddin, SH.MH yaitu sebagai Hakim Anggota II.
h. Saparanto, SH sebagai Panitera Pengganti.
C. Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang terjadi
dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di lingkungan
72
peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh melewati apa yang
dimohon atau digugat.
Salah satu celah yang dapat memanfaatkan untuk memaksimalkan tuntutan,
misalnya melalui permintaan menetapkan putusan berdasarkan pada prinsip ex aequo
et bono, yang memberikan kelonggaran bagi hakim untuk menggali hukum seluas-
luasnya demi menegakkan keadilan.4
Majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dituntut suatu keadilan dan
untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta yang ada
apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari pembuktian,
mengklasifikasikan antara yang penting dan tidak penting (mengkualifikasi), dan
menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan saksi-saksi dan fakta-
fakta yang ada.5
Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara ini adalah bahwa
majelis hakim telah berupaya mendamaikan pemohon agar bersabar dahulu akan
tetapi tidak berhasil dan Majelis telah memanggil pihak Termohon dengan patut akan
tetapi tidak hadir dipersidangan, dan tidak hadirnya Termohon tersebut tidak disertai
dengan alasan yang sah, maka Majelis menyatakan bahwa perkara ini dapat diperiksa
tanpa hadirnya pihak Termohon (verstek).
4 Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di
Indonesia,cet. Pertama,( Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan HAM (PUSKUMHAM) UIN
Syarif Hidayatullah ,2009), h.78.
5 Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, Senin, 7 Februari 2011
73
Majelis hakim juga mempertimbangkan hal lainnya yaitu, bahwa gugatan
penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa fhotocopy salinan
Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama dengan No: 277/19/VI/1997 dan fhotocopy
akta kelahiran kedua anaknya serta surat keterangan ghaib dari kelurahan No.
730/1.755.0/08. Selain bukti surat, penggugat juga menghadirkan 2 orang saksi yang
menerangkan mengenai dalil gugatan pemohon yang pada intinya menguatkan dalil-
dalil permohonan Pemohon dan telah berusaha merukunkan akan tetapi tidak berhasil
kini rumah tangga Pemohon pisah tempat tinggal sejak bulan agustus 2008 dan saksi
sudah berusaha mencari tidak berhasil.
Berdasarkan hasil penelitian dalam petitum dari gugatan penggugat, putusan
No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB, maka pertimbangan hukum majelis hakim yang
mencakup hal-hal pokok tersebut, yang salah satunya:
Pertimbangan pertama, menimbang bahwa berdasarkan pernyataan pemohon
yang dikuatkan dengan adanya bukti P.1 kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat
yaitu bahwa pemohon dan termohon terikat dalam perkawinan yang sah.
Pertimbangan kedua, menimbang berdasarkan relaas panggilan nomor
881/Pdt.G/2008/PA.JB tanggal 21 Oktober 2008 dan nomor yang sama tanggal 21
Nopember terbukti bahwa pihak termohon telah dipanggil secara patut akan tetapi
tidak hadir dan tidak hadirnya pihak termohon tersebut tidak disertai dengan alasan
yang sah.
Pertimbangan ketiga, menimbang bahwa yang menjadi permasalahan
pemohon mengajukan permohonannya adalah karena rumah tangga pemohon dan
74
termohon tidak harmonis, sering berselisih dan bertengkar. Antara pemohon dan
termohon sudah bermusyawarah akan tetapi tidak berhasil untuk itu pemohon
mengajukan untuk mengikrarkan talak terhadap pemohon.
Pertimbangan keempat, menimbang bahwa saksi-saksi keluarga dari pemohon
di dalam persidangan telah menerangkan yang pada intinya menguatkan dalil-dalil
permohonan pemohon. Hal ini diperkuat oleh saksi dari pihak pemohon bahwa rumah
tangga pemohon telah pisah tempat tinggal sejak bulan Agustus 2008 dan saksi sudah
berusaha mencari namun tidak berhasil.
Pertimbangan kelima, menimbang bahwa berdasarkan pasal 1 UU No. 1 tahun
1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal namun yang terjadi
dalam rumah tangga pemohon adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga yang
dibarengi dengan perselisihan dan pertengkaran dan pihak pemohon telah
menghadirkan saksi keluarga yang keterangannya menguatkan dalil-dalil pemohon
sementara termohon meskipun telah dikaruniai 2 (dua) dipanggil dengan patut tidak
hadir dipersidangan, untuk itu Majelis Hakim berkesimpulan bahwa termohon
mengetahui adanya persidangan untuk itu gugurlah hak jawab termohon dengan
demikian alasan pemohon patut untuk dinyatakan terbukti.
Pertimbangan keenam, menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut
alasan pemohon telah sesuai dengan Pasal 19 huruf (F) PP.9 tahun 1975 Jo.Pasal 116
huruf (F) Kompilasi Hukum Islam, selain itu bahwa Pengadilan telah memanggil
termohon secara patut akan tetapi tidak hadir dalam persidangan maka berdasarkan
75
Pasal 125 HIR Jo Pasal 39 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 permohonan
pemohon patut untuk dikabulkan.
Pertimbangan ketujuh, menimbang bahwa selama perkawinan antara
pemohon dan termohon telah dikaruniai 2 (dua) orang anak. Berdasarkan ketentua
pasal 41 huruf (a) UU nomor 1 tahun 1974 bahwa akibat putusnya perkawinan baik
ibu maupun bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya
berdasarkan kepentingan anak maka berdasarkan tuntutan pemohon tersebut dan
karena termohon tidak hadir dan dengan memperhatikan bukti P.2 dan P.3. Majelis
hakim mengabulkan permohonan dengan menetapkan bahwa anak pemohon dan
termohon ditetapkan pengasuhan dan pemeliharaannya kepada pemohon yaitu
bapaknya.
D. Analisis Penulis
Kasus ini adalah mengenai perkara permohonan talak yang diajukan karena
berbagai polemik rumah tangga yang terjadi karena istri telah meninggalkan rumah
dan Pengadilan Agama menyatakan istri mafqud/ghoib.
Mengenai putusan hakim No: 881/Pdt.G/2008/PA.JB, dengan memperhatikan
dalil-dalil serta bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat yang menguatkan
keterangannya, maka pada tanggal 24 Februari 2009 Majelis Hakim yang diketuai
oleh Drs. H. Muhiddin, S.H, M.H dan panitera pengganti Suparanto, S.H, serta di
hadiri oleh pihak pemohon tanpa hadirnya termohon memutuskan untuk
mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek untuk mengikrarkan talaknya
76
kepada istrinya selaku pihak termohon serta menetapkan hak asuh kedua anaknya
jatuh kepada diri pemohon.
Landasan yang dijadikan sandaran majelis hakim untuk mengabulkan gugatan
pemohon tentang permohonan ikrar talak sebagai tuntutan primer adalah sebagaimana
ternyata bahwa kedua belah pihak telah kehilangan hakekat dan makna dari
perkawinan tersebut, dimana ikatan perkawinan antara keduanya sudah demikian
rapuh, tidak terdapat lagi rasa sakinah (ketenangan), dan telah luput dari rasa
mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) dan mempertahankan perkawinan seperti
itu tidak akan membawa maslahat, bahkan mungkin melahirkan mudharat yang lebih
besar bagi pemohon dan termohon.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis hakim
berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan penggugat telah memenuhi alasan perceraian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (F) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf (F) KHI sehingga majelis hakim memandang patut untuk mengabulkan
permohonan pemohon tersebut untuk mengucapkan ikrar talak.
Dan mengenai ketentuan yang di pakai dalam menentukan hak hadhanah
kepada pihak pemohon adalah berdasarkan ketentuan pasal 41 huruf (a) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 yang di dalamnya mengatur bahwa akibat putusnya
perkawinan itu baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan si anak, dan dengan memperhatikan
bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon seperti keterangan mafqudnya pihak istri,
77
maka majelis hakim menetapkan bahwa hak asuh anak jatuh kepada pemohon yakni
bapak.
Setelah penulis mengadakan interview dengan salah satu dari majelis hakim
yang memutus perkara ini yakni Drs. H. Muhiddin, S.H, M.H. di Pengadilan Agama
Jakarta Barat perihal mengenai permasalahan yang menjadi obyek permasalahan
dalam penelitian ini, maka penulis mendapatkan kejelasan mengenai masalah yang
ingin diungkap dalam penelitian ini, khususnya mengenai hak asuh anak yang belum
mumayyiz kepada bapak.
Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui
keberadaannya, dan dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang ketika
perceraian diajukan oleh ayahnya anak tersebut belum mumayyiz, memang dalam
aturannya anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan tetapi karena
ibunya tidak diketahui keberadaannya, jelas hak hadhanah anak tersebut jatuh kepada
bapaknya yang jelas keberadaannya untuk selanjutnya mengasuhnya.6
Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan
musyawarah terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang telah
ada, dan dalam perkara hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur ketika
seorang anak yang belum mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada ibunya,
akan tetapi istrinya dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, maka hak hadhanah
atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya. Kedekatan antara anak dengan ayahnya
dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada si
6 Wawancara Pribadi dengan Muhiddin, pada tanggal 7 Februari 2011.
78
ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui
keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut.7
Adapun analisa yang dapat penulis jabarkan dan jelaskan dalam kasus ini
adalah bahwa landasan hukum yang digunakan oleh majelis hakim sudahlah tepat
yakni dengan menggunakan Pasal 19 huruf (F) PP No. 8 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf (F) KHI untuk landasan dalam perceraiannya, dan pasal pasal 41 huruf (a)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan hak hadhanah. Akan tetapi
majelis hakim tidak menggunakan pasal 105 dari KHI yang menjelaskan secara detail
ketentuan mengenai kepada siapa hak hadhanah itu diserahkan sebagai akibat dari
perceraian. Serta Majelis Hakim tidak menggunakan Pasal 156 Kompilasi Hukum
Islam mengenai urutan penerima hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz,
terlebih ketika istri dinyatakan tidak diketahui keberadaannya.
Kepentingan anak dalam hal ini perlu didahulukan, karena mereka sebagai
salah satu korban dari perceraian orang tuanya, jangan sampai karena orang tua yang
bercerai hak anak pun diabaikan. Kedua orang tua masih mempunyai tanggung jawab
penuh terhadap anak-anak mereka, dari segi perawatan, pendidikan, pemberian kasih
sayang, dan pemenuhan kebutuhannya (nafkah).
Kalau kita melihat kasus antara Mohammad Arief dengan Survita Widiyanti
yang dalam putusan dinyatakan bahwa Survita sering kali menolak ajakan untuk
berhubungan suami isteri terhadap suaminya, ia sering kali meninggalkan anak-anak
7 Ibid.
79
disaat suaminya kerja, bahkan mereka telah pisah tempat tinggal sejak tanggal 14
Agustus 2008, dan Survita telah berselingkuh dengan pria Non Muslim.
Maka jelaslah dari kasus tersebut bahwa Survita tidak layak mendapatkan hak
asuh anak. Salah satu persyaratan seorang yang berhak menerima hak tersebut adalah
amanah dan berakhlak. Kalau dilihat Survita sebagai ibu sudah termasuk orang yang
tidak amanah dan berakhlak. Terbukti dengan sering meninggalkan anak-anak ketika
suaminya sedang bekerja, bahkan ia telah meninggalkan suami dan anak-anaknya
tanpa kabar. Padahal anak-anak mereka masih kecil yang sangat membutuhkan
kasih sayang dari kedua orang tuannya. Karena anak adalah makhluk yang mulia
sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Isra ayat 70:
1770“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan’’.
Selain itu anak dibawah umur, terutama anak kecil, disamping belum
memiliki fisik yang kuat, juga belum memiliki daya nalar yang sempurna sehingga
mereka sangat rentan dengan penindasan, baik yang dilakukan oleh orang tuanya
sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, Islam memberikan perlindungan khusus
kepada anak kecil, bukan saja sejak lahir tetapi juga sejak mereka masih dalam
kandungan sampai usia dewasa. Di antara perlindungan Islam terhadap anak adalah
80
ditemukan berbagai ketetapan mengenai hak-hak yang dimiliki anak, seperti hak
untuk disusui, diberi nama yang baik, dirawat dan dididik secara benar dan lain
sebagainya.8
Dengan adanya ketentua khusus yang berkaitan dengan anak, khususnya anak
kecil, maka seharusnya para pengasuh, baik orang tua atau bukan, harus memahami
ketentuan yang ada dalam ajaran agama Islam, sebab ketidaktahuan tentang
ketentuan-ketentuan khusus bagi anak dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak-
hak anak.
Mengingat anak-anak kelak akan menjadi orang-orang dewasa yang
mempunyai peran penting di masa mendatang, bahkan di pundaknya tergantung nasib
dunia ini karena mereka tumpuan harapan generasi tua sekarang, maka syariat Islam
banyak mengungkap dan membahas mereka.
Adanya ketentuan hukum-hukum yang berkenaan dengan anak-anak
merupakan peringatan bagi para orang tua atau pengasuh dan pendidik akan
pentingnya memperhatikan anak-anaksejak kelahirannya dan memperhatikan segala
urusannya sejak ia mulai merasakan angin kehidupan dunia. Hal ini dimaksudkan
agar hak-hak anak dapat terlindungi dan dapat tumbuh dewasa menjadi seorang
manusia yang sehat dan kuat jasmani dan rohaninya.9
Berdasarkan hal tersebutlah seorang anak yang dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
8 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2000), h. 145. 9 Ibid,. h. 146
81
perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang
semua itu membutuhkan orang dewasa yang penuh totalitas memperhatikan fase-fase
perkembangan anak, karena perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi
selanjutnya. Selain totalitas harus dibutuhkan pula seseorang yang amanah dan
berakhlak.
Dalam hal pengasuhan anak terlebih sebagai akibat dari perceraian orang
tuanya, yang pertama harus diperhatikan adalah kepentingan anak. Analisis jender
dapat membantu mengeliminasi kemungkinan adanya stereotype jender yang seolah-
olah memandang setiap perempuan memilki kemampuan dan kesanggupan untuk
memelihara anak, sebaliknya seolah-olah laki-laki tidak memilki kemampuan
tersebut. Namun hal tersebut adalah benar karena selam ini secara adat dan sosio-
kultural pengasuhan anak ada dibawah ibunya, hubungan anak dan ibu umumnya
jauh lebih dekat sebagai kelanjutan dari fungsi biologisnya yang melahirkan dan
menyusuinya.
Dalam konteks itu, KHI nampaknya menggunakan alasan kebiasaan dan
kelaziman anak berada dalam asuhan ibunya terutama dibawah umur 12 tahun.
Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105, dalam hal terjadinya
perceraian:(1(Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya; (2) Pemeliharaan anak sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya; (3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
82
Seorang hakim juga dapat menggunakan analisis jender untuk mendudukan
posisi dan kepentingan anak. Demikian juga apabila anak telah berusia 12 tahun, anak
bisa saja masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya. Dalam hal yang
semacam ini, sensitivitas jender dapat membantu hakim untuk memupuskan
streoptype tentang peran ibu dan bapak dalam pengasuhan anak. Pegangan utama
hakim adalah bagaimana memberi perlindungan dan kebijakan bagi anak.10
Oleh karena itu penulis setuju dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta
Barat Nomor: 881/Pdt.G/2008/PA.JB yang memutuskan bahwa hak pemeliharaan
(hadhanah) anak jatuh kepada Mohammad Arief sebagai bapak bukan kepada Survita
sebagai ibu. Lebih anjut Hakim Pengadilan Agama menyatakan dalam memutuskan
perkara tersebut Hakim lebih berdasarkan kemaslahatan anak.11
10
Tim Penulis, Demi Keadilan dan Kesetaraan, h. 42
11 Wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Senin, 7 Februari 2011
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian diatas maka penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Landasan hukum yang digunakan dalam memutus perkara dengan putusan No:
881/Pdt.G/2008/PA.JB dengan menggunakan Pasal 19 huruf (F) PP No. 8 Tahun
1975 jo. Pasal 116 huruf (F) KHI untuk landasan dalam perceraiannya, dan pasal
pasal 41 huruf (a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengenai ketentuan hak
hadhanah. Akan tetapi majelis hakim tidak menggunakan pasal 105 dari KHI
yang menjelaskan secara detail ketentuan mengenai kepada siapa hak hadhanah
itu diserahkan sebagai akibat dari perceraian. Serta Majelis Hakim tidak
menggunakan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam mengenai urutan penerima hak
hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, terlebih ketika istri dinyatakan tidak
diketahui keberadaannya dan harus di gantikan.
2. Metode ijtihad yang digunakan hakim dalam menetapkan hak hadhanah merujuk
pada KHI Pasal 105 (a) yang menjelaskan bahwa hak pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Dan di dalam
Pasal 49 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa hak kekuasaan
mengasuh anak oleh masing-masing pihak dapat ditarik oleh pihak lain bila: 1) ia
86
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; 2) Ia berkelakuan buruk.
Kelalaian dan ketidak bertanggung jawaban istri sebagai ibu inilah yang membuat
majelis hakim menjatuhkan hak hadhanah kepada bapaknya dalam putusan No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB. Di samping itu, pertimbangan psikologis dan
kemaslahatan anak yang memang menjadi pertimbangan utama dalam pemberian
hak hadhanah yang dijadikan acuan majelis hakim.
B. Saran
1. Pembahasan masalah hak hadhanah hendaknya diajarkan di sekolah-sekolah,
baik pada tingkat SMP/MTS ataupun SMA/MA. Selain itu, para ulama, da’i,
dan khatib pun hendaknya menyampaikan hukum masalah hadhanah kepada
masyarakat dalam kuliah keagamaan dan ceramah agar anak yang menjadi
korban perceraian tetap terpelihara kemaslahatannya. Tapi yang paling utama
adalah bagaimana perceraian itu sendiri sebagai penyebab timbulnya
hadhanah tidak sampai terjadi, atau minimal dapat diminimalisir.
2. Bagi pemerintah perlunya sosialisasi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI tentang
hadhanah berkaitan dengan hak asuh anak.
3. Kepada Pengadilan Agama agar lebih aktif lagi mentelusuri dan menggali
hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Serta lebih peka terhadap
sensititas gender, karena dengan begitu maka para hakim akan dapat
mewujudkan keadilan yang berbasis sensitivitas gender.
87
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Kementrian Agama RI, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 2009.
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat 2. Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo,
2007.
al Husaini, Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad. Kifayah a-Akhyar. Beirut
Dar: al-Fikr,1994.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-hari. Depok: Gema Insani, 2000.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafindo, 2006
Al-Zuhaily, Wahbah. Fiqh al Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Daar Fikr, 1989.
Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail al-Shan’ani. Subul al-Salam. Bandung:
Maktabah Dahlan, t.th.
Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006.
Amir, Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Artikel diakses pada tanggal 25 Desember 2010, http//: Abiyazid
WordPress.com/12/25/Hadhanah-hak-asuh-anak-html.
Ayub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Al-Kautsar, 2005.
Aziz Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT.Ictiar Baru Van Hoeve,
1999.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah
Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 2000.
88
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, 2008.
Muttaqien, Dadang.“Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 19 April
2010 dari http://msi-uii.net.baca.asp?kategori=rubrik&menu=259.
-----------, Dadang dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata
Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1999.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.
Demi Keadilan dan Kesetaraan Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim
Agama di Indonesia,cet. Pertama, Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Hukum dan
HAM (PUSKUMHAM) UIN Syarif Hidayatullah ,2009.
DEPAG RI, Kompilasi Hukum Islam dan Tanya Jawab Seputar Kepenghuluan.
Jakarta: DEPAG RI, 2003.
DEPAG RI, UU No. Tahun 1974 dan Pedoman Akad Nikah, Jakarta: DEPAG RI,
2006.
Djubaedah, Neng. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Hecca
Utama, 2005.
Effendi,Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Kencana, 2004.
Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: CV Zahir, 1975.
Hasan Ayuub, Syaikh. Fiqih Keluarga. Cet. Ke-4, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Ilham, Ummu Ibrahim. Bagaimana Menjadi Istri yang Shalihah dan Ibu yang Sukses.
Jakarta: Darul Falah, 1420.
89
Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan
Cabang Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 9 Februari 2011, dari
www.indolaw.net/Seiten/SachindexHead.html.
Ismail al Kahlani, Muhammad. Subulussalam Juz III. Bandung: Dahlan Tth,2000.
Kamil, Faizal. Asas Hukum Acara Perdata. Jakarta: Badan Penerbi Iblam, 2005.
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004.
Kurtubi, Mashuri. Menikah Itu Indah. Jakarta: Insan Madani, 2007.
Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009.
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009.
M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:
Kencana, 2004.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005.
Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, t.th.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab.Cet.II, Jakarta: Lentera, 2006.
Nashiruddin al-Albani, Syaikh. Sunan Abi Daud. Juz II, Riyad: Maktabah al-Ma’rif li
al-Nashir wa Tawzi 1998.
Nuruddin, Amiur dan Akmal, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Kencana, 2004.
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 19 April 2010 dari
http://pajb.net
90
Pengadilan Agama Jakarta Barat, artikel diakses pada 24 April 2010 dari
http://www.pajb.net/index.php/struktur-organisasi
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawianan Indonesia. Jakarta: Indonesia
Legal Central Publishing, 2002.
Rahman Ghazali, Abdul. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: Alumni, 1982.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
-----------------, Fiqh Sunnah Tarjamah Jilid 3. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004.
Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika,
2007.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media,
2006.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.
Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Cet.I, .
Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999.
Wawancara Pribadi dengan Muhiddin. Jakarta, 14 Februari 2011.
Yusuf Hasibuan, Fauzie. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum
Indonesia, 2006.
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Hari/ Tanggal : Senin, 7 Februari 2011
Waktu : 10.00-11.30
Tempat : Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nama Responden : Drs. H. Muhiddin, SH, M.H.
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Apa konsep hadhanah menurut bapak?
Hadhanah adalah ketentuan mengenai hak asuh anak ketika orang tua
memutuskan untuk bercerai, hak hadhanah diajukan ketika para pihak yang
berperkara telah mempunyai anak, terkadang gugatan mengenai hak hadhanah
tidak dipersengketakan apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak untuk
tetap mengurus anak bersama-sama, tetapi memang dipersengketakan ketika
salah satu pihak merasa yang paling berhak atas hak asuh anak tersebut dan ingin
mengurusnya langsung.
2. Biasanya perkara hadhanah di ajukan terjadi setelah perkawinan putus, siapa
yang paling banyak dari yang berperkara mengajukan hak asuh anak?
Setahu saya selama menjabat sebagai seorang hakim, yaitu isteri yang biasa
mengajukan hak asuh anak setelah putusnya perkawinan yang berkekuatan
hukum tetap, dan anakpun jatuh padanya. Dari pihak suami juga tidak keberatan
apabila anak diasuh oleh isterinya. Kecuali pihak yang mengajukan hak asuh
anak adalah suami/bapak, ini jarang terjadi di pengadilan agama. Sebab kenapa
suami/bapak mengajukan hak asuh anak berada padanya, karena ada faktor-
faktor yang mengharuskan anak berada dalam asuhannya. Apabila pihak-pihak
dari istri/ibu anak-anak juga tidak bisa mengurus, merawat serta mendidik anak-
anak, tentu saja anak jatuh pada bapak dari anak-anak, selama bapak bisa
memberikan pengajaran, merawat anak-anak yang masih kecil agar tumbuh
dengan baik.
3. Bagaimana proses menyelesaikan perkara hadhanah yang selama ini terjadi?
Dan apakah perlu melibatkan keterangan anak dalam proses persidangan
tersebut?
Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu
apabila para pihak ingin melakukan pengasuhan dan merasa yang paling berhak
atas hak asuh/hadhanah tersebut atau para pihak merasa pasangannya mempunyai
tabiat yang buruk sehingga timbul kekhawatiran apabila anak diasuh olehnya,
karenanya ia merasa perlu memasukkan gugatan mengenai hak hadhanah
tersebut, dalam proses penyelesaiannya sama seperti dalam proses persidangan
yang diatur dalam aturan hukum acara, karena biasanya gugatan hak hadhanah
ini menjadi salah bagian yang akan dibuktikan dalam persidangan (kumulasi
obyektif).
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 105, bahwa keterangan anak yang
disengketakan diperlukan ketika anak tersebut telah mumayyiz, yaitu telah
berusia 12 tahun. Karena dia mempunyai hak pilih kepada siapa ia ingin diasuh,
akan tetapi untuk anak yang belum mumayyiz, maka pertimbangannya adalah
fakta yang terungkap di persidangan.
4. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan dalam proses persidangan? Apakah
hambatan yang ditemui dalam menyelesaikan perkara hadhanah dalam putusan
ini?
Dalam proses persidangan ini dilakukan 2X (dua kali) relaas berdasarkan Hukum
Acara Perdata, dan adapun hambatan dalam memeriksa sebuah perkara pasti ada,
seperti dalam perkara ini, pihak istri selaku termohon tidak diketahui
keberadaannya sehingga keterangan dari pihak tergugat tidak didapatkan, selain
itu perlu waktu lama untuk memastikan bahwa termohon tidak diketahui
keberadaannya. Adapun pemanggilan (relaas) bagi pihak perkara yang Ghaib
yaitu selam 4 (empat) bulan.
5. Selama menangani perkara hadhanah, apakah putusan No.
881/Pdt.G/2008/PA.JB ini berbeda dengan perkara hadhanah lainnya?
Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui
keberadaannya, dan dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang
ketika perceraian diajukan oleh ayahnya anak tersebut belum mumayyiz,
memang dalam aturannya anak yang belum mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan
tetapi karena ibunya tidak diketahui keberadaannya, jelas hak hadhanah anak
tersebut jatuh kepada bapaknya yang jelas keberadaannya untuk selanjutnya
mengasuhnya. Jadi perbedaannya hanya karena ibu/istri tidak ada dan tidak
diketahui keberadaannya.
6. Sebenarnya apa yang dimaksud pernyataan pihak termohon ghaib atau mafqud
dalam putusan ini?kenapa dikatakan ghaib?
Dalam putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB, ghaib yang dimaksud adalah karena
sistem pemanggilannya atau proses hukum formilnya. Sedang mafqud adalah
hukum materiilnya. Ghaib ini karena relaas pengadilan tidak sampai kepada
termohon dan pengumuman persidangan ini sudah diumumkan melalui radio,
namun pihak termohon tidak juga hadir dalam persidangan. Sehingga putusan
pengadilan menyatakan pihak termohon atau ibu tidak diketahui keberadaannya.
7. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak
jatuh kepada Bapak? Kenapa tidak kepada saudara dari pihak ibu?
Bukti yang diajukan pihak pemohon diantaranya adalah fhoto copy akta nikah,
foto copy akta kelahiran kedua anaknya dari hasil pernikahan dengan pihak
termohon, serta fhoto copy surat keterangan ghoib dari kelurahan yang
menyatakan bahwa termohon tidak diketahui keberadaannya, selain itu
berdasarkan keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa termohon telah
meninggalkan rumah dan pemohon telah berusaha mencarinya tetapi tidak
menemukannya, dari bukti-bukti tersebutlah maka majelis hakim memutuskan
untuk memberikan hak asuh kepada pihak pemohon sebagai ayah kandung si
anak. Mengenai ketentuan kepada siapa hak hadhanah diberikan, KHI telah
mengatur masalah tersebut, kalau tidak jatuh kepada ibu, maka setelahnya hak
hadhanah jatuh kepada bapak, sebab bapak mempunyai ikatan batin yang kuat
dengan anak kandungnya sendiri. . Kedekatan antara anak dengan ayahnya dapat
menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada si
ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui
keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut.
8. Apa yang menjadi landasan hukum putusan yang di putuskan oleh Majelis
Hakim?
Landasan hukum tentang hak hadhanah anak jelas terdapat dalam Pasal 41 huruf
(a) Undang-undang No 1 tahum 1974 dimana akibat perceraian baik ibu ataupun
bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya
berdasarkan kepentingan si anak.
9. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz,
lalu menurut bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum
mumayiz dan mumayiz?
Dalam menetapkan putusan yang menjadi landasan setelah adanya kodifikasi
hukum, maka yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis yakni
undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai hukum positif di Indonesia,
dalam hal ini ketentuan mengenai mumayiz seorang anak telah terdapat dalam
KHI yakni usia 12 tahun, hal inipun (aturan dalam KHI) merupakan pengolahan
dari berbagai pendapat ulama yang kemudian dilihat unsur kesesuaian dan
maslahatnya.
10. Bagaimanakah metode ijtihad Majelis Hakim dalam menetapkan suatu keputusan
dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor
228/Pdt.G/2009/PAJB?
Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan
musyawarah terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang
telah ada, dan dalam perkara hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur
ketika seorang anak yang belum mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada
ibunya, akan tetapi istrinya dinyatakan tidak diketahui keberadaannya, maka hak
hadhanah atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya.
11. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim, sehingga hak hadhanah anak
belum mumayiz diberikan kepada bapak?
Seperti yang dijelaskan pada pertanyaan sebelumnya, bahwa terdapat acuan
hukum yang mengatur rentetan pemberian hak hadhanah anak yang menjadi
korban perceraian orangtuanya, dan dalam persidangan diungkap bahwa ibu dari
anak tidak diketahui keberadaannya, maka hal itu pulalah yang menjadi dasar
pertimbangannya.
12. Apakah dalam perkara hak hadhanah ini, majelis mempertimbagkan faktor
psikologi?
Dalam masalah hak hadhanah tentunya yang menjadi tujuan utama adalah untuk
mendapatkan kemaslahatan bagi si anak, karena kepentingan mereka harus di
dahulukan. Tentunnya pertimbangan psikologi diperlukan, seperti bagi anak yang
sudah mumayyiz di persilahkan memilih antara kedua orang tuanya yang akan
mengasuhnya, kemudian proses pemeriksaan si anak pun kami (Majelis Hakim)
terlebih dahulu melepas baju toga kami agar si anak tidak takut. Dan untuk anak
yang belum mumayyiz, ketika majelis hakim mendapati si anak lebih dominan
nyaman dan baik kepada bapaknya, maka hak hadhanah akan di serahkan kepada
bapak, karema sekali lagi kepentingan anak harus di dahulukan.
Jakarta, 7 Februari 2011
Instrumen Pengumpulan Data
No Masalah Dassolen Dassein Jenis alat Pengumpul Data
1 Fiqh Munakahat
1) Pernikahan:
Tujuan pernikahan
ialah untuk membentuk
sebuah keluarga yang
sakinah mawaddah wa
rahmah, suatu keluarga
yang hidup rukun dan
harmonis serta untuk
memperoleh keturunan
yang dirawat, diasuh,
dan dipelihara dengan
baik secara bersama-
sama oleh kedua orang
tuanya.
2) Perceraian:
Perceraian merupakan
sesuatu yang
dibolehkan, namun
dibenci oleh Allah
SWT.
Faktanya, tujuan
penikahan tidak
tercapai karena
hubungan keluarga
yang tidak rukun dan
tidak harmonis dapat
menyebabkan terjadi
perceraian sehingga
anak dari hasil
pernikahan yang sah
tidak dapat dirawat,
diasuh, dan dipelihara
secara bersama-sama
oleh kedua orang
tuanya.
Perceraian
merupakan solusi
atau jalan keluar
terbaik yang dapat
ditempuh apabila
pasangan suami istri
tidak dapat hidup
rukun dan harmonis.
Wawancara dengan
Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat dan pihak
yang berperkara (baik
pihak Penggugat maupun
tergugat).
2 Konsep Hadhanah Pemeliharaan anak
yang masih kecil atau
belum mumayiz adalah
hak ibunya selama ia
belum menikah dengan
laki-laki lain.
Faktanya, dalam
putusan hakim
Pengadilan Agama
Jakarta Barat
No.228/Pdt.G/2009/P
AJB memutuskan
bahwa pemeliharaan
anak belum mumayiz
Wawancara dengan
Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
adalah hak bapaknya.
3 Perspektif
Undang-undang
Kewajiban orang tua
dalam pemeliharaan
anak diatur dalam UU
No. 1 Tahun 1974,
KHI, dan UU
Perlindungan Anak
terkait dengan hak-hak
anak terhadap orang tua
baik dalam hubungan
pernikahan maupun
setelah perceraian.
Faktanya, terjadinya
perceraian
menyebabkan
kepentingan anak
terabaikan dan
perlindungan atas
hak-hak anak tidak
terealisasi dengan
baik.
4 Psikologi Anak
Pasca Perceraian
Keutuhan keluarga
merupakan salah satu
faktor yang
mempengaruhi
pertumbuhan serta
pembentukan
kepribadian anak
secara fisik dan mental
menjadi pribadi yang
baik.
Ketidak utuhan
keluarga merupakan
salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi
pembentukan
kepribadian anak
secara fisik dan
mental menjadi
terhambat.
Wawancara dengan
Psikolog Anak dan Anak
korban Perceraian
PEDOMAN WAWANCARA HAKIM
Nama : Drs. Muhiddin SH.MH
Jabatan : Hakim Ketua
Alamt Kantor : Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Sudah berapa lama bapak/ibu menjabat sebagai hakim?
2. Apa pengetahuan bapak/ibu hakim tentang hadhanah yang terjadi di Pengadilan Agama?
3. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda lakukan sebagai
seorang hakim?
4. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu siapakah yang paling
banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan hak asuh anak?
5. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan perlu berapa kali
sidang?
6. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias terulurnya waktu
dalam memutuskan perkara?
7. Selama menangani perkara hadhanah, apakah putusan No. 228/Pdt.G/2009/PAJB ini
berbeda dengan perkara hadhanah yang lain?
8. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh Penggugat yang mengajukan hak asuh anak jatuh
padanya bukan kepada Tergugat?
9. Menurut bapak/ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah
anak diberikan kepada pihak suami/bapak bukan kepada pihak istri/ibu?
10. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz, lalu menurut
bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayiz dan mumayiz?
11. Bagaimanakah metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam
menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor 881/Pdt.G/2008/PAJB?
12. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah anak belum
mumayiz diberikan kepada bapak?
13. Apa keterangan anak yang disengketakan diperlukan dalam persidangan?
14. Bagaimanakah bapak/ibu hakim mengadili kasus sengketa hak asuh anak, jika kedua orang
tua anak tersebut masing-masing mempertahankan hak asuhnya?
Tentang Mafqudnya seorang Istri
1. Apa sebenarnya definisi mafqud sesuai dengan konteks perkara dalam putusan
No.881/Pdt.G/2008/PA.JB?
2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai mafqud? Pada umumnya yang banyak terjadi
adalah suami yang dinyatakan mafqud, apakah ada perbedaan diantara keduanya?
3. Bagaimana pertimbangan hakim atau landasan majelis hakim bahwa seorang istri dinyatakan
ghaib atau mafqud dalam perkara tersebut?
4. Berapa lamakah seseorang dikatakan mafqud?
5. Ketentuan apa sajakah yang harus diterima oleh seseorang yang mafqud dalam perkara ini?
6. Kenapa dalam perkara ini putusan menyatakan bahwa hak asuh anak jatuh kepada bapak?
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) urutan pemeliharaan anak itu jelas diatur
dalam pasal 156, bahwa urutan pertama adalah wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari
ibu, bagaimana pertimbangan hakim sebenarnya dalam memberikan amar putusan dalam
perkara ini?
WAWANCARA PIHAK YANG BERPERKARA
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ibu menggugat cerai suami ibu?
2. Apa pengetahuan ibu mengenai anak belum mumayiz?
3. Apa yang ibu ketahui mengenai perkara hadhanah di Pengadilan?
4. Apa yang ibu ketahui mengenai syarat-syarat mengasuh anak (hadhanah)?
5. Bukti apa saja yang dapat ibu tunjukkan kepada majelis hakim agar hak hadhanah anak
diberikan kepada ibu bukan kepada bapak/pihak suami?
6. Bagaimana perasaan ibu jika salah satu dari keempat anak ibu hak hadhanahnya diberikan
kepada bapak/pihak suami?
7. Apakah ibu dapat menerima keputusan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
dalam putusan Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB yang memutuskan hak hadhanah anak ibu
diberikan kepada bapak/pihak suami?
8. Apakah ibu akan mengajukan upaya banding terhadap putusan hakim tersebut?
HASIL WAWANCARA
Hari/ Tanggal : Senin, 7 Februari 2011
Waktu : 10.00-11.30
Tempat : Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nama Responden : Drs. H. Muhiddin, SH, M.H.
Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
1. Apa konsep hadhanah menurut bapak?
Hadhanah adalah ketentuan mengenai hak asuh anak ketika orang tua memutuskan untuk
bercerai, hak hadhanah diajukan ketika para pihak yang berperkara telah mempunyai anak,
terkadang gugatan mengenai hak hadhanah tidak dipersengketakan apabila telah terjadi
kesepakatan antara para pihak untuk tetap mengurus anak bersama-sama, tetapi memang
dipersengketakan ketika salah satu pihak merasa yang paling berhak atas hak asuh anak
tersebut dan ingin mengurusnya langsung.
2. Biasanya perkara hadhanah di ajukan terjadi setelah perkawinan putus, siapa yang paling
banyak dari yang berperkara mengajukan hak asuh anak?
Setahu saya selama menjabat sebagai seorang hakim, yaitu isteri yang biasa mengajukan hak
asuh anak setelah putusnya perkawinan yang berkekuatan hukum tetap, dan anakpun jatuh
padanya. Dari pihak suami juga tidak keberatan apabila anak diasu oleh isterinya. Kecuali
pihak yang mengajukan hak asuh anak adalah suami/bapak, ini jarang terjadi di pengadilan
agama. Sebab kenapa suami/bapak mengajukan hak asuh anak berada padanya, karena ada
faktor-faktor yang mengharuskan anak berada dalam asuhannya. Apabila pihak-pihak dari
istri/ibu anak-anak juga tidak bisa mengurus, merawat serta mendidik anak-anak, tentu saja
anak jatuh pada bapak dari anak-anak, selama bapak bisa memberikan pengajaran, merawat
anak-anak yang masih kecil agar tumbuh dengan baik.
3. Bagaimana proses menyelesaikan perkara hadhanah yang selama ini terjadi?
Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu apabila para
pihak ingin melakukan pengasuhan dan merasa yang paling berhak atas hak asuh/hadhanah
tersebut atau para pihak merasa pasangannya mempunyai tabiat yang buruk sehingga timbul
kekhawatiran apabila anak diasuh olehnya, karenanya ia merasa perlu memasukkan gugatan
mengenai hak hadhanah tersebut, dalam proses penyelesaiannya sama seperti dalam proses
persidangan yang diatur dalam aturan hukum acara, karena biasanya gugatan hak hadhanah
ini menjadi salah bagian yang akan dibuktikan dalam persidangan (kumulasi obyektif).
4. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah dalam putusan ini, banyak hambatan alias
butuh waktu yang cukup lama?
Hambatan dalam memeriksa sebuah perkara pasti ada, seperti dalam perkara ini, pihak istri
selaku termohon tidak diketahui keberadaannya sehingga keterangan dari pihak tergugat
tidak didapatkan, selain itu perlu waktu lama untuk memastikan bahwa termohon tidak
diketahui keberadaannuya
5. Apa keterangan anak yang disengketakan diperlukan dalam persidangan?
Keterangan anak yang disengketakan diperlukan ketika anak tersebut telah mumayyiz,
karena dia mempunyai hak pilih kepada siapa ia ingin diasuh, akan tetapi untuk anak yang
belum mumayyiz, maka pertimbangannya adalah fakta yang terungkap di persidangan.
6. Selama menangani perkara hadhanah, apakah putusan No. 881/Pdt.G/2008/PA.JB ini
berbeda dengan perkara hadhanah lainnya?
Dalam perkara tersebut, ibu/istri sebagai pihak termohon tidak diketahui keberadaannya, dan
dari hasil perkawinan mereka telah dikaruniai anak yang ketika perceraian diajukan oleh
ayahnya anak tersebut belum mumayyiz, memang dalam aturannya anak yang belum
mumayyiz jatuh kepada ibunya, akan tetapi karena ibunya tidak diketahui keberadaannya,
jelas hak hadhanah anak tersebut jatuh kepada bapaknya yang jelas keberadaannya untuk
selanjutnya mengasuhnya. Jadi perbedaannya hanya karena ibu/istri tidak ada dan tidak
diketahui keberadaannya.
7. Bukti apa saja yang ditunjukkan oleh pemohon yang mengajukan hak asuh anak jatuh kepada
Bapak? Kenapa tidak kepada saudara dari pihak ibu?
Bukti yang diajukan pihak pemohon diantaranya adalah fhoto copy akta nikah, foto copy
akta kelahiran kedua anaknya dari hasil pernikahan dengan pihak termohon, serta fhoto copy
surat keterangan ghoib dari kelurahan yang menyatakan bahwa termohon tidak diketahui
keberadaannya, selain itu berdasarkan keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa
termohon telah meninggalkan rumah dan pemohon telah berusaha mencarinya tetapi tidak
menemukannya, dari bukti-bukti tersebutlah maka majelis hakim memutuskan untuk
memberikan hak asuh kepada pihak pemohon sebagai ayah kandung si anak. Mengenai
ketentuan kepada siapa hak hadhanah diberikan, KHI telah mengatur masalah tersebut, kalau
tidak jatuh kepada ibu, maka setelahnya hak hadhanah jatuh kepada bapak, sebab bapak
mempunyai ikatan batin yang kuat dengan anak kandungnya sendiri. . Kedekatan antara
anak dengan ayahnya dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah
diberikan kepada si ayah tersebut, apalagi dalam kasus ini si ibu dinyatakan tidak diketahui
keberadaannya, jelas si ayah yang berhak atas hadhanah anaknya tersebut.
8. Apa yang menjadi landasan hukum putusan yang di putuskan oleh Majelis Hakim?
Landasan hukum tentang hak hadhanah anak jelas terdapat dalam Pasal 41 huruf (a)
Undang-undang No 1 tahum 1974 dimana akibat perceraian baik ibu ataupun bapak tetap
berkewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan si
anak
9. Para Ulama Fiqh berbeda pendapat mengenai batas usia anak belum mumayiz, lalu menurut
bapak/ibu hakim kapan seorang anak itu dapat dikatakan belum mumayiz dan mumayiz?
Dalam menetapkan putusan yang menjadi landasan setelah adanya kodifikasi hukum, maka
yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan yang tertulis yakni undang-undang dan
peraturan pemerintah sebagai hukum positif di Indonesia, dalam hal ini ketentuan mengenai
mumayiz seorang anak telah terdapat dalam KHI yakni usia 12 tahun, hal inipun (aturan
dalam KHI) merupakan pengolahan dari berbagai pendapat ulama yang kemudian dilihat
unsur kesesuaian dan maslahatnya.
10. Bagaimanakah metode ijtihad Majelis Hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam
menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB?
Dalam mengambil sebuah putusan, tentunya majelis hakim mengadakan musyawarah
terlebih dahulu, selanjutnya melihat kepada acuan hukum yang telah ada, dan dalam perkara
hak hadhanah dalam putusan tersebut telah diatur ketika seorang anak yang belum
mumayyiz maka hak hadhanahnya jatuh kepada ibunya, akan tetapi istrinya dinyatakan tidak
diketahui keberadaannya, maka hak hadhanah atas anak tersebut jatuh kepada bapaknya.
11. Apa yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim, sehingga hak hadhanah anak belum
mumayiz diberikan kepada bapak?
Seperti yang dijelaskan pada pertanyaan sebelumnya, bahwa terdapat acuan hukum yang
mengatur rentetan pemberian hak hadhanah anak yang menjadi korban perceraian
orangtuanya, dan dalam persidangan diungkap bahwa ibu dari anak tidak diketahui
keberadaannya, maka hal itu pulalah yang menjadi dasar pertimbangannya