Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (B IT) D alam...

21
Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Oleh Citra Mutiara Virjinia 1 110120120014 ABSTRAK Dibuatnya Bilateral Investment Treaties (BIT) merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain untuk menunjang pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia dengan harapan akan terciptanya keadaan yang saling menguntungkan bagi kedua negara, terlebih lagi dengan adanya prinsip-prinsip mengenai standard of treatment di dalam suatu BIT yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak. Permasalahan yang timbul adalah ketiika didalam pelaksanaan BIT tersebut kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal menjadi tidak seimbang dengan negara pemilik modal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan juridis normatif dengan melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan menggunakan metode deskriptif analitis. Ekspropriasi tidak langsung menjadi hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, dengan demikian diharapkan akan mengurangi kerugian- kerugian yang dialami oleh Indonesia dalam pelaksanaan penanaman modal asing tersebut sehingga kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud. ABSTRACT Bilateral Investment Treaties made (BIT) is one way in which the Indonesian government with other countries to support the implementation of foreign investment in Indonesia with the hope of creating a mutually beneficial situation for both countries, especially with the principles of the standard of treatment in a BIT that is expected to provide protection for both parties. The problems that arise in the implementation of the BIT is kika the Indonesian position as the capital of the recipient countries become unbalanced with the state capital owners. This research was conducted by using a normative juridical approach to conduct a study of the principles of law and using descriptive methods. Expropriation is not directly an issue that can be done by the Indonesian government in controlling the foreign companies operating in Indonesia, thus expected to reduce losses suffered by Indonesia in the implementation of foreign investment so that the welfare of the people will be realized. 1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Angkatan 2012.

Transcript of Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (B IT) D alam...

Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam Penanaman Modal Asing diIndonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman

Modal

Oleh

Citra Mutiara Virjinia1

110120120014

ABSTRAK

Dibuatnya Bilateral Investment Treaties (BIT) merupakan salah satu cara yangdilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain untuk menunjang pelaksanaanpenanaman modal asing di Indonesia dengan harapan akan terciptanya keadaan yang salingmenguntungkan bagi kedua negara, terlebih lagi dengan adanya prinsip-prinsip mengenaistandard of treatment di dalam suatu BIT yang diharapkan dapat memberikan perlindunganbagi kedua belah pihak. Permasalahan yang timbul adalah ketiika didalam pelaksanaan BITtersebut kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal menjadi tidak seimbangdengan negara pemilik modal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatanjuridis normatif dengan melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan menggunakanmetode deskriptif analitis. Ekspropriasi tidak langsung menjadi hal yang dapat dilakukan olehpemerintah Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan asingyang beroperasi di Indonesia, dengan demikian diharapkan akan mengurangi kerugian-kerugian yang dialami oleh Indonesia dalam pelaksanaan penanaman modal asing tersebutsehingga kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud.

ABSTRACT

Bilateral Investment Treaties made (BIT) is one way in which the Indonesian governmentwith other countries to support the implementation of foreign investment in Indonesia withthe hope of creating a mutually beneficial situation for both countries, especially with theprinciples of the standard of treatment in a BIT that is expected to provide protection for bothparties. The problems that arise in the implementation of the BIT is kika the Indonesianposition as the capital of the recipient countries become unbalanced with the state capitalowners. This research was conducted by using a normative juridical approach to conduct astudy of the principles of law and using descriptive methods. Expropriation is not directly anissue that can be done by the Indonesian government in controlling the foreign companiesoperating in Indonesia, thus expected to reduce losses suffered by Indonesia in theimplementation of foreign investment so that the welfare of the people will be realized.

1 Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis) Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranBandung, Angkatan 2012.

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan mengenai penanaman modal asing ini dahulu diatur dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan

Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang

Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman

Modal Dalam Negeri karena semakin berkembangnya zaman dan undang-undang

tersebut dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan pembangunan

dan perkembangan hukum nasional, maka kedua undang-undang tersebut diubah

menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-

undang tersebut menyatukan pengaturan mengenai penanam modal asing dan

penanam modal dalam negeri. Dengan kata lain tidak ada lagi perbedaan ketentuan

antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri. Undang-

Undang Penanaman Modal ini dimaksud untuk memberikan kepastian hukum.2

Pembuatan Undang-undang penanaman modal yang baru ini merupakan

realisasi dari kesepakatan keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan

Dunia (WTO), dengan pemberlakuan prinsip-prinsip perdagangan yang terdapat

dalam GATT/WTO yang antara lain prinsip non diskriminasi dan prinsip perlakuan

yang sama (National Treatment). Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut

maka Undang-Undang Penanaman Modal yang baru sifatnya sangatlah liberal.

Liberalisasi perdagangan bebas yang berkaitan dengan penanaman modal

mengakibatkan dampak yang besar bagi pelaksanaan penanaman modal asing di

2 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm. 21.

Indonesia. Hal ini dikarenakan di satu sisi Indonesia harus membuat peraturan-

peraturan yang sesuai dengan aturan-aturan yang diberlakukan bagi para seluruh

anggota WTO. Akan tetapi di sisi lain Indonesia juga harus membuat peraturan-

peraturan yang tidak boleh bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.

Pada dasarnya penanaman modal asing yang dilakukan di Indonesia

diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara dan selain itu juga dapat

mensejahterakan rakyat. Akan tetapi liberalisasi penanaman modal yang terjadi saat

ini pada kenyataannya memberikan perlindungan yang setinggi-tingginya pada

pemilik modal asing atau perusahaan multinasional, dan memberikan hak yang sangat

sempit kepada negara penerima modal (host state) untuk dapat mengatur dan

mengendalikan keberlangsungan penanaman modal asing ini.

Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa Indonesia sebagai negara

penerima modal, memiliki hak yang sangat tidak seimbang di dalam pelaksanaan

penanaman modal asing ini. Hal ini terlihat pada negara pemilik modal memiliki

peranan yang lebih dominan dibandingkan Indonesia sebagai negara penerima modal

yang pada kenyataannya seharusnya baik home state maupun host state memiliki hak

yang seimbang sehingga tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lain.

Perjanjian BIT ini pada dasarnya dibuat untuk memberikan perlindungan bagi

home state agar dalam pelaksanaan penanaman modal di host state, kepentingan-

kepentingan dari investor asing tersebut tetap diperhatikan dengan adanya perlakuan

standar bagi investor asing oleh host state. Di sisi lain bagi host state, BIT dibuat

untuk menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut.

Dengan semakin banyak investor yang masuk diharapakan pembangunan ekonomi di

negara tersebut akan semakin meningkat. Dengan demikian keberadaan BIT ini

diharapkan dapat memberikan keuntungan baik bagi host state maupun home state.

Meskipun keberadaan penanaman modal asing bagi negara berkembang dapat

membantu negara tersebut untuk melakukan pembangunan di negaranya dengan

begitu diharapkan adanya penanaman modal asing dapat meningkatkan kesejahteraan

bagi rakyatnya. Meskipun penanaman modal asing tersebut dapat memberikan

dampak poitif bagi host state, terdapat juga resiko-resiko yang dapat terjadi dan pada

akhirnya bukan menciptakan kesejahteraan bagi host state tetapi justru semakin

membuat host state bergantung kepada home state. Hal tersebut dapat terjadi apabila

host state tersebut belum siap untuk menghadapi adanya penanaman modal asing baik

dari segi hukum yang tersedia di host state sampai pada sumberdaya manusia.

Seperti yang kita ketahui bahwa hampir semua host state merupakan negara

berkembang dan sebaliknya home state merupakan negara maju yang mempunyai

kedudukan yang lebih kuat dibandingkan host state. Apabila hal tersebut terjadi maka

pengaturan-pengaturan dalam penanaman modal asing tersebut cenderung akan lebih

menguntungkan home state dengan begitu maka tentu saja kerugian akan dialami oleh

host state. Semakin maraknya investor asing yang menanamkan modalnya di satu sisi

juga justru akan membuat host state smekain bergantung akan keberadaan home state

apabila host state tersebut belum siap terhadap adanya penanaman modal asing.

Selain itu juga adanya kedudukan yang tidak seimbang antara host state dan

home state dapat berakibat pada regulasi-regulasi yang dibuat dalam host state justru

mementingkan home state sehingga dengan begitu kepentingan dari host state itu

sendiri menjadi terabaikan.

Permasalahan lain yang muncul adalah, ketika pelaksanaaan penanaman

modal asing sudah sampai pada tahap pembuatan perjanjian kerjasama. Seperti yang

kita ketahui, saat ini banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan

modalnya di Indonesia dan melakukan kerja sama baik dengan instansi-instansi

pemerintah, BUMN maupun dengan perusahaan swasta nasional. Seperti yang sudah

dipaparkan sebelumnya bahwa terlihat ketidakseimbangan hak-hak yang dimiliki

antara home state dan host state, maka pada tahap perjanjian ini akan terlihat

pelaksanaan penanaman modal asing ini lebih menguntungkan kepada host state atau

home state.

Seperti yang dikutip oleh Sornarajah, 3 Another feature of bilateral investment

treaties is that they are made between unequal partners, they entrench an inequality

that has always attended this area of international law, they are usually agreed

between a capital exporting developed state and a developing country state keen to

attract capital from that state.

Dari pendapat di atas dapat terlihat bahwa ketidakseimbangan memang terjadi

dalam pelaksanaan penanaman modal asing. Terlebih lagi karena negara berkembang

membutuhkan modal dari negara maju, sehingga akan berlomba-lomba untuk menarik

penanam modal asing. Sehingga negara yang sedang berkembang akan patuh kepada

keinginan-keinginan dari negara maju sebagai penanam modal.

Begitu juga halnya dengan Indonesia sebaga negara berkembang yang sedang

membutuhkan modal untuk pembangunan nasional, akan senantiasa patuh terhadap

arus liberalisasi sebagai akibat dari turut serta ke dalam perdagangan internasional

Lebih lanjut lagi di Insonesia sampai saat ini terdapat sekitar 66 perjanjian

bilateral yang sudah ditandatangani, akan tetapi di dalam pelakasanaannya, tentu saja

terdapat kendala-kendala yang mengakibatkan terjadinya konflik antara Indonesia

dengan negara penanam modal. Terdapt beberapa kasusyang pada kenyataannya

pemerintah Indonesia digugat oleh penanam modal asing dikarenakan menurut pihak

3 M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University,Singapore, 2011,, hlm 177.

penanam modal asing tersebut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia

merugikan mereka.

Salah satu kasus yang terjadi, yaitu ketika perusahaan Inggris yang bergerak di

bidang Batubara yaitu Churchill Mining, menggugat pemerintah Provinsi Kutai Timur

di Badan Arbitrase Internasional (ICSID). Hal tersebut terjadi dikarenakan

Pemerintah Kutai Timur tidak memberikan izin kepada perusahaan tersebut untuk

memperluas wilayah usaha batubara perusahaannya. Hal tersebut mengakibat’kan

perusahaan tersebut merugi, sehingga berdampak pada digugattnya pemerintah Kutai

Timur di ICSID. Kemudian ICSID menerima gugatan Churchill Mining dan

pemerintah Indonesia terancam membayar denda pada Churchill Mining sebesar US$

1M.

Kasus lain yang terjadi, yaitu mengenai kasus PT. Newmont Nusa Tenggara

yang juga menggugat pemerintah Indonesia berkaitan dengan dikeluarkannya

kebijakan pemerintah mengenai pengenaan bea ekspor biji timah. Kebijakan ini

dilakukan pemerintah sebagai tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai basis

pengelolaan mineral hilirisasi yang juga diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun

2009 (UU Minerba). Pemberlakuan kebijakan tersebut diperuntukkan secara merata

terhadap seluruh perusahaan baik perusahaan asing maupun dalam negeri. Akan tetapi

dikarenakan adanya kebijakan tersebut menimbulkan kerugian bagi PT. Newmont

Nusa Tenggara, kemudian perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat yang bekerja

sama dengan Perusashaan yang berasal dari Belanda tersebut mengajukan gugatan

terhadap pemerintah Indonesia melalui ICSID.

.Digugatmya Indonesia oleh para investor asing yang dalam hal ini berasal

dari negara penanam modal tentu saja, mengakibatkan kerugian bagi Indonesia.

Seharusnya dengan adanya perjanjian BIT dapat memberikan juga perlindungan bagi

Indonesia sebagai negara penerima modal. Hal ini dikarenakan adanya perjanjian BIT

tersebut untukmemberikan perlindungan dan promosi diantara negara yang telah

menandatangani perjanjian tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa

permasalahan yang perlu mendapat jawaban dan akan diuraikan pada pembahasan

selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal dalam

perjanjian bilateral penanaman modal asing berdasarkan standard of

treatment?

2. Bagaimana upaya Indonesia sebagai negara penerima modal terhadap

perusahaan penanam modal asing yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam

BIT dan merugikan negara berdasarkan undang-undang No. 25 Tahun 2007

Tentang Penanaman Modal?

II. METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis normatif, yaitu suatu metode pendekatan yang menitikberatkan pada penelitian

terhadap data sekunder dengan didukung oleh data-data kepustakaan sebagai sumber

utama, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, peraturran perundang-

undangan serta tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang

diteliti dalam hal ini adalah asas keseimbangan dalam perjanjian bilateral dalam

penanaman modal asing di Indonesia. Dilihat dari spesifikasinya, penelitian ini

termasuk deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan dan menganalisis

permasalahan yang berhubungan dengan penanaman modal khususnya penanaman

modal asing dan kontrak perjanjian di Indonesia. Kemudian untuk mengetahui dan

memahami bagaimana pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia dapat

memberikan manfaat sebesar-besranya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

serta untuk membantu pembangunan nasional seperti yang diamanatkan oleh UUD

1945.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN

PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Pada dasarnya pemerintah Indonesia menyadari bahwa penanaman modal

asing berperan penting dalam modernisasi perekonomian dan pertumbuhan ekonomi

yang berkelanjutan. Oleh sebab ittu kebijakan penanaman modal asing yang dibuat

oleh pemerintah Indonesia sangatlah penting dalam rangka pembangunan ekonomi di

Indonesia.

Kebijakan pemerintah Indonesia dallam penanaman modal asing ini, sangatlah

terasa terutama pada masa orde baru tepatnya pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto (1966-1998), hal tersebut dapat terlihat dari dibuatnya Undang-undang No.1

Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian diganti menjadi

Undang-undang 11 Tahun 1970. Dibuatnya undang-undang mengenai penanaman

modal asing tersebut ialah sebagai salah satu cara pemerintah Indonesia untuk

menarik para penanam modal asing untuk menanamnkan modalnya di Indonesia.

Selain itu juga adanya undang-undang No. 11 Tahun 1970 Tentang

Penannaman Modal Asing tersebut juga didukung oleh kebijakan pemerintah pada

bidang ekonomi makro yang kondusif dan juga kondisi politik yang stabil

mengakibatkan meningkatnnya penanaman modal asing pada era orde baru.4

Selama tahun 1960-1970, kebijakan penananman modal asing yang dibuat

oleh pemerintah Indonesia terfokus pada sektor minyak dan gas alam, sedangkan

pada tahun 1980-1990 pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk

melibelarisasi pasar domestik untuk membantu perkembangan penanaman modal

asing pada sektor manufaktur dan pelayanan untuk mengurangi ketergantungan

Indonesia terhadap sektor utama. 5

4 Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign directinvestment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002, hlm.4.

5 Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center onsustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School And The Earth Institute ofColumbia University), 2013, hlm. 2

Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 9 Ketetapan MPRS No.

XXIII/MPRS/1966 Tentang pembaharuan kebijaksanaan Landasan Ekonomi

Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan bahwa:6

“Pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi

potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan

teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan

pengetahuan berorganisasi dan manajemen”

Sedangkan pada Pasal 10 Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa:

“Penanggulangann kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dari

potensi ekonomi harus didasarkan pada kemampuan serta kesanggupan rakyat

Indonesia sendiri. Akan tetapi azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk

memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia di luat

negeri, selama segala bantuan itu benar-benar diabdikan kepada kepentingan

ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.”

Berikutnya dalam Pasal 29 TAP MPRS yang sama menjelaskan mengenai

pengertian dari pembangunan ekonomi, adalah sebagai berikut:

“Pembangunan ekonomi adalah pembangunan dari para potensi-potensi

ekonomi. Oleh karena potensi ekonomi terdapat di daerah-daerah maka

pembangunan nasional adalah identik dengan pembangunan daerah.”

Dari beberapa Pasal yang terdapat dalam Ketetapan MPRS tersebut, dapat kita

lihat bahwa pada saat itu pemerintah Indonesia mempunyai batasan-batasan mengenai

faktor apa saja yang dapat dijadikan landasan bagi pemerintah Indonesaia dalam hal

membuat kebijakan ekonomi negara Indonesia. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh

pemerintah Indonesia diharapkan tetap memperhatikam kepentingan rakyat Indonesia.

Lebih lanjut lagi, dalam ketetapan MPRS tersebut penanaman modal asing merupakan

salah satu cara bagi pemerintah Indonesia untuk membantu pembangunan ekonomi.

Berkaitan dengan hal tersebut tentu saja dalam mebuat suatu kebijakan mengenai

penanaman modal asing, pemerintah Indonesia sudah seharusnya tetap

6 Sunaryati Hartono, Op Cit, hlm. 29

memperhatikan kepentinan rakyatnya sehingga tidak membuat negara Indonesia

menjadi negara yang bergantung pada negara lain.

Peluang dan kesempatan masuknya penanaman modal, telah memberi

implikasi bagi Indonesia menjadi semakin terbuka bagi para pelaku bisnis asing,

secara langsung atau tidak langsung.7 Setelah menanti cukup lama akhirnya ketentuan

investasi yang selama 40 tahun diatur oleh dua undang-undang yang berbeda, yaitu

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal asing dan Undang-

Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang penanaman Dalam Negeri, dicabut dan diganti

dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang

dinyatakan berlaku seak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

(LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 Pada Tanggal 26 April 2007.8

Perubahan pengaturan terhadap Undang-Undang Penanaman Modal ini

memakan waktu yang relatif lama dikarenakan, seperti yang kita adanya penyatuan

pengaturan mmengenai penanaman modal asing dang penanaman modal dalam negeri

ini tentu saja menimbulkan berbagai macam akibbat hukum yang berbeda pula. Salah

satunya adalah dengan disatukan penyatuan pengaturan mengenai penanaman modal

asing dan peanaman modal dalam negeri berakibat pada adanya perlakuan yang sama

antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Perlakuan yang dama

tersebut tentu saja mengakibatkannya adanya pro dan kontra dari berbgai macam

pihak terhadap adanya undang-undang penanaman modal yang baru tersebut.

Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang telah

mencabut ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 dan juga mencabut Undang-

Undang No. 6 Tahun 1968. Di dalam Undang-Undang penanaman modal yang baru

7 Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta,2008, Hlm. 22.

8Sentosa Sembiring, Opcit, Hlm. 126

ini terdapat beberapa pengertian mengenai penanam modal asing, penanaman modal

asing dan juga modal asing adalah sebagai berikut :

1. penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan

usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal

di wilayah negara Republik Indonesia.

2. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk

melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan

oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing

sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam

negeri.

3. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan

warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau

badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki

oleh pihak asing.

Penentuan bidang usaha untuk penanaman modal asing bersifat dinamis

karena setiap waktu dapat berubah yang disesuaikan dengan kondisi bangsa dan

negara.9 Sebagai contoh pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman

Modal Asing, terdapat bidang usaha tertentu yang dilarang bagi para investor asing

secara penuh. Akan tetapi dalam perkembangannya bidang usaha yang dahulu

tertutup untuk para investor asing ternyata saatini dapat dilakukan oleh investor asing

dengan syarat harus dilakukan kerja sama dengan warga negara Indonesia atau badan

usaha Indonesia.

Selain memberikan perlakuan yang sama pada penanam modal yang berasal

dari negara manapun, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa

9 Idem, hlm. 177

pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi kecuali diatur lain oleh Undang-

undang. Dalam hal pemerintah melakukan nasionalisasi maka pemerintah akan

memberikan kompensasi yang jumlahnya disesuaikan berdasarkan harga pasar.

B. PERANAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BIT) DALAM

PENANAMAN MODAL ASING

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan BIT dalam

penanaman modal asing berperan penting dalam perlindungan terhadap penanam

modal asing yang menanamkan modalnya di negara penerima modal. Begitu juga

sebaliknya, BIT juga dapat melindungi negara penerima modal dalam pelaksanaan

penanaman modal asing ini. Seperti halnya juga di Indonesia, sejak masa orde baru

dan diundangkannya undang-undang tentang penanaman modal asing yaitu Undang-

Undang 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing maka Indonesia sebagai

negara berkembang semakin gencar untuk membuat BIT guna meningkatkan

penanaman modal asing di Indonesia.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki perjanjian bilateral dengan 67 negara,

beberapa perjanjian sedang pada tahap renegosiasi dan bebrapa perjanjian mengalami

kesulitan untuk dilaksanakan. Berikut uraian mengenai perjanjian BIT yang telah

dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain:10

a. P4M (BIT) Indonesia-Slovakia, perjanjian tersebut ditandatangani pada

tanggal 12 Juli 1994 dan telah diratifikasi sejak keputusan presiden No.66

tanggal 22 September 1994. Permasalahan utama dalam perjanjian tersebut

yaitu mengenai perpajakan.

10 www.bkpm.go.id

b. P4M Indonesia-Swiss, ditandatangani 6 Juni 1974 dan telah diratifikasi

dengan keputusan presiden No.9 Tahun 1976 tanggal 2 Maret 1976.

Permasalahan utama mengenai perjanjian tersebut yaitu mengenai

masalah: a. Definisi investasi-investor, b. Perpajakan-subrogasi-

expropriation, c. Dispute Setllement-transfer.

c. P4M Indonesia-Kanada, ditandatangani tanggal 16 Maret 1973 dan telah

diratiifikasi dengan keputusan Presiden No. 30 Tahun 1973. Permasalahan

utama perjanjian tersebut, yaitu mengenai: Preamble, Definisi investasi,

definisi investor, Liberalisasi Annex I dan II, Performances requirements,

Movement, Transparency, Dispute Setllement, perpajakan.

d. P4M Indonesia-Ceko, ditandatangani tanggal 17 September 1998 dan telah

diratifikasi dengan keputusan presiden no.50 Tahun 1999 tanggal 20 Mei

1999. Permasalahan utama dalam yang terdapat dalam perjanjian tersebut

yaitu mengenai exception on national Treatment, perpajakan, transfer dan

temporary safeguards measures.

e. P4M Indonesia-Prancis, ditandatangani tanggal 14 uni 1973 dan telah

diratifikasi dengan keputusan Presiden No. 10 Tahun 1975 Tanggal 10

April 1975. Permasalahan utama yang dbahas dalam perjanjian tersebut

yaitu mengenai definisi investasi, perpajakan dan subrogasi.

f. P4M Indonesia-USA, diitandatangani tanggal 7 Januari 1967 dan

diratifikasi dengan keputusan presiden No. 97 Tahun 1967 tanggal 3 Juli

1967. Permasalahan utama yang dibahas dalam perjanjian tersebut yaitu

mengenai pelaksanaan pertukaran informasi mengenai exploratory

meeting.

Apabila kita perhatikan lebih lanjut lagi, bahwa adanya BIT dalam penanaman

modal asing berfungsi untuk meningkatkan perekonomian dan juga pembangunan di

Indonesia. Dengan adanya BIT maka kepentingan dan hak dan kewajiban antara

Indonesia sebagai negara peneirma modal dan juga penanam modal asng tentu saja

dapat terlindungi. Hal ini tentu saja seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No.

25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa penanaman

modal berfungsi untuk mensejahterakan rakyat.

Seperti yang kita ketahui bahwa, disepakatinya perjanjian BIT oleh

pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain adalah untuk memberikan

perlindungan bagi para investor yang berasal dari negara pemilik modal yang suah

mendatangani perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila kita kaji lebih dalam lagi,

bahwa isi dari perjanjian-perjanjian BIT yang antara Indonesia dengan negara lain,

didalamnya mencakup mengenai para pihak yang menyepakati perjanian tersebut,

kemudian definisi mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam perjanjian tersebut,

ketentuan mengenai standard of treatment, larangan nasionalisasi sampai

penyelesesaian sengketa apabila terjadi sengktea antara investor dengan pemerntah

Indonesia dan juga antar kedua negara yang menyepakati perjanjian tersebut.

C. PELAKSANAAN BIT DALAM PENANAMAN MODAL ASING DI

INDONESIA

Kesadaran akan pentingnya peranan perlindungan hukum terhadap

pelaksanaan penanaman modal asing, bedampak pada digantinya undang-undang

penanaman modal yang lama menjadi Undang-undang no. 25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal. Adanya undang-undang penanaman modal tidak serta merta

dirasa kurang guna mendukung pelaksanaan penanaman modal di Indonesia.

Dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang lebih konkrit dan yang dapat memberikan

jaminan perlindungan baik terhadap para investor asing maupun negara Indonesia

sendiri. Oleh sebab itu dengan adanya BIT yang dibuat dan disepakati ooleh

Indonesia denga negara lain dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa adanya BIT pada dasarnya

untuk menjamin hak dan kewajiban antara kedua negara yang menyepakati perjanjian

tersbut. Seperti halnya perjanjian BIT yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah

Indonesia dengan negara lain, di dalamnya juga terdapat ketentuan-ketentuan

mengenai definisi-definisi terhadap terminologi yang digunakan dalam perjanjian

tersebut, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh kedua

negara, ruang lingkup, prinsip-prinsip mendasar yang diharuskan ada di dalam sebuah

BIT, penyelesaian sengketa dll.

Akan tetapi, pada kenyataannya keberadaan BIT dalam pelaksanaan

penanaman modal di Indonesia tidak selalu memberikan dampak yang baik bagi

negara. Berbagai ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BIT yang diharapkan dapat

memberikan perlindungan bagi kedua negara, akan tetapi pada kenyataannya justru

berakibat pada kerugian yang dialami oleh salah satu negara. Dalam hal ini tidak

jarang, Indonesia sebagai negara penerima modal yang justru mengalami kerugian

tersebut.

di dalam pelaksanaan suatu BIT di Indonesia, terdapat permasalahan-

permasalahan mendasar yang berakibat pada kerugian yang tidak sedikit yang dialami

oleh Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya penanaman modal, memberikan

dampak yang baik pula bagi Indonesia. Tidak siap nya Indonesia terhadap semakin

banyaknya penanaman modal asing yang masuk menjadikan Indonesia semakin

bergantung terhadap penanaman modal asing. Penanaman modal asing yang awalnya

berfungsi sebagai pemicu untuk pembangunan Indonesia, berubah menjadi

ketergantungan terhadap penanaman modal asing.

Prinsip-prinsip standard of treatment yang terdapat dalam BIT yang dibuat

oleh Indonesia dengan negara lain, meupakan standard of treatment yang besifat

absolut. Prinsip standard of treatment yang bersifat absolut tersebut menyatakan

kewajiban unuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan mengenai fair and equitable

treatment, full protection and security, ketentuan yanng berhubungan dengan

ekspropriarsi merupakan standar yang absolut dalam sebuah BIT.

Selanjutnya, prinsip-prinsip tersebut sepeti yang sudah dibahas sebelumnya

pada dasarnya sangat melindungi para investor yang menanamkan modalnya di

Indonesia. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip terebut dapat berakibat pada

wanprestasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan tentu saja akan merugikan

Indonesia. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia

tidak dapat bertindak sesuai atau demi kepentingan rakyat.

Pada dasarnya dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah

Indonesia masih tetap dapat membela kepentingan publik. Terkait dengan digugatnya

pemerintah Indonesia oleh para investor asing mengenai dikeluarkannya kebijakan

yang merugikan para investor asing. Peradilan Internasional telah melakukan

interpretasi mengenai penerapan prinsip fair and equitable treatment dalam

penanaman modal asing. Terdapat 4 prinsip penting dalam Fair and equitabe

treatment, yaitu:

1) The principle of reasonableness

2) The principle of nondiscrimination

3) The principle of concistency

4) The princciple of transparency

5) The principle of due process

Pada prinsip reasonableness, negara penerima modal dalam membuat suatu

kebijakan diharuskan memiliki alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang jelas.

Berdasarkan prinsip tersebut, dalam kasus Pemerintah Indonesia dengan PT.

Newmont NusaTenggara dan juga PT. Churchill Mining. Prinsip tersebut harus

selayaknya dapat dibuktikan oleh pemerintah Indonesia. Bahwa alasan dan tujuan

jelas dari pemerintah Indonesia atas kebijakan terssebut adalah jelas dan dapat

diterima. Meskipun bagi para investor, pemerintah Indonesia tidak memiliki alasan

yang kuat atas dibuatnya kebijakan tersebut. Selain itu juga apabila tujuan atau alasan

dari dibuatnya suatu kebijakan tersebut adalah berdasarkan pada tujuan politik atau

lainnya maka kebijakan tersebut tidak akan dibenarkan

Pada prinsip Non-diskriminasi, pada dasarnya prinsip ini sudah tercantum

dalam national treatment dan most favoured nation. Pada dasarnya prinsip non

diskriminasi tersebut dapat dikesampingkanatas dasar alasan yang benar-benar untuk

kepentingan publik dan pemerintah Indonesia dapat membuktikan hal-hal tersebut.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa perusahaan multinasional

mempunyai peran yang cukup penting dalam penanaman modal. Hal ini dikarenakan

perusahaan tersebut merupakan pelaku yang terjun langsung dalam pelaksanaan

penanaman modal asing. Perusahaan multinasional dan penanaman modal asing

merupakan suatu hal yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kaitan sama lain.

Pentingnya keberadaan perusahaan multinasional dalam penanaman modal

asing di Indonesia, maka pemerintah Indonesia membuat ketentuan mengenai daftar

bidang yang terbuka dan tertutup bagi perusahaan multinasional yang ingin

menanamkan modalnya di Indonesia. Lebih lanjut lagi meskipun Indonesia

membutuhkan penanaman modal asing guna pembangunan, Indonesia mempunyai

ketentuan-ketentuan mengenai negative list.

Pada dasarnya dengan adanya negative list tersebut maka pemerintah

Indonesia tetap melindungi bidang-bidang usaha penting sehingga pengelolaanya

tetap dikuasai oleh pemerintah Indonesia atau oleh perusahaan dalam negeri. Hal

tersebut dilakukan guna tetap menciptakan pembangunan yang merata bagi rakyat

Indonesia sehingga dalam hal ini tidak saja hanya perusahaan multinasional yang

dapat mendapatkan keuntungan dari adanaya penanaman modal akan tetapi juga

perusahaan-perushaaan dalam negeri mempunyai hak sama.

Adanya posisi tawar menawar antara perusahaan multinasional dan negara

penerima modal ini karena masing-masing ingin mendapatkan keuntngan yang

maksimum. Perundingan antara perusahaan-perusahaan dan negara berkembang ini

mengikuti pola yang disebut the obsolecing bargain pattern. Perusahaan-perusahaan

multinasional mempunyai posisi tawar yang lebih kuat terhadap suatu penanaman

modal dan disisi lain juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari negara

penerima modal.

Keadaaan negara Indonesia sebagai negara berkembang yang membutuhkan

modal dan menerima modal dari para penanam modal yang berasal dari negara maju,

membuat posisi tawar menawar atau bargaining position antara Indonesia dengan

perusahaan multinasional menjadi tidak seimbang. Pada dasarnya Indonesia sebagai

negara penerima modal sudah memfasilitasi serta menjamin kepastian hukum untuk

memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan multinasional yang ingin

menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudahan maupun kepastian hukum yang

dijamin oleh pemerintah Indonesia tesrebut terdapat dalam Undang-Undang no. 25

Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan juga untuk pengaturan lebih khusus

terdapat dalam BIT yang dibuat dan ditandatangani oleh Indonesia dengan negara-

negara pemilik modal.

Pada kenyataanya lemahnya posisi Indonesia sebagai negara penerima modal

membuat konflik-konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan

multinasional yang beroperasi di Indonesia menjadi sangat merugikan Indonesia. Hal

ini karena Hampir semua konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan

multinasional tersebut justru dimenangkan oleh perusahaan multinasional.

Terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para investor yang

merugikan Indonesia, pada saat ini juga Indonesia sedang melakukan proses re-

negosiasi terhadap perjanjan BIT yang telah dibuat dengan negara-negara lain. Hal

tersebuttentu saja merupakan langah yang baik karena, isi dari BIT yang saat ini

masih berlaku di Indonesia sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan Indonesia. Selain

itu juga penghentian perjanjian BIT merupakan hal yang cukup ditakuti juga oleh para

investor. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dilakukannya

penghentian perjanjian BIT oleh Indonesia terhadap BIT yang dilakukannya dengan

negara lainn makan akan berdampak juga pada posisi investor-investor asing yang

berasal dari negara tersebut. Ketegasan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia

dalam hal penanaman modal asing ini sangatlah penting, agar tetap terciptanya

keadaan yang seimbang dan saling menguntungkan baik bagi Indonesia sebaga negara

penerima modal maupun bagi negara-negara lain sebagai negara pemilik modal.

D. PENUTUP

1. Kedudukan Indonesia dalam perjanjian BIT yang telah dibuat dengan negara-

negara lain berdasarkan prinsip-prinsip standard of treatment adalah tidak

seimbang, dengan kata lain kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal

adalah lemah dibandingkan dengan negara-negara pemilik modal. Hal tersebut

dikarenakan ketentuan mengenai standard of treatment di dalam sebuah BIT pada

kenyataannya lebih mennguntungkan bagi negara pemilik modal dan berdampak

pada kerugian yang dialami oleh Indonesia sebagai negara penerima modal.

2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap

perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang

no. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal adalah dilakukannya ekspropriasi

terhadap perusahaan tersebut. Dalam hal ini ekspropriasi yang dapat dilakukan

oleh pemerintah Indonesia bukanlah ekspropriasi yang bersifat langsung, Akan

tetapi ekspropriasi tidak langsung yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan

pemerintah yang secara tidak langsung mengatur mengenai peralihan penguasaaan

terhadap perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. An an Chandrawulan, S.H., LL.M sebagai ketua komisi pembimbing

2. Dr. Hj. Sinta Dewi, S.H., LL.M sebagai anggota komisi pembimbing

DAFTAR PUSTAKA

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010.

M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University,

Singapore, 2011.

Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign direct

investment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies,

Singapore, 2002.

Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center

on sustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School

And The Earth Institute of Columbia University), 2013.

Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta,

2008.