Transfer Pricing Dalam an Multinasional

download Transfer Pricing Dalam an Multinasional

of 27

Transcript of Transfer Pricing Dalam an Multinasional

TRANSFER PRICING DALAM PERUSAHAAN MULTINASIONALDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Perpajakan Dosen Pembina: Diana Sari, SE., M.Si., Ak.

Oleh Kelompok 4 : Megawati Lumban Gaol Yesiecca Andriani Hutabarat Eha Julaeha Eva Mariyani 1512179 1512182 1512196 1512197

PROGRAM PASCA SARJANA PPAk UNIVERSITAS WIDYATAMA BANDUNG 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan petunjuknya, serta dukungan dan doa dari orang tua, dosen, temanteman, serta yang lainnya, karena penulis dapat menyelesaikan tulisan ini yang berupa makalah dengan judul TRANSFER PRICING DALAM PERUSAHAAN MULTINASIONAL guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Perpajakan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan, baik dari segi pengetikan, maupun materi yang di sajikan. Oleh sebab itu, saran dan kritik dari semua pihak yang terkait sangat di harapkan agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Tidak lupa pula penyusun haturkan permohonan maaf sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kata-kata yang salah dan tidak sesuai.

Bandung, 03 Mei 2012 Penulis

Kelompok 4

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan khususnya perkembangan teknologi

informasi berupa makin luasnya pemakaian internet, telah banyak mengubah kehidupan masyarakat dunia. Transaksi internasional yang mencakup barang, jasa dan modal cenderung berorientasi global, dimana batas-batas suatu negara semakin kabur dan dengan sarana internet perdagangan dapat berlangsung tanpa batas. Hal ini membuat arus barang, jasa maupun modal akan masuk dan atau keluar dari suatu negara tanpa hambatan. Kegiatan perdagangan lintas negara membuat pertumbuhan perusahaan multinasional makin pesat. Perusahaan multinasional tersebut, di luar negara tempat kedudukannya mengoperasikan cabang atau anak perusahaan. Pendirian anak perusahaan di berbagai negara merupakan strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan seperti mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, menguasai sumber-sumber daya yang relatif terbatas. Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar mereka, seperti transaksi penjualan, pembelian bahan baku, pemberian jasa, penggunaan hak kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan sebagainya. Keberhasilan operasi-operasi bisnis di luar negeri sangat berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan yang sangat banyak jumlahnya. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk beradaptasi adalah teknik pricing atas sumber daya, jasa dan teknologi yang ditransfer dari satu perusahaan anak ke perusahaan anak yang lain dalam sistem multinasional. Transfer pricing bervariasi dari suatu perusahaan ke perusahaan lain, industri ke industri dan negara ke negara. Transfer pricing dapat mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik dalam entitas-entitas bisnis multinasional. Transaksi-transaksi yang terjadi antar negara juga mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional menerima banyak pengaruh dari lingkungan yang menciptakan sekaligus mengurangi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan laba perusahaan melalui penyesuaian-penyesuaian harga internal. Faktorfaktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju inflasi, nilai valuta asing, resikoresiko politik, kepentingan-kepentingan mitra usaha patungan membuat keputusan-keputusan

transfer pricing semakin rumit. Dan pada akhirnya keputusan tentang transfer pricing umumnya menimbulkan trade-off yang kadang-kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan. Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negaranegara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke negara lainnya.

1.2

Rumusan dan Batasan Masalah Makalah ini membahas mengenai transfer pricing dalam perusahaan multinasional.

1.3

Maksud dan Tujuan Maksud dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok

mata kuliah Perpajakan pada PPAk Universitas Widyatama. Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan serta teori-teori mengenai transfer pricing dalam perusahaan multinasional.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora, 1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara. Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974, dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985

perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif. Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cost-revenue atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keseluruhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah : 1) Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu rate profit center. 2) 3) 4) Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional. Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara. Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan. Pengertian Netral a. Dr. Gunadi M.sc.Ak Harga transfer adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa b. Sophar Lumbantoruan Harga trasfer adalah penentuan harga balas jasa suatu transaksi antarunit dalam suatu hubungan perusahaan atau antarunit dalam suatu grup.

c. Robert N. Anthony, Glen A. Welsh, dan James S. Reece A transfer price is a price used to measure the value of goods or services furnished by profit center to other responsibility centers within a company. d. Edward J. Blocher, Kung H. Chen dan Thomas W. Lin Harga transfer adalah penentuan dari harga pertukaran pada saat unit-unit bisnis yang berbeda di dalam suatu perusahaan bertukar produk atau jasa. Produk-produk tersebut mungkin merupakan komponen produk akhir.

2.2. Tujuan Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101). Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen, 1996:496).

2.3. Karakteristik Masalah HT timbul jika divisi yang terkait diukur kinerjanya berdasarkan laba divisinya. Perusahaan yang dibentuk berdasarkan divisi-divisi akan dinilai kinerjanya berdasarkan laba yang diperoleh, maka manajer pusat laba sangat peduli terhadap factor-faktor yang mempengaruhi penerimaan laba, termasuk di dalamnya penentuan HT (baik bagi divisi pembeli/penjual).

Jika beli, gak mau menanggung rugi akibat ketidakefisienan divisi penjual Jika jual, gak mau jual terlalu murah, hanya karena alasan masih dalam satu perusahan HARGA TRANSFER SELALU MENGANDUNG UNSUR LABA Bagi divisi penjual, harga transfer merupakan pendapatan yang pada gilirannya merupakan unsure laba yang dipakai sebagai dasar penilaian kinerja, sehingga adanya transfer barang ke divisi pembeli harus mengandung unsur biaya di dalamnya HARGA TRANSFER MERUPAKAN ALAT MEMPERTEGAS DIVERSIFIKASI, SEKALIGUS MENGINTEGRASIKAN DIVISI YANG DIBENTUK Proses pembentukan harga transfer memberi kesempatan kepada manajer divisi yang terkait untuk merunding semua unsure pembentuk harga transfer, karena unsur ini akan mempengaruhi besar kecilnya laba. Dengan harga transfer, divisi yang telah dibentuk dianggap sebagai perusahaan independent yang melakukan nego penetapan harga barang yang ditransfer antar divisi tersebut.

2.4. Transfer Pricing dan Korporasi Multinasional Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Memaksimalkan penghasilan global Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera Penghidaran pengendalian devisa Mengontrol kredibilitas asosiasi Meningkatkan bagian laba joint ventura Reduksi resiko moniter Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transfer pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok

Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0. Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0. Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.

Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional Perusahaan Induk Anak Perusahaan di Anak Perusahaan di Belgia Puerto Rico di Amerika $ 100 $ 200 $ 200 Pokok $ 100 $ 100 $ 200 $ 0 $ 100 $ 0 42% 0% 0% $ 0 $ 0 $ 0

Penjualan Harga Penjualan Laba Tarif Pajak Pajak Terutang

Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia. Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau

dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen, 1996:543).

2.5. Metode Transfer Pricing Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah: 1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing) Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee). 2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing) Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar. 3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices) Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

Metode dan Teknis Penghitungan Harga Wajar : 1) Comparable Uncomtrolled Price Membandingkan harga yang terjadi pada transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalamlingkunan atau situasi yang setara. Contoh : PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp 160,- per unit: berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp 200,per unit. Perlakuan perpajakan : Dari contoh tersebut ,harga pasar sebading (comparable uncontrolled price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp 200,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan atau pengenaan pajak. 2) Cost Plus Menambahkan tingkat laba kotor wajar (yang diperoleh dari perusahaan sejenis yang tidak mempunyai hubungan istimewa) pada harga pokok. Contoh : PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp Rp 160,- per unit. PT A tidak melakukan penjualan kepada pihak ketiga yang tida ada hubungan istimewa. Perlakuan perpajakan : Misalnya diketahui bahwa PT memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi adalah Rp 150,- dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antarpihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok. Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT A kepada PT B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar pengenaan, Rp 200,- (Rp 150,- + (40% x Rp 150,-).

3) Comparable Profit Adalah membandinkan laba kotor dengan jenis perusahaan yang sama. Contoh : Diketahui bahwa persentase laba kotor usaha yang sama dengan usaha PT A dari data dunia bisnis adalah 30%, sedangkan laba kotor yang dilaporkan PT A adalah 15%. Perlakuan perpajakan : Karena terdapat divisiasi tingkat laba PT A rata-rata tersebut diatas, maka dapat diduga bahwa pergeseran laba melalui penjualan dengan harga kurang wajar dari PT A ke PT B. Kalau misalnya PT B merupakan pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT A tersebut, laba kotor PT A atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang harus dihitung kembali sebesar 30%.

Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transfer pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100,-. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100,-, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0,-. Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga transfer Rp 200,-. Tarif pajak yang berlaku di Negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200,-. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah sebesar Rp 0,-. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200,-. Kebijaksanaan menetapkan harga

jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di Negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0,-. Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0,-. Kesimpulan yang dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas. Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional Perusahaan Induk di Belgia Penjualan HPP Laba Tarif Pajak Pajak Terutang $100 $100 $0 42% $0 Anak Perusahaan di Puerto Rico $200 $100 $100 0% $0 Anak Perusahaan di Amerika $200 $200 $0 0% $0

2.6. Peran Harga Transfer 1. Harga Transfer Mempertegas Diversifikasi Harga transfer menetapkan dengan tegas hak masing-masing menajer divisi uyntuk mendapatkan laba. Tiap-tiap divisi yang terlibat merundingkan unsure-unsur yang membentuk harga transfer, karena unsure-unsur tersebut akan berdampak terhadap laba yang pada akhirnya laba tesebut digunakan untuk mengukur kinerja divisi 2. Harga Transfer Sebagai Alat Untuk Menciptakan Mekanisme Integrasi Manajemen puncak dapat mewajibkan suatu divisi untuk memilih sumber pengadaan dari divisi lain dalam perusahaan ketimbang dari luar perusahaan, hanya jika hal ini bisa menguntungkan perusahaan secara keseluruhan. Dengan adanya kebijakan manajemen puncak ini, manajer divisi yang terlibat dipaksa untuk merundingkan HT yang adil bagi divisi yang terlibat.

2.7. Perlakuan Harga Transfer di Indonesia Perkembangan dunia usaha semakin cepat, yang sering kali bersifat internasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha baru yang semula belum dikenal dalam bidnag usaha (misalnya dalam bisang keuangan dan perbankan), maka bentuk dan variasi harga transfer menjadi tidak terbatas. Namun demikian, dengan pengaturan lebih lanjut tentang transaksi antarWajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, diharapkan dapat meminimalkan atau mengurangi praktik penghindaran pajak atau penyeludupan pajak dengan menggunakan rekayasa harga transfer. Harga transfer dapat terjadi baik antar-Wajib Pajak dalam negeri maupun antara-Wajib Pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di negara-negara dengan beban pajak rendah. Terhadap transaksi antara wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa, Undang-Undang Perpajakan Indonesia menganut asas material (subtance over form rule). Hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurang wajaran harga, biaya, attau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transasi usaha. Harga transfer tersebut dapat mengakibakan terjadinya penggalian penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya, dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang atas wajib pajak yang mempunyai tujuan istimewa baik nasional maupun multinasional. Kekurangwajaran di atas dapat terjadi pada: a. Harga penjualan b. Harga pembelian c. Alokasi biaya administrasi dan umum (biaya overhead) d. Pembebangan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham e. Pembayaran komisi, lisensi, muaralaba, sewa, royalti, imbalan jasa manajemen, imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa lainnya. Dalam kasus pajak pertambahan nilan (PPN), mekanisme kredit pajak akan secara otomati menetralisir harga transfer. Namun pertimbangan waktu dipertimbangkan. Hal ini dapat ditempuh melalui harga transfer dengan menggeser pajak keluaran ke perusahaan hilir (menunda

terutangnya PPN). Akibat positif definitif juga akan diperoleh dalam kasus pajak penjualan atas barang mewah (PPnBm) dengan memperkecil harga trasfer atas dasar pengenaan pajak (DPP) yang kena PPnBm.

KONSEP HT : Arti Luas Harga produk/jasa yang ditransfer antar pusat pertanggungjawaban dalam perusahaan. HT Contoh : Biaya listrik yang dialokasikan dari dept. pembangkit listrik ke dept. lain yang menikmati listrik Arti Sempit Harga produk/jasa yang ditransfer antar pusat laba dalam 1 perusahaan.

Dalam transfer barang/jasa ada 2 macam keputusan : 1. Keputusan Pemilihan Sumber / Sourcing Decision Keputusan mau membeli sumber dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan 2. Keputusan Penentuan Harga Transfer / Transfer Pricing Decision Jika dipilih keputusan membeli dari dalam, akan timbul keputusan berikut : Pada harga berapa harga transfer diterapkan ?

2.8.

Penangkal Harga Transfer

Ada beberapa prosedur yang dapat ditempuh untuk menanggulangi manuver pajak melalui harga transfer, antaralain: a. Menyingkap praktik bisnis antarperusahaan secara lengkap sehingga dapat dievaluasi keinginan harga transfer. Hal ini biasanya dimintakan kepada Wajib Pajak asosiasi. Informasi tersebit dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.

b. Harmonisasi pemajakan Internasional untuk meniadakan disparitas beban pajak.prosedur ini sangat ideal, namun sulit diaktualisasikan, karena pada umumnya setiap pemegang yurisdiksi pemajakan cenderung menomorsatukan kepentingan nasionalnya. Suatu konsesi pajak selalu dihitung timbal balik. c. Kerja sama Internasional Prosedur ini dapat ditempuh melalui pertukaran informasi, audit secara simultan atau audit pemajakan secara terpadu (antar-yurisdiksi secara koordinatif). d. Advanced Pricing Agreement (APA) Prosedur ini memperbolehkan wajib pajak untuk membuat kesepakatan dengan otoritas pajak tentang aplikasi salah satu metode harga transfer. Dengan demikian, wajib pajak terikat untuk memakai metode tersebut. Dan administrasi pajak menguji apakah kesepakatan tersebut dipatuhi.

2.9. Advanced Price Agreement Sistem Advane Price Agreement sebenarnya merupakan sistem yang terbaik untuk pencegahan kasus transfer pricing. Sekarang hanya perlu mengembangkan sistem ini dengan menjalin relasi yang lebih banyak lagi ke negara-negara lain dan lebih dekat lagi dengan wajib pajak. berdasarkan Dewan Pengurus Pajak Dalam Negeri Inggris (The Board of Inland Revenu /TBIR) dalam Santoso (2004:137), sistem APA dirancang guna menawarkan jalan keluar yang lebih mudah bagi fiskus dan wajib pajak di dalam menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing. Sedangkan definisi umum APA adalah sebuah persetujuan tertulis antara wajib pajak, yang di dalam kasus ini adalah pengusaha, dan TBIR yang secara bersama-sama menentukan di depan suatu metode untuk menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing. Setelah dicapai persetujuan diantara kedua belah pihak, keduanya memberikan jaminan bahwa metode tersebut diterima dan akan terus dipergunakan sebagai acuan dalam menentukan harga pasar wajar selama jangka waktu yang telah disepakati.

APA memiliki empat tahap negosiasi : (1) Wajib pajak secara sukarela menunjukkan ketertarikannya untuk menerapkan system APA dengan cara mengajukan permintaan kepada fiskus; (2) Penyampaian aplikasi permohonan secara formal yang ditandai dengan pemberian informasi yang ekstensif menegnai operasi usaha serta metode transfer pricing apa yang digunakan guna memperoleh harga pasar wajar dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai perusahaan, pasar, dan persaingan yang harus dihadapi; (3) Dilakukannya evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit lunak (lenient audit) untuk memastikan apakah semua perhitungan yang diajukan oleh wajib pajak dapat diterima; dan (4) Tercaainya APA diantara kedua belah pihak. Untuk mekanisme control yang dilakukan fiskus dalam penerapan APA, dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk menyiapkan laporan tahunan dimana di dalamnya wajib pajak memberikan penjelasan mengenai: (i) Bagaimana APA yang telah disepakati diterapkan di tahun Bersangkutan (ii) Menyerahkan laporan keuangan yang menunjukkan hasil dari penerapan metode transfer pricing yang disepakati (iii) Menyerahkan hasil rekonsiliasi pembukuan yang telah disesuaikan dengan Undangundang serta bukti pembayaran PPh badan; dan (iv) Apabila terdapat kerugian yang dikompensasikan di tahun tersebut, wajib pajak harus dapat mendukungnya dengan data dan alasan yang kuat. APA tidak berlaku lagi apabila : 1. Masa berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut; 2. Salah satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak.

BAB III KASUS

3.1. Kasus I PT. Laepondom saat ini memiliki dua profit center yaitu Divisi X dan Divisi Y. Divisi X memproduksi 1.000 unit kompenen komputer dan dijual ke divisi Y atau ke pasar eksternal, dengan harga pasar $ 100/unit. Biaya produk kompenen komputer yaitu biaya variabel $ 30, biaya tetap $ 50.000 .Biaya yang dapat dihindari (avoidable cost) jika produk Divisi X dijual ke Divisi Y dengan adanya biaya penjualan terdiri dari : diskon pe runit $ 6., biaya iklan $ 4 /unit dan biaya distribusi dan lainnya sebesar $ 2/unit. Produk Divisi X (kompenen komputer) masih dilakukan pengeloahan oleh Divisi Y menjadi (alat komputer tertentu) dengan biaya tambahan $ 120/unit. Produk dari Divisi Y (alat komputer tertentu) dapat dijual dengan harga $ 250/unit Dengan biaya pemasaran sebesar $ 40/unit. Asumsikan kompenen computer (Produk divisiX) dihasilkan 70% dijual kepada divisi Y sebagai bahan baku, dan sisanya dijual ke pasar/regular. Diminta : Hitunglah laba dari masing-masing divisi dari perusahaan ini, dengan harga transfer pasar (market Pricing yang dimodifikasi).

Pembahasan Divisi X Penjualan: 1.000x 30%x $ 200 = 60.000 56.400 116.400 Divisi Y

1.000x30% x($200-$12)= (harga transfer) $188 70%x 1.000x $ 250 Biaya Produksi: (1.000x $30)+ 50.000 Harga transfer 26.400+

--

175.000

(80.000)

Biaya tambahan(700 x $120) Biaya penjualan: 300 x $12 700 x $40 Laba kotor (36.000) --------. 400

(110.400)

(28.000) 37.000

3.2. Kasus II Perusahaan A berdomisili di Negara A dan mendirikan perusahaan B berdomisili di Negara B. Perusahaan B merupakan perusahaan yang dikategorikan sebagai tax haven country (tarif pajaknya rendah) misalnya sebesar 17,5%. Kemudian Perusahaan A ingin menjual barang ke perusahaan C yang berdomisili di Negara C. Fungsi perusahaan B adalah sebagai invoicing center atau tidak melakukan fungsi apapun. Skemanya adalah sebagai berikut :

Keterangan: A ke B berarti Menjual ke sesama perusahaan satu grup A ke C berarti Mengirim barang ke perusahaan lain B ke C berarti Menjual barang ke perusahaan lain

Laporan Keuangan Perusahaan A:

Laporan Keuangan Perusahaan B:

Laporan Laba Rugi Grup Perusahaan Setelah Melakukan Transfer Pricing:

Laporan Laba Rugi Grup Perusahaan:

Sebagai panduan bagi perusahaan multinasional dan otoritas pajak dalam masalah transfer pricing maka dibentuklah Organization for Economic Cooperation and Development (OECD Transfer Pricing Guidelines).

3.3. Kasus 3 PT ADARO INDONESIA (PT Adaro Energy Tbk) adalah perusahaan batubara kedua terbesar di Tanah Air yang memiliki produk andalan Enviro Coal, batubara berkalori rendah dan ramah lingkungan. Perusahaan yang punya cadangan batubara mencapai 928 juta ton dengan luas pertambangan 34.940 hektare ini sebelumnya dimiliki konglomerat Sukanto

Tanoto. Tapi, akibat dijaminkan ke Deutcshe Bank, perusahaan itu belakangan dibeli konsorsium pengusaha Indonesia dengan harga murah. Konsorsium itu, di antaranya Edwin Soryadjaya, Sandiaga S Uno, Teddy Rachmat, dan Boy Garibaldi Thohir yang kini jadi Dirut PT Adaro Indonesia.

PT Adaro Indonesia diduga telah melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer pricing. Sebab, Adaro telah melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli batubara secara tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran Internasional) kepada perusahaanya Coaltrade Services International Pte. Ltd asal Singapura.

Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade Services International Pte Ltd, sebuah perusahaan kertas (paper company) di Singapura. Perjanjian itu menyatakan bahwa Adaro menjual batubara per tahun dengan harga tertentu, di bawah harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu menjualnya dengan harga internasional. Yang dijual bukan sembarang batubara, melainkan batubara bermutu tinggi.

Pada tahun 2005, Adaro menjual batubara ke perusahaan Coaltrade dari Singapura sebesar US$26 per ton, sementara harga pasar US$48 per ton. Sedangkan pada 2006, Adaro menjual batubara ke Coaltrade US$29 per ton, sementara harga internasional mencapai US$40 per ton. Dengan volume penjualan 2005 mencapai 26 juta ton lebih dan 2006 mencapai 34 juta ton, terdapat selisih antara harga jual ke Coaltrade dan harga jual internasional masingmasing US$589,9 juta (Rp5,8 triliun dengan kurs rata-rata 2005 sebesar Rp9.800/US$) tahun 2005 dan US$363,1 juta (Rp3,3 triliun dengan kurs rata-rata 2006 Rp9.096/US$) tahun 2006.

Jika dihitung berdasarkan harga pasar, total pendapatan pada 2005 mestinya berjumlah US$ 1,287 miliar dan 2006 US$ 1,371 miliar. Berarti, ada selisih penjualan Adaro dengan penjualan berdasarkan harga pasar. Jika dirupiahkan mencapai Rp 9,121 triliun. Belum lagi kerugian negara dari potensi royalti 13,5% yang nilai berkisar Rp 1,231 triliun.

Akibat transfer pricing yang terjadi pada tahun 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang disembunyikan. Sehingga kerugian negara terkait pajak dan royalti

diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun. Royalti adalah nilai yang harus dibayar sesuai harga jual. Adanya dugaan transfer pricing yang memperkecil nilai jual mengakibatkan royalti yang harus dibayarkan otomatis juga turun.

Jika dilihat dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing itu telah menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku, karena secara substansi negara seharusnya dapat mempajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga dengan demikian perusahaan yang melakuhan hal tersebut akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39, bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dengan penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard, karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Selain tu, Pengadilan perpajakan dinilai menjadi solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus perpajakan, termasuk dugaan adanya transfer pricing-manipulasi pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan, juga kelompok usaha Asian Agri. Sebab masalah transfer pricing belum pernah diadili secara pidana, karena sebenarnya tujuan pajak itu bukan menghukum orang tapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi. Di dalam UndangUndang Perpajakan pasal 18 ayat 3 juga ditegaskan masalah perpajakan bukan masuk dalam ranah pidana.

Di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya.

Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha, seperti dalam penentuan : Harga penjualan,

Harga pembelian, Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost), Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (share holder loan), Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya, Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar, Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Selain kasus transfer pricing, Adaro pun terlilit gugatan pengalihan saham yang dijaminkan ke Deustche Bank untuk mendapatkan pinjaman US$ 100 juta. Berkaitan dengan itu, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral meminta direksi Adaro tidak melakukan pengalihan saham sampai gugatan tersebut selesai.Sebelumnya, kuasa hukum Beckkett Pte Ltd menuntut Bapepam-LK membatalkan penawaran umum saham perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk, holding PT Adaro Indonesia. Tim kuasa hukum Beckett berargumen, proses itu tidak layak karena kepemilikan saham PT Adaro Indonesia masih dipersengketakan. Karena itu, pantaslah jika Bapepam mengerem langkah Adaro untuk menjual sahamnya di lantai bursa. Sebab, jika dugaan itu terbukti dan Adaro harus membayar, para investorlah yang akan dirugikan.

BAB IV KESIMPULANTransfer pricing dapat terjadi baik antar wajib pajak dalam negeri maupun antara wajib pajak dalam negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di tax heaven countries. Terhadap transaksi antara wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa Undangundang Perpajakan Indonesia menganut asas material (suctance over form rule). Hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Kekurang wajaran tersebut dapat terjadi pada: Harga penjualan Harga pembelian Alokasi biaya administrasi dan umum Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham

DAFTAR PUSTAKADr. Oyok Abuyamin. 2010. Perpajakan Pusat & Daerah. Humaniora Erly Suandy. 2006. Perencanaan Pajak. Salemba Empat. Gunadi. 1994. Transfer Pricing : Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak. Jakarta: Bena Rena Pariwara. Gunadi. 1999. Pajak Internasional. Edisi Revisi. Jakarta: LPFEUI. Horngren, C.T. , & Foster, G. 1994. Cost Accounting : A Managerial Emphasis (6th Ed). (Penerjemah: Desi Andhariani). New Jersey: Prentice Hall International Inc. Zain, Mohammad. 2003. Manajemen Perpajakan. Edisi 1. Jakarta: Salemba Empat. www.google.com www.ortax.org www.wikipedia.org