Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

26
dr. Hawin Nurdiana KASUS Seorang anak pertama,laki-laki, dari pasutri umur 20 tahun, yang lahir dari riwayat selama dalam kandungan ibu terkena Rubella. Pada saat lahir tidak langsung menangis, cukup bulan, sempat mendapatkan fototerapi. Setelah lahir, pada saat usia 8 bulan belum bisa bolak-balik, tidak ada satu katapun yang terucap, datang ke tempat anda. Apa yang akan anda lakukan. Anda di tingkat pelayanan sekunder. Pada kasus diatas, kita ketahui usia pasien adalah 8 bulan, belum bisa bolak-balik dan tidak ada satupun kata yang terucap. Apabila melihat tahapan perkembangan anak menurut umur, pada Umur 6-9 bulan seharusnya anak sudah bisa: - Duduk (sikap tripoid-sendiri) - Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan. - Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang - Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya - Memungut 2 benda, masing-masing tangan pegang 1 benda pada saat yang bersamaan - Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup - Bersuara tanpa arti, mamama,bababa,dadada,tatatata - Mencari mainan/benda yang dijatuhkan - Bermain tepuk tangan/ciluk ba - Bergembira dengan melempar benda - Makan kue sendiri 1

description

dr. Hawin Nurdiana

Transcript of Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Page 1: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

dr. Hawin Nurdiana

KASUS

Seorang anak pertama,laki-laki, dari pasutri umur 20 tahun, yang lahir dari riwayat selama dalam

kandungan ibu terkena Rubella. Pada saat lahir tidak langsung menangis, cukup bulan, sempat

mendapatkan fototerapi. Setelah lahir, pada saat usia 8 bulan belum bisa bolak-balik, tidak ada

satu katapun yang terucap, datang ke tempat anda. Apa yang akan anda lakukan. Anda di tingkat

pelayanan sekunder.

Pada kasus diatas, kita ketahui usia pasien adalah 8 bulan, belum bisa bolak-balik dan tidak ada

satupun kata yang terucap. Apabila melihat tahapan perkembangan anak menurut umur, pada Umur 6-9

bulan seharusnya anak sudah bisa:

- Duduk (sikap tripoid-sendiri)

- Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan.

- Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang

- Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya

- Memungut 2 benda, masing-masing tangan pegang 1 benda pada saat yang bersamaan

- Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup

- Bersuara tanpa arti, mamama,bababa,dadada,tatatata

- Mencari mainan/benda yang dijatuhkan

- Bermain tepuk tangan/ciluk ba

- Bergembira dengan melempar benda

- Makan kue sendiri

Sehingga pada anak ini mengalami gangguan perkembangan yang bias disebabkan oleh bermacam-

macam factor. Dari anamnesis diketahui bahwa anak laki-laki ini adalah anak pertama, dengan riwayat selama

kehamilan ibu menderita Rubella. Pada saat lahir tidak langsung menangis, cukup bulan, sempat

mendapatkan fototerapi.

Dari data ini bisa dipikirkan bahwa bayi ada kemungkinan menderita Rubella congenital,

mengalami asfiksia saat lahir dan mengalami hiperbilirubinemia. Untuk menetahui

1

Page 2: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

penatalaksanaan yang tepat dilakukan pada pasien ini, mari kita tinjau pengaruh Rubella

kongenital,asfiksia dan hiperbilirubinemia pada proses tumbuh kembang.

TUMBUH KEMBANG

Tumbuh kembang anak mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda, namun saling

berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.Pertumbuhan berkaitan dengan masalah

perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan

ukuran berat(gram, pon, kilogram), ukuran panjang (cm, m), umur tulang dan keseimbangan

metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh).Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai

hasildari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,

jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-

masing dapat memenuhi fungsinya, termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai

hasil interaksi dengan lingkungannya

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang, yaitu:

1. Faktor Genetik. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses

tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah

dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan

kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur dan berhentinya

pertumbuhan tulang. Yang termasuk factor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan

patologik, jenis kelamin, serta suku bangsa.

2. Faktor Lingkungan. Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau

tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,

sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan merupakan lingkungan bio-psiko-sosial yang

mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Faktor lingkungan

secara garis besar dibagi atas faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih

didalam kandungan (faktor pranatal) dan faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh

kembang anak setelah lahir (faktor postnatal ). Terdiri atas mikro, mini, mesodan makro. Mikro

merupakan unit terkecil yang terdekat dengan anak, contoh: ibu,pengasuh. Mini merupakan unit

yang lebih besar dari mikro, mencakup keluarga inti,contoh: bapak, saudara, suasana rumah. Meso

2

Page 3: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

merupakan unit yang lebih besar dari mini, mencakup situasi lingkungan di sekitar rumah, contoh:

sarana bermain, sarana pelayanan kesehatan, pendidikan, sekolah. Makro merupakan unit yang

lebih besardari meso, mencakup situasi lingkungan suatu negara, contoh: kebijakan pemerintah, stabilitas

nasional.

Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi

sampai lahir, antara lain: gizi ibu waktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia,endokrin, radiasi, infeksi ,stres

imunitas, anoksia embrio.

Faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang secara umum dapat digolongkan

menjadi:

1. Lingkungan biologis, antara lain: ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan

kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme dan hormon.

2. Faktor fisik, antara lain: cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah: sanitasi,keadaan rumah,

struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan hunian, radiasi.

3. Faktor psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, ganjaran ataupun hukuman yang

wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitasi nteraksi anak-orang tua.

4. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain: pekerjaan/pendapatan keluarga,pendidikan

ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumahtangga, kepribadian

ayah/ibu, adat-istiadat/norma-norma, agama, urbanisasi,kehidupan politik dalam masyarakat yang

mempengaruhi prioritas kepentingan anak,anggaran,dll.

3

Page 4: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Stimulasi yang harus dilakukan pada anak umur 6-9 bulan adalah:

4

Page 5: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Deteksi gangguan /penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan

Deteksi dini tumbuh kembang adalah kegiatan atau pemeriksaan untuk menemukan

secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang agar lebih mudah dilakukan penanganan

selanjutnya dan diintervensi. Bila penyimpangan terlambat maka intervensinya akan lebih

sulit.

Parameter pertumbuhan dari hasil pemeriksaan antopometri dapat memberikan gambaran

bagaimana pertumbuhan seorang anak terjadi, apakah normal atau menyimpang.Beberapa hal

yang berhubungan dengan parameter pertumbuhan adalah sebagai berikut:BB, Tinggi/panjang

Badan,Lingkar kepala.

5

Page 6: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Alat untuk deteksi dini gangguan pertumbuhan berupa beberapa kurva atau penilaian

terhadap arah garis pertumbuhan berdasarkan pengeplotan pada kurva baku dari beberapa

pengukuran antropometri yang telah dilakukan. Dari penilaian ini kita bisa tahu apakah ada

gangguan pada pertumbuhan anak misalnya:

- Perawakan pendek

- Makrosefal/mikrosefal

- Berat badan terhadap umur yang tidak naik (growth faltering, flat growth, loss of growth)

Sedangkan aspek-aspek perkembangan yang dipantau :

1. Gerak kasar atau motorik kasar : aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak

melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk,

berdiri dsb.

2. Gerak halus atau motorik halus : aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak

melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-

otot kecil, tetapi memerlukan kooedinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit,

menulis dsb.

3. Kemampuan bicara dan bahasa : aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk

memberikan respon terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah dan

sebagainya.

4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri

anak ( makan sendiri, membereskan mainan selesai bermain), berpisah dengan ibu atau

pengasuh, bersosialisasi dgn lingkungannya, dsb.

Sekarang marilah kita lihat factor-faktor yang ada pada anak tersebut yang mempengaruhi proses

tumbuh kembangnya:

Penelitian Campbell mendapatkan faktor risiko keterlambatan bicara pada anak di bawah

umur tiga tahun adalah laki-laki, memiliki riwayat keluarga menderita terlambat bicara pada

masa kanak-kanak, pendidikan ibu kurang dan status social ekonomi yang kurang. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Sidiarto L (2002) yang menyatakan bahwa rasio laki-laki dibandingkan

perempuan mencapai 8 : 1.

6

Page 7: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Secara teori dikatakan proses lateralisasi antara anak laki-laki dan anak perempuan

adalah berbeda. Pada anak perempuan, umumnya proses lateralisasi lebih mudah dibandingkan

anak laki-laki, sehingga proses maturasi lebih cepat. Hal ini sesuai teori Geschwind dan

Galaburda yang menyebutkan bahwa level tinggi dari testosteron pada masa prenatal

memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri. Sebaliknya, memberikan perkembangan

yang relatif lebih baik di hemisfer kanan. Karena laki-laki biasa terpapar testosteron level tinggi

selama perkembangan prenatal ( yang didapat sebagian besar dari testis dan sejumlah kecil dari

ibu), sehingga teori ini dapat diaplikasikan secara umum untuk perbedaan organisasi otak

yang menyeluruh antara laki-laki dan wanita.

RUBELLA

Bila infeksi virus terjadi pada kehamilan sekitar 12 minggu (umur kehamilan 3

bulan,maka pada bayi yang lahir timbul berbagai cacat Sindroma Rubella Kongenital (SRK),

dalam berbagai bentuk sebagai berikut:

- Pertumbuhan janin dalam rahim terhambat hingga bayi lahir dengan berat badan kurang.

- Cacat menetap pada penglihatan dan pendengaran (buta dan tuli)

- Kelainan jantung, biasanya Ventrikular Septal Defect(VSD), Persistent Ductus Arteriosus

(PDA)

- Kelainan pada mata,biasanya kornea keruh, katarak atau retinitis.

- Kelainan pada telinga tengah biasanya bilateral pada organ cochlea dan organ corti.

- Kelainan darah berupa trombositopeni dan limfositopeni

- Kelainan susunan saraf pusat berupa chronic persisten encephalitis hingga mental

retardation.

- Kelainan pada system kekebalan tubuh berupa cell mediated imuno disorder yang terlihat

secara serologis IgM Rubella tinggi disertai IgG Rubella darah ibu juga tinggi.

- Kelainan pada sistem pencernaan berupa peradangan pancreas dan peradangan hati dan

berbagai gejala malabsorbtion syndrome.

- Kelainan tulang, berupa peradangan pada ujung tulang.

- Kelainan yang sering: Tuli telinga tengah, katarak, bola mata kecil,retinopati,

glaucoma,kelainan jantung dan mental retardation.

7

Page 8: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Bila ibu hamil terinfeksi virus padaumur kehamilan 4 bulan, resiko bayi lahir dengan

SRK hanya 10% dan itupun hanya kelainan jantung. Bila infeksi virus yang terjadi pada umur

kehamilan 5 bulan atau > 5 bulan, resiko bayi lahir dengan SRK semakin kecil, kalaupun ada

biasanya tuli telinga tengah. Untuk infeksi virus pada umur kehamilan diatas 20 minggu atau

lebih dari 5 bulan, resiko SRK boleh dikatakan sudah tidak ada, karena proses pembentukan

organ-organ janin sudah lengkap.

Untuk memastikan janin terinfeksi atau tidak, harus dilakukan pendeteksian virus Rubella

dengan bahan pemeriksaan yang diambil dari air ketuban atau darah janin. Pengambilan sampel

air ketuban atau pun darah janin harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan, dan

hanya dapat dilakukan setelah usia kehamilan di atas 22 minggu.(RSI Jakarta)

Kelainan-kelainan SRK pada bayi, bisa hanya salah satu yang disebut diatas, tetapi

mungkin saja dalam berbagai bentuk SRK. SRK dapat saja terjadi pada bayi meskipun ibu

terinfeksi virus Rubella dengan gejala klinis minimal, ataupun tanpa gejala klinis.

Lebih dari 50% kasus infeksi rubella pada Ibu hamil bersifat subklinis atau tanpa gejala

sehingga sering tidak disadari. Karena dapat berdampak negatif bagi janin yang dikandungnya

maka deteksi infeksi Rubella pada ibu hamil yang belum memiliki kekebalan menjadi sangat

penting. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi Rubella yang lazim dilakukan

adalah pemeriksaan anti Rubella IgM dan anti Rubella IgG pada contoh darah dari ibu hamil.

PENCEGAHAN

Memberikan Vaksinasi Rubella sekali pada saat wanita sebelum memasuki pernikahan

yang disebut Wanita Usia Subur (WUS) yang berusia 14-45 tahu, yang bias dijaring dari siswa

SMP, SMU, dan mahasiswabaru masuk universitas.

ASFIKSIA NEONATORUM

Eldestein menyimpulkan gangguan perkembangan bahasa dapat terjadi sebagai akibat

jangka panjang dari ensefalopati perinatal. Sedangkan ensefalopati perinatal disebabkan karena

8

Page 9: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

hipoksia intrauterin dan antenatal yaitu ibu hamil yang menderita hipertensi, anemia, insufisiensi

plasenta, perdarahan antepartum, persalinan dengan alat bantu dan asfiksia.

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera atau

beberapa saat sesudah lahir. Keadaan ini akan selalu diikuti dengan hipoksemia, hiperkarbia dan

asidosis. Asfiksia dapat terjadi selama periode intrauterin atau antepartum, durante partum

maupun postpartum. Bila janin mengalami asfiksia intrauterin berarti ia mengalami keadaan

gawat janin atau “fetal distress”. Secara klinis didapatkan : bayi tidak bernapas atau napas

“megap-megap” (gasping), denyut jantung < 100 x/menit, kulit sianosis. Dampak Asfiksia berat

pada organ adalah sebagai akibat dari vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke

organ yang kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot dan kulit agar penggunaan oksigen

berkurang. Aliran darah ke organ vital seperti otak, jantung meningkat. Pada hipoksia ringan,

detak jantung meningkat, meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi

otak, meningkatkan tekanan vena sentral dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan

hipoksia berat dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah jantung menurun dan

menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya

cadangan energi.

Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya

jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis sistemik, asam laktat akan

dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi. Hipoksia akan

mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun

sehingga menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang.

Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya

asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi serebrovaskuler dan

menurunnya fungsi jantung menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada

setiap jaringan. Cadangan glukosa dan energi berkurang dan timbunan asam laktat meningkat.

Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan adanya

kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi

dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, ion pump terganggu sehingga terjadi

penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat, dan aspartate ekstraseluler

9

Page 10: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang mengalami asfiksia sekarang

masih dalam penelitian. Teori yang dianut kematian sel otak melalui proses apoptotis dan

nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi dan stadium perkembangan

parensim otak yang cedera. Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik

ditandai sekelompok sel neuron edema, disintegrasi membran, pecahnya sel, isi sel tumpah ke

rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan fagositosis. Apoptosis terjadi pada

sel individu, sel mengerut, kromatin piknotik, membran sel membentuk gelembunggelembung

(“blebbing”), inti sel berfragmentasi dan sel terbelah dengan masing-masing pecahan (yang

mengandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus membran sel yang utuh, ini disebut

“apoptotic bodies”. Apoptotic bodies ini kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag

ataupun sel sekitarnya. Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately

cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel apoptotik

terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang immature.

Keadaan hipoksia, hiperkapnea dan asidosis yang terjadi akibat asfiksia dapat

menimbulkan kerusakan neuron akibat cedera otak iskemik. Jika bertahan hidup akan

menimbulkan gangguan perkembangan neurologis berupa ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI).

Kelainan neurologis yang dapat ditimbulkan akibat EHI antara lain : gangguan intelegensia,

kejang, gangguan perkembangan psikomotor dan kelainan motorik.

HIPERBILIRUBINEMIA

Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar Bilirubin total serum >5 mg/dL (86

µmol/L). Di beberapa institusi bayi dinyatakan menderitahiperbilirubinemia apabila kadar

bilirubin total mencapai .12 mg/dL pada bayi aterm, sedangkan pada bayi preterm bila

kadarnya .10 mg/dL.Hiperbilirubinemia tampak secara klinis sebagai ikterus yang merupakan

gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk

akhir pemecahan atau katabolisme heme yaitu bilirubin. Beberapa ahli menyebutkan bahwa

ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin >5 mg/dL. Tanpa memandang etiologi fisiologis

atau patologisnya, peningkatan kadar bilirubin indirek (unconjugated) membuat bayi berisiko

mengalami ensefalopati bilirubin atau kern-ikterus, yang merupakan salah satu penyebab

kerusakan otak pada masa bayi. Terdapat bukti-bukti bahwa peningkatan kadar bilirubin yang

10

Page 11: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

moderatsekalipun tetap akan membuat bayi berisiko mengalami kelainan-kelainan kognitif,

persepsi, motorik dan auditorik. Penelitian-penelitian prospektif terkontrol telah mengungkapkan

adanya gangguan neurologis dan kognitif pada anak-anak yang mengalami peningkatan kadar

bilirubin indirek pada masa bayinya. Penelitian-penelitian statistikal yang luas pada bayi-bayi

aterm yangsehat, seperti yang dilaporkan the National Collaborative Perinatal Project, telah

mendeteksi adanya hubungan antara hiperbilirubinemia dalam kadar yang ’rendah’ yang

biasanya tidak diterapi dengan sequele neurologis dan motorik yang ringan. Penelitian-penelitian

klinis dan patologis yang lebih baru lagi telah membuktikan bahwa kadar bilirubin yang dahulu

dianggap aman ternyata membahayakan. Literatur terbaru menyatakan bahwa hiperbilirubinemia

derajat

sedang pada neonatus aterm yang sehat mungkin tidak aman untuk otaknya. Bilirubin dapat

masuk ke otak bila ia tidak terikat dengan albumin atau tidak terkonjugasi atau ’bebas’ (Bf) atau

bila ada kerusakan pada sawar darah otak. Bilirubin dibentuk dari hemoglobin sekitar 75%-nya

dari hemolisis dan 25% dari eritropoiesis yang inefektif. Bilirubin mempengaruhi fungsi

mitokhondria dengan menghambat kerja enzim-enzim mitokondria, mengganggu sintesis

Deoxyribonucleid acid (DNA), menginduksi pemecahan DNA, menghambat sintesis protein,

memecah fosforilasi oksidatif dan menginhibisi uptake tyrosine (suatu ’marker’ untuktransmisi

sinaptik). Bilirubin memiliki afinitas terhadap fosfolipid yang membentuk presipitat yang

melekat pada membran sel otak. Mekanisme toksisitas bilirubin telah disimpulkan dari

penelitian-penelitian yang telah menggunakan konsentrasi bilirubin yang relevan secara

patofisiologis, yaitu kadar bilirubin tak terkonjugasi yang diperkirakan akan dijumpai pada

system saraf pusat bayi-bayi dengan hiperbilirubinemia. Dari beberapa penelitian dibuktikan

bahwa model toksisitas neuronal selektif terjadi menyerupai kejadian iskemia otak. Homeostasis

ion kalsium (Ca2+) adalah mekanisme dasar utama yang menyebabkan kematian sel neuron dan

peningkatan eksitabilitas neuron. Banyak neuron menggunakan proteinprotein pembuffer ion

kalsium untuk mempertahankan kadar kalsium intrasel yang rendah. Dari percobaan-percobaan

terhadap tikus-tikus Gunn ikterik, ditunjukkan bahwa terdapat keterlambatan aktivitas dari ion

kalsium dan ’Calmodulin dependent protein kinase II’ (CaM kinase II), yang merupakan bahan

yang dibutuhkan oleh protein kinase sel dalam proses fosforilasi. Secara invitro didapatkan

bahwa bilirubin menghambat aktivitas CaM kinase II, yang dianggap berhubungan dengan

berbagai fungsi neuron penting, seperti : penglepasan neurotransmitter, perubahan konduktansi

11

Page 12: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

ion yang diatur oleh kalsium dan juga dinamika neuroskeletal. Didalam otak kerentanan terhadap

efek neurotoksik bilirubin bervariasi menurut tipe sel, kematangan otak dan metabolisme otak.

Kondisi-kondisi yang mempengaruhi sawar darah otak seperti : infeksi/sepsis, asidosis, hipoksia,

hipoglikemia, trauma kepala dan prematuritas dapat mempengaruhi masuknya bilirubin ke dalam

otak, sehingga menimbulkan kerusakan neuron.

Namun menurut Chen (1995), bayi hiperbilirubinemia dengan hasil kadar bilirubin total serum

tertinggi 10-20 mg/dl, memperlihatkan hasil DDST yang masih dalam batas normal, sedangkan

pada kadar > 20 mg/dl, didapatkan 22 % mengalami gangguan pada sektor motorik kasar dan

motorik halus.70 Newman dan Klebanoff mendapatkan adanya hubungan yang signifikan antara

kadar bilirubin total serum neonatal .20 mg/dl dengan hasil pemeriksaan neurologis yang

abnormal, namun tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan pemeriksaan neurologis

yang abnormal pada usia 7 tahun. Dampak dari toksisitas bilirubin baik jangka pendek maupun

jangka panjang sangat tergantung dari : lamanya paparan bilirubin pada neuron yang menentukan

tejadinya nekrosis neuron, lokasi kerusakan, besarnya gangguan metabolisme yang terjadi,

kecepatan penanganan, serta faktor-faktor lingkungan baik biologis, fisik dan psikososial.

Dampak kerusakan neuron juga dapat dikurangi dengan adanya teori plastisitas otak yang sangat

berhubungan dengan perkembangan otak bayi dan anak, yaitu kemampuan susunan saraf untuk

menyesuaikan diri terhadap perubahan atau kerusakan yang terjadi termasuk akibat toksisitas

bilirubin. Alasan mengapa hiperbilirubinemia tidak menjadi faktor risiko yang signifikan

terhadap disfasia perkembangan mungkin disebabkan karena : jalur kerusakan otak akibat

hiperbilirubinemia secara tidak langsung mengenai system auditori, sedangkan pada penelitian

ini, gangguan auditori sudah dilakukan penapisan dengan menggunakan BERA. Kemungkinan

yang lain adalah factor kecepatan penanganan pada bayi dengan hiperbilirubinemia yaitu dengan

fototerapi intensif.

Bila gangguan bicara dan bahasa tidak diterapi dengan tepat, akan terjadi gangguan

kemampuan membaca, kemampuan verbal, perilaku, penyesuaian psikososial dan kemampuan

akademis yang buruk. Anak yang mengalami kelainan berbahasa pada masa pra-sekolah, 40%

hingga 60% akan mengalami kesulitan dalam bahasa tulisan dan mata pelajaran akademik .

Sidiarto L (2002) menyebutkan bahwa anak yang dirujuk dengan kesulitan belajar spesifik, lebih

dari 60% mempunyai riwayat keterlambatan bicara. Sedangkan Rice (2002) menyebutkan,

12

Page 13: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

apabila disfasia perkembangan tidak diatasi sejak dini, 40% - 75% anak akan mengalami

kesulitan untuk membaca. Itulah sebabnya pencegahan dan deteksi dini gangguan perkembangan

berbahasa pada anak sangat penting. Maka yang harus kita lakukan pada kasus diatas adalah:

I. Anamnesis

Anamnesis harus diarahkan pada usaha mencari data dasar anak dan keluarga (pedigree),

profil gangguan bahasa pada anak dan keluarga, riwayat kehamilan dan persalinan ibu dan

riwayat perkembangan anak. Disfasia perkembangan pada masa kanak-kanak dapat terlihat

sebagai keluhan langsung perkembangan bicara. Dokter anak mempunyai patokan normatif ,

yaitu : bila anak yang sudah berumur 3 tahun tidak bisa mengucapkan 3 kata, maka harus

dipikirkan kemungkinan perkembangan disfatik dan ada alasan untuk segera dirujuk. Secara

tidak langsung disfasia perkembangan dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut :

- Problem perilaku, yaitu perilaku hiperkinetik dan sering disertai agresifitas

- Problem dalam pergaulan sosial, misalnya tidak bisa mengekspresikan diri, tidak bisa ikut

bermain dalam permainan kelompok atau tidak bisa ikut dalam diskusi / obrolan dalam

kelompok, sering ditertawakan teman-temannya.

- Pada umur sekolah sering ditemukan problem membaca dan mengeja.

Pada umumnya pada anak yang lebih besar dengan disfasia perkembangan, yang menonjol

adalah anak itu mempunyai problem dalam dialog, sering menjawab dengan “ya” atau “tidak”

atau dengan kalimat pendek pendek. Bercerita spontan kelihatannya lebih mudah meski ceritanya

kacau. Kadang-kadang ceritanya dapat dimengerti, tetapi banyak kesalahan pada susunan

kalimatnya (urutan kata, arti, pemakaian kata sandang). Sebagian besar mempunyai problem

penemuan kata yang menyebabkan waktu berbicara tersendat-sendat, kata-kata yang seharusnya

digunakan diganti dengan kata yang mirip. Banyak juga di antara anak disfasia perkembangan

mempunyai problem mencatatkan sesuatu sehingga perintah-perintah, nama-nama, nomor telpon

serta daftar-daftar angka perkalian di sekolah tidak bisa diingat dengan baik.

II. Pemeriksaan fisik dan neurologi

Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologik

lengkap, fungsi pendengaran dan fungsi penglihatan. Pemeriksaan neurologis lengkap meliputi

13

Page 14: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

pemeriksaan neurologis anak, neurologis minor seperti adanya hemisindrom dan fungsi luhur

(atensi, fungsi bahasa, memori, kognisi, visuospasial dan praksis). Pada sebagian besar kasus

tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan neurologi klasik. Namun pada pemeriksaan

Neurologi khusus sering didapatkan tanda-tanda neurologi minor atau samar (soft neurologic

sign). Sepintas tanda ini tidak begitu jelas atau kalau dijumpai sering menimbulkan keraguan

apakah tanda ini merupakan suatu gambaran disfungsi atau variasi normal. Berbeda dengan hard

sign yang menunjukkan kelainan di bagian tertentu sistem saraf, seperti adanya refleks patologis,

meningkatnya refleks fisiologis dan spastisitas yang mencerminkan disfungsi traktus piramidalis.

III.Pemeriksaan dengan instrumen penyaring

Untuk menilai gangguan perkembangan bicara dikenal beberapa instrumen penyaring.

Instrumen penyaring yang digunakan pada penelitian ini adalah Denver Developmental

Screening Test (Denver II) dan Early Language Milestone Scale / ELMS-2 (Coplan dan

Gleason). Uji skrining perkembangan Denver II sering digunakan karena mempunyai rentang

usia yang cukup lebar (mulai bayi lahir sampai usia 6 tahun). Penilaiannya mencakup semua

aspek perkembangan baik aspek personal sosial, bicara, motorik halus dan motorik kasar( Sesuai

dengan kasus diatas yang juga mengalami gangguan motorik). Waktu yang digunakan sekitar 30-

45 menit. Kesimpulan hasil skrining Denver II hanya menyatakan bahwa balita tersebut normal

atau dicurigai memiliki gangguan tumbuh kembang pada salah satu atau banyak aspek. Tes

Denver II gagal mendiagnosis lebih dari setengah anak dengan gangguan bahasa ekspresif

(Borowitz, 1986), sehingga kurang dapat mengidentifikasi anak dengan keterlambatan bicara.

ELMS cukup sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari

3 tahun. Tes ini menitikberatkan pada bahasa ekspresif, reseptif dan penglihatan, terutama

mengandalkan laporan orang tua dengan sedikit tes untuk anak bila diperlukan. Pelaksanaannya

dapat dilakukan di tempat praktek dan hanya memerlukan waktu beberapa menit . Pemeriksaan

ELMS-2 dapat membedakan keterlambatan bicara akibat gangguan pendengaran, retardasi

mental atau autisme. Pada gangguan pendengaran terdapat hasil ELMS- 2 abnormal pada

auditory expressive dan auditory reseptif, sedangkan pada retardasi mental dan autisme selain

terjadi abnormalitas pada keduanya, juga terjadi abnormalitas pada visual. Coplan dkk telah

menguji sensitifitas dan spesifisitas ELMS dengan hasil cukup baik yaitu 97 % dan 93 %.

ELMS-2 dapat digunakan sebagai uji tapis kelompok risiko rendah maupun risiko tinggi,

kelompok dengan cacat fisik, serta dapat pula mendeteksi keterlambatan bicara akibat gangguan

14

Page 15: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

pendengaran. ELMS juga dapat diterapkan pada seluruh status sosial pada masyarakat dan pada

semua tingkat pendidikan orang tua.

IV. Pemeriksaan penunjang

Seperti kelainan disfungsi minimal otak umumnya, jarang sekali digunakan pemeriksaan

tambahan seperti foto rontgen, Elektroensefalografi (EEG) dan CT scan.13 Pemeriksaan anak

dengan disfasia perkembangan dilakukan untuk menyingkirkan penyebab gangguan bicara-

bahasa lainnya seperti gangguan pendengaran, retardasi mental dan autisme. Untuk

menyingkirkan adanya gangguan pendengaran perlu dilakukan pemeriksaan otologis dan

audiometris.17 Pada anak pemeriksaan otologis dapat dilakukan oleh bagian Telinga Hidung

Tenggorokan ataupun dengan test Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Tes BERA

dapat digunakan sebagai deteksi dini gangguan pendengaran karena dapat dipergunakan pada

segala usia, tidak tergantung pada kondisi anak sedang tidur atau bangun dan merupakan alat

deteksi yang efektif untuk mengukur abnormalitas telinga bagian tengah dan dalam, BERA

menggunakan ”click stimulus” untuk menggambarkan respon elektrik dari batang otak dengan

pengukuran melalui elektrode permukaan. Sensitivitas dari BERA dilaporkan sebesar 100% dan

spesifitas 97- 98%.Apabila alat ini tidak dimiliki oleh tingkat pelayanan sekunder, maka pasien

harus dirujuk.

V. Edukasi

a) Keluarga harus memperhatikan tingkat perkembangan & bahasa,kekuatan &

kebutuhan anak tersebut.

b) Datang untu Evaluasi menyeluruh sebaiknya dilakukan setidaknya 1 kali setahun

c) Vaksin MMR harus tetap diberikan ketika umur 15 bulan meskipun ada riwayat

infeksi rubella.Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya

telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

15

Page 16: Pediatri Sosial Dr Hawin Nurdiana

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Bina Kesehatan Anak. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;2006.

2. Beers N. Developmental screening tools. Pediatrics 2005;118(1):410-33. Fadlyana E. Buku Pelatihan Denver II. Unit Kelompok Kerja (UKK) Tumbuh

Kembang-Pediatri Sosial IDAI. Jakarta.4. Hidajati Z. Faktor Resiko Disfasia Perkembangan Pada Anak.Thesis. 2009

16