pbl s3 sle

download pbl s3 sle

of 14

description

pbl s3 sle

Transcript of pbl s3 sle

1. Mengetahui dan Menjelaskan Penyakit Autoimun1.1. DefinisiAutoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Secara normal sel T yang belum matang dapat ditemukan dimanapun dan akan mengalami delesi klonal di timus, sedangkan sel T yang matang berada dalam keadaan inaktif klonal (anergi) hal ini dikarenakan sel di jaringan tidak memberikan sinyal kostimulasi. Sel T spesifik autoantigen, pada keadaan tertentu tidak teraktivasi, meskipun dapat mengenali antigen (immunological ignorance). Penyakit autoimun adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis akibat respon autoimun. Perbedaan tersebut penting diketahui, karena respon imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau berupa penyakit yang dicetuskan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).1.2. EtiologiPenyebab dari autoimun tidak sepenuhnya jelas, tetapi pembentukan autoantibodi dan aktivasi sel T didasarkan oleh mekanisme yang sama dengan yang berkerja pada reaksi imun terhadap benda asingAdapun penyebab penyakit autoimun diantaranya :

A. Predisposisi genetikGenetik memegang peranan penting untuk penyakit autoimun. Peranan gen suseptibilitas. Meskipun penyakit autoimun yang multipel sangat berkaitan dengan alel HLA yang spesifik tetapi ekspresi molekul HLA tertentu tidak dengan sendirinya menjadi penyebab autoimunitas. Defek pada jalur yang secara normal akan mengatur toleransi sentral atau perifer juga ikut terlibat; jadi, defek pada jalur faal-faal atau molekul meolekul lain yang terlibat dalam proses kematian yang ditimbulkan oleh aktivasi dapat mencegah apoptosis sel T autoreaktif. Perkembangan sel T regulator yang cacat atau ekspresi antigen sendiri yang cacat oleh epitelium kelenjar timus juga merupakan jalur yang dapat dipintas toleransi. Sebagian besar penyakit autoimun pada manusia memiliki pola suseptibilitas/kerentanan yang kompleks,multigenik dan tidak dapat dikaitkan hanya dengan mutasi gen yang tunggal.

B. Pengaruh hormonStudi epidemiologi menemukan bahwa wanita lebih cenderung menderita penyakit autoimun dibandingkan pria. Wanita pada umumnya juga memproduksi lebih banyak antibody dibanding pria yang biasanya merupakan respon proinflamasi Th1. Kehamilan sering disertai dengan memburuknya penyakit terutama artritis rheumatik dan relaps sering terjadi setelah melahirkan. Pengangkatan ovarium mencegah awitan autoimunitas spontan pada hewan (terutama SLE) dan pemberian estrogen mempercepat awitan penyakit. Hormon hipofise,prolaktin menunjukkan efek stimulator terutama terhdap sel T. Kadar prolaktin yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan berhubungan dengan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun seperti Rheumatoid Arthritis.C.InfeksiInfeksi sebagai penyebab autoimun sangat banyak diketahui, namun proses secara pasti masih belum diketahui. Pembahasan untuk infeksi sebagai penyebab autoimun akan dibahaspada bab khusus pada referat ini.

D.ObatBanyak obat berhubungan dengan efek samping berupa idiosinkrasi dan patogenesisnya terjadi melalui komponen autoimun. Konsep autoimun melibatkan 2 komponen yaitu respon imun tubuh berupa respon autoagresif dan antigen. Hal yang akhir sulit untuk dibuktikan pada banyak autoimunitas oleh obat. Contoh-contoh sindrom autoimun yang diduga ditimbulkan obat terlihat pada. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.

E.Radiasi UVPajanan dengan radiasi ultraviolet (biasanya sinar matahari) diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit dan kadang pemicu SLE. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi strukturradikal bebas self antigen yang meningkatkan imunogenitas.

F.Oksigen radikal bebasBentuk lain dari kerusakan fisik dapat mengubah imunogenitas self antigen terutama kerusakan self molekul oleh radikal bebas oksigen yang menimbulkan sebagian proses inflamasi. Pemicu lainnya adalah stres psikologi dan faktor makanan.

G.LogamBerbagai logam seperti Zn, Cu, Cr, Pb, Cd, Pt, Perak dan metaloid (silikon) diduga dapat menimbulkan efek terhadap sistem imun, baik in vitro maupun in vivo dan kadang serupa autoimmunitas. Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah reaksi terhadap silikon. Silikon adalah kristal non metal, elemen ringan dan bentuk dioksidnya disebut silika. Pajanan inhalasi debu silikon yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang disebut silikosis. Respon imun yang terjadi dapat berupa produksi ANA, RF dan beberapa karyawan menunjukkan gejala serupa skleroderma dengan endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis lokal. Penderita dengan silikosis menunjukkan kadar antibody terhadap kolagen tipe I dan III. Bentuk fulminan silikosis dikenal sebagai silikoproteinosis ditandai oleh peningkatan ANA dan glomerulonefritis kresentik yang progrsif cepat. Meskipun banyak dugaan keterlibatan logam dalam autoimunitas , namun masih banyak penelitian yang harus dilakukan terhadap keterlibatan logam dalam autoimunitas. Pada hewan dilaporkan : Litium menimbulkan penyakit tiroid autoimun; merkuri menimbulkan penyakit ginjal autoimun, artritis dan vaskulitis.

H.Kesalahan pengaturan sistem imunT -helper yang mengendalikan imunitas seluler maupun humoral, sehingga toleransi T-helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit autoimun. Ada lebih dari satu jalur yang memungkinkan toleransi dapat dipintas dan semua jalur tersebut meliputi kombinasi gen suseptibilitas serta adanya pemicu dari lingkungan (khususnya infeksi).

Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal : Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari demam rheumatik). Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan.Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. Faktor hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita.

1.3. PatogenesisPenyakit ini ditandai oleh adanya antibodi terhadap jaringan tubuh sendiri (autoantibodi). Reaksi imunologi melibatkan system imun seluler dan humoral, ditandai dengan adanya hipergammaglobulinemia dan autoantibodi di sirkulasi. Kelenjar eksokrin dipenuhi dengan infiltrasi dominan limfosit T dan B, terutama daerah sekitar saluran dan kelenjar atau duktus. Limfosit T yakni sel T CD4+. Sel-sel ini memproduksi interleukin IL-2, IL4, IL-1a, dan TNF-a. Sitokin merubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan protein dan merangsang apoptosis sel epitel kelenjar. Infiltrasi limfosit yang mengganti sel epitel kelenjar eksokrin menyebabkan menurunnya fungsi kelenjar sehingga menimbukan gejala klinik. Pada kelenjar liur menyebabkan keluhan mulut kering. Peradangan kelenjar pada kelenjar eksokrin dijumpai pembesaran kelenjar. Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis berperan terhadap patogenesis sehingga system imun teraktivasi.

Faktor yang Berperan pada Automunitas1. Infeksi dan Kemiripan MolekularBanyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri. Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis.

2. Sequestered AntigenSequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada sperma.3. Kegagalan AutoregulasiRegulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respon terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.4. Aktivasi Sel B PoliklonalAutoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibodi.5. Obat-obatanAntigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.6. Faktor KeturunanPenyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.

1.4. Jenis-Jenis PenyakitBeberapa Gangguan Autoimun

GangguanJaringan yang terkenaKonsekwensi

Anemia hemolitik autoimunSel darah merahAnemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar. Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.

Bullous pemphigoidKulitLepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit. Gatal biasa. Dengan pengobatan, prognosis baik.

Sindrom GoodpastureParu-paru dan ginjalGejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang. Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.

Penyakit GravesKelenjar thyroidKelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid (hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasan. Dengan pengobatan, prognosis baik.

Thyroiditis HashimotoKelenjar thyroidKelenjar gondok meradang dan rusak,menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.

Multiple sclerosisOtak dan spinal cordSeluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-ubah.

Myasthenia gravisKoneksi antara saraf dan otot (neuromuscular junction)Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas. Obat biasanya bisa mengontrol gejala.

PemphigusKulitLepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa mengancam hidup.

Pernicious anemiaSel tertentu di sepanjang perutKerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi. Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan hajat. Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.

Rheumatoid arthritisSendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantungBanyak gejala mungkin terjadi. termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi

Systemic lupus erythematosus (lupus)sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darahSendi walau tidak menjadi cacat. Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, sakit kepala, pendek nafas, gangguan ginjal, paru-paru atau jantung, gatal dan rasa sakit dada mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul. Kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada keluhan ataupun serangan.

Diabetes mellitus tipeSel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin)Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil dan selera makan seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks insulin yang cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.

VasculitisPembuluh darahVasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-paru atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi. Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak. Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.

2. Mengetahui dan Menjelaskan SLE 2.1. DefinisiLupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun2.2. Etiologi# GenetikFaktor ini dibuktikan perannya melalui adanya fakta di mana kejadian penyakit serupa pada kembar monozigotik sebanyak kira-kira 20% dibandingkan dengan pada kembar dizogotik yang hanya 3%. Kemudian juga ditemukan fakta bahwa anggota keluarga yang tidak manifes secara klinik, ternyata menunjukkan adanya autoantibodi di serum. Fenomena terakhir ini juga merupakan indikasi bahwa manifestasi klinik penyakit autoimun ditentukan juga oleh faktor pencetus lainnya, misalnya faktor lingkungan / non-genetik. Selanjutnya, jenis HLA tertentu yang dulu dianggap merupakan predisposisi terhadap penyakit autoimun, ternyata berkaitan dengan pembentukan autoantibodi tertentu seperti anti ds-DNA, anti Sm dan antifosfolipid.# Non-genetikObat-obatan seperti hidralazin, procainamid dan D-penicillamin dapat mencetuskan lupus eritematosus pada manusia. Sinar matahari, khususnya ultraviolet juga berefek serupa karena akan memacu keratinosit membentuk IL-1. Hal lainnya adalah virus serta hormon seksual. Eksaserbasi yang terjadi seiring dengan daur haid merupakan petunjuk peran hormon seks ini. ImunologikKelainan fungsi sistem imun diduga mendasari proses terjadinya lupus. Letak kelainan masih kontroversial, semula diduga sebagai akibat sel B yang hperaktif pada perangsangan poliklonal, namun belakangan ini ditemukan indikasi bahwa letak kelainan adalah pada sel T penolong. Mekanisme imunologik yang mendasari kerusakan jaringan pada umumnya adalah hipersensitifitas tipe III.

2.3. PatofisiologiPatofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

2.4. PatogenesisMekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk: (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

2.5. Manifestasi Klinisa. Kulit: Butterfly appearance. Lesi discoid, erythema palmaris, periungual erythema, alopecia. Mucous membran lession cenderung muncul pada periode exacerbasi. Pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud.b. Gastrointestinal: Nausea, diare, GIT discomfort. Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis steril dan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga dapat menimbulkan pancreatitis.c. Musculoskeletal: Athralgia, myalgia, myopathi.d. Ocular: Conjungtivitis, fotofobia, transient atau permanent monooculr blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies).e. Jantung: Cardiac failure akibat dari micarditis dan hipertensi.Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan dengan polyarteritis nodusa ,termasuk ditemukan adanya aneurysma pada percabangannya. Abdominal pain (setelah makan), illeus, peritonitis, perforasi dapat terjadi.f. Neurologis: Pada perifer dan central berupa psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropathies, transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.g. Renal: Glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan ,tetapi jarang disertai icterus.

2.6. Pemeriksaana. Pemeriksaan Fisikb. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :1.HematologiDitemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.2.Kelainan imunologiDitemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive, dan lain-lain.Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada SLE.1. Anemia 60%2. Leukopenia 45%3. Trombocytopenia 30%4. False test for syphilis 25%5. Lupus anticoagulant 7%6. Anti-cardiolipin antibody 25%7. Direct coomb test positive 30%8. Proteinuria 30%9. Hematuria 30%10. Hypocomplementemia 60%11. ANA 95-100%12. Anti-native DNA 50%Anti-Sm 20%

2.7. DiagnosisDiagnosis SLE harus dipikirkan pada :1. Wanita muda2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari3. Manifestasi sendi4. Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit5. Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:1. Malar rasherythema yang fixed, datar/meninggi. Letaknya pada malar, biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial.2. Discoid rashLesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotik. Kadang tampak scar yang atofi.3. Fotosensitivitas.Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.4. Ulkus oralUlserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.5. ArthritisNonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri, bengkak, atau efusi.7. SerositisPada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural, pleural friction rub, efusi pleura. Pada pericarditis tampak pada ECG, gesekan pericard, efusi pericard.8. Gangguan RenalProteinuria >0,5g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin granular,tubular,atau campuran.9. Kelainan neorologispsikosis, kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).10. Kelainan hematologisAnemia hemolitik, leukopenia(