PBL PPOK

download PBL PPOK

of 16

description

PBL

Transcript of PBL PPOK

Tinjauan pustakaPengaruh Rokok Terhadap Penyakit Paru Obstruktif KronikTiffany Cindy Claudia Anatasia PaliamaMahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telp: 5694-2051. Email: [email protected]

Pendahuluan Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular saluran pernapasan yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Gejala dan tanda klinis pada fase awal sangat tidak khas. Pemberian terapi yang terlambat membawa dampak kematian. Spirometri diperlukan untuk diagnosis klinis PPOK. Bronkodilator merupakan obat pilihan pertama. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor. Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian. Pasien yang pengobatannya terlambat angka kematiannya cukup tinggi.1

Anamnesis Di awal anamnesis, informasi yang didapat tidak selalu lengkap, untuk melengkapinya perlu anamnesis ulang jika ditemukan tanda objektif pada pemeriksaan. Hal-hal yang perlu ditanyakan, yaitu anamnesis umum dan terarah. Anamnesis umum mencakup identitas dan keluhan utama. Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan pasien sehingga membawa pasien pergi ke dokter. Dari kasus didapatkan seorang pasien laki-laki 57 tahun mengeluh sesak nafas yang memberat dan terus menerus sejak lima jam yang lalu.2Pada anamnesis terarah kita mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan utama pasien termasuk riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), dan riwayat kehidupan sosial. Pada RPS penting untuk ditanyakan onset dari sesak nafas pada pasien, hal yang memacu terjadinya sesak, dan faktor yang memperberat sesak. Juga harus ditanyakan sudah berapa kali sesak tersebut terjadi dan seberapa buruk. Selanjutnya adalah menanyakan keberadaan keluhan lain pada pasien seperti apakah ada batuk, pilek, nyeri menelan, atau demam, dimana pada setiap keluhan penyerta wajib ditanyakan karakteristik keluhannya. Sedangkan pada RPD penting untuk ditanyakan kemungkinan penyakit relaps dan riwayat sakit asma. Dari skenario didapatkan bahwa pasien juga mengalami batuk berdahak warna putih sejak tiga hari yang lalu tapi tidak mengalami demam, dimana keluhan ini sudah beberapa kali timbul. Sejak tiga tahun terakhir pasien sudah merasa nafas terasa berat terutama jika beraktifitas berat dan terutama bila dirinya sedang demam dan batuk.2Kehidupan sosial pasien juga merupakan faktor resiko terjadinya suatu penyakit. Hal ini bisa berhubungan dengan pekerjaan, lingkungan hidup, pergaulan dan lain sebagainya. Dalam kasus PPOK, faktor resiko terberat adalah kebiasaan merokok, disamping itu dapat disebabkan pula oleh pekerjaan atau kebiasaan pasien yang memiliki faktor resiko untuk terpajan langsung dengan polusi, debu, atau zat iritan bermakna misalnya seperti pada pekerja di pabrik atau jalan raya. Dalam skenario didapatkan kasus bahwa pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 30 tahun sebanyak 1 sampai 2 bungkus per harinya.2

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital. Tanda-tanda vital merupakan enam parameter tubuh: tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi dan berat badan. Parameter-parameter ini menilai fungsi fisiologis sebagai dasar untuk menentukan tindakan selanjutnya. Sebagian kesalahan paling serius yang terjadi disebabkan oleh kegagalan menginterpretasikan atau bereaksi terhadap perubahan tanda-tanda vital. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik dasar thoraks yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.3Pada inspeksi yang harus diperhatikan adalah warna kulit pada thoraks, adanya lesi kulit, benjolan, atau pelebaran kapiler. Bentuk thoraks anterior normal juga harus diperhatikan dan dibedakan dari bentuk pectus carinatum, pectus excavatum, atau barrel chest. Selanjutnya adalah memperhatikan jenis pernapasan pasien apakah torakal, abdominal, torakoabdominal, atau abdominotorakal serta pergerakan dada saat keadaan statis dan dinamis apakah ada bagian thoraks yang tertinggal atau tidak.3Kemudian pada palpasi permukaan thoraks harus diraba secara acak dan terstruktur sesuai garis imajiner thoraks untuk mendeteksi adanya massa atau benjolan. Sela iga juga harus diraba dan dilihat pelebarannya, apakah normal, melebar, atau menyempit. Juga melakukan pemeriksaan vokal fremitus pada thoraks depan dan belakang. Sedangkan pada perkusi, selain dilakukan perkusi acak dan terstruktur juga harus dilakukan pemeriksaan batah paru dengan hati, lambung, maupun jantung bagian atas, kiri, dan kanan untuk melihat ukuran paru-paru. Pada pemeriksaan auskultasi penting untuk membedakan suara nafas dasar pasien yang normal atau patologis seperti ronki kering, wheezing, ronki basah halus, ronki basah kasar, pleural friction rub, amforik, stridor, atau egofoni. Pemeriksaan auskultasi dilakukan baik pada bagian thoraks posterior maupun thoraks anterior.3Pada kasus, didapatkan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut: Keadaan umum pasien sakit sedang dengan kesadaran compos mentis. Pemeriksaan TTV didpatkan hasil tekanan darah 120/70, nadi 100 kali per menit, frekuensi pernapasan 30 kali per menit, dan suhu 360C. Dari palpasi didapatkan adanya retraksi intercostal. Sedangkan pada auskultasi didapatkan suara nafas patologis wheezing pada kedua lapangan paru dan suara ronki basah kasar minimal pada kedua lapangan paru.3

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penujang yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan fungsi paru (Spirometri). Pada gangguan restriksi didapatkan Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi; FVC < 80% nilai prediksi. Sedangkan pada gangguan obstruksi: FEV1 < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi. Pada gangguan restriksi dan obstruksi: FVC < 80% nilai prediksi; FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.4-6Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan foto toraks. Pada PPOK didapatkan bayangan luscent, corakan paru bertambah atau masih ada, dinding toraks membesar (ICS melebar, barrel chest, costa mendatar, diafragma mendatar), jantung kelihatan kecil (tear drop appearance), dan puncak inspirasi diafragma > ICS V. Kedua lapangan paru terlihat lebih hitam dan lebih besar secara volume dibandingkan dengan gambaran normal. Hemidiafragma terlihat rata dan pada bagian tengah dan terdapat bullae di bagian tengah paru. Lebih sedikit pembuluh darah yang terlihat secara peripheral terutama di bagian atas dan tengah, tetapi arteri pulmonari terlihat besar di pertengahan, menandakan adanya perkembangan hipertensi arterial pulmonari lanjutan.4-6

Gambar 1. Foto Thoraks pada Penderita PPOK7

Pada pemeriksaan kadar Hb akan didapatkan peningkatan karena terjadi hipoksemia kronis pada PPOK. Pada pemeriksaan analisis gas darah seringnya normal, pada kasus yang berat dapat ditemukan hipoksemia. Pada pemeriksaan apusan sampel dahak, kultur, dan tes sensitivitas antibiotikmberguna pada kasus dengan eksaserbasi yang dipicu oleh bakteri. Sedangkan pada pemeriksaan EKG, bila ada komplikasi cor pulmonale maka dapat ditemukan gelombang pulmonal, right bundle branch block, dan right ventricular hypertrophy (dapat terjadi karena hipoksemia kronis). Pada ekokardiografi dapat diamati fungsi jantung bila terdapat komplikasi.6,7

Diagnosis BandingDiagnosis banding diambil berdasarkan penyakit-penyakit yang juga dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan secara progresif dan memiliki gejala klinis yang mirip dengan PPOK.1,4,51. Asma BronkialeAsma bronkiale adalah peradangan kronis saluran napas dengan banyak sel dan elemen sel yang berperan, yang menyebabkan hambatan aliran udara dan meningkatnya airway hyperresponsiveness, yang menimbulkan episode berulang dari wheezing, sesak napas, dada terasa sesak dan batuk terutama pada malam hari atau pada pagi dini hari. Obstruksi ini bersifat reversibel. Episode gejala respirasi tersebut biasanya terkait dengan obstruksi jalan napas yang menyeluruh yang seringkali reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.4,5Etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Pemajanan terhadap alergen yang dapat memicu asma menunjukkan bahwa asma berhubungan dengan alergi. Karenanya faktor genetik sering menjadi faktor resiko yang menyebabkan asma dimana terdapat kecenderungan sifat atopik tubuh individu memproduksi antibodi jenis IgE yang berlebihan. Asma yang disebabkan oleh reaksi alergi disebut asma ekstrinsik dan biasa muncul pada anak-anak. Sedangkan pada jenis asma idiosinkratik atau asma intrinsik, adalah serangan penderita asma yang tidak atopik dan juga serangan asmanya tidak dipicu pemajanan terhadap allergen, biasanya serangan didahului oleh infeksi pernapasan bagian atas. Mekanismenya tidak melibatkan sistem imun dan biasa muncul pada dewasa. Asma yang berat nantinya dapat berkomplikasi menjadi emfisema.4,5Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.4,5Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah tes fungsi paru untuk mengukur aliran udara ekspirasi. Kemudian tes dengan spirometri untuk mengukur aliran udara dan volume paru ekspirasi paksa, serta uji provokasi bronkus dan radiologi. Asma bronkiale harus dibedakan dari PPOK karena terapi dan prognosisnya berbeda.4,5 Tabel 1. Perbedaan Asma Bronkiale dan PPOK5AsmaPPOK

Timbul pada usia muda++-

Sakit mendadak++-

Riwayat merokok+/-+++

Riwayat atopi+++

Sesak dan mengi berulang++++

Batuk kronik berdahak+++

Hipereaktiviti bronkus++++

Reversibiliti obstruksi++-

Variabiliti harian+++

Eosinofili sputum+-

Neutrofil sputum-+

Makrofag sputum+-

2. BronkiektasisBronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi permanen abnormal cabang-cabang bronkus yang bersifat patologis dan berlangsung kronik, tidak dapat pulih lagi dan dapat disebabkan oleh episode pneumonitis berulang dan memanjang, aspirasi benda asing, massa yang menghambat lumen bronkial dengan obstruksi, infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi muntahan, atau benda-benda dari saluran pernafasan atas, dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe. Individu mungkin mempunyai predisposisi terhadap bronkietaksis sebagai akibat infeksi pernafasan pada masa kanak-kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan immunodefisiensi. Setelah pembedahan, bronkiektaksis dapat terjadi ketika pasien tidak mampu untuk batuk secara efektif, dengan akibat lender menyumbat bronchial dan mengarah pada atelektasis.4,5Infeksi merusak dinding bronchial, menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronchial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial, sehingga alam kasus bronkiektasis sakuar, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektaksis biasanya setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena. Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami infusiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.4,5Gambaran klinis bronkiektasis antara lain adalah batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama pada pagi hari, setelah tiduran dan berbaring, batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2 minggu atau tidak ada gejala sama sekali (bronkiektasis ringan), dan batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak kurang lebih 200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura, dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis, sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah, serta ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus.4,5Pemeriksaan penunjang dan diagnostik yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan laboratorium. Pertama pemeriksaan sputum yang meliputi volume sputum, warna sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum. Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat, dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakan sputum dapat menghasilkan flora normal dari nasofaring, streptokokus pneumoniae, hemofilus influenza, stapilokokus aereus, klebsiela, aerobakter,proteus, pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum berbau busuk menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob. Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya infeksi yang menahun. Sedangkan pada pemeriksaan urine ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis. Imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal kadang bisa meningkat atau menurun.4,5Pada pemeriksaan EKG bbiasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau tanda pendorongan jantung. Sedangkan pemeriksaan spirometri pada kasus ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi pernafasan yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi, kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri, hipoksemia, dan hiperkapnia.4,5Pada radiologis foto toraks PA dan Lateral biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan menjadi kabur, mengelompok, kadang-kadang ada gambaran sarang tawon serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru kanan.4,5

Diagnosis KerjaPenderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.1,4-6Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barell-shaped, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.1,4-6Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK.1,4-6Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.1,4-6Diagnosis juga dapat dilakukan dengan uji faal paru. Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC). Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari nilai prediksi normal Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator.6Uji bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat menentukan klasifikasi penyakit PPOK. Klasifikasi tersebut adalah:61. Stage I : Ringan Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 diperkirakan 80% dari nilai prediksi. 2. Stage II : Sedang Pada stage II, hasil rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50 80% dari nilai prediksi. 3. Stage III : Berat Pada stage III, dengan rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi 4. Stage IV : Sangat Berat Pada stage IV, rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik.Epidemiologi, Etiologi, dan Faktor ResikoDi seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan oleh WHO menjadi penyebab utama keempat kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan perubahan demografis di banyak negara. PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika Serikat dan beban ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar dalam biaya perawatan kesehatan dan kehilangan produktivitas. Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.4-6Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu, terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1 sangat jarang terjadi. Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok aktif, perokok pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat >600.4-6

Manifestasi Klinis PPOKGejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas hingga terasa sesak, batuk kronis dan terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul. Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang dengan PPOK umumnya menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa mendapatkan cukup udara". Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat melakukan olahraga berat atau aktivitas fisik berlebihan ketika tuntutan kerja pada paru-paru yang meningkat. Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan selalu muncul. Pada pemeriksaan fisik auskultasi khas didapatkan suara ronki, intensitas suara nafas yang semakin berkurang, dan ekspirasi yang berkepanjangan.1,4-6Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan. Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak. Gejala cor pulmonale adalah edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.1,4-6

PatofisiologiPerubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat dua kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.4-6Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya (hiperplasia sel goblet dan infiltrasi sel-sel radang).4-7

Gambar 2. Gambaran Epitel Saluran Nafas pada Penderita PPOK dan Orang Sehat7

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), yaitu dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama. Kemudian emfisema panasinar (panlobular) yang melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah, dan emfisema periasinar (perilobular) yang lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.4-6Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.4-7Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.4-7Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.4-7

PenatalaksanaanPenghentian merokok mempunyai pengaruh besar untuk mempengaruhi riwayat dari PPOK. Kita sebagai dokter harus bisa membuat pasien untuk berhenti merokok. Konseling dengan dokter secara signifikan meningkatkan angka berhenti merokok, konseling selama 3 menit dapat menghasilkan angka berhenti merokok hingga 5-10%. Terapi penggantian nikotin (permen karet nikotin, inhaler, patch transdermal, tablet sublingual atau lozenge) dan juga obat dengan varenicline, bupropion atau nortriptyline dengan baik meningkatkan penghentian merokok jangka panjang dan pengobatan ini lebih efektif daripada placebo.6,7Mendorong kontrol tembakau secara komprehensif dari pemerintah dan membuat program dengan pesan anti merokok yang jelas, konsisten dan berulang. Aktivitas fisik sangat berguna untuk penderita PPOK dan pasien harus didorong untuk tetap aktif. Melakukan pencegahan primer, dapat dilakukan dengan baik dengan mengeleminasi atau menghilangkan eksposur pada tempat kerja. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan baik dengan deteksi dini. Kita menghindari atau mengurangi polusi indoor berupa pembakaran bahan bakar biomass, pemanasan atau memasak diruangan yang ventilasinya buruk, sarankan pasien untuk memperhatikan pengumuman publik tentang tingkat polusi udara. Semua pasien PPOK mendapat keuntungan yang baik dari aktivitas fisik dan disarankan untuk selalu aktif. 6,7Terapi farmakologis dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan. Setiap pengobatan harus spesifik terhadap setiap pasien, karena gejala dan keparahan dari keterbatasan aliran udara dipengaruhi oleh banyak faktor seperti frekuensi keparahan eksaserbasi, adanya gagal nafas dan status kesehatan secara umum. Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Terapi farmakologisnya meliputi Kombinasi antara kortikosteroid inhalasi dengan bronkodilator, bronkodilator ,kortikosteroid inhalasi, Phosphodiesterase-4 inhibitors, Methylxalines dan kortikosteroid oral. Untuk manajemen eksaserbasi dapat dilakukan dengan oksigen, bronkodilator, kortikosteroid sistemik dan antibiotik. 6,7Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/ mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja lama lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.1,6,9 Agonis -2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi. Agonis -2 kerja lama, durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih. Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan salmeterol. Obat ini dipakai sebagai ganti agonis -2 kerja cepat apabila pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru. Agonis -2 dengan durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah indacaterol.6,7Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1