PBL 1 Pilek Pagi Hari

download PBL 1 Pilek Pagi Hari

of 29

Transcript of PBL 1 Pilek Pagi Hari

TUGAS PBLSkenario 1

PILEK PAGI HARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI Tahun 2010/2011Kelompok B1.

Ketua Sekertaris Anggota

: Mochamad Zulfar aufin : Nurul Fitri Rizkya : Lingga lilianie Nur Safqi Mustika dwi susilowati Nandika Nurfitria Pritta Devika Muhammad Fauzi Rio Mandala Putra Niko Kurniawan M. Dwi Suprayogi

(1102009174) (1102009213) (1102009163) (1102009193) (1102009201) (1102009221) (1102009183) (1102009250) (1102006184) (1102008314)

SKENARIO 1

Seorang pemuda sering menderita pilek dipagi hari yang tidak kunjung sembuh sejak masih di SMP. Ia setiap pagi selalu bersin2 dan keluar ingus encer, apalagi bila udara berdebu. Oleh kawannya seorang mahasiswa kedokteran disarankan untuk melakukan tes alergi dan hasilnya memang pemuda tsb menderita alergi. Tapi pemuda itu masih bertanya-tanya, apa benar ada hubungan alergi yang dideritanya dengan penyakitnya sekarang, dan mengapa bisa terjadi demikian..?

SASARAN BELAJAR:

LO.1. Memahami dan menjelaskan anatomi makroskopis dan mikroskopis saluran nafas atas. LO.2. Memahami dan menjelaskan Fisiologi saluran nafas atas. LO.3. Memahami dan menjelaskan patofisiologi Rhinitis allergi LO.4. Memahami dan menjelaskan Rhinitis Allergi LO.5. Memahami dan menjelaskan farmakoterapi simptomatis pada infeksi saluran nafas atas. LO.6. Memahami anatomi pernafasan menurut agama islam.

LO.1. Memahami dan menjelaskan anatomi makroskopis dan mikroskopis

Anatomi Makroskopis:

Skema respiratorius Udara masuk ke nares anterior vestibulum nasi cvavum nasi udara keluar dari cabum nasi ke nares posterior masuk nasopharinx melewati oropharinx epiglottis membuka aditus laryngis daerah larynx trachea masuk bronkus primer bronkus sekunder bronkus segmentalis bronkus terminalis bronkiolus respiratori organ paru duktus alveolaris alveolus alveoli terjadi difusi oksigen dan karbondioksida.

Nares Terbentuk oleh tulang rawan,tulang sejati,dan otot Bagiannya adalah : Nares anterior Vestibulum nasi Cavum nasi Terletak dari nares anterior sampai nares posterior, dengan alat-alat yang terdapat di dalamnya yaitu :

- Concha nasalis superior - Concha nasalis media - Concha nasalis inferior - Meatus nasi superior - Metaus nasi media - Meatus nasi inferior Septum nasi (os vomer,lamina perpendicularis os ethmoidalis,cartilage septi nasi)

Pada cavum nasi terdapat 3 buah konka nasalis yaitu :

Konka nasalis superior,media,dan inferior dan pada konka nasalis ini terdapat saluran yg disebut meatus nasalis. Pada nasopharinx terdapat saluran yg menghubungkan antara nasopharinx dengan cavum timpani yg disebut OPTA. Terdapar pula SINUS paranasal yg terdiri dari : Sinus paranasal

Sinus maxillaris

Sinus ethmoidalis Sinus sphenoidalis

Persarafan hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung: Bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervous opthalmicus (V.1). Bagian lainnya termasuk mukosa hidung dipersarafi oleh ganglion sfenopalatinum. Daerah nasofaring dan concha nasalis mendapat persarafan sensoris dari ganglion pterygopalatinum. Nervous olfactorius keluar dari cavum cranii melalui lamina cribrosa ethmoidalis. Untuk selsel reseptor penciuman terletak pada 1/3 atas depan mucosa hidung septum dan concha nasalis. Serabut-serabut nervous olfactorius bukan untuk mensarafi hidung, tapi hanya untuk fungsional penciuman.

Perdarahan hidung

a.opthalmica = cabang a.ethmoidalis anterior dan posterior a.maxillaris interna= a. sfenopalatinum

vena2 ketiga aliran itu membentuk anyaman yg disebut plexus kisselbach yg bila pecah disebut sebagai epistaxis.

Epistaksis ada 2 macam, yaitu : a. Epistaksis anterior b. Epistaksis posterior

a. Epistaksis anterior Dapat berasal dari flexus Kisselbach, yang merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoidalis anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri atau spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.

b. Epistaksis posterior Berasal dari arteri sphenopalatina, dan a.ethmoidalis posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemia, dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.

Larynx Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan Yaitu satu buah os hyoid, 1 tiroid, 1 epiglotis, 2 aritenoid. Berbentuk segi lima yg disebut cavum laringis bagian atas aditus laringis sementara bagian bawah disebut kartilago cricoid.

Os.Hyoid Terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda. Mempunyai 2 cornu: cornu majus dan cornu minus.

Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu. Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid.

Cartilago Thyroid Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan Prominens laryngis atau Adams Aplle sehari-hari disebut jakun lebih jelas pada laki-laki. Melekat keatas dengan os.hyoid dan kebawah dengan cartilago cricoid, kebelakang dengan arytenoid. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan cornu inferior Pendarahan cornu superior dan cornu inferior. Pendarahan dari a.thyroidea superior dan inferior.

Cartilago Arytenoid Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan diatas dari cartilago cricoid. Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan cuneiforme Kedua arytenoid dihubungkan oleh m.arytenoideus tranversus

Epiglotis -

Tulang rawan berbentuk sendok Melekat diantara kedua cartilago arytenoid Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m.aryepiglotica Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan jangan masuk ke larynx

Cartilago cricoid Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)

-

Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral Batas bawah adalah cincin pertama trachea Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m.cricoarytenoideus posterior dan lateralis

-

Otot ekstrinsik : m.cricoaryhtenoideus m.thyroepigloticus m.thyroarytenoideus

otot intrinsic : m.cricoarytenoideus posterior m.cricoarytenoideus lateralis m.arytenoideus obliq dan transverses m.vocalis m.arypiglotica

pada otot ekstrinsik dipersarafi oleh nervus laringis superior. Sementara otot intrinsic dipersarafi oleh nervus laringis inferior atau yg sering desebut dengan nervus reccurens laringis. terdapat pula plica vocalis dan plica vestibularis, dalam plica vovalis ada rima glottis dan plica vestibularis ada rima vestibularis.otot m.cricoarytenoideus posterior sering disebut juga safety muscle of larynx.karena berfungsi menajga agar rima glottis tetap membuka.

Anatomi Miksroskopis:

Hidung Pada bagian luar hidung akan ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk banyak terdapat kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari vestibulum nasi.Pada bagian dalam hidung akan dilapisi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan akan menjadi epitel bertingkat silindris dengan sel goblet (epitel respirasi),terdapat juga sel basal yg dapat berkembang lagi.Epitel terletak diatas lamina basal dan dibawahnya terdapat laina propia yang mengandung kelenjar tubular alveolar. Pada belahan lateral akan terlihat konka.Dimana pada konka nasalis superior tersusun dari sel epitel olfactoria.Epitel olfactoria sendiri tersusun dari sel penyokong,sel basal,dan sel olfacttorius(sel dendritik yang menonjol ke permukaan dan akson masuk ke lamina propria. SINUS PARANASAL Dilapisi epitel bertingkat torak dg sdkt sel goblet

Faring Pada nasofaring epitelnya bertingkat toraks bersilia dengan sel goblet.Pada orofaring epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk.Laringofaring tersusun dari epitel bervariasi> Epiglotis Memiliki permukan lingual dan laringeal.Seluruh permukaan laringeal ditutup oleh epitel berlapis gepeng 0,8), ventilasi normal tanpa perfusi (pada embolisme paru) Unit pirau (V/Q 4 minggu Rinitis alergi ringan. Tidak mengganggu aktivitas harian, tidur, bersantai, olahraga, belajar & bekerja. Rinitis alergi sedang & berat. Mengganggu 1 atau lebih aktivitas tersebut Gejala klinik rinitis alergi, yaitu : Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin. Rinore. Ingus yang keluar. Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak. Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi). Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat kebiasaan menggosok hidung.

D. Anamnesis Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan

keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis.E. Diagnosis dan DD

Secara khas dimulai pada usia yg sangat muda dengan gejala kongesti hidung,bersin,air mata,gatal, keluhan yg sama seperti polip hidung ialah hidung tersumbat dan rinorea.bila terjadi pula sinusitis berupa gejala nyeri pada kepala,daerah tulang pipi. Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian. DD Rinitis alergika harus dibedakan dengan : 1. Rhinitis vasomotorik 2. Rhinitis medikamentosa 3. Rhinitis virus 4. Rhinitis iritan ( Irritant Contact Rhinitis) 1. Rhinitis vasomotorik Pasien-pasien dengan rhintis vasomotorik datang dengan gejala sumbatan hidung dan sekret nasal yang jernih.gejala-gejalanya sering berhubungan dengan temperatur ,makan,paparan terhadap bau dan zat-zat kimia atau konsumsi alkohol. Beberapa klinisi mengusulkan bahwa regulasi otonom yang abnormal dari fungsi hidung adalah penyebabnya. pada rhinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang(+) dan tes alergen yang (+), sedangkan pada yang alergika murni mempunyai skin tes yang (+) dan laergen yang jelas. Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun,sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun danpaling sering diderita oleh perempuan.2. Rinitis medikamentosa ( Drug induced rhinitis)

karena penggunaan tetes hidung dalam jangkalama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klorpromasin, dan fenotiasin yang lain.

3. RhinitisV irus

Rhinitis virus sangat umum terjadi dan sering berhubungan denganmanifestasi lain dari penyakit virus seperti sakit kepala, malaise, tubuh pegal, danbatuk. Sekret nasal yang dihasilkan pada rhinitis viral seringnya jernih atauberwarna putih dan bisa disertai dengan kongesti hidung dan bersin-bersin. 4. Rhinitis iritan (irritant contact rhinitis) karena merokok, iritasi gas, bahan kimia, debu pabrik, bahan kimia pada makanan. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,pemeriksaan alergi yang negatif. Faktor yg berhubungan dengan diagnosis rinusitis Mayor : Muka nyeri ,Rasa tersumbat, Secret purulen, Hiposmia, Demam Minor :Sakit kepala, Demam, Lesu, Batuk, Sakit gigi, Telinga sakit, ,penuh, atau tertekan.

F. Pemeriksaan fisik Rinusitis : Lakrimasi berlebihan,sclera, dan konjungtiva yg memerah,pembengkakan konka nasalis, skret encer keriput lateral pada Krista hidung. Polip hidung : sering terlihat di bagian atas dinding hidung lateral, mengelilingi konka media, khasnya licin lunak dan mengkilap bewarna kebiruan. Pada sinusitis : terdapat nyeri tekan pada daerah sinus yg terkena. Mukosa hidung yg alergi biasanya basah,pucat, dan bewarna pink serta konka tampak membengkak,bila terjadi infeksi sekret bias purulen atau bahkan kering sama sekali. Pemeriksaan biasanya dimulai dengan inspeksi hidung luar. Inspeksi dan palpasi merupakan teknik penting yang paling sering dipakai pada pemeriksaan fisik. ada cara lain antara lain mendengarkan pernapasan dan bicara pasien yang dapat menunjuk kelainan di hidung. - Inspeksi dan palpasi hidung luar - Pemeriksaan dengan pantulan cahaya - Pemeriksaan dengan sonde hidung - Inspeksi dengan kaca nasofaring tidak langsung - Inspeksi dengan nasofaringoskop - Pemeriksaan rongga postnasal dengan jari

-

Pemeriksaan biopsi

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

G. Penatalaksanaan

a. Penghindaran alergen. Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejala pun dapat dihindari. Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen. b. Pengobatan medikamentosa Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral. Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparatfarmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitisalergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektifuntuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapitidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada fase lambat. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara

topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit. Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan. Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan. c. Imunoterapi spesifik Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan. Indikasi imunoterapi spesifik subkutan: Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan farmakoterapi Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang. Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi: Imunoterapi spesifik oral dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar daripada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan. Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi subkutan Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subkutan Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun. d. Imunoterapi non-spesifik Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama- sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda. Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory. e. Edukasi Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terjadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme imunopsikoneurologis.

f. Operatif Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat. Bisa dilakukan pada polip hidung dan terutama sinusitis berkaitan dengan gagalnya terapi obat dan injeksi allergen, tindakan ini memungkinkan drainase dan ventilasi hidung dan sinus yg memadai.

H. Prognosis Ada kesan klinis bahwa gejala rhinitis alergika dapat berkurang dengan bertambahnya usia. Sementara penderita polip hidung akan tetap mengalami kekambuhan meskipun telah mendapat terapi bedah maupun obat.

LO.5. Memahami dan menjelaskan Farmakoterapi simptomatis pada infeksi salauran nafas atas

a. Antihistamin (AH-1) Farmakodinamik AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam

otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas/keadaan yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat hisatmin, dapat di hambat dengan

efektif oleh AH1. AH1 dapat menhambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin

Farmakokinetik Setelah pemberian oral atau parental, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya maksimal timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2jam.

Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit

kadarnya lebih rendah. Tempat utama Biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Indikasi AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau

mengobati mabuk perjalanan. Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada

polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi alergen-antibodi terjadi. AH1 dapat juga menghilangkan bersin,rinore, dan gatal pada mata,hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. Mabuk perjalan dan keadaan lain. AH1 efektif untuk dua pertiga kasus vertigo,mual dan

muntah. AH1 efektif sebagai antimuntah, pascabedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit Meniere dan gangguan Vestibular lain. Efek samping Efek yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien yang di rawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomia, dan tremor. Efek samping yang paling sering juga di temukan ialah nafsu makan berkurang, mual,

muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi, atau diare; efek ini akan berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan. Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan

b. Nasal dekongestan agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada pasien rinitis alergika atau rinitis vasomotor dan pada pasien ispa dengan rinitis akut. Obat ini menyebabkan venokontriksi dalam mukosa hidung melalui reseptor 1 sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung. Pengobatan dengan dekongestan nasal dapat menyebabkan hilangnya efektivitas rebound hiperimia dan memburuknya gejala pda pemberian kronik atau bila obat dhentikan. Dalam praktek, dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin, fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam betuk tetes hidung maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin. Dekongestan topikal terutama berguna untuk rinitis akut karena tempat kerjanya yang lebih selektif. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik. Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi penyumbatan hidung dibandingkan dengan penggunaan sistemik.

Indikasinya per oral atau secara topikal. Eferdin oral sering menimbulkan efek sntral. Pseudoeferdrin Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi pasien. Fenilpropanolamin obat ini harus digunakan secara hati2 pada pasien hipertensi dan pria dengan hipertrofi prostat . Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama karena memepunyai efek samping stimulan SSP sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita hipertensi, penyakit jantung, koroner, hipertiroid, dan hipertropi prostat. Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang dijual sebagai obat bebas. c. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon pengobatan. Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat antiinflamasi yang tinggi, namun juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistematik. Berbagai produk kortikosteroid intranasal dipasarkan dengan menggunakan berbagai karakteristik. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah. Kepraktisan dalam pemakaian serta rasa bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai daripada dua kali sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan.

Beberapa kortikosteroid intranasal yang banyak digunakan adalah beklometason, flutikason, mometason, dan triamisolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan keamanan yang tidak berbeda. Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan ipatropium bromida. Mekanisme kerja Bekerja mempengaruhi kecepatan sintesis protein, molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif, mensintesis protein yg sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel limfoid.mempengaruhi metabolisme karbohidrat,protein,dan lemak,dan sebagai antiinflamasi kuat. Pemberian glucocorticoid (eg, prednisone, dexamethasone) mengurangi ukuran dan isi lymphoid dari limfonodi dan limpa, tdk memiliki efek toksik pada mieloid yg sdg berproliferasi atau stem sel erythroid dalam sumsum tulang. Glucocorticoid menghambat produksi mediator inflamasi, termasuk PAF, leukotrien, prostaglandin, histamin, dan bradikinin Toksisitas berat dpt tjd pd penggunaan glukokortikoid dosis tinggi, jangka panjang

d. Antagonis Leukotrien Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang disebut

eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagi tipe sel oleh lipooksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakhidonat sendiri merupakan substrat dari siklooksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostglandin dan tromboksan. Dengan kata lain, leukotrien juga merupakan mediator yang penting dalam terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi. Dewasa ini telah berkembang obat antileukotrien yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1 dan CYsLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA. Pada dasarnya antileukotrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah dilaporkan penggunaannya yakni dua nataginis reseptor (zafirlukast dan montelukast), serta satu inhibitor lipooksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat tersebut pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak diketahui. Penanganan Rhinitis alergi yang terakhir adalah dengan imunoterapi. Terapi ini disebut juga sebagai terapi desensitisasi. Imunoterapi merupakan proses yang panjang dan bertahap dengan cara menginjeksikan antigen dengan dosis yang ditingkatkan. Imunoterapi memiliki biaya yang mahal serta risiko yang besar, serta memerlukan komitmen yang besar dari pasien.

LO.6. Memahami anatomi pernafasan menurut Agama islamDalam buku Al-Ijaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah dijelaskan, ilmu kontemporer menetapkan setelah melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba. istinsyq (memasukkan dan mengeluarkan air ke/dari hidung) Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Rasulullah senantiasa melakukan istinsyq sebanyak tiga kali setiap berwudhu, dan beliau juga menekankan untuk melakukan istinsyq pada setiap wudhu. "Hendaknya menghirup air ke hidung kemudian mengeluarkannya kembali." (HR. alBukhari dan Muslim) . Bahwa istinsyq adalah cara yang terbaik untuk membersihkan bagian

dalam hidung. Karena setelah beberapa jam dari waktu kita membersihkan hidung, kotoran dan kuman akan kembali lagi mengisi rongga hidung kita sehingga kita harus terus menerus mengulangi permbersihan hidung. Dan ternyata waktu yang tepat untuk membersihkan hidung kita kembali tersebut sangat cocok dengan pengaturan waktu pelaksanaan shalat lima waktu.

Daftar Pustaka: