Patogenesis Dermatofita Memiliki 3 Step

5
Patogenesis dermatofita memiliki 3 step 1) Adherence/ pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai temperature dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit, spingosine yang di hasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yg di produksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan jamur). Mulainya di produksi asam lemak pada anak anak post-pubertas mungkin menerangkan menurunnya kejadian tinea kapitis secara drastis. 2) Penetration setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis. Penetrasi juga di dukung dengan keluarnya ensim proteinase, lipase dan musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi fungi. Trauma dan maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan penetrasi fungi terutama pada kasus tinea pedis. Fungal mannans yang ada di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel keratinosit. Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron. 3) Development a host response/ respon host. Proses inflamasi yang terjadi sangat tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme. Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat melekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya menimbulkan inflamasi yang ringan juga, pertama muncul berupa eritema dan

description

xcx

Transcript of Patogenesis Dermatofita Memiliki 3 Step

Patogenesis dermatofita memiliki 3 step

1) Adherence/ pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai temperature dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit, spingosine yang di hasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yg di produksi oleh glandula sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan jamur). Mulainya di produksi asam lemak pada anak anak post-pubertas mungkin menerangkan menurunnya kejadian tinea kapitis secara drastis.

2) Penetration setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis. Penetrasi juga di dukung dengan keluarnya ensim proteinase, lipase dan musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi fungi. Trauma dan maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan penetrasi fungi terutama pada kasus tinea pedis. Fungal mannans yang ada di dinding sel dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel keratinosit. Pertahanan terbaru pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai diantaranya berkompetisi dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron.

3) Development a host response/ respon host. Proses inflamasi yang terjadi sangat tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme. Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat melekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat pada infeksi dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi hipersensitivitas tipe IV. Infeksi yang sangat ringan sering hanya menimbulkan inflamasi yang ringan juga, pertama muncul berupa eritema dan scale / skuama yang menandakan terjadinya peningkatan pergantian keratinosite (keratinocyte turnover). Antigen dermatofit di proses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan di nodus limpa lokal menuju ke limfosit T. Kemudian limfosit T mengalami poliferasi dan bermigrasi ke lokasi untuk membunuh jamur dan pada waktu ini lesi menjadi mendadak inflamasi. Oleh sebab ini barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan migrasi sel.

Faktor Risiko

Menurut Bagian Kesehatan Anak FK UI (2002), faktor risiko adalah faktor yang dapat mempermudah timbulnya suatu penyakit. Peran faktor risiko itu dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu :

1) Yang menyuburkan pertumbuhan jamur.

2) Yang memudahkan terjadinya invasi ke jaringan karena daya tahan yang

menurun.

faktor risiko yang menyuburkan pertumbuhan jamur, antara lain :

1. Pemberian antibiotik yang mematikan kuman akan menyebabkan keseimbangan antara jamur dan bakteri terganggu.

2. Adanya penyakit diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang menyuburkan jamur.

faktor risiko yang memudahkan invasi jamur ke jaringan, antara lain :

1) Adanya rangsangan setempat yang terus menerus pada lokasi tertentu oleh cairan yang menyebabkan pelunakan kulit, misalnya air pada sela jari kaki, kencing pada pantat bayi, keringat pada daerah lipatan kulit, atau akibat liur di sudut mulut orang lanjut usia.

2) Adanya penyakit tertentu, seperti gizi buruk, penyakit darah, keganasan, diabetes mellitus, dan atau kehamilan menimbulkan suasana yang menyuburkan jamur.

Menurut Nasution M.A. (2005) dan Berman (2011), pada penyakit kulit karena infeksi jamur superfisial seseorang terkena penyakit tersebut oleh karena kontak langsung dengan jamur tersebut, atau benda-benda yang sudah terkontaminasi oleh jamur, ataupun kontak langsung dengan penderita.

Menurut Adiguna (2001) dan Siregar R.S. (2004), Tinea kruris paling banyak terjadi di daerah tropis, musim/iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab, banyak berkeringat.

Faktor keturunan tidak berpengaruh (Siregar, 2004).

Kebiasaan mengenakan celana ketat dalam waktu yang lama dan atau bertukar pinjam pakaian dengan orang lain penderita Tinea kruris juga termasuk faktor risiko infeksi awal maupun infeksi berulang Tinea kruris (Wiederkehr, 2012).

Koplikasi Pada penderita Tinea kruris dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder oleh organisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan penyakit menyebar

GRISEOFULVIN

Mekanisme kerja Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik,berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur.

Ketokonazole

Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-?-demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran jamur.

Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes

Efek samping Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai. Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan 1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.

Jenis golongan obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu : 1. Poliene : Nystatin 2. Azole - Imidazol : Klotrimazol, Ekonazol, Mikonazol, Ketokonazol, Sulkonazol,Oksikonazol, Terkonazol, Tiokonazol, Sertakonazol 3. Alilamin / benzilamin : Naftifin, Terbinafin, Butenafin 4. Obat anti jamur topikal lain : Amorolfin, Siklopiroks, Haloprogin

GOLONGAN POLIENE Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membrane sel jamur. Golongan poliene ini tidak efektif terhadap dermatofit dan penggunaannyaGOLONGAN AZOL ? IMIDAZOL Golongan azol ? imidazol ditemukan setelah tahun 1960, relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol jamur yang engakibatkan timbulnya defek pada membran sel jamur. Obat anti jamur golongan azol seperti klotrimazol, ketokonazol, ekonazol, oksikonazol, sulkonazol dan mikonazol, mempunyai kemampuan menggangu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol.GOLONGAN ALILAMIN / BENZILAMIN Golongan alilamin yaitu naftifin, terbinafin dan golongan benzilamin yaitu butenafin, bekerja dengan cara menekan biosentesis ergosterol pada tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan mengambat aktifitas squalene eposidase. Dengan berkurangnya ergosterol, akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur dan akan engakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungisidal terhadap dermatofit dan bersifat fungistatik terhadap Candida albicans.